BAB II ANALISIS DATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ANALISIS DATA"

Transkripsi

1 BAB II ANALISIS DATA Pada bab dua ini, peneliti membahas dua kajian. Kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis membahas tentang cara kerja filologi berdasarkan penggarapan naskah tunggal yakni metode standar, sedangkan kajian isi membahas tentang suluk atau mistik yang terkandung dalam naskah SDR ini. A. Kajian Filologis Kajian filologis ini digunakan untuk menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian dengan cara mengkritisi teks yang bersih dari kesalahan berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. 1. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud dan fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Edwar Djamaris (2002: 11) menguraikan bahwa naskah yang sudah berhasil dikumpulkan, segera diolah berupa deskripsi naskah. Hal-hal yang diungkapkan dalam membuat deskripsi suatu naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan n askah; ukuran naskah; tebal naskah; jumah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/ penyalin; asal usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/ cerita. Deskripsi naskah SDR adalah sebagai berikut : 41

2 42 a. Judul Naskah Naskah ini berjudul Suluk Dewaruci Gambar 27: Judul naskah SDR Berbunyi : Suluk Dewaruci Inilah sampul bagian luar pada naskah. Masih terlihat utuh, tetapi pada jilidan sudah terlihat sobek sedikit, dan pada kertas yang bertuliskan judul juga terlihat sobek sedikit. Judul naskah secara eksplisit juga tersurat pada halaman 1 baris pertama. Gambar 28: Judul naskah secara tersurat Berbunyi : Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci Terjemahan : Ini arti Suluk Dewaruci

3 43 b. Nomor Naskah Tidak ada nomor naskah pada naskah ini, karena naskah ini merupakan milik pribadi. c. Tempat Penyimpanan Naskah Naskah ini disimpan di rumah Bapak Joko Setiono yang beralamatkan di Jalan Raden Patah, Dusun Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. d. Asal Naskah Naskah SDR ini awalnya dibeli dari seorang pedagang yang berjualan di pasar loak Gladak, Surakarta, Jawa Tengah. e. Keadaan Naskah Keadaan naskah secara fisik masih baik dan utuh/lengkap. Jilidan pada naskah ini hanya menggunakan benang warna merah, tapi ada yang sobek sedikit pada jilidan. Tidak ada lembaran naskah yang hilang maupun isi naskah yang berlubang. Pada halaman 15 kertas bagian tepi agak rapuh/sobek sedikit. Kertas pada sampul naskah berwarna kebiruan kusam, dengan kertas isi naskah berwarna putih agak kecoklat-coklatan. Pada sampul naskah tertulis judul naskah, yang menggunakan bolpoin warna biru. Akan tetapi, pada isi naskah menggunakan bolpoin warna hitam. Dan terlihat seperti bekas lipatan pada naskah ini.

4 44 Gambar 29: Pemakaian tinta biru pada judul Pemakaian bolpoin biru pada penulisan judul naskah di cover depan. Gambar 30: Penjilidan naskah Penjilidan naskah menggunakan benang warna merah dan terlihat masih rapi. Gambar 31: Bagian tepi naskah Bagian tepi naskah pada halaman 15 sudah agak rapuh/sobek.

5 45 Gambar 32: Bekas lipatan pada naskah Pada naskah yang ditemukan peneliti terlihat adanya bekas lipatan naskah simetris. Gambar 33: Kondisi jilidan naskah Seperti inilah pada jilidan naskah sudah agak sobek sedikit.

6 46 f. Ukuran Naskah 1) Ukuran Kertas Panjang Lebar : 21,3 cm : 17,2 cm 2) Ukuran Teks Panjang Lebar Margin atas Margin bawah Margin kanan Margin kiri : 17,5 cm : 12 cm : 1,7 cm : 2,1 cm : 3,1 cm : 2,1 cm g. Tebal Naskah Tebal naskah ini 0,3 cm dengan rincian halaman sebagai berikut : 1) Cover dalam - 2) Isi naskah 38 halaman 3) Halaman kosong 2 halaman kosong setelah sampul depan Jadi, total halaman pada naskah SDR ada 40 halaman. h. Jumlah Baris Tiap Halaman Jumlah baris tiap halaman pada naskah SDR ada 21 baris, kecuali pada halaman terakhir, yakni halaman 38 ada 23 baris.

7 47 i. Huruf, Aksara, dan Tulisan 1) Huruf yang digunakan dalam naskah SDR ini menggunakan huruf Jawa. 2) Aksara yang digunakan dalam naskah ini memakai aksara Jawa carik miji ketumbar (ngȇtumbar). 3) Tulisan Pada naskah SDR ini tulisannya bolak-balik, rapi, dan jelas. Akan tetapi ada beberapa halaman yang tintanya sudah mulai luntur. Seperti pada halaman 25, 27, 29, dan 35. Hal ini dimungkinkan kualitas tinta yang kurang baik, sehingga mengakibatkan penulisan di verso agak sulit untuk dibaca. Tulisan dalam naskah ini menggunakan style aksara Jawa miji ketumbar (ngȇtumbar) dengan condong ke kanan. Tulisan naskah ini juga menggunakan tinta warna hitam, kecuali pada judul menggunakan tinta biru. Penekanan pena dalam naskah ini tidak menentu, ada yang tipis ada yang tebal. Mayoritas tulisannya cukup tebal dan jelas. Tulisan naskah ini bagus, sehingga mudah dibaca. Halaman juga ditulis dengan aksara Jawa.

8 48 Gambar 34. Penulisan pada naskah Seperti inilah tulisan naskah, terlihat rapi dan jelas. Gambar 35: Penulisan yang mulai luntur tintanya Contoh : pada halaman 27 tulisannya sudah mulai luntur tintanya, akan tetapi masih bisa dibaca.

9 49 j. Cara Penulisan Penulisan teks pada setiap halaman ditulis dengan bolak-balik atau lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman depan belakang. Selain itu teks juga ditulis ke arah lebar, dimana teks tersebut ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan. Penulisannya sangat rapi. Gambar 36: Tulisan spidol biru a (halaman 1) Pada halaman 1 di pojok kanan atas terlihat tulisan dengan spidol warna biru, tetapi tulisan itu tidak terlalu jelas dan sulit untuk dibaca. Begitu pula pada halaman 16 dijumpai lagi, akan tetapi tulisan spidol birunya terdapat di pojok kiri bawah. Seperti gambar di bawah ini. Gambar 37: Tulisan spidol biru b (halaman 16)

10 50 Penyisipan ditulis seperti pada di bawah ini: Gambar 38: Penyisipan a Berbunyi: punika dados jasad (halaman 18), penyisipan kata dados ditambahkan di atasnya. Terjemahan : ini menjadi jasad Gambar 39: Penyisipan b Berbunyi:.lajȇng. (halaman 5), penyisipan kata lajȇng ditulis di bawahnya. Terjemahan: selanjutnya Penulisan yang salah jelas dengan adanya coretan. Seperti di bawah ini: Gambar 40: Coretan a (halaman 7)

11 51 Gambar 41: Coretan b (halaman 15) Gambar 42: Coretan c Berbunyi: ing jagada... dan ipun (halaman 16) Terjemahan: di dunia... dan nya Gambar 43: Coretan d Berbunyi: ing ngandhap (halaman 25) Terjemahan: di bawah

12 52 Gambar 44: Coretan e Berbunyi: manjing pangrunguning bapa lan biyang, sabab bapa aningali biyang wus birahi (halaman 31) Terjemahan: memasuki pendengaran bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu sudah bernafsu k. Bahan Naskah Bahan yang digunakan pada naskah SDR ini adalah kertas. Kertas bergaris, tetapi pada kanan dan kiri kertas terdapat garis bantu dengan pensil, sehingga penulisannya rapi. Selain itu kertasnya berwarna putih kecoklatan, sedangkan pada sampulnya berwarna kebiru-biruan. Kualitas kertas cukup baik, akan tetapi kertas ini juga mudah rusak, misalnya pada kertas yg bertuliskan judul naskah yang bagian tepi sudah ada yang sobek, begitu pula pada jilidannya. l. Bahasa Naskah Naskah SDR menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama, akan tetapi di dalamnya banyak ditemukan kata-kata serapan dari bahasa Arab.

13 53 m. Bentuk Teks Naskah ini berbentuk prosa (gancaran). Keseluruhannya terdiri dari 16 bagian, akan tetapi dalam bagian ke-16 bukan merupakan SDR atau tidak ada kaitannya dengan SDR, meskipun masih dalam satu jilidan naskah. Adapun kalimat pada bagian ke-16 yakni: Gambar 45: Bagian terakhir (halaman 38) Berbunyi sebagai berikut : Punika pȇthikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi Rugmawati, ingkang pȇpidik wontȇn ing Wukir Mahendra, dhumatȇng buyut, wastana. 1. tapaning ati iku tȇmȇn, sing sapa tȇmȇn atine, adad barang kang kinarȇpake tȇka. 2. tapaning nyawa iku mung eling, sing sapa eling ing dalȇm sadina sapisan kewala, adad barang kang sinȇdya ana.

14 54 3. tapaning rasa iku mung ȇning, sing sapa ngeningakȇn ing dalȇm sadina sapisan kewala, adad kang cinipta dadi. Terjemahan : Inilah kutipan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya, bernama. 1. Tapa hati itu bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh, yang siapa sungguh-sungguh hatinya, maka apa yang diinginkan akan datang. 2. Tapa nyawa itu bertapa di tingkat nyawa itu hanya ingatan, yang siapa selalu ingat di setiap harinya saja, maka apa yang diinginkan ada. 3. Tapa rasa itu bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih, yang siapa menjernihkan rasa setiap harinya sekali, maka biasanya yang diinginkan tercapai. Bagian ke-16 ini masih masuk pada naskah halaman 38, akan tetapi bukan bagian dari SDR. Hal ini dapat dibuktikan pada Blog Kyai Sayyid Ahmad Muhammad yang berjudul Pustakaraja Purwa Rahasia Sejarah Tanah Djawa NKRI. Kutipannya sebagai berikut: Dewi Rukmawati dhawuh: He Kupa, salawase kowe tȇmȇn ing ati, saiki wus ora. Jer tapaning ati wus owah, èngȇta yèn: tapaning ati iku tȇmȇn tapaning nyawa iku mung eling tapaning rasa iku mung ȇning Sing sapa ing saben sadina sapisan bae ngeningake rahsa, adat barang kang cinipta dadi Sing sapa ing sadina sapisan eling, samubarang kang kinarsakna tȇka Sing sapa tȇmȇn atine salawase adat barang kang kinarȇpna dadi

15 55 Terjemahan : Dewi Rukmawati berpesan: Hei Kupa, selamanya kamu sungguh-sungguh di dalam hati, sekarang sudah tidak. Bahwa bertapa di hati sudah berubah, ingatlah apabila: Bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh Bertapa di tingkat nyawa/roh itu hanya ingat Bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih Barang siapa di setiap hari sekali saja menjernihkan rasa (perasaan), maka keinginannya akan tercapai Barang siapa setiap harinya ingat, maka apapun itu yang diinginkan akan datang/tercapai. Barang siapa bersungguh-sungguh hatinya selamanya apapun yang diinginkan akan terwujud. Berdasarkan pembuktian tersebut dapat disimpulkan jika bagian ke-16 bukan bagian dari SDR, akan tetapi interteks (mengambil dari Pustakaraja). Jadi naskah SDR hanya terdiri dari 15 bagian. n. Umur Naskah Pada naskah SDR ini belum diketahui umurnya, karena dalam naskah tidak ada keterangan. Akan tetapi jika dilihat dari naskah masih bagus, dimungkinkan naskah ini tergolong naskah muda dan dilihat dari bahasa naskah ini menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama serta penulisan aksara Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan).

16 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah ini. Meskipun pada bagian terakhir (bagian 16) naskah tertulis : Punika pethikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi Rugmawati, ingkang pȇpidik wonten ing Wukir Mahendra, dhumateng buyut, wastana. Terjemahan : Inilah petikan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya. Hal ini tidak menunjukkan adanya pengarang/penyalin pada naskah tersebut. p. Asal Usul Naskah Naskah SDR ini asalnya saya beli dari pedagang (seorang bapak) yang rumahnya di Sangkrah, Surakarta yang berjualan di pasar Loak Gladak, Surakarta. q. Fungsi Sosial Naskah SDR ini berfungsi sebagai piwulang atau pȇpèling, untuk menuju manusia sempurna itu dibutuhkan empat tahap yakni : syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat (sembah raga, budi, manah, dan rasa). Sering digunakan dalam wejangan pertunjukan wayang/penyajian wayang. r. Ikhtisar Naskah Naskah SDR menceritakan kisah Bratasena untuk menuju manusia yang sempurna guna menemukan jati dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi asal dan tujuan hidup manusia bisa dikatakan juga manunggaling

17 57 kawula Gusti, untuk itu Bratasena harus mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dimana termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Kisah perjalanan Bratasena dalam menuju manusia sempurna atau jati diri yang sejati ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti hanya berisi secara singkat atau ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur Sigrangga, dilanjutkan pergi ke Samudra Jinȇm (Minangkalbu) dan di sinilah Bratasena bertemu dengan Dewaruci (Dewa berwujud tubuh kerdil). Dimana Air Tirta Pawitrasari yang dicari Bratasena secara eksplisit merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Dalam cerita ini pengarang secara langsung juga menjelaskan dan menuliskan artinya, contoh, Bratasena sewaktu membunuh naga estri: Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis. Terjemahan: Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan nafsu empat perkara. Dalam naskah ini selanjutnya lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin manusia, bagaimana melawan pancamaya yang menggambarkan nafsu manusia dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 5 macam, yakni: merah (nafsu amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah) dan

18 58 putih (mutmainah). Selain itu, ada penjelasan tentang urut-urutannya alam ada tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal baik yang perlu dilakukan manusia untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi, Sang Kholiq. Inilah yang membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya. (halaman 22) 2. Kritik Teks Kritik teks adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti dan mengkaji lembaran naskah, lembaran bacaan yang mengandung kalimat-kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu (Darusuprapta, 1984 : 4). Kritiks teks bertujuan untuk menyajikan sebuah teks dalam bentuk yang seasli mungkin dan bersih dari kesalahan berdasarkan bukti - bukti yang terdapat dalam teks, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Melalui kritik teks inilah peneliti berusaha mengembalikan teks ke dalam bentuk aslinya atau paling tidak mendekati asli, bersih dari kesalahan dan dapat dipertanggungjwabkan (Siti Baroroh Baried dkk, 194 : 61). Berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan pedoman Ejaan Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (EYD: 2011), Kamus Kawi-Jawa (C.F. Winter dan Ranggawarsita: 1987), Baoesastra Djawa (Poerwadarminta: 1939), dan sebagainya. Di dalam kritik teks biasanya ditemukan varian-varian dan varian-varian tersebut dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: a. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

19 59 b. Lakuna yaitu bagian yang terlewati atau terlampui, baik huruf, suku kata, kata, maupun kelompok kata. c. Ketidakkonsistenan yaitu penulisan suku kata maupun kata yang tidak konsisten penggunaan huruf/ aksara. d. Korup yaitu bagian teks hilang, akan tetapi bukan karena kerusakan kertas melainkan peneliti yakin bahwa pada teks masih ada kelanjutan. Terjadinya korup pada naskah ini dimungkinkan pengarang istirahat waktu proses menyalin naskah, atau dimungkinkan pada naskah yang akan disalin mempunyai daya magic, sehingga pengarang tidak berani untuk menyalinnya. Pengelompokan varian/ kesalahan pada naskah SDR ini disusun dalam bentuk tabel. Untuk mempermudah dan memahami, maka dibuat singkatan sebagai berikut : No. Hal/ : menunjukkan nomor urut. : halaman/ baris. : edisi teks berdasarkan konteks kalimat. * : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik. k Edisi : korup pada naskah : bacaan yang telah dibetulkan. Tabel 1: Hiperkorek No Hal/ brs Kata Gambar Edisi 1 1/ 5 Tanahjultarki Tanajultarki*

20 60 2 2/7 Kundur kondur* 3 18/10 Dadtipun datipun* 4 29/18 Sahdad sahadat* 5 30/5 ngȇdad ngȇdat* 6 33/14 Muttak mutlak@ 7 33/18 Wujudtolah wujudolah@ 9 35/12 Wujudte wujude* 10 35/20 Tankala tatkala@

21 /18 Ibulwiyah 12 35/21 ghaibul gaibul* 13 37/3 apȇngale apngale* 14 37/5 Dadtolah datolah* Tabel 2: Lakuna Suku Kata No Hal/ brs Kata Gambar Edisi 1 1/9 Barat ibarat@ 2 8/10 Panggèning panggènaning@

22 /4 Ujudipun wujudipun* 4 32/8 Witaning wiwitaning@ 5 33/19 wakita waskita@ 6 35/20 kèndȇ kèndȇl@ 7 35/21 uwiyah uluwiyah@ Tabel 3: Ketidakkonsistenan No Hal/ brs Kata Gambar Edisi 1 ½ Idayad Idayad* 1/10 Idayat 10/5

23 63 2 6/10 Urip urip* 14/3 Urib 3 3/21 nȇpsu nȇpsu* 7/ 11 napsu 4 11/4 Dat dat* 1/6 dad 1/4 2/19 3/1 7/7 7/14 16/5

24 64 16/21 21/14 23/18 23/18 23/20 24/1 5 7/17 Nasut nasut* 31/7 nasud 6 13/15 gaib gaib* 12/14 ghaib 20/ /21 nabati nabati*

25 65 15/4 nabadti 8 25/14 Mukhamad Mukhamad* 21/18 Mukamad 36/ /9 hakekat hakekat* 7/1 Khakhekat Tabel 4: Kategori Korup No Hal/ brs Kata Gambar Edisi 1 30/6 Kang mo. (tidak berani memberi rekomendasi)k

26 66 3. Suntingan Teks, Aparat Kritik, dan Terjemahan Naskah SDR ini ditulis aksara Jawa carik, maka transliterasi merupakan langkah yang sangat dibutuhkan dalam rangka penyuntingan teks. Suntingan teks adalah menyajikan teks bentuk aslinya atau mendekati aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi. Karena naskah ini merupakan naskah suluk, maka dalam naskah banyak ditemukan kata-kata yang berbau arab. Seperti kata : wahdad, akhadiyat, wakidiyat, ajesan, misal, nganansir. Kata-kata tersebut tidak mengikuti ejaan pada kamus dan tetap konsisten penulisannya, sehingga peneliti tidak mengkritisi, akan tetapi pada terjemahan dan selanjutnya peneliti menyajikan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang tepat. Aparat kritik merupakan kelengkapan yang menyertai kritik teks sebagai pertanggungjawaban suntingan (Margono, 2011: 51). Dalam penelitian ini untuk mendapatkan suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi, maka suntingan teks, kritik teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan. Jadi, jika ada kata kata yang dianggap keliru diberi nomor kritik teks. Sedangkan pembetulan yang merupakan apparat kritik diletakkan di bawah teks yaitu berupa catatan kaki (foot note). Dalam hal ini metode yang digunakan ialah metode standar. Metode standar adalah metode yang digunakan dalam penyuntingan naskah tunggal. Di dalam metode standar, penyunting mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut ialah (1) apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika terdapat teks yang salah, penyunting

27 67 dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas dengan mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli akan ditandai dan didaftar sebagai naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan suatu bentuk pemikiran pembaca yang mempunyai pendapat atas pembetulan bacaan tersebut. Untuk menyunting sebuah teks, peneliti harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab naskah SDR ini berbentuk prosa. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami suntingan teks SDR, maka di bawah ini adalah pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyajikan suntingan teks SDR. a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis teks nama orang maupun tokoh, nama tempat. b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam teks. Contohnya: adon adon isèn - isèning c. Sastra laku pada penulisan naskah SDR sangat sering muncul, sehingga perlu penegasan dalam transliterasi, yaitu tidak mengulang konsonan penutup kata yang di depan. Contohnya:

28 68 ing ngidayat ing idayat dhatȇng ngamarta dhatȇng Amarta Untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman makna transliterasi teks SDR, maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut: a. Angka Arab [1, 2, 3...dst] menunjukkan pergantian lembar halaman teks. b. Angka Arab [ˡ...dst] yang berada di dalam teks menunjukkan nomor kritik teks pada kata yang dianggap keliru. c. menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan konteks kalimat. d. Tanda * menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik. e. Tanda diakritik (ȇ) dibaca e seperti pengucapan kata wontȇn ada jika bahasa Jawa dan kata teduh dalam bahasa Indonesia. f. Tanda diakritik (è) dibaca e seperti pengucapan kata yèn jika untuk bahasa Jawa dan kata edukasi untuk bahasa Indonesia. g. Tanda diakritik (e) dibaca e seperti pengucapan kata pengin ingin jika bahasa Jawa dan kata teras untuk bahasa Indonesia.

29 69 SULUK DEWARUCI [1]Punika tȇgȇsipun: Suluk Dewaruci kawor suraosipun kalayan ngelmi idayad. Tȇgȇsipun idayad, anȇdahakȇn sawarnining kawontȇnan dad 1 sadaya. Ingkang kawȇdharakȇn saking Tanahjultarki 2. Inggih punika sangkan paranipun dad 3 sajati, supados amȇwahana santosaning panggalih. Dene ingkang kadamȇl bȇbuka suraosipun idayad punika, sawarnining pasȇmonipun ngelmi makripat utawi barat 4. Salajȇngipun dumugi ing idayat 5, sami kocap wontȇn ing ngandhap punika. Ingkang kadamȇl bȇbuka rumiyin, lȇlampahanipun: Bratasena nalika puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng anglampahi sapitȇdahipun, ing ngandhap punika pratelanipun sadaya. Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun sampun ngambah ing makripat. Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka, Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados Bathara Endra. Tȇgȇsipun Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur, utawi dados wȇwȇnganing betalmakmur. [2] Rukmakala pȇjahipun dados Bathara Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas. Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur Sigrangga, tȇgȇsipun, punika ngibarat kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis. Nuntȇn Bratasena kundur 6 dhatȇng Amarta, pamit para kadang badhe anggȇbyur 1 dat* 2 Tanajultarki* 3 dat* 4 ibarat@ 5 idayad* 6 kondur*

30 70 dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami anggèndholi, tȇgȇsipun: angipatakȇn was-wasing panggalih, angungkurakȇn ing sih katrȇsnan. Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun sagara Jinȇm, sajatining Pangeran. Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat amȇjahi cipta kaliyan pangrasa. Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun dhatȇnging dad 7 sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih, punika ngibaratipun amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir tung- [3] gil dad 8 sipat asma apngal. Nuntȇn manjing ing guwa garba. Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn ing ngalam kabir, tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating ngalam insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna. Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali samodra tanpa tȇpi, inggih punika wahananipun manah. Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya namanipun inggih punika wahananing jantung, anglimputi jatining manah, dados pangarsaning sarira. Mila dipunwastani muka sipat, dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang linuwih ȇmpanipun wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa, pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri sajatining rupa. 7 dat* 8 dat*

31 71 Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn wahananing nȇpsu kawan pra- [4] kawis, ingkang sami dados durgamaning manah. Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip sapanunggilanipun. Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara, kadosta: panasten, dȇduka sapanunggilanipun. Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta, pȇpenginan, pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun. Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning kautaman, kadosta: puja brata, sapanunggilanipun. Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot wolung warni: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru, dadu: inggih punika wahananing Pangeran, kawimbuhan cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun: Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi, inggih punika nisthaning cipta. Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih punika anȇdahakȇn du- [5] sthaning cipta. Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika nȇdahakȇn doraning cipta. Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih punika nȇdahakȇn sȇtyaning cipta.

32 72 Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika nȇdahakȇn santosaning cipta. Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn sambawaning cipta. Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika nȇdahakȇn sambadaning cipta. Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika nȇdahakȇn ewah gingsiring cipta. Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon gumana, awȇning cahyanipun, punika pramananing suksma, ingkang mimbuhi warna sadaya, anglimputi jagad alit jagad agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika gȇsangipun saking pramananing rahsa. Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk gadhing ingkang kasawang kados pȇ- [6] putran mutyara, mancur mancorong cahyanipun, punika pramananing rahsa, kang amurba amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika gȇsangipun saking Atma. Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.

33 73 Punika kawikanana lampahing ngelmi kawan prakawis, ingkang sami kinawruhan utawi ingkang sami linampahan, dening para wali, manawi sami sagȇd mirib, sami kasȇbut ing ngandhap punika : Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng pangalȇm tuwin panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar. Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging karsa, lawan panampik, lampahipun lila. [7]Khakhekat 9 dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng kasuran, kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn. Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng katrȇsnan kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami. Dene lampahipun dad 10 punika kawan prakawis wau kakumpulakȇn dados satunggal tȇmȇn, trima, lila, utami. Punika kawikanana, ingkang kawastanan pancabaya, inggih punika napsu 11 kawan prakawis, ingkang nitahakȇn cahya kawan warni, gangsal cahyanipun pramana, ingkang sami dados rancananing dad 12 sajati, kasȇbut ing ngandhap punika : Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing dȇlahan dados cahya cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning supe, poma dipunèngȇt. 9 hakekat* 10 dat* 11 nȇpsu* 12 dat*

34 74 Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka lan murka, ing dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam lahut, ing ngri- [8] ku panggènaning rȇkaos, sabab punika awit sangganging adon-adon sadaya, punika poma-poma dipunpoma. Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing delahan dados cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing ngriku panggènaning gingsir, poma dipunsantosa. Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados cahya pȇthak, dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku panggèning 13 sumȇrȇp karaton, poma dipunwaspada, karana ing ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi : cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci. Punika kawikanana, isèn isèning cahya kawan prakawis, gangsal cahyaning pramana, ingkang sami ngrancana dhatȇng ing kasampurnan jati, kasȇbut ing ngandhap punika, poma dipunsantosa ing galih, sampun ngantos gadhah pamilih salah satunggal. [9]Cahya cȇmȇng kadadosanipun nȇpsu luamah, prabawanipun bumi gonjing, ingkang katingal salȇbȇtipun cahya cȇmȇng punika, sawarnining sato kewan, ing ngriku dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun supe, poma dipunèngȇt ing galih. Cahya abrit, kadadosanipun nȇpsu amarah, prabawanipun latu amarab- marab, ingkang katingal salȇbȇtipun cahya abrit, ing ngriku warni danawa brakasakan, 13 panggènaning@

35 75 inggih punika ngalam lahut, tȇgȇsipun sangganging adon-adon sadaya, punika poma dipunsarèh. Cahya jȇne, kadadosanipun nȇpsu supiyah prabawanipun angin agȇng, ingkang katingal ing ngriku warni pȇksi sawarnining ibur-iburan, punika ngalam jabarut, tȇgȇsipun gingsir, poma dipunsantosa. Cahya pȇthak, kadadosanipun nȇpsu mutmainah, prabawanipun toya agȇng. Ingkang katingal ing ngriku sawarnining ulam loh. Inggih punika ngalam malakut, tȇgȇsipun karaton ka- [10] rana ing ngriku wiwitipun sumȇrȇp karaton. Sasirnaning cahya kawan prakawis wau. Nuntȇn cahyaning pramana katingal sarȇng sanalika: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, inggih punika ngalam idayat 14, tȇgȇsipun ȇnggèning nȇdahakȇn karaton satunggil-tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika. Karaton sarwa cȇmȇng, inggih punika karatoning sato kewan, manawi kasȇngsȇm ing paningal badhe dados sato kewan. Karaton sarwa abrit, inggih punika karatoning brakasakan, samara bumi sapanunggilanipun dhanyang, yèn ngantos kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wande dados bangsaning dhanyang. Karaton sarwa jȇne, inggih punika karatoning pȇksi, yèn kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wonde dados pȇksi. Karaton sarwa pȇthak, punika karatoning buron toya, yèn kasȇngsȇm inggih dados buron toya. 14 idayad*

36 76 Karaton sarwa ijȇm, punika karato- [11] ning kȇkayon, yèn kasȇngsȇm ing ngriku, inggih dados lȇlȇmbat kajeng aèng. Sasirnanipun cahya pramana, Nuntȇn dhatȇng cahyaning dat kang awȇning, ingkang katingal ing ngriku, samukawis wȇwarnèn sarwa asri, inggih punika ngalam uluhiyah, tȇgȇsipun ngalam ing pangeran. Nuntȇn katingal cahya mancur, ingkang katingal ing ngriku malaekat, tȇgȇsipun kadosta : Katingal bapa, kaki sapanunggilanipun, taksih ngalam uluhiyah. Nuntȇn cahya mancorong, ingkang katingal ing ngriku widadari, tȇgȇsipun kadosta : katingal biyung, nini, sapanunggilanipun, ingkang nama lȇluhur estri, inggih taksih ngalam uluhiyah. Nuntȇn cahya gumilang tanpa wȇwayangan, tanpa arah tanpa ȇnggèn, tanpa kandha tanpa warna, panggènaning nikmat manpangat rahmat, wontȇn ing ngalam baka, tȇgȇsipun baka, langgȇng, inggih punika panggènaning dat sajati, jumȇnȇng kalawan jȇnȇng kita, inggih ingkang gumilang puni- [12] ka botȇn kalih tȇtiga, amung tunggil sibadènipun. Dene ingkang katingal bapa kaki wau, inggih punika wȇwayanganing dat kang saking lȇluhur jalȇr, ingkang sampun limput - linimputan, tȇtȇp tinȇtȇpan, kaliyan dat kita pribadi. Dene ingkang katingal biyung nini, sapanunggilanipun wau, inggih makatȇn ugi, mratandhakakȇn manawi ingkang wau sampun limput linimputan, dat lawan ingkang mahasuci, lajȇngipun botȇn kenging pisah.

37 77 Punika kawikanana sasirnanipun ing jisim, wangsul dhatȇng asalipun saking cahya, dados nukat ghaib 15, benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil, inggih punika ingkang badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih wadhag punika: Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat. Lajȇng ngambah wahdad. Lajȇng ngambah wakidiyat. Lajȇng ngambah ngalam arwah. [13]Lajȇng ngambah ngalam misal. Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan. Lajȇng ngambah ngalam insan kamil. Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan, sapanginggilipun dumugi ing ngalam insan kamil malih. Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis wau, wijanging satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap punika: Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah, ing dat sawiji. Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging dat sawiji, wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun gaib,: samar, wontȇn dalȇm manungsa wau. Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning sipating dat sawiji. 15 gaib*

38 78 Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah, tȇgȇsipun Allah badan. Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: [14] kadamȇl sêsilih sipat ingkang mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad alit: Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib 16, inggih punika sampun kapanjingan gȇsang. Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang sampurna. Dene pramana punika tȇgȇsipun waspada. Nyawa, tȇgȇsipun urip, ingkang gȇsang rahsanipun. Suksma, tȇgȇsipun gaib, ingkang gaib ȇnggenipun, inggih punika nukat gaib. Punika kawikanana wȇwayanganing manah, utawi wȇwayanganing roh, ati satunggil darbe asma pȇpitu, nanging pakaryanipun tunggil, kasȇbut ing ngandhap punika pratelanipun satunggil tunggil: Ati, sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados andarbeni karsa. Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani, pandamȇlanipun dados andarbeni pangrasa. [15]Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados andarbèni panȇdya kaliyan pangrasa. Ati puad, wȇwayanganing roh nabadti 17, pandamȇlipun dados andarbèni panyana lawan pangesthi. 16 urip* 17 nabati*

39 79 Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados andarbeni panggraita lan akal. Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados andarbeni cipta. Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados andarbeni karȇp kaanan sadaya. Punika kawikanana, tȇgȇsing roh pitung prakawis wau, wȇwȇjanganipun satunggil-tunggilipun kados ing ngadhap punika: Roh jasmani, tȇgȇsipun punika jisim. Roh rokhani, tȇgȇsipun punika Pangeran. Roh khewani, tȇgȇsipun punika urip, ingkang gȇsang saciptanipun. Roh nabati, tȇgȇsipun punika cukul. [16] Ingkang cukul rahsanipun. Roh rahmani, tȇgȇsipun punika murah, ingkang murah Apngalipun. Roh nurani, tȇgȇsipun punika cahya, inggih cahyaning dad 18. Roh ilapi, tȇgȇsipun punika wȇning, inggih ingkang gumilang tanpa wayangan, dumunung wontȇn ing jaman insan kamil. Punika kawikanana ngalam kawan prakawis, kados ing ngandhap punika: Ngalam nasut, punika tȇgȇsipun lali. Ngalam lahut, punika tȇgȇsipun rȇnggang. Ngalam jabarut, punika tȇgȇsipun gingsir. Ngalam malakut, punika tȇgȇsipun karaton. 18 dat*

40 80 Ananging dede karaton kang ginawe mahamulya, inggih punika karatoning nȇpsu kawan prakawis, mila dipunwaspada sampun ngantos kasamaran. punika: Punika kawikanana ingkang nama nganansir khak, kados ing ngandhap Dad 19, tȇgȇsipun, kagungan, [17] Sipat, tȇgȇsipun, rupa. Asma, tȇgȇsipun aran. Apngal, tȇgȇsipun, panggawe. Punika kawikanana, ingkang dipunwastani nganansir roh, tȇgȇsipun nganansir gȇsang, kados ing ngandhap punika: Wujud, tȇgesipun rupa, inggih punika gȇtih, Ngelmu, tȇgȇsipun punika, paningal, Nur, tȇgȇsipun punika cahya, Suhud, tȇgȇsipun punika saksi, inggih punika napas. Dene ing benjang ingkang rinacut rumiyin, punika: wujud. nuntȇn, : ngelmu, nuntȇn,: nur, nuntȇn,: suhud. Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados ing ngandhap punika: Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan riwe. Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan cahya. 19 dat*

41 81 Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas. [18]Kaping sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging. Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn,: gȇni, nuntȇn,: angin, nuntȇn,: bumi. Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih sipat ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil - tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika: Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung dadtipun 20, mila dipuntȇmbungakȇn agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn lukak, botȇn wuwuh, kawasa nglimputi ing jagad sadaya, inggih punika wontȇnipun amung langgȇng. Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila sipatipun katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn rupa, botȇn warna, botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn ngalam baka, tȇgȇsing baka langgȇng. Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila asma dipunbasakakȇn wisesa. [19] Inggih punika ingkang nama amurba, amisesa kang kawasa. Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun, tȇgȇsipun sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit sampun botȇn bȇbadhe malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa jumȇnȇng kalawan sibadènipun. Punika ambuka suraosipun, ngelmu gaib ingkang dumunung wontȇn ing manungsa, sadaya kang wontȇn salȇbȇting badan, sajawining badan kang kangge 20 datipun*

42 82 pasȇmon para nabi, para wali, para majȇnun, para ratu, para oliya, ing ngandhap punika maknanipun utawi tȇgȇsipun. Utawi ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci, kang ora kawoworan. Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng ora paran - paran iya ingsun iki ratu kang mulya tur kang sampurna; tȇgȇse ananing- [20] sun iki, kang ora wiwitan suwung; ya ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise ana tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku kang jumȇnȇng ingsun. Kang tȇmtu ajaling urip sadaya; duk awing - awang uwung - uwung durung dumadi, ananingsun dhewe kang jumȇnȇng tȇka samȇngko; utawi kang dados ugȇring eling iku ngelmu ngalim maklum, tȇgȇse kawruh angawruhi, kinawruhan, sakpanunggilanipun sadaya. Inggih punika ingaranan wiwitaning sih. Wahyu lan nugraha kang ghaib 21 ing Allah tangala tuwin para ratu, kang saèstu dados pȇpingitan, para Nabi, para wali, para mukmin, para majȇnun, para ratu oliya, para manungsa sadaya; utawi kawruh punika, anane lan orane, inggih punika ȇngsih wastanipun. Utawi ingkang ngawruhi iku, tȇtȇp aning ȇnȇng lan ȇning, sapanunggilanipun sadaya, inggih punika wahyu wastanipun. Utawi kang kinawruhan iku, ingaranan sȇpi, samar, samun, suwung, sapanunggilanipun sadaya, inggih [21] punika nugraha wastanipun, iku poma - poma aja sak aja mosik; inggih punika patrapipun ngelmu kraton kang luwih sampurna; inggih punika ingaranan kalimah tokit, tȇgȇse iku ora ana karȇpe kang akèh - akèh, ananging sawiji elinge. Saèstune karȇp kang sawiji: iya iku rasaning ngelmi. 21 gaib*

43 83 Utawi tȇgȇsipun kawan prakawis punika, pangucap, pangambu, paningal, pamiyarsa, ing ngandhap punika dunungipun. : Sir, sangkaning pangucap: dadining bumi, ananing sabda, nȇnging pangucap jatine Pangeran, nyatane rasullolah, kumpuling roh kabèh, tȇtȇping wiji, dad 22 pȇt yaiku sangkaning paran, langgȇng amurba amisesa. Karsa, sangkaning pangganda,: dadining angin, paraning pangambu, nyatane kȇrasa, nȇnging pangganda, jatining mahasuci, nyatane Mukamad 23, kumpuling urip kabèh, tȇtȇping sih, dat lȇs iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng kang murba kang misesa. [22]Obah, sangkaning paningal, dadining banyu, paraning wulan, nyatane suci, nȇnging paningal jatining Allah, nyatane Nabiyolah, kumpuling rupa kabèh, tȇtȇping wahyu, dat tap, iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng murba wasesa. Osik, sangkaning pamiyarsa, dadining gȇni, paraning srȇngenge, nyataning pangrungu, nȇnging pamiyarsa, jatining jumȇnȇng, nyataning tunggul, kumpuling suwara kabèh, tȇtȇping nugraha, datanpa sangkan tan paran langgȇng kang murba amisesa. Utawi uriping kandha, uriping warna, uriping ganda, uriping rasa. Tȇgȇsipun kandha, pamirȇng. Tȇgȇsipun warna, paningal. Tȇgȇsipun ganda, pangambu. 22 dat* 23 Mukhamad*

44 84 Tȇgȇsipun rasa, pangucap. Uriping jȇsmani. Tȇgȇse sabda iku pangucap sapisan kang nyata. Dene kang pȇpitu iku padha mahasuci kabèh. Utawi kang sinȇbut mahasuci mau, satunggi- [23] l mahasucining kandha. Kalih mahasucining warna. Tiga mahasucining ganda. Sakawan mahasucining rasa. Gangsal mahasucining urip. Kaping nȇm mahasucining rupa. Kaping pitu mahasucining sabda. Utawi tuduhing guru, kang kawan prakawis punika, ana, ora,sira, pȇsthi. Ana, dèn anakakȇn ananing dhewe. Ora, iku ora pisan-pisan, ora ana ananing dhewe. Sira, tȇgȇse sakawula, ingsun tȇgȇse sagusti. Utawi wȇkasaning urip punika, urip pitung prakawis kang kasȇbut ing ngajȇng wau. Tȇgȇse ingaranan pati, iku patȇmoning dad 24 pȇt. Tȇgȇse dad 25 pȇt, iku, nȇnging pangucap. 24 dat* 25 dat*

45 85 Dad 26 plȇng iku nȇnging pamiyarsa. Milanipun ingaranan pati iku, dening wus pa- [24] titis, patȇmoning dad 27 kawan prakawis, inggih punika sampurnaning pituduhing guru. Utawi sih wahyu nugrahaning iku,tȇgȇse sih tȇtȇping ganda, nyataning angin Pangeran tȇtȇping antara. Wahyu tȇgȇse padhanging paningal, nyataning banyu jatining Allah. Nugraha, tȇgȇse pamiyarsa jatining gȇni, nyatane nabiyolah. Pangeran tȇgȇse pangucap, jatining bumi, nyatane rasullolah. Utawi ingkang botȇn arah, botȇn ȇnggèn, botȇn warna, botȇn kandha. Punika tȇgȇsipun, kang botȇn ȇnggèn tȇgȇsipun bumi. Kang botȇn arah tȇgȇsipun angin. Kang botȇn warna tȇgȇsipun banyu. Kang botȇn kandha tȇgȇsipun gȇni. Utawi bangsa kawan prakawis malih kang binasakakȇn, : suwung, samun, sȇpi, samar. Tȇgȇsipun suwung jurang. [25]Tȇgȇsipun samun, ara-ara. Tȇgȇsipun sȇpi, gunung. Tȇgȇsipun samar, sagara. Ing ngandhap punika nyatanipun sadaya. 26 Dat* 27 dat*

46 86 Suwung, pangucap, Samun, pangganda, Sȇpi, paningal, Samar, pamiyarsa. Punika inggahipun kawan prakawis malih, rapal makna murat utawi raosipun, ing ngandhap punika nyatanipun : Sir, tȇtȇping, karsa, Pangeran arane. Warna, tȇtȇping kandha, Allah, Kandha, tȇtȇping warna, Mukhamad, Yèn karsa tȇtȇping sahrasa, rasullolah arane. Yèn kandha, warna, amburasa, tȇtȇping urip Pangeran arane. Yèn urip tȇtȇping Pangeran, mahasuci arane. Yaiku kang ora wiwitan kang ora wȇkasan. [26] Lagi kahananing kadim, salawase anglimputi ing jagad iku kabèh. Punika inggahipun malih, ingkang aran kawula punika, pola, ing ngandhap punika tȇgȇsipun kawula. Cipta, ripta, rasa, kȇrasa, bumi tekate. Ing ngandhap punika buntasipun pindhah kawan prakawis. : Utawi kang aran di rumangsa, Di aja rumangsa, Di waspada,

47 87 Di aja wȇruh, Iku rumangsane dening wis kawimbuhan, sih wahyu nugrahaning Pangeran, ora rumangsa pisan-pisan, yèn anduwenana kang anyar kabèh, iki kagunganing Pangeran. Bisa di waspada iku, dèn awas ing sangkan parane, wis ora sak mamang. Dene basa diaja wȇruh iku, kang ora dèn kawruhi sarupane kang bangsa anyar kabèh, wis ora pisan yèn ngawruhan. [27]Utawa basa di rumangsa, di waspada iku, tuduh kang bȇnȇr, lan wȇkase kang tȇmȇn, iku kang aran sajatining tȇmȇn iku guru. Utawi wijènipun kawan prakawis punika ujudipun 28 : Sir, sampurnaning ngȇlȇd-ȇlȇdan, nȇpsune luamah, pangidhȇpe rasullolah, lungguhe ing eling. Osik, sampurnaning jȇjiling, kumpule ing rȇmpȇla, nȇpsune amarah, pangidhȇpe ing Allah, lungguhe ing cipta. Obah, sampurnaning rai, kumpule ing jajantung, nȇpsune supiyah, pangidȇpe ing Pangeran, lungguhe ing tekat. Karsa, sampurnane ing utȇk, kumpule ing pusȇr, nȇpsune mutmainah, pangidhȇpe Mukhamad, lungguhe ing budi. Utawi kang kocap ing ngajȇng punika, kang bangsa anyar lan kadim, kang bangsa kawula lan Gusti, kang bangsa batin lan lair. Utawi kang bangsa suh sirna, iku tan ana kang 28 wujudipun*

48 88 [28]kȇrasa, amung rasaning kitab, dene kang suh sirna iku, kang katon karungu lan sak rupane sawiji-wiji kabèh, iku tan ana rasa, iku amung rasa pangrasa kȇrasa, amung rasaning kitab, iku sajatine tan prabeda rasane, tan prabeda rupane. Utawi kang ingaran sajatining manungsa iku, wong kang wis ngawruhi ing wiwitane ana, tumȇka maring anane ing samȇngko, tumȇkane ing ora anane ing wȇkasan, yaiku kang jumȇnȇng manungsa, sajatining manungsa. Utawa bangsa limput-linimputan iku, tȇgȇse wȇngi lan rina, sore lan esuk, suruping wȇngi kalimputan raina, suruping esuk kalimputan ing sore. Utawi sampurnaning wȇngi iku pȇtȇnge, Utawi sampurnaning rina iku padhange, Utawi kang dados antaraning wȇngi lan raina, esuk antaraning raina, sore antaraning wȇngi. Utawa antaraning sakawan punika, dhewe- [29] dhewe, Ora ana rina lan wȇngi, esuk lan sore, iku kanyataaning donya. Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar, Gusti lan kawula, tȇgȇse dhewe - dhewe. Ora ana kawula dadi Gusti, Gusti dadi kawula. Ananging ana kalane limput-linimputan. Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti kalimputan ing kawula, kawula kalimputan ing Gusti.

49 89 Utawi karone iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar tȇka kadim, kang nganakakȇn. Nyatane Gusti, ananing kawula, lan ananing kawula kanyataaning Gusti. Utawi kang wus kocap ing ngajȇng wau sadaya, rasaning martabat sanga, lan rahsaning sahdad 29, lan rasaning kamuksan, lan rasaning kamulyan, kabèh iku prabot. Utawi kang sak bȇnȇre, satuhune kang kak, [30]ora aningali, ora tiningalan. Ora rumangsa, ora karasa, Dene pȇpungkasane iku, ora anȇmbah, ora sinȇmbah, ora muji, ora pinuji. Yaiku jumȇnȇng asma anane ngȇdad 30 kang wajibul wujud, kang wajib anane, kang mo 31 Utawi tȇgȇse kaprawiran kaluhuran. Tȇgȇse kaprawiran iku gȇni lan angin, sabab ora ana kang bisa nyirnakake kaya gȇni lan angin. Utawi kaluhuran iku tȇgȇse bumi lan banyu. ȇndi kang bisa awèh pangan iku nyatane luhur. Sapa kang bisa nyirnakake, yaiku nyatane luhur prawirane. Utawi nyatane sipat rahman, lan sipat rahkim Tȇgȇse sipat rahman iku bumi lan banyu. 29 sahadat* 30 ngȇdat* 31..(tidak berani memberi rekomendasi)k

50 90 [31]Sakrupaning thuthukulan kabèh mȇtu saka bumi, urip tȇka banyu. Dene tȇgȇsipun sipat rahkim punika angin lan gȇni, ȇndi nyatane, dene tariktinarik, kaya mȇntah matȇng tȇka gȇni, tȇlȇs aking tȇka angin, yaiku nyatane sipat rahkim lan rahman. Utawi kang cinatur wau sadaya, kasugihaning Allah, yaiku wajib bikak. Sampun ngantos sȇmang-sȇmang, gȇni pun lair tumȇka ing batos. Yèn botȇn dèn kawruhi sadaya, manawi salah surup, gȇni pun nekatakȇn, pupusing wiji-wiji kang wit-witing kang mȇdharakȇn bangsa kang kathah sadaya pȇsthi dèn tȇkatakȇn, ing lair tumȇkèng batin. Utawi wiwitaning alam nasud 32 iku, dados wontȇn pangucaping kaki, sabab kapanjingan cahya kang muklis, dening anak wus birahi. [32]Utawi wiwitaning alam malakut iku dados cahya kang muklis, manjing pangrunguning bapa lan biyung, sabab bapa aningali biyang wus birahi. Utawi wiwitaning alam jabarut punika, dados cahya kang muklis, manjing patȇmoning bapa lan biyang, kalaning pangantèn, sabab bungah karȇpe bapa lan biyang, lanang wadon. Utawi witaning 33 alam arwah punika, dados wontȇn sawang-sinawang, ing bapa lan biyang, sabab cahya kang muklis, manjing wontȇn rasaning johar. Utawi wiwitaning alam lahut punika, dados cahya kang muklis, sabab manjing liringing bapa lan biyang, sabab wus kapanjingan rasaning roh ilapi. 32 nasut* 33

51 91 Utawi cahya kang muklis panjinge wontȇn alam lahut, coplok sabab sampun campuh ing tingaling bapa lan biyang, dene cahya kang coplok saking ing alam lahut, punika manjing ing alam uluwiyah dados cahya kang muklis, punika gumantung tanpa canthelan, kang gumilang gilang kang waspada ing pribadènipun, utawi badhe nyatakakȇn kuwasaning mȇtu nur rasaning u- [33] rip, Dene kang nampani rasaning roh ilapi, tȇka roh ilapi manjing suwung bapa lan biyang. Utawi cahya kang wontȇn ing suwung punika, dados rasa tȇtiga, kang kawȇngku rasaning suwung iku bakal dados paningal kita. Utawi rasaning khak datolah, kang kawȇngku ing ratu kawan prakawis, punika tȇgȇsipun dados pangambu kita. Utawi rasaning sir, kang kawȇngku mosiking kalamolah, punika dados pangrungu kita. Utawi rasaning jumungah kang kawȇngku wontȇn ing sunat panyarok iku, dados pangucap kita. Utawi rasaning dad muttak 34, kang kawȇngku ing akhadiyat, dados tokit kita. Utawi rasaning johar awal, kang kawȇngku ing wahdad iku, dados napas kita. Utawi rasaning wujudtolah 35, kang kawȇngku ing wakidiyat iku, badhe dadosya wakita 36. Utawi cahya kang muklis, mȇnȇng wontȇn wakidiyat, dening badhe nyatakakȇn rasaning wujudolah* 36

52 92 [34]wujud mokal kang kawȇngku ing jisim alus, mangka lairing wujud meh mokal, dados rasaning mani, lan manikȇm, kang kawȇngku rasaning kalimah loro, dados ngalam, tȇgȇse dados kulit kita. Tȇgȇse alam ajȇsan, dados daging kita. Tȇgȇse alam misal, dados gȇtih kita. Tȇgȇse alam arwah, dados balung kita. Inggih punika laire kalimah kalih, dados alam kawan prakawis. Dununge wujud kita: utawi cahya kang muklis. Angsalipun kendȇl wontȇn ing wakidiyat, amawas gone nyatakakȇn ing kanyataan. Sarȇng dados coplok saking kalairaning jabang bayi, kang muklis iku manjing barȇng panangising jabang bayi, inggih punika wȇkasaning kawruh. Utawi osik punika minangka dados kadhatoning alam arwah, tȇrus rasaning johar, kang mȇngku urip kita, pitung prakawis. [35]Dening urip pitung prakara iku kasrah marang roh ilapi. Dununge wontȇn gène salat kajat sak rȇkangat, tanpa sujud tanpa rukuk, tanpa puji, tanpa dhikir,wontȇn ing alam lahut. Yèn kita turu, yèn kita mȇlèk, dununge wontȇn ing alam sulbi, tȇrus ing dhadha kita, salate kajat kang ngangge sujud rukuk.

53 93 Dununge salat panȇkung wontȇn ing alam uluhiyah: punika salate: salatun dakim mulakhak, yahu analkak, yahu-yahu, yahu sakkamalakak-kamalakak wujudte 37, lah ngali makripattolah. Utawi lakune roh iku dèn kawruhi, pancate ing lawang siji-sijine, waspadaning wȇkasan kita tumȇkaning sajati. Tatkala kèndȇl, roh iku: wontȇn ing alam nasut, ingaranan roh ibulwiyah 38, pujine: lamaujud dailolah. Tankala 39 kèndȇ 40 roh iku: wontȇn alam malakut, ingaranan roh ghaibul 41 uwiyah 42, puji- [36]ne: lamakbud daillollah. Tatkala kèndȇl roh iku: wontȇn ing alam arwah, ingaranan roh kudus, pujine : layatkuru laailollah. Tatkala andungkap ing alam lahut, ingaranan roh ilapi, tanpa puji, tanpa dhikir, amung arȇp paningale dhewe, iku ingaranan sih nugraha. Sirolah sirasa rohku: rasaku Allah, amurba rasaning dumadi kabèh. Rasaku rasa Mukamad 43, anyamadi rasaning dumadi kabèh. Ya ingsun kumpuling rasa, rasaku rasa wasesa, amȇsesani kang dumadi kabèh. Ya ingsun witing rasa, anaku ananing rasa, rasaku rasullolah, ajȇjuluka arolah; ajȇjuluk jalallolah, anglȇbur sakèhing kang ala, ya rasa ya rasullolah. 37 wujude* 38 uluwiyah@ 39 tatkala@ 40 kèndȇl@ 41 gaibul* 42 uluwiyah@ 43 Mukhamad*

54 94 Punika ngelmu kang linarangan para Nabi, para wali, para mukmin sadaya. Tȇgȇse kang ingaranan urip iku, ȇ-[37]nȇnge sadurunge ana sir. Tȇgȇse sadurunge ana karsa, iya iku kang sampurna: apȇngale 44. Ana dene sir iku nyatane rasa, ingsun yaiku dadtolah 45. Tȇgȇse rasa iku nyatane aling ingsun, yaiku sipatollah. Kang ingaran roh ilapi iku, kaya rupa nyata ing dalȇm sadurunge kita nyata, yaiku hakekat mukamaddiyah arane, lan ya ta rupa ing dalȇm maknawiyah iku : roh arane kakat manungsa arane. Dene kang aran ayat sabitah iku cahya, yaiku cahya kang luwih adi-adi, tȇgȇse rupa sadurunge nyata. Tȇgȇse roh ilapi, kanyataane sajroning soca, yaiku kang mahasucining Pangeran. Punika prȇnahing pati, kang datolah prȇnahe rupȇk, sȇbute : hu hu hu hu hu hu: yaiku sahadate dhewe. [38]Dene prȇnahe turu iku sipatollah, prȇnahe wus pȇrak, iku prȇnahing Allah, yaiku sirnaning sipat kabèh. Dene prȇnahe sȇmbahhyang iku ingkang nama Allah, prȇnahe ingkang ngalȇkah, iya iku antaraning muni lan mȇnȇng, yaiku antaraning Gusti lan kawula. Punika panglȇburan badan, sarta tekatipun pisan, ing patine. Punika sȇbutanipun: Alah lȇbur badan dadi nyawa, lȇbur nyawa dadi cahya, lȇbur cahya dadi roh ilapi, lȇbur roh ilapi dadi rasa, lȇbur rasa dadi sir, sirna mulih marang datolah, urip tan kȇna ing pati, urip salawase. 44 apngale* 45 datolah*

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap naskah SDR, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

WIRID WOLUNG PANGKAT

WIRID WOLUNG PANGKAT WIRID WOLUNG PANGKAT Kepercayaan Jawa yang asli menyatakan bahwa Dzat Tuhan yang disebut dengan Sang Hyang Wenang (Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Widdhiwasa, Hyang Agung) adalah "tan kena kinayangapa" artinya

Lebih terperinci

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan. PATHISARI Skripsi punika asil saking panaliten filologi tumrap Sěrat Pangracutan ingkang kasimpěn ing Perpustakaan Pura Pakualaman Ngayogyakarta mawi kode koleksi 0125/PP/73. Skripsi punika awujud suntingan

Lebih terperinci

SULUK DEWARUCI. (Suatu Tinjauan Filologis dan Kajian Isi)

SULUK DEWARUCI. (Suatu Tinjauan Filologis dan Kajian Isi) SULUK DEWARUCI (Suatu Tinjauan Filologis dan Kajian Isi) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

Nilai Moral Dalam Serat Dongeng Asmadaya (Sebuah Tinjauan Filologi Sastra)

Nilai Moral Dalam Serat Dongeng Asmadaya (Sebuah Tinjauan Filologi Sastra) Nilai Moral Dalam Serat Dongeng Asmadaya (Sebuah Tinjauan Filologi Sastra) Oleh: Mudika Nofalia Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa liadicha@yahoo.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB III OBJEK, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN

BAB III OBJEK, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN BAB III OBJEK, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah naskah Sunda berjudul Sajarah Cijulang (SC). Naskah SC merupakan naskah yang berada di kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB III KAJIAN ISI. dari pemikiran nenek moyang terdahulu. Dasar pemikiran serta teori-teori dasar

BAB III KAJIAN ISI. dari pemikiran nenek moyang terdahulu. Dasar pemikiran serta teori-teori dasar BAB III KAJIAN ISI Sumber ilmu dan pengetahuan yang berkembang saat ini, merupakan hasil dari pemikiran nenek moyang terdahulu. Dasar pemikiran serta teori-teori dasar yang kemudian dikembangkan dan dipelajari

Lebih terperinci

}USDA JATENG. l'l / 03

}USDA JATENG. l'l / 03 }USDA JATENG l'l / 03 BAB I PENDATIULUAN 1. 1. Latar Belakang Karya sastra lama dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah

Lebih terperinci

SERAT SASTRA GENDHING DALAM KAJIAN STRUKTURALISME SEMIOTIK

SERAT SASTRA GENDHING DALAM KAJIAN STRUKTURALISME SEMIOTIK SERAT SASTRA GENDHING DALAM KAJIAN STRUKTURALISME SEMIOTIK SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jawa oleh Aldila Syarifatul Na im 2151407001 BAHASA DAN SASTRA JAWA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BENTUK DAN MAKNA NAMA-NAMA BANGUNAN POKOK DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA SKRIPSI

BENTUK DAN MAKNA NAMA-NAMA BANGUNAN POKOK DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA SKRIPSI BENTUK DAN MAKNA NAMA-NAMA BANGUNAN POKOK DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Nama : Dewi Larasati NIM : 2102408087 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA FAKULTAS

Lebih terperinci

TRANSLITERASI. Pengertian Transliterasi. Manfaat Transliterasi. Metode Transliterasi. Masalah-Masalah Transliterasi

TRANSLITERASI. Pengertian Transliterasi. Manfaat Transliterasi. Metode Transliterasi. Masalah-Masalah Transliterasi TRANSLITERASI Pengertian Transliterasi Onions (dalam Darusuprapta 1984: 2), adalah suntingan yang disajikan dengan jenis tulisan lain. Manfaat Transliterasi 1. pelestarian naskah 2. pengenalan naskah Baried

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 32 BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Dalam melakukan sebuah penelitian diperlukan dengan adanya sebuah teori yang disertai dengan metode. Metode dapat diartikan sebagai cara-cara, strategi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filologi merupakan suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baroroh-Baried,

Lebih terperinci

BAB III CARA PANALITEN. metode deskriptif. Miturut pamanggihipun Sudaryanto (1988: 62) metode

BAB III CARA PANALITEN. metode deskriptif. Miturut pamanggihipun Sudaryanto (1988: 62) metode BAB III CARA PANALITEN A. Jinising Panaliten Panaliten menika kagolong jinising panaliten ingkang ngginakaken metode deskriptif. Miturut pamanggihipun Sudaryanto (1988: 62) metode deskriptif inggih menika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Naskah-naskah yang terdapat di Nusantara memiliki isi yang sangat kaya. Kekayaan itu dapat ditunjukkan oleh aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakan, misalnya masalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Filologi 1. Pengertian Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Dengan demikian, kata filologi membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sêrat Cêcangkriman yang selanjutnya disingkat SC termasukk jenis teks wirid karena isinya memuat ajaran tasawuf atau mistik (Marsono, 1991: 559). SC dikarang

Lebih terperinci

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Suluk Bodho Karya KGPA Anom Amangkunagara V

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Suluk Bodho Karya KGPA Anom Amangkunagara V Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Suluk Bodho Karya KGPA Anom Amangkunagara V Oleh: Najib Irwanto Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa najib.irwanto88@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi KI Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi KI Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Kelas/semester Materi Pokok Kompetensi Alokasi Waktu : SMP Negeri 1 Prambanan Klaten : Pendidikan Bahasa Jawa : VII/satu : Teks Cerita

Lebih terperinci

TINJAUAN FILOLOGI DAN ANALISIS AJARAN MARTABAT TUJUH DALAM SERAT CECANGKRIMAN KARYA RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA SKRIPSI

TINJAUAN FILOLOGI DAN ANALISIS AJARAN MARTABAT TUJUH DALAM SERAT CECANGKRIMAN KARYA RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA SKRIPSI TINJAUAN FILOLOGI DAN ANALISIS AJARAN MARTABAT TUJUH DALAM SERAT CECANGKRIMAN KARYA RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah naskah Wawacan Pandita Sawang yang beraksara Arab (Pegon) dan berbahasa Sunda, teks di dalamnya berbentuk puisi/wawacan. Naskah

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBALAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBALAJARAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBALAJARAN Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas/ Semester Pertemuan Ke : SMP N 2 Ngemplak : Bahasa Jawa : VIII/ Ganjil : 1 X Pertemuan Standar Kompetensi : 2. Mampu mengungkapkan pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini

Lebih terperinci

ANAFORA GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL GARUDA PUTIH KARYA SUPARTO BRATA

ANAFORA GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL GARUDA PUTIH KARYA SUPARTO BRATA i ANAFORA GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL GARUDA PUTIH KARYA SUPARTO BRATA SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan oleh Nama : Nila Haryu Kurniawati NIM : 2102407144 Prodi : Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Metode dapat diartikan sebagai cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004:34).

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas/Semester Pertemuan Ke Alokasi Waktu Kemampuan berbahasa : SMP N 4 Wates : Bahasa Jawa : VIII/ Gasal : 1 (satu) : 2 x 40 menit :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang dimiliki yaitu kebudayaan.koentjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari tujuh

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas/Semester Pertemuan Ke Alokasi Waktu Kemampuan berbahasa : SMP N 4 Wates : Bahasa Jawa : VIII/ Gasal : 1 (satu) : 2 x 40 menit :

Lebih terperinci

UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWI*

UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWI* UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWI* Dening Sutrisna Wibawa Universitas Negeri Yogyakarta 1. Pambuka Unggah-ungguhing basa mujudaken perangan ingkang baku soksintena ingkang ngginakaken basa Jawi. Tiyang dipunwastani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN FILOLOGIS. filologi yaitu, dimulai dari penjabaran deskripsi BMK, membuat kritik teks,

BAB II TINJAUAN FILOLOGIS. filologi yaitu, dimulai dari penjabaran deskripsi BMK, membuat kritik teks, BAB II TINJAUAN FILOLOGIS Pada bab II ini menguraikan tentang tinjauan filologis yang dilakukan terhadap naskah BMK. Hal ini dilakukan untuk membahas permasalahan secara mendalam yang ada di dalam naksah.

Lebih terperinci

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo KAJIAN FILOLOGI SERAT-SERAT ANGGITAN DALEM KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIYA MANGKUNEGARA IV JILID I (WANAGIRI JAMAN KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIYA MANGKUNEGARA III) Wahyu Aris Aprillianto Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaidah yang berlaku pada masing-masing bahasa. Masing-masing kata dalam kalimat

BAB I PENDAHULUAN. kaidah yang berlaku pada masing-masing bahasa. Masing-masing kata dalam kalimat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah kalimat umumnya terdiri dari rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku pada masing-masing bahasa. Masing-masing kata dalam kalimat tersebut

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ KAWRUH SAJATOSING GÊSANG WONTÊN ING SÊRAT SULUK WARNI-WARNI. Mohamad Wahyu Hidayat

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ KAWRUH SAJATOSING GÊSANG WONTÊN ING SÊRAT SULUK WARNI-WARNI. Mohamad Wahyu Hidayat KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ KAWRUH SAJATOSING GÊSANG WONTÊN ING SÊRAT SULUK WARNI-WARNI Mohamad Wahyu Hidayat 11205241011 Sarining Panalitèn Panalitѐn mênikå ancasipun kanggé ndamêl kajian filologi wontên ing

Lebih terperinci

Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh

Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh Oleh : Lilis setyorini Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa lilisetyo91@gmail.com Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menyajikan

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai peninggalan tulisan, naskah menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan pandangan hidup yang

Lebih terperinci

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang Oleh: Sugeng Triwibowo Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Miftah1919@gmail.com Abstrak:

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SatuanPendidikan : SMP N 4 WATES Kelas/Semester : VII/1 Mata Pelajaran : Bahasa Jawa Materi Pokok : Unggah-ungguh Alokasi Waktu : 2 X 40 menit (80 menit) A. Kompetensi

Lebih terperinci

Ngelmu Kang Kaesthi Jeng Sunan Prawata

Ngelmu Kang Kaesthi Jeng Sunan Prawata 1 Ngelmu Kang Kaesthi Jeng Sunan Prawata Sunan Prawata adalah suami dari Ratu Kalinyamat. Pucung Jatawau: gantya mangke kang sumambung, Jeng Sunan Prawata, ambuka tekading galih, pun makaten wahyaning

Lebih terperinci

SKRIPSI. oleh. Nama. : Elok Wahyuni. : Bahasa dan Sastra Jawa NIM. Program. Jurusan FAKULTAS

SKRIPSI. oleh. Nama. : Elok Wahyuni. : Bahasa dan Sastra Jawa NIM. Program. Jurusan FAKULTAS PEROLEHAN BAHASAA JAWA ANAK PLAYGROUP AULIYAA KENDAL USIA 3-4 TAHUN SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan oleh Nama NIM : Elok Wahyuni : 2102407065 Program studi :Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PRANATANING GÊSANG ING SÊRAT PURWÅKARÅNÅ. Yesi Permata Eko Wardani

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PRANATANING GÊSANG ING SÊRAT PURWÅKARÅNÅ. Yesi Permata Eko Wardani 1 KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PRANATANING GÊSANG ING SÊRAT PURWÅKARÅNÅ Yesi Permata Eko Wardani 12205241012 SARINING PANALITÈN Panalitèn mênikå ngêwrat gangsal ancas panalitèn. Ancasipun inggih mênikå 1) ngandharakên

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan hasil pikiran dari kehidupan manusia. Selain itu kebudayaan melatarbelakangi segala aspek kehidupan dan karenanya tidak dapat dipisahkan satu

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG STRUKTUR SERAT PARTAWIGENA SKRIPSI Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra oleh Nama : Imam Arief Hidayat NIM : 2151407002 Program Studi : Sastra Jawa Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Simbol, makna, ajaran, semiotik, Serat Suluk Kaga Kridha Sopana.

ABSTRAK. Kata Kunci: Simbol, makna, ajaran, semiotik, Serat Suluk Kaga Kridha Sopana. ABSTRAK Mustikawati,Yaroh. Menelusuri Makna Serat Suluk Kaga Kridha Sopana karya Raden Sastra Darsana. Skripsi. Program Studi Sastra Jawa. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas

Lebih terperinci

WIRID HIDAYAT JATI. Anggitanipun Pujangga R. NG. RANGGAWARSITA. Kabangun dening R. TANOJO. Penerbit TRIMURT Surabaya

WIRID HIDAYAT JATI. Anggitanipun Pujangga R. NG. RANGGAWARSITA. Kabangun dening R. TANOJO. Penerbit TRIMURT Surabaya WIRID HIDAYAT JATI Anggitanipun Pujangga R. NG. RANGGAWARSITA Kabangun dening R. TANOJO Penerbit TRIMURT Surabaya Pambuka Babon asline layang Wiri Hidayat Jati iki, karangane sang misuwur Raden Ngabehi

Lebih terperinci

SÊRAT DONGÈNG BRAMBANG BAWANG SAHA DONGÈNG ARUMSARI (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS)

SÊRAT DONGÈNG BRAMBANG BAWANG SAHA DONGÈNG ARUMSARI (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SÊRAT DONGÈNG BRAMBANG BAWANG SAHA DONGÈNG ARUMSARI (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sugeng enjang, mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sugeng enjang, mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya. BUPATI KULONPROGO WEDHAR SABDA WONTEN ING ACARA MUSYAWARAH CABANG VII GABUNGAN PELAKSANA KONSTRUKSI NASIONAL INDONESIA (GAPENSI) KABUPATEN KULONPROGO Wates, 12 Februari 2011 Assalamu alaikum Wr. Wb. Sugeng

Lebih terperinci

Konsep Ketuhanan Jawa Menurut Eyang Ismaya (SEMAR) Diposting oleh admin pada tanggal 19 September 2014

Konsep Ketuhanan Jawa Menurut Eyang Ismaya (SEMAR)  Diposting oleh admin pada tanggal 19 September 2014 Konsep Ketuhanan Jawa Menurut Eyang Ismaya (SEMAR) http://lib.hukum.univpancasila.ac.id Diposting oleh admin pada tanggal 19 September 2014 Masyarakat Jawa sudah mengenal suatu kekuatan yang maha dengan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PAMERAN BUKU MURAH KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014 TANGGAL 27 NOVEMBER 2014

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PAMERAN BUKU MURAH KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014 TANGGAL 27 NOVEMBER 2014 1 BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PAMERAN BUKU MURAH KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014 TANGGAL 27 NOVEMBER 2014 HUMAS DAN PROTOKOL SETDA KABUPATEN SEMARANG 2 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN 24 BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari beberapa uraian yaitu, (1) objek penelitian, (2) metode, (3) prosedur penelitian, (4) teknik pengumpulan data 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 II. BAGIAN-BAGIAN TUGAS AKHIR... 6

DAFTAR ISI. Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 II. BAGIAN-BAGIAN TUGAS AKHIR... 6 DAFTAR ISI Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 1. 1. Bahasa Penulisan... 1 1. 2. Format penulisan... 1 1. 3. Penomoran Halaman... 3 1. 4. Tabel, gambar, grafik, skema, dan objek lainnya... 3 1. 5.

Lebih terperinci

KEKERASAN EMOSIONAL PADA MASA PACARAN DITINJAU DARI KONSEP DIRI REMAJA SKRIPSI. Oleh : DIAN VITANIA ANGGRAINI

KEKERASAN EMOSIONAL PADA MASA PACARAN DITINJAU DARI KONSEP DIRI REMAJA SKRIPSI. Oleh : DIAN VITANIA ANGGRAINI KEKERASAN EMOSIONAL PADA MASA PACARAN DITINJAU DARI KONSEP DIRI REMAJA SKRIPSI Oleh : DIAN VITANIA ANGGRAINI 03.40.0243 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2008 KEKERASAN EMOSIONAL

Lebih terperinci

Analisis Kalimat Majemuk dalam Cerita Bersambung Ngoyak Lintang Karya Al Aris Purnomo

Analisis Kalimat Majemuk dalam Cerita Bersambung Ngoyak Lintang Karya Al Aris Purnomo Analisis Kalimat Majemuk dalam Cerita Bersambung Ngoyak Lintang Karya Al Aris Purnomo Oleh: Feni Astuti Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa fenia228@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

SÊRAT KRIDHASMARA (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS)

SÊRAT KRIDHASMARA (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SÊRAT KRIDHASMARA (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Filologi Filologi adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah

Lebih terperinci

KESALAHAN BERBAHASA JAWA PADA PAPAN NAMA PERTOKOAN DI KABUPATEN PEMALANG

KESALAHAN BERBAHASA JAWA PADA PAPAN NAMA PERTOKOAN DI KABUPATEN PEMALANG KESALAHAN BERBAHASA JAWA PADA PAPAN NAMA PERTOKOAN DI KABUPATEN PEMALANG SKRIPSI disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan oleh Nama : Nopita Ika Rahmawati NIM : 2102406677 Prodi : Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

Tarik Nafas Tahan Nafas Keluarkan Nafas Jumlah 10 Detik 10 Detik 10 Detik 30 Detik Minggu I : 3 kali

Tarik Nafas Tahan Nafas Keluarkan Nafas Jumlah 10 Detik 10 Detik 10 Detik 30 Detik Minggu I : 3 kali Cipto/cipta bermakna: pengareping rasa, tunggal artinya satu atau difokuskan ke satu obyek. Jadi Cipta Tunggal bisa diartikan sebagai konsentrasi cipta. 1. Cipta, karsa ( kehendak ) dan pakarti ( tindakan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG DIKSI DALAM NOVEL CLEMANG-CLEMONG KARYA SUPARTO BRATA SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh Nama : Ria Hutaminingtyas NIM : 2102405609 Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Jurusan

Lebih terperinci

AAK culture library I Javanese Manuscripts

AAK culture library I Javanese Manuscripts KITAB TOPAH Punika serat kino mengku piwulang kabatosan kautamaning gesang Pengarangipun sampun boten kasumerepan. Kulo babar murih boten ical tanpa lari. Kanggen nambahi kathahing serat-serat Jawi. Sinten

Lebih terperinci

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI TRI ULFA SUSILA 2611414001 Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Keywords:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,

Lebih terperinci

KISI-KISI PENULISAN SOAL

KISI-KISI PENULISAN SOAL KISI-KISI PENULISAN SOAL Jenis Sekolah : SMP Kelas VII/ Semester 1 Alokasi Waktu : 90 menit Mata Pelajaran : Bahasa Jawa Jumlah 10 PG, 5 uraian Kurikulum : Kurikulum 2013 NO KOMPETENSI KOMPETENSI KELAS/

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

ETIKA DAN ESTETIKA CERITA MINTARAGA GANCARAN KARYA PRIJOHOETOMO

ETIKA DAN ESTETIKA CERITA MINTARAGA GANCARAN KARYA PRIJOHOETOMO ETIKA DAN ESTETIKA CERITA MINTARAGA GANCARAN KARYA PRIJOHOETOMO Oleh: Ririh Probo Siwi program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa siwiririh@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

MEDIA PASINAON MAOS UKARA MAWI AKSARA JAWA KANTHI POP-UP BOOK KANGGE SISWA KELAS VII SMPN 1 IMOGIRI

MEDIA PASINAON MAOS UKARA MAWI AKSARA JAWA KANTHI POP-UP BOOK KANGGE SISWA KELAS VII SMPN 1 IMOGIRI Media Pasinaon Maos... Destiya Novia 65 MEDIA PASINAON MAOS UKARA MAWI AKSARA JAWA KANTHI POP-UP BOOK KANGGE SISWA KELAS VII SMPN 1 IMOGIRI READING JAVANESE SCRIPT LEARNING MEDIA WITH POP-UP BOOK FOR STUDENT

Lebih terperinci

Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat

Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat Oleh: Anis Cahyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa namakuaniscahyani@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

STRUKTUR TEKS SERAT PANITIBAYA

STRUKTUR TEKS SERAT PANITIBAYA STRUKTUR TEKS SERAT PANITIBAYA SKRIPSI disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Oleh Galih Mardiyoga 2102406566 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA

Lebih terperinci

Nilai Moral dalam Serat NitipranaKarangan Raden Ngabehi Yasadipura

Nilai Moral dalam Serat NitipranaKarangan Raden Ngabehi Yasadipura Nilai Moral dalam Serat NitipranaKarangan Raden Ngabehi Yasadipura Oleh: Wisnu Wardani Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa wardanywisnu@yahoo.co.id Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk:

Lebih terperinci

SERAT SULUK GA IB. Sajroning batin Muhammad, ya Muhammad lahir batin, ya Allah ing badanira, iya lahir iya batin, lir ombaking jaladri, tungagae

SERAT SULUK GA IB. Sajroning batin Muhammad, ya Muhammad lahir batin, ya Allah ing badanira, iya lahir iya batin, lir ombaking jaladri, tungagae ======= ======= SERAT SULUK GA IB Suluk Ga ib punika piwucal peparingipun Eyang Kangjeng Susuhunan Kalijaga, punika mboten dipun tembangaken, namung dipun waos lan dipun raos. S I N O M Iki kang dadi lelarangan,

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PIWULANG MORAL WONTÊN ING SÊRAT ÉNDRÅLAKSITÅ

KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PIWULANG MORAL WONTÊN ING SÊRAT ÉNDRÅLAKSITÅ 18 Jurnal Penelitian Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa Volume 6, Nomor 8, Agustus 2017 KAJIAN FILOLOGI SÅHÅ PIWULANG MORAL WONTÊN ING SÊRAT ÉNDRÅLAKSITÅ PHILOLOGY STUDY AND MORAL VALUES IN SÊRAT ÉNDRÅLAKSITÅ

Lebih terperinci

QUR AN SUCI JARWA JAWI. DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali.

QUR AN SUCI JARWA JAWI. DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali. QUR AN SUCI JARWA JAWI DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali www.aaiil.org The Holy Quran Yasanipun Ingkang Anjarwakaken Design Layout : Maulana Muhammad Ali : R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita & M.

Lebih terperinci

SINESTESIA PADA TUTURAN MAHASISWA PBSJ FBS UNNES SKRIPSI

SINESTESIA PADA TUTURAN MAHASISWA PBSJ FBS UNNES SKRIPSI SINESTESIA PADA TUTURAN MAHASISWA PBSJ FBS UNNES SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan oleh Nama : Suciati Duwi Sartika NIM : 2102407125 Prodi Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa :

Lebih terperinci

AAK culture library I Javanese Manuscripts

AAK culture library I Javanese Manuscripts KITAB PUNTIR PALAKIYAH Bab punika ingkang gadhah pikajengan badhe sires mawi kalantar an2 iji dhadhu, namung bucal sapindhah kadosta main dhadhu. Kadosta: manawi badhe mitaken ing bab prakawis jangka 13

Lebih terperinci

NASKAH SÊRAT KAWRUH MAHNITISMÊ (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS)

NASKAH SÊRAT KAWRUH MAHNITISMÊ (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) NASKAH SÊRAT KAWRUH MAHNITISMÊ (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagai Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Uniersitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

SERAT GAREBEG MULUD PB VII (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN ISI)

SERAT GAREBEG MULUD PB VII (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN ISI) SERAT GAREBEG MULUD PB VII (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN ISI) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Lebih terperinci

NARASI KELISANAN DALAM TRADISI NGLIWETI PARI DESA JURANGJERO REMBANG

NARASI KELISANAN DALAM TRADISI NGLIWETI PARI DESA JURANGJERO REMBANG NARASI KELISANAN DALAM TRADISI NGLIWETI PARI DESA JURANGJERO REMBANG Skripsi Untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Oleh Nama : Arie Ikha Safitri NIM : 2102407060 Program Studi : Pendidikan Bahasa dan

Lebih terperinci

Analisis Gaya Bahasa Kiasan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Prau Gethek Nyabrang Jaladri Karya Ir. H. Soekirman

Analisis Gaya Bahasa Kiasan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Prau Gethek Nyabrang Jaladri Karya Ir. H. Soekirman Analisis Gaya Bahasa Kiasan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Prau Gethek Nyabrang Jaladri Karya Ir. H. Soekirman Oleh: Devita Pangestuti Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Pangestutidevita@gmail.com

Lebih terperinci

DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH

DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris,

Lebih terperinci

KITAB ARKIYAK I. (Suatu Tinjauan Filologis)

KITAB ARKIYAK I. (Suatu Tinjauan Filologis) KITAB ARKIYAK I (Suatu Tinjauan Filologis) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Disusun

Lebih terperinci

Analisis Konjungsi dalam Wacana Berita pada Rubrik Sariwarta di Majalah Panjebar Semangat Edisi Januari-Desember 2013

Analisis Konjungsi dalam Wacana Berita pada Rubrik Sariwarta di Majalah Panjebar Semangat Edisi Januari-Desember 2013 Analisis Konjungsi dalam Wacana Berita pada Rubrik Sariwarta di Majalah Panjebar Semangat Edisi Januari-Desember 2013 Oleh: Nur Widiawati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa nurwidiawati93@yahoo.com

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Sekolah Mata Pelajaran Kelas/Semester Alokasi Waktu : SMP N 8 YOGYAKARTA : Bahasa Jawa : IX/1 : 2 X 40 ( 1 pertemuan) A. Standar Kompetensi Mengungkapkan pikiran, pendapat,

Lebih terperinci

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU "

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU " Dalam Sandi Sastra : Ha Huripku Cahyaning Allah Na Nur Hurip cahya wewayangan Ca Cipta rasa karsa kwasa Ra Rasa kwasa tetunggaling pangreh Ka Karsa kwasa kang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada jaman sekarang dapat dikatakan merupakan buah pikir dari warisan leluhur. Warisan leluhur dapat berupa artefak yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP TERJEMAH KURAN JAWI BAGUS NGARPAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP TERJEMAH KURAN JAWI BAGUS NGARPAH 65 BAB IV ANALISIS TERHADAP TERJEMAH KURAN JAWI BAGUS NGARPAH A. Sistem Penerjemahan Allah telah menurunkan kitab-nya kepada seluruh makhluk untuk menjadi sumber petunjuk, bimbingan dan kebahagiaan bagi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 II. BAGIAN-BAGIAN TUGAS AKHIR... 5

DAFTAR ISI. Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 II. BAGIAN-BAGIAN TUGAS AKHIR... 5 DAFTAR ISI Hal I. FORMAT PENULISAN SECARA UMUM... 1 1. 1. Bahasa Penulisan... 1 1. 2. Format penulisan... 1 1. 3. Penomoran Halaman... 3 1. 4. Tabel, gambar, grafik, skema, dan objek lainnya... 3 1. 5.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 29 BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala jalan atau cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah

Lebih terperinci

pemilik code yang close sou bisa membagi source coden melalui lisensi, entah denga gratis maupun membayar. Meskipun gratis, lisensi terte bisa

pemilik code yang close sou bisa membagi source coden melalui lisensi, entah denga gratis maupun membayar. Meskipun gratis, lisensi terte bisa pemilik code yang close sou bisa membagi source coden melalui lisensi, entah denga gratis maupun membayar. Meskipun gratis, lisensi terte bisa membuat sebuah softw tidak sepenuhnya open sour Misalnya jika

Lebih terperinci

Oleh : Mas Kumitir 1 P A M E L E N G

Oleh : Mas Kumitir 1 P A M E L E N G Oleh : Mas Kumitir 1 A J I P A M E L E N G Tegesipun aji = ratu, pameleng = pasamaden; mengku pikajeng : tandaning sedya ingkang luhur piyambak. Dene empaning pandamelan wau winastan manekung, pujabrata,

Lebih terperinci

Analisis Nilai Moral Rubrik Wacan Bocah dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Juni-Desember 2013 dan Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang

Analisis Nilai Moral Rubrik Wacan Bocah dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Juni-Desember 2013 dan Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang Analisis Nilai Moral Rubrik Wacan Bocah dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Juni-Desember 2013 dan Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang Oleh: Imroati Hasanah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Lebih terperinci

Ikrar Minamata インドネシア語

Ikrar Minamata インドネシア語 インドネシア語 Ikrar Minamata Melalui kisah lima puluh tahun lalu di Minamata, didapati banyak kegagalan. Dalam penelitian ini, telah dipelajari dari Minamata, betapa sulitnya mengembalikan lingkungan alam yang

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) A. Kompetensi Inti 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) A. Kompetensi Inti 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan Kelas/Semester Mata Pelajaran Materi Pokok Alokasi Waktu : SMP N 4 WATES : VII/ Gasal : Bahasa Jawa : Unggah-ungguh : 80 menit A. Kompetensi Inti

Lebih terperinci

DEIKSIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 2 SRAGEN

DEIKSIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 2 SRAGEN DEIKSIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 2 SRAGEN SKRIPSI oleh: BAGUS PRAMURADYA E.G.S. K1209012 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA JULI 2013 DEIKSIS

Lebih terperinci

Kajian Moral Cerita Rakyat Pangeran Elor Lan Pangeran Wetan Karya Anie Soemarno Dalam Majalah Jaya Baya Edisi Maret 2009-April 2009

Kajian Moral Cerita Rakyat Pangeran Elor Lan Pangeran Wetan Karya Anie Soemarno Dalam Majalah Jaya Baya Edisi Maret 2009-April 2009 Kajian Moral Cerita Rakyat Pangeran Elor Lan Pangeran Wetan Karya Anie Soemarno Dalam Majalah Jaya Baya Edisi Maret 2009-April 2009 Oleh: Siswo Mardi Saputro Program setudi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

Mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya.

Mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya. BUPATI KULONPROGO WEDHAR SABDA WONTEN ING ACARA MBIKAK UNDIAN KUPON BLONJO MIRAH ING BALAI DESA NOMPOREJO, GALUR Assalamu alaikum Wr. Wb. Wates, 5 Maret 2011 Mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan

Lebih terperinci

QUR AN SUCI JARWA JAWI. DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali.

QUR AN SUCI JARWA JAWI. DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali. QUR AN SUCI JARWA JAWI DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali www.aaiil.org The Holy Quran Yasanipun Ingkang Anjarwakaken Design Layout : Maulana Muhammad Ali : R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita & M.

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas/Semester Pertemuan Ke Alokasi Waktu Kemampuan berbahasa : SMP N 4 Wates : Bahasa Jawa : VIII/ Gasal : 1 (satu) : 2 x 40 menit :

Lebih terperinci