BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja dapat diidentikkan sebagai psychological moratorium yaitu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja dapat diidentikkan sebagai psychological moratorium yaitu"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diidentikkan sebagai psychological moratorium yaitu kesenjangan antara rasa aman di masa kanak-kanak dan kemandirian orang dewasa yang dialami remaja sebagai bagian dari eksplorasi identitas mereka (Erikson, 1968). Santrock (2012) juga menambahkan bahwa remaja dapat menjadi lebih introspektif dan reflektif dalam memahami dirinya pada saat mereka sedang mencari identitas. Pada masa remaja ini, terjadinya proses transisi dan eksistensi serta adanya berbagi perubahan (biologis, kognitif, sosial), membuat remaja menunjukkan sikap dan perilaku yang ambigu dan terkadang berisiko. Erikson (1950, 1968) menjelaskan lebih lanjut bahwa transisi dan kesenjangan yang dialami dalam masa pencarian identitas dapat menimbulkan permasalahan dalam kehidupan remaja. Siapa saya? Bagaimana saya berbeda dengan orang lain? Apa prinsip, nilai, dan aspirasi yang saya pegang? Apa makna dan tujuan hidup saya?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memainkan peran penting dalam pembentukan identitas selama masa remaja dan dapat diperpanjang selama masa dewasa awal (Erikson, 1980). Teori identitas yang paling komprehensif dan provokatif dalam psikologi perkembangan adalah teori yang dikemukakan oleh Erik Erikson. Beberapa ahli perkembangan remaja menyatakan bahwa pendapat-pendapat Erikson merupakan teori identitas yang paling berpengaruh. Erikson (1968) menganggap identitas sebagai tugas perkembangan yang utama bagi remaja dan merupakan 1

2 2 tahap kelima dari perkembangan psikososial. Identitas merupakan perasaan subjektif individu terhadap dirinya sendiri yang dapat didefinisikan melalui karakteristik fisik dan psikologis, berbagai macam hubungan sosial dan interpersonal, serta peran sosial yang dimiliki oleh individu (Erikson, 1980). Erikson (1950, 1968) menggambarkan identitas sebagai interaksi dari dua dinamika yaitu pencapaian identitas dan kebingungan identitas. Erikson menyatakan bahwa ketika remaja mengeksplorasi dan mencari identitasnya, remaja sering kali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda sebelum akhirnya mencapai suatu pemikiran tentang dirinya yang relatif stabil (Santrock, 2003). Remaja yang berhasil menghadapi identitas-identitas yang saling bertentangan akan mendapatkan pemikiran yang baru dan menerima dirinya sendiri, sedangkan remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitas akan mengalami kebingungan identitas yang menyebabkan mereka menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga, atau justru meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitasnya (Santrock, 2011). Beberapa penelitian menemukan bahwa remaja yang berhasil mencapai identitasnya memiliki perkembangan psikososial yang positif dan sebaliknya remaja yang mengalami kebingungan terhadap identitasnya memiliki perkembangan psikososial yang cenderung negatif (Schwartz, 2007; Schwartz dkk., 2011). Remaja yang berhasil mencapai identitasnya cenderung memiliki well-being (Ritchie dkk., 2013; Schwartz dkk., 2011), self-esteem (Luyckx, Schwartz, Soenens, Vansteenkiste, & Goossens, 2010; Sandhu, Singh, Tung, & Kundra, 2012; Schwartz, Zamboanga, Wang, & Olthuis, 2009), kestabilan emosi (Mullis, Graf, & Mullis, 2009; Sandhu dkk., 2012; Sandhu & Tung, 2007), perilaku prososial (Busch & Hofer, 2011), dan penyesuaian sosial dan akademik (Luyckx,

3 3 Goossens, Soenens, Beyers, & Vansteenkiste, 2005) yang lebih baik dibandingkan remaja yang mengalami kebingungan identitas. Berbeda dengan remaja yang berhasil menentukan identitasnya, remaja yang mengalami kebingungan identitas cenderung menunjukkan perilaku bermasalah misalnya mengalami simtom depresi (Crocetti, Rubini, Luyckx, & Meeus, 2008; Crocetti, Schwartz, Fermani, Klimstra, & Meeus, 2012; Crocetti, Scrignaro, Sica, & Magrin, 2012), mengalami kecemasan (Ritchie dkk., 2013; Schwartz, 2007; Schwartz dkk., 2011) baik kecemasan sosial (Crocetti, Scrignaro, dkk., 2012; Ritchie dkk., 2013; Schwartz dkk., 2011) maupun kecemasan di sekolah (Crocetti, Rubini, Luyckx, dkk., 2008; Crocetti, Scrignaro, dkk., 2012), dan menunjukkan perilaku agresif (Crocetti, Rubini, Luyckx, dkk., 2008; Schwartz, Pantin, Prado, Sullivan, & Szapocznik, 2005; Schwartz, Mason, dkk., 2009) baik perilaku agresif fisik (Schwartz dkk., 2011) maupun sosial (Schwartz dkk., 2011, 2005; Schwartz, Mason, dkk., 2009). Berdasarkan konsep Erikson (1950, 1968), Marcia (1966) mengembangkan model ego identity status (status identitas). Marcia (1966) mengemukakan bahwa dinamika pembentukan identitas yang dikemukakan Erikson (1950, 1968), yaitu pencapaian identitas dan kebingungan identitas, dapat dimasukkan ke dalam model yang lebih besar. Model status identitas yang dikembangkan Marcia (1966) didasarkan pada dua dimensi pembentukan identitas yaitu eksplorasi dan komitmen yang digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan status identitas yang terdiri dari diffusion, foreclosure, moratorium, dan achievement (Kroger & Marcia, 2011; Marcia, 1993). Remaja yang sudah mencapai komitmen melalui proses eksplorasi berada pada status achievement. Remaja yang masih berusaha untuk mencapai komitmen dan

4 4 masih terlibat dalam proses eksplorasi berada pada status moratorium. Remaja yang sudah mencapai komitmen dengan mengambil komitmen orang lain yang signifikan dalam hidupnya berada pada status foreclosure. Remaja yang belum mencapai komitmen dan menjalani proses eksplorasi yang kurang bermakna berada pada status diffusion. Konsep pembentukan identitas yang dikembangkan oleh Erikson (1950, 1968) dan model status identitas yang dikembangkan Marcia (1966, 1993) telah mengilhami beberapa peneliti untuk mengembangkan model pembentukan identitas yang lebih komprehensif yaitu antara lain three-factor identity dimensional (tiga faktor dimensi identitas) (Crocetti, Rubini, & Meeus, 2008) dan identity processing style (gaya identitas) (Berzonsky, 1989). Model tiga faktor dimensi identitas menjelaskan tiga dimensi pembentukan identitas yaitu commitment (komitmen), in-depth exploration (eksplorasi mendalam), dan reconsideration of commitment (peninjauan kembali komitmen) (Crocetti, Rubini, & Meeus, 2008; Meeus, Van de Schoot, Keijsers, Schwartz, & Branje, 2010). Komitmen mengarah pada proses memantapkan pilihan terkait dengan berbagai domain identitas yang disertai dengan rasa percaya diri terhadap pilihannya. Eksplorasi mendalam mengarah pada proses merefleksikan komitmen yang sudah dibuat, mencari informasi tambahan, dan berdiskusi dengan orang lain terkait alternatif identitas yang sudah dipilih. Peninjauan kembali komitmen mengarah pada kemungkinan untuk mengubah atau merevisi komitmen yang tidak lagi memuaskan bagi individu. Model gaya identitas dikembangkan oleh Berzonsky (1989) yang menggambarkan pendekatan individu dalam mengeksplorasi alternatif dan membuat keputusan tentang identitas. Model ini mengacu pada strategi individu

5 5 secara sosial-kognitif dalam membentuk identitas (Berzonsky, 1989, 2004a, 2011). Berzonsky (1989, 2004a, 2011) menjelaskan bahwa setiap individu dapat memilih pendekatan yang berbeda ketika melakukan eksplorasi identitas. Model gaya identitas terdiri dari tiga pendekatan pemrosesan identitas yaitu informational style (gaya informatif), normative style (gaya normatif), dan diffuseavoidant style (gaya menunda-menghindar) (Berzonsky, 1989, 2004a, 2011). Individu dengan gaya informatif secara sengaja mencari, mengolah, dan mengevaluasi informasi yang relevan dengan identitas. Individu dengan gaya normatif akan melakukan internalisasi dan mematuhi tujuan, nilai-nilai, dan petunjuk dari orang lain yang signifikan dan kelompok dengan cara yang relatif otomatis sehingga akan membuat komitmen yang terlalu dini tanpa melakukan evaluasi dan pertimbangan. Individu dengan gaya menunda-menghindar menunjukkan keengganan untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan identitas. Ketiga model pembentukan identitas yaitu gaya identitas, tiga faktor dimensi identitas, dan status identitas yang masih berakar pada konsep Erikson (1950, 1968) sebenarnya memiliki fokus yang berbeda dalam pembentukan identitas. Namun, ketiga model tersebut dianggap sebagai proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas yang merupakan komponen pembentukan identitas (Schwartz & Montgomery, 2002). Keterkaitan antara gaya, dimensi, dan status identitas sebagai komponen pembentukan identitas telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti. Terkait dengan hubungan antara gaya dan dimensi identitas, ditemukan bahwa gaya informatif berhubungan dengan komitmen dan eksplorasi mendalam; gaya normatif berhubungan dengan komitmen; serta gaya menundamenghindar berhubungan dengan peninjauan kembali komitmen (Crocetti,

6 6 Rubini, Berzonsky, & Meeus, 2009; Zimmermann, Mahaim, Mantzouranis, Genoud, & Crocetti, 2012). Sementara itu, hubungan antara gaya dan status identitas menunjukkan bahwa gaya informatif berhubungan dengan status achievement dan moratorium; gaya normatif berhubungan dengan status foreclosure; serta gaya menunda-menghindar berhubungan dengan status diffusion (Berzonsky dkk., 2013; Schwartz, Mullis, Waterman, & Dunham, 2000). Erikson (1950) dalam mengembangkan teori identitas juga mempertimbangkan pentingnya konteks. Para peneliti mengemukakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses interaksi antara individu dan konteks (Adams & Marshall, 1996; Bosma & Kunnen, 2001; Kroger, 2000). Secara khusus Baumeister dan Muraven (1996) menjelaskan bahwa tujuan utama pembentukan identitas adalah adaptasi terhadap konteks sosial, budaya, dan sejarah sehingga individu terlibat dalam proses pembentukan identitas berdasarkan apa yang mereka pikirkan terhadap konteks yang mereka hadapi. Penelitian mengenai identitas sering kali tidak mempertimbangkan konteks, sehingga beberapa peneliti memberikan kritik terhadap penelitian mengenai identitas yang hanya berfokus pada konteks tertentu, terutama konteks budaya (Baumeister & Muraven, 1996; Beyers & Cok, 2008; Cote, 1986). Sebagian besar penelitian tentang identitas dilakukan pada remaja di Amerika dan hanya sedikit yang dilakukan pada remaja di luar Amerika. Arnett (2008) mencatat bahwa sebagian besar penelitian di Amerika tidak memperhatikan konteks budaya sebagai salah satu aspek psikologis individu. Fokus penelitian hanya ditujukan pada orang Amerika yang mewakili kurang dari 5% populasi dunia sehingga kesimpulan yang diambil cenderung terbatas pada konteks dan lingkup tertentu.

7 7 Penelitian tentang pembentukan identitas yang memperhatikan konteks mulai berkembang sejak 15 tahun terakhir. Hal ini tercermin dari penelitian mengenai pembentukan identitas yang dilakukan di Belgia (Goossens, 2001; Luyckx, Goossens, Soenens, & Beyers, 2006), Belanda (Klimstra, Hale, Raaijmakers, Branje, & Meeus, 2010; Meeus, Iedema, Helsen, & Vollebergh, 1999; Meeus dkk., 2010), Italia (Crocetti, Schwartz, dkk., 2012; Crocetti, Schwartz, Fermani, & Meeus, 2010), dan Jerman (Beyers & Seiffge-krenke, 2010; Haid dkk., 2010). Seiring dengan perkembangannya, sejak tahun 1995 mulai berkembang penelitian lintas budaya yang membandingkan pembentukan identitas antara remaja di Amerika dan Eropa (Berzonsky, Macek, & Nurmi, 2003; Eryigit & Kerpelman, 2011; Schwartz, Adamson, Ferrer-Wreder, Dillon, & Berman, 2006). Akhir-akhir ini, Crocetti, Schwartz, dkk. (2012) melakukan penelitian yang bertujuan membandingkan pembentukan identitas di negaranegara Eropa. Sementara itu untuk negara-negara di Asia, penelitian tentang pembentukan identitas masih sedikit jumlahnya (Berman, You, Schwartz, Teo, & Mochizuki, 2011; Lee & Beckert, 2012; Ohnishi, Ibrahim, & Owen, 2001). Pengaruh konteks budaya terhadap pembentukan identitas sejauh ini memang belum diteliti langsung, tetapi beberapa penelitian telah menunjukkan perbedaan proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas pada variasi konteks budaya. Misalnya, Eryigit dan Kerpelman (2011) melakukan penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara gaya identitas dan pembentukan identitas pada domain karier di Amerika dan Turki. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara gaya identitas dan identitas karier pada mahasiswa di Turki daripada mahasiswa di Amerika. Hasil tersebut disebabkan oleh masyarakat Turki yang lebih tradisional, kolektif, dan otoriter daripada Amerika.

8 8 Selain itu, hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara status pekerjaan dan pembentukan identitas pada domain karier. Hal ini disebabkan mahasiswa di Amerika mendapatkan dukungan dalam mengevaluasi dan menginternalisasi pilihan karier mereka, sedangkan mahasiswa di Turki kurang mengeksplorasi alternatif karier dan lebih membuat pilihan karier yang tentatif. Pada penelitian lintas negara seperti yang dilakukan oleh Crocetti, Schwartz, dkk. (2012) di Italia dan Belanda ditemukan remaja di Belanda cenderung memiliki identitas yang lebih stabil dibandingkan remaja di Italia. Hal ini disebabkan remaja di Italia mengalami transisi menuju dewasa yang paling lambat dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Remaja Belanda dapat mencapai identitas yang lebih stabil karena mereka dapat segera mengambil peran sebagai orang dewasa. Sebaliknya, keluarga di Italia tampaknya kurang mendorong remaja untuk mandiri, dengan membiarkan remaja lebih banyak tinggal bersama dengan orang tua dan menggantungkan tanggung jawab keuangan mereka kepada orang tua. Berman dkk. (2011) juga melakukan penelitian lintas negara mengenai konstruksi identitas (eksplorasi identitas, komitmen identitas, dan identitas distress) dengan melihat faktor kesamaan antara mahasiswa di Cina, Taiwan, Jepang, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat kesamaan dalam konstruksi identitas pada empat negara. Perbedaan dapat disebabkan oleh tingkat globalisasi yang bervariasi pada negara yang diteliti. Peneliti berpendapat bahwa konsep Barat mengenai proses memahami dan mengukur identitas mungkin tidak berlaku pada negara non-barat karena adanya perbedaan domain tertentu dari identitas yang menonjol antar negara. Hal serupa juga ditemukan oleh Ohnishi dkk. (2001) bahwa struktur pembentukan

9 9 identitas yang dikembangkan di negara Barat tidak relevan untuk konteks Jepang. Schwartz dan Montgomery (2002) menjelaskan bahwa struktur pembentukan identitas sangat tergantung dengan konteks budaya seperti akulturasi, sejarah, kelas sosial, dan peran gender yang terdapat pada budaya tertentu. Hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh konteks budaya terhadap pembentukan identitas menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki konsep pembentukan identitas yang beragam. Selain itu, pengaruh dari konteks budaya sangat tergantung pada individu dalam memanfaatkan berbagai proses pembentukan identitas yang diwujudkan dalam berbagai hasil dari pembentukan identitas. Penelitian-penelitian di atas telah menunjukkan perbedaan dari proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas pada variasi konteks, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menggeneralisasi hasil penelitian yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Bahkan, Berman dkk. (2011) berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsep yang dikembangkan pada masyarakat di negara Barat mengenai proses pembentukan identitas mungkin tidak berlaku pada masyarakat di negara non-barat. Hal ini karena pencarian identitas pada masyarakat di negara Barat cenderung dilakukan secara individual dan pembentukan identitasnya lebih menekankan pada proses eksplorasi. Sebaliknya, pada masyarakat Timur, individu cenderung mementingkan hubungan antar individu dan identitas muncul melalui keanggotaan dari kelompok (misalnya keluarga, masyarakat, negara) (Cross, Gore, & Morris, 2003).

10 10 Luyckx dkk. (2006) menjelaskan bahwa eksplorasi terhadap identitas lebih mengarah pada masyarakat individualis yang lebih menekankan pada pengembangan diri dan kurang tepat diterapkan pada masyarakat kolektif yang lebih menekankan ketergantungan antar individu. Markus dan Kitayama (1991, 2003) dengan menggunakan konsep self-construal juga menyatakan bahwa individu pada masyarakat individualis lebih bersifat independent self-construal dan individu pada masyarakat kolektif lebih bersifat interdependent selfconstrual. Variasi konteks budaya yang menyebabkan perbedaan proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas dapat dicermati melalui peran gender dalam konteks budaya tertentu. Hal ini dikarenakan setiap budaya memiliki perbedaan harapan dan proses sosialisasi untuk setiap gendernya. Meskipun Erikson (1968) dalam mengembangkan konsep pembentukan identitas tidak mengakui perbedaan gender dalam pembentukan identitas, tetapi beberapa hasil penelitian telah menunjukkan perbedaan gender dalam pembentukan identitas (Berman, Weems, Rodriguez, & Zamora, 2006; Graf, Mullis, & Mullis, 2008; Vleioras & Bosma, 2005). Berkaitan dengan gaya identitas, hasil meta analisis yang dilakukan oleh Bosch dan Card (2012) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gender pada gaya informatif, tetapi pada gaya normatif, perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki sedangkan laki-laki memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan perempuan pada gaya menunda-menghindar. Klimstra dkk. (2010) juga menemukan perbedaan gender pada dimensi pembentukan identitas yaitu komitmen, eksplorasi mendalam, dan peninjauan kembali komitmen yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi pada komitmen

11 11 dan eksplorasi mendalam, namun lebih rendah pada peninjauan kembali dibandingkan laki-laki. Pada status identitas yang merupakan hasil dari pembentukan identitas juga ditemukan perbedaan gender. Perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada status achievement dan moratorium (Bergh & Erling, 2005; Sandhu & Tung, 2006) sedangkan laki-laki memiliki skor yang lebih tinggi pada status foreclosure dan diffusion dibandingkan perempuan (Bergh & Erling, 2005; Graf dkk., 2008; Sandhu & Tung, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mengalami pembentukan identitas yang lebih baik dibandingkan laki-laki baik dalam proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas. Perbedaan proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas tidak hanya dapat dipengaruhi oleh perbedaan gender tetapi juga perbedaan kelompok usia. Berzonsky (2011) menemukan bahwa remaja dan dewasa muda cenderung menggunakan gaya informatif dalam proses pembentukan identitas. Pada struktur pembentukan identitas, Klimstra dkk. (2010) meneliti perubahan dimensi pembentukan identitas secara longitudinal yang menunjukkan adanya kecenderungan penurunan peninjauan kembali, peningkatan eksplorasi mendalam, dan stabilitas komitmen seiring bertambahnya usia. Dengan menggunakan meta analisis, Kroger, Martinussen, dan Marcia (2010) meneliti perubahan status identitas selama masa remaja dan dewasa muda yang menunjukkan bahwa 49% responden mengalami stabilitas pada status identitas, 36% responden mengalami peningkatan status identitas (misalnya dari diffusion menjadi moratorium, dari moratorium menjadi achievement), dan 15% responden mengalami penurunan status identitas (misalnya dari foreclosure menjadi diffusion, dari achievement menjadi foreclosure).

12 12 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konteks dapat mempengaruhi pembentukan identitas, sehingga perbedaan konteks dapat menyebabkan perbedaan proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas. Dengan demikian, ada kemungkinan konsep pembentukan identitas yang dikembangkan pada masyarakat di negara Barat tidak sesuai dengan konteks di Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang kolektif. Kehidupan masyarakat kolektif dipengaruhi oleh hubungan jarak kekuasaan yang lebar yang menggambarkan hubungan hierarkis antara individu berstatus tinggi dan rendah (Hofstede, Hofstede, & Minkov, 2010). Secara alami, di bawah kekuatan individu dengan status yang tinggi, individu dengan status yang lebih rendah akan mematuhi dan mendedikasikan hidup mereka untuk mereka yang statusnya lebih tinggi. Remaja di Indonesia, sebagai salah satu bagian dari sistem masyarakat, memiliki status yang lebih rendah dibandingkan orang tua di rumah, guru di sekolah, dan orang yang lebih tua di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini mengakibatkan remaja memiliki kecenderungan untuk mematuhi perkataan dari orang tua, guru atau orang yang lebih tua yang memiliki status yang lebih tinggi. Mematuhi perkataan orang yang memiliki status yang lebih tinggi merupakan kewajiban bagi anak-anak dan remaja sebagai perwujudan rasa hormat mereka kepada orang yang lebih tua (Koentjaraningrat, 1994). Untuk memahami masyarakat kolektif di Indonesia, seorang remaja cenderung belajar untuk berpikir identitas sebagai "kita" bukan identitas sebagai "aku". Orang-orang pada umumnya tidak terbiasa untuk memiliki pendapat yang berbeda dari komunitas mereka sendiri demi menjaga harmonisasi. Kompromi dan penyesuaian aspirasi lebih penting daripada berdebat dengan orang lain

13 13 atas pendapat pribadi (Koentjaraningrat, 2004). Hal ini merupakan perwujudan dari nilai rukun yang menyiratkan sebuah cara bertindak yang mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan menghindari perselisihan. Untuk menjaga kerukunan ini sering kali menuntut individu untuk menomor duakan bahkan melepaskan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama (Suseno, 1999). Penjelasan di atas memberikan kesempatan bagi peneliti Psikologi Perkembangan di Indonesia untuk mengembangkan konsep pembentukan identitas yang sesuai dengan konteks yang ada di Indonesia. Sebagai langkah awal, peneliti merasa tertantang untuk berkontribusi dalam memahami komponen pembentukan identitas yaitu proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas remaja pada konteks Indonesia. Hal ini penting dilakukan mengingat pembentukan identitas merupakan proses penting bagi remaja Indonesia agar menjadi generasi tangguh, berkarakter positif, serta dapat mewujudkan harapan masyarakat, bangsa, dan negara. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan gaya, dimensi, dan status identitas antara remaja laki-laki dan perempuan pada konteks Indonesia? 2. Apakah ada perbedaan gaya, dimensi, dan status identitas antara remaja awal, tengah, dan akhir pada konteks Indonesia? 3. Apakah ada hubungan antara gaya identitas (informatif, normatif, dan menunda-menghindar) dan dimensi identitas (komitmen, eksplorasi

14 14 mendalam, dan peninjauan kembali komitmen) remaja pada konteks Indonesia? 4. Apakah ada hubungan antara gaya identitas (informatif, normatif, dan menunda-menghindar) dan status identitas (diffusion, foreclosure, moratorium, dan achievement) remaja pada konteks Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan memahami komponen pembentukan identitas yaitu proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas remaja pada konteks Indonesia. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menguji perbedaan gaya, dimensi, dan status identitas antara remaja laki-laki dan perempuan pada konteks Indonesia. 2. Untuk menguji perbedaan gaya, dimensi, dan status identitas antara remaja awal, tengah, dan akhir pada konteks Indonesia. 3. Untuk menguji hubungan antara gaya dan dimensi identitas remaja pada konteks Indonesia. 4. Untuk menguji hubungan antara gaya dan status identitas remaja pada konteks Indonesia. Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu Psikologi Perkembangan di Indonesia. Secara khusus, manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menjadi langkah awal dalam mengembangkan konsep pembentukan identitas remaja yang sesuai dengan konteks yang ada di Indonesia.

15 15 2. Dapat memperkaya penelitian di bidang Psikologi Perkembangan yang memperhatikan konteks yang ada di Indonesia. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Perbedaan konteks yang mempengaruhi pembentukan identitas telah menjadi isu utama dalam penelitian identitas pada abad 21 sehingga sudah banyak penelitian yang mencoba menjelaskan perbedaan komponen pembentukan identitas yaitu proses, struktur dan hasil dari pembentukan identitas pada variasi konteks. Beberapa penelitian telah memperlihatkan sejumlah cara yang berbeda dalam mempelajari dan memahami pembentukan identitas yang sesuai dengan konteks tertentu. Pada umumnya penelitian tentang pengaruh konteks terhadap pembentukan identitas dilakukan dengan pendekatan lintas negara yang membandingkan dua atau lebih negara yang berbeda. Misalnya, pembentukan identitas remaja di Italia dan Belanda (Crocetti, Schwartz, dkk., 2012; Crocetti dkk., 2010), remaja di Jerman dan Kamerun (Busch & Hofer, 2011), remaja di Turki dan Amerika Serikat (Eryigit & Kerpelman, 2011; Taylor & Oskay, 1995), remaja di China, Taiwan, Japan, dan Amerika Serikat (Berman dkk., 2011), serta remaja di Korea dan Amerika Serikat (Bang & Montgomery, 2012). Penelitian lintas negara mencoba menjelaskan perbedaan konteks pada dua negara atau lebih untuk memahami pembentukan identitas pada masing-masing negara. Berbeda dengan penelitian pada umumnya, penelitian ini hanya dilakukan di satu negara yaitu Indonesia. Tidak sedikit penelitian tentang pengaruh konteks terhadap pembentukan identitas yang hanya dilakukan di satu negara. Misalnya, penelitian pembentukan identitas yang dilakukan di Italia (Laghi, Baiocco, Liga,

16 16 Guarino, & Baumgartner, 2013), Swedia (Bergh & Erling, 2005; Frisén & Wängqvist, 2010; Wängqvist & Frisén, 2013), Turki (Akman, 2007; Morsünbül & Atak, 2013), dan Taiwan (Lee & Beckert, 2012). Penelitian yang dilakukan di satu negara tertentu dapat menjelaskan secara komprehensif pengaruh konteks yang terdapat di negara tersebut yang terhadap pembentukan identitas. Penelitian mengenai pengaruh konteks terhadap pembentukan identitas banyak yang dilakukan dengan melibatkan variabel lain yang bersifat kontekstual. Misalnya, melibatkan variabel yang terkait dengan akulturasi (Schwartz dkk., 2013), persepsi terhadap pengambilan keputusan keluarga (Taylor & Oskay, 1995), evaluasi terhadap permasalahan keluarga (Akman, 2007), perspektif waktu (Laghi dkk., 2013), kebijaksanaan (Bang & Montgomery, 2012), kemandirian secara kognitif, dan afiliasi nilai budaya (Lee & Beckert, 2012). Melibatkan variabel lain pada penelitian pembentukan identitas dapat memudahkan dalam menjelaskan pengaruh konteks terhadap pembentukan identitas. Penelitian ini hanya melibatkan variabel yang merupakan komponen pembentukan identitas yaitu proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas dan tidak melibatkan variabel lain yang bersifat kontekstual. Meskipun terdapat beberapa penelitian yang tidak melibatkan variabel lain dalam meneliti pengaruh konteks terhadap pembentukan identitas, tetapi penelitian tersebut hanya meneliti salah satu dari komponen pembentukan identitas. Misalnya, Eryigit dan Kerpelman (2011) yang meneliti proses pembentukan identitas pada remaja Turki dan Amerika Serikat, Berman dkk. (2011) yang meneliti struktur pembentukan identitas pada remaja Cina, Taiwan, Japan, dan Amerika Serikat,

17 17 serta Bergh dan Erling (2005) yang meneliti hasil dari pembentukan identitas pada remaja Swedia. Berkaitan dengan hubungan antar variabel dari komponen pembentukan identitas, Crocetti, Sica, dkk. (2013) pernah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya, dimensi, dan fungsi identitas. Hasil penelitian menjelaskan hubungan antara gaya identitas dan fungsi identitas yang menunjukkan gaya informatif dan gaya normatif berhubungan secara positif dengan fungsi identitas sedangkan gaya menunda-menghindar memiliki hubungan negatif dengan fungsi identitas. Selain itu, hasil penelitian juga menjelaskan hubungan antara dimensi dengan fungsi identitas yang menunjukkan komitmen dan eksplorasi mendalam berhubungan secara positif dengan fungsi identitas, sedangkan peninjauan kembali komitmen memiliki hubungan negatif dengan fungsi identitas. Walaupun penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Crocetti, Sica, dkk. (2013) tetapi penelitian ini tidak melibatkan variabel fungsi identitas melainkan melibatkan variabel status identitas yang merupakan hasil dari pembentukan identitas. Pada penelitian yang dilakukan Crocetti, Sica, dkk. (2013), gaya dan dimensi identitas merupakan variabel bebas sedangkan pada penelitian ini, gaya dan dimensi identitas merupakan variabel penelitian yang berbeda yaitu gaya identitas sebagai variabel bebas dan dimensi identitas sebagai variabel tergantung. Schwartz dan Montgomery (2002) juga pernah melakukan penelitian yang melibatkan variabel dari komponen pembentukan identitas. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh akulturasi terhadap proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas. Apabila ditinjau dari tujuan penelitian maka

18 18 penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dan Montgomery (2002) karena sama-sama bertujuan untuk mengetahui proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas pada konteks tertentu. Meskipun demikian, terdapat perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dan Montgomery (2002) dengan penelitian ini. Pertama, Schwartz dan Montgomery (2002) menggunakan struktur pembentukan identitas yang dikonseptualisasikan oleh Marcia (1966) yaitu eksplorasi dan komitmen sedangkan penelitian ini menggunakan struktur pembentukan identitas yang dikonseptualisasikan oleh Crocetti, Rubini, dan Meeus (2008) yaitu komitmen, eksplorasi mendalam, dan peninjauan kembali komitmen. Kedua, Schwartz dan Montgomery (2002) tidak meneliti hubungan antar variabel dari komponen pembentukan identitas melainkan hanya meneliti konsistensi dari komponen pembentukan identitas yaitu proses, struktur, dan hasil dari pembentukan identitas pada variasi gender dan akulturasi budaya. Di Indonesia sendiri, penelitian tentang pembentukan identitas kurang masif dilakukan sehingga hanya sedikit data penelitian pembentukan identitas. Apabila meninjau penelitian pembentukan identitas yang sudah dilakukan di Indonesia, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Misalnya, Aulia (2013) melakukan penelitian tentang pembentukan identitas pada mahasiswa dengan melibatkan variabel penilaian anak terhadap keterlibatan ibu dan perilaku beragama. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penilaian anak terhadap keterlibatan ibu dan perilaku beragama dengan identitas. Selain Aulia (2013), Hehanussa (2011) meneliti hubungan antara identitas dan penalaran moral remaja yang mengalami perubahan konteks sosial.

19 19 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara identitas dan penalaran moral. Berbeda dengan Aulia (2013) dan Hehanussa (2011) yang melakukan penelitian kuantitatif tentang hasil dari pembentukan identitas, Hadori (2012) melakukan penelitian kualitatif fenomenologi tentang pembentukan identitas pada santri Pondok Pesantren. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembentukan identitas pada santri dipengaruhi oleh kepribadian dalam menyikapi penerapan peraturan pesantren, berbagai aktivitas yang sudah diwajibkan, pola pengasuhan kepala asrama, dan keberadaan teman sebaya.

Pembentukan Identitas Remaja di Yogyakarta

Pembentukan Identitas Remaja di Yogyakarta Jurnal Psikologi Volume 43, Nomor 3, 2016: 231 247 Pembentukan Identitas Remaja di Yogyakarta Darmawan Muttaqin 1, Endang Ekowarni 2 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Abstract. Context has been

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Identitas Ego 2.1.1 Definisi Identitas Ego Untuk dapat memenuhi semua tugas perkembangan remaja harus dapat mencapai kejelasan identitas (sense of identity) yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Identitas Ego 2.1.1. Definisi identitas Erikson (dalam Santrock, 2011) berpendapat bahwa identitas merupakan sebuah aspek kunci dari perkembangan remaja. Identitas merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan sepanjang rentang kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan dan harapan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa ini menimbulkan perubahan-perubahan baik itu secara fisik maupun

BAB I PENDAHULUAN. Masa ini menimbulkan perubahan-perubahan baik itu secara fisik maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa ini menimbulkan perubahan-perubahan baik itu secara fisik maupun psikologis menuju

Lebih terperinci

Validitas Utrecht-Management of Identity Commitments Scale (U-MICS) Versi Indonesia: Struktur Faktor, Invariansi Pengukuran Gender, dan Usia

Validitas Utrecht-Management of Identity Commitments Scale (U-MICS) Versi Indonesia: Struktur Faktor, Invariansi Pengukuran Gender, dan Usia Jurnal Psikologi Volume 44, Nomor 2, 2017: 83 96 DOI: 10.22146/jpsi.27578 Validitas Utrecht-Management of Identity Commitments Scale (U-MICS) Versi Indonesia: Struktur Faktor, Invariansi Pengukuran Gender,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran status identity di bidang akademik dalam pemilihan jurusan pada mahasiswa fakultas psikologi angkatan 2007 di Universitas X, Bandung. Metode yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Identitas Ego 2.1.1. Definisi Identitas Menurut Erikson (dalam Corsini, 2002), identitas adalah suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. POSTPURCHASE DISSONANCE A.1 Definisi Postpurchase Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan menikah seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Dalam kehidupan modern saat ini, mewujudkan penyesuaian diri dalam perkawinan tampaknya semakin sulit, apalagi bila usia individu yang menikah masih tergolong muda sehingga belum cukup matang atau

Lebih terperinci

materi tambahan dari diskusi kelas PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN oleh Dr. Triana Noor Edwina D.S., M.Si Fakultas Psikologi Mercu Buana Yogyakarta

materi tambahan dari diskusi kelas PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN oleh Dr. Triana Noor Edwina D.S., M.Si Fakultas Psikologi Mercu Buana Yogyakarta materi tambahan dari diskusi kelas PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN oleh Dr. Triana Noor Edwina D.S., M.Si Fakultas Psikologi Mercu Buana Yogyakarta DIRI Pemahaman Diri Pemahaman diri remaja merupakan konstruksi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran identitas diri pada remaja yang menikah dini. Bab ini adalah penutup dari seluruh naskah penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada kategori orang dewasa. Masa remaja merupakan tahap perkembangan kehidupan yang dilalui setelah

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT

PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT Modul ke: PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT Perkembangan Remaja Fakultas Psikologi Tenny Septiani Rachman, M. Psi, Psi Program Studi Psikologi http://www.mercubuana.ac.id Preface Masa remaja sering disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam suku, ras dan agama, hal ini yang memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku, ras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peserta didik pada jenjang pendidikan menengah, yakni Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berada dalam tahapan usia remaja, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di usia republik yang sudah melebihi setengah abad ini, sudah sepatutnya bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan setiap manusia dengan ciri khasnya masing-masing. Manusia tidak ada yang sama persis di dunia ini walaupun dengan saudara kembarnya sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa transisi ini remaja mengalami perubahan yang cepat dan fundamental menuju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual.

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. Remaja tidak mempunyai tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pernikahan adalah lembaga yang memungkinkan seorang laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pernikahan adalah lembaga yang memungkinkan seorang laki-laki dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah pernikahan adalah lembaga yang memungkinkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling mencintai menjalani kehidupan bersama secara intim, mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

Selamat Membaca dan Memahami Materi Perkembangan Kepribadian Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat Membaca dan Memahami Materi Perkembangan Kepribadian Rentang Perkembangan Manusia II Selamat Membaca dan Memahami Materi Perkembangan Kepribadian Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN oleh Dr Triana Noor Edwina DS, M.Si Fak Psikologi UMBY DIRI Pemahaman Diri Pemahaman

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilakukan seorang remaja. Menurut Havighurst (dalam

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai ethnic identity pada remaja etnis Jawa di gereja X Bandung berdasarkan proses eksplorasi dan komitmen yang dilakukan remaja tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Aspek Psikososial Remaja Masa remaja merupakaan masa dimana remaja mencari identitas, dan dalam proses pencarian identitas tersebut tugas utama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di masa remaja, individu mengalami peningkatan drastis terhadap berbagai fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu dengan masalah, dan tanpa disadari pula berulang kali individu menemukan jalan keluar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson BAB II LANDASAN TEORI A. Keintiman 1. Pengertian Keintiman Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman mengacu pada perasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan dalam hidup. Tuntutan-tuntuan itu tidak hanya pada satu aspek atau bidang kehidupan

Lebih terperinci

ABSTRAK. i Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. i Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran status identitas bidang pendidikan pada siswa kelas XI di SMA A Bandung. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

PROFIL REMAJA. Aspek Karakteristik Implikasi Pendidikan/Bimbingan. kematangan seksual secara signifikan yang memiliki

PROFIL REMAJA. Aspek Karakteristik Implikasi Pendidikan/Bimbingan. kematangan seksual secara signifikan yang memiliki Self secara Fisik (The Physical Self) PROFIL REMAJA Aspek Karakteristik Implikasi Pendidikan/Bimbingan Ditandai dengan pertumbuhan fisik dan pencapaian Layanan informasi yang tepat dan kematangan seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kekalutan emosi, instropeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi. Masa remaja adalah masa pemberontakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Salah satu tahap yang akan dihadapi individu jika sudah melewati. masa anak-anak akhir yaitu masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Salah satu tahap yang akan dihadapi individu jika sudah melewati. masa anak-anak akhir yaitu masa remaja. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti mengalami perkembangan tahap demi tahap yang terjadi selama rentang kehidupannya. Perkembangan tersebut dapat terjadi pada beberapa aspek, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan menguraikan beberapa teori terkait dengan judul yang peneliti sampaikan diatas. Di dalam bab ini akan menguraikan teori mengenai identitas diri pada remaja beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah homo socius atau makhluk sosial (Berger & Luckmann, 1966).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah homo socius atau makhluk sosial (Berger & Luckmann, 1966). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah homo socius atau makhluk sosial (Berger & Luckmann, 1966). Berger & Luckmann (1966) menjelaskan bahwa sejak kelahirannya, manusia telah memiliki

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembantu rumah tangga (PRT) sudah tidak asing lagi keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia, dan diantara pembantu tersebut masih banyak yang berada dalam

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masa remaja, menurut Stanley Hall, seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (storm and stress), karena mereka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantatif. Kuantitatif merupakan pendekatan yang memungkinkan dilakukan

BAB III METODE PENELITIAN. kuantatif. Kuantitatif merupakan pendekatan yang memungkinkan dilakukan 62 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantatif. Kuantitatif merupakan pendekatan yang memungkinkan dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

Prosiding Psikologi ISSN:

Prosiding Psikologi ISSN: Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Religious Identity Status pada Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Islam Bandung Descriptive Study about Religious Identity Status of Bandung

Lebih terperinci

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY 1. Definisi Permasalahan Perkembangan Perilaku Permasalahan perilaku anak adalah perilaku anak yang tidak adaptif, mengganggu, bersifat stabil yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa diharapkan memiliki prinsip yang kuat. Mahasiwa juga diharapkan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa diharapkan memiliki prinsip yang kuat. Mahasiwa juga diharapkan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan penerus bangsa yang dapat menjadi agen perubahan. Mahasiswa diharapkan memiliki prinsip yang kuat. Mahasiwa juga diharapkan memiliki kerjasama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah media penghantar individu untuk menuju masa depan yang lebih baik. Pendidikan merupakan salah satu solusi atau upaya yang dibuat agar dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja dengan perubahan yang mengacu pada perkembangan kognitif, biologis, dan sosioemosional (Santrock, 2012).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan sosial 2.1.1 Definisi kecerdasan sosial Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak

Lebih terperinci

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki beraneka ragam suku bangsa dan budaya. Masing-masing budaya memiliki adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas beberapa hal terkait penelitian termasuk latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan organisasi skripsi. A. Latar Belakang Penelitian

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan:

BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan: BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Regresi pertama adalah regresi linear berganda yang dimana Ha (hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PENELITIAN BAB 2 TINJAUAN PENELITIAN 2.1. Ego Development Definisi identitas menurut Erikson (dalam Subrahmanyam & Smahel, 2011) adalah perasaan subjektif terhadap diri sendiri yang konsisten dan berkembang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa bayi dianggap sebagai periode vital karena kondisi fisik dan psikologis pada masa ini merupakan fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan untuk masa selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Attachment pada manusia pertama kali terbentuk dari hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang berinteraksi dengan bayinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Passer & Smith, 2008). Fase remaja menunjukkan perkembangan transisional yang pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia membutuhkan manusia berkompeten untuk mengolah kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri, disiplin, jujur, berani,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja selalu diidentikan dengan masa pencarian identitas. Oleh karena itu identitas diri menjadi isu penting yang tidak dapat dipisahkan jika berbicara tentang remaja, baik remaja awal

Lebih terperinci

cepat dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja (adolescence) dalam bahasa inggris,

cepat dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja (adolescence) dalam bahasa inggris, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja sering disebut dengan masa pubertas yang digunakan untuk menyatakan perubahan biologis baik bentuk maupun fisiologis yang terjadi dengan cepat dari masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik itu secara biologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk yang tidak pernah berhenti berubah. Semenjak pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam kemampuan fisik maupun

Lebih terperinci

0.01 sebaran tidak normal. Tehnik uji yang digunakan adalah uji z dari. Uji ini untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan

0.01 sebaran tidak normal. Tehnik uji yang digunakan adalah uji z dari. Uji ini untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan 90 0.01 sebaran tidak normal. Tehnik uji yang digunakan adalah uji z dari Kolmogorov-Smirnov. b) Uji Linieritas hubungan. Uji ini untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan variabel

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik. Pada masa ini remaja tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis, perubahan terhadap pola perilaku dan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami rasa kesepian dalam dirinya, yang menjadi suatu pembeda adalah kadarnya, lamanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa

Lebih terperinci

dasar peran 1. Kepercayaan dasar >< Ketidakpercayaan

dasar peran 1. Kepercayaan dasar >< Ketidakpercayaan 1. Kepercayaan dasar >< Ketidakpercayaan dasar 2. Otonomi >< Rasa malu dan ragu-ragu 3. Inisiatif >< Rasa bersalah 4. Industri (kerajinan) >< inferioritas 5. Mencapai identitas diri >< Kebingungan peran

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Dwi Hurriyati

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Dwi Hurriyati Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 GAYA PENGASUHAN CONSTRAINING DENGAN KOMITMEN DALAM BIDANG PENDIDIKAN (STUDI KORELASI PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap warga negara Indonesia harus berperan serta secara positif untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap warga negara Indonesia harus berperan serta secara positif untuk mencapai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terus mengalami perkembangan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan menuju suatu kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di harapkan mampu memahami konsep, dapat memetakan permasalahan dan memilih solusi terbaik untuk permasalahan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MASA REMAJA (ADOLESENCE) PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir logis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perubahan dalam pandangan orang dewasa mengenai pernikahan. Hal ini didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi caloncalon intelektual. Mahasiswa

Lebih terperinci