II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rehabilitasi Sumberdaya Pesisir. 2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rehabilitasi Sumberdaya Pesisir. 2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rehabilitasi Sumberdaya Pesisir Ekosistem pesisir yang berperan sebagai ternpat dan media aktifitas manusia sangat berpengaruh terhadap berbagai perubahan lingkungan. Kerusakan terhadap ekosistem yang terjadi akibat bencana pesisir yang terjadi berakibat pada tidak seimbangnya fungsi ekosistem dalarn sebagai penyangga sistern kehidupan. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik danlatau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, danlatau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU RI No.27 Th 2007). Bencana pesisir yang terjadi akibat tsunami di..kecarnatan Pulo Aceh menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem pesisir terutama terurnbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove, dan ekosistem pantai. Upaya rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan kembali fungsi ekosistern pada kawasan Kecamatan Pulo Aceh sebagai penyangga sistem kehidupan. Rehabilitasi sumberdaya pesisir adalah proses pernulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula (UU RI No. 27 Th 2007). Rehabilitasi kawasan pesisir akibat bencana pesisir tidak hanya ditujukan untuk mernulihkan dan rnemperbaiki kondisi ekosistem yang telah rusak. Sifat kawasan pesisir sebagai marine bioecoregion menyebabkan kerusakan pada satu kawasan atau satu jenis ekosistem berakibat terhadap kawasan atau ekosistem yang lain. Diposaptono dan Budiman (2005) menyebutkan bahwa kejadian bencana di wilayah pesisir sekecil apapun akan rnenimbulkan dampak budaya dan sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Perbaikan kondisi ekosistem dilakukan seiring dengan rehabilitasi ekonomi rnasyarakat. Penglibatan rnasyarakat dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem hams dilakukan secara bersamaan dalam kaitan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistern, sumberdaya, dan kegiatan pernanfaatan (pembangunan) secara terpadu (infegrafed) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (Dahuri etal. 1996).

2 Sebagai kawasan peralihan antara pengaruh daratan dan lautan, wilayah pesisir rnernbutuhkan pendekatan pernbangunan yang kornprehensif dan terpadu. Menurut Dahuri et al. (1996) guna tercapainya pernbangunan pesisir secara tepadu diperlukan inforrnasi tentang potensi pernbangunan yang dapat dikernbangkan disuatu wilayah pesisir dan lautan serta perrnasalahan yang ada, baik aktual rnaupun potensial. Secara urnurn, potensi pernbangunan yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelornpok: (1) surnberdaya dapat pulih (renewable resources) (2) surnberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Ekosistern pesisir pada prinsipnya rnernpunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan rnanusia yaitu sebagai penyedia sumberdaya alarn, penerima lirnbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyarnanan. Sebagai suatu ekosistem, wilayah pesisir dan laut rnenyediakan surnberdaya alarn yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung rnaupun tidak langsung, seperti surnberdaya alarn hayati yang dapat pulih, diantaranya surnberdaya perikanan, mangrove, terurnbu karang dan rurnput laut; dan surnberdaya alarn nirhayati yang tidak dapat pulih, diantaranya surnberdaya mineral, rninyak burni, dan gas alarn. Sebagai penyedia sumberdaya alarn yang produktif, pernanfaatan surnberdaya wilayah pesisir dan laut yang dapat pulih harus dilakukan dengan tepat agar tidak melebihi kemarnpuannya untuk rnernulihkan diri pada periode waktu tertentu. Dernikianpula diperlukan kecermatan pemanfaatan surnberdaya wilayah pesisir dan laut yang tidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak rnerusak lingkungan. Bengen (2000) menyebutkan sebagai ternpat penarnpung lirnbah yang dihasilkan dari kegiatan rnanusia, ekosistern ini rnemiliki kernarnpuan terbatas, yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang rnasuk. Apabila lirnbah yang rnasuk rnelebihi kernarnpuan asirnilasi wilayah pesisir dan laut, rnaka kerusakan ekosistem dalarn bentuk pencemaran akan te rjadi. 2.3 Potensi Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara urnurn, sumberdaya alarn yang terdapat dikawasan pesisir dan lautan serta pulau-pulau kecil di Nanggroe Aceh Darussalarn terdiri atas surnberdaya dapat pulih (renewable resources) dan surnberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan (environmental services). Surnberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan,

3 udang, rurnput laut, terrnasuk berbagai kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (manculture). Surnberdaya tidak dapat pulih rneliputi mineral, bahan tarnbanglgalian, minyak burni, dan gas. Sedangkan yang terrnasuk jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan adalah pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri 2000). Suatu surnberdaya baru dapat dikatakan sebagai surnberdaya apabila tersedia teknologi untuk rnernanfaatkannya dan adanya perrnintaan terhadap surnberdaya tersebut. Pernanfaatan suatu surnberdaya yang tidak bijaksana akan dapat rnenirnbulkan kerusakan atau terkurasnya suatu surnberdaya. Kernarnpuan produksi suatu surnberdaya akan rnengalarni proses diminishing return yang berakibat pada rnenurunnya standar hidup rnasyarakat. Dalarn jangka panjang proses penurunan produksi dan penurunan standar hidup akan berada pada posisi steady state (Fauzi 2004). Ketersediaan surnberdaya pesisir dan lautan serta potensi surnberdaya pulau-pulau kecil Nanggroe Aceh Darussalam selarna ini belurn tergarap secara optimal. Sejalan dengan pernberlakuan UU No dan UU No , tentang Otonomi Daerah, rnernbuka peluang yang besar kepada pernerintah daerah untuk mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat besar dari pernanfaatan potensi pesisir dan lautan (WALHI Aceh 2002). Pengukuran suatu surnberdaya didasarkan pada jenis surnberdaya terperbaharui dan jenis surnberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Fauzi (2004) rnenyebutkan pengukuran terhadap surnberdaya terperbaharui berdasarkan: 1 Surnberdaya hipotikal; konsep pengukuran deposit surnberdaya yang belurn diketahui namun diharapkan ditemukan pada rnasa rnendatang berdasarkan survei yang dilakukan pada saat ini. 2 Surnberdaya spekulatif; konsep yang digunakan untuk rnengukur deposit yang rnungkin diternukan pada daerah yang belurn dieksplorasi, dirnana kondisi geologi rnernungkinkan diternukan deposit. 3 Cadangan kondisional; deposit yang sudah diketahui narnun dengan kondisi harga dan output pada saat ini belurn mernungkinkan secara ekonorni. 4 Cadangan terbukti; surnberdaya alarn yang telah diketahui dan secara ekonornis dapat dirnanfaatkan pada saat ini. Fauzi (2004) rnenjelaskan lebih lanjut bahwa surnberdaya yang dapat terperbaharui rnenggunakan pengukuran berbeda yang didasarkan kepada:

4 1 Potensi rnaksirnurn sumberdaya; pengukuran dengan rnernpertirnbangkan kernampuan biofisik alam untuk rnenghasilkan produksi secara berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu tanpa rnernpertimbangkan kendala sosial ekonorni yang ada. 2 Kapasitas lestari; pengukuran didasarkan pada kernarnpuan surnberdaya untuk dapat rnernpertahankan kelestariannya untuk generasi berikutnya. Pernanfaatannya didasarkan pada potensi lestari surnberdaya tersebut. 3 Kapasitas penyerapan; didasarkan pada kernarnpuan surnberdaya untuk dapat memulihkan diri akibat pernanfaatan oleh rnanusia. Pernanfaatan tidak boleh melebihi kapasitas asirnilasi surnberdaya tersebut yang bervariasi untuk berbagai sumberdaya dan kondisi lingkungan. 4 Daya dukung; didasarkan pada pernikiran bahwa lingkungan memiliki ambang batas untuk dapat rnendukung pertumbuhan suatu organisme. 2.4 Tsunami Secara alarniah posisi geografis lndonesia berada pada kawasan yang rawan bencana tsunami. Sejak tahun 1961 lndonesia telah rnengalarni setidaknya 20 kali bencana tsunami. Kawasan lndonesia merupakan daerah perternuan tiga lernpeng benua yaitu Lempeng Eurasia, Sarnudra Pasifik, dan Indo-Australia (Diposaptono & Budirnan 2005). Secara geografis kawasan kepulauan Pulo Aceh berada dalarn kawasan rawan tsunami di lndonesia. Kepulauan Pulo Aceh berada dalarn zona A seisrnotektonik di lndonesia yang rneliputi busur sunda bagian barat yang terletak dibagian barat laut selat sunda. Tsunami terjadi oleh adanya gernpa yang berpusat di dasar laut dengan kekuatan minimal 6,s pada skala richter. Gernpa dalarn skala besar dan berada pada kedalarnan yang relatif dangkal(60 krn dari permukaan laut) menyebabkan pergerakan seluruh kolorn air dari perrnukaan sarnpai dasar laut dan bergerak rnenuju daratan dengan sangat cepat. Pergerakan air yang sangat cepat dan kuat akan menyapu seluruh daratan yang terjangkau oleh air (Munir 2003). Penyebab gernpa setidaknya ada tiga faktor: 1 Vulkanik, gempa yang disebabkan oleh adanya aktivitas gunung berapi baik di daratan maupun yang berada didalarn lautan. 2 Tektonik, gernpa yang terjadi akibat adanya pergeseran, pergerakan dan turnbukan lernpeng burni. Aktivitas tektonik dapat rnenyebabkan patahan kerak bumi.

5 3 Ulah manusia, berbagai aktivitas manusia yang menimbulkan getaran dan kerusakan terhadap kulit bumi seperti percobaan nuklir bawah tanah dan longsoran rongga tanah akibah kegiatan penambangan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami sangat bergantung pada kekuatan tsunami itu sendiri dan kondisi biofisik lingkungan lingkungan pesisir. Kawasan pesisir yang merupakan benteng utama peredam energi tsunami sangat mempengaruhi tingkat kerusakan. Kondisi pesisir yang masih rapat oleh tumbuhan terutarna hutan mangrove akan mampu meredarn energi tsunami yang dihernpaskan kedaratan. Pengelolaan kawasan rawan tsunami menjadi ha1 penting untuk rnengurangi dampak yang ditimbulkan. Mengingat saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi waktu terjadinya tsumani secara cepat dan tepat, rnaka sangat dibutuhkan perencanaan pembangunan yang ramah lingkungan. Pengelolaan kawasan pesisir secara alami seperti pelestarian hutan mangrove dan terumbu karang secara teoritis akan dapat mengurangi energi hempasan tsunami (Diposaptono & Budiman 2005).. Sebagai kawasan yang rawan tsunami, hidup antisipatif terhadap tsunami dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan dapat meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan. Penzonasian daerah rawan tsunami skala lokal dan struktur bangunan yang tahan terhadap gernpa dan aliran air akibat tsunami akan dapat rnernperkecil kerusakan akibat bencana yang tejadi. 2.5 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Tsunami Kawasan kepulauan Pulo Aceh dengan potensi sumberdaya alam yang belum tergarap secara optimal menyediakan kesempatan usaha bagi berbagai stakeholder untuk pemanfaatannya. Keberadaan kawasan tersebut pada daerah yang rawan bencana tsunami rnengharuskan diterapkannya prinsip pembangunan secara terpadu melalui pendekatan manajemen krisis dan manajemen resiko. Diposaptono dan Budirnan (2005) menyebutkan pendekatan secara terpadu (rnanajemen resiko dan manajemen krisis) pada hakikatnya adalah menangani bencana dari sebelum, saat, hingga sesudah terjadinya bencana. Perlindungan terhadap sumberdaya alam dan manusia dilakukan melalui pendekatan fisik dan nonfisik. Pendekatan secara fisik dilakukan melalui upaya teknis baik alarni rnaupun buatan. Melalui upaya fisik secara alami dapat berupa kegiatan pemeliharaan hutan pantai. Pantai dengan topografi landai berpasir dapat dilakukan penanaman cemara. laut. Tanaman mangrove dipelihara pada

6 kawasan yang berlurnpur dan senantiasa dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi hutan pantai ini selain berfungsi rnelindungi pantai dari hernpasan angin dan badai juga berguna bagi penyerapan dan perneliharaan air tanah, keanekaragarnan hayati, dan keseirnbangan ekosistern. Vegetasi hutan yang rapat dan subur rnernberikan keuntungan tarnbahan bagi rnasyarakat seternpat terutarna sektor perikanan. Sistern perakaran mangrove yang kokoh dan rapat rnernberikan ternpat berlindung bagi ikan untuk rnernijah (Diposaptono & Budirnan 2005). Kawasan Hutan pantai yang rapat sangat berguna pada saat bencana tsunami rnenerjang. Hutan pantai menjadi benteng utarna yang berfungsi meredam energi tsunami yang dihernpaskan kedaratan. Sirnulasi yang dilakukan oleh peneliti tsunami asal Jepang terhadap efektifitas hutan pantai dalarn rneredarn tsunami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan pantai dengan ketebalan 200 rn, kerapatan pohon 30 batang perseratus meter persegi, dan diameter batang 15 crn dapat rneredarn lebih dari 50% energi gelornbang tsunami dengan ketinggian 3 meter (Tabel 1). Tabel 1 Efektivitas hutan pantai dalarn rneredarn tsunami Tinggi Tsunami (m) Hutan Pantai (Shuto, 1985) Mitigasi kerusakan, rnenghentikan benda yang hanyut, rneredarn tsunami Jarak run-up Lebar hutan 50 rn 100 rn 0,98 0,83 0,86 0,80 0,81 0, rn m 0; ,57 Tinggi genangan Lebar hutan 50 m 0,98 0,86 0, rn 0,83 0,80 0, m ,57 Arus Lebar hutan 50 m 0, rn ,47 0, m 0,56 0,39 0, m - 0,31 0,24 Gaya hidrolis Lebar hutan 50 rn 0,53 0,48 0, m 0,33 0,32 0, m m - 0:02 0,Ol Surnber: Harada-lmamura diacu dalarn Diposaptono & Budirnan 2005 Tabel 1 rnenunjukkan bahwa hutan pantai rnarnpu rneredarn energi gelornbang yang ditimbulkan oleh tsunami. Semakin tebal hutan pantai rnaka sernakin besar energi tsunami yang diredarn. Narnun dernikian, penelitian yang

7 dilakukan Shuto diacu dalarn Diposaptono dan Budirnan (2005) rnenyebutkan bahwa hutan pantai tidak lagi efektif untuk meredarn energi tsunami dengan ketinggian lebih dari 8 meter. Selain perlindungan secara alami dengan pemeliharaan hutan pantai, dapat pula dilakukan perlindungan dengan pengelolaan fisik secara buatan. Perlindungan dapat dilakukan dengan membangun pemecah ombak (break wafer) dan tembok laut (sea wall) sejajar pantai, rnemperkuat desain bangunan, rnenanam hutan buatan dari beton, serta pernbangunan infrastruktur lainnya (Diposaptono & Budirnan 2005). Perlindungan secara fisik buatan rnembutuhkan biaya yang besar terutarna jika ditinjau dari penernpatannya pada sebuah pulau kecil yang saat ini merupakan daerah yang masih belurn berkembang. Penge!olaan fisik buatan yang sangat rnungkin dilakukan adalah dengan penguatan bangunan terutarna perumahan dengan model rurnah tradisonal Aceh yang terbuat dari kayu pilihan dan berupa rurnah panggung. Rumah tradisiona! yang terbuat dari kayu terbukti mampu bertahan terhadap goyangan gernpa karena sifat fleksibilitasnya terhadap goyangan. Kontruksi rumah yang berupa panggung mampu melewatkan air pada saat tsunami rnenerjang kawasan pemukirnan. Upaya nonfisik dalarn pengelolaan sumberdaya alarn terhadap bahaya tsunami dilakukan dengan rnengatur kegiatan pernanfaatan kawasan. Kawasan dengan skala kerawanan tsunami tinggi diupayakan sedapat mungkin dihindari untuk kegiatan pernbangunan. Kawasan rawan bencana tsunami ditetapkan dengan pernbuatan peta rawan tsunami dalam skala lokal. Dengan adanya peta rawan tsunami dapat dipisahkan kegiatan-kegiatan yang bersinergis dan tidak sinergis dalam suatu kawasan. Upaya nonfisik lainnya dilakukan dengan kegiatan penyuluhan rnasyarakat terhadap sifat-sifat dan bahaya yang ditimbulkan oleh tsunami. Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan rnanusia terhadap bencana hanya dapat dilakukan rnelalui perencanaan dan pengelolaan kawasan secara terpadu. Diposaptono dan Budiman (2005) menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir terpadu setidaknya memiliki 3 tujuan utarna, yaitu: 1 Melindungi integritas ekologi dari ekosistern pesisir 2 Mencegah kelebihan material yang sifatnya merusak dan mencegah hilangnya surnberdaya akibat bencana alam

8 3 Mernbantu rnenentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan pernanfaatan wilayah dan surnberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan rnanusia. Pencapaian tujuan utarna pengelolaan secara terpadu tersebut hanya dapat terjadi jika keterpaduan pernbangunan secara vertikal dan horizontal dilakukan secara sinergis. Pulau-pulau kecil sebagai suatu kawasan yang relatif kecil sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Kerusakan terhadap satu ekosistern akan rnernberikan pengaruh yang cukup besar bagi ekosistem yang lainnya. Aktivitas rnanusia yang tidak rarnah lingkungan akan rnernberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan masyarakat seternpat. Pernbangunan sekecil apapun pada dasamya akan mernberikan pengaruh terhadap lingkungan. Kesesuaian kegiatan pada suatu kawasan harus rnenjadi kajian utarna salarn perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Kegiatan yang rnernberikan nilai tarnbah dan sejalan dengan fungsi ekosistern perlu rnendapat rangsangan dan rnernperoleh berbagai kernudahan oleh pernerintah dalarn pengumsan dan pelaksanaannya, sedangkan terhadap kegiatan yang rnemberikan tekanan lingkungan bagi keberadaan ekosistem perlu rnendapat pengawasan yang ketat dalarn pelaksanaannya. Melalui keterpaduan pelaksanaan pernbangunan dan pengawasan yang ketat akan rnernberikan darnpak positif bagi lingkungan, stakeholder, dan rnasyarakat seternpat secara langsung dan untuk jangka panjang. 2.6 Pengembangan Sektor Unggulan Perurnusan visi dan misi spesifik, unik, tepat, dan akurat akan rnendorong suatu wilayah rneraih keunggulan daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), perturnbuhan wilayah, serta rneningkatkan nilai tarnbah (value added) rnelalui pengembangan produk-produk unggulan (Djajadiningrat & Melia 2004). Kecarnatan Pulo Aceh yang berada diantara perternuan Selat Malaka dan Sarnudera Hindia serta berada pada jalur pelayaran internasional rnernpunyai berbagai keunggulan kornpetitif. Sejalan dengan rencana pengernbangan Pulo Aceh serta berpedornan kepada Rencana lnduk Pengernbangan Sektor Unggulan KAPET Sabang, rnaka prioritas pengernbangan Pulo Aceh adalah berdasarkan potensi keunggulan yang dirniliki oleh Pulo Aceh seperti pariwisata, perikanan, perdagangan, dan jasa.

9 2.6.1 Sektor Pariwisata Pariwisata rnerupakan segala kegiatan dalarn rnasyarakat yang berhubungan dengan wisatawan (Sukadijo, 1997). Kegiatan pariwisata berhubungan dengan berbagai sektor yang bertujuan untuk rnenjual suatu potensi wilayah dengan segala upaya untuk rnendatangkan orang-orang untuk berkunjung ke wilayah tersebut. Suatu kegiatan pariwisata dapat dikatakan berhasil apabila telah mampu rnendatangkan wisatawan sebanyak mungkin untuk rnengunjungi potensi yang dikernbangkan tersebut. Yang dimaksud dengan wisatawan adalah orang yang rnengadakan perjalanan dari ternpat kediarnannya tanpa rnenetap diternpat yang didatanginya atau hanya sernentara waktu rnenetap diternpat yang didatanginya. Pada urnurnnya pulau kecil rnerniliki panorama alarn dan lingkungan yang indah, disamping itu kebudayaan rnasyarakat suatu pulau kecil bersifat unik dan khas. Kondisi alarn dan budaya rnerupakan karakteristik khas pulau kecil. Sukadijo (1997) rnenyebutkan bahwa suatu daerah atau ternpat hanya dapat dijadikan rnenjadi tujuan wisata kalau kondisinya sedemikian rupa, sehingga ada yang dapat dikernbangkan rnenjadi atraksi wisata. Modal atraksi wisata yang dapat rnenarik kedatangan wisatawan itu ada 3 (tiga), yaitu: 1 alarn 2 budaya 3 rnanusia Dari segi ekonorni, kunjungan wisatawan pada suatu daerah rnernberikan darnpak positif terhadap masyarakat disekitarnya dan bagi pandapatan daerah. Objek wisata yang rnenjadi daya tank bagi wisatawan rnerupakan surnber parnasukan bagi penduduk sekitar. Pengeluaran yang dibelanjakan oleh wisatawan secara langsung rnernberikan rnanfaat bagi penduduk setempat dari berbagai' sektor baik perdagangan rnaupun transportasi dan jasa. Kegiatan ekowisata yang rnenjual keindahan alarn seperti panorama pulau kecil dapat dirnanfaatkan sebagai upaya untuk rnenjaga keiridahan alarn dari kerusakan akibat carnpur tangan manusia. Pariwisata yang berorientasi ekologi sangat rnendukung kegiatan konservasi dan dapat dilakukan secara bersamaan dan saling rnenguntungkan. Mclntosh diacu dalarn Sukaduo (1997) rnengklasifikasikan motif wisata rnanjadi ernpat kelompok:

10 1 Motif fisik, berhubungan dengan kegiatan badaniah seperti olahraga, istirahat, kesehatan, dan sebagainya. 2 Motif budaya, wisatawan bertujuan untuk rnenikrnati atraksi budaya baik alam rnaupun rnanusia. Wisatawan dapat juga bertujuan untuk rnernpelajari atau rnernaharni tatacara dan kebudayaan bangsa atau daerah lain. 3 Motif interpersonal, berhubungan dengan keinginan untuk berternu keluarga, ternan, tetangga, atau berkenalan dengan orang-orang tertentu. 4 Motif status atau motif prestise, kunjungan kesuatu daerah atau kawasan dianggap dapat rnernberikan prestise bagi orang yang pernah dikunjunginya terutarna wisata ke daerah yang jauh, rnahal, dan juga keluar negeri. Motif-motif wisata yang diklasifikasikan oleh Mclntosh serta subklasifikasisubklasifikasi yang dikernbangkan berdasarkan potensi suatu wilayah dapat dirnanfaatkan untuk rneningkatkan pandapatan daerah dengan tetap rnenjaga budaya dan keindahan alarn suatu daerah. Kegiatan pariwisata dapat rnendorong perturnbuhan ekonorni pada daerah nonindustri terutarna pariwisata alarn. Pengernbangan kegiatan pariwisata diharapkan dapat rnenjaga lingkungan agar tidak rnenjadi rusak akibat pemanfaatan oleh rnanusia. Pernbukaan suatu kawasan wisata dilakukan dengan rnempertirnbangkan potensi surnberdaya dan kesesuaian lahan untuk peruntukannya. Kesesuaian lahan untuk wisata dihitung berdasarkan parameter utarna jenis wisata yang akan dikernbangkan. Kesesuaian lahan wisata bahari katagori wisata selam rnernpertirnbangkan 6 parameter utama. Kesesuaian wisata pantai untuk katagori rekreasi ditentukan dengan rnernpertimbangkan 10 parameter utarna berdasarkan kondisi surnberdaya Sektor Perikanan Ketersediaan surnberdaya perikanan sangat berkaitan erat dengan kondisi pesisir suatu wilayah. Kerusakan wilayah pesisir sebagai ternpat rnernijah dan ternpat berlindung ikan-ikan kecil akan berakibat pada rnenurunnya produksi ikan secara keseluruhan. Surnberdaya perikanan yang rnerniliki potensi besar untuk dikembangkan adalah surnberdaya perikanan laut. Kondisi geografis Kecarnatan Pulo Aceh yang berada pada perternuan Selat Malaka dan Sarnudera Hindia rnenyimpan potensi perikanan yang cukup besar yang belurn dikelola secara optimal untuk kesejahteraan penduduk lokal.

11 Keterbatasan teknologi nelayan dalarn memanfaatkan potensi kelautan baik ikan pelagis kecil maupun ikan pelagis besar rneyebabkan hasil tangkapan yang tidak optimal dan pengelolaan pasca penangkapan yang tidak tepat menyebabkan kualitas produksi menjadi rnenurun. Ketidakmampuan menangani hasil tangkapan secara baik menyebabkan nilai jual rnenjadi menurun. Sumberdaya perikanan Kabupaten Aceh Besar berada dalarn Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) I yaitu kawasan Selat Malaka antara lain perairan Selat Malaka di bagian utara dan Lautan Hindia pada bagian barat. Perairan Lautan Hindia pada bagian barat terdapat Palung Andaman dengan kedalam antara m. Pada kawasan ini banyak terdapat kawanan ikan hiu yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Kawanan hiu ditangkap untuk diambil siripnya yang mengandung minyak dan memiliki harga yang cukup tinggi. Djamil (2004) menyebutkan lkan hiu terutama hiu botol, disamping diambil siripnya juga dimanfaatkan untuk diarnbil minyak dari hati hiu yang dikenal dengan minyak squalene. Squalene berkhasiat untuk menjaga vitalitas dan kesehatan. Potensi perikanan tangkap yang berada pada perairan barat surnatera dimanfaatkan oleh nelayan Kabupaten Aceh Besar dengan menggunakan perahu motor. Armada yang digunakan antara lain kapal motor sebanyak 202 unit, motor tempel sebanyak 495 unit, dan perahu tanpa motor sebanyak 125 unit. Alat tangkap yang digunakan umumnya merupakan pukat kantong sebanyak 44 unit, pukat cincin 24 unit, jaring angkat 161 unit, jaring hanyut 69 unit, dan berbagai jenis alat pancing (DKP Aceh Besar, 2002).

I. PENDAHULUAN. Disisi lain, wisata juga dapat rnerusak suatu daerah jika tidak

I. PENDAHULUAN. Disisi lain, wisata juga dapat rnerusak suatu daerah jika tidak 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Kesadaran pernerintah akan besarnya potensi kelautan Indonesia, rnenyebabkan paradigrna pernbangunan yang selarna ini kurang rnernperhatikan sektor kelautan rnulai ditinggalkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar

I. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar negeri rnernpunyai peranan yang sangat penting. Pada periode tahun 1974-1981 surnber utarna pernbangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kawasan pesisir Indonesia, disarnping kaya akan potensi sumberdaya. alamnya, juga mempunyai potensi untuk dikernbangkan rnenjadi obyek

PENDAHULUAN. Kawasan pesisir Indonesia, disarnping kaya akan potensi sumberdaya. alamnya, juga mempunyai potensi untuk dikernbangkan rnenjadi obyek PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Indonesia, disarnping kaya akan potensi sumberdaya alamnya, juga mempunyai potensi untuk dikernbangkan rnenjadi obyek pariwisata bahari, baik dilihat dari segi

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan

Ketahanan Pangan yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan rnerupakan kebutuhan dasar rnanusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan ini dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Undang-undang No. 7

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. laku perekonomian kota ini. Sebagai pintu gerbang internasional yang

I. PENDAHULUAN. laku perekonomian kota ini. Sebagai pintu gerbang internasional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang DKI Jakarta rnemiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan propinsi lain. Sebagai ibukota negara dan pusat pernerintahan, berbagai kebijaksanaan ekonomi nasional dilahirkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pernberlakuan Otonorni Daerah yang diamanatkan melalui. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang terrnaktub pada pasal

I. PENDAHULUAN. Pernberlakuan Otonorni Daerah yang diamanatkan melalui. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang terrnaktub pada pasal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernberlakuan Otonorni Daerah yang diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang terrnaktub pada pasal 117, yang berbunyi : "lbukota Negara Republik lndonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernbangunan daerah rnerupakan bagian dari pernbangunan nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. silang antara dua buah Samudera -Pasifik dan Hindia- dan diapit oleh dua

PENDAHULUAN. silang antara dua buah Samudera -Pasifik dan Hindia- dan diapit oleh dua PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Letak geografis lndonesia yang sangat strategis yaitu pada posisi silang antara dua buah Samudera -Pasifik dan Hindia- dan diapit oleh dua Benua -Asia dan Australia- serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. krisis ekonorni di Indonesia yang berkepanjangan, diperlukan suatu usaha

PENDAHULUAN. krisis ekonorni di Indonesia yang berkepanjangan, diperlukan suatu usaha L PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalarn usaha rnernbangkitkan sektor perekonornian rnenghadapi krisis ekonorni di Indonesia yang berkepanjangan, diperlukan suatu usaha dari seluruh lapisan rnasyarakat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai ternpat penyirnpanan

I. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai ternpat penyirnpanan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang lndustri perbankan, khususnya bank urnurn, rnerupakan pusat dari sistern keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai ternpat penyirnpanan dana, rnernbantu

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR Oleh : BIMA SAKTI L2D005352 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN 8.1. Kesirnpulan 1. Pola konsurnsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di wilayah KT1 memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

Lebih terperinci

(pantai di antara batas pasang surut dan pasang naik). dan tanah daratan. dirnana habitat dan jenis binatangnya beradaptasi secara khusus terhadap

(pantai di antara batas pasang surut dan pasang naik). dan tanah daratan. dirnana habitat dan jenis binatangnya beradaptasi secara khusus terhadap TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir Batas Wilayah Pesisir Lawrence (1998), mendefinisikan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara darat dengan laut yang rnencakup perairan pantai, daerah pasang surut

Lebih terperinci

Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan. Negara adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global

Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan. Negara adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan telcnologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR Oleh: GRASIA DWI HANDAYANI L2D 306 009 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai km serta pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. pantai km serta pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai 81.791 km serta 17.504 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang lndonesia adalah negara kepulauan dan maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu sepanjang 81.000 km dan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA

11. TINJAUAN PUSTAKA 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Manajemen Keuangan Daerah Pada dasarnya tujuan utarna pengelolaan keuangan daerah terdiri dari: (1) tanggungjawab, (2) memenuhi kewajiban keuangan. (3) kejujuran,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

STUD1 TENTANG POTENSI DAN ANALISIS EKONOMI PERIKANAN KEMBUNG (Rastrelligerspp.) Dl SUNGAlLlAT BANGKA. Oleh: Rinto C

STUD1 TENTANG POTENSI DAN ANALISIS EKONOMI PERIKANAN KEMBUNG (Rastrelligerspp.) Dl SUNGAlLlAT BANGKA. Oleh: Rinto C STUD1 TENTANG POTENSI DAN ANALISIS 610 - EKONOMI PERIKANAN KEMBUNG (Rastrelligerspp.) Dl SUNGAlLlAT BANGKA Oleh: Rinto C06495074 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Weh yang berada di barat laut Aceh merupakan pulau kecil yang rentan akan bencana seperti gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami, karena pulau ini berada pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia,

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, tetapi seiring dsngan perkembangannya tanaman kelapa sawit ini rnarnpu tumbuh dan berkernbang dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola pembangunan ekonomi sentralistik yang telah berlangsung selama lebih dari 32 tahun telah rnernberikan darnpak yang luas bagi pernbangunan ekonomi nasional, khususnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teluk Bungus yang luasnya ± 17 km 2 atau 1383,86 Ha berada di Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kecamatan ini merupakan kecamatan pesisir di wilayah selatan Kota Padang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki

I. PENDAHULUAN berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki I. PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Surnberdaya rnanusia rnerupakan faktor utarna dalarn rnenentukan berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki oleh seorang Pirnpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

3.2. Metode pengambilan data

3.2. Metode pengambilan data !!I. METODE PENELlTlAN 3.1. Lokasi Penelitian Objek penelitian dan pengambilan data dilaksanakan di Pulau Bunaken Provinsi Sulawesi Utara yang lokasi penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 3 yang disajikan

Lebih terperinci

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan,

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, yang terbentang di katulistiwa di antara dua benua : Asia dan Australia, dan dua samudera : Hindia dan Pasifik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak cepat ke arah rnasyarakat tanpa

BAB I PENDAHULUAN dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak cepat ke arah rnasyarakat tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mernasuki abad 21, aparatur Pernerintah Propinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta rnenghadapi banyak tantangan yang tidak dapat dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena dikelilingi oleh Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Bahkan tidak berlebihan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA

ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA WlSllNU EKA SAPUTRA A 27.1583 JURUSAN ILMU-ILMU SOSLAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA

ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA ANALISIS POLA KEMITRAAN PADA INDUSTRI KERAJINAN UKIR KAYU DAN MEBEL DI KABUPATEN JEPARA WlSllNU EKA SAPUTRA A 27.1583 JURUSAN ILMU-ILMU SOSLAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

- persaingan Prirnkopti berada dalarn kuadran (star) bintang. Prirnkopti sarnpai

- persaingan Prirnkopti berada dalarn kuadran (star) bintang. Prirnkopti sarnpai RINGKASAN DlEN EVlTA HENDRIANA. ANALISIS PEMlLlHAN STRATEGI BERSAING PRlMKOPTl KOTAMADYA BOGOR SETELAH PENGHAPUSAN MONOPOLI TATANIAGA KEDELAI OLEH BULOG. (Dibawah Bimbingan NUNUNG NURYARTONO) Kedelai sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/)

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi (triple junction plate convergence) yang sangat aktif sehingga Indonesia merupakan daerah yang sangat

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu berada pada ketinggian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang

BAB l PENDAHULUAN. Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang BAB l PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang rnenarik untuk diamati rneskipun dalam kondisi krisis beberapa tanun terakhir ini. Tingginya populasi masyarakat

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakanq. Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan

PENDAHULUAN. Latar Belakanq. Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan PENDAHULUAN Latar Belakanq Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Karena kebutuhan semakin beragarn dan saling rnendesak untuk didahulukan, rnaka individu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci