BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo ini mulanya sangat sederhana, terhitung sejak usaha para penggiat desa untuk mengajak warga lain menanam pohon. Namun, seiring datangnya proyek-proyek pemerintah terutama pada saat proses sertifikasi hutan rakyat, banyak penyuluhan dan pelatihan yang telah diberikan untuk para petani terkait pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Meski demikian, hingga saat ini pengelolaan hutan rakyat belum juga dilakukan secara intensif. Hal ini dikarenakan anggapan petani yang menyatakan bahwa tanpa harus dipelihara secara intensif pun pohon-pohon tersebut pasti akan menghasilkan di kemudian hari, lain halnya dengan tanaman pangan dan tanaman semusim yang harus dipelihara secara intensif agar hasilnya maksimal. Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu pemilihan jenis pohon yang akan ditanam, pengadaan bibit, penanaman pohon, pemeliharaan pohon, dan dilanjutkan dengan pemanenan. 1. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam Awalnya, petani menanam pohon berdasarkan pohon yang memang sudah ada sebelumnya, yaitu: jenis jati dan mahoni. Hingga saat ini pun jenis tersebut masih tetap ditanam oleh petani. Petani beranggapan bahwa jenis jati dan mahoni memang cocok dengan tanah yang ada di desanya. Namun selain hal tersebut, ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis ini seperti yang dipaparkan oleh Awang et al. (2001), diacu dalam Ma rufi (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, antara lain: kesesuaian lahan, riap, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan dalam pemeliharaan. Dimungkinkan hal yang menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu selain kesesuaian lahan adalah riap dan harga jual kayu yang dihasilkan. Meski riap jati tidak sebesar mahoni yang pertumbuhannya cepat, namun

2 38 karena harga jualnya tinggi maka jenis ini dipilih untuk ditanam. Walaupun harga jual mahoni tidak setinggi jati, riap yang besar dan daur yang lebih singkat membuat petani memilih untuk menanamnya. Terkait hal tersebut, Awang et al. (2001), diacu dalam Ma rufi (2007) melanjutkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada wilayah pegunungan kapur selatan terdapat tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. Sedangkan Desa Sumberejo yang juga termasuk dalam wilayah Pegunungan Kapur Selatan, mayoritas menanam jati dan mahoni. Sekalipun terdapat jenis akasia di desa tersebut, itu merupakan sisa pohon peninggalan proyek WFP (World Food Program) yang masih dibiarkan hidup. Hal-hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu yaitu ketersediaan tenaga kerja dan pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan kondisi petani saat ini, petani tidak mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja karena petani mampu menanam pohon sendiri. Sekalipun memerlukan bantuan, petani dapat meminta tolong kepada sanak saudara agar membantunya tanpa harus membayar orang lain atau semacam buruh. Sedangkan alasan petani tidak mempertimbangkan faktor kemudahan dalam pemeliharaan adalah karena petani lebih mengandalkan alam sehingga tidak perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif. 2. Pengadaan bibit Pengadaan bibit yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo saat ini hanyalah mengandalkan permudaan alami, anakan tumbuh secara alami baik dari penyebaran biji oleh angin maupun dari trubusan. Petani melakukan hal tersebut karena tanpa harus repot-repot menyediakan bibit atau bahkan membuat persemaian, bibit tersebut sudah tersedia dalam bentuk anakan dari pohon-pohon induk yang juga akan tumbuh dengan sendirinya. Meski menurut Hartmann et al. (1981), diacu dalam Indriyanto (2008), pembibitan dapat dilakukan dengan menyemai atau menanam benih, cangkok, stek, okulasi, atau sambungan. Berikut adalah dokumentasi anakan

3 39 yang tumbuh di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo akibat persebaran biji oleh angin. Gambar 1 Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami. Menurut Indriyanto (2008), penyebaran biji oleh angin merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif. Sedangkan trubusan atau tunas merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara vegetatif. Permudaan hutan secara alamiah itu sendiri merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahap proses perkembangan tegakan hutan. Permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif dapat berlangsung dengan baik jika dalam suatu kawasan hutan terdapat pohon yang memproduksi biji. Sedangkan permudaan yang terjadi secara vegetatif dapat berlangsung jika dalam kawasan hutan terdapat pepohonan yang mampu bertunas kembali setelah penebangan (Indriyanto 2008). Melihat kondisi tegakan di lokasi penelitian, maka pohon jenis jati dan mahoni memiliki kategori keduanya. Namun, hanya jenis jati yang dapat tumbuh secara vegetatif yaitu dengan trubusan atau tunas. Trubusan dilakukan dengan membiarkan tunas-tunas baru untuk tumbuh pada tunggak sisa tebangan. Biasanya dalam satu tunggak dapat ditumbuhi tiga sampai tujuh tunas baru. Meski demikian, sejumlah tunas tersebut tidak dibiarkan hidup hingga besar, saat tunas berumur dua hingga tiga tahun petani biasanya memilih satu atau dua diantaranya yang terbaik untuk tetap dibiarkan hidup hingga besar dan yang lainnya ditebas. Namun, kualitas yang dihasilkan dari trubusan ini lebih rendah dibanding yang dihasilkan dari biji, beberapa diantaranya terdapat

4 40 gerowong pada bagian pangkal. Berikut adalah dokumentasi terkait trubusan pada jenis jati yang dilakukan oleh petani. (a) (b) Gambar 2 Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong. 3. Penanaman pohon Persebaran biji oleh angin dan tingkat keberhasilan hidup yang cukup tinggi sekitar 70% - 90% terutama bagi mahoni, membuat petani lebih mengandalkan kegiatan penanaman yang juga dari alam. Kondisi ini menyebabkan tidak ada keteraturan jarak tanam, sehingga membentuk suatu tegakan yang rapat. Hal ini dikarenakan kondisi lahan hutan rakyat yang didominasi oleh batu bertanah, sehingga anakan tumbuh di sela-sela bebatuan. Namun, penanaman dengan sistem cabutan pun petani lakukan bila terdapat suatu area dipenuhi dengan anakan dan di area lain tidak dipenuhi anakan. Kegiatan ini dilakukan terutama setelah petani melakukan penebangan dan pada musim penghujan. Kriteria yang dipertimbangkan oleh petani dalam melaksanakan penanaman jenis ini, antara lain: (1) Anakan yang dipindahkan berumur ± 1 tahun, tinggi ± 50 cm, (2) Jumlah anakan disesuaikan dengan ketersediaan anakan di area rapat, (3) Luas lahan yang tidak dipenuhi anakan, dan (4) Kemauan dari masing-masing petani. Selain itu, pemindahan anakan ini juga dilakukan setelah penebangan. Berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama bahwa setiap menebang satu pohon harus menggantinya dengan penanaman sebanyak sepuluh bibit. Namun aturan ini nampaknya

5 41 tidak berlaku untuk semua lahan, sebab ada beberapa lahan yang saat ini memang benar-benar sudah rapat dengan pepohonan mulai dari tingkat semai hingga pohon. Untuk kondisi lahan seperti itu, maka petani tidak perlu lagi menanam pohon. Berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur, penanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang akarnya terbuka atau dalam wadah. Ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk penanaman konifer dan banyak jenis daun lebar. Sedangkan Indriyanto (2008) menyebutkan ada beberapa jenis penanaman berdasarkan bentuk bibit yang ditanam dan cara penanaman bibit di area, yaitu: penanaman langsung, penanaman stump, penanaman bibit puteran, penanaman bibit cabutan, dan penanaman bibit pot. Jenis penanaman tersebut merupakan penanaman dengan bibit yang berasal dari persemaian. 4. Pemeliharaan pohon Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan biotik dan abiotik, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik (Indriyanto 2008). Faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya. Faktor biotik yang mempengaruhi, yaitu: organisme mikro patogen, organisme parasit, serangga dan binatang besar lainnya bahkan tetumbuhan liar yang umumnya disebut gulma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor abiotik yaitu kondisi iklim dan kesuburan tanah (Baker et al. 1979, diacu dalam Indriyanto 2008). Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain: penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama penyakit (Dardjadi & Hardjono 1976, diacu dalam Indriyanto 2008). a. Penyulaman tanaman Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa penyulaman yang dilakukan petani adalah saat mengganti atau menanam kembali bibit pada beberapa tanaman proyek rehabilitasi yang tidak tumbuh. Kini kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh petani sebab

6 42 tanaman yang tumbuh sebagian besar mengandalkan persebaran alami. Namun, disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa memang pada tahuntahun berikutnya setelah penyulaman pertama dan kedua tidak perlu lagi dilakukan penyulaman karena pertumbuhan tanaman susulan akan tertinggal. Penyulaman pertama dilakukan saat satu bulan setelah penanaman, sedangkan penyulaman kedua dilakukan saat satu tahun setelah penanaman. Penyulaman itu sendiri merupakan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan persentase tanaman hidup dengan cara menanami kembali pada lubang tanam yang tanamannya telah mati. Penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. b. Penyiangan tanaman Kegiatan penyiangan yang berupa pembersihan gulma (alang-alang, rumput, semak, dan liana) di sekitar tanaman masih dilakukan secara manual hingga saat ini yaitu dengan menggunakan cangkul, parang, atau sejenisnya. Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa pembersihan gulma juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Contoh bahan kimia yang dapat digunakan untuk penyiangan, antara lain: Sodium Chlorate (5-10 g/cm 2 ) serta campuran 2,4-D dengan 2,4,5-T (1 g/cm 2 ). Untuk mendapatkan bahan kimia tersebut tentunya petani harus mengeluarkan uang lebih. Dan jika demikian, maka petani lebih memilih untuk melakukan penyiangan tanaman secara alami karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Sekalipun petani memiliki uang, petani lebih memprioritaskan untuk membeli pupuk bagi tanaman semusimnya. c. Pendangiran tanaman Pendangiran yang merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah tidak dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo. Hal ini dikarenakan kondisi lahannya yang didominasi oleh bebatuan dan tanamannya pun tumbuh di sela-sela batu tersebut. Lagi pula disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur berat dan dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 1-3 tahun pada akhir musim kemarau.

7 43 d. Pemupukan tanaman Sama seperti kegiatan penyulaman yang dilakukan saat proyek rehabilitasi, kegiatan pemupukan tanaman ini pun hanya dilakukan pada saat itu saja. Kini para petani sudah tidak lagi melakukan pemupukan sebab telah tersedia banyak serasah dari dedaunan yang berguguran untuk mengganti fungsi pupuk tersebut. Selain itu, tidak tersedianya dana untuk membeli pupuk pun menjadi kendala dalam hal ini. Dan sekalipun petani memiliki cukup dana, petani lebih mengutamakan untuk memupuki tanaman semusimnya. Bila pupuk tersebut berlebih maka dapat petani gunakan untuk memupuki tanaman kayu di lahan hutan rakyatnya. Berikut adalah dokumentasi serasah yang digunakan sebagai pengganti pupuk. Gambar 3 Serasah sebagai pengganti pupuk. e. Pemangkasan cabang Kegiatan pemangkasan cabang tidak dilakukan oleh para petani karena selain waktunya yang tidak sempat perihal mengurus tanaman semusim, faktor usia pun menjadi kendala. Sebagian besar pemilik lahan hutan rakyat berumur sekitar 45 s/d 70 tahun. Oleh sebab itu, petani agak kesulitan bila harus memanjat pohon untuk memangkas cabang. Di sisi lain, kegiatan pemangkasan cabang ini menurut (Indriyanto 2008) hanya dilakukan pada hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai penghasil kayu pertukangan, sebab pemangkasan cabang dilakukan dengan membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu, sehingga dapat memperbaiki kualitas bentuk kayu. Sedangkan kayu hasil tebangan hutan rakyat ini sendiri tidak

8 44 dikhususkan untuk penghasil kayu pertukangan dan juga tidak sengaja ditanam seperti layaknya hutan tanaman yang disertai dengan jarak tanam. Oleh sebab itu, kegiatan pemangkasan cabang ini juga tidak terlalu penting diterapkan pada tegakan hutan rakyat di Desa Sumberejo. f. Penjarangan tanaman Kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat pohon yang rusak atau mati, lalu hasil penjarangan tersebut dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak. Selain itu, kegiatan penebangan untuk keperluan dijual pun dianggap sekaligus sebagai kegiatan penjarangan. Padahal menurut Indriyanto (2008), pada umumnya untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3-4 tahun, dan untuk jenis pohon yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik, mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon, dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan (pembebasan dan penjarangan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tegakan (riap diameter). Riap diameter tegakan berbeda pada tegakan yang dipelihara dan yang tidak dipelihara. Melalui penjarangan, riap diameter pohon rata-rata tegakan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Indriyanto 2008). Namun, petani tidak mengikuti penjarangan tersebut karena petani justru lebih suka kalau tegakan di hutan rakyatnya banyak dan rapat. Semakin rapat menurut petani maka akan semakin baik dan akan semakin lestari. g. Pemberantasan hama dan penyakit Petani hingga saat ini tidak melakukan kegiatan pemberantasan hama dikarenakan memang tidak pernah ada hama yang menyerang tegakan di hutan rakyatnya. Begitu pula dengan penyakit, petani tidak pernah melakukan pemberantasan terhadap penyakit sebab tegakannya tidak pernah terserang penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit itu sendiri didefinisikan oleh (Suratmo 1979, Suratmo 1982, diacu dalam

9 45 Indriyanto 2008) sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan. 5. Penebangan Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani. 5.2 Potensi Hutan Rakyat Hutan rakyat yang dikembangkan di Desa Sumberejo berada di tegalan dan pekarangan. Tegalan lebih mengacu pada definisi hutan rakyat dalam UU No. 5 Tahun 1967 yang disempurnakan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan luas minimum 0,25 ha. Sedangkan pekarangan mengacu pada definisi hutan rakyat menurut Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) adalah tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Oleh karena itu, yang menjadi objek penelitian adalah tegakan jati dan mahoni yang tumbuh di tegalan dan pekarangan. Luas total dari masing-masing lahan hutan rakyat tersebut, yaitu: 426,71 ha dan 96,38 ha. Potensi menurut Departemen

10 46 Pertanian (1976) merupakan massa tegakan hutan yang dinyatakan dengan ratarata volume dan jumlah batang per hektar areal berhutan seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo Jenis Jati Mahoni Jumlah Satuan Per hektar Per petani Per hektar Per petani Per hektar Per petani Potensi Volume (m 3 ) Kerapatan pohon (batang) 206, , , , Riap diameter (cm/th) I II III IV V Ratarata 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 1,12 1,52 2,05 2,44 2,28-2, , , Keterangan : Data pengukuran (diolah) I = 1-10 cm, II = cm, III = cm, IV = cm, V = cm. Pada Tabel 6 diinformasikan bahwa potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon per hektar dan per petani didominasi oleh jenis mahoni. Jenis ini banyak terdapat di lokasi sebab jenis lainnya yaitu jati telah banyak ditebang pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan mahoni yang relatif lebih cepat dibanding jati membuat jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini juga dapat dilihat pada riap yang mengalami peningkatan hingga kelas diameter cm dan mengalami penurunan setelah kelas diameter tersebut. Sedangkan jati terus mengalami penurunan seiring bertambahnya kelas diameter. Informasi lain terkait data potensi berdasarkan lokasi untuk potensi volume didapatkan hasil perhitungan sebesar 482,72 m 3 /ha dan 1.780,36 m 3 /petani. Untuk potensi kerapatan pohon yaitu sebanyak pohon/ha dan pohon/petani. Kelengkapan dari informasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang ditampilkan Tabel 6, angka 1,12 cm/th dan 2,07 cm/th pada riap jenis jati dan mahoni merupakan rata-rata riap diameter pada tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo. Dalam Harbagung (2008) disebutkan bahwa hasil-hasil penelitian terkait riap diameter di beberapa lokasi untuk jenis jati dan mahoni, diantaranya adalah riap untuk jenis jati yang dilakukan di wilayah Madiun dengan

11 47 nilai sebesar 0,7 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1 cm/th, di wilayah Wonogiri sebesar 0,5 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,9 cm/th. Sedangkan untuk jenis mahoni, telah dilakukan penelitian di wilayah Ciamis dengan nilai sebesar 1,7 cm/th, di wilayah Tasik sebesar 3,4 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1,2 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,7 cm/th. Dari beberapa hasil penelitian tersebut termasuk hasil yang diperoleh peneliti dapat diketahui bahwa nilai riap berbeda untuk masing-masing wilayah. Hal ini menandakan bahwa riap dipengaruhi oleh lokasi pohon itu tumbuh. Lokasi berkaitan pula dengan kondisi fisik lingkungannya, mulai dari tanah hingga iklim seperti yang disebutkan oleh Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain: radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (atmosfer dan tanah), karbon dioksida (CO 2 ), dan unsur hara. Hal-hal tersebutlah yang dapat menjelaskan mengapa riap yang dihasilkan bervariasi di beberapa wilayah. Dapat dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan oleh Harbagung (2008) bahwa riap hasil perhitungan peneliti untuk jenis jati yang sebesar 1,12 cm/th berbeda hingga dua kali lipat dari hasil perhitungan penelitian yang juga dilakukan di Wonogiri. Hal ini selain dikarenakan perbedaan waktu yang dilakukan keduanya adalah dua tahun, juga ada faktor umur tanaman dan lokasi pengambilan sampel yang mempengaruhi. Umur tanaman yang diteliti pada hasil referensi tergolong masih muda, sedangkan umur tanaman pada lahan hutan rakyat yang diperoleh peneliti adalah bervariasi mulai dari umur muda sampai tua. Pengambilan lokasi sampel yang dilakukan oleh peneliti hanya di satu desa yang termasuk dalam Kabupaten Wonogiri. Sedangkan data hasil penelitian referensi yang dilakukan adalah dengan mengambil beberapa desa sebagai sampel lokasi. Hal ini mempengaruhi perhitungan rata-rata riap yang dihasilkan. Singkatnya, hasil perhitungan riap sebesar 1,12 cm/th merupakan rata-rata riap untuk satu

12 48 desa, sedangkan hasil perhitungan riap sebesar 0,5 cm/ /th merupakan rata-rataa riap untuk satu wilayah kabupaten. 5.3 Riap Diameter Hutan Rakyat Dalam buku-buku teks kehutanan, biasanya dibedakan antara pengertian pertumbuhan dengann riap (increment). Tetapi dalam percakapan sehari-hari, seringkali keduanya dianggap sama. Pertumbuhan ditetapkan sebagai terminologi yang bersifat umum, sedangkann riap lebih spesifik. Biasanya, riap dipakai untuk menyatakan pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu. Riap juga sering dipakai untuk menyatakann pertambahan nilai tegakan. Kadang- tinggi pohon setiap tahun (Departemen Kehutanann 1992). kadang riap juga dipakai untuk menyatakan pertambahan diameter atau Riap yang dihitung dalam penelitian ini adalah riap diameter rata-rata tahunan yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang. Melalui riap tersebut dapat diketahui berapa centimeter per tahun pertumbuhan pohon dalam suatu kelas diameter tertentu dan dapat pula diketahui jangka benah yaitu waktu yang dibutuhkan bagi pohon pada kelas diameter tertentu untuk pindah ke kelas diameter berikutnya. Besar kecilnya riap diameter rata-rata tahunan itu sendirii berpengaruh pada banyak sedikitnya jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter tertentu. Riap diameter rata-rata tahunan untuk jenis jati dan mahoni yang diperoleh dari hasil olahan data lapang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Riap diameter rata-rata tahunann (cm/th) per jenis per kelas diameter.

13 49 Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa riap diameter rata-rata tahunan jenis jati mengalami penurunan seiring meningkatnya kelas diameter. Sedangkan pada mahoni fluktuatif yang ditandai dengan adanya peningkatan dan penurunan. Hal ini dijelaskan oleh Poerwokoesoemo (1956) yang menyatakan bahwa menurut penyelidikan Balai Penyelidikan Kehutanan di Bogor, jati adalah jenis tanaman yang pada umumnya memiliki pertumbuhan lambat, bahkan lebih lambat dari jenis pohon Eik di Eropa yang terkenal amat sedikit penambahan tumbuhnya. Pada permulaan dalam tanaman muda, jati tumbuh memang amat cepat baik tumbuh meninggi maupun riap tebal. Akan tetapi tumbuh cepat ini tidak terus menerus, hanya terbatas hingga umur kurang lebih 10 tahun saja. Setelah itu, jati tumbuh tidak begitu cepat lagi dan riap semakin lama makin berkurang jika dibandingkan dengan riap sebelum umur 10 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dimungkinkan bahwa riap diameter jati meningkat ketika umur 6-9 tahun. Seperti yang tertera pada Tabel 7, umur 6-9 tahun merupakan peralihan antara kelas diameter cm dengan cm. Tabel 7 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati per kelas diameter Jati Kelas Diameter (cm) Sebaran diameter (cm) Umur (tahun) Riap diameter rata-rata 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 - tahunan (cm/th) Prinsip pertumbuhan yang sama juga dijelaskan oleh Simon (2007) bahwa untuk semua jenis pada waktu muda umumnya tumbuh agak lambat, lalu kecepatan tumbuh diameter meningkat, kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Dalam hal ini riap mahoni mencapai puncak pada kelas diameter cm antara umur tahun, lalu menurun pada umur di atas 14 tahun. Kondisi ini memungkinkan riap akan mencapai puncak pada kelas diameter 30 cm up dengan umur di atas 14 tahun. Namun berdasarkan pengetahuannya, Mulyono selaku ketua FKPS (Forum Komunitas Petani Sertifikasi) mengutarakan bahwa mahoni mencapai pertumbuhan puncak pada umur 20 tahun dan selebihnya menurun. Meski demikian, hal tersebut tidak dapat berlaku sepenuhnya di setiap kondisi lahan hutan rakyat sebab karakteristik tanah yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan itu sendiri, termasuk kondisi lahan hutan rakyat di

14 50 Desa Sumberejo ini. Berikut adalah beberapa umur pohon mahoni yang termasuk dalam kelas diameter tertentu. Tabel 8 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni per kelas diameter Mahoni Kelas Diameter (cm) Sebaran diameter (cm) Umur (tahun) Riap diameter rata-rata 1,52 2,05 2,44 2,28 - tahunan (cm/th) Umur 20 tahun yang disebutkan oleh Mulyono tidak dapat ditunjukkan oleh tabel di atas karena berdasarkan data di lapang, umur mahoni yang paling tua adalah umur 20 tahun. Sedangkan dalam perhitungan riap, umur tersebut digunakan untuk memperoleh riap pada kelas diameter di bawahnya. Bila ingin diperoleh riap pada kelas diameter cm, maka diperlukan data umur di atasnya seperti umur 22 tahun atau 24 tahun dan seterusnya. Oleh karena itu, pada tabel tidak tertera riap untuk kelas diameter cm. Begitu pula pada riap di kelas diameter akhir pada jenis jati sebelumnya di Tabel 7. Pengolahan perhitungan riap berdasarkan hasil survei di lapangan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran Pengaturan Kelestarian Hasil Saat Kini Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, secara umum masyarakat akan mencukupinya mulai dari hasil tanaman semusim (palawija), batu galian (gamping), ternak, dan menebang kayu. Penebangan pohon dilakukan berdasarkan kesepakatan pengaturan limit keliling tebang minimal 60 cm atau setara dengan diameter 20 cm yang telah disepakati sejak dibentuknya kelompok tani atas dasar kesadaran warga terhadap kelestarian hutan. Pada saat itu, juga terdapat salah satu penyuluhan yang disampaikan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) bahwa paling tidak penebangan dilakukan minimal keliling 60 cm. Kesepakatan ini bersifat lisan dan difasilitasi oleh kelompok tani serta dibuat atas pertimbangan bahwa pohon yang memiliki keliling 60 cm sudah dapat dijadikan bahan untuk membuat bangunan. Limit ini diterapkan setiap kali petani ingin menebang pohon. Selain itu, keputusan menebang diserahkan kepada masing-masing pemilik lahan hutan rakyat yang hingga kini masih tetap dipatuhi dan dipertahankan hingga ke tingkat desa.

15 51 Pohon berdiameter 20 cm up dapat ditebang habis untuk setiap kali tebang butuh sesuai kebutuhan dan keputusan masing-masing pemilik lahan. Sedangkan pohon berdiameter di bawahnya, tidak dapat dan tidak pernah ditebang kecuali bila pohon tersebut rusak, buruk, atau mati yang akan digunakan untuk keperluan kayu bakar. Pengecualian lainnya adalah bila petani ingin mengganti tegakannya dengan jenis pohon yang lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Misalnya, mengganti tegakan mahoni dengan jenis jati yang memiliki harga jual tinggi atau dengan jenis sengon yang memiliki daur singkat. Penebangannya dilakukan secara bertahap, misal petani A memiliki lahan seluas dua hektar. Dari lahan seluas dua hektar tersebut, ditebang habis seperempat bagiannya di tahun ini, seperempat bagian lagi di tahun depan, dan begitu untuk seterusnya. Namun hal tersebut perlu dikondisikan pula dengan keuangan petani, karena penggantian jenis tanaman ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membeli bibit ke persemaian di Wonogiri. Harga per polybag sekitar Rp 1.000,- untuk jenis jati dengan tinggi bibit setengah meter. Sedangkan untuk jenis sengon seharga Rp 2.000,- per polybag dengan tinggi bibit satu meter. Selain itu, juga harus dikondisikan dengan SDM yang dimiliki untuk membuat lubang-lubang tanaman. Penanaman ini tergantung pada keinginan dari masing-masing pemilik lahan dan ditujukan agar tersedia pohon siap tebang di bagian lahan lainnya yang dapat dijadikan simpanan untuk pemenuhan kebutuhan di kemudian hari. Simpanan lainnya dapat berupa ternak yang dibeli dari hasil tebang habis tersebut. Tingkat kepatuhan yang tinggi ditunjukkan dari konsistensi petani terhadap limit diameter. Oleh sebab itu, petani telah dapat menikmati hasilnya berupa sumber mata air yang selalu terjaga bahkan semakin bertambah, tidak ada kejadian bencana alam (tanah longsor, banjir, dan erosi), serta tercipta hutan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Keadaan ini pun terus berlangsung hingga tercapainya sertifikasi dan berlanjut sampai dengan saat ini. Pada tahun 2007 dikeluarkan aturan mengenai limit diameter tebang dari bupati, yaitu minimal 30 cm untuk penebangan kayu di hutan rakyat. Namun, petani di Desa Sumberejo tidak menerapkan aturan tersebut karena dirasa memberatkan. Petani beranggapan bahwa kayu yang ada adalah milik petani, oleh sebab itu petani kurang berkenan bila ada campur tangan pihak luar yang

16 52 membatasi haknya. Hal ini juga dirasakan memberatka an karena di satu sisi jumlah pohon pada kelas diameter besar terbatas, riapnya pun makin menurun seiring dengan bertambahnya kelas diameter sehingga tidak dapat menyediakan persediaan pohon kelas diameter besar (siap tebang) dalam waktu yang singkat. Di sisi lain, kebutuhan mendesak petani dapat tiba kapan pun tanpa terduga. Bisa saja bulan ini menebang dan bulan depan kembali menebang. Kondisi inilah yang membuat petani keberatan karena memang tidak tersedia dana lain yang dapat memenuhi kebutuhannya dalam jumlah cukup banyak selain dari menebang kayu. Berikut adalah grafik yang menampilkan data produksi kayu hutan rakyat Desa Sumberejo sejak awal sertifikasi hingga tahun Gambar 5 Realisasi produksi kayu hutan rakyat (batang) sejak awal sertifikasi tahun 2004 sampai tahun Pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa rata-rata petani di Desa Sumberejo banyak yang menebang jenis jati dibanding mahoni. Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, hal ini dikarenakan hargaa jual jati yang lebih tinggi dibanding mahoni. Di sisi lain, dalam memenuhi kebutuhan dana petani, jumlah pohon yang dipanenn sangat tergantung pada jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana tersebut. Hal ini dapat diamati pada Gambar 5 yang menunjukkan peningkatan di tahun 2004 dan 2007 terutama untuk jenis jati. Pada tahun-tahun tersebut, petani membutuhkan dana yang tinggi untuk memenuhi keperluan rumah tangganya, sehingga petani melakukan penebangan dalam jumlah banyak. Namun, penebangan ini dilakukan dengan tetap

17 53 berkomitmen terhadap limit diameter minimal 20 cm yang telah menjadi kesepakatan bersama. Kekurangan dana pada tahun 2008 hingga tahun 2011 dipenuhi dari jumlah tebangan yang lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan terdapat tiga kemungkinan kondisi yang ada, yaitu 1) Sumber pendapatan di luar hutan rakyat semakin besar sehingga pemenuhan tebangan kayu hutan rakyat bisa lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, 2) Kebutuhan rumah tangga memang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, 3) Potensi pohon yang dapat dipanen berdiameter 20 cm up memang sedikit, sehingga mungkin tidak cukup untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana tersebut. Kondisi pertama memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi. Bila demikian, maka hutan rakyat dapat terjaga kelestariannya. Kondisi kedua memiliki kemungkinan yang kecil untuk terjadi, sebab kebutuhan rumah tangga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan kondisi ketiga memiliki kemungkinan yang juga cukup besar. Namun apabila kondisi ini yang terjadi, maka penebangan akan melebihi riap, meski petani mematuhi limit diameter tebang minimal 20 cm. Selain itu, melalui realisasi produksi kayu yang telah ditebang sejak awal sertifikasi dapat diketahui bahwa tidak banyak peranan yang dilakukan FKPS dalam pengelolaan hutan rakyat. Tidak ada aturan yang dikerahkan mengenai pembatasan tebangan demi kelestarian. Hal ini memang FKPS sendiri membebaskannya kepada petani untuk melakukan tebangan kapan pun dan dalam jumlah berapa pun untuk memenuhi kebutuhan asal tidak melebihi batas limit diameter yang telah disepakati. Di sisi lain, FKPS tidak dapat menjamin ketersediaan dana pengganti tebangan pohon saat kebutuhan mendesak tiba. Kondisi seperti inilah yang menjadi kelemahan dalam sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo, sebab apabila dibiarkan terus menerus dengan kebutuhan petani yang juga akan terus ada, maka dikhawatirkan suatu kelestarian tidak dapat tercapai sebagaimana mestinya. Untuk itu, perlu adanya suatu perbaikan manajemen dalam pengelolaannya terkait hal kelembagaan agar dapat lebih terarah pada kelestarian.

18 Analisis Alternatif Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang Pengaturan hasil yang dibuat menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap. Riap yang digunakan adalah riap diameter rata-rata tahunan. Melalui riap tersebut, dapat diketahui waktu yang dibutuhkan bagi sejumlah pohon pada kelas diameter tertentu untuk pindah ke kelas diameter berikutnya, sehingga dapat ditentukan jumlah pohon per hektar yang boleh ditebang per tahun pada kelas diameter tertentu. Terkait hal tersebut, pengaturan hasil yang dibuat mulai dari kelas diameter 20 cm up, sebab sesuai kesepakatan selama ini baik jati maupun mahoni yang ditebang oleh petani adalah pohon berdiameter minimal 20 cm. Sehubungan dengan pemenuhan bahan baku industri, penetapan limit diameter ini kurang cocok bila industri tersebut adalah industri kayu pertukangan. Namun pada penerapannya, yang dapat memenuhi kebutuhan industri tersebut adalah pedagang pengumpul yang mensortir kayu berdasarkan sortimen dengan beberapa kriteria dimensi kayu berupa diameter dan panjang kayu. Melalui sortimen tersebut, pedagang pengumpul dapat menjual kayu pada industri-industri tertentu termasuk industri kayu pertukangan (meubel) untuk jenis sortimen yang memang memenuhi kriteria. Namun, tidak jarang pula pengumpul menjual sortimen kayu kepada pengrajin-pengrajin kayu yang tidak membutuhkan ukuran sortimen besar seperti kayu pertukangan. Berikut adalah dokumentasi terkait kayu-kayu yang ada di pedagang pengumpul dari berbagai kelas diameter. Gambar 6 Kayu-kayu hasil tebangan di pedagang pengumpul Kecamatan Baturetno. Berbagai macam ukuran sortimen tersebut didapat dari hasil tebang butuh yang dilakukan petani melalui pedagang perantara (bakul). Oleh karena itu, berapa pun diameter pohon yang ditebang tetap saja laku bila dijual. Namun, hal

19 55 ini justru membuat ketidakpastian jadwal dan volume produksi, sehingga berdampak pada ketidakpastian bahan baku industri. Melalui pengaturan hasil, diharapkan dapat menjadi suatu perbaikan manajemen, sehingga hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan. Berikut adalah alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang yang dibuat untuk jenis jati dan mahoni di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo. Tabel 9 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha/th) Parameter Kelas Diameter (cm) I II III IV V VI Jumlah 1.Riap diameter rata- rata tahunan (cm/th) 2,31 1,41 0,81 0,66 0, Kerapatan tegakan (pohon/ha) Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon/ha/th) 4.Tegakan yang boleh ditebang (batang/ha/th) Tebang tahun ke-/ (frek.) - - 1/(3x1) 6/(2x1) 11/(6x1) - - 4/(1x1) 19/(1x1) 30/(2x1) /(1x1) Tahun tebang Keterangan: I = 1-10 cm; II = cm; III = cm; IV = cm; V = cm; VI = cm (frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun) Dasar penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang adalah riap, sebab penebangan harus sama dengan riap apabila ingin lestari. Selain itu pun harus mempertimbangkan jaminan pohon pengganti dari kelas diameter di bawahnya. Oleh karena itu, dilihat pada Tabel 9 hanya terdapat dua batang pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter cm. Hal ini karena memang stok yang tersedia pada kelas diameter tersebut hanya terdapat dua pohon dan penebangan dapat tergantikan oleh pohon yang pindah dari kelas diameter cm. Sedangkan pada kolom jumlah terdapat sebanyak 25 batang/ha yang boleh ditebang, namun karena tidak tersedianya data tentang riap pada kelas diameter cm, maka yang bisa ditebang saat keadaan normal yaitu saat penebangan dapat dilakukan tiap tahun ialah sebanyak 24 batang/ha.

20 56 Pada kelas diameter cm dengan stok awal terdapat delapan pohon, di tahun berikutnya menjadi enam pohon sebab dua pohon sudah pindah ke kelas diameter cm. Tetapi, jumlah tersebut mendapat tambahan pohon yang pindah dari kelas diameter cm yakni sebanyak empat pohon, sehingga menjadi sepuluh pohon. Sedangkan untuk penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter cm adalah sebanyak dua batang yang diperoleh dari pengurangan stok dengan jumlah stok awal agar lestari, yakni sepuluh pohon dikurangi delapan pohon. Sama halnya dengan kelas diameter cm dan cm. Angka lima dan tujuh belas diperoleh dari pengurangan stok dengan stok awal. Namun, sejumlah pohon tersebut tidak memiliki waktu yang sama untuk dapat ditebang tiap satu tahun sekali. Seperti yang dapat dilihat pada parameter ke-5 di Tabel 9 bahwa terdapat angka 1/(3x1) dan 4/(1x1) pada kelas diameter cm, angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter cm, serta angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter cm. Angka-angka tersebut merupakan waktu yang dibutuhkan bagi pohon untuk tumbuh sesuai riap ke kelas diameter berikutnya (jangka benah). Angka 1/(3x1) pada kelas diameter cm mengandung arti bahwa tebangan pertama yang petani lakukan di kelas diameter cm sebanyak tujuh belas batang pohon per hektar adalah pada tahun ke-1 atau tahun 2012, sebab pengambilan data dilakukan pada tahun 2011 dan diposisikan tahun tersebut sebagai tahun ke-0. Untuk penebangan selanjutnya dengan jumlah yang sama, petani menebang pada tahun ke-4 tahun Mulai tahun tersebut (4/(1x1)) dan seterusnya, petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali dengan jumlah yang sama pula. Singkatnya, angka (3x1) berarti petani boleh menebang tiap tiga tahun sekali, dan angka (1x1) berarti petani boleh menebang tiap satu tahun sekali. Sama halnya dengan angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter cm. Pada tahun ke-6, petani baru boleh menebang sebanyak lima batang pohon per hektar dengan frekuensi dua tahun sekali hingga tahun ke-18. Mulai tahun ke- 19 dan seterusnya petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali. Angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter cm juga mengandung arti yang sama yakni petani baru boleh menebang pada tahun ke-11 dengan frekuensi enam tahun sekali hingga tahun ke-29. Tahun ke-30 hingga tahun ke-46

21 57 petani boleh menebang dengan frekuensi dua tahun sekali. Tahun ke-47 dan seterusnya barulah petani boleh menebang tiap satu tahun sekali. Lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tebangan tiap satu tahun sekali merupakan aplikasi dari kecilnya riap. Semakin kecil riap maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh. Visualisasi data ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Begitu pula pemahaman konsep alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni. Dengan riap yang lebih besar dibanding jati, waktu yang diperlukan bagi mahoni cenderung lebih singkat. Bila kondisi normal yang dapat dicapai jati adalah selama 47 tahun, maka mahoni hanya membutuhkan waktu 3 tahun untuk mencapainya. Alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni dapat dilihat pada Tabel 10 yang selengkapnya dapat pula dilihat pada Lampiran 6. Tabel 10 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha/th) Parameter Kelas Diameter (cm) I II III IV V Jumlah a. Riap diameter rata-rata tahunan (cm/th) 1,52 2,05 2,44 2, b. Kerapatan tegakan (pohon/ha) c. Tegakan yang pindah ke kelas diameter berikutnya (pohon /ha/th) d. Tegakan yang boleh ditebang (batang/ha/th) e. Tebang tahun ke-/(frek.) - - 1/(1x1) 2/(2x1) - - 3/(1x1) - - f. Tahun tebang Keterangan : I = 1-10 cm; II = cm; III = cm; IV = cm; V = cm (frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun) Pada alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni di atas hanya terdapat tiga kelas diameter yang boleh dilakukan penebangan, yaitu kelas diameter cm, kelas diameter cm, dan kelas diameter cm. Dapat dilihat di Tabel 10 bahwa pada kelas diameter cm, meskipun stok yang tersedia terdapat sebanyak tiga pohon, namun jumlah tersebut tidak dapat ditebang seluruhnya sebab pohon pengganti yang pindah dari kelas diameter cm hanya sebanyak dua pohon, sehingga yang boleh ditebang hanyalah satu batang. Pada kelas diameter cm tidak tersedia data riap, maka akumulasi jumlah tebangan pada

22 58 kondisi normal hanyalah 61 batang/ha. Sedangkan untuk perhitungan selanjutnya yakni kelas diameter cm, menggunakan konsep perhitungan yang sama dengan alternatif pengaturan hasil jenis jati sebelumnya sehingga diperoleh sebanyak 60 batang/ha yang boleh ditebang pada kelas diameter cm. Tabel 9 dan Tabel 10 telah menginformasikan bahwa jumlah pohon yang boleh ditebang dengan satuan batang per hektar adalah sebanyak 24 batang untuk jenis jati dan sebanyak 61 batang untuk jenis mahoni. Sedangkan untuk satuan per petani telah tersaji pada Lampiran 7, yakni sebanyak 21 batang untuk jenis jati dan sebanyak 81 batang untuk jenis mahoni. Melalui jumlah tersebut pun dapat diketahui pendapatan yang akan diperoleh petani bila alternatif tersebut diterapkan seperti yang tersaji pada Tabel 11. Perbedaan banyaknya jumlah batang yang boleh ditebang antara satuan per hektar dan per petani dipengaruhi oleh faktor luas lahan baik tegalan maupun pekarangan yang dimiliki petani, sebab dalam mengkonversi satuan dari per hektar menjadi per petani memerlukan data luas lahan hutan rakyat milik responden seperti yang tertera pada Lampiran 8. Tabel 11 Perbandingan produksi dan pendapatan pengaturan hasil saat kini terhadap alternatifnya A Jumlah tebangan per tahun (batang/th) Pengaturan hasil menurut Jenis Realisasi pengaturan hasil saat kini** jumlah batang pohon Per Hektar Per Petani* Rata-rata Min Max Jati Mahoni B Harga tegakan rata-rata per batang (Rp/batang)*** Jati Mahoni C Pendapatan per petani (Rp/KK/th) Pengaturan hasil menurut Jenis Realisasi pengaturan hasil saat kini** jumlah batang pohon Per Hektar Per Petani Rata-rata Min Max Jati Mahoni Rata-rata kebutuhan D petani per tahun (Rp /KK/th) **** Keterangan: * = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 7 ** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 4 *** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 9 **** = Hasil olahan data Mulyani (2012) Pada Tabel 11, diketahui bahwa rata-rata kebutuhan petani per tahun dapat terpenuhi bila alternatif pengaturan hasil ini diterapkan. Berdasarkan hasil olahan

23 59 data Mulyani (2012), kebutuhan tersebut merupakan hasil rata-rata kebutuhan dalam setahun yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, insidental, tabungan, pajak lahan per tahun, dan lain-lain. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui penebangan jenis mahoni yang sudah dapat diterapkan mulai tahun Meski kebutuhan ini dapat terpenuhi hanya dengan melakukan penebangan jenis jati, namun petani membutuhkan waktu selama 47 tahun untuk bisa menerapkannya. Bila diasumsikan tidak terjadi suatu hal yang dapat merubah kondisi tegakan saat ini, maka sangat dimungkinkan yang akan menikmati hasil tersebut adalah anak cucunya. Pada realisasinya, rata-rata produksi kayu per petani selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa tebangan sebesar Rp ,- (hasil penjumlahan dari rata-rata pendapatan per petani jenis jati dan mahoni pada realisasi produksi kayu per petani) telah melebihi rata-rata kebutuhan petani per tahun. Hal ini dimungkinkan terdapat suatu keperluan atau biaya tak terduga yang harus dipenuhi, sehingga harus melebihkan tebangan senilai dua juta rupiah. Sedangkan realisasi tebangan minimum dan maksimum yang dilakukan selama tujuh tahun terakhir, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan mendesak dari masing-masing petani. 5.6 Kendala dan Alternatif Solusi Sosial Penerapan Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang Kendala sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang Unit kelestarian hutan rakyat sangat terkait dengan pengaturan hasil, karena pengaturan hasil merupakan bagian dari unit kelestarian hutan rakyat dan merupakan salah satu yang harus diatur agar dapat mencapai kelestarian. Pembentukan suatu unit kelestarian hutan rakyat tergantung pada kesediaan ataupun kesadaran anggotanya dalam membentuk unit tersebut dan sekaligus menerapkan aturan-aturan atau kesepakatan bersama yang salah satunya adalah penerapan pengaturan hasil. Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang masih belum bisa disepakati oleh para petani hutan rakyat Desa Sumberejo. Namun, hal ini memiliki peluang untuk diimplementasikan apabila kendala-kendala dalam penerapannya dapat teratasi. Pada pengaturan hasil tersebut, dapat dipastikan petani akan berkeberatan bila harus menerapkan pengaturan hasil terutama untuk jenis jati

24 60 sebab membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, petani dapat menutupi kekurangan kebutuhan dana hanya dengan menebang jenis mahoni. Seperti yang diketahui bahwa harga tegakan mahoni lebih rendah dibanding jati dan bila dikonversikan ke dalam rupiah, maka satu batang jati berdiameter tertentu akan setara dengan tiga batang mahoni yang berdiameter sama. Oleh sebab itu dalam kebutuhan yang sama, tegakan mahoni akan lebih banyak ditebang dibanding jati. Terkait hal tersebut, petani yang menjadi responden dalam penelitian ini diwawancarai mengenai kesediaannya terhadap alternatif pengaturan hasil menurut jumlah bantang seperti yang disajikan pada Tabel 12. Petani sebanyak dua puluh lima responden merupakan petani yang pada lahannya sudah dilakukan pengukuran potensi tegakan hutan rakyat. Tabel 12 Distribusi jawaban petani terhadap kesediaan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang Kesediaan petani menerapkan alternatif Frekuensi (orang) Persentase (%) pengaturan hasil menurut jumlah batang Bersedia Keberatan Jumlah Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang) Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat yang bersedia menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang adalah sebanyak 56%, sedangkan yang keberatan sebanyak 44%. Jumlah ini hampir berimbang, sehingga alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat saja diterapkan asal ada suatu solusi bagi para petani yang keberatan. Namun, solusi tersebut pun tergantung pada alasan kesediaan petani dalam menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Alasan petani bersedia untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang Alasan petani bersedia menerapkan alternatif Frekuensi Persentase pengaturan hasil menurut jumlah batang (orang) (%) 1. Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh Pertimbangan biaya pendidikan Dapat mengamankan kayu 9 36 Jumlah Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang) Dilihat dari alasan para petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, dapat diketahui bahwa petani sadar akan

25 61 pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup petani. Selain pertimbangan untuk menghidupi anak cucu, petani pun merasa bahwa petani harus menjaga hutan yang ada saat ini mengingat kondisi gersang dan lahan kritis yang pernah petani alami beberapa tahun silam. 1) Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh Cukup banyak petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, yakni sebanyak empat orang (16%) dengan alasan atau pertimbangan bahwa dengan menerapkan pengaturan hasil, maka akan memberi kesempatan pohon untuk tumbuh besar. Petani menyadari bahwa pohon memerlukan waktu untuk tumbuh besar. Namun, alasan ini disertai dengan pertimbangan lain pula, yaitu agar petani dapat menebang pohon pada waktuya dengan ukuran besar sehingga petani dapat memperoleh penghasilan yang besar pula. 2) Pertimbangan biaya pendidikan Petani yang bersedia dengan alasan pertimbangan biaya pendidikan hanya terdapat satu orang (4%). Hal ini karena memang kebetulan dari empat belas orang responden yang bersedia, hanya satu responden yang masih punya tanggungan untuk membiayai sekolah anak yang baru duduk di tingkat sekolah dasar. Untuk responden lain, mayoritas anaknya sudah bekerja sehingga keperluan biaya anak yang masih sekolah dibantu oleh kakaknya. Pertimbangan ini tentunya karena responden memikirkan kehidupan masa depan anak cucu. Dengan menerapkan pengaturan hasil yang terdapat aturanaturan di dalamnya, maka responden beranggapan bahwa dapat menekan kebiasaan tebang butuh yang kerap kali dilakukan, sehingga akan terus tersedia kayu yang dapat menjadi tabungan bagi anaknya di kemudian hari. 3) Dapat mengamankan kayu Responden terbanyak sejumlah sembilan orang (36%) memiliki alasan bahwa dengan menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat mengamankan kayu. Responden berpikir apabila tidak ada pengaturan hasil, maka tebang butuh akan terus berjalan dan kayu pun lambat laun akan semakin sedikit, terlebih lagi bila penebangannya menjadi tidak terkendali. Keadaan ini mungkin saja akan berdampak sama dengan apa yang telah

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7 32 8 15

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

MANAJEMEN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA BARAT PENDAHULUAN

MANAJEMEN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA BARAT PENDAHULUAN MANAJEMEN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA BARAT Tri Sulistyati Widyaningsih, Dian Diniyati, dan Eva Fauziyah BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI AGROFORESTRY CIAMIS, JAWA BARAT PENDAHULUAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Perusahaan milik negara yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di Pulau Jawa dan Madura dengan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) LAMPIRAN 4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) 1 PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan pada hutan rakyat yang berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN Isi Materi Teknik Tk ikpenanaman Teknik Pemeliharaan Tanaman Evaluasi Hasil Penanaman Faktor Keberhasilan Penanaman Kesesuaian Tempat Tumbuh/Jenis Kesesuaian

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 26 BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN TANAMAN BAWANG MERAH

PEMELIHARAAN TANAMAN BAWANG MERAH PEMELIHARAAN TANAMAN BAWANG MERAH Oleh : Juwariyah BP3K Garum Indikator Keberhasilan : Setelah selesai mempelajari pokok bahasan ini peserta diharapkan mampu : a. Menjelaskan kembali penyulaman tanaman

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan Agronomis Bawang prei termasuk tanaman setahun atau semusim yang berbentuk rumput. Sistem perakarannya

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. F) merupakan salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai macam keperluan pertukangan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN JARAK TANAM TERHADAP HASIL TANAMAN KACANG PANJANG ( VIGNA SINENSIS ) OLEH NINDA AYU RACHMAWATI

PENGARUH PENGGUNAAN JARAK TANAM TERHADAP HASIL TANAMAN KACANG PANJANG ( VIGNA SINENSIS ) OLEH NINDA AYU RACHMAWATI PENGARUH PENGGUNAAN JARAK TANAM TERHADAP HASIL TANAMAN KACANG PANJANG ( VIGNA SINENSIS ) OLEH NINDA AYU RACHMAWATI 10712027 POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Teh termasuk famili Transtromiceae dan terdiri atas dua tipe subspesies dari Camellia sinensis yaitu Camellia sinensis var. Assamica dan Camellia sinensis var.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati dikenal sebagai kayu mewah karena kekuatan dan keawetannya dan merupakan salah satu tanaman yang berkembang baik di indonesia. Hal tersebut tercermin dari

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT OLEH PETANI DI KABUPATEN CIAMIS Oleh: Dian Diniyati dan Eva Fauziyah ABSTRAK

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT OLEH PETANI DI KABUPATEN CIAMIS Oleh: Dian Diniyati dan Eva Fauziyah ABSTRAK PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT OLEH PETANI DI KABUPATEN CIAMIS Oleh: Dian Diniyati dan Eva Fauziyah ABSTRAK Kegiatan pengelolaan hutan rakyat telah dilakukan oleh petani sudah sangat lama, dengan teknik yang

Lebih terperinci

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Pendahuluan Tomat dikategorikan sebagai sayuran, meskipun mempunyai struktur buah. Tanaman ini bisa tumbuh baik didataran rendah maupun tinggi mulai dari 0-1500 meter dpl,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

Sumber : Manual Pembibitan Tanaman Hutan, BPTH Bali dan Nusa Tenggara.

Sumber : Manual Pembibitan Tanaman Hutan, BPTH Bali dan Nusa Tenggara. Penyulaman Penyulaman dilakukan apabila bibit ada yang mati dan perlu dilakukan dengan segera agar bibit sulaman tidak tertinggal jauh dengan bibit lainnya. Penyiangan Penyiangan terhadap gulma dilakukan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Desa Cipelang Desa Cipelang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor, desa ini memiliki luas daerah

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Sanggar Penelitian, Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Para Aktor Dalam rantai nilai perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat, terlibat beberapa aktor (stakeholder) untuk menghasilkan suatu produk jadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida 5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida Berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata penerimaan kotor antar varietas padi terdapat perbedaan, kecuali antara

Lebih terperinci

BUDIDAYA SUKUN 1. Benih

BUDIDAYA SUKUN 1. Benih BUDIDAYA SUKUN Sukun merupakan tanaman tropis sehingga hampir disemua daerah di Indonesia ini dapat tumbuh. Sukun dapat tumbuh di dataran rendah (0 m) hingga dataran tinggi (700 m dpl). Pertumbuhan optimal

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Jati merupakan kayu yang memiliki banyak keunggulan, antara lain yaitu jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna (2005) yang menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU Ubi kayu diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Alasan dipergunakan bahan tanam dari perbanyakan vegetatif (stek) adalah selain karena lebih mudah, juga lebih ekonomis bila

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN BAB III PERSIAPAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA. Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta

IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA. Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta Hasil penilaian yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian 5 2 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas: 1) Pengaruh alelopati daun dan ranting jabon terhadap pertumbuhan, produksi rimpang dan kandungan kurkumin tanaman kunyit, 2) Pengaruh pemupukan terhadap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat Pengusahaan hutan rakyat di Desa Burat dapat diuraikan berdasarkan beberapa aspek seperti status lahan, modal, SDM, pelaksanaan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean Hutan kemenyan berawal dari hutan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia. Pohon kemenyan tumbuh secara alami di hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan dan binatang yang hidup di dalamnya terancam punah. Selain itu, masih banyak manusia yang menggantungkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

TEKNIS BUDIDAYA TEMBAKAU

TEKNIS BUDIDAYA TEMBAKAU TEKNIS BUDIDAYA TEMBAKAU ( Nicotiana tabacum L. ) Oleh Murhawi ( Pengawas Benih Tanaman Ahli Madya ) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya A. Pendahuluan Penanam dan penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk Standar Nasional Indonesia Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk ICS 65.020.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang diminati dan paling banyak dipakai oleh masyarakat, khususnya di Indonesia hingga

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian III. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut

Lebih terperinci

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013 PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH 1 BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH Budidaya untuk produksi benih sedikit berbeda dengan budidaya untuk produksi non benih, yakni pada prinsip genetisnya, dimana

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober Januari 2014 di

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober Januari 2014 di BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013- Januari 2014 di Laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung dan Laboratorium Rekayasa Sumber

Lebih terperinci

Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur

Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP., MP. Menyempitnya lahan-lahan pertanian ternyata bukan suatu halangan untuk mengusahakan budidaya tanaman sayuran. Sistem vertikultur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR

UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR Edisi Khusus Masalah Cendana NTT Berita Biologi, Volume 5, Nomor 5, Agustus 2001 UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR Sundoro Darmokusumo, Alexander Armin Nugroho, Edward Umbu

Lebih terperinci

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU YAYASAN SEKA APRIL 2009 RANGKUMAN EKSEKUTIF Apa: Untuk mengurangi ancaman utama terhadap hutan hujan dataran rendah yang menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2015 di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2015 di 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2015 di Green House Laboratorium Lapangan Terpadu dan Laboratorium Teknik Sumber Daya Air

Lebih terperinci

Pemeliharaan Ideal Pemeliharaan ideal yaitu upaya untuk mempertahankan tujuan dan fungsi taman rumah agar sesuai dengan tujuan dan fungsinya semula.

Pemeliharaan Ideal Pemeliharaan ideal yaitu upaya untuk mempertahankan tujuan dan fungsi taman rumah agar sesuai dengan tujuan dan fungsinya semula. PEMELIHARAAN Dalam proses pembuatan taman pemeliharaan merupakan tahapan yang terakhir, namun tahapan ini merupakan tahapan yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Keberhasilan pemeliharaan bahkan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan kebun Desa Pujon (1200 meter di atas permukaan laut) Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Jenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah

Jenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah PERBENIHAN 1 Pengadaan benih tanaman hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kegiatan pengadaan benih mencakup beberapa kegiatan

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

Pemeliharaan merupakan pekerjaan yang terakhir. Keberhasilan pembuatan taman menunjukkan keberhasilan pemeliharaan taman dan sebaliknya.

Pemeliharaan merupakan pekerjaan yang terakhir. Keberhasilan pembuatan taman menunjukkan keberhasilan pemeliharaan taman dan sebaliknya. Pemeliharaan merupakan pekerjaan yang terakhir. Keberhasilan pembuatan taman menunjukkan keberhasilan pemeliharaan taman dan sebaliknya. Pemeliharaan direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan disain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL 6.1 Sarana Usahatani Kembang Kol Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani. Saran produksi pada usahatani kembang kol terdiri dari bibit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan 47 PEMBAHASAN Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting dilakukan dalam pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunastunas liar seperti cabang-cabang yang tidak produktif, cabang

Lebih terperinci

MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN

MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN MENAKSIR VOLUME POHON BERDIRI DENGAN PITA VOLUME BUDIMAN Oleh Budiman Achmad Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis HP : 081320628223 email : budah59@yahoo.com Disampaikan pada acara Gelar Teknologi

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada 27 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada 105 13 45,5 105 13 48,0 BT dan 05 21 19,6 05 21 19,7 LS, dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan.

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Hasil Penelitian.1.1 Pertumbuhan diameter S. leprosula Miq umur tanam 1 4 tahun Hasil pengamatan dan pengukuran pada 4 plot contoh yang memiliki luas 1 ha (0 m x 0 m) dapat

Lebih terperinci