VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL"

Transkripsi

1 VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL Sektor ekonomi kakao yang sebenarnya merupakan bagian dari sub sektor perkebunan dan bagian dari sektor pertanian dalam arti luas mempunyai pangsa PDRB lebih dari 5% dan melebihi pangsa beberapa sektor ekonomi dalam struktur perekonomian regional 9 sektor yang mengacu pada Sistem National Accounts 1968 (SNA68). Kondisi ini menggambarkan bahwa kakao sebagai sub dari sub sektor perkebunan mempunyai peran yang lebih besar dalam menghasilkan PDRB dari pada suatu sektor ekonomi seperti sektor Bank dan Lembaga Keuangan, sektor Bangunan dan sektor Listrik, gas dan air. Demikian pula halnya dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 2004a). Namun peran tersebut masih belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya karena biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi belum diperhitungkan. Biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi yang berhasil diidentifikasi sebagai biaya eksternalitas adalah sebesar Rp 1,764 triliun. Nilai biaya eksternalitas tersebut secara regional relatif kecil karena hanya sebesar 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun jika diperhatikan pada setiap sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas maka akan tampak bahwa biaya eksternalitas yang dihasilkan oleh masing-masing sektor relatif besar yaitu lebih dari 5% nilai outputnya. Sektor ekonomi kakao dalam proses produksinya menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas sebesar 10,95%. Jika biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut diperhitungkan dan digunakan untuk mengkoreksi nilai outputnya maka akan berpengaruh cukup nyata terhadap pangsa PDRB kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di samping itu, karena sebagian besar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut adalah kehilangan unsur hara akibat erosi, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas perkebunan kakao jika petani tidak memberikan masukan input pupuk yang memadai sebagai pengganti unsur hara yang hilang.

2 145 Pada saat penelitian ini dilakukan, produktivitas perkebunan kakao rakyat di Sulawesi Selatan hanya sekitar 40-50% dari produktivitas potensialnya. Hal ini terjadi karena pengelolaan perkebunan kakao yang dilakukan oleh petani belum sesuai dengan standar teknis budidaya yang dianjurkan, terutama dalam hal pemupukan dan pemeliharaan kebun. Perkebunankan kakao rakyat umumnya tidak dipupuk dan tidak dipelihara dengan baik, sehingga sebagian besar perkebunan kakao di Sulawesi Selatan tidak ubahnya seperti hutan kakao. Dengan kondisi perkebunan kakao yang demikian menyebabkan berbagai gangguan hama penyakit tanaman kakao sulit dikendalikan. Permasalahan hama penyakit tanaman kakao yang paling berat dihadapi petani adalah serangan hama PBK. Pada saat ini hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi petani. Kerugian yang terus menerus akibat serangan hama PBK tersebut menyebabkan perkebunan kakao petani makin tidak terpelihara dan menjadi rusak. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut dampak internalisasi biaya ekstrnalitas dan dampak serangan hama PBK terhadap perekonomian regional Sulawesi Selatan Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Output Internalisasi biaya eksternalitas dari berbagai sektor ekonomi menimbulkan perubahan terhadap nilai output dan PDRB serta nilai pengganda output, pengganda pendapatan, dan pengganda tenaga kerja serta nilai indeks keterkaitan antar sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan. Arah perubahannya sangat tergantung pada besarnya beban biaya eksternalitas dan lemah-kuatnya keterkaitan antar sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Internalisasi biaya Eksternalitas menyebabkan penurunan nilai output dari beberapa sektor ekonomi yang menanggung beban biaya eksternalitas lingkungan. Total biaya eksternalitas yang teridentifikasi mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Biaya eksternalitas tertinggi dihasilkan sektor ekonomi perkebunan selain kopi dan kakao, tetapi karena

3 146 perbedaan nilai outputnya dengan output sektor ekonomi yang berada di bawahnya cukup besar, maka penurunan nilai output perkebunan selain kopi dan kakao tersebut tidak menyebabkan terjadinya pergeseran posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Demikian juga sektor-sektor lain seperti sektor ekonomi kakao, peternakan, tanaman bahan makanan lainnya dan sektor industri semen tidak mengalami perubahan posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Penggeseran posisi/peringkat dalam menghasilkan output terjadi pada sektor padi dan kopi. Sektor padi yang mempunyai biaya eksternalitas relatif besar tergeser dari posisi ke-4 ke posisi ke-6 dan sektor kopi tergeser dari posisi 23 ke posisi 24 (Tabel 24). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda output, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami penurunan nilai pengganda output dan penurunan pengganda output yang cukup besar dialami sektor-sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil eksternalitas sebagai input produksinya. Penurunan nilai pengganda output yang cukup besar dialami oleh sektor industri kopi giling dan kupasan diikuti sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula, sektor industri makanan dan minuman serta sektor bangunan (Lampiran 7). Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan nilai pengganda output yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang menggunakan output sektor penghasil eksternalitas sebagai bahan bakunya dan sebaliknya nilai pengganda output yang lebih kecil dari yang seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas. Apabila indikator pengganda output yang dijadikan penentu kebijakan dan sektor ekonomi pengguna output dari sektor penghasil eksternalitas yang menjadi sektor unggulan, maka upaya memacu pertumbuhan sektor unggulan dapat menarik

4 147 pertumbuhan sektor penghasil eksternalitas, sehingga biaya eksternalitas perekonomian regional makin besar. Tabel 24. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Peringkat Nama Sektor Ekonomi Output IO-K (Rp juta) (%) Nama Sektor Ekonomi Output IO-E (Rp juta) (%) 1 Ind. Makanan & minuman ,16 Ind Makanan & minuman ,58 2 Perdag-Hotel-Rst ,02 Perdag-Hotel-Rst ,36 3 Jasa Pemerintahn ,49 Jasa Pemerintahn ,73 4 Padi ,98 Bangunan ,00 5 Bangunan ,82 Angkutan-Kmnks ,83 6 Angkutan-Kmnks ,66 Padi ,70 7 Industri lainnya ,10 Industri lainnya ,24 8 Tabama lainnya ,50 Tabama lainnya ,59 9 Tambang nekel ,40 Tambang nekel ,52 10 Bank-Lkeuangan ,27 Bank-Lkeuangan ,38 11 Industri semen ,77 Industri semen ,64 12 Kakao ,70 Kakao ,38 13 Perkeb. Lainnya ,41 Perkeb. Lainnya ,40 14 Budidaya udang ,23 Budidaya udang ,29 15 Perikan laut ,08 Perikan laut ,13 16 Listrik, Gas, Air ,34 Listrik, Gas, Air ,37 17 Ind kopi giling dan kupasan ,16 Ind kopi giling & kupasan ,19 18 Budidaya bandeng & ikan ,05 Budidaya bandeng & ikan ,08 19 Peternakan ,01 Peternakan ,96 20 Ind biji-an, cokelat&k gula ,83 Ind biji-an, cokelat&k gula ,85 21 Jasa Lainnya ,73 Jasa Lainnya ,74 22 Tambang & Gln lainnya ,63 Tambang & Gln lainnya ,65 23 Kopi ,41 Kehutanan ,17 24 Kehutanan ,17 Kopi ,16 25 Industri pupuk pestisida ,07 Industri pupuk pestisida ,07 Jumlah ,00 Jumlah ,00 Keterangan: IO-K = IO konvensional; IO-E= IO dikoreksi biaya eksternalitas Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap PDRB Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan penurunan nilai PDRB Sulawesi Selatan tahun 2003 dari Rp 42,868 triliun menjadi Rp 41,997 triliun atau turun sebesar Rp 871 milyar (2,03%). Penurunan nilai PDRB tersebut merupakan akumulasi dari penurunan dan peningkatan nilai PDRB berbagai sektor ekonomi. Suatu sektor ekonomi mengalami penurunan nilai PDRB akibat pembebanan biaya

5 148 eksternalitas dari sektor yang bersangkutan. Namun pembebanan eksternalitas pada sektor tersebut akan meningkatkan nilai PDRB sektor lainnya yang menggunakan output sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas tersebut sebagai input produksinya. Hal ini terjadi karena sebelum ada koreksi biaya eksternalitas, sektor pengguna output dari sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas telah membayar harga input yang lebih tinggi dibandingkan dengan setelah adanya koreksi biaya eksternalitas (Tabel 25). Tabel 25. Posisi PDRB berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Pering kat Nama Sektor Ekonomi PDRB-K (Rp juta) (%) Nama Sektor Ekonomi PDRB-E (Rp juta) (%) 1 Perdag-Hotel-Rst ,82 Perdag-Hotel-Rst 6,359, Jasa Pemerintahn ,73 Jasa Pemerintahn 4,600, Padi ,93 Padi 3,949, Angkutan-Kmnks ,66 Angkutan-Kmnks 2,855, Tabama lainnya ,66 Tabama lainnya 2,833, Tambang nekel ,44 Tambang nekel 2,759, Kakao ,21 Indust Makanan & minuman 2,122, Bank-Lkeuangan ,92 Bank-Lkeuangan 2,109, Perkeb. Lainnya ,71 Bangunan 1,959, Bangunan ,36 Kakao 1,952, Industri semen ,12 Industri lainnya 1,654, Industri lainnya ,81 Industri semen 1,609, Indust Makanan & minuman ,77 Perkeb. Lainnya 1,282, Budidaya udang ,96 Budidaya udang 1,270, Perikan laut ,90 Perikan laut 1,243, Peternakan ,41 Budidaya bandeng, & ikan 602, Budidaya bandeng, & ikan ,41 Indkopi giling & kupasan 573, Listrik, Gas, Air ,11 Peternakan 556, Ind kopi giling dan kupasan ,97 Listrik, Gas, Air 474, Tambang & Gln lainnya ,87 Tambang & Gln lainnya 373, Jasa Lainnya ,78 Ind. biji-an, cokelat & k.gula 343, Ind. biji-an, cokelat&k gula ,63 Jasa Lainnya 333, Kopi ,54 Kehutanan 102, Kehutanan ,24 Kopi 57, Industri pupuk pestisida ,04 Industri pupuk pestisida 16, Jumlah ,00 Jumlah 41,997, Keterangan: PDRB-K = Produk Domestik Regional Bruto IO-konvensional; PDRB-E= Produk Domestik Regional Bruto IO- dikoreksi biaya eksternalitas.

6 149 Pada Tabel 25 tersebut tampak bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan struktur perekonomian Sulawesi Selatan mengalami sedikit perubahan. Sektor ekonomi kakao mengalami penurunan kontribusi sebesar Rp 281,70 milyar atau 12,61%, sehingga peringkatnya dalam menghasilkan nilai PDRB tergeser dari posisi 7 ke posisi 10. Namun pergeseran posisi sektor ekonomi kakao tersebut tidak setajam penurunan sektor ekonomi perkebunan lainnya yang merosot dari posisi 9 ke posisi 13. Tajamnya penurunan posisi sektor ekonomi perkebunan lainnya tersebut terutama disebabkan oleh besarnya biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan relatif kecilnya selisih nilai PDRBnya dengan sektor ekonomi peringkat dibawahnya. Sektor ekonomi perkebunan lainnya menimbulkan biaya eksternalitas terbesar diantara berbagai sektor ekonomi regional Sulawesi Selatan. Sementara itu, sektor-sektor yang mengalami peningkatan PDRB antara lain sektor industri makanan dan minuman, sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula. Sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai PDRB yang paling besar adalah sektor industri makanan dan minuman yaitu sebesar Rp 507,01 milyar. Sektor berikutnya yang memperoleh kenaikan nilai PDRB yang cukup besar adalah sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula dengan peningkatan nilai PDRB masing-masing sebesar Rp 156,00 milyar, Rp 88,96 milyar dan Rp 72,71 milyar. Namun dilihat dari nisbah peningkatannya, maka sektor yang paling tinggi peningkatannya adalah sektor industri kopi giling dan kupasan yang meningkat 37,33%, disusul industri makanan dan minuman yang meningkat 31,39%, sektor sektor industri biji-bijan, cokelat & kembang gula 26,87% dan sektor bangunan 4,76%. Lebih lanjut, internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami penurunan, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda pendapatan. Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan

7 150 nilai pengganda pendapatan yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang memiliki beban biaya eksternalitas dan sebaliknya nilai pengganda pendapatan yang lebih kecil dari seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang tidak menghasilkan biaya eksternalitas (Lampiran 8). Data IO Sulawesi Selatan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata antara IO konvensional dengan IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas karena nilai pengganda pendapatan sektorsektor ekonomi yang mempunyai beban eksternalitas berada pada posisi pertengahan dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis, sehingga koreksi biaya eksternalitas tidak menimbulkan perubahan yang nyata. Meskipun demikian adanya perbedaan hasil analisis yang mengindikasikan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil eksternalitas yang lebih tinggi (over estimate) pada IO konvensiaonal dibanding IO dikoreksi biaya eksternalitas Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Tenaga Kerja Dan Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi Internalisasi biaya eksternalitas tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, tetapi berpengaruh pada nilai pengganda tenaga kerja. Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda tenaga kerja semua sektor ekonomi mengalami peningkatan kecuali sektor kehutanan dan sektor industri pupuk dan pestisida yang nilai pengganda tenaga kerjanya tetap. Jika diperhatikan lebih lanjut tampak bahwa besarnya peningkatan nilai pengganda tenaga kerja akibat internalisasi biaya eksternalitas sangat erat kaitannya dengan besarnya beban biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan keterkaitan suatu sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Sektor kopi, perkebunan lainnya, kakao, padi dan sekto peternakan merupakan sektor-sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang cukup besar karena memiliki biaya eksternalitas, sementara sektor industri kopi giling dan kupasan, industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula dan sektor industri makanan minuman mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang relatif besar

8 151 karena mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sektor penghasil biaya eksternalitas (Lampiran 9). Selanjutnya jika diperhatikan nilai indeks keterkaitan antar sektor yang dinormalisasi (koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran), maka akan tampak bahwa sektor-sektor yang mempunyai beban biaya eksternalitas akan mengalami peningkatan nilai koefisien penyebaran (indeks keterkaitan ke belakang), kecuali sektor tabama lainnya. Sebaliknya sektor-sektor yang tidak mempunyai beban eksternalitas mengalami penurunan nilai koefisien penyebarannya. Sementara itu, nilai kepekaan penyebaran (indeks keterkaitan ke depan) sektor-sektor yang mempunyai eksternalitas cenderung mengalami penurunan kecuali sektor tabama lainnya yang mengalami peningkatan. Sektor ekonomi lainnya, kecuali perikanan laut, budidaya udang, budidaya bandeng dan ikan lainnya, tambang nikel, industri biji-bijian dan cokelat serta jasa pemerintahan cenderung mengalami peningkatan nilai kepekaan penyebarannya (Lampiran 10 dan 11). Sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya meningkat cukup besar terjadi pada sektor industri pupuk dan pestisida diikuti oleh sektor industri lainnya. Sedangkan sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya menurun cukup besar adalah sektor ekonomi kopi dan perkebunan lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan secara ringkas bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan terjadinya berbagai perubahan pada besaran output, PDRB dan nilai pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja, serta nilai koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran. Perubahan-perubahan tersebut meliputi: Penurunan output dan PDRB sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas serta peningkatan PDRB sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda output sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan penurunan nilai pengganda output sektor lainnya terutama sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Penurunan nilai pengganda pendapatan sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan peningkatan nilai pengganda pendapatan sektor lainnya khususnya sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda seluruh sektor ekonomi

9 152 terutama sektor penghasil eksternalitas; Dan peningkatan nilai koefisien penyebaran sektor penghasil eksternalitas dan penurunan nilai koefisien penyebaran sektor ekonomi lainnya. Dengan memperhatikan berbagai perubahan tersebut maka perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil analisis IO konvensional karena hasilnya dapat menyesatkan. Analisis IO-konvensional akan menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas dan pengganda pendapatan sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas, lebih besar dari hasil analisis IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas. Dengan kata lain analisis IO konvensional menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang terlalu tinggi (over estimate) dari yang seharusnya. Akibatnya jika nilai pengganda output dijadikan sebagai indikator dan sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi tersebut akan mempercepat pertumbuhan sektor penghasil biaya eksternalitas yang pada gilirannya akan memperbesar biaya eksternalitas perekonomian regional. Demikian pula halnya jika nilai pengganda pendapatan yang dijadikan sebagai acuan dan sektor penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi tersebut secara langsung akan memperbesar biaya eksternalitas perekonomian regional. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam menggunaka nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas.

10 Dampak Serangan Hama PBK Pada saat penelitian ini dilakukan, hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan sudah sangat merugikan petani kakao serta perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Mustafa 2005), serangan hama PBK telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan diperkirakan mencapai Rp 810 milyar per tahun. Nilai kerugian tersebut lebih dari 36,3% nilai PDRB kakao Sulawesi Selatan tahun Apabila serangan hama PBK tidak bisa dikendalikan maka produksi perkebunan kakao petani akan terus menurun dan perkebunan kakao akan ditelantarkan oleh petani yang pada gilirannya berbagai hama penyakit tanaman kakao lainnya akan menyerang dan mempercepat kerusakan perkebunan kakao petani Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Pendapatan Petani Hasil survei menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kakao petani di Kabupaten Mamuju dan Polman sebelum terserang hama PBK rata-rata kg/ha/tahun dengan kisaran antara 500 sampai kg/ha/tahun. Setelah terserang hama PBK, produktivitas perkebunan kakao petani mengalami penurunan rata-rata 50,11% dengan kisaran antara 10% sampai 90% dari produktivitas kebun sebelum terserang hama PBK. Penurunan produktivitas perkebunan kakao petani tersebut berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani karena perkebunan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan petani kakao rata-rata Rp 8,27 juta/kk/tahun, dimana 70,35% bersumber dari kebun kakao dan selebihnya bersumber dari luar usahatani sebesar 14,43%, usahatani padi sebesar 6,67%, ternak sebesar 4,38% dan usaha perkebunan lainnya sebesar 4,17%. Tingkat pendapatan petani tersebut relatif rendah karena sekitar 50% produksi kakao hilang akibat serangan hama PBK. Serangan hama PBK menyebabkan produksi kebun kakao petani hilang rata-rata sebesar 613,26 kg atau senilai Rp 7,51 juta/kk/tahun. Seandainya kehilangan produksi tersebut dapat

11 154 diselamatkan dan pendapatan dari sumber pendapatan lainnya tetap, maka pendapatan petani rata-rata mencapai Rp 15,78 juta/kk/tahun Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Perekonomian Regional Serangan hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan pada tahun Serangan hama PBK tersebut menyebar dengan cepat, sehingga dalam waktu singkat hampir seluruh perkebunan kakao Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan produktivitas perkebunan kakao petani terus menurun. Penurunan produktivitas perkebunan kakao akibat serangan hama PBK akhir-akhir ini semakin tajam. Pada periode produktivitas rata-rata perkebunan kakao Sulawesi Selatan mengalami penurunan sebesar 29,61% (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004a dan 2006). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kakao dan data statistik dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan dapat disusun suatu skenario dampak serangan hama PBK terhadap pangsa kakao dalam menghasilkan output maupun PDRB. Pada kondisi serangan hama PBK kurang terkendali, produksi kakao Sulawesi Selatan diskenariokan turun 25%, sedangkan untuk serangan hama PBK tidak terkendali diskenariokan produksi kakao turun 50% dan 75%. Berdasarkan skenario tersebut dengan menggunakan Tabel Input Output yang telah dikoreksi dengan biaya eksternalitas diperoleh hasil simulasi sebagai berikut. 1. Pada kondisi serangan hama PBK yang kurang terkendali akan terjadi penurunan produksi dan nilai output kakao sebesar 25% dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,727 triliun. Penurunan output tersebut berdampak langsung pada penurunan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor ekonomi kakao dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 1,377 triliun atau turun 29,44%. Penurunan output dan PDRB sektor ekonomi kakao tersebut menyebabkan terjadinya penurunan output total perekonomian regional Sulawesi Selatan sebesar 0,85% dan PDRB turun sebesar 1,37%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output tidak mengalami perubahan pada posisi 12, sedangkan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 12.

12 Apabila serangan hama PBK lebih ganas lagi dan tidak bisa dikendalikan, maka penurunan produksi kakao akan lebih tajam lagi yaitu antara 50% sampai dengan 75%. Pada kondisi penurunan produksi 50%, menyebabkan nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,1515 triliun dan PDRB kakao turun dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 802,79 milyar atau turun 58,88%. Penurunan produksi perkebunan kakao sebesar 50% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 1,69% dan PDRB turun sebesar 2,74%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output turun dari posisi 12 ke posisi 15 dan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi Lebih lanjut jika serangan hama PBK berdampak pada penurunan produksi hingga 75%, maka nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 575,65 milyar. Penurunan nilai output tersebut akan berdampak langsung pada penurunan PDRB dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 228,1 milyar atau turun 88,31%. Penurunan produksi perkebunan kakao sebesar 75% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 2,54% dan PDRB turun sebesar 4,11%. Peran kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan akan merosot tajam dari peringkat 12 penghasil output menjadi peringkat 20 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Demikian juga perannya dalam menghasilkan PDRB, peringkat sektor ekonomi kakao turun dari posisi 10 ke posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis dan peran kakao terhadap PDRB Sulawesi Selatan tinggal hanya sebesar 0,54%. Hasil simulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa serangan hama PBK yang sangat berat dan menimbulkan penurunan produksi kakao hingga 75% akan menyebabkan sektor ekonomi kakao kehilangan perannya dalam menghasilkan PDRB Sulawesi Selatan. Sektor ekonomi kakao hanya memberikan sumbangan sebesar 0,54% PDRB dan berada pada posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis.

13 Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Biaya Eksternalitas Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK telah menimbulkan kerugian bagi petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara kebun kakaonya menurun. Akibatnya perkebunan kakao petani menjadi terlantar dan rusak. Kerusakan perkebunan kakao petani tersebut dapat menyebabkan peningkatan erosi lahan, sehingga menimbulkan peningkatan biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Peningkatan biaya eksternalitas akibat peningkatan erosi lahan bisa mencapai Rp /ha/tahun. Nilai peningkatan biaya eksternalitas tersebut relatif kecil dibandingkan dengan nilai kerugian akibat langsung dari serangan hama PBK yang besarnya rata-rata mencapai Rp 5,3 juta/ha/tahun. Namun peningkatan biaya eksternalitas tersebut perlu diwaspadai karena biaya eksternalitas akibat erosi lahan bersifat akumulatif dengan berbagai dampak turunannya seperti makin meluasnya lahan kritis dan meningkatnya bahaya banjir. Permasalahan lain yang terkait dengan serangan hama PBK adalah adanya upaya petani untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao ke daerah yang terpencil atau kawasan hutan guna menghindari serangan hama PBK. Upaya petani tersebut mempercepat alih fungsi lahan hutan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Sementara itu, hasilnya hanya dapat dinikmati oleh petani dalam beberapa musim panen, kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya. Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulan kerugian ekonomi bagi petani maupun perekonomian regional, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga memperbesar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak terbatas hanya pada kerusakan kebun yang telah ada, tetapi juga menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan akibat adanya alih fungsi lahan hutan ke perkebunan kakao.

14 157 Mengingat biaya investasi yang telah ditanamkan oleh petani untuk membangun perkebunan kakao cukup besar dan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani, maka upaya pengendalian serangan hama PBK merupakan langkah yang sangat strategis. Pengendalian hama PBK akan menyelamatkan perkebunan kakao dari kehancuran yang berarti akan menyelamatkan investasi yang sudah ditanamkan oleh petani sekaligus meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Oleh karena itu berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi oleh petani perlu segera diatasi dan uluran tangan pemerintah daerah sangat dibutuhkan oleh petani, terutama membantu petani dalam pengendalian hama PBK dan pendanaan untuk merehabilitasi perkebunan kakao petani yang rusak. Sehubungan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan dapat menggerakkan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh serta memfasilitasi agar program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dapat terlaksana di daerah ini. Sebagai bahan masukan, berikut ini akan disajikan hasil kajian untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 01/07/1204/Th. XII, 5 Juli 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2012 sebesar 6,35 persen mengalami

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 1/8/124/Th. XIII, 25 Agustus 214 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 213 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 213 sebesar 6,85 persen mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan implementasi serta bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak akan lepas dari peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. A 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis 21 sektor perekonomian pada tabel Input-Ouput Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 dan 2008 pada penelittian ini, beberapa kesimpulan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berkawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam upaya

I. PENDAHULUAN. untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam upaya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi negara berkembang seperti Indonesia landasan pembangunan ekonomi negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman pangan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 63/11/73/Th. VIII, 5 November 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 6,06 PERSEN Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan III tahun 2014 yang diukur

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/05/72/Thn XIV, 25 Mei 2011 PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2011 MENGALAMI KONTRAKSI/TUMBUH MINUS 3,71 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau regional khususnya di bidang ekonomi. Angka-angka pendapatan regional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. atau regional khususnya di bidang ekonomi. Angka-angka pendapatan regional dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 TUMBUH 6,5 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun.

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun. VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Tanaman Bahan Makanan Terhadap Perekonomian di Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran besar dalam perekonomian di Indonesia. Hal ini dikarenakan pertanian merupakan penghasil bahan makanan yang dibutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat kecil dan masyarakat yang masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto Kabupaten Penajam Paser Utara Dalam Angka 2011 258 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam bab ini disajikan data dalam bentuk tabel dan grafik dengan tujuan untuk mempermudah evaluasi terhadap data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO 1. PERKEMBANGAN KABUPATEN BUNGO merupakan penghitungan atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktifitas ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing Model Tabel Input-Output (I-O) Regional Tabel Input-Output (Tabel IO) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN I/2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN I/2014 No.29/05/71/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN I/2014 Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 No.11/02/63/Th XVII, 5 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2012 tumbuh sebesar 5,73 persen, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor konstruksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris di mana pembangunan di bidang pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris di mana pembangunan di bidang pertanian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan masalah Indonesia merupakan negara agraris di mana pembangunan di bidang pertanian menjadi prioritas utama karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian adalah sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Beberapa peran penting sektor pertanian yaitu menyerap tenaga kerja, sumber pendapatan bagi masyarakat,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN ,71 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN ,71 PERSEN No.10/02/75/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN 7,71 PERSEN Pertumbuhan Ekonomi Gorontalo tahun yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci