PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea
|
|
- Hendra Santoso
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 281 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea ABSTRAK Gunarto dan Aan Fibro Widodo Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan Suhu air merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan larva kepiting bakau. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu air terhadap perkembangan larva kepiting bakau S. olivacea. Penelitian dilakukan di hatcheri kepiting bakau di Instalasi Tambak Penelitian Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Larva kepiting bakau yang baru menetas dipelihara di bak fiberglass volume 300 L, yang diisi air salinitas 30 ppt sebanyak 250 L. Padat tebar larva 100 ind./l. Pakan berupa rotifer diberikan pada saat stadia zoea 1-2, sedangkan setelah masuk stadia zoea-3 selain rotifer, mulai ditambahkan Artemia dan pakan buatan. Dua kisaran perlakuan suhu air yaitu A) suhu air pada kisaran 30 C-31,5 C dan B) suhu air pada kisaran 28 C-29,5 C, masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Untuk mempertahankan suhu air di bak pemeliharaan larva pada kisaran tersebut, maka ditambahkan heater yang dapat disetel ketinggian suhunya. Pengamatan dilakukan terhadap sintasan zoea setiap lima hari sekali dengan cara mengambil air menggunakan mangkok volume 200 ml sebanyak tiga kali ditempat berbeda di setiap bak, kemudian dihitung kepadatan larva/200 ml, selanjutnya hasilnya dikonversi ke rata-rata kepadatan larva/l. Suhu air di monitor setiap hari jam 7.00 pagi dan siang hari jam Pada hari ke-16 dilihat kecepatan populasi larva mencapai zoea-5 dari masing-masing perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva hingga hari ke-18 di perlakuan B lebih tinggi (63,3±27,3%) daripada perlakuan A (33,3±6,8%), namun secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) di antara kedua perlakuan tersebut. Berdasarkan perkembangan larva ternyata larva di perlakuan A lebih cepat berkembang karena pada hari ke-16 komposisi larva terdiri atas 86,67% (zoea-5, lebar karapas µm) dan 13,33% (zoea-4, lebar karapas µm). Sedangkan pada hari yang sama di perlakuan B, komposisi larva terdiri atas 93,33% (zoea-4, lebar karapas µm) dan 6,66% (zoea-3, lebar karapas µm). Pada hari ke-20 larva di perlakuan A telah mencapai stadia megalopa. Dengan demikian nampak bahwa pada suhu yang lebih tinggi (30 C-31,5 C) perkembangan larva lebih cepat daripada larva dipelihara pada suhu yang lebih rendah (28 C-29,5 C). Sintasan larva lebih rendah pada suhu yang tinggi dibanding pada suhu yang rendah, namun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). KATA KUNCI: suhu air, perkembangan larva kepiting bakau, sintasan larva PENDAHULUAN Kepiting bakau Genus Scylla merupakan satu di antara beberapa komoditas perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting di Indonesia. Menurut Keenan et al. (1998), berdasarkan hasil sidik allozyme elektroforesis dan sekuensing gen mt-dna terdapat empat spesies kepiting bakau di bawah genus Scylla yaitu S. serrata, S. transquebarica, S. Olivacea, dan S. paramamosain. Secara morfologi keempat spesies tersebut juga bisa ditengarai melalui perbedaan lekuk duri pada dahi, duri pada merus, kedalaman lekuk pada karapas dan lingkaran poligonal pada kaki-kakinya. Di Indonesia kebutuhan kepiting bakau terus meningkat setiap tahunnya baik untuk memenuhi pasar lokal maupun manca negara, dibarengi dengan harganya yang relatif tinggi di pasaran lokal maupun ekspor menyebabkan kepiting bakau banyak diburu dan ditangkap dari alam. Sampai saat ini benih kepiting bakau untuk budidaya pembesaran di tambak masih 100% disuplai dari penangkapan di alam. Teknologi perbenihan kepiting bakau yang telah ada belum dikuasai secara penuh, namun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan kemajuan. Aspek yang rumit dalam pembenihan kepiting bakau adalah pemeliharaan larva hingga menjadi megalopa. Periode kritis pada larva kepiting bakau adalah pada saat peralihan sumber nutrisi dari dalam (endogenous)
2 Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur ke nutrisi dari luar (pakan yang disediakan). Battaglene et al. (1994) menyatakan bahwa sintasan larva ikan dipengaruhi oleh faktor nutrisi, ukuran makanan, kepadatan makanan, kelengkapan nutrisi pakan, dan kondisi pemeliharaan larva (intensitas cahaya, suhu, salinitas, ph, oksigen terlarut). Hal tersebut juga berlaku pada larva kepiting bakau. Suhu sangat berperan dalam mempercepat metabolisme suatu organisme. Suhu air berpengaruh pada periode inkubasi telur, sintasan dan waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva kepiting bakau (Hamasaki, 2003). Selanjutnya dikemukakan bahwa suhu yang paling baik untuk pemeliharaan larva S. serrata adalah 29 C. Pada suhu rendah perkembangan larva menjadi lambat dan periode fase larva menjadi lebih lama. Apabila hal tersebut berlangsung, maka akan meningkatkan mortalitas, rawan munculnya penyakit, dan lainnya. Jenis penyakit yang umumnya menyerang larva kepiting bakau adalah jamur Lagenidium sp. dan Haliphthoros spp. (Bian et al., 1979; Sindermann, 1988). Selain jamur juga bakteri kunang-kunang, Vibrio harveyi (Boer, 1993), koloni bakteri bentuk kecil berwarna kuning, V. algynolyticus, koloni bakteri bentuk kecil berwarna hijau, V. paramaemolyticus, dan koloni bakteri yang bentuknya besar dan berwarna kuning, V. carchariae. Pada suhu yang optimum, maka larva akan berkembang lebih cepat dan kemungkinan sintasan menjadi lebih tinggi. Periode antar moulting pada setiap stadia zoea akan dipengaruhi oleh suhu air, begitu juga pada stadia megalopa untuk menjadi crab-1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan dan sintasan larva kepiting bakau, S. olivacea. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di panti benih kepiting bakau di Instalasi Penelitian Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Hewan uji berupa larva kepiting bakau S. olivacea yang baru menetas (zoea-1). Larva yang sehat ditunjukkan dengan gerakan lincah dan melayang layang di permukaan air pada saat tidak ada aerasi/aerasi diangkat naik. Larva tersebut kemudian diambil dengan gayung lalu dipelihara di dalam bak fiber volume 300 L yang diisi air sumur bor saliitas 30 ppt sebanyak 250 L/bak. Air sumur bor tersebut sebelum digunakan telah disaring dengan saringan membran (membrane filter), disinari dengan sinar ultraviolet (UV) dan di ozon. Jumlah bak fiber yang ditebari larva sebanyak 6 unit. Padat tebar larva 100 ekor/l. Pakan alami (rotifera dan nauplii Artemia) dan pakan buatan diberikan ke larva seperti yang tertera pada Tabel 1. Rotifer dipertahankan pada kepadatan ind./ml. Sedangkan nauplii Artemia pada kepadatan 0,5-2,0 ind./ml dimulai setelah larva masuk stadia zoea-3. Tabel 1. Dosis pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva kepiting bakau Stadia Dosis pakan komersial (g/m 3 /hari) Ukuran pakan komersial (µm) Frekuensi pemberian pakan/hari Kepadatan rotifera (ind./ml) Kepadatan naupli Artemia (ind./ml/hari) Zoea Zoea Zoea ,5 Zoea-4 3, Zoea-5 3, Dari enam bak untuk pemeliharaan larva, tiga bak secara acak dipasangi heater agar suhu air stabil pada kisaran 30 C-31,5 C; dan tiga bak tanpa dipasangi heater, suhu air pada kisaran 28 C- 29,5 C. Pengontrolan suhu dilakukan secara berkala setiap hari dengan mengecek pada thermometer yang dipasang di setiap bak larva. Pergantian air pemeliharaan larva dilakukan pertama kali setelah lima hari pemeliharaan dimulai sebanyak 10% dari volume total dengan cara disifon. Selanjutnya, setelah larva mencapai stadia zoea-5 pergantian air semakin sering dan volumenya mencapai 70%/2 hari. Untuk mengetahui sintasan
3 283 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) larva di setiap perlakuan, maka dilakukan sampling kepadatan populasi larva setiap lima hari sekali dengan cara mengambil air menggunakan mangkok volume 200 ml sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda di setiap bak, kemudian jumlah larva dirata-rata 200 ml, selanjutnya hasilnya dikonversi ke rata-rata kepadatan larva/l. Pada hari ke-16 diambil sampel larva untuk dilihat kecepatan populasi larva mencapai zoea-5 dari masing-masing perlakuan. Selanjutnya dimonitor kualitas air terutama amoniak dan oksigen terlarut dari masing-masing perlakuan. Data sintasan larva yang diperoleh dibandingkan dan dianalisis menggunakan T test. Sedangkan data kualitas air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Sintasan larva selama pemeliharaan ditunjukkan pada Gambar 1. Sampai hari keenam pemeliharaan, sintasan larva di perlakuan A adalah 64±8,9% (10-15 ind./200 ml), sedangkan di perlakuan B masih stabil seperti pada waktu penebaran yaitu 100 ind./l (20 ind./200 ml). Hal ini berarti bahwa masa kritis larva di hari ke-4 dan ke-5 yaitu di mana larva sudah harus mengonsumsi pakan yang disediakan berupa rotifer, Brachionus plicatilis sudah berhasil dilewati dengan baik yang ditandai dengan sintasan larva masih tinggi. Hal ini berarti bahwa populasi rotifer yang diberikan untuk pakan larva mencukupi. Hamasaki (2003) di Jepang menyarankan populasi rotifer untuk stadia zoea larva kepiting bakau S. serrata sebanyak 40 ind./ml. Sedangkan Truong et al. (2007) di Vietnam menggunakan kepadatan rotifer ind./ml untuk pakan zoea kepiting bakau S. serrata. Pada penelitian ini populasi rotifer yang diberikan ke larva kepiting bakau 20 ind./ml. Faktor musim hujan, penggunaan air sumur bor dan seringnya kontaminasi Nannochloropsis sp. oleh protozoa sering menyebabkan selalu mengalami keterbatasan jumlah rotifer yang dipanen untuk persediaan pakan larva. Di samping itu, vitalitas larva kepiting bakau S. olivacea yang diperoleh juga baik, sehingga larva mampu bertahan hidup. Untuk mendapatkan larva dengan vitalitas yang tinggi untuk ditebar di bak pemeliharaan larva, maka dilakukan dengan cara hanya mengambil larva yang mengumpul di permukaan air saat aerasi dimatikan. Sedangkan larva yang mengendap adalah larva yang kurang sehat Sintasan (%) A (30-31,5oC) B (28-29,5oC) Hari Gambar 1. Penurunan sintasan larva kepiting bakau, S. olivacea selama 18 hari pemeliharaan Hingga hari ke-11, larva sudah mulai masuk ke stadia zoea-3 ditandai dengan 8 plumose setae. Di perlakuan A, sintasan larva sudah mulai menurun menjadi 55±16,4% (6-15 ind./200 ml), sedangkan di perlakuan B, sintasan larva masih tinggi yaitu mencapai 80±22,3% (13-20 ind./200 ml). Pada periode ini sudah nampak bahwa larva di perlakuan A ukurannya lebih besar dibanding larva di perlakuan B. Hal ini berarti bahwa semakin padat populasi larva, maka perkembangan larva lebih lambat dibanding dengan perkembangan larva apabila populasinya dalam bak pemeliharaan lebih
4 Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur rendah. Pada hari ke-16 sintasan larva di perlakuan A turun menjadi 33,3±6,8% (5-9 ind./200 ml), sedangkan di perlakuan B = 63,3±27,3% (7-20 ind./200 ml). Selanjutnya pada hari ke-18 sintasan larva di perlakuan A 32,5±5%, sedangkan di perlakuan B 52,5±22,3% dan hasil analisis T test menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) pada sintasan larva dari kedua perlakuan yang diuji. Perkembangan larva kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2. Ukuran larva dan jumlah plumose setae digunakan untuk membedakan perkembangan tiap stadia zoea kepiting bakau. Pada stadia zoea-1 jumlah plumose setae 4, zoea-2 berjumlah 6 plumose setae, zoea-3 jumlah plumose setae tetap 8, zoea-4 muncul pleopod (kaki renang) pada bagian abdomen, dan zoea-5 pleopod semakin panjang dan muncul capit, ukuran larva juga semakin besar. Pada penelitian ini di perlakuan A, larva dipelihara pada suhu air lebih tinggi (30 C-31,5 C), maka larva cepat berkembang. Hal ini kemungkinan karena proses metabolisme di tubuhnya menjadi lebih cepat, namun larva yang lemah akan menjadi mati, sehingga sintasan larva di perlakuan A menjadi lebih rendah dibanding sintasan larva di perlakuan B. Menurut Nurdiani (2007), suhu, salinitas, dan interaksi suhu dan salinitas air pemeliharaan larva kepiting S. serrata berpengaruh nyata pada sintasan larva kepiting bakau. Selanjutnya dikemukakan bahwa suhu air 28 C 30 C dan salinitas pada kisaran ppt direkomendasikan untuk pemeliharaan larva kepiting bakau agar supaya tidak diperlukan waktu Zoea-1: Memiliki 4 plomuse setae, panjang karapas 0,2 mm; duri rostrum 0,35 mm; duri dorsal 0,48 mm; duri lateral 0,19 mm; mata menempel dan belum memiliki pleopod Zoea-2: Memiliki 6 plomuse setae, panjang karapas 0,27-0,36 mm; duri rostrum 0,39 mm; duri dorsal 0,54 mm; duri lateral 0,2 mm; mata telah bertangkai Zoea-3: Memiliki 8 plomuse setae, panjang karapas 4,53-5,85 mm; duri rostrum 0,52 mm; duri dorsal 0,63 mm; duri lateral 0,24 mm; antenulle seperti pada zoea-2 tetapi lebih besar Zoea-4: Panjang karapas 0,69-0,78 mm; duri rostrum 0,72 mm; duri dorsal 0,86 mm; duri lateral 0,28 mm; Zoea-5: muncul pleopoid pada bagian abdomen (0,9-0,12 mm) Panjang karapas 1,11-1,25 mm; duri rostrum 1,0 mm; duri dorsal 1,15 mm; duri lateral 0,74 mm; pleopoid semakin panjang (0,29-0,35 mm); dan mulai nampak capit Megalopa: Panjang karapas 1,60 mm; panjang abdomen 1,87 mm; panjang badan total (termasuk duri rostal) 4,1 mm; panjang duri rostal 0,5 mm; panjang duri sternal 0,7 mm Gambar 2. Perkembangan larva kepiting bakau dari stadia zoea 1-5 hingga menjadi megalopa
5 285 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) yang lama untuk mencapai stadia kepiting muda. Pada penelitian ini salinitas air sumur bor yang digunakan untuk pemeliharaan larva kepiting bakau S. olivacea adalah 30 ppt dan untuk mencapai stadia megalopa diperlukan waktu hari. Faktor lingkungan lainnya yang diduga berpengaruh pada sintasan larva kepiting bakau adalah warna wadah pemeliharaan. Berdasarkan pengalaman wadah pemeliharaan larva kepiting bakau yang berwarna gelap cenderung menghasilkan sintasan yang lebih tinggi dan perkembangan larva yang lebih cepat daripada wadah pemeliharaan larva yang berwarna putih. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh larva spesies kepiting tersebut. Berdasarkan sampling yang dilakukan pada hari ke-16 dengan tujuan untuk mengetahui komposisi stadia larva, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Di perlakuan A, komposisi larva terdiri atas 86,67% zoea-5, lebar karapas µm dan 13,33% zoea-4, lebar karapas µm. Sedangkan pada hari yang sama di perlakuan B, komposisi larva terdiri atas 93,33% (zoea-4, lebar karapas µm dan 6,66% zoea-3, lebar karapas µm. Dari hasil tersebut nampak bahwa pada hari ke 16, pada perlakuan yang ditingkatkan suhu airnya (30-31,5 o C) sebagian besar larva telah mencapai stadia Tabel 2. Perkembangan larva kepiting bakau S. olivacea yang dipelihara dengan suhu air berbeda Perlakuan Stadia (%) Zoea-3 Zoea-4 Zoea-5 Zoea-3 Zoea-4 Zoea-5 Zoea-3 Zoea-4 Zoea-5 A (D-16) - 13,33 86, B (D-16) 7 93, A : suhu air 28 C-29,5 C; B : suhu air 30 C-31,5 C Panjang Karapas (µm) Lebar zoea-5, sedangkan yang tidak dinaikan suhu airnya (28-29,5 o C) sebagian besar larva masih stadia zoea-4. Dengan demikian peningkatan suhu sebesar 2 o C pada pemeliharaan larva, telah mampu lebih mengefisiensikan waktu pemeliharaan larva menjadi lebih singkat, di mana larva telah menjadi megalopa pada hari ke Sedangkan pada suhu 28 C-29,5 C sebagian larva menjadi megalopa pada hari ke Di Jepang, Hamasaki (2003) pada penelitiannya di laboratorium dimulai dengan zoea-2 kepiting bakau S. serrata dipelihara pada suhu air 29 C, periode yang dibutuhkan hingga mencapai megalopa hanya memerlukan waktu 13 hari. Pada penelitian ini menggunakan larva S. olivacea yang dipelihara pada kisaran suhu 28 C-29,5 C dan 30 C-31,5 C nampak lebih lambat karena diperlukan waktu hari untuk mencapai stadia megalopa. Perbedaan tersebut kemungkinan karena beda spesies dan jumlah pakan yang diberikan misalnya populasi rotifer 40 ind./ml (Hamasaki, 2003), sedangkan pada penelitian ini hanya 20 ind./ml. Menurut Chen & Cheng (1985), suhu optimum untuk perkembangan larva kepiting bakau S. serrata adalah 26 C-30C. Sedangkan Zeng & Li (1992) menyimpulkan bahwa suhu air yang optimum untuk pemeliharaan zoea kepiting bakau S. serrata adalah 25 C-30 C. Di perlakuan A pada hari ke-20 telah mulai didapatkan megalopa, namun jumlahnya masih sedikit, sehingga belum dipanen. Pada hari kedua jumlah megalopa yang bisa dipanen di perlakuan A mencapai 500 ind./bak. Namun pada hari ke-22 dan 23 jumlah megalopa yang dipanen telah menurun. Di perlakuan B pada hari ke-22 jumlah megalopa yang dipanen mencapai 800 ind./bak. Sedangkan pada hari ke-23 jumlah megalopa yang dipanen juga menurun menjadi hanya sekitar 100 ind./bak (Gambar 3). Dari kenyataan ini nampak bahwa perkembangan stadia zoea-5 ke megalopa terjadi lebih cepat satu hari di perlakuan A yang mempunyai suhu air lebih tinggi daripada yang ada di perlakuan B. Hal ini sesuai yang diperoleh Hamasaki (2003) bahwa pada pemeliharaan larva dengan suhu air 32C akan diperoleh periode yang lebih singkat untuk larva mencapai stadia megalopa. Namun demikian pada penelitian ini munculnya megalopa tidak serentak baik di perlakuan A maupun perlakuan B. Salinitas yang semakin tinggi (34-35 ppt) akan berpengaruh pada perkembangan megalopa menjadi semakin lambat. Selain salinitas, kecukupan pakan nauplii Artemia juga berpengaruh
6 Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur nyata pada kecepatan perkembangan zoea kepiting bakau. Pada zoea-5 yang kurang diberi nauplii Artemia, maka panjang chela akan turun secara proporsional. Rasio antara panjang chela dan panjang karapas (ChL/CL rasio %) dapat digunakan sebagai petunjuk untuk memprediksi kesuksesan larva zoea-5 menjadi megalopa. Pada rasio ChL/CL melebihi 45% akan dijumpai zoea-5 banyak gagal moulting menjadi megalopa (Suprayudi et al., 2007). Setelah hari ke-23 masih banyak zoea-5 yang belum menjadi megalopa. Dengan demikian masih perlu dipelajari agar zoea-5 secara bersamaan menjadi megalopa, sehingga tidak memerlukan waktu yang panjang untuk panen megalopa ataupun zoea-5 gagal menjadi megalopa B (28oC-29,5oC) A (30oC-31,5oC) 800 Megalopa Hari Gambar 3. Jumlah megalopa yang dipanen di bak fiber dari perlakuan perbedaan suhu air Pada stadia megalopa terjadi kanibalisme yang tinggi apabila kekurangan Artemia di wadah pemeliharaannya. Dengan demikian jumlah nauplii Artemia yang diberikan harus mencukupi, selain itu, juga harus ditambah pakan buatan dan wadah pemeliharaan diberi shelter dari waring hitam atau rumput laut. Pada penelitian ini penggantian air dilakukan 2 hari sekali sebanyak 30%-40% dari volume total, dimulai setelah larva masuk stadia zoea 4. Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan nilai > 5 mg/l yang berarti konsentrasi oksigen terlarut masih dalam kondisi aman untuk pemeliharaan larva kepiting bakau. Selanjutnya kandungan amonia dalam air mencapai 2 mg/ L, terutama setelah larva masuk ke stadia Zoea-5 dan sebagian telah menjadi megalopa. Nilai kandungan amonia tersebut cukup tinggi. Hal ini karena penggantian air kurang sering dilakukan dan volume air yang diganti terlalu sedikit. Dengan demikian seharusnya setelah masuk stadia zoea- 5 penggantian air dilakukan sebanyak 60%-70%/hari, agar megalopa yang dihasilkan tetap sehat dan lincah. KESIMPULAN Pemeliharaan larva kepiting bakau S. olivacea pada suhu yang lebih tinggi (30 C-31,5 C) menghasilkan perkembangan larva yang lebih cepat daripada apabila larva dipelihara pada suhu yang lebih rendah (28 C-29,5 C). DAFTAR ACUAN Bian, B.Z., Hatai, K., Lio-Po, G.D., & Egusa, S Studies on the fungal diseases in crustacea, Lagenidium scylla isolated from cultivated ova and larvae of the mangrove crab, Scylla serrata. Trans Mycol. Soc. Japan, 20: Boer, D.R., Zafran, Panrerengi, A., & Ahmad, T Studi pendahuluan penyakit kunang-kunang pada larva kepiting bakau, Scylla serrata. Laporan Penelitian Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Gondol, Bali.
7 287 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) Battaglene, S.C., McBride, S., & Talbot, R.B Swim bladder inflantion in larvae of cultured sand whiting, Sillago ciliata Cuvier (Sillaginidae). Aquaculture, 128: Chen, H.C. & Cheng, H Studies on the larval rearing of serrated crab, Scylla serrata: I. Combined effects of salinity and temperature on the hatching, survival and growth of zoeae. J. Fish. Soc. Taiwan, 12: Hamasaki, K Effects of temperature on the egg incubation period, survival and developmental period of larvae of the mud crab Scylla serrata (Forskal) (Brachyura: Portunidae) reared in the laboratory. Aquaculture, 219(1-4): Keenan, C.P., Davie, P.J.F., & Mann, D.L A revision of the Genus Scylla de Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). Raffles Bull. Zool. 46: Nurdiani, R. & Zeng, C Effects of temperature and salinity on the survival and development of mud crab, Scylla serrata (Forsskål), larvae. Aquaculture Research, 38(14): 1,529-1,538. Parenrengi, A., Zafran, Boer, D.R., & Rusdi, I Identifikasi dan patogenitas beberapa bakteri Vibrio pada larva kepiting bakau, Scylla serrata. J. Penelitian Budidaya Pantai, 9(3): Sindermann, C.J Fungus (Lagenidium). Diseases of blue crab eggs and larvae. In Sindermann, C.J. & Lightner, D.V. (Eds.) Diseases diagnosis and control in North American marine Aquaculture, p Suprayudi, M.A., Takeuchi, T., Hamazaki, K., & Hirokawa, J Effect of Artemia feeding schedule and density on the survival and development of larval mud crab Scylla serrata. Fisheries Science, 68(6): 1,295-1,303. Truong, T.N., Mathieu, W., Tran, C.B., Hoang, P.T., Nguyen, V.D., & Sorgeloos, P Improved techniques for rearing mud crab Scylla paramamosain (Estampador 1949) larvae. Aquaculture Research, 8(14): 1,539-1,553. Zeng, C. & Li, S Effects of temperature on survival and development of the larvae of Scylla serrata. J. Fish. China, 16:
8 Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur DISKUSI 1. Nurdin Pertanyaan: Perlakuan pada suhu air, mengapa selisihnya sedikit sekali? Tanggapan: Suhu ruangan maksimal 29,5 o C, untuk pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul WIB sampai pukul pada penerapannya perlakuan pada suhu air yang menggunakan heater lebih sedikit. 2. Jojo Subagja Pertanyaan: Perlakuan diupayakan ada pengontrol ruangan sebelum penggunaan heater, perlakuan efek agar diamati. Tanggapan: Pada prisnsipnya seharusnya ada pengontrol ruangan sebelum menggunakan heater. 3. Ujang Pertanyaan: - Untuk SR berrapa ekor kepiting bakau yang hidup? - Secara statistik pada 2 perlakuan hanya sedikit saja perbedaanya. Tanggapan: - SR 1200 ekor/siklus - Pada suhu 29,5 o C dan 31,5 o C, pada penerapannya lebih banyak pada perlakuan suhu 29,5 o C
PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain
387 Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting... PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain Gunarto, Aan Fibro Widodo, dan Herlinah
Lebih terperinciPENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU
PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU MAROS, 10 MEI 2016 SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador,
Lebih terperinciPENGARUH SUHU DAN SALINITAS PADA SINTASAN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DI PANTI BENIH KEPITING INSTALASI TAMBAK MARANAK, MAROS
393 Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva... (Herlinah) PENGARUH SUHU DAN SALINITAS PADA SINTASAN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DI PANTI BENIH KEPITING INSTALASI TAMBAK MARANAK, MAROS
Lebih terperinciBIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU
BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador, 1949) Scylla olivacea
Lebih terperinciM.A. Suprayudi, E. Mursitorini dan D. Jusadi
Jurnal Pengaruh Akuakultur pengkayaan Indonesia, Artemia 5(2): sp. 119126 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 119 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH PENGKAYAAN Artemia
Lebih terperinciSeminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
PEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU Scylla serrata Forskal SKALA MASSAL DENGAN PAKAN ROTIFER DAN NAUPLI ARTEMIA YANG DIKAYAKAN DENGAN VITAMIN C, ASCORBYL PALMITAT RB-14 Gunarto Balai Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciPEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla serrata DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI BERBEDA JENIS PENGAYANYA
653 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016 ABSTRAK PEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla serrata DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI BERBEDA JENIS PENGAYANYA Gunarto, Bunga Rante Tampangallo, Herlinah,
Lebih terperinciPemeliharaan Zoea-5 dan Megalopa Kepiting Bakau, Scylla olivacea dengan Wadah Berbeda
Pemeliharaan Zoea-5 dan Megalopa Kepiting Bakau, Scylla olivacea dengan Wadah Berbeda Gunarto, Nurbaya dan M. Zakaria Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros 90512 Sulawesi Selatan
Lebih terperinciPENGARUH SUHU TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERCEPATAN METAMORFOSIS LARVA KEPITING BAKAU (Scylla olivacea)
Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XVII (2): 84-89 ISSN: 0853-6384 84 PENGARUH SUHU TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERCEPATAN METAMORFOSIS LARVA KEPITING BAKAU (Scylla olivacea) THE EFFECT OF TEMPERATURE
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase
Lebih terperinciTINGKAT PRODUKSI CRABLET KEPITING BAKAU Scylla paramamosain DENGAN PEMBERIAN PAKAN DIPERKAYA DENGAN HUFA DAN VITAMIN C PADA FASE LARVA
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Hlm. 511-520, Desember 2015 TINGKAT PRODUKSI CRABLET KEPITING BAKAU Scylla paramamosain DENGAN PEMBERIAN PAKAN DIPERKAYA DENGAN HUFA DAN VITAMIN
Lebih terperinciPEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DENGAN PENAMBAHAN BIOFLOK
645 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 ABSTRAK PEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DENGAN PENAMBAHAN BIOFLOK Gunarto dan Herlinah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Lebih terperinciDeskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)
1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Jl. Peta No. 83, Bandung, Jawa Barat 40232, selama 20 hari pada bulan Maret April 2013. 3.2 Alat dan
Lebih terperinciPENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA
419 Pendederan ikan beronang dengan ukuran tubuh benih... (Samuel Lante) ABSTRAK PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA Samuel Lante, Noor Bimo Adhiyudanto,
Lebih terperinciADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea
Lebih terperinciEFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA
869 Efisiensi penggunaan plankton untuk pembenihan... (Suko Ismi) EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA ABSTRAK Suko Ismi
Lebih terperinciLAJU PEMANGSAAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) TERHADAP PAKAN ALAMI ROTIFERA (Brachionus sp.)
139 Laju pemangsaan larva kepiting bakau... (Aan Fibro Widodo) ABSTRAK Pemberian rotifera sebagai pakan alami dalam pembenihan kepiting bakau telah banyak dilakukan. Permasalahan penting yang perlu diketahui
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Materi Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2006, di PT Centralpertiwi Bahari yang berlokasi di Desa Suak, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.
Lebih terperinciPERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA
1233 Pertumbuhan calon induk ikan beronang Siganus guttatus... (Samuel Lante) PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA ABSTRAK Samuel
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan.
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan. B. Alat dan Bahan Penelitian
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove
Lebih terperinciUPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA
853 Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto) UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA ABSTRAK Gunarto
Lebih terperinciSERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA
185 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 214 SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA ABSTRAK Sahabuddin, Andi Sahrijanna, dan Machluddin
Lebih terperinciJurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN :
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN : 2303-2960 PENENTUAN POLA PERUBAHAN SALINITAS PADA PENETASAN DAN PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAL SUMATERA SELATAN
Lebih terperinciTEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UNTUK PENINGKATAN MUTU BENIH KERAPU PADA PRODUKSI MASSAL SECARA TERKONTROL
331 Teknik pemeliharaan larva untuk peningkatan mutu benih... (Suko Ismi) TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UNTUK PENINGKATAN MUTU BENIH KERAPU PADA PRODUKSI MASSAL SECARA TERKONTROL ABSTRAK Suko Ismi dan Yasmina
Lebih terperinciKAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS
219 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS ABSTRAK Erfan Andi Hendrajat
Lebih terperinciPENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA
41 Pentokolan udang windu siste hapa... (Erfan Andi Hendrajat) PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA ABSTRAK Erfan Andi Hendrajat dan Brata Pantjara Balai Penelitian
Lebih terperinciPENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING
1297 Pengangkutan krablet kepiting bakau sistem kering (Muhamad Yamin) PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING ABSTRAK Muhamad Yamin *) dan Sulaeman **) *) Balai Riset
Lebih terperinciPENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK
729 Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang... (Gunarto) PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK Gunarto dan Abdul Mansyur ABSTRAK Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau
Lebih terperinciPEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK
179 Pemacuan pergantian kulit kepiting bakai... (Nur Ansari Rangka) PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK Nur Ansari
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes
Lebih terperinciPRODUKSI MASAL LARVA IKAN KERAPU PASIR (Epinephelus Corallicola) DENGAN UKURAN BAK BERBEDA
PRODUKSI MASAL LARVA IKAN KERAPU PASIR (Epinephelus Corallicola) DENGAN UKURAN BAK BERBEDA Irwan Setyadi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO. Box. 140 Singaraja-Bali, E-mail : i.setyadi@yahoo.com
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian BBIP Lamu, merupakan calon Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)/Instalasi Pembenihan dibawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014,
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014, bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Universitas
Lebih terperinciKONDISI KUALITAS AIR PADA PEMELIHARAAN KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) SECARA RESIRKULASI DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA
781 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 KONDISI KUALITAS AIR PADA PEMELIHARAAN KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) SECARA RESIRKULASI DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA ABSTRAK Muhammad Nur Syafaat,
Lebih terperinciADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Balai. Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura -Lampung
24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura -Lampung dan Uji Proksimat dilaksanakan
Lebih terperinciMAINTENANCE MUD CRAB (Scylla serrata) WITH DIFFERENT FEEDING FREQUENCY
MAINTENANCE MUD CRAB (Scylla serrata) WITH DIFFERENT FEEDING FREQUENCY By Juni Handayani 1), Iskandar Putra 2), Rusliadi 2) Laboratory Aquaculture of Technology Fisheries and Marine Sciene Faculty RiauUniversity
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam
Lebih terperinciProduksi Masal Larva Ikan Kerapu Pasir (Epinephelus Corallicola) dengan Ukuran Bak Berbeda
Produksi Masal Larva Ikan Kerapu Pasir (Epinephelus Corallicola) dengan Ukuran Bak Berbeda Irwan Setyadi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO. Box. 140 Singaraja-Bali, E-mail : i.setyadi@yahoo.com
Lebih terperinciPEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA
169 Pembesaran kepiting bakau di tambak... (Herlinah) PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA Herlinah, Sulaeman, dan Andi Tenriulo ABSTRAK Balai Riset Perikanan
Lebih terperinciTOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK
1117 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 ABSTRAK TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK Burhanuddin Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Mei 2013 dilaksanakan di Hatchery Ciparanje, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Kegiatan penelitian berupa percobaan di laboratorium yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk
Lebih terperinciPOLA PEMANGSAAN DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN KUWE (Gnathanodon speciosus) BERDASARKAN JENIS PAKAN AWAL YANG DIBERIKAN
633 Pola pemangsaan dan pertumbuhan larva ikan kuwe... (Afifah) POLA PEMANGSAAN DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN KUWE (Gnathanodon speciosus) BERDASARKAN JENIS PAKAN AWAL YANG DIBERIKAN Afifah *), Titiek Aslianti
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat
15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset Ikan Hias Depok. Penelitian berlangsung pada tanggal 15 Agustus hingga 5 Oktober 2012. Penelitian diawali
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei Juni 2014, di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. 3.2 Alat dan Bahan Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan
Lebih terperinciPENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA
825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah mengetahui teknik kultur Chaetoceros sp. dan Skeletonema sp. skala laboratorium dan skala massal serta mengetahui permasalahan yang
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Penelitian
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2
11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan
Lebih terperinciII. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan 2.2 Prosedur Kerja Persiapan Wadah Ukuran dan Padat Tebar
II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan dan masing-masing menggunakan delapan ulangan, yaitu : 1) Perlakuan A dengan warna
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)
Lebih terperinciPEMELIHARAAN LARVA BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) METODE INTENSIF
PEMELIHARAAN LARVA BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) METODE INTENSIF Dikrurahman 1) dan M. Kadari 2) 1) Perekayasa Muda Balai Budidaya Laut Batam, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, DKP 2) Perekayasa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat Kelangsungan Hidup Larva
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan setiap stadia diperlihatkan pada Lampiran 9 dan Gambar 3. 120 100 Survival Rate (%)
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci: Brachionus plicatilis, Nannochloropsis sp., salinitas, nitrogen, stres lingkungan
e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 1 Oktober 2013 ISSN: 2302-3600 KANDUNGAN PROTEIN TOTAL (CRUDE PROTEIN) Brachionus plicatilis DENGAN PEMBERIAN PAKAN Nannochloropsis sp. PADA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi
Lebih terperinciPengaruh Pemberian Dosis Pakan Otohime yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek di BPBILP Lamu Kabupaten Boalemo
Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014 Pengaruh Pemberian Dosis Pakan Otohime yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek di BPBILP Lamu Kabupaten Boalemo
Lebih terperinciSuhu dan Salinitas yang Baik bagi Kelulushidupan Larva Zoea Kepiting Bakau Scylla spp. Lokal pada Sistem Pemeliharaan Terkontrol
Suhu dan Salinitas yang Baik bagi Kelulushidupan Larva Zoea Kepiting Bakau Scylla spp. Lokal pada Sistem Pemeliharaan Terkontrol E. Jamal, B. J. Pattiasina, A. Y. Pattinasarany, C. Soamolle dan E. Tomu
Lebih terperinciPembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi
1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat
Lebih terperinciLampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.
Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian Perlakuan A B C Ulangan L P (gr/hari) L K (cm) P K (cm) L P (gr/hari) L K
Lebih terperinciBenih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar
Standar Nasional Indonesia Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan
Lebih terperinci515 Keragaan pertumbuhan benih Cherax... (Irin Iriana Kusmini)
515 Keragaan pertumbuhan benih Cherax... (Irin Iriana Kusmini) KERAGAAN PERTUMBUHAN BENIH Cherax quadricarinatus DARI BERBAGAI LOKASI UNTUK MENCAPAI UKURAN 5 6 INCI ABSTRAK Irin Iriana Kusmini dan Gleni
Lebih terperinciII. BAHAN DAN METODE
II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciTingkat Kelangsungan Hidup
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan Mei 2013 di Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran,
Lebih terperinciProduksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar
Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.
12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,
Lebih terperinciPENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 153 158 (25) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 153 PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di
Lebih terperinciPenetapan Kebutuhan Harian Pakan Ikan Rucah untuk Penggemukan Kepiting Bakau Scylla paramamosain di Keramba Jaring Dasar
Penetapan Kebutuhan Harian Pakan Ikan Rucah untuk Penggemukan Kepiting Bakau Scylla paramamosain di Keramba Jaring Dasar Determination of Daily Requirement of Trash Fish Feed to Fatten The Mangrove Crab
Lebih terperinciJurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) X (1): ISSN:
134 Short Paper PENGARUH PERBEDAAN AWAL PEMBERIAN ARTEMIA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KLON (Amphiprion ocellaris) THE EFFECT OF INITIAL TIME DIFFERENCE OF ARTEMIA PROVIDE
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan
Lebih terperinciIma Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)
PROSES DAN INFRASTRUKTUR HATCHERY UDANG AIR PAYAU (Windu, Vannamei dan Rostris) Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember 2011, bertempat di laboratorium ikan Clownfish Balai Besar Pengembangan
Lebih terperinciProduksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar
Standar Nasional Indonesia SNI 7311:2009 Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 7311:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii
Lebih terperinciEFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE.
Journal of Marine and Coastal Science, 1(2), 125 139, 2012 PENGARUH PENGKAYAAN Artemia spp. DENGAN KOMBINASI MINYAK KEDELAI DAN MINYAK IKAN SALMON TERHADAP PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP LARVA
Lebih terperinciPERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lebih terperinciAPLIKASI PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM MIKROALGA POWDER UNTUK PAKAN JUVENIL IKAN BANDENG (Chanos chanos fork)
Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 4, No. 2, Agustus 2013 ISSN : 2086-3861 APLIKASI PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM MIKROALGA POWDER UNTUK PAKAN JUVENIL IKAN BANDENG (Chanos chanos fork) APPLICATION USE DIFFERENT
Lebih terperinciPOLIKULTUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN METODE TEBAR YANG BERBEDA
211 Polikultur kepiting bakau dan rumput laut... (Sulaeman) POLIKULTUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN METODE TEBAR YANG BERBEDA ABSTRAK Sulaeman, Aan Fibro
Lebih terperinciRESPON PERTUMBUHAN BENIH KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA PERLAKUAN PERBEDAAN SALINITAS MEDIA DAN PEMBERIAN BIOMAS Artemia sp.
Available online at Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology (IJFST) Website: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek Saintek Perikanan Vol.12 No.1: 7-11, Agustus 2016 RESPON PERTUMBUHAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang permintaannya terus meningkat dan berkembang pesat. Udang vannamei memiliki
Lebih terperinciPENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) DENGAN KEPADATAN BERBEDA
Pengangkutan krablet kepiting bakau ( Scylla paramamosain)... (Sulaeman) PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) DENGAN KEPADATAN BERBEDA Sulaeman *), Muhamad Yamin *), dan Andi Parenrengi
Lebih terperinciFattening of Soft Shell Crab With Different Food
Fattening of Soft Shell Crab With Different Food By Elvita Sari 1 ), Rusliadi 2 ), Usman M.Tang 2 ) Laboratory Aquaculture of Technology Fisheries and Marine Science Faculty Riau University Email : elvitasurbakti@yahoo.co.id
Lebih terperinciRINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI BAK TERPAL BAPPL STP SERANG, BANTEN
RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI BAK TERPAL BAPPL STP SERANG, BANTEN Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah bak berlapis terpaulin dan berlapis plastik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta permintaan pasar tinggi
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan April 2013 hingga Mei 2013 bertempat di laboratorium budidaya perikanan Ciparanje Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD.
Lebih terperinciPERTUMBUHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypopthalmus) YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA Feeding Rate YANG BERBEDA
e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume IV No 1 Oktober 2015 ISSN: 2302-3600 PERTUMBUHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypopthalmus) YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA Feeding
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan September 2009 bertempat di Laboratorium Sistem Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen
Lebih terperinciAPLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus
645 Aplikasi pakan buatan pada pemeliharaan larva ikan kerapu macan (Irwan Setyadi) APLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus ABSTRAK Irwan Setyadi, Bejo
Lebih terperinciPengaruh Penggunaan Pupuk Organik Diamond Interest Grow dengan Dosis Berbeda terhadap Pertumbuhan Populasi Rotifera (Brachionus plicatilis)
Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 2, Juni 2015 Pengaruh Penggunaan Pupuk Organik Diamond Interest Grow dengan Dosis Berbeda terhadap Pertumbuhan Populasi Rotifera (Brachionus
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Gedung IV Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April hingga
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Purwodadi Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik RT 01 RW 01 selama 28 hari pada bulan Desember 2016 Januari 2017
Lebih terperinciSeminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013
POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double
Lebih terperinciTINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.
TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,
Lebih terperinci