HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak Hasil overlay (tumpang susun) peta-peta tematik memperlihatkan bahwa lahan yang sesuai untuk budidaya tambak di Desa Pesisir Kabupaten Bangka Barat hanya tergolong kedalam kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Lahan dengan tingkat kesesuaian cukup sesuai (S2) seluas ± 4,210 Ha (1.87 %), sesuai marginal (S3) seluas ± 21,830 Ha (9.70%) dan selebihnya tidak sesuai (N) seluas ± 198,960 Ha (88.43%) seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Luasan dan persentase kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di Desa Pesisir Kabupaten Bangka Barat Kelas Kesesuaian Lahan Luas (Ha) (%) S2 4, S3 21, N 198, Total 225, Sumber: Hasil analisis Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) tersebar di Desa Bakit, Kacung, Kapit, Kayu Arang, Limbung, Mancung, Penyampak, Ranggi, Semulut dan Simpang Tiga. Faktor pembatas kelas kesesuaian cukup sesuai (S2) adalah tekstur, ketebalan solum (media budidaya), cuaca (bulan kering) dan elevasi (ketersediaan air laut). Kelas kesesuaian marginal (S3) tersebar di Desa Air Lintang, Air Nyatoh, Bakit, Belo Laut, Jebus, Kacung, Kapit, Kayu Arang, Kundi, Pelangas, Penyampak, Peradong, Pusuk, Rambat, Rukam, Semulut, Simpang Gong, Simpang Tiga, Sinar Surya, Sungai Buluh, Tanjung Niur, Tebing, Tugang dan Tuik. Faktor pembatas kelas kesesuaian marginal (S3) adalah ketebalan solum. Kelas tidak sesuai (N) tersebar di keseluruhan Desa Pesisir Kabupaten Bangka Barat. Adapun desa pesisir yang sama sekali tidak mempunyai lokasi yang sesuai untuk budidaya tambak adalah Desa Air Belo, Air Gantang, Air Limau, Air Putih, Benteng Kota, Cupat, Kelabat, Ketap, Sungai Baru, Tanjung, Teluk Limau dan Tumbak Petar. Kelas tidak sesuai ini sebagian besar karena faktor pembatas elevasi, tekstur tanah, tebal solum dan slope/lereng.

2 40 Perbaikan kesesuaian lahan untuk pembatas tekstur dan ketebalan solum, dapat dilakukan dengan menggunakan plastik polyetilene sebagai media budidaya atau membangun bak-bak permanen. Pembatas yang berupa bulan kering dapat diatasi dengan pembuatan sumur air tawar untuk mengatasi tingginya salinitas akibat kurangnya curah hujan, atau dengan penggantian air laut pada saat salinitas media budidaya terlalu tinggi. Pembatas elevasi dan lereng dapat diatasi dengan membangun saluran atau penggunaan pompa untuk mengalirkan air laut ke media budidaya. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk budidaya tambak secara lengkap disajikan pada Lampiran 21 dan sebarannya disajikan pada Gambar 10. Di lapangan tidak semua lokasi yang sesuai untuk budidaya tambak seperti yang ditampilkan pada Gambar 10 dapat dimanfaatkan untuk budidaya tambak. Faktor-faktor seperti penggunaan lahan (terutama permukiman), status hutan, green belt area dan sempadan sungai harus menjadi bahan pertimbangan. Menurut Keppres 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, green belt area (mangrove yang tidak boleh ditebang) adalah selebar 130 dikalikan tunggang pasut dan sempadan sungai selebar 100 m di kiri dan kanan sungai, agar kegiatan budidaya yang dilakukan dapat berkelanjutan. Peta kawasan hutan (SK Menteri Kehutanan Nomor: 357/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung seluas ± Hektar) disajikan pada Lampiran 7. Setelah memperhatikan Peta Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi), Peta Penggunaan Lahan, green belt area dan sempadan sungai maka dari lokasi yang sesuai untuk budidaya tambak seluas ± 26,040 Ha, lokasi yang tersedia untuk budidaya tambak hanya seluas ± 1,960 Ha (S2) dan ± 1,530 Ha (S3) sisanya tidak dapat dimanfaatkan karena merupakan kawasan hutan (hutan konservasi, lindung maupun hutan produksi), permukiman, geen belt area maupun sempadan sungai. Hasil luasan akhir setelah memperhatikan status kawasan hutan, peta penggunaan lahan, green belt area dan sempadan sungai disajikan pada Tabel 17.

3 DI KABUPATEN BANGKA 2BARAT PETA KESESUAIAN LAHAN AKTUAL BUDIDAYA TAMBAK Lokasi Penelitian Laut Natuna Teluk Kelabat P. Bangka Teluk Kampa 0KABUPATEN BANGKA Selat Bangka Legenda : N S2 S3 Sungai Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda 2005) Peta kontur skala 1: (Bappeda Babel 2005) Data Iklim (BMG 2007) Data Pasut (Dishidros 2007) N Kilometer Gambar 10 Peta kesesuaian lahan aktual untuk budidaya tambak di Kabupaten Bangka Barat Tabel 17 Luasan dan persentase kelas kesesuaian lahan aktual setelah memperhatikan status kawasan hutan, penggunaan lahan, green belt area dan sempadan sungai Kesesuaian No Aktual Pembatas Luas (%) Lokasi 1 S2 Fisik wilayah 1, Bakit, Kacung, Kapit, Kayu Arang, Mancung, Ranggi, Semulut, Simpang Tiga 2 S3 Fisik wilayah 3 N Fisik wilayah 1, , Air Nyatoh, Bakit, Jebus, Kacung, Kayu Arang, Penyampak, Peradong, Sinar Surya, Tanjung Niur, Tugang Keseluruhan desa pesisir

4 42 Tabel 17 (lanjutan) Kesesuaian No Aktual Pembatas Luas (%) Lokasi 4 N HK 1, Bakit, Kacung, Rukam, Semulut, Simpang Tiga, Sinar Surya, Tebing, Tuik 5 N HL 3, N HP 16, N Permukiman Jebus, Kayu Arang Air Lintang, Air Nyatoh, Bakit, Belo Laut, Jebus, Pelangas, Peradong, Rambat, Rukam, Semulut, Simpang Gong, Sinar Surya, Sungai Buluh, Tebing Air Lintang, Air Nyatoh, Bakit, Belo Laut, Jebus, Kacung, Kapit, Kayu Arang, Limbung, Pelangas, Penyampak, Peradong, Rambat, Ranggi, Rukam, Semulut, Simpang Tiga, Sinar Surya, Sungai Buluh, Tanjung Niur, Tebing 8 N Green belt N Sempadan sungai Bakit, Belo Laut, Kundi, Peradong, Pusuk, Rambat, Sungai Buluh Air Nyatoh, Jebus, Kacung, Kayu Arang, Kundi, Mancung, Penyampak, Peradong, Ranggi Sumber: Hasil analisis 225, Peta sebaran lokasi yang tersedia untuk budidaya tambak setelah memperhatikan status kawasan, peta penggunaan lahan, green belt area dan sempadan sungai yang merupakan lokasi yang dapat diarahkan untuk kegiatan budidaya tambak disajikan pada Gambar 11. Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Kerapu di Karamba Jaring Apung Berdasarkan hasil analisis kesesuaian perairan dari garis pantai hingga sejauh 4 mil, lokasi yang sesuai untuk budidaya kerapu dalam KJA adalah di sekitar perairan Teluk Kelabat sebelah luar, sepanjang perairan dari Desa Air Putih sampai Desa Ketap, dan di sepanjang perairan dari desa Simpang Tiga sampai Desa Tanjung, selebihnya tidak sesuai (N). Peta kesesuaian perairan budidaya kerapu dalam karamba jaring apung disajikan pada Gambar 12. Perairan yang tidak sesuai untuk budidaya kerapu dalam KJA (N) tersebar di perairan sebelah selatan (dari Desa Sinar Surya sampai Desa Simpang Tiga), perairan sebelah barat (dari Desa Tanjung sampai Desa Air Putih), perairan sebelah utara (dari Desa Ketap sampai Desa Tel. Limau) dan perairan Teluk Kelabat sebelah dalam. Pembatas pada kelas N sebagian besar adalah arus, kedalaman, salinitas dan dissolve oksigen.

5 DI KABUPATEN BANGKA 2BARAT PETA LOKASI YANG SESUAI DAN TERSEDIA UNTUK BUDIDAYA TAMBAK Lokasi Penelitian Laut Natuna Teluk Kelabat P. Bangka Teluk Kampa 0KABUPATEN BANGKA Selat Bangka Legenda : Area Penggunaan Lain (APL) Hutan Konservasi (HK) Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) Buffer Green belt area Buffer Sungai Permukiman Kesesuaian untuk Tambak : S2 S3 Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Kesesuaian Lahan Aktual Budidaya Tambak Peta Penggunaan Lahan skala 1: (Bappeda Babar 2005) Peta Penunjukkan Kawasan Hutan 1: (Dinas Kehutanan Babel 2008) N Kilometer Gambar 11 Peta Lokasi yang sesuai dan tersedia untuk budidaya tambak di Kabupaten Bangka Barat Perbaikan kelas kesesuaian perairan aktual yang didapatkan dari hasil analisis hampir bisa dikatakan tidak mungkin (kecuali dissolve oksigen yang bisa diatasi dengan pemakaian blower atau aerator), namun hal ini memerlukan modal yang besar. Sulitnya perbaikan untuk meningkatkan kelas kesesuaian perairan pada budidaya laut dikarenakan perairan (laut) merupakan area yang sangat luas yang saling terhubungan dengan peraian di sekitarnya, berbeda dengan daerah daratan yang dapat dilakukan perbaikan pada daerah tertentu yang kita inginkan.

6 Hal ini telah dibahas oleh Mustafa et al. (2007), yang dalam penelitiannya hanya membagi ordo kelas kesesuaian S untuk budidaya laut ke dalam dua kelas, karena menurutnya usaha untuk memperbaiki kelas kesesuaian lahan pada budidaya laut sangat sulit. 5PETA KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA KERAPU DALAM KJA DI KABUPATEN BANGKA BARAT Lokasi Penelitian Laut Natuna P. Bangka Teluk Kelabat Teluk Kampa 0KABUPATEN BANGKA Selat Bangka Legenda : Desa Pesisir Desa Non Pesisir Amini / A Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Kesesuaian untuk budidaya KJA : N S Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda 2005) Peta Batimetri skala 1: (Dishidros 2005) Data LIPI (2003 dan 2007) Data Survey (2008) 10 N 0 Kilometer 10 Gambar 12 Peta kesesuaian perairan untuk budidaya kerapu dalam karamba jaring apung di Kabupaten Bangka Barat

7 45 Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil analisis kesesuaian perairan dari garis pantai hingga sejauh 4 mil, lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah di sekitar perairan Teluk Kelabat sebelah dalam dan luar, sepanjang perairan dari Desa Teluk Limau sampai Desa Air Gantang dan sepanjang perairan dari Desa Air Putih sampai Desa Tanjung, selebihnya tidak sesuai (N). Sebaran lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 13. Kelas kesesuaian N terdapat di seluruh perairan Kabupaten Bangka Barat sebelah selatan yaitu seluruh perairan di sekitar Kecamatan Tempilang, perairan di sekitar Desa Simpang Tiga dan Kundi (Kecamatan Simpang Teritip), Desa Kacung (Kecamatan Kelapa), serta perairan di sekitar Desa Belo Laut dan Sungai Baru (Kecamatan Muntok). Pembatas utama pada perairan sebelah selatan Kabupaten Bangka Barat ini adalah kecepatan arus. Arus memegang peranan penting dalam kegiatan budidaya rumput laut yaitu agar rumput laut terbebas dari partikel-partikel (endapan) yang menempel ke ke thallus rumput laut yang akan menghalangi proses fotosintesis. Oleh karena itu perairan yang kecepatan arusnya relatif rendah seperti pada perairan Bangka Barat sebelah selatan, biasanya tidak cocok untuk budidaya rumput laut. Menurut Aslan (1998), arus yang baik akan membawa nutrisi bagi rumput laut, membersihkannya dari kotoran/endapan yang menempel, sehingga rumput laut dapat tumbuh dengan baik karena dapat menyerap nutrisi dari air dan proses fotosintesa tidak terganggu. Perairan Teluk Kelabat dan perairan di sekitar Desa Rambat dan Air Putih yang lebih dekat ke pantai merupakan perairan dengan kedalaman kurang dari 5 m, sehingga lebih sesuai untuk budidaya dengan metode lepas dasar, sedangkan untuk lokasi lainnya seperti perairan Muntok yang lebih mengarah ke laut, perairan sekitar desa Ketap, Sungai Buluh dan Teluk Kelabat bagian luar yang mengarah ke laut lepas lebih cocok menggunakan metode apung karena kedalaman perairan rata-rata di atas 5 m misalnya dengan menggunakan metode jaring apung, jalur atau long line.

8 PETA KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN BANGKA BARAT Lokasi Penelitian Laut Natuna P. Bangka Teluk Kelabat Teluk Kampa KABUPATEN BANGKA Selat Bangka 0Kesesuaian untuk budidaya Rumput Laut : Legenda : Desa Pesisir Desa Non Pesisir Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 N S Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda Babar 2005) Peta Batimetri skala 1: (Dishidros 2005) Data LIPI (2003 dan 2007) Data Survey (2008) N Kilometer Gambar 13 Peta kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Bangka Barat Ikhtisar Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Perikanan Kegiatan budidaya perikanan laut (KJA dan rumput laut) yang dilakukan di perairan Kabupaten Bangka Barat harus memperhatikan kondisi pemanfaatan ruang existing perairan dan rencana alokasi pemanfaatan ruang yang tercantum di dalam RTRW Kabupaten Bangka Barat. Kondisi pemanfaatan ruang existing perairan Bangka Barat yang dapat menjadi pembatas bagi kegiatan budidaya laut adalah Pelabuhan Tanjung Kalian (pelabuhan penyeberangan) dan Pelabuhan

9 47 Muntok (pelabuhan umum). Adapun rencana pemanfaatan ruang yang harus diperhatikan adalah area yang dialokasikan sebagai daerah wisata pantai dan rencana pelabuhan di Tanjung Ular untuk mendukung kegiatan Kawasan Industri dan Pelabuhan Terpadu (KIPT) seperti terlihat pada Rencana Struktur Ruang Peta RTRW Kabupaten Bangka Barat pada Gambar 14.. Gambar 14 Rencana Struktur Ruang dalam RTRW Kabupaten Bangka Barat Tahun 2008 (belum diperdakan) Menurut Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan No. 20 dan 65 Tahun 1992 tentang Batas-batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Pangkal Balam, Muntok, Belinyu dan Sungai Selan, daerah lingkungan kerja perairan Pelabuhan Muntok adalah radius 5 mil dari Tanjung Kalian (koordinat LS dan BT). Dengan demikian pada radius 5 mil dari koordinat tersebut tidak boleh dilakukan kegiatan lain selain untuk kepentingan pelabuhan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kesesuain lokasi untuk budidaya laut adalah keterlindungan dari gelombang. Karena dalam penelitian ini tidak tersedia data gelombang, maka penilaian keterlindungan hanya dilakukan dengan melihat posisi perairan pada peta administrasi Kabupaten Bangka Barat dan pada saat survey di lapangan. Pada Gambar 15 disajikan lokasi-

10 48 lokasi yang tersedia untuk kegiatan budidaya perikanan laut/pantai setelah memperhatikan daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan dan aspek keterlindungan dari gelombang. Di lokasi yang sesuai untuk budidaya kerapu namun kurang terlindung, seperti perairan sebelah barat dan selatan Kabupaten Bangka Barat (Gambar 15) operasional budidaya tidak dapat dilakukan selama 1 tahun penuh, sehingga harus diperhatikan pemilihan umur/ukuran benih yang disesuaikan dengan masa pemeliharaan maksimal 9 bulan (Februari-Oktober) dan pemberian pakan yang cukup. Dengan demikian ikan sudah siap dipanen sebelum bulan Nopember, mengingat besarnya gelombang laut pada bulan Nopember-Januari terutama untuk perairan sebelah barat. Adapun pada bulan Februari-Oktober budidaya masih dapat dilakukan seperti yang dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah. Menurut Kordi (2001), benih kerapu tikus dapat dipindahkan ke karamba pembesaran setelah benih mencapai ukuran gr dan setelah 5-6 bulan ikan akan mencapai ukuran konsumsi dengan berat gr. Pemanfatan lokasi pesisir baik di daratan maupun laut harus memperhatikan kaidah daya dukung lingkungan sehingga tercipta pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai yang berkelanjutan (sustainable). Daerah daratan yang digunakan untuk budidaya tambak sebaiknya pada daerah lautnya tidak digunakan untuk budidaya laut (rumput laut / KJA), karena selain mempengaruhi biota budidaya laut, juga akan menurunkan kualitas (daya dukung lingkungan) perairan. Perairan yang sesuai untuk budidaya perikanan laut yang juga dialokasikan sebagai daerah pariwisata pantai harus mendapatkan perhatian. Keberadaan budidaya perikanan laut dapat menjadi daya tarik untuk wisatawan, sehingga berakibat positif untuk kegiatan pariwisata namun dapat berakibat negatif untuk budidaya perikanan jika pengelolaannya tidak tepat. Limbah dari kegiatan pariwisata baik dari darat maupun aktivitas kapal/perahu merupakan faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas perairan. Perairan di sebelah selatan Kabupaten Bangka Barat yang dilalui oleh alur pelayaran juga merupakan lokasi yang perlu mendapatkan perhatian. Perlu kajian lebih lanjut apakah limbah kegiatan pelayaran berpengaruh terhadap kegiatan budidaya, apabila akan dikembangkan kegiatan budidaya di lokasi tersebut.

11 PETA LOKASI YANG TERSEDIA UNTUK BUDIDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT Î 50Lokasi Penelitian P. Bangka Teluk Kampa Laut Natuna Teluk Kelabat KABUPATEN BANGKA 0Budidaya Laut : Î Î Selat Bangka Legenda : APL Budidaya Pantai/Tambak : HK S2 HL S3 HP Permukiman Sungai Rumput Laut Wisata KJA Î Pelabuhan Buffer Pelabuhan Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda Babar 2005) Peta Batimetri skala 1: (Dishidros 2005) Data LIPI (2003 dan 2007) Data Survey (2008) 10 N 0 Kilometer 10 Gambar 15 Lokasi budidaya perikanan laut/pantai yang tersedia di Kabupaten Bangka Barat Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Perikanan Analisis kelayakan usaha budidaya perikanan dalam penelitian ini dilakukan untuk menilai kelayakan usaha budidaya tambak (udang vannamei), budidaya ikan kerapu bebek dalam KJA dan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii). Kriteria kelayakan dinilai dari tiga indikator yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio) dan Internal Rate of Return (IRR).

12 50 Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Dalam melakukan analisis kelayakan usaha untuk budidaya tambak (udang vannamei), ada beberapa acuan yang digunakan yaitu: 1. Budidaya dilakukan pada tambak seluas 1 Ha dengan sistem budidaya semi intensif, satu siklus usaha selama 4 bulan, tingkat kelolosan hidup (Survival Rate/SR) udang sampai dengan panen adalah 80%, dan rasio konversi pakan (Feed Conversion Rate/FCR) sebesar 1: Benur yang digunakan adalah post larva yang berumur 14 hari (PL 14) dengan harga Rp50.00/ekor. 3. Harga panen adalah Rp40,000,-/kg dengan ukuran size 60. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha yang dilakukan (Lampiran 22), dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya tambak udang vannamei di Kabupaten Bangka Barat layak dilakukan karena dari tiga kriteria yang digunakan dalam penilaian kelayakan usaha (NPV, net B/C ratio dan IRR) semua kriteria tersebut terpenuhi dimana NPV > 0, net B/C ratio > 1 dan IRR > discount rate sosial (diskon faktor). Pada Tabel 18, terlihat bahwa dari total dana yang diinvestasikan dengan tingkat diskonto 15%, maka nilai uang yang diterima selama masa investasi (NPV) adalah sebesar Rp27,091,562 dengan net B/C ratio 1.23 dan IRR sebesar 24.43%. Tabel 18 Kriteria kelayakan usaha budidaya tambak (udang vannamei) di Kabupaten Bangka Barat No Kriteria Kelayakan Nilai 1 NPV pada DF 15% Rp 27,091,562 2 Net B/C ratio pada DF 15% IRR 24.43% Sumber: Hasil analisis Nilai net B/C ratio yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu satuan biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan manfaat yang diperoleh. Dalam analisis ini setiap Rp1.00 yang diinvestasikan akan memberikan manfaat bersih tambahan sebesar Rp1.23. Sedangkan nilai IRR menunjukkan bahwa dalam analisis ini usaha tambak akan mendapatkan nilai NPV sama dengan nol pada saat suku bunga bernilai 24.43%, nilai IRR ini juga menunjukkan bahwa modal yang dimiliki lebih baik diinvestasikan untuk usaha

13 51 budidaya tambak daripada disimpan di Bank karena manfaat yang diperoleh akan lebih besar yaitu lebih besar dari suku bunga tabungan deposito yang tertinggi Tahun 2008 sebesar 10.96%. Hasil penghitungan biaya selama satu tahun (3 siklus produksi) menunjukkan bahwa sebagian besar biaya yang digunakan adalah pada biaya variabel yaitu sebesar 55.96% seperti terlihat pada Tabel 19. Rincian lengkap biaya dan penerimaan disajikan pada Lampiran 23. Tabel 19. Gambaran biaya usaha budidaya tambak selama 1 tahun/ha (3 siklus produksi) No Uraian Jumlah Persentase (%) 1 Biaya Investasi 47,200, Biaya Variabel 69,555, Biaya Tetap 7,533, Penerimaan 120,000,000 Sumber: Hasil analisis Kelayakan Usaha Budidaya Kerapu dalam KJA Dalam melakukan analisis kelayakan usaha untuk budidaya kerapu di dalam karamba jaring apung (KJA), ada beberapa acuan yang digunakan yaitu: 1. Budidaya dilakukan pada karamba jaring apung dengan ukuran 8 x 8 m sebanyak satu unit, satu siklus usaha selama 9 bulan yaitu dari bulan Februari sampai dengan Oktober (perairan relatif lebih tenang), SR kerapu sampai dengan panen adalah 50%, dan FCR sebesar 1: Benih yang digunakan adalah benih kerapu bebek panjang 7 cm dengan harga Rp17,500.00/ekor. 3. Panen dilakukan pada saat berat gr karena harganya relatif tinggi pada berat tersebut. Harga yang digunakan adalah harga untuk ukuran gr/ekor yaitu Rp350,000.00/kg dalam keadaan hidup. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha yang dilakukan (Lampiran 24), dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya kerapu dalam karamba jaring apung di Kabupaten Bangka Barat layak diusahakan karena kriteria kelayakan usaha NPV > 0, net B/C ratio > 1 dan IRR discount rate sosial (diskon faktor), sehingga memenuhi keputusan untuk dapat dilaksanakan. Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai NPV Rp113,963,435, berarti bahwa selama masa investasi yang dilakukan

14 52 (5 tahun) dengan faktor diskonto 15%, maka uang yang diterima adalah sebesar Rp113,963,435 pada akhir masa investasi. Tabel 20 Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Kerapu Tikus di Kabupaten Bangka Barat No Kriteria Kelayakan Nilai 1 NPV pada DF 15% Rp 113,963,435 2 Net B/C ratio pada DF 15% IRR (%) 48.24% Sumber: Hasil analisis Nilai net B/C ratio yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu satuan biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan manfaat yang diperoleh. Dalam analisis ini setiap Rp1.00 yang diinvestasikan akan memberikan manfaat bersih tambahan sebesar Rp1.88. Sedangkan nilai IRR menunjukkan bahwa dalam analisis ini usaha budidaya rumput laut akan mendapatkan nilai NPV sama dengan nol pada saat suku bunga 48.24%. Nilai IRR ini juga menunjukkan bahwa modal yang dimiliki lebih baik diinvestasikan untuk usaha budidaya kerapu dalam KJA daripada disimpan di Bank karena nilai 48.24% lebih besar dari pada suku bunga tabungan deposito (bunga deposito tertinggi pada tahun 2008 sebesar 10.96%) sehingga manfaat yang diperoleh akan lebih besar dari pada uang tersebut di depositokan di Bank. Seperti halnya pada budidaya tambak yang diuraikan di atas, pada budidaya kerapu dalam karamba jaring apung biaya terbesar adalah biaya variabel yaitu sebesar 66.24% (Tabel 21). Rincian lengkap biaya dan penerimaan disajikan pada Lampiran 25. Tabel 21 Gambaran biaya usaha budidaya Kerapu Tikus di Kabupaten Bangka Barat No Uraian Jumlah Persentase (%) 1 Biaya Investasi 37,148, Biaya Variabel 92,410, Biaya Tetap 9,942, Penerimaan 175,000,000 Sumber: Hasil analisis

15 53 Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut Beberapa acuan yang digunakan dalam analisis kelayakan usaha untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dengan metode jalur diuraikan sebagai berikut: 1. Budidaya dilakukan pada rakit dengan metode jalur dimana rakit terdiri dari 1 jalur dengan 8 petak, sehingga luas 1 rakit adalah 5 x 56 meter, pada ujung kiri-kanan setiap petak terdapat bambu untuk merentangkan tali jalur dan tali ris. 2. Bibit yang digunakan untuk setiap titik seberat 100 gr dengan harga Rp5, /kg. 3. Panen dilakukan setelah dua bulan tanam dengan berat 1, gr per titik, sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan panen sebanyak 6 kali panen. 4. Rumput laut dijual dalam keadaan kering (± 1/8 bobot basah) dengan harga Rp13, /kg. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha yang dilakukan (Lampiran 26), dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bangka Barat layak diusahakan karena kriteria kelayakan usaha NPV > 0, net B/C ratio > 1 dan IRR > diskon faktor, sehingga memenuhi keputusan untuk dapat dilaksanakan. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai NPV Rp6,606,947, berarti bahwa selama masa investasi 5 tahun dengan faktor diskonto 15%, maka uang yang diterima adalah sebesar Rp6,606,947 pada akhir masa investasi. Tabel 22 Kriteria kelayakan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bangka Barat No Kriteria Kelayakan Nilai 1 NPV pada DF 15% Rp 6,606,947 2 Net B/C ratio pada DF 15% IRR (%) 24.49% Sumber: Hasil analisis Nilai net B/C ratio yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu satuan biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan manfaat yang diperoleh. Dalam analisis ini setiap Rp1.00 yang diinvestasikan akan memberikan manfaat bersih tambahan sebesar Rp1.23. Sedangkan nilai IRR

16 54 menunjukkan bahwa dalam analisis ini usaha budidaya rumput laut akan mendapatkan nilai NPV sama dengan nol pada saat suku bunga 24.49%. Nilai IRR ini juga mengindikasikan bahwa modal yang dimiliki lebih baik diinvestasikan untuk usaha budidaya rumput laut daripada disimpan di Bank karena nilai 24.49% lebih besar dari pada suku bunga tabungan deposito (bunga deposito tertinggi pada tahun 2008 sebesar 10.96%) sehingga manfaat yang diperoleh akan lebih besar dari pada uang tersebut di depositokan di Bank. Seperti halnya pada budidaya tambak dan kerapu, pada budidaya rumput laut biaya terbesar adalah biaya variabel yaitu sebesar 49.29% (Tabel 23). Rincian lengkap biaya dan penerimaan disajikan pada Lampiran 27. Tabel 23 Gambaran biaya usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bangka Barat No Uraian Jumlah Persentase (%) 1 Biaya Investasi 12,715, Biaya Variabel 15,597, Biaya Tetap 3,329, Penerimaan 29,343,600 Sumber: Hasil analisis Berdasarkan informasi dari pembudidaya di Kabupaten Bangka Tengah, pembudidayaan rumput laut ini relatif mudah dan pertumbuhan nya sangat cepat. Setelah 25 hari pemeliharaan bibit dapat segera dipanen untuk ditanam kembali dengan berat pada masing-masing titik mencapai 500 gr dari berat awal 100gr. Dari pembudidaya tambak di Kota Pangkalpinang juga diperoleh informasi bahwa rumput laut yang mereka gunakan sebagai penjaga kualitas air tambak juga mengalami pertumbuhan yang baik sekali walaupun tanpa perlakuan seperti layaknya rumput laut untuk budidaya. Sehingga diduga pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Bangka Barat juga relatif mudah dilakukan, selain itu biaya juga dapat dikurangi dari item penyediaan sarana kapal/perahu untuk nelayannelayan yang sebelumnya sudah memiliki kapal/perahu untuk melaut. Penentuan Desa-Desa Prioritas untuk Mengembangkan Budidaya Perikanan Penelitian ini antara lain dimaksudkan untuk menentukan desa-desa yang diprioritaskan dalam pengembangan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat. Oleh karena itu dilakukan pengelompokan desa-desa pesisir di

17 55 Kabupaten Bangka Barat berdasarkan faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat. Pengelompokan ini juga dijadikan dasar sebagai unit analisis dalam pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai (analisis SWOT). Untuk mencapai maksud tersebut, langkah pertama adalah mencari variabelvariabel yang dianggap berperan dalam pengembangan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat. Berdasarkan ketersediaan data, ada tiga variabel yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan pengelompokan desadesa pesisir di Kabupaten Bangka Barat yaitu aktivitas pesisir (persentase jumlah nelayan pada suatu desa), aksesibilitas (rasio jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat per luas lahan) dan aktivitas tambang (luas penutupan lahan tambang per luas lahan di suatu desa). Data lengkapnya disajikan pada Lampiran Analisis Faktor/PCA Hasil Analisis Faktor/PCA dari 3 variabel di atas yang merupakan variasi dari faktor-faktor yang dianggap berperan dalam pengembangan budidaya perikanan di desa-desa pesisir Kabupaten Bangka Barat dapat direpresentasikan dengan 2 faktor (penciri utama) seperti terlihat pada faktor loading pada Tabel 24 di bawah ini. Tabel 24 Faktor Loading hasil Analisis Faktor (PCA) yang menunjukkan penciri dari masing-masing Faktor Utama Factor Loadings Variable Factor 1 Factor 2 aktiv pesisir aktiv tambang aksesibilitas Keterangan: warna merah merupakan penciri dari masing-masing faktor utama (factor Loading). Sumber: hasil analisis Pada Tabel 24 tampak bahwa yang menjadi penciri faktor 1 adalah Aktvitas Pertambangan (% Tambang) dan Aksesibilitas (rasio jalan/lahan) dan penciri faktor 2 adalah Aktivitas Pesisir (% Nelayan). Masing-masing faktor utama tersebut dapat menjelaskan : - Faktor 1 : menggambarkan variasi aksesibilitas dan aktivitas pertambangan antar desa, yang dibangun oleh rasio jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat per luas lahan dan persentase luas penutupan

18 56 lahan tambang per luas lahan, karena bertanda negatif semakin besar skor suatu desa pada faktor ini semakin kecil tingkat aksesibilitas dan aktivitas pertambangan di desa tersebut. - Faktor 2 : menggambarkan variasi aktivitas pesisir antar desa, karena bertanda negatif, semakin besar skor pada faktor ini semakin kecil aktivitas pesisir di desa tersebut. Kedua faktor utama tersebut mampu menjelaskan keragaman data sebesar %, yang merupakan persentase akumulatif varian dari eigenvalue yang nilainya lebih dari 1. Angka ini menunjukkan suatu deskripsi yang cukup baik karena nilai persentase akumulatifnya berada di atas 70 % (Simamora 2005). Nilai eigenvalue dan total varian hasil Analisis Faktor disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Nilai eigenvalue dan persentase total varian eigenvalue yang lebih dari 1 Eigenvalues (extraction: principal components) Value Eigenvalues % total variance cumulative eigenvalue cumulative Sumber: hasil analisis Analisis Kelompok (Cluster) Analisis Faktor/PCA antara lain menghasilkan faktor skor yang selanjutnya digunakan dalam analisis kelompok (cluster analysis). Pada faktor loading (Tabel 24) terlihat bahwa penciri Faktor 1 dan Faktor 2 bertanda negatif, sehingga untuk mempermudah proses analisis berikutnya nilai faktor 1 dan 2 dikalikan dengan -1. Berdasarkan 2 faktor utama di atas selanjutnya dengan menggunakan Teknik Tree-Clustering desa-desa di Kabupaten Bangka Barat dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok seperti disajikan pada Gambar 16 di bawah ini:

19 57 Gambar 16 Pengelompokan desa-desa di Kabupaten Bangka Barat dengan teknik Tree- Clustering Dari gambar di atas terlihat bahwa pada posisi ketakmiripan mendekati 80% desa-desa di Kabupaten Bangka Barat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Selain dengan melihat Tree-Diagram dari metode Tree-Clustering, pengelompokan juga didasarkan atas grafik amalgamation schedule seperti tampak pada Gambar 17 terlihat bahwa peningkatan grafik yang tajam terjadi pada saat pengelompokan dibagi ke dalam 3 kelas yaitu tahap 28, 32 dan 36. Gambar 17 Grafik amalgamation schedule yang menunjukkan peningkatan drastis pada koefisien (linkage distance) pada tahap ke (tiga cluster)

20 58 Hasil pengelompokan desa-desa pesisir di Kabupaten Bangka Barat dengan Tree-clustering disajikan pada Tabel 26: Tabel 26 Pengelompokan Desa-desa di Kabupaten Bangka Barat dengan teknik Tree-Clustering Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Air Nyatoh Air Gantang Air Belo Sinar Surya Air Putih Air Lintang Air Limau Tebing Bakit Benteng Kuta Belo Laut Tugang Kayu Arang Cupat Kacung Tuik Kundi Kapit Limbung Tumbak Petar Rambat Kelabat Mancung Simpang Gung Ketap Pelangas Tanjung Niur Sungai Baru Penyampak Teluk Limau Tanjung Peradong Jebus Ranggi Rukam Pusuk Semulut Sungai Buluh Simpang Tiga Sumber: hasil analisis Analisis Diskriminan Pengelompokan desa-desa pesisir di Kabupaten Bangka Barat ke dalam 3 kelompok hasil Analisis Kelompok (cluster analysis) selanjutnya diperiksa ketepatan pengelompokannya dengan menggunakan Analisis Diskriminan. Dengan melihat classification matrix hasil Analisis Diskriminan dapat diketahui ketepatan pengelompokan yang sudah dilakukan pada cluster analysis. Hasil pengelompokan desa pesisir di Kabupaten Bangka Barat setelah dilakukan Analisis Diskriminan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pengelompokan desa pesisir hasil Analisis Diskriminan Desa Cluster 1 Desa Cluster 2 Desa Cluster 3 Air Nyatoh Air Gantang Air Belo Pusuk Air Putih Air Lintang Air Limau Ranggi Bakit Benteng Kuta Belo Laut Rukam Kayu Arang Cupat Jebus Semulut Kundi Kapit Kacung Simpang Tiga Rambat Kelabat Limbung Sinar Surya Simpang Gung Ketap Mancung Sungai Buluh Tanjung Niur Sungai Baru Pelangas Tebing Teluk Limau Tanjung Penyampak Tugang Peradong Tuik Tumbak Petar Sumber: Hasil analisis

21 59 Selanjutnya dengan menggunakan Analisis Korelasi disajikan hubungan antara variabel (Faktor 1 dan 2) dengan skor fungsi klasifikasi dari analisis diskriminan masing-masing kelompok (G1, G2 dan G3). Faktor 1 menunjukkan tingkat aksesibilitas dan aktivitas pertambangan, dan Faktor 2 menunjukkan aktivitas pesisir. Dengan demikian korelasi antara variabel dan fungsi skor klasifikasi adalah penciri dari masing-masing cluster. Pada tingkat kepercayaan 95% (p < 0.050) dihasilkan penciri dari ke-3 cluster (G1, G2 dan G3) seperti ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Matriks korelasi antara variabel (faktor penciri utama) dengan skor fungsi klasifikasi correlations Marked correlations are significant at p <.050 N=39 Variable G1 G2 G3 Faktor Faktor Keterangan:. warna merah menunjukkan variabel (faktor 1 dan 2) berkorelasi nyata (p <.050) dengan fungsi skor klasifikasi cluster (G1, G2 dan G3) Dengan memperhatikan koefisien korelasi yang nyata pada taraf p < 0.05 dan pengkategorian yang dikelomppokkan ke dalam: sangat tinggi 0.7; tinggi < 0.7 rendah > -0.7, sangat rendah -0.7 maka disusunlah pengelompokan desa pesisir dengan pencirinya seperti tertera pada Tabel 29: Tabel 29 Matriks pengelompokan desa pesisir di Kabupaten Bangka Barat berdasarkan pencirinya (analisis diskriminan) Variabel Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Aksesibilitas dan aktivitas pertambangan (Faktor 1) Sangat tinggi Sangat rendah Aktivitas pesisir (Faktor 2) Sangat tinggi Rendah Rendah Sumber: Hasil analisis Berdasarkan Tabel 29 dapat disimpulkan bahwa cluster 1 merupakan desa pesisir yang berpotensi untuk pengembangan budidaya perikanan laut/pantai dari sisi ketersediaan tenaga kerja, cluster 2 berpotensi dari sisi ketersediaan aksesibilitas akan tetapi mempunyai tantangan dengan tingginya aktivitas pertambangan dan rendahnya aktivitas pesisir adapun cluster 3 relatif lebih berat untuk pengembangan budidaya perikanan karena dicirikan oleh rendahnya aktivitas pesisir (tenaga kerja) dan rendahnya aksesibilitas sehingga apabila

22 hendak mengembangkan budidaya perikanan laut/pantai pada desa pesisir yang termasuk ke dalam cluster 3 perlu dibarengi dengan memperbaiki aksesibilitas ke lokasi kegiatan. Hasil pengelompokan desa pesisir menjadi 3 kelompok ini selanjutnya dijadikan sebagai masukan dalam Analisis SWOT. Sebaran cluster (kelompok) Desa pesisir hasil analisis cluster dan diskriminan disajikan pada Gambar 18. 5PETA SEBARAN CLUSTER DESA PESISIR DI KABUPATEN BANGKA BARAT Lokasi Penelitian Laut Natuna P. Bangka Teluk Kelabat Teluk Kampa KABUPATEN BANGKA Selat Bangka 0Sumber: Hasil Analisis 56Legenda : Desa Non Pesisir Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Cluster (Kelompok) Desa : Desa Cluster 1 Desa Cluster 2 Desa Cluster 3 Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda 2005) Peta Penggunaan Lahan (2007) Data Penduduk (2007) N Kilometer Gambar 18 Sebaran cluster (kelompok) desa pesisisir berdasarkan hasil analisis cluster dan diskriminan

23 61 Dengan memperhatikan Analisis Kesesuaian Lokasi yang telah dilakukan, dapat dirangkum lokasi-lokasi yang sesuai dan tersedia untuk budidaya laut/pantai di masing-masing desa pesisir pada setiap cluster. Lokasi-lokasi tersebut disajikan Pada Tabel 30. Berdasarkan Tabel 30 diketahui bahwa kecuali Desa Air Putih, Air Gantang, Kapit, Tanjung, Limbung dan Tumbak Petar, desa-desa pesisir di Kabupaten Bangka Barat dari ke tiga cluster memiliki lokasi yang sesuai dan tersedia untuk budidaya pantai/laut. Sebaran lokasi yang diprioritaskan untuk pengembangan budidaya perikanan disajikan pada Gambar 19. Tabel. 30. Lokasi yang sesuai dan tersedia untuk budidaya laut/pantai di masingmasing desa pesisir pada setiap cluster desa No Desa Cluster Tambak (Ha) KJA Rumput Laut 1 Ds. Air Nyatoh Ds. Air Putih Ds. Bakit Ds. Kayu Arang 1 1, Ds. Kundi Ds. Rambat Ds. Simpang Gong Ds. Tanjung Niur Ds. Teluk Limau Ds. Air Gantang Ds. Air Lintang Ds. Benteng Kota Ds. Cupat Ds. Kapit Ds. Kelabat Ds. Ketap Ds. Sungai Baru Ds. Tanjung Ds. Air Belo Ds. Air Limau Ds. Belo Laut Ds. Jebus Ds. Kacung Ds. Limbung Ds. Mancung Ds. Pelangas Ds. Penyampak Ds. Peradong Ds. Pusuk Ds. Ranggi Ds. Rukam Ds. Semulut Ds. Simpang Tiga Ds. Sinar Surya Ds. Sungai Buluh Ds. Tebing Ds. Tugang Ds. Tuik Ds. Tumbak Petar ,500 Keterangan: + : tersedia - : tidak tersedia

24 PETA DESA -DESA PRIORITAS UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT Lokasi Penelitian Laut Natuna P. Bangka Teluk Kelabat Teluk Kampa KABUPATEN BANGKA Selat Bangka 5Legenda : Desa Non Pesisir Amini / A Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB 2009 Prioritas Pengembangan : Prioritas 2 Prioritas 3 Tidak tersedia Sumber: Hasil Analisis Data: Peta Administrasi Kab. Babar skala 1: (Bappeda Babar 2005) Peta Lahan yang tersedia untuk Budidaya Perikanan Cluster Desa 0Prioritas 1 10 N 0 Kilometer 10 Gambar 19 Peta desa-desa prioritas untuk pengembangan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat Arahan Pengelolaan Budidaya Perikanan Laut/Pantai Di Kabupaten Bangka Barat (Analisis SWOT) Hasil akhir dari penelitian ini adalah masukan bagi Pemda Kabupaten Bangka Barat dalam menyusun strategi pengelolaan budidaya perikanan khususnya budidaya perikanan laut/pantai. Untuk memenuhi tujuan tersebut dilakukan analisis SWOT yang diharapkan dapat merangkum faktor faktor

25 63 internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam aspek teknis-ekologis, sosial-ekonomi-budaya, politik, hukum dan kelembagaan seperti penelitian yang dilakukan oleh Taher et al. (2002) tentang Analisis Kesesuaian Lahan dan Strategi Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan yang menjelaskan bahwa perumusan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir hendaklah memperhatikan aspek-aspek yang disebutkan di atas yang merupakan dimensi pembangunan berkelanjutan. Faktor internal dan eksternal dalam penelitian ini berasal dari analisis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu Analsis Kesesuaian Lokasi, Analisis Kelayakan Usaha dan Analisis Penentuan Desa Prioritas untuk Pengembangan Budidaya Perikanan serta masukan dari stakeholder di Kabupaten Bangka Barat hasil wawancara. Faktor internal dan eksternal yang telah teridentifikasi ini merupakan input dalam menyusun formula strategi untuk pengelolaan budidaya perikanan di Kabupaten Bangka Barat, khususnya budidaya perikanan laut/pantai. Cluster 1 Berdasarkan data hasil analisis dan hasil wawancara dapat disusun faktor internal dan eksternal yang berperan dalam pengelolaan budidaya perikanan di desa-desa yang termasuk ke dalam cluster 1 di Kabupaten Bangka Barat seperti tertera pada Tabel 31. Faktor internal dan eksternal tersebut selanjutnya dikelompokkan dengan memberi bobot untuk masing-masing faktor sesuai dengan besarnya pengaruh masing-masing faktor terhadap pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat seperti tampak pada Tabel 32. Proses pemberian bobot pada cluster 1 disajikan pada Lampiran 31. Hasil analisis faktor internal (dilihat dari total skor) menunjukkan bahwa pada aspek kekuatan faktor yang paling berpengaruh pada cluster 1 adalah tingginya aktivitas pesisir (0.62) kemudian kelayakan secara finansial (0.58) dan lokasi yang sesuai serta belum dimanfaatkan (0.46). Pada aspek kelemahan faktor yang paling berpengaruh adalah tingginya biaya (0.31) dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap budidaya perikanan laut/pantai (0.31).

26 64 Tabel 31 Identifikasi faktor internal dan eksternal pengelolaan budidaya perikanan pada cluster 1 Internal Eksternal Aspek Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman Teknis ekologis Lokasi: mempunyai lokasi yang sesuai untuk budidaya laut/pantai dan belum dimanfaatkan 2 Kelayakan: layak diusahakan secara ekonomi (NPV,B/C ratio dan IRR) 4 Ketersediaan benih: tidak tersedia benih lokal 1 Modal: tingginya biaya budidaya laut 4 Tekanan: tekanan terhadap sumberdaya 1 Sosial, ekonomi, budaya Aktivitas pesisir: tingginya aktivitas pesisir 3 Pemahaman: rendahnya pemahaman thd budidaya laut 1 Kesempatan kerja: Peningkatan lapangan kerja dan berusaha bagi masyarakat 1 PAD: potensi peningkatan PAD bagi pemerintah 1 Konflik: resiko konflik pemanfaatan ruang 1 Pasar: tersedianya pasar 1 Politik, hukum, kelembagaan Keterangan : 1 Hasil wawancara dengan stakeholders 4 Hasil Analisis Finansial RTRW: belum terakomodasinya alokasi pemanfaatan ruang untuk budidaya laut/pantai dalam RTRW 1 Program: belum ada program dan perda yang mendukung budidaya perikanan laut/pantai di tingkat daerah 1 Peraturan:UU No.22 Th 1999 ttg Pemerintahan Daerah 1 (32 Th 2004) 2 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan/Lokasi 3 Hasil Analisis Tipologi Wilayah Hasil analisis faktor eksternal menunjukkan bahwa pada aspek peluang yang paling berpengaruh adalah ketersediaan pasar (0.8) dan peluang kesempatan kerja (0.6) sedangkan pada aspek ancaman kedua faktor yang diidentifikasi sebagai ancaman (resiko konflik pemanfaatan ruang dan tekanan terhadap sumberdaya) mempunyai pengaruh yang sama (0.4). Berdasarkan pembobotan dan pemberian rating dari masing-masing faktor internal dan eksternal di atas kemudian dilakukan formulasi strategi dengan membuat strategi silang dari ke empat faktor tersebut sehingga dihasilkan strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT.

27 65 Tabel 32 Pemberian bobot untuk setiap unsur dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada cluster 1 Unsur SWOT Bobot Rating Total Kode skor Faktor Internal Kekuatan Lokasi: mempunyai lokasi yang sesuai untuk budidaya laut/pantai dan belum dimanfaatkan S S2 Kelayakan: layak diusahakan secara ekonomi (NPV,B/C ratio dan IRR) 4 3 Aktivitas dominan: tingginya aktivitas pesisir S3 Kelemahan 1 Ketersediaan benih: tidak tersedia benih lokal W W2 Modal: tingginya biaya budidaya laut 1 Pemahaman: rendahnya pemahaman thd budidaya laut W W4 RTRW: belum terakomodasinya alokasi pemanfaatan ruang untuk budidaya laut/pantai dalam RTRW W5 Program: belum ada program dan perda yang mendukung budidaya perikanan laut/pantai di tingkat daerah 1 Eksternal TOTAL Peluang berusaha bagi masyarakat 1 Kesempatan kerja: Peningkatan lapangan kerja dan O1 1 PAD: potensi peningkatan PAD bagi pemerintah O2 1 Pasar: tersedianya pasar O3 1 Peraturan:UU No.22 Th 1999 ttg Pemerintahan Daerah O4 Ancaman 1 Konflik: resiko konflik pemanfaatan ruang T1 1 Tekanan: tekanan terhadap sumberdaya T2 TOTAL Sumber: hasil analisis Strategi SO adalah Strategi yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan untuk menangkap peluang yang ada. Strategi ST adalah strategi yang disusun untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam menanggulangi ancaman yang ada. Strategi WO adalah Strategi memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki. Strategi WT adalah strategi yang disusun untuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang

28 66 mungkin timbul. Formulasi strategi pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai pada Cluster 1 secara lengkap disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Formulasi strategi pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai pada cluster 1 di Kabupaten Bangka Barat Peluang (O) Kesempatan kerja: Peningkatan lapangan kerja dan berusaha bagi masyarakat Ancaman (T) Konflik: resiko konflik pemanfaatan ruang Tekanan: tekanan terhadap sumberdaya PAD: potensi peningkatan PAD bagi pemerintah Pasar: tersedianya pasar Peraturan:UU No.22 Th 1999 ttg Pemerintahan Daerah Kekuatan (S) Strategi SO Strategi ST Menggalakkan kegiatan budidaya Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan Lokasi: mempunyai perikanan laut /pantai pada lokasi yang potensi dan kesesuaian lahan untuk menghindari lokasi yang sesuai sesuai, untuk meningkatkan pendapatan terjadinya konflik, serta tekanan terhadap untuk budidaya masyarakat dan PAD al: pilot project sumberdaya secara berlebihan dengan melibatkan laut/pantai dan belum budidaya perikanan laut/pantai (S1,2; semua stakeholders (S1,2,3 ; T1,2) dimanfaatkan 2 O1,2,3) Kelayakan: layak diusahakan secara ekonomi (NPV,B/C ratio dan IRR) 4 Aktivitas pesisir: tingginya aktivitas pesisir 3 Kelemahan (W) Strategi WO Strategi WT Ketersediaan benih: tidak tersedia benih lokal Modal: tingginya biaya budidaya laut Pemahaman: rendahnya pemahaman thd budidaya laut RTRW: belum terakomodasinya alokasi pemanfaatan ruang untuk budidaya laut/pantai dalam RTRW Program: belum ada program dan perda yang mendukung budidaya perikanan laut/pantai di tingkat daerah Penyediaan akses informasi budidaya perikanan termasuk benih dan pemasaran (W1; O3) Penguatan permodalan untuk kegiatan budidaya laut/pantai, al: bantuan modal (bergulir) untuk kegiatan budidaya laut/pantai disertai pendampingan dari dinas terkait (W2 ; O3) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap budidaya laut/pantai (W3 ; O1,3) Penyusunan program dan peraturan yang mendukung kegiatan budidaya perikanan laut/pantai (W1,2,3,4,5 ; O1,2,3,4) Penyusunan peraturan alokasi pemanfaatan ruang (termasuk budidaya laut/pantai) yang diintegrasikan dengan RTRW untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan tekanan berlebihan terhadap sumberdaya dengan melibatkan semua stakeholders (W4,5 ; T1,2) Tahap akhir dari Analisis SWOT adalah menentukan prioritas dari strategi yang telah diformulasikan. Penentuan prioritas berdasarkan skor keterkaitan, yaitu jumlah skor dari faktor-faktor yang terkait dengan suatu strategi. Prioritas strategi

29 67 pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai pada Cluster 1 disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Penentuan prioritas Strategi pengelolaan budidaya perikanan pada cluster 1 di Kabupaten Bangka Barat Strategi Strategi Keterkaitan Skor Prioritas Penyusunan program dan peraturan yang mendukung kegiatan budidaya perikanan laut/pantai Menggalakkan kegiatan budidaya perikanan laut /pantai pada lokasi yang sesuai, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan PAD al: pilot project budidaya perikanan laut/pantai Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan untuk menghindari terjadinya konflik, serta tekanan terhadap sumberdaya secara berlebihan dengan melibatkan semua stakeholders Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap budidaya laut/pantai Penguatan permodalan untuk kegiatan budidaya laut/pantai, al: bantuan modal (bergulir) untuk kegiatan budidaya laut/pantai disertai pendampingan dari dinas terkait Penyusunan peraturan alokasi pemanfaatan ruang (termasuk budidaya laut/pantai) yang diintegrasikan dengan RTRW untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan tekanan berlebihan terhadap sumberdaya dengan melibatkan semua stakeholders Penyediaan akses informasi budidaya perikanan termasuk benih dan pemasaran (W1,2,3,4,5 ; O1,2,3,4) (S1,2; O1,2,3) (S1,2,3 ; T1,2) (W3 ; O1,3) (W2 ; O3) (W4,5 ; T1,2) (W1; O3) Cluster 2 Berdasarkan data hasil analisis dan hasil wawancara dapat disusun faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan budidaya perikanan di desa-desa yang termasuk ke dalam cluster 2 seperti tertera pada Tabel 35. Faktor internal dan eksternal tersebut selanjutnya dikelompokkan dengan memberi bobot untuk masing-masing faktor sesuai dengan besarnya pengaruh masing-masing faktor terhadap pengelolaan budidaya perikanan laut/pantai di Kabupaten Bangka Barat seperti tampak pada Tabel 36. Proses pemberian bobot pada cluster 2 disajikan pada Lampiran 32. Hasil analisis faktor internal (dilihat dari total skor) menunjukkan bahwa pada aspek kekuatan faktor yang paling berpengaruh adalah kelayakan secara finansial (0.50) kemudian lokasi yang sesuai serta belum dimanfaatkan (0.38) dan aksesibilitas yang baik (0.38). Pada aspek kelemahan faktor yang paling berpengaruh adalah tingginya biaya, rendahnya aktivitas pesisir dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap budidaya perikanan laut/pantai (0.25).

30 68 Tabel 35 Identifikasi faktor internal dan eksternal pengelolaan budidaya perikanan pada cluster 2 Internal Eksternal Aspek Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman Teknis ekologis Lokasi: mempunyai lokasi yang sesuai untuk budidaya laut/pantai dan belum dimanfaatkan 2 Kelayakan: layak diusahakan secara ekonomi (NPV,B/C ratio dan IRR) 4 Ketersediaan benih: tidak tersedia benih lokal 1 Modal: tingginya biaya budidaya laut 4 Aktivitas dominan: rendahnya aktivitas pesisir 3 Tekanan: tekanan terhadap sumberdaya 1 Tambang: tingginya aktivitas pertambangan 3 Sosial, ekonomi, budaya Aksesibilitas : aksesibilitas baik 3 Pemahaman: rendahnya pemahaman thd budidaya laut 1 Kesempatan kerja: Peningkatan lapangan kerja dan berusaha bagi masyarakat 1 PAD: potensi peningkatan PAD bagi pemerintah 1 Konflik: resiko konflik pemanfaatan ruang 1 Pasar: tersedianya pasar 1 Politik, hukum, kelembagaan Keterangan : 1 Hasil wawancara dengan stakeholders 2 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan/Lokasi 3 Hasil Analisis Tipologi Wilayah 4 Hasil Analisis Finansial RTRW: belum terakomodasinya alokasi pemanfaatan ruang untuk budidaya laut/pantai dalam RTRW 1 Program: belum ada program dan perda yang mendukung budidaya perikanan laut/pantai di tingkat daerah 1 Peraturan:UU No.22 Th 1999 ttg Pemerintahan Daerah 1 Hasil analisis faktor eksternal menunjukkan bahwa pada aspek peluang yang paling berpengaruh adalah ketersediaan pasar dan peluang kesempatan kerja (0.53) sedangkan pada aspek ancaman ketiga faktor yang diidentifikasi sebagai ancaman (resiko konflik pemanfaatan, tekanan terhadap sumberdaya dan tingginya aktivitas pertambangan) mempunyai pengaruh yang sama (0.35). Berdasarkan pembobotan dan pemberian rating dari masing-masing faktor internal dan eksternal di atas kemudian dilakukan formulasi strategi dengan membuat strategi silang dari ke empat faktor tersebut sehingga dihasilkan strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT. Formulasi strategi pengelolaan

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka Barat yang meliputi desa-desa pesisir di Kecamatan Muntok, Kecamatan Simpang Teritip, Kecamatan Kelapa, Kecamatan

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Bangka Barat merupakan salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang disahkan dengan UU RI Nomor

Lebih terperinci

Mustafa A, Rachmansyah, Adi H, Kelayakan Lahan untuk Budidaya Perikanan Pesisir. Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan pada tanggal

Mustafa A, Rachmansyah, Adi H, Kelayakan Lahan untuk Budidaya Perikanan Pesisir. Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan pada tanggal DAFTAR PUSTAKA Abdullah M. 1995. Aspek Pemasaran Beberapa Komoditi Ekonomis Penting Budidaya Laut. Di dalam: Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut. Jakarta

Lebih terperinci

REKAPITULASI DATA IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) KOMODITAS MINERAL LOGAM DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

REKAPITULASI DATA IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) KOMODITAS MINERAL LOGAM DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG REKAPITULASI DATA IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) KOMODITAS MINERAL LOGAM DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG No Nama Perusahaan Alamat Perusahaan Nomor & Tanggal SK Masa Berlaku Lokasi IUP Luas Wilayah

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 36 36 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Budidaya pembesaran ikan kerapu bebek (Chromileptes altivelis) dengan sistem KJA dan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) dengan sistem Long

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data secara langsung.

Lebih terperinci

KATA

KATA KATA PENGANTAR Prosiding Seminar Nasional ini merupakan kumpulan makalah yang telah diseminarkan dalam Seminar Nasional yang diselenggatakan pada tanggal 6 November Ol4 di IPB International Convention

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Domba Tawakkal, yang terletak di Jalan Raya Sukabumi, Desa Cimande Hilir No.32, Kecamatan Caringin, Kabupaten

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Lokasi Peneliti. Peta Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara

Lampiran 1. Peta Lokasi Peneliti. Peta Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara 123 123 Lampiran 1. Peta Lokasi Peneliti Peta Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara 124 124 125 125 Lampiran.2. Sarana Input Produksi Budidaya Ikan Kerapu dan Rumput Laut di Kawasan Teluk Levun Unit Budidaya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan batasan penelitian Penelitian ini berlokasi di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai di Dusun Kalangbahu Desa Jawai Laut Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas Kalimantan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.

Lebih terperinci

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0 o 12 8 o Lintang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan selama 6 bulan dari Bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

RINGKASAN. Berbagai Macam Kegiatan Pertanian Di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung

RINGKASAN. Berbagai Macam Kegiatan Pertanian Di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung ANALISIS EKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE UNTUK BERBAGAl MACAM I

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. tentang istilah-istilah dalam penelitian ini, maka dibuat definisi operasional

III. METODE PENELITIAN. tentang istilah-istilah dalam penelitian ini, maka dibuat definisi operasional III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpamaham mengenai pengertian tentang istilah-istilah dalam penelitian ini, maka dibuat definisi operasional sebagai

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yaitu Bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011. Pengambilan data primer yaitu pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 0 50 sampai 109 0 30 Bujur Timur dan 0 0 50 sampai 4 0 10 Lintang

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data 15 III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu Pengambilan data dilakukan di PT. Mitra Bangun Cemerlang yang terletak di JL. Raya Kukun Cadas km 1,7 Kampung Pangondokan, Kelurahan Kutabaru, Kecamatan Pasar

Lebih terperinci

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan pembesaran ikan lele sangkuriang kolam terpal. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam aspek finansial

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS FINANSIAL VII. ANALISIS FINANSIAL Usaha peternakan Agus Suhendar adalah usaha dalam bidang agribisnis ayam broiler yang menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Skala usaha peternakan Agus Suhendar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT, POTENSI UNGGULAN KABUPATEN BANGKA BARAT POTENSI KELAPA SAWIT

KELAPA SAWIT, POTENSI UNGGULAN KABUPATEN BANGKA BARAT POTENSI KELAPA SAWIT KELAPA SAWIT, POTENSI UNGGULAN KABUPATEN BANGKA BARAT POTENSI KELAPA SAWIT Industri kelapa sawit memiliki prospek yang baik karena memiliki daya saing sebagai industri minyak nabati. Sawit adalah salah

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Pemilihan lokasi secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit III. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kuantitatif, yang banyak membahas masalah biayabiaya yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit yang diterima, serta kelayakan

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kota depok yang memiliki 6 kecamatan sebagai sentra produksi Belimbing Dewa. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada 3 kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauaan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.499 pulau dan memiliki garis pantai sekitar 81.000 km. Berdasarkan kondisi geografis Indonesia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele phyton, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yang merupakan suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB VIII ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN NON SPO

BAB VIII ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN NON SPO BAB VIII ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN NON SPO Ukuran Kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah net present value (NPV) dan net benevit cost ratio (net

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada kelompok

Lebih terperinci

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL Analisis aspek finansial digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu proyek atau usaha dari segi keuangan. Analisis aspek finansial dapat memberikan perhitungan secara kuantatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN PARITTIGA DI KABUPATEN BANGKA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN PARITTIGA DI KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN PARITTIGA DI KABUPATEN BANGKA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur mempunyai peluang yang cukup besar untuk pemasaran dalam negeri dan pasar ekspor. Pemberdayaan masyarakat perkebunan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara 65 LAMPIRAN 66 Lampiran 1. Kuisioner Survei Analisis Nilai Ekonomi Tambak Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian No: Waktu: Hari/Tanggal: A. Identitas Responden / Informan 1. Nama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Januari 2013.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Januari 2013. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Januari 2013. Penelitian dilaksanakan pada lahan pertanaman ubi kayu (Manihot esculenta

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa kelayakan yang dilakukan terhadap pembangunan PPI Parepare, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari 9 (sembilan) kriteria

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang 53 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang diberikan kepada variabel sebagai petunjuk dalam memperoleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

LADA. Tanaman Lada (piper nigrum Lin) merupakan komoditi unggulan sektor. perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil lada dan mempunyai

LADA. Tanaman Lada (piper nigrum Lin) merupakan komoditi unggulan sektor. perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil lada dan mempunyai LADA Tanaman Lada (piper nigrum Lin) merupakan komoditi unggulan sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil lada dan mempunyai peranan penting dalam perdagangan lada dunia. Produksi lada Indonesia

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1 1 Abstrak ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1 Zainal Abidin 2 Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI 5.1 PENDAHULUAN Pengembangan usaha pelayanan jasa pengeringan gabah dapat digolongkan ke dalam perencanaan suatu kegiatan untuk mendatangkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian kelayakan Usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele Sangkuriang dilakukan di Perusahaan Parakbada, Katulampa, Kota Bogor, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KONDISI GEOGRAFIS Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Tempat penelitian dan pengambilan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Blanakan, Kabupaten Subang. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA GEOGRAFIS KABUPATEN BANGKA PKL Sungailiat PKW PKNp PKWp PKW PKW Struktur Perekonomian Kabupaten Bangka tanpa Timah Tahun 2009-2013 Sektor 2009 (%)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN FASILITAS PENGOLAHAN SAMPAH DI KECAMATAN KELAPA DUA KABUPATEN TANGERANG

PENGEMBANGAN FASILITAS PENGOLAHAN SAMPAH DI KECAMATAN KELAPA DUA KABUPATEN TANGERANG PRESENTASI TESIS 1 PENGEMBANGAN FASILITAS PENGOLAHAN SAMPAH DI KECAMATAN KELAPA DUA KABUPATEN TANGERANG M. AGUS RAMDHAN (3310202701) PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN TEKNIK PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis mengemukakan teori-teori terkait penelitian. Teori-teori tersebut antara lain pengertian proyek, keterkaitan proyek dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Maju Bersama, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-17 Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta Dwitanti Wahyu Utami

Lebih terperinci