BAHAN DAN METODE. Alat dan Bahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN DAN METODE. Alat dan Bahan"

Transkripsi

1 6 Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri atas tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus kolektivus medularis. Tubulus konvulasi distal bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter. Urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal mempunyai aliran darah yang tinggi mengkonsentrasi bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik melalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh karena itu, ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu 995). Perubahanperubahan pada ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, tubuli, interstitium dan pembuluh darah (Ressang 984). Akibat terjadinya absorbsi dan sekresi aktif tubulus proksimal, kadar bahan toksik pada tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P45 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan bahan toksik (Lu 995). Perubahanperubahan di ginjal dapat terlihat secara mikroskopik adalah degenerasi epitel sederhana hingga nekrosa. Infiltrasi sedikitsedikit selsel radang di dalam glomerulus atau interstitium dapat mempersulit diagnosis. Urea dalam darah (ureum) merupakan hasil metabolisme protein dengan deaminasi asam amino dan dikeluarkan melalui ginjal. Tahap pembentukannya adalah sebagai berikut: CO NH Ornitin Sitrulin H O H O Arginin urea Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal. Sering kali pada beberapa jenis penyakit ginjal ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah dan silinder, yaitu potonganpotongan protein yang mengendap di tubulus dan didorong oleh urin ke vesika urinaria. Akibat penyakit ginjal yang lainnya ialah hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran urin, uremia (urea dalam darah), asidosis (penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan asamasam pencernaan dan metabolisme) dan retensi Na (Ganong ). Pemeriksaan ureum dengan menggunakan beberapa metode telah berkembang pesat. Sejak menggunakan enzim urease sampai dengan beberapa prosedur seperti urograf dan bunograf yang menggunakan metode kromatografi yang sangat peka terhadap suhu. Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap, termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi laju filtrasi glomerulus (LFG) yang akurat. Analisis enzim yang digunakan untuk mengukur kadar nitrogen dalam darah dengan menggunakan enzim urease atau jumlah kreatinin dalam darah dengan pereaksi asam pikrat maupun enzim kreatinin aminohidrolase (Kaplan ). Pengukuran urea sebagai salah satu indikator kelainan ginjal dengan metode enzimatis yaitu dibentuk oleh urease dari urea. Indikator Glutamat Dehidrogenase (GLDH) untuk oksidasi NADH ke NAD digunakan untuk membuat amonia. Karbondioksida dan amonia dihasilkan dari reaksi urea (Kaplan & Pesce 989): Urease Urea H O NH CO GLDH αketoglutaratnh 4 NADH Lglutamat NAD H O BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alatalat yang digunakan ialah alat bedah, kaset tisu, gelasgelas pada mesin Auto Technicon, alat pencetak parafin, mikrotom,

2 7 gelas pemanas, mortar, blender, penyaring, tabung reaksi, gelas ukur, autopipet, tip, pipet Mohr, pipet tetes, sonde, gelas pengaduk, dan gelas piala, vial, spektrofotometer, inkubator dan sentrifus klinis. Hewan percobaan yang digunakan adalah 5 ekor tikus SpragueDawley yang sehat berumur bulan. yang diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB. Bahanbahan yang digunakan ialah angkak dari beras, pereaksi ALT, pereaksi AST, pereaksi urea, BNF %, alkohol 7%, alkohol 8%, alkohol 9%, alkohol 95%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, parafin, xilol I, xilol II, larutan albumin:gliserin (:), pewarna Mayer s Hematoxylin, Litium Karbonat, pewarna Eosin, permount dan akuades. Gambar Tikus SpragueDawley. Metode Penelitian Rancangan Percobaan Tikus dipelihara pada kandang berukuran cmxcmxcm. 5 ekor tikus sebagai hewan percobaan diadaptasikan selama bulan. Selama adaptasi, tikus diberi makan, minum, dan ditimbang bobot badannya. Sebelum perlakuan (H), dianalisis kadar enzim ALT dan AST serta kadar urea darah. Selanjutnya, tikus tersebut dikelompokkan menjadi lima kelompok, masingmasing terdiri atas 5 ekor tikus. Kelompok satu digunakan sebagai kontrol, hanya diberikan akuades tanpa pemberian angkak, kelompok dua diberikan angkak dengan dosis tunggal yaitu.5 gram/kg BB ( kali dosis komersial), kelompok tiga diberikan angkak dengan dosis 5 gram/kg BB, kelompok empat diberikan angkak dengan dosis gram/kg BB, dan kelompok lima diberikan angkak dengan dosis 5 gram/kg BB. Pemberian angkak dilakukan secara per oral atau cekok. Semua hewan pada tiap kelompok diamati, dianalisis kadar enzim ALT, AST, kadar urea darah serta dilihat tingkat kematiannya pada 4 jam pertama (H), dilanjutkan sampai 5 hari (H5). Selama 5 hari, semua kelompok diamati gejala klinisnya seperti nafsu makan, bobot badan, keadaan mata, feses, bulu dan tingkah laku. Setelah (H5), hewan dinekropsi untuk mendapatkan gambaran histopatologis atau melihat efek racun pada organorgan vitalnya terutama hati dan ginjal. Analisa histopatologis dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Pengukuran Kelainan Hati (Metode Bergmeyer 986) Analisis enzim dapat digunakan untuk menilai fungsi suatu organ. Kelainan yang terjadi di dalam hati menyebabkan penyimpangan konsentrasi enzim tertentu dalam darah. Transaminase merupakan kelompok enzim yang sering digunakan dalam penentuan fungsi hati yang biasa dikenal sebagai aminotransferase misalnya Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino transferase (AST). Menurut Girindra (984) manusia yang menderita kanker hati, keadaan kedua enzim dalam darah meningkat. Kadar kedua enzim dalam serum yang meningkat, sehingga pengukuran aktivitas enzim tersebut dapat digunakan untuk menentukan fungsi hati Serum darah diambil sebanyak. ml dan dicampur dengan ml pereaksi AST, setelah menit pada suhu C, dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 4 nm dan dilanjutkan kembali pembacaannya pada menit ke, dan dan 4. Pereaksi AST terdiri atas buffer Tris HCl, Laspartat, α oksoglutarat, Malat dehidrogenase, Laktat dehidrogenase, dan NADH. Pengukuran kadar ALT cara pengukurannya sama. Pereaksinya terdiri atas buffer Tris HCl, LAlanin, αoksoglutarat, Laktat dehidrogenase, dan NADH. Penghitungan aktivitas AST dan ALT dilakukan dengan rumus: 746 x A Hg nm/menit Pengukuran Kelainan Ginjal (Kaplan&Pesce 989) Analisis pengukuran urea darah adalah jumlah nitrogen yang dilepaskan sebagai konsentrasi urea dalam darah yang disebut Blood Urea Nitrogen (BUN). Pengukuran BUN menunjukkan jumlah urea yang terhidrolisis oleh enzim urease membentuk

3 8 amonia, yang dapat diukur dengan analisis spektrofotometri. Sampel berupa serum darah diambil sebanyak µl dan dicampur dengan µl pereaksi urea, setelah detik pada suhu 7 C, dibaca absorbansinya pada 4 nm dan dilanjutkan kembali pembacaannya setelah,, dan 4 menit. Standar diukur pada keadaan yang sama, hanya mengganti serum dengan standar. Pereaksi urea adalah buffer fosfat, urease, natrium salisilat, natrium nitroprusida, EDTA, sodium hipoklorit, sodium hidroksida. Perhitungan konsentrasi urea diperoleh dengan cara: ΔAsampel [urea](mg/dl) = x [standar] ΔAstandar Pembuatan Preparat Histopatologis (Humason 97; Kiernan 99) Organ yang akan dibuat dipotong tipis kemudian direndam di dalam larutan Buffer Neutral Formaline (BNF) % selama 648 jam. Setelah itu, jaringan diiris dengan ketebalan ± mm dan dimasukkan ke dalam kaset tisu untuk didehidrasi. Dehidrasi. Sediaan dimasukkan ke dalam gelasgelas Mesin Autotehnicon berturutturut yang berisi alkohol 7% selama 6 jam, alkohol 8%, 9%, dan alkohol 95% selama jam. Setelah itu, sediaan direndam dalam alkohol absolut I tiga kali masingmasing selama jam. Kemudian, dimasukkan ke dalam alkohol absolut II selama jam. Clearing. Sediaan yang sudah mengalami dehidrasi direndam dalam larutan alkohol 7% kemudian dengan larutan xilol I dan xilol II masingmasing selama 45 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam parafin pada gelas pemanas dengan suhu 6 C dua kali masingmasing 45 menit. Embedding (Pencetakan). Setelah proses clearing, sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin cair setengah dari volume, setelah mulai membeku parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai dingin dan mengeras. Sectioning (Pengirisan). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 mikron. Hasil irisan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air yang telah dihangatkan lebih dahulu dengan suhu sekitar 445 C. Tujuannya untuk merentangkan jaringan yang keriput pada saat pengirisan. Setelah itu dilakukan pemilihan irisan preparat yang bagus. Mounting. Sediaan tersebut diangkat dari permukaan air dengan cara menempelkannya ke atas kaca obyek yang telah diolesi albumin dan gliserin (:). Preparat dimasukkan ke dalam inkubator dengan temperatur 6 C semalam. Staining (Pewarnaan). Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses deparafinasi (penghilangan parafin) dan proses rehidrasi (penambahan air) agar zat warna dapat menyerap dengan sempurna. Deparafinasi dilakukan dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam xilol I dan xilol II masingmasing menit. Setiap kali dilakukan pemindahan, daerah sekitar preparat diusap dengan kertas tisu tanpa menyentuh jaringan. Rehidrasi dilakukan dengan cara memasukkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat masingmasing menit. Setelah proses rehidrasi, sediaan disimpan dalam air mengalir selama menit lalu dimasukkan ke dalam pewarna Hematoxylin Mayers selama 8 menit dan Litium Karbonat selama 5 detik dan kemudian dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam pewarna Eosin selama menit lalu dibilas kembali dengan air mengalir. Setelah pewarnaan selesai, dilakukan dehidrasi sediaan ke dalam alkohol bertingkat kembali sebanyak celupan xilol I dan xilol II, dikeringkan, ditetesi permount dan ditutup dengan gelas penutup. Pengamatan mikroskopis yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Penilaian dengan metode skoring berdasarkan tingkat keparahan pada setiap luasan wilayah pengamatan. Skoring histopatologis organ hati dan ginjal ditunjukkan pada Tabel dan 4. Semakin besar persentase skoring, maka tingkat kerusakannya semakin besar. Tabel Metode skoring histopatologis hati Kelainan Skoring Nilai Kriteria Kongesti Degenerasi Lemak 5% >5%5% >5% 5% >5%5% >5% 5% >5%5% >5%

4 9 Tabel 4 Metode skoring histopatologis ginjal Kelainan Skoring Nilai Kriteria Akumulasi Protein Analisis Data 5% >5%5% >5% 5% >5%5% >5% Rancangan yang digunakan pada penelitian adalah dua faktor dalam rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang akan diuji cobakan dibedakan menjadi lima macam perlakuan dengan lima kali ulangan setiap perlakuan. Model rancangan percobaannya ialah sebagai berikut: (Matjik A.A dan Sumertajaya M ) Yij = µ λij εij Keterangan : i =,,,4 5 i =, kontrol, pemberian angkak dengan dosis.5 g/bb, pemberian angkak dengan dosis 5 g/bb 4, pemberian angkak dengan dosis g/bb 5, pemberian angkak dengan dosis 5 g/bb Yij = pengaruh perlakuan kei dan ulangan kej µ = pengaruh ratarata umum λij = pengaruh perlakuan ke i, i =,,,...5 εij = pengaruh acak perlakuan i, i =,,,...5 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Hewan Coba Gambar menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya perubahan yang berarti pada pola grafik bobot badan tikus kelompok yang diberi perlakuan dengan kelompok kontrol. Demikian juga apabila dibandingkan dengan masa adaptasi (P>.5). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian angkak tidak mempengaruhi bobot badan hewan coba. Selain pengamatan bobot badan, gejala klinis yang diamati meliputi nafsu makan, tingkah laku, keadaan mata dan keadaan bulu. Gejala klinis hewan coba menunjukkan bahwa nafsu makan semua hewan coba baik kelompok perlakuan maupun kontrol tidak menunjukkan perubahan (Tabel 5). Pengamatan terhadap keadaan mata, tingkah laku, dan keadaan bulu tidak menunjukkan adanya perubahan selama perlakuan dan adaptasi. Saat perlakuan, pada kelompok perlakuan fesesnya berwarna kemerahmerahan. Feses yang berwarna merah tersebut diamati dengan mikroskop yang menunjukkan bahwa warna merah yang tampak berasal dari sisa pencernaan angkak setelah diserap di usus, dan dosis yang diberikan cukup besar menyebabkan serat kasar angkak mewarnai feses. Selama perlakuan, tidak ditemukan hewan coba yang mati. Kelompok kontrol,.5 g/kg BB, 5g/kg BB, g/kg BB, dan 5 g/kg BB angkak tidak menunjukkan adanya hewan coba yang mati selama 4 jam pertama hingga 5 hari setelah percobaan hari ke bobot badan (gram) kontrol.5 g/kg BB 5 g/kg BB g/kg BB 5 g/kg BB Gambar Bobot badan tikus SpragueDawley selama adaptasi dan perlakuan dengan berbagai dosis. Tabel 5 Gejala klinis hewan coba selama perlakuan Kelompo k nafsu maka n keadaa n mata keadaa n bulu feses Kontrol hita m.5g/kgb B mera h 5 g/kg BB mera h g/kgb mera B 5g/kgB B keterangan () : tidak ada kelainan h mera h

5 Gambar 4 Feses tikus yang diamati dengan mikroskop. Pengaruh Angkak Terhadap Aktivitas Enzim AST dan ALT Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan aktivitas enzim ALT sebesar.87±.68 U/L dan AST sebesar 6.±.99 U/L. Menurut Girindra (984), kisaran normal aktivitas enzim AST tikus sebesar U/L sedangkan aktivitas ALT sebesar 7.. U/L. Jadi, aktivitas enzim ALT dan AST tikus sebelum perlakuan masih dalam keadaan normal. Kelompok kontrol tidak digunakan untuk menganalisis karena serumnya mengalami hemolisis. Gambar 5 menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H dan H5 terhadap H (P>.5). Aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan pada H5 naik tidak signifikan terhadap H. Perbandingan aktivitas enzim AST ditunjukkan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada H dan H5 pada dosis.5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan g/kg BB berbeda secara signifikan dengan dosis 5 g/kg BB (P>.5). Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H (P>.5). Aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan pada H5 naik tidak signifikan terhadap H. Perbandingan aktivitas enzim ALT ditunjukkan pada Tabel 8, yang menunjukkan bahwa pada H ada perbedaan yang signifikan pada semua dosis (P>.5). Sedangkan pada H5, kelompok.5 g/kg BB, g/kg BB, dan 5 g/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan dosis 5 g/kg BB (P>.5). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan selsel hati. Peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT pada semua kelompok perlakuan angkak disebabkan karena pemberian angkak dengan dosis besar akan mengakibatkan hepatolisis sehingga enzim akan keluar, dan jumlah dalam serum meningkat. Hal itu didukung dengan adanya sel hepatosit yang mengalami nekrosa pada analisa histopatologis. Hal itu sesuai dengan Girindra (984) yang menyatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT di dalam darah disebabkan adanya perubahan fisiologis hati, sehingga konsentrasi enzim tersebut di dalam darah meningkat. Turun atau naiknya konsentrasi enzim dalam darah dapat diakibatkan oleh kerusakan enzimenzim parenkim hati atau gangguan permeabilitas membran sel hati sehingga enzim bebas ke luar sel. Hal ini menyebabkan enzim yang masuk ke dalam pembuluh darah melebihi normal sehingga kadarnya dalam darah meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar enzim dalam darah, serta sintesisnya dalam hati menurun karena adanya kerusakan hepatoseluler sehingga aktivitasnya dalam darah menurun. Tabel 6 Ratarata aktivitas enzimatik pada tikus SpragueDawley sebelum perlakuan AST (U/L) ALT(U/L) Parameter N = 5 N = 5 Rataan 6.±.99.87±.68 Tabel 7 Pengaruh pemberian angkak terhadap rataan aktivitas enzim AST Kelompok H (U/L) H5 (U/L) N=5.5g/kgB B 5g/kg BB g/kgbb 59.5±7.6 a 5.66±.9 a 7.548±4.44 a b 5.87±5.8 a ±4.69 a b 64.84±46.5 a b 5g/kgBB.6±.99 c 96.4±45. b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>.5) Tabel 8 Pengaruh pemberian angkak terhadap rataan aktivitas enzim ALT Kelompok N=5 H (U/L) H5 (U/L).5 g/ kgbb 66.46±7.6 a ±8.5 b 5 g/ kg BB 89.8±9.7 b ±4.49 a g/ kg BB 75.8±6. ab 6.48±.7 ab 5 g/ kg BB 4.6±5. c 67.86±9.4 b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>.5)

6 5 5 5 hari ke g/kg BB 5 g/kg BB g/kg BB 5 g/kg BB Gambar 5 Perbandingan aktivitas AST perlakuan pemberian angkak pada H, H, dan H5. menunjukkan nilai yang berbeda secara signifikan dengan dosis g/kg BB dan 5 g/kg BB (P>.5). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan selsel ginjal. Kadar urea darah yang meningkat kemungkinan disebabkan karena kerusakan pada selsel ginjal. Hal itu didukung pada analisa histopatologis bahwa di dalam lumen tubulus terdapat akumulasi protein dan nekrosa di sel tubulinya. Menurut Ganong (), kenaikan kadar urea darah tinggi menunjukkan bahwa jumlah protein di dalam tubuh tinggi serta tidak adanya faktor penghambat pembentukan urea dalam darah. A k tiv itas en zim A L T ( U/L) g/kg BB 5 g/kg BB g/kg BB 5 g/kg BB Gambar 6 Perbandingan aktivitas ALT perlakuan pemberian angkak pada H, H, dan H5. Pengaruh Angkak Terhadap Kadar Urea Darah Tabel 9 menunjukkan bahwa kadar urea darah tikus sebesar 9.69±.4 mg/dl. Menurut Malole dan Pramono (989) kadar urea darah tikus normal berkisar antara 5.. mg/dl. Jadi, kadar urea darah tikus percobaan sebelum perlakuan masih dalam kisaran normal. Perbandingan kadar urea darah pada (H), (H), dan (H5) terdapat pada Gambar 7, yang menunjukkan bahwa kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H (P>.5). Kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan pada H5 naik tidak signifikan terhadap H. Tabel 9 menunjukkan bahwa perbandingan kadar urea dalam darah pada H dosis 5 g/kg BB dan 5 g/kg BB berbeda secara signifikan dengan.5 g/kg BB dan g/kg BB. Pada H5 antara dosis.5 g/kg BB dan 5 g/kg BB Tabel 9 Ratarata kadar urea darah pada tikus SpragueDawley sebelum perlakuan Kadar urea darah (mg/dl) Ratarata 9.69±.4 Tabel Pengaruh pemberian angkak terhadap kadar urea darah Kelompok N=5 H (mg/dl) H5 (mg/dl).5 g/ kg BB 4.5±.7 a ±.9 a 5 g/ kg BB.964±8.7 b.64±.57 ab g/ kg BB 8.87±7.9 c 4.77±.55 cd 5 g/ kg BB.795±6.54 b 48.±.5 d Kadar Urea darah (mg/dl) Hari ke g/kg BB 5 g/kg BB g/kg BB 5 g/kg BB Gambar 7 Perbandingan kadar urea darah perlakuan pemberian angkak pada H, H, dan H5. Gambaran Histopatologis Hati dan Ginjal Pengamatan terhadap organ hati dan ginjal tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis (dengan mata secara langsung) maupun secara mikroskopis (histopatologis). Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopis organ hati dan ginjal tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan kelainan

7 yang spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Lesio secara mikroskopis yang ditemukan di hati yaitu perubahan pada sel hepatosit dan interstitium. Hasil pengamatan histopatologis jaringan hati ditunjukkan pada Gambar 8, 9,, dan. Pada kelompok kontrol, interstitiumnya banyak ditemukan adanya kongesti, sedangkan pada sel hepatosit banyak ditemukan degenerasi lemak dan nekrosa. Begitu pula pada kelompok perlakuan terjadi lesio yang serupa. Gambar 8 juga menunjukkan adanya kongesti. Kongesti adalah pembendungan secara berlebihan oleh darah di pembuluh darah suatu jaringan tertentu. Pada umumnya, kongesti hati terjadi di vena sentralis dan sinusoidsinusoid di sekelilingnya Hal ini menyebabkan sinusoid mengalami dilatasi. Perubahan tersebut merupakan respon umum pembuluh darah akibat penggunaan bahan anestesi kloroform ataupun eter sebelum nekropsi karena eter dan kloroform merupakan anestesik kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah (Ganiswara 995). Oleh karena itu, kongesti tidak digunakan sebagai kategori kerusakan hati akibat perlakuan pada evaluasi histopatologis. Gambar 9 menunjukkan adanya degenerasi lemak. Degenerasi merupakan gangguan metabolisme pada sel, sehingga kehilangan struktur dan fungsi normalnya. Degenerasi terjadi pada sel yang hidup dan bersifat reversibel. Sel yang mengalami degenerasi ditandai dengan adanya pengumpulan produk metabolisme seperti molekul lemak, protein dan glikogen dalam jumlah yang abnormal. Degenerasi menunjukkan adanya gangguan biokimiawi sel yang disebabkan karena metabolisme abnormal dan zat kimia yang toksik (Spector 99). Degenerasi lemak secara mikroskopis terlihat dropletdroplet lemak pada lobulus hati terutama daerah perilobuler (Benirschke 978; Lawrence 99). Faktorfaktor penyebab degenerasi misalnya bahan toksik, kekurangan oksigen, atau pakan banyak mengandung lemak. Gambar menunjukkan adanya nekrosa. adalah kematian sel yang umum setelah sel terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta hancurnya sel (Sudiono et al. ). Jaringan hati yang mengalami nekrosa dapat sembuh dengan regenerasi selsel hati yang masih hidup jika penyebab nekrosa dihilangkan (Ressang 984). Secara mikroskopis, nekrosa bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram dan gelap (pignosis) serta adanya inti hepatosit yang mengalami karioreksis. Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel dan terjadi peningkatan warna basofilik yang solid dan mengecil. Dalam waktu satu sampai dua hari nukleus akan menghilang total (Sudiono ). Gambar menunjukkan pada kelompok kontrol masih terlihat hepatosit yang masih baik yaitu masih berbentuk lobus yang jelas dengan vena sentralis di tengah. Sitoplasma berwarna merah muda karena mengikat zat warna Eosin dan inti sel berwarna ungu kebiruan karena mengikat zat warna Hematoksilin. Lesio yang terjadi pada organ hati kemudian dianalisis melalui skoring sehingga diberi nilai sesuai tingkat keparahan. Nilai skoring histopatologis hati ditunjukkan pada Tabel. Tabel menunjukkan hasil pengamatan terhadap kongesti, nekrosa dan degenerasi lemak pada organ hati. Setelah didapatkan nilai skoring histopatologis hati, kemudian nilai tersebut diuji dengan analisis KruskalWallis. Hasil uji histopatologis organ hati yang dianalisis dengan uji KruskalWallis ditunjukkan pada Tabel. Tabel menunjukkan bahwa lesio pada organ hati yaitu kongesti dan degenerasi lemak antara kontrol dan perlakuan tidak berbeda secara signifikan (P>.5) Sedangkan nekrosa yang terjadi semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol. Kerusakan pada hati disebabkan karena hati berfungsi sebagai penyaring darah terutama dari saluran pencernaan melalui vena porta. Darah yang berasal dari vena porta tidak hanya mengandung bahan makanan tetapi kadangkadang senyawa toksik (Frenkel 985). bar Gambar 8 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami kongesti pada kelompok kontrol pewarnaan HE bar µm.

8 bar Gambar 9 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami degenerasi lemak pada kelompok dosis angkak 5 g/kg BB pewarnaan HE bar µm. bar Gambar Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang mengalami nekrosa dengan dosis angkak 5g/kgBB pewarnaan HEbar5 µm. bar Gambar Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang normal pada kontrol pewarnaan HE, bar 5 µm. Tabel Nilai skoring histopatologis hati Perlakuan Pengamatan (g/ kg Akumulasi Kongesti BB) Lemak Kontrol Tabel Hasil Uji KruskalWallis histopatologis hati Pengamatan Perlakuan (g/ kg Degenerasi Kongesti BB) Lemak Kontrol 5.5 a.5 a.5 a a 6.5 a 5.5 bc a 7.5 a 4.5 ab 4. a 7.5 a 8.5 c 5 5. a 5. a 6.75 bc Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>.5). Pengamatan organ ginjal dilakukan terhadap lesio pada selsel tubulus. Perubahan yang terjadi pada kontrol yaitu pada kapiler antar tubulus terjadi kongesti, sel tubulusnya mengalami nekrosa (inti sel terlihat berwarna gelap dan suram). Selain itu, lumen tubulusnya mengalami akumulasi protein. Akumulasi protein dan nekrosa juga terjadi pada kelompok perlakuan. Perubahan yang terjadi pada ginjal dapat dilihat pada Gambar, dan 4. Gambar menunjukkan adanya nekrosa. Selsel tubulus mengalami nekrosa intinya terlihat suram dan mengalami karioreksis. pada selsel epitel tubulus terjadi pada semua perlakuan. dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, agen kimia, agen biologis, agen fisik, suhu yang ekstrim dan kerentaan (Rumawas 989; Soleh 996). Gambar juga terdapat adanya akumulasi protein di lumen tubulus. Keberadaan protein di dalam lumen tubulus dipengaruhi berbagai faktor diantaranya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga protein yang berukuran besar dapat lolos. Bila epitel tubulus mengalami degenerasi dan nekrosa maka protein yang lolos tidak mampu untuk diserap kembali secara maksimal yang akhirnya tertimbun di dalam lumen (Carlton & Mc Gavin 995). Akumulasi protein yang berlebihan di lumen tubulus dapat menyebabkan proteinuria. Permeabilitas glomerulus meningkat sehingga protein ditemukan di dalam urin dalam jumlah besar (Ganong ). Gambar 4 menunjukkan sel tubulus yang normal. Selselnya masih teratur dan lumen kosong. Setelah dilakukan pengamatan terhadap lesio yang terjadi pada organ ginjal kemudian diberi skor dan diberi nilai sesuai tingkat

9 4 keparahan. Nilai skoring histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel. Tabel menunjukkan hasil pengamatan terhadap kelainan pada ginjal yaitu nekrosa dan akumulasi protein. Setelah mendapatkan nilai lesio histopatologis organ ginjal kemudian nilai tersebut diuji dengan uji KruskalWallis. Hasil uji KruskalWallis histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa akumulasi protein dan nekrosa yang terjadi, berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan (P>.5). yang terjadi signifikan dengan naiknya dosis. Semakin tinggi dosis yang diberikan mengakibatkan nekrosa yang terjadi juga semakin besar. Epitel ginjal merupakan bagian yang sensitif terhadap bahanbahan yang bersifat toksik. Bahanbahan toksik yang biasanya masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut dapat menimbulkan perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi lemak dan nekrosa. Tingkat perubahan organ tergantung sifat zat toksik (Smith 974; Thomas 979). Menurut Lu (995), tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan akibat zat toksik. Hal itu dapat disebabkan karena karena pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi berbagai zat. Bila terjadi absorbsi bahan toksik pada epitel tubuli akan mengganggu metabolisme dan absorbsi. Selain itu, kadar sitokrom P45 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan zat toksik. Jika degenerasi dan nekrosa belum begitu parah, regenerasi sel epitel mungkin terjadi setelah penyebabnya dihilangkan (Smith 974). Tabel Nilai skoring histopatologis ginjal Pengamatan Perlakuan Akumulasi (g/ kg BB) Protein Kontrol Tabel 4 Hasil Uji KruskalWallis histopatologis ginjal Pengamatan Perlakuan Akumulasi (g/ kg BB) Protein Kontrol.5 a.5 a.5.5 b.5 b d 5.5 c 5.5 c 7.5 d e 9.5 e Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>.5). Gambar Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami nekrosa pada sel tubulus dengan dosis 5 g/kg BB pewarnaan HE bar 5 µm. Gambar Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami akumulasi protein dengan dosis 5 g/kg BB pewarnaan HE bar µm. Gambar 4 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang normal pewarnaan HE bar 5 µm. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan bar bar bar

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Hasilnya diberi permount mounting medium dan ditutup dengan kaca penutup (Hastuti 2008). Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

TOKSISITAS AKUT ANGKAK (RED YEAST RICE) PADA TIKUS PUTIH GALUR SPRAGUE-DAWLEY KHIRANI AFRISHA PRATIWI

TOKSISITAS AKUT ANGKAK (RED YEAST RICE) PADA TIKUS PUTIH GALUR SPRAGUE-DAWLEY KHIRANI AFRISHA PRATIWI TOKSISITAS AKUT ANGKAK (RED YEAST RICE) PADA TIKUS PUTIH GALUR SPRAGUE-DAWLEY KHIRANI AFRISHA PRATIWI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air, dan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 1. Perhatikan gambar nefron di bawah ini! SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 Urin sesungguhnya dihasilkan di bagian nomor... A. B. C. D. 1 2 3 4 E. Kunci Jawaban : D

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Pengujian nilai LD 50 Dari pengujian yang dilakukan menggunakan dosis yang bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada hewan coba dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Evaluasi dataperforman Ayam Dari hasil penelitian didapatkan rataan bobot badan ayam pada masing-masing kelompok perlakuan, data tersebut dapat dilihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi. Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi. Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari sampai April 2008. B. ALAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA

GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA TIM PENELITI : 1. NI WAYAN SUDATRI, S.Si., M.Si, 2. IRIANI SEYAWATI, S.Si.,M.Si. 3.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil. Jumlah Penurunan Glomerulus Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus musculus L.) setelah diberi perlakuan pajanan medan listrik tegangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan 1 faktor, yaitu perlakuan limbah cair nata de coco yang terdiri atas 5 variasi kadar dan 1 kontrol

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Kadar Enzim SGPT dan SGOT Pada Mencit Betina Setelah Pemberian Ekstrak Rimpang Rumput Teki Tabel 1. Kadar Enzim SGPT pada mencit betina setelah pemberian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter Ginjal adalah organ pengeluaran (ekskresi) utama pada manusia yang berfungsi untik mengekskresikan urine. Ginjal berbentuk seperti kacang merah, terletak di daerah pinggang, di sebelah kiri dan kanan tulang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan 22 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas Lampung untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Subjek penelitian ini adalah anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7

Lebih terperinci

Mahasiswa dapat menjelaskan alat ekskresi dan prosesnya dari hasil percobaan

Mahasiswa dapat menjelaskan alat ekskresi dan prosesnya dari hasil percobaan Indikator Pencapaian: MATERI IX SISTEM EKSKRESI Mahasiswa dapat menjelaskan alat ekskresi dan prosesnya dari hasil percobaan Materi Mahluk hidup dalam hidupnya melakukan metabolisme. Metabolisme ini selain

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley.

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 3.2. Tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap SOD, dan histologi hepar Tikus ( Rattus norvegicus) yang diinduksi oleh aloksan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi hati dilaksanakan di Balai Penyidikan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan analisis plasma di Laboratorium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga Unit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) terhadap

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan hewan coba, sebagai bagian dari penelitian eksperimental lain yang lebih besar. Pada penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode post test group only design. Menggunakan tikus putih jantan galur Sprague dawley berumur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava) terhadap kadar gula darah dan kadar transminase pada tikus (Rattus norvegicus)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. BAHAN DAN METODE Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. Pengujian Lactobacillus plantarum (BAL1) dan Lactobacillus fermentum (BAL2) pada tikus dengan perlakuan:

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel.

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. LAMPIRAN 30 31 Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. Berat keseluruhan daging buah kepel yang masih basah:440 g, dan setelah dikeringkan diperoleh 60 g serbuk simplisia kering. Jadi rendemen

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

Sistem Ekskresi. Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013

Sistem Ekskresi. Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013 Sistem Ekskresi Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013 Pengertian & Fungsi Proses Ekskresi Penegrtian : Proses pengeluaran zat-zat sisa hasil

Lebih terperinci

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS)

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) Defriana, Aditya Fridayanti, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA A. GINJAL SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA Sebagian besar produk sisa metabolisme sel berasal dari perombakan protein, misalnya amonia dan urea. Kedua senyawa tersebut beracun bagi tubuh dan harus dikeluarkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Urea adalah senyawa kimia yang dapat terbentuk secara biologis dalam tubuh makhluk hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuhan (Khairi, 2003). Dalam tubuh manusia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan fitokimia merupakan suatu metode kimia untuk mengetahui kandungan kimia suatu simplisia, ekstrak ataupun fraksi senyawa metabolit suatu tanaman herbal. Hasil penapisan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan

BAB III METODE PENELITIAN. kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pakan Sapi Perah Faktor utama dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu ketersediaan pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi (Firman,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo pada

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo pada BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji dengan post-test only control group design (Septiawati et al., 2013). B. Subyek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain rancangan acak lengkap (RAL). B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) Nama : Mesrida Simarmata (147008011) Islah Wahyuni (14700824) Tanggal Praktikum : 17 Maret 2015 Tujuan Praktikum

Lebih terperinci

Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si LOGO

Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si LOGO Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si darma_erick77@yahoo.com LOGO Proses Pengeluaran Berdasarkan zat yang dibuang, proses pengeluaran pada manusia dibedakan menjadi: Defekasi: pengeluaran zat sisa hasil ( feses

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Pelaksanaan penelitian ini bertempat di Laboratorium UIN Agriculture

MATERI DAN METODE. Pelaksanaan penelitian ini bertempat di Laboratorium UIN Agriculture III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan penelitian ini bertempat di Laboratorium UIN Agriculture Research and Development Station (UARDS) Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR Disusun Oleh: Nama : Juwita NIM : 127008003 Tanggal Praktikum: 22 September 2012 Tujuan praktikum: 1. Agar praktikan memahami dan mampu melaksanakan Tissue Processing.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon 58 Lampiran 1 Analisis probit uji LC5096 jam minyak sereh LC 50 96jam Konsentrasi Jumlah Terekspos Pengamatan Jumlah Respon Pengaturan Proporsi Respon Prediksi Proporsi Respon Proposi Respon 60 10 1 0,1000

Lebih terperinci

Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru

Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru O R G A N P E N Y U S U N S I S T E M E K S K R E S I K U L I T G I N J A L H A T I P A R U - P A R U kulit K ULIT K U L I T A D A L A H O R G A

Lebih terperinci

BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.5 Jenis Penelitian laboratoris. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental 2.6 Sampel 2.6.1 Jenis dan Kriteria Sampel Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai hasil alam yang berlimpah dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Salah satu dari hasil alam

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) Nama : Mesrida Simarmata (147008011) Islah Wahyuni (14700811) Tanggal Praktikum : 17 Maret 2015 Tujuan Praktikum

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. METODE PENELITIAN Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada subjek penelitian kemudian mempelajari efek perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada subjek penelitian kemudian mempelajari efek perlakuan 35 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu untuk mempelajari suatu fenomena dalam korelasi sebab-akibat, dengan cara memberikan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan coba yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah eksperimen karena dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah eksperimen karena dalam 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah eksperimen karena dalam penelitian ini terdapat perlakuan terhadap objek yang diteliti dan kontrol sebagai pembanding.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji dengan post-test only control group design. B. Subyek Penelitian Hewan uji pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rataan volume urin (ml) kumulatif tikus percobaan pada setiap jam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rataan volume urin (ml) kumulatif tikus percobaan pada setiap jam 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini terdiri atas volume urin, persentase ekskresi urin, kerja diuretik, aktivitas diuretik, ph, kadar natrium, dan kalium urin. Selanjutnya, hasil penelitian disajikan

Lebih terperinci

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM ANALISIS KLINIK PERCOBAAN IV PENETAPAN KADAR UREA NITROGEN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM ANALISIS KLINIK PERCOBAAN IV PENETAPAN KADAR UREA NITROGEN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM ANALISIS KLINIK PERCOBAAN IV PENETAPAN KADAR UREA NITROGEN Hari/ Tanggal Percobaan : Selasa, 4 Mei 2010 Golongan/ Kelas : I / FKK 2008 Dosen Pembimbing : Arief Rahman Hakim,M.Si,Apt

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terkandung di dalam urine serta adanya kelainan-kelainan pada urine.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terkandung di dalam urine serta adanya kelainan-kelainan pada urine. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Urinalisis Urinalisis merupakan suatu metode analisa untuk mengetahui zat-zat yang terkandung di dalam urine serta adanya kelainan-kelainan pada urine. Urinalisis berasal dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM Metabolisme Glukosa, Urea dan Trigliserida (Teknik Spektrofotometri)

LAPORAN PRAKTIKUM Metabolisme Glukosa, Urea dan Trigliserida (Teknik Spektrofotometri) LAPORAN PRAKTIKUM Metabolisme Glukosa, Urea dan Trigliserida (Teknik Spektrofotometri) Hari/Tanggal Praktikum : Kamis/ 17 Oktober 2013 Nama Mahasiswa : 1. Nita Andriani Lubis 2. Maya Anjelir Antika Tujuan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only Control Group Design).

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang komposisi kimiawi tubuh sapi Madura jantan yang diberi level pemberian pakan berbeda dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji.

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. B. Populasi dan Sampel

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK NAMA PRAKTIKAN : Ramadhan Bestari GRUP PRAKTIKAN : Grup Pagi (08.00-11.00) HARI/TGL. PRAKTIKUM : Rabu, 24 Oktober 2013 I. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mampu memahami dan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN PROTEIN (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN PROTEIN (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN PROTEIN (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) Nama : T.M. Reza Syahputra Henny Gusvina Batubara Tgl Praktikum : 14 April 2016 Tujuan Praktikum : 1. Mengerti prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Sistem Ekskresi Manusia

Sistem Ekskresi Manusia Sistem Ekskresi Manusia Sistem ekskresi merupakan sistem dalam tubuh kita yang berfungsi mengeluarkan zatzat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh dan zat yang keberadaannya dalam tubuh akan mengganggu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak 20 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober 2009. Pembuatan ekstrak rimpang rumput teki dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia,

Lebih terperinci

Hasil Penelitian J. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XX No. 1 Th. 2009

Hasil Penelitian J. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XX No. 1 Th. 2009 ANALISIS ENZIM ALANIN AMINO TRANSFERASE (ALAT), ASPARTAT AMINO TRANSFERASE (ASAT), UREA DARAH, DAN HISTOPATOLOGIS HATI DAN GINJAL TIKUS PUTIH GALUR Sprague-Dawley SETELAH PEMBERIAN ANGKAK [The Effects

Lebih terperinci

biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. ORGAN EKSKRESI

biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. ORGAN EKSKRESI 15 MATERI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI Pengeluaran zat di dalam tubuh berlangsung melalui defekasi yaitu pengeluaran sisa pencernaan berupa feses. Ekskresi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan Rancangan Acak Terkontrol. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci