BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah. Karst merupakan istilah yang memiliki pengertian suatu bentangalam, yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat akibat proses karstifikasi (pelarutan) selama ruang dan waktu geologi yang tersedia. Karstifikasi adalah proses pembentukan bentuklahan yang didominasi oleh proses pelarutan (Samodra, 2001). Proses pelarutan pada batuan inilah yang menyebabkan terbentuknya gua-gua karst yang menjadi bagian dalam proses kehidupan manusia prasejarah. Kawasan Karst Gunungsewu merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Jawa. Wilayahnya membentang sekitar 85 km dari barat hingga ke timur. Cakupannya meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul (bagian barat), Kabupaten Wonogiri (bagian tengah), dan Kabupaten Pacitan (bagian timur). Kawasan ini sebagian besar terdiri atas perbukitan kapur dengan topografi bergelombang hingga berbukit dengan perlapisan batuan miring ke arah selatan, yaitu ke Samudra Hindia. Kawasan karst juga dicirikan oleh sungai-sungai bawahtanah serta bukit-bukit berbentuk kerucut yang terjadi akibat adanya proses pengangkatan dan pelarutan batuan karbonat. Kenampakan bentangalam di Wilayah Gunungsewu terjadi akibat adanya gaya endogen dan eksogen. Proses erosi dan karstifikasi menyebabkan 1

2 2 terciptanya ribuan bukit karst berbentuk setengah lingkaran dan kerucut. Di antara bukit-bukit karst tersebut terdapat lembah dan dataran sempit. Di beberapa bagian juga dijumpai banyak cekungan antar bukit yang tergenang oleh air sehingga membentuk dolin (telaga) (Simanjuntak, 2002: 36). Dilihat dari geomorfologinya, secara umum Gunungsewu dibagi menjadi 4 satuan (Todd, 1980 dalam Simanjuntak, 2002: 36) yaitu : 1. Satuan morfologi dataran: dicirikan oleh lembah lebar dan datar terbentuk oleh endapan aluvial dan sedimen dengan kemiringan lereng 0-2%. Satuan ini memiliki luas mencapai 20% dari wilayah Gunungsewu dan dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman dan lahan pertanian. 2. Satuan morfologi bergelombang lemah: dicirikan oleh bukit landai dengan relief halus yang terbentuk oleh endapan aluvial dan batuan sedimen dengan kemiringan lereng 2-8%. Luas satuan ini 15% dari wilayah Gunungsewu yang umumnya dimanfaatkan sebagai wilayah pemukiman dan lahan pertanian. 3. Satuan morfologi bergelombang kuat: dicirikan oleh lereng terjal dan relief kasar yang terbentuk oleh batuan sedimen dan batuan beku dengan kemiringan lereng 8-16%. Luas satuan ini 5% dari wilayah Gunungsewu yang sebagian dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan, sedangkan bagian lainnya merupakan hutan yang tidak terlalu lebat, dan tertutup semak belukar. 4. Satuan morfologi karst: dicirikan oleh bukit-bukit bulat menyebar dan berkelompok berbentuk kerucut, serta dolina, pipa karst, dan sungai bawahtanah. Luas satuan ini 65% dari wilayah Gunungsewu, umumnya

3 3 dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tadah hujan di lembah-lembah dan dataran sempit di antara bukit-bukit karst. Dilihat dari satuan morfologi karstnya, Kawasan Gunungsewu termasuk dalam morfologi karst tropis dengan ciri lereng terjal dan mengelompok yang disebabkan oleh hujan dan evaporasi yang tinggi (Tjia, 1987 dalam Simanjuntak, 2002: 38). Proses pembentukan bukit-bukit karst tersebut karena adanya pengangkatan dari dasar laut yang kemudian membentuk struktur geologi yang berupa patahan, lipatan dan terobosan magma. Selain itu juga karena adanya endapan batugamping, menyebabkan erosi yang membentuk morfologi perbukitan karst dengan jaringan rongga yang ada di dalam batugamping tersebut sehingga terbentuk gua (Simanjuntak, 2002: 44). Gua-gua di Kawasan Gunungsewu terbentuk dari batugamping yang secara fisik tergolong keras, namun secara kimia sangat lemah dan rapuh. Endapan batugamping yang rapuh diakibatkan oleh pengaruh kimia melalui aktivitas air hujan yang mengandung larutan karbondioksida. Pelapukan menyebabkan terjadinya proses karst dimana permukaan batugamping menjadi berlubang-lubang, sedangkan bagian dalamnya membentuk jaringan rongga. Lubang-lubang tersebut menjadi perangkap air hujan, sedangkan jaringan rongga menjadi tempat penampungan air. Hal tersebut menjadikan wilayah Gunungsewu banyak terdapat gua-gua dan ceruk karst (Simanjuntak, 2002: 44-45). Persebaran gua dan ceruk itu ditentukan oleh keberadaan bukit-bukit karst. Semakin padat keberadaan bukit karst di suatu tempat, maka semakin banyak pula terdapat gua dan ceruk di daerah tersebut. Jika dilihat dari

4 4 keletakannya, sebagian besar gua terletak di lereng perbukitan (gua kaki bukit) dan sebagian kecil di tebing terjal (gua tebing) (Simanjuntak, 2002: 92). Keberadaan gua dan ceruk di Kawasan Karst Gunungsewu ini menyimpan bukti adanya hunian manusia sejak jaman prasejarah. Pola aktivitas manusia yang dulunya masih nomaden dan berorientasi di sekitar aliran sungai kemudian ditinggalkan dan beralih ke gua atau ceruk. Perpindahan ini didasari oleh kondisi ruang yang baik untuk dijadikan tempat tinggal serta tersedianya sumberdaya lingkungan yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia prasejarah. Faktor lingkungan alam merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam memilih lokasi hunian gua. Ini menjadi penting karena dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya, manusia sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan juga alam di sekitarnya. Demikian juga dengan faktor daya dukung alam (carrying capacity) yang berkaitan dengan ketersediaan berbagai bahan kebutuhan, baik untuk bahan makanan maupun bahan artefak (Butzer, 1982). Faktor ini antara lain dapat diukur dari lokasi gua dan jaraknya terhadap sumber-sumber bahan. kebanyakan gua hunian prasejarah berada dekat sumber air yang menyediakan akses ke berbagai sumber bahan (Soebroto, 1992: 2 dalam Cristiana, 2005: 6). Faktor-faktor lain yang penting dipertimbangkan adalah kelayakan penghunian (occupation feasibility). Faktor ini berkaitan dengan morfologi dan dimensi gua, sirkulasi udara, intensitas cahaya, kelembaban gua, kerataan dan kekeringan sedimen permukaan gua, dan kelonggaran untuk bergerak. Indikasi lain berupa temuan arkeologis di lantai gua. Semakin banyak data arkeologi yang

5 5 ditemukan, baik berupa artefak, ekofak, dan fitur, maka semakin berpotensi gua tersebut sebagai situs arkeologi (Yuwono, 2004: 7-9). Menurut Simanjuntak (2002: 96-97), secara umum gua-gua di Kawasan Gunungsewu dibagi menjadi 3 karakter, yakni: 1. Gua-gua yang ideal untuk dihuni. Dicirikan oleh kondisi gua yang dekat dengan sumber air, mudah dicapai, sirkulasi udara baik, dan sinar matahari langsung. 2. Gua-gua yang cukup ideal untuk dihuni. Dicirikan oleh sinar matahari yang tidak langsung masuk ke dalam gua, sirkulasi udara agak baik, dan agak sulit dicapai. 3. Gua-gua yang kurang ideal untuk dihuni Dicirikan oleh sirkulasi udara yang kurang baik, jauh dari sumber air, dan akses yang sulit dicapai. Sejumlah besar gua alam yang terdapat di subzona Gunungsewu, beberapa diantaranya adalah gua yang mengandung indikasi arkeologis. Guagua arkeologis termasuk ke dalam kategori gua horisontal dan dangkal, keletakan mulutnya biasanya di lereng-lereng bukit atau lembah (Sutikno dan Tanudirjo, 2005: 74; Yuwono, 2006a:8). Sejumlah 22 gua telah disurvei oleh Yuwono di wilayah Wonogiri, dan 15 gua di antaranya memiliki temuan arkeologis permukaan yang sangat signifikan. Beberapa gua arkeologis tersebut antara lain menempati teras-teras lembah Bengawan Solo Purba dan bekas anak-anak sungainya (Yuwono, 2004:11). Salah satu tinggalan gua yang diduga menjadi bukti adanya hunian prasejarah di Gunungsewu ialah Gua Gilap. Gua Gilap terletak pada posisi UTM

6 6 49S me mn dengan ketinggian 350 m.dpl. Secara administratif, Gua Gilap berada di Dusun Danggolo, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Keletakan Gua Gilap pada bagian lereng ialah di dasar lembah. Gua Gilap terbentuk akibat terjadinya collapse doline. Jenis penggunaan lahan di sekitarnya ialah berupa hutan jati dan tegalan. Lokasi Gua Gilap berdekatan dengan gua-gua lain yang diduga berpotensi sebagai situs hunian seperti Gua Potro-Bunder, Gua Mrico, Gua Tembus, Gua Sodong dan Gua Sapen. Karena potensi-potensi tersebut, maka wilayah di sekitar Gua Gilap ini dipilih sebagai lokasi Museum Karst yang kemudian menjadi Kawasan Karst Dunia. Sejauh ini, data penelitian arkeologis mengenai Gua Gilap belum banyak ditulis. Hasil survei yang dilakukan oleh PTKA UGM pada tahun 2002 banyak menemukan temuan fragmen tulang, kerang, dan tanduk rusa. Beberapa temuan kemudian diindikasikan sebagai artefak. Ketika dilakukan survei pada bulan april 2013, masih banyak ditemukan temuan permukaan berupa artefak maupun ekofak yang diduga menjadi sisa-sisa aktivitas hunian manusia prasejarah sebagai tempat hunian seperti Mandibula, tulang femur, serpih, spatula, dan alat tulang. Temuan-temuan tersebut tersingkap karena adanya penggalian tanah dan runtuhan dinding gua akibat penambangan fosfat-guano dan kalsit (watu lintang). Saat ini, kondisi ruangan Gua Gilap terancam akibat penambangan tersebut. Hasil rekomendasi oleh PTKA UGM untuk dilakukan penelitian intensif di Gua Gilap kemudian ditindaklanjuti oleh tim BPCB Jawa Tengah melalui tindakan ekskavasi pada tanggal Juni 2013.

7 7 B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya fauna di sekitar Gua Gilap oleh penghuni gua tersebut pada masa prasejarah? 2. Bagaimana ragam potensi Gua Gilap dan lingkungan sekitarnya sebagai tempat hunian manusia prasejarah? C. TUJUAN PENELITIAN Sebagaimana rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana bentuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan, khususnya sumberdaya fauna di sekitar Gua Gilap oleh penghuni gua untuk mendukung subsistensinya. 2. Memberikan gambaran mengenai ragam potensi lingkungan baik secara mikro maupun meso yang mendukung hunian prasejarah di Gua Gilap. D. TINJAUAN PUSTAKA Sharer dan Ashmore (1992) dalam Archaeology: Discovering our Past, menjelaskan bahwa arkeologi merupakan studi yang mempelajari tentang masa lalu manusia melalui materi yang ditinggalkan. Materi yang ditinggalkan tersebut berupa artefak, ekofak, dan fitur. Beberapa penelitian mengenai lingkungan di Gunungsewu antara lain dilakukan oleh Simanjuntak (2002), dalam bukunya yang berjudul Prasejarah Gunung Sewu buku ini membahas aspek-aspek budaya yang secara umum

8 8 terkait dengan kemampuan eksploitasi dan kemampuan beradaptasi manusia prasejarah pada Kawasan Karst Gunungsewu. Selain itu buku ini juga merekonstruksi lingkungan fisik yang lebih bersifat general. Bentuk lingkungan fisik dalam penelitiannya lebih didasarkan atas data ekskavasi di Song Keplek dan Gua Braholo Simanjuntak kemudian menyimpulkan bahwa kronologi hunian pada Kawasan Karst Gunungsewu telah dimulai sejak Kala Pleistosen Tengah (Simanjuntak, 2002). Rachmad Fajri (1998) menulis skripsi dengan judul Situs Gua Longop: Kajian Tafonomi Sebuah Gua Hunian. Dalam tulisannya diperoleh gambaran mengenai proses transformasi data arkeologi dan bentuk pemanfaatan Gua Longop (Fajri, 1998). Kemudian Anggraeni dkk (2002) menulis laporan dengan judul Eksploitasi Sumberdaya Hayati Pegunungan Seribu Pada Awal Holosen dan Implikasinya, Studi Kasus di Kecamatan Ponjong Gunungkidul. Penelitian ini lebih mengarah pada pencarian penyebab perubahan lingkungan di Gunungsewu, apakah karena upaya eksploitasi manusia atau karena alam (Anggraeni dkk, 2002). Gregorius Dwi Kuswanto pada tahun 2007 menulis skripsi dengan judul Eksploitasi Sumberdaya Akuatik oleh Komunitas Penghuni Song Jebreng Gunungkidul: Kajian Lingkungan dan Ekofak Organik. Tulisan ini mengungkap keragaman sumberdaya akuati dan cara adaptasi yang dilakukan oleh komunitas penghuni Song Jebreng terhadap lingkungan sekitar situs (Kuswanto, 2007). Ahmad Surya Ramadhan (2012) dalam skripsi yang berjudul Sisa-sisa Fauna Pada Sungai Bawahtanah Gua Seropan, Gunungkidul: Kajian Transformasi Data Arkeologi Dan Rekonstruksi Lingkungan Daerah Resapan Hujan. Penelitian tersebut menekankan pada proses-proses yang berlangsung

9 9 terhadap deposisi data sisa fauna yang terendapkan pada aliran sungai bawahtanah Gua Seropan (Ramadhan, 2012). Penelitian mengenai flora dan fauna pernah dilakukan oleh Rooselline Linda Octina tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul Pemanfaatan Tumbuhan di Situs Song Towo: Berdasarkan Hasil Analisis Residu Fitolit Pada Artefak Batu dan Tulang. Dari hasil penelitiannya dapat dipeoleh gambaran tumbuhan yang dimanfaatkan oleh penghuni Song Towo dan kondisi lingkungannya (Octina, 2013). Jarwo Susetyo Edy Yuwono (2013b) menulis tesis yang berjudul Karakter Geoarkeologis Dan Proses Budaya Prasejarah Zona Poros Ponjong- Rongkop di Blok Tengah Gunungsewu. Penelitian ini berusaha menjelaskan karakter geoarkeologis gua-gua yang sebagian besar terletak di Zona Poros Ponjong-Rongkop dengan aspek arkeologis, Penelitian ini juga menjelaskan proses budaya prasejarah pada gua-gua yang mencakup kronologi hunian, bentuk serta perubahan subsistensi penghuninya, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. E. RIWAYAT PENELITIAN KAWASAN BLOK TENGAH GUNUNGSEWU Yuwono (2013b) menjelaskan bahwa Gua Gilap termasuk dalam bagian Zona Poros Ponjong-Rongkop pada Blok Tengah Gunungsewu. Sebelum dilakukan ekskavasi di Gua Gilap pada Juni 2013, penelitian yang dilakukan berupa survei permukaan oleh PTKA. Studi maupun penelitian mengenai Kawasan Karst Gunungsewu terutama pada Zona Poros Ponjong-Rongkop, pada saat ini telah banyak dilakukan antara lain Song Terus dan Song Braholo

10 10 (Simanjuntak, 1999: 1-20; Simanjuntak, 2002), Song Bentar dan Song Blendrong (Anggraeni, dkk., 2002; Yuwono, ). Danarti Tri Wardani (2001), dalam skripsi yang berjudul Pola Cakupan Eksploitasi Sumber Bahan Alat Batu Situs Gua Braholo Pada Kala Awal Holosen: Tinjauan Geo-arkeologi. Tulisan ini menjelaskan pola eksploitasi sumber bahan alat batu dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola eksploitasi tersebut (Wardani, 2001). Di wilayah Wonogiri sendiri, baru terdapat 2 gua yang telah diteliti yaitu Song Agung (PTKA, 2002) dan Song Terus (Tim Hibah Pasca Sarjana Fak. Geografi, 2006). Hasil penelitian tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam penulisan skripsi oleh Anang Cristiana (2005) yang berjudul Adaptasi Manusia Penghuni Song Agung, Suatu Kajian Ekologi. Penulisan skripsi tersebut membahas tentang adaptasi manusia dilihat dari kondisi lingkungan Song Agung Wonogiri (Cristiana, 2005). Yuwono juga banyak menulis artikel maupu laporan tentang budaya prasejarah Karst Gunungsewu, seperti Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Potensi Kawasan: Introduksi Tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu (2004); Kawasan Karst Gunung Sewu: Dalam Perspektif Geo- Arkeologis. Adaptasi dan Pengelolaan Masa Lampau (2006a); Dinamika Bentang Budaya Gunung sewu (2006b). Pada tahun 2006 dilakukan ekskavasi Song Terus Wonogiri. Dari hasil ekskavasi tersebut dapat diinterpretasikan adanya 3 tahapan perkembangan hunian pada Song Terus (Sutikno dan Tanudirjo, 2005 dan Yuwono, 2006b: 11-12), yaitu : 1. Tahapan pertama (kedalaman 80-90cm) atau tahap awal hunian. Pada tahap ini artefak batu digunakan untuk mengeksploitasi

11 11 sumberdaya fauna darat dan manusia pendukung sudah mengenal lokasi sumber bahan batuan. 2. Tahap kedua (kedalaman 60-80cm) merupakan tahap perkembangan hunian. konsentrasi unsur artefak meningkat pada kedalaman ini, termasuk berkembangnya produksi artefak tulang. Unsur temuan lain berupa cangkang kerang mengasumsikan jika pada tahap ini manusia pendukung sudah melakukan eksploitasi tehadap sumbedaya marin. 3. Tahap ketiga (kedalaman 50cm-keatas). Terjadi penurunan kuantitas artefak batu serpih dan mulai muncul gerabah sebagai unsur teknologi baru. Sama seperti Wardani (2001), penelitian terhadap sumber bahan yang dilakukan oleh Omilda Novi Haryanti (2007) untuk skripsinya yang berjudul Eksploitasi dan Sumber Bahan Artefak Batu Song Terus Wonogiri, Tinjauan Geo-Arkeologi. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui sumber bahan baku artefak. Hasil dari penelitian tersebut adalah penentuan beberapa lokasi yang diperkirakan sebagai lokasi sumber bahan baku artefak, dan mengklasifikasikan artefak berdasarkan jenis batuannya (Haryanti, 2007). Ramanda Primawan (2011) kemudian menulis skripsi mengenai Song Terus dengan judul Eksploitasi Vegetasi Di Situs Song Terus Wonogiri Pada Masa Prasejarah, Kajian Berdasarkan Analisis Fitolit. Dalam skripsinya, dapat diperoleh gambaran mengenai tumbuhan apa saja yang telah dimanfaatkan, dan ada tidaknya perubahan eksploitasi terhadap tumbuhan oleh manusia pendukung situs Song Terus (Primawan, 2011).

12 12 F. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, penalaran yang dipakai bersifat induktif, yaitu suatu penalaran untuk mendapatkan data yang mendukung dalam pemecahan suatu masalah. Data tersebut digunakan sebagai penarik kesimpulan melalui analisis dan sintesis. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris melalui proses analisis data (Tanudirjo, 1988: 34). Sharer dan Asmore (1992) juga menjelaskan bahwa penalaran induktif berasal dari alur pengamatan yang dilakukan secara mendalam yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum. Metode penelitian yang digunakan ialah metode eksploratif, yang memiliki tujuan untuk melakukan penjajakan potensi arkeologis yang terdapat pada suatu tempat, berangkat dari keingintahuan akan sesuatu, sehingga akan diperoleh jawaban atas sesuatu yang belum terungkap (Puslitarkenas, 2008: 20). Sesuai dengan kajian dan metode penalaran yang digunakan, maka tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil ekskavasi dan survei lapangan di sekitar Gua Gilap. Ekskavasi ini dilakukan pada tanggal Juni 2013 oleh BPCB Jawa Tengah dan penulis terlibat di dalamnya. Survei dilakukan di Kawasan Museum Karst sekitar Gua Gilap. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi lingkungan di lokasi penelitian.

13 13 Data sekunder berupa studi pustaka yang terdiri atas laporan survei, laporan penelitian, artikel dan jurnal ilmiah, peta dasar RBI dan peta tematik. 2. Tahap analisis data dan interpretasi Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis agar dapat menghasilkan suatu interpretasi. Analisis yang digunakan yaitu analisis artefaktual dan ekofaktual sisa fauna, kontekstual, dan lokasional. Analisis artefaktual dan ekofaktual dilakukan terhadap hasil ekskavasi dan survei. Analisis ekofaktual sisa fauna ini dilakukan melalui identifikasi taksonomis secara makroskopis oleh penulis di Laboratorium Jurusan Arkeologi UGM. Sebelum dilakukan identifikasi, data ekofaktual yang telah diperoleh dikelompokkan terlebih dahulu dibagi dalam beberapa kategori, yaitu bagian tengkorak, rahang, gigi, dan tulang (Fitriawati, 2009: 6). Referensi yang digunakan untuk studi komparasi dalam identifikasi data ekofaktual ini adalah: Pales dan Garcia (1981a dan 1981b), Hillson (1992) serta Schmid (1972). Identifikasi data artefaktual juga dilakukan secara makroskopis. referensi yang digunakan bersumber dari Sutton dan Arkush (1996), Achwan (1985), Prasetyo (2002), dan Asih (2004). Analisis kontekstual ditekankan pada kedudukan data di dalam lapisan tanahnya (stratigrafi). Analasis ini dilakukan karena secara tidak langsung dapat menggambarkan proses pengendapan data arkeologi pada suatu situs dan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tahap analisis lokasional dilakukan melalui interpretasi peta dan hasil observasi lapangan. Ini dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis fauna yang teridentifikasi, jenis habitatnya di sekitar Gua Gilap, dan sumberdaya lingkungan yang mendukung hunian gua pada masanya.

14 14 Data-data yang telah dianalisis kemudian disintesakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan, yaitu tentang ragam potensi Gua Gilap serta lingkungan sekitarnya, dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh penghuni gua dengan lingkungan sekitarnya melalui kajian konsep-konsep dan teori-teori yang relevan. 3. Kesimpulan Hasil kesimpulan dari penelitian ini berupa tentang ragam potensi Gua Gilap dan sekitarnya yang mendukung hunian manusia pada masa prasejarah. Gambaran tentang jenis-jenis habitat yang ada di sekitar gua juga diperoleh melalui data fauna yang dianalisis. Selain itu, bentuk pemanfaatan sumberdaya alam oleh penghuni gua juga merupakan hasil yang penting dari penelitian ini..

15 15 G. BAGAN ALIR PENELITIAN Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Ekskavasi - Artefak - Ekofak Observasi Lapangan Studi Pustaka - Laporan Penelitian - Artikel - Jurnal ilmiah - Peta dasar dan Tematik Analisis Kontekstual Analisis Artefaktual, Ekofaktual Analisis Lokasional Ragam potensi arkeologis Gua Gilap Pemanfaatan sumberdaya fauna Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Achwan, Jenny Herawati Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi

DAFTAR PUSTAKA. Achwan, Jenny Herawati Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi 118 DAFTAR PUSTAKA Achwan, Jenny Herawati. 1985. Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi Fungsi, Teknik, Bahan. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Adi, Ari Mukti Wardoyo. 2011. Distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat dan saling berakibat sejak awal kemunculan manusia. Kehidupan

Lebih terperinci

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan)

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Taufiqurrahman Setiawan The prehistoric hunter and gatherers have two type of cave

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Ekosistem adalah struktur dan fungsi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan Husamah mengungkapkan,

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002 Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 00 Oleh: J. A. Sonjaya a. Latar Belakang Pada tanggal -3 Maret 00 telah dilakukan ekskavasi di situs Song Agung,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu manusia memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan hasil alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup mereka.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Intisari... Abstact... i ii ii iv x xi xvi xviii xix BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan tugas akhir merupakan hal pokok bagi setiap mahasiswa dalam rangka merampungkan studi sarjana Strata Satu (S1) di Institut Teknologi Bandung. Penelitian

Lebih terperinci

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Laporan Pendataan Gua, Mata Air dan Telaga di Karst Malang Selatan Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang 19-20 September 2015 A. Latar Belakang Karst adalah bentukan

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN

PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN HUMANIORA Anggraeni, Penelusuran Potensi Arkeologis di Kawasan Karst Gombong Selatan VOLUME 17 No. 2 Juni 2005 Halaman 135-141 PENELUSURAN POTENSI ARKEOLOGIS DI KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN Anggraeni*

Lebih terperinci

KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1

KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM) A. PENDAHULUAN Kawasan karst merupakan sebuah aset

Lebih terperinci

Kajian Potensi Geowisata Karst di Kabupaten Wonogiri

Kajian Potensi Geowisata Karst di Kabupaten Wonogiri Kajian Potensi Geowisata Karst di Kabupaten Wonogiri Kegiatan Tahun Anggaran 2017 Latar Belakang Kabupaten Wonogiri yang memiliki luas wilayah 182.236,02 km 2. merupakan salah satu kabupaten di Provinsi

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN. Perubahan Bentangalam

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN. Perubahan Bentangalam TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 03 Perubahan Bentangalam Bentangalam Struktural Bentangalam Struktural Bentangalam a Gunungapiu 3 Bentangalam intrusi Bentangalam Intrusi (Intrusive landforms) adalah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi cadangan minyak bumi dan gas di bagian Barat Indonesia kini sudah melewati titik puncak kejayaannya, hampir seluruh lapangan minyak di bagian barat Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geomorfologi adalah salah satu hal yang menjadi dasar dalam ilmu geologi, karena geomorfologi dapat dijadikan panduan dalam pemetaan geologi, selain itu pengamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Pada awal abad ke 20, Pulau Jawa menjadi pusat penelitian mengenai manusia prasejarah. Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Jawa memiliki bukti dan sejarah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukiman merupakan kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan makanan dan pakaian. Permukiman sebagai tempat untuk kelangsungan hidup manusia. Permukiman sebagai unit

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA Oleh : Salatun Said Hendaryono PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI UPN VETERAN YOGYAKARTA 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu ( S-1) pada Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, maka setiap mahasiswa

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB I BENTUK MUKA BUMI

BAB I BENTUK MUKA BUMI BAB I BENTUK MUKA BUMI Tujuan Pembelajaran: Peserta didik mampu mendeskripsikan proses alam endogen yang menyebabkan terjadinya bentuk muka bumi. 2. Peserta didik mempu mendeskripsikan gejala diastropisme

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

ANALISA BENTANG ALAM

ANALISA BENTANG ALAM ANALISA BENTANG ALAM A. Definisi Bentang Alam Bentang alam merupakam karakteristik dan juga bentuk permukaan bumi yang disebabkan oleh proses perubahan kimia serta fisika. Beberapa contoh yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL

TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL Ahmad Cahyadi, S.Si., M.Sc. Kelompok Studi Karst, Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan Karst Gunung Sewu mempunyai bentang alam yang sangat khas, dengan luas area + 1730 km 2 berupa puluhan ribu bukit batu gamping dengan ketinggian antara 20-50

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul dengan ibukota Kabupaten Wonosari terletak di sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten Gunungkidul juga dikenal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST

GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL3222 9. PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST Plain dan Plateau? Plain (Dataran): Morfologi datar dengan kemiringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang mempunyai keindahan alam yang pantas untuk diperhitungkan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan (illegal logging) di kawasan hulu dari sistem daerah aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi pembagian satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

SUNGAI WAMPU, PENDUKUNG KEHIDUPAN PEMUKIM BUKIT KERANG

SUNGAI WAMPU, PENDUKUNG KEHIDUPAN PEMUKIM BUKIT KERANG SUNGAI WAMPU, PENDUKUNG KEHIDUPAN PEMUKIM BUKIT KERANG Taufiqurrahman Setiawan Balai Arkeologi Medan Abstract As one of an ancient river in north Sumatera, the Wampu river has taken an important part in

Lebih terperinci

Nugroho Hari Purnomo Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial 1 Universitas Negeri Surabaya, 2015

Nugroho Hari Purnomo Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial 1 Universitas Negeri Surabaya, 2015 Nugroho Hari Purnomo Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, 2015 1 Rencana materi UGROHO HARI PURNOMO Level Tingkat Kompetensi yang dihaharapkan tercapai dlm mk geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian geologi dilakukan untuk mengenal dan memahami kondisi geologi suatu daerah. Penelitian tersebut dapat meliputi penelitian pada permukaan dan bawah permukaan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana strata satu (S1). Tugas Akhir dilakukan dalam bentuk penelitian yang mengintegrasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang ahli geologi merupakan salah satu sumber daya manusia yang berperan sebagai pemikir untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Gunungkidul adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif wilayah IUP Eksplorasi CV Parahyangan Putra Mandiri, termasuk di dalam daerah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif 60 BAB III PROSEDUR PENELITIAN 3.1.Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Menurut Suryabrata (1983), metode deskriptif eksploratif yaitu sebuah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci