II. PEWILAYAHAN HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI DI PANTURA BANTEN, PANTURA JAWA BARAT DAN KABUPATEN GARUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. PEWILAYAHAN HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI DI PANTURA BANTEN, PANTURA JAWA BARAT DAN KABUPATEN GARUT"

Transkripsi

1 II. PEWILAYAHAN HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI DI PANTURA BANTEN, PANTURA JAWA BARAT DAN KABUPATEN GARUT 2.1. Pendahuluan Pewilayahan hujan merupakan suatu proses pengelompokkan atau klasifikasi data curah hujan yang berasal dari banyak stasiun menjadi beberapa kelompok yang didasarkan pada kesamaan sifat atau karakter. Sistem klasifikasi curah hujan di Indonesia yang sudah tua adalah pewilayahan hujan dari Borema (1933), klasifikasi tipe hujan dari Schmidt dan Ferguson (1951), serta klasifikasi zona agroklimat dari Oldeman (1975). Klasifikasi-klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering. Sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) dan Oldeman (1975) digunakan oleh Pramudia, Kartiwa, Susanti dan Amien (1994) serta Estiningtyas, Pramudia dan Runtunuwu (1995) untuk menyusun informasi agroklimat dan karakterisasi curah hujan di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan perkembangan sains pada beberapa dekade terakhir, para ahli mulai menerapkan teknik-teknik analisis statistik atau kalkulus dan pemodelan dalam melakukan pewilayahan hujan. Tim Puslittanak (1994, 1995, 1996) melakukan analisis pewilayahan hujan di berbagai wilayah di Indonesia menggunakan kombinasi analisis komponen utama (principle component analysis, PCA) dan analisis gerombol (cluster analysis) konvensional (crisp) dengan metode k-rataan tanpa hirarki (k-mean nonhierachical methods). Dalam penggunaan teknik PCA tersebut analisis hanya dilakukan terhadap sebagian data yang menjelaskan 75-80% dari keseluruhan keragaman data, sementara sisa 20-25% data lainnya tidak digunakan karena dianggap resesif atau tidak dominan dalam sebaran data atau merupakan

2 11 data pencilan (outlier). Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa, untuk tujuan pewilayahan, apabila sisa data 20-25% yang tidak digunakan dalam analisis ternyata memiliki karakteristik yang khas dan dapat mewakili satu atau lebih wilayah tersendiri, maka analisis pewilayahan dengan metode analisis komponen utama menjadi bias dan bahkan dapat menghilangkan informasi yang sebetulnya sangat penting. Syahbuddin, Apriyana, Pramudia dan Las (1999) serta Suciantini, Apriana, Surmaeni dan Darmijati (2001) melakukan karakterisasi curah hujan, deret hari kering, dan indeks Palmer untuk menetapkan wilayah rawan kekeringan. Penentuan wilayah menggunakan analisis gerombol dengan teknik crisp berdasarkan jarak kedekatan nilai (neighbourhood) curah hujan rata-rata antar stasiun. Las, Unadi, Subagyono, Syahbuddin dan Runtunuwu (2007) menggunakan pewilayahan yang menggambarkan kondisi rata-rata curah hujan tahunan untuk membantu analisis kalender tanam. Hasil pewilayahan hujan tahunan dari Las et al. (2007) pada kondisi normal untuk Provinsi Banten disajikan pada Gambar 2, untuk Wilayah Pantura Jawa Barat pada Gambar 3 dan untuk Kabupaten Garut pada Gambar 4. Klir dan Bo Yuan (1995) mengemukakan bahwa, teknik penentuan batas kelas atau batas wilayah di dalam metode konvensional (crisp) sangat tegas dan memerlukan pertimbangan yang subyektif untuk menjelaskan hasil klasifikasinya. Selanjutnya Klir dan Bo Yuan (1995) memperkenalkan metode gerombol fuzzy (fuzzy clustering) sebagai alternatif dalam teknik pengelompokkan. Dalam metode gerombol fuzzy, penentuan batas kelas atau batas wilayah mempertimbangkan hubungan kedekatan antar data secara gradual, sehingga umumnya menghasilkan klasifikasi yang lebih mulus dan lebih mudah diinterpretasi. Ilustrasi perbedaan dalam penentuan batas kelas dengan teknik crisp dan teknik fuzzy disajikan pada Gambar 5.

3 12 Gambar 2. Pewilayahan hujan di Provinsi Banten menurut Las et al. (2007). Gambar 3. Pewilayahan hujan di Subang-Karawang menurut Las et al. (2007).

4 13 Gambar 4. Pewilayahan hujan di Kabupaten Garut menurut Las et al. (2007). Gambar 5. Gambaran perbedaan konsep dalam penentuan garis batas antara (a) teknik fuzzy dengan (b) teknik konvensional (crisp) (Klir dan Bo Yuan, 1995).

5 14 Kronenfeld (2003) memanfaatkan teknik pengelompokkan fuzzy untuk mengembangkan kerangka pengurangan data melalui analisis klasifikasi terhadap data geografi kontinyu dengan menggunakan beberapa nilai keanggotaan fuzzy (q). Teknik klasifikasi yang dilakukan adalah teknik klasifikasi k-means fuzzy (fuzzy K-means clustering algorithm). Analisis Kronenfeld menghasilkan nilai keanggotaan fuzzy (q) yang memberikan hasil klasifikasi optimum. Panagoulia, Bardossy dan Lourmas (2006) menggunakan teknik klasifikasi fuzzy untuk membedakan hasil prediksi keragaman curah hujan saat ini ( ) dengan hasil prediksi 100 tahun ke depan ( ). Prediksi dan pembangkitan data curah hujan dilakukan melalui model stokastik multivariat (multivariate downscaling stochastic models) yang dikombinasikan dengan model sirkulasi atmosfer. Hasil prediksi keduanya kemudian dianalisis melalui klasifikasi fuzzy untuk melihat apakah kondisi keduanya berbeda atau tidak. Panagoulia et al. (2006) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kondisi curah hujan antara saat ini dengan periode 100 tahun mendatang. Klir dan Bo Yuan (1995) mengemukakan bahwa terdapat dua teknik klasifikasi dengan metode fuzzy, yaitu berdasarkan nilai C-rata-rata (fuzzy C- means clustering methods) dan berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy (fuzzy clustering methods based upon fuzzy equivalence relations). Pada teknik pertama berdasarkan nilai C-rata-rata, jumlah kelas sudah ditetapkan pada awal sebelum analisis dilakukan. Sehingga untuk mendapatkan jumlah kelas yang tepat perlu dilakukan coba-coba (trial and error) melalui beberapa kali analisis. Sebaliknya, pada teknik kedua berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy jumlah kelas dapat ditentukan berdasarkan tingkat ekivalensi antar data dan tergantung pada struktur dan karakteristik data. Pada kedua teknik ini

6 15 diperlukan subyektivitas dalam menentukan jumlah kelas, namun penentuan jumlah kelas pada teknik kedua lebih mudah daripada teknik pertama. Dalam penentuan klasifikasi berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy, analisis diselesaikan melalui dua tahap, yaitu diawali dengan menentukan relasi kompatibilitas fuzzy dan kemudian menentukan relasi ekivalensi fuzzy. Relasi kompatibilitas fuzzy, bersifat simetrik dan refleksif, menggambarkan fungsi jarak yang diterapkan pada set data tertentu. Relasi ekivalensi fuzzy ditetapkan sebagai hampiran transitif dari relasi kompatibilitas fuzzy. Relasi kompatibilitas fuzzy R terhadap suatu set data X didefinisikan sebagai bentuk fungsi jarak kelas Minowski yang dihitung sebagai berikut: (Klir dan Bo Yuan, 1995). R (x,x ) = 1 δ( i k p j= 1 x ij x Untuk semua <x i, x k > X, dimana q R +, dan δ adalah tetapan jarak yang memastikan bahwa R(x i, x k ) [0,1]. Lebih jelasnya δ adalah nilai invers dari jarak terbesar dalam X. Apabila R adalah suatu relasi kompatibilitas fuzzy pada satu set universal X dengan X = n. Kemudian hampiran max-min transitif R adalah relasi R (n-1). Penghitungan hampiran transitif R T = R (n-1) dengan menghitung relasi sekuens: q kj ) 1 q R R R ( 2 ) ( 4 )... n 2 = R o R = = R R ( 2 ) o R n 1 ( 2 ) ( 2 ) o R n 1 ( 2 ) (Klir dan Bo Yuan, 1995). Suatu relasi fuzzy R(X,X) adalah transitif (atau lebih spesifik, max-min transitif), jika:

7 16 [R o R](x,z) max min[r(x, y),r(y, z)] y Y (Klir dan Bo Yuan, 1995). Tahap ini bertujuan untuk melakukan pewilayahan hujan di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat (Subang-Karawang) dan Kabupaten Garut menggunakan teknik gerombol fuzzy, serta menyajikan hasil pewilayahan tersebut dalam peta wilayah hujan. Peta wilayah hujan kemudian ditumpangtepatkan dengan peta sebaran sawah untuk menentukan stasiun-stasiun pewakil di masing-masing wilayah hujan dominan yang merupakan sentra produksi padi Bahan dan Metode Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil studi kasus di sentra produksi padi di Pantura Banten (Kabupaten Serang dan sekitarnya) dan Pantura Jawa Barat (Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang), serta sebagai pembanding dilakukan juga di wilayah bukan sentra produksi padi, yaitu Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Gambar 6) Bahan Penelitian Bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian pada tahapan kegiatan ini, antara lain: (1) Data harian curah hujan bulanan dari 62 stasiun curah hujan di Pantura Banten, 75 stasiun curah hujan di Pantura Jawa Barat (Karawang dan Subang) dan 14 stasiun curah hujan di Kabupaten Garut hasil pengamatan selama periode (umumnya lebih dari 10 tahun pengamatan).

8 17 (2) Peta-peta pendukung, meliputi peta sebaran stasiun hujan, peta administrasi, peta topografi/kontur dan peta sebaran sawah di wilayah penelitian Gambar 6. Denah umum lokasi studi Penghitungan Curah Hujan Rata-rata Pada tahap ini dilakukan penghitungan nilai rata-rata curah hujan bulanan dari setiap stasiun yang mewakili rata-rata kondisi tahun Normal, tahun El-Nino dan tahun La-Nina, berdasarkan historis kejadian El-Nino dan La-Nina selama periode yang merujuk pada kondisi indikator nilai anomali suhu permukaan laut (anomali SST) pada zona Nino-3,4. Berdasarkan data curah hujan bulanan tersebut, kemudian dikaji bagaimana kondisi rata-rata curah hujan musiman pada kondisi normal, dan pada saat terjadi anomali iklim El-Nino dan La-Nina.

9 18 Batasan kondisi tahun Normal, tahun La-Nina dan tahun El-Nino mengikuti kriteria yang dikemukakan Tim Puslittanak (1996) dalam Pramudia (2002) dimana satu periode dikatakan Normal apabila indikator anomali suhu permukaan laut pada zone Nino-3,4 berada pada kisaran antara -0,5 dan 0,5 o C, dikatakan El-Nino apabila anomali suhu permukaan laut pada zone Nino- 3,4 lebih kecil dari -0,5 o C, dikatakan La-Nina apabila anomali suhu permukaan laut pada zone Nino-3,4 lebih besar dari 0,5 o C Analisis Pewilayahan Hujan Analisis pewilayahan hujan menggunakan metode pengelompokkan fuzzy berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy (fuzzy clustering methods based upon fuzzy equivalence relations), dimana jumlah kelas tergantung pada struktur dan karakteristik data yang dianalisis. Tahapan analisis pewilayahan hujan adalah sebagai berikut: (1) Analisis pewilayahan dilakukan terhadap data curah hujan bulanan baik yang mewakili kondisi rata-rata tahun Normal, tahun El-Nino, maupun tahun La-Nina. (2) Dibuat matriks jarak Minowski, yang merupakan beda nilai curah hujan antara stasiun ke-i dengan stasiun ke-k pada bulan ke-j. X ( ik)j = xij xkj dimana X (ik)j = matriks jarak Minowski pada bulan ke-j antara stasiun ke-i dengan stasiun ke-k, x ij = nilai curah hujan di stasiun ke-i pada bulan ke-j, dan x kj = nilai curah hujan di stasiun ke-k pada bulan ke-j. (3) Disusun matrik kompatibilitas fuzzy R yang merupakan fungsi jarak kelas Minowski. R (x,x i k ) = 1 δ( 12 j= 1 x ij x kj q ) 1 q

10 19 dimana R(x i,x k ) = matriks kompatibilitas fuzzy, x ij = nilai curah hujan di stasiun ke-i pada bulan ke-j, dan x kj = nilai curah hujan di stasiun ke-k pada bulan ke-j, j = indeks untuk bulan bernilai 1 untuk bulan Januari dan bernilai 12 untuk bulan Desember, δ = tetapan jarak yang menjadikan nilai-nilai komponen matriks R akan bernilai antara 0 dan 1 (R(x i,x k ) [0,1]), tetapan jarak merupakan nilai invers dari jarak terbesar dalam X (ik)j, dan q = nilai keanggotaan fuzzy. (4) Dilakukan proses hampiran max-min transitif (RoR) terhadap matrik kompatibilitas R: [R o R](x,z) max min[r(x, y),r(y, z)] y Y (5) Dilakukan proses penggabungan matriks R dengan matrik RoR sehingga menghasilkan matriks R (R = R U RoR) [ R (RoR)](x,y) = max[r(x,y),(ror)(x,y)] (6) Apabila matriks R yang dihasilkan belum merupakan matriks transitif maka matriks R ditetapkan sebagai matrik R dan dilakjukan iterasi dengan melangkah kembali pada proses langkah (4) dan (5) sedemikian rupa sehingga dihasilkan suatu matriks ekivalensi R T yang transitif. (7) Matriks ekivalensi transitif R T yang dihasilkan kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk diagram hubungan antara tingkat ekivalensi antar stasiun hujan dengan wilayah hujan yang terbentuk. (8) Dilakukan interpretasi terhadap hasil analisis di atas untuk menentukan wilayah-wilayah hujan yang terbentuk serta stasiunstasiun yang masuk dalam wilayah tersebut. Agar dihasilkan informasi pewilayahan hujan yang lebih informatif maka penyajian dilakukan secara spasial dalam bentuk peta pewilayahan hujan. Penarikan batas

11 20 wilayah hujan mempertimbangkan kondisi topografi dan fisiografi lahan. (9) Peta pewilayahan hujan kemudian ditumpang-tepatkan dengan peta sebaran sawah dan peta sebaran stasiun curah hujan. Pada wilayahwilayah hujan yang memiliki sebaran sawah yang paling luas kemudian ditentukan stasiun-stasiun pewakilnya. Batasan yang digunakan untuk menentukan stasiun pewakil adalah bahwa stasiun tersebut memiliki data yang paling lengkap dan paling kontinyu Hasil dan Pembahasan Kondisi Rata-rata Curah Hujan menurut Skenario Anomali Iklim El-Nino dan La-Nina, dan tahun Normal Pada Tabel 2 disajikan kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang (Pantura Banten), Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang (Pantura Jawa Barat), dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode Pada kondisi Normal, Kabupaten Serang memiliki rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, Kabupaten Karawang memiliki rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, Kabupaten Subang memiliki rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, dan Kabupaten Garut memiliki rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun. Pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Karawang menurun 16% menjadi mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina meningkat 3% menjadi mm/tahun. Di Kabupaten Subang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 1% menjadi mm/tahun. Di Kabupaten

12 21 Serang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 12% menjadi mm/tahun. Di Kabupaten Garut, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 9% menjadi mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 14% menjadi mm/tahun. Tabel 2. Kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode Kabupaten/Wilayah (Jumlah stasiun CH) Kondisi Rata-rata Curah Hujan Tahunan menurut Skenario Anomali Iklim (mm) Tahun El-Nino Tahun La-Nina Tahun Normal Serang/Pantura Banten MH (Jan-Apr) 991 (95%) (103%) (100%) MK1 (Mei-Agu) 334 (89%) 460 (121%) 378 (100%) MK2 (Sep-Des) 450 (69%) 776 (119%) 652 (100%) Tahunan (86%) (112%) (100%) Karawang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 745 (91%) 772 (95%) 815 (100%) MK1 (Mei-Agu) 96 (62%) 192 (126%) 153 (100%) MK2 (Sep-Des) 278 (76%) 405 (111%) 366 (100%) Tahunan (84%) (103%) (100%) Subang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 814 (93%) 796 (91%) 874 (100%) MK1 (Mei-Agu) 134 (74%) 205 (114%) 181 (100%) MK2 (Sep-Des) 365 (79%) 530 (114%) 464 (100%) Tahunan (86%) (101%) (100%) Kabupaten Garut MH (Jan-Apr) (121%) (91%) (100%) MK1 (Mei-Agu) (73%) 625 (171%) 365 (100%) MK2 (Sep-Des) 508 (57%) (124%) 895 (100%) Tahunan (91%) (114%) (100%) Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan nisbah terhadap nilai ratarata curah hujan musiman atau tahunan pada tahun Normal.

13 22 Gambaran di atas menunjukkan bahwa pada ketiga skenario anomali iklim, Kabupaten Karawang dan Subang di pantura Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan yang paling rendah dibandingkan Kabupaten Serang dan Kabupaten Garut. Kabupaten Garut yang berada di wilayah pegunungan merupakan wilayah yang memiliki curah hujan tahunan yang paling tinggi dibandingkan Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten pada ketiga skenario anomali iklim. Hal ini terkait dengan kondisi topografi Kabupaten Karawang dan Subang yang didominasi oleh dataran rendah dengan fisiografi yang datar, sebaliknya Kabupaten Garut merupakan dataran tinggi dengan fisiografi yang bergunung-gunung. Dilihat dari perubahan jumlah curah hujan tahunan menurut skenario anomali iklim, pada kondisi El-Nino penurunan curah hujan tahunan yang besar sekitar 14-16% di Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten mengakibatkan kondisi curah hujan menjadi berada di bawah kisaran rata-rata normal, sedangkan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan hanya sekitar 9% dan masih di sekitar rata-rata normal. Sebaliknya, pada kondisi La-Nina, peningkatan curah hujan tahunan yang besar terjadi Pantura Banten dan Kabupaten Garut, yaitu sekitar 12-14%, sedangkan di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan tahunan hanya terjadi sekitar 1-3%. Namun demikian di semua lokasi perubahan curah hujan masih mengakibatkan curah hujan tahunan berada pada kisaran rata-rata normal. Hal ini menunjukkan bahwa skenario iklim El-Nino lebih berpengaruh pada wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan yang rendah dan topografi dan fisiografi yang relatif seragam, sedangkan skenario iklim La-Nina lebih berpengaruh di wilayah Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi dengan topografi dan fisiografi lebih beragam.

14 23 Dilihat dari perubahan curah hujan musiman pada kondisi El-Nino, di Pantura Banten penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK2 (September-Desember) sebesar 31%, di Pantura Jawa Barat penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 (Mei-Agustus) sebesar 26-38%, dan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan terbesar terjadi pada MK2 sebesar 43%. Pada kondisi La-Nina, di Pantura Banten peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 21%, di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 14-26%, dan di Kabupaten Garut peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 71%. Respon perubahan terkecil akibat anomali iklim El-Nino dan La-Nina terhadap curah hujan musiman di ketiga lokasi terjadi pada MH (Januari-April) dengan kisaran 3-9%. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat perbedaan saat penurunan curah hujan musiman terbesar akibat anomali iklim di Pantura Jawa Barat dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut. Respon di wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan lebih rendah, topografi rendah dan fisiografi relatif datar terjadi lebih cepat dibandingkan dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih beragam. Perubahan curah hujan terhadap kondisi anomali iklim La-Nina terjadi lebih serempak di ketiga lokasi dibandingkan respon terhadap kondisi anomali iklim El-Nino. Penjelasan di atas juga menggambarkan bahwa dampak skenario anomali iklim El-Nino dan La-Nina lebih terlihat jelas pada saat periode curah hujan rendah (MK1 dan MK2) dibandingkan pada saat periode curah hujan tinggi (MH). Diduga bahwa faktor topografi, fisiografi, bentuk penutupan, serta sebaran ketinggian tempat di atas permukaan laut (meter dpl) mempengaruhi keragaman jumlah curah hujan tersebut. Kabupaten Karawang memiliki

15 24 topografi dan fisiografi yang dominan datar, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan rawa, serta memiliki ketinggian tempat (altitude) dominan berkisar antara meter dpl. Sebagian kecil wilayah Kabupaten Karawang di bagian selatan memiliki topografi berbukit, fisiografi bergelombang hingga berbukit, bentuk penutupan lahan umumnya adalah semak belukar, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara meter di atas permukaan laut. Toposekuen Kabupaten Karawang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa. Kabupaten Subang di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan datar hingga bergelombang, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan perkebunan tebu, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara meter dpl. Sementara itu, Kabupaten Subang di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang, berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan perkebunan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 meter dpl di sekitar Kota Subang hingga meter dpl di puncak Gunung Tangkubanperahu. Toposekuen Kabupaten Subang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa. Kabupaten Serang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih dominan, yaitu datar, bergelombang dan bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis, sawah tadah hujan, kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar meter dpl di sekitar Kota Serang dan Cilegon, hingga ketinggian meter dpl di puncak Gunung Karang. Toposekuen Kabupaten Serang sebagian ke arah utara menghadap Laut Jawa dengan kondisi kelerengan yang relatif landai, dan sebagian lainnya ke arah barat menghadap Selat Sunda dengan kondisi kelerengan yang lebih curam.

16 25 Kabupaten Garut di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan bergunung-gunung dan plato, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah tadah hujan, sawah setengah teknis, semak belukar dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat dominan berkisar antara 750 meter dpl di sekitar Garut Kota hingga lebih dari meter dpl di puncak Gunung Guntur, puncak Gunung Galunggung, puncak Gunung Cikurai, dan puncak Gunung Papandayan. Sementara itu, Kabupaten Garut di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang dan berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara meter dpl. Toposekuen Kabupaten Garut bagian utara adalah plato yang dikelilingi gunung-gunung, sedangkan toposekuen Kabupaten Garut bagian selatan adalah ke arah selatan menghadap Lautan Indonesia Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun Analisis gerombol dengan metode fuzzy menghasilkan nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal. Kisaran nilai-nilai ekivalensi curah hujan bulanan antar stasiun di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat dan Kabupaten Garut menurut skenario kondisi anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal disajikan pada Tabel 3. Pada tahun Normal, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Banten, yaitu sebesar 0,24 berada pada kisaran nilai 0,71-0,95 dengan nilai tengah 0,82. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,62 pada kisaran nilai 0,33-0,95 dengan nilai tengah 0,88. Di Pantura Jawa Barat, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar 0,29 pada kisaran nilai 0,67-0,96 dengan nilai tengah 0,90.

17 26 Tabel 3. Kisaran nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun di lokasi penelitian pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal. Kabupaten/Wilayah Kisaran Nilai Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun El-Nino La-Nina Normal Wilayah Pantura Banten 0,58 0,96 (0,85) 0,54 0,95 (0,87) 0,71 0,95 (0,82) Wilayah Pantura Jawa Barat (Karawang-Subang) 0,68 0,96 (0,90) 0,71 0,96 (0,87) 0,67 0,96 (0,90) Wilayah Kabupaten Garut 0,50 0,93 (0,80) 0,19 0,89 (0,85) 0,33 0,95 (0,88) Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan median dari kisaran nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun. Pada tahun Normal tingkat keseragaman curah hujan di Pantura Banten lebih besar dibandingkan wilayah Pantura Jawa Barat maupun Kabupaten Garut, sebaliknya keberagaman data curah hujan di Kabupaten Garut lebih besar dibandingkan wilayah Pantura Banten maupun Pantura Jawa Barat. Diduga hal ini disebabkan oleh posisi stasiun-stasiun curah hujan di wilayah Pantura Banten yang terletak pada topografi, fisiografi dan ketinggian yang relatif sama, yaitu pada lahan yang berfisiografi datar hingga bergelombang dengan ketinggian tidak lebih dari 500 meter dpl. Hanya beberapa stasiun yang terletak di tempat yang fisiografinya berbukit hingga bergunung dengan ketinggian lebih dari 500 meter dpl. Di Kabupaten Garut, stasiun-stasiun curah hujan menyebar pada topografi, fisiografi, ketinggian dan toposekuens yang sangat beragam. Di Pantura Jawa Barat letak stasiunstasiun curah hujan umumnya pada topografi, fisiografi, ketinggian, dan toposekuens yang seragam, kecuali beberapa stasiun yang terletak di bagian selatan Kabupaten Subang, terletak pada topografi, fisiografi, ketinggian yang relatif lebih beragam. Pada tahun El-Nino, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Jawa` Barat, yaitu sebesar 0,28 berada pada kisaran nilai 0,68-0,96 dengan nilai tengah 0,90. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di

18 27 Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,43 pada kisaran nilai 0,50-0,93 dengan nilai tengah 0,80. Di Pantura Banten, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar 0,38 pada kisaran nilai 0,58-0,96 dengan nilai tengah 0,85. Pada tahun La-Nina, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Jawa` Barat, yaitu sebesar 0,25 berada pada kisaran nilai 0,71-0,96 dengan nilai tengah 0,87. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,70 pada kisaran nilai 0,19-0,89 dengan nilai tengah 0,85. Di Pantura Banten, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar 0,41 pada kisaran nilai 0,54-0,95 dengan nilai tengah 0,87. Pemaparan di atas menggambarkan bahwa secara umum di ketiga wilayah terdapat perubahan yang berbeda pada tingkat ekivalensi data curah hujan antar stasiun pada saat terjadi anomali iklim El-Nino maupun La-Nina dibvandingkan pada saat tahun Normal. Rata-rata tingkat ekivalensi data curah hujan antar stasiun pada saat terjadi anomali iklim di Pantura Banten meningkat atau lebih tinggi dibandingkan pada tahun Normal, di Pantura Jawa Barat lebih rendah atau sama dengan pada tahun Normal, sedangkan di wilayah Kabupaten Garut selalu lebih rendah daripada tahun Normal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya anomali iklim El-Nino dan La-Nina meningkatkan tingkat keberagaman data curah hujan antar stasiun di Pantura Jawa Barat dan wilayah Kabupaten Garut, sebaliknya menurunkan tingkat keberagaman data curah hujan antar stasiun di Pantura Banten. Membandingkan tingkat ekivalensi data curah hujan antara wilayah satu dengan lainnya, terlihat bahwa di wilayah Kabupaten Garut memiliki tingkat ekivalensi data curah hujan yang selalu lebih rendah dibandingkan wilayah Pantura Benten dan Pantura Jawa Barat pada saat terjadi anomali iklim El-Nino dan La-Nina. Sedangkan pada tahun Normal, tingkat ekivalensi data curah hujan di Pantura Banten selalu lebih rendah dibandingkan Pantura

19 28 Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Diduga bahwa kondisi lokal seperti topografi dan pola penutupan lahan, kondisi iklim global, dan interaksi keduanya turut berperanan dan mempengaruhi kondisi curah hujan yang menggambarkan adanya perubahan tingkat ekivalensi antar stasiun di ketiga wilayah tersebut. Tabel 4. Jumlah wilayah hujan yang dapat terbentuk di lokasi studi berdasarkan beberapa nilai ekivalensi antar stasiun hujan pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal. Skenario Nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun Nilai ekivalensi Anomali utk membentuk Iklim 0,90 0,85 0,80 0,75 0,70 0,65 0,60 <0,55 satu wilayah Wilayah Banten El-Nino ,58 La-Nina ,54 Normal ,71 Wilayah Karawang-Subang El-Nino ,68 La-Nina ,71 Normal ,67 Wilayah Garut El-Nino ,50 La-Nina ,19 Normal ,33 Pada tingkat ekivalensi yang lebih tinggi maka akan semakin banyak wilayah hujan yang terbentuk, sebaliknya apabila hasil pengelompokkan hanya diharapkan pada satu atau beberapa wilayah saja maka diperlukan tingkat ekivalensi yang lebih rendah. Semakin rendah tingkat ekivalensi, maka semakin sedikit wilayah hujan yang terbentuk. Tabel 4 menyajikan hubungan antara nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun dengan jumlah wilayah hujan yang dapat dibentuk. Terlihat bahwa pada tingkat ekivalensi 0.90 di Banten dapat dibentuk 31 wilayah hujan pada tahun El-Nino, 34 wilayah hujan pada tahun La-Nina dan 50 wilayah hujan pada tahun Normal. Sebaliknya pada tingkat ekivalensi 0,55, pada tahun El-Nino dan tahun

20 29 Normal, seluruh stasiun yang dianalisis di Banten dapat dikelompokkan menjadi satu wilayah hujan, sedangkan pada tahun la-nina dapat dikelompokkan menjadi dua wilayah hujan. Dengan demikian perlu ditentukan jumlah wilayah hujan yang ideal dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti topografi, penggunaan lahan, fisiografi, dan lain sebagainya Pewilayahan Hujan di Sentra Produksi Padi Wilayah-wilayah hujan di lokasi penelitian disusun berdasarkan hasilhasil analisis gerombol yang dilakukan pada nilai-nilai curah hujan tahunan. Hal ini juga ditujukan untuk memperbaiki hasil penyusunan wilayah hujan Las et al. (2007) yang menggunakan nilai curah hujan tahunan. Dengan mempertimbangkan kelayakan jumlah dan bentuk wilayah hujan terhadap kondisi topografi, fisiografi dan bentuk penggunaan lahan di lokasi studi, maka jumlah wilayah hujan di masing-masing wilayah atau kabupaten dapat dibentuk pada tingkat ekivalensi yang berbeda. Beberapa wilayah memiliki kisaran nilai curah hujan yang lebar, sehingga dengan mempertimbangkan nilai ekivalensi yang lebih tinggi kisaran tersebut dapat dibagi lagi menjadi sub-wilayah curah hujan. Analisis gerombol dan interpretasinya di ketiga lokasi pada tingkat ekivalensi 75-90% menghasilkan empat kelas curah hujan, yaitu (1) Wilayah I merupakan wilayah memiliki curah hujan rendah dengan intensitas <1.000 mm/tahun, (2) Wilayah II merupakan wilayah memiliki curah hujan sedang dengan intensitas mm/tahun, (3) Wilayah III merupakan wilayah memiliki curah hujan tinggi dengan intensitas mm/tahun, dan (4) Wilayah IV merupakan wilayah memiliki curah hujan sangat tinggi dengan intensitas >3.500 mm/tahun. Wilayah II, yang memiliki kisaran yang sangat lebar, pada tingkat ekivalensi 90-95% dapat dibagi lagi ke dalam tiga sub-wilayah, yaitu (1) Sub-wilayah IIA dengan intensitas curah

21 30 hujan mm/tahun, (2) Sub-wilayah IIB dengan intensitas curah hujan mm/tahun, dan (3) Sub-wilayah IIC dengan intensitas curah hujan mm/tahun. Sebaran kelas-kelas curah hujan secara spasial disajikan pada peta-peta wilayah hujan di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat dan Kabupaten Garut pada kondisi Normal, El-Nino dan La-Nina pada Gambar 7 hingga Gambar 15. Tahun Normal Analisis pewilayahan dengan metode gerombol fuzzy terhadap data curah hujan tahunan pada tahun normal menghasilkan pewilayahan yang lebih rinci dibandingkan dengan hasil-hasil dari Las et al. (2007). Hasil pewilayahan hujan tahunan pada kondisi normal disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9. Dibandingkan dengan Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4, terdapat perubahan luas dan cakupan wilayah hujan. Perbedaan jumlah atau kerapatan stasiun yang dilibatkan dalam analisis pewilayahan diduga merupakan salah satu hal yang mengakibatkan adanya perbedaan hasil analisis tersebut. Pada tahun Normal, curah hujan tahunan di Pantura Banten tersebar menjadi tiga wilayah hujan, Wilayah II, Wilayah III dan Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah II merupakan wilayah hujan yang paling luas menyebar di Propinsi Banten. Wilayah IIA dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun terdapat di sekitar 19 stasiun yang menyebar di wilayah dataran rendah dengan fisiografi data hingga bergelombang yang terdapat di pantai utara Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang hingga mendekati perbatasan dengan Kabupaten Lebak. Wilayah IIB dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun terdapat di 17 stasiun hujan yang menyebar di wilayah yang memiliki fisiografi

22 31 bergelombang hingga berbukit di sekitar Cilegon dan sebagian besar wilayah Kabupaten Lebak di bagian timur. Wilayah IIC dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun terdapat di 14 stasiun curah hujan yang menyebar wilayah berbukit hingga bergunung di bagian barat Kabupaten Serang, sebagian besar wilayah Pandeglang, dan Kabupaten Lebak bagian barat. Wilayah III dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun menyebar sekitar lereng dan puncak Gunung Karang di stasiun Mandalawangi, Menes dan Pasir Waringin, juga di Stasiun Cisalak Baru dan Sampang Peundeuy di Kabupaten Lebak. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Cikasungka, wilayah berbatasan dengan Kabupaten Bogor (Gambar 7). Di Pantura Jawa Barat curah hujan tahunan tersebar menjadi tiga wilayah hujan, Wilayah I, Wilayah II dan Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah hujan yang paling luas sebarannya adalah Wilayah IIA dan Wilayah IIB. Wilayah I dengan kisaran curah hujan <1.000 mm/tahun tersebar di tiga stasiun di Kabupaten Subang yaitu Cigadung, Bojongkeding, dan Kopo. Wilayah IIA dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun merupakan wilayah hujan terluas dan terdapat di 54 stasiun hujan terutama di sepanjang pantai utara yang umumnya merupakan persawahan dan perkebunan. Wilayah IIB dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun terdapat di 10 stasiun hujan yang terdapat di pantai utara bagian barat hingga sekitar pusat perkotaan Kabupaten Karawang dengan topografi datar hingga berbukit-bukit. Wilayah IIC dengan kisaran curah hujan antara mm/tahun terdapat di Stasiun Subang, Cinangling dan Dangdeur, terdapat di sekitar pertengahan Kabupaten Subang. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di lima stasiun curah hujan, yaitu Sindanglaya, Kasomalang,

23 32 Curugagung, Ciseuti dan Ponggang, terdapat di wilayah pegunungan bagian selatan Kabupaten Subang (Gambar 8). Di Kabupaten Garut curah hujan tahunan tersebar menjadi dua wilayah hujan, yaitu Wilayah II dan Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, subwilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah curah hujan yang paling luas menyebar di Kabupaten Garut adalah Wilayah IV dan Wilayah IIB. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Cibatu yang terletak di bagian utara. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun, merupakan wilayah paling luas, terdapat di Stasiun Limbangan, Stasiun Leles, Stasiun Tarogong, Stasiun Samarang, Stasiun Garut dan Stasiun Pameungpeuk, yang menyebar di dataran tinggi di pusat perkotaan, serta membujur di bagian barat hingga ke sepanjang pantai selatan. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Malangbong, di perbukitan bagian timur laut, serta Stasiun Cikajang di perbukitan bagian tengah. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di perbukitan di bagian selatan, yaitu Stasiun Cisewu, Stasiun Bungbulang dan Stasiun Cisompet, serta Stasiun Sukawening di perbukitan bagian utara (Gambar 9). Tahun El-Nino Pada tahun El-Nino, curah hujan tahunan di Pantura Banten tersebar menjadi empat wilayah hujan, Wilayah I hingga Wilayah IV, termasuk subwilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Pada tahun El-nino, terjadi peningkatan luasan Wilayah I dan Wilayah IIA sehingga Wilayah IIA menjadi wilayah terluas sebarannya di Pantura Banten pada tahun El-Nino. Wilayah I dengan kisaran curah hujan <1.000 mm/tahun terdapat di lima stasiun yang menyebar di dataran rendah sepanjang pantai utara Kabupaten Tangerang.

24 33 33 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 7. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Banten pada tahun Normal.

25 34 34 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 8. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Jawa Barat pada tahun Normal.

26 35 35 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 9. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Kabupaten Garut pada tahun Normal.

27 36 Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di sekitar 24 stasiun yang menyebar di dataran rendah dengan fisiografi datar hingga bergelombang sepanjang pantai barat dan pantai utara Kabupaten Serang, serta sebagian besar dataran rendah di Kabupaten Tangerang hingga mendekati perbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di 23 stasiun hujan yang menyebar di sekitar kaki Gunung Karang, dan daerah perbukitan di bagian tengah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di stasiun Mandalawangi, Pasir Waringin, Bojong Datar, Banjar Irigasi, Sampang Peundeuy dan Cibeureum, tersebar di sekitar Gunung Karang, serta daerah perbukitan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Cikasungka, daerah perbukitan di Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di stasiun Ciminyak, yaitu wilayah di bagian selatan Kabupaten Lebak dengan fisiografi berbukit-bukit (Gambar 10). Di Pantura Jawa Barat, pada tahun El-Nino curah hujan tahunan tersebar menjadi empat wilayah hujan, Wilayah I sampai Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah curah hujan yang paling luas sebarannya adalah Wilayah I dan Wilayah IIA. Wilayah I dengan kisaran curah hujan <1.000 mm/tahun terdapat di 29 stasiun yang menyebar di sepanjang pantai utara mulai dari sebelah barat Kabupaten Karawang dan hingga sebelah timur Kabupaten Subang. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun merupakan wilayah hujan terluas dan terdapat di 37 stasiun hujan, menyebar pada dataran rendah di

28 37 Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang yang tidak berbatasan dengan pantai utara laut Jawa. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Cipeundeuy, Stasiun Cinangling dan Stasiun Subang, menyebar di sekitar pusat perkotaan Kabupaten Subang. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Curugagung dan Stasiun Dangdeur, terdapat di daerah perbukitan bagian pertengahan Kabupaten Subang. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Sindanglaya, Stasiun Kasomalang dan Stasiun Ciseuti, di wilayah pegunungan bagian selatan Kabupaten Subang. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Ponggang di wilayah pegunungan bagian barat daya Kabupaten Subang. Terlihat bahwa pada tahun El-Nino sebaran wilayah dengan curah hujan rendah (<1.750 mm/tahun) menjadi lebih luas dibandingkan tahun Normal, hal ini digambarkan dengan sebaran Wilayah I dan Wilayah IIA yang jauh lebih luas dibandingkan dengan kondisi pada tahun Normal (Gambar 11). Di Kabupaten Garut, pada tahun El-Nino curah hujan tahunan tersebar menjadi tiga wilayah hujan, yaitu Wilayah II, Wilayah III dan Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah curah hujan yang paling luas sebarannya adalah Wilayah IIA dan Wilayah IIC. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Limbangan dan Stasiun Cibatu yang terletak di bagian utara, Stasiun Tarogong, Stasiun Samarang dan Stasiun Pameungpeuk, yang membujur di bagian barat hingga ke sepanjang pantai selatan. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun, terdapat di Stasiun Leles dan Stasiun Garut di dataran tinggi di pusat perkotaan. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun, terdapat di

29 38 Stasiun Malangbong, di perbukitan bagian timur laut, Stasiun Cikajang di perbukitan di tengah, serta Stasiun Cisewu dan Stasiun Cisompet di perbukitan bagian selatan. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Bungbulang di perbukitan bagian selatan. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Sukawening di perbukitan bagian utara. Terlihat bahwa pada tahun El-Nino sebaran wilayah dengan curah hujan rendah (<1.750 mm/tahun) menjadi lebih luas dibandingkan tahun Normal, hal ini digambarkan dengan sebaran Wilayah IIA yang menjadi lebih luas dibandingkan dengan peta pewilayahan curah hujan tahun Normal. Sebaliknya, sebaran wilayah dengan curah hujan tinggi (>3.500 mm/tahun) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tahun Normal, hal ini digambarkan dengan sebaran Wilayah IV yang menjadi lebih kecil dibandingkan dengan peta pewilayahan curah hujan tahun Normal (Gambar 12). Tahun La-Nina Pada tahun La-Nina, curah hujan tahunan di Pantura Banten tersebar menjadi empat wilayah hujan, Wilayah I hingga Wilayah IV, termasuk subwilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Pada kondisi tahun La-Nina, terjadi peningkatan luasan Wilayah IIB dan Wilayah IIC, serta Wilayah III sehingga Wilayah IIB dan Wilayah IIC merupakan wilayah terluas menyebar di Pantura Banten. Wilayah I dengan kisaran curah hujan <1.000 mm/tahun terdapat di bagian tenggara Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di sekitar 15 stasiun, menyebar di dataran dengan fisiografi datar hingga bergelombang yang terdapat di pantai utara Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar

30 39 39 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 10. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Banten pada tahun El-Nino.

31 40 40 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 11. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Jawa Barat pada tahun El-Nino.

32 41 41 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 12. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Kabupaten Garut pada tahun El-Nino.

33 42 antara mm/tahun terdapat di 15 stasiun hujan, menyebar di bagian selatan Kabupaten Serang, daerah pesisir bagian barat dan selatan Kabupaten Pandeglang, daerah pesisir bagian selatan Kabupaten Lebak, serta sebagian besar bagian selatan Kabupaten Tangerang. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di 18 stasiun, tersebar pada kawasan dengan fisiografi bergelombang hingga berbukit di bagian barat Kabupaten Serang, bagian selatan Kabupaten Tangerang, sebagian besar Kabupaten Pandeglang, serta sebagian besar Kabupaten Lebak. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Cikasungka di daerah perbukitan Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Stasiun Kampung Parigi di perbukitan bagian selatan Kabupaten Tangerang, Stasiun Padarincang yang terletak sebelah utara Gunung Karang, serta Stasiun Kadubera, Stasiun Bojong Datar dan Stasiun Gunung Kencana yang menyebar di perbukitan bagian selatan Kabupaten Pandeglang. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Mandalawangi, Stasiun Menes, Stasiun Pasir Waringin, Stasiun Pagelaran dan Stasiun Labuan, yaitu wilayah di kaki hingga sekitar lereng dan puncak Gunung Karang terletak di bagian barat Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang (Gambar 13). Di Pantura Jawa Barat, pada tahun La-Nina curah hujan tahunan tersebar menjadi empat wilayah hujan, Wilayah I sampai Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah curah hujan yang paling luas sebarannya adalah Wilayah IIA. Wilayah I dengan kisaran curah hujan <1.000 mm/tahun terdapat di 10 stasiun yang menyebar di bagian timur pantai utara Kabupaten Subang. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun merupakan wilayah hujan terluas dan terdapat di 51 stasiun hujan, menyebar pada dataran rendah sepanjang pantai

34 43 utara Kabupaten Karawang serta bagian barat pantai utara Kabupaten Subang. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Cipeundeuy, Stasiun Cinangling dan Stasiun Cipancuh, menyebar di daerah dengan fisiografi bergelombang di sebelah utara kawasan perkotaan Kabupaten Subang, serta di beberapa bagian daerah di Kabupaten Karawang yang memiliki fisiografi lahan yang bergelombang, yaitu Stasiun Dawuhan, Stasiun Gebangmalang dan Stasiun Rawamerta. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Subang, Stasiun Pagaden dan Stasiun Ponggang, terdapat di daerah perbukitan bagian pertengahan dan sekitar pusat perkotaan Kabupaten Subang. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Sindanglaya, Stasiun Kasomalang, Stasiun Dangdeur dan Stasiun Curugagung, di wilayah pegunungan bagian selatan Kabupaten Subang. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Ciseuti di wilayah pegunungan bagian barat Kabupaten Subang. Terlihat bahwa pada tahun La- Nina sebaran Wilayah I dengan curah hujan rendah (<1.750 mm/tahun) menjadi lebih kecil dibandingkan tahun El-Nino pada peta pewilayahan curah hujan tahunan pada tahun La-Nina (Gambar 14). Di Kabupaten Garut, pada tahun La-Nina curah hujan tahunan tersebar menjadi tiga wilayah hujan, yaitu Wilayah II, Wilayah III dan Wilayah IV, termasuk sub-wilayah IIA, sub-wilayah IIB dan sub-wilayah IIC. Wilayah curah hujan pada tahun La-Nina ditandai dengan meningkatnya luasan Wilayah III dan Wilayah IV yang memiliki curah hujan tinggi. Wilayah IIA dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Tarogong dan Stasiun Cibatu yang terletak di bagian barat dan utara. Wilayah IIB dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun, terdapat di

35 44 44 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 13. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Banten pada tahun La-Nina.

36 45 45 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 14. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Pantura Jawa Barat pada tahun La-Nina.

37 46 46 Keterangan Peta: Peta Situasi: Gambar 15. Hasil pewilayahan hujan tahunan di Kabupaten Garut pada tahun La-Nina.

38 47 Stasiun Sukawening dan Stasiun Malangbong yang terdapat di perbukitan bagian utara, serta Stasiun Samarang dan Stasiun Pameungpeuk, yang membujur di bagian barat hingga ke sepanjang pantai selatan. Wilayah IIC dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun, terdapat di Stasiun Garut, di dataran tinggi di pusat perkotaan, serta Stasiun Cikajang di perbukitan di bagian tengah. Wilayah III dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun terdapat di Stasiun Leles dan Stasiun Cikajang hingga ke perbukitan bagian timur, serta Stasiun Bungbulang di perbukitan bagian selatan. Wilayah IV dengan kisaran curah hujan >3.500 mm/tahun terdapat di Stasiun Cisompet dan Stasiun Bungbulang di perbukitan bagian selatan. Terlihat bahwa pada tahun La-Nina sebaran Wilayah IIA dengan curah hujan rendah (<1.750 mm/tahun) menjadi lebih kecil dibandingkan tahun Normal dan tahun El-Nino. Sebaliknya, sebaran Wilayah III dan Wilayah IV dengan curah hujan tinggi (>3.000 mm/tahun) menjadi lebih luas dibandingkan dengan tahun Normal dan tahun El-Nino (Gambar 15) Stasiun Pewakil pada Wilayah Hujan di Sentra Produksi Padi. Dengan menumpangtepatkan peta wilayah hujan yang tersusun di atas dengan peta sebaran sawah maka diperoleh wilayah hujan yang dominan memiliki sebaran sawah yang luas, yaitu Wilayah IIA dan IIB di Pantura Banten, Wilayah I, IIA dan III di Pantura Jawa Barat, serta Wilayah IIA dan IV di Kabupaten Garut. Sedangkan wilayah lainnya, seperti Wilayah IIC, III dan IV di Pantura Banten, Wilayah IIB, IIC dan IV di Pantura Jawa Barat, serta Wilayah IIB dan IIC di Garut bukan merupakan wilayah hujan dominan atau bukan merupakan kawasan sebaran sawah terluas. Berdasarkan hasil tumpang-tepat antara peta pewilayahan curah hujan dan peta sebaran sawah tersebut serta dengan memperhatikan kualitas data curah hujan yang tersedia

39 48 maka kemudian ditentukan tujuh stasiun curah hujan yang menjadi pewakil bagi wilayah-wilayah hujan dominan yang merupakan sentra produksi padi. Stasiun-stasiun pewakil di Pantura Banten adalah stasiun Baros Serang yang mewakili Wilayah IIA dan stasiun Kalenpetung Serang yang mewakili Wilayah IIB. Stasiun-stasiun pewakil di Pantura Jawa Barat adalah stasiun Tambakdahan Subang yang mewakili Wilayah I, stasiun Karawang yang mewakili Wilayah IIA, dan stasiun Kasomalang Subang yang mewakili Wilayah III. Stasiun-stasiun pewakil di Kabupaten Garut adalah stasiun Tarogong Garut yang mewakili Wilayah IIA dan stasiun Bungbulang Garut yang mewakili Wilayah IV. Tabel 5. Stasiun-stasiun pewakil di beberapa wilayah hujan di sentra produksi padi. No. Lokasi 1. Pantura Banten 2. Pantura Jawa Barat 3. Kabupaten Garut Wilayah Hujan Dominan dengan areal persawahan luas IIA IIB I IIA III IIA IV Stasiun Pewakil Baros Kalen Petung Tambakdahan Karawang Kasomalang Tarogong Bungbulang 2.4. Simpulan dan Saran Simpulan Pada kondisi Normal, Kabupaten Karawang memiliki rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, Kabupaten Subang mm/tahun, Kabupaten Serang mm/tahun, dan Kabupaten Garut mm/tahun. Skenario iklim El-Nino lebih berpengaruh pada wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan tahunan yang rendah dan topografi dan fisiografi

40 49 yang relatif seragam, dengan perubahan penurunan curah hujan tahunan antara 14-16% umumnya pada kondisi di bawah normal. Skenario iklim La- Nina lebih berpengaruh di wilayah Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki curah hujan tahunan yang lebih tinggi dengan topografi dan fisiografi lebih beragam, dengan peningkatan curah hujan tahunan sekitar 12-14% masih pada kondisi kisaran curah hujan normal. Dampak skenario anomali iklim El-Nino dan La-Nina terlihat lebih jelas pada saat periode curah hujan rendah (MK1 dan MK2) dibandingkan pada saat periode curah hujan tinggi (MH). Penurunan curah hujan pada MK1 dan MK2 pada saat El-Nino adalah sekitar 26-43% mengakibatkan kondisi curah hujan berada di bawah normal, dan peningkatan curah hujan pada MK1 dan MK2 pada saat La-Nina adalah sekitar 14-71% mengakibatkan kondisi curah hujan umumnya berada di atas normal. Perubahan curah hujan musiman pada MH pada saat El-Nino maupun La-Nina hanya terjadi sekitar 3-9% atau hanya berada pada kisaran normal. Nilai-nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun pada tahun Normal dari hasil analisis gerombol fuzzy di Pantura Banten berkisar antara 0,71-0,95, di Pantura Jawa Barat berkisar antara 0,67-0,96, dan di Kabupaten Garut berkisar antara 0,33-0,95. Kisaran nilai-nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun di Pantura Banten dan Pantura Jawa Barat menjadi melebar pada kondisi El-Nino dan La-Nina dibandingkan kondisi Normal, sedangkan di Kabupaten Garut kisaran nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun menjadi menyempit pada kondisi El-Nino dan melebar pada kondisi La-Nina. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi curah hujan di Pantura Banten dan Pantura Jawa Barat menjadi lebih beragam pada saat terjadi anomali iklim El-Nino dan La-Nina, sedangkan di Garut kondisi curah hujan menjadi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN HUJAN DAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN UNTUK MENDUKUNG ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KERENTANAN PANGAN DI SENTRA PRODUKSI PADI 1)

PEWILAYAHAN HUJAN DAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN UNTUK MENDUKUNG ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KERENTANAN PANGAN DI SENTRA PRODUKSI PADI 1) Pewilayahan Hujan dan Model Prediksi Curah Hujan (A. Pramudia et al.) PEWILAYAHAN HUJAN DAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN UNTUK MENDUKUNG ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KERENTANAN PANGAN DI SENTRA PRODUKSI PADI

Lebih terperinci

TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PAD1

TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PAD1 Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember 2007, hlm. 140-146 ISSN 0853-421 7 Vol. 12 No. 3 TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PAD1 Aris ~ramudial)*, Yonny ~oesrnaryono~),

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 16 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1.Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Lokasi Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak pada batas koordinat 107 o 31-107 o 54 BT dan di antara 6 o

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI

TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI Jurnalllmu Pertanian Indonesia, Desember 2007, him. 140-146 ISSN 0853-4217 Vol. 12 No.3 TEKNIK PENGGEROMBOLAN FUZI UNTUK PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI Aris Pramudia 1 >*, Vonny Koesmaryono

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM 5.1. Pendahuluan Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Press Release PREDIKSI DAMPAK DINAMIKA IKLIM DAN EL-NINO 2014-2015 TERHADAP PRODUKSI PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN I. Prediksi Iklim hingga Akhir 2014/Awal 2015 1. Prediksi berbagai

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai. 6 KAT i = KAT i-1 + (CH-ETp) Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Iidanya gangguan pada luas panen maupun produksi padi di Indonesia maupun di

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Iidanya gangguan pada luas panen maupun produksi padi di Indonesia maupun di V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. EEesimpulan Iidanya gangguan pada luas panen maupun produksi padi di Indonesia maupun di Jawa Barat pada setiap tahun El-Nino menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PANTAI ANYER BANTEN. a. Luas wilayah dan letak geografis 1. ± 70 km dari kota Jakarta, Ibukota Negara Indonesia.

BAB III DESKRIPSI PANTAI ANYER BANTEN. a. Luas wilayah dan letak geografis 1. ± 70 km dari kota Jakarta, Ibukota Negara Indonesia. BAB III DESKRIPSI PANTAI ANYER BANTEN A. Keadaan Geografis Pantai Anyer a. Luas wilayah dan letak geografis 1 Kabupaten Serang merupakan salah satu dari delapan kabupaten/kota di Propinsi Banten, terletak

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8.1 Pendahuluan Padi merupakan makanan utama sekaligus mempunyai nilai politis yang tinggi bagi orang Indonesia, yang menyediakan pendapatan secara musiman dan tenaga kerja

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Sejarah Kabupaten Bekasi Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Dasar-Dasar Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C Kriteria yang digunakan dalam penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah adalah sebagai berikut: Bulan kering (BK): Bulan dengan C

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum KPH Cepu 4.1.1 Letak Geografi dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH Cepu terletak antara 111 16 111 38 Bujur Timur dan 06 528 07 248

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

7. EVALUASI ZONA PRAKIRAAN IKLIM (ZPI) BMG DENGAN PENDEKATAN ANALISIS KELOMPOK

7. EVALUASI ZONA PRAKIRAAN IKLIM (ZPI) BMG DENGAN PENDEKATAN ANALISIS KELOMPOK 7. EVALUASI ZONA PRAKIRAAN IKLIM (ZPI) BMG DENGAN PENDEKATAN ANALISIS KELOMPOK 7. Pendahuluan Banyak penelitian klimatologi yang bertujuan membuat kelompok stasiun/wilayah perkiraan iklim. Penggunaan data

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali 7 Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha), Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN 4.1 Topografi dan Tata Sungai DAS Citarum Hulu merupakan suatu cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan Tangkuban Perahu di daerah utara dengan puncaknya antara lain Gunung

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 17 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kabupaten Subang merupakan salah satu kabupaten di kawasan utara provinsi Jawa Barat terletak diantara 107º 31' sampai dengan 107º 54' Bujur

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 125 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 7.1. Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN peubah dalam model yang akan membatasi keberhasilan model. Beberapa batasan yang dijadikan sebagai asumsi dalam model ini adalah : a. Laju pertambahan limbah dari industri yang masuk ke sungai mengikuti

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0 o 12 8 o Lintang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk 11 KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi Desa Lamajang terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah 1474 ha dengan batas desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci