KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA"

Transkripsi

1 KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI RIRYN NUR RACHMAWATI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 STUDY OF CARBON-NITROGEN RATIO FOR BIOINSECTICIDE PRODUCTION BY Bacillus thuringiensis subsp. aizawai USING TOFU LIQUID WASTE AND COCONUT WATER AS SUBSTRATES Riryn Nur Rachmawati, Mulyorini Rahayuningsih Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia. Phone , davryn_chayank@yahoo.co.id ABSTRACT Bioinsecticide is an active substance from biological agent that kills insects and disease vector. Bioinsecticide or microbial insecticide can be developed from bacteria, virus, mushroom, and protozoa. Bacteria that often used to produce bioinsecticide is Bacillus thuringiensis (B.t). Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) as one of Bacillus thuringiensis species produces crystal protein called delta endotoxin (δ-endotoxin). As other B.t crystal protein, this crystal protein is specifically toxic to larvae Lepidoptera and Diptera. Bioinsecticide is an alternatif solution, because it cannot cause pests resistance, does not make residue to the environment and does not kill non target organisms. This research aims to produce an active material bioinsecticide that is produced by B.t.a using tofu liquid waste and coconut water, which is cheap material can be used as nitrogen and carbon sources and it has protein, vitamin, mineral that are needed by microorganism to grow. Coconut water as fermentable sugar in fermentation bioinsecticide. The specific objective of this research is to obtain the best media formulation with optimal C/N ratio for bioinsecticide production. Carbon-nitrogen ratios in this research are A (3:1), B (5:1), C(7:1), D (9:1), and E (11:1), with 80 : 20 composition of liquid waste of industrial tofu and coconut water, the starter added 10 (%v/v) and cultivation time during 0-72 hours. The highest toxicity of the product can be resulted through bioassay test to Crocidolomia pavonana (C. binotalis) larvae instar-ii. The ph value and weight of dry biomass during cultivation was increased while total sugars and OD (Optical Density) is decreased. Range of ph value from For cultivation 0 hours the highest of dry cell biomass is media A (C/N=3:1) 0.60 g/l whereas the lowest is media B (C:N=5:1) and C (C/N=7:1) 0.40 g/l and for cultivation 72 hours the highest of biomass is media C (C/N=7:1) g/l whereas the lowest is media A (C/N=3:1) 7.55 g/l. For cultivation 0 hours the highest OD is media D (C/N=9:1) and the end of cultivation the highest OD is media B (C/N=5:1) The highest total plate count (TPC) is media C (C/N=7:1) 2.8 x 10 8 cell/ml or 7.40 cfu/ml in cultivation 48 hours whereas the lowest is media B (C/N=5:1) 1.19 x 10 7 cell/ml or 6.68 cfu/ml in cultivation 0 hours. The highest viable spore count (VSC) is media D (C/N=9:1) 5.63 x 10 6 spore/ml in cultivation 48 hours whereas the lowest is media C (C/N=7:1) 2.85x 10 6 spore/ml in cultivation 24 hours. The highest level toxicity (LC 50 ) is media C (C/N=7:1) 0.01 mg/l in cultivation 48 hours and potential product is 80,000 IU/mg. The level toxicity (LC 50 ) is contrary to potential product. Keyword : bioinsecticide, Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, C/N ratio, LC 50

3 RIRYN NUR RACHMAWATI. F Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa. Di Bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih RINGKASAN Bioinsektisida mikrobial adalah jenis insektisida yang bersifat ramah lingkungan yang menggunakan organisme hidup untuk mengontrol hama, seperti virus, bakteri, jamur, pemakan serangga, dan tanaman yang dimodifikasi. Sifat insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia, dan lingkungan. Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi insektisida mikroba adalah Bacillus thuringiensis (B.t). B.t merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang tergolong dalam kelompok bakteri gram positif. Bacillus thuringiensis (B.t) adalah bakteri tanah yang terbentuk melalui endospora yang dapat menghasilkan protein yang bersifat insektisida (δ-endotoksin) atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva, sehingga terjadi lisis sel atau pecah. Bakteri ini digunakan terhadap ulat bulu, nyamuk, dan larva lalat hitam. Sifatnya tidak beracun bagi manusia dan mamalia dan aman bagi spesies non-target serta biodegradable. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida mikrobial. Patotipe Bacillus thuringiensis subsp. aizawai sangat efektif mengendalikan larva Lepidoptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berbahan baku limbah cair tahu dan air kelapa yang murah sebagai bahan baku utama. Pemilihan kedua bahan tersebut dikarenakan keduanya mengandung karbon dan nitrogen serta vitamin dan mineral yang dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah cair tahu dan air kelapa untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengetahui formulasi media limbah cair tahu dan air kelapa dengan perbandingan rasio C/N yang optimal terhadap produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a). Formulasi media menggunakan limbah cair tahu dengan perbandingan 20% : 80%, jumlah starter yang ditambahkan 10%, serta penambahan urea untuk mendapatkan rasio C/N 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Uji toksisitas dilakukan terhadap larva Crocidolomia pavonana (C. binotalis) atau ulat kubis instar II. Nilai ph fermentasi berada pada kisaran Hal ini berarti nilai ph masih berada pada ph pertumbuhan B.t.a. Menurut Benhard dan Utz (1993), kisaran ph pertumbuhannya adalah dengan ph optimum Penurunan ph dapat disebabkan adanya proses enzimatis bakteri yang menguraikan glukosa menjadi asam organik. Hasil penghitungan jumlah sel per ml cairan fermentasi menunjukkan bahwa jumlah sel tertinggi terdapat pada formulasi media C jam ke-48 (C/N=7:1) yaitu 2.80 x 10 8 sel/ml kultur atau 7.40 cfu/ml. Adapun jumlah sel terendah sebesar 1.19 x 10 7 sel/ml kultur atau 6.68 cfu/ml pada formulasi media B jam ke-0 (C/N=5:1). Hasil penghitungan jumlah spora hidup per ml cairan fermentasi menunjukkan bahwa jumlah spora tertinggi terdapat pada formulasi media D jam ke-48 (C/N=9:1), yaitu 5.63 x 10 6 spora/ml atau 6.23 log spora/ml kultur. Adapun jumlah spora terendah sebesar 2.85x 10 6 spora/ml kultur atau 6.05 log spora/ml pada formulasi media B jam ke-24 (rasio C/N=5:1). Uji kadar gula sisa metode fenol menunjukkan bahwa pada jam ke-0 formulasi media B (C/N=5:1) memiliki total gula tertinggi yaitu g/l, sedangkan yang terendah adalah media D (C/N=9:1) yaitu g/l. Nilai total gula sisa cenderung menurun hal ini disebabkan selama proses kultivasi, sel akan mengkonsumsi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Bobot kering biomassa dari masing-masing media cenderung mengalami kenaikan. Ini disebabkan aktivitas sel dalam mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Pada jam ke-0 bobot biomassa kering tertinggi adalah media E (C/N=11:1) 0.60 g/l dan terendah

4 media B dan C 0.40 g/l. Sedangkan pada akhir fermentasi bobot kering biomassa tertinggi adalah media C (C/N=7:1) g/l dan terendah media A(C/N=3:1) 7.55 g/l. Kekeruhan (Optical Density) diukur dengan menggunakan rumus OD = 2 - Log %Transmisi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin lama cairan fermentasi cenderung semakin keruh, hal ini ditandai secara fisik dan perhitungan semakin besarnya nilai OD. Pada jam ke-0 kekeruhan tertinggi adalah media D (C/N=9:1) sedangkan akhir kultivasi jam ke-72 kekeruhan tertinggi adalah media B (C/N=5:1) Aktivitas bioinsektisida dapat ditentukan dengan menghitung jumlah spora hidup melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC 50 ) dan International Unit (IU) (Vandekar & Dulmage, 1982). LC 50 = konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati. Hasil menunjukkan bahwa tingkat toksisitas tertinggi adalah media C (C/N=7:1) dengan LC mg/l. Secara keseluruhan tingkat toksisitas tertinggi adalah media C (C/N=7:1) sedangkan yg terendah adalah media E (C/N=11:1). Hasil analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=5%) menunjukkan bahwa formulasi media tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph dan bobot kering biomassa pada semua jam, berpengaruh nyata terhadap jumlah sel pada jam ke- 0, 36 dan 48 tetapi tidak berpengaruh nyata pada jam ke-72. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap total spora pada jam ke-24 dan jam ke- 36, tetapi tidak berpengaruh nyata pada jam ke-48 dan jam ke-72. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap total gula sisa cairan fermentasi pada semua jam. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap kekeruhan cairan pada jam ke-0, 24, 36 jam. Sedangkan pada jam ke-48 dan jam ke-72 tidak berpengaruh nyata terhadap kekeruhan cairan fermentasi. Formulasi berpengaruh nyata terhadap toksisitas bioinsektisida pada semua jam fermentasi yaitu jam ke-24, 36, 48, dan 72.

5 KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh RIRYN NUR RACHMAWATI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 Judul Skripsi Nama NIM : Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa. : Riryn Nur Rachmawati : F Menyetujui, Pembimbing ( Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si ) NIP Mengetahui : Ketua Departemen ( Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti ) NIP Tanggal lulus : 07 Juli 2011

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan Riryn Nur Rachmawati F

8 Hak cipta milik Riryn Nur Rachmawati, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

9 BIODATA PENULIS..Riryn Nur Rachmawati. Lahir di Klaten, 18 Maret 1989 dari ayah Suyamto...dan ibu Nuryati, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penuliss...menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Muhammadiyah 1 Klaten dan...pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk...IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian,...Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian....Selama mengikuti.perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di...himpunan Mahasiswa Teknologi Industri, Forum Bina Islami FATETA dan...organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Klaten, dan termasuk menjadi Asisten Mata Kuliah Praktikum Bioproses Pada tahun 2009 dalam Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian dengan judul Pemanfaatan Ubi Jalar dalam Formulasi Pengembangan Baso Nabati Prebiotik yang lolos didanai DIKTI. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di Pabrik Spiritus Madukismo, PT. Madubaru, DIY dengan judul mempelajari Aspek Penyediaan Bahan Baku, Teknologi Proses Produksi serta Pengawasan Mutu Alkohol dan Spiritus di Pabrik Spiritus Madukismo PT. Madubaru, Yogyakarta.

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas berkah dan karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Departemen Teknologi Industri Pertanian sejak bulan Maret sampai Juni Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan rahmat dan nikmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan lancar. 2. Ayah dan Ibu tercinta (Bpk Suyamto dan Ibu Nuryati), David Ady Prasetya, Istighfarinda Evi Dian Sari dan Jihan Nadia Syifaizzah tersayang yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan do a. 3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis, memberikan saran dan bantuan moril selama perkuliahan, penelitian, dan skripsi. 4. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc dan Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan skripsi penulis. 5. Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri Mulyasih, Bpk Edi Sumantri, Pak Gunawan, Pak Sugiyardi, Pak Darwan dan Pak Dicky selaku laboran yang selalu membantu penulis selama penelitian. Serta Pak Anwar, Pak Mul, Bu Ketty, Pak Ihsan dan karyawan Dept. TIN yang telah membantu penulis dalam hal administrasi dan fasilitas selama menyelesaikan perkuliahan di TIN. 6. Fata Qurrota A yun, Putri Yulianingtyas, Siti Ulfah Deasy Triani, Devi Aryati, dan Nita Diansari yang selalu memberikan motivasi dan bantuan dalam hal apapun. Serta teman-teman seperjuangan Atiqotun Fitriyah, Danang Setiawan, Diyah Yuningsih, Nur Indawati Hidayah, Ririn Nurmawati, dan Zhenita Vinda, terima kasih atas persahabatan yang selama ini terjalin. 7. Teman-teman TIN 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi bioindustri. Bogor, Juli 2011 Riryn Nur Rachmawati iii

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp aizawai DAN KONDISINYA LARVA Croccidolomia pavonana (C. binotalis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN 10 Bacillus thuringiensis subsp aizawai KINETIKA FERMENTASI III. METODOLOGI ALAT DAN BAHAN TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN METODE PENELITIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISA BAHAN BAKU PERUBAHAN ph CAIRAN KULTUR SELAMA FERMENTASI PERTUMBUHAN SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA 22 FERMENTASI PERUBAHAN BOBOT KERING BIOMASSA SEL Bacillus thuringiensis subsp. 24 aizawai SELAMA FERMENTASI PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA FERMENTASI PEMBENTUKAN SPORA SELAMA KULTIVASI PERUBAHAN KEKERUHAN (OPTICAL DENSITY) SELAMA FERMENTASI KINETIKA FERMENTASI PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA V. PENUTUP KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu... 3 Tabel 2. Kandungan zat gizi kelapa tua dan muda per 100 g... 4 Tabel 3. Perbandingan media fermentasi Tabel 4. Kondisi kultivasi Tabel 5. Hasil analisa kimia limbah cair tahu dan air kelapa Tabel 6. Jumlah penambahan urea untuk memperoleh rasio C/N yang diinginkan Tabel 7 Hasil perhitungan parameter kinetika fermentasi Tabel 8. Perbandingan LC 50 untuk masing-masing formulasi media serta produk komersial 30 Tabel 9. Perbandingan potensi produk untuk masing- masing formulasi media serta produk komersial v

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat... 7 Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis Gambar 6. Diagram alir penyiapan inokulum B.t.a Gambar 7. Diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a Gambar 8. Diagram alir penentuan jumlah spora hidup Gambar 9. Diagram alir penentuan jumlah sel hidup Gambar 10. Grafik kurva standar glukosa Gambar 11. Prosedur penentuan aktivitas bioinsektisida Gambar 12. Perubahan ph cairan kultur selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai 21 rasio C/N... Gambar 13. Pertumbuhan sel selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N 23 Gambar 14. Perubahan bobot kering biomassa selama fermentasi B.t.a dalam media dengan 24 berbagai rasio C/N... Gambar 15 Perubahan total gula sisa selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai 26 rasio C/N... Gambar 16. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah spora Gambar 17. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat kekeruhan cairan kultivasi 28 vi

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Perhitungan susunan media kultivasi (berikut perhitungan total penambahan 38 urea pada beberapa perbedaan rasio C/N... Lampiran 2. Rekapitulasi data ph rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke (dua kali ulangan)... Lampiran 3. Rekapitulasi data log TPC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam 40 ke-72 (dua kali ulangan)... Lampiran 4. Rekapitulasi data log VSC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam 41 ke-72 (dua kali ulangan)... Lampiran 5. Rekapitulasi data tingkat kekeruhan (optical density) rata-rata media kultivasi 42 pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan)... Lampiran 6. Rekapitulasi data nilai total gula sisa rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 43 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan)... Lampiran 7. Rekapitulasi data bobot kering biomassa rata-rata media kultivasi pada jam ke hingga jam ke-72 (dua kali ulangan)... Lampiran 8. Contoh penentuan LC 50 menggunakan program Probit Quant Lampiran 9. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap perubahan ph 46 (α = 0.05)... Lampiran 10. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah sel 47 hidup (α = 0.05)... Lampiran 11. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap bobot kering 48 biomassa (α = 0.05)... Lampiran 12. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap total gula sisa 49 (α = 0.05)... Lampiran 13. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah spora 52 hidup (α = 0.05)... Lampiran 14. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap kekeruhan (α 53 = 0.05)... Lampiran 15. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat 56 toksisitas (α = 0.05)... Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay) 57 Hasil Kultivasi... Lampiran 17. Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi Lampiran 18. Dokumentasi Penelitian vii

15 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, masalah hama semakin banyak terjadi di wilayah Indonesia. Hama merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat menghambat peningkatan produksi hasil pertanian. Berbagai jenis hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti wereng, belalang, tungau, ulat, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya. Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis. Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut. Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu. Pengendalian hama secara biologis dapat dilakukan dengan cara membuat insektisida biologis yang memanfaatkan mikroorganisme serta menggunakan bahan-bahan yang murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, misalnya limbah industri pertanian. Mengingat insektisida biologi yang saat ini ada di pasaran merupakan impor dari luar negeri dan harganya relatif jauh lebih mahal. Dalam kegiatan industri pertanian Indonesia seringkali menimbulkan limbah yang sangat potensial untuk diolah lagi menjadi produk yang bernilai tambah. Salah satu karakteristik limbah industri pertanian seperti industri tahu kaya akan protein dan senyawa organik yang dapat dikonversi menjadi produk ekonomis, salah satunya merupakan bahan baku dalam pembuatan bioinsektisida. Limbah industri tahu ini meliputi limbah cair dan ampas tahu sebagai limbah padat. Bila dilihat dari jumlahnya, limbah industri tahu cukup banyak menghasilkan limbah cair L/kg bahan baku kedelai dan juga limbah padat (Radiyati 2000). Untuk limbah cairnya, tanpa perlakuan terlebih dahulu limbah ini langsung dibuang ke lingkungan sehingga akan mencemari lingkungan sekitar industri. Begitu juga dengan industri kelapa, pemanfaatan paling banyak pada daging buahnya. Buah kelapa tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12% tempurung, 28% daging buah, dan 25% air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa biasanya dimanfaatkan dalam pembuatan nata de coco. Air kelapa menjadi sumber karbon dan berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi ( Bila diteliti secara mendetail, ternyata limbah cair tahu dan air kelapa ini merupakan bahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan produk dengan nilai ekonomis tinggi seperti bioinsektisida. Dimana dalam masa sekarang ini, insektisida yang berbahan baku alami dan tidak berbahaya bagi 1

16 lingkungan sangat dibutuhkan terutama untuk tanaman itu sendiri. Selain itu insektisida tersebut juga harus efektif sebagai pembasmi serangga. Untuk itu diperlukan suatu proses dalam pengkonversian limbah cair tahu dan air kelapa untuk dimanfaatkan komposisi di dalamnya sebagai bahan baku pembuatan bioinsektisida. Salah satu perlakuan awal yang dilakukan untuk proses produksi bioinsektisida ini adalah dengan menganalisa bahan baku yaitu limbah cair tahu dan air kelapa. Selanjutnya dilakukan penyiapan inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Untuk penelitian utamanya dengan melakukan proses kultivasi menggunakan media yang telah dibuat perbandingan karbon dan nitrogennya. Limbah cair tahu sangat baik digunakan dalam produksi bioinsektisida. Perbandingan limbah cair dan ampas tahu yang menggunakan perbandingan 80% : 20% diperoleh hasil yang paling baik dan memiliki tingkat toksisitas tertinggi. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Syarfat (2010) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi untuk kultivasi 30 jam dan 48 jam diperoleh pada formulasi media limbah cair tahu dan ampas tahu dengan perbandingan 80%: 20%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) yaitu 7:1. Sedangkan berdasarkan penelitian Syarfat (2010), menunjukkan hasil bahwa makin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka semakin kecil nilai LC 50 dan semakin tinggi potensi produknya. Dalam penelitian ini menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa yang bertujuan untuk mendapatkan sumber karbon dan nitrogen. Mengacu pada penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan lima perlakuan perbandingan untuk mendapatkan perbandingan media yang tepat yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi dan nilai LC 50 yang lebih kecil. Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Sehingga diperoleh formula bioinsektisida yang paling optimum dalam membasmi serangga. 1.2 TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah cair tahu dan air kelapa untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengkaji formulasi limbah cair tahu dan air kelapa dengan perbandingan rasio C/N yang optimal terhadap produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a). 2

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dibuat kerupuk, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar ( Dalam proses produksi tahu, dihasilkan limbah cair antara L/kg bahan baku kedelai dan limbah padat. Jumlah produksi tahu yang semakin meningkat akan mengakibatkan jumlah limbah cair yang dihasilkan semakin melimpah. Mengingat kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu yang memiliki kadar protein (34-45%), karbohidrat (12-30%), lemak (18-32%), dan air (7%) (Radiyati 2000), akibatnya limbah cair tahu memiliki zat-zat organik yang tinggi. Jika limbah cair industri tahu tersebut dibuang langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan, akan terjadi blooming (pengendapan zat-zat organik pada badan perairan), proses pembusukan dan berkembangnya mikroorganisme patogen (Sudaryati et al. 2007). Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu Komponen Jumlah Limbah Cair Tahu (% ) Air 99.34* Abu 0.11* Protein 1.73** Lemak 0.63** Nitrogen 0.05** Serat - Sumber: *(Hartati 2010) **(Nuraida et al. 1996) Pada tahun 2000 produksi kelapa di Indonesia mencapai 5.6 juta ton per tahun. Buah kelapa tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12 % tempurung, 28 % daging buah, dan 25 % air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat media fermentasi karena kandungan zat gizinya yang kaya dan relatif lengkap, sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi gizi air kelapa tergantung pada umur kelapa dan varietasnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Kandungan gula maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, sehingga air kelapa dapat menjadi sumber karbon dan berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi ( 3

18 Kelapa yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya adalah kelapa dalam dan kelapa hibrida. Buah kelapa terdiri dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah, air kelapa, dan lembaga. Setiap butir kelapa dalam dan hibrida mengandung air kelapa masing-masing sebanyak ml dengan berat jenis rata-rata 1.02 dan ph sedikit asam (5.6). Air kelapa mengandung sedikit karbohidrat, protein, lemak, dan beberapa mineral. Kandungan zat gizi ini tergantung kepada umur buah. Di samping zat gizi tersebut, air kelapa juga mengandung berbagai asam amino bebas. Kandungan zat gizi air kelapa tua dan muda disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2. Kandungan zat gizi air kelapa muda dan tua per 100 g 2.2 BIOINSEKTISIDA Zat Gizi Satuan Muda Tua Kalori K Lemak g Protein g Karbohidrat g Kalsium mg Fosfor mg Besi mg Vitamin C mg Air g Sumber : perkebunan.pdf Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto 2008). Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan juga sebagai racun biologis dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson 1979). Menurut Bravo (1997), adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga. Penggunaan bioinsektida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan insektisida kimia. Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang spesifik terhadap hama serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya, penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan terjadinya penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut Becker dan Margalit (1993), 4

19 penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. 2.3 Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA A. Bacillus thuringiensis (B.t) B.t merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan famili Bacillaceae. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob umumnya anaerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama δ- endotoksin (Shieh 1994). Menurut Dulmage (1981), menyatakan bahwa selain menghasilkan δ-endotoksin, bakteri ini juga menghasilkan α-eksotoksin, β-eksotoksin, dan faktor kutu. α-eksotoksin memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. β-eksotoksin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang dihasilkan dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. B.t merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial B.t digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Selain itu, menurut de Barjac dan Frachon (1990), B.t mempunyai sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan bersifat entomopatogenik. Spora B.t berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan, dan berukuran µm. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu o C. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan 10-15% dari berat kering spora. Asam ini bisa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium. B. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkan bersifat insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah o C dengan suhu optimum o C. Kisaran ph pertumbuhannya ialah dengan ph optimum (Benhard dan Utz 1993). B.t.a dapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa sporulasi, B.t.a membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut juga δ-endotoksin (Sneath 1986). 5

20 Kristal protein B.t.a berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida terhadap larva serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera (Lereclus et al. 1993). Sifat insektisida B.t.a berhubungan dengan gen penyandi kristal protein yang disebut gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan 2 gen cyt. Gen cry yang dimiliki B.t.a meliputi cry1a(a), cry1a(b), cry1c(a), cry1d(a) (Crickmore et al. 1998). Protein cry1c(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki B.t.a, yaitu cry1a(a), cry1a(b), cry1d(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1c(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al. 1996). Sedangkan menurut Liu et al. (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningktakan toksisitas kristal protein. Pada B.t.a, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1c(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain. C. Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis Komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar B.t adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara kilodalton (kda). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari kda, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi ph alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kda (Aronson et al dan Gill et al. 1992). Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mangalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95% dari keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5% sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak. Protein yang mnyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981). Kristal protein B.t mempunyai beberapa bentuk, di antaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh 1994). Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar batu pipih. Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar ph dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, 6

21 efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). D. Proses Toksisitas dan Infeksi Bacillus thuringiensis Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley 1989; Gill et al. 1992). Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek ( kda). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang mengubah B.t protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat Sumber : ( Kristal protein B.t.a yang tersusun atas protein cry1a(a) (32%), cry1a(b) (38%), cry1c(a) (26%), cry1d(a) (5%) (Wright et al. 1997) dengan berat molekul kda, apabila terserap dalam suasana basah, saluran pencernaan tengah serangga yang rentan akan 7

22 terlarut dan terhidrolisis untuk menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya tersebut, protease akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran kda. Toksin cry1a(a) dan cry1a(b) akan berikatan dengan reseptor spesifik yang berukuran 210 kda pada membran mikrofili apikal sel epithelium usus tengah serangga, sementara protein cry1c(a) berikatan dengan reseptor lainnya yang berukuran 40 kda. Ikatan antara toksin dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi toksin berupa lubang pada pori membran (Bravo 1997). Fenomena tersebut mengakibatkan sistem pompa ion K + pada membran aplikasinya tidak berfungsi sehingga mengganggu keseimbangan osmotik yang berakibat lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena gejala septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al ; Hofte and Whiteley 1989 ; Prieto-Samsonov et al. 1997). Efektifitas dari toksin tertentu juga dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). 2.4 FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN KONDISINYA A. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi Faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti ph, kelarutan oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Dalam pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982). Media basal untuk pertumbuhan B.t terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi B.t (Dulmage et al. 1990). Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi media berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula media menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi media berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk B.t. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida B.t dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini karena semua galur B.t yang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/l, ph media akan turun lebih rendah dari dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan pertumbuhan B.t. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses 8

23 sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih lama. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida B.t adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung endosperma, dan kasein. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garamgaram organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam media fermentasi B.t ditambahkan 0.3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l MnSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l FeSO 4.7H 2 O, dan 1.0 g/l CaCO 3. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg 2+, Mn 2+, Zn 2+, dan Ca 2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi B.t (Vandekar dan Dulmage, 1982). B. Kondisi Fermentasi Kondisi fermentasi B.t dalam labu kocok dilakukan pada suhu C, ph awal media diatur sekitar ph , agitasi rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi jam. Sedangkan fermentasi B.t dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu C, ph awal media sekitar , volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi rpm, aerasi volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993). Pertumbuhan optimum sebagian bakteri terjadi pada ph sekitar 7. Nilai ph awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai ph awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran Selama fermentasi ph dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan ph, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikkan ph. Nilai ph dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985). Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok. Aerasi (O 2 bebas dari udara) dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi adalah memperoleh udara untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982). 9

24 C. Pemanenan (Recovery) Bahan aktif insektisida B.t dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985). D. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia, melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan Dulmage 1982). Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50), Diet Dillution Unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan Rhodes, 1971). LC50, LD50, DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut : (1.1) 2.5 LARVA Crocidolomia pavonana (C. binotalis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp aizawai Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana) memiliki nama lokal dalam Bahasa Indonesia: ulat krop kubis; hileud cocok; olet bosok. Kubis yang dimakan larva ulat krop kubis dapat mengakibatkan tanaman Brassica tidak laku dijual. Penggunaan pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) akan membantu mengatasi hal ini serta hama penting lainnya seperti ngengat ulat daun kubis ( Crocidolomia pavonana (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae, ordo Lepidoptera, filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta (Kalshoven 1981). Dalam siklus hidupnya, ulat ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (Suyanto 1994). C. pavonana atau C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 2. Di dataran tinggi Indonesia, ulat krop kubis memerlukan waktu satu bulan lebih sedikit bagi telur untuk berkembang menjadi ulat dewasa. Daur hidupnya serta kerusakan yang ditimbulkannya dapat dilihat dibawah Gambar 2. 10

25 Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya (Sumber : Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun ( Sumber : Ngengat ulat krop kubis memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna cokelat krem muda (Gambar 3). Telur yang diratakan ditaruh di saling tumpang tindih dalam gugusan yang mengandung telur. Gugusan telur yang baru ditaruh di berwarna hijau pucat. Warnanya berubah menjadi kuning cerah sebelum segera menjadi coklat tua sebelum menetas. Gugusan telur ulat krop kubis berbeda dengan gugusan telur ulat grayak (Spodoptera) yang ditutupi sisik halus. Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis: a) berumur satu hari berwarna kuning, b) lebih dewasa saat bentuk seperti irisan jeruk terlihat; dan c) telur berwarna coklat tua siap untuk menetas (Sumber : Larva yang baru menetas berukuran panjang 2-3 mm, berbulu dan terlihat basah serta makan secara berkelompok. Larva yang lebih dewasa berwarna hijau muda, berbulu dan memiliki garis-garis hijau pucat atau muda sepanjang punggung mereka. Mereka menutupi permukaan tanaman dengan anyaman sutera tebal dan makan di bawahnya. Larva yang telah tumbuh sempurna (panjang 20 mm) menggali tanah dan membentuk kepompong cokelat mengkilap. Ngengat dewasa muncul sekitar dua minggu kemudian. Hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua (Gambar 2). Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan. 11

26 Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis: ke bagian tengah tanaman (kiri), kemudian menghancurkan seluruh tanaman dari bagian tengah (Sumber : Ulat krop kubis rentan terhadap sebagian besar insektisida tetapi insektisida tersebut harus dipilih dengan hati-hati untuk memastikan mereka tidak merugikan musuh alami ngengat ulat kubis. PHT adalah pendekatan yang paling efektif salah satunya adalah gunakan insektisida selektif yang tidak begitu berbahaya bagi musuh alami: Bacillus thuringiensis atau B.t (seperti Bacillin, Bite, Dipel), abamektin (seperti Amect, Mitigate) atau spinosad (seperti Success, Tracer). Insektisida ini membunuh larva bukan telur dan harus digunakan saat larva masih kecil. Kerusakan yang disebabkan C. pavonana atau C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %. Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder oleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Larva C. binotalis melewati empat instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran mm dengan stadium ratarata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari. Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9-10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9-13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992). 12

27 2.6 KINETIKA FERMENTASI Kinetika fermentasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk (Judoamidjojo et al. 1990). (1.2) (1.3) (1.4) (1.5) Keterangan : µ x = Laju pertumbuhan biomassa µ N = Laju pertumbuhan sel Y X/S Y N/S Y P/S Y P/N = Yield atau koefisien randemen biomassa (g sel/g substrat) = Yield atau koefisien randemen sel (cfu/g substrat) = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/g substrat) = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/cfu) Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh kemampuan sel (Gumbira Sa id 1987). Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (1994), hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan sel B.t.a dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa. 13

28 III. METODE PENELITIAN 3.1 ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan adalah rotary shaking incubator, autoklaf, ph-meter, oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freezer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala. Bahan yang digunakan adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC) pada media agar miring. Substrat yang digunakan adalah limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Yun Yi dan air kelapa dari Pasar Cibereum. Kubis yang digunakan diperoleh dari petani sayur organik Darmaga. Larva ulat Crocidolomia pavonana (C. binotalis) atau ulat kubis yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO 4.7H 2 O, MnSO 4.7H 2 O, ZnSO 4.7H 2 O, FeSO 4.7H 2 O, CaCO 3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH, CH 3 COOH, H 2 SO 4 pekat, fenol, garam fisiologis, etanol 95%, aqua destilata, Pro-Stiker, dan spiritus. 3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan (DIT) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari-Juni METODE PENELITIAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisa Bahan Baku a) Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105 o C selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 o C selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C : Bobot sampel basa (g) (1.6) b) Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 o C sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit 14

29 kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 o C selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : A : Bobot cawan berisi abu sampel (g) B : Bobot cawan (g) C : Bobot sampel basa (g) (1.7) c) Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal Sampel sebanyak 10 gram ditimbang dan ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO 4 + Na 2 SO 4 ) dan 5 ml larutan H 2 SO 4 pekat. Kemudian sampel didestruksi dengan labu Kjedhal selama 1 jam atau sampai warna menjadi hijau bening. Setelah dingin, sampel didistilasi dengan NaOH 6 N dan asam borat selama 4 menit, selanjutnya dititrasi menggunakan H 2 SO N sampai warna berubah menjadi ungu. Blanko disiapkan seperti pada prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus berikut: (1.8) 2. Penyiapan Inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Inokulum (kultur bibit) kultivasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum disajikan pada Gambar 6. Satu loop biakan B.t subsp. aizawai Inokulasi dalam 50 ml medium NB (labu pembibitan 1) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30 o C ; 180 rpm ; 12 jam Kultur digunakan untuk menginokulasi medium NB labu pembibitan II (5% dari volume media kedua) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30 o C ; 180 rpm ; 12 jam Inokulum/Starter Gambar 6. Diagram alir penyiapan inokulum B.t.a Penentuan waktu pemanenan cairan kultivasi : Sampling Jam Ke

30 B. Penelitian Utama 1. Penyiapan Media Kultivasi Susunan media kultivasi yang akan dibuat dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. yang dibuat dua kali ulangan. Tabel 3. Perbandingan media kultivasi Sandi Media Rasio C/N Perbandingan Media Urea A 3: gr B 5:1 80% Limbah Cair Tahu dan gr C 7:1 20% Air Kelapa gr D 9: gr E 11: gr Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0.3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l FeSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7H 2 O dan 1.0 g/l CaCO 3. Pembuatan media kultivasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : limbah cair tahu, air kelapa, urea, trace element dan CaCO 3 dicampur hingga homogen kemudian ph diatur hingga selanjutnya disterilisasi. Setelah disterilisasi menggunakan autoklaf didinginkan sampai ± 50 o C. Kemudian media dibagi-bagi dalam beberapa labu erlenmeyer dan ditambahkan starter inokulum B.t.a sebanyak 10% dari volume media. 2. Kultivasi Kultivasi B.t.a dilakukan secara curah dengan kondisi kultivasi sebagai berikut : kultivasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 250 ml pada suhu o C, ph awal media diatur , volume media fermentasi 50 ml. Diinkubasi dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 0-72 jam. Kultivasi dilakukan dua kali ulangan dengan kondisi kultivasi yang sama antara ulangan I dan ulangan II disajikan dalam Tabel 4. sebagai berikut : Tabel 4. Kondisi kultivasi Sandi Media Sandi Media Kultivasi Jumlah starter yang ditambahkan A A1 dan A2 10 % (v/w) B B1 dan B2 10 % (v/w) C C1 dan C2 10 % (v/w) D D1 dan D2 10 % (v/w) E E1 dan E2 10 % (v/w) 3. Pemanenan Pemanenan hasil kultivasi dilakukan pada waktu inkubasi yang telah ditentukan, yaitu pada jam ke-0,3,6,9,12,15,18,24,36,48 dan jam ke-72. Kemudian dilakukan analisis ph, total mikroba, jumlah spora hidup, total gula sisa, kekeruhan, bobot kering biomassa dan toksisitas. Gambar 7. menunjukkan diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a. 16

31 B.t subsp. aizawai 50 ml medium NB (Labu pembibitan 1) Rotary shaking incubator 180 rpm, 30 o C, 12 jam Inokulasi pada 550 ml medium NB (Labu pembibitan II) (5% dari volume media) Rotary shaking incubator 180 rpm, 30 o C, 12 jam Starter B.t subsp. aizawai Limbah cair tahu, air kelapa, trace element, urea, NaOH Sterilisasi Media steril Inkubasi pada rotary shaking incubator 180 rpm, 30 o C, 3-72 jam Hasil fermentasi Uji Toksisitas pada Larva C. pavonana (C. binotalis) Gambar 7. Diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a. 4. Penentuan Toksisitas Produk (Bioassay) Penentuan jumlah spora hidup yang terkandung dalam produk bioinsektisida atau campuran spora kristal hasil kultivasi dan pengujian toksisitasnya terhadap larva Crocidolomia pavonana yang dinyatakan dalam LC 50 dengan metode bioassay. LC 50 dapat ditentukan dengan menggunakan analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund, University of Wales, College of Cardiff, Inggris). C. Analisa Pra dan Paska Kultivasi 1. Pengukuran ph Pengukuran ph cairan dilakukan dengan menggunakan ph-meter yang telah dikalibrasi dengan menggunakan buffer standar (4,7, dan 10). Sampel cairan kultur diambil pada waktu yang telah ditentukan dan langsung diukur dengan ph-meter tanpa dilakukan pengenceran terlebih dahulu. 2. Jumlah Spora Hidup (Viable Spore Count atau VSC) 1 ml cairan fermentasi Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis Pemanasan pada suhu 70 o C selama 15 menit Pembuatan sederetan pengenceran 1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Inkubasi pada suhu 30 o C selama 24 jam Penghitungan jumlah koloni Gambar 8. Diagram alir penentuan jumlah spora hidup 17

32 3. Pengamatan Jumlah Sel dengan Metode TPC 1 ml cairan fermentasi Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis Pembuatan sederetan pengenceran 1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Inkubasi pada suhu 30 o C selama 24 jam Penghitungan jumlah koloni Gambar 9. Diagram alir penentuan jumlah sel hidup 4. Penetapan Total Gula dengan Metode Fenol H 2 SO 4 (Dubois et al. 1956) Sebelum dilakukan pengujian sampel perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembentukan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : Sebanyak 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30,40, 50 dan 60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol dan dikocok. Kemudian 5 ml H 2 SO 4 pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, dikocok dan ditempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. Gambar 10. Grafik kurva standar glukosa 5. Pengukuran Bobot Kering Biomassa Tabung eppendorf dipanaskan pada suhu 70 o C selama 1 jam sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sebanyak 1 ml sampel cairan kultur fermentasi dimasukkan dalam tabung eppendorf dan 18

33 dikeringkan dalam oven pada suhu 80 0 C selama 4-5 jam atau sampai endapan kering. Selanjutnya didinginkan dalam desikator seelama 30 menit dan ditimbang. Bobot kering biomassa dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: (1.9) 6. Pengukuran Tingkat Kekeruhan (Optical Density atau OD) Pengukuran tingkat kekeruhan menggunakan alat spektrofotometer dengan menggunakan λ = 660 nm (Fardiaz 1999). Sebanyak ±10 ml sampel cairan kultivasi dimasukkan ke dalam kuvet spektrofotometer, kemudian dibaca % Transmisinya. Nilai OD diperoleh dengan rumus : Keterangan : OD : Nilai kekeruhan sampel % T : Jumlah transmisi yang dilewatkan (1.10) 7. Uji Aktivitas Bioinsektisida (Bioassay) (dilakukan pasca kultivasi) 1 ml cairan fermentasi dari tiap-tiap perlakuan Pengenceran ke dalam 1 L air suling yang diberi Pro-Stiker (1ml/L) Pembuatan sederetan pengenceran Perendaman di dalam suspensi spora kristal selama 1 menit Dikeringanginkan Pemotongan daun kubis 10 larva ulat kubis Cawan Petri Inkubasi 4 (empat) hari Perhitungan jumlah larva mati sampai hari keempat Gambar 11. Prosedur penentuan aktivitas bioinsektisida D. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktor Tunggal dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan ini terdiri dari satu faktor tunggal yaitu rasio C/N yang terdiri dari 5 taraf yaitu C/N = 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Model yang digunakan adalah sebagai berikut : Keterangan : Yij : variabel yang akan dianalisis pada taraf ke- i ulangan ke-j µ : pengaruh rataan sebenarnya α i : efek yang sebenarnya pada taraf ke- i (i=1,2,3,4,5) ε ij : eror pada perlakuan ke- i ulangan ke- j i : taraf perlakuan rasio C/N ke-1, 2, 3, 4, 5 j : ulangan ke-1, 2 (1.11) 19

34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ANALISIS BAHAN BAKU Hasil analisa kimia bahan baku disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisa kimia limbah cair tahu dan air kelapa Jumlah (% berat dalam basis basah) Komponen Limbah Cair Tahu Air Kelapa Urea Air Abu Nitrogen Karbon Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa limbah cair tahu dan air kelapa mengandung senyawasenyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, seperti air, karbon, dan nitrogen (Vandekar dan Dulmage 1982). Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Wicaksono (2002) dan Syarfat (2010) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) adalah 7:1. Tabel 6. Jumlah penambahan urea untuk memperoleh rasio C/N yang diinginkan Sandi Media Rasio C/N Urea A 3: gr B 5: gr C 7: gr D 9: gr E 11: gr Penambahan urea dalam penelitian ini didasarkan pada rasio karbon dan nitrogen dari limbah cair tahu dan air kelapa yang tidak sesuai dengan rasio C/N yang diinginkan. Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan ph, tetapi penggunaannya cenderung tidak stabil sehingga perlu dibatasi (Stanburry dan Whitaker 1984). Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang 20

35 diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Pada penelitian ini, media fermentasi B.t.a ditambahkan 0.3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l MnSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l FeSO 4.7H 2 O, dan 1.0 g/l CaCO 3. Wakasika et al. (1982) di dalam Dulmage et al. (1990) menunjukkan bahwa ion K + menstimulasi produksi δ-endotoksin. Ion organik lainnya seperti Ca 2+ dan Mn 2+ juga menstimulir sporulasi. Menurut Benhard dan Utz (1993), garam-garam fosfat pada umumnya ditambahkan dalam jumlah besar, karena sekaligus berfungsi sebagai larutan penyangga ph. 4.2 PERUBAHAN ph CAIRAN KULTUR SELAMA FERMENTASI Laju pertumbuhan bakteri sangat tergantung pada ph, karena ph dapat mempengaruhi kinerja membran sel, enzim dan komponen intra seluler lainnya (Rehm dan Reed, seperti dikutip Judoamidjojo et al. 1989). Sehingga perlu dilakukan pengamatan ph cairan kultur selama kultivasi untuk mengetahui apakah nilai ph cairan tersebut berada pada kisaran yang dapat ditoleransi untuk pertumbuhan bakteri. Pengukuran ph dilakukan pada jam ke-0 sampai dengan jam ke-72 waktu kultivasi. Gambar 12. Perubahan ph cairan kultur selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N Hasil pengukuran ph cairan kultur menunjukkan bahwa pada jam ke-0 ph berada pada kisaran Pada jam ke-0 ini, ph cairan kultur masih berada pada kisaran ph optimum pertumbuhan B.t. Secara umum ph cairan kultur mengalami penurunan mulai dari jam ke-3 hingga jam ke-9 selanjutnya mengalami peningkatan selama fermentasi. Pada jam ke-24 hingga jam ke-72 nilai ph mengalami peningkatan, dimana pada jam ke-24 ph berkisar antara , pada jam ke-36 berkisar antara , pada jam ke-48 berkisar antara , dan pada jam ke-72 berkisar antara Peningkatan nilai ph ini masih berada pada kisaran pertumbuhan B.t.a. Menurut Benhard dan Utz (1993), peningkatan ph tersebut juga tidak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan B.t.a karena ph tersebut masih berada pada ph pertumbuhan B.t pada umumnya, yaitu dengan ph optimum

36 Hasil pengukuran ph tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Syarfat (2010), dimana pada jam ke-0 ph cairan kultivasi berkisar antara , pada jam ke-30 ph berkisar , pada jam ke-48 ph berkisar Penurunan ph disebabkan adanya proses enzimatis oleh B.t.a yang menguraikan glukosa menjadi asam-asam organik, seperti asam piruvat dalam proses metabolismenya. Menurut Norris (1971), selama fase eksponensial sel B.t.a mengkonsumsi gula, sehingga menghasilkan asam asetat dan asam piruvat yang menyebabkan nilai ph turun. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan adanya perbedaan formulasi rasio C/N yang dilakukan. Sedangkan peningkatan ph dapat disebabkan oleh terakumulasinya bahan-bahan alkali sebagai hasil biosintetik asam-asam amino ketika berinteraksi dengan air (Sneath 1986). Pada Gambar 12 dapat dilihat pula bahwa untuk semua formulasi media memiliki nilai ph yang stabil. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 9), yang menunjukkan bahwa perbedaan rasio C/N yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada ph semua waktu kultivasi. 4.3 PERTUMBUHAN SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA FERMENTASI Pertumbuhan sel B.t.a dapat diukur dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count) dimana yang teramati hanya koloni sel hidup B.t.a saja. Dengan metode TPC ini dapat dihitung jumlah koloni B.t.a yang tumbuh serta penampakannya. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sel hidup diperoleh hasil untuk waktu kultivasi 24 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.23x10 8 sel/ml atau 7.32 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media B dengan rasio C/N = 5:1 yaitu 5.37x10 7 sel/ml atau 7.35 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 36 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.23x10 8 sel/ml atau 7.39 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media E dengan rasio C/N = 11:1 yaitu 5.22x10 7 sel/ml atau 7.32 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 48 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.19x10 8 sel/ml atau 7.40 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media D dengan rasio C/N = 9:1 yaitu 5.99x10 7 sel/ml atau 7.37 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 72 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.12x10 8 sel/ml atau 7.42 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media D dengan rasio C/N = 9:1 yaitu 5.22x10 7 sel/ml atau 7.36 cfu/ml. 22

37 Gambar 13. Perubahan jumlah koloni selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N Dari hasil tersebut menandakan bahwa jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 pada waktu kultivasi 24 dan 36 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah adalah media D dengan rasio C/N = 9:1 pada waktu kultivasi 48 jam. Namun, jumlah sel hidup yang diperoleh dalam penelitian ini masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian Rumiyantie (1999) yang menyatakan bahwa konsentrasi sel berkisar antara 2.15x10 9 sel/ml x10 9 sel/ml untuk waktu kultivasi selama 48 jam dan penelitian yang dilakukan oleh Syarfat (2010) menyatakan bahwa konsentrasi sel pada kultivasi 30 jam berkisar antara 3.08x10 7 sel/ml 1.79x10 9 sel/ml, sedangkan untuk kultivasi 48 jam berkisar antara 1.00x10 7 sel/ml x10 8 sel/ml. Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa secara umum jumlah sel hidup atau log TPC cenderung mengalami peningkatan. Hal ini karena sel terus mengalami pertumbuhan sesuai dengan fase pertumbuhannya. Pada jam ke-0 sel mengalami fase lag atau fase awal dimana sel belum terlalu banyak berkembang biak karena sel masih beradaptasi dengan lingkungannya yaitu media. Setelah beradaptasi sel terus berkembang dan jauh lebih banyak, dimana pada fase ini terjadi pertumbuhan sel yang sangat cepat secara eksponensial atau fase log. Selanjutnya sel mulai memasuki tahap atau fase stasioner pada jam ke-24, dimana terjadi pertumbuhan sel yang lambat. Sedangkan fase kematian sel tidak dapat diperkirakan karena setelah akhir pengamatan yaitu kultivasi jam ke-72 jumlah sel hidup juga masih cukup banyak. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa formulasi media (rasio C/N) dan waktu kultivasi mempengaruhi jumlah sel hidup pada cairan kultivasi. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F (Lampiran 10) dengan tingkat kepercayaan 95 % (α=0.05), yang menunjukkan bahwa perbedaan rasio C/N yang digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah sel hidup untuk semua waktu kultivasi. 23

38 4.4 PERUBAHAN BOBOT KERING BIOMASSA SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA FERMENTASI Pertumbuhan B.t.a selama kultivasi dapat diukur dengan pengukuran terhadap bobot kering biomassa. Menurut Wang et al. (1978), pertumbuhan mikroorganisme secara curah pada media tertentu mempunyai empat fase dalam kurva pertumbuhannya, yaitu fase awal atau fase lag (lag phase) yang diikuti dengan fase eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan (fase kematian). Bobot kering biomassa total B.t.a yang dihasilkan berkisar antara g/l media. Pada Gambar 14 menunjukkan grafik pengukuran terhadap bobot kering biomassa selnya saja. Dimana pada jam ke-0 bobot kering biomassa sel yang terukur antara g/l, jam ke-24 antara g/l, jam ke-36 antara g/l, jam ke-48 antara g/l, jam ke-72 antara g/l. Bobot kering biomassa sel tertinggi adalah media C (C/N=7:1). Hasil yang diperoleh jauh lebih besar dari hasil yang diperoleh Wicaksono (2002) yang menghasilkan bobot kering biomassa produk g/l. Perbedaan hasil tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi massa pertumbuhan sel adalah jumlah substrat yang diberikan ke dalam media kultivasi, jenis substrat yang diberikan, jumlah mineral yang diberikan ke dalam media kultivasi, ph dan suhu. Gambar 14. Perubahan bobot kering biomassa sel selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai formulasi media Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa pertumbuhan sel secara cepat atau logaritmik umumnya terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-24 waktu kultivasi. Kemudian fase pertumbuhan lambat terjadi setelah jam ke-24 waktu kultivasi. Hal ini disebabkan pada awal kultivasi substrat masih tersusun dalam rantai karbon panjang. Adanya enzim amilase yang dihasilkan B.t.a akan menghidrolisis pati yang terkandung di dalam substrat, sehingga substrat terdegradasi menjadi rantairantai karbon yang lebih pendek. Akibatnya substrat tersebut tidak lagi terendapkan pada saat proses sentrifugasi. Fase pertumbuhan tetap atau stasioner terjadi pada jam ke-24 sampai jam ke-72 waktu kultivasi. Dan fase pertumbuhan menuju fase kematian tidak dapat dipastikan dengan baik dalam penelitian ini. 24

39 Pertumbuhan sel B.t.a selama kultivasi juga dapat ditunjukkan oleh peningkatan bobot kering biomassa selnya. Pengukuran terhadap bobot kering biomassa tidak hanya mengukur sel hidup saja, tetapi juga sel mati dan spora, namun yang disajikan pada gambar tersebut merupakan pengukuran terhadap bobot kering biomassa selnya saja. Setelah mencapai pertumbuhan optimal pada akhir fase stasioner dapat pula mengindikasikan mulai terjadinya fase kematian. Pada fase ini sel-sel B.t.a mengalami lisis sehingga mengurangi bobot biomassa terukur. Hal ini disebabkan oleh massa sel yang telah lisis tersebut sebagian akan hilang dikonversi menjaadi energi yang dimanfaatkan oleh selsel yang masih hidup sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya. Berdasarkan analisis ragam uji F (Lampiran 11) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa rasio C/N tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering biomassa selama waktu kultivasi. 4.5 PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA FERMENTASI Selama kultivasi berlangsung, sel akan mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi substrat yaitu nilai kadar gula sisa. Tinggi rendahnya kadar gula sisa dalam medium kultivasi dipengaruhi oleh kemampuan sel dalam mengkonversi pati dari sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya suhu dan ph. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t.a di antaranya adalah komposisi media dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti ph, oksigen dan suhu. Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa semua galur Bacillus thuringiensis dapat menghasilkan enzim amilase. Enzim tersebut digunakan untuk memecah pati pada air kelapa menjadi gula sederhana. Hal ini menyebabkan pati terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana yang menyusunnya. Gula sederhana yang dihasilkan digunakan untuk pertumbuhan dan pembentukan produk. Selama kultivasi berlangsung, sel akan mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Menurut Somaatmadja (1981), pati sebagai sumber karbon utama akan dikonsumsi oleh bakteri sebagai sumber energi untuk proses metabolisme pertumbuhannya. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi substrat sumber karbon selama kultivasi berlangsung. Dalam penelitian ini media yang berfungsi sebagai sumber karbon mengalami penurunan kadar pati akibat adanya konversi pati menjadi biomassa dan produk oleh B.t.a. Perombakan pati menjadi gulagula sederhana yang terdapat pada media sumber karbon akan menghasilkan energi, ATP dan asamasam, seperti asam piruvat dan asam asetat melalui siklus Krebs. Peristiwa ini akan berpengaruh terhadap penurunan nilai ph cairan kultivasi. 25

40 Gambar 15. Perubahan nilai total gula sisa cairan kultur selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai formulasi media Hasil pengamatan kadar gula sisa secara umum memperlihatkan nilai yang menurun pada berbagai formulasi. Pada awal kultivasi sampai jam ke-24 pada tiap formulasi mengalami penurunan yang cukup drastis. Hal ini karena penggunaan gula sederhana dalam media propagasi untuk pertumbuhan sel. Media sisa propagasi memberikan nutrisi yang digunakan sel untuk tumbuh, di samping sel juga mulai memecah pati menjadi gula sederhana. Pada saat gula dalam media propagasi habis maka penggunaan pati untuk dipecah menjadi gula sederhana lebih optimal. Pada jam ke-0 total gula sisa berkisar antara g/l media D (C/N=9:1) g/l media B (C/N=5:1). Pada jam ke-24 total gula sisa berkisar antara 4.00 g/l media B (C/N=5:1) 7.70 g/l media E (C/N=11:1). Pada jam ke-36 total gula sisa berkisar antara 3.60 g/l media B (C/N=5:1) 7.00 g/l media C (C/N=7:1). Pada jam ke-48 total gula sisa berkisar antara 1.90 g/l media B (C/N=5:1) media E 6.30 g/l (C/N=11:1). Pada jam ke-72 total gula sisa berkisar antara 1.50 g/l media B (C/N=5:1) 5.10 g/l media E (C/N=11:1). Hasil pengukuran efisiensi penggunaan substrat selama kultivasi adalah ± 0.19 (%). Hasil tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Syarfat (2010) yang menyatakan bahwa untuk kultivasi 30 jam efisiensi penggunaan substrat berkisar antara 13.14%-33.61%, dan untuk kultivasi 48 jam berkisar antara 31.71%-41.91%. Dari hasil analisis ragam uji F (Lampiran 12) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan rasio C/N berpengaruh nyata terhadap nilai total gula sisa selama waktu kultivasi. 4.6 PEMBENTUKAN SPORA SELAMA KULTIVASI Pengamatan jumlah spora hidup (VSC) yang terkandung dalam cairan kultur kultivasi dilakukan untuk melihat hubungan antara jumlah spora hidup dengan aktivitas cairan kultur kultivasi. Jumlah spora hidup ditentukan dengan melakukan sederetan pengenceran pada sampel, kemudian dipanaskan pada suhu 70 o C selama 15 menit dengan tujuan penjeratan pembentukan spora pada B.t.a dan juga untuk membunuh sel-sel vegetatif. Setelah dipanaskan, sampel yang telah diencerkan dicawankan dengan metode cawan sebar pada media nutrien agar (NA). 26

41 Gambar 16. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah spora Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa jumlah spora terletak pada kisaran yang tidak berbeda jauh. Jumlah spora (VSC) per ml cairan hasil fermentasi berkisar antara yang terendah 2.85 x 10 5 spora/ml media B (C/N=5:1) pada kultivasi 24 jam dan tertinggi sampai 5,6 x 10 7 spora/ml media D (C/N=9:1) pada kultivasi 48 jam. Hasil tertinggi tersebut masih lebih tinggi dan hasil yang terendah masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Syarfat (2010), yang menyatakan bahwa untuk kultivasi 30 jam jumlah spora berkisar antara 1.25x10 6 spora/ml 1.65x10 7 spora/ml dan untuk kultivasi 48 jam jumlah spora berkisar antara 1.25x10 6 spora/ml 2.95x10 7 spora/ml Namun dari hasil uji statistik dengan menggunakan analisis ragam uji F (Lampiran 13) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa rasio C/N berpengaruh nyata terhadap jumlah spora pada jam ke-24 dan jam ke-36 waktu kultivasi. Sedangkan pada jam ke-48 dan jam ke-72 rasio C/N tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah spora yang dihasilkan. Pada penelitian ini, perhitungan pertambahan jumlah spora hidup dimulai pada jam ke-24 dimana kultivasi mulai berlangsung fase stasioner. Pemilihan waktu pengukuran jumlah spora pada jam ke-24 diduga sel mulai mengalami sporulasi. Menurut Sukmadi et al. (1996) pembentukan spora mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akan berakhir yaitu saat dimulainya fase stasioner. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada jam ke-24 fase eksponensial mulai berakhir dan berawalnya fase stasioner. Pada jam ke-24 persediaan substrat mulai berkurang sehingga menyebabkan B.t.a mulai membentuk spora dalam jumlah banyak. Pembentukan spora sangat tergantung pada lingkungan kultur yang mempengaruhinya terutama jumlah substrat media sebagai bahan konsumsi untuk pertumbuhan sel B.t.a. Menurut Sukmadi et al. (1996), cepat lambatnya pembentukan spora tergantung pada lingkungan kultur. Umumnya spora akan terbentuk pada lingkungan yang kurang sesuai bagi sel misalnya nilai ph dan suhu ekstrim, kurangnya suplai makanan bagi sel serta kemungkinan lain yang menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai untuk sel B.t.a. Selain itu juga, jumlah mineral yang ditambahkan ke dalam media kultivasi sangat mempengaruhi faktor jumlah spora yang terbentuk. Pembentukan spora mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akan berakhir, yaitu saat dimulainya fase stasioner. Dari hasil penelitian Goldberg et al. (1980), dengan meningkatnya jumlah MgSO 4 dari 1g/L menjadi 2g/L 27

42 dengan skala laboratorium di dalam media kultivasi dengan jumlah 5g/L glukosa akan meningkatkan jumlah spora dari 1 x 10 8 spora/ml menjadi 1.2 x 10 9 spora/ml. 4.7 PERUBAHAN KEKERUHAN (OPTICAL DENSITY) SELAMA KULTIVASI Pengukuran kekeruhan atau kerapatan optis (Optical Density atau OD) menggunakan alat spektrofotometer. Prinsip yang digunakan adalah prinsip kolorimetri. Cara ini digunakan dalam pendugaan mikroba secara turbidimetrik serta dapat menentukan korelasi antara kekeruhan biakan dengan hitungan sel yang bersangkutan (Fardiaz 1999). Panjang gelombang yang digunakan adalah 660 nm, karena sampel yang diukur cukup keruh sehingga diperlukan panjang gelombang yang lebih besar agar dapat mengukur tingkat kekeruhan sampel cairan kultur. Dalam hal ini kekeruhan sampel cairan kultur ditandai dengan seberapa besar % transmisi yang terukur. Hasil pengukuran nilai OD pada kultivasi jam ke-0 berkisar antara , pada jam ke-24 berkisar antara , pada jam ke-36 berkisar antara , dan pada jam ke- 72 berkisar antara Dan dari Gambar 11 terlihat bahwa pada akhir kultivasi kekeruhan teringgi adalah pada media B (C/N=5:1) dan terjadi peningkatan kekeruhan yang drastis sedangkan peningkatan kekeruhan terendah adalah pada media C (C/N=7:1). Gambar 17. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat kekeruhan cairan kultivasi Dari Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa nilai OD atau kekeruhan sampel semakin meningkat selama waktu kultivasi. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan sel yang semakin meningkat dan aktivitas dari sel B.t.a selama proses fermentasi. B.t.a selama proses kultivasi berespirasi menghasilkan gas CO 2 sehingga gas tersebut menyebabkan cairan fermentasi menjadi keruh. Semakin lama gas CO 2 tersebut makin banyak dan terakumulasi seiring dengan semakin banyaknya sel B.t.a yang berespirasi. Selain karena aktivitas tersebut, sel B.t.a juga melakukan metabolisme dalam pertumbuhannya. Metabolisme sel ini menghasilkan asam-asam seperti asam piruvat dan asam asetat dan produk metabolit sekunder berupa spora dan kristal protein yang juga menyebabkan cairan kultivasi menjadi keruh. Selain itu enzim amilase yang dihasilkan oleh B.t.a akan menghidrolisis pati yang terkandung dalam substrat, sehingga substrat terdegradasi menjadi rantai-rantai karbon yang 28

43 lebih pendek akibatnya substrat tidak lagi terendapkan dan menyebabkan cairan menjadi keruh. Faktor lain adalah adanya ampas tahu yang tercampur pada limbah cair tahu dimana B.t.a tidak dapat mengkonversi seluruh substrat dalam bentuk ampas tahu karena kemampuan sel dalam mendegradasi makromolekul ini juga terbatas. Sehingga sel lebih cenderung mendegradasi molekul yang lebih kecil dan lebih mudah serta lebih cepat untuk dikonversi. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan analisis ragam uji F (Lampiran 14) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa rasio C/N berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kekeruhan cairan kultivasi pada jam ke-0, jam ke-24 dan jam ke-36 waktu kultivasi. Sedangkan pada jam ke-48 dan jam ke-72 rasio C/N tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap tingkat kekeruhan cairan kultivasi. Karena pada jam ke-48 dan jam ke-72 kekeruhan cairan sampel relatif sama. 4.8 KINETIKA FERMENTASI Tingginya laju pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh substrat yang terdapat di dalam media dan lamanya mikroorganisme menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Selain substrat, laju pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh temperatur, ph, aerasi dan agitasi. Perhitungan parameter kinetika fermentasi bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi. Tabel 7. Hasil perhitungan parameter kinetika fermentasi pada rasio C/N=7:1 jam ke-48 Parameter Satuan Media C (C/N = 7:1) Log N-max Log VSC-max µ N -max Y N/S cfu/l log spora/l 9.20 jam cfu/g substrat 0.11 Y P/S g produk/g substrat 0.48 (S o -St)/S o % 56 Penentuan jumlah nutrien yang diberikan ke media kultivasi sangat mempengaruhi pertumbuhan sel yang terdapat di dalam media. Selain jumlah nutrien yang diberikan, kemudahan sel dalam mengkonsumsi nutrien sangat mempengaruhi laju pertumbuhan itu sendiri. Sel akan mengkonsumsi nutrien dalam bentuk senyawa yang lebih makro daripada senyawa yang dikonsumsi pertama kali sehingga diperlukan keadaan yang optimum dari media kultivasi agar laju pertumbuhan sel tersebut berkembang dengan baik. Pengukuran parameter kinetika fermentasi tersebut (Lampiran 17) dilakukan terhadap media C (C/N =7:1) pada jam ke-48, hal ini berdasarkan hasil nilai pengukuran toksisitas yang paling tinggi (optimal). Sel B.t.a dapat mengkonversi dengan baik media dari limbah cair tahu dan air kelapa menjadi biomassa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 yang menunjukkan bahwa nilai konversi substrat menjadi sel (Y N/S ) cukup tinggi yaitu 0.11 g sel/g substrat. Sedangkan nilai konversi substrat menjadi produk (Y P/S ) yaitu sebesar 0.48 g spora/g substrat. Perbedaan nilai Y x/s dan Y p/s ini menunjukkan bahwa produk (spora) yang dihasilkan berlangsung pada akhir fase eksponensial tidak berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Peningkatan jumlah produk dapat diupayakan dengan membuat kondisi ekstrim pada proses kultivasi sehingga fase stasioner sebagai waktu pembentukan produk dapat lebih cepat tercapai. 29

44 4.9 PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA Penentuan aktivitas bahan aktif bioinsektisida dapat ditentukan dengan pengujian bahan aktif produk bioinsektisida terhadap serangga target yang dilakukan dengan cara bioassay. Bioinsektisida yang paling efektif ditentukan oleh tingkat mortalitas serangga target. Dalam penelitian ini serangga target yang digunakan adalah dari golongan Lepidoptera, yaitu ulat kubis atau Crocidolomia pavonana (C. binotalis). Hal ini dilakukan karena B.t.a memiliki jenis gen Cry II pada kristal protein (δ-endotoksin) yang tipe patogenitasnya spesifik terhadap Lepidoptera. Tingkat mortalitas serangga target ini ditentukan untuk menentukan LC 50 dan potensi produk bioinsektisida. LC 50 merupakan satuan yang menyatakan konsentrasi produk yang dapat membunuh 50% dari populasi serangga uji (target) (Vandekar dan Dulmage 1982). Semakin kecil nilai LC 50 maka produk semakin efektif, yang berarti semakin besar toksisitasnya. Hasil pengujian aktivitas bioinsektisida terhadap larva ulat kubis yang memperlihatkan tingkat toksisitas berbagai perlakuan dengan tingkat pengenceran yang berbeda yang menyebabkan serangga target mati. Pengujian bioassay dilakukan terhadap 10 larva ulat kubis C. pavonana instar II dengan 10 ml air yang telah diisi kristal protein dan dibiarkan selama 4 hari (suhu 30 o C). Mortalitas dihitung menggunakan program Probit Quant (Yamamoto et al. 1983). Kontrol yang digunakan adalah air sebanyak 10 ml tanpa penambahan kristal protein kemudian diujikan pada 10 larva ulat kubis instar II. Hasil pengujian kontrol menunjukkan bahwa semua larva ulat yang diujikan tidak mati. Tabel 8. Perbandingan LC 50 untuk masing-masing formulasi media serta produk komersial LC50 (mg/l) Rasio C/N 24 Jam 36 Jam 48 Jam 72 Jam 3:1 0.09± ± ± ± :1 0.12± ± ± ±0.00 7:1 0.02± ± ± ±0.00 9:1 0.07± ± ± ± :1 0.10± ± ± ±0.014 Bactospeine 0.05 Tabel 9. Perbandingan potensi produk untuk masing-masing formulasi media serta produk komersial Rasio C/N Potensi Produk (IU/mg) 24 Jam 36 Jam 48 Jam 72 Jam 3: : : : : Bactospeine Pada Tabel 8 dan Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai LC 50 memiliki korelasi yang berlawanan dengan potensi produk bioinsektisida. Tetapi nilai LC 50 tidak selalu berkorelasi positif dengan VSC. Bobot kering biomassa yang tinggi tidak menunjukkan tingkat efektivitas toksin yang paling baik. 30

45 Begitu juga dengan semakin besar jumlah spora hidup tidak menunjukkan tingkat efektivitas toksin yang paling baik. Hal ini karena toksisitas produk bioinsektisida terhadap serangga target sangat tergantung dari jumlah kristal protein (δ-endotoksin) yang dihasilkan selama proses sporulasi berlangsung. Menurut Rahayuningsih (2003) pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (B.t.i), bahwa toksisitas produk tidak selamanya dipengaruhi oleh jumlah spora yang terkandung dalam produk tersebut meskipun pembentukan δ-endotoksin bersamaan dengan pembentukan spora (sporulasi). Hal ini juga sesuai dengan yang dilaporkan Morris et al. (1996) bahwa jumlah viable spore count tidak selalu berkorelasi secara linier dengan toksisitas. Salah satu faktor yang menentukan tingginya toksisitas adalah potensi dari kristal protein yang bisa dilihat dari komposisi kristal protein penyusunnya. Hal ini juga yang mendasari penggunaan bioassay menggantikan jumlah spora hidup dalam produk sebagai standarisasi produk bioinsektisida. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa formula C (C/N=7:1) pada jam ke-48 menghasilkan nilai LC 50 terkecil dibandingkan dengan rasio C/N yang lain yaitu 0.01 mg/l. Hasil ini lebih efektif jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Syarfat (2010), tingkat toksisitas tertinggi adalah LC 50 terkecil yaitu 1.34 mg/l. Hal ini didukung dengan uji stasistik dengan menggunakan analisis ragam uji F (Lampiran 15) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) yang menunjukkan bahwa formulasi media (rasio C/N) berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat toksisitas dari bioinsektisida pada semua waktu kultivasi. Hal ini berarti bahwa masing-masing rasio C/N berbeda nyata satu sama lain. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa media C dengan rasio C/N = 7:1 menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) terbaik dengan tingkat toksisitas tertinggi. Potensi produknya yang tinggi juga menunjukkan bahwa B.t.a mampu tumbuh dengan optimal pada media tersebut dan dapat menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) dalam jumlah yang besar dan dengan tingkat toksisitas tertinggi. Hasil yang diperoleh ini mempunyai nilai yang lebih kecil 5 kali lipat dari produk komersial bactospeine. Hal ini karena produk bactospeine yang digunakan sebagai standar adalah produk komersial yang dalam proses produksinya telah mengalami proses pemurnian (recovery) untuk menghilangkan zat-zat pengotor sehingga konsentrasinya lebih tinggi bila dibandingkan dengan contoh uji. Toksisitas spora B.t terhadap serangga target dipengaruhi oleh strain bakteri dan keadaan serangga target yang diujikan. Struktur kristal yang berbeda untuk setiap strain B.t berpengaruh terhadap toksisitas spora yang dihasilkan oleh sel B.t. Salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang mudah pecah oleh enzim yang dihasilkan oleh serangga. Selain itu, ukuran juga dipengaruhi oleh molekul protein yang menyusun kristal (Burges dan Hussey 1971). Menurut Tyrell et al. (1981) susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal protein juga mempengaruhi toksisitas bioinsektisida. Proses toksisitas dimulai dengan aktivitas kerja bioinsektisida yang terjadi pada saluran pencernaan serangga target yang dalam keadaan alkali (basa). Nilai ph usus besar serangga target akan berpengaruh pada kelarutan kristal protein. Pada ph di atas 8-9, kristal protein mudah larut, sehingga mengeluarkan toksin (Deacon 1983). Selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan enzim protease yang ada dalam sel pencernaan untuk mencerna kristal protein dan adanya reseptor khusus yang mampu mengikat toksin (Burges dan Hussey 1971). 31

46 V. PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Kultivasi menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa perbandingan 80% : 20% dengan rasio C/N=7:1 menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) yang mempunyai toksisitas tertinggi terhadap larva Crocidolomia pavonana (C. binotalis). Hal ini dibuktikan oleh hasil uji aktivitas produk bioinsektisida (bioassay) yang menghasilkan nilai LC 50 terbaik sebesar 0.01 mg/l dan potensi produk sebesar 80,000 IU/mg. Jumlah sel hidup tertinggi pada produk bioinsektisida ini dihasilkan oleh formulasi media C rasio C/N = 7:1 jam ke-48 yaitu 2.80 x 10 8 sel/ml kultur, sedangkan jumlah spora tertinggi jam ke-48 yaitu 4.49 x 10 6 spora/ml kultur. Selama fermentasi terjadi penurunan total gula sisa, peningkatan kekeruhan dan biomassa. Dari aplikasi uji bioassay terhadap mortalitas larva Crocidolomia pavonana (C. binotalis) disimpulkan bahwa kondisi optimum ph dimana memberikan nilai LC 50 terendah yang berarti adalah potensi toksisitas tertinggi bioinsektisida yang dihasilkan dari limbah cair tahu dan air kelapa dengan rasio C/N=7:1 berturut-turut untuk fermentasi jam ke-24, 36, 48, dan 72 adalah ph 6.86, 6.92, 7.20, dan 7.82 atau toksisitas optimal pada ph 7.20 ± SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan produk bioinsektisida terhadap jenis serangga yang lain atau spesies Lepidoptera yang lain agar dapat diketahui seberapa efektif produk bioinsektisida yang dihasilkan dalam membasmi serangga. 32

47 DAFTAR PUSTAKA AOAC Official Methods of Analysis of The Association of Official Agriculture Chemist, Washington, D. C. Aronson AI, W Beckman, P Dunn Bacillus thuringiensis and Related Insect Pathogen. Microbial. Rev. 50 (1); Becker, J Margalit Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester : Behle RW, P Tamez-Guerra, BS Shasha, MR Mc. Guire Makalah Formulation Forum 99. Formulating Bioinsecticides to improve Reciducal Activity. University Peoriia, Illios. Bernhard K., R Utz Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for Experimental and Commeercial Uses, Hlm Di dalam P. F. Entwilse, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (Penyunting). Bacillus thuringiensis an Enviromental Biopesticide theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester. Bravo A Phylogenetic Relationship of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin Family Protein and Their Funcional Domains. Bacterial. 179 (9): Bulla LA, KJ Kramer, LI Davidson Characterization of The Entomocidal Parasporal Crystal of Bacillus thuringiensis. J. Bacteriol. 130 (1) : Burgerjon, Martouret Determination and Significance of The Host Spectrum of Bt. Pp Di dalam H. D. Burges and N. W. Hussey (ed). Microbial Control of Insect and Mites. London : Academic Perss. Burges HD The Role of Pathogen in Insect Control. In Basic Biology of Microbial Larvicides of Vectors of Human Diseases. Eds : F Michal. UNDP/World Bank/WHO. Geneva, Switzerland Deacon J W Microbial Control of Plant and Diseases. Van Nostrand Reinhold (VK) Co, Ltd. De Barjack H, E Frachon Classification of Strain Bacillus thuringiensis. Entomophage 36 : Djojosumarto P Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta : PT Agromedia Pustaka. Dubois MK, A Gilles, JK. Hamilton, DA. Rebers, F Smith Colorimetric Methods for Determenation of Sugar and Related Substances. Analitical Chemist 28: Dulmage HT Insecticidal Activity of Isolates of Bacillus thuringiensis and Their Potentialfor Pest Control. Di dalam H. D. Burges (editor). Microbial Control Pest and Plant Disease New York : Academic Press. Dulmage HT, Rhodes RA Production of Pathogens In Artificialmedia, pp In Burgs, H. D. (Editor). Microbiologi Control of Pest and Plant Disesases New York : Acad Press. Dulmage HT, JA. Correa, GG Morales Potensial of Improved Formulation of Bacillus Thuringiensis Through Standardization and Cultivation Development. Di Dalam Bacterial Control of Mosquitoas And Blackfleis: Biochemistry, Genetic and Application of Bacillus thuringiensis and Bacillus sphaericus. Eds: H. D. Barjac and D. J. Sutherland. Rutgers University Press. New Brunswick, New Jersey,UASA

48 Fast DG The Crystal Toxin of Bacillus thuringiensis. Pp: Di dalam Burgs, H. D. (Editor). Microbiologi Control of Pest and Plant Disesases. Faust RM, LA Bulla Bacteria and Their Toxin as Insecticides, Hlm Di Dalam E. Kurstak (Penyunting). Microbial And Viral Pesticides. New York : Marcel Dekker Inc. Feitelson JS, Payne, L Kim Bacillus thuringiensis : Insects and Beyond. Biotechnology. 10 : Di dalam bahagiawati (2002). Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Bulletin Agrobio 5 (1) : Gill SS, EA Knowles, PV Pietrantonio The Mode of Action of Bacillus thuringiensis Endotoxins. Annu. Rev. Entomol. 37: Goldberg I, B Sneh, E Battat, D Klein Optimization of A Medium For A High Yield Production of Spore-Crystal Preparation of Bacillus thuringiensis Effective Against The Egyptian Cotton Leaf Worm Spodoptera littoralis Boisd. The Fermentation Unit, The Hebrew University. Gumbira Sa id E Bioindustri. Jakarta : Penebar Swadaya. Hartati N Pengaruh Aerasi Tehadap Produksi Biopestisida oleh Oseudomonas putida Menggunakan Substrat Limbah Limbah Cair Tahu [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hofte H, HR Whiteley Insecticidal Crystal Protein of Bacillus thuringiensis. Microbial. Rev. Entomol. 12 : perkebunan. pdf [13 Februari 2009]. [ 5 Januari 2011]. [Februari 2011]. [ 15 Maret 2011 ]. Ignoffo CM, RF Anderson Bioinsectisides, pp In H. J. Peppler and D. Perlman,eds. Microbial Technology. New York : Acad Press. Judoamidjojo RM, E Gumbira Sa id, L Hartoto Biokonversi. Bogor : PAU Bioteknologi- IPB. Judoamidjojo RM, M A Aziz Darwis, E Gumbira Sa id Teknologi Fermentasi. Bogor : PAU Bioteknologi- IPB. Kalshoven LGE The Pest of Crops in Indonesia. (terjemahan). Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van- Hoeve. Lereclus D, A Deleclus, MM Lecadet Diversity of Bt toxins and genes, hlm Di dalam PF Entwistle, JS Cory, MJ Bailey, S Higgs (ed). Bt, An Environmental Biopesticide: Theory and Practice. Chichester : John Wiley & Sons Ltd. Liu YB, BE Tabashnik, WJ Moar, RA Smith Synergism between Bt spore and toxins against resistant and suspectible diamonback moths (Plutella xylostella). Appl. Environ. Microbiol. 64(4) : Mangunwidjaja D, Suryani A Teknologi Bioproses. Jakarta : Penebar Swadaya Rekayasa Proses. Bogor : Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Milne R, AN Ge, D Rivers, DH Dean Specificity of Insecticidal Crystal Protein: Implication for Industrial Standarization. Di dalam L. A. Hickle dan W. L. Fitch (Editor). Analytical Chemistry of Bacillus thuringiensis. Washington DC : American Chemical Society. Morris O N, P Kanagaratnam, V Converse Suistabilityof 30 Agricultural Products and By- Products as Nutrient Sources for Laboratory Production of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (HD133). Jpurnal of Pathology 70 :

49 Muller-Chon J, J Chaufaux, C Buisson, N Gilois, V Sanchis, D Lereclus Spodoptera littoralis (Lepidoptera : Noctuidae) Resistance To Cry 1C and Cross-Resistance To Other Bacillus thuringiensis Crystal Protein. J. Econ. Entomol. 89(4) : Mummigatti SG, Raghunathan Influence of Media Composition on the Production of Delta- Endotoxin by Bacillus thuringiensis. J. Invertebr. Pathol. 55 : Norris J R The Protein Crystal Toxin of Bacillus thuringiensis : Biosynthesis and Physical Structure. Di dalam H D Burges dan N W Hussey (editor). Microbial Control of Insect and Mites. New York : Academic Press, London Nuraida L, AH Sihombing, Srikandi F Produksi Karotenoid pada Limbah Cair Tahu, Air Kelapa, dan Onggok oleh Kapang Neurospora sp. Artikel Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. VII. Othman N Biology of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) and Its Parasites From Cipanas Area (West Java). Research Report. Bogor : SEAMEO Center for Tropical Biology. Pearson D, OP Ward Effect of Culture Conditions on Growth and Sporulation of Bacillus thuringiensis subsp. israelensis and Development of Media for Production of The Protein Crystal Endotoxin. Biotechnol. Lett. 10 (7) : Prijono D, E Hasan Life Cycle and Demography of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) on Broccoli in Laboratory. Indon. J. Trop. Agric. 4 : Quinlan RJ, SG Lisansky Microbial Insecticides, pp Di dalam H. Dellweg (editor). Biotechnology vol. 3. Weinheim : Verlag Chemic. Radiyati Limbah Tahu. [ 30 Mei 2011] Rahayuningsih M Toksisitas dan Pembedaan Aktivitas Dipterosidal Bioinsektisida Bacillus thuringiensis var. israelensis Tipe Liar dan Mutan pada berbagai Formulasi Media dan Kondisi Kultivasi [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Rehm HJ, G Reed Biotechnology vol. 1. Microbial Fundamentals. Weinheim : Verlag Chemic. Rumiyantie RR Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Skala Pilot dengan Urea sebagai Sumber Nitrogen Tambahan [skripsi]. Bogor : F-MIPA IPB. Sastrosiswojo S, W Setiawati Hama-Hama Tanaman Kubis dan Cara Pengendalian. Hal Dalam A. H. Permadi dan S. Sastrosiswojo (ads.), Kubis. Jakarta : Ballitan dan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Shieh TR Identification and Ckassification of Bacillus thuringiensis. Jakarta : Komisi Pestisida Departemen Pertanian. Sikdar DP, MK Majumdar, SK Majumdar Optimijation of Process for Production of Delta- Endotoxin by Bacillus thuringiensis subsp. israelensis in a 5 litre Fermentor. Biochemical Archieves. 9 : Sneath PHA Endospore Forming Gram Positive Rods And Cocci. Di dalam PHA Sneath, NS Majr, ME Sharpe, JG Hold (eds). Bergey s Manual of Systematic bacteriology. Vol 2. Baltimore, USA. Stanbury PF, A Whitaker Principles of Cultivation Technology. London : Pergamon Press. Sukmadi B, Haryanto B, Ratna S H Pengaruh Konsentrasi Dekstrosa pada Produksi Bahan Aktif Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Majalah BPPT No. LXXII : Sukmadi B Pengaruh Sumber Karbon dan Nitrogen Terhadap Produksi δ-endotoksin on B.t subsp. aizawai [tesis]. Bogor : Pascasarjana IPB. Swadener C Bacillus thuringiensis. Journal of Pesticides Reform vol 14, no. 3: Nortwest Coalition for Alternative to Pesticides. Canada. 35

50 Syarfat SM Produksi Bioinsekti dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawa Menggunakansubstrat Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat [skripsi]. Bogor : FATETA IPB Trizelia Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana/SC. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tyrell DJ, LE Bulla, RE Andrews, KJ Kramer, LI Davidson, P Nordin Comparative Biochemistry of Entomocidal Parasporal Crystals of Selected Bacillus thuringiensis Strains. J. of Bacteriol Uhan TS Kehilangan Hasil Panen Karena Ulat Krop Kubis (Crocidolomia binotalis Zell) dan Cara Pengendaliannya. J Hort 3 : Vandekar M, HT Dulmage Guidelineof Production of Bacillus thuringiensis H-14. Special Programe for Research and Training in Tropical Diseases. Switzerland : Geneva. Wang DIC, CL Cooney, AL Demain, P Dunnil, AE Humprey, MD Lilly Fermentation and Enzyme Technology. New York : John Wiley and Sons. Wicaksono Y Pemanfaatan Onggok Tapioka dan Urea sebagai Media Sumber Karbon dan Nitrogen dalam Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki [skripsi]. Bogor : FATETA IPB. Yamamoto T, T Lizuka, J N Aronson Mosquitocidal Protein of Bacillus thuringiensis var. israelensis : Identification and Partial Isolation of the Protein. Current Microbiology, Vol. 9, pp

51 LAMPIRAN 37

52 Lampiran 1. Perhitungan susunan media kultivasi (berikut perhitungan total penambahan urea pada beberapa perbedaan rasio C/N) 1. Media A (Rasio C/N = 3 : 1 ) Karbon Nitrogen Air Kelapa (AK) 0.695% % Limbah Cair Tahu (LCT) % % C = N C = 3 N C. AK + C. LCT + C. Urea = 3 ( N. AK + N. LCT + N. Urea) 0.695% (10ml) % (40 ml) + 20% Urea = 3 ( % (10ml) % (40ml) % Urea Urea = 3 ( Urea) Urea = Urea = Urea Urea = g 2. Media B (Rasio C/N = 5 : 1 ) C = 5 N C. AK + C. LCT + C. Urea = 5 ( N. AK + N. LCT + N. Urea) 0.695% (10ml) % (40 ml) + 20% Urea = 5 ( % (10ml) % (40ml) % Urea Urea = 5 ( Urea) Urea = Urea = Urea Urea = g 3. Media C (Rasio C/N = 7 : 1 ) C = 7 N C. AK + C. LCT + C. Urea = 7 ( N. AK + N. LCT + N. Urea) 0.695% (10ml) % (40 ml) + 20% Urea = 7 ( % (10ml) % (40ml) % Urea Urea = 7 ( Urea) Urea = Urea = Urea Urea = (0.0120) g 4. Media D (Rasio C/N = 9 : 1 ) C = 9 N C. AK + C. LCT + C. Urea = 9 ( N. AK + N. LCT + N. Urea) 0.695% (10ml) % (40 ml) + 20% Urea = 9 ( % (10ml) % (40ml) % Urea Urea = 9 ( Urea) Urea = Urea = Urea Urea = g 5. Media E (Rasio C/N = 11 : 1) C = 11 N C. AK + C. LCT + C. Urea = 11 ( N. AK + N. LCT + N. Urea) 0.695% (10ml) % (40 ml) + 20% Urea = 11( % (10ml) % (40ml) % Urea Urea = 11 ( Urea) Urea = Urea = Urea Urea = g 38

53 Lampiran 2. Rekapitulasi data ph rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

54 Lampiran 3. Rekapitulasi data log TPC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). cfu/ml Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

55 Lampiran 4. Rekapitulasi data log VSC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). log spora/ml Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

56 Lampiran 5. Rekapitulasi data tingkat kekeruhan (optical density) rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

57 Lampiran 6. Rekapitulasi data nilai total gula sisa rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). g/l Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

58 Lampiran 7. Rekapitulasi data bobot kering biomassa rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan). Bobot kering biomassa total Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) g/ml Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Bobot kering biomassa sel g/l Jam Ke- Media A (C/N=3:1) Media B (C/N=5:1) Media C (C/N=7:1) Media D (C/N=9:1) Media E (C/N=11:1) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

59 Lampiran 8. Contoh penentuan LC 50 menggunakan program Probit Quant C 72 conc obs.corr. expected O-E cont.chi-sq tot. chi-sq = % = % = $ The fitted line is log conc.= a + b(probit) where : a = 5.92 b =.48 $ The correlation coefficient of the initial line is.9659 LC50 flc50 +95% CL -95% CL S fs +95% CL -95% CL (LC 50 = 0.01) Artinya, untuk mematikan 50 % dari total serangga yang ada dibutuhkan konsentrasi toksin dalam larutan bioinsektisida sebanyak 0.01 mg/l. 45

60 Lampiran 9. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap perubahan ph (α = 0.05) TABEL ANOVA ph pada jam ke- 0 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total ph pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total ph pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total ph pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total ph pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N tidak berpengaruh secara nyata terhadap perubahan ph pada semua waktu kultivasi. 46

61 Lampiran 10. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap jumlah sel hidup (α = 0.05) Jumlah Sel Hidup pada jam ke- 0 TABEL ANOVA Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N E Galat Total Berbeda nyata Jumlah Sel Hidup pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Jumlah Sel Hidup pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Jumlah Sel Hidup pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Jumlah Sel Hidup pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel hidup pada jam ke-0, 24, 36 dan 48 waktu kultivasi, tetapi tidak berpengaruh nyata pada jam ke-72 waktu kultivasi. 47

62 UJI BEDA NYATA TERKECIL A. Jumlah sel hidup pada jam ke-0 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.08 E B. Jumlah sel hidup pada jam ke-24 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.01 E C. Jumlah sel hidup pada jam ke-36 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.02 E 48

63 D. Jumlah sel hidup pada jam ke-48 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.02 E Keterangan : - Berbeda nyata - Tidak berbeda nyata 49

64 Lampiran 11. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap bobot kering biomassa (α = 0.05) TABEL ANOVA Bobot Kering Biomassa pada jam ke- 0 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N 2.18E E Galat 1.38E E-06 Total 1.60E-05 9 Bobot Kering Biomassa pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N 6.78E E Galat E-05 Total Bobot Kering Biomassa pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N 7.87E E Galat 9.19E E-05 Total Bobot Kering Biomassa pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N E Galat 6.84E E-05 Total Bobot Kering Biomassa pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N E Galat E-05 Total Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah bobot kering biomassa pada semua waktu kultivasi. 50

65 Lampiran 12. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap total gula sisa (α = 0.05) Total Gula Sisa pada jam ke- 0 Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N Galat Total Berbeda nyata Total Gula Sisa pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N Galat Total Berbeda nyata Total Gula Sisa pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N Galat Total Berbeda nyata Total Gula Sisa pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N Galat Total Berbeda nyata Total Gula Sisa pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Keterangan Rasio C/N E Galat Total Berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa cairan kultivasi pada semua waktu kultivasi. 51

66 UJI BEDA NYATA TERKECIL A. Total Gula Sisa jam ke-0 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 1.50 E B. Total Gula Sisa jam ke-24 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 1.84 E C. Total Gula Sisa jam ke-36 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 2.04 E 52

67 D. Total Gula Sisa jam ke-48 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.54 E E. Total Gula Sisa jam ke-72 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 1.18 E Keterangan : - Berbeda nyata - Tidak berbeda nyata 53

68 Lampiran 13. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap jumlah spora hidup (α = 0.05) Jumlah Spora Hidup pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Jumlah Spora Hidup pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat E-05 Keterangan Berbeda nyata Total Jumlah Spora Hidup pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Jumlah Spora Hidup pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora hidup cairan kultivasi pada jam ke 24 dan 36 waktu kultivasi, tetapi tidak berbeda nyata pada jam ke 48 dan 72. UJI BEDA NYATA TERKECIL A. Jumlah spora hidup pada jam ke-24 α = 0.05 LSD =

69 MEDIA A B C D E A B C D 0.02 E B. Jumlah spora hidup pada jam ke-36 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.03 E Keterangan : - Berbeda nyata - Tidak berbeda nyata 55

70 Lampiran 14. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap kekeruhan (α = 0.05) TABEL ANOVA Kekeruhan jam ke- 0 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N E Galat 3.11E E-06 Total Kekeruhan pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Kekeruhan pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Kekeruhan pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Kekeruhan pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Total Keterangan Berbeda nyata Keterangan Berbeda nyata Keterangan Berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan Tidak berbeda nyata Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N berpengaruh secara nyata terhadap kekeruhan cairan kultivasi pada jam ke 0, 24 dan 36 waktu kultivasi. Sedangkan pada jam ke 48 dan 72 tidak berpengaruh nyata terhadap kekeruhan. 56

71 UJI BEDA NYATA TERKECIL A. Kekeruhan pada jam ke-0 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D E B. Kekeruhan pada jam ke-24 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.06 E C. Kekeruhan pada jam ke-36 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.15 E Keterangan : - Berbeda nyata - Tidak berbeda nyata 57

72 Lampiran 15. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat toksisitas (α = 0.05) TABEL ANOVA Tingkat Toksisitas pada jam ke-24 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Tingkat Toksisitas pada jam ke-36 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Tingkat Toksisitas pada jam ke-48 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Tingkat Toksisitas pada jam ke-72 Sumber JK db KT F hit P-value F α Rasio C/N Galat Keterangan Berbeda nyata Total Keterangan : Pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media rasio C/N berpengaruh secara nyata terhadap tingkat toksisitas bioinsektisida pada semua waktu kultivasi. UJI BEDA NYATA TERKECIL A. Toksisitas Produk jam ke-24 α = 0.05 LSD =

73 MEDIA A B C D E A B C D 0.03 E B. Toksisitas Produk jam ke-36 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.03 E C. Toksisitas Produk jam ke-48 α = 0.05 LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.02 E D. Toksisitas Produk jam ke-72 α = 0.05 Keterangan : - Berbeda nyata - Tidak berbeda nyata LSD = MEDIA A B C D E A B C D 0.07 E 59

74 Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay) Hasil Kultivasi Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 24 jam SANDI MEDIA BOBOT (g/l) Konsentrasi penggunaan produk (mg/l) A B C D E SANDI MEDIA BOBOT (g/l) Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 36 jam Konsentrasi penggunaan produk (mg/l) A B C D E Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 48 jam SANDI MEDIA BOBOT (g/l) Konsentrasi penggunaan produk (mg/l) A B C D E Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 72 jam SANDI MEDIA BOBOT (g/l) Konsentrasi penggunaan produk (mg/l) A B C D E Konsentrasi pengenceran untuk Bactospeine (Produk Komersial) SANDI MEDIA Konsentrasi penggunaan produk (mg/l) Bactospeine

75 Jam ke- Lampiran 17. Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi pada Media C (rasio C/N = 7:1) P N S (Log spora/l) (CFU/L) (g/l) P-Po (Log Spora/L) N-No (CFU/L) So-S (g/l) Ln N Ln N t -Ln N 0 µ N (jam-1)

76 Lampiran 18. Dokumentasi Penelitian Pengujian Bioassay Biakan B.t.a Pembibitan kultur I Pembibitan Kultur II Fermentasi pada rotary shaker Inkubasi 62

77 Persiapan Inokulasi Sedang Inokulasi Jumlah Spora Hidup Jumlah Spora Hidup (Pengenceran 10-5 ) (Pengenceran 10-4 ) Jumlah Sel Hidup Jumlah Sel Hidup (Pengenceran 10-6 ) (Pengenceran 10-5 ) Setelah pengujian bioassay Foto B.t dari ulat 63

78 Gambar Hasil Foto Mikroskop Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Penampakan cairan kultivasi jam ke-24 di bawah mikroskop perbesaran 1000x Penampakan cairan kultivasi jam ke-48 di bawah mikroskop perbesaran 1000x 64

79 Penampakan cairan kultivasi jam ke-2 di bawah mikroskop perbesaran 1000x 65

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Bahan Baku Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Di alam banyak tersedia bahan-bahan yang dapat

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh :

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh : PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT Oleh : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT F34060127 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) Viable Spore Count (VSC) digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung di dalam campuran spora kristal. Pembentukan spora tergantung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioinsektisida Bioinsektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Menurut Ignoffo dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mentimun (Cucumis sativus.l) adalah salah satu sayuran buah yang banyak dikomsumsi segar oleh masyarakat Indonesia. Nilai gizi mentimun cukup baik sehingga sayuran buah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI DEVI ARYATI F34070018 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah Departemen

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI ERLINA SETIYAWATI SUSANTO F34061186 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella,

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri Gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang telah dikembangkan menjadi salah satu bioinseksitisida yang patogenik terhadap larva nyamuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Keberhasilan produksi bioinsektisida selain dipengaruhi oleh galur bakterinya, juga dipengaruhi oleh media dan kondisi fermentasi yang digunakan. Untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat. Menurut Trubus (2012), permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di muka bumi. Hampir 80% spesies hewan yang ada di bumi berasal dari kelas Insekta. Serangga telah ada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 kilogram sayuran per kapita per tahun. Angka itu jauh lebih rendah dari angka konsumsi

Lebih terperinci

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN DARI ONGGOK DAN UREA PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN DARI ONGGOK DAN UREA PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN DARI ONGGOK DAN UREA PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis oleh ZULFA HENDRA F34101064 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pupuk organik cair termasuk dalam salah satu pupuk organik yang memiliki manfaat memperbaiki sifat fisik tanah, membantu pembentukan klorofil daun,

Pupuk organik cair termasuk dalam salah satu pupuk organik yang memiliki manfaat memperbaiki sifat fisik tanah, membantu pembentukan klorofil daun, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya tanaman merupakan kegiatan pemeliharaan sumber daya hayati yang dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat maupun hasil panennya, misalnya budidaya

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis. Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis. Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis 1. Sifat Koloni dan Sel Bacillus thuringensis Berdasarkan Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sawi merupakan jenis sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Hamli (2015) salah satu jenis tanaman sayuran yang mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang digemari dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Untuk konsumsi sehari-hari, sawi biasa

Lebih terperinci

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT BAHAN BAKU DAN PRODUK BIOINDUSTRI Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Email :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) oleh petani masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap efektif. Menurut Sastrosiswojo, 1990 (Kasumbogo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kubis adalah kalori (25,0 kal), protein (2,4 g), karbohidrat (4,9 g), kalsium (22,0

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kubis adalah kalori (25,0 kal), protein (2,4 g), karbohidrat (4,9 g), kalsium (22,0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kubis (Brassica oleracea L.) merupakan jenis sayuran yang sebagian besar daunnya bewarna hijau pucat dengan bentuk bulat serta lonjong. Sayuran ini mengandung vitamin

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI Oleh : Asri Maulina NPM : 103301009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi

Lebih terperinci

KUALITAS NATA DE CASSAVA LIMBAH CAIR TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

KUALITAS NATA DE CASSAVA LIMBAH CAIR TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA KUALITAS NATA DE CASSAVA LIMBAH CAIR TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal sayuran tersebut. Sehingga menambah tumpukan sampah. Limbah merupakan material sisa yang tidak di inginkan setelah

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal sayuran tersebut. Sehingga menambah tumpukan sampah. Limbah merupakan material sisa yang tidak di inginkan setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia merupakan negara tropis dan agraris, sehingga salah satu produksi yang melimpah berupa sayur-sayuran. Beberapa sayuran yang diproduksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dimanfaatkan secara luas. Hasilnya 15,5 miliar butir kelapa per tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dimanfaatkan secara luas. Hasilnya 15,5 miliar butir kelapa per tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis penghasil kelapa dengan produksi air kelapa mencapai 15,5 miliar butir per tahun. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi tanaman singkong di Indonesia sangat tinggi, menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia mencapai 24.044.025 ton

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

I. PENGANTAR. konsumsi (edible mushroom), yang telah banyak dibudidayakan, karena selain

I. PENGANTAR. konsumsi (edible mushroom), yang telah banyak dibudidayakan, karena selain I. PENGANTAR A. Latar Belakang Jamur telah digunakan selama ribuan tahun, baik sebagai makanan maupun obat herbal. Studi-studi menunjukkan bahwa jamur bisa meningkatkan produksi dan aktivitas sel-sel darah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Spora (Sporulasi) Sporulasi adalah suatu respon terhadap penurunan kadar nutrisi dalam medium khususnya sumber karbon dan nitrogen. Pengaturan pembentukan spora

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogen Serangga Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh

Lebih terperinci

UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI

UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT PADA PEMBUATAN KECAP DENGAN PENAMBAHAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Strata S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di Indonesia banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kelapa memberikan banyak hasil misalnya kopra yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,

Lebih terperinci

MAKALAH KIMIA ANALITIK

MAKALAH KIMIA ANALITIK MAKALAH KIMIA ANALITIK Aplikasi COD dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Disusun oleh : Ulinnahiyatul Wachidah ( 412014003 ) Ayundhai Elantra ( 412014017 ) Rut Christine ( 4120140 ) Universitas Kristen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal dari organik maupun anorganik yang diperoleh secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan bahan-bahan yang mengandung satu atau lebih zat senyawa yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Selain dibutuhkan oleh tanaman pupuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang memiliki iklim tropis. Daerah tropis

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang memiliki iklim tropis. Daerah tropis 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki iklim tropis. Daerah tropis dibagi dalam dua kelompok iklim utama yaitu tropis basah dan tropis kering yang masing-masing sangatlah

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahu merupakan salah satu makanan yang digemari dan mudah dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahu merupakan salah satu makanan yang digemari dan mudah dijumpai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahu merupakan salah satu makanan yang digemari dan mudah dijumpai di Indonesia selain tempe. Tahu juga sering dijadikan sebagai lauk-pauk karena rasanya yang enak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM. i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI. ii ABSTRACT.... iii ABSTRAK..... iv RINGKASAN. v HALAMAN PERSETUJUAN viii TIM PENGUJI. ix RIWAYAT HIDUP. x KATA PENGANTAR. xi DAFTAR ISI

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA Oleh DJAUHAR FAIZ AHDIANTO F34101056 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN. Malang, 13 Desember 2005

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN. Malang, 13 Desember 2005 PROSIDING SEMINAR NASIONAL DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN Malang, 13 Desember 2005 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR PENGKAJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan produksi minyak bumi nasional yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan minyak bumi di Indonesia. Cadangan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990).

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990). BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Enzim menjadi primadona industri bioteknologi karena penggunaanya dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk yang mempunyai nilai ekonomis

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA (KULTIVASI PADAT DAN CAIR)

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA (KULTIVASI PADAT DAN CAIR) Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Selasa, 15-22 April 2013 Teknologi Biondustri Golongan/kel : P3 Dosen : Dr.Ir. Prayoga Suryadarma, S, TP, MT Asisten :1 Tutus Kuryani F34090075 2. Nizar Zakaria F34090136

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada tahun 2012 menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membantu pencernaan. Kandungan kalori yang rendah pada Nata de Coco

BAB I PENDAHULUAN. membantu pencernaan. Kandungan kalori yang rendah pada Nata de Coco BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nata de Coco adalah makanan yang banyak mengandung serat, mengandung selulosa kadar tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan dalam membantu pencernaan. Kandungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Bakteri Acetobacter xylinum Kedudukan taksonomi bakteri Acetobacter xylinum menurut Holt & Hendrick (1994) adalah sebagai berikut : Divisio Klass Ordo Subordo Famili

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah

Lebih terperinci