BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau Klasifikasi Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica (Kanna 2002). Menurut Kasry (1991) kepiting bakau diklasifikasikan sebagai berikut. Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Subordo : Branchyura Famili : Portunidae Sub Famili : Lipulinae Genus : Scylla Spesies : Scylla serrata Gambar 1. Kepiting Bakau Kepiting bakau tergolong kelas Krustasea dan ordo Dekapoda, dengan ditandai oleh adanya 5 pasang kaki. Pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat pemegang/penangkap makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) dan berfungsi sebagai kaki renang, dan pasangan kaki lainnya berfungsi sebagai kaki jalan (Kordi 2012). Kemudian menurut Lembaga Oceanologi Nasional (1973) kepiting bakau merupakan salah satu jenis dari sub ordo Branchyura, yang memiliki bentuk melebar melintang, serta bagian 6

2 7 perutnya tidak terlihat karena melipat ke dadanya, tidak ada duri ekor dan daun ekor, adapun kepiting jantan memiliki bentuk perut sempit dan meruncing ke depan sedang betina melebar dan setengah lonjong, banyak ditemukan di tambak ikan dekat pantai, hidup dalam lubang-lubang atau terdapat pada pantai-pantai yang ditumbuhi pohon mangrove, dan memiliki warna hijau kotor. Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas yang oval dengan bagian depan yang memiliki 9 duri pada pada sisi kanan dan kiri, serta 6 duri di antara kedua matanya (Kordi 2012). Kedua matanya menempel di tepi bagian depan karapas yang juga dilengkapi dengan tangkai, sehingga kedua matanya dapat digerakgerakkan lebih leluasa. Jika ada gangguan dari luar, sebagai perlindungan matanya ditempelkan rapat-rapat ke kelopaknya, serta di antara kedua matanya ini terletak mulutnya (Soim 1994). Panjang karapasnya kurang lebih dua pertiga dari lebarnya, permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk berbintik kasar (Kordi 2012). Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit yang lebih besar daripada betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama (Kordi 2012). Namun, pada kepiting betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek (Soim 1994). Jika dalam keadaan normal capit kanan lebih besar dari capit kiri dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit (Kasry 1991). Kepiting bakau jantan memiliki abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan kepiting bakau betina dewasa memiliki abdomen yang agak membundar dan melebar (Kordi 2012). Membedakan jenis kelamin juga dapat dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3-10 cm berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh, setelah ukuran karapasnya mencapai cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30-35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama 22% (Soim 1994). Berikut Morfologi kepiting bakau (Gambar 2).

3 8 Sumber: Balai Uji Standar Karantina Ikan (2011) Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau Siklus Hidup dan Habitat Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri (Kanna 2002). Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tambak, setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan (Kasry 1991). Menurut Ditjen Perikanan (1994) proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Hasil pengamatan di lapangan, ternyata kepiting bakau juga melakukan perkawinan pada siang hari. Perkawinan biasanya terjadi pada saat suhu air naik. Menjelang perkawinannya, kepiting betina akan mengeluarkan cairan kimia perangsang, yaitu pheromone ke dalam air yang akan menarik perhatian kepiting kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan yang berhasil menemukan sumber pheromone tersebut akan naik ke atas karapas kepiting betina yang sedang berada dalam kondisi pralepas cangkang dan membantu kepiting betina untuk berganti kulit atau molting. Selama kepiting betina mengalami proses ganti kulit, kepiting jantan

4 9 akan melindunginya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina. Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, maka kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan kopulasi. Proses kopulasi biasanya berlangsung selama 7-12 jam dan hanya dapat berlangsung bila karapas kepiting betina dalam kondisi lunak. Spermatofor kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8 juta butir telur, bergantung dari ukuran dan umur kepiting (Kordi 2012). Menurut Nuansa (2010) sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan lagi. Namun, di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil karena faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya musuh alami. Kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun, bila kondisi ekologi mendukung (Kordi 2012). Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian perairan yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut (Kasry 1991). Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kanna 2002). Menurut Afrianto dan Liviawati (1992) untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari

5 10 tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pada fase megalops, proses pergantian kulit berlangsung relatif lama, yaitu setiap 15 hari. Kemudian menurut Kasry (1991) pada saat pertama kali kepiting ditetaskan suhu air laut umumnya berkisar C dan salinitas % 0, dan secara gradual salinitas dan suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas air yang rendah % 0 dan suhu di atas 10 0 C Kepiting bakau merupakan hewan khas hutan bakau atau ekosistem mangrove. Kepiting bakau dan seluruh suku Portunidae adalah hewan yang selalu berada di habitat berair karena alat pernapasannya berupa insang. Walaupun demikian, kepiting tidak selalu terendam dalam air karena sering juga ditemukan berada di tempat yang kering, namun lembab (Kordi 2012). Selain itu, ada beberapa jenis kepiting yang menyukai hidup di lingkungan berbatu, namun ada pula lebih senang hidup diantara akar tumbuh-tumbuhan air (Afrianto dan Liviawaty 1992). Kemudian ada juga kepiting yang hidup di laut, umumnya di zona littoral dan sebagian kecil hidup di laut dalam (Kasry 1991) Kebiasaan Makan Juvenil kepiting muda jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur, sedangkan kepiting bakau dewasa biasanya keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Kepiting bakau dalam semalam mampu mencapai jarak m untuk aktivitasnya mencari makan. Kepiting bakau kembali membenamkan diri ketika matahari akan terbit, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (Soim 1994). Kepiting adalah hewan yang hidup di dasar perairan dan merupakan karnivor (Kordi 2012). Kepiting yang masih berbentuk larva menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting yang juga relatif kecil. Jika telah mencapai fase megalops, kepiting menyukai organisme yang berukuran relatif lebih besar. Kepiting yang telah dewasa lebih senang memakan daging, bahkan bangkai juga disukainya

6 11 (Afrianto dan Liviawaty 1992). Menurut Kasry (1991) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit, selanjutnya merobek-robek makanannya. Makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya, didalam mulut makanan tidak langsung masuk ke dalam perut tetapi disaring dahulu dan hanya bahannya yang dapat dimakan yang terus masuk ke dalam perut (Afrianto dan Liviawati 1992) Sistem Budidaya Pemilihan lokasi merupakan salah satu unsur penting dalam usaha budi daya kepiting. Lokasi yang sesuai merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha budi daya kepiting. Hal ini tidak hanya memberikan produksi yang maksimal, tetapi juga memudahkan dalam pengelolaannya. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi budi daya kepiting yaitu tersedianya sumber air yang terpenuhi syarat mutu dan jumlahnya, tipe dan tekstur tanah yang baik, tersedianya pakan yang cukup, dekat dengan sarana dan prasarana produksi, pasar yang baik, dan tersedianya tenaga lapangan yang terampil (Soim 1994). Budidaya kepiting bakau selain pemilihan lokasi tambak juga, tambak harus dilengkapi dengan pagar pengaman yang dibuat dari bambu atau seng. Pagar pengaman dimaksudkan untuk mencegah kepiting memanjat atau keluar tambak. Kebiasaan lain kepiting adalah menggali tanah. Karena itu, jika tanah pematang merupakan tanah yang mudah tergerus oleh air atau mudah digali kepiting, sebaiknya pemagaran dilakukan hingga ke dasar pematang, dengan demikian kebocoran tambak akibat digali kepiting dapat dicegah (Kordi 2012) Budidaya kepiting bakau di tambak dapat diterapkan untuk pembesaran, penggemukan, maupun produksi kepiting soka atau kepiting bertubuh lunak (Kordi 2012). Tambak kepiting diusahakan mempunyai kedalaman ± 1 meter dengan salinitas air antara % 0, ph 6,5-8,5. Bebas dari pencemaran dan pengaruh banjir, dapat terjangkau pasang surut dan dekat dengan saluran air untuk memudahkan dalam pergantian air. Kemudian tekstur tanah lumpur liat berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 20% atau tanah liat berlumpur dan tidak bocor (Kanna 2002).

7 12 Kepiting bakau telah berhasil dibenihkan di bak-bak terkontrol, walaupun tingkat kematian larva dan benih relatif masih tinggi. Calon induk kepiting bakau dapat diperoleh dari hasil penangkapan di alam atau dari hasil pembesaran. Kepiting bakau sudah dapat dipijahkan pada umur bulan atau mencapai ukuran lebar karapas mm dan berat g. Kepiting bakau yang dipilih untuk calon induk harus sehat, nafsu makannya tinggi, dan tidak cacat (Kordi 2012). Tambak diisi air sampai ketinggian mencapai 40 cm, penebaran benih sudah dapat dilakukan. Benih kepiting bakau berukuran rata-rata g/ekor atau dengan panjang karapas 2-3 cm ditebar dengan kepadatan 3-5 ekor/m 2 atau ekor/ha. Jika ukuran benih yang ditebar lebih besar, misalnya g/ekor, padat penebaran diturunkan menjadi 2-3 ekor/m 2. Padat penebaran dapat ditingkatkan hingga 8-9 ekor/m 2 untuk benih berukuran g/ekor, jika tambak dikelola secara intensif dengan pergantian air 20-30% setiap hari (Kordi 2012). Tambak tradisional agar dapat menunjang pertumbuhan kepiting maka air kolam juga perlu diganti, ketika air laut sedang pasang maka air dimasukkan ke kolam dan bila air laut surut air kolam dikeluarkan (Soim 1994) 2.2 Pakan Buatan dan Kebutuhan Nutrien Pakan dalam usaha budidaya kepiting bakau dapat berupa pakan alami dan pakan buatan. Ikan rucah merupakan pakan alami atau pakan segar yang umumnya digunakan sebagai pakan utama dalam usaha budidaya kepiting bakau, karena dianggap dapat menghasilkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan pakan buatan. Permasalahan dalam penyediaan ikan rucah, yaitu pengaruh musim dan masa simpan yang pendek diduga dapat membantu penyebaran penyakit. Keunggulan pakan buatan dibandingkan dengan ikan rucah atau pakan alami, diantaranya adalah mutu pakan yang stabil, kandungan gizi yang lengkap dan seimbang, serta kemudahan dalam penyimpanan dan distribusi (Aditya et al. 2012). Pakan buatan adalah pakan yang sengaja disiapkan dan dibuat, pakan ini terdiri dari ramuan beberapa bahan baku yang kemudian diproses lebih lanjut

8 13 sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya (Mudjiman 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa dengan meramu berbagai macam bahan makanan maka nilai gizi pakan dapat diatur, demikian pula terhadap selera makan. Pakan buatan untuk hewan uji berasal dari satu atau berbagai macam bahan baik berupa nabati, hewani, maupun hasil sampingan industri pengolahan hasil-hasil pertanian (Dwinhoven 2012). Bahan-bahan tersebut harus memenuhi beberapa syarat seperti mempunyai nilai gizi tinggi, mudah diperoleh, mudah diolah, tidak mengandung racun, harganya relatif murah, dan tidak merupakan makanan pokok manusia, sehingga tidak merupakan saingan (Mudjiman 2008). Kepiting bakau membutuhkan energi untuk pertumbuhan. Kebutuhan nutrien kepiting meliputi protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Kisaran komposisi nutrien dalam pakan kepiting adalah protein 34-54%, lemak 4,8-10,8%, serat 2,1-4,3%, BETN 18,7-42,5%, dan abu 0,6-22,0% (Anderson et al. 2004). Kadar air untuk pakan kepiting yang baik adalah kadar air kurang dari 10 % (Dwinhoven 2012). Protein merupakan bahan struktural (bahan pembangun) utama pada hewan, atau senyawa organik yang bermolekul besar, juga protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan terkadang mengandung belerang. Mutu protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta oleh kandungan asam aminonya (Mudjiman 1989). Kebutuhan kepiting akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya ukuran, temperatur air, jumlah pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein. Formula pakan kepiting bakau harus mencukupi kebutuhan gizi kepiting yang dibudidayakan, seperti: protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta bahan perekat perlu diperhatikan kandungan energinya. Mutu pakan akan tergantung pada tingkatan dari bahan gizi yang dibutuhkan oleh kepiting (Dwinhoven 2012). 2.3 Cangkang Kepiting Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan yang dihasilkan dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya. Pemanfaatan sumber daya udang windu dan kepiting bakau menghasilkan limbah yang berupa kulit,

9 14 kepala, ekor, dan karapas (Supriyantini 2007). Menurut Wahyuni (2003) kepiting hanya dikonsumsi dagingnya saja yang rata-rata 20% dari beratnya, sehingga 80% berupa limbah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air yang disebabkan kandungan BOD, COD dan TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi (Harianingsih 2010). Limbah kulit udang dan kepiting mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Supriyantini 2007). Menurut Aslamyah dan Fujaya (2010), kandungan protein cangkang kepiting 19,00%, lemak 7,00%, BETN 55,97%, serat kasar 11,50%, abu 6,53%, dan air 7,04%. Kemudian menurut Darmawan et al. (2007) kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%), dan kitin (18,70-32,20%) hal ini tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya. Hasil penelitian Lesbani et al. (2011), kadar abu cangkang kepiting 70,493%, air 8,725%, magnesium 1,136 mg/g, kalsium 0,260 mg/g, seng 0,669 mg/g, tembaga 0,004 mg/g, natrium 17,672 mg/g, silika oksida 0,018 mg/g. Berikut ini cangkang kepiting yang di gunakan dalam penelitian (Gambar 3). Gambar 3. Cangkang Kepiting 2.4 Ikan Rucah Beberapa jenis pakan alami yang bisa diberikan pada kepiting antara lain kerang, ikan rucah, bekicot dan keong sawah (Nurdin dan Armando 2010). Pakan ikan rucah segar mudah tenggelam sehingga peluang dimakan kepiting lebih besar karena kepiting lebih suka mencari makan di dasar tambak (Soim 1994). Ikan

10 15 rucah bisa diperoleh di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Ikan-ikan tersebut biasanya secara ekonomis nilainya jauh lebih rendah dibandingkan ikan pokoknya. Pakan alami yang diandalkan dalam budidaya sidat, kepiting bakau, dan rajungan adalah ikan rucah seperti ikan teri (Stolephorus heterolobus, S. baganensis, S. indicus), tembang (Sardinella fimbriata), selar (Selaroides leptolepsis), petek/tatameri (Secutor ruconius, Gazza minuta, Leiognathus splendens), lamuru (Sardinella sirm), dan lain-lain (Kordi 2012). Namun, dalam penelitian ini ikan rucah yang digunakan untuk pakan pada budidaya kepiting yaitu ikan petek. Morfologi ikan petek yaitu bentuk badan ikan agak lebar, pipih, mulut lurus, bila ditarik ke depan membentuk corong serong ke bawah. Kandungan nutrisi ikan petek cukup tinggi, diantaranya: kadar air (9,22%), kadar abu (24,73%), kadar protein (54,98%), dan kadar lemak (4,51%) (Adityana 2007). Berikut ikan rucah yang digunakan dalam penelitian (Gambar 4) Gambar 4. Ikan Petek 2.5 Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Effendi (1997) menyatakan pertumbuhan didefinisikan sebagai penambahan ukuran, panjang atau bobot ikan dalam kurun waktu yang dipengaruhi pakan tersedia, jumlah ikan yang mengkonsumsi pakan, suhu, umur, dan ukuran ikan. Pertumbuhan merupakan salah satu kriteria yang paling penting untuk pengukuran respon ikan terhadap pakan, meskipun dapat diteliti dan mudah diukur, pertumbuhan merupakan salah satu aspek kehidupan yang rumit dari suatu organisme (Subakti 2008). Pertumbuhan merupakan hasil bersih dari rangkaian proses pencernaan dan tingkah laku ikan yang dimulai dengan intake pakan (konsumsi) dan diakhiri oleh deposit jaringan tubuh, dimana sistem sekresi mempengaruhi hasil akhir dari

11 16 pertumbuhan tersebut. Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan input energi dan protein yang berasal dari makanan. Pada hewan krustasea tingkat pertumbuhan dapat diukur dengan menghitung pertambahan berat atau panjang karapas per periode waktu tertentu (Subakti 2008). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, jenis kelamin, umur, ketahanan terhadap parasit dan penyakit serta kemampuan memanfaatkan makanan. Faktor eksternal yaitu makanan, kondisi fisik dan kimia perairan, kuantitas dan kualitas pakan serta ruang gerak (Effendi 1997). Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersediaan makanan. Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan ikan untuk hidup dan tumbuh. Menurut Zaidy (2007) pakan yang masuk ke dalam tubuh kepiting akan digunakan sebagai sumber energi (metabolisme) untuk menggerakkan semua fungsi tubuh dan bahan untuk pembangunan biomassa tubuh (anabolisme). Peningkatan biomassa kepiting bergantung pada energi yang tersedia dalam tubuh kepiting dan ke mana energi tersebut didistribusikan serta digunakan dalam tubuh. Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tiga fase yaitu: fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat zoea I, II, III, IV, V dan megalopa, sedangkan pada fase kepiting dikenal dengan tingkat kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur merujuk pada tingkat kematangan indung telur (Kasry 1991). Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan kepiting dikelompokkan menjadi kepiting juwana, kepiting muda, dan kepiting dewasa, yang masing-masing berukuran mm, mm, dan mm (Kordi 2012). Jumlah makanan yang dimakan oleh seekor ikan, kurang lebih hanya 10% saja yang dapat digunakan untuk pertumbuhan atau penambahan bobot badan, selebihnya makanan tersebut digunakan untuk pemeliharaan tubuh atau memang tidak dapat dicerna. Jumlah bobot makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan atau penambahan bobot badan itu disebut nilai ubah makanan atau konversi makanan (Mudjiman 2008).

12 17 Jumlah makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan penambahan berat daging ikan sebanyak 1 kg disebut faktor konversi. Jadi apabila untuk menambah berat 1 kg daging itu dibutuhkan 5 kg makanan, maka berarti faktor konversi makanan yang bersangkutan adalah 5. Tergantung pada macam makanannya, faktor konversi pada ikan berkisar antara 1,5-8. Makanan nabati faktor konversinya lebih besar daripada makanan hewani, ini berarti untuk menambah berat 1 kg daging ikan dibutuhkan makanan nabati lebih banyak daripada makanan hewani (Mudjiman 2008). 2.6 Kualitas Air untuk Pemeliharaan Kepiting Bakau Kualitas air merupakan media yang paling penting dalam usaha budidaya kepiting bakau. Pengelolaan kualitas air merupakan suatu usaha untuk mengusahakan dan mempertahankan agar air tersebut tetap berkualitas dan dapat dimanfaatkan untuk budidaya. Beberapa parameter penting yang perlu dikontrol, yaitu: suhu, ph, salinitas, DO, dan amoniak. Kualitas air untuk pemeliharaan kepiting bakau yaitu suhu, ph, salinitas, DO, dan amoniak disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kualitas Air untuk Pemeliharaan Kepiting Bakau Parameter Nilai yang dianjurkan Suhu C 1) ph 7,0-8,5 1) Salinitas ) / 00 DO 4-7 ppm 1) Amoniak 0,1 ppm 2) Sumber : Kordi (2012) 1) Kuntinyo et al. (1994) 2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan pantai yang banyak disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang enak, terutama daging kepiting yang sedang bertelur,

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara produksi udang terbesar di dunia, namun produksi tambak udang di Indonesia sejak tahun 1992 mengalami penurunan. Peristiwa penurunan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau besar dan pulau kecil, serta garis pantai sepanjang 81.000 km yang didalamnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan untuk konsumsi adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan untuk konsumsi adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budidaya Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan merupakan hewan yang hidup di air, baik air laut, air payau atau air tawar. Ikan juga merupakan bahan makanan yang banyak

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin Siam Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

Lebih terperinci

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Oleh: Ibnu Sahidhir Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee 2011 Biologi Benih Kerapu Pemakan daging Pendiam,

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Lukito (2002), adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Pisces

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Oleh : Rangga Ongky Wibowo (10.11.4041) S1Ti 2G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012 Kata Pengantar... Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL

BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL Siapa yang tak kenal ikan lele, ikan ini hidup di air tawar dan sudah lazim dijumpai di seluruh penjuru nusantara. Ikan ini banyak dikonsumsi karena rasanya yang enak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Kepiting bakau (Scylla serrata) pada banyak temapat dalam wilayah Indo-Pasifik dikenal dengan berbagai nama. Di Jawa masyarakat mengenalnya dengan nama Kepiting

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian. Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian Perlakuan A B C Ulangan L P (gr/hari) L K (cm) P K (cm) L P (gr/hari) L K

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk

BAB I PENDAHULUAN. berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran masyarakat akan konsumsi ikan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebutnya sebagai Red Belly Pacu karena bagian perutnya yang berwarna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebutnya sebagai Red Belly Pacu karena bagian perutnya yang berwarna BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) Ikan bawal (Colossoma macropomum) berasal dari negeri Samba, Brazil. Di Negara asalnya ikan ini disebut Tambaqui. Di Amerika dan Inggris

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Lele Sangkuriang Lele Sangkuriang merupakan jenis lele hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik (back cross) antara induk betina generasi kedua (F2) dengan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan tepung cangkang kepiting dan pelet dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak dan Makanan Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Geneticaly Improvement of Farmed Tilapia). Klasifikasi ikan nila GIFT menurut. Khoiruman dan Amri (2005) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. (Geneticaly Improvement of Farmed Tilapia). Klasifikasi ikan nila GIFT menurut. Khoiruman dan Amri (2005) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nila GIFT 2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila Gift Ikan nila yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain nila GIFT (Geneticaly Improvement of Farmed Tilapia). Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO PELUANG BISNIS YANG MENJANJIKAN

BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO PELUANG BISNIS YANG MENJANJIKAN BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO PELUANG BISNIS YANG MENJANJIKAN TUGAS LINGKUNGAN BISNIS NAMA :MARIUS KORBIANO NERUM KELAS : SI.S1.2J NIM : 10.12.5055 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA II.PELUANG BISNIS TAMBAK IKAN LELE

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berupa potensi hayati maupun non hayati. Sumberdaya kelautan tersebut dapat

I. PENDAHULUAN. berupa potensi hayati maupun non hayati. Sumberdaya kelautan tersebut dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya kelautan yang melimpah, baik berupa potensi hayati maupun non hayati. Sumberdaya kelautan tersebut dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Balakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Balakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Balakang Ikan lele merupakan salah satu hasil perikanan budidaya yang menempati urutan teratas dalam jumlah produksi yang dihasilkan. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Lobster Air Tawar Capit Merah (Cherax quadricarinatus von Martens)

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Lobster Air Tawar Capit Merah (Cherax quadricarinatus von Martens) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Lobster Air Tawar Capit Merah (Cherax quadricarinatus von Martens) Holthuis (1991) dan Merrich (1993) mengklasifikasikan lobster air tawar capit merah ke dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah. Subordo : Siluroidae

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah. Subordo : Siluroidae BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus var) Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah sebagai berikut : Phylum

Lebih terperinci

USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan)

USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan) USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan) Melalui berbagai media komunikasi pemerintah selalu menganjurkan kepada masyarakat untuk makan ikan. Tujuannya adalah untuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lkan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan nila

I. PENDAHULUAN. lkan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan nila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang lkan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan nila berdaging padat, tidak mempunyai banyak duri, mudah disajikan dan mudah didapatkan di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO Oleh : R. muhammad Taufiq Sujatmikanto 11.01.2893 11/D3TI/02 SEKOLAH TINGGI MANAJEMENT INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2012 Jl. Ring Road

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (Scylla Serrata Forskal) TERHADAP SALINITAS DAN JENIS PAKAN SEGAR

RESPON PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (Scylla Serrata Forskal) TERHADAP SALINITAS DAN JENIS PAKAN SEGAR RESPON PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (Scylla Serrata Forskal) TERHADAP SALINITAS DAN JENIS PAKAN SEGAR Sri Oetami Madyowati Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

Bisnis Budidaya Ikan Bawal

Bisnis Budidaya Ikan Bawal Bisnis Budidaya Ikan Bawal Nama : Anung Aninditha Nim : 10.11.3944 Kelas : S1.TI.2F STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAK Ikan bawal merupakan jenis ikan yang cukup poluper di pasar ikan konsumsi. Selain

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.) Ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) adalah salah satu komoditas budidaya air tawar yang tergolong dalam famili ikan Labirin (Anabantidae).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki topografi bervariasi, seperti waduk, telaga, sungai, dan rawa yang terbentuk secara alami maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi, Habitat dan Kebiasaan Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi, Habitat dan Kebiasaan Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi, Habitat dan Kebiasaan Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum: Vertebrata

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) merupakan spesies ikan yang potensial untuk dibudidayakan baik di kolam maupun di keramba.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daphnia sp 2.1.1 Klasifikasi Daphnia sp. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang hidup secara umum di perairan tawar (Pangkey 2009). Beberapa

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M : LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS NAMA KELAS : IMADUDIN ATHIF : S1-SI-02 N.I.M : 11.12.5452 KELOMPOK : G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lemak omega 3 yang ada pada ikan (Sutrisno, Santoso, Antoro, 2000).

I. PENDAHULUAN. lemak omega 3 yang ada pada ikan (Sutrisno, Santoso, Antoro, 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor perikanan di Indonesia berpotensi bagi perkembangan dunia usaha khususnya sebagai komoditas perdagangan dan sumber pangan. Permintaan pasar akan produksi perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing sutra (Tubifex. sp) merupakan pakan alami yang rata-rata berukuran panjang 1-3 cm. Ukurannya yang kecil membuat pembudidaya memilih cacing sutra sebagai pakan ikan

Lebih terperinci