IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 59 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) merupakan salah satu Taman Nasional yang ada di Indonesia, ditunjuk tanggal 26 Februari 1992 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 luasnya Ha yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun yang dilanjutkan dengan penetapan organisasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun terdiri dari tiga seksi wilayah yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak melalui SK No. 185/Kpts-II/1997. Secara administratif TNGH masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan 46 desa, 13 kecamatan dan 3 (tiga) kabupaten. Masing-masing 13 desa dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Bogor, 14 desa dan 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Sukabumi, dan 19 desa dan 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Lebak. Daerah studi meliputi 3 (tiga) desa yang berada di wilayah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. ketiga daerah studi tersebut yaitu: 1) Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat; 2) Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan 3) Desa Lebak Sangka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Luas wilayah dan batas administrasi lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5.

2 60 Gambar 5. Peta Lokasi Studi 4.2. Sistem Tenurial Di kawasan TNGH dikenal beberapa sistem tenurial (sistem kepemilikan lahan) yang digunakan oleh masyarakat. Dalam penelitiannya Harada et al. (2001) mendokumentasi 9 (Sembilan) sistem tenurial yang berlaku pada masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Adapun kesembilan sistem tenurial tersebut adalah: 1) Warisan (inheritance) ialah tanah yang dikelola secara turun temurun. Hak pengelolaan dialihkan kepada ahli waris (anak) dengan membagi sama luas lahan baik untuk anak laki-laki maupun perempuan; 2) Mulung (Reclamation) atau memungut ialah menggunakan lahan yang sebelumnya pernah digarap orang lain tapi kemudian ditinggalkan. Tidak diperlukan ijin dari pengelola sebelumnya; 3) Ngaluaran tanaga (sale based on labor) ialah membeli hak atas tanah dengan membayar buruh untuk menggarap lahan atau menukarnya dengan ternak, tidak dengan uang; 4) Pamasihanan/pamere (alienation) atau pemberian ialah hak atas lahan berdasarkan hadiah dari pengelola sebelumnya; 5) Jual beli (sale) ialah sistem untuk mendapatkan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang bersifat permanen atau semi permanen. Jual beli ini biasanya dilakukan harus dengan ijin dari pemilik awal;

3 61 6) Gade (security) atau gadai ialah memberikan hak atas lahan yang dimiliki untuk mendapatkan pinjaman. Hak harus dikembalikan jika pinjaman sudah dibayar. Lahan tidak boleh dipindahtangankan kepada orang lain. Jangka waktu pengembalian pinjaman biasanya tidak diberlakukan namun peminjam dapat mengelola lahan sesuai dengan keinginannya dan jangka waktu sampai hutang terbayar; 7) Maparo / maro / nengah (rent with compensation) atau menyewa dengan kompensasi ialah sistem pengelolaan atas lahan dengan cara bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap. Jumlah atau besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak; 8) Nginjeum / numpang garap (rent without compensation) atau meminjam lahan garapan ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain tanpa kompensasi. Pengguna tidak boleh menanam atau menebang pohon; dan 9) Sewa (contract) atau kontrak ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain dengan kompensasi. Mengacu pada ke-9 jenis sistem tenurial ini dan berdasarkan hasil observasi lapangan, sistem tenurial yang dapat diidentifikasi di lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sistem Tenurial di Lokasi Studi No Lokasi Penelitian Sistem Tenurial 1. Desa Pasir Madang Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, jual beli, pamasihanan, sewa 2. Desa Sinaresmi Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, pamasihanan, maparo 3. Desa Lebak Sangka Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, jual beli, sewa, maparo 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGHS Karakteristik Penduduk Berdasarkan data penduduk tahun 2006, jumlah penduduk dari 3 (tiga) desa yang dijadikan obyek penelitian adalah jiwa dengan proporsi laki-laki sebesar 49,00% dan perempuan 51,00%, sementara jumlah kepala keluarga sekitar jiwa. Jumlah penduduk di lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 6.

4 62 3,000 2,693 2,745 Jumlah penduduk (jiwa) 2,500 2,000 1,500 1, ,210 2, ,818 1,672 1, Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Kepala Keluarga (KK) 0 Desa Pasir Madang Desa Sinaresmi Desa Lebak Sangka Gambar 6. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian Jumlah perempuan lebih banyak ditunjukkan oleh Desa Pasir Madang dan Sinaresmi dengan masing-masing proporsi sebesar 52,13% dan 50,48%, sedangkan proporsi jumlah penduduk laki-laki yang lebih banyak ditunjukkan oleh Desa Lebak Sangka sebesar 50,68%. Sementara jumlah KK terbanyak ditunjukkan oleh Desa Sinaresmi yaitu sebesar 52,49% dari total KK ketiga desa tersebut. Karakteristik penduduk dianalisa berdasarkan ukuran jumlah sampel responden yang digunakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, rata-rata umur responden adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 24 tahun hingga 70 tahun. Persentase terbanyak responden berada pada kelompok umur tahun yaitu sebesar 27,80%, diikuti oleh kelompok umur tahun dengan persentase yang tidak berbeda jauh yakni sebesar 26,70%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa rata-rata responden merupakan angkatan kerja yang dapat bekerja secara optimum dalam mencari nafkah hidup keluarganya. Sebaran data responden dari sampel yang diambil berdasarkan kategori umur ini berbeda dibandingkan sebaran populasi penduduk untuk wilayah kabupaten, provinsi maupun nasional. Sebaran responden berdasarkan kategori usia berikut sebaran populasi tingkat kabupaten, provinsi dan nasional selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

5 63 Persentase Jumlah Jumlah (%) Penduduk (%) Nasional Propinsi Kabupaten Sampel > 60 Umur(tahun) Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Usia Hasil sil analisa menunjukkan bahwa hanya nya kelompok umur tahun dan kelompok umur >60 tahun saja yang mendekati persentase populasi. Untuk kelompok umur tahun masih berada dii bawah persentase populasi (29, (29,232,1%) yaitu sebesar 15,6%, 15, sementara untuk kelompok umur tahun dan tahun berada di atas persentase populasi. Sementara jumlah anggota keluarga yang teridentifikasi di lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar Jumlah (%) Jumlah KK (jiwa) Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

6 64 Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa rata-rata rata jumlah anggota keluarga responden adalah 4, orang dengan persentase terbesar berada pada kategori kurang dari atau sama dengan 4 (empat) anggota keluarga yaitu sebesar 51,10%. Hanya 10,00% 00% saja keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 7 (tujuh) orang. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak memiliki peluang untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya potensial dalam membantu mencari pendapatan untuk keluarganya seperti mengolah la lahan, dan lain-lain Ketenagakerjaan Hasil sil penelusuran di lapangan teridentifikasi bahwa masyarakat yang ada di wilayah obyek penelitian memiliki beragam profesi pekerjaan pokok sebagai mata pencaharian rian utama. Besaran nilai yang diperoleh dari hasil sil sampling responden kemudian dibandingkan dengan kondisi pekerjaan pokok pada tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan pokok selengkapnya disajikan pada Gambar % Nasional Propinsi 3.3 Kabupaten Sampel 0 Petani PNS Buruh Pedagang Pekerjaan Gambar 9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Pokok Berdasarkan Gambar 9, 9 terlihatt bahwa pekerjaan pokok sebagai petani merupakan jenis pekerjaan yang paling dominan yaitu sebesar 58,90% 58 90%. Kondisi

7 65 tersebut di atas persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional yang hanya sebesar 31,40-47,80%. Kondisi tersebut juga ditunjukkan pada skala kabupaten, provinsi maupun nasional bahwa sebagian besar kecenderungan pekerjaan utama atau pokok masyarakat adalah petani. Untuk pekerjaan pokok wiraswasta/pedagang, sampel yang didapat sekitar 30%, kondisi ini juga sedikit di atas persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional yang hanya sebesar 23,5-29.4%. Kondisi yang sama juga ditunjukkan pada skala kabupaten, provinsi maupun nasional bahwa porsi pekerjaan utama atau pokok masyarakat terbesar kedua adalah sebagai pedagang atau wiraswasta. Sementara untuk pekerjaan pokok kelompok swasta dan PNS/Guru/KepalaDesa/LPM persentase sampel yang diambil berada di bawah persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional. Namun jika dilihat berdasarkan populasi tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional, pekerjaan pokok terbesar ketiga adalah buruh Pendidikan Secara umum tingkat pendidikan berdasarkan sampel di lapangan kondisinya menunjukkan berada di bawah rata-rata pendidikan penduduk provinsi. Rendahnya tingkat pendidikan formal tersebut tidak terlepas dari masih rendahnya kesadartahuan masyarakat akan pentingnya manfaat pendidikan. Umumnya masih beranggapan bahwa percuma saja sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya nanti kembali lagi bekerja di sawah. Pendidikan rendah menyebabkan kemampuan menganalisis dan memanfaatkan informasi mengenai peluang meningkatkan penghasilan menjadi rendah. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan selengkapnya disajikan pada Gambar 10.

8 % Nasional Propinsi 3 Kabupaten Sampel SD dan SLTP SLTA Diploma/Sarjana Pendidikan Gambar 10. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dari Gambar 10, 10 terlihat bahwa persentase ersentase terbanyak tingkat pendidikan responden adalah SD dan SLTP (70,00%) (70 00%) yang termasuk dalam kategori pendidikan rendah, kondisi ini di bawah persentase populasi ulasi kabupaten yang sebesar 75,2% 2% dan populasi provinsi sebesar 32,1%. kecenderungan kondisi tersebut di atas sebenarnya sama dengan kondisi pada tingkat kabupaten dan nasional, hanya nya pada tingkat provinsi, pendidikan tamatan SD dan SLTP menempati urutan kedua kedua, yang lebih banyak adalah pendidikan tamatan SLTA. Sementara untuk tamatan SLTA sampel yang didapat sebesar 20%, ha hampir sama dengan populasi kabupaten (21,8%) (21 dan nasional (22,7%). 7%). Sedangkan untuk tamatan diploma/sarjana sampel yang didapat sebesar 10%, di atas populasi kabupaten (3%) dan nasional (7,6%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proporsi tamatan tingkat pendidikan diploma/sarjana sampai tingkat nasional memiliki nilai paling sedikit Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi di wilayah kajian umumnya masih tergolong rendah jika dilihat dari nilai pendapatan per kapita per bulan, bulan, namun dalam skala provinsi menunjukkan nilai yang relatif kecil. Hall ini mengindikasikan bahwa masyarakat di wilayah kajian masih tergolong miskin, dalam artian memiliki peng penghasilan

9 67 yang masih rendah dari rata-rata penghasilan penduduk yang tersebar di wilayah kabupaten lainnya. Sebaran responden berdasarkan kategori tingkat pendapatan selengkapnya disajikan pada Gambar 11. % < > 400 sampel Propinsi Pendapatan (ribu rupiah/ kapita /bulan) Gambar 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Pendapatan Rata-rata tingkat pendapatan responden tergolong kecil yakni Rp ,60/kapita/bulan. Jika dilihat berdasarkan kategorinya, ternyataa sebanyak 46,7% responden tergolong dalam kategori pendapatan Rp ,- /kapita/bulan. Selanjutnya tingkat pendapatan responden tersebut jika dibandingkan dengan garis kemiskinan Indonesia (Bappenas, 2006), yakni sebesar Rp /kapita/bulan, ternyata sebanyak 55,6% responden masih berada di bawah garis kemiskinan. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi sarana dan prasarana yang tersedia, terutama kondisi aksesibilitas jalan jelek yang tentunya sangat berpengaruh dalam kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Jalan yang ada sebagian besar masih berupa jalan tanah dan sempit yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua (ojek), sehingga masyarakat merasa kesulitan dalam mendistribusikan hasil-hasil pertanian dan hal tersebut banyak dimanfaatkan oleh para tengkulak yang datang dari kota dengan membeli hasil-hasil pertanian masyarakat dengan harga murah.

10 Penggunaan Lahan Penguasaan lahan yang sempit mengakibatkan terbatasnya kesempatan menanam jenis komoditas yang dibutuhkan, sehingga sumberdaya tersedia dalam jumlah sedikit. Penguasaan lahan sedang memungkinkan kesempatan menanam sumberdaya yang dibutuhkan relatif lebih besar. Sebaran luas penguasaan lahan di lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 12. Jumlah (jiwa) Sempit (< 0.25 ha) Sedang ( ha) Luas (> 0.5 ha) Luas penguasaan lahan Gambar 12. Sebaran Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan Berdasarkan Gambar 12, menunjukkan bahwa persentase terbanyak penguasaan lahan responden adalah tergolong sempit (< 0,25 ha), yaitu sebesar 57,80%. Berikutnya kepemilikan lahan terbanyak kedua adalah tergolong sedang (0, ha) yaitu sebesar 28,90%. Alih fungsi lahan sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya. Alih fungsi lahan ini akan berdampak terhadap menurunnya aktivitas ekonomi yang berbasis pada pemanfaatan lahan. Sempitnya luas lahan yang dikuasai untuk diolah oleh masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hasil pertanian yang diperolehnya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sehari-hari. Dengann kata lain, penduduk yang memiliki lahan sempit (<0,5 ha) atau sama sekali tidak memiliki tanah, mereka adalah penduduk miskin karena tidak mampu memenuhi kesejahteraan keluargaa (Sayogyo, 1996). Dimana Menurut kriterianya, berdasarkan Kriteria Sayogyo bahwa lahan minimal yang harus diusahakan untuk mendapat hidup layak adalah ,28 ha. Dengan luas lahan tersebut masyarakat dapat mengusahakaannya sehingga menghasilkan pendapatan (income) yang minimal setara dengan 320 kg beras/kapita/tahun. Hasil penelitian

11 69 Gunawan (1999) mengindikasikan adanya kecenderungan yang menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang sempit (< 0,25 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong rendah terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS, kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang sedang (0,25-0,5 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong sedang terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS, dan kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang luas (> 0,5 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong tinggi terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS. Kegiatan pemanfaatan/pengambilan sumberdaya hutan tersebut seringkali menimbulkan kerusakan fisik pada sumberdaya hutan yang diambil yang lama kelamaan apabila hal tersebut terus terjadi dapat menimbulkan kerusakan pada fungsi hutan tersebut. Pada masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang tergolong luas (> 0,5 ha), sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi dari hasil pertanian dan kebun, sehingga pemanfaatan/ pengambilan sumberdaya hutan, baik di hutan produksi milik Perum Perhutani ataupun di hutan TNGHS jarang dilakukan oleh masyarakat golongan ini. Sedangkan pada masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang tergolong sedang (0,25-0,5 ha), kebutuhan hidup sehari-harinya memang tidak semuanya dapat terpenuhi dari hasil pertanian dan kebun yang diolahnya, tetapi pemanfaatan/pengambilan sumberdaya hutan, baik dari hutan produksi milik Perum Perhutani ataupun hutan TNGHS tidak sebanyak dan sesering seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang tergolong menguasai lahan sempit (<0,25 ha) Aktivitas Masyarakat terhadap TNGHS Sebagian besar responden termasuk jarang hingga tidak pernah pergi ke kawasan hutan (40,4%), karena responden beranggapan terlalu berbahaya jika sering-sering pergi ke hutan. Berbagai kegiatan dilakukan oleh responden ketika mengunjungi kawasan hutan, diantaranya adalah mengambil hasil hutan (37,3%), membetulkan saluran irigasi (30,5%) atau pun hanya sekedar melintas ke kampung lain (28,8%). Sementara itu sebagian besar (74,4%) responden

12 70 menyatakan menyadari dampak akibat kegiatannya, sementara sisanya yakni sebanyak 25,6% belum menyadari dampak akibat kegiatan di TNGHS. Sebaran responden mengenai kegiatan, kesadaran akan pelestarian dan pengelolaan TNGHS selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kegiatan, Kesadaran Pelestarian dan Pengelolaan TNGHS Kegiatan Jumlah (n) Persentase (%) Frekuensi ke kawasan hutan (TNGHS) Sering (minimal 2x sebulan) 14 15,6 Jarang (<2x sebulan) 40 44,4 Tidak pernah 36 40,0 Kegiatan yang dilakukan di TNGHS (jawaban lebih dari satu) Mengambil hasil hutan 22 37,3 Rekreasi memandu wisata 2 3,4 Melintas ke kampung lain 17 28,8 Membetulkan saluran irigasi 18 30,5 Kesadaran tentang kegiatan di TNGHS Menyadari dampak 67 74,4 Belum menyadari dampak 23 25,6 Kegiatan yang pernah dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendukung pelestarian SDH TNGHS (jawaban dapat lebih dari satu) Mengikuti kegiatan penghijauan di sekitar /luar TNGH 33 63,5 Mengikuti penyuluhan/ sarasehan tentang TNGHS 7 13,4 Menyebarluaskan informasi keberadaan TNGHS dan aturan-aturannya serta mengajak masyarakat untuk turut serta melestarikan hutan TNGHS 12 23,1 Bentuk pengelolaan TNGHS yang diinginkan masyarakat Melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya 69 76,7 Tidak tahu 21 23,3 Dalam upaya mendukung pelestarian sumberdaya taman nasional, ada berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat diantaranya mengikuti kegiatan penghijauan di sekitar/luar TNGH (63,5%), menyebarluaskan informasi keberadaan TNGHS dan aturan-aturannya serta mengajak masyarakat lainnya untuk turut serta melestarikan hutan TNGHS (23,1%) dan mengikuti penyuluhan/ sarasehan tentang TNGHS (13,4%). Bentuk pengelolaan yang diinginkan masyarakat dalalm upaya mempertahankan kelestarian kawasan hutan TNGHS, adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya (76,7%). Meskipun demikian, ada segelintir responden (23,3%) yang menyatakan tidak tahu bentuk pengelolaan TNGHS yang diinginkannya, ini dikarenakan tidak pedulinya masyarakat

13 71 terhadap pengelolaan TNGHS. Dengan kondisi tersebut di atas sebaiknya secara intensif pihak pengelola melakukan sosialisasi program pengelolaan kepada masyarakat sekitar kawasan TNGHS sampai saat memahami dan mampu mentransformasikan informasi yang diperoleh dari hasil sosialisasi tersebut Persepsi Masyarakat terhadap Taman Nasional Berdasarkan hasil analisa di lapangan (Tabel 8) terlihat bahwa sebanyak 67,8% responden menyatakan sebaiknya masyarakat diperbolehkan mengambil kayu bakar dengan bebas dari dalam kawasan Taman Nasional dan setuju bahwa masyarakat diperbolehkan mengambil/memanfaatkan buah-buahan, pakis, atau bambu dari dalam kawasan Taman Nasional (64,4%). Sementara itu, masingmasing di atas 90% responden setuju bahwa masyarakat ikut dalam kegiatan pelestarian TNGHS (misalnya penanaman pohon) dan berkembangnya kegiatan wisata di Taman Nasional. Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Responden terhadap Taman Nasional Sikap Responden terhadap Taman Nasional 1. Masyarakat diperbolehkan mengambil kayu bakar dengan bebas dari dalam kawasan Taman Nasional 2. Masyarakat diperbolehkan mengambil/memanfaatkan buah-buahan, pakis, bambu, dari dalam kawasan Taman Nasional 3. Masyarakat dapat dengan bebas berburu satwa di dalam kawasan Taman Nasional 4. Masyarakat dapat menggunakan/menyerobot lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian 5. Masyarakat melakukan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional 6. Masyarakat menggembalakan ternaknya di dalam kawasan Taman Nasional 7. Masyarakat ikut dalam kegiatan pelestarian TNGHS (misalnya penanaman pohon) 8. Berkembangnya kegiatan wisata di Taman Nasional 9. Pengunjung melakukan kegiatan yang merusak TNGHS (misalnya membuang sampah sembarangan, vandalisme, berburu) 10. Taman Nasional adalah hutan milik negara yang memberikan keuntungan kepada masyarakat Setuju Tidak setuju Tidak peduli n % n % n % 61 67, ,1 1 1, , ,4 1 1, , ,8 0 0,0 8 8, ,9 2 2,2 2 2, ,6 2 2, , ,1 5 5, ,4 5 5,6 0 0, ,7 2 2,2 1 1,1 2 2, ,8 0 0, , ,4 1 1,1

14 72 Bila dicermati satu persatu, secara umum sikap lebih dari 70% responden terhadap taman nasional sudah cukup baik. Responden tidak menyetujui berburu satwa dengan bebas (77,8%), menggunakan/menyerobot lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertaniann (88,9%), melakukan penebangann pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional (95,6%), menggembalakan ternaknya di dalam kawasan Taman Nasional (71,1%), dan pengunjung yang melakukan kegiatan yang merusak TNGHS sebesar 97,8% (misalnya membuang sampah sembarangan, vandalisme, berburu) Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya Berbagai jenis sumberdaya hutan TNGHS yang dimanfaatkann oleh para responden selengkapnyaa disajikan pada Gambar Kayu bakar (batang) 5 66 Bambu (batang) 6 4 Bahan Emas (karung) 8 17 Rumput (karung) 37 Intensitas(kali/tahun) Jumlah (per tahun) Sumber daya hutan Gambar 13. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannyaa Rata-rata kayu bakar yang dimanfaatkan setiap tahunnya adalah 673 batang dengan intensitas pengambilan 5 kali per tahun. Sedangkan bambu dimanfaatkan dengan kuantitas 66 batang per tahun dengan intensitas pengambilan 6 kali per tahun. Bahan emas dan rumput dimanfaatkan dengan rata- dan 17 rata yang tidak begitu besar setiap tahunnya yakni berturut-turut 8 karung karung dengan intensitas pemanfaatan masing-masing 4 dan 37 kali per tahun. Bila dilihat secara keseluruhan intensitas dan jumlah yang per tahun, sebenarnya

15 73 dampak gangguan yang terjadi terhadap sumberdaya TNGHS tidak terlalu tinggi. Meskipun rata-rata nilai yang dihasilkan relatif kecil, namun kegiatan tersebut tetap menjadi perhatian pihak taman nasional, mengingat lokasi kegiatan berada di kawasan konservasi. Sekecil apapun dampaknya terhadap ekosistem, akan lebih bijak jika dilakukan antisipasi sejak dini Sistem Kelembagaan Karakteristik Sistem Sumberdaya Secara umum, sebagian besar responden menyatakan bahwa ukuran sumberdaya/lahan, kepemilikan sumberdaya lahan dan intensitas pengolahan lahan adalah penting. Sementara Wade dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa barang milik umum untuk resiko lingkungan adalah suatu faktor penting dengan menyediakan set-set pertimbangan mengenai keberhasilan manajemen sumberdaya umum. Menurut Wade (1988, 1994), aturan pembatasan yang efektif terhadap akses dan penggunaan sumberdaya umum tidak mungkin terselesaikan jika terdapat banyak pengguna dan batasan-batasan sumberdaya umum yang tidak jelas. Berkaitan dengan penelitian Wade yang lebih menekankan pada kuantitas pengguna dan batasan sumberdaya umum, maka karakteristik sistem sumberdaya yang penting dalam penelitian ini adalah besarnya ukuran sumberdaya, status kepemilikan sumberdaya, intensitas pengolahan lahan dan penyimpangan manfaat dari sumberdaya. Persentase tingkat kepentingan responden mengenai persepsi terhadap karakteristik sistem sumberdaya disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Sistem Sumberdaya

16 74 Status kepemilikan sumberdaya/lahan yang digunakan oleh sebagian besar (83,3%) responden adalah milik sendiri. Sisanya merupakan sewa (12,2%), milik negara (3,3%) ataupun menggarap lahan orang lain (1,1%). Konsekuensi terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan adalah kurangnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendapatan, ketidakpastian pengelolaan hutan oleh masyarakat, rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya hutan oleh masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, sehingga unsur-unsur yang timbul terhadap karakteristik sistem sumberdaya (Gambar 14) tersebut adalah penting bagi masyarakat. Jumlah dan persentase status kepemilikan sumberdaya/lahan yang digunakan disajikan pada Gambar 15. Jumlah (%) Milik Sendiri Sewa Milik Negara Lahan orang lain Kepemilikan lahan Gambar 15. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Sumberdaya/ Lahan yang Digunakan Adapun rata-rata luas lahan yang digunakan responden untuk bekerja adalah 0,37 hektar dengan kisaran 0 hingga 3 hektar. Intensitas pengolahan lahan berkisar antara 1 sampai 4 kali setahun dengan rata-rata 1,83 kali setahun. Sementara itu, persentase penyimpangan manfaat dari sumberdaya lahan yang digunakan responden adalah 56,01% dengan kisaran %. Analisaa deskriptif karakteristik sumberdaya lahan selengkapnya disajikan pada Tabel 9.

17 75 Tabel 9. Analisis Deskriptif Karakteristik Sumberdaya Lahan Karakteristik Sumberdaya Lahan Rata-Rata SD Minimum Maksimum Luas lahan yang digunakan untuk 0,37 0,49 0,00 3,00 bekerja(ha) Intensitas pengolahan lahan (kali/tahun) 1,83 0,62 1,00 4,00 Pemanfaatan lahan yang ada di kawasan TNGHS untuk lahan pertanian ataupun oleh masyarakat di luar responden yang membangun vila-vila atau gubuk-gubuk liar yang seharusnya tidak boleh dilakukan di kawasan tersebut. Dengan kondisi luas lahan yang digunakan untuk bekerja dan intensitas pengolahan lahan yang dilakukan menimbulkan dampak pengembangan potensi masyarakat menjadi tidak optimal dan masyarakat semakin tidak berdaya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Akibatnya masyarakat sekitar hutan tetap miskin dan muncul kecemburuan sosial di antara anggota masyarakat, yang bermuara pada semakin tidak harmonisnya hubungan masyarakat dan sumberdaya hutan Karakteristik Organisasi Persepsi responden terhadap karakteristik kelembagaan yang berkaitan dengan jumlah anggota organisasi (50,0%), adanya batasan keanggotaan (71,1%), aturan yang dipergunakan (64,4%), pola kepemimpinan dalam organisasi/kelompok (68,9%), mengindikasikan bahwa eksistensi kelembagaan menjadi penting bagi masyarakat dan masyarakat siap untuk berorganisasi. Kesuksesan program pemberdayaan masyarakat juga sangat ditentukan oleh seberapa besar kekuatan sosial capital yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat. Melemahnya sosial capital (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan akan berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan tidak efektifnya berbagai program. Ketika masyarakat beranggapan bahwa kelembagaan tidak terlalu penting, yang mungkin terjadi adalah program pemberdayaan masyarakat menjadi kehilangan arah dan berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Selain itu rendahnya sosial capital juga dapat menjadi faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap program pemberdayaan dari pemerintah dan kurang optimalnya internalisasi kebijakan di tingkat masyarakat.

18 76 Menurut Oslon (1965), organisasi yang lebih kecil cenderung lebih berhasil dalam melakukan tindakan kolektif. Ini didukung oleh Baland dan Platteau (1999) yang menyatakan semakin kecil ukuran suatu organisasi semakin kuat kemampuannya untuk betindak kolektif. Sementara Marweel dan Oliver (1993) mempunyai pendapat yang ambiguitas dengan Oslon, yaitu ukuran suatu organisasi secara positif berhubungan dengan level tindakan kolektif. Berkaitan dengan hasil persepsi di atas, maka ukuran organisasi dengan batasan keanggotaan yang jelas serta adanya aturan-aturan yang dipergunakan dalam organisasi dengan saling ketergantungannya antara anggota akan cenderung membawa pada tindakan kolektif. Sebanyak 51,1% responden menyatakan bahwa saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok tergolong cukup tinggi. Homogenitas identitas dan kepentingan dalam organisasi/kelompok bagi sebagian besar (54,4%) responden tergolong dalam kategori cukup sering. Wade, Baland dan Palttaeu (1999) menyatakan karakteristik heterogenitas di dalam organisasi dapat memiliki pengaruh yang beragam dan kontradiktif. Lebih besarnya saling ketergantungan diantara anggota organisasi akan mendorong suatu dasar pembentukan institusi yang mendorong manajemen sumberdaya berkelanjutan. Di sisi lain, Baland dan Platteau juga menyajikan penilaian awal terhadap karakteristik heterogenitas dengan mengklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe dan berhipotesis bahwa heterogenitas sumberdaya mempunyai pengaruh positif terhadap manajemen sumberdaya sedangkan heterogenitas identitas dan kepentingan menciptakan penghambat untuk tindakan kolektif. Poin pertamanya mengenai heterogenitas sumberdaya meningkatkan kemungkinan tindakan kolektif adalah sama dengan yang dinyatakan oleh Olson (1965). Tetapi kategori dimana mereka mengklasifikasikan heterogenitas tidak selalu eksklusif. Misalnya, heterogenitas kepentingan dapat menghasilkan beragam tipe spesialisasi ekonomi dan beragam level sumberdaya, yang pada gilirannya menghasilkan pertukaran yang menguntungkan. Lebih lanjut, bukti empiris mengenai bagaimana heterogenitas mempengaruhi tindakan kolektif masih sangat bermakna ganda. Jadi ada kemungkinan bahwa meskipun dalam kelompok terdapat level heterogenitas kepentingan yang tinggi, untuk menjamin tindakan kolektif, beberapa sub-

19 77 kelompok dapat memaksakan menjalankan institusi/organisasi. Persentase tingkat kepentingan mengenai persepsi terhadap karakteristik kelembagaan selengkapnya disajikan pada Gambar 16. Persepsi (%) Organisasi/ kelembagaan Sangat penting Penting Cukup penting Tidak Penting Gambar 16. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Kelembagaan Rata-rata jumlah anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti adalah 35 orang dengan kisaran antara 10 hingga 89 orang. Sementara itu, pengalaman keberhasilan masa lalu yang pernah diperoleh organisasi/kelompok rata-rata 2 (dua) buah dengan kisaran 1 hingga 3 prestasi. Rata-rata pendapatan anggota organisasi/kelompok adalah Rp ,-/kelompok dengan kisaran Rp ,- hingga Rp ,,-. Hasil analisis deskriptif komponen kelembagaan selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Analisis Deskriptif Komponen Kelembagaan Kelembagaan 1. Jumlah anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti (jiwa) 2. Pengalaman keberhasilan masa lalu (jumlah) Rata-Rata 34,70 1,83 SD 21,34 1,33 Minimum Pendapatan rata-rata anggota organisasi/kelompok (Rp/kelompok) Maksimum Sebanyak 50% responden menyatakan bahwa aturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok yang diikutinya sudah baik. Batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok dianggap oleh sebagian besar (65,60%) responden sudah cukup baik. Namun demikian, terdapat 3,30% responden yang

20 78 menyatakan batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok masih tidak baik. Menurut setengah dari jumlah responden, saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok tergolong cukup tinggi. Bahkan sebanyak 43,30% responden menyatakan saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Hanya 6,70% responden yang menganggap ketergantungan antar anggota organisasi tidak tinggi. Homogenitas identitas dan kepentingan dalam organisasi/kelompok bagi sebagian besar (54,40%) responden tergolong dalam kategori cukup sering. Dengan proporsi yang hampir berimbang yakni sekitar 40,00%, kemampuan mendapatkan pembiayaan dari organisasi/kelompok dinilai masing-masing cukup baik dan tidak baik. Dengan demikian, pembiayaan dari organisasi/kelompok masih belum memuaskan bagi 36% dari jumlah responden. Sebaran responden berdasarkan karakteristik aturan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Aturan Karakteristik Kelembagaan Jumlah (n) Persentase (%) Aturan yang dipergunakan Sangat baik 1 1,1 Baik 45 50,0 Cukup baik 44 48,9 Batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok Baik 28 31,1 Cukup baik 59 65,6 Tidak baik 3 3,3 Saling ketergantungan antara anggota Sangat Tinggi 2 2,2 Tinggi 37 41,1 Cukup Tinggi 45 50,0 Tidak Tinggi 6 6,7 Homogenitas identitas dan kepentingan Sangat Sering 3 3,3 Sering 30 33,3 Cukup Sering 49 54,4 Tidak Sering 8 8,9 Kemampuan mendapatkan pembiayaan dari organisasi/kelompok Sangat Sering 3 3,3 Sering 30 33,3 Cukup Sering 49 54,4 Tidak Sering 8 8,9

21 79 Pada Gambar 17 Menunjukkan bahwa ketika kurangnya keterlibatan kelembagaan masyarakat (anggota) dalam pengelolaan pelestarian sumberdaya hutan menyebabkan tidak adanya rasa memiliki sumberdaya hutan dan sulit mencapai pengelolaan hutan lestari. Kurangnya keterlibatan anggota juga dapat memicu konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan atau sebaliknya anggota justru apatis dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan anggota semakin tidak berdaya. Sehingga harapan anggota tidak terpenuhi dan padaa akhirnya pengelolaan hutan kurang bermanfaat bagi anggota di dalam dan sekitar hutan. Karena itu persepsi responden terhadap tingkat ketergantungan anggota pada sistem sumberdaya, persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya, sikap dan tingkat tuntutan anggota dan perubahan sikap dan perilaku terhadap perubahan penggunaan lahan dianggap penting Persepsi (%) Tingkat ketergantungan Persepsi atas keadilan Sikap anggota Perubahan sikap Gambar 17. Sebaran Sistem Sangat penting Penting Cukup penting Tidak Penting Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sumberdaya dan Karakteristik Organisasi Tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya dari sebagian besar (66,70%) responden tergolong cukup tinggi. Sementara itu, sebanyak 7,80% responden menyatakan bahwa tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya tergolong tidak tinggi/sangat tidak tinggi. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan mengakibatkan eksploitasi sumberdayaa hutan semakin besar dan hutan semakin rusak. Oleh karena itu, kesempatan diversifikasi usaha non kehutanan semakin sempit.

22 80 Namun di sisi lain, dengan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan maka (diharapkan) kesadaran masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumberdaya hutan juga semakin besar. Sebaran responden berdasarkan hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelembagaan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Kelembagaan Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelembagaan Jumlah (n) Persentase (%) Tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya Tinggi 23 25,6 Cukup Tinggi 60 66,7 Tidak Tinggi 6 6,7 Sangat tidak Tinggi 1 1,1 Persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya Adil 37 41,1 Cukup Adil 52 57,8 Tidak Adil 1 1,1 Sikap dan tingkat tuntutan anggota Sangat Tinggi 9 10,0 Tinggi 46 51,1 Cukup Tinggi 32 35,6 Tidak Tinggi 3 3,3 Sikap dan tingkat tuntutan anggota Sangat Tinggi 4 4,4 Tinggi 24 26,7 Cukup Tinggi 59 65,6 Tidak Tinggi 3 3,3 Persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya dianggap oleh 98,0% responden termasuk cukup adil/adil. Sebanyak 51,10% responden menyatakan bahwa sikap dan tingkat tuntutan anggota adalah termasuk kategori cukup tinggi. Persentase terbesar (65,60%) responden menyatakan bahwa perubahan sikap dan perilaku terhadap perubahan penggunaan lahan adalah tergolong cukup tinggi. Persepsi atas alokasi manfaat dari sumberdaya hutan, meskipun sebagian besar responden menyatakan cukup adil, namun kenyataan yang ada masih kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini memicu timbulnya tindakan yang bertentangan dengan kaidah kelestarian hutan. Akibat selanjutnya adalah tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat akan mencari alternatif usaha lain. Kondisi seperti ini akan

23 81 menimbulkan kecemburuan sosial terhadap kelompok lain yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Karena harapan masyarakat pedesaan memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan tidak terpenuhi Pengaturan Kelembagaan Secara keseluruhan, pada semua item persepsi terhadap sistem kelembagaan berkaitan dengan adanya aturan yang sederhana dan mudah dipahami, adanya akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal, adanya kemudahan dalam melaksanakan aturan, adanya sangsi bertahap, akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna dan hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan dianggap oleh sebagian besar responden adalah penting. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sudah menyadari arti pentingnya sebuah pengaturan kelembagaan, sehingga dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat menjadi lebih terkontrol dan tertib administrasi serta tertib pelaksanaan. Peran dan sinergitas diantara anggota kelompok masyarakat diharapkan menjadi efektif dan efesien. Hal ini juga berakibat pada kemudahan dalam menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumberdaya hutan secara optimal yang bermuara pada optimalnya kegiatan pemberdayaaan masyarakat. Sehingga dengan adanya pengaturan kelembagaan yang mudah dijalankan oleh seluruh anggota kelompok, maka peran dan sinergitas diantara para pihak serta laju pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi optimal. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat Agrawal (2001), keefektifan kelembagaan dalam manajemen dan alokasi sumberdaya sangat ditentukan oleh besar kecilnya kelompok dan aturan anggota dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. North (1990) menyatakan bahwa keberhasilan dari sebuah institusi sebagai interaksi ditentukan oleh kemampuan untuk dapat mengukur dan melindungi seluruh sumber sosial budaya, politik dan ekonomi dari sebuah institusi. Institusi merupakan sebuah penunjuk arah untuk melihat sebuah interaksi sosial budaya dan kehidupan masyarakat yang merupakan bagian dari upaya untuk memberikan nilai keamanan dalam mengatur tata kehidupan (the rule of the game) masyarakat tersebut. Hal ini tentunya akan meningkatkan keuntungan

24 82 (benefit) dalam sebuah organisasi kemasyarakatan terutama yang berhubungan dengan fungsi-fungsi ekonomi yang dikoordinasikan dari hasil interaksi individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Jika sebuah institusi mempunyai kemampuan interaksi yang dapat mengurangi batasan yang dimilikinya dengan memberikan definisi yang pasti terhadap setiap tata aturan yang dimilikinya akan menghasilkan institusii yang efektif dalam menjalankan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Akan tetapi harus tetap diperhatikan bahwa institusi tersebut tidak harus meningkatkan perekonomian dari setiap anggotanya. Akan tetapi institusi lebih pada sifat untuk menjaga stabilitas sosial budaya masyarakat, institusi juga memberikan rasa aman secara formal dan informal terhadap setiap anggotanya. Sebaran responden berdasarkan pengaturan kelembagaan disajikan pada Gambar 18. Persepsi (%) Aturan sederhana Aturan manajemen lokal Kemudahan dalam pelaksanaan Sanksi bertahap Akuntabilitas staf Hubungan antara sistem Sangat penting Penting Cukup penting Tidak Penting Gambar 18. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan Rata-rata tingkatt akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal adalah 76,43% dengan kisaran 45 sampai 99%. Sementara itu rata-rata tingkat kemudahan dalam melaksanakan aturan adalah sebesar 68,98% dengan kisaran 25 sampai 90%. Rata-rataa tingkat sangsi bertahap adalah 67,75% dengan kisaran 40 sampai 100%. Tingkat akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna adalah 64,97% dengan kisaran 30 sampai 90%. Sedangkan rata-rata tingkat hubungan antaraa sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan adalah

25 83 sebesar 63,85% dengan kisaran 30 sampai 80%. Dengan demikian, dalam sistem kelembagaan yang ada di lokasi penelitian, komponen yang paling perlu untuk ditingkatkan adalah tingkat hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan. Sebaran responden berdasarkan pengaturan kelembagaan selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan Pengaturan kelembagaan Rata-Rata SD Minimum Maksimum 1. Persentase tingkat akses dan aturan 76,43 11,61 45,00 99,00 manajemen yang dibuat secara lokal 2. Persentase tingkat kemudahan dalam 68,98 10,59 25,00 90,00 melaksanakan aturan 3. Persentase tingkat sangsi bertahap 67,75 10,99 40,00 100,00 4. Persentase tingkat akuntabilitas staf 64,97 9,97 30,00 90,00 yang melakukan monitoring bagi pengguna 5. Persentase tingkat hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan 63,85 10,53 30,00 80, Lingkungan Eksternal Persepsi responden terhadap faktor lingkungan eksternal teknologi menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan penting untuk semua item-nya yakni kebutuhan waktu untuk adaptasi dengan teknologi baru, ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah dan penyelesaian kendala dari penerapan teknologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat umumnya tidak resisten terhadap ketersediaan teknologi dan masyarakat adaptif terhadap teknologi selama bentuk teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, dan ekosistem setempat. Sebaran responden berdasarkan lingkungan eksternal teknologi selengkapnya disajikan pada Gambar 19.

26 Persepsi (%) Ketersediaan teknologi Waktu untuk adaptasi Kendala penerapan Sangat penting Penting Cukup penting Tidak Penting Gambar 19. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Teknologi Rata-rata persentase tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah adalah 36,05% dengan kisaran antara 10 hingga 90%. Sementara itu, rataadalah 1,91 rata waktu yang diperlukan untuk beradaptasi dengan teknologi baru bulan dengan kisaran antara 0 hingga 12 bulan. Pada Gambar 20 disajikan persepsi responden terhadap indikator lingkungan eksternal negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal, adanya bantuan finansial dari pemerintah untuk mengkompensasi pengguna lokal untuk dan sosial aktivitas konservasi serta adanyaa penyerahan kewenangan dari pemerintah pada tingkat desa yang dinilai penting oleh sebagian besar responden. Peran pemerintah dalam monitoring kelembagaan sudah ada, namun dalam hal kewenangan kelembagaan ditangani di tingkat desa secara sungguh-sungguh sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, adanya sangsi peraturan pemerintah dalam penggunaan lahan disikapi beragam oleh sebagian besar responden mulai dari cukup penting hingga sangat penting. Adanya sebagian masyarakat yang beranggapan peran pemerintah tidak terlalu penting terhadap kewenangan otoritas desa dimungkinkan ketidakinginan terkungkung dalam birokrasi yang rumit.

27 85 Persepsi (%) Kontrol pemerintah Sanksi peraturan Bantuan finansial Kewenangan dan sosial Sangat penting Penting Cukup penting Tidak Penting Gambar 20. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Negara Rata-rata persentase tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah adalah 36.05% dengan kisaran antara 10 hingga 90 %. Sementara itu, rataadalah 1.91 rata waktu yang diperlukan untuk beradaptasi dengan teknologi baru bulan dengan kisaran antara 0 hingga 12 bulan. Rata-rata jumlah bantuan pemerintah pada organisasi/kelompok Rp 14.5 juta dengan kisaran antara Rp 500 ribu hingga Rp 50 juta. Analisis deskriptif komponen lingkungann eksternal selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Analisis Deskriptif Komponen Lingkungan Eskternal Lingkungan Eksternal Rata-Rata SD Minimum Maksimum 1. Persen tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah (%) 36,05 22, Lama waktu beradaptasi dengan teknologi baru (bulan) 1,91 2, Jumlah bantuan pemerintah pada organisasi/kelompok (Rp. juta/kelompok) 14,5 16,4 0,5 50 Teknologi sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi kelembagaan dianggap oleh sebagian besar (62,2%) responden adalah cukup besar kendala dan penerapannya. Sementara itu, sebanyak 57,8% responden menyatakan bahwa kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal masih cukup besar. Sedangkan tingkat sanksi terhadap anggotaa dalam organisasi kelompok oleh sebagian besar (60,0%)

28 86 responden termasuk tidak sering. Sebaran responden berdasarkan kendala dan penerapan teknologi selengkapnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Kendala dan Penerapan Teknologi Lingkungan Eksternal Jumlah (n) Persentase (%) Kendala dan penerapan teknologi Sangat Besar 9 10,0 Besar 19 21,1 Cukup Besar 56 62,2 Tidak Besar 5 5,6 Sangat Tidak Besar 1 1,1 Kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal Sangat Besar 0 0,0 Besar 11 12,2 Cukup Besar 52 57,8 Tidak Besar 22 24,4 Sangat Tidak Besar 5 5,6 Tingkat sanksi terhadap anggota dalam organisasi kelompok Sangat Sering 0 0,0 Sering 7 7,8 Cukup Sering 28 31,1 Tidak Sering 54 60,0 Sangat Tidak Sering 1 1, Perbandingan Karakteristik Responden antara Lokasi Penelitian Hasil uji beda (Tabel 16) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga dan lama tinggal responden yang signifikan diantara lokasi penelitian. Umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga dan lama tinggal responden di tiap-tiap lokasi penelitian (Bogor, Sukabumi, Lebak) dari responden yang dijadikan sampel hampir tidak berbeda nyata.

29 87 Tabel 16. Hasil Uji Beda Karakteristik Responden Karakteristik Rata-rata Bogor Lebak Sukabumi F hitung Peluang Umur (tahun) 43,17 43,73 44,77 0,156 0,856 Pendidikan ,295 0,745 Pendapatan (Rp) 0,161 0,176 0,180 0,287 0,751 Jumlah keluarga (orang) 4,47 4,53 4,73 0,230 0,795 Lama tinggal (tahun) 38,20 40,63 41,83 0,483 0, Hubungan antara Karakteristik Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk karakteristik umur, terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional. Hasil pengujian juga didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Hal ini dimungkinkan terkait dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah yang diperoleh masyarakat sekitar Taman Nasional, sehingga pola pikir yang didapat hanya kepentingan sesaat tidak melihat dampak ke depan atas tindakan yang mereka lakukan. Berdasarkan data tahun 2007 dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak perambahan kawasan untuk daerah Kabupaten Lebak mencapai sekitar ha, sementara untuk Kabupaten Bogor mencapai sekitar 1609 ha sedangkan daerah Kabupaten Sukabumi sekitar ha. Akibat dari perambahan itu kawasan TNGHS telah mengalami penurunan kualitas dan degradasi hutan sekitar 6,5%. Untuk menanggulangi masalah ini TNGHS melakukan kerjasama dengan Pemerintah kabupaten terkait, dan lembaga terkait lainnya seperti JICA, LSM

30 88 PEKA dan ABSOLUTE serta CHEVRON dan PT. PLN untuk mengadakan kegiatan restorasi di koridor yang dapat dipandang sebagai langkah awal yang sangat strategis dan mempunyai manfaat seperti dua sisi mata uang yang seimbang yaitu kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu TNGHS juga akan melakukan perekrutan tenaga kerja bagian polisi hutan yang saat ini masih kekurangan sekitar 100 tenaga polisi hutan. Hasil pengujian lain didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional. Hubungan antara umur dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hubungan antara Umur dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Indeks Umur Nasional Hubungan Chi-Square Peluang 1. Kebebasan berburu satwa di dalam ,86 18,522 * 0,001 kawasan Taman Nasional , , ,68 61> 0,67 2. Penebangan pohon yang terdapat dalam ,71 16,338 * 0,038 kawasan Taman Nasional , , ,67 61> 0,67 3. Pengembangan ternak di dalam kawasan ,81 15,712 * 0,047 Taman Nasional , , ,68 61> 0,61 * = signifikan pada selang kepercayaan 95 % 4.9. Hubungan antara Pendapatan Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk karakteristik pendapatan masyarakat, hasil pengujian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendapatan masyarakat dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang

31 89 berpendapatan Rp ,- ke bawah (kategori miskin) cenderung menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Untuk penguasaan lahan, terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Untuk kasus penyerobotan lahan sebenarnya bukan hanya milik orang-orang miskin saja, banyak kasus penyerobotan lahan di kawasan TNGHS melibatkan orang-orang kaya yang memiliki vila-vila di daerah kawasan tersebut. Hubungan antara pendapatan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hubungan antara Pendapatan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional 1. Penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian 2. Penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional * = signifikan pada selang kepercayaan 95 % Level Indeks Hubungan Chi- Square Peluang Miskin 0,70 11,262 * 0,024 Tidak miskin 0,67 Miskin 0,68 11,990 * 0,017 Tidak miskin 0, Hubungan antara Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk lama kepemilikan lahan yang dikuasai masyarakat, terdapat hubungan yang signifikan antara lama kepemilikan lahan dengan sikap masyarakat terhadap keuntungan yang diberikan taman nasional kepada masyarakat. Masyarakat yang lama kepemilikan lahannya lebih dari 10 tahun cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui terhadap keuntungan yang diberikan taman nasional kepada masyarakat lebih besar dibandingkan yang lama kepemilikan lahannya di bawah 10 tahun. Hubungan antara lama kepemilikan lahan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

32 90 Tabel 19. Hubungan antara Lama Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Indeks Chi- Level Nasional Hubungan Square Peluang 1. Taman Nasional memberikan > 10 tahun 0,96 16,130 * 0,041 keuntungan kepada masyarakat 5-10 tahun 0, tahun 1, tahun 0,67 < 1 tahun 1,00 * = signifikan pada selang kepercayaan 95 % Untuk penguasaan lahan, terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian lebih kecil dibandingkan yang penguasaan lahannya luas. Hasil pengujian yang lain juga didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan keikutsertaan dalam kegiatan pelestarian kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui keikutsertaan dalam kegiatan pelestarian kawasan taman nasional lebih besar dibandingkan yang penguasaan lahannya luas. Hubungan antara luas penguasaan lahan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Hubungan antara Luas Penguasaan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional 1. Penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian 2. Ikut serta dalam kegiatan pelestarian TNGHSS (misalnya penanaman pohon) * = signifikan pada selang kepercayaan 95 % Level Indeks Hubungan Chi-Square Peluang Sempit 0,68 10,390 * 0,034 Sedang 0,68 Luas 0,73 Sempit 0,98 8,147 * 0,017 Sedang 1,00 Luas 0,93

33 Analisis Spasial Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan Wilayah Kelola TNGHS Analisis spasial tata ruang wilayah tiga kabupaten di sekitar TNGHS diuraikan berikut ini. Zonasi TNGHS disajikan pada Gambar 21 dan Tabel 21 Hasil perhitungan luas Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu Hektar. Tabel 21. Luas Zona Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menurut TNGHS NO ZONASI TNGHS Luas Total (ha) 1 Budaya 6,6 2 Enclave 6.840,9 3 Khusus ,2 4 Pemanfaatan 833,6 5 Rehabilitasi ,0 6 Zona Inti ,3 7 Zona Rimba ,4 Total ,0 Berdasarkan Perda Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun , Kabupaten Bogor dibagi menjadi 18 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Hutan Konservasi 2. Hutan Lindung 3. Hutan Produksi 4. Hutan Produksi Terbatas 5. Kawasan Industri 6. Kawasan Lindung 7. Zona Industri 8. Lahan Basah 9. Lahan Kering 10. Tanaman Tahunan 11. Perkebunan 12. Permukiman Perdesaan Permukiman Perdesaan Permukiman Perkotaan Permukiman Perkotaan 2

34 Gambar 21. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) 92

35 Permukiman Perkotaan Danau/Setu 18. Waduk Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Bogor dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 3 (tiga) zona tataruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas ,9 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor di dalam Kawasan TNGHS NO RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS Luas Total (Ha) 1 Hutan Konservasi ,5 2 Hutan Lindung 1.322,5 3 Tanaman Tahunan 72,9 Total ,9 Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun , Kabupaten Sukabumi dibagi menjadi 12 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Hutan Konservasi 2. Hutan Lindung 3. KB-Hutan Produksi Terbatas 4. KB-Hutan Produksi 5. KB-Hutan Cadangan 6. KB-Enclave 7. KB-Kaw Peruntukan Pertanian Lahan Kering 8. KB-Kaw. Permukiman Perdesaan 9. KB-Kaw. Peruntukan Perkebunan 10. KB-Kaw. Peruntukan Pertanian Lahan Basah 11. KB-Permukiman Perkotaan 12. KB-Tubuh Air Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Sukabumi dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 9 (sembilan) zona tataruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas ,3 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 23.

36 94 Tabel 23. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi di dalam Kawasan TNGHS NO RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS Luas Total (Ha) 1 Hutan Lindung 558,7 2 Enclave 784,3 3 Hutan Konservasi ,6 4 Hutan Produksi 49,5 5 Hutan Produksi Terbatas 1.292,1 6 Permukiman Perdesaan 18,6 7 Peruntukan Perkebunan 115,9 8 Peruntukan Pertanian Lahan Basah 151,7 9 Peruntukan Pertanian Lahan Kering 50,9 Total ,3 Berdasarkan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Lebak dibagi menjadi 13 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Taman Nasional 2. Hutan Lindung 3. Daerah Rawan Bencana 4. Daerah Resapan Air 5. Pertanian Lahan Kering dan Peternakan 6. Pertanian Lahan Basah 7. Kawasan Baduy 8. Kawasan Industri 9. Kawasan Pemerintahan 10. Kawasan Pengembangan Perkotaan 11. Kawasan Tambang 12. Kawasan Zona Khusus Militer 13. Waduk/DAM Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Lebak dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 5 (lima) zona tata ruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas ,8 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 24.

37 95 Tabel 24. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak di dalam Kawasan TNGHS NO RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS Luas Total (Ha) 1 Daerah Resapan Air ,6 2 Hutan Lindung ,4 3 Kawasan Tambang 6.445,8 4 Pertanian Lahan Kering dan Peternakan 423,5 5 Taman Nasional 2.503,6 Total ,8 Berdasarkan uraian di atas, luasan ketidaksesuaian antara zonasi tataruang 3 (tiga) wilayah kabupaten dengan zonasi Kawasan TNGHS dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 23. Wilayah administratif Kabupaten Lebak merupakan wilayah yang terluas yang termasuk dalam lingkup kawasan TNGHS, namun juga merupakan wilayah yang terluas terdapat ketidaksesuaian zonasi antara zonasi tataruang wilayah dengan zonasi Kawasan TNGHS. Luas ketidaksesuaian zonasi di wilayah administratif Kabupaten Lebak adalah seluas ,2 ha atau sekitar 43,30% dari luas Kawasan TNGHS di wilayah administratif Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Luas ketidaksesuaian zonasi di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor masing-masing seluas 1.395,3 ha (1,2%) dan 3.023,7 ha (2,7%).

38 Gambar 22. Peta Potensi Konflik di Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) 96

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di TNGHS yang secara administratif terletak di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor di Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Laporan Akhir Hasil Penelitian TA.2015 KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Tim Peneliti: Kurnia Suci Indraningsih Dewa Ketut Sadra

Lebih terperinci

Gambar 3 Penetapan Responden menggunakan snowball sampling technique.

Gambar 3 Penetapan Responden menggunakan snowball sampling technique. BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di desa-desa yang berbatasan langsung dengan Koridor Halimun Salak yang termasuk Kabupaten Sukabumi, yaitu Kampung Sukagalih

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS.

Gambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS. 6 BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012. Pengumpulan data sosial masyarakat dilaksanakan di Kasepuhan Citorek Kecamatan Cibeber Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai 163 BAB IX KESIMPULAN 9.1. Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Desa Purwasari Desa Purwasari merupakan salah satu Desa pengembangan ubi jalar di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Usahatani ubi jalar menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA September 2011 1. Pendahuluan Pulau Kalimantan terkenal

Lebih terperinci

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN 1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 29 5.1 Hasil BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.1 Karakteristis Responden Karakteristik responden yang diukur dalam penelitian ini adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jarak pemukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH)

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 24 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Wilayah dan Potensi Sumber daya Alam Desa Cikarawang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas wilayah 2.27

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum dan Geografis Penelitian dilakukan di Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Desa Lebak Muncang ini memiliki potensi yang baik dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

Strategi dan Arah Kebijakan

Strategi dan Arah Kebijakan dan Dalam rangka pencapaian visi dan misi yang diuraikan dalam tujuan dan sasaran, penyusunan strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan. adalah langkah-langkah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perluasan areal tanam melalui peningkatan intensitas pertanaman (IP) pada lahan subur beririgasi dengan varietas unggul baru umur super ultra genjah. Potensi tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis

BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis 27 BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis Desa Pasawahan merupakan salah satu dari tiga belas desa yang ada di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Bagian Utara berbatasan dengan Desa Kutajaya, bagian

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) 88 VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) Kerusakan hutan Cycloops mengalami peningkatan setiap tahun dan sangat sulit untuk diatasi. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang tinggal di

Lebih terperinci

BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH

BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH 84 BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH Interaksi sosial disebut juga sebagai proses sosial yang terjadi apabila terdapat kontak sosial dan komunikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Telaga merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Kecamatan Telaga berjarak 10

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci