BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Ekosistem adalah struktur dan fungsi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik tempat hidupnya (Moran, 1982: 3-4). Kartawinata dan Husamah mengungkapkan, bahwa ekosistem merupakan interaksi saling mempengaruhi antara penyusun lingkungan hidup dan kehidupannya, baik biotik seperti tumbuhan, hewan, dan manusia maupun abiotik seperti air, angin, iklim, dan tanah (Kartawinata, 2013: 1; Husamah, 2014: 83). Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa ekosistem merupakan keseluruhan sistem kerja unsur biotik dan abiotik yang keberadaannya saling mempengaruhi, antara individu terhadap lingkungan hidup maupun sebaliknya. Unsur biotik dan abiotik kemudian membentuk karakteristik yang khas sehingga membedakan antara satu jenis ekosistem dengan ekosistem lainnya. Dilihat dari lingkungan fisiknya, ekosistem dibagi menjadi tiga, yaitu ekosistem air, darat dan buatan (Wahyudi, 2013). Selain itu, lingkungan non-fisiknya seperti jenis hewan, vegetasi dan berbagai unsur lainnya juga menjadi ciri khas dari masingmasing jenis ekosistem. Ekosistem air atau akuatik terbentuk pada kondisi lingkungan basah karena memiliki unsur pokok berupa air. Unsur air yang dimaksud dapat berupa air tawar, asin, atau payau. Jenis ekosistem akuatik dapat dibagi lagi menjadi ekosistem air laut, muara (estuary), pantai, sungai, laut dalam, terumbu karang, dan lamun (sea grass). Ekosistem Terrestrial, yaitu ekosistem yang terbentuk secara alami di daratan. Terbentuknya ekosistem tersebut didasari oleh adanya 1

2 2 sedimen sebagai pokok utama dari keberadaan unsur lainnya. Jenis ekosistem terrestrial, yaitu hutan hujan tropis, sabana, padang rumput, gurun, hutan gurun, taiga, tundra dan karst. Berikutnya adalah ekosistem buatan atau agro-ekosistem, yaitu ekosistem yang dengan sengaja dirancang dan dibentuk oleh tangan manusia (Wahyudi, 2013). Song Gilap termasuk di dalam jenis ekosistem karst yang berada dalam kelompok ekosistem terrestrial (darat). Song Gilap merupakan bagian Kawasan Karst Wonogiri. Kawasan Karst Wonogiri berada di bentangalam perbukitan limestone (batuan dari organisme laut) yang termasuk didalam jenis batuan karbonat. Lingkungan batuan karbonat sepenuhnya dikendalikan oleh proses karstifikasi (Samodra, 2001: 6; Atmoko, 2014: 1). Akibat dari proses karstifikasi adalah air hujan yang sampai ke permukaan langsung meresap ke dalam tanah. Selain itu sungai-sungai permukaan juga memiliki aliran yang pendek yang kemudian menghilang melalui sink hole dan semuanya terakumulasi pada sungaisungai bawah tanah. Song Gilap mulai diteliti Tim Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) DepartemenArkeologi FIB UGM pada Hasil survei 2002 menunjukkan bahwa Song Gilap merupakan gua yang memiliki potensi sebagai gua hunian masa prasejarah. Hal tersebut didasarkan pada kerapatan temuan permukaan yang ditemukan pada saat survei berlangsung. Temuan hasil survey berupa sisa-sisa fauna seperti fragmen kerang, fragmen tulang, artefak tulang, dan tanduk rusa (Atmoko, 2014: 6; Murpratama, 2016: 4). Temuan tersebut menunjukkan adanya hasil budaya dari manusia prasejarah penghuni Song Gilap. Berdasarkan adanya temuan tersebut, maka Song Gilap dikatakan sebagai Gua Hunian dari masa Prasejarah dari masa Pleistosen akhir hingga Holosen awal.

3 3 Ekskavasi merupakan tindak lanjut dari rekomendasi survei. Ekskavasi dilakukan oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (BPCB Jateng) yang bekerja sama dengan DepartemenArkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Juni 2013 (Atmoko, 2014: 6). Temuan hasil ekskavasi di Song Gilap berupa alat tulang, alat batu, tatal, serpih, sisa-sisa fauna, dan juga kerang. Sebagian besar temuan merupakan temuan permukaan yang tersingkap akibat kegiatan penambangan fosfat-guano dan penambangan batu kalsit (watu lintang) di dinding gua (Atmoko, 2014: 6). Penambangan tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan pada morfologi gua, sehingga menyulitkan upaya rekonstruksi lingkungan terhadap Situs Song Gilap Wonogori. Rekonstruksi lingkungan perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci dan jelas mengenai kondisi lingkungan dan kehidupan komunitas penghuni Song Gilap pada masa prasejarah. Selain itu, rekonstruksi lingkungan dapat membantu menginterpretasikan temuan sebagai hasil budaya komunitas yang hidup di Song Gilap. Rekonstruksi lingkungan dilakukan karena informasi dan data yang didapatkan berdasarkan hasil ekskavasi belum dapat menggambarkan keseluruhan kondisi lingkungan Song Gilap secara rinci. Salah satu data yang potensial untuk mengungkap kondisi lingkungan adalah sedimen. Vegetasi, fauna, manusia, serta perubahan lingkungan dapat diamati melalui sisa-sisa masa lampau yang terdeposisi dalam lapisan tanah yang kemudian mengalami proses sedimentasi. Oleh karena itu, sedimen dapat memberikan kontribusi untuk mengidentifikasi vegetasi; Sarana mempelajari evolusi budaya; untuk merekonstruksi lingkungan pada masa lampau (Deborah M. Pearsall, 1982: 864).

4 4 Rekonstruksi lingkungan dari sedimen dapat dilakukan melalui berbagai data tentang komponen pembentuk lingkungan. Oleh karena itu, tumbuhan sebagai salah satu komponen pembentuk lingkungan penting untuk dipelajari. Keberadaan tumbuhan tertentu dalam sebuah lingkungan bahkan dapat menjelaskan interaksinya dengan kelompok-kelompok manusia maupun hewan serta unsur-unsur lain dalam sebuah ekosistem (Weeb & Tracey, 1994; Kartawinata, 2013: 1). Penelitian yang bertujuan untuk mengungkap lingkungan vegetasi pada masa prasejarah dapat dilakukan melalui analisis. Terdapat dua jenis analisis terhadap sisa-sisa tumbuhan, yaitu analisis makroskopis yang dilakukan terhadap sisa-sisa tumbuhan yang dapat dilihat tanpa menggunakan alat bantu mikroskop, misalnya yang berupa arang kayu dan biji-bijian yang terawetkan dalam bentuk fosil. Analisis yang berikutnya ialah analisis mikroskopis, dapat dilakukan terhadap starch, pollen atau phytolith (fitolit) (Sutton, Mark Q. and Brooke S. Arkush, 1996: ). Sutton dan Arkhus (1996: ) mengungkapkan bahwa analisis fitolit memiliki peranan yang penting dalam disiplin ilmu arkeologi, karena analisis fitolit dapat digunakan untuk: a Merekonstruksi lingkungan, fitolit digunakan sebagai media untuk mengungkapkan bagaimana keadaan lingkungan masa lampau di sebuah daerah/kawasan. b Mengetahui pola subsistensi dan pola kebutuhan manusia atau bahkan hewan akan tumbuhan. c Mengetahui domestikasi atau campur tangan manusia dalam pengelolaan tumbuhan sehingga tumbuhan beradaptasi dan mengalami evolusi.

5 5 d Merekonstruksi ideologi sebuah komunitas, organisasi atau kelompok golongan tertentu, misalnya pohon kelapa dan jagung menunjukkan adanya sistem pertanian dan tradisi bercocok tanam pada masyarakat tertentu ( e Mengungkapkan status artefak atau ekofak yang dijadikan alat, misalnya digunakan untuk mengolah beberapa jenis tumbuhan atau hanya tumbuhan tertentu saja. f Digunakan sebagai pertanggalan. Berdasarkan jenis tumbuhan, dapat dilacak masa tumbuhan hidup sehingga dapat diasosiasikan dengan temuan yang satu konteks dengan tumbuhan tersebut. Dengan penjelasan diatas, maka analisis fitolit terhadap sedimen Song Gilap Wonogiri dilakukan untuk merekonstruksikan lingkungan. Sejauh ini belum ada gua dengan tipe genesa serupa yang diungkapkan kondisi lingkungannya dengan menggunakan analisis fitolit. Dalam hal ini, analisis fitolit dilakukan untuk mengungkap berbagai jenis tumbuhan (Fullagar, 2006: 218) yang hidup di lingkungan Song Gilap pada masa prasejarah. Analisis dilakukan berdasarkan sifat fitolit yang in situ, sehingga dapat merujuk pada kondisi lingkungan yang sebenarnya. Keberadaannya pada sedimen yang berkonteks dengan pemukiman dapat memberikan data jenis-jenis tumbuhan yang berkaitan dengan budaya manusia prasejarah. Fitolit tidak mudah tertransportasi oleh angin atau air seperti pollen. Fitolit hanya dapat tertransportasi dengan adanya perlakuan khusus manusia dan fauna terhadap tumbuhan, kecuali ketika tumbuhan telah mati dan fitolit sudah terseposisi pada sedimen. Sedimen yang tertransportasi oleh kejadian alam maupun manusia seperti tersapu oleh air maupun pemindahan tempat, maka fitolit

6 6 akan ikut tertransportasi bersama dengan sedimen tersebut. Meski begitu, sangat kecil kemungkinan tidak adanya fitolit pada sedimen dari kawasan yang tadinya ditumbuhi/dipenuhi oleh tumbuhan. Mengingat fitolit bersifat in situ seperti yang telah disebutkan sebelumnya. B Rumusan Masalah Penelitian 1. Bagaimana variasi morfologi fitolit yang ditemukan pada sedimen Song Gilap? 2. Bagaimana fitolit yang ditemukan dapat mewakili lingkungan vegetasi terdekat di sekitar Song Gilap? 3. Bagaimana hubungan jenis tumbuhan dan budaya manusia prasejarah penghuni Song Gilap Wonogiri? C Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan, maka tujuan dari penelitian akan fokus kepada menemukan variasi tumbuhan sebagai pembentuk vegetasi Song Gilap. Setelah variasi jenis tumbuhan ditemukan maka dapat dilakukan rekonstruksi lingkungan terdekat (skala mikro) di Sekitar Song Gilap, Wonogiri. Jenis tumbuhan berdasarkan fitolit yang ditemukan pada sedimen Song Gilap juga akan merekonstruksi lingkungan tempat hidup manusia prasejarah beserta budayanya di Song Gilap yang akan mewakili wilayah peralihan di Blok Tengah. D Metode Penelitian Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan penalaran induktif. Penalaran induktif berangkat dari fakta-fakta khusus yang kemudian diolah sehingga menghasilkan sebuah teori/pendapat yang bersifat lebih umum (Tanudirdjo, 1988:

7 7 34; Creswell, 2016: 4-5). Sifat penelitian ini adalah analitik, artinya peneliti akan menganalisis berbagai data utama dan data pendukung untuk mencapai tujuan penelitian (Simanjuntak, dkk, 2008: 20). Analisis yang dilakukan ialah analisis laboratoris yang hasilnya dijabarkan secara deskriptif berupa sajian gambaran yang terperinci mengenai lingkungan Song Gilap (Silalahi, 2009: 27). Berdasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya, analisis fitolit merupakan metode paling tepat yang dapat digunakan untuk mencari tahu kronologi perubahan lingkungan terutama lingkungan yang dipadati tumbuhan (Kelly, 1991; Piperno dan Becker, 1996; Alexandre dan Meunier,1998 dalam Idrus, 2015: 3). Tahapan yang dilalui dalam penelitian ini antara lain adalah tahap pengumpulan data dan preparasi data. Atas dasar tujuan penelitian maka kualitas data sampel sedimen sangat penting untuk diketahui kondisinya sebelum dianalisis. Tahapan yang dilalui dalam penelitian ini ialah pengumpulan data dan penyiapan preparasi. 1. Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa sampel sedimen yang diambil dengan menyayat dinding kotak ekskavasi menggunakan scraper yang ditutup dengan plastik baru. Sampel tanah diambil dari masing-masing layer yang terdapat pada masingmasing kotak ekskavasi. Pengambilan sampel dilakukan dari layer paling dalam dari masing-masing kotak ekskavasi menuju layer paling atas, hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi. Selain sampel tanah, data lain yang digunakan ialah laporan harian dan cheklist perekaman stratigrafi pada saat ekskavasi berlangsung sebagai data pelengkap. Data primer merupakan hasil

8 8 ekskavasi yang telah dilakukan BPCB Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Departemen Arkeologi, FIB UGM pada Juni Data sekunder yang digunakan ialah berbagai sumber terkait dengan topik penelitian, antara lain pustaka (text book), referensi bentuk fitolit yang akan didapat dari e-jurnal, tulisantulisan online, PDF, serta laporan penelitian terdahulu. a. Data Primer a). Sampel Sedimen Sampel merupakan hasil ekskavasi BPCB Jateng yang bekerjasama dengan DepartemenArkeologi FIB UGM dari tanggal Juni Selama periode waktu tersebut, kegiatan ekskavasi berhasil membuka enam kotak. Ekskavasi dilakukan dengan sistim grid. Enam lokasi kotak yang dibuka ialah i.6', c.10', D.5', I.4', K.32 dan J.2-K.2 (lihat Peta 2.3). Pemilihan kotak dilakukan untuk memperoleh kedalaman vertikal secara maksimal dan melihat potensi masingmasing kotak ekskavasi. Perlakuan khusus dilakukan terhadap kotak J.2K.2, karena ekskavasi dilakukan dengan sistem lot. Hal tersebut dilakukan karena kondisinya berbeda dari kotak lainnya. Lokasi kotak J.2K.2 terletak pada sisa penambangan dengan kontur tanah yang tidak rata dan kondisi permukaan teraduk. Kotak J.2K.2 juga berada pada bagian perbatasan antara tanah sisa aktivitas tambang dengan lapisan aslinya yang mengandung temuan. Kotak K.32 memiliki kondisi yang hampir serupa, yaitu terletak pada bagian sisa tambang, namun kondisi permukaan K.32 rata karenanya sistem spit masih dapat diberlakukan. Meski terkesan rata, sedimen kotak K.32 terdiri dari sisa-sisa ayakan tambang yang bercampur dengan fragmen tulang fauna, sisa-sisa fauna, fragmen kerang, serpih, dan tatal.

9 9 Pengambilan sampel sedimen dilakukan berdasarkan metode Purposive Sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan alasan-alasan tertentu untuk mencapai tujuan penelitian (Silalahi, 2009). Metode Purposive Sampling dipilih berdasarkan pertimbangan kondisi sampel. Dua dari tujuh kotak dipilih untuk diambil sampel sedimennya, yaitu kotak c.10' dan D.5'. Kedua kotak galian tersebut dipilih karena dianggap belum mengalami gangguan. Kedua kotak galian terletak pada ceruk paling dalam, sehingga meski cukup terlindung, tetapi masih mendapat cahaya yang cukup. Kedua kotak tersebut juga merupakan kotak galian yang digali paling dalam selama proses ekskavasi. Kondisi ini membuat kedua kotak yang dipilih memiliki rekaman data stratigrafi paling baik. Lebih jelas mengenai lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 3.1, Gambar 3.1 dan 3.2. b). Data Stratigrafi Data stratigrafi diambil dari checklist stratigrafi serta catatan harian ekskavasi dan hasil penggembarannya. Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi dari masing-masing layer di lokasi pengambilan sampel dan juga konsteks data lainnya. b. Data Sekunder Data sekunder diperlukan untuk menggali informasi yang belum didapatkan dari data primer. Data tersebut dapat melengkapi dan menguatkan data yang didapat dari data primer. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah, a). Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan yang mendukung data utama. Berbagai sumber pustaka digunakan, salah satu yang

10 10 digunakan ialah teks book berjudul Phytoliths: A Comprehensive Guide for Archaeologist and Paleoecologist, U.S. of America yang ditulis oleh Dolores R. Piperno (2006). b). Studi Referensi Referensi gambar bentuk fitolit yang digunakan ialah International Code Phytolith Nomenclature (ICPN), referensi sampel fitolit yang diperoleh dari penelitian terdahulu, misalnya yang dibuat oleh Ramanda Primawan (2011) serta Anggraeni (2012). Selain itu, juga referensi yang dimuat dalam e-book dan e- jurnal. 2. Analisis Dalam penelitian yang bertujuan mengungkap vegetasi dari masa prasejarah, peneliti harus menggunakan melalui proses analisis. Terdapat dua jenis analisis terhadap sisa-sisa tumbuhan, yaitu analisis makroskopis yang dilakukan terhadap sisa-sisa tumbuhan yang masih dapat dilihat tanpa menggunakan alat bantu mikroskop (contohnya pengamatan pada arang kayu, biji-bijian yang telah terawetkan/memfosil) dan analisis mikroskopis (starch, pollen, fitolit) (Sutton, Mark Q. and Brooke S. Arkush, 1996: ). Berbagai analisis tersebut dapat dilakukan tergantung pada tujuan penelitian yang akan dicapai, karena masing-masing analisis memiliki kelebihan dan kekurangan. Analisis starch (butir pati) hanya dapat digunakan efektif untuk menemukan tumbuhan biji-bijian, umbi dan akar-akar, hal ini disebabkan karena tidak semua jenis tumbuhan memproduksi starch. Selain itu, analisis pollen (serbuk sari) dilakukan untuk mengungkap jenis tumbuhan berbunga, namun tidak dapat digunakan untuk mengetahui tumbuhan yang tidak/belum berbunga karena

11 11 pollen mulai muncul hanya ketika tumbuhan telah dewasa. Oleh karena itu, tumbuhan yang belum menghasilkan pollen tidak dapat teridentifikasi. Polen juga tidak bersifat in-situ karena daya jangkau perpindahan pollen sangat luas karena dapat dengan mudah diterbangkan oleh media angin, terbawa air, hewan, dan manusia. Karena itulah analisis pollen cocok digunakan untuk mengungkapkan lingkungan dengan skala luas (kawasan meso maupun makro). Analisis berikutnya yang lazim digunakan dalam rekonstruksi jenis vegetasi adalah fitolit (phytolith/plantstone). Fitolit tumbuh pada individu tanaman pada umur enam minggu. Fitolit diproduksi pada berbagai tumbuhan, di jaringan epidermis maupun sub-epidermis. Analisis fitolit ini efektif dilakukan untuk mengungkap penelitian lingkungan dengan lingkup skala mikro, karena fitolit bersifat in-situ. Sifatnya yang anorganik juga membuat fitolit mampu bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan. Hingga saat ini, analisis fitolit telah mampu mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan, bahkan jenis rumput yang tidak mampu teridentifikasi dengan menggunakan analisis starch dan pollen (Fujiwara, 1993; Anggraeni, 2012: 312). Sejauh ini analisis fitolit mampu mengidentifikasi hingga ke tingkat genus bahkan di beberapa kasus hingga spesiesnya (Pearsall et al, 1995: 184). Analisis Fitolit dapat dilakukan terhadap berbagai media, antara lain wadah keramik, gerabah, alat tulang, alat batu, dan sedimen. Keberadaan fitolit pada alat batu dan tulang mengindikasikan pemanfaatan artefak tersebut oleh manusia (Marniati, 2010: 9). Sementara itu, artefak yang dipakai sebagai wadah, aqtau media pengolah bahan makanan memungkinkan untuk dianalisis guna mengetahui tumbuhan apa saja yang dimanfatkan atau berada di sekitar pemukiman.

12 12 Analisis Fitolit dalam penelitian ini dilakukan pada sedimen. Analisis dimulai dari persiapan pengambilan sampel tanah hingga identifikasi fitolit. Pengambilan sampel dilakukan pada saat ekskavasi berlangsung di Song Gilap. Selanjutnya, analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Prosedur yang digunakan merupakan prosedur yang dimodifikasi oleh Bowdery (2009) dan pernah digunakan oleh Anggraeni, yaitu Phytolith Extraction From Sediments Using Heavy Liquid Flotation Using Sodium Polytungstate (NPTH). Cara kerja prosedur tersebut adalah memisahkan fitolit berdasarkan berat jenisnya. Berat jenis NPTH akan mengangkat fitolit dan benda lain yang lebih ringan darinya agar mengambang ke atas sedangkan berat jenis yang lebih besar akan mengendap pada dasar tabung pengamatan laboratoris (tube). Modifikasi terhadap langkahlangkah ekstraksi prosedur Bowdery dilakukan terhadap sampel dari Song Gilap, karena adanya perbedaan kondisi tanah. Modifikasi dilakukan dengan penambahan langkah yaitu proses pembersihan clay ke dua setelah fitolit diangkat dengan SPT. Kandungan fosfat dan lempung pada sampel sedimen yang didapat dari Song Gilap membuat peneliti harus menambahkan proses pembersihan lempung kedua yang juga dilakukan oleh Jenifer Salinas (McCown Archaeobotany Lab Report # /2013). Proses tersebut dilakukan setelah proses pemisahan fitolit menggunakan larutan Sodium Polytungstate. Proses berikutanya adalah pembuatan preparat yang berisi sampel fitolit. Fitolit yang telah dipisahkan dari sedimen lain dan dibersihkan kemudian diberi alkohol dengan kadar 50%. Detelah itu, kadar 100% untuk membunuh semua jamur maupun unsur-unsur yang tidak diinginkan lainnya. Preparat yang telah disiapkan kemudian diberi tetesan fitolit dengan menggunakan pipa kapiler dan

13 13 biarkan kering dengan ditutup atau dimasukkan dalam ruang tertutup agar tidak terkontaminasi oleh benda asing seperti debu.langkah selanjutnya setelah kering tetesi canadian balsam dan tutup dengan kaca penutup. Preparat yang telah siap kemudian dapat diidentifikasi. 3. Identifikasi Fitolit Identifikasi secara mikroskopis memerlukan berbagai peralatan. Dalam proses ini diperlukan mikroskop pencahayaan Polarisasi Olympus CX31-P dan Kamera Optilab yang kemudian dihubungkan dengan komputer sebagai alat perekam gambar. Identifikasi dilakukan melalui kaca preparat berisikan hasil analisis dari masing-masing sampel. Penentuan identifikasi dilakukan dengan membandingkan bentuk dan ukuran fitolit dengan referensi dari International Code of Phytolith Nomenclature (ICPN) dan informasi lainnya yang terdapat pada beberapa jurnal di antaranya adalah jurnal yang ditulis oleh Irwin Rovner dan Dolores R. Piperno. 4. Kesimpulan Fitolit yang telah teridentifikasi kemudian disintesakan dengan data perekaman stratigrafi masing-masing kotak ekskavasi beserta temuan kontekstualnya. Hasilnya berupa deskripsi jenis tumbuhan yang ada pada masingmasing layer dan kemudian dapat diketahui kondisi vegetasi pada bentangalam sekitar situs Song Gilap itu sendiri. Deskripsi tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumya. E Keaslian Penelitian Penerapa analisis fitolit terhadap sedimen sebelumnya telah dikenal dalam disiplin arkeologi. Namun, sejauh ini belum banyak peneliti Indonesia yang

14 14 menggunakannya. Pada awalnya fitolit masih menjadi bahan kajian yang berasal dari disiplin ilmu biologi. Kemudian, disiplin arkeologi yang meneliti masa lampau membutuhkan analisis fitolit, sehingga metode tersebut berkembang di dalam ilmu arkeologi. Penelitian mengenai vegetasi menggunakan analisis fitolit terhadap sedimen pernah dilakukan oleh Anggraeni, dkk, (2002) pada kawasan karst dalam Eksploitasi Sumber Hayati Pegunungan Seribu Pada Awal Holosen dan Implikasinya, Studi kasus di Kecamatan Ponjong, Gunungkidul. Hasil penelitian tersebut dapat mengungkapkan bahwa perubahan lingkungan di Gunungsewu merupakan akibat eksploitasi manusia dan terjadi secara alami. Charconac Rault pada tahun 2004 (dalam Primawan, 2011) mengebor tiga danau yang ada di Pacitan, yaitu Danau Guyang Warak, Tritis dan Bugel. Hasil dari penelitian tersebut menemukan fitolit Arenga (Aren), Arecaceae (Pinang/ Palm/ Kelapa) dan Pandanus (Pandan) di Danau Bugel. Fitolit Jagung (Zea Mays) dan fitolit Solanum Melongena ditemukan di Danau Tritis. Penelitian umum tentang tumbuhan telah dilakukan oleh C.G.G.J. van Steenis (2006) telah mensurvei vegetasi dan berhasil menemukan tumbuhan asli Pulau Jawa yang empat dari keenam yang ditemukan merupakan tanaman herbal, yaitu Clethra Javanica, Gaultheria Solitaria, Zingiber Inflexum dan Melastoma Zollingeri. C.G.G.J. van Steenis mengkategorikan tumbuhan berdasarkan tempat hidupnya, seperti tanaman tegalan, sawah, kuburan, ruderal, rawa, padang rumput, semak dan mangrove. Penelitian fitolit pernah pula dilakukan pada 2007 oleh Nia Marniati melalui analisis residu pada alat tulang dari Song Blendrong, Gunungkidul. Marniati menemukan adanya pemanfaatan umbuhan talas (Colocasia esculenta) dan

15 15 tumbuhan yang dimanfaatkan seratnya sebagai pembuat tali, yaitu tumbuhan dari suku Anacardiaceae serta Myrtaceae. Sementara itu, melalui penelitian oleh primawan (2011) diketahui adanya penggunaan batang tumbuhan suku Anacardiaceae dimanfaatkan untuk berburu karena mengandung resin dan racun. Song Terus Wonogiri pernah menjadi objek kajian fitolit oleh Ramanda Primawan sebagai bahan skripsi. Primawan meneliti fitolit dari residu artefak batu untuk mengetahui eksploitasi vegetasi di Situs Gua Terus Wonogiri pada masa prasejarah. Hasilnya menunjukkan adanya pemanfaatan kelapa (Cocos nucifera), Heliconia, Family Magnoliaceae, Fabaceae, Moraceae, Piperaceae dan juga Euphorbiaceae oleh manusia prasejarah penghuni Gua Terus yang berada di Kawasan Karst Gunungsewu (Primawan, 2011). Rooseline Linda Octina juga menggunakan analisis fitolit untuk mengkaji variasi vegetasi yang dimanfaatkan oleh penghuni Song Towo, Ponjong, Gunung Kidul dalam Skripsinya yang berjudul Pemanfaatan Tumbuhan di Situs Song Towo: Berdasarkan Hasil Analisis Residu Fitolit Pada Artefak Batu dan Tulang. Terdapat berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh komunitas penghuni Song Towo. Selain itu, Octina juga mengungkapkan kondisi lingkungan mikro Song Towo. Adanya rumput-rumputan (Poaceae), Bambusoideae dan Arundinoideae yang diambil daunnya dan tumbuhan herbal dan tumbuhan berumbi yang dikonsumsi. Sub-family Bambusoideae kemungkinan juga dimanfaatkan kulit dan batangnya (Octina, 2013). Ibrahim Hane Idrus telah menggunakan metode penelitian yang sama yaitu analisis fitolit untuk mengetahui vegetasi terhadap situs arkeologis dengan tipe genesa collapse doline. Penelitian tersebut dilakukan terhadap sedimen hasil ekskavasi Situs Gua Kidang dalam skripsinya yang berjudul Kajian Lingkungan

16 16 Purba Mikro Pada Situs Gua Kidang, Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora (Analisis Fitolit) (Idrus, 2015). Penelitian terhadap Song Gilap Wonogiri yang telah dilakukan adalah identifikasi sisa fauna oleh Falentinus Triwijaya Atmoko yang menulis skripsi mengenai pemanfaatan sumber daya lingkungannya (Atmoko, 2014). Novendika Setyawan Murpratama juga menulis skripsi mengenai analisis morfologi dan teknologi terhadap alat tulang dari Song gilap (Murpratama, 2016). Hingga saat ini, belum ada penelitian yang mengungkapkan lingkungan vegetasi SItus Song Gilap berdasarkan analisis fitolit terhadap sedimen. Potensi arkeologis yang ditemukan di Song Gilap seperti alat tulang yang diupam dan alat tanduk juga ditemukan di Gua Braholo dengan lokasi tidak jauh dari Song Gilap. Mengacu pada temuan tersebut, penting dilakukan analisis fitolit terhadap sedimen hasil ekskavasi guna merekonstruksi kondisi lingkungan vegetasi masa prasejarah di Situs Song Gilap. Hasil identifikasi fitolit Song Gilap dapat membantu usaha merekonstruksi kondisi lingkungan Song Gilap dan melengkapi data mengenai situs gua-gua hunian.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat dan saling berakibat sejak awal kemunculan manusia. Kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si Apa yang dimaksud biodiversitas? Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah : keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan budaya. Salah satu bentuk budaya

BAB I PENGANTAR. interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan budaya. Salah satu bentuk budaya BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kenyataan bahwa manusia membutuhkan pangan sebagai kebutuhan dasar adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Hal ini terjadi sejak masa prasejarah hingga kini. Pemenuhan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel sedimen, larutan HCL 37%, HF 40%, KOH 10%, HNO 3 30%,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel sedimen, larutan HCL 37%, HF 40%, KOH 10%, HNO3 30%,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu manusia memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan hasil alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup mereka.

Lebih terperinci

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN Dengan mempelajari materi urutan tingkat organisasi kehidupan dan pengertiannya, maka kita akan semakin mengerti manfaat biologi yang kita pelajari sebelumnya. Kita juga akan

Lebih terperinci

TUNTAS/PKBM/1/GA - RG 1 Graha Pustaka

TUNTAS/PKBM/1/GA - RG 1 Graha Pustaka RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN NO: 1 Mata Pelajaran : Geografi Kelas/Semester : XI/1 Materi Pokok : Fenomena Biosfer dan Antroposfer Pertemuan Ke- : 1 dan 2 Alokasi Waktu : 2 x pertemuan (4 x 45 menit)

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan)

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Taufiqurrahman Setiawan The prehistoric hunter and gatherers have two type of cave

Lebih terperinci

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

AssAlAmu AlAyku m wr.wb

AssAlAmu AlAyku m wr.wb AssAlAmu AlAyku m wr.wb BIOMA Bioma adalah wilayah yang memiliki kondisi iklim tertentu dan batas-batas yang sebagian besar dikendalikan di daratan oleh iklim dan yang dibedakan oleh dominasi tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002 Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 00 Oleh: J. A. Sonjaya a. Latar Belakang Pada tanggal -3 Maret 00 telah dilakukan ekskavasi di situs Song Agung,

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

Penentuan batas antar komunitas tidak mudah Zona transisi dengan lingkungan tertentu Proses perubahan secara gradual struktur komunitas disebut

Penentuan batas antar komunitas tidak mudah Zona transisi dengan lingkungan tertentu Proses perubahan secara gradual struktur komunitas disebut KOMUNITAS Komunitas beragam struktur biologinya Diversitas meliputi dua aspek : > Kekayaan Jenis > Kemerataan Komunitas memiliki struktur vertikal Variasi Spatial struktur komunitas berupa zonasi. Penentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bentang alam yang beragam. Salah satu bentang alam (landscape) yang memiliki potensi dan nilai strategis adalah

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1)

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI 2.1. Ekosistem 2.2. Proses Produksi dan Dekomposisi 2.3. Konsep Homeostatis 2.4. Energi dalam Ekosistem 2.4.1. Rantai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Batuan karbonat merupakan batuan sedimen yang terdiri dari garam karbonat, antara lain gamping (limestone) dan dolomit (Koesoemadinata, 1987). Komponen batugamping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

SHA ARI OMAR IPG KAMPUS KOTA BHARU DEFINISI. BIODIVERSITI, KOMPLEKSITI dan KESTABILAN FUNGSI EKOSISTEM JENIS-JENIS EKOSISTEM

SHA ARI OMAR IPG KAMPUS KOTA BHARU DEFINISI. BIODIVERSITI, KOMPLEKSITI dan KESTABILAN FUNGSI EKOSISTEM JENIS-JENIS EKOSISTEM DEFINISI BIODIVERSITI, KOMPLEKSITI dan KESTABILAN EKOSISTEM FUNGSI JENIS-JENIS EKOSISTEM Definisi dan Pengertian Ekosistem Ekosistem adalah hasil dari kesatuan unsurunsur hidup dan bukan hidup (biotik

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan usaha dibidang sumber daya perairan. Menurut Sarnita dkk. (1998), luas perairan umum

Lebih terperinci

berperan dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar (Arbian, 2006 :1). Di dalam kegiatan praktikum sarana dan prasarana penunjang menjadi

berperan dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar (Arbian, 2006 :1). Di dalam kegiatan praktikum sarana dan prasarana penunjang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biologi merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam yang mempelajari seluk beluk makhluk hidup (Rifai, 2004:60). Dalam pembelajaran biologi perlu diterapkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1

PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1 1 PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1 Oleh : Drs. Suyitno Al, MS 2 PENDAHULUAN Biologi berkembang dari hasil kerja para peneliti biologi, menggali pengetahuan dari objek-objek biologi. Sebagai Objeknya

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan 6 2.1 Kawasan Timur Danau Limboto BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kawasan danau mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan manfaat,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed

BAB I PENDAHULUAN. siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales), biasa disebut gulma siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed merupakan gulma padang rumput

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA. Michael Angello Winarko

PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA. Michael Angello Winarko 1 PEMANFAATAN TULANG SEBAGAI ARTEFAK DARI SITUS GUA KIDANG BLORA JAWA TENGAH KOLEKSI BALAR YOGYAKARTA Michael Angello Winarko Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

Daftar Isi. Halaman Sampul... Daftar Isi... A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan D. Manfaat Bab II Dasar Teori...

Daftar Isi. Halaman Sampul... Daftar Isi... A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan D. Manfaat Bab II Dasar Teori... Daftar Isi Halaman Sampul... Daftar Isi... i ii Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan... 2 D. Manfaat... 2 Bab II Dasar Teori... 3 Bab III Metode dan Pelaksanaan Praktikum

Lebih terperinci

EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM

EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM 3 EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM BI2001 Pengetahuan Lingkungan Sumber utama materi dan ilustrasi: Miller, G.T. & S.E. Spoolman. 2012. Living in the Environment. Seventeenth edition. Brooks/Cole, Belmont,

Lebih terperinci

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan.

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Vegetasi Alami vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Aspek Praktis Kajian Vegetasi Studi vegetasi merupakan ilmu pengetahuan, yang sering

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP Hubungan Antarmakhluk Hidup Kita sering melihat kupu-kupu hinggap pada bunga atau kambing berkeliaran di padang rumput. Di sawah, kita juga sering melihat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Pembentukan gametofit jantan (Sumber Fahn, 1991)

Gambar 2.1 Pembentukan gametofit jantan (Sumber Fahn, 1991) II. TELAAH PUSTAKA Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Tropis di dunia, walaupun luas daratannya hanya 1.32% dari luas daratan di permukaan bumi, namun demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAGIAN PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan Perancangan

BAGIAN PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan Perancangan Latar Belakang Persoalan Perancangan Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke yang memiliki berbagai keanekaragaman di dalamnya, mulai dari suku, budaya, bahasa,

Lebih terperinci

BAB III ZAMAN PRASEJARAH

BAB III ZAMAN PRASEJARAH 79 BAB III ZAMAN PRASEJARAH Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari: A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mikropaleontologi merupakan cabang ilmu paleontologi yang mempelajari fosil yang berukuran mikro sehingga memerlukan alat bantu mikroskrop dalam mempelajarinya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Patahan Lembang merupakan salah satu patahan di Jawa Barat. Status keaktifan patahan yang terletak di utara Bandung ini sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan rawa) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya

BAB I PENDAHULUAN. dan rawa) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas dua yaitu perairan lentik yang disebut juga perairan tenang (misalnya waduk, danau, telaga dan rawa) dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

Evaluasi (untuk guru) Pilihan Ganda

Evaluasi (untuk guru) Pilihan Ganda Evaluasi (untuk guru) Pilihan Ganda 1. Kelompok makhluk hidup dengan spesies yang sama, yang hidup di suatu wilayah yang sama dalam kurun waktu yang sama disebut. a. organisme b. populasi c. komunitas

Lebih terperinci

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi. MINGGU 3 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 1 Sub Pokok Bahasan : a. Pengertian ekosistem b. Karakteristik ekosistem c. Klasifikasi ekosistem Pengertian Ekosistem Istilah ekosistem merupakan kependekan dari

Lebih terperinci

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Indentitas Flora dan Fauna Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Pada awal abad ke 20, Pulau Jawa menjadi pusat penelitian mengenai manusia prasejarah. Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Jawa memiliki bukti dan sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR Riza Rahman Hakim, S.Pi Ciri-ciri daerah perairan yang subur 1. Daerah konvergensi - Daerah perairan tempat pertemuan dua masa air berupa pertemuan dua arus yang kuat. - Perbedaan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Achwan, Jenny Herawati Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi

DAFTAR PUSTAKA. Achwan, Jenny Herawati Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi 118 DAFTAR PUSTAKA Achwan, Jenny Herawati. 1985. Alat Tulang, Tanduk, dan Kulit Kerang: Analogi Fungsi, Teknik, Bahan. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Adi, Ari Mukti Wardoyo. 2011. Distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas km 2

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas km 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas 7.679 km 2 yang berjarak ± 256 km dari ibukota provinsi Jambi. Merangin secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Utara Danau Limboto Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana luasnya tetapi lebih besar dari situs. Kawasan adalah istilah yang digunakan

Lebih terperinci