HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat Kelangsungan Hidup Larva
|
|
- Widyawati Shinta Sugiarto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan setiap stadia diperlihatkan pada Lampiran 9 dan Gambar Survival Rate (%) A B C D E 20 0 Z1 Z2 Z3 Z4 M FC Ket : Z = Zoea, M = Megalopa, FC (first crab) Perlakuan B larva mati pada hari ke 7 Perlakuan C larva mati pada hari ke 11 Perlakuan D larva mati pada hari ke 16 Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (%) pada setiap stadia larva rajungan Tingkat kelangsungan hidup setiap stadia (Lampiran 9 dan Gambar 3) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang tajam dari stadia Z1 ke Z2 pada semua perlakuan. Pada perlakuan A, D dan E mengalami penurunan yang cenderung merata dari stadia Z2 hingga Z4, sedangkan pada perlakuan A dan E setelah Z4 mengalami penurunan yang drastis pada stadia megalopa dan kembali cenderung merata hingga stadia FC. Pada perlakuan B larva mati pada saat mencapai stadia Z2, sedangkan pada perlakuan C larva mati pada saat stadia Z4. Tingkat kelangsungan hidup antar stadia Z1-Z2 (Lampiran 10) menunjukkan bahwa pemberian pakan alami awal pada stadia Z1 (perlakuan A, C, D dan E) memberikan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z1 (perlakuan B).
2 Tingkat kelangsungan hidup antar stadia Z1-Z3 dan Z1-Z4 tidak berbeda (P>0.05), sedangkan tingkat kelangsungan hidup dari Z1 M dan Z1-FC menunjukkan bahwa pemberian pakan alami pada awal stadia Z1 lebih baik dibandingkan dengan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z4 (P<0.05). Lebar karapaks FC tidak berbeda (P>0.05) antara perlakuan pemberian pakan alami pada awal stadia Z1 dibandingkan dengan perlakuan pemberian awal pakan buatan pada stadia Z4 (Lampiran 10). Intermolt Period Intermolt period (waktu antar molting) larva pada setiap stadia selama penelitian ditunjukkan pada Lampiran 11 dan Tabel 3. Tabel 3 Intermolt period (hari) setiap stadia larva rajungan Perlakuan Z1 Z2 Z3 Z4 M FC A 1,5 a 3,9 a 7,2 a 10,9 a 14,1 a 16,6 a B 1,8 b 4,5 b * C 1,8 b 5,8 c ** D 1,6 a 4,4 ab 7,9 b 13,3 b *** - E 1,6 a 4,4 ab 7,5 c 11,9 c 16,4 b 17,0 a Ket : Z = Zoea, M = Megalopa, FC (first crab) * = Larva mati pada hari ke 7 ** = Larva mati pada hari ke 11 *** = Larva mati pada hari ke 16 Huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata (P<0.05) Waktu perkembangan stadia Z1 belum menunjukkan adanya perbedaan (P>0.05) antara perlakuan A, D dan E dibandingkan dengan perlakuan B dan C, sedangkan lama waktu perkembangan Z2 menunjukkan bahwa perlakuan C memerlukan waktu perkembangan yang lebih lama (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedangkan pada perlakuan A tidak menunjukkan lama perkembangan yang berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan perlakuan D dan E. Lama waktu perkembangan perlakuan B pada stadia Z2 tidak berbeda (P>0.05) dengan perlakuan D dan E, sedangkan lama waktu yang dibutuhkan oleh larva untuk mencapai Z3 dan Z4 berbeda (P<0.05) antara perlakuan pemberian pakan alami pada stadia awal Z1 (perlakuan A), dengan perlakuan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z3 (perlakuan D) dan Z4 (perlakuan E). Untuk mencapai Megalopa lama waktu yang dibutuhkan larva berbeda (P<0.05) antara perlakuan A dan perlakuan E, sedangkan lama waktu perkembangan larva untuk mencapai FC tidak berbeda (P>0.05).
3 Enzim Pencernaan Larva Aktivitas enzim pencernaan protease, amilase dan lipase larva rajungan pada setiap stadia, rotifer dan nauplius sp disajikan dalam Lampiran 12. Aktivitas enzim protease menunjukkan penurunan pada setiap stadia yaitu dari stadia Z1 sampai Megalopa (Gambar 4). Sedangkan enzim protease pada rotifer (0,006 unit/menit/gram) dan nauplius sp (0,080 unit/menit/gram) berada dibawah nilai aktivitas enzim protease pada stadia Z1 dan Z3 (Gambar 4) Aktivitas enzim protease(unit/menit/gram) y = -0,0365x + 0,2557 R 2 = 0,9245 Larva 0.00 Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Gambar 4. Aktivitas enzim protease pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius sp Kebalikan dari aktivitas enzim protease, amilase cenderung meningkat pada setiap stadia larva rajungan (Gambar 4). Aktivitas enzim amilase pada rotifer sama dengan aktivitas enzim amilase pada stadia Z1 (0,0011 unit/menit/gram), tetapi aktivitas enzim amilase pada nauplius (0,0080 unit/menit/gram) lebih rendah dari aktivitas enzim amilase pada stadia Z3 (Gambar 5).
4 Aktivitas enzim amilase(unit/menit/gram) y = 0,0002x + 0,0009 R 2 = 0,7691 Larva Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Gambar 5. Aktivitas enzim amilase pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius sp. Aktivitas enzim lipase cenderung meningkat pada setiap stadia (Gambar 6), dimana aktivitas enzim lipase pada rotifer (0,4974 unit/menit/gram) hampir sama dengan aktivitas enzim lipase pada larva stadia Z1. Sedangkan aktivitas enzim lipase pada nauplius sp (3,3957 unit/menit/gram) lebih tinggi dibandingkan aktivitas enzim lipase pada larva stadia Z3 (Gambar 6). 4 Aktivitas enzim lipase (unit/menit/gram) y = 0,6936x - 0,6839 R 2 = 0,8131 Larva Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Gambar 6. Aktivitas enzim lipase pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius sp Pembahasan Dari data penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemberian pakan buatan yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan stadia larva rajungan. Pada perlakuan A dan E larva rajungan
5 dapat berkembang mencapai stadia first crab (FC) sedangkan perlakuan lainnya mati. Pada perlakuan B larva mati pada hari ke 7 (stadia Z2), perlakuan C larva mati pada hari ke 11 (memasuki stadia Z3) sedangkan pada perlakuan D larva mati pada hari ke 16 (stadia Z4). Kematian larva pada perlakuan B, C dan D disebabkan oleh belum berkembangnya enzim pencernaan sehingga belum dapat mencerna pakan buatan. Quinitio et al. (1999) menyatakan bahwa larva kepiting bakau (Scylla serrata) yang diberi pakan buatan pada awal stadia hanya mampu hidup sampai stadia Z2, hal ini disebabkan larva belum mampu mencerna pakan buatan. Aktivitas enzim protease pada awal stadia tinggi dan menurun sejalan dengan perkembangan larva (Gambar 4). Sebaliknya aktivitas enzim lipase dan amilase meningkat sejalan dengan perkembangan stadia. Fakta ini menunjukkan bahwa pada saat stadia awal larva hanya mampu mencerna protein dibandingkan lemak dan karbohidrat. Pada umumnya kandungan nutrisi pakan alami didominasi oleh protein (60-75 %) diikuti lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang kecil (Dhont and Lavens, 1996). Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa larva yang diberi pakan alami mulai stadia Z1 dapat mencapai stadia megalopa dan FC, dibandingkan dengan perlakuan B, C dan D yang diberi pakan buatan mulai stadia Z1, Z2 dan Z3. Dari data aktivitas enzim pencernaan terlihat bahwa peran eksogenous enzim khususnya lipase sangat dominan (Gambar 6) dimana aktivitas enzim lipase tersebut lebih tinggi didapatkan pada rotifer dan. Oleh karena itu pada stadia awal walaupun endogenous enzim khususnya lipase rendah akan tetapi dengan bantuan endogenous enzim, lemak dari pakan alami dapat dicerna. Sebaliknya pada larva yang diberi pakan buatan mulai stadia Z1, Z2 dan Z3 diduga kurang mampu mencerna lemak dari pakan buatan (perlakuan B, C dan D) yang kandungannya mencapai 13 %. Kamaruddin et al. (1994) menyatakan bahwa ada kontribusi eksogen enzim pada larva stadia III Macrobranchium rosenbergii yang diberi pakan nauplius sp untuk enzim trypsin, esterase dan amilase yaitu masing-masing sebesar 0,91%, 0,93% dan 6,73%. Munilla- Moran et al. (1990) dalam Kolkovski (2001) menyatakan bahwa ada kontribusi enzim pencernaan oleh rotifer, sp pada ikan Turbot (Scophtalmus maximus) untuk protease sebesar 43-60%, esterase 89-94% dan amylase 15-27%.
6 Dari data aktivitas enzim amilase terlihat bahwa peran eksogenous enzim tidak begitu dominan (Gambar 5), namun demikian resultante dari aktivitas enzim endogenous dan eksogenous diduga belum mampu mencerna karbohidrat dari pakan buatan yang kadarnya mencapai 28,5 %. Hal ini didukung oleh fakta bahwa larva yang diberi pakan buatan dari stadia Z1, Z2 dan Z3 (perlakuan B, C dan D) tidak dapat berkembang mencapai stadia yang lebih tinggi. Pada perlakuan A didapatkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan waktu perkembangan larva tercepat dari perlakuan lainnya yaitu 15,55 % (Lampiran 10 dan Tabel 3), hal ini disebabkan karena pakan alami mudah dicerna dan mempunyai lysozim. Sebaliknya perlakuan B, C dan D, aktivitas enzim pencernaan larva belum mampu mencerna pakan buatan terutama lemak dan karbohidratnya. Berdasarkan data aktivitas enzim protease, lipase dan amilase (Gambar 4, 5 dan 6) maka dapat dikatakan bahwa pemberian pakan buatan pada stadia awal kurang tepat dan dapat menyebabkan kematian larva karena pada stadia ini larva tidak cukup mendapatkan nutrien. Hal tersebut di atas dapat menjelaskan rendahnya tingkat kelangsungan hidup larva pada perlakuan B, C dan D yang hanya dapat menghasilkan 14,45%, 35,56 % dan 16,66 % pada stadia Z2 dan Z4. Perlakuan E, mulai pada stadia Z4 yang aktivitas enzim lipase dan amilase mulai meningkat tajam dan enzim proteasenya masih cukup tinggi (Gambar 4, 5 dan 6), menunjukkan bahwa pada stadia ini larva sudah mampu mencerna pakan buatan yang ditunjukkan oleh data perkembangan larva, dimana pada perlakuan E larva dapat mencapai stadia megalopa dan first crab. Data intermolt period menunjukkan bahwa nampak adanya perbedaan waktu perkembangan larva antara perlakuan A dan E, dimana pada perlakuan E waktu yang dibutuhkan untuk mencapai megalopa yaitu 16,4 hari sedangkan perlakuan A hanya membutuhkan waktu 14,1 hari mulai dari Z1, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai FC tidak berbeda (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa larva pada stadia Z4 sudah mampu mencerna pakan buatan yang diberikan, terutama kemampuan enzim pencernaan amilase dan lipase dalam mencerna karbohidrat dan lipid yang dikandung dalam pakan buatan yang diberikan. Peningkatan aktivitas enzim amilase dan lipase disebabkan alat pencernaan larva rajungan mulai berkembang seperti gastric mill, gland filter dan hepatopancreas. Menurut Li (1990); Li dan Li (1995) dalam Li et al. (1997),
7 peningkatan sistem pencernaan pada larva kepiting bakau ditunjukkan dengan peningkatan perkembangan gastric mill, gland filter dan hepatopancreas. Bentuk dasar gastric mill nampak pada stadia Z3 dan mendekati kesempurnaan pada stadia Z5. Ceccaldi (1989) menyatakan bahwa pada crustacea, perkembangan gastric mill terjadi selama proses metamorfosa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi salah satu dari hepatopancreas pada krustase adalah mensintesa dan mensekresi enzim-enzim pencernaan.
TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase
Lebih terperinciWELLEM HENRIK MUSKITA
PENGARUH WAKTU PEMBERIAN PAKAN BUATAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP LARVA RAJUNGAN (Portunus pelagicus): HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN AKTIVITAS ENZIM PENCERNAAN WELLEM HENRIK MUSKITA SEKOLAH PASCASARJANA
Lebih terperincitepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan
145 PEMBAHASAN UMUM Peranan mikroflora dalam fungsi fisiologis saluran pencernaan ikan bandeng telah dibuktikan menyumbangkan enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase eksogen. Enzim pencernaan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Rajungan
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Rajungan Pertumbuhan merupakan hasil metabolisme zat dalam tubuh organisme hidup. Wickins (1982) mengemukakan bahwa pertumbuhan pada udang merupakan pertambahan protoplasma
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang permintaannya terus meningkat dan berkembang pesat. Udang vannamei memiliki
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup
Lebih terperinciM.A. Suprayudi, E. Mursitorini dan D. Jusadi
Jurnal Pengaruh Akuakultur pengkayaan Indonesia, Artemia 5(2): sp. 119126 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 119 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH PENGKAYAAN Artemia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove
Lebih terperinciPENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain
387 Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting... PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain Gunarto, Aan Fibro Widodo, dan Herlinah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gurame (Oshpronemus gouramy) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, yang sangat disukai oleh masyarakat karena dagingnya yang enak dan tebal. Namun sangat disayangkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. patin (Pangasius hypophthalmus). Peningkatan produksi patin dapat dilakukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ikan air tawar yang mempunyai prospek budidaya cukup baik yaitu patin (Pangasius hypophthalmus). Peningkatan produksi patin dapat dilakukan dengan cara penyediaan
Lebih terperinciADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Pemberian pakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan alami memiliki peran penting dalam usaha akuakultur, terutama pada proses pembenihan. Peran pakan alami hingga saat ini belum dapat tergantikan secara menyeluruh.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme
Lebih terperinciPENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU
PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU MAROS, 10 MEI 2016 SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador,
Lebih terperinciPENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH RAJUNGAN (Portunus pelagicus) ABDUL MALIK SERANG
PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH RAJUNGAN (Portunus pelagicus) ABDUL MALIK SERANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan pembenihan pakan alami telah terbukti baik untuk larva.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kegiatan pembenihan pakan alami telah terbukti baik untuk larva. Pakan alami yang banyak digunakan dalam budidaya perikanan adalah mikroalga. Mikroalga merupakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara produksi udang terbesar di dunia, namun produksi tambak udang di Indonesia sejak tahun 1992 mengalami penurunan. Peristiwa penurunan produksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia karena memiliki potensi keuntungan yang menjanjikan. Seiring dengan meningkatnya
Lebih terperinciTINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.
TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Gambar 1. Udang Galah (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) Udang galah atau dikenal juga sebagai Giant Freshwater Shrimp merupakan salah satu jenis Crustacea, dari famili Palaemonidae yang
Lebih terperinciPEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla serrata DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI BERBEDA JENIS PENGAYANYA
653 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016 ABSTRAK PEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla serrata DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI BERBEDA JENIS PENGAYANYA Gunarto, Bunga Rante Tampangallo, Herlinah,
Lebih terperinciHasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim
22 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Efektivitas Cairan Rumen Domba Penelitian Tahap 1 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui volume enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi yang tepat untuk penurunan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sangat cepat dibandingkan dengan pertumbuhan unggas lainnnya. Ayam broiler
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam broiler merupakan jenis unggas yang memiliki pertumbuhan yang sangat cepat dibandingkan dengan pertumbuhan unggas lainnnya. Ayam broiler dapat dipanen pada kisaran
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang vannamei merupakan salah satu pilihan jenis udang yang dapat dibudidayakan di Indonesia. Udang vannamei masuk ke Indonesia pada tahun 2001 dan pada bulan Mei 2002
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini
Lebih terperinciSemua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar
38 tersebut maka produksi NH 3 semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar kisaran normal, oleh karena itu konsentrasi NH 3 tertinggi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Probiotik Probiotik adalah suatu produk yang mengandung mikroorganisme hidup dan non patogen, yang diberikan pada organisme untuk memperbaiki pertumbuhan, efisiensi konversi
Lebih terperinciBAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Bobot Mutlak dan Laju Pertumbuhan Bobot Harian Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. banyak diminati di kalangan masyarakat, hal ini disebabkan rasa
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan daging unggas khususnya daging ayam broiler sudah banyak diminati di kalangan masyarakat, hal ini disebabkan rasa dagingnya yang dapat diterima semua kalangan,
Lebih terperinciPENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea
281 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea ABSTRAK Gunarto dan Aan Fibro Widodo Balai Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kegiatan budidaya perikanan semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tentunya hal ini ditunjang dengan menerapkan sistem budidaya ikan yang baik pada berbagai
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kinerja Pertumbuhan Data hasil pengamatan penggunaan pakan uji terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila disajikan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Data kinerja
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau besar dan pulau kecil, serta garis pantai sepanjang 81.000 km yang didalamnya
Lebih terperinciEFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE.
Journal of Marine and Coastal Science, 1(2), 125 139, 2012 PENGARUH PENGKAYAAN Artemia spp. DENGAN KOMBINASI MINYAK KEDELAI DAN MINYAK IKAN SALMON TERHADAP PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP LARVA
Lebih terperinciBAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.
22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein
Lebih terperinciJ. Sains & Teknologi, April 2015, Vol.15 No.1 : ISSN
J. Sains & Teknologi, April 2015, Vol.15 No.1 : 74 83 ISSN 1411-4674 RESPON PERKEMBANGAN LARVA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) PADA PERCEPATAN PERGANTIAN PAKAN ALAMI KE PAKAN BUATAN PREDIGEST Development
Lebih terperinciAPLIKASI PROBIOTIK AMILOLITIK PADA PAKAN BERBASIS KARBOHIDRAT TINGGI UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERTUMBUHAN IKAN NILA Oreochromis niloticus
APLIKASI PROBIOTIK AMILOLITIK PADA PAKAN BERBASIS KARBOHIDRAT TINGGI UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERTUMBUHAN IKAN NILA Oreochromis niloticus Application of Amylolitic Probiotics in high carbohydrate based
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica (Kanna 2002). Menurut
Lebih terperinciTingkat Kelangsungan Hidup
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme
Lebih terperinci0,00% 0,25% 0,50% 0,75% 1,00% Perlakuan Daun Kayu Manis
Biomassa (gram) 250 200 150 100 50 226,45 209,82 212,90 211,08 210,93 74,96 79,07 73,83 74,82 79,61 Biomassa Awal Biomassa Akhir 0 0,00% 0,25% 0,50% 0,75% 1,00% Perlakuan Daun Kayu Tabel 3 pengamatan selama
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Untuk mendukung usaha tersebut dibutuhkan Balai Benih Ikan. ikan. Ketika usaha pemeliharaan atau pembesaran berkembang dibutuhkan bibit
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha budidaya perikanan di Indonesia sudah tumbuh dan berkembang. Untuk mendukung usaha tersebut dibutuhkan Balai Benih Ikan. Upaya pengembangan budidaya itu diawali dengan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh masyarakat terutama yang bertempat
Lebih terperinciPENGARUH SUHU TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERCEPATAN METAMORFOSIS LARVA KEPITING BAKAU (Scylla olivacea)
Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XVII (2): 84-89 ISSN: 0853-6384 84 PENGARUH SUHU TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERCEPATAN METAMORFOSIS LARVA KEPITING BAKAU (Scylla olivacea) THE EFFECT OF TEMPERATURE
Lebih terperinciBIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU
BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador, 1949) Scylla olivacea
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di
Lebih terperinciLAJU PEMANGSAAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) TERHADAP PAKAN ALAMI ROTIFERA (Brachionus sp.)
139 Laju pemangsaan larva kepiting bakau... (Aan Fibro Widodo) ABSTRAK Pemberian rotifera sebagai pakan alami dalam pembenihan kepiting bakau telah banyak dilakukan. Permasalahan penting yang perlu diketahui
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan. Pakan menghabiskan lebih dari setengah biaya produksi dalam kegiatan budidaya ikan. Dalam kegiatan budidaya
Lebih terperinciPengujian Apilkasi Probiotik Pada Penggelondongan Calon Induk Bandeng Strain Barru Pada Bak Beton
Pengujian Apilkasi Probiotik Pada Penggelondongan Calon Induk Bandeng Strain Barru Pada Bak Beton Sirajuddin, Syamsul Bahri, Akmal, Mohd. Syaichudin Kualitas benih yang rendah menjadi penyebab lambatnya
Lebih terperinciPENDAHULUAN. absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat banyak villi. Pada permukaan
Lebih terperinciMOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA
MOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA Molting adalah proses pergantian cangkang pada hewan Crustacea : udang, kepiting, lobster, dll. dan terjadi ketika ukuran daging udang bertambah besar sementara eksoskeleton
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan utama yang dialami oleh peternak. Hal tersebut dikarenakan harga pakan yang cukup mahal yang disebabkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. cukup tinggi, contohnya pada pembenihan ikan Kerapu Macan (Epinephelus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha pembenihan ikan laut berkembang pesat dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi, contohnya pada pembenihan ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu
Lebih terperinciMORTALITAS LARVA 58 JAM
1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pengaruh filtrat daun tanaman bunga pagoda terhadap mortalitas larva Aedes aegypti yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein Hati Broiler
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein Hati Broiler Berdasarkan hasil penelitian, kadar protein hati broiler yang diberi probiotik selama pemeliharaan dapat dilihat pada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Lemak Daging Ayam Broiler yang Diberi Probiotik Berbasis Susu Sapi dan Susu Kedelai Fermentasi. Hasil pengamatan kadar lemak daging ayam broiler pada peneitian dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan pantai yang banyak disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang enak, terutama daging kepiting yang sedang bertelur,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Karkas Rataan bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas itik cihateup jantan umur 10 minggu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Protein Kasar Tercerna Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara tingkat kepadatan kandang dengan suplementasi vitamin C terhadap nilai protein kasar tercerna
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1. 1 Pertumbuhan, Konversi Pakan, dan Kelangsungan Hidup Pada pemeliharaan 4 minggu pertama, biomassa ikan yang diberi pakan mengandung rgh belum terlihat berbeda
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ikan di dalam air. Lemak mengandung asam-asam lemak yang berfungsi sebagai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak merupakan sumber energi paling tinggi dalam makanan ikan. Dalam tubuh ikan, lemak memegang peranan dalam menjaga keseimbangan dan daya apung ikan di dalam air. Lemak
Lebih terperinciPEMANFAATAN KEONG TEMBERUNGUN (Telescopium-telescopium) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERHADAP PERTUMBUHAN DAN MOULTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
PEMANFAATAN KEONG TEMBERUNGUN (Telescopium-telescopium) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERHADAP PERTUMBUHAN DAN MOULTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) Heppi Iromo, Ahmad Kurnain Jurusan Budidaya Perairan FPIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki konsumsi yang besar terhadap produk tepung terigu baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu nasional masih belum
Lebih terperinciPENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS L.) SECARA MONOKULTUR. Yusni Atifah
JURNAL EKSAKTA VOLUME 1, 2016 42 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS L.) SECARA MONOKULTUR Yusni Atifah Dosen Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi dengan saringan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan dapat dijadikan alternatif usaha yang dapat memberikan keuntungan dan memiliki prospek jangka panjang yang baik. Hal ini dikarenakan atas permintaan produk
Lebih terperinciSeminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013
POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan merupakan kebutuhan penting dan berpengaruh besar dalam kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya usaha budidaya perikanan. Pakan
Lebih terperinciGambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah umum
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah umum dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Karakteristik dari ikan lele yang memiliki pertumbuhan
Lebih terperinciNutrisi Pakan pada Pendederan kerapu
Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Oleh: Ibnu Sahidhir Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee 2011 Biologi Benih Kerapu Pemakan daging Pendiam,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. di alam yang berguna sebagai sumber pakan yang penting dalam usaha
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan terdiri dari pakan buatan dan pakan alami. Pakan buatan adalah pakan yang dibuat dan disesuaikan dengan jenis hewan baik ukuran, kebutuhan protein, dan kebiasaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ikan Patin jenis Pangasius hypopthalmus merupakan ikan air tawar yang mempunyai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Patin jenis Pangasius hypopthalmus merupakan ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi untuk dikembangkan (Ghufran, 2010). ikan Patin banyak dikonsumsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pakan utama bagi larva ikan yaitu pakan alami. Pakan alami, seperti
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha budidaya perikanan sangat dipengaruhi oleh kualitas benih dan pakan. Pakan utama bagi larva ikan yaitu pakan alami. Pakan alami, seperti plankton. Plankton sangat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pengaruh pemberian berbagai level tepung limbah jeruk manis (Citrus sinensis) terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah pada domba Padjadjaran jantan telah dilaksanakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan
Lebih terperinciTINGKAT PRODUKSI CRABLET KEPITING BAKAU Scylla paramamosain DENGAN PEMBERIAN PAKAN DIPERKAYA DENGAN HUFA DAN VITAMIN C PADA FASE LARVA
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Hlm. 511-520, Desember 2015 TINGKAT PRODUKSI CRABLET KEPITING BAKAU Scylla paramamosain DENGAN PEMBERIAN PAKAN DIPERKAYA DENGAN HUFA DAN VITAMIN
Lebih terperinciJ. Sains & Teknologi, April 2016, Vol.16 No.1 : ISSN
J. Sains & Teknologi, April 2016, Vol.16 No.1 : 62 69 ISSN 1411-4674 PENGARUH BERBAGAI INTENSITAS CAHAYA TERHADAP LAJU PEMANGSAAN PAKAN DAN SINTASAN LARVA RAJUNGAN (Portunus Pelagicus) STADIA ZOEA The
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciTingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar
37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan diartikan sebagai nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dimana nutrien lainnya diasumsikan diserap oleh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lkan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan nila
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang lkan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan nila berdaging padat, tidak mempunyai banyak duri, mudah disajikan dan mudah didapatkan di
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph
IV HASIL DAN PEMBAHSAN 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan pada saat proses fermentasi. ph produk fermentasi
Lebih terperinciSMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 16. SISTEM PENCERNAANLatihan Soal 16.2
SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 16. SISTEM PENCERNAANLatihan Soal 16.2 1. Pernyataan yang sesuai antara organ pencernaan dengan enzim yang dihasilkan ditunjuk oleh.... Lambung Tripsisn Pankreas Renin Usus halus
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Broiler merupakan ternak yang dapat menghasilkan daging dalam waktu singkat serta dapat mengkonversi ransum yang dikonsumsi untuk memproduksi satu kilogram bobot
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keseimbangan populasi mikroba usus (Anonim 1, 2008). Kata probiotik
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Probiotik merupakan mikrobial hidup yang diberikan sebagai suplemen pakan yang memberikan keuntungan bagi induk semang dengan cara memperbaiki keseimbangan populasi mikroba
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak
34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Rustama et al. (1998), limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan,
Lebih terperinciPAKAN ALTERNATIF UNTUK KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA LELE DUMBO (Clarias gariepinus BURCHELL)
PAKAN ALTERNATIF UNTUK KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA LELE DUMBO (Clarias gariepinus BURCHELL) Toguan Sihombing, Mas Eriza, Yuneidi Basri Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saluran Pencernaan dan Makanan Ikan Mas
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saluran Pencernaan dan Makanan Ikan Mas Alat pencernaan pada ikan mas terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Saluran pencernaan ikan mas meliputi segmen-segmen
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa
17 METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji Tahap 2 adalah mengevaluasi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing
37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan penting dalam pembentukan biomolekul, namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi,
Lebih terperinci