BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu manusia memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan hasil alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup mereka. Pada awal kehadiran manusia, secara alamiah mereka akan berusaha untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan alam. Sisasisa pemanfaatan binatang dapat dilihat dari temuan tulang-tulang binatang, tumpukan cangkang kerang, alat tulang dan kerang serta artefak lain yang terbuat dari sisa binatang. Pemanfaatan tumbuhan dapat diketahui antara lain dari sisa tumbuhan (makrofosil) atau melalui analisis phytolith atau pollen. Pada situs-situs tertutup seperti gua atau ceruk pemanfaatan hewan sebagai sumber makanan dapat dilihat dari temuan-temuan tulang di dalam gua. Tulang yang merupakan sisa dari makanan memiliki ciri tersendiri, yang tentunya berbeda dengan ciri tulang hewan yang mati secara alami atau dimangsa oleh predator. Selain itu sisa hewan yang dijadikan alat tulang juga memiliki bentuk, ciri dan bekas pengerjaan sehingga bisa dibedakan dari tulang hewan nonartefaktual. Alat tulang memiliki bentuk yang khas seperti jarum, sendok (spatula), pisau atau lancipan dan biasanya pada permukaannya memiliki bekas pengerjaan seperti goresan, garis-garis dan kilapan (Sutton & Arkush, 1996: 137). Munculnya ide pembuatan atau pemanfaatan artefak tulang bersamaan dengan kegiatan berburu binatang. Untuk mendapatkan sumsum yang lezat 1

2 diperlukan pemecahan tulang dan dibutuhkan juga alat untuk mengoreknya, sehingga akhirnya manusia menemukan cara untuk membuat alat tulang. Pada perkembangan lebih lanjut dilakukan pemanfaatan dan penyeleksian setiap tulang dari hewan buruan untuk dikerjakan sebagai alat (Wirawan, 1981 dalam Yondri, 2009). Alat-alat tulang biasanya ditemukan di gua atau ceruk bekas permukiman manusia, terutama terletak di kawasan karst. Di pulau Jawa alat tulang telah ditemukan di gua-gua di Gunungkidul, Pacitan dan Ponorogo. Beberapa tahun belakangan ini dilaporkan mengenai temuan yang berasal dari Gua Pawon yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gua Pawon adalah gua yang secara administratif berada di Desa Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, kurang lebih 25 km di sebelah barat Kota Bandung. Jenis gua ini menurut aspek geologisnya adalah termasuk gua tebing dan berada pada ketinggian ± 716 mdpl. Gua Pawon sendiri merupakan gua yang terbentuk di kawasan bertopografi karst, terletak dalam kawasan perbukitan formasi Rajamandala (Yondri, 2009:17) dan termasuk di antara jajaran perbukitan gamping Citatah (Yuwono, 2005:1). Kawasan karst Citatah- Rajamandala merupakan perbukitan yang memanjang ke arah timurlaut ke Tagogapu, utara ke Padalarang, baratdaya ke daerah Saguling dan arah selatan ke daerah Rajamandala. Perbukitan ini merupakan hasil lipatan dari batuan marine tersier dan terdiri dari batu lempung Formasi Batuasih, batu gamping Formasi Rajamandala, batu pasir-batu lempung Formasi Citarum, dan breksi Formasi Saguling ( Gua Pawon merupakan satu-satunya gua hunian di wilayah Jawa Barat yang temuannya mencakup artefak-artefak yang usianya cukup tua. Dari artefak- 2

3 artefak yang ditemukan di gua ini, diperkirakan gua ini sudah dihuni sejak Masa Mesolitik hingga sekitar Neolitik (Yondri, 2009). Keberadaannya dihubungkan juga dengan kebudayaan Danau Bandung Purba yang memiliki kekhasan tersendiri, yaitu alat-alat batu yang terbuat dari obsidian. Tersingkapnya keberadaan dan temuan-temuan di Gua Pawon ini memberikan angin segar pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan di area Danau Bandung Purba, karena sebelumnya belum pernah diketemukan situs yang diperkirakan merupakan permukiman dari manusia pendukung kebudayaan Danau Bandung Purba (Yondri, 2009 ; Swadesi, 2011). Temuan di Gua Pawon sangat beragam, mulai dari temuan artefaktual hingga temuan nonartefaktual. Temuan artefaktual pun beragam mulai dari alat yang berumur tua hingga yang berumur agak muda. Pada bulan Juli dan Oktober 2003, Mei dan April 2004 telah dilakukan ekskavasi oleh Balai Arkeologi Bandung yang bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Peninggalan Purbakala, Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Jawa Barat. Dalam kegiatan tersebut telah dibuka enam kotak galian dengan metode selective excavation. Dari kegiatan ekskavasi tersebut diperoleh banyak temuan artefaktual, baik alat batu, alat tulang, maupun fragmen gerabah. Alat batu yang ditemukan kebanyakan berupa alat serpih, lancipan, beliung persegi, serta beberapa sisa industri litik yang berupa batu inti, serpih dan tatal. Alat tulang yang terdapat di sana (termasuk tanduk rusa dan gigi binatang) terdiri dari lancipan, spatula dan perhiasan. Dari pengamatan awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung diketahui ada sejumlah alat tulang berbahan dasar tulang Macaca sp. 3

4 Macaca merupakan anggota dari famili Cercopithecidae dari ordo Primata yang sering disebut sebagai Old World Monkey dan umum ditemukan dalam situs arkeologi (Radiansyah, 2010: 57). Situs lain yang memiliki kandungan temuan tulang Macaca yang banyak adalah Song Terus, Song Keplek dan Gua Braholo (Prasetyo & Simanjuntak, 2002 ; Candravardhani, 1997). Dalam famili Cercopithecidae terdapat beberapa sub-famili, namun yang banyak ditemukan di Indonesia adalah sub-famili Cercopithecinae dan Colobinae. Genus yang termasuk sub-famili Cercopithecinae diantaranya adalah genus Macaca, sedangkan yang termasuk sub-famili Colobinae adalah genus Presbytis, Nasalis, Trachypithecus (Veevers-Carter, 1979: 9-15). Contoh-contoh hewan dari genus Macaca di Indonesia yang hidup pada saat ini adalah Macaca fascicularis (kera ekor panjang biasa, hidup di Sumatra, Jawa, Bali), Macaca nemestrina (pig-tailed macaque, hidup di Sumatra, Bangka, Kalimantan), Macaca nigra (Yaki, hidup di Sulawesi), Macaca nigrescens (Gorontalo), dan Macaca pagensis (beruk Mentawai). Contoh genus Presbytis (langur), diantaranya ada Presbytis aygula (surili, hidup di Jawa, Kalimantan, Sumatra), P. melalophos (simpai), P. potenziani (hidup di Mentawai), dan P. thomasi. Contoh dari genus Nasalis adalah Nasalis larvatus yang dikenal dengan nama lokal bekantan dan hanya hidup di Kalimantan. Terakhir adalah dari genus Trachypithecus, diantaranya adalah T. auratus (lutung Jawa) dan T. cristatus (lutung kelabu) (Veevers-Carter, 1979: 9-15). Di Gua Pawon ditemukan banyak tulang-tulang nonartefaktual dari jenis Macaca sp., yang merupakan hasil dari ekskavasi yang dilakukan dari tahun Dari sini dapat terlihat bahwa Macaca termasuk jenis hewan yang 4

5 sering ditemukan di setiap lapisan tanah. Salah satu jenis hewan yang kehadirannya juga hampir di setiap lapisan adalah famili Suidae (Yondri, 2005). Di Gua Pawon terdapat empat lapisan tanah, yang teratas adalah lapisan yang teraduk dengan ketebalan cm dari permukaan tanah. Kedua adalah lapisan lempung pasiran berwarna kehitaman dan bercampur kerikil. Kemudian lapisan lapisan lempung pasiran berwarna agak kecoklatan bercampur dengan blok gamping dan fosfat. Lapisan akhir dari penggalian yang dilakukan oleh Balar adalah lapisan lempung halus berwarna kemerahan juga bercampur dengan bongkahan gamping (Yondri, 2009). Alat-alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon kebanyakan berupa lancipan dan spatula. Beberapa alat tulang yang diindikasikan berasal dari tulang Macaca belum dianalisis, hanya pengamatan awal saja. Mengingat bahwa tulang Macaca merupakan salah satu jenis hewan yang ditemukan di Gua Pawon, maka penelitian ini ditujukan untuk mencari alasan dari pemilihan tulang Macaca sebagai bahan alat tulang dari Gua Pawon dilihat dari segi lingkungannya dan seperti apa kecenderungan pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat tulang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan, maka dapat disusun rumusan masalah, sebagai berikut: 5

6 1. Bagaimana kecenderungan bentuk alat, teknologi pembuatan dan pemilihan bagian tulang dalam pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat di Gua Pawon? 2. Mengapa tulang Macaca dipilih sebagai salah satu bahan untuk membuat alat tulang oleh manusia pendukung Gua Pawon? C. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai pemanfaatan tulang Macaca di Gua Pawon ini memiliki beberapa tujuan, antara lain: 1. Mengetahui kecenderungan pemanfaatan Macaca di situs Gua Pawon 2. Menganalisis bagaimana cara Macaca dimanfaatkan oleh manusia pendukung situs Gua Pawon 3. Mengetahui perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, terutama dalam hal peralatan. Penelitian ini juga sebagai sarana untuk menggali lebih dalam mengenai sisi kearkeologisan Gua Pawon, sehingga dapat memperkaya dan menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dari satu-satunya gua hunian yang sudah ditemukan di Jawa Barat ini. D. Batasan Penelitian Batasan penelitian dibuat agar penelitian tetap terfokus pada tujuan dan topiknya sehingga tidak terjadi perluasan pembahasan. Dalam penelitian ini akan ditentukan dua batas penelitian, yaitu ruang lingkup spasial dan ruang lingkup 6

7 objek penelitian. Ruang lingkup spasialnya adalah lingkungan Gua Pawon. Ruang lingkup objeknya adalah alat tulang yang berbahan Macaca. Temuantemuan alat tulang dari hewan lain akan digunakan sebagai pembanding dalam analisis dan penarikan kesimpulan. E. Tinjauan Pustaka dan Keaslian Penelitian Hanya sedikit penelitian yang membahas pemanfaatan tulang Macaca sp yang ditemukan di situs arkeologi. Salah satu kajian awal yang cukup baik telah dilakukan di Song Keplek dan Gua Braholo. Macaca sp. merupakan hewan yang banyak ditemukan di Song Keplek dan Gua Braholo dan memegang peran yang signifikan dalam kehidupan manusia pada saat itu. Ditemukan kurang lebih bagian tulang Macaca di Song Keplek dari enam kotak ekskavasi, sedangkan di Gua Braholo dari empat kotak ekskavasi yang dibuka ditemukan tulang Macaca. Intensitas eksploitasi Macaca di kedua situs ini hampir sama jika dilihat dari jumlah tulang yang didapat perlapisan. Temuan di lapisan paling bawah masih sedikit, tetapi berangsur meningkat di lapisan kedua serta mencapai puncaknya pada lapisan ketiga kemudian menurun lagi di lapisan atas. Dari temuan Macaca pada tiap lapisan ini dapat disimpulkan bahwa perburuan Macaca sangat intensif dilakukan pada BP (Prasetyo, 2002: ). Sisa Macaca juga ditemukan melimpah dan berasosiasi dengan artefak litik di Song Terus. Temuan tulang-tulang Macaca yang berasal dari berbagai bagian tubuh ini berada pada lapisan yang sama dengan artefak berupa alat serpih, serut dari cangkang Molusca dan lancipan, spatula serta jarum yang 7

8 berasal dari hewan vertebrata. Semua temuan ini dianggap sebagai satu kesatuan dan dapat menunjukkan kegiatan subsistensi manusia pada waktu itu terutama mengenai perburuan Macaca. Kegiatan mencari makanan dapat dilihat dari adanya alat-alat yang ditemukan, kegiatan membagi makanan ditunjukkan dengan adanya fragmen tulang Macaca yang ditemukan dalam berbagai bagian, serta kegiatan mengolah makanan dapat dilihat dari adanya tulang yang terbakar (Mahareni, 2000). Beberapa tulisan dan penelitian mengenai pemanfaatan Macaca sebagai bahan makanan sudah pernah dilakukan sebagaimana dijelaskan di atas. Macaca memang jenis primata yang umum ditemukan pada situs-situs gua. Di beberapa gua, sisa hewan ini paling banyak ditemukan, seperti di Song Keplek, Song Terus dan Gua Braholo serta Gua Pawon. Penelitian Macaca sebagai hewan yang umum dimanfaatkan sebagai bahan makanan, sudah cukup banyak tetapi pemanfaatan Macaca sebagai alat dengan bahasan yang lebih mendalam belum pernah dilakukan. Pemanfaatan sisa hewan menjadi sebuah alat setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ukuran, bentuk dan kekerasan merupakan syarat yang umum sehingga tulang bisa dimanfaaatkan sebagai alat (Nugroho, dalam Candravardani, 1997). Selain itu pemilihan tulang juga bergantung pada fungsi alat tulang tersebut dan dihubungkan pula dengan bentuk, ukuran dan kekerasannya. Seperti misalnya tulang yang dimanfaatkan sebagiai spatula adalah tulang yang secara fisik berukuran besar dan tebal (Riani, 2007). Apakah hanya memang hal itu yang menjadi dasar pemilihan tulang Macaca sebagai alat tulang? Beberapa faktor lain juga bisa sangat menentukan seperti misalnya ketersediaan bahan. Mungkin saja ketika ada satu hewan yang mudah diperoleh 8

9 dan dimanfaatkan menjadi sumber bahan makanan, maka hewan itu juga paling tidak akan dimanfaatkan lagi menjadi bahan alat tulang. Candravardani juga mengemukakan dalam penelitiannya bahwa alat-alat tulang yang ada di Gua Lawa, Gua Petpuruh, Gua Sodong dan Song Keplek berbahan sama dengan jenis fauna yang dimakan yang tentu saja jenis-jenis fauna ini memang yang hidup di lingkungan gua-gua tersebut. Beberapa penelitian arkeologis pernah dilakukan di situs Gua Pawon, terutama yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung. Situs ini pernah diekskavasi pada Juli dan Oktober 2003, Mei dan April 2004 serta menghasilkan beberapa laporan, seperti temuan artefaktual (secara umum) yang ditemukan di Gua Pawon, ragam alat litik di Gua Pawon dan potensi Arkeologis di Kompleks Gunung Pawon. Penelitian arkeologis lain yang bersifat akademis berupa skripsi atau tesis juga sudah pernah dilakukan. Dimas Setyo Saputro (Arkeologi Universitas Indonesia), dalam skripsinya yang berjudul Jejak Pakai pada Alat Tulang di Gua Pawon menjelaskan tentang penggunaan alat tulang di Gua Pawon berdasarkan jejak pakainya. Alat tulang dari Gua Pawon ditinjau kembali berdasarkan laporan yang ada, menurut peninjauan kembali tersebut alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon berjumlah 174 buah. Dalam skripsi tersebut sudah dideskripsikan mengenai jenis alat tulang, asal (kotak, spit, kedalamannya), bentuk, ukuran dan jejak pemakaiannya, serta letak bagian tajaman tulang. Metode yang digunakan adalah metode yang dipakai oleh Kasman Setiagama (2006), yang diambil dari Camps-Fabrer (1974) (Saputro, 2010). Pembahasan dari Saputro akan berbeda dengan yang akan dijelaskan dalam karya ini. Bentuk analisisnya akan berbeda karena di sini akan ditekankan mengenai bahan dari alat tulang tersebut. Selain 9

10 itu juga teknologi yang digunakan dari semua alat tulang yang berbahan Macaca sp. Skripsi lain tentang Gua Pawon berjudul Gigi Hewan dari Situs Gua Pawon (Jawa Barat): Identifikasi Hewan, Habitat dan Pemanfaatan yang ditulis oleh Danny Radiansyah (Arkeologi Universitas Indonesia) pada tahun Skripsi ini membicarakan tentang analisis taksonomis dan anatomis dari gigi-gigi hewan yang ditemukan di Gua Pawon, serta membicarakan tentang penggunaan gigi-gigi tersebut sebagai artefak, yang kebanyakan berupa perhiasan. Penggunaan gigi hewan sebagai objek penelitian untuk mengetahui keragaman hewan sampai ke tingkat taksa, sehingga karakteristik dan ciri khusus yang berhubungan dengan habitat bisa diketahui. Gigi hewan dapat memperlihatkan kehadiran hewan dalam tiap lapisan, meskipun dari segi kuantitas tidak terlalu membantu. Dari penelitian di atas penulis bisa menggunakan data mengenai keragaman hewan yang ada di Gua Pawon dan kemungkinan hewan-hewan lain yang dimanfaatkan sebagai alat selain tulang Macaca sp. Pada tahun 2005, Lutfi Yondri juga melakukan penelitian di Gua Pawon untuk tesisnya yang berjudul Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat: Sumbangan Data Bagi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau Bandung Purba. Tesis ini sangat berfokus pada bahasan manusia serta kuburnya. Penelitian mengenai pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat di Gua Pawon sendiri belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian lain yang bersifat geologis juga pernah dilakukan di Gua Pawon. Salah satunya adalah survei dan pemetaan geologis yang dilakukan oleh 10

11 Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pada tahun Kegiatan ini dilanjutkan dengan survei geomagnetik di Gua Pawon oleh KRCB pada Oktober 2000 (Tim Peneliti, 2004). Sebuah penelitian mengenai geoarkeologi Gua Pawon dengan pemaparan mengenai potensi arkeologi di kompleks Gua Pawon juga sudah dilakukan oleh J.S.E. Yuwono pada tahun Penelitian ini akan memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan di Gua Pawon. Analisis yang diterapkan pada alat tulang akan menggunakan ilmu osteologi, untuk mengetahui asal hewannya. Alat tulang Macaca yang sudah teridentifikasi akan dikategorikan lagi menurut jenis alatnya, serta asal tulangnya. Hasil analisinya akan membantu menghasilkan jawaban mengenai alasan mengapa tulang Macaca dipilih menjadi salah satu bahan alat. F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tata cara dalam mencari data dan melaksanakan suatu penelitian. Dalam penelitian ini akan dipakai metode penelitian kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Dharminto, 2007). Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, karena berusaha untuk memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian dan mengutamakan kajian data daripada menerapkan konsep, hipotesis atau teori tertentu (Tanudirjo, 1989: 34) 11

12 Penalaran yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah adalah penalaran induktif. Pada dasarnya penalaran induktif berusaha menemukan sifatsifat umum atau kaidah tertentu dari kasus-kasus yang diamati (bisa benda atau peristiwa) atau hubungan antara beberapa gejala tertentu (Kelley & Hanen, 1990). Penelitian diawali dengan pengumpulan data tanpa menggunakan hipotesis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan sehingga dapat ditarik kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986). Tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah adalah sebagai berikut. 1. Tahap Pengumpulan Data a. Data Artefaktual Data yang akan dikumpulkan adalah berupa temuan keseluruhan alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon dari hasil ekskavasi Balar Bandung. Dari data ini kemudian ditinjau ulang mana yang merupakan alat tulang dan bukan alat tulang. Hal ini dilakukan sebagai tinjauan ulang dan agar tidak tergantung pada hasil identifikasi dari Balar Bandung. Dari hasil tinjauan ulang tersebut, pertama dilakukan klasifikasi menurut bentuknya. Metode klasifikasi bentuk mengacu pada Achwan, 1985 dan Sutton & Arkush, 1996). Langkah pertama adalah memastikan kembali dengan cara memeriksa keberadaaan ciri-ciri tulang yang berupa alat atau bukan. Variabel yang dilihat, antara lain 1)permukaan yang halus dan rounded, 2)ujung yang mengalami penghalusan, 3)permukaan yang halus atau mengkilap, 4)goresan atau kerat-kerat bekas pembuatan, 5)adanya motif hias, 6)bagian proksimal dengan bekas pemotongan yang teratur (Sutton & Arkush, 1996: 139). 12

13 Dilanjutkan dengan mengklasifikasikan alat tulang menjadi sudip (spatula), lancipan, jarum dan alat tulang lain (Achwan, 1985). Penjelasan mengenai bentuk-bentuk alat tulang dapat dilihat di Bab II. Setelah dapat diklasifikasikan, dilakukan pengukuran metrik (meliputi diameter, panjang, lebar, tebal), identifikasi jenis tulang (misalnya femur, humerus atau fibula) dan genus (Sutton & Arkush, 1996:141). Alat-alat yang digunakan dalam klasifikasi ini adalah kaliper (jangka sorong) dan penggaris untuk mengukur aspek metriknya. b. Studi Pustaka Studi pustaka akan dilakukan pada sumber-sumber tertulis tentang penelitian mengenai alat tulang dan pemanfaatan fauna pada suatu situs yang pernah dilakukan sebelumnya, baik di Gua Pawon maupun di gua lainnya. Bentuknya bisa merupakan jurnal, laporan penelitian dan skripsi. 2. Tahap Analisis Data Dalam tahap ini akan dilakukan analisis terhadap temuan alat tulang di Gua Pawon. Pelaksanaanya memerlukan bantuan dari bidang ilmu lain, khususnya biologi. Hal ini sangat dibutuhkan dalam proses identifikasi bahan alat tulang yang ada di Gua Pawon, untuk mengetahui tulang ini berasal dari hewan apa dan dari bagian tulang yang mana. Untuk bagian ini, penulis perlu berkonsultasi dengan Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM dan Laboratorium Paleoantropologi dan Bioarkeologi, FK-UGM. Analisis yang pertama adalah analisis mengenai bentuk tulang yang akan dilakukan terhadap alat tulang yang berbahan tulang Macaca. Bentuk tulang merupakan hal yang paling berpengaruh dalam pembuatan tulang (Candravardani, 1997:53). Dari pengelompokan alat tulang di bagian 13

14 pengumpulan data, akan didapat hasil mengenai jenis alat tulang yang berbahan Macaca serta berasal dari bagian tulang yang mana (femur, humerus, scapula, dll). Kemudian akan dilihat juga mengenai bekas-bekas pengerjaannya seperti pembakaran, penggosokan dan pengupaman. Teknik pembuatan juga akan dilihat dari setiap alat tulang yang terbuat dari tulang Macaca yang sudah diklasifikasikan. Proses selanjutnya adalah melihat temuan tulang nonartefaktual dari Macaca dan hewan lain. Sehingga didapat informasi mengenai jenis hewan apa yang biasa dikonsumsi oleh manusia pendukung Gua Pawon dan yang hidup di sekitar Gua. 3. Kesimpulan Tahap ini berupa interpretasi dari hasil pengumpulan dan analisis data sehingga dapat menjawab rumusan masalah. Dari bagian ini akan terlihat seberapa jauh pemanfaatan Macaca sebagai bahan alat tulang di Gua Pawon dan apa alasan pemilihannya dilihat dari ketersediaan bahannya. 14

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Pada awal abad ke 20, Pulau Jawa menjadi pusat penelitian mengenai manusia prasejarah. Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Jawa memiliki bukti dan sejarah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002 Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 00 Oleh: J. A. Sonjaya a. Latar Belakang Pada tanggal -3 Maret 00 telah dilakukan ekskavasi di situs Song Agung,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gua Pawon dengan segala bentuk temuan prasejarah yang terkandung di dalamnya, begitu juga dengan lingkungannya bila di kaitkan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah.

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN SITUS GUA PAWON

BAB II GAMBARAN SITUS GUA PAWON BAB II GAMBARAN SITUS GUA PAWON 2. 1. Wilayah situs Gua Pawon terletak di wilayah Desa Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung berdasarkan laporan penelitian (Yondri et.al. 2005) dan data geografis.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA GIGI HEWAN DARI SITUS GUA PAWON (JAWA BARAT): IDENTIFIKASI HEWAN, HABITAT, DAN PEMANFAATAN SKRIPSI DANNY RADIANSYAH

UNIVERSITAS INDONESIA GIGI HEWAN DARI SITUS GUA PAWON (JAWA BARAT): IDENTIFIKASI HEWAN, HABITAT, DAN PEMANFAATAN SKRIPSI DANNY RADIANSYAH UNIVERSITAS INDONESIA GIGI HEWAN DARI SITUS GUA PAWON (JAWA BARAT): IDENTIFIKASI HEWAN, HABITAT, DAN PEMANFAATAN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana DANNY RADIANSYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Manusia perlu suplai udara, makanan, minuman, tempat untuk bernaung, tempat

Lebih terperinci

BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI

BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Based on the research done, earthenware is found in Sentani Lake. The earthenware which is found in pieces,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat dan saling berakibat sejak awal kemunculan manusia. Kehidupan

Lebih terperinci

HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD. Indah Asikin Nurani PENDAHULUAN

HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD. Indah Asikin Nurani PENDAHULUAN HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD Indah Asikin Nurani Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Gedong Kuning No. 174,

Lebih terperinci

SISTEM PENGUBURAN TERLIPAT TAKENGON Tambahan Data Baru Penguburan Dalam Gua di Indonesia

SISTEM PENGUBURAN TERLIPAT TAKENGON Tambahan Data Baru Penguburan Dalam Gua di Indonesia SISTEM PENGUBURAN TERLIPAT TAKENGON Tambahan Data Baru Penguburan Dalam Gua di Indonesia Taufiqurrahman Setiawan Balai Arkeologi Medan Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi no. 1, Medan tokeeptheexplorer@gmail.com

Lebih terperinci

KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA

KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA THE CULTURAL CHARACTER OF GUA KIDANG (KIDANG CAVE), A PREHISTORIC HABITATION SITE ON THE KARST OF THE NORTH MOUNTAINS OF

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bentang alam yang beragam. Salah satu bentang alam (landscape) yang memiliki potensi dan nilai strategis adalah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia

BAB V PENUTUP. Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia Tenggara menjelang akhir plestosen, yang didasarkan akan adanya kebutuhan manusia akan tempat yang

Lebih terperinci

STRATEGI SUBSISTENSI DI SITUS GUA GEDE NUSA PENIDA PADA MASA PRASEJARAH Subsistence strategies in Gua Gede Site Nusa Penida in Prehistory Period

STRATEGI SUBSISTENSI DI SITUS GUA GEDE NUSA PENIDA PADA MASA PRASEJARAH Subsistence strategies in Gua Gede Site Nusa Penida in Prehistory Period STRATEGI SUBSISTENSI DI SITUS GUA GEDE NUSA PENIDA PADA MASA PRASEJARAH Subsistence strategies in Gua Gede Site Nusa Penida in Prehistory Period Balai Arkeologi Denpasar Jl. Raya Sesetan No.80, Denpasar

Lebih terperinci

STRATEGI SUBSISTENSI DAN PEMILIHAN LOKASI HUNIAN PRASEJARAH DI SITUS YOMOKHO SENTANI

STRATEGI SUBSISTENSI DAN PEMILIHAN LOKASI HUNIAN PRASEJARAH DI SITUS YOMOKHO SENTANI STRATEGI SUBSISTENSI DAN PEMILIHAN LOKASI HUNIAN PRASEJARAH DI SITUS YOMOKHO SENTANI Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura, mbah_tho@yahoo.com) Abstract Research in the area of Lake Sentani done in Yomokho

Lebih terperinci

ANALISIS STRATIGRAFIKRONOLOGI HUNIAN SITUS LOYANG UJUNG KARANG, ACEH TENGAH

ANALISIS STRATIGRAFIKRONOLOGI HUNIAN SITUS LOYANG UJUNG KARANG, ACEH TENGAH ANALISIS STRATIGRAFIKRONOLOGI HUNIAN SITUS LOYANG UJUNG KARANG, ACEH TENGAH STRATIGRAPHYCAL ANALYSIS OF THE SETTLEMENT CHRONOLOGY ON LOYANG UJUNG KARANG, CENTRAL ACEH Taufiqurrahman Setiawan Balai Arkeologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA. Michael Angello Winarko

PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA. Michael Angello Winarko 1 PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA Michael Angello Winarko Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI RANGKA MANUSIA SITUS GUA BALANG METTI, KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN

IDENTIFIKASI RANGKA MANUSIA SITUS GUA BALANG METTI, KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN IDENTIFIKASI RANGKA MANUSIA SITUS GUA BALANG METTI, KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN Identification of Human Skeleton of Balang Metti Cave Site, District of Bone, South Sulawesi Fakhri Balai Arkeologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. video dan audio video (film). Selama ini kebanyakan orang tidak menyadari hal itu

BAB I PENDAHULUAN. video dan audio video (film). Selama ini kebanyakan orang tidak menyadari hal itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan manusia dalam menangkap informasi berbeda-beda ada yang lebih mudah menerima informasi berupa tulisan, gambar, tulisan bergambar, audio, video dan audio video

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

STRATEGI ADAPTASI PENGUSUNG HOABINHIAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN MAKANAN

STRATEGI ADAPTASI PENGUSUNG HOABINHIAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN MAKANAN STRATEGI ADAPTASI PENGUSUNG HOABINHIAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN MAKANAN Ketut Wiradnyana Balai Arkeologi Medan Abstract The presence of hoabinh site either in lowland or highland is characterized that

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di

BAB I PENDAHULUAN. Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di permukaan bumi tanpa harus diminta atau dibeli dengan biaya yang mahal. Ini merupakan bukti dari Maha

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan)

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Taufiqurrahman Setiawan The prehistoric hunter and gatherers have two type of cave

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1972: 150). Adapun manusia pada saat itu, juga mempertimbangkan faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. 1972: 150). Adapun manusia pada saat itu, juga mempertimbangkan faktor-faktor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada periode Mesolitik, manusia telah bercocok tanam secara sederhana dan memilih gua atau ceruk sebagai tempat berlindung sementara (Heekeren, 1972: 150). Adapun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Jejak Hasil Peninggalan Budaya Manusia Prasejarah di Song Terus Pacitan

Jejak Hasil Peninggalan Budaya Manusia Prasejarah di Song Terus Pacitan Jejak Hasil Peninggalan Budaya Manusia Prasejarah di Song Terus Pacitan Sri Dwi Ratnasari Prodi Pendidkan Sejarah, STKIP PGRI PACITAN Jl. Cut Nyak Dien No 4A, Kec. Pacitan Email: sridwiratnasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cipatat yang secara administratif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cipatat yang secara administratif BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cipatat yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat. Secara astronomis Kecamatan

Lebih terperinci

BENTUK BIDANG PECAHAN FOSIL CERVIDAE KOLEKSIMUSEUM SANGIRAN (ANALISIS MIKROSKOPIS)

BENTUK BIDANG PECAHAN FOSIL CERVIDAE KOLEKSIMUSEUM SANGIRAN (ANALISIS MIKROSKOPIS) BENTUK BIDANG PECAHAN FOSIL CERVIDAE KOLEKSIMUSEUM SANGIRAN (ANALISIS MIKROSKOPIS) Metta Adityas PS (BPSMP Sangiran, e-mail: mametsari@gmail.com) Abstract This paper examines the bones Cervidae Sangiran

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA. Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA. Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini

BAB IV KESIMPULAN. purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini BAB IV KESIMPULAN A. KESIMPULAN Situs Manusia Purba Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini ditemukan beragam jenis fosil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB III ZAMAN PRASEJARAH

BAB III ZAMAN PRASEJARAH 79 BAB III ZAMAN PRASEJARAH Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari: A.

Lebih terperinci

PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN

PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN HUMANIORA Anggraeni, Penelusuran Potensi Arkeologis di Kawasan Karst Gombong Selatan VOLUME 17 No. 2 Juni 2005 Halaman 135-141 PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN Anggraeni*

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, sehingga kemudian jalur perdagangan berpindah tangan ke para

Lebih terperinci

SISTEM KUBUR PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA BURIAL SYSTEM OF GUA KIDANG S SETTLERS, BLORA

SISTEM KUBUR PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA BURIAL SYSTEM OF GUA KIDANG S SETTLERS, BLORA SISTEM KUBUR PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA BURIAL SYSTEM OF GUA KIDANG S SETTLERS, BLORA Indah Asikin Nurani 1, Toetik Koesbardiati 2 dan Delta Bayu Murti 2 1 Balai Arkeologi Yogyakarta 2 Departemen Antropologi,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA

POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA THE POTENCY OF PREHISTORIC ARCHAEOLOGY IN TANAH BUMBU AND ITS THREATENINGS Bambang Sugiyanto Balai Arkeologi Banjarmasin,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang terangkat karena proses tumbukan lempeng jutaan tahun lalu.

Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang terangkat karena proses tumbukan lempeng jutaan tahun lalu. Petani bekerja di sawah dengan latar tebing karst di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Minggu (5/8/2012). Selain menjadi salah satu daerah penghasil padi, kawasan Pangkep juga menyimpan keindahan tebing

Lebih terperinci

ALAT TULANG DARI SITUS SANGIRAN (Bone Tools From Sangiran Site)

ALAT TULANG DARI SITUS SANGIRAN (Bone Tools From Sangiran Site) ALAT TULANG DARI SITUS SANGIRAN (Bone Tools From Sangiran Site) Ilham Abdullah Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran ilhamabdullah9969@gmail.com ABSTRACT Some of bone tools from Sangiran Site

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

INTERPRETASI AWAL TEMUAN GIGI MANUSIA DI SITUS BALA METTI, BONE DAN SITUS LEANG JARIE, MAROS, SULAWESI SELATAN

INTERPRETASI AWAL TEMUAN GIGI MANUSIA DI SITUS BALA METTI, BONE DAN SITUS LEANG JARIE, MAROS, SULAWESI SELATAN Jurnal Walennae, Vol. 15, No. 1, Juni 2017: Hal.19-30 INTERPRETASI AWAL TEMUAN GIGI MANUSIA DI SITUS BALA METTI, BONE DAN SITUS LEANG JARIE, MAROS, SULAWESI SELATAN The Early Interpretation of the human

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film Dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Film Dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film Dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari penyajian fakta atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN Kegiatan : Praktikum Kuliah lapangan ( PLK) Jurusan Pendidikan Geografi UPI untuk sub kegiatan : Pengamatan singkapan batuan Tujuan : agar mahasiswa mengenali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Daerah Sangiran merupakan daerah yang cukup terkenal penting karena ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak rahang bawah oleh von Koeningswald (1940). Salah satu

Lebih terperinci

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstrack Humans and the environment are interrelated and inseparable. Environment provides everything and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Ekosistem adalah struktur dan fungsi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan Husamah mengungkapkan,

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR

DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta A. Kolonisasi Austronesia di Pulau Jawa

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

POTENSI ARKEOLOGIS DAERAH ALIRAN SUNGAI KIKIM KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN

POTENSI ARKEOLOGIS DAERAH ALIRAN SUNGAI KIKIM KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN POTENSI ARKEOLOGIS DAERAH ALIRAN SUNGAI KIKIM KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN Sigit Eko Prasetyo (Balai Arkeologi Palembang) Abstract Archaeology is the study of human society, primarily through the

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA CALON GURU TENTANG PEMANFAATAN SITUS SANGIRAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR EVOLUSI

PERSEPSI MAHASISWA CALON GURU TENTANG PEMANFAATAN SITUS SANGIRAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR EVOLUSI SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN SAINS Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sains dan Kompetensi Guru melalui Penelitian & Pengembangan dalam Menghadapi Tantangan Abad-21 Surakarta, 22 Oktober 2016 PERSEPSI MAHASISWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat)

Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat) Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat) O L E H : A H N A S A W W A B 3 5 0 9 1 0 0 0 6 2 Latar Belakang Penelitian Pemetaan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan Tingkat Sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci