PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Pebruari 009 Yudiana Jasmanindar NIM C

3 ABSTRACT YUDIANA JASMANINDAR. Used of Gracilaria verrucosa extract to increase white shrimp Litopenaeus vannamei defenses system. Under direction of SUKENDA and MUNTI YUHANA We studied the immunostimulation effect of seaweeds extract, Gracilaria verrucosa on white shrimp, Litopenaeus vannamei. The extract concentrations used were 10, 0, and 50 µg/each g of shrimp body weight and applied by intramuscularly injection. The effect of different extract concentrations and frequency of application on survival rate and growth was observed. The important parameters of immune system such as total haemocyte count (THC), differential haemocyte count (DHC), phagocytic index, phenoloxidase activity and clearance efficiency, were also included in the observation. Extract injection resulted a remarkably different on the survival rate of the shrimp, i.e ranging from 70.0±0.0% and 7.±.% comparing to control and physiological saline treatments, i.e 46.67±.% and 50±5.8%, respectively. THC and DHC parameters were significantly different among the groups injected with physiological saline and those injected with G. verrucosa extract at 10, 0, 50 µg/g shrimp body weight. Injection treatment of 50 µg extract/g shrimp body weight resulted the best in immune parameters. On day nd and 4 th L. vannamei injected with G. verrucosa extract at 50 µg/g shrimp body weight showed higher values on its phagocytic index i.e 44.±.5% and 4.5±5.0%, respectively, whereas phenoloxidase activities were 0.4±0.1 units and 0.4±0.07 units, respectively, and clearance efficiency values were 68.6±.7% and 74.0±.%, respectively. The application of, 4, and 6 times injection G. verrucosa extract as immunostimulant were statistically (p<0.05) different comparing to a single application (within 0 days observation). No significant (p>0.05)differences in growth were observed among the groups that were injected with seaweed at different periods of application. Keywords: G. verrucosa extract, defenses system, shrimp

4 RINGKASAN YUDIANA JASMANINDAR. Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh SUKENDA dan MUNTI YUHANA. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan bahan kimia. Namun penggunaan antibiotik dan bahan kimia dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, berdampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Pendekatan untuk mengatasi penyakit pada budidaya udang menggunakan imunostimulan yang dapat menstimulasi sistem non spesifik. Beberapa imunostimulan dari alga dapat meningkatkan sistem imun organisme salah satunya adalah Gracilaria verrucosa (alga merah). Pemberian imunostimulan harus memperhatikan dosis optimal yang digunakan. Disamping itu juga durasi periode pemberian imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal juga merupakan hal yang penting dalam pemberian imunostimulan. Penelitian bertujuan untuk menguji pengaruh penggunaan ekstrak G. verrucosa dalam meningkatkan respon imun pada udang vanamei (L. vannamei) dan menguji pengaruhnya terhadap daya tahan dari serangan V. harveyi. Serta mengetahui frekuensi pemberian yang efektif untuk daya tahan terhadap serangan V. harveyi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental di Laboratorium. Penelitian dilakukan di Laboratorium kesehatan ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB selama 5 bulan. Bahan yang akan digunakan sebagai imunostimulan adalah ekstrak rumput laut G. verrucosa. Bakteri untuk uji tantang merupakan V. harveyi strain patogenik (MR 559 Rf ). Hewan uji yang digunakan adalah Litopenaeus vannamei hasil budidaya di Lampung (berat 9,1±0,1 g). Selama perlakuan, pakan yang diberikan berupa pakan buatan dengan feeding rate % dari bobot biomassa. Wadah penelitian berupa akuarium kaca dengan kapasitas air 60 liter yang bersalinitas 8-0 ppt. Perlakuan ekstrak pada udang dengan metode injeksi (penyuntikan), menggunakan 6 (enam) perlakuan dan ulangan untuk eksperimen 1; lima (5) perlakuan dan 4 ulangan untuk eksperimen ; serta 5 (lima) perlakuan dan ulangan untuk eksperimen. Rancangan berupa rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan eksperimen pertama yaitu: dosis ekstrak 10, 0 dan 50 µg/g bobot udang; kontrol (tanpa pemberian ekstrak) yang diuji tantang (K+), kontrol tanpa uji tantang (K-); dan physiological saline (PS). Eksperimen kedua terdiri dari perlakuan: PS, dosis ekstrak 10; 0; dan 50 µg/g bobot udang serta kontrol. Sedangkan perlakuan eksperimen ketiga yaitu: yaitu pemberian 0 kali (kontrol), pemberian 1 kali (hanya pada awal pemeliharaan), kali (interval 14 hari), 4 kali (interval 7 hari), 6 kali (interval 4 hari) selama 0 hari pemeliharaan. Dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang. Waktu evaluasi eksperimen 1 dan selama 6 hari, sedangkan eksperimen selama 0 hari. Evaluasi kelangsungan hidup eksperimen 1 dilakukan setiap hari, evaluasi total hemosit (THC), diferensial hemosit (DHC), aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase (PO), dan clearance efficiency dilakukan pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak. Evaluasi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang selama masa pemeliharaan (eksperimen ) dilakukan diakhir penelitian. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan kelangsungan hidup udang vaname yang diberi ekstrak Gracilaria pada dosis 0 dan 50 µg/g bobot udang, memberikan hasil (70±0,0% dan 7,±,%) lebih tinggi (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan perlakuan lainnya pada hari keenam pengamatan. Pemberian ekstrak G. verrucosa pada udang mampu meningkatkan sistem ketahanan udang vaname, yang antara lain dapat diamati dari parameter kelangsungan hidupnya setelah dilakukan uji tantang terhadap V. harveyi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak G. verrucosa dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang vaname hingga 7,±,% pada dosis yang diberikan 50 µg/g bobot udang. Total haemocyte count (THC) meningkat maka akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis karena diproduksi banyak sel hemosit untuk melakukan fungsi tersebut, misalnya sel hialin dan sel semi granular. Peningkatan THC juga menjadikan daya peningkatan sel granular untuk melakukan aktifitas phenoloxidase sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri. Peningkatan indeks fagositik mengindikasikan bahwa ekstrak G. verrucosa mampu

5 meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit. Sel yang berperan besar dalam proses fagositik ini adalah sel hialin. Pemberian ekstrak meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik atau dengan kata lain ekstrak G. verrucosa dapat menstimulasi sistem ketahanan udang vaname. Phenoloxidase merupakan enzim yang berperan dalam proses melanisasi. Enzim ini dihasilkan melalui sistem propo yang dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan. Peningkatan aktifitas phenoloxidase dari hasil pengamatan mengindikasikan bahwa ekstrak G, verrucosa mampu menstimulasi aktifitas propo pada hemosit udang hingga terbentuknya aktifitas phenoloxidase. Meningkatnya aktifitas phenoloxidase akan meningkatkan kemampuan udang untuk lebih mengenal partikel asing yang masuk misalnya bakteri patogen kemudian dilakukannya fagositosis. Meningkatnya fagositosis akan meningkatkan daya tahan udang, sehingga menghambat atau mengurangi pertumbuhan sel bakteri patogen dalam tubuhnya. Hemolim krustasea mampu untuk menghambat pertumbuhan bakteri karena adanya protein antibakteri. Aktifitas antibakteri ini terdapat dalam sel granular dan semi granular. Pemberian ekstrak yang dilakukan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa ekstrak G. verrucosa dapat menstimulasi aktifitas antibakteri pada hemolim udang vaname. Kelangsungan hidup udang vaname pada 1 kali lebih rendah dari perlakuan lain, namun lebih tinggi (p<0,05) dari kelangsungan hidup udang vaname yang tanpa pemberian ekstrak. Pemberian berulang diharapkan dapat memberikan respon lebih atau lebih efisien dalam menstimulasi sistem ketahanan pada udang vaname, sehingga diperoleh perlindungan yang optimal. Pemberian imunostimulan yang terlalu sering bisa saja memberikan dampak pada penambahan bobot mutlak udang vaname. Penambahan bobot mutlak yang tinggi secara nyata dari pada udang kontrol (tanpa pemberian ekstrak) juga dikarenakan kelangsungan hidupnya yang rendah bila dibandingkan dengan kelangsungan hidup udang yang diinjeksi ekstrak dengan frekuensi, 4 dan 6 kali. Sehingga tidak terjadi persaingan dalam hal ruangan untuk penambahan bobot mutlak udang vaname. Kata kunci : ekstrak G. verrucosa, sistem ketahanan, udang

6 Hak cipta milik IPB, tahun 009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 009

8 Judul Tesis : Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei Nama : Yudiana Jasmanindar NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sukenda, M.Sc Ketua Dr. Munti Yuhana, S.Pi., M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 0 Januari 009 Tanggal Lulus:

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga tesis ini berhasilkan diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 008 ini ialah peningkatan sistim imun pada udang, dengan judul Penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa untuk meningkatkan sistem ketahanan udang vaname Litopenaeus vannamei. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang pemberian ekstrak alga dengan dosis dan interval pemberian tertentu yang dapat meningkatkan sistem ketahanan udang vaname, sehingga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi pada penyakit bakterial yang pada penelitian ini digunakan infeksi buatan V. harveyi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda dan Ibu Dr. Munti Yuhana, S.Pi selaku komisi pembimbing atas saran dan pengarahannya dalam penyusunan tesis ini, serta Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ranta dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan IPB, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, Dianthy, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Diana Y. Syahailatua, Catur A. P., Hidayat S. S., serta rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Perairan, sekolah pascasarjana IPB angkatan 006 atas kekompakan, kerjasama yang baik dan bantuannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu segala segala saran untuk perbaikannya akan sangat dihargai demi kesempurnaan hasil penelitian ini di kemudian hari. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 009 Yudiana Jasmanindar

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 4 Nopember 1975 dari ayah Drs. M. Kasim Biat (Alm) dan ibu Siti Maemunah Lebu. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kupang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana dan lulus pada tahun 000. Pada tahun 001 diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana. Penulis melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPs) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 006 dan dinyatakan lulus pada tanggal 0 Januari 009.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis... 5 II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Imun Udang Budidaya Udang Vaname Vibrio sp Imunostimulan Rumput Laut III METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Rancangan Percobaan Pelaksanaan Penelitian Ekstraksi Rumput Laut Kultur Vibrio harveyi Pengaruh Ekstrak Gracilaria verrucosa pada Kerentanan Litopenaeus vannamei terhadap Vibrio harveyi Studi Parameter Imun dari Litopenaeus vannamei yang... Diinjeksi dengan Gracilaria verrucosa Periode Pemberian Ekstrak....5 Pemeriksaan Parameter Imun Udang Total Hemosit Diferensial Hemosit Indeks Fagositik Aktifitas Phenoloxidase (PO) Clearance Efficiency Kelangsungan hidup Pertambahan Bobot Mutlak... 7 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kelangsungan Hidup Udang Vaname Parameter Imun Udang Vaname yang Diberi Ekstrak Rumput Laut Periode Pemberian Ekstrak Gracilaria verrucosa Pembahasan... 8 V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 56

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Pertumbuhan mutlak udang vaname pada frekuensi pemberian ekstrak 0, 1,, 4, dan 6 kali dalam waktu 0 hari pemeliharaan... 8

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea Gracilaria verrucosa Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan Total hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan Sel hialin udang vaname pada masing-masing perlakuan Sel semi granular udang vaname pada masing-masing perlakuan Sel granular udang vaname pada masing-masing perlakuan Indeks fagositik sel hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan Aktifitas phenoloxidase udang vaname pada masing-masing perlakuan Clearance efficiency udang vaname pada masing-masing perlakuan Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan Jenis sel hemosit udang vaname L. vannamei (H: hialin, SG: semi granular, G: granular). Pewarnaan Giemsa (Skala bar = 10 µm)... 4

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Skema ekstraksi G. verrucosa menggunakan pelarut etanol 80% Kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pengamatan setelah uji tantang dengan V. harveyi Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pengamatan setelah uji tantang Total haemocyte count (THC) ( 10 5 /ml) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data total haemocyte count (THC) ( 10 5 /ml) udang vaname hari ke-0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Sel hialin (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel hialin (%) udang vaname pada hari ke-0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Sel semi granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel semi granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Sel granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Indeks fagositik (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data indeks fagositik (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Aktifitas phenoloxidase (unit) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data aktifitas phenoloxidase (unit) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Clearance efficiency (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa... 84

16 17. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data clearance efficiency (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa Kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pada frekuensi pemberian 0, 1,, 4, dan 6 kali selama 0 hari pemeliharaan Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data kelangsungan hidup (%) udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang pada frekuensi pemberian ekstrak G. verrucosa tertentu Pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi pemberian 0, 1,, 4, dan 6 kali selama 0 hari pemeliharaan Log. (Y+1) pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi pemberian 0, 1,, 4, dan 6 kali selama 0 hari pemeliharaan Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Log. (Y+1) data pertambahan bobot mutlak udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang pada frekuensi pemberian ekstrak G. verrucosa tertentu... 9

17 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi udang akhir-akhir ini semakin meningkat, baik di negara lain (China, Thailand, Taiwan dan Equador) maupun di Indonesia. Apalagi saat ini udang ditetapkan sebagai salah satu komoditas utama perikanan, yang sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu udang yang sekarang ini banyak dibudidayakan karena beberapa keunggulan dalam membudidayakannya. Salah satu keunggulan dari udang vaname adalah secara genetik lebih sehat dan cenderung dapat bertahan terhadap serangan patogen (Jory, 1996). Selama ini induk udang ini diperoleh melalui impor. Udang vaname impor ini dapat membawa masuk patogen baru, yang dapat menimbulkan masalah pada budidaya udang. Indonesia diharapkan mampu melakukan domestikasi induk udang vaname menjadi induk yang bebas penyakit (specific-pathogen-free) dan induk yang tahan penyakit (specific-pathogen-resistance), sehingga mengurangi ketergantungan dari impor. Permasalahan yang sering muncul pada budidaya udang vaname salah satunya penyakit necrotizing hepatopancreatitis (NHP) yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Jory, 1997). Beberapa jenis bakteri seperti bakteri Vibrio alginolyticus, V. harveyi dan V. damsela biasanya menyebabkan terjadinya penyakit vibriosis (Lee and Chen, 1994; Lee et al. 1996; Liu et al. 1996). Pemicu penyakit vibriosis biasanya akibat dari adanya pengaruh stres lingkungan (Mugnier and Justou, 004), atau dengan kata lain bakteri vibrio bersifat patogen terutama pada udang yang stres (Reed et al. 00). Vibriosis merupakan masalah utama dalam budidaya udang, karena dapat menyebabkan kematian yang tinggi yang berdampak pada kegagalan produksi, sebagaimana yang terjadi pada budidaya udang Penaeus monodon. Bahkan lebih lanjut menurut Nogueira-Lima et al. (006) keadaan ikan stress dan adanya bakteri vibrio bisa berkembang menjadi ikan mudah terserang penyakit viral. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan disinfektan. Bahan antibiotik yang digunakan misalnya berupa oksitetrasiklin (OTC) (Noguire-Lima et al. 006). Namun menurut Reed et al. (00) penggunaan antibiotik pada budidaya udang mempunyai dampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selain itu pula penggunaan antimikrobial dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Williams et al. 199; Brown, 1989; Tendencia and dela Pena, 001). Penggunaan disinfektan pada budidaya udang tidak bisa menjamin kolam bebas dari patogen, dimana V. harveyi dapat bertahan pada sedimen dasar kolam yang telah diberi disinfektan (Jory, 1996). Vaksin biasanya digunakan untuk mencegah ikan terkena penyakit dan sudah diperdagangkan. Vaksinasi merupakan metode yang efektif untuk mengendalikan penyakit pada

18 ikan, namun tidak bagi udang karena karena udang tidak memiliki antibodi (Jory, 1997) atau dengan kata lain antibodi spesifik sangat sedikit. Udang tidak memproduksi limfosit dan tidak memiliki sistim imun adaptive seperti yang dimiliki vertebrata (van de Braak, 00). Sistem pertahanan udang berdasarkan hanya pada imunitas innate. Strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan menggunakan imunostimulan (Dugger and Jory, 1999). Penggunaan imunostimulan sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan pertahanan alami ikan sehingga resisten terhadap patogen selama periode stress (Kumari and Sahoo, 006). Imunostimulan tidak memperlihatkan efek samping yang negatif sebagaimana yang terjadi pada penggunaan antibiotik terhadap lingkungan dan konsumer. Bahan ini diklasifikasikan sebagai biological response modifiers (Anderson, 199; Secombes, 1994). Ditambahkan pula oleh Siwicki et al. (1998) bahwa imunostimulan mengaktifkan mekanisme pertahanan non-spesifik, cellmediated immunity dan respon imun spesifik. Selain itu cara imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, dengan meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Imunostimulan yang telah digunakan antara lain glukan, kitin, kitosan, levamisol, selain itu ada juga vitamin C dan B, hormon pertumbuhan dan prolactin. Selain itu beberapa bahan dari ekstrak rumput laut dapat berperan sebagai imunostimulan. Rumput laut merupakan sumber bahan bioaktif, yang menghasilkan sejumlah senyawa sebagai sitostatik, antiviral, antihelmint, anticendawan dan aktifitas antibakterial. Senyawa ini berasal dari alga hijau, coklat dan merah (Lindeguist and Schweder, 001). Beberapa jenis rumput laut dapat berperan sebagai antibakteri pada bakteri yang bersifat patogen ikan karena lebih aman dan efektif (Bansemir et al. 006). Selain itu rumput laut dapat digunakan sebagai imunostimulan yang mengandung polisakarida lebih aman karena tidak bersifat racun maupun patogenik bagi udang (Dugger and Jory, 1999). Terdapat sejumlah laporan yang berhubungan dengan aktifitas dari makroalga dalam melawan penyakit pada manusia dan pada hewan darat lainnya dan juga sebagai imunostimulan. Misalnya Hizikia fusiformis dan Meristotheca papulosa dapat merangsang perkembangan limfosit manusia in vitro dan in vivo (Ivanova et al. 1994). Alga coklat (Ponce et al. 00) diketahui mengandung alginat yang mampu meningkatkan sistem ketahanan L. vannamei dan resistensinya terhadap bakteri patogen (Cheng et al. 004). Fucoidan yang berasal dari alga coklat mampu meningkatkan respon imun Penaeus monodon (Chotigeat et al. 004). Polisakarida agar yang berasal dari Ulva rigida (alga hijau) diketahui memiliki kemampuan untuk menstimulasi fagosit ikan turbot (Castro et al. 006). Jenis alga lain yang mempunyai efek ini adalah Gracilaria verrucosa (alga merah) yang dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst in vitro dan in vivo makrofage tikus (Yoshizawa et al. 1996). Beberapa bahan yang diperoleh dari rumput laut, terutama polisakarida dapat memodifikasi beberapa komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro et al. 006). Menurut Castro et al. 006 bahwa polisakarida dari rumput laut dapat menstimulasi sistem imun non spesifik dalam hal ini fagositosis dan aktifitas respiratory burst melalui mekanisme interaksi molekul dengan permukaan reseptor (receptor-mediated).

19 1. Perumusan masalah Perkembangan sistem imun pada udang sangat primitif bila dibandingkan dengan ikan dan vertebrata lainnya, karena udang tidak memproduksi antibodi dan/atau antibodi spesifik. Sistem imun pada udang merupakan sistem imun alami (innate immunity) (Kwang, 1996). Sehingga pendekatan untuk mengatasi penyakit pada budidaya udang menggunakan imunostimulan yang dapat menstimulasi sistem non spesifik (Dugger and Jory, 1999). Penggunaan imunostimulan lebih aman dari pada kemoterapi pada ikan dan udang (Sakai, 1999). Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Salah satu jenis alga (rumput laut) seperti Gracilaria telah diketahui sebagai sumber senyawa bioaktif dan juga diketahui merupakan imunostimulan. Selain itu pula penggunaan rumput laut lebih ramah lingkungan dan mudah mengalami degradasi secara sempurna (Felix et al. 005). Ekstrak dari G. verucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst in vitro dan in vivo makrofag tikus (Yoshizawa et al. 1996). Diharapkan ekstrak rumput laut G. verrucosa dapat menstimulasi hemosit udang vaname. Pemberian imunostimulan harus memperhatikan dosis optimal yang digunakan (Anderson, 199), karena dosis imunostimulan yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan, dan dosis yang rendah bisa tidak efektif atau tidak cukup untuk memberikan respon imun. Disamping itu juga durasi periode pemberian imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal juga merupakan hal yang penting dalam pemberian imunostimulan (Couso et al. 00). Menurut Cheng et al. (004) bahwa pemberian imunostimulan secara berkelanjutan diperlukan untuk lebih memberikan kemampuan imun. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh penggunaan ekstrak G. verrucosa dalam meningkatkan respon imun pada udang vaname (L. vannamei) terhadap serangan bakteri V. harveyi. 1. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1) Menguji pengaruh penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa dalam meningkatkan sistem imun pada udang vannamei. ) Menguji pengaruh penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa yang memberi daya tahan udang terhadap serangan bakteri patogen. ) Menguji frekuensi pemberian yang efektif untuk daya tahan terhadap serangan bakteri patogen.

20 Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi menggenai bahan imunostimulan dari ekstrak rumput laut G. verrucosa yang dapat menstimulasi dan meningkatkan ketahanan udang terhadap serangan bakteri patogen. Sehingga diharapkan nantinya dapat diterapkan penggunaan imunostimulan pada budidaya udang vaname dan dapat mengatasi permasalahan penyakit. 1.4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi sistem ketahanan pada udang dengan dosis pemberian tertentu yang responnya bisa diukur melalui parameter-parameter sistem imun. Efek dari respon itu dilihat dari ketahanannya terhadap serangan patogen. Selain itu pemberian dengan interval waktu tertentu bisa memberikan kelangsungan hidup yang optimal.

21 II TINJAUAN PUSTAKA.1 Sistem Imun Udang Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi (Baratawidjaja, 006). Resistensi dapat dilihat dari kelangsungan hidup maupun respon imun yang diberikan berupa reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya (Baratawidjaja, 006). Pengetahuan tentang sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea (avertebrata) dalam hal ini juga udang merupakan sistem imun non spesifik (berperan besar). Seperti vertebrata, garis pertahanan pertama berupa physico-barriers yang sangat efektif juga dimiliki avertebrata. Misalnya skeleton eksternal yang kokoh yang mencegah masuknya agen penyakit (Ratcliffe, 1985). Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut dengan hemosit atau coelomocytes. Berbeda dengan vertebrata, imunitas avertebrata tidak berdasarkan pada imunoglobulin dan interaksi subpopulasi limfosit (Ratcliffe, 1985) dalam hal ini tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi sangat sedikit pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor humoral seperti lisosim. Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, air laut mupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Oleh karena itu krustasea tersebut harus mampu meningkatkan pertahanan yang efisien untuk melawan organisme penyerang. Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi. Selain itu juga penutupan luka yang cepat untuk mencegah keluarnya hemolim dan juga untuk mencegah mikroorganisme menempel pada luka, juga ada reaksi pada pertahanan krustasea yang disebut clotting (Söderhäll and Cerenius, 199). Hemosit penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Ketika sel ini mempunyai morfologi dan fungsinya masing-masing (Söderhäll and Cerenius, 199). Sel hialin dicirikan dengan tidak memiliki sitoplasmik yang merupakan agranular, berukuran lebih kecil diantara sel hemosit (Cornick and Stewart, 1978). Sel ini melakukan fungsinya yaitu aktifitas fagositosis. Sel semi granular dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul. Sel ini tidak stabil in vitro cepat lisis dan melepaskan isinya. Aktifitas fagositosis

22 (terbatas), enkapsulasi, propo dan sitotoksitas merupakan fungsi dari sel ini (Thörnqvist et al. 1994; Kobayashi et al. 19; Johansson and Söderhäll 1985). Granular memiliki sejumlah besar granul, dan melakukan fungsi sebagai propo dan sitotoksis. Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam respon terhadap partikel non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada mekanisme pertahanan udang terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan sangat penting tidak hanya secara langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui sintesis dan eksositosis sejumlah molekul biaktif yang aktif (Smith et al. 00). Menurut Dugger and Jory (1999), fagosit hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari permukaan molekul protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan patogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel inang. Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan sel inang dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan. Gambar 1. Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea (Smith et al. 00).

23 Proses pertama yang penting adalah pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh udang yang dimediasi oleh hemosit dan protein plasma (Van de Braak, 00). Pengenalan patogen melalui pola molekular, dilakukan oleh beberapa protein pengenal yang disebut pattern recognition protein (PRPs). Protein ini bisa mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri (Van de Braak, 00). Secara singkat dikatakan bahwa hemosit melakukan reaksi inflammatory-type seperti fagositosis, penggumpalan hemosit, menghasilkan reactive oxgygen metabolites dan melepaskan protein mikrobisidal (Smith et al. 00). Selain itu reaksi imun yang maksimal dicapai melalui koordinasi dan interaksi antara tipe hemosit atau produknya (Gambar 1). Protein kunci dalam sistem imun adalah peroxinectin. Hemosit udang berperan penting pada awal dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Juga yang sangat penting bahwa nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah sitosin dan komponen penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins, bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik untuk digunakan dalam praktek budidaya (Dugger and Jory, 1999). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunostimulan tertentu misalnya β-glukan, polisakarida dan peptidoglikan (Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 000; Cheng et al. 004) mengaktifkan aktifitas phenoloxidase (PO). Phenoloxidase merupakan suatu enzim yang paling penting yang terlibat dalam sistem imun alami avertebrata (Cerenius and Söderhäll, 004). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan aktifnya sistem propo (prophenoloxidase) bisa lebih meningkatkan mekanisme sistem pertahanan udang ((Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 000). Menurut Johansson dan Söderhäll, 1989, Prophenoloxidase (propo) dan phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, cell-adhesion, degranulation, cytotoxic, melanization, serta fagositosis selain itu juga berfungsi sebagai sistem non-self recognition. Hal ini dikarenakan dengan aktifasi sistem propo maka dihasilkan beberapa protein seperti peroxincetin, transglutamin dan clotting protein. Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitif terhadap stress, berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan pengamatan langsung menggunakan dark field mikroskop. Infeksi dari bakteri vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri Gram-

24 negatif batang lainnya (Costa et al. 1998). Infeksi bakteri pada udang dapat menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized septicemia. Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan terhadap Vibrio spp. ketika udang diberi (disuntik) dengan imunostimulan (Cheng et al. 004).. Budidaya Udang vaname Lingkungan budidaya sering merupakan hal yang sangat berpengaruh pada produksi udang vaname. Dissolved oxygen (DO) merupakan faktor pembatas dalam budidaya. Air pada dasar kolam dimana udang berada, dapat menjadi hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feces, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang. Nilai DO diatas 5 mg l -1 sering direkomendasikan untuk budidaya intensif (Zhang et al. 006). Kekurangan oksigen menyebabkan udang mudah terserang bakteri vibriosis dan dapat menyebabkan kematian hingga 48% dari populasi udang (Le Moullac et al. 1998). Budidaya pembesaran udang di beberapa negara menggunakan oxytetracycline (OTC), oxolinic acid (OXA), chloramphenicol dan furazolidone yang dicampur dalam pakan buatan sebagai perlakuan untuk melawan vibriosis luminous (Cruz-Lacierda et al. 000). Obat yang digunakan berakibat langsung pada pemberian pakan yang berlebih dan menurunkan nafsu makan organisme yang dibudidayakan. Akibat tidak langsung yaitu adanya agen antimikroba dengan konsentrasi rendah mengakibatkan berkembangnya strain yang resisten (Tendencia and dela Pena, 00). Selanjutnya Tendencia dan dela Pena (001) melaporkan bahwa berkembangnya resistensi antibiotik dapat dihubungkan dengan penggunaan antimikrobial pada kolam udang. Penggunaan antibiotik secara berlebihan menyebabkan strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Goarant et al, 006). Bakteri vibrio yang terdapat pada kolam/air/sedimen dan bagian kolam lainnya pada budidaya udang yang menggunakan antibiotik oxytetracycline menunjukkan resistan terhadap antibiotik tersebut (Tendencia and dela Pena, 00). Abraham et al (1997) mengisolasi strain V. harveyi yang resisten terhadap antibiotik yang digunakan dalam sistem akuakultur, dari udang yang sakit. Lebih lanjut Hameed and Balasubramaniam (000) menemukan bahwa bakteri resisten yang diisolasi dari Artemia nauplii resisten terhadap erythromycin, nitrofurazone dan oxytetracycline. Penggunaan obat yang berlebihan dalam mengendalikan penyakit pada udang dapat beresiko pada kesehatan manusia, akibat dari residu dalam udang dan berdampak pula pada lingkungan dengan adanya residu antibiotik (Reed et al. 00). Antimikroba yang digunakan di Jepang berupa oxolinic acid dan oxytetracycline (Uno, 004). Meskipun oxytetracycline belum

25 disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan dalam budidaya udang, di USA obat ini telah digunakan dan sukses dalam treatment vibriosis septicemia (Mohney et al. 1997), namun bersifat residu pada L. vannamei.. Vibrio spp. Spesies vibrio merupakan bagian dari autochthonous flora dari organisme laut dan merupakan salah satu kelompok yang penting dalam lingkungan laut, sekitar 80% populasi bakteri pada permukaan air (Tsukamoto et al. 199). Vibrio dapat menyebabkan kematian pada larva udang pada lingkungan budidaya yang berbeda. Beberapa jenis spesies vibrio yang merupakan patogen utama pada udang penaid antara lain V. vulnificus, V. alginolyticus, V. campbellii, V. splendidus, V. damsela, V. parahaemolyticus, dan V. harveyi (Lightner, 1996). Menyebabkan penyakit vibriosis yang terjadi pada semua level pembesaran, mulai pada tangki hatchery hingga kolam pembesaran. Walaupun demikian spesifikasi telah dilaporkan baik pada spesies maupun fase perkembangan, sehingga strain vibrio berbeda walaupun pada spesies yang sama. Kematian yang tinggi pada hatchery udang P. monodon biasanya disebabkan oleh V. campbellii. Sedangkan pada L. vannamei biasanya disebabkan oleh V. harveyi dan V. parahaemolyticus (Robertson et al. 1998). Bakteri vibrio juga dapat ditemukan pada udang penaeid yang sehat. Vibrio opportunistic dapat menyebabkan masalah serius pada larva ketika terdapat tekanan karena lingkungan yang tidak stabil, kepadatan yang tinggi dan manajemen yang buruk (Hameed et al. 00). Vibriosis merupakan masalah utama pada budidaya udang, menyebabkan kematian tinggi dan berdampak pada ekonomi, biasanya penyebab utama terjadinya penyakit oleh highly virulent strains Vibrio sp. (de la Pena et al. 199). Ciri-ciri Vibrio spp. merupakan bakteri Gramnegatif, motile, oxidase-positive, lurus atau lengkung rod-shaped, anaerobic fakultatif. Merupakan bentuk dari bagian indigenous microflora, habitat aquatic dari berbagai salinitas (Colwell, 1984). Terjadinya penyakit dihubungkan dengan meningkatnya proporsi spesies potensial patogenik vibrio pada kolam budidaya (Sung et al, 001). Meskipun demikian patogenik populasi dari komuniti mikrobial cenderung berubah, dalam respon terhadap tekanan lingkungan, dalam lingkungan yang alami, sulit untuk mengetahui tekanan (stress) secara tepat, terutama jika definisi kondisi stressful bervariasi dari satu organisme dengan organisme lain (Goarant et al. 1998). Beberapa penelitian tentang identifikasi dan karakteristik toksin dari V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. harveyi (Lee et al. 1999) telah dilakukan. Racun yang dihasilkan oleh Vibrio adalah hemolisin yang menyebabkan terjadinya hemolisis pada hemolim udang (Zhang et al. 001). V. harveyi merupakan patogen yang utama pada udang, yang dapat menyebabkan vibriosis pada beberapa udang budidaya di daerah tropis, dimana daerah ini merupakan wilayah produksi udang dunia (Jiravanichpaisal et al. 1994; Liu et al. 1996).

26 .4 Imunostimulan Imunostimulasi merupakan cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut (Baratawidjaja, 006). Menurut Treves- Brown (000) imunostimulan merupakan bahan yang bisa meningkatkan resistensi organisme terhadap infeksi patogen. Pemberian imunostimulan secara luas dengan maksud untuk mengaktifkan sistem imun non spesifik sel seperti makrofag pada vertebrata dan hemocyte pada avertebrata (Dugger and Jory, 1999). Imunostimulan penting untuk mengontrol penyakit ikan dan berguna pada budidaya ikan. Penggunaan imunostimulan dilakukan pada budidaya ikan karena kemoterapi yang diberikan pada ikan menyebabkan resistensi pada bakteri tertentu. Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Penggunaan imunostimulan, dengan ditambahkan pada agen kemoterapi dan vaksin, telah diterima luas oleh petani ikan. Ikan yang diberikan imunostimulan biasanya menunjukkan peningkatan aktifitas sel fagositik. Aktifitas sel fagositik dapat dideteksi dengan fagositosis, killing dan chemotaxis. Meningkatnya genetik yang terbunuh adalah sangat penting pada makrofag dari ikan yang diberi imunostimulan. Killing mechanism makrofage dapat dikategorikan sebagai oxygen-dependent atau oxygen-independent. Oxygen-dependent killing mechanism dimediasikan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat dideteksi dengan chemiluminescence dan uji NBT (Kajita et al. 19). Limfosit juga diaktifkan oleh imunostimulan, aktifitas lisozim juga dipengaruhi oleh pemberian imunostimulan (J Ø rgensen et al. 199). Imunostimulan digunakan untuk meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik pada hewan, termasuk udang (Song and Sung, 19). Imunostimulan seperti beta 1, D glucan dapat digunakan sebagai nutrisi yang dapat mendukung sistem imun non spesifik dari udang laut pada kondisi budidaya. Pemberian imunostimulan dapat dilakukan dengan (Dugger and Jory, 1999): 1. Penyuntikan Penyuntikan beta glucan dan stimulant imun lainnya dapat memberikan respon non spesifik yang kuat, tetapi biasa tidak praktis dan efektif dalam hal biaya dalam usaha budidaya, kecuali untuk juvenile yang besar dan dewasa untuk tujuan memperbaiki individu seperti induk atau genetik.. Perendaman Memberikan respon imun non spesifik yang sedikit, tetapi lebih efektif dalam hal biaya daripada dengan penyuntikan. Namun dapat menimbulkan stress pada udang karena meningkatnya penanganan dan kepadatan dalam perendaman. Makrofag dan hemosit dapat diaktifkan pada fase larva ikan, dan ini sama juga pada udang muda.

27 . Oral Memberikan respon imun non spesifik yang baik dan merupakan metode yang lebih efektif. Namun beta glucan yang diberikan secara oral memiliki jalur dan fungsi yang berbeda dengan bahan pakan. Konfigurasi beta glucan merupakan acid resistant, jadi lewat begitu saja dalam saluran pencernaan tanpa melalui perubahan. Sehingga penyerapan beta glucan pada dinding usus menggunakan mekanisme phagocytic transport..5 Rumput laut Secara taksonomi seaweed atau rumput laut digolongkan ke dalam Divisio Thallophyta dengan empat kelas besar dalam Divisio ini, yaitu: Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Rumput laut sudah dikenal berabad lampau sebagai makanan dan obat tradisional (Angadiredja et al. 1996). Jenisjenis rumput laut yang telah dibudidayakan di Indonesia antara lain Eucheuma denticulatum, Kapaphycus alvarezii, Gracilaria verrucosa, G. gigas, G. lichenoides dan G. confervoides. Sedangkan jenis Ulva sp., Hypnea sp., Sargassum sp., Enteromorpha sp. dan Turbinaria sp. terdapat berlimpah pada musim tertentu namun pemanfaatannya belum optimal (Angadiredja et al. 1996). Struktur molekul agar terdiri dari susunan agarose yang tidak bermuatan dan agaropectin yang bermuatan. Agarose digunakan sebagai media kultur (mikroba, kultur sel dan kultur jaringan), dan digunakan juga dalam proses elektroforesa, tehnik imobilisasi, khromatografi serta immunologi (Angadiredja et al. 1996). Penerapan teknologi ekstraksi, memberikan kemungkinan melakukan isolasi metabolit sekunder dari rumput laut. Hasil penelitian farmasi-kimia menunjukkan pula, bahwa rumput laut menghasilkan banyak jenis metabolit sekunder, dengan variasi struktur senyawa yang unik dan secara biologi aktif. Pemeriksaan farmakologi dan mikrobiologi dari ekstrak dan isolate, memberikan gambaran yang lebih jelas akan manfaat rumput laut dalam bidang farmasi (Angadiredja et al. 1996). Dikemukakan oleh Castro et al. (006) bahwa dinding sel rumput laut berisi matrix polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Percival 1979; Kloareg and Quatrano, 1988). Dengan demikian gula terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis yang berbeda termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor dan aktifitas immunomodulatory pada mamalia (Castro et al. 006). Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktifitas immunomodulatory telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari beberapa spesies rumput laut dapat menstimulasi aktifitas respiratory burst dari fagosit turbot, proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro et al. 006). Ditambahkan juga bahwa metabolit primer yang umumnya

28 merupakan senyawa polisakarida dan bersifat hidrokoloid seperti karaginan, agar, alginate dan furcelaran digunakan sebagai senyawa additive dalam industri farmasi. Metabolit primer asamasam amino sebagai sumber gizi, serta metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioactive substances dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat (Angadiredja et al. 1996). Ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst pada makrofage tikus baik secara in vitro maupun in vivo (Yoshizawa et al. 1996). Karagenan, polisakarida bersulfat yang diperoleh dari alga merah, memicu lekosit tikus untuk memproduksi TNF-α sebagai respon terhadap lipopolisakarida bakteri (Ogata et al. 1999). Walaupun demikian beberapa tipe dari karagenan terlihat merusak fungsi dari makrofag (Schmidt et al. 199). Agar merupakan polisakarida campuran yang terdapat dalam matrix sel dari alga merah (Rhodophyta). Agar terdiri dari dua komponen yang berbeda: agarose dan agaropectin (Marinho-Soriano and Bourret, 005). Gracilaria diketahui juga mempunyai aktifitas antimicrobial pada ikan terhadap beberapa jenis bakteri (Bansemir et al. 006) G. verrucosa merupakan jenis alga merah yang mempunyai nilai ekonomis (Gambar ) dan telah dibudidayakan. Identitas rumput laut ini ditandai dengan Thallus silindris, licin, berwarna kuning coklat atau kuning hijau. Percabangan berselang seling tidak beraturan, kadang-kadang berulang-ulang memusat ke bagian pangkal. Ciri yang membedakan G. verrucosa dari G. gigas maupun jenis Gracilaria lainnya adalah cabang-cabang lateralnya yang memanjang menyerupai rambut. Ukuran panjang sekitar 5 cm dan diameter thallus sekitar 0,5-1,5 mm. Habitat rumput laut ini menempel pada substrat batu atau benda lainnya. Alga ini banyak ditemukan di tambak budidaya yaitu di daerah Takalar, Sulawesi Selatan (Dirjen, 005), serta telah dibudidayakan di tambak Karawang Jawa Barat. Gambar. Gracilaria verrucosa (koleksi pribadi)

29 Rhodophyceae termasuk juga didalamnya G. verrucosa mengandung beberapa zat yang penting antara lain: floridin starch, mannoglycerate, dan floridosida. Alga merah menghasilkan komponen utama kimianya yaitu karagenan dan agar (Dirjen, 005). G. verrucosa merupakan penghasil agar, setiap jenis Gracilaria spp. menghasilkan agar dengan persentase kandungan dan kekuatan gelnya yang berbeda. Agar merupakan koloid hidropilik yang diekstrak dari alga merah. Komponen kimia ini mengandung polisakarida bersulfat, yang formasinya dengan senyawa lainnya dalam agar membentuk sejumlah molekul yang salah satunya berperan dalam immunomodulatory. Polisakarida pada alga merah biasanya berisi galaktosa maupun galaktan bersulfat (Naidu, 000).

30 III METODOLOGI PENELITIAN.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Tempat pelaksanan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Sampel rumput laut G. verrucosa diambil dari lokasi budidaya yaitu di tambak Karawang. Proses pengekstraksian G. verrucosa dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor sedangkan Freeze dryer dilakukan di Laboratorium Industri Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.. Bahan dan Alat Penelitian Udang uji yang akan digunakan adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) berat 9,1±0,1 g diambil dari lokasi budidaya udang vaname yaitu tambak Bakauheni Lampung. Sebelum perlakuan udang diaklimatisasi selama minggu pada suhu ruangan. Selama aklimatisasi udang diberi pakan formulasi kali sehari. Pergantian air dan aerasi dilakukan secara kontinyu (setiap hari). Perlakuan untuk media udang yaitu dengan menyaring air laut dan mensterilisasi dengan kaporit 4 ppm. Suhu media 8-0 o C dan salinitas air 0 udang diberi pakan pelet komersial (pakan disterilisasi harian dengan pemanasan pada 80 o C selama 15 menit) dengan feeding rate % dari bobot biomassa. Bahan yang akan digunakan sebagai imunostimulan adalah ekstrak rumput laut G. verrucosa. Bakteri untuk uji tantang merupakan V. harveyi strain patogenik (MR 559 Rf ), diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor. Bahan kimia untuk analisis parameter antara lain : alkohol, metanol, Na-sitrat, pewarna Giemsa, TCBSA (Oxoid), L-DOPA (Sigma D968), trypsin (Sigma T4799), sodium cacodylate (Sigma C050), MgCl, NaCl, CaCl, bacto agar, yeast extrak, bacto peptone, glycerol dan natrium sitrat (Sigma A ). Wadah perlakuan yang digunakan berupa akuarium dan bak fiber yang dilengkapi peralatan aerasi. Sebelum digunakan wadah disterilisasi menggunakan Kaporit sebanyak 100 ppm selama 4 jam, kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan parameter imun udang antara lain: sirynge 1 ml, tabung reaksi, kaca obyek dan penutupnya, hemositometer, mikropipet, mikrotube (ependorf 1,5 dan,5 ml), yellow tip, blue tip, sentrifus, mikroskop, alat penghitung, autoklaf, jarum ose, inkubator, spektrofotometer, petridish dan gelas Beaker.

31 . Rancangan Percobaan Eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1) untuk menguji pengaruh ekstrak G. verrucosa pada pada kerentanan L. vannamei terhadap V. harveyi; ) Mengukur parameter imun dari L. vannamei yang diinjeksi dengan G. verrucosa; dan ) Mengetahui frekuensi pemberian ekstrak yang efektif untuk daya tahan optimal terhadap serangan V. harveyi. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan dan ulangannya masingmasing. Untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan ekstrak G. verrucosa terhadap kelangsungan hidup udang vaname, parameter total haemocyte count (THC), differential haemocyte count (DHC), aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase (PO), dan clearance efficiency hemosit serta pertumbuhan, maka dianalisa keragamannya menggunakan ANOVA. Selanjutnya perbedaan antar perlakuan diuji lanjut lagi menggunakan uji Duncan. Alat bantu yang digunakan yaitu SPSS versi 1..4 Pelaksanaan Penelitian.4.1 Ekstraksi Rumput Laut. Sampel G. verrucosa yang telah berumur 1,5 bulan dikumpulkan dari lokasi budidaya rumput laut, dicuci dengan air laut dan air tawar untuk menghilangkan garam, epiphyte, mikroorganisme dan bahan lainnya. Alga yang telah bersih dikeringkan di udara terbuka (kering udara) tanpa terkena cahaya matahari langsung. Selanjutnya sampel yang sudah kering digiling halus dan diayak menggunakan saringan halus (60 mesh size). Ekstrak freeze dried dan powdered biomass menggunakan pelarut etanol 80% (Balitro Cimanggu). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan etanol dengan perbandingan 1:5 (w/v), diaduk dengan stirrer, diendapkan dan kemudian disaring. Hasil saringan (filtrat) dievaporasi dengan menggunakan penguap putar (rotary evaporator) pada suhu 50 o C. Maserat yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dalam freeze dryer (Lampiran 1)..4. Kultur Vibrio harveyi Strain patogenik V. harveyi MR 559 Rf diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor. Sebelum digunakan untuk uji, bakteri tersebut ditingkatkan virulensinya dengan menginokulasi kembali pada udang hidup yang sehat dan selanjutnya diisolasi kembali pada media TCBS yang telah dicampur dengan 50 µg/ml antibiotik rifampicin. Kemudian patogen dikultur pada SWC agar selama 4 jam pada suhu ruangan, selanjutnya dipindahkan ke SWC cair (broth) 0 ml selama 1-16 jam pada suhu ruangan sebagai stok kultur untuk uji. Stok kultur disentrifus pada 7155 x g selama 15 menit. Supernatan dipindahkan dan pellet bakteri diresuspended dalam larutan garam pada konsentrasi tertentu

32 sebagai stok suspensi bakteri untuk uji tantang dan uji clearance efficiency dari L. vannamei terhadap V. harveyi..4. Pengaruh Ekstrak Gracilaria verrucosa pada Kerentanan Litopenaeus vannamei terhadap Vibrio harveyi Pada eksperimen ini terdapat enam (6) perlakuan yaitu 10, 0 dan 50 µg/g udang, kontrol (+), kontrol (-) serta physiological saline (PS), dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga () kali. Pemberian ekstrak dan physiological saline (PS) dilakukan sehari sebelum uji tantang. Kemudian pada hari pertama diberikan bakteri dengan konsentrasi 10 6 CFU/ekor udang, pemberian dilakukan melalui penyuntikan secara individu kedalam ventral sinus cephalothorax (segmen kedua abdominal). Perlakuan kontrol positif yaitu tanpa pemberian larutan ekstrak dan diuji tantang; sedangkan perlakuan kontrol negatif yaitu tanpa pemberian ekstrak dan tidak diuji tantang. Jumlah udang yang digunakan untuk masing-masing perlakuan adalah 10 ekor udang, sehingga total udang yang digunakan 180 ekor dengan berat 9,1±0,1 g. Setelah uji tantang diamati kelangsungan hidup setiap hari selama 6 hari. Skema Pengujian I V. harveyi 10 6 CFU/udang (diinjeksi pada udang) SR (%) (hari ke-) I. Ekstrak (10, 0, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS) diinjeksi pada udang.4.4 Studi parameter imun dari L. vannamei yang diinjeksi dengan G. verrucosa Udang dengan berat badan 9,1 ± 0,1 gram secara acak didistribusi dalam akuarium (5 ekor/perlakuan). Namun sebelumnya larutan ekstrak disuntik kedalam ventral sinus cephalothorax (sekitar 0 µl) sesuai perlakuan yaitu: 5 mg ml -1 ; 10 mg ml -1 ; dan 5 mg ml -1, sehingga dosis yang digunakan adalah: 10; 0; dan 50 µg/g udang, dengan perlakuan kontrol tanpa pemberian ekstrak, dan perlakuan pemberian physiological saline (PS). Udang diberi pakan komersial sebanyak % biomassa, kali pemberian pakan dalam sehari. Setiap hari dilakukan pergantian air (50%). Pengambilan hemolim (waktu sampling) dilakukan pada hari 0, 1,, 4 dan 6 setelah penyuntikan ekstrak G. verrucosa.

33 Pengumpulan data parameter dilakukan dengan mengambil hemolim dari setiap udang uji, empat udang untuk setiap perlakuan dan waktu sampling yang digunakan untuk studi ini. Parameter imun yang diukur yaitu: jumlah total hemosit (THC), diferensial hemosit (DHC), aktifitas fagositosis dan aktifitas phenoloxidase (PO). Untuk evaluasi clearance efficiency, udang pada masing-masing perlakuan mendapat perlakuan yang sama seperti diatas (lima perlakuan dan empat ulangan). Namun pada uji ini ditambahkan penyuntikan suspensi bakteri sebesar 10 6 CFU/ekor udang. Suspensi ini disuntikkan ke dalam ventral sinus pada hari ke 0, 1,, 4, dan 6. Setelah injeksi, udang dipelihara selama 1 jam, dalam wadah yang bervolume 60 liter. Kemudian 00 µl hemolim diambil dari ventral sinus dicampur dengan 00 µl antikoagulan. Skema Pengujian IIa THC, DHC, IP, PO (hari ke-) Pengambilan hemolim udang I. Ekstrak (10, 0, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS) diinjeksi pada udang Skema Pengujian IIb CE (hari ke-) Pengambilan hemolim udang V. harveyi 10 6 CFU/udang (1 jam sebelum pengambilan hemolim) (diinjeksi pada udang) I. Ekstrak (10, 0, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS) diinjeksi pada udang

34 .4.5 Periode Pemberian Ekstrak Dosis ekstrak yang digunakan dalam eksperimen ini yaitu 50 µg/g udang. Perlakuan yang digunakan pada eksperimen ini adalah periode waktu tertentu pemberian ekstrak G. verrucosa. Terdapat 5 perlakuan yaitu 0 kali (kontrol), 1 kali (pada awal pemeliharaan), kali (interval 14 hari), 4 kali (interval 7 hari), 6 kali (interval 4 hari) selama 0 hari pemeliharaan, setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Kepadatan yang digunakan 10 ekor per perlakuan. Penyuntikan suspensi bakteri (uji tantang) pada semua perlakuan dilakukan pada hari ke-0 pemeliharaan. Parameter yang diamati berupa pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Pengamatan kelangsungan hidup diamati sampai hari ke 6 setelah uji tantang. Skema Pengujian IIIA (0 kali) Tanpa injeksi ekstrak (kontrol) V. harveyi 10 6 CFU/udang (injeksi pada udang) SR (%)+ G (g) Skema Pengujian IIIB (1 kali) E = waktu (hari ke-) injeksi ekstrak V. harveyi 10 6 CFU/udang (injeksi pada udang) SR (%) + G (g)

35 Skema Pengujian IIIC ( kali) E dan 16 = waktu (hari ke-) injeksi ekstrak V. harveyi 10 6 CFU/udang (injeksi pada udang) SR (%) + G (g) Skema Pengujian IIID (4 kali) , 8, 16 dan = waktu (hari ke-) injeksi ekstrak V. harveyi 10 6 CFU/udang (injeksi pada udang) SR (%)+ G (g) Skema Pengujian IIIE (6 kali) , 6, 11, 16, 1, dan 6 = waktu (hari ke-) injeksi ekstrak V. harveyi 10 6 CFU/udang (injeksi pada udang) SR (%)+ G (g)

36 .5 Pemeriksaan Parameter Imun Udang.5.1 Total Hemosit. Jumlah hemosit dihitung sesuai metode Blaxhall dan Daisley (197). 0,1 ml hemolim diambil dari pangkal kaki renang, menggunakan srynge 1 ml berisi 0,9 ml antikoagulan Na-sitrat, kemudian dihomogenkan, dengan cara menggerakkan tangan membentuk angka delapan selama 5 menit. Satu tetes larutan diletakkan pada hemocytometer dan jumlah sel per ml dihitung. Total hemosit 1 = Rata rata Σ sel terhitung FP 1000 Volume kotak besar.5. Diferensial Hemosit Dihitung dengan cara: hemolim diteteskan pada gelas objek dan dibuat ulasan, dikeringkan dan difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Kemudian dikering udarakan dan diwarnai dengan larutan giemsa selama 10 menit, dicuci dengan air mengalir dan dibiarkan kering. Ulasan kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Persentase Jenis Sel hemosit = Jumlah tiap jenis sel hemosit Total hemosit Indeks Fagositik. Hemolim udang dimasukkan sebanyak 0,1 ml ke dalam mikroplate dan dicampur secara merata dengan 5 µl bakteri Staphylococcus aureus dan diinkubasi selama 0 menit. Kemudian sebanyak 5 µl diteteskan pada objek glass dan dibuat preparat ulas. Selanjutnya difiksasi dengan Metanol 100% selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa (10%) selama 15 menit. Aktifitas fagositosis diukur berdasarkan presentase sel-sel fagosit yang menunjukkan proses fagositosis (Anderson dan Siwicki, 199). Jumlahsel fagosit yang melakukan fagositosis Indeks Fagositik = Jumlah sel fagosit.5.4 Aktifitas Phenoloxidase (PO) 100 Untuk mengukur aktifitas phenoloxidase secara spektrofotometer oleh perekaman pembentukan dopachrome yang dihasilkan dari L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) (Hernandez- Lopez et al., 1996), hemolim yang diencerkan disentrifus pada 700 g pada 4 o C selama 0 menit; cairan supernatant dibuang dan pellet dibilas, disuspensikan kembali secara perlahan dalam cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium citrate, ph 7,0) dan disentrifuse ulang. Pellet kemudian diresuspended dengan 00 µl cacodylate

37 buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,01 M calcium chloride, 0,6 M magnesium chloride, ph 7,0) dan 100 µl aliqout diinkubasi dengan 50 µl trypsin (1 mg ml -1 ), sebagai aktifator, selama 10 menit pada 5-6 o C; 50 µl L-DOPA ditambahkan, diikuti oleh 800 µl cacodylate buffer 5 menit kemudian. Optical density pada 4 nm diukur menggunakan spektrofotometer Hitachi U-000. Optical density aktifitas phenoloxidase udang untuk semua kondisi uji diekspresikan sebagai pembentukan dopachrome dalam 50 µl hemolim..5.5 Clearance efficiency Clearance efficiency diukur mengikuti metode Adams (1991). Volume 00 µl hemolim (yang telah diencerkan), diencerkan 4 kali dengan larutan fisiologis. Dua bagian 50 µl dari setiap sample hemolim yang diencerkan disebar pada plate TCBS yang terpisah dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 4 jam sebelum koloni dihitung menggunakan koloni counter. Clearance efficiency terhadap V. harveyi, digambarkan sebagai persentase penghambatan (PI) dikalkulasi sebagai: PI = 100 {(CFU pada grup uji)/(cfu pada grup kontrol) Kelangsungan hidup Dihitung berdasarkan formula Zonneveld et al. 1991: Jumlah populasi akhir Survival rate (%) = x 100 Jumlah populasi awal.5.7 Pertambahan Bobot Mutlak Dihitung berdasarkan rumus Zonneveld et al. 1991: Pertumbuhan mutlak (g) = Rata-rata berat akhir (g) Rata-rata berat awal (g)

38 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kelangsungan hidup Udang Vaname Hasil pengamatan kelangsungan hidup udang vaname yang diberi ekstrak Gracilaria verrucosa maupun yang mendapat perlakuan kontrol dan pemberian Physiological saline diperoleh data seperti yang terdapat dalam Lampiran. Semua udang yang tidak diuji tantang (kontrol [-]) kelangsungan hidupnya 100% hingga hari terakhir pengamatan (Gambar dan Lampiran ). Pada hari pertama belum terdapat perbedaan persentase kelangsungan hidup antar perlakuan yang diberi ekstrak dengan kontrol positif (Gambar ). Perbedaan kelangsungan hidup antara perlakuan yang diberi ekstrak Gracilaria dengan perlakuan kontrol positif mulai terlihat pada hari ke dua setelah uji tantang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kelangsungan hidup udang yang diberi perlakuan ekstrak 10 (±0,0%), 0 (±5,8%) dan 50 µg/g bobot udang (9,6±6,8%) lebih tinggi secara nyata terhadap kontrol (+) (7,±8,8%) (p<0,05) (Lampiran B). Kelangsungan hidup (%) a a bc abc abc ab a bc b a a b b b a a b a a b a a a Waktu (hari) 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g PS K(+) K (-) Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pemaparan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar. Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan Pada hari ke tiga hingga hari ke lima perlakuan ekstrak memberikan kelangsungan hidup udang (70±0,0%; 7,±,%; 76,7±,%) yang lebih tinggi (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan physiological saline (PS) maupun kontrol positif (60%±0,0; 56,7±,%) (Gambar ). Perlakuan ekstrak 0 dan 50 µg/g bobot udang, memberikan hasil kelangsungan hidup (70±0,0% dan 7,±,%) lebih tinggi secara nyata bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang diuji tantang (kontrol positif) maupun perlakuan pemberian PS ataupun dosis ekstrak 10 µg/g bobot udang (Lampiran F).

39 Perlakuan pemberian ekstrak G. verrucosa pada dosis 50 µg/g bobot udang memberikan hasil persentase kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan pada perlakuan dengan dosis 10 dan 0 µg/g bobot udang pada hari kedua. Akan tetapi pada hari berikutnya (, 4, 5 dan 6) tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) pada kelangsungan hidup antara perlakuan yang mendapat ekstrak, namun berbeda secara nyata (p<0,05) dengan perlakuan kontrol positif dan perlakuan physiological saline (PS). Penggunaan ekstrak G. verrucosa memberikan pengaruh pada kelangsungan hidup pada udang vaname hingga 7,% pada akhir pengamatan (hari keenam) pada dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang (Lampiran F dan Gambar ) Parameter Imun Udang Vaname yang Diberi Ekstrak Rumput Laut Parameter imun udang yang diamati selama penelitian meliputi THC (Total haemocyte count) dan DHC (differensial haemocyte count) atau total hemosit dan perbedaan banyaknya jenis hemosit yang masing-masing datanya disajikan pada Lampiran 4, 6, 8, dan 10. Selain itu pula dilakukan pengamatan pada parameter aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase dan clearance efficiency atau efisiensi pemusnahan V. harveyi (Lampiran 1, 14 dan 16). Total hemosit udang yang mendapat perlakuan ekstrak G. verrucosa mulai meningkat pada hari kedua hingga hari keenam pengamatan (Lampiran 4 dan Gambar 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada hari pertama perlakuan pemberian ekstrak memberikan hasil total hemosit (70,±1,9; 71,4±8,7; 77,5±9, /ml lebih tinggi secara nyata (p<0,05) daripada kontrol (8,6±1, /ml), walaupun terjadi penurunan total hemosit. Pada hari kedua udang yang mendapat perlakuan ekstrak dengan dosis yang berbeda memiliki total hemosit yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan udang kontrol dan PS. Udang yang mendapat perlakuan ekstrak 50 µg/g bobot udang memiliki total hemosit lebih tinggi secara nyata (p<0,05) dari perlakuan lainnya pada hari keempat dan keenam (4,±1,4 dan 17,8±1, /ml) (Lampiran 4). 00 c Total hemosit (x 10^5/ml) a a a a a b bc bc b d b c c b c a b c b a a a a a Waktu (Hari ke-) PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 4. Total hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan

40 Persentase sel hialin berkisar antara 61,7±7,5% hingga 81,8±,0% dan terjadi peningkatan mulai dari hari pertama hingga hari keenam baik pada udang kontrol maupun yang mendapat perlakuan ekstrak dan physiological saline (Lampiran 6 dan Gambar 5). Akan tetapi hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan dosis tertentu pada udang mampu meningkatkan persentase sel hialin yang lebih tinggi (p<0.05) daripada udang kontrol (pada hari pertama dan keenam pengamatan). Hari pertama terlihat bahwa perlakuan ekstrak 0 µg/g bobot udang, menunjukkan presentasi hialin lebih tinggi secara nyata dari perlakuan lainnya (79,0±1,5%). Namun pada hari kedua dan keempat (61,7±7,5% dan 61,9±7,4%) justru turun lebih rendah dari perlakuan lainnya. Persentase sel hialin lebih tinggi pada udang yang mendapat perlakuan ekstrak daripada udang kontrol (p<0,05) pada hari keenam (Lampiran 7E dan Gambar 5) a a a a a d c c bc c bc c b b a ab bc ab a a c cbc b a Sel hialin (%) hari ke- PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 5. Sel hialin udang vaname pada masing-masing perlakuan Perbedaan persentase sel semi granular antara udang yang mendapat perlakuan ekstrak dan kontrol serta PS terlihat mulai pada hari kesatu hingga keempat (Lampiran 8). Terlihat adanya peningkatan persentase sel semi granular pada hari ke-1, dan terjadi penurunan pada hari ke-4 dan 6 (Gambar 6). Hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa pada hari pertama udang yang mendapat perlakuan PS, 10 dan 50 µg/g bobot udang memiliki persentase sel semi granular yang lebih tinggi (4,±,0%; 4,5±,4%; 1,5±,%) (p<0,05) daripada udang udang kontrol dan udang pada perlakuan ekstrak 0 µg/g bobot udang (16,9±,0%; 15,4±,5%). Persentase sel semi granular udang yang mendapat perlakuan ekstrak pada dosis 10 dan 0 µg/g bobot udang lebih tinggi (p<0,05) daripada udang pada perlakuan 50 µg/g bobot udang maupun udang kontrol (hari kedua) (Lampiran 9B dan Gambar 6). Hari keempat udang pada perlakuan pemberian ekstrak dengan dosis 0 dan 50 µg/g bobot udang, memiliki persentase sel semi

41 granular lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan udang pada kontrol (tanpa pemberian ekstrak) (Gambar 6). Namun pada hari keenam persentase sel semi granular udang pada perlakuan dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang lebih rendah dari kontrol (p<0,05), tetapi lebih tinggi secara nyata (p<0,05) daripada perlakuan PS dan ekstrak 10 µg/g bobot udang (Lampiran 9E) Sel semi granular (%) a a a aa b b b a a bcc c a ab c c b c ab a a abb a hari ke- PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 6. Sel semi granular udang vaname pada masing-masing perlakuan Data yang disajikan pada Lampiran 10, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase sel granular pada udang yang mendapat perlakuan esktrak yang teramati pada hari kedua dan keempat (dosis 0 µg/g bobot udang). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada hari pertama terlihat penurunan persentase sel granular pada perlakuan ekstrak 10 µg/g bobot udang (8,8±,%), 0 µg/g bobot udang (5,6±,%) dan 50 µg/g bobot udang (6,4±,1%) yang lebih rendah (p<0,05) dari perlakuan kontrol (1,1±0,6%) maupun PS (11,1±1,5%) (Lampiran 11). Pada hari kedua perlakuan pemberian ekstrak 0 µg/g bobot udang menghasilkan persentase sel granular pada udang (1,±5,%) yang lebih tinggi (p<0,05) dari kontrol (7,1±,5%) maupun pada udang yang mendapatkan ekstrak dengan dosis 10 µg/g bobot udang (4,8±,0%) dan 50 µg/g bobot udang (9,±,%). Peningkatan persentase sel granular pada hari keempat masih sama hanya terlihat pada perlakuan dengan pemberian ekstrak 0 µg/g bobot udang (18,9±,9%) yang lebih tinggi secara nyata dari perlakuan lainnya. Namun pada hari keenam justru persentase sel granular kontrol lebih tinggi dari perlakuan lainnya (p<0,05) (Lampiran 11E). Persentase sel granular pada hemosit udang berkisar antara 4,8±,0% hingga 18,9±,9% (mean ± S.D) (Lampiran 10).

42 80.0 Sel granular (%) a a a a a bc ab a a c b ab a a b a a a a a a a a a b hari ke- PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 7. Sel granular udang vaname pada masing-masing perlakuan Data indeks fagositik dan aktifitas phenoloxidase (PO) selama waktu pengamatan disajikan pada Lampiran 1 dan 14. Peningkatan indeks fagositik mulai terlihat pada hari ke satu (pada dosis ekstrak 0 µg/g bobot udang) hingga hari keempat (pada perlakuan PS dan dosis ekstrak 10, 0 dan 50 µg/g bobot udang) (Lampiran 1 dan Gambar 8). Pada Lampiran 1 memperlihatkan bahwa hasil analisis ragam indeks fagositik pada hari pertama telah menunjukkan perbedaan (p<0,05) antara udang pada perlakuan yang mendapat ekstrak (19,6±,6%; 0,5±,7%;,8±10,%) (lebih tinggi) dengan udang pada kontrol (9,0±6,%), namun tidak berbeda (p>0,05) dengan indeks fagositik udang yang mendapat perlakuan PS (19,5±,6). Hari kedua dan hari keempat setelah pemberian ekstrak 50 µg/g bobot udang memperlihatkan aktifitas fagositosis (44,±,5% dan 4,5±5,0%) yang lebih tinggi (p<0.05) dari pada perlakuan lainnya. Aktifitas fagositosi udang yang mendapat perlakuan dosis ekstrak 10, 0 dan 50 µg/g bobot udang yaitu 18,0±5,7%; 17,8±,8%; dan,0±4,4% pada hari keenam mengalami penurunan, namun pemberian ekstrak pada dosis 50 µg/g bobot udang, menunjukkan perbedaan indeks fagositik (,0±4,4%) yang nyata (lebih tinggi) bila dibandingkan dengan kontrol (1,±5,%) (Lampiran 1E).

43 60 50 d d Indeks fagositik (%) a a a a a b b b b a ab c bc c b a ab a b b ab ab a Waktu (hari ke-) PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 8. Indeks fagositik sel hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan Terdapat peningkatan aktifitas phenoloxidase pada udang yang mendapat perlakuan ekstrak (Lampiran 14 dan Gambar 9). Akan tetapi hasil analisis ragam (Lampiran 15) pada hari pertama setelah pemberian ekstrak (pengamatan) belum terlihat perbedaan yang nyata pada aktifitas phenoloxidase diantara semua perlakuan. Setelah hari kedua, aktifitas phenoloxidase (0,4±0,1 unit) udang yang mendapat ekstrak G. verrucosa pada dosis 50 µg/g bobot udang lebih tinggi secara nyata daripada udang kontrol (0,06±0,1 unit). Udang yang mendapat perlakuan ekstrak dengan dosis 10, 0, dan 50 µg/g bobot udang memperlihatkan aktifitas phenoloxidase yaitu 0,±0,11; 0,8±0,09; 0,4±0,07 unit) yang lebih tinggi (p<0,05) daripada udang yang mendapat perlakuan kontrol (0,08±0,05 unit) pada hari keempat pengamatan. Hasil analisis ragam aktifitas phenoloxidase pada hari keenam pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pada dosis 0 dan 50 µg/g bobot udang memberikan peningkatan aktifitas phenoloxidase yang lebih tinggi dari kontrol (Lampiran 15E).

44 Aktifitas phenoloxidase (O.D 4 nm) c b ab b b ab a a b bc a ab ab ab a ab a aa a a a a a a Hari ke- PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 9. Aktifitas phenoloxidase udang vaname pada masing-masing perlakuan Data hasil pengamatan clearance efficiency pada udang yang diberi perlakuan masingmasing disajikan pada Lampiran 16. Peningkatan clearance efficiency atau efisiensi pemusnahan V. harveyi terlihat pada hari ke-1 hingga hari ke-4 (Lampiran 16 dan Gambar 10), kemudian terjadi penurunan pada hari ke-6. Hasil analisis ragam (Lampiran 17) menunjukkan bahwa pada hari pertama setelah pemberian ekstrak telah ada perbedaan clearance efficiency (p<0,05) antara udang yang mendapat perlakuan ekstrak G. verrucosa (6,±9,0%; 5,±8,0%; 58,8±5,9%) dengan udang kontrol maupun pada udang yang mendapat perlakuan PS (0±0,0% dan,±1,1%). Setelah hari kedua hingga hari keenam pemberian ekstrak terlihat bahwa udang yang mendapat perlakuan 50 µg/g bobot udang memberikan hasil persentase clearance efficiency (68,8±,7%; 74,0±,%; 18,6±0,8%) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan perlakuan lainnya. Walaupun pada hari ke-6 terjadi penurunan persentase clearance efficiency pada perlakuan ekstrak dengan dosis yang berbeda akan tetapi masih lebih tinggi (p<0,05) dari udang kontrol dan PS yaitu 0,0±0,0 dan,1±0,7 (Lampiran 17E dan Gambar 10).

45 Clearance efficiency (%) d c d b bc c c c c d c b c b a a a a a a a a a b Waktu (hari) PS 10 µg/g 0 µg/g 50 µg/g K a Keterangan : Data (rerata±sd) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05) Gambar 10. Clearance efficiency udang vaname pada masing-masing perlakuan Periode Pemberian Ekstrak Gracilaria verrucosa Data pengamatan kelangsungan hidup udang vaname yang diberi perlakuan ekstrak pada periode (frekuensi) pemberian yang berbeda disajikan pada Lampiran 18. Hasil analisis ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa kelangsungan hidup udang vaname pada frekuensi pemberian ekstrak kali (86,7%), 4 kali (,0%) dan 6 (8,%) kali selama 0 hari pemeliharaan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Namun berbeda secara nyata (p<0,05) dengan kelangsungan hidup udang pada perlakuan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) maupun pada frekuensi 1 kali injeksi ekstrak. Pemberian ekstrak G. verrucosa sebanyak 1 kali pemberian dalam 0 hari pemeliharaan menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi secara nyata (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontrol atau perlakuan tanpa pemberian ekstrak G. verrucosa (Lampiran 19).

46 Kelangsungan hidup (%) c c c b a Frekuensi pemberian ekstrak 0K 1K K 4K 6K Keterangan : Huruf yang berbeda pada skala SD diagram batang menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 11. Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan Data pertambahan bobot mutlak udang vaname selama 0 hari pemeliharaan disajikan pada Lampiran 0. Terdapat perbedaan nyata (p<0,05) pada pertambahan bobot mutlak udang vaname antara udang yang tidak diberi ekstrak (kontrol) yaitu 4,7±1, dengan udang yang diberi ekstrak dengan frekuensi pemberian, 4, dan 6 kali yaitu,1± 1,4;,4± 1,0; dan,7± 1,1 (Lampiran dan Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan nyata pertambahan bobot mutlak udang yang diberi ekstrak G. verrucosa 1 kali dengan udang yang tidak diberi ekstrak (kontrol). Pemberian berulang dengan frekuensi yang terlalu sering ternyata memberikan pengaruh yang berbeda pada pertambahan bobot mutlak udang vaname (Tabel 1). Namun tidak terdapat perbedaan nyata pertambahan bobot mutlak udang yang mendapat perlakuan ekstrak, 4, dan 6 kali selama 0 hari pemeliharaan (Lampiran dan Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan mutlak udang vaname pada frekuensi pemberian ekstrak 0, 1,, 4, dan 6 kali dalam waktu 0 hari pemeliharaan. Durasi pemberian Rerata berat awal Rerata berat Pertumbuhan mutlak (g) ekstrak (g) akhir (g) 0K 1K K 9,±0,1 9,1±0, 9,0±0,1 1,8±1, 1,±1,0 1,1±1,4 4,7±1, c (N t = 1 ekor) 4,±1,1 bc (N t = 1 ekor),1±1,4 ab (N t = 6 ekor) 4K 9,0±0,1 11,4±0,9,4±1,0 a (N t = 7 ekor) 6K 9,0±0,0 11,7±1,1,7±1,1 a (N t = 5 ekor) Huruf supesrcript di belakang nilai standar deviasi yang sama tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata ( p>0,05) Keterangan: N t = Jumlah individu udang uji pada akhir pengamatan (ekor)

47 4. Pembahasan Perkembangan sistem imun pada udang tidak begitu baik bila dibandingkan sistem imun ikan. Udang tidak mempunyai sistem imun adaptif (didapat) dan dengan demikian tidak mampu untuk memproduksi cukup antibodi untuk melawan serangan organisme patogen yang masuk ke tubuh udang, bila terjadi infeksi patogen yang berulang. Sifat sistem imun non spesifik terhadap resistensi tidak membaik oleh infeksi berulang (Baratawidjaja, 006). Pada ikan bila ada antibodi maka akan lebih bisa merespon antigen yang merangsang semula atau bila terjadi infeksi berulang. Sedangkan kita ketahui bahwa kini perkembangan budidaya udang terbendung pada terjadinya kematian massal pada udang yang disebabkan salah satunya oleh agen penyakit misalnya bakteri dan virus. Pemberian antibiotik tidak menjamin udang bebas dari agen penyakit, karena munculnya strain bakteri yang bisa resisten terhadap antibiotik tertentu serta residu bahan antibiotik pada tubuh udang maupun pada lingkungan, yang nantinya akan berdampak pada masyarakat. Alternatif pengendalian penyakit pada udang yang telah dicobakan adalah dengan memberikan imunostimulan pada udang, karena sistem imun innate (alami) udang merupakan suatu reaksi pertahanan udang yang dapat dirangsang dengan imnunostimulan. Berbagai imunostimulan telah ditemukan salah satunya adalah ekstrak rumput laut, baik itu alga merah maupun alga coklat. Polisakarida dari Rhodophyta (alga merah) bersulfat tinggi dan berisi sebagian besar dari xylose, glucose, and galactose (Barsanti dan Gualtieri, 006). Salah satunya adalah alga merah yang diketahui dapat sebagai imunostimulan adalah Gracilaria verrucosa. Penggunaan rumput laut ini telah dicobakan pada tikus yang mana memberikan hasil dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst dari makrofag baik in vivo maupun in vitro. Rumput laut G. verucosa merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia, dimana merupakan salah satu rumput laut komersial yang bernilai ekonomis tinggi (Anggadiredja et al. 1996). Pemanfaatan rumput laut ini sudah banyak dilakukan baik sebagai obat, bahan makanan dan industri. Salah satu manfaat yang kini diperhatikan adalah pemanfaatan G. verrucosa sebagai bahan imunostimulan pada budidaya udang. Kandungan utama G. verrucosa (alga merah) adalah polisakarida agar-agar yang biasa disebut dengan agarofit dan karaginofit (polisakarida karagin) (Dirjen, 005). Bahan dalam rumput laut yang mempunyai kemampuan menstimulasi adalah adanya polisakarida bersulfat dimana dalam agar terdapat tiga tipe molekular salah satunya yaitu sulfated galactan (agaropektin). Dengan adanya kelompok sulfat ini maka terbentuknya sejumlah molekul dengan fungsinya masing-masing salah satunya sebagai immunomodulatory activities pada mamalia (Castro et al. 006). Kandungan sulfat dari ekstrak G. verrucosa berkisar antara,5 4,79%. Selain itu pula beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa polisakarida rumput laut dapat menstimulasi sistem imun ikan dan juga dapat memodifikasi resistensi ikan terhadap penyakit.

48 Hasil penelitian penggunaan ekstrak G. verrucosa dalam meningkatkan sistem ketahanan udang vaname memberikan hasil dapat meningkatkan resistensi udang vaname terhadap injeksi bakteri V. harveyi hingga 7,±,% dibandingkan dengan udang kontrol maupun udang yang mendapat perlakuan physiological saline (PS). Diasumsikan bahwa dengan pemberian ekstrak G. verrucosa pada udang mampu meningkatkan sistem ketahanan sehingga udang bisa melawan bakteri yang masuk dalam tubuh udang. Peningkatan sistem ketahanan (sistem imun) pada udang dapat dilihat pada perubahan jumlah hemosit (Lorenzon et al., 1999), merangsang aktifasi prophenoloxidase dan reaksi melanisasi (Smith dan Söderhäll, 198; Ashida dan Söderhäll, 1984; Söderhäll dan Hall, 1984) serta meningkatkan antibacterial peptides (Smith et al., 00) Udang mempunyai sistem imun innate (alami) yang cepat dan efisien yang cukup sebagai pelindung dari mikroorganisme penyerang (Lee dan Söderhäll 00). Namun respon imun ini pada udang untuk lebih baik lagi (memuncak) terbatas. Imunostimulan (ekstrak G. verrucosa) diberikan untuk merangsang atau memperbaiki fungsi atau mekanisme sistem ketahanan udang sehingga bisa lebih merespon patogen yang masuk tubuh udang. Pada sistem ketahanan krustasea termasuk udang vaname, hemosit memainkan peranan utama. Dimana pada awalnya hemosit menghilangkan bahan asing dalam hemocoel melalui fagositosis, enkapsulasi dan nodular aggregation (Söderhäll and Cerenius, 199). Selanjutnya hemosit berperan dalam penyembuhan luka melalui cellular clumping dan proses koagulasi melalui pelepasan faktor yang diperlukan untuk plasma gelation (Johansson and Söderhäll, 1989; Omori et al., 1989), dan membawa dan melepas sistem prophenoloxidase (propo). Selain itu juga mensintesis dan melepaskan molekul penting, misalnya antibacterial peptides. Pengamatan pada total hemosit (THC) selama penelitian atau setelah pemberian ekstrak terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah hemosit untuk udang yang diberi ekstrak G. verrucosa, bila dibandingkan dengan udang kontrol (tanpa pemberian ekstrak). Peningkatan hemosit tersebut terjadi dari hari pertama hingga hari keempat pemberian ekstrak. Namun pada hari keenam terjadi penurunan jumlah hemosit pada udang. Peningkatan jumlah hemosit udang ini menunjukkan bahwa ekstrak G. verrucosa mampu untuk meningkatkan respon imun. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ekstrak ini mampu merangsang pembentukan sel-sel hemosit yang kemudian dilepaskan ke dalam hemolim udang. Pemberian ekstrak G. tenuispitata pada udang vaname memberikan peningkatan THC pada hari pertama (Hou and Chen, 005). Demikian juga pemberian ekstrak Gelidium amansii meningkatkan THC pada hari pertama pada dosis ekstrak yang lebih tinggi (6 µg/g bobot udang) (Fu et al. 007). Pada penelitian penggunaan ekstrak G. verrucosa, THC meningkat pada hari kedua dan terus meningkat hingga hari keenam pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak ini mampu meningkatkan THC udang. Sedangkan pada penelitian sebelumnya biasanya telah terjadi penurunan pada hari kedua dan keempat waktu pemaparan (Hou and Chen, 005; Fu et al. 007).

49 Hemosit pada udang sama pentingnya seperti halnya sel darah merah dan putih pada ikan. Pentingnya total haemocyte count (THC) pada krustasea dalam resistensi patogen, dimana bila terjadi penurunan THC maka bisa terjadi infeksi akut yang dapat menyebabkan kematian (Rondriguez and Le Moullac, 000). THC meningkat maka akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis karena diproduksi banyak sel hemosit untuk melakukan fungsi tersebut, misalnya sel hialin dan sel semi granular. Peningkatan THC juga menjadikan daya peningkatan sel granular untuk melakukan aktifitas phenoloxidase sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri. Pengamatan pada diferensial hemosit udang vaname dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat tiga tipe hemosit pada udang vaname, yaitu sel hialin, semi granular dan granular (Gambar 1). Perbedaan tipe-tipe hemosit ini dapat dibedakan oleh kriteria morfologi, selain itu ketiga tipe sel ini memiliki fungsinya masing-masing dalam reaksi pertahanan inang (udang). Perubahan pada persentase DHC, baik itu sel hialin, semi granular maupun granular pada penelitian penggunaan ekstrak alga biasanya tidak berbeda nyata dengan kontrol maupun PS (Fu et al. 007; Cheng et al. 004; Hou and Ceng, 005). Namun pada penelitian ini (penggunaan ekstrak G. verrucosa) terdapat variasi perbedaan persentase masing-masing sel hemosit. Sel hialin pada pengamatan udang vaname ini dikarakteristikkan oleh tidak adanya granul (agranular). Sel hialin melakukan fungsi dalam imunitas sebagai fagositosis (Thörnqvist et al., 1994). Proporsi dari tipe sel yang berbeda sangat besar diantara spesies yang berbeda, dimana pengamatan hemosit udang vaname ditemukan bahwa presentase sel hialin berkisar antara 61,7±7,5 hingga 81,8±,0% dari total hemosit. Pada penelitian ini ditemukan bahwa terjadi peningkatan pada presentase sel hialin pada perlakuan yang mendapat ekstrak G. verrucosa yaitu dosis 0 µg/g bobot udang (hari pertama) serta dosis 10, 0 dan 50 µg/g bobot udang (hari keenam), yang mengindikasikan bahwa dapat pula meningkatkan kemampuan hialin untuk melakukan fagositosis terhadap bakteri patogen. Peningkatan hialin ini biasanya dihubungkan dengan peningkatan resistensi terhadap patogen (Le Moullac et al. 1998). Meskipun terjadi peningkatan pada persentase hialin kontrol dan PS (hari keempat dan keenam), namun diindikasikan hialin tidak berfungsi dengan baik. Sel semi granular memiliki sejumlah granul kecil. Sel ini bertanggung jawab untuk mengenal dan merespon molekul asing atau bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Söderhäll dan Cerenius, 199). Pada penelitian ini, ditemukan bahwa pemberian ekstrak memberikan peningkatan presentase sel semi granular pada dosis ekstrak G. verrucosa tertentu, yaitu pada dosis 10 dan 50 µg/g bobot udang (hari ke-1), 10 dan 0 µg/g bobot udang (hari ke-) dan pada dosis 0 dan 50 µg/g bobot udang (hari ke-4).

50 Terdapat peningkatan persentase sel semi granular pada udang yang diberi perlakuan PS, dosis 10 dan 50 µg/g bobot udang (hari ke 1), kemudian pada dosis 10, 0 µg/g bobot udang dan perlakuan PS (hari kedua). Hari keempat dan keenam terjadi penurunan persentase sel semi granular, namun pemberian ekstrak pada dosis 0 dan 50 µg/g bobot udang lebih tinggi. Peningkatan ini juga dihubungkan dengan resistensi yang meningkat terhadap patogen (Le Moullac, 1998). Peningkatan persentase sel semi granular pada udang yang diberi PS (pada hari pertama hingga hari ketiga) dan pada kontrol (hari keenam), namun tidak pada resistensi karena sel ini tidak berfungsi dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan pemberian ekstrak G. verrucosa mampu meningkatkan kemampuan hemosit udang untuk mengenal dan merespon bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh udang, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Sel granular dikarakteristik dengan adanya sejumlah besar granul. Sel ini berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan sistem propo maupun sebagai cytoxicity bersama-sama dengan sel semi granular (Johansson dan Söderhäll, 1985; Söderhäll et al., 1985). Peningkatan presentase sel granular (1,% dan 17,5%) pada hari kedua dan keempat pada dosis ekstrak G. verrucosa 0 µg/g bobot udang berpengaruh positif terhadap ketahanan tubuh udang sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri patogen. Peningkatan persentase sel granular biasanya dihubungkan dengan peningkatan aktifitas phenoloxidase dan resistensi terhadap patogen (Rondriguez and Le Moullac, 000). Walaupun terjadi penurunan pada persentase sel granular pada udang yang diberi ekstrak G. verrucosa namun sel ini bisa berfungsi dengan baik. H SG G Gambar 1. Jenis sel hemosit udang vaname L. vannamei (H: hialin, SG: semi granular, G: granular). Pewarnaan Giemsa (Skala bar = 10 µm)

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Imun Udang

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Imun Udang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Imun Udang Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat sekitar 2500 jenis senyawa bioaktif dari laut yang telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi, dan 93 % diantaranya diperoleh dari rumput laut (Kardono, 2004).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidaya secara intensif hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. *Tanda titik dibaca sebagai desimal

I. PENDAHULUAN. *Tanda titik dibaca sebagai desimal 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas penting yang harus dikembangkan, karena permintaan konsumsi dalam maupun luar negeri cukup tinggi. Pemerintah telah mencanangkan budidaya udang

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Februari 2012. Pemeliharaan dan pemberian perlakuan serta analisa parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama ikan air tawar. Ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus)

BAB I PENDAHULUAN. terutama ikan air tawar. Ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani dari ikan mengalami peningkatan pesat di setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat konsumsi ikan nasional

Lebih terperinci

pakan -1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan

pakan -1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan 77 PEMBAHASAN UMUM Budidaya udang vaname mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia untuk dikembangkan. Udang ini diimpor ke Indonesia pada tahun 2000 dengan alasan untuk mengganti udang windu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Sintasan Sintasan pada penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni setelah 30 hari perlakuan sinbiotik dan setelah uji tantang dengan IMNV selama 12 hari. Nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial, karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Sintasan Sintasan atau kelangsungan hidup merupakan persentase udang yang hidup pada akhir pemanenan terhadap jumlah ikan saat ditebar. Sintasan merupakan parameter utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii)

II. TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii) 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii) Rumput laut (Sea weed) adalah ganggang berukuran besar atau macro algae yang merupakan tanaman tingkat rendah atau termasuk dalam devisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Udang Vaname Klasifikasi udang vaname menurut (Effendie, 1997) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah lele dumbo (C. gariepinus). Ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat,

BAB I PENDAHULUAN. adalah lele dumbo (C. gariepinus). Ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hewan yang memiliki potensi budidaya yang menjanjikan di Indonesia. Berbagai macam ikan dapat dibudidayakan, terutama ikan air tawar yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tawar yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Ikan ini memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. tawar yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Ikan ini memiliki nilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan tawes (Barbonymus gonionotus) termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Ikan ini memiliki nilai ekonomis yang cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan yang terdiri dari rawa, sungai, danau, telaga, sawah, tambak, dan laut. Kekayaan alam ini sangat potensial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas unggulan di bidang perikanan baik dalam skala nasional maupun global. Berdasarkan data Kementerian Kelautan

Lebih terperinci

AINUN RISKA FATMASARI

AINUN RISKA FATMASARI AINUN RISKA FATMASARI 10703043 EFEK IMUNOSTIMULASI EKSTRAK AIR HERBA PEGAGAN (CENTELLA ASIATICA URB) DAN DAUN BELUNTAS (PLUCHEA INDICA LESS) PADA MENCIT SWISS WEBSTER BETINA PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Parameter pada penelitian pembesaran ikan lele ini meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan harian, perhitungan jumlah bakteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan lele sangkuriang (C. gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Ikan lele sangkuriang (C. gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele sangkuriang (C. gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang digemari masyarakat Indonesia dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hal inilah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2014. Lokasi penelitian di Laboratorium Budidaya Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Probiotik Penggunaan bakteri untuk kesejahteraan manusia seperti kesehatan dan pertanian sangat menarik perhatian lebih dari satu dekade terakhir. Probiotik sudah digunakan di

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Perlakuan Penelitian II. BAHAN DAN METODE Rancangan penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan masing-masing 4 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas air tawar yang

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas air tawar yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas air tawar yang mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah serta pemerhati masalah perikanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Parameter Imun Udang Vaname diberi Dosis Kappa-Karagenan Berbeda Parameter imun udang vaname yang diamati untuk mengetahui pengaruh pemberian k-karagenan yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR

PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR MUSLIMATUS SAKDIAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. KUALITAS BIOLOGIS dan MANIPULASI MIKROBA: Probiotik

Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. KUALITAS BIOLOGIS dan MANIPULASI MIKROBA: Probiotik Teknologi Pengelolaan Kualitas Air KUALITAS BIOLOGIS dan MANIPULASI MIKROBA: Probiotik Program Alih Jenjang D4 Bidang Akuakultur SITH, ITB VEDCA SEAMOLEC, 2009 LATAR BELAKANG Akuakultur ikan, krustasea,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Selain dagingnya yang enak, ikan mas juga memiliki nilai jual

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat dan Bahan Alat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein hewani bagi rakyat Indonesia. Sebagian besar (74%) berasal dari laut dan sisanya (26%) dari air tawar.

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomi penting. Namun dalam budidayanya sering mengalami kendala seperti adanya serangan

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, dimulai dengan pemeliharaan udang vaname ke stadia uji, persiapan wadah dan media, pembuatan pakan meniran, persiapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan prospek pengembangan yang sangat baik. Budidaya ini pada tahun 2002 pernah menjadi komuditas unggulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Myonecrosis Virus

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Myonecrosis Virus 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Myonecrosis Virus Infectious myonecrosis virus (IMNV) adalah virus yang menyebabkan penyakit IMN (infectious myonecrosis) pada udang penaeid. IMNV biasa menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi perikanan dunia mengalami peningkatan hingga 11% selama 10 tahun terakhir (Van West 2006). Data FAO (2010) menyebutkan bahwa produksi perikanan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta permintaan pasar tinggi

Lebih terperinci

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS Mariany Razali 087030016 Biologi / Mikrobiologi PROGRAM MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa Makassar ABSTRAK

Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa Makassar   ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN BAKTERI Vibrio alginolyticus UNTUK MENINGKATKAN TOTAL HAEMOCITE COUNT, DIFFERENTIAL COUNT DAN TOTAL PROTEIN PLASMA PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) Agus suryahman Sekolah Tinggi

Lebih terperinci

ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA

ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA Jurnal Galung Tropika, September, hlmn. 7-1 ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA ANALYSIS CHALLENGE TEST

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu hasil laut komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2014 di III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2014 di Laboratorium dan Fasilitas Karantina Marine Research Center (MRC) PT.Central Pertiwi

Lebih terperinci

LC 50. *Penulis Korespondensi: (Diterima Oktober 2016 /Disetujui Januari 2017)

LC 50. *Penulis Korespondensi:   (Diterima Oktober 2016 /Disetujui Januari 2017) Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 8,No. 1, April 217 ISSN:286-3861 E-ISSN: 253-2283 PENENTUAN RANGE DOSIS IMUNOSTIMULAN DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN TERBAIK PADA EKSTRAK KASAR FENOL Gracilaria sp. SEBELUM

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

FERDINAND HUKAMA TAQWA

FERDINAND HUKAMA TAQWA PENGARUH PENAMBAHAN KALIUM PADA MASA ADAPTASI PENURUNAN SALINITAS DAN WAKTU PENGGANTIAN PAKAN ALAMI OLEH PAKAN BUATAN TERHADAP PERFORMA PASCALARVA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei ) FERDINAND HUKAMA

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Mei 2013 dilaksanakan di Hatchery Ciparanje, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu industri skala besar dengan tingkat

I. PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu industri skala besar dengan tingkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya udang merupakan salah satu industri skala besar dengan tingkat produksi sekitar 30% dari total suplai udang dunia. Tingginya produksi tersebut adalah sebagai

Lebih terperinci

Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh

Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh 36 Lampiran 1 Pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh Pengupasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). Penyakit ini juga dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). Penyakit ini juga dikenal sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan patin siam (P. hypophthalmus) merupakan salah satu komoditas ikan konsumsi air tawar yang bernilai ekonomis penting karena beberapa kelebihan yang dimiliki seperti

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di Laboratorium Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B. Alat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Vibrio harveyi PADA UDANG PUTIH Litopeneaus vannamei

PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Vibrio harveyi PADA UDANG PUTIH Litopeneaus vannamei Jurnal Akuakultur Indonesia, 6 (2): 205 209 (2007) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 205 PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Vibrio

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Mei 2011 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus vittatus) merupakan ikan air tawar yang termasuk kedalam famili Cyprinidae yang bersifat herbivore. Ikan ini menyebar di Asia Tenggara, di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Jawa Tengah (Purwanti et al., 2014). Lele dumbo merupakan jenis persilangan lele

BAB I PENDAHULUAN. di Jawa Tengah (Purwanti et al., 2014). Lele dumbo merupakan jenis persilangan lele BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah salah satu komoditas ikan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat dipelihara pada padat penebaran tinggi. Ikan

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DALAM PERCOBAAN IMMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI BAKTERI. Oleh AHMAD FIRDAUS C SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DALAM PERCOBAAN IMMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI BAKTERI. Oleh AHMAD FIRDAUS C SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DALAM PERCOBAAN IMMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI BAKTERI Streptococcus iniae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linne) Oleh AHMAD FIRDAUS C01499058 SKRIPSI PROGRAM STUD1

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh dari formula ekstrak herbal terhadap sistem imunitas tubuh ayam dapat diperoleh dengan melihat aktivitas dan kapasitas makrofag peritoneum ayam yang telah ditantang

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Aplikasi Ekstrak Allisin Untuk Pengendalian Penyakit Kotoran Putih Pada Udang Vanamei (Litopenaus vanamei) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara Oleh Kaemudin*, Antik Erlina, Arif Taslihan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Lapangan, Departemen Budidaya

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN PEPAYA

EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN PEPAYA EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN PEPAYA Carica papaya L. UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN IKAN LELE DUMBO Clarias sp YANG DIINFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila AGUNG SETIAJI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

PAKAN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN LELE DUMBO

PAKAN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN LELE DUMBO PENGARUH PEMBERIAN BAWANG PUTIH (Allium sativum) PADA PAKAN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU 110302072 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium Stasiun Karantina Ikan Kelas I Panjang, Bandar Lampung dan Laboratorium Budidaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

Oleh : ONNY C

Oleh : ONNY C JENIS, KELIMPAHAN DAN PATOGENISITAS BAKTERI PADA THALLUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERSERANG ICE-ICE DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh : ONNY C14103066 SKRIPSI Sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

Budidaya Perairan Mei 2014 Vol. 2 No. 2: Respon imun krustase (Crustacean immune response) Henky Manoppo, Magdalena E.F. Kolopita.

Budidaya Perairan Mei 2014 Vol. 2 No. 2: Respon imun krustase (Crustacean immune response) Henky Manoppo, Magdalena E.F. Kolopita. Review Artikel Respon imun krustase (Crustacean immune response) Henky Manoppo, Magdalena E.F. Kolopita Abstract Crustacean does not have adaptive immune system and mostly depends on innate or nonspecific

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang 70 % dari wilayahnya terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang 70 % dari wilayahnya terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang 70 % dari wilayahnya terdiri dari lautan. Sebagai negara yang dikelilingi oleh lautan, Indonesia memiliki sumberdaya laut yang sangat melimpah.

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang akan diterapkan yaitu pemakaian

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

POTENSI JERUK NIPIS Citrus aurantifolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

POTENSI JERUK NIPIS Citrus aurantifolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. POTENSI JERUK NIPIS Citrus aurantifolia UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. DEWI MAHARANI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air

BAB I PENDAHULUAN. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dumbo tidak ditemukan di air payau, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L.) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ikan air tawar yang bernilai ekonomis cukup penting ini sudah sangat dikenal luas oleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Desa Hanura, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

) MELALUI PAKAN TERHADAP RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN TAWES

) MELALUI PAKAN TERHADAP RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN TAWES PENGARUH PEMBERIAN β-glucan DARI RAGI ROTI (Saccharomyces cerevisiae) MELALUI PAKAN TERHADAP RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di Laboratorium Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani menjadi hal penting yang harus diperhatikan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat dipenuhi dari produk peternakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara umum A. salmonicida merupakan penyebab utama penyakit infeksi pada ikanikan salmonid yang

Lebih terperinci