PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh :"

Transkripsi

1 PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT Oleh : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT Oleh : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT F SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANAN TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 JUDUL SKRIPSI : PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT NAMA : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT NRP : F Menyetujui, Bogor, Agustus 2010 Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Drs. Purwoko, M.Si Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si NIP : Mengetahui, Ketua Departemen Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Tanggal Lulus :...

4 MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. F Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat. Di Bawah Bimbingan Purwoko dan Mulyorini Rahayuningsih RINGKASAN Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi insektisida mikroba adalah Bacillus thuringiensis (Bt). Bt merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang tergolong dalam kelompok bakteri gram positif. Penggunaan bioinsektisida sebagai pembasmi hama serangga merupakan alternatif yang dianggap tidak resisten terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berbahan baku produk samping (limbah) industri tahu yang murah sebagai bahan baku utama. Pemilihan limbah industri tahu (ampas tahu dan air tahu) dikarenakan kedua komponen tersebut mengandung nutrisi, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi media terbaik yang menghasilkan bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dan mengkaji tingkat toksisitas terhadap larva Croccidolomia binotalis (ulat kubis). Formulasi media menggunakan ampas tahu dan air tahu dengan perbandingan 20 : 80, 30 : 70, dan 40 : 60 serta jumlah starter yang ditambahkan 10, 15, dan 20 (% v/w). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, jam ke-30, dan jam ke-48 waktu fermentasi yang meliputi ph, total gula sisa, jumlah sel hidup, dan jumlah spora hidup. Uji toksisitas dilakukan terhadap larva Croccidolomia binotalis (ulat kubis). Pada analisis bahan baku diperoleh kadar karbon pada ampas tahu dan air tahu sebesar 5,64 % (bb) dan 0,27 % (bb), sedangkan kadar nitrogennya sebesar 0,42 % (bb) dan 0,02 % (bb). Selama fermentasi berlangsung, nilai ph pada cairan fermentasi mengalami peningkatan sedangkan total gula mengalami penurunan. Nilai ph cairan kultur berkisar antara 7,27 sampai 8,21. Efisiensi penggunaan substrat untuk fermentasi selama 30 jam berkisar antara 13,14 % (C2) sampai 33,61 % (A3) dan untuk fermentasi selama 48 jam berkisar antara 31,73 % (C3) sampai 41,91 % (B3). Jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media B3 (2,14 x 10 8 sel/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media A3 (1 x 10 7 sel/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam. Jumlah spora hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media B2 (2,95 x 10 7 spora/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam, sedangkan total spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media A1 (1,25 x 10 6 spora/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam.

5 Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap nilai ph, pertumbuhan Bta, dan pembentukan spora, namun tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa. Tingkat toksisitas tertinggi untuk fermentasi selama 30 jam diperoleh pada formula media A1 (1,34 mg/l) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada formula media C3 (174,16 mg/l). Sedangkan tingkat toksisitas tertinggi untuk fermentasi selama 48 jam diperoleh pada formula media A2 (7,44 mg/l) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada formula media C3 (45636,00 mg/l). Pada kontrol (air suling + prostiker) yang tidak diberi cairan produk bioinsektisida, tidak terdapat larva C. binotalis yang mati, sedangkan pada produk komersial (Bactospeine) diperoleh toksisitas sebesar 0,05 mg/l dengan potensi produk UI/mg.

6 MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. F Production of Bioinsectiside From Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Using Waste of Industrial Tofu As Substrate. Supervised by : Purwoko and Mulyorini Rahayuningsih ABSTRACT This research was to obtain the best media formulation oftions for bioinsectisides production using Bacillus thuringiensis subsp. aizawai and to asses the level of toxicity against larvae Crocidolomia binotalis (cabbage worms). Media formulation oftions using tofu waste and tofu waste water, with a ratio of 20: 80, 30: 70, and 40: 60 and the amount of starters added 10, 15, and 20 (% v /v). Observations done at 0, 30, and 48 hours of the cultivation time which include ph, total residual sugar, the total plate count, and the viable spore count. Toxicity tests were conducted by bioassay using larvae Crocidolomia binotalis (cabbage worms). The analysis of raw materials obtained on the carbon content of tofu waste and tofu waste water at 5.64% (wb) and 0.27% (wb), while the nitrogen content of 0.42% (wb) and 0.02% (wb). During the cultivation, the ph in the cultivation liquid was increased while total sugars is decreased. The ph values during cultivation was ranging from 7.27 to Efficient use of substrate for cultivation 30 hours ranged from 13.14% (C2) to 33.61% (A3) and for cultivation 48 hours ranged from 31.73% (C3) to 41.91% (B3). The highest total plate count in this research is media formulation of B3 (2.14 x 10 8 cells/ml) with cultivation time during the 48 hours, whereas the lowest total plate count in this research is media formulation of A3 (1 x 10 7 cells/ml) with cultivation time during the 48 hours. The highest amount of viable spore count in this research is the media formulation of B2 (2.95 x 10 7 spores/ml) with cultivation time during the 48 hours, whereas the lowest viable spore count in this research is the media formulation of A1 (1.25 x 10 6 spores/ml) with cultivation time during the 48 hours. Cultivation during 30 hours using media formula A1 produces crystal protein in high toxicity to Croccidolomia binotalis larva. This is indicated by the highest toxicity level from bioassay test which shown by medium formulae of A1, which was 1,34 mg/l, and the lowest toxicity level was shown by media formulae of C3, which was 174,16 mg/l. Whereas cultivation during 48 hours using media formulation of A2 produces crystal protein in high toxicity to Croccidolomia binotalis larva. This is indicated by the highest toxicity level from bioassay test which shown by medium formulae of A1, which was 7,44 mg/l, and the lowest toxicity level was shown by media formulae of C3, which was 45636,00 mg/l. In the control (distilled water + prostiker) who were not given fluids bioinsectiside products not found of C. binotalis larva is dead, while in the commercial product (Bactospeine) toxicity was obtained at 0.05 mg / L with potential products UI / mg.

7 PERNYATAAN Saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, Agustus 2010 MUHAMMAD SYUKUR SARFAT F

8 BIODATA PENULIS Muhammad Syukur Sarfat dilahirkan di Kendari pada tanggal 20 Oktober Putra pertama dari tujuh bersaudara ini menyelesaikan pendidikan dasar di SD Lahontohe tahun , Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 1 Tongkuno, tahun , dan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Tongkuno tahun Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada Bulan Agustus 2010, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat.

9 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan dari Bulan Maret 2010 sampai dengan Bulan Juli Dalam pelaksanaannya, telah melibatkan banyak pihak yang turut serta ikut membantu saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan yang besar bagi saya. 2. Drs. Purwoko, M.Si dan Dr. Ir. Mulyorini Rahyuningsih, M.Si, staf pengajar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sebagai dosen Pembimbing Akademik. 3. Dr. Ir. Suprihatin selakku dosen penguji atas saran dan masukannya. 4. Ir. Djoko Priyono, M Agr., Bapak Agus, dan saudari Febri di Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman IPB, atas larva ulat Crocidolomia binotalis. Saran, kritik, dan tanggapan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2010 Penulis i

10 UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Laboran di Departemen TIN : Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri Mulyati, Bapak Edi Sumantri, Bapak Gunawan, Bapak Sugiardi, Bapak Yogi Suprayogi atas bantuan, keramahan, dan keleluasan selama penelitian. 2. Seluruh staf perpustakaan TIN, FATETA, PAU, Biologi, HPT, dan LSI atas bantuannya dalam mencari berbagai literatur. 3. Tim Bioinsektisida (Erlin, Bagus, dan Ibu Ai), Tim Gambir (Echa, Mita, Okta, dan Santi), Tim Rempah-Rempah (Yos dan Cis), Tim RSM (Riska, Sandra, dan Mita), Tim Karet (Syahrun dan Syafiq), Tim Bioetanol (Law-Law, Mumun, Oni, dan Martin), Tim Minuman (Nidia, Dian, dan Dadin), Tim Tepung-tepungan (Muthi dan Karo), Juliando, Pangeran, Yulia, dan Cucu atas bantuan dan motivasinya selama penelitian. 4. Sahabat-sahabat Kost Budarjo yang telah memberi bantuan, semangat, dan motivasi. 5. Teman-teman Departemen TIN yang telah memberi bantuuan dan dukungan. ii

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. BIOINSEKTISIDA... 3 B. LIMBAH INDUSTRI TAHU... 3 C. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida KRISTAL PROTEIN (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI Bacillus thuringiensis D. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN KONDISINYA Media Pertumbuhan Dan Fermentasi Kondisi Fermentasi Pemanenan (Recovery) Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba E. LARVA Croccidolomia binotalis (Ulat Kubis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan Alat iii

12 B. METODE PENELITIAN Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Rancangan Percobaan IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU B. PERUBAHAN ph CAIRAN KULTUR C. PERTUMBUHAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA KULTIVASI D. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI E. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) DALAM CAIRAN HASIL KULTIVASI F. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu... 5 Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu... 5 Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis Tabel 4. Perbandingan Medium Kultivasi Tabel 5. Perlakuan pada kultivasi Bta Tabel 6. Hasil analisis kimia ampas tahu (AT) dan limbah cair tahu (LCT) Tabel 7. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7:1 23 Tabel 8a. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap produk bioinsektisida (kultivasi selama 30 jam) Tabel 8b. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap produk bioinsektisida (kultivasi selama 48 jam) Tabel 9. Perbandingan antara LC 50 dan potensi produk untuk masing-masing perlakuan (kultivasi 30 jam dan 48 jam) serta produk komersial v

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sel Bacillus thuringiensis... 6 Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis di dalam sel vegetatifnya... 7 Gambar 3. Bentuk kristal protein Bacillus thuringiensis berbentuk bipiramida.. 9 Gambar 4. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat Gambar 5. Larva, Kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis Gambar 6. Diagram Alir Pembiakan Inokulum Gambar 7. Diagram alir proses produksi bioinsektisida Gambar 8. Perubahan ph cairan kultivasi selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Gambar 9. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah sel Gambar 10. Penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Gambar 11. Efisiensi penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Gambar 12. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah spora vi

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian Lampiran 2. Perhitungan Susunan Medium Kultivasi Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Rekapitulasi Data ph Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Rekapitulasi Data Log Jumlah Sel Hidup (TPC) Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Rekapitulasi Data Total Gula Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Rekapitulasi Data Log Jumlah Spora Hidup (VSC) Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Lampiran 7. Contoh Penentuan LC 50 Menggunakan Program Probit Quant Lampiran 8. Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, vii

16 Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay) Hasil Kultivasi Lampiran 17. Dokumentasi Penelitian viii

17 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto, 2008). Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi insektisida mikroba adalah Bacillus thuringiensis (Bt). Bt merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang tergolong dalam kelompok bakteri gram positif. Bt diisolasi pertama kali pada tahun 1902, yang ditemukan di dalam larva ulat sutra (Bombyx mori) yang mati. Bt juga merupakan patogen (penyebab penyakit) bagi berbagai jenis serangga yang sangat spesifik. Saat sporulasi, bakteri menghasilkan kristal protein yang mengandung senyawa insektisida δ-endotoksin yang bekerja merusak sistem pencernaan serangga sehingga menyebabkan serangga akan berhenti makan dan mati dalam 1 4 hari (Djojosumarto, 2008). Sampai saat ini, semua formulasi komersial insektisida Bt merupakan campuran antara bahan aktif bakteri dengan bahan pembawa. Bahan aktif tersebut merupakan campuran antara spora dan kristal protein. Secara umum, produksi Bt sebagai bioinsektisida dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu fermentasi semi padat (semi solid cultivation) dan fermentasi terendam (subsmerged cultivation). Fermentasi berarti pemberian makanan mikroba dengan menghasilkan suatu yang bermanfaat atau produk akhir yang berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage, 1982). Produk Bt yang beredar di pasaran terdiri dari beberapa varietas atau subspesies Bt, masing-masing dengan berbagai strain, serotype, dan sebagainya. Namun pada penelitian ini, bioinsektisida yang akan diproduksi adalah Bacillus 1

18 thuringiensis subsp. aizawai. Bakteri ini sangat efektif dalam mengendalikan larva Lepidoptera, utamanya ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya. Produk komersial Bt telah beredar di pasaran dengan merek dagang Bactospeine/Duphar, Dipel/Abbott, dan Thuricide/Sandoz yang masih diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memproduksi sendiri bioinsektisida tersebut dari bahan yang ada di dalam negeri sehingga dapat menghindari ketergantungan akan bahan-bahan impor. Banyak media yang digunakan berasal dari bahan-bahan yang tersedia di alam yang mengandung karbon, nitrogen, dan mineral seperti bahan-bahan yang mengandung karbohidrat misalnya jagung, pati, molases, atau padi-padian sebagai sumber C (karbon) dan bahan-bahan yang mengandung protein seperti tepung biji kapas, corn steep liquor sebagai sumber N (nitrogen) (Couch dan Ross, 1980). Dalam penelitian ini, ampas tahu dan limbah cair tahu digunakan sebagai substrat dalam fermentasi. Kondisi perbandingan sumber karbon dan sumber nitrogen dalam media yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Wicaksono (2002) dan pernyataan Dulmage et al. (1990), yaitu 7 : 1. Untuk memperoleh rasio C/N yang sesuai, maka perlu ditambahkan urea. Alasan menggunakan ampas tahu dan limbah cair tahu sebagai substrat karena keduanya memiliki nutrisi, vitamin, dan mineral yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Selain itu, penelitian ini mencoba memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai substrat dalam memproduksi bioinsektisida Bt secara fermentasi semi padat dan kedua bahan tersebut mudah didapatkan dengan harga yang relatif murah. B. TUJUAN Tujuan penelitian secara umum adalah memanfaatkan ampas tahu dan limbah cair tahu untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan ampas tahu dan limbah cair tahu terhadap produksi bioinsektisida Bta. 2

19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan juga sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson, 1979). Adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bcillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo, 1997). Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan insektisida kimia. Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang spesifik terhadap hama serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya, penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan terjadinya penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut Becker dan Margalit (1993), penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. B. LIMBAH INDUSTRI TAHU Proses produksi tahu menghasilkan 2 jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dibuat kerupuk, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif 3

20 seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar (Anonim, 2009). Ampas tahu merupakan hasil samping dalam proses pembuatan tahu yang diperoleh dari hasil penyaringan susu kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang relative tinggi, karena pada proses pembuatan tahu tidak semua bagian protein bisa diekstrak, terutama jika menggunakan proses penggilingan sederhana & tradisional. Menurut Nurdjannah dan Usmiati (2009), kadar protein ampas tahu cukup tinggi yakni sekitar 6%. Pada umumnya ampas tahu dimanfaatkan untuk pakan ternak atau campuran oncom dan tempe gembus. Ampas tahu mempunyai peluang untuk digunakan dalam pembuatan tepung kaya serat dan protein yang dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan, dan sebagai media tumbuh dan perkembangan jamur. Proses pembuatan tahu tradisional hanya mampu mengekstrak sebagian protein kedelai, protein yang tidak terekstrak tetap bersama-sama matriknya dalam ampas tahu. Ampas tahu segar mempunyai tekstur yang lembek dengan kadar air yang tinggi serta memiliki daya tahan yang tidak lebih dari 24 jam dalam keadaan terbuka karena dapat terjadi kebusukan akibat timbulnya NH 3. Cara pengawetan ampas tahu adalah melalui pengeringan dengan oven menggunakan panas C selama jam (Prabowo et al, 1985). Ampas tahu yang dihasilkan oleh tiap-tiap pabrik tahu mempunyai komposisi yang tidak sama. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan penggunaan bahan dasar campuran, peralatan maupun proses pengolahan yang dijalankan. Pada pengolahan tahu masih banyak protein yang tertinggal dalam ampas tahu. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan kandungan mineral limbah ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2. 4

21 Tabel 1. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu Komponen Jumlah (% berat basis kering 1 dan basis basah 2 ) Limbah ampas tahu 1 Limbah limbah cair tahu 2 Air 13,83* 99,34*** Abu 3,36* 0,11*** Protein 15,75* 1,73**** Lemak 12,10* 0,6300**** Nitrogen 2,52* 0,05*** Serat 19,4700** - Sumber :* (Debby, et al., 2005) ** (Ridawati, 1993) *** (Hartati, 2010) **** (Nuraida,dkk, 1996) Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu Komponen Jumlah (ug/g) Ca 890,750 Mg 358,520 Fe 124,660 Cu 5,550 Pb 2,288 Zn 0,490 Sumber : (Ridawati, 1993) C. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA 1. Bacillus thuringiensis (Bt) Bt merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3 5 µm dan lebar 1,0 1,2 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini tergolong kedalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan famili Bacillaceae. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob tetapi umumnya aerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama δ-endotoksin (Shieh, 1994). Dulmage (1981) menyatakan bahwa selain menghasilkan δ-endotoksin, bakteri ini juga mampu menghasilkan α-eksotoksin, β-eksotoksin, dan faktor kutu. α-eksotoksin memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. β- eksotoksin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan 5

22 sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang dihasilkan dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. Bakteri Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Gambar 1. Spora Kristal Gambar 1. Sel Bacillus thuringiensis dalam perbesaran 1000 kali [spora intraseluler (terang) dan kristal protein (gelap)] (hpt:// Bt merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial Bt digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson, et al., 1992). Selain itu, menurut de Barjac dan Frachon (1990), Bt mempunyai sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan bersifat entomopatogenik. Spora Bt berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan, dan berukuran 1,0 1,3 µm. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu C. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan % dari berat kering spora. Asam ini bisa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium. Spora dan kristal Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Gambar 2. 6

23 Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis di dalam sel vegetatifnya ( 2. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage, 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ- endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkannya bersifat insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah C dengan suhu optimum C. Kisaran ph pertumbuhannya ialah 5,5 8,5 dengan ph optimum 6,5 7,5 (Benhard dan Utz, 1993). Bta dapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa sporulasi, Bta membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut juga δ-endotoksin (Sneath, 1986). Kristal protein Bta berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida terhadap larva serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera (Lereclus et al., 1993). 7

24 Sifat insektisida Bta berhubungan dengan gen penyandi kristal protein yang disebut gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan 2 gen cyt. Gen cry yang dimiliki Bta meliputi cry1a(a), cry1a(b), cry1c(a), cry1d(a) (Crickmore et al., 1998). Protein cry1c(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki Bta, yaitu cry1a(a), cry1a(b), cry1d(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1c(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al., 1996). Sedangkan menurut Liu et al (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningkatkan toksisitas kristal protein. Pada Bta, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1c(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain. 3. KRISTAL PROTEIN (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kda). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari 30 sampai 80 kda, setelah megalami hidrolisis pada kondisi ph alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kda. Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2 3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95 % dari keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5 % sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al., 1977). 8

25 Kristal protein Bt mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksis terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh, 1994). Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih. Bentuk kristal protein Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Bentuk kristal protein Bacillus thuringiensis berbentuk bipiramida ( Hofte dan Whiteley (1989) menjelaskan bahwa terdapat 14 gen penyandi kristal protein, 13 diantaranya disebut gen Cry (kristal protein) dan satu gen disebut dengan gen Cyt (sitolitik). Ke 13 gen Cry tersebut dikelompokkan ke dalam empat kelas berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya. Masing-masing kelas mempunyai toksisitas yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Berdasarkan tipe 9

26 patogenitasnya, Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk Spesifik untuk 1. Dipel (Abbott) ordo Lepidoptera 2. Bactospeine Bacillus thuringiensis Cry I Contoh : (Philips Duphar) subsp. kurstaki 1. Kupu-kupu 3. Thuricide 2. Moth 4. Javelin (Sandoz) Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Bacillus thuringiensis subsp. sandiego Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Sumber : (Ellar et al., 1986) Cry II Cry III Cry IV Spesifik untuk ordo Lepidoptera dan Diptera Contoh : 1. Ulat kubis 2. Ulat grayak Spesifik ordo Coleoptera Contoh : 1. Bettles untuk Spesifik ordo Diptera Contoh : 1. Nyamuk 2. Lalat rumah 3. Midges 4. Craneflies 5. Two wingedflies untuk Certan (Sandoz) 1. Trident (Sandoz) 2. M-One (Mycogen) 1. Vectobac (Abbott) 2. Bactimos (Philips Duphar) 4. Teknar (Sandoz) 4. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI Bacillus thuringiensis Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0,5 1,0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air-air dapat masuk ke dalam sel dan menyebebkan sel mengembang dan mengalami 10

27 lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley, 1989; Gill et al., 1992). Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek ( kda). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sestem pencernaan serangga yang mengubah Bt protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya poripori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat ( Kristal protein Bta yang tersusun atas protein cry1a(a) (32%), cry1a(b) (38%), cry1c(a) (26%), cry1d(a) (5%) (Wright et al., 1997) dengan berat molekul kda, apabila terserap dalam suasana basah, saluran pencernaan tengah serangga yang rentan akan terlarut dan terhidrolisis untuk menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya tersebut, protease akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran kda. Protein cry1a(a dan cry1a(b) akan berikatan dengan reseptor spesifik yang berukuran 210 kda pada membran mikrofili apical sel epithelium 11

28 usus tengah serangga, sementara protein cry1c(a) berikatan dengan reseptor lainnya yang berukuran 40 kda (Maagd et al., 1996). Ikatan antara toksin dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi toksin berupa lubang pada pori membran (Bravo, 1997). Fenomena tersebut mengakibatkan system pompa ion K + pada membran aplikasinya tidak berfungsi sehingga mengganggu keseimbnagan osmotik yang berakibat lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena gejala septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al., 1986 ; Hofte and Whiteley, 1989 ; Prieto-Samsonov et al., 1997). Aktivitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti ph dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret, 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bt dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al., 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bt. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener, 1994). D. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN KONDISINYA 1. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi Faktor yang mempengaruhi fermentasi Bt adalah komponen medium dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti ph, kelarutan oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes, 1971). Dalam pertumbuahan mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuahannya (Vandekar dan Dulmage, 1982). Medium basal untuk pertumbuhan Bt terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin 12

29 dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bt (Dulmage et al., 1990). Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi medium berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula medium menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi medium berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk Bt. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bt dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena semua galur Bt yang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/l, ph medium akan turun lebih rendah dari 5,6 5,8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan pertumbuhan Bt. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan Bt dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih lama. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida Bt adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung indosperma, dan kasein. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan 13

30 mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam medium fermentasi Bt ditambahkan 0,3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0,02 g/l MnSO 4. H 2 O, 0,02 g/l ZnSO 4.7 H 2 O, 0,02 g/l FeSO 4.7 H 2 O, dan 1,0 g/l CaCO 3. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhaap panas. Penambahan ion Mg 2+, Mn 2+, Zn 2+, dan Ca 2+ ke dalam medium perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bt (Vandekar dan Dulmage, 1982). 2. Kondisi Fermentasi Kondisi fermentasi Bt dalam labu kocok dilakukan pada suhu C, ph awal medium diatur sekitar ph 6,8 7,2, agitasi rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi jam. Sedangkan fermentasi Bt dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu C, ph awal medium sekitar 6,8 7,2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi rpm, aerasi 0,5 1,5 volume udara/volume medium/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi jam (Vandekar dan Dulmage, 1982; Pearson dan Word, 1988; dan Sikdar et al., 1993). Pertumbuhan optimum sebahagian bakteri terjadi pada ph sekitar 7. Nilai ph awal medium fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai ph awal untuk medium fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6,8 7,2. Selama fermentasi ph dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan ph, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikan ph. Nilai ph dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky, 1985). 14

31 Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubahubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok. Aerasi dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi adalah memperoleh O 2 untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kecepatan aerasi yang digunakan dalan sebahagian besar fermentasi adalah kira-kira 1,0 volume udara/volume medium/menit (v/v/m). Sedangkan agitasi bergantung pada ukuran fermentor dan diameter baling-baling. Jadi semakin besar fermentor maka semakin lambat kecepatan baling-baling. Sebagai contoh, pada fermentor 14 liter kecepatan agitasi 700 rpm dan pada fermentor 200 liter kecepatan agitasi 400 rpm (Vandekar dan Dulmage, 1982). 3. Pemanenan (Recovery) Bahan aktif insektisida Bt dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi sebuah produk tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky, 1985). 4. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini disebabkan karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia, 15

32 melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan Dulmage, 1982). Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC 50 ) dan International Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage, 1982) atau dosis letal (LD 50 ), Diet Dillution Unit (DDU 50 ) dan IU (Dulmage dan Rhodes, 1971). LC 50, LD 50, DDU 50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan internnasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut : E. LARVA Croccidolomia binotalis (Ulat Kubis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Croccidolomia binotalis (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae, ordo Lepidoptera, filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta (Kalshoven, 1981). Dalam siklus hidupnya, ulat ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (Suyanto, 1994). C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven, 1981). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di daratan rendah maupun daratan tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 5. Kerusakan yang disebabkan C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan, 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65,8 %. 16

33 Gambar 5. Larva, Kepompong, dan Dewasa Croccidolomia binotalis Larva yang baru keluar dari telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder eleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati, 1993). Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2,1 2,7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5,5 6,1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1,1 1,3 mm, stadium rata-rata 1,5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3,2 hari. Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9 10 mm (Prijono dan Hassan, 1992). Masa pupa berlangsung selama 9 13 hari (Othman, 1982) dan rata-rata 11,4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan, 1992). 17

34 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC) pada medium agar miring. Substrat yang digunakan adalah ampas tahu dan limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Cibanteng. Kubis yang digunakan diperoleh dari pasar-pasar tradisional dan super market. Serta larva ulat Croccidolomia binotalis (ulat kubis) yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO 4.7H 2 O, MnSO 4. H 2 O, ZnSO 4.7H 2 O, FeSO 4.7H 2 O, CaCO 3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH, CH 3 COOH, H 2 SO 4 pekat, fenil, garam fisiologis, etanol 95 %, aqua destilata, Pro-Stiker, dan spiritus. 2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, ph-meter, oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freezer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala. B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan a. Analisa Bahan Baku Analisa ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia ampas tahu dan limbah cair tahu yang digunakan, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar serat, kadar nitrogen, dan kadar karbon. Prosedur analisis tercantum pada Lampiran 1. 18

35 b. Penyiapan Inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Inokulum (kultur bibit) kultivasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum disajikan pada Gambar 6. Satu loop biakan Bt subsp. aizawai Inokulasi dalam 50 ml medium NB (labu pembibitan 1) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30 0 C ; 180 rpm ; 12 jam Kultur digunakan untuk menginokulasi labu pembibitan II (5 % dari volume media kedua) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30 0 C ; 180 rpm ; 12 jam Inokulum / Starter Gambar 6. Diagram Alir Pembiakan Inokulum 2. Penelitian Utama a. Penyiapan Media Kultivasi Susunan medium kultivasi yang akan dibuat dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4 yang dibuat dua kali ulangan. Tabel 4. Perbandingan Medium Kultivasi Sandi Medium Perbandingan Medium A Ampas Tahu 20% : Limbah cair tahu 80% B Ampas Tahu 30% : Limbah cair tahu 70% C Ampas Tahu 40% : Limbah cair tahu 60% 19

36 Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0,3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0,02 g/l MnSO 4. H 2 O, 0,02 g/l ZnSO 4.7 H 2 O, 0,02 g/l FeSO 4.7 H 2 O, dan 1,0 g/l CaCO 3. Pembuatan media kultivasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : ampas tahu dan CaCO 3 disterilkan secara terpisah dari urea, limbah cair tahu, dan trace alement. Bahan-bahan medium yang lain dicampur diatas pemanas berpengaduk. Setelah itu didinginkan sampai ± 50 0 C dan ph diatur hingga 7,2. Kemudian medium dibagi-bagi dalam beberapa labu erlenmeyer. Ampas tahu + CaCO 3 dan limbah cair tahu disterilkan dalam autoklaf pada suhu C selama 15 menit. Setelah steril dan dingin, ampas tahu + CaCO 3 dan limbah cair tahu dicampurkan menjadi satu sesuai formulasi yang ditentukan kemudian ditambahkan bahan-bahan lain secara aseptik. b. Kultivasi Kultivasi Bt subsp. aizawai dilakukan secara curah dengan kondisi kultivasi sebagai berikut : kultivasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 250 ml pada suhu C, ph awal medium diatur pada 6,5 7,5, volume medium fermenntasi 50 ml, diinkubasi menggunakan rotary shaking incubator dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 30 jam dan 48 jam. Kultivasi dilakukan dua kali ulangan dengan kondisi kultivasi yang sama antara ulangan I dan ulangan II. Tabel 5. Perlakuan pada kultivasi Bta Sandi Medium A B C Sandi Medium Kultivasi A 1 A 2 A 3 B 1 B 2 B 3 C 1 C 2 C 3 Jumlah Stater yang Ditambahkan 10 % (v/w) 15 % (v/w) 20 % (v/w) 10 % (v/w) 15 % (v/w) 20 % (v/w) 10 % (v/w) 15 % (v/w) 20 % (v/w) 20

37 c. Pemanenan Pemanenan (recovery) hasil kultivasi dilakukan pada waktu akhir inkubasi, yaitu pada jam ke-30 dan jam ke-48. Kemudian dilakukan analisis ph, total mikroba, jumlah spora hidup, total gula sisa, dan toksisitas. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 7. Diagram alir proses produksi bioinsektisida d. Penentuan Toksisitas Produk (Bioassay) Penentuan jumlah spora hidup yang terkandung dalam produk bioinsekktisida atau campuran spora-kristal hasil kultivasi dan pengujian toksisitasnya terhadap larva Croccidolomia binotalis yang dinyatakan dalam LC 50 dengan metode bioassay. LC 50 dapat ditentukan dengan menggunakan analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund, University of Wales, College of Cardiff, Inggris). 3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan dua kali ulangan. Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari dua peubah bebas (Faktor) dalam klasifikasi silang yaitu faktor A (konsentrasi ampas tahu dan limbah cair tahu sebagai substrat) yang terdiri dari 3 taraf dan 21

38 faktor B (konsentrasi starter yang digunakan) yang terdiri dari 3 taraf dan kedua faktor tersebut diduga saling berinteraksi. Saling berinteraksi dimaksudkan bahwa pengaruh suatu faktor tergantung dari taraf faktor yang lain, dan sebaliknya jika tidak terjadi interaksi berarti berarti pengaruh suatu faktor tetap pada setiap taraf faktor yang lain. Jadi bila tidak terjadi interaksi antar taraf-taraf suatu faktor saling sejajar satu sama lainnya, sebaliknya bila ada interaksi tidak saling sejajar Model rancangan percobaan pada penelitian utama menggunakan dua faktor yaitu faktor konsentrasi substrat yang terdiri dari 3 taraf, yaitu perbandingan ampas tahu dan limbah cair tahu 20 : 80, 30 : 70, dan 40 : 60 serta faktor konsentrasi starter yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 10, 15, 20 % (v/v) dan kedua faktor tersebut diduga saling berinteraksi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut : Y ij = µ + α i + β j + α i β j + ε ij (Hanafiah, 2005) Keterangan : Y ij = Variabel respon karena pengaruh faktor konsentrasi gula taraf ke i dan faktor konsentrasi starter taraf ke j µ = Efek rata-rata yang sebenarnya α i = Efek dari taraf ke i konsentrasi gula β j = Efek dari taraf ke j konsentrasi starter ε ij = Efek dari interaksi antara taraf ke i konsentrasi gula dan taraf ke j konsentrasi starter Data yang diperoleh dari pengukuran parameter, masing-masing dianalisis menggunakan analisis ragam uji F. Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD). 22

39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU Hasil analisis kimia bahan baku dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis kimia ampas tahu (AT) dan limbah cair tahu (LCT) Komponen Jumlah (% berat dalam basis basah) Urea Limbah ampas tahu Limbah cair tahu (%) Air 89,75 99,00 - Abu 5,20 0,43 - Protein 2,63 0,13 - Nitrogen (N) 0,42 0,02 46,67 Karbon (C) 5,64 0,27 20,00 Lemak 0,53 0,79 - Serat 2,21 0,01 - Karbohidrat by different 2, Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ampas tahu dan limbah cair tahu mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, seperti air, karbon, dan nitrogen (Vandekar dan Dulmage, 1982). Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7 : 1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (C/N ratio) adalah 7 : 1. Contoh perhitungan untuk mendapatkan nisbah C/N 7 : 1 dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 7. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1 Media A (20 % AT : 80 % LCT) B (30 % AT : 70 % LCT) C (40 % AT : 60 % LCT) C/N Ratio sebelum Penambahan Urea Jumlah urea yang ditambahkan (g/l) C/N Ratio setelah Penambahan Urea Total Karbon (C) g/l Total Nitrogen (N) g/l 13,41 : 1 2,07 7 : 1 13,88 1,98 13,32 : 1 2,91 7 : 1 19,41 2,77 13,34 : 1 3,75 7 : 1 24,93 3,56 23

40 Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi, yaitu 50 g/l, dengan nilai total karbon sebesar 20 g/l menyebabkan ph media turun lebih rendah dari 5,6 5,8. Namun hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, dimana pada konsentrasi karbon 24,926 g/l (media C) tidak menyebabkan ph media menurun, melainkan naik dari ph awal (Gambar 8). Penambahan urea dalam penelitian ini didasarkan pada rasio karbon dan nitrogen dari ampas tahu dan limbah cair tahu yang tidak sesuai dengan rasio yang diinginkan yaitu 13 : 1. Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan ph, tetapi penggunaannya cenderung tidak stabil sehingga perlu dibatasi (Stanburry dan Whitaker, 1984) Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Pada penelitian ini, medium kultivasi Bta ditambahkan 0,3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0,02 g/l MnSO 4. H 2 O, 0,02 g/l ZnSO 4.7 H 2 O, 0,02 g/l FeSO 4.7 H 2 O, dan 1,0 g/l CaCO 3. Wakisaka et al. (1982) di dalam Dulmage et al.(1990) menunjukkan bahwa ion K + menstimulasi produksi δ-endotoksin. Ion organik lainnya seperti Ca 2+ dan Mn 2+ juga menstimulir sporulasi. Menurut Bernhard dan Utz (1993), garam-garam fosfat pada umumnya ditambahkan dalam jumlah besar, karena sekaligus berfungsi sebagai larutan penyangga ph. B. PERUBAHAN ph CAIRAN KULTUR Pengukuran ph cairan kultivasi bertujuan untuk mengamati perubahan ph cairan selama kultivasi. Pengukuran ph dilakukan pada jam ke-0, jam ke-30, dan jam ke-48 waktu kultivasi. Hasil pengukuran ph cairan kultur (Gambar 8) menunjukkan bahwa secara umum ph cairan kultur mengalami peningkatan selama kultivasi. Peningkatan ph 24

41 pada jam ke-30 waktu kultivasi dan jam ke-48 waktu kultivasi (akhir kultivasi) masih mendekati ph optimum pertumbuhan Bt yang berkisar antara 6,5 7,5. Peningkatan ph dapat disebabkan karena terakumulasinya bahan-bahan alkali sebagai hasil biosintetik asam-asam amino ketika berinteraksi dengan air (Sneath, 1986). Ket : A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v) A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v) B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v) C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v) C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v) Gambar 8. Perubahan ph cairan kultivasi selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwasanya ph cairan kultivasi pada jam ke-0 berkisar antara 7,27 7,34, ph cairan kultivasi pada jam ke-30 berkisar antara 7,63 7,82, sedangkan ph cairan kultivasi pada jam ke-48 berkisar antara 7,94 8,21. Peningkatan ph pada jam ke-30 dan jam ke-48 masih berada pada ph pertumbuhan Bt pada umumnya, yaitu 5,5 8,5 (Benhard dan Utz, 1993). Hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 11), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap nilai ph pada cairan hasil kultivasi. Semakin lama waktu kultivasi, maka semakin tinggi ph pada cairan kultivasi yang disebabkan oleh biosintesis asam-asam amino yang menghasilkan senyawa alkali ketika bereaksi dengan air. 25

42 Kestabilan ph pada cairan kultivasi dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen di dalam media. Pada metabolism dengan sumber media yang konsentrasi nitrogennya lebih kecil akan menghasilkan zat alkali yang lebih sedikit, sehingga tidak dapat menetralisis asam-asam organik, seperti asam piruvat, asam sitrat, asam laktat, dan aseton yang dihasilkan dari proses degradasi gula (Sukmadi, et al., 1996). Dari Gambar 8 dapat dilihat pula bahwa secara umum, perbedaan formula media tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai ph pada cairan hasil kultivasi, kecuali formula media C2 yang berbeda secara nyata dengan formula media lainnya. Hal tersebut didukung dengan hasil uji beda nyata terkecil yang menunjukkan nilai selisih antar media lebih besar dari nilai beda nyata terkecil (LSD). C. PERTUMBUHAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA KULTIVASI Pertumbuhan sel Bta dapat diukur dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sel hidup (Gambar 9) diperoleh hasil untuk waktu kultivasi selama 30 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media B2 yaitu 1,79 x 10 8 sel/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media C3 yaitu 3,08 x 10 7 sel/ml. Untuk waktu kultivasi selama 48 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media B3 yaitu 2,14 x 10 8 sel/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media A3 yaitu 10 7 sel/ml. Hal ini menandakan bahwa jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media B3 dengan waktu kultivasi selama 48 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media A3 dengan waktu kultivasi selama 48 jam. Namun, jumlah sel hidup yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah dari hasil penelitian Rumiyantie (1999) yang menyatakan bahwa konsentrasi sel berkisar antara 2,15 x 10 9 sel/l sampai 2,53 x 10 9 sel/l untuk waktu kultivasi selama 48 jam. 26

43 Ket : A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v) A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v) B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v) C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v) C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v) Gambar 9. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah sel Dari dambar 9 dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah sel setelah kultivasi selama 30 jam dan 48 jam berbeda nyata dengan jumlah sel sebelum kultivasi. Sedangkan jumlah sel setelah kultivasi selama 30 jam tidak berbeda nyata dengan jumlah sel setelah kultivasi selama 48 jam. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 8), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi. Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel pada cairang hasil kultivasi disebabkan karena adanya perbedaan komponen media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan. Berdasarkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 12), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi selama 30 jam. Penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 10 % (v/v), penggunaan konsentrasi starter 20 % (v/v) tidak 27

44 berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 10 % (v/v), dan penggunaan konsentrasi starter 20 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v). Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 12 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan komponen media yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v) dan 20 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 10 % (v/v) dan penggunaan konsentrasi starter 20 % (v/v) tidak berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v). Sedangkan untuk perbedaan komponen media, penggunaan media B dan C berbeda nyata dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata dengan penggunaan media B. D. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI Hasil pengamatan terhadap total gula menunjukkan adanya penurunan total gula pada berbagai formulasi media selama kultivasi 30 jam dan 48 jam. Hal ini menandakan adanya proses konversi substrat menjadi biomassa dan produk oleh sel selama kultivasi berlangsung (Gambar 10). Dari hasil pengukuran total gula sisa diperoleh total gula sisa yang masih tinggi. Hal ini disebabkan karena kemampuan sel dalam menggunakan substrat untuk membentuk biomassa dan produk hanya sebahagiaan dari total gula yang ada. Biosintesis yang terjadi dalam memproduksi bioinsektisda diawali dengan hidrolisis komponen karbohidrat (pati) yang terdapat pada media menjadi glokosa. Degradasi dilakukan oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh sel bt selama masa pertumbuhannya. Menurut Bernhard dan Utz (1993), semua galur Bt mampu menghasilkan enzim amilase, sehingga bahan baku yang mengandung pati dapat digunakan langsung sebagai media kultivasi. Glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis kemudian digunakan oleh sel untuk menghasilkan produk bioinsektisida. Proses biosintesis yang dilakukan oleh Bt menghasilkan produk metabolit sekunder (kristal protein dan spora) yang merupakan produk yang tidak digunakan dalam proses pertumbuhannya, melainkan untuk mempertahankan diri 28

45 dari lingkungan sekitar. Semakin banyak glukosa yang digunakan untuk memproduksi bioinsektisida, maka tingkat efisiensi penggunaan substrat akan semakin tinggi. Ket : A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v) A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v) B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v) C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v) C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v) Gambar 10. Penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Berdasarkan analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 10), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairan hasil kultivasi, sedangkan perbedaan formulasi media tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairan hasil kultivasi. Hal ini menandakan terjadi penurunan total gula yang ada dalam cairan kultivasi selama kultivasi berlangsung. Namun perbedaan formulasi media yang digunakan tidak mempengaruhi perbedaan yang signifikan terhadap total gula untuk masing-masing formulasi. Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairang hasil kultivasi yang disebabkan karena adanya perbedaan komponen media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan. Namun, hal ini hanya terdapat pada total gula sisa setelah kultivasi selama 48 jam. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 29

46 % (Lampiran 14), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan komponen media tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairan hasil kultivasi selama 30 jam. Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 14 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan komponen media berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan media B dan C berbeda nyata dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata dengan penggunaan media B. Ket : A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v) A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v) B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v) C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v) C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v) Gambar 11. Efisiensi penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan berbagai formulasi media Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat pada Gambar 11 menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan substrat tertinggi untuk waktu kultivasi 30 jam adalah formulasi media A3 yaitu 33,61 %. Adapun efisiensi penggunaan substrat tersendah terdapat pada formulasi media C2 yaitu 13,14 %. Sedangkan efisiensi penggunaan substrat tertinggi untuk waktu kultivasi 48 jam adalah formulasi media B3 yaitu 41,91 %. Adapun efisiensi penggunaan substrat terendah terdapat pada formulasi media C2 yaitu 31,73 %. 30

47 Dari hasil dapat dilihat bahwa efisiensi penggunaan substrat masih terlalu rendah. Hal ini disebabkan karena kemampuan mikroba dalam menggunakan substrat ± hanya separuh dari jumlah substrat yang ada. Selain itu, tingginya kadar serat yang terdapat pada media dapat menyebabkan total gula sisa yang ada pada media masih tinggi. Hal ini disebabkan karena Bta tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi serat yang ada pada media menjadi gula-gula sederhana, sehingga serat yang ada pada media tidak dimanfaatkan oleh Bta untuk menghasilkan produk. Saat pengukutan total gula sisa, serat yang ada pada media ikut terukur karena serat yang ada telah terhidrolisis dalam waktu yang cepat menjadi gula-gula sederhana setelah adanya penambahan asam sulfat pekat. Menurut Kosaric et al. (1983), hidrolisis menggunakan asam pekat tidak membutuhkan waktu yang lama (berlangsung dengan cepat). E. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) DALAM CAIRAN HASIL KULTIVASI Penentuan jumlah spora (VSC) dalam cairan hasil kultivasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas kultivasi dengan spora hidup yang terbentuk. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah spora hidup (Gambar 12) diperoleh hasil untuk waktu kultivasi selama 30 jam, jumlah spora hidup tertinggi terdapat pada formulasi media B2 yaitu 1,65 x 10 7 spora/ml, sedangkan jumlah spora hidup terendah terdapat pada formulasi media A2 yaitu 1,25 x 10 6 spora/ml. Untuk waktu kultivasi selama 48 jam, jumlah spora hidup tertinggi terdapat pada formulasi media B2 yaitu 2,95 x 10 7 spora/ml, sedangkan jumlah spora hidup terendah terdapat pada formulasi media A1 yaitu 1,25 x 10 6 spora/ml. Hal ini menandakan bahwasanya jumlah spora hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media B2 dengan waktu kultivasi selama 48 jam, sedangkan jumlah spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media A1 dengan waktu kultivasi selama 48 jam. Jumlah spora hidup yang diperoleh dari hasil penelitian ini masih berada di bawah jumlah spora hidup yang dilakukan oleh Dubois dalam Goldberd et al. (1980) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kultivasi dengan sistem batch 31

48 dengan skala laboratorium dalam memproduksi Bt akan menghasilkan spora sebesar 2 x 10 8 spora/ml. Selain itu, log jumlah spora hidup yang dihasilkan dari penelitian ini masih lebih rendah dari log jumlah spora hidup yang dihasilkan oleh Wicaksono (2002) yang menggunakan onggok tapioka sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen, yaitu berkisar antara 7,92 sampai 8,43 untuk waktu kultivasi selama 48 jam. Namun, log jumlah spora hidup yang dihasilkan dari penelitian ini masih lebih baik dari log jumlah spora hidup yang dihasilkan oleh Afriatni (2003) yang menggunakan glukosa sebagai sumber karbon dan (NH 4 ) 2 SO 4 sebagai sumber nitrogen, yaitu berkisar antara 4,34 sampai 7,62 untuk waktu kultivasi selama 48 jam. Ket : A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v) A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v) B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v) C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v) C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v) Gambar 12. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah spora Bedasarkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 9), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media serta interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu kultivasi berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi. Sedangkan perbedaan waktu kultivasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi. 32

49 Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi yang disebabkan karena adanya perbedaan komponen media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan. Namun, hal ini hanya terdapat pada jumlah spora setelah kultivasi selama 48 jam. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 13), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan komponen media tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi selama 30 jam. Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 13 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan komponen media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan media B dan C berbeda nyata dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata dengan penggunaan media B. F. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA Penetuan tingkat mortalitas serangga target bertujuan untuk menentukan LC 50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC 50 merupakan konsentrasi toksin dalam contoh yang dapat membunuh 50 % dari serangga uji (Vandekar dan Dulmage, 1982). Semakin kecil nilai LC 50 maka semakin efektif produk yang dihasilkan, yang berarti semakin besar tingkat toksisitasnya. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) dapat dilihat pada Tabel 8a dan Tabel 8b. Pada Tabel 8a dan Tabel 8b menunjukkan bahwa kematian larva C. binotalis yang diumpankan benar-benar disebabkan oleh pengaruh bahan aktif Bta yang diberikan. Terbukti pada cawan kontrol (air suling tanpa pemberian bioinsektisida) larva yang diumpankan tetap hidup, sehat, tumbuh dengan normal, dan dapat berkembang ke instar berikutnya. Larva C. binotalis yang mati akibat perlakuan, tubuhnya menjadi keriput, kering, dan beruba warna menjadi coklat kehitaman. Selain itu, sisa larva yang tidak mati bukan berarti tetap sehat, melainkan larva-larva tersebut menunjukka gejala-gejala tidak normal, seperti kurang aktif bergerak, tubuh menjadi kecil atau kurus, serta lambat atau tidak dapat berkembang ke instar berikutnya. 33

50 Tabel 8a. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap produk bioinsektisida (kultivasi selama 30 jam) Sandi Media Susunan Media Starter (%v/v) Bobot (g/l) Mortalitas (%) pada Berbagai Konsentrasi A1 AT 20 % LCT 80 % A2 AT 20 % LCT 80 % A3 AT 20 % LCT 80 % B1 AT 30 % LCT 70 % B2 AT 30 % LCT 70 % B3 AT 30 % LCT 70 % C1 AT 40 % LCT 60 % C2 AT 40 % LCT 60 % C3 AT 40 % LCT 60 % Bactospeine Air Suling (non bioinsektisida) - 0 Tabel 8b. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap produk bioinsektisida (kultivasi selama 48 jam) Sandi Media Susunan Media Starter (%v/v) Bobot (g/l) Mortalitas (%) pada Berbagai Konsentrasi A1 AT 20 % LCT 80 % A2 AT 20 % LCT 80 % A3 AT 20 % LCT 80 % B1 AT 30 % LCT 70 % B2 AT 30 % LCT 70 % B3 AT 30 % LCT 70 % C1 AT 40 % LCT 60 % C2 AT 40 % LCT 60 % C3 AT 40 % LCT 60 % Bactospeine Air Suling (Non Bioinsektisida) - 0 Dari hasil mortalitas serangga target diperoleh nilai LC 50 dari produk bioinsektisida yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengujian LC 50 pada Tabel 9 diperoleh bahwasanya nilai LC 50 terkecil dari produk bioinsektisida yang dikultivasi selama 30 jam dihasilkan oleh formulasi media A1 yaitu 1,34 mg/l, sedangkan nilai LC 50 terkecil dari produk bioinsektisida yang dikultivasi selama 34

51 48 jam dihasilkan oleh formulasi media A2 yaitu 7,44 mg/l. Hal ini berarti potensi dari kedua perlakuan tersebut lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya untuk waktu kultivasi yang sama. Namun ketika dibandingkan dengan nilai LC 50 dan potensi dari produk komersial (Bactospeine), nilai LC 50 Bactospeine lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC 50 dari setiap perlakuan dalam penelitian ini. Hal ini menandakan bahwa potensi dari produk bioinsektisida yang dihasilkan dalam penelitian ini masih lebih kecil dari potensi produk Bactospeine. Tabel 9. Perbandingan antara LC 50 dan potensi produk untuk masing-masing perlakuan (kultivasi 30 jam dan 48 jam) serta produk komersial Simbol Media Starter (%v/v) LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg) Susunan Media 30 Jam 48 Jam 30 Jam 48 Jam A1 AT 20 % LCT 80 % A2 AT 20 % LCT 80 % A3 AT 20 % LCT 80 % B1 AT 30 % LCT 70 % B2 AT 30 % LCT 70 % B3 AT 30 % LCT 70 % C1 AT 40 % LCT 60 % C2 AT 40 % LCT 60 % C3 AT 40 % LCT 60 % Bactospeine Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa nilai LC 50 memiliki korelasi yang berlawanan dengan potensi produknya, dimana semakin kecil nilai LC 50 yang dihasilkan, maka semakin besar potensinya. Dengan semakin besar potensi produk yang dihasilkan, maka semakin besar toksisitasnya dan semakin besar efektivitasnya. Nilai LC 50 maupun potensi produk tidak selalu berkorelasi positif terhadap nilai TPC dan VSC produk. Hal ini menandakan bahwasanya, tingkat toksisitas produk bioinsektisida tidak selamanya dipengaruhi oleh jumlah sel dan jumlah spora yang terkandung dalam produk bioinsektisida tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani (2005) pada Bt kurstaki, Rahayuningsih (2003) pada Bt israelensis, dan Morris et al., (1996) pada Bt aizawai. Menurut Dulmage dan Rhodes di dalam Burges dan Hussey (1971), 35

52 toksisitas spora Bt terhadap serangga target dipengaruhi oleh strain bakteri dan keadaan serangga target tersebut. Struktur kristal yang berbeda untuk setiap strain Bt berpengaruh pada toksisitas spora yang dihasilkan oleh sel Bt. Selain itu, ukuran molekul protein yang menyasun kristal dan kondisi ph di dalam usus besar serangga target akan berpengaruh pada kelarutan kristal protein (Budgenjon dan Martouret di dalam Burges dan Hussey, 1971) serta struktur dan susunan molekul asam amino di dalam kristal protein (Schnepf et al., 1998) juga mempengaruhi tingkat toksisitas dari produk bioinsektisida yang dihasilkan. Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebahagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat molekul 130 sampai 140 kilodalton (kda). Polipeptida tersebut merupakan protoksin yang dapat diubah menjadi toksin dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 dampai 80 kda setelah mengalami hidrolisis dalam keadaan ph alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktifitas insektisida tersebut akan hilang jika berat molekul polipeptidanya kurang dari 30 kda. Menurut Budgenjon dan Martouret di dalam Burges dan Hussey (1971), kemampuan protease yang ada di dalam sel pencernaan serangga untuk mencerna kristal protein dan adanya reseptor khusus yang mampu mengikat toksin juga mempercepat aktifitas kerja bioinsektisida. 36

53 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Penggunaan ampas tahu dan limbah cair tahu dengan perbandingan 20 : 80, 30 : 70, dan 40 : 60 dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bta. Jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media B3 (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 % dengan starter 20 % (v/v)) yaitu sebesar 2,14 x 10 8 Sel/ml dengan waktu kultivasi selama 48 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah dihasilkan oleh formulasi media A3 (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 % dengan starter 20 % (v/v)) yaitu sebesar 1 x 10 7 Sel/ml dengan waktu kultivasi selama 48 jam. Waktu kultivasi 30 jam dengan formulasi media B2 (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 % dengan starter 15 % (v/v)) menghasilkan jumlah spora hidup tertinggi sebesar 1,65 x 10 7 spora/ml. Sedangkan untuk waktu kultivasi 48 jam dengan formulasi media B2 (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 % dengan starter 15 % (v/v)) juga menghasilkan jumlah spora hidup tertinggi sebesar 2,95 x 10 7 spora/ml. Selama kultivasi berlangsung, nilai ph pada cairan kultivasi mengalami peningkatan sedangkan total gula mengalami penurunan. Efisiensi penggunaan substrat untuk kultivasi selama 30 jam berkisar antara 13,14 % sampai 33,61 % dan untuk kultivasi selama 48 jam berkisar antara 31,73 % sampai 41,91. Semakin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka semakin tinggi efisiensi penggunaan substrat. Semakin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka semakin kecil nilai LC 50 dan semakin tinggi potensi produknya. Tingkat toksisitas tertinggi untuk kultivasi selama 30 jam diperoleh pada formulasi media A1 (1,34 mg/l) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada formulasi media C3 (174,16 mg/l). Sedangkan tingkat toksisitas tertinggi untuk kultivasi selama 48 jam diperoleh pada formulasi media A2 (7,44 mg/l) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada formulasi media C3 (45636,00 mg/l). 37

54 B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, makin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka makin kecil nilai LC 50 dan makin tinggi potensi produknya, sehingga yang perlu disarankan adalah diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan media limbah cair tahu dengan konsentrasi yang lebih tinggi. 38

55 DAFTAR PUSTAKA Afriatni, A Pengaruh Rasio Karbon dan Nitrogen (C/N) Terhadap Daya Toksisitas Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonym Sisi-Sisi Yang Dapat Dikembangkan Pada Industri Tahu. Diakses tanggal 15 Maret AOAC, Official Methods of Analysis of The Association of Official Agriculture Chemist, Washington, D. C. Aronson, A., I., W. Beckman dan P. Dunn Bacillus thuringiensis dan Related Insect Pathogen. Microbial. Rev. 50 (1) : Bahagiawati Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Bailey, J. E. dan D. F. Ollis Dasar Dasar Biokimia. Terjemahan. PAU IPB, Bogor. Becker dan J. Margalit Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. s. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester : Behle, R. W., P. Tamez-Guerra, B. S. Shasha, dan M. R. McGuire Makalah Formulations Forum 99. Formulating Bioinsecticides to Improve Recidual Activity. University Peoriia, Illiois. Bernhard, K. dan R. Utz Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for Experimental and Commercial Uses, Hlm Di dalam P. F. Entwilse, J. S. Cory, M. J. Bailey, dan S. Higgs (Penyunting). Bacillus thuringiensis An Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester. Benoit, L. G., G. R. Wilson dan C. L. Baugh Cultivation During Growth and Sporulation of Bacillus thuringiensis HD-1. Left. Appl. Microbial. 10 : Bravo, A Phylogenetic Relationship of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin Family Protein and Their Functional Domains. Bacterial. 179 (9) : Bulla, L. A., K. J. Kramer, dan L. I. Davidson Characterization of The Entomocidal Parasporal Crystal of Bacillus thuringiensis. J. Bacteriol. 130 (1) :

56 Burgerjon, A. dan D. Martouret Determination and Significance of The Host Spectrum of Bacillus thuringiensis. Pp Di dalam H. D. Burges and N. W. Hussey (Penyunting). Microbial Control of Insect and Mites. Academic Perss. London. Cookson, J. T Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill, Inc. Toronto. Couh, T. L. and D. A. Ross Production and Utilization of Bacillus thuringiensis. Biotechnol and Bioengi. 22 ; Debby, M. S., C. Tjahjadi, M. Herudiyanto, dan T. Sukarti Mekanisme Produksi Minyak Sel Tunggal dengan Sistem Kultivasi Padat pada Media Onggok-Ampas Tahu dengan Menggunakan Kapang Aspergillus terreus. Artikel Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. XVI. De Barjack, H. dan E. Frachon Classification of Strain Bacillus thuringiensis. Entomophage 36 : Djojosumarto, P Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Dubois, M. K., AGilles, J. K. Hamilton, D. A. Rebers, dan F. Smith Colorimetric Methods for Determination of Sugar and Related Substances. Analitical Chemist 28: Dulmage, H. T Insecticidal Activity of Isolates of Bacillus thuringiensis and Their Potential for Pest Control. Di dalam H. D. Burges (editor). Microbial Control Pest and Plant Disease Academic Press, New York. Dulmage, H. T. and Rhodes, R. A Production of Pathogens in Artificial Media, pp In : Burges, H.D. (ed). Microbial Control of Pest and Plant Diseases Acad Press, New York. Dulmage, H. T., J. A. Correa and G. G. Morales Potential of Improved Formulation of Bacillus thuringiensis through Standardization and Cultivation Development. Di dalam Bacterial Control of Mosquitoes and Blackfleis : Biochemistry, Genetics and Application of Bacillus thuringiensis and Bacillus sphaericus. Eds : H. D. Barjac and D. J. Sutherland. Rutgers University Press. New Brunswick, New Jersey, USA Ellar, D. J., Knowles, B. H. Haider, M. Z., dan F. A. Drobniewski Investigation of The Specificity, Cytotoxic Mechanisms and Relatedness of Bacillus thuringiensis Insecticidal delta-endotoxin from Different Pathotypes. Zentralblatt fur Bakteriologie, Mikrobiologie, und Hygiene; Suppl. 5, bacterial Protein Toxins Gastav Fisher Verlag, Stutttgart. Faust, R. M. and L. A. Bulla, Jr Bacteria and Their Toxins as Insecticides, Hlm Di dalam E. kurstak (Penyunting). Microbial and Viral Pesticides. Marcel Dekker Inc, New York. 40

57 Feitelson, J. S., Payne, and L. Kim Bacillus thuringiensis : Insects and Beyond. Biotechnology. 10 : Di dalam Bahagiawati (2002). Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Bulletin Agrobio 5 (1) : Gill, S. S., E. A. Knowles, and P. V. Pietrantonio The Mode of Action of Bacillus thuringiensis Endotoxins. Annu. Rev. Entomol. 37 : Goldberd, I., B. Sneh., E. Battat and D. Klein Optimization of A Medium for A High Yield Production of Spore-Crystal Preparation of Bacillus thuringiensis Effective Against The Egyptian Cotton Leaf Worm Spodoptera littoralis Boisd. The Cultivation Unit, The Hebrew University. Harjadi, S Dasar-Dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartati, N Pengaruh Aerasi Terhadap Produksi Biopestisida Oleh Pseudomonas putida Menggunakan Substrat limbah cair tahu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hofte, H. dan H. R. Whiteley Insecticidal Crystal Protein of Bacillus thuringiensis. Microbial. Rev. Entomol. 12 : Ignoffo, C. M. dan R. F. Anderson Bioinsecticides, pp In H. J. Peppler and D. Perlman, eds. Microbial Technology. Acad. Press, New York. Ridawati Produksi Pigmen oleh Monascus purpureus BC pada Media Campuran Limbah Cair Tapioka, Ampas Tapioka dan Ampas Tahu. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Kalshoven, L. G. E The Pest of Crops in Indonesia. (terjemahan). PT. Ichtiar Baru Van-Hoeve, Jakarta. Kosaric, H., A. Wieczorek, G. P. Cosentino, R. J. Magee, and J. E. Prenosil Ethanol Cultivation. Di dalam H. Dellweg. Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie, Weinheim. Lereclus, D., A. Delecluse, and M. M. Lecadet Diversity of Bacillus thuringiensis Toxins and Genes, Hlm Di dalam P. F. Ent Wisle, J. S. Cory, M. J. Bailey, and S. Higgs (Penyunting). Bacillus thuringiensis An Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester. Liu, W. H. and P. K. Bajpai A Modified Growth Medium for Bacillus thuringiensis Biotechnol Prog. 11: Mangunwidjaja, D. dan Suryani A Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya, Jakarta. 41

58 Margalit, J. dan D. Dean The Story of Bacillus thuringiensis subs israelensis. Am. Mosg. Contr. Assoc. 1, 1 7. Milne, R. AZ. Ge. De. Rivers dan D. H. Dean Specificity of Insecticidal Crystal Proteins : Implication for Industrial Standardization. Di dalam Analytical Chemistry of Bacillus thuringiensis. Editor : Hickle, L. A. dan W. L. Petch. American Chemical Society. Washington DC. Morris, O. N., P. Kanagaratman, and Converse Suitability of 30 Agricultural Products and By-Products as Nutrient Sources for Laboratory Productions of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (HD133). Journal of Pathology 70 : Muller-Cohn, J., J. Chaufaux, C. Buisson, N. Gilois, V. Sanchis, and D. Lereclus Spodoptera littoralis (Lepidoptera : Noctuidae) Restitance To Cry 1C and Cross-Resistance To Other Bacillus thuringiensis Crystal Protein. J. Econ. Entomol. 89(4) : Mummigatti, S. G. and Raghunathan Influence of Media Composition on the Production of Delta-Endotoxin by Bacillus thuringiensis. J. Invertebr. Pathol. 55 : Nugrahani, W Pemanfaatan Wheat Pollard dan Wheat Bran sebagai Substrat pada Produksi Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. kursstaki. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nuraida, L., A. H. Sihombing, dan Srikandi, F Produksi Karotenoid Pada Limbah Climbah cair tahu, Air Kelapa, dan Onggok oleh Kapang Neurospora sp. Artikel Bulletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. VII. Nurdjannah, N. dan Sri Usmiati Isolasi dan Karakterisasi Protein Ampas Tahu. Diakses tanggal 19 Februari Othman, N Biology of Croccidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) and Its Parasites From Cipanas Area (West Java). Research Report. SEAMEO Center for Tropical Biology, Bogor. Pearson, D., and O. P. Ward Effect of Culture Conditions on Growth and Sporulation of Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis and Development of Media for Production of The Protein Crystal Endotoxin. Biotechnol. Lett. 10 (7) : Permadi, A. H. dan Sastrosiswojo S Kubis. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura, Lembang. Prabowo, A.D., Samain dan Rangkuti, M Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Makanan Tambahan dalam Usaha Penggemukan Daging Potong. Buletin Limbah Pangan :

59 Prapanca Kol Alias Kubis. Cetakan XVI. Jakarta. Penebar Swadaya. Prijono, D. dan E. Hasan Life Cycle and Demography of Croccidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) on Broccoli in Laboratory. Indon. J. Trop. Agric. 4 : Quinlan, R. J. and S. G. Lisansky Microbial Insecticides, pp Di dalam H. Dellweg (editor). Biotechnology vol. 3. Verlag Chemis, Weinheim. Rahyuningsih, M Toksisitas dan Pembedaan Aktivitas Dipterosidal Bioinsektisida Bacillus thuringiensis var. israelensis Tipe Liar dan Mutan pada berbagai Formulasi Media dan Kondisi Kultivasi. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranchman, A Pengantar Teknologi Kultivasi. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor. Rehm, H. J. dan G. Reed Biotechnology vol. 1. Microbial Fundamentals. Verlag Chemic., Weinheim. Rumiyantie, R. R Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Skala Pilot Dengan Urea Sebagai Sumber Nitrogen Tambahan. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schnepf, E., N. Crickmore, J. van Rie, D. Lereclus, J. Baum, J. Feitelson, D. R. Zeigler, and D. H. Dean Bacillus thuringiensis and its Pesticidal Crystal Proteins. Microbial. Mol. Boil. Rev. 62 (3) : Shieh, T. R Identification and Classification of Bacillus thuringiensis. Komisi Pestisida Departemen Pertanian, Jakarta. Sastrosiswojo, S. dan W. Setiawati Hama-Hama Tanaman Kubis dan Cara Pengendalian. Hal Dalam A. H. Permadi dan S. Sastrosiswojo (ads.), Kubis. Ballitan dan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu, Jakarta. Sikdar, D. P., M. K. Majumdar dan S. K. Majumdar Optimization of Process for Production of Delta-Endotoxin by Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis in a 5 litre Fermentor. Biochemical Archieves. 9 : Sneath, P. H. A Endospore-forming gram-positive Rods and Cocci, Hlm Di dalam P. H. A. Sneath, N. S. Mair, M. E. Sharpe, and J. G. Holt (Penyunting). Bergey s Manual of Systematic Bacteriologi. Volume 2 Baltimore, USA. Soeroto, H. A. dan Cahyaniati Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta : Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 43

60 Stanbury, P. F. dan A. Whitaker Principles of Cultivation Technology. Pergamon Press, London. Suastuti, MGAMDA Pemenfaatan hasil samping industry pertanian molase dan limbah cair tahu sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk produksi biosurfactan oleh Bacillus sp galur komersial dan local. Tesis. Program Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor, Bogor. Swadener, C Bacillus thuringiensis. Journal of Pesticides Reform vol. 14. No.3 : Northwest Coalition for Alternative to Pesticides. Canada. Trizelia Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana/SC. Institup Pertanian Bogor, Bogor. Uhan, T. S Kehilangan Hasil Panen Karena Ulat Krop Kubis (Croccidolomia binotalis Zell) dan Cara Pengendaliannya. J Hort 3 : Vandekar, M. And H. T. Dulmage Guidelines for Production of Bacillus thuringiensis H-14. Special Programe for Research and Training in Tropical Diseases. Geneva, Switzerland. Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. L. Demain, P. Dunhil, A. E. Humprey dan M. D. Lily Cultivation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Wicaksono, Y Pemanfaatan Onggok Tapioka dan Urea sebagai Media Sumber Karbon dan Nitrogen dalam Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yamamoto, T., T. Lizuka and J. N. Aronson Mosquitocidal Protein of Bacillus thuringiensis var. israelensis : Identification and Partial Isolation of The Protein. Current Microbiology, Vol. 9, pp

61 LAMPIRAN 45

62 Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian Analisis Proksimat Bahan Baku a. Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan alumenium kosong dipanaskan dengan oven C selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4 5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu C selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C : Bobot sampel basa (g) b. Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 4 5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas Bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkaan ke dalam tanur pada suhu C sampai menjadi abu. Cawan didinginkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu C selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : A : Bobot cawan berisi abu sampel (g) B : Bobot cawan (g) C : Bobot sampel basa (g) 46

63 c. Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal Sampel sebayak 0,2 gram, ditambahkan dengan 1 gram CuSO 4, 1,2 gram Na 2 SO 4, dan 2,5 larutan H 2 SO 4 pekat dan didestruksi dalam labu Kjedhal selama 1 jam. Setelah dingin ditambahkan larutan NaOH 50 % sebanyak 15 ml dan didestilasi. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi larutan HCl 0,02 N. destilat dititrasi dengan larutan HaOH 0,02 N yang sebelumnya telah ditambahkan indicator mensel. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang digunakan untuk titrasi. Blangko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur : Keterangan : FP : Faktor Pengencer FK : Faktor Konversi (6,25) d. Penetapan Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat Soxhlet (SNI ) Sebanyak 1 2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Kemudian selongkong kertas saring berisi contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 0 C selama lebih kurang 1 jam. Kemudian selongsong kertas yang telah di oven dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Kemudian diekstraksi dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Kemulian heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu C sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang. Penentuan kadar lemak dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur : 47

64 Keterangan : W : bobot contoh (g) W1 : Bobot labu lemak kosong (g) W2 : Bobot labu lemak dan lemak (g) e. Penetapan Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Sebanyak 2 gram contoh dimasukin ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H 2 SO 4 0,325 N. kemudian dihidroolisis di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu C. Didinginkan lalu ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit. Kemudian contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas menggunakan 25 ml H 2 SO 4 0,325 N, kemudian dicuci dengan air panas terakhir menggunakan alkohol 25 ml. kertas saring dikeringkan di dalam oven pada suhu C sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur : f. Penetapan Kadar Karbohidrat (by different) berikut : Penentuan karbohidrat (by different) dihitung berdasarkan rumus sebagai 48

65 Lampiran 1. Lanjutan Metode Analisis Pada Penelitian Analisis Pra dan PascaKultivasi a. Pengukuran ph Pengukuran ph cairan dilakukan dengan menggunakan ph-meter yang telah dikalibrasi dengan menggunakan buffer standar (4, 7, dan 10). Sampel cairan kultur diambil pada waktu yang telah ditentukan dan langsung diukur dengan phmeter tanpa dilakukan pengenceran terlebih dahulu. b. Jumlah Spora Hidup (Viable Spore Count/VSC) Prosedur penentuan jumlah spora hidup adalah sebagai berikut : 1 ml cairan fermentasi Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis Pemanasan pada suhu 70 0 C selama 15 menit Pembuatan sederetan pengenceran 1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Inkubasi pada suhu 30 0 C selama 24 jam Penghitungan jumlah koloni 49

66 c. Pengamatan jumlah sel dengan metode TPC Prosedur penentuan jumlah sel hidup adalah sebagai berikut : 1 ml cairan fermentasi Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis Pembuatan sederetan pengenceran 1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Inkubasi pada suhu 30 0 C selama 24 jam Penghitungan jumlah koloni d. Penetapan Total Gula dengan Metode Fenol H 2 SO 4 (Dubois et. al., 1956) Sebelum dilakukan pengujian sampel perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembentukan kurfa standar fenol adalah sebagai berikut : Sebanyak 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 15, 30, 45, 60, dan 75 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol dan dikocok. Kemudian 5 ml H 2 SO 4 pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Absorbansi (490 nm) KURVA STANDAR GLUKOSA y = 0.014x R² = Konsentrasi (ppm) Linear (Absorbansi) 50

67 Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. e. Uji aktivitas bioinsektisida (Bioassay) (dilakukan pasca kultivasi) berikut : Penentuan aktivitas bioinsektisida dikerjakan mengikuti prosedur sebagai 1 ml cairan hasil fermenttasi dari tiap-tiap perlakuan Pengenceran ke dalam 1 L air suling yang diberi Pro-Stiker ( 1ml/L) Pembuatan sederetan pengenceran Perendaman di dalam suspense spora Kristal selama 1 menit Pemotongan daun kubis Dikering anginkan 10 larva ulat kubis cawan petri Inkubasi 4 (empat) hari Perhitungan jumlah larva mati sampai hari ke empat 51

68 Lampiran 2. Perhitungan Susunan Medium Kultivasi Berikut perhitungan total penambahan urea pada beberapa perbedaan perbandingan substrat ampas tahu dan limbah cair tahu dengan berbasiskan pada rasio C/N adalah 7/1. 1. Media A (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 %) C = 7 N C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea) 5,639% (10 g) % (40 g) + 20% Urea = 7(0,42% (10 g) % (40 g) + 46,667% Urea) 0, , ,2 Urea = 7(0, , ,4667 Urea) 0, ,2 Urea = 0, ,2669 Urea 0,6731 0,3556 = 3,2669 Urea 0,2 Urea 0, 3175 g = 3,0669 Urea Urea = 0,1035 gram untuk 50 gram media 2. Media B (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 %) C = 7 N C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea) 5,639% (15 g) % (35 g) + 20% Urea = 7(0,42% (15 g) % (35 g) + 46,667% Urea) 0, , ,2 Urea = 7(0, , ,4667 Urea) 0, ,2 Urea = 0, ,2669 Urea 0,9415 0,4949 = 3,2669 Urea 0,2 Urea 0, 4466 g = 3,0669 Urea Urea = 0,1456 gram untuk 50 gram media 3. Media C (ampas tahu 40 % dan limbah cair tahu 60 %) C = 7 N C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea) 5,639% (20 g) % (30 g) + 20% Urea = 7(0,42% (20 g) % (30 g) + 46,667% Urea) 1, , ,2 Urea = 7(0, , ,4667 Urea) 1, ,2 Urea = 0, ,2669 Urea 1,2088 0,6342 = 3,2669 Urea 0,2 Urea 0, 5746 g = 3,0669 Urea Urea = 0,1874 gram untuk 50 gram media 52

69 Berikut perhitungan total C dan total N pada substrat ampas tahu, limbah cair tahu, dan urea pada berbagai formulasi medium. 1. Media A (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 %) Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea = 5,639% (10 g) % (40 g) + 20% (0,1035 g) = 0, , ,0207 = 0,6938 gram untuk 50 gram media Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea = 0,42% (10 g) % (40 g) + 46,667% (0,1035 g) = 0, , ,0483 = 0,0991 gram untuk 50 gram media 2. Media B (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 %) Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea = 5,639% (15 g) % (35 g) + 20% (0,1456 g) = 0, , ,0291 = 0,9706 gram untuk 50 gram media Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea = 0,42% (15 g) % (40 g) + 46,667% (0,1035 g) = 0, , ,0680 = 0,1387 gram untuk 50 gram media 3. Media C (ampas tahu 40 % dan limbah cair tahu 60 %) Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea = 5,639% (20 g) % (30 g) + 20% (0,1874 g) = 1, , ,0375 = 1,2463 gram untuk 50 gram media Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea = 0,42% (20 g) % (30 g) + 46,667% (0,1035 g) = 0, , ,0875 = 0,1781 gram untuk 50 gram media 53

70 Lampiran 3. Rekapitulasi Data ph Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) MEDIA WAKTU (JAM) Rata-Rata ph A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C

71 Lampiran 4. Rekapitulasi Data Log Jumlah Sel Hidup (TPC) Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Kultivasi Sandi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Waktu Log Jumlah Sel Hidup (TPC/ml)

72 Lampiran 5. Rekapitulasi Data Total Gula Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Kultivasi Sandi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Waktu Total Gula (g/l)

73 Lampiran 6. Rekapitulasi Data Log Jumlah Spora Hidup (VSC) Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) Kultivasi Sandi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Waktu Log Jumlah Spora Hidup (VSC/ml)

74 Lampiran 7. Contoh Penentuan LC 50 Menggunakan Program Probit Quant A1-30 conc obs.corr. expected O-E cont.chi-sq tot. chi-sq = % = % = The fitted line is log conc.= a + b(probit) where : a = 4.89 b =.88 The correlation coefficient of the initial line is.8660 LC50 flc50 +95% CL -95% CL S fs +95% CL -95% CL (LC 50 = 1,34) : Artinya, untuk mematikan 50 % dari total serangga yang ada dibutuhkan konsentrasi toksin dalam larutan bioinsektisida sebanyak 1,34 mg/l. 58

75 Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Formulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Ulangan Waktu Fermentasi 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2 Rata Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Formulasi Media Waktu Kultivasi Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi 59

76 UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0, FORMULASI MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A A A B B B C C C3 Keterangan Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata WAKTU KULTIVASI Nilai absolute perbedaan rata-rata Keterangan : Waktu Fermentasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam 0 Jam Jam Jam Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 60

77 INTERAKSI ANTARA FORMULASI MEDIA DENGAN WAKTU KULTIVASI INTERAKSI A1 1 A1 2 A2 1 A2 2 A3 1 A3 2 B1 1 B1 2 B2 1 B2 2 B3 1 B3 2 C1 1 C1 2 C2 1 C2 2 C3 1 C3 2 A A A A A A B B B B B B C C C C C C3 2 Keterangan : Tidak berbeda secara nyata A1 1 : Formulasi media A1 untuk waktu kultivasi selama 30 jam A1 2 : Formulasi media A2 untuk waktu kultivasi selama 48 jam Berbeda secara nyata 61

78 Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Formulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Ulangan Waktu Fermentasi 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2 Rata Rata-Rata Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Formulasi Media Waktu Kultivasi Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora (VSC) pada cairan hasil kultivasi 62

79 UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0, FORMULASI MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A C3 Keterangan A A B B B C C Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata WAKTU KULTIVASI Nilai absolute perbedaan rata-rata Keterangan : Waktu Fermentasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam 0 Jam Jam Jam Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 63

80 INTERAKSI ANTARA FORMULASI MEDIA DENGAN WAKTU KULTIVASI INTERAKSI A1 1 A1 2 A2 1 A2 2 A3 1 A3 2 B1 1 B1 2 B2 1 B2 2 B3 1 B3 2 C1 1 C1 2 C2 1 C2 2 C3 1 C3 2 A A A A A A B B B B B B C C C C C C3 2 Keterangan : Tidak berbeda secara nyata A1 1 : Formulasi media A1 untuk waktu kultivasi selama 30 jam A1 2 : Formulasi media A2 untuk waktu kultivasi selama 48 jam Berbeda secara nyata 64

81 Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Formulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Ulangan Waktu Fermentasi 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2 Rata Rata-Rata Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit. P-value F α Formulasi Medi Waktu Kultivasi Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata, sedangkan perbedaan formulasi media dan interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu kultivasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula pada cairan hasil kultivasi 65

82 UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0, FORMULASI MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Waktu Kultivasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam 0 Jam Jam Jam Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 66

83 Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Formulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Ulangan Waktu Fermentasi 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2 Rata Rata-Rata Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Formulasi Medi Waktu Kultivasi Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata, sedangkan interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu kultivasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai ph pada cairan hasil kultivasi 67

84 UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0, FORMULASI MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A A A B B B C C C3 Keterangan Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata WAKTU KULTIVASI Nilai absolute perbedaan rata-rata Waktu Kultivasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam 0 Jam Jam Jam Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 68

85 Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (Kultivasi 30 jam) Stater Ulangan Media A RATA2 B RATA2 C RATA2 RATA2 10% % % RATA Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,

86 Nilai absolute perbedaan rata-rata Keterangan : KONSENTRASI STARTER STARTER 10% (S1) 15% (S2) 20% (S3) 10% (S1) % (S2) % (S3) - Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI STARTER Nilai absolute berbedaan rata-rata INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A C3 Keterangan : A A B B B C C Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata - 70

87 Lampiran 12. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (Kultivasi 48 jam) STARTER 10% 15% 20% ULANGAN MEDIA A B C Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media E Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,

88 KONSENTRASI STARTER Nilai absolute perbedaan rata-rata STARTER 10% (S1) 15% (S2) 20% (S3) Keterangan : 10% (S1) % (S2) % (S3) Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata MEDIA A B C Keterangan : A B 0.32 C Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI STARTER Nilai absolute berbedaan rata-rata INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A A A B B B C C C3 Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 72

89 Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Starter 10% 15% 20% Tabel Anova (Kultivasi 30 jam) Media RATA2 Ulangan A B C RATA SUMBER JK db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora (VSC) pada cairan hasil kultivasi UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,

90 KONSENTRASI STARTER Nilai absolute perbedaan rata-rata Keterangan : STARTER Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 10% (S1) 15% (S2) 20% (S3) 10% (S1) % (S2) % (S3) - KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata MEDIA A B C Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata A B C - INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI STARTER Nilai absolute berbedaan rata-rata INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A A A B B B C C C3 - Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 74

91 Lampiran 13. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) Starter 10% 15% 20% (Kultivasi 48 jam) Ulangan Media A B C Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi E Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan komponen media, serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora (VSC) pada cairan hasil kultivasi UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,

92 KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata MEDIA A B C Keterangan : A B 0.28 C Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI STARTER Nilai absolute berbedaan rata-rata INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A A A B B B C C C3 Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 76

93 Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-0) Starter Ulangan Media A B C 10% % % Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula cairan kultivasi pada jam ke-0 77

94 Lampiran 14. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-30) Starter Ulangan Media A B C 10% % % Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap ph cairan kultivasi pada jam ke-30, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara nyata. UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,05 10,

95 KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Media A B C A B C Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 79

96 Lampiran 14. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-48) Starter Ulangan Media A B C 10% % % TABEL ANOVA Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap ph cairan kultivasi pada jam ke-48, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara nyata. UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,05 2,

97 KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Media A B C A B C Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 81

98 Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-0) Starter Ulangan Media A B C 10% % % Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap ph cairan kultivasi pada jam ke-0 82

99 Lampiran 15. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-30) Starter 10% 15% 20% Media Ulangan A B C Tabel Anova Sumber JK Db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap ph cairan kultivasi pada jam ke-30 83

100 Lampiran 15. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai ph Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) (JAM KE-48) Starter Ulangan Media A B C 10% % % Tabel Anova Sumber JK db KT F hit P-value F α Starter Media Interaksi Galat Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap ph cairan kultivasi pada jam ke-48, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara nyata. UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD), α = 0,

101 KOMPONEN MEDIA Nilai absolute perbedaan rata-rata Media A B C A B 0.12 C Keterangan : Tidak berbeda secara nyata Berbeda secara nyata 85

102 Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay) Hasil Kultivasi Konsentrasi Pengenceran Untuk Bioassay Hasil Kultivasi Selama 30 Jam SANDI BOBOT Konsentrasi penggunaan Produk (mg/l) MEDIA (g/l) A A A B B B C C C Konsentrasi Pengenceran Untuk Bioassay Hasil Kultivasi Selama 48 Jam SANDI BOBOT Konsentrasi penggunaan Produk (mg/l) MEDIA (g/l) A A A B B B C C C Konsentrasi Pengenceran Untuk Bactospeine (Produk Komersial) Konsentrasi penggunaan Produk (mg/l) SANDI MEDIA Bactospeine

103 Lampiran 17. Dokumentasi Penelitian Kol Organik Cawan Petri & Tisue Uji Bioassay Biakan Bta Pembibitan Kultur I Pembibitan Kultur II Fermentasi pada Rotary Shaker Inkubasi 87

104 Persiapan Inokulasi Persiapan Inokulasi Media Sebelum Fermentasi Media Hasil Fermentasi Sedang Pengujian TPC dan VSC Media Ampas Tahu 88

105 Media Ampas Tahu & Limbah cair tahu Cawan Pengujian TPC dan VSC Jumlah Spora Hidup (Pengencaran 10 4 ) Jumlah Spora Hidup (Pengencaran 10 5 ) Jumlah Sel Hidup (Pengencaran 106) Jumlah Sel Hidup (Pengencaran 10 5 ) 89

106 Gambar Hasil SEM Bacillus thuringiensia subsp. aizawai TYPE : JSM-5000 MAG : X7,500 ACCV : 20kV WIDTH : 17.6um NO : Sel Bta Spora Kristal Protein TYPE : JSM-5000 MAG : X10,000 ACCV : 20kV WIDTH : 13.2um NO :

107 Ulat Croccidolom ia binotalis Gambar Ulat Croccidolomia binotalis Pro Stiker (Perekat) Produk komersial Insektisida Biologi 91

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) Viable Spore Count (VSC) digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung di dalam campuran spora kristal. Pembentukan spora tergantung

Lebih terperinci

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI RIRYN NUR RACHMAWATI F34070004 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Bahan Baku Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Di alam banyak tersedia bahan-bahan yang dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella,

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioinsektisida Bioinsektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Menurut Ignoffo dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Keberhasilan produksi bioinsektisida selain dipengaruhi oleh galur bakterinya, juga dipengaruhi oleh media dan kondisi fermentasi yang digunakan. Untuk memperoleh

Lebih terperinci

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI ERLINA SETIYAWATI SUSANTO F34061186 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mentimun (Cucumis sativus.l) adalah salah satu sayuran buah yang banyak dikomsumsi segar oleh masyarakat Indonesia. Nilai gizi mentimun cukup baik sehingga sayuran buah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang telah dikembangkan menjadi salah satu bioinseksitisida yang patogenik terhadap larva nyamuk

Lebih terperinci

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI DEVI ARYATI F34070018 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri Gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA Oleh DJAUHAR FAIZ AHDIANTO F34101056 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di muka bumi. Hampir 80% spesies hewan yang ada di bumi berasal dari kelas Insekta. Serangga telah ada

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis. Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis. Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis 1. Sifat Koloni dan Sel Bacillus thuringensis Berdasarkan Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecap Kedelai 1. Definisi Kecap Kedelai Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, dengan

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Bacillus thuringiensis

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Bacillus thuringiensis TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan menyerang ulat sutera di Jepang pada tahun 1901. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan strain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogen Serangga Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd NATA putri Anjarsari, S.Si., M.Pd putri_anjarsari@uny.ac.id Nata adalah kumpulan sel bakteri (selulosa) yang mempunyai tekstur kenyal, putih, menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan (nata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat. Menurut Trubus (2012), permintaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 kilogram sayuran per kapita per tahun. Angka itu jauh lebih rendah dari angka konsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada pellet calf starter dengan penambahan bakteri asam laktat dari limbah kubis terfermentasi telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Spora (Sporulasi) Sporulasi adalah suatu respon terhadap penurunan kadar nutrisi dalam medium khususnya sumber karbon dan nitrogen. Pengaturan pembentukan spora

Lebih terperinci

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA Medium pertumbuhan (disingkat medium) adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan pembangun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 20 bulan yaitu dari bulan April 2006 sampai Desember 2007. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen, Departemen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum melakukan pengamatan terhadap bakteri dan jamur di laboratorium, telebih dahulu kita harus menumbuhkan atau membiakan bakteri/jamur tersebut. Mikroorganisme

Lebih terperinci

NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN

NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari sellulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal dari pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, diperoleh hasil pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Tabel 2 : Hasil pengukuran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB dan lahan pertanian Kampung Bongkor, Desa Situgede, Karang Pawitan-Wanaraja,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011. Pelaksanaan penelitian di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai 23 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga pada bulan Januari-Mei

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990).

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990). BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Enzim menjadi primadona industri bioteknologi karena penggunaanya dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk yang mempunyai nilai ekonomis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Bakteri Acetobacter xylinum Kedudukan taksonomi bakteri Acetobacter xylinum menurut Holt & Hendrick (1994) adalah sebagai berikut : Divisio Klass Ordo Subordo Famili

Lebih terperinci

UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI

UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Strata S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content NAMA : FATMALIKA FIKRIA H KELAS : THP-B NIM : 121710101049 Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content 1. Jenis dan sifat Mikroba Dalam fermentasi

Lebih terperinci

BAB V. PEMBAHASAN. 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Amobilisasi sel..., Ofa Suzanti Betha, FMIPA UI, 2009

BAB V. PEMBAHASAN. 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Amobilisasi sel..., Ofa Suzanti Betha, FMIPA UI, 2009 26 BAB V. PEMBAHASAN 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Hasil foto SEM dengan perbesaran 50 kali memperlihatkan perbedaan bentuk permukaan butiran yang sudah mengandung sel Lactobacillus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian 3.1.1 Bagan Alir Pembuatan Keju Cottage Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 900 g Susu skim - Ditambahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci

Gelas beker 3. Potato Dextrose Agar (PDA) 39 gr/l. Labu Erlenmeyer 4. Daging segar tanpa lemak 200 gr

Gelas beker 3. Potato Dextrose Agar (PDA) 39 gr/l. Labu Erlenmeyer 4. Daging segar tanpa lemak 200 gr TUJUAN Praktikum ini dimaksudkan untuk memberi pengetahuan kepada mahasiswa mengenai berbagai jenis media pertumbuhan mikroba dan menguasai cara-cara pembuatannnya. ALAT BAHAN Tabung Reaksi 1. Nutrien

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis

TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis 5 TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis pertama kali diisolasi oleh Ishiwata pada tahun 1901 dari larva ulat sutera, yang kemudian diberi nama sebagai isolat Bacillus sotto. Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga anggrek adalah salah satu jenis tanaman hias yang mampu memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, terus menghasilkan ragam varietas anggrek

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. selulosa dan lignin yang terdapat pada dinding sel tumbuhan. Oleh karena

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. selulosa dan lignin yang terdapat pada dinding sel tumbuhan. Oleh karena 27 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyiapan Tepung Xilan Alami Bagas tebu, sekam padi dan tongkol jagung merupakan limbah pertanian yang memiliki kandungan xilan yang potensial untuk dijadikan media

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Biomassa Jurusan Kimia

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci