FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI"

Transkripsi

1 FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI ERLINA SETIYAWATI SUSANTO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PRODUCT FORMULATION AND REDUCTION QUALITY DURING STORAGE OF BIOINSECTICIDE Bacillus thuringiensis subsp. aizawai FROM WASTE OF INDUSTRIAL TOFU Erlina Setiyawati Susanto Department of Agricultural Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia. Phone , erlinnice@gmail.com ABSTRACT Bioinsecticide can kill insects and disease vector. Bioinsecticide developed from bacteria, virus, mushroom, and protozoa. Bacteria that often used to produce bioinsecticide is Bacillus thuringiensis. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) as one of the Bacillus thuringiensis (Bt) species produces crystal protein called delta endotoxin (δ-endotoxin). As other Bt crystal protein, this crystal is specifically toxic to larvae Lepidoptera and Dipteral ordo. One of advantage bioinsecticide Bta is savety for our environment. Therefore, in this research produce bioinsecticide Bta from waste of industrial tofu as raw material standard. This research was to obtain the best product formulations Bta, reduction quality Bta, and to asses the level of toxicity Bta during storage. Media formulation using tofu waste and tofu waste water, with a ratio of 20: 80 and the starter added 10 (% v /v). In this research, product formulation using lactose as filler. The highest viable spore count (VSC) is the product formulation of freeze lactose (1.45 x 10 8 spora/mg), whereas the lowest VSC is the product formulation of freeze without lactose (9.25 x 10 7 spora/mg). After storage one month, the highest VSC is product formulation of freeze lactose was storaged on temperature 5 o C (9 x 10 6 spora/mg), whereas the lowest VSC is the product formulation of freeze without lactose was storaged on temperature 35 o C (1.5 x 10 6 spora/mg. The level toxicity (LC 50 ) product formulation of freeze lactose and freeze without lactose are 0.25 mg/l. Value of LC 50 from all of the treatment higher than value of LC 50 Bactospeine (0.05 mg/l). During storage one month, value of LC 50 and potential product bioinsecticide Bta go down continually. Keywords : Bioinsecticide, Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta), Formulation

3 ERLINA SETIYAWATI SUSANTO. F Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu. Di bawah bimbingan Sugiarto dan Mulyorini Rahayuningsih RINGKASAN Bioinsektisida merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Bioinsektisida didefinisikan juga sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Salah satu mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994). Bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable suspension, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Bentuk formulasi produk bioinsektisida Bt dipengaruhi oleh cara pemanenannya. Pada penelitian ini diproduksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang berbahan baku produk samping (limbah) industri tahu sebagai bahan baku utama. Pemilihan limbah industri tahu (ampas tahu dan air tahu) dikarenakan kedua komponen tersebut mengandung nutrisi, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk formulasi produk dan penurunan mutu bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) serta untuk menguji toksisitas Bta setelah penyimpanan. Formulasi media yang digunakan adalah ampas tahu dan air tahu dengan perbandingan 20 : 80 dan jumlah starter yang ditambahkan 10 (% v/w). Pada analisis bahan baku diperoleh kadar karbon pada ampas tahu dan air tahu sebesar 5.64 % (bb) dan 0.27 % (bb), sedangkan kadar nitrogennya sebesar 0.42 % (bb) dan 0.02 % (bb). Pada penelitian ini bentuk formulasi produk yang dihasilkan adalah formulasi wettable powder. Untuk menghasilkan formulasi produk wettable powder, proses yang dipilih dalam penelitian ini adalah menggunakan pengeringan beku (freeze drying) dengan menggunakan laktosa sebagai filler. Jumlah spora hidup tertinggi dengan waktu fermentasi selama 36 jam pada penelitian ini dihasilkan oleh formula produk freeze dengan penambahan laktosa (1.45 x 10 8 spora/mg), sedangkan total spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula produk freeze tanpa penambahan laktosa (9.25 x 10 7 spora/mg). Setelah dilakukan penyimpanan selama 1 bulan jumlah spora hidup tertinggi dihasilkan oleh formula produk freeze dengan penambahan laktosa yang disimpan pada suhu 5 o C (9 x 10 6 spora/mg), sedangkan total spora hidup terendah dihasilkan oleh formula freeze tanpa penambahan laktosa yang disimpan pada suhu 35 o C (1.5 x 10 6 spora/mg). Tingkat toksisitas (LC 50 ) untuk fermentasi selama 36 jam pada formula freeze dengan atau tanpa penambahan laktosa adalah 0.25 mg/l. Nilai LC 50 dari setiap perlakuan dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan nilai LC 50 Bactospeine (0.05 mg/l). Setelah dilakukan penyimpanan selama 1 bulan nilai LC 50 dan potensi produk bioinsektisida terus mengalami penurunan.

4 FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ERLINA SETIYAWATI SUSANTO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Jakarta, Mei 2011 Yang membuat pernyataan Erlina Setiyawati Susanto F

7 BIODATA PENULIS Erlina Setiyawati Susanto dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1988 dari Ayah Lamidi dan Ibu Sukinik sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Ciputat IV , Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTsN 3 Jakarta Selatan, tahun , dan Sekolah Menengah Atas di MAN 4 MODEL Jakarta Selatan tahun Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Himpunan mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, dan Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis juga aktif menjadi asisten mata kuliah Fisika, Analisis Bahan dan Produk Bahan Agroindustri, Teknologi Pengemasan dan Penyimpanan, dan Teknologi Distribusi dan Transportasi. Pada tahun 2006 penulis mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa TPB IPB dan memperoleh juara II. Selain itu di tahun yang sama penulis mengikuti lomba Kaligrafi di Acara Cookies IPB dan memperoleh juara III. Pada tahun 2008 penulis mengikuti lomba kaligrafi di Acara Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian dan memperoleh juara I. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2009 di PT. Indobiskuit Mandiri Makmur, Purwakarta, Jawa Barat. Pada tahun penulis memperoleh beasiswa dari PT. Unilever Tbk, dan pada tahun penulis memperoleh beasiswa dari Karya salemba Empat. Pada bulan Februari 2011, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Formulasi Produk dan Penurunan Mutu Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu dilakukan di Laboratoria Teknologi Industri Pertanian sejak bulan April 2010 sampai Oktober Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Sugiarto, M.Si sebagai dosen pembimbing utama. 2. Dr. Ir. Mulyorini Rahyuningsih, M.Si sebagai dosen pembimbing pendamping. 3. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan bagi saya. 4. Ir. Djoko Priyono, M Agr., Bapak Agus, dan saudari Febri di Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman IPB, atas larva ulat Crocidolomia binotalis. 5. Laboran di Departemen TIN : Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri Mulyati, Bapak Edi Sumantri, Bapak Gunawan, Bapak Sugiardi, Bapak Yogi Suprayogi atas bantuan, keramahan, dan keleluasan selama penelitian. 6. Seluruh staf perpustakaan TIN, FATETA, PAU, Biologi, HPT, dan LSI atas bantuannya dalam mencari berbagai literatur. 7. Tim Bioinsektisida (Sarfat, Bagus, Ibu Ai, dan Pak Indra), Tim Gambir (Echa, Mita, Okta, dan Santi), Tim Rempah-Rempah (Yos dan Cis), Tim RSM (Riska, Sandra, dan Mita), Tim Karet (Syahrun dan Syafiq), Tim Bioetanol (Laura, Mumun, Oni, dan Martin), Tim Minuman (Nidia, Dian, dan Dadin), Tim Tepung-tepungan (Muthi dan Karo), Tim Kertas (Tika dan Akbar), Juliando, Pangeran, Yulia, dan Cucu atas bantuan dan motivasinya selama penelitian. 8. Sahabat-sahabat Top Ikan Nusantara dan Top Ikan Minaku 8 yang telah memberi bantuan, semangat, dan motivasi. 9. Teman-teman Departemen TIN yang telah memberi bantuan dan dukungan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi. Jakarta, Mei 2011 Erlina Setiyawati Susanto

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA... 2 A. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis... 5 B. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DAN KONDISINYA Media Pertumbuhan Dan Fermentasi Kondisi Fermentasi Pemanenan (Recovery) Enkapsulasi Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan Alat B. METODE PENELITIAN Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) B. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA Bta C. PENURUNAN MUTU PADA BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) VSC (Jumlah Spora Hidup)... 23

10 2. Pengaruh Suhu terhadap Potensi Produk Bta dan Penurunan Toksisitas Pengaruh Filler (Laktosa)terhadap Penurunan Toksisitas dan Potensi Produk Bta.. 26 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 37

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu... 3 Tabel 2. Kandungan mineral limbah ampas tahu... 3 Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis... 5 Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu Tabel 5. Jumlah spora hidup (VSC) dalam cairan hasil kultivasi Tabel 6. Perbandingan tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II), LC 50 dan potensi produk setelah di freeze drying untuk masing-masing perlakuan serta produk komersial Tabel 7. Kurva standar glukosa untuk penentuan total gula

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai... 4 Gambar 2. Diagram mekanisme patogenisitas Bt terhadap serangga... 6 Gambar 3. Diagram alur proses mikroenkapsulasi Gambar 4. Larva, kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis Gambar 5. Diagram Alir Persiapan Inokulum Gambar 6. Inkubasi pada rotary shaking incubator Gambar 7. Bioinsektisida Bta dalam kemasan plastik metalized Gambar 8. Ringkasan proses produksi Bt sebagai bioinsektisida Gambar 9. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze tanpa penambahan laktosa Gambar 10. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze dengan penambahan laktosa Gambar 11. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 5 o C Gambar 12. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 25 o C Gambar 13. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 35 o C Gambar 14. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC 50 pada produk freeze tanpa penambahan laktosa Gambar 15. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC 50 untuk produk freeze dengan penambahan laktosa Gambar 16. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk freeze tanpa penambahan laktosa Gambar 17. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk freeze dengan penambahan laktosa Gambar 18. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC 50 pada suhu 5 o C...27 Gambar 19. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC 50 pada suhu 25 o C Gambar 20. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC 50 pada suhu 35 o C Gambar 21. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 5 o C Gambar 22. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 25 o C Gambar 23. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 35 o C

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian Lampiran 2. Perhitungan Susunan Medium Kultivasi Lampiran 3. Data Bioassay (LC 50) dan Potensi Produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Lampiran 4. Data log VSC bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Lampiran 5. Contoh Penentuan LC 50 Menggunakan Program Probit Quant

14 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bioinsektisida merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Bioinsektisida didefinisikan juga sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Salah satu mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994). Subspesies bakteri Bt yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta). Bta memiliki empat jenis gen cry1, yaitu cry1aa, cry1ab, cry1ca, cry1da (Wright et al., 1997; Schnepf et al., 1998) yang menyandikan kristal protein berbentuk bipiramida (Schnepf et al., 1998). Menurut Lereclus et al. (1993),`kristal protein ini memiliki aktivitas insektisidal terhadap larva serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable suspension, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Bentuk formulasi produk bioinsektisida Bt dipengaruhi oleh cara pemanenannya. Dahulu, wettable powder kurang digemari karena mempunyai kelemahan, yaitu tidak larut dan menyebabkan sedimentasi. Namun sejak tahun 1980-an wettable powder dapat dimodifikasi sehingga banyak digunakan tanpa menyebabkan kesulitan dalam aplikasinya. Wettable powder dapat diperoleh dengan cara melakukan pengeringan beku (Dent, 1993). Pada penelitian ini bentuk formulasi produk yang dihasilkan adalah formulasi wettable powder. Untuk menghasilkan formulasi produk wettable powder, proses yang dipilih dalam penelitian ini adalah menggunakan pengeringan beku (freeze drying) dengan menggunakan laktosa sebagai filler. Menurut Lakkis (2007) laktosa adalah karbohidrat yang memiliki fungsi enkapsulasi yang sangat baik. Keuntungan pengeringan beku (freeze drying) yaitu mencegah terjadinya proses kimiawi pada ruang pengering, mengurangi penurunan panas sensitif produk, tidak terjadinya pertumbuhan mikroba, kelembaban produk dapat dikontrol selama proses, dan bentuk akhir produk kering memiliki bentuk fisik yang baik (Leiwakabessy, 2009). Selain itu pengeringan beku (freeze drying) yang digunakan dalam penelitian ini dapat meningkatkan nilai ekonomi dan memperpanjang daya simpan produksi bioinsektisida Bta sehingga memperluas jangkauan pemasaran. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk formulasi produk dan mengetahui penurunan mutu bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) serta untuk menguji toksisitas Bta setelah penyimpanan.

15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians (1989) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo 1997). Pemakaian bioinsektisida Bt ini memberikan beberapa keuntungan di antaranya adalah tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari lingkungan dan relatif aman bagi organisme bukan sasaran (Aronson et al. 1986). Akan tetapi, sebagaimana ditinjau oleh Luthy et al. (1982) penggunaan bioinsektisida selain menguntungkan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu spektrum sasaran yang sempit, tingkat persistensinya yang terbatas di lingkungan, kerentanan δ-endotoksinnya terhadap sinar matahari, dan biaya produksinya yang relatif tinggi dibandingkan insektisida kimia. 1. Bacillus thuringiensis (Bt) Pada tahun 1901, Bt pertama kali diisolasi oleh Ishiwata dari larva ulat sutra yang mati. Ishiwata berpendapat bahwa vektor pembawa penyakit pada larva tersebut adalah bakteri. Pada tahun 1911, Berliner menemukan bakteri yang sama di propinsi Thuringia, Jerman yang telah membunuh larva kupu-kupu Mediterania (Anagasta kuehniella). Berliner kemudian mengusulkan nama untuk bakteri tersebut adalah Bt (Dulmage et al. 1990). Bt merupakan jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994). Bt berbentuk batang, bersifat gram positif aerob, tetapi umumnya aerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkannya bersifat insektisidal (Shieh 1994). Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. δ-endotoksin tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi protoksin dan nilai nutritif media kultur yang bersangkutan (Aronson 1995; Mummigatti & Raghunathan 1990). Bt merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial Bt digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa fase stationary. Penggunaan Bt sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bt yang mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas (Rupar et al. 1991). Substrat yang digunakan pada bioinsektisida Bt dalam penelitian ini adalah limbah dari industri tahu.

16 Tahu adalah salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh orang Indonesia. Pada proses pembuatan tahu dihasilkan dihasilkan dua macam limbah, yaitu limbah cair (whey) dan limbah padat (ampas). Pada umumnya pabrik tahu di Indonesia khusunya di Jawa Barat membuang langsung limbah cairnya dan limbah Lereclus padatnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau dijual kepada pedagang oncom dan tempe gembus dengan harga yang relatif murah (Nurdjannah dan Usmiati 2009). Ampas tahu merupakan hasil samping dari proses pembuatan tahu yang banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Potensi ampas tahu cukup tinggi, kacang kedelai di Indonesia tercatat pada Tahun 1999 sebanyak ton, sedangkan Jawa Barat sebanyak ton. Bila 50% kacang kedelai tersebut digunakan untuk membuat tahu dan konversi kacang kedelai menjadi ampas tahu sebesar %, maka jumlah ampas tahu tercatat ,5 ton secara nasional dan ton di Jawa Barat (Nurdjannah dan Usmiati 2009). Menurut Nurdjannah dan Usmiati (2009), kadar protein ampas tahu cukup tinggi yakni sekitar 6%. Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Pada saat ini pemanfaatan ampas tahu sudah mulai dijajagi penggunaannya, diantaranya untuk substitusi tepung ampas untuk bahan pangan seperti minuman prebiotik, cookies, nugget, sosis, pembuatan tepung kaya serat dan protein yang dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan, dan sebagai media tumbuh dan perkembangan jamur (Anonim 2009). Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar. Pada penelitian ini, ampas tahu digunakan sebagai sumber karbon, nitrogen dan protein pada media fermentasi Bt sebagai bioinsektisida. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu dari beberapa peneletian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan komposisi mineral limbah ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu Komponen Jumlah (% bobot basis kering 1 dan basis basah 2 ) Limbah ampas tahu 1 Limbah limbah cair tahu 2 Air 13.83* 99.34** Abu 3.36* 0.11** Protein 15.75* 1.73*** Lemak 12.10* *** Nitrogen 2.52* 0.05** Serat 19.47* - Sumber :* (Debby et al. 2005) ** (Hartati 2010) *** (Nuraida,dkk 1996) Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu Komponen Jumlah (µg/g) Ca Mg Fe

17 Cu Pb Zn Sumber : (Debby et al. 2005) 2. Bacillus turingiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Bta pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage, 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal. Kristal protein Bt mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat (oval) pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksis terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh, 1994). Hofte dan Whiteley (1989) menjelaskan bahwa terdapat 14 gen penyandi kristal protein, 13 diantaranya disebut gen Cry (kristal protein) dan satu gen disebut dengan gen Cyt (sitolitik). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran. Sedangkan Cyt adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt yang menghasilkan aktivitas hemolitik atau sitolitik. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dapat dilihat pada Gambar 1. Sel Bta Spora Kristal Protein TYPE : JSM-5000 MAG : X10,000 ACCV : 20kV WIDTH : 13.2um NO : Gambar 1. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Ke-13 gen Cry tersebut dikelompokan ke dalam empat kelas berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya. Masingmasing kelas mempunyai toksisitas yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Cry I bersifat toksik terhadap Lepidoptera, Cry II bersifat toksik terhadap Lepidoptera dan Diptera, Cry III bersifat toksik terhadap Coleoptera, dan Cry IV bersifat toksik terhadap Diptera.

18 Bta memiliki empat jenis gen cry1, yaitu cry1aa, cry1ab, cry1ca, cry1da (Wright et al., 1997 ; Schnepf et al., 1998) yang menyandikan kristal protein berbentuk bipiramida (Schnepf et al., 1998). Menurut Lereclus et al. (1993), kristal protein ini memiliki aktivitas insektisidal terhadap larva serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Berdasarkan perbedaan gen penyandi kristal protein yang dimiliki, maka tipe patogenitas Bt dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk Spesifik untuk ordo 1. Dipel (Abbott) Bt subsp. kurstaki Cry I Lepidoptera Contoh : 1. Kupu-kupu 2. Moth 2. Bactospeine (Philips Duphar) 3. Thuricide 4. Javelin (Sandoz) Spesifik untuk ordo Lepidoptera dan Bt subsp. aizawai Cry II Diptera Contoh : 1. Ulat kubis 2. Ulat grayak Certan (Sandoz) Bt subsp. sandiego Cry III Spesifik untuk ordo 1. Trident (Sandoz) 1. Bettles Coleoptera 2. M-One Contoh : (Mycogen) Spesifik untuk ordo 1. Vectobac Diptera Contoh : (Abbott) 2. Bactimos (Philips Bt subsp. israelensis Cry IV 1. Nyamuk Duphar) 2. Lalat rumah 3. Teknar 3. Midges (Sandoz) 4. Craneflies 5. Two wingedflies Sumber : (Ellar et al. 1986) Protein cry1c(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki Bta, yaitu cry1a(a), cry1a(b), cry1d(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1c(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al., 1996). Sedangkan menurut Liu et al (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningkatkan toksisitas kristal protein. Pada Bta, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1c(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain.

19 3. Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis (Bt) Sekitar 95 % dari keseluruhan komponen kristal protein terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5 % sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu manosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak (Fast 1981). Protein yang menyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981). Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kda). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang berfariasi dari 30 sampai 80 kda, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi ph alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kda. Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar ph dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bt dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bt. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air-air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati. Kematian akan terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva dan varietas bakteri yang digunakan (Hofte dan Whiteley 1989; Gill, et al. 1992). Proses toksisitas Bt pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 2.

20 Gambar 2. Diagram mekanisme patogenisitas Bt terhadap serangga ( Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek ( kda). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sestem pencernaan serangga yang mengubah Bt protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Jika ternyata serangga tersebut ternyata tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menjadi penyebab kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan mengakibatkan membran usus rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora di dalam tubuh serangga akan bertambah banyak dan mengakibatkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener 1994). B. FERMENTASI Bacillus thuringiensis Subsp. aizawai DAN KONDISINYA 1. Media Pertumbuhan dan Fermentasi Fermentasi secara sederhana adalah pemberian makanan mikroba dengan nutrien yang cocok, supaya mengahsilkan sesuatu yang bermanfaat atau produk akhir yang berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage 1982). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bt adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti ph, kelarutan oksigen, dan temperatur. Hal ini juga diperkuat oleh Vandekar dan Dulmage (1982) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme saat berlangsungnya fermentasi membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bt dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber

21 nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida Bt adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung indosperma, dan kasein. Stanbury & Whitaker (1984) menambahkan bahwa urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan ph. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Unsur-unsur mineral merupakan garam-garam anorganik yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn (Dulmage dan Rhodes 1971). Dalam media fermentasi Bt ditambahkan 0.3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l MnSO 4. H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7 H 2 O, 0.02 g/l FeSO 4.7 H 2 O, dan 1.0 g/l CaCO 3. Penambahan ion Mg 2+, Mn 2+, Zn 2+, dan Ca 2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bt (Vandekar dan Dulmage 1982). Menurut Sikdar et al. (1991), Bt memerlukan unsur-unsur Ca, Mg, K, Fe, dan Mn untuk berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin serta berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. 2. Kondisi Fermentasi Proses fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua tipe, yatu fermentsi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa pada fermentasi terendam, biakan murni Bt ditumbuhkan dalam media cair dengan dispersi yang merata). Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi tertutup (batch process), fermentasi kontinu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu (fed batch process). Produksi bioinsektisida Bt pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup, karena hasil akhir yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi (Bernhard & Utz 1993). Fermentasi skala kecil dalam labu kocok dilakukan dengan menggunakan labu ukuran 300 ml yang diisi ml. Sementara itu, Vandekar dan Dulmage (1982) dan Mummigatti dan Raghunathan (1990) melakukan fermentasi dalam labu Erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi ml media. Keterbatasan aerasi dalam labu kocok membatasi pemilihan media yang dapat digunakan dalam fermentasi. Kondisi fermentasi Bt dapat dilakukan dalam labu kocok dilakukan pada suhu C, ph awal media diatur sekitar ph , agitasi rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi jam. Sedangkan fermentasi Bt dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu C, ph awal media sekitar , volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi rpm, aerasi volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993). Pertumbuhan optimum sebagian bakteri Bt terjadi pada ph sekitar 7. Nilai ph awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai ph awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran Selama fermentasi ph dapat berubah dengan cepat

22 tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan ph, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikan ph. Nilai ph dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985). Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), setiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok. Agar proses fermentasi berjalan dengan lancar dan untuk memperkirakan waktu panen yang optimal, maka sejumlah parameter dimonitor untuk dilakukan pengukuran. Parameter-parameter tersebut diantaranya, suhu, nilai ph dan jumlah oksigen. Sedangkan pengukuran berat kering (biomassa), konsentrasi glukosa dan nitrogen, jumlah spora, bentuk koloni dapat dilakukan pada setiap sampel (Quinlan dan Lisansky 1985). 3. Pemanenan Pada prinsipnya proses pemanenan bahan aktif kristal protein dilakukan pemisahan sel mikroorganisme dan partikel-partikel yang besar. Beberapa teknik yang dapat digunakan adalah filtrasi, sentrifugasi, presipitasi, spray drying, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses tersebut dan dekantasi. Bahan aktif bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Menurut Dulmage, et al. (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk formulasi produk Bt, yaitu flowable suspension, wettable powder, dan cairan. Formulasi flowable suspension adalah bentuk bioinsektisida yang dipanen dengan cara mencampur spora dan kristal dengan air atau minyak dan penstabil, sedangkan wettable powder diperoleh dengan cara melakukan proses freeze drying atau pengeringan beku terhadap campuran spora kristal dengan penambahan laktosa sebagai filler. Pada umumnya bahan pengisi (filler) yang sering digunakan dalam formulasi produk adalah laktosa. Menurut lakkis (2007) laktosa adalah karbohidrat yang memiliki fungsi enkapsulasi yang baik agar bahan aktifnya teraktifasi dalam saluran pencernaan, sehingga ketika produk masuk ke saluran pencernaan, laktosa harus sudah tercerna terlebih dahulu agar endotoksinnya aktif. Pemisahan biomassa yang telah dilakukan pada beberapa penelitian dilakukan dengan operasi sentrifugasi. Pada berbagai penelitian dilakukan operasi sentrifugasi pada kecepatan putar dan lama putar yang berbeda. Sentrifus adalah alat yang digunakan untuk membantu mempercepat proses pengendapan.

23 Menurut Stanburry dan Whitaker (1984), penggunaan sentrifus cukup luas meliputi pemisahan sel, organel dan molekul. Pada operasi sentrifugasi, kecepatan pengendapan partikel dipengaruhi oleh viskositas media, ukuran partikel dan densitas partikel. Leather, et al. (1988) melakukan sentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan putar 15,000 rpm, sedangkan Yong Chul Shin et al. (1989) melakukan pada kecepatan 10,000 rpm selama 30 menit. Lacroix, et al. (1985) dan Boa dan Leduy (1984) melakukan sentrifugasi pada 8,000 rpm selama 30 menit. Mulchandani, et al. (1988) melakukan sentrifugasi pada kecepatan 7,000 rpm, dengan lama yang sama. Shipman dan Fan melakukan sentrifugasi pada kecepatan 3,500 rpm selama 15 menit, serta Heald dan Kristiansen (1985) pada 3,000 rpm selama 15 menit. Filtrasi adalah suatu operasi mekanis atau fisik yang digunakan untuk pemisahan padatan dari cairan (cairan atau gas) oleh media interposing melalui fluida. Kebesaran padat dalam fluida dipertahankan, namun pemisahan tidak lengkap. Padatan akan terkontaminasi dengan beberapa cairan dan filtrat akan berisi partikel-partikel halus (tergantung pada ukuran pori-pori dan menyaring ketebalan) (Lakkis 2007). Ada banyak metode yang berbeda dari penyaringan, semua bertujuan untuk mencapai pemisahan zat. Pemisahan ini dicapai dengan beberapa bentuk interaksi antara zat atau objek yang akan dihapus dan filter. Substansi yang melewati filter harus menjadi cairan, yaitu cairan atau gas. Metode penyaringan bervariasi tergantung pada lokasi materi yang ditargetkan, yaitu apakah terlarut dalam fase cairan atau tertunda sebagai padat (Lakkis 2007) Ada dua tipe utama media filter: yaitu berdasarkan permukaan filter yang terdiri dari saringan padat yang padat perangkap partikel, dengan atau tanpa bantuan kertas filter (misalnya Buchner saluran, belt filter, rotary vacum drum filter, crossflow filter, screen filter), dan berdasarkan kedalaman filter yang terdiri dari tempat alas bahan mentah yang mempertahankan partikel padat ketika melewati (misalnya pasir penyaring). Tipe pertama memungkinkan partikel-partikel padat, yaitu residu, harus dikumpulkan utuh, sedangkan pada tipe yang kedua tidak mengizinkan hal ini. Namun, tipe kedua cenderung kurang mampu menyumbat karena luas permukaan yang lebih besar sehingga partikel dapat terperangkap. Ketika partikel padat sangat baik, sering kali lebih murah dan lebih mudah untuk membuang butiran terkontaminasi daripada digunakan untuk membersihkan saringan padat (Lakkis 2007). 4. Enkapsulasi Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core. Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia. Sedangkan mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Paramita 2010). Ide dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah

24 dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel. Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penangan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan (Paramita 2010). Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi. Pemilihan proses berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi bahan, mekanisme pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi. Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-crystallization.proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial polymerization. Proses mikroenkapsulasi baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase pemisahan, enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment. Alur proses mikroenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 3. Spray drying merupakan salah satu teknik enkapsulasi. Teknik spray drying mengubah bahan yang awalnya berupa bahan cair menjadi materi padat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk (Paramita 2010). Menurut Spicer dalam Paramita (2010), keuntungan penggunaan spray drying adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Penggunaan spray drying tidak terbatas pada bahan makanan saja, tetapi juga pada makhluk hidup bersel tunggal, misalnya bakteri. Mikroenkapsulasi menggunakan spray dyring paling banyak digunakan dalam industri karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel, dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam bahan dan menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran partikel yang konsisten. Bahan yang dikemas dengan cara ini meliputi lemak, minyak, dan penyedap rasa. Pelapisnya dapat berupa karbohidrat, seperti dekstrin, gula, pati, dan gum, atau protein, seperti gelatin dan protein kedelai. Proses mikroenkapsulasi meliputi pembentukan emulsi atau suspensi antara bahan aktif dan pelapis, dan pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering panas dalam ruang pengering menggunakan atomizer ataupunnozzle. Kadar air dalam droplet emulsi diuapkan akibat kontak dengan udara panas. Padatan yang tersisa dari bahan pelapis menjebak bahan inti (Paramita 2010). Spray drying berguna untuk bahan yang sensitif terhadap panas karena proses pengeringan berlangsung sangat cepat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk. Menurut Master dalam Paramita

25 (2010) keuntungan spray drying mencakup keanekaragaman dan ketersediaan mesin, kualitas mikrokapsul yang tetap baik, berbagai ukuran partikel yang dapat diproduksi, dan kemampuan dispersibilitas yang baik dalam media berair. Keuntungan lainnya adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Beberapa kerugian yang diperoleh di antaranya kehilangan bahan aktif dengan titik didih rendah, adanya proses oksidasi dalam senyawa penyedap rasa, dan keterbatasan pada pilihan bahan dinding, dimana bahan dinding harus dapat larut pada air dengan jumlah yang layak. Spinning disk merupakan modifikasi proses dari spray cooling/chilling dengan menggunakan metode atomisasi. Prinsip dari spray cooling/chilling mirip dengan spray drying, namun menggunakan udara dingin dalam proses pengeringannya. Spinning disk melibatkan pembentukan inti suatu suspensi di lapisan cairan dan suspensi ini terletak di atas disk yang berputar dalam kondisi yang mengakibatkan lapisan film jauh lebih tipis daripada ukuran partikel inti. Pemakaian proses ini meningkat dengan cepat sejak tahun 2000 karena memberikan hasil yang seimbang atau bahkan lebih baik daripada spray drying atau spray cooling/chilling dengan biaya proses yang tidak berbeda (Paramita, 2010). Teknik coacervation merupakan pemisahan fase cair/cair secara spontan yang terjadi ketika dua polimer yang bermuatan berlawanan (misalnya protein dan polisakarida) dicampur dalam media berair kemudian mengarah ke pemisahan menjadi dua fase. Fase yang lebih rendah disebut (kompleks) coacervate dan memiliki konsentrasi yang tinggi dari kedua polimer. Fase atas disebut sebagai supernatan atau fase kesetimbangan, yang merupakan larutan polimer encer. Coacervate digunakan sebagai bahan makanan, misalnya pengganti lemak atau memberi rasa yang mirip daging dan biomaterial, seperti lapisan tipis (film) yang dapat dimakan dan kemasan. Metode ini sangat efisien dan menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang lebih bervariarif daripada teknik mikroenkapsulasi yang lain (Paramita 2010). Proses ini meliputi tiga tahap, pertama, mecampur tiga fase yang saling tidak melarutkan (fase kontinyu atau air, bahan aktif yang akan dimikroenkapsulasi dan bahan pelapis). Kedua, bahan pelapis membentuk lapisan pada bahan inti. Hal ini dicapai dengan merubah ph, suhu atau kekuatan ion yang menghasilkan pemisahan fase (coacervation) dari pelapis dan sebaran inti yang terjebak. Terakhir, bahan pelapis memadat karena adanya panas, crosslinking (hubungan silang) dan teknik desolvasi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari pemisahan fase encer memiliki dinding yang larut air dan bahan aktif yang bersifat menjauhi air (hidrofobik), seperti minyak sayur, penyedap rasa, dan vitamin yang larut dalam minyak (Paramita 2010). Menurut Spicer dalam Paramita (2010) enkapsulasi molekuler juga dikenal dengan nama pemasukan kompleksasi. Proses ini menggunakan cyclodextrin untuk membuat kompleks dan imobilisasi molekul. Cyclodextrin digunakan untuk menstabilkan emulsi dan melindungi bahan makanan yang sensitif dari cahaya, panas, dan oksigen. Siklodextrin dapat meningkatkan kelarutan bahan yang bersifat hidrofobik, mengurangi penguapan dari penyedap rasa pada makanan, dan menutupi rasa, aroma, atau warna makanan yang tidak diinginkan. Reaksi umum dalam enkapsulasi molekuler menggunakan prinsip host-guest. Kemampuan cyclodextrin untuk membentuk

26 pemasukan kompleksasi dengan molekul tamu memiliki dua faktor kunci. Yang pertama adalah tergantung pada ukuran relatif cyclodextrin dengan ukuran molekul tamu atau kunci tertentu di dalam kelompok-kelompok fungsional tamu. Jika ukuran tamu salah maka tidak akan sesuai untuk masuk ke dalam rongga cyclodextrin. Faktor kritis kedua adalah termodinamik interaksi antara berbagai komponen dari sistem (cyclodextrin, tamu, pelarut). Diperlukan adanya daya dorong dari molekul tamu ataupun daya tarik dari cyclodextrin yang menguntungkan. Dalam hal ini, cyclodextrin memiliki sifat fungsional hidrofilik (mendekati air) pada bagian bawah dan atas strukturnya yang seperti donat dan bersifat hidrofobik (menjauhi air) pada bagian tengah karena terhubung dengan jembatan glikosidik oksigen. Senyawa yang dapat membetuk kompleks dengan cyclodextrinadalah senyawa yang bersifat hidrofobik atau memiliki bagian yang hidrofobik. Bagian hidrofobik dari molekul tamu membentuk interaksi yang stabil nonkovalen dengan bagian tengah cyclodextrin (Paramita 2010).

27 Gambar 3. Diagram Alur proses mikroenkapsulasi (Paramita, 2010)

28 5. Penentuan Aktivitas Bioinsektisida Penentuan aktivitas bioinsektisida tidak sama seperti yang dilakukan pada insektisida kimiawi. Sedangkan pada bioinsektisida dilakukan dengan dua metode yaitu melalui bioassay dilakukan dengan menentukan kadar letal (LC 50 ) dan Internasional Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD 50 ), diet dillution unit (DDU 50 ) dan IU (Dulmage dan Rhodes 1971). Potensi produk bioinsektisida dinyatakan dalam satuan internasional (SI) karena LC 50, LD 50, dan DDU 50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk yang dipengaruhi oleh spesies dan umur serangga. Potensi produk insektisida mikroba Bt dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut : Uji toksisitas bioinsektisida Bta bertujuan untuk menentukan LC 50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC 50 merupakan konsentrasi toksin dalam contoh yang dapat membunuh 50 % dari serangga uji (Vandekar dan Dulmage 1982). Semakin kecil nilai LC 50 maka semakin efektif produk yang dihasilkan, yang berarti semakin tinggi tingkat toksisitasnya. Croccidolomia binotalis (C. binotalis) merupakan hama utama pada tanaman kubiskubisan seperti kubis, sesawi, lobok, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981; Harjadi 1989). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di daratan rendah maupun daratan tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Larva, kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis ( Kerusakan yang disebabkan C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %. Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva

29 instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder eleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari. Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jan, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9 10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9 13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992). C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu 2007). Keuntungan penggunaan plastik sebagai bahan kemasan antara lain harga relatif lebih murah, dapat dibentuk berbagai rupa, warna dan bentuk relatif lebih disukai konsumen, adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti logam, mudah dalam penanganan, dan mengurangi biaya transportasi (Syarief et al. 1989). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid 1991). Ideal temperatur untuk penyimpanan produk kering adalah pada suhu 0-10 C (32-50 F). Semakin rendah temperatur maka semakin panjang umur simpannya. Beberapa produk dapat disimpan beku pada -18 C (0 F) untuk satu tahun dan kondisinya masih bagus (ASEAN SCNCER 2003). Produk pangan akan mengalami perubahan mutu setelah disimpan selama selang waktu tertentu. Perubahan mutu produk pangan disebabkan oleh 3 faktor, yaitu : 1. Fisika, misal : RH, suhu, sinar matahari, thawing, refreezing 2. Kimia, misal : reaksi enzimatis, oksidasi 3. Mikrobiologi, misal : E. coli, Aspergillus. Clostridium, Salmonella (Anonim 2009).

30 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) yang diperoleh dari IPB culture collection (IPBCC). Substrat yang digunakan adalah ampas tahu dan limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Cibanteng. Kubis yang digunakan diperoleh dari pasar-pasar tradisional dan super market. Serta larva ulat Croccidolomia binotalis (ulat kubis) yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO 4.7H 2 O, MnSO 4. H 2 O, ZnSO 4.7H 2 O, FeSO 4.7H 2 O, CaCO 3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH, CH 3 COOH, H 2 SO 4 pekat, fenol, garam fisiologis, etanol 95 %, aqua destilata, prostiker, plastik metalized, dan spiritus. 2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi otoklaf, oven, lemari es, inkubator, rotary shaking incubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freeze dryer, loop inokulasi, tanur, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu Erlenmeyer, fermentor (labu kocok 500 ml), tabung reaksi, tabung ulir, pipet, bunsen, cawan petri, cawan porselin, dan gelas piala. B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan a. Analisa Bahan Baku Analisa ini bertujuan untuk mengetahui komposisi awal media yang digunakan, yaitu media sumber karbon dan nitrogen. Analisis media sumber karbon dan nitrogen meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, dan kadar substrat (pati) sisa. Prosedur lengkap analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu Komponen Kadar (% bobot bb) Kadar (%) Limbah ampas tahu Limbah cair tahu Urea* Air Abu Protein Nitrogen (N) Karbon (C) Lemak

31 Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu (lanjutan) * Kadar (% bobot bb) Kadar (%) Komponen Limbah ampas tahu Limbah cair tahu Urea* Serat Karbohidrat by different *)Berdasarkan perhitungan bobot molekul Analisis awal media fermentasi bertujuan untuk mengetahui kadar karbon dan nitrogen yang digunakan dalam persiapan media fermentasi. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ampas tahu dan limbah cair tahu telah mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Sehingga pada penelitian ini, ampas tahu dan limbah cair tahu dapat digunakan sebagai sumber karbon yang potensial pada media fermentasi Bt sebagai bioinsektisida. Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 7 : 1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (C/N ratio) adalah 7 : 1. Namun rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah : 1. Sehingga perlu ditambahkan urea pada media sebanyak 2.07 g/l untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1 dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Penyiapan Inokulum Bta Inokulum (kultur bibit) fermentasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum disajikan pada Gambar 5. Satu loop biakan Bta Inokulasi pada 50 ml media NB dalam labu Erlenmeyer 250 ml (labu pembibitan 1) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 200 rpm, 30 0 C, 12 jam Kultur digunakan untuk menginokulasi labu pembibitan II (5 % (5 ml) dari volume media kedua (100 ml)) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 200 rpm, 30 0 C, 12 jam Inokulum/Starter Gambar 5. Diagram Alir Persiapan Inokulum

32 2. Penelitian Utama a. Penyiapan Media Fermentasi Susunan media fermentasi yang akan dibuat dalam penelitian ini adalah ampas tahu 20% dan limbah cair tahu 80%. Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0.3 g/l MgSO 4.7H 2 O, 0.02 g/l MnSO 4. H 2 O, 0.02 g/l ZnSO 4.7 H 2 O, 0.02 g/l FeSO 4.7 H 2 O, dan 1.0 g/l CaCO 3. Persiapan media fermentasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: ampas tahu dan CaCO 3 masing-masing dilarutkan dan disterilkan secara tersendiri. Bahanbahan media (ampas tahu, limbah cair tahu, urea dan mineral-mineral) dicampur diatas pemanas berpengaduk. Setelah itu didinginkan sampai ± 50 0 C dan ph diatur hingga 7.2. Kemudian bahan-bahan media dibagi-bagi dalam beberapa labu Erlenmeyer. Ampas tahu + CaCO 3 dan limbah cair tahu disterilkan dalam autoklaf pada suhu C selama 15 menit. Setelah steril dan dingin, ampas tahu + CaCO 3 dan limbah cair tahu dicampurkan menjadi satu sesuai formulasi yang ditentukan kemudian ditambahkan bahan-bahan lain secara aseptik. b. Fermentasi Fermentesi Bta dilakukan dengan kondisi fermentasi sebagai berikut : fermentasi dilakukan dalam labu Erlenmeyer 500 ml pada suhu C, volume media fermentasi 100 ml, diinkubasi menggunakan rotary shaking incubator dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 36 jam. Fermentasi dilakukan dua kali ulangan. Perlakuan pemberian stater pada media adalah 10 %. Gambar 6. Inkubasi pada rotary shaking incubator c. Pemanenan Pemanenan campuran spora kristal (bahan aktif bioinsektisida) Bta dilakukan pada waktu akhir inkubasi (36 jam). Hasil pemanenan tersebut dilakukan sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 17,000 rpm. Hasil sentrifugasi (filtrat dan padatan) disaring oleh kertas saring untuk menghasilkan padatan halus. Pada padatan halus diukur bobot biomassa kering, sedangkan pada filtrat dianalisis total gula sisa, dan efisiensi penggunaan substrat. Adapun diagram alir proses pemanenan dan formulasi produk ini dapat dilihat pada Gambar 8.

33 d. Formulasi Produk Padatan hasil sentrifuse di freeze dryer. Sebelum dikeringbekukan (freeze drying), padatan hasil sentrifuse ditambah laktosa sebanyak 6 % dari total padatan hasil sentrifuse yang dihasilkan (Vandekar dan Dulmage 1982). Laktosa sebagai bahan pengisi (filler) sekaligus berfungsi untuk melindungi kristal protein. e. Penyimpanan Sebelum dilakukan tahap penyimpanan bioinsektisida Bta dikemas dengan plastik metalized berukuran 10 cm x 15 cm x 10 mm dengan bobot 0.01 gram bioinsektisida Bta per kemasan. Plastik tersebut kemudian direkatkan dengan alat sealer. Gambar 7. Bioinsektisida Bta dalam kemasan plastik metalized Ada dua perlakuan penyimpanan yang diaplikasikan pada Bioinsektisida Bta yaitu: a. Bioinsektisida dikemas dengan kemasan plastik metalized. b. Bioinsektisida yang telah dikemas kemudian disimpan dalam kulkas pada suhu 5 C dan dalam inkubator pada 2 (dua) suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu, suhu 25 C, dan suhu 35 C yang di dalamnya diberi wadah berisi air untuk menjaga kelembaban udara agar tetap tinggi. Penyimpanan di masing-masing perlakuan dilakukan selama 1 bulan. Analisa terhadap sampel dilakukan sebanyak dua kali seminggu selama 1 bulan. Analisa dilakukan dengan tujuan mengetahui perubahan biologis selama penyimpanan. Kemudian dilakukan analisis jumlah spora hidup, toksisitas, dan potensi produk. f. Analisa Produk Sebelum dan Setelah Penyimpanan Pengujian produk Bta yang dilakukan adalah meliputi penentuan jumlah spora hidup (VSC) yang terkandung dalam produk bioinsektisida atau campuran spora-kristal hasil fermentasi dan pengujian toksisitas terhadap larva ulat Croccidolomia binotalis (C. binotalis) yang dinyatakan dalam LC 50 dengan metode bioassay. LC 50 dapat ditentukan dengan menggunakan analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund, University of Wales, College of Cardiff, Inggris). Hasil tertinggi dari program Probit tersebut merupakan produk terpilih yang akan dihitung harganya secara kasar. Pengujian dilakukan sebelum produk di freeze drying, setelah di freeze drying, sebelum dan sesudah dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) Viable Spore Count (VSC) digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung di dalam campuran spora kristal. Pembentukan spora tergantung

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh :

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT. Oleh : PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT Oleh : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT F34060127 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella,

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioinsektisida Bioinsektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Menurut Ignoffo dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Bahan Baku Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Di alam banyak tersedia bahan-bahan yang dapat

Lebih terperinci

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI RIRYN NUR RACHMAWATI F34070004 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang telah dikembangkan menjadi salah satu bioinseksitisida yang patogenik terhadap larva nyamuk

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA Oleh DJAUHAR FAIZ AHDIANTO F34101056 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA SKRIPSI DEVI ARYATI F34070018 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI 1 Sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk olahan Pengolahan : Menambah ragam pangan Perpanjang masa simpan bahan pangan Bahan Pangan 2 Komponen Utama Penyusun Bahan Pangan

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil pirolisis tempurung kelapa yang komponen penyusunnya berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang dimurnikan dengan proses

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Bakteri Acetobacter xylinum Kedudukan taksonomi bakteri Acetobacter xylinum menurut Holt & Hendrick (1994) adalah sebagai berikut : Divisio Klass Ordo Subordo Famili

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis

I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri Gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Redistilat asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu (Maga,1987). Redistilat asap

Lebih terperinci

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pikiran Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan memicu banyaknya produk pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi

Kupersernbahkan karya kecil ini mtuk : Ayahanda, Ibunda dan Aa Dadi "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tine derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT BAHAN BAKU DAN PRODUK BIOINDUSTRI Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Email :

Lebih terperinci

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd NATA putri Anjarsari, S.Si., M.Pd putri_anjarsari@uny.ac.id Nata adalah kumpulan sel bakteri (selulosa) yang mempunyai tekstur kenyal, putih, menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan (nata

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

PROSES FERMENTASI. Iman Rusmana. Departemen Biologi FMIPA IPB

PROSES FERMENTASI. Iman Rusmana. Departemen Biologi FMIPA IPB PROSES FERMENTASI 2 Iman Rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB Proses Fermentasi sintesis produk & metabolisme primer 3 Tipe : 1. Produk disintesis langsung dari metabolisme primer 2. Produk disintesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN

NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN NATA DE COCO 1. PENDAHULUAN Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari sellulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal dari pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990).

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990). BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Enzim menjadi primadona industri bioteknologi karena penggunaanya dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk yang mempunyai nilai ekonomis

Lebih terperinci

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT

KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA ABSTRACT Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah KAJIAN PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp israelensis PADA MEDIA TAPIOKA Abdul Aziz Darwis, Khaswar Syamsu, Ummi Salamah Departemen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis,

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Keberhasilan produksi bioinsektisida selain dipengaruhi oleh galur bakterinya, juga dipengaruhi oleh media dan kondisi fermentasi yang digunakan. Untuk memperoleh

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI Oleh : Asri Maulina NPM : 103301009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis

TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis 5 TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis pertama kali diisolasi oleh Ishiwata pada tahun 1901 dari larva ulat sutera, yang kemudian diberi nama sebagai isolat Bacillus sotto. Tahun

Lebih terperinci

adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan Bakteri probiotik merupakan bakteri baik yang dapat memberikan keseimbangan

adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan Bakteri probiotik merupakan bakteri baik yang dapat memberikan keseimbangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu produk pangan fungsional yang banyak dikembangkan saat ini adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan probiotik merupakan produk

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan Pembuatan Yogurt 1. Pendahuluan Yoghurt merupakan salah satu olahan susu yang diproses melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur organisme yang baik, salah satunya yaitu bakteri asam laktat. Melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA Medium pertumbuhan (disingkat medium) adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan pembangun

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

NATA DE SOYA. a) Pemeliharaan Biakan Murni Acetobacter xylinum.

NATA DE SOYA. a) Pemeliharaan Biakan Murni Acetobacter xylinum. NATA DE SOYA 1. PENDAHULUAN Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecap Kedelai 1. Definisi Kecap Kedelai Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mentimun (Cucumis sativus.l) adalah salah satu sayuran buah yang banyak dikomsumsi segar oleh masyarakat Indonesia. Nilai gizi mentimun cukup baik sehingga sayuran buah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat dijadikan sebagai energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN). Etanol mempunyai beberapa kelebihan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Spectra Nomor 8 Volume IV Juli 06: 16-26 KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Sudiro Ika Wahyuni Harsari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Menurut Peraturan Pemerintah No. 18/1999 Jo PP 85/1999, limbah didefinisikan sebagai buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Salah satu limbah yang banyak

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

ANALISIS PROTEIN. Free Powerpoint Templates. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih Page 1

ANALISIS PROTEIN. Free Powerpoint Templates. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih Page 1 ANALISIS PROTEIN Page 1 PENDAHULUAN Merupakan polimer yang tersusun atas asam amino Ikatan antar asam amino adalah ikatan peptida Protein tersusun atas atom C, H, O, N, dan pada protein tertentu mengandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35

I. PENDAHULUAN. Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia saat ini masih rendah, hanya 35 kilogram sayuran per kapita per tahun. Angka itu jauh lebih rendah dari angka konsumsi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat. Menurut Trubus (2012), permintaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Molase Molase adalah hasil samping dari proses pembuatan gula tebu. Meningkatnya produksi gula tebu Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir ini tentunya akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V. PEMBAHASAN. 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Amobilisasi sel..., Ofa Suzanti Betha, FMIPA UI, 2009

BAB V. PEMBAHASAN. 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Amobilisasi sel..., Ofa Suzanti Betha, FMIPA UI, 2009 26 BAB V. PEMBAHASAN 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Hasil foto SEM dengan perbesaran 50 kali memperlihatkan perbedaan bentuk permukaan butiran yang sudah mengandung sel Lactobacillus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN JASAD RENIK

PERTUMBUHAN JASAD RENIK PERTUMBUHAN JASAD RENIK DEFINISI PERTUMBUHAN Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme multiselular, yang disebut pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau

BAB I PENDAHULUAN. Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4 C. Sementara bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di muka bumi. Hampir 80% spesies hewan yang ada di bumi berasal dari kelas Insekta. Serangga telah ada

Lebih terperinci

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana

Lebih terperinci

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF?

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF? APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF? Annisrien Nadiah, SP POPT Ahli Pertama Balai Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya Kesadaran masyarakat akan dampak penggunaan pestisida sintetik

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Pada praktikum ini membahas mengenai Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Proses Fermentasi Kombucha. Kombucha merupakan sebagai minuman hasil fermentasi seduhan teh bergula yang mempunyai

Lebih terperinci

Kuliah ke-1. Dr.oec.troph.Ir.Krishna Purnawan Candra, M.S. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. PS Teknologi Hasil Pertanian September 2011

Kuliah ke-1. Dr.oec.troph.Ir.Krishna Purnawan Candra, M.S. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. PS Teknologi Hasil Pertanian September 2011 Kuliah ke-1 Dr.oec.troph.Ir.Krishna Purnawan Candra, M.S. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman PS Teknologi Hasil Pertanian September 2011 TEKNOLOGI FERMENTASI Sejarah dan perkembangan fermentasi

Lebih terperinci