Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL"

Transkripsi

1 Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL A. Petani Kecil sebagai Penyakap Sharecropping atau bagi hasil adalah salah satu bentuk penyakapan di mana sewa lahan atau biaya pemakaian lahan diwujudkan dalam persentase output fisik total yang diperoleh selama musim tanam tertentu. Karena proporsi bagi hasil umumnya tetap, maka gambaran penting yang dapat kita peroleh dari kondisi ini adalah bahwa besarnya nilai absolut pemakaian lahan bervariasi sesuai dengan hasil panen yang diperoleh per musim tanam. Terdapat berbagai tipe penyakapan berdasarkan sewa musiman baik dalam bentuk tunai maupun natura atau bentuk lainnya. Akses atas sistem bagi hasil juga dapat ditinjau dari : a. hukum tanah adat b. pemilikan lahan bebas c. pemakaian tenaga kerja pertanian upahan Sharecropping banyak dijumpai di berbagai belahan dunia terutama di Asia Selatan dan Tenggara. Sistem bagi hasil melibatkan interaksi antar rumahtangga berdasarkan penguasaan lahan dan sumberdaya lain. Bentuk interaksi yang paling kompleks terdiri dari kontrak multi strata antar rumahtangga, meliputi: penggunaan lahan, kredit, pinjaman untuk konsumsi, harga input, akses terhadap pasar, dan sebagainya. Dalam seluruh kasus yang ada karakter interaksi yang terjadi menggeser penekanan analisis pengambilan keputusan rumahtangga secara individual ke bentuk analisis yang lebih interaktif. Ekonom neoklasik cenderung memandang sistem sakap sebagai suatu konsep teoritis yang menarik untuk dikaji, sementara para ekonom Marxian memandang sistem sakap ini sebagai salah satu bentuk eksploitasi pemilik lahan terhadap buruh tani dan atau petani gurem. Ekonom neoklasik memandang usahatani bagi hasil sebagai puzzle karena ketidakmampuan analisis ekonomi yang sudah ada untuk menjelaskan aspek tertentu dari sistem sakap sebagai suatu institusi, antara lain: a. tuduhan bahwa sistem ini kurang efisien dan tidak terbuka terhadap informasi b. adanya koeksistensi historis antara sharecropping di lokasi yang sama dengan penyakapan tunai dan pertanian kapitalis 81

2 c. sistem bagi hasil yang berlaku antara pemilik lahan dan penyakap seringkali tidak dapat dijelaskan hanya dengan kriteria optimisasi Sudut pandang yang menyatakan penyakapan sebagai salah satu bentuk eksploitasi menyandarkan rasionalisasi mereka pada fakta adanya pemusatan kekuatan ekonomi dari kelompok pemilik lahan dan kuatnya kontrol kelompok ini atas petani penyakap dan tunakisma. Hubungan antara kedua sudut pandang di atas terletak pada konsep keterkaitan pasar input yang mencerminkan tidak adanya kebebasan antar pasar input yang berbeda ketika berbagai transaksi seperti tanah, tenaga kerja, pinjaman konsumsi dan biaya input dikaitkan dengan kontrak penyakapan tunggal. Kompleksitas praktek penyakapan perlu diperhatikan sebab perlakuan teoritis seringkali melakukan berbagai simplifikasi: 1. Dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun konsep sharecropping melibatkan transaksi simultan antar dua pasar input yakni pasar lahan dan tenaga kerja 2. Kontrak sharecropping memiliki ruang lingkup yang luas dan mungkin mencakup pinjaman untuk konsumsi, kredit produksi, layanan jasa dari anggota keluarga penyakap terhadap pemilik lahan, perjanjian untuk menanggung biaya input bersama, dll 3. Sharecropping tidak selalu mencerminkan perbedaan kelas yang jelas antara pemilik lahan dengan penyakap atau tunakisma Komponen analisis sharecropping dan keterkaitan pasar faktor produksi meliputi: 1. Model mikroekonomi sharecropping dalam lingkungan yang kompetitif 2. Rasionalisasi konsep sharecropping dalam dimensi aversi resiko, teori bargaining dan imperfeksi pasar 3. Analisis keterkaitan pasar faktor produksi 4. Pertanyaaan seputar eksploitasi dalam sharecropping 5. Implikasi kebijakan yang dapat diperoleh dari kajian ekonomi sharecropping 6. Beberapa perspektif yang lebih luas 82

3 Total Output Y (Rp) Petani Gurem: Rumahtangga Usahatani dan Pembangunan Pertanian B.Analisis Ekonomi Sharecropping Ada dua model utama analisis ekonomi sharecropping dengan asumsi kompetitif. Model pertama adalah model Marshallian yang mengemukakan sudut pandang ekonomi ditinjau dari perilaku produksi penyakap, model kedua adalah model Cheung yang menggambarkan perilaku produksi dari sudut pandang pemilik lahan. 1. Model Penyakap Dalam pendekatan ini penyakap berusaha memaksimumkan profit dalam pasar kompetitif terhadap sistem bagi hasil tertentu. S adalah output yang merupakan bagian pemilik lahan. (1-S) adalah output yang merupakan bagian penyakap. Jadi bila bagi hasil 60% - 40 % maka nilai S = 0,60 dan 1-S = 0,40. TVP adalah respon total output pertanian terhadap input tenaga kerja, namun karena penyakap hanya menerima (1-S) maka respon output yang relevan secara ekonomi adalah (1-S)TVP. Gambar 8.1. Model Sharecropping (Penyakapan) Y2 B TVP Y1 E TC A D (1-S) TVP C 0 L1 L2 Input tenaga kerja L Pada tingkat upah pasar kompetitif yang mencerminkan opportunity cost waktu keluarga penyakap, posisi maksimasi profit dapat ditetapkan pada titik A yaitu pada level penggunaan tenaga kerja sebesar L 1. Sebagaimana terlihat pada Gambar 8.1 dengan 83

4 Nilai Produk Marginal (Rp) Petani Gurem: Rumahtangga Usahatani dan Pembangunan Pertanian teknologi yang tersedia penggunaan tenaga kerja sebesar L 1 hanya akan memberikan total keuntungan sebesar EC dan output sebesar Y 1 yang lebih rendah dari BD dan Y 2 yang seharusnya diperoleh bila menggunakan tenaga kerja optimal sebesar L 2 pada saat TVP maksimum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sistem bagi hasil petani penyakap tidak menggunakan tenaga kerja (sarana produksi) secara optimal sehingga usahatani bagi hasil tidak efisien. Kesimpulan yang sama juga dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai marginal produksi (MVP) sebagaimana disajikan pada Gambar 8.2. Petani penyakap hanya akan bersedia beroperasi pada titik A dengan tenagakerja sebesar L 1, dimana upah (w) adalah sama dengan (1-S) MVP yang merupakan kurva nilai marginal produksi petani penyakap. Akibat penggunaan tenaga kerja yang tidak optimal tersebut, maka terjadi kehilangan output sebesar AEB yang seharusnya dapat diperoleh jika usahatani dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja sebesar L 2. Gambar 8.2. Produk Marginal Tenaga Kerja dalam Model Penyakapan MVP pemilik H (1-S)MVP penyakap G F w A B w' C 0 input tenaga kerja L L1 L2 D Model ini menujukkan bahwa petani memperoleh pendapatan (akumulasi MVP) sebesar OGAL 1, lebih besar dari area 0FAL 1 yang seharusnya dia peroleh sebagai upah tenaga kerja yang dicurahkan pada usahatani. Pemilik lahan, disisi lain hanya memperoleh sebesar GHEA, dan kehilangan pendapatan sebesar FGA yang dialihkan kepada petani penyakap sebagai surplus atas nilai tenagakerja yang digunakannya. Adanya surplus pendapatan yang diperoleh petani penyakap menunjukkan bahwa pasar tidak efisien dan 84

5 titik keseimbangan tidak stabil. Pada pasar persaingan sempurna, pendapatan lebih yang dimiliki petani penyakap akan mengundang pendatang baru (new entrant) untuk memasuki pasar bagihasil. Hsiao, (1975) mengatakan bahwa ketidakefisienan yang terjadi pada sistem bagihasil ini dapat diatasi dengan saling tawar antara pemilik lahan dengan petani penyakap agar usahatani dapat dioperasikan pada penggunaan tenaga kerja L 2 yang dapat memberikan TVP maksimum pada usahatani. Pada titik ini pemilik lahan akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar AEB dan sebagai imbalannya pemilik lahan memberikan pendapatan kepada penyakap sebesar tambahan ABC hingga total pendapatan petani sebesar 0FBL 2, setara dengan nilai penggunaan tenaga kerja yang dicurahkan petani, w.l Model Petani Pemilik Lahan Dalam model ini diasumsikan bahwa petani pemilik lahan berusaha memaksimumkan keuntungan yang dapat diperolehnya. Sesuai dengan kapasitasnya, petani pemilik bebas menentukan jumlah dan luas lahan yang akan digunakan atau distribusikan kepada petani penyakap berikut sewa/perbandingan bagi hasil lahan yang dimilikinya. Satu-satunya kendala yang membatasi kebebasan petani pemilik adalah upah pasar yang berlaku. Petani pemilik tentu harus mempertimbangkan nilai yang dapat diperoleh oleh petani penyakap yakni setidaknya sama dengan nilai tenagakerja yang dicurahkan untuk mengusahakan usahatani yang disepakati. Sebagai petani yang berusaha untuk memaksimumkan keuntungan, petani pemilik seyogyanya harus dapat menentukan jumlah pendapatan yang dapat diperoleh petani penyakap hingga usahatani dapat dioperasikan pada tingkat penggunaan tenagakerja sebesar L 2 pada gambar 8.1 atau 8.2. Apabila usahatani dioperasikan pada L 2 maka petani pemilik akan memperoleh pendapatan sebesar GHEA, yakni sebesar pendapatan yang dapat diperoleh jika petani pemilik mengusahakan lahannya sendiri dengan menggunakan tenagakerja upahan dikurangi FGA yang menjadi surplus bagihasil yang diperoleh oleh petani penyakap. Hal ini akan dapat berhasil dengan asumsi bahwa petani pemilik mampu menentukan kapasitas dan jumlah petani penyakap, persentase bagihasil, dan mengatur penggunaan input tenaga kerja petani penyakap. Asumsi tersebut dirasakan kurang sesuai sebab: 85

6 1. Seakan-akan menempatkan petani pemilik menjadi pengusaha monopolis yang sepenuhnya dapat mengatur perilaku kerja petani penyakap (Jaynes, 1982) 2. Nampaknya petani pemilik tidak cukup mampu menggunakan sistem persentase bagihasil untuk mengupayakan pemanfaatan lahan yang efisien, sebab sistem bagihasil lebih ditentukan oleh budaya dan kompetisi di antara petani pemilik untuk memperoleh petani penyakap. 3. Asumsi ketiga yang mengatakan bahwa petani pemilik mampu mengatur tingkat penggunaan tenaga kerja petani penyakap sangat diragukan. Namun demikian, usahatani sistem sakap dapat lebih memberikan kepuasan daripada mengusahakan lahan usahatani dengan menggunakan tenagakerja upahan. Setidaknya petani penyakap bekerja dengan motivasi yang lebih baik dibandingkan buruh tani yang diupah. Selain itu, fluktuasi penggunaan tenaga kerja pada sektor pertanian menyebabkan sistem bagi hasil lebih menjamin ketersediaan tenaga kerja dibandingkan teanga kerja upahan yang pada musim sibuk sulit diperoleh. Selanjutnya, sistem bagihasil juga lebih efisien dalam penggunaan input terutama apabila biaya produksi menjadi tanggungan bersama antara pemilik dan penyakap. 3. Resiko, biaya informasi, dan pasar tidak sempurna. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa tidak satupun model sistem bagihasil yang telah dibahas dapat memberikan penjelasan yang memuaskan atas kehadiran institusi dalam sistem usahatani. Jika tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan antara usahatani dengan sistem sewa dengan usahatani yang menggunakan tenaga kerja upahan, mengapa petani pemilik lebih tertarik untuk mengikat kontrak sistem sakap dibandingkan dengan pendapatan sewa yang tergantung pada hasil panen? Salah satu alasan yang dapat diterima adalah masuknya variabel resiko dalam analisis yang dilakukan. Pada sistem sewa permanen, seluruh resiko berada di pundak petani penyewa, sebaliknya jika pemilik mengusahakan lahannya dengan menggunakan tenaga kerja upahan maka resiko menjadi tanggungan pemilik lahan. Apabila baik petani pemilik maupun penyakap adalah petani yang risk-averse, maka pilihan bagi hasil, yang juga berarti bagi resiko, menjadi pilihan yang paling aman bagi kedua belah pihak. Dengan demikian salah satu jawaban mengapa pilihan pola usahatani jatuh pada institusi usahatani bagi hasil adalah upaya petani untuk menekan faktor ketidak pastian dan 86

7 resiko. Solusi Cheung terhadap efisiensi usahatani bagi hasil, menunjukkan bahwa dalam pasar persaingan sempurna terdapat suatu kombinasi sistem sewa tunai dan atau mengusahakan sendiri dengan tingkat resiko yang sama seperti yang diperoleh apabila menggunakan sistem sakap. Lebih jauh dikatakan bahwa kombinasi sistem usahatani tersebut dapat memberikan pembagian pendapatan yang seimbang antara petani pemilik dan penyakap (Newbery dan Stiglitz, 1979). Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor ketidak pastian dan respon terhadap riskaversion tidak dengan sendirinya menjadi jawaban atas teka-teki sistem bagihasil. Informasi yang tidak sempurna pada gilirannya menyebabkan peran pasar menjadi tidak sempurna untuk menjelaskan sistem usahatani bagi hasil. Beberapa alasan spesifik yang dapat menjelaskan kehadiran sistem bagi hasil tersebut diantaranya adalah: Ketidak-sempurnaan Pasar tenaga kerja. Pada kenyataannya baik petani penyakap maupun pemilik tidak pernah menghadapi pasar persaingan sempurna sebagaimana yang diasumsikan oleh Marshalian dan Cheung. Bagi petani penyakap, penawaran tenaga kerja mereka hanya bersifat parsial, tidak menentu, dan mencari pekerjaan jelas membutuhkan biaya. Sebagaimana diketahui kebutuhan tenaga kerja disektor pertanian tidak merata sepanjang tahun sehingga tidak ada jaminan pekerjaan yang dapat memberikan upah tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sepanjang tahun. Bagi petani pemilik, mencari tenaga kerja upahan dengan jumlah, dan kemampuan yang memadai pada waktu yang tepat seringkali menjadi kendala tersendiri. Permasalahan ini menjadi teratasi dengan sistem sakap. Ketidak hadiran atau ketidak sempurnaan pasar. Ketidak sempurnaan pasar seringkali sangat berperan bagi eksistensi sistem bagihasil. Sebagai misal, lembaga perkreditan formal segan berhubungan dengan petani kecil dengan tingkat ketidak pastian yang tinggi. Dilain sisi, petani gurem seringkali tidak memilik informasi yang lengkap tentang lembaga perkreditan formal sehinga hubungan kerjasama anatar kedua pihak ini jarang dapat terjadi. Sistem sakap, sesuai dengan kelebihannya yakni pembagian resiko dapat mengatasi hal ini. Problem insentif dan pengawasan. Alasan lain yang menyebabkan timbulnya sistem sakap ini adalah bahwa sistem ini dapat memberikan insentif yang memadai bagi petani penyakap untuk bekerja dengan baik, memberikan jaminan penggunaan jumlah dan kualitas penggunaan tenaga kerja dan sarana produksi yang efektif, serta 87

8 menghindari kegagalan pinjaman. Hal ini sering dikaitkan dengan masalah moral hazard. Berbagai penjelasan mengenai kelebihan sistem bagihasil yang diuraikan diatas oleh Stiglitz (1986) dikelompokkan kedalam argumentasi ketidak-sempurnaan Informasi. Sistem bagihasil kemudian dikatakan sebagai suatu tatanan dalam mengatur proses produksi yang dapat menyediakan informasi yang secara lokal lebih lengkap. Namun demikian analisis mengenai sistem bagi hasil rasanya belum lengkap jika aspek keterpaduan pasar belum dimasukkan kedalamnya. C. Keterpaduan (interlocked) Pasar Istilah interlocked factor market digunakan untuk menjelaskan penetapan simultan transaksi pada lebih dari satu pasar. Dalam berbagai kasus dapat ditunjukkan adanya keterkaitan antara pasar dalam menentukan transaksi, misalnya harga pada suatu pasar mempengaruhi harga di pasar yang lainnya. Sebagaimana telah dijelaskan berbagai potensi terjadinya kerjasama dalam sistem bagi hasil meliputi: a. Akses terhadap lahan melalui sistem sewa bagihasil b. Tenaga kerja pada usahatani penyakap c. Pasokan tenagakerja oleh rumah tangga petani penyakap baik pada lahan petani pemilik ataupun pada kegiatan lainnya (termasuk kegiatan rumahtangga) d. Sistem kredit dalam bentuk bahan pangan yang diberikan petani pemilik kepada penyakap e. Sistem kredit produksi dari petani pemilik kepada penyakap f. Penjualan atau pembagian biaya produksi usahatani antara petani pemilik kepada penyakap g. Pengadaan atau penjualan bahan pangan oleh petani pemilik kepada penyakap h. Pemasaran hasil produksi yang dilakukan oleh petani pemilik baik itu bagian dari pemilik atau sebahagian dari milik penyakap. i. Kemungkinan pengadaan kebutuhan barang dan jasa lainnya seperti, perumahan hingga pengadaan air oleh petani pemilik kepada penyakap. Sistem keterpaduan pasar melahirkan dua interpretasi yang saling bertentangan, dengan berbagai variasi diantaranya. Neoklasik melihat bahwa berbagai aspek diatas pada 88

9 dasarnya dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan usahatani dan memacu adopsi teknologi pertanian oleh petani penyakap. Dari sudut pandang ini, keterpaduan pasar (interlocking of markets) adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh petani pemilik untuk mengatasi ketidak-efisienan pasar yang terfragmentasi dan tidak lengkap. Mereka dapat melakukan ini dengan cara menginternalisasi penolakan terhadap eksternalitas pasar tidak sempurna seperti risk-aversion, semangat kerja yang rendah, tunggakan kredit, dan lain sebagainya. Dengan melakukan berbagai hal tersebut, petani pemilik kemudian dapat meningkatkan sosial welfare dengan meningkatkan produktifitas usahatani. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mencapai keterpaduan tersebut diantaranya adalah: a. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan pinjaman konsumtif. Hal ini dapat dilakukan oleh petani pemilik untuk memacu petani penyakap bekerja lebih giat. b. Memadukan sistem bagihasil dengan pinjaman produksi untuk meyakinkan petani pemilik bahwa penggunaan investasi sesuai dengan yang diinginkan oleh petani pemilik. c. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan penggunaan sarana produksi atau biaya produksi dapat merangsang petani penyakap untuk mengadopsi teknologi dan menggunakan input yang efisien d. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan jasa tenaga kerja pada usahatani tuan tanah, dengan pengadaan bahan pangan pada harga yang pasti kepada petani penyakap, atau melakukan pemasaran atas hasil pertanian yang diperoleh adalah berbagai mekanisme yang dapat digunakan oleh petani pemilik untuk menyediakan sanksi atau insentif bagi tenaga kerja keluarga petani penyakap agar mau bekerja lebih giat. D. Sistem bagihasil sebagai suatu eksploitasi Anggapan lainnya yang mengatakan bahwa sistem bagihasil dan pasar yang terpadu adalah bukti praktek eksploitasi tidak dengan sendirinya menolak pernyataan bahwa sistem ini dapat memberikan output yang lebih tinggi. Namun bukan ini inti permasalahannya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah siapakah yang menikmati kesejahteraan sosial yang lebih tinggi akibat penerapan sistem tersebut? Nampaknya peningkatan kesejahteraan hanya dinikmati petani pemilik lahan, sementara petani penyakap tetap bertahan pada level subsisten. Berbagai instrumen yang didiskusikan 89

10 terdahulu merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Di sisi lain permasalahan sentral dalam sistem usahatani bagihasil adalah transfer surplus dari petani penggarap kepada petani pemilik lahan. Jika eksploitasi menjadi tujuan utama dari pemilik lahan maka hal ini dapat saja dilakukan dengan meningkatkan share yang mereka peroleh tanpa harus memusatkan pasar kebutuhan petani penyakap di tangan tuan tanah. Namun ditinjau dari logika efisiensi, peningkatan share bagi petani pemilik akan menurunkan penggunaan tenaga kerja oleh petani penggarap yang berahir pada operasi usahatani yang tidak optimal dan total nilai penerimaan (TVP) yang tidak maksimum. Argumen utama mengenai pandangan eksploitasi dalam aspek pemusatan pasar (interlocked market) disajikan dalam Bhaduri (1973; 1983; 1986). Salah satu kesimpulan yang dikemukakan oleh Bhaduri adalah bahwa sistem pasar yang buruk akan menyebabkan keluaran produksi tidak kompetitif sehingga kesejahteraan petani dari konsep keterpaduan pasar tidak dapat diperbandingkan. Dengan demikian tidak dapat dibuktikan bahwa keterpaduan pasar lebih efisien. Lagi pula tekanan atas penyakap melalui kontrak terpadu semacam ini dapat diartikan bahwa: a. penyakap bukan partisipan tetap dalam perdagangan mereka hanya partisipan yang dipaksa bertransaksi b. fungsi jual beli dalam pasar pada harga ekuilibrium tidak jelas, sebab yang terjadi adalah salah satu pihak memperoleh keuntungan dari kerugian pihak yang lain c. apa yang efisien dari sudut pandang pemilik lahan tidak berimbang dengan efisiensi sosial keluaran pasar yang kompetitif E.Hal-hal penting lainnya dalam pasar pertanian terpadu Hubungan sosial yang muncul dalam transaksi pasar pertanian terpadu umumnya memberikan gambaran adanya kontrol satu pihak atas pihak yang lain sebagai berikut: a. Petani pemilik seringkali berperan sebagai kreditor dalam sistem bagi hasil dan kontrak pinjaman konsumtif b. Majikan dan atau pemberi pinjaman dalam kontrak kerja dan pinjaman konsumsi seringkali menetapkan batasan situasi tenagakerja yang menjadi andalan pekerja dan keluarganya 90

11 c. Pedagang pengumpul dan atau pemberi pinjaman dalam kontrak penjualan hasil panen dan pinjaman konsumsi memperoleh jaminan berupa output pertanian dan ini berlangsung hampir sepanjang tahun d. Pemilik toko barang-barang konsumsi dan atau pemberi pinjaman terlibat dalam hubungan segitiga antara pemilik lahan dan pekerjanya. Seringkali pemilik lahan berperan sebagai agen bagi pemilik toko untuk memberikan pinjaman konsumtif tersebut. Dalam banyak kasus kreditor merupakan jantung dari kontrol nilai transaksi lahan, tenaga kerja dan pasar output. Keterpaduan pasar tidak selalu didasarkan atas mekanisme ini. Sejumlah pola berkembang dari keterkaitan kontrak penjualan eksklusif di mana petani gurem, penyakap atau pemilik terikat dalam sistem bagi hasil dengan nilai input dan harga output yang tetap. Dalam kasus semacam ini terdapat kontrol aktivitas produksi dan kendali informasi atas motivasi keterkaitan pasar kontraktual. F. Aspek Kebijakan Konklusi kebijakan yang dapat ditarik dari teori bagi hasil ini sangat tergantung pada posisi : a. Efisiensi atau inefisiensi organisasi produksi pertanian b. Dampak distribusi pendapatan antara pemilik lahan dan penyakap Karena pada umumnya bagi hasil dikonotasikan sebagai ketidaksetaraan distribusi pendapatan antara pemilik lahan dan petani penyakap sebagian besar aspek kebijakan dipusatkan pada topik ini. 1. Land Reform Reformasi agraria merupakan istrumen dasar kebijakan yang diturunkan dari inefisiensi teoritis pengambilan keputusan dalam sistem bagi hasil dan dampaknya terhadap distribusi income. Tujuan land reform secara umum adalah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan kesetaraan. Kebijakan reformasi agraria berbeda dengan jenis kebijakan lain di mana pemerintah berupaya menciptakan iklim perekonomian yang kondusif untuk memfasilitasi peningkatan kesejahteraan petani gurem. Hal ini dapat dipahami mengingat reformasi agraria berkaitan dengan status kepemilikan. Oleh karena itu kebijakan reformasi agraria sangat dipengaruhi oleh struktur politis suatu negara. Land reform bukanlah proses pergeseran harga marginal relatif ataupun akses terhadap 91

12 sumberdaya, namun melibatkan perubahan dalam skala besar yang mencakup seluruh struktur kepemilikan tanah di suatu negara. Alasan inilah yang menyebabkan land reform terbukti merupakan proposisi yang sulit dan sangat jarang terjadi kecuali dalam gerakan revolusioner. Land reform secara parsial dalam lingkup terbatas tidak pernah berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengalaman land reform yang ada selama ini membuktikan adanya akselerasi transisi pertanian gurem ke arah pertanian kapitalis atau pertanian keluarga yang bersifat komersial. 2. Kontrol Hukum atas Sistem Bagi Hasil dan Tingkat Bunga Kebijakan ini merupakan intervensi pemerintah yang didesain jika pilihan land reform tidak memungkinkan sementara di lain pihak petani penyakap memerlukan proteksi. Bukti atas pengaruh ini tidak dapat dibedakan satu sama lain namun gambaran umum yang diperoleh tidak terlepas dari konteks keterpaduan pasar faktor produksi. Jika bagian hasil yang diperoleh oleh pemilik lahan dijadikan sebagai pedoman penetapan kebijakan maka tingkat bunga pinjaman petani dapat digunakan untuk menggantikan surplus yang dambil oleh penyakap, namun jika diambil sebagai patokan tingkat bunga maka variasi biaya tenaga kerja atau input lainnya dapat digunakan untuk menetralkan kontrol ini. 3. Program Kredit Subsidi Pilihan alternatif, biaya rendah dan kredit untuk petani penyakap adalah cara lain untuk meningkatkan taraf hidup petani penyakap. Hal ini juga berlaku untuk kebijakan target input dan perangkat kebijakan lainnya. Masalah yang muncul dalam penerapan kebijakan ini adalah tingginya biaya administrasi, resiko tunggakan kredit, dan sulitnya kontrol dalam menyalurkan sarana produksi. Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin memiliki beberapa efek positip pada rumahtangga petani gurem tetapi hal ini tidak dapat merubah persepsi bahwa sistem bagi hasil merupakan kendala bagi upaya-upaya peningkatan kesejahteraan petani. Konklusi mengenai respon kebijakan terhadap ketidaksetaraan kekuatan ekonomi pemilik lahan dalam sistem bagi hasil secara tidak langsung menyarankan land reform sebagai satu-satunya kebijakan yang mampu memfasilitasi upaya peningkatan taraf hidup petani gurem (Braverman dan Srinivasan, 1981). Reformasi tanah yang bersifat parsial hanya akan mengukuhkan kekuatan pemilik lahan melalui mekanisme 92

13 keterpaduan pasar di mana pemilik lahan berperan sekaligus sebagai majikan, dan pemberi pinjaman. G.Jangkauan Perspektif Analisis bagi hasil yang dibahas dalam bab ini lebih menekankan pada sejumlah pengujian model dan relevansi interaksi antar rumahtangga dengan lingkungan ekonomi yang lebih luas. Hal ini karena setiap keputusan yang diambil oleh petani penyakap tidak pernah terlepas dari perspektif pasar yang lebih luas. Kesadaran atas pengaruh hubungan sosial di sektor pertanian terhadap produksi usahatani dan penggunaan sarana produksi sebenarnya sudah semakin mendapat tempat dalam tulisan para ekonom neoklasik. Seperti beberapa model ekonomi rumahtangga lainnya, teori usahatani bagi hasil ini juga tidak menjelaskan dampak dari bentuk produksi terhadap hubungan kekerabatan dalam keluarga petani khususnya dengan peranan wanita. Tampaknya kehadiran sistem bagihasil serta pemasaran yang terpusat pada petani pemilik memberikan beban yang lebih berat kepada kaum wnita. Hal ini khusnya disebabkan oleh ketidak-mampuan rumahtangga petani penyakap untuk memperbaiki taraf hidup keluarganya. H. Ringkasan 1. Bab ini membahas analisis mikroekonomi pada usahatani bagi hasil 2. Sistem sakap bagi hasil meliputi interaksi antara rumahtangga yang memiliki akses berbeda terhadap lahan dan sumberdaya lainnya. 3. Model penyakap mengilustrasikan fenomena kekuasaan petani penyakap untuk mengambil keputusan atas penggunaan sarana produksi dengan kendala bagian bagi hasil yang dapat dia peroleh. Dalam asumsi pasar sempurna petani penyakap akan mengusahakan lahan usahatani di bawah kapasitas optimum. 4. Model pemilik lahan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya pada petani pemilik. Dengan model ini petani pemilik akan berupaya menontrol penyakap agar beroperasi pada titik optimum. 5. Penjelasan mengenai sistem bagi hasil, telah didekati dari berbagai aspek seperti faktor ketidak pastian, motivasi tenaga kerja, pengawasan, kerjasama, dan permasalahan informasi. 93

14 6. Petani dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam mengontrol penggunaan sarana produksi hingga titik yang optimal oleh penyakap dengan cara memadukan sistem pasar di tangan petani pemilik. 7. Pemaduan pasar oleh petani pemilik diinterprestasikan sebagai respon dari petani pemilik terhadap ketidak sempurnaan pasar. 8. Disisi lain juga dapat diinterpretasikan bahwa pemusatan pemasaran ditangan petani pemilik merupakan salah satu cara untuk melakukan eksploitasi sumberdaya 9. Berbagai kebijakan dirancang untuk mengangkat permasalahan ketimpangan penguasaan sumberdaya antara masing-masing pihak, termasuk diantaranya landreform, melembagakan sistem bagi hasil dan suku bunga, serta program kredit khusus yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup petani penyakap 10. Analisis sistem sakap bagi hasil memperjelas kesaling-tergantungan antara pengambilan keputusan oleh petani penyakap dengan lingkungan ekonomi yang lebih luas. 94

TUJUAN PEMBELAJARAN SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION. seimbang antar strata sosial di pedesaan.

TUJUAN PEMBELAJARAN SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION. seimbang antar strata sosial di pedesaan. SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: PRAKTEK PENYAKAPAN DAN BAGI HASIL OLEH PETANI GUREM Tatiek Koerniawati Andajani, SP.MP. Laboratorium Ekonomi Pertanian, FP-Universitas

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Penelitian 3.1.1 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian Pada umumnya rumahtangga pertanian di pedesaan mempunyai ciri semi komersial karena penguasaan skala

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Definisi usahatani ialah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Ekonomi 3.1.1. Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh.

Lebih terperinci

EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia

EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia Modul 1 Tutorial Ekonomi Produksi Pertanian ini wajib dibaca sebagai bahan kajian utama pada tutorial pertama. Sumber pembelajaran dan komunikasi

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu,

Lebih terperinci

Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung. perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian

Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung. perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Setiap petani dalam pengelolaan usahataninya mempunyai tujuan yang berbedabeda. Ada tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang disebut usahatani subsisten,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang 302 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani, harga bayangan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga dan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Becker (1965), mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku rumahtangga (household behavior). Teori tersebut memandang rumahtangga sebagai pengambil

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Menurut Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN 7.1. Hasil Validasi Model Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai faktor ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

PEMASARAN HASIL PERTANIAN: Aplikasi Penawaran dan Permintaan

PEMASARAN HASIL PERTANIAN: Aplikasi Penawaran dan Permintaan SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT PEMASARAN HASIL PERTANIAN: Aplikasi Penawaran dan Permintaan Prof. Ir. Ratya Anindita, MSc., Ph.D. Lab. Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Ekonomi 3.1.1.1 Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktorfaktor produksi dengan produk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Oleh : Marsuki Disampaikan dalam Seminar Serial Kelompok TEMPO Media dan Bank Danamon dengan Tema : Peran Pemberdayaan dalam Pengembangan Ekonomi Daerah.

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan merupakan suatu rancangan kerja penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan konsep dan teori dalam menjawab

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan kepada agents untuk memproduksi kayu sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

MAKALAH EKONOMIKA PEMBANGUNAN 1 MODAL MANUSIA: PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

MAKALAH EKONOMIKA PEMBANGUNAN 1 MODAL MANUSIA: PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI MAKALAH EKONOMIKA PEMBANGUNAN 1 MODAL MANUSIA: PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI Oleh: Martha Hindriyani 10/299040/EK/17980 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar ini dilakukan di Desa Gunung Malang yang berada di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan modal petani untuk

KERANGKA PEMIKIRAN. diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan modal petani untuk 43 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual yang dibangun pada penelitian ini didasari adanya anggapan bahwa rendahnya produktivitas yang dicapai petani tomat dan kentang diduga

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG

PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG Oleh: Aladin Nasution*) Abstrak Dalam pembangunan pertanian diperlukan empat faktor penggerak yaitu sumberdaya lahan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Padi Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Dari uraian dan berbagai temuan serta hasil pengkajian dari temuan lapang di Indramayu dan Pontianak tersebut, secara sederhana dapat disajikan beberapa simpulan

Lebih terperinci

Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan

Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan BAGIAN 1 Prinsip & Konsep Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan Berdasarkan pengalaman selama lebih dari setengah abad dengan mencoba mendorong pembangunan modern, kita telah

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Nama Mata Kuliah / Kode Mata Kuliah : PENGANTAR EKONOMI MIKRO / MKKK 203 3 SKS Deskripsi Singkat : Mata Kuliah Keahlian

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM BESARAN KARAKTERISTIK MARKETABLE SURPLUS BERAS Oleh : Nunung Kusnadi Rita Nurmalina

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat

Lebih terperinci

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si BAB. X. JARINGAN USAHA OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si SEBAGAI EKONOMI RAKYAT Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi menggambarkan suatu dampak

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan faktor penting dalam proses pembangunan yakni sebagai penyedia tenaga kerja. Namun dengan kondisi tenaga kerja dalam jumlah banyak belum menjamin bahwa

Lebih terperinci

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pengertian dan Pola Kemitraan Usaha Kemitraan usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka. IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukahaji merupakan salah satu

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Kombinasi Produk Optimum Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini

Lebih terperinci

TINJAUAN AKUNTANSI DAN LANDASAN TEORITISNYA (Materi 1)

TINJAUAN AKUNTANSI DAN LANDASAN TEORITISNYA (Materi 1) TINJAUAN AKUNTANSI DAN LANDASAN TEORITISNYA (Materi 1) Dari segi fungsinya, akuntansi merupakan : a. Aktivitas penyediaan jasa b. Sistem Informasi c. Kegiatan deskriptif analisis Aktivitas Penyediaan Jasa

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Risiko Istilah risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty) sering digunakan secara bersamaan atau bahwa risiko sama dengan ketidakpastian.

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN Oleh: Henny Mayrowani Tri Pranadji Sumaryanto Adang Agustian Syahyuti Roosgandha Elizabeth PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, serta memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, hal ini membuat Indonesia pantas disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah komoditas strategi karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Langkah awal dalam menganalisis suatu risiko adalah dengan melakukan identifikasi pada risiko dan sumber risiko yang dihadapi oleh suatu perusahaan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

EKONOMI PUBLIK JUNAEDI

EKONOMI PUBLIK JUNAEDI EKONOMI PUBLIK JUNAEDI Contents 1 PENDAHULUAN 2 PERAN PEMERINTAH 3 KEGAGALAN PASAR 4 RUMAH TANGGA PEMERINTAH PENDAHULUAN Ekonomi Publik Definisi: studi tentang kebijakan ekonomi, dengan penekanan khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak didukung oleh peran perbankan dalam membangun negaranya.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak didukung oleh peran perbankan dalam membangun negaranya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia perbankan merupakan kunci perekonomian suatu negara, baik itu negara yang sedang berkembang maupun negara yang telah maju. Bank mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian sudah seharusnya mendapat prioritas dalam kebijaksanaan strategis pembangunan di Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia,

Lebih terperinci

Bab V. PETANI GUREM DAN KECENDERUNGAN MENGHINDARI RESIKO

Bab V. PETANI GUREM DAN KECENDERUNGAN MENGHINDARI RESIKO Bab V. PETANI GUREM DAN KECENDERUNGAN MENGHINDARI RESIKO A. Petani Gurem dan Ketidakpastian Tulisan ini mencoba memaparkan salah satu karakteristik petani gurem, yang cenderung menolak atau menghindari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Fenomena yang berkembang pada saat ini menggambarkan bahwa sektor properti dan real estate merupakan sektor bisnis yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan yang dimiliki oleh wanita dapat diketahui potensial pasar yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan yang dimiliki oleh wanita dapat diketahui potensial pasar yang cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita adalah gender yang jarang terangkat keberadaannya, namun dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh wanita dapat diketahui potensial pasar yang cukup menjanjikan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Agribisnis Agribisnis sering diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian.sistem agribisnis sebenarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Organisasi Produksi Usahatani Menurut Rivai dalam Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja dan modal

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep dan Definisi Risiko Menurut Frank Knight, risiko menunjukkan peluang terhadap suatu kejadian yang dapat diketahui oleh pelaku bisnis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Bachtiar Rivai (1980) yang dikutip oleh Hernanto (1996),

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Bachtiar Rivai (1980) yang dikutip oleh Hernanto (1996), III. KERANGKA PEMIKIRAN 3. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.. Konsep Usahatani Menurut Bachtiar Rivai (980) yang dikutip oleh Hernanto (996), mengatakan bahwa usahatani merupakan sebuah organisasi dari alam,

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN

TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN Prinsip-Prinsip Efisiensi Usahatani Usahatani ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi 243 VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan menggunakan model

Lebih terperinci

BEBERAPA KRITIK ATAS LABA AKUNTANSI DALAM BENTUK TRADISIONAL:

BEBERAPA KRITIK ATAS LABA AKUNTANSI DALAM BENTUK TRADISIONAL: KONSEP LABA PENDAHULUAN: Laba adalah kenaikan asset dalam satu periode akibat kegiatan produktif yang dapat di bagi atau di didistribusi kepada kreditor, pemerintah, pemegang saham (dalam bentuk bunga,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Pengertian Usahatani Rifai (1973) dalam Purba (1989) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian dari faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diversifikasi Siegler (1977) dalam Pakpahan (1989) menyebutkan bahwa diversifikasi berarti perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci