BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang"

Transkripsi

1 BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel yang diambil harus mewakili populasi dan multikolinearitas. Apabila terjadi multikolinearitas diatasi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Hasil dari Principal Component (PC) yang terbentuk digunakan sebagai variabel bebas baru untuk mengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage. Perbandingan kinerja antara metode Ward dan Average Linkage dilakukan untuk memilih metode yang menghasilkan cluster lebih baik. A. Analisis Cluster Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis cluster merupakan analisis yang digunakan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Seperti teknik analisis lain, analisis cluster menetapkan adanya asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi dalam analisis cluster yaitu: 1. Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang ada Untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan telah mewakili populasi, dapat dilihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO). Kaiser Meyer 36

2 Olkin (KMO) adalah indeks perbandingan nilai koefisien korelasi terhadap korelasi parsial (Yamin dan Kurniawan, 2014: 181). (3. 1) (3. 2) Keterangan: = banyaknya variabel = koefisien korelasi antara variabel dan = koefisien korelasi parsial antara variabel dan Menurut Yamin, Rachmach dan Kurniawan (2011: 122), jika nilai KMO < 0,5, maka sampel tidak mewakili populasi, sedangkan jika nilai KMO > 0,5, maka sampel mewakili populasi sehingga layak untuk dilakukan analisis cluster. 2. Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear atau korelasi yang tinggi antar variabel. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai-nilai korelasi pada matriks korelasi. Dua variabel atau lebih dikatakan multikolinearitas apabila nilai korelasinya > 0,70 (Yamin dan Kurniawan, 2014: 70). Apabila terjadi multikolinearitas diatasi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Kelebihan dari PCA yaitu dapat mengatasi multikolinearitas secara bersih. Artinya, principal component hasil dari PCA bebas dari multikolinearitas. 37

3 B. Principal Component Analysis (PCA) Principal Component Analysis (PCA) bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Prinsip utama dari PCA adalah terdapatnya korelasi antar variabel sehingga diduga bahwa variabel-variabel tersebut dapat direduksi. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi antar variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel bebas baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau sering disebut dengan principal component (Johnson dan Wichern, 2007: 430). Principal component (PC) merupakan suatu kombinasi linear dari variabel-variabel asal. Pembentukan PC berdasarkan dua cara yaitu matriks kovarian atau matriks korelasi (Johnson dan Wichern, 2007: 431). Pembentukan PC berdasarkan matriks kovarian digunakan apabila variabel yang diamati mempunyai satuan pengukuran yang sama, sedangkan matriks korelasi digunakan apabila variabel yang diamati mempunyai satuan berbeda. Pada skripsi ini digunakan matriks korelasi karena variabel yang digunakan memiliki satuan berbeda. Tahapan menentukan PC berdasarkan matriks korelasi adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: ): 1. Membuat matriks yang berisi data dari variabel X yang telah distandarisasi. 2. Membuat matriks korelasi dari yaitu. Pereduksian PC dimulai dengan mencari nilai eigen yang diperoleh dari persamaan: 38

4 (3. 3) dimana jumlahan nilai eigen merupakan trace matriks korelasi atau jumlah diagonal matriks korelasi, yaitu: (3. 4) Nilai eigen selalu diurutkan dari yang terbesar sampai nilai terkecil. Nilai eigen menunjukkan besarnya total varian yang dijelaskan oleh PC yang terbentuk. saling orthogonal dan dibentuk berdasarkan persamaan: (3. 5) Vektor eigen diperoleh dari setiap nilai eigen yang memenuhi persamaan: (3. 6) Beberapa ketentuan PCA dalam membentuk principal component adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: ): 1. Principal Component (PC) yang terbentuk sebanyak variabel yang diamati dan setiap PC merupakan kombinasi linear dari variabel-variabel tersebut. 2. Setiap PC saling orthogonal dan saling bebas. 3. Principal Component (PC) dibentuk berdasarkan urutan total varian yang terbesar hingga paling kecil, dalam arti sebagai berikut: a. Principal Component pertama adalah kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati dan memiliki varian terbesar. b. Principal Component kedua adalah kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap dan memiliki varian terbesar kedua. 39

5 c. Principal Component ketiga adalah kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap maupun dan memiliki varian terbesar ketiga. d. Principal Component ke- adalah kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap,,..., dan memiliki varian paling kecil. Sebelum dilakukan PCA, terlebih dahulu dilakukan beberapa pengujian sebagai berikut: 1. Uji Kaiser Meyer Olkin (KMO) Syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan PCA yaitu data yang digunakan telah mencukupi untuk dianalisis. Nilai KMO dapat dicari menggunakan persamaan (3. 1) dan (3. 2). 2. Uji Bartlett Uji Bartlett digunakan untuk mengetahui apakah matriks korelasi hubungan antara variabel adalah matriks identitas. Hal ini digunakan untuk menguji kecukupan hubungan antara variabel, dimana matriks identitas mempunyai diagonal matriks bernilai 1 dan yang lainnya adalah 0. Urutan pengujian sebagai berikut: Hipotesis: : matriks korelasi = matriks identitas : matriks korelasi matriks identitas Statistik uji : (3. 7) 40

6 Keterangan: = nilai determinan matriks korelasi = banyaknya data = banyaknya variabel Kriteria keputusan: Tolak jika > atau Setelah dilakukan uji KMO dan Bartlett, dilakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA). Measure of Sampling Adequacy (MSA) digunakan untuk mengetahui variabel mana saja yang layak dilakukan PCA. Nilai MSA dapat dilihat pada output SPSS anti images matrices bagian correlation yang ditunjukkan oleh diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang bertanda huruf a dan diperoleh dari persamaan berikut: (3. 8) dengan = 1, 2, 3,..., 7, = 1, 2, 3,..., 7, dan Jika nilai MSA > 0,5 maka variabel layak dilakukan PCA (Yamin dan Kurniawan, 2014: 186). Principal component hasil dari PCA akan digunakan sebagai variabel bebas baru untuk dianalisis cluster menggunakan metode Ward dan Average Linkage. Sebelum penyusunan cluster, terlebih dahulu dilakukan pemilihan ukuran jarak. Ukuran jarak yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat. Adapun persamaan Euclid kuadrat adalah sebagai berikut: (3. 9) 41

7 C. Metode Ward Metode Ward merupakan salah satu metode hirarki dalam analisis cluster. Metode Ward bertujuan untuk memperoleh cluster yang memiliki varian dalam cluster (within cluster) sekecil mungkin. Ukuran kesamaan yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat (Supranto, 2010: 154). Metode Ward mengelompokkan objek didasarkan pada kenaikan sum square error (SSE). Pada tiap tahap, dua cluster yang memiliki kenaikan SSE paling kecil digabungkan (Simamora, 2005: 218). Sum Square Error (SSE) dapat dihitung menggunakan persamaan (Gudono, 2014: 294): Keterangan: SSE = sum square error = jumlah anggota cluster = nilai atau data dari objek ke- = rata-rata (mean) nilai objek dalam sebuah cluster (3. 10) Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode Ward adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: ): 1. Dimulai dari setiap objek dianggap sebagai sebuah cluster tersendiri, maka terdapat N cluster yang mempunyai satu objek. Pada tahap ini SSE bernilai nol. 2. Menghitung nilai SSE untuk setiap kombinasi dua pasang cluster dari N cluster, lalu memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Secara sistematik, N cluster akan berkurang 1 pada setiap tahap (N-1). 42

8 3. Membuat kombinasi dua pasang cluster baru yang terdiri dari satu cluster yang telah terbentuk dan cluster yang lain, lalu menghitung nilai SSE lagi. Memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. 4. Mengulangi langkah (3) sampai semua objek bergabung menjadi satu cluster. D. Metode Average Linkage Metode average linkage (pautan rata-rata) adalah metode pengelompokan yang jarak antara dua cluster didefinisikan sebagai rata-rata jarak seluruh pasangan yang berada dalam satu cluster dengan cluster yang lain. Untuk menghitung rata-rata jarak pada metode average linkage digunakan persamaan (Johnson dan Wichern, 2007: 690): (3. 11) Keterangan: = jarak antara cluster dan cluster = jarak antara objek pada cluster dan objek pada cluster = jumlah anggota pada cluster = jumlah anggota pada cluster Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode average linkage adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: 690): 1. Mencari dua objek yang memiliki kesamaan paling dekat pada matriks similaritas. Misal kedua objek itu adalah objek dan. 2. Menggabungkan objek dan ke dalam satu cluster. 43

9 3. Penggabungan kedua merupakan penggabungan cluster dengan cluster lain yang memiliki kesamaan paling dekat, misal cluster. Penggabungan kedua dihitung menggunakan persamaan (3. 10). 4. Mengulangi langkah (3) sebanyak N-1 kali, dimana N adalah jumlah objek. E. Penentuan Metode Terbaik Untuk menentukan metode yang menghasilkan cluster terbaik, digunakan nilai-nilai simpangan baku dalam cluster (within cluster) dan antar cluster (between cluster). Persamaan-persamaan simpangan baku dalam dan antar cluster sebagai berikut: 1. Simpangan baku dalam cluster (within cluster) Keterangan: = simpangan baku dalam cluster = banyaknya cluster yang terbentuk = simpangan baku cluster ke-k 2. Simpangan baku antar cluster (between cluster) Keterangan: = simpangan baku antar cluster = banyaknya cluster yang terbentuk = rata-rata cluster ke-k = rata-rata seluruh cluster (3. 12) (3. 13) Metode yang mempunyai rasio terkecil merupakan metode terbaik (Bunkers dkk, 1996: 136). Semakin kecil nilai dan semakin besar nilai, 44

10 maka metode yang digunakan mempunyai kinerja yang baik, artinya homogenitasnya tinggi. Dari uraian diatas, langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis cluster disajikan dalam bagan sebagai berikut: Menguji asumsi dalam analisis cluster Menambah variabel baru tidak Kecukupan sampel memenuhi Multikoli nearitas tidak ya PCA Menghitung ukuran jarak Euclid kuadrat Mengelompokkan objek menggunakan metode Ward dan Average Linkage Menentukan metode yang menghasilkan cluster terbaik Menginterpretasi hasil cluster Gambar 3. 1 Langkah-langkah Analisis Cluster 45

11 F. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Tengah Menggunakan Metode Ward dan Average Linkage 1. Deskripsi Data Data yang digunakan merupakan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah tahun Data diambil dari publikasi BPS berupa buku yang berjudul Jawa Tengah Dalam Angka 2015, Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah 2014, dan Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota Tahun Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2014 antara lain sebagai berikut: a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Sri Aditya (2010) dalam Prastyo (2010: 44) PDRB merupakan salah satu alat pengukur pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode pendekatan produksi dalam menghitung PDRB. Dengan menggunakan metode pendekatan produksi, PDRB merupakan penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada satu periode tertentu. NTB dihitung dengan mengeluarkan komponen biaya dari output. Output adalah nilai seluruh barang dan jasa hasil proses produksi. Output suatu jenis komoditas adalah hasil perkalian antara kuantitas produksi dengan harga/tarif jual per unit barang, dimana harga 46

12 yang dimaksud merupakan harga pada tingkat produsen. Biaya antara adalah nilai seluruh barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Secara matematis penghitungan PDRB menggunakan metode pendekatan produksi dirumuskan sebagai berikut (BPS): Keterangan: = kuantitas produksi = harga produsen = biaya antara = output = nilai tambah bruto b. Pengeluaran perkapita (3. 14) (3. 15) (3. 16) Pengeluaran perkapita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan (Widiastuti, 2016: 9). Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Pengukuran hidup layak menggunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok makanan dan bukan makanan. c. Upah minimum Upah minimum mempunyai hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan (Prastyo, 2010: 107). Hal ini menunjukkan bahwa apabila upah minimum meningkat maka tingkat kemiskinan mengalami 47

13 penurunan. Upah minimum merupakan suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja. Upah minimum yang digunakan dalam skripsi ini adalah upah minimum kabupaten/kota. Penetapan upah minimum kabupaten/kota harus lebih besar dari upah minimum provinsi dan ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum yaitu 1 Januari ( d. Gizi buruk balita Tingkat kesehatan mempunyai hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan (Wahyudi dan Rejekingsih, 2013: 14). Hal ini menunjukkan bahwa apabila tingkat kesehatan baik maka tingkat kemiskinan mengalami penurunan. Dalam skripsi ini digunakan banyaknya balita yang mengalami gizi buruk untuk mengukur tingkat kesehatan. Semakin sedikit balita yang mengalami gizi buruk di suatu daerah, maka tingkat kesehatan masyarakat di daerah tersebut semakin baik. e. Rata-rata lama sekolah Rata-rata lama sekolah digunakan sebagai salah satu tolak ukur tingkat pendidikan di suatu daerah. Semakin tinggi tingkat pendidikan dapat membantu menurunkan tingkat kemiskinan di suatu daerah (Wahyudi dan Rejekingsih, 2013: 14). f. Rasio Ketergantungan Menurut BPS, rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun ditambah dengan jumlah penduduk 48

14 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tahun. Adapun persamaan rasio ketergantungan adalah sebagai berikut: (3. 17) Keterangan: = rasio ketergantungan = jumlah penduduk usia 0-14 tahun = jumlah penduduk usia 65 tahun keatas = jumlah penduduk usia tahun Rasio ketergantungan dapat digunakan sebagai indikator yang menunjukkan keadaan ekonomi suatu daerah. Semakin tinggi persentase rasio ketergantungan menunjukkan semakin tinggi beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk usia tidak produktif (Badan Pusat Statistik). g. Pengangguran Pengangguran mempunyai hubungan positif dengan tingkat kemiskinan (Prastyo, 2010: 109). Semakin banyak pengangguran maka tingkat kemiskinan juga semakin meningkat. Menurut BPS, pengangguran adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, bersedia menerima pekerjaan, dan sedang mencari pekerjaan. Dalam skripsi ini pengangguran yang dimaksud adalah pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Data-data dari variabel sampai diberikan pada Lampiran 1. Ketujuh variabel tersebut digunakan untuk mengelompokkan tingkat 49

15 kemiskinan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage. 2. Uji Asumsi Analisis Cluster Terdapat asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis cluster, yaitu: a. Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang ada Untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan telah mewakili populasi, dapat dilihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO). Berdasarkan persamaan (3.1) dan (3.2) dan perhitungan menggunakan SPSS 20, diperoleh nilai KMO sebesar 0,713. Nilai tersebut lebih dari 0,5, maka sampel telah mewakili populasi sehingga layak untuk dilakukan analisis cluster. b. Multikolinearitas Asumsi lain analisis cluster yaitu multikolinearitas. Multikolinearitas adalah adanya korelasi atau hubungan yang sangat tinggi antar variabel. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai-nilai korelasi pada matriks korelasi. Dua variabel atau lebih dikatakan multikolinearitas apabila nilai korelasinya > 0,70 (Yamin dan Kurniawan, 2014: 70). Berdasarkan persamaan (2. 8) dan perhitungan menggunakan program SPSS 20 diperoleh nilai-nilai korelasi antar variabel pada Lampiran 2 dengan hasil sebagai berikut: 50

16 Tabel 3.1. Korelasi Antar Variabel 1,00 0,250 1,00 0,435 0,466 1,00 0,502-0,403-0,036 1,00 0,247 0,777 0,476-0,425 1,00-0,269-0,646-0,586 0,441-0,683 1,00 0,516-0,234 0,147 0,862-0,281 0,207 1,00 Tabel 3. 1 menunjukkan bahwa variabel dan, dan mengalami multikolinearitas karena nilai korelasi lebih dari 0,7. Karena terjadi multikolinearitas antar variabel, maka perlu dilakukan penanganan multikolinearitas guna memenuhi asumsi dalam analisis cluster. Penanganan masalah multikolinearitas menggunakan Principal Component Analysis (PCA). 3. Principal Component Analysis (PCA) PCA bertujuan untuk menyederhanakan variabel-variabel yang diamati dengan mereduksi dimensinya tanpa kehilangan banyak informasi dari variabel asal/aslinya. Pemilihan metode PCA dikarenakan metode ini mampu mengatasi masalah multikolinearitas secara bersih. Artinya, setiap principal component yang terbentuk dari PCA bebas dari multikolinearitas. Sebelum melakukan PCA, terlebih dahulu melakukan uji KMO dan Bartlett. Uji KMO telah dilakukan untuk memenuhi asumsi dalam analisis cluster dan diperoleh nilai KMO sebesar 0,713. Hal ini menunjukkan bahwa data layak untuk dilakukan PCA. Uji Bartlett digunakan untuk mengetahui apakah matriks korelasi hubungan antara variabel adalah 51

17 matriks identitas, sehingga diketahui korelasi antar variabel. Berdasarkan persamaan (3.7) dan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh hasil (Lampiran 3) nilai = 0,000 < = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi antar variabel sehingga perlu dilakukan PCA. Setelah dilakukan uji KMO dan Bartlett, dilakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA). MSA digunakan untuk mengetahui variabel mana saja yang layak dilakukan PCA. Berdasarkan persamaan (3.8) dan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh nilai-nilai MSA yang terdapat pada output anti image matrices bagian correlation pada Lampiran 3. Nilai MSA ditunjukkan oleh diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang bertanda huruf a. Hasil dari MSA ditunjukkan oleh tabel berikut: Tabel 3.2. Nilai Measures of Sampling Adequacy (MSA) Variabel MSA 0,659 0,805 0,853 0,577 0,811 0,745 0,630 Variabel layak dilakukan PCA apabila mempunyai nilai MSA lebih dari 0,5. Dari tabel 3. 2 terlihat bahwa nilai-nilai MSA dari ketujuh variabel semuanya lebih dari 0,5, maka ketujuh variabel tersebut layak untuk dilakukan PCA. Setelah uji KMO, Bartlett, dan MSA terpenuhi, maka dilakukan PCA. Pembentukan Principal Component (PC) untuk ketujuh variabel yang digunakan berdasarkan matriks korelasi. Pemilihan penggunaan matriks korelasi dikarenakan ketujuh variabel mempunyai satuan berbeda, 52

18 maka harus dilakukan standarisasi data terlebih dahulu. Berdasarkan persamaan (2. 7) dan perhitungan menggunakan program Excel diperoleh data yang telah distandarisasi pada Lampiran 4, dan dapat dibuat matriks sebagai berkut: (3. 18) Matriks korelasi adalah perkalian antara matriks dengan. Berdasarkan matriks (3. 18) diperoleh matriks sebagai berikut: (3. 19) Dengan mengalikan matriks (3.19) dengan (3.18) diperoleh matriks korelasi sebagai berikut: (3. 20) Langkah selanjutnya yaitu mencari nilai eigen dari matriks korelasi. Dengan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh output pada Lampiran 5 dengan hasil sebagai berikut: 53

19 Tabel 3.3. Nilai Eigen, Total Varian, Total Kumulatif Varian Komponen Nilai Eigen Total Varian (%) Total Kumulatif Varian (%) 1 3,243 46,323 46, ,295 32,781 79, ,534 7,630 86, ,343 4,893 91, ,287 4,103 95, ,218 3,118 98, ,081 1, ,000 Dari tabel 3. 3 terlihat bahwa terdapat tujuh komponen yang terbentuk dari ketujuh variabel yang digunakan. Nilai eigen diperoleh dari persamaan (3. 3) dan selalu diurutkan dari nilai yang terbesar hingga yang paling kecil. Nilai eigen menunjukkan besarnya total varian yang dijelaskan oleh komponen yang terbentuk. Kriteria minimal yang digunakan untuk menentukan Principal Component (PC) yaitu apabila nilai eigen lebih dari 1 ( >1), maka komponen tersebut terpilih sebagai PC (Gudono, 2014: 210). Tabel 3. 3 menunjukkan bahwa terbentuk dua PC yang mempunyai >1 yaitu dan. terdiri dari variabel pengeluaran perkapita, upah minimum, rata-rata lama sekolah, dan rasio ketergantungan, sedangkan terdiri dari variabel PDRB, gizi buruk balita, dan pengangguran. Kedua PC tersebut telah dapat menjelaskan varian dari ketujuh variabel sebesar 79,103%. 54

20 Nilai-nilai eigen yang diperoleh dapat dijelaskan secara grafik menggunakan scree plot. Scree plot menjelaskan hubungan antara banyaknya komponen yang terbentuk dengan eigenvalue. Gambar Scree Plot Untuk mengetahui nilai-nilai korelasi (loading) antara variabel dengan PC yang terbentuk dapat dilihat pada output SPSS component matrix (Lampiran 5), dengan hasil sebagai berikut: Variabel Tabel 3.4. Komponen Matriks 0,445 0,854 0,744-0,358 0,870-0,867-0,151 0,765-0,155 0,302 0,897-0,183 0,124 0,918 Loading merupakan nilai korelasi antara variabel dengan principal component. Dari tabel 3. 4 dapat terlihat variabel-variabel yang termasuk kedalam dan sebagai berikut: 55

21 Tabel 3.5. Variabel dan Dari tabel 3.5 terlihat bahwa terdiri dari variabel pengeluaran perkapita ( ), upah minimum ( ), rata-rata lama sekolah ( ), dan rasio ketergantungan ( ). Sedangkan terdiri dari variabel PDRB ( ), gizi buruk balita ( ), dan pengangguran ( ). Nilai-nilai loading pada tabel 3.4 digunakan untuk memperoleh nilai-nilai communalities dengan mensubstitusikannya ke dalam persamaan sebagai berikut: (3. 21) Keterangan: = nilai korelasi (loading) variabel ke- pada PC 1 = nilai korelasi (loading) variabel ke- pada PC 2 Communalities digunakan untuk menunjukkan berapa varian yang dapat dijelaskan oleh principal component (PC) yang terbentuk. Berikut hasil subtitusi nilai loading tabel 3. 4 ke dalam persamaan (3. 21): Tabel 3.6. Communalities Variabel Extraction 0,784 0,753 0,645 0,934 0,790 0,767 0,865 Hasil dari tabel 3. 6 menunjukkan nilai sebesar 0,784 yang berarti sebesar 78,4% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 0,753 yang berarti bahwa sebesar 75,3% varian dapat 56

22 dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 0,645 yang berarti bahwa sebesar 64,5% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 0,934 yang berarti bahwa sebesar 93,4% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 0,790 yang berarti bahwa sebesar 79,0% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 0,767 yang berarti bahwa sebesar 76,7% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk, dan sebesar 0,865 yang berarti bahwa sebesar 86,5% varian dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk. Setelah diperoleh dua principal component hasil dari reduksi variabel, akan ditentukan koefisien dari principal component yang akan digunakan untuk membentuk persamaan PC. Berikut hasil yang diperoleh: Tabel 3.7. Koefisien Principal Component (PC) Variabel Principal Component (PC) 1 2 0,174 0,341 0,269-0,032 0,252 0,157-0,080 0,365 0,273-0,043-0,274 0,018-0,013 0,381 Dengan mensubtitusikan hasil tabel 3.7 dengan persamaan (3.5) diperoleh persamaan berikut: (3. 22) 57

23 (3. 23) Persamaan (3. 22) dan (3. 23) akan digunakan untuk mencari nilainilai dari principal component (PC) dengan hasil pada Lampiran 6. Skor principal component inilah yang akan digunakan untuk mengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage, karena kedua komponen yang terbentuk sudah bebas dari multikolinearitas. 4. Pemilihan Ukuran Jarak Sebelum melakukan pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage, terlebih dahulu dilakukan penghitungan jarak antar objek. Jarak inilah yang digunakan sebagai ukuran kesamaan antar objek. Ukuran kesamaan antar objek yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat. Semakin besar jarak menunjukkan ketaksamaan antar objek, sebaliknya semakin kecil jarak menunjukkan kesamaan antar objek. Diberikan contoh perhitungan jarak antara Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas, Kab. Cilacap dan Kab. Purbalingga, serta Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga menggunakan persamaan (3.9). Sepasang objek dihitung jaraknya menggunakan nilai-nilai dari principal component (PC) yang diperoleh dari analisis PCA. Hasil perhitungan jarak antar objek yang lain terlampir pada Lampiran 7. 58

24 Tabel 3.8. Perhitungan Kedekatan Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas Objek Kab. Cilacap -0, ,91600 Kab. Banyumas -0, ,87607 Total 0, , , , ,089 Dari perhitungan tabel 3. 8 diperoleh nilai jarak Kab. Cilacap dengan Kab. Banyumas sebesar 1,089. Tabel 3.9. Perhitungan Kedekatan Kab. Cilacap dan Kab. Purbalingga Objek Kab. Cilacap -0, ,91600 Kab. Purbalingga -0, ,33454 Total 0, , , , ,260 Dari perhitungan tabel 3. 9 diperoleh nilai jarak Kab. Cilacap dengan Kab. Purbalingga sebesar 5,260. Tabel Perhitungan Kedekatan Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga Objek Total Kab. Banyumas -0, ,87607 Kab. Purbalingga -0, , , , , , ,591 59

25 Dari perhitungan tabel diperoleh nilai jarak Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga sebesar 1, Metode Ward Metode Ward adalah salah satu metode pengelompokan hirarki yang pengelompokannya berdasarkan pada sum square error (SSE). Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode Ward adalah sebagai berikut: Dimulai dari setiap objek dianggap sebagai sebuah cluster tersendiri, maka terdapat 35 cluster (karena terdapat 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah) yang mempunyai satu objek. Pada tahap ini SSE bernilai nol. Menghitung nilai SSE untuk setiap kombinasi dua pasang cluster dari 35 cluster, lalu memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Secara sistematik, 35 cluster akan berkurang 1 pada setiap tahap. Diberikan contoh perhitungan SSE untuk Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas. Data yang digunakan adalah nilai-nilai dari principal component (Lampiran 6). Nilai rata-rata Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas sebagai berikut: (-0, , , ,87607) / 4 = 0, Rata-rata yang diperoleh digunakan untuk menghitung SSE Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas. Berdasarkan persamaan (3.10) diperoleh nilai SSE Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas sebagai berikut: 60

26 . Dua objek yang mempunyai nilai SSE paling kecil akan bergabung menjadi satu cluster. Setelah terbentuk satu cluster yang terdiri dari dua objek pada tahap pertama, kemudian membuat kombinasi dua pasang cluster baru lagi. Dua pasang cluster baru tersebut terdiri dari satu cluster yang telah terbentuk pada tahap pertama dan cluster yang lain, kemudian menghitung nilai SSE lagi. Memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Demikian seterusnya sampai semua objek bergabung menjadi satu cluster. Untuk mempermudah proses pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward, digunakan program SPSS 20. Tahapan pembentukan cluster dapat dilihat dari output SPSS bagian agglomeration schedule (Lampiran 9). Pada tahap pertama, terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster, karena memiliki jarak (pada kolom coefficients) paling kecil yaitu 0,006. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua kabupaten tersebut merupakan jarak yang paling dekat dari banyaknya kombinasi jarak 35 kabupaten/kota. Dengan kata lain, Kab. Demak dan Kab. Kendal merupakan dua pasang objek yang memiliki nilai SSE paling kecil dari banyaknya kombinasi SSE 35 kabupaten/kota. Kemudian pada kolom next stage, menunjukkan angka 14 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-14 proses pengelompokan dilanjutkan. 61

27 Tahap kedua yaitu pada stage ke-14 terlihat objek nomor 21 (Kab. Demak) bergabung dengan objek nomor 22 (Kab. Semarang) dengan jarak 0,504. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Semarang) dengan dua objek sebelumnya yaitu Kab. Demak dan Kab. Kendal. Pada kolom next stage, menunjukkan angka 24 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-24 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap ketiga yaitu pada stage ke-24 terlihat objek nomor 19 (Kab. Kudus) bergabung dengan objek nomor 21 (Kab. Demak) dengan jarak 3,134. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Kudus) dengan tiga objek sebelumnya yaitu Kab. Demak, Kab. Kendal, dan Kab. Semarang. Pada kolom next stage, menunjukkan angka 25 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-25 proses pengelompokan dilanjutkan. Demikian seterusnya dari stage 25 dilanjutkan ke stage 29 sampai ke stage terakhir, sehingga semua objek bergabung menjadi satu cluster. Banyaknya cluster dapat ditentukan dengan melihat dendogram (Lampiran 10). Dendogram dibaca dari kiri ke kanan. Garis vertikal menunjukkan cluster yang digabung, sedangkan garis horizontal menunjukkan jarak cluster yang digabung. Tiga tahap terakhir penggabungan terlihat bahwa cluster digabung dengan jarak yang tinggi. Penggabungan ini menyebabkan kesamaan (homogenitas) yang rendah antar anggota dalam suatu cluster. Oleh karena itu, ditetapkan banyaknya 62

28 cluster yang terbentuk sebanyak empat cluster. Anggota-anggota tiap cluster dapat dilihat pada output cluster membership (Lampiran 11) dan dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel Cluster Membership Metode Ward No Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 1 Kab. Cilacap Kab. Purbalingga Kota Magelang Kota Semarang 2 Kab. Banyumas Kab. Banjarnegara Kota Surakarta 3 Kab. Magelang Kab. Kebumen Kota Salatiga 4 Kab. Grobogan Kab. Purworejo Kota Pekalongan 5 Kab. Pati Kab. Wonosobo Kota Tegal 6 Kab. Pemalang Kab. Boyolali 7 Kab. Tegal Kab. Klaten 8 Kab. Brebes Kab. Sukoharjo 9 Kab. Wonogiri 10 Kab. Karanganyar 11 Kab. Sragen 12 Kab. Blora 13 Kab. Rembang 14 Kab. Kudus 15 Kab. Jepara 16 Kab. Demak 17 Kab. Semarang 18 Kab. Temanggung 19 Kab. Kendal 20 Kab. Batang 21 Kab. Pekalongan Dari tabel terlihat bahwa cluster 1 terdiri dari 8 kabupaten, cluster 2 terdiri dari 21 kabupaten, cluster 3 terdiri dari 5 kota, dan cluster 4 terdiri dari 1 kota. 63

29 6. Metode Average Linkage Metode Average Linkage adalah metode pengelompokan yang jarak antara dua cluster didefinisikan sebagai rata-rata jarak seluruh pasangan yang berada dalam satu cluster dengan cluster yang lain. Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode average linkage adalah sebagai berikut: Menghitung jarak dua objek berdasarkan persamaan (3.9), kemudian memilih dua pasang objek yang memiliki jarak paling dekat. Dari Lampiran 12 terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster dengan jarak 0,011. Selanjutnya, menghitung jarak antara cluster yang telah terbentuk pada tahap pertama (Kab. Demak & Kab. Kendal) dengan cluster yang lain menggunakan persamaan (3.11). Dari Lampiran 12 terlihat bahwa objek yang bergabung selanjutnya adalah objek nomor 22 (Kab. Semarang). Kab. Semarang inilah yang mempunyai jarak paling dekat dengan (Kab. Demak & Kab. Kendal) daripada kabupaten/kota yang lainnya. Adapun jarak antara (Kab. Demak & Kab. Kendal) dan Kab. Semarang adalah sebagai berikut: (3. 24) Begitu seterusnya sampai semua kabupaten/kota bergabung menjadi satu cluster. Untuk mempermudah proses pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Average Linkage, digunakan program 64

30 SPSS 20. Tahapan pembentukan cluster dapat dilihat dari output SPSS bagian agglomeration schedule (Lampiran 12). Pada tahap pertama, terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster, karena memiliki jarak (pada kolom coefficients) paling kecil yaitu 0,011. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua kabupaten tersebut merupakan jarak yang paling dekat dari banyaknya kombinasi jarak 35 kabupaten/kota. Kemudian pada kolom next stage, menunjukkan angka 14 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-14 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap kedua yaitu pada stage ke-14 terlihat objek nomor 21 (Kab. Demak) bergabung dengan objek nomor 22 (Kab. Semarang) dengan jarak 0,165. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Semarang) dengan dua objek sebelumnya yaitu (Kab. Demak dan Kab. Kendal). Perolehan jarak tersebut sama seperti persamaan (3. 24). Pada kolom next stage, menunjukkan angka 22 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-22 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap ketiga yaitu pada stage ke-22 terlihat objek nomor 11 (Kab. Sukoharjo) bergabung dengan objek nomor 21 (Kab. Demak) dengan jarak 0,516. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Sukoharjo) dengan tiga objek sebelumnya yaitu (Kab. Demak, Kab. Kendal, dan Kab. Semarang). Pada kolom next stage, menunjukkan angka 27 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-27 proses 65

31 pengelompokan dilanjutkan. Demikian seterusnya dari stage 27 dilanjutkan ke stage 31 sampai ke stage terakhir, sehingga semua objek bergabung menjadi satu cluster. Banyaknya cluster dapat ditentukan dengan melihat dendogram (Lampiran 13). Tahap terakhir penggabungan terlihat bahwa cluster digabung dengan jarak yang tinggi. Penggabungan ini menyebabkan kesamaan (homogenitas) yang rendah antar anggota dalam suatu cluster. Karena akan dilakukan perbandingan hasil cluster dengan metode Ward, maka ditetapkan banyaknya cluster yang terbentuk sebanyak empat cluster. Anggota-anggota tiap cluster dapat dilihat pada output cluster membership (Lampiran 14) dan dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel Cluster Membership Metode Average Linkage No Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kota Magelang Kota Semarang 2 Kab. Pemalang Kab. Purbalingga Kota Surakarta 3 Kab. Tegal Kab. Banjarnegara Kota Salatiga 4 Kab. Brebes Kab. Kebumen Kota Pekalongan 5 Kab. Purworejo Kota Tegal 6 Kab. Wonosobo 7 Kab. Magelang 8 Kab. Boyolali 9 Kab. Klaten 10 Kab. Sukoharjo 11 Kab. Wonogiri 12 Kab. Karanganyar 13 Kab. Sragen 14 Kab. Grobogan 15 Kab. Blora 16 Kab. Rembang 17 Kab. Pati 18 Kab. Kudus 66

32 No Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 19 Kab. Jepara 20 Kab. Demak 21 Kab. Semarang 22 Kab. Temanggung 23 Kab. Kendal 24 Kab. Batang 25 Kab. Pekalongan Dari tabel 3.12 terlihat bahwa cluster 1 terdiri dari 4 kabupaten, cluster 2 terdiri dari 25 kabupaten, cluster 3 terdiri dari 5 kota, dan cluster 4 terdiri dari 1 kota. 7. Penentuan Metode Terbaik Setelah terbentuk 4 cluster dari masing-masing metode, dilakukan penentuan metode yang menghasilkan hasil cluster terbaik. Pengecekkan dilakukan menggunakan simpangan baku dalam cluster (within cluster) dan antar cluster (between cluster). Adapun perhitungannya sebagai berikut: a. Metode Ward 1. Simpangan baku dalam cluster ( ) Diketahui cluster yang terbentuk sebanyak 4 buah (K = 4). Simpangan baku cluster 1, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 1) dengan ratarata nilai principal component cluster 1 = 0, Berdasarkan persamaan (2. 6) diberikan perhitungan sebagai berikut: 67

33 Simpangan baku cluster 2, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 2) dengan ratarata nilai principal component cluster 2 = -0, Simpangan baku cluster 3, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 3) dengan ratarata nilai principal component cluster 3 = 0,

34 Simpangan baku cluster 4 bernilai 0, karena cluster 4 hanya terdiri dari satu kota saja. Berdasarkan persamaan (3.12) diperoleh nilai simpangan baku dalam cluster ( ) sebagi berikut: 2. Simpangan baku antar cluster ( ) Telah diketahui bahwa rata-rata nilai principal component cluster 1 = 0,160444, cluster 2 = -0,21369, cluster 3 = 0,01779, cluster 4 = 3, Diberikan perhitungan rata-rata seluruh cluster sebagai berikut: = Berdasarkan persamaan (3.13) diperoleh nilai simpangan baku antar cluster ( ) sebagi berikut: 69

35 b. Metode Average Linkage 1. Simpangan baku dalam cluster ( ) Diketahui cluster yang terbentuk sebanyak 4 buah (K = 4). Simpangan baku cluster 1, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 1) dengan ratarata nilai principal component cluster 1 = 0, Berdasarkan persamaan (2. 6) diberikan perhitungan sebagai berikut: Simpangan baku cluster 2, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 2) dengan ratarata nilai principal component cluster 2 = -0,

36 Simpangan baku cluster 3, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 3) dengan ratarata nilai principal component cluster 3 = 0, Simpangan baku cluster 4 bernilai 0, karena cluster 4 hanya terdiri dari satu kota saja. Dengan menggunakan persamaan (3.12) diperoleh nilai simpangan baku dalam cluster ( ) sebagi berikut: 71

37 2. Simpangan baku antar cluster ( ) Telah diketahui bahwa rata-rata nilai principal component cluster 1 = 0,277563, cluster 2 = -0,17257, cluster 3 = 0,01779, cluster 4 = 3, Diberikan perhitungan rata-rata seluruh cluster sebagai berikut: = Berdasarkan persamaan (3.13) diperoleh nilai simpangan baku antar cluster ( ) sebagi berikut: Dari hasil perhitungan nilai simpangan baku dalam cluster ( ) dan simpangan baku antar cluster ( ) kedua metode, dicari perbandingan (rasio) dari kedua simpangan baku tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan tabel nilai simpangan baku dalam dan antar cluster: 72

38 Tabel Simpangan baku dalam dan antar cluster Simpangan Baku Metode Ward Metode Average Linkage simpangan baku dalam cluster ( ) simpangan baku antar cluster ( ) Simpangan baku dalam cluster ( ) metode Ward lebih kecil daripada metode average linkage, sedangkan simpangan baku antar cluster ( ) metode Ward lebih besar daripada metode average linkage. Perbandingan (rasio) antara dan kedua metode sebagai berikut:. Tabel Perbandingan (rasio) dan Rasio Metode Ward Metode Average Linkage Dari tabel 3.14 terlihat bahwa rasio metode Ward sebesar lebih kecil daripada rasio metode average linkage sebesar. Metode yang mempunyai rasio terkecil merupakan metode dengan kinerja terbaik. Dengan kata lain, untuk mengelompokkan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan tahum 2014 lebih baik menggunakan metode Ward. 8. Penginterpretasian Hasil Cluster Untuk menginterpretasi dan memprofilkan hasil cluster digunakan nilai-nilai centroid tiap cluster. Centroid adalah rata-rata nilai objek yang 73

39 terdapat dalam cluster pada tiap variabel. Berdasarkan persamaan (2. 22) diperoleh nilai-nilai centroid tiap cluster untuk masing-masing metode sebagai berikut: a. Metode Ward Tabel Rata-rata variabel pada setiap cluster Metode Ward Variabel Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 (PDRB) 4,01327 (PP) 1, (UP) 3,20597 (GB) (RLS) 1,58368 (RK) (PG) Dari tabel dapat diinterpretasikan masing-masing cluster sebagai berikut: 1) Cluster 1 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (pengangguran). Hal ini berarti bahwa pada cluster 1, penduduk yang tidak bekerja cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memprioritaskan bantuan tambahan lapangan pekerjaan pada daerah di cluster 1. 2) Cluster 2 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (rasio ketergantungan). Hal ini berarti bahwa pada cluster 2, penduduk usia tidak produktif yang harus ditanggung penduduk usia produktif cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan bantuan dengan membuat program-program usaha 74

40 mandiri untuk penduduk usia tidak produktif pada daerah di cluster 2. 3) Cluster 3 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (ratarata lama sekolah). Hal ini berarti bahwa pada cluster 3, tingkat pendidikan penduduknya cukup baik. 4) Cluster 4 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (PDRB). Hal ini berarti bahwa pada cluster 4, pendapatan daerahnya sangat tinggi. Cluster 4 hanya terdiri dari satu kota, yaitu Kota Semarang. b. Metode Average Linkage Tabel Rata-rata variabel pada setiap cluster Metode Average Linkage Variabel Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 (PDRB) 4,01327 (PP) 1, (UP) 3,20597 (GB) (RLS) 1,58368 (RK) (PG) Dari tabel dapat diinterpretasikan masing-masing cluster sebagai berikut: 1) Cluster 1 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (pengangguran). Hal ini berarti bahwa pada cluster 1, penduduk yang tidak bekerja cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah 75

41 dapat memprioritaskan bantuan tambahan lapangan pekerjaan pada daerah di cluster 1. 2) Cluster 2 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (rasio ketergantungan). Hal ini berarti bahwa pada cluster 2, penduduk usia tidak produktif yang harus ditanggung penduduk usia produktif cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan bantuan dengan membuat program-program usaha mandiri untuk penduduk usia tidak produktif pada daerah di cluster 2. 3) Cluster 3 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (ratarata lama sekolah). Hal ini berarti bahwa pada cluster 3, tingkat pendidikan penduduknya cukup baik. 4) Cluster 4 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (PDRB). Hal ini berarti bahwa pada cluster 4, pendapatan daerahnya sangat tinggi. Cluster 4 hanya terdiri dari satu kota, yaitu Kota Semarang. 76

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE LINKAGE

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE LINKAGE Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan... (Meilia Wulan Puspitasari) 1 PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE LINKAGE SKRIPSI

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE LINKAGE SKRIPSI PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE WARD DAN AVERAGE LINKAGE SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks BAB II KAJIAN TEORI Pada bab II akan dibahas tentang materi-materi dasar yang digunakan untuk mendukung pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu matriks, kombinasi linier, varian dan simpangan baku, standarisasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH BERDASARKAN KARAKTERISTIK KESEJAHTERAAN RAKYAT MENGGUNAKAN METODE WARD S

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH BERDASARKAN KARAKTERISTIK KESEJAHTERAAN RAKYAT MENGGUNAKAN METODE WARD S PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH BERDASARKAN KARAKTERISTIK KESEJAHTERAAN RAKYAT MENGGUNAKAN METODE WARD S Shofa Kartikawati 1), Atika Nurani Ambarwati 2) 1,2 AIS Muhammadiyah Semarang email:

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

Analisis Cluster Average Linkage Berdasarkan Faktor-Faktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur

Analisis Cluster Average Linkage Berdasarkan Faktor-Faktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur Analisis Cluster Average Linkage Berdasarkan Faktor-Faktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur Qonitatin Nafisah, Novita Eka Chandra Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Islam Darul Ulum Lamongan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

PROSIDING ISSN: M-22 ANALISIS PERUBAHAN KELOMPOK BERDASARKAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN DI PROVINSI JAWA TENGAH

PROSIDING ISSN: M-22 ANALISIS PERUBAHAN KELOMPOK BERDASARKAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN DI PROVINSI JAWA TENGAH M-22 ANALISIS PERUBAHAN KELOMPOK BERDASARKAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2010-2015 DI PROVINSI JAWA TENGAH Rukini Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan email:rukini@bps.go.id Abstrak Pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

Analisis Klaster Hierarki Untuk Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Berdsarkan Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2015

Analisis Klaster Hierarki Untuk Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Berdsarkan Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2015 Prosiding SI MaNIs (Seminar Nasional Integrasi Matematika dan Nilai Islami) Vol.1, No.1, Juli 2017, Hal. 229-239 p-issn: 2580-4596; e-issn: 2580-460X Halaman 229 Analisis Klaster Hierarki Untuk Pengelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya. 2.1 Matriks Sebuah matriks, biasanya dinotasikan dengan huruf kapital tebal seperti A,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH 1 Diah Safitri, 2 Rita Rahmawati, 3 Onny Kartika Hitasari 1,2,3 Departemen Statistika FSM Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 2015)

APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 2015) APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 015) Rezzy Eko Caraka 1 (1) Statistics Center Undip, Jurusan Statistika,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE K-MEANS DAN FUZZY C-MEANS

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE K-MEANS DAN FUZZY C-MEANS PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN METODE K-MEANS DAN FUZZY C-MEANS Rahman Hidayat 1), Rochdi Wasono 2), Moh. Yamin Darsyah 3) 1,2,3 Program Studi Statistika MIPA, Unimus 1 email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH,

GUBERNUR JAWA TENGAH, GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 wsm 2^17 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN MENGGUNAKAN METODE KOHONEN

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN MENGGUNAKAN METODE KOHONEN Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 016 p-issn : 550-0384; e-issn : 550-039 PENGELOMPOKAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 009-013 MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab. BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subyek Penelitian Dalam penelitian ini daerah yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab 4 Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan Model prediksi variabel makro untuk mengetahui kerentanan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dilakukan dengan terlebih dahulu mencari metode terbaik. Proses pencarian metode terbaik

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD) LAMPIRAN XI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci