II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis, 1973). Sementara itu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, pengertian kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi diluar kawasan hutan (Pubowaseso, 2004). Laju deforestasi Indonesia antara tahun 2000 dan 2009 sekitar 1,51 juta hektar per tahun, dalam periode tersebut luas tutupan hutan Indonesia mengalami pengurangan seluas 15,15 juta Ha (Sumargo et al., 2011). Demikian pula yang disampaikan oleh Hansen et al. (2013) bahwa Indonesia kehilangan hutan sebesar 15,8 juta Ha atau 8,4% antara tahun Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over

2 eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO, 2001). Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 diacu dalam Sunuprapto, 2000). Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup, 2002) Sebagian besar kebakaran hutan dan lahan berasal dari kegiatan pembakaran pada sistem pengolahan lahan pertanian, ladang dan perkebunan. Pembukaan kawasan hutan untuk membuka suatu areal baru bagi tanaman pangan sudah lama berlangsung. Setelah 2 atau 3 tahun ditanami tanaman pangan, lahan tersebut biasanya menjadi miskin hara dan ditinggalkan. Selanjutnya pembukaan kawasan hutan yang lainnya terjadi lagi untuk maksud yang sama. Demikian terusmenerus, bahkan meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pembakaran juga dilakukan pada lahan pertanian menetap untuk menghilangkan sisa-sisa panenan, serta pada lahan calon perkebunan dalam kegiatan persiapan lahan tanam. Karena kebakaran biasanya dilakukan pada musim kemarau dan tidak atau kurang diawasi, maka api dengan mudah merambat kekawasan

3 hutan/lahan di sekitarnya dan menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang merugikan secara ekonomis dan ekologis. (Departemen Kehutanan, 1995) 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Faktor aktifitas manusia Faktor aktifitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso, 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran. Qodariah dan Wijanarko (2008) menyatakan aktifitas masyarakat sekitar hutan demi memperoleh penghidupan cenderung meningkat pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan lahan bercocok tanam di wilayah sekitar hutan menjadi tidak produktif karena kekeringan. Pembuata arang kayu misalnya dapat mengakibatkan bahaya kebakaran. Beberapa aktifitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA,2003). Booyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktifitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Jarak dari jaringan jalan dan pemukiman penduduk memiliki kategori sangat penting sehingga peubah jalan dan pemukiman penduduk digunakan sebagai salah satu faktor penyebab kebakaran yang disebabkan pengaruh aktifitas manusia.

4 Semakin jauh lokasi hutan terhadap permukiman penduduk, dan jalan, maka hutan semakian terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006) Faktor lingkungan biofisik Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan. Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al., 1983) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek.. Ukuran bahan bakar juga merupakan salah satau karakteristk bahan bakar yang perlu diperhatikan.bahan bakar halus mudah dipengaruhi keadaan lingkungan sekitar, mudah mengerin tetap mudah pula menyerap air. Karena sifatnya yang cepat mengering, maka apabila tebakar akan cepat pula meluas namun cepat pula padam. Bahan bakar halus ini misalnya daun, serasah, rumpu dan cabang kecil. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savanna dan padang alang-alang. Bahan bakar kasar, kandungan kadar air lebih stabil, tidak

5 cepat mengering sehingga sulit terbakar, namun bila terbakar, akan memberikan penyalaan api yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi pohon, log kayu dan pohon-pohon mati yang berdiri (tunggak) (Darwo,2009) Selain faktor bahan bakar, faktor lingkungan lain adalah faktor cuaca, meliputi angin, suhu,curah hujan, keadaan air tanah dan kelembaban relatif. Waktu juga sangat terkait dengan kemungkinan terjadinya kebkaran.yaitu pada saat siang atau malam hari (Purbowaseso,2004) 2.3 Titik panas (hotspot) Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch µm), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan. Data yang dihasilkan dikenal dengan istilah hotspot yang mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik kordinat. Sebuah hotspot adalah sebuah piksel kebakaran yang mewakili areal 1,1 km2, dan ini menunjukkan bahwa ada suatu potensi kebakaran dalam atau sekitar areal itu, namun tidak menjelaskan jumlah, ukurann dan intensitas kebakaran dan areal yang terbakar (FFPMP2, 2004) Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hot spot yaitu Departemen Kehutanan (Indofire-Landgate), LAPAN dan ASMC. Perbedaan antara ketiga

6 sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot (fire exist). Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan ambang batas suhu minimum sebesar 322 o K, sedangkan Departemen Kehutanan memakai ambang batas suhu 315 o K pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan 314 o K pada malam hari (FFMP2, 2004) Model Spasial Sistem informasi geografis Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, jaringan utilitas, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986). Burrough, 1986 mengatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan. SIG disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas, 1993 dalam Sunuprapto, 2000).

7 Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. SIG berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan variabel geografis resiko kebakaran kedalamnya. Chuevieco et al., 1999, dalam Sunuprapto, 2000 menyebutkan beberapa variabel spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, variabel tersebut adalah: 1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi) 2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban) 3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi) 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman 7. Tanah dan bahan bawah tanah 8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air SIG telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital. Sistem peringatan dini penting sebagai upaya mitigasi kebakaran lahan dan hutan yang akan memberikan gambaran secara spasial area dengan kerawanan kebakaran tertentu. Menurut Solichin et al., (2007) penyajian secara spasial akan

8 lebih membantu memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai lokasi, jarak serta aksesibilitas antara lokasi daerah rawan kebakaran dengan sumberdaya pemadaman api yang ada di lapangan Pemodelan spasial Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial sesuai untuk prediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : a. penemuan hubungan antara fitur geografis untuk pemahaman dan mengkaitkan permasalahan utama b. pendefinisian masalah jelas dan logis c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. SIG berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan variabel geografis resiko kebakaran kedalamnya.

9 Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuat input. Model-model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen-elemen dan interaksinya. Simulasi dapat dihubungkan sebagai bentuk model yang dapat dijalankan pada kondisi tertentu (riil atau didesain). Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses-proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilaku sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global. Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan variabel-variabel penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = (penutupan lahan) (penggunaan lahan) (tipe tanah) (jarak dari rel) (jarak dari sungai) (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = (penutupan lahan) (penggunaan lahan) (tipe tanah) (jarak dari rel) (jarak dari kanal) (jarak dari pemukiman). Faktor lingkungan fisik dan aktifitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor

10 manusia (Boonyanuphap,2001). LAPAN (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor-faktor penyebabnya. Faktor aktifitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso, 2003). Purnama (2006) dalam penelitiannya di Propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktifitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL)) + (0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)). 2.5 Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy, 2005). Fire hazard (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan tipe bahan bakar,

11 tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar-pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar. Sementara itu, NFDRS, dalam Hardy, 2005 menyatakan bahwa fire risk (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al., 1972 dalam Hardy,2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam fire risk. Sumber-sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktifitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1-100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga Gambaran Umum Lokasi Penelitian Provinsi Sumatera Utara terletak di antara 1-4 Lintang Utara dan Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai ,68 km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2006 pada Sumatera Utara dalam Angka Tahun (2007), Sumatera Utara memiliki 19 Kabupaten dan 7 kota, yang terdiri dari 378 kecamatan. Akan tetapi pada tahun 2007 hingga tahun 2008 telah terjadi pemekaran, yaitu di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Labuhan Batu, dan pada tahun 2009 Kabupaten Nias dimekarkan menjadi Kabupaten Nias Utara

12 dan Kota Gunung Sitoli. Sementara Kabupaten Nias Selatan dimekarkan menjadi Kabupaten Nias Barat. Secara topografis wilayah pantai Timur Sumatera Utara relatif datar, bagian tengah bergelombang dan berbukit karena merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan, sedangkan bagian Barat merupakan dataran bergelombang. Curah hujan relatif cukup tinggi yaitu berkisar mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar hari per tahun. Musim kemarau pada umumnya terjadi pada Juni sampai September dan musim penghujan terjadi pada bulan November sampai Maret. Kondisi hidrologi di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari air permukaan yaitu sungai, danau, rawa dan air bawah tanah dimana secara keseluruhan wilayah terbagi atas 72 DAS dan 3 (tiga) DAS lintas provinsi. Jumlah induk sungai di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 99 buah, anak sungai sebanyak 783 buah, ranting sungai 659 buah, anak ranting sungai 342 buah. (Dokumen Rencana Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara, 2011) Provinsi Sumatera Utara memiliki kawasan darat seluas km 2 serta kawasan laut sepanjang 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2006 tutupan lahan Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 didominasi oleh kegiatan pertanian dan perkebunan seluas ,131 Ha sekitar 58,71 % dan lahan hutan seluas ,54 Ha atau sekitar 27,09 %. Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian terbesar berada di wilayah Pantai Timur, yaitu meliputi areal seluas lebih kurang 57% dari luas areal pertanian Sumatera Utara. Sebagian besar lahan hutan berada di wilayah Pantai Barat, yaitu seluas lebih kurang 69% dari luas hutan Sumatera Utara.

13 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut- II/2005 tanggal 16 Pebruari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara adalah seluas Ha atau 52,21 % dari luas Provinsi Sumatera Utara ( Ha)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan,

TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang Utara (LU) dan 98-100 Bujur Timur (BT), merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu kejadian dan fenomena baik alam non alam dan sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Definisi kebakaran hutan dan lahan Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

3. Simbol yang baik untuk memperlihatkan persebaran pada peta adalah a. grafis d. lingkaran b. titik e. warna c. batang

3. Simbol yang baik untuk memperlihatkan persebaran pada peta adalah a. grafis d. lingkaran b. titik e. warna c. batang TRY OUT UJIAN NASIONAL 005 GEOGRAFI SMA/MA Petunjuk : 1. Berdoalah sebelum dan sesudah mengerjakan soal! 2. Sebelum mengerjakan soal, tulislah identitas anda pada Lembar Jawaban yang telah disediakan 3.

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Fonny Rianawati, Mufidah Asyári, Fatriani dan Asysyifa Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Jln.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya

Lebih terperinci

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas KAJIAN UMUM WILAYAH Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Kawasan Transmigrasi dirancang dengan kegiatan utamanya pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Sejarah Kabupaten Lampung Selatan Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar pokok Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I

BAB I PENDAHULUAN I.I BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Ketersediaan produksi pangan dunia pada saat sekarang sedang menurun. Hal ini erat kaitannya dengan adanya beberapa faktor, antara lain : konversi komoditas pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Gambar 1. Papan Nama KHDTK Siali-ali KHDTK Siali-ali dengan luasan ± 130,10 Hektar, secara geografis terletak pada koordinat 1º08 10,3-1º09 18,4 LU dan 99º49 57,9-99

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci