LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013"

Transkripsi

1

2 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN Diterbitkan oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tim Penyusun: Penanggung Jawab Ketua Tim Pengarah Sekretaris Anggota Mitra Pendukung : Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA : Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA : Dra. Nina Sardjunani, MA : Prof. Endang L. Achadi; Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, MS; Dr. Sudarti Surbakti; Dr. Sudarno Sumarto; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; dr. Fitri Nandiaty; Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi; Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D; Dr. Ir. Subandi, MSc; dr. Sanjoyo, M.Ec; Dr. Hadiat, MA; Ir. Wahyuningsih Darajati, MSc; Dra. Tuti Riyati, MA; Riza Hamzah, SE, AK, ME; Dadang Rizki Ratman, SH, MPA; Dr. Arum Atmawikarta, MPH; Mukhlis Hanif Nurdin, SKM. : United Nations Development Programme (UNDP)

3 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013 Diterbitkan Oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

4 ii

5 iii KATA PENGANTAR Keikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan produktif dengan masyarakat madani dan sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan pencapaian MDGs. ini merupakan laporan ke delapan yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun Penerbitan laporan ini bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat bangsa-bangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan kecenderungan serta upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi tahun 2013, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat dicapai. Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggitingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan baik. Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada: Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wakil Menteri Negara PPN/Wakil Kepala Bappenas dan Dra. Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Dr. Sudarti Surbakti; Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, MS; Prof. Endang L. Achadi; Dr. Sudarno Sumarto; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi dan dr. Fitri Nandiaty yang telah menyusun laporan dari setiap goal MDGs. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat

6 iv Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan data, informasi, dan penyiapan naskah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations Development Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs ini, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

7 v DAFTAR ISI Kata Pengantar iii Daftar Isi v Daftar Gambar vi Daftar Tabel ix Daftar Kotak x Daftar Foto xi Daftar Singkatan xi Pendahuluan 1 Ringkasan Status Pencapaian MDGs di Indonesia 5 Tinjauan Status Pencapaian MDGs di Indonesia 9 TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN 15 Target 1A: Target 1B: Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA 35 Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 37 TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 65 Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam kurun waktu TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 87 Target 5A: Target 5B: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga-perempat dalam kurun waktu Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun

8 vi TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target 6A: Target 6B: Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015 Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 147 Target 7A: Target 7C: Target 7D: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak pada 2015 Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020 TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN 189 Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang Target 8F: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Nasional 17 Gambar 1.2. Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, (Juta Jiwa) 18 Gambar 1.3. Tingkat Kedalaman (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2), Gambar 1.4. Gambar 1.5. Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Menurut Provinsi tahun 1990 dan 2013 Salah Satu Tampilan Data Dalam Situs Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial Gambar 1.6. Laju Pertumbuhan PDB per Tenaga Kerja Tahun Gambar 1.7. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2012 Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Provinsi Tahun Gambar 1.9. Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga Terhadap Total Kesempatan Kerja Tahun 1998, 2009 dan 2012 Gambar 1.10 Prevalensi Kekurangan Gizi Pada Balita

9 vii Gambar Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < Kkal dan < Kkal Tahun 2013 Gambar 2.1 Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun Gambar 2.2 Perbedaan APM dan APK jenjang SD/MI/sederajat menurut provinsi, tahun ajaran 2012 Gambar 2.3 Perkembangan angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun dan tahun, Gambar 2.4. Angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 menurut provinsi, Gambar 2.5. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar tahun Gambar 2.6. Perkembangan persentase guru yang berkualifikasi akademik S1/D4 pendidikan dasar, Gambar 2.7. Perkembangan Angka Melek Huruf Penduduk Usia tahun, Gambar 2.8. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Angka Melek Huruf Penduduk Berusia Tahun Menurut Provinsi dan tipe wilayah, 2012 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender di Indonesia, Tahun Kecenderungan Rasio APM Perempuan terhadap Laki-laki menurut Jenjang Pendidikan, Tahun Kecenderungan Kontribusi Perempuan dalam Kerja Upahan di Sektor Non- Pertanian, Tahun Kecenderungan Keterwakilan Perempuan dalam DPR menurut Periode Pemilihan, Tahun Gambar 3.5. Rasio AMP menurut Jenjang Sekolah, Tipe Wilayah dan Status Ekonomi 54 Gambar 3.6. Rasio AMH Perempuan terhadap AMH Laki-laki menurut Provinsi, Gambar 3.7. Rasio AMH menurut Tipe Wilayah dan Status Ekonomi 55 Gambar 3.8. Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non-Pertanian, Tahun 2013 Gambar 3.9. Jumlah Korban TPPO yang diproses, Gambar Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di DPR, Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun Sebelum Survei, Tahun (SDKI) Tren Proporsi Kematian Neonatal terhadap Kematian Bayi dan Balita, Proporsi Kematian Bayi terhadap Kematian Balita (SDKI berbagai tahun) Angka Kematian Bayi dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap AKB di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah (SDKI 2012) Angka Kematian Balita dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap AKBa di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah (SDKI 2012) Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan Perdesaan/ Perkotaan, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Kuintil Kemiskinan (SDKI 2012) Gambar 4.6. Kematian Bayi dan Anak berdasarkan Berbagai Variabel (SDKI 2012) 73 Gambar 4.7. Penyebab Kematian Neonatal Usia 0-6 Hari dan 7-28 Hari (Riskesdas 2007) 74 Gambar 4.8. Proporsi BBLR berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2010 dan 2013) 75 Gambar 4.9. Distribusi BBLR (berat lahir kurang dari 2,5 kg) berdasarkan beberapa Variabel (SDKI 2012)

10 viii Gambar Proporsi Wanita Usia Subur (WUS) dengan Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) Tahun 2007 dan 2013 Gambar Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007) 77 Gambar Insiden Diare dan Prevalensi Penumonia per 1000 Balita berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2013) Gambar Disparitas Penyakit Diare dan ISPA berdasarkan berbagai Variabel (SDKI 2012) 78 Gambar Anak yang Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, SDKI Gambar Kematian Bayi, Kematian Balita, dan Imunisasi Campak berdasarkan Provinsi 2012 Gambar Praktek Pemberian ASI pada Bayi dan Anak Usia Dini, SDKI Gambar Indikator Pola Makan pada Bayi dan Anak Usia Dini (SDKI ) 81 Gambar Gambar Gambar Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam 6 Bulan Terakhir, berdasarkan Provinsi ( SDKI Tahun 2012) Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam 6 Bulan Terakhir, berdasarkan Beberapa Variabel Tahun 2012 (SDKI 2012) Prevalensi yang Menerima Vitamin A, Kematian Bayi, dan Kematian Balita berdasarkan Provinsi, SDKI 2012 Gambar Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun Gambar Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013 Gambar 5.1. Angka Kematian Ibu Indonesia tahun Gambar 5.2. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun Gambar 5.3. Kerangka Konsep Pelayanan Kesehatan Kebidanan Berkesinambungan 92 Gambar 5.4. Berbagai skenario miss-oportunities Penyelamatan Ibu di berbagai tingkat pelayanan kebidanan Gambar 5.5. Tindakan yang Dilakukan Saat Terjadi Komplikasi 96 Gambar 5.6. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi 98 Gambar 5.7. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel 99 Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai Karakteristik Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia berdasarkan kuintil kekayaan, Tahun (SDKI) Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia, berdasarkan Kuintil Kekayaan Tahun 2007 dan 2012 Gambar Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun (SDKI) 101 Gambar Gambar Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) di Indonesia, tahun (SDKI) Metode Kontrasepsi yang dipergunakan wanita menikah usia tahun, SDKI 2007 dan 2012 Gambar Perubahan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pelayanan KB 103 Gambar Jenis Metoda KB yang digunakan oleh Sektor Swasta 103 Gambar Angka fertilits Remaja tahun, SDKI Gambar Persen perempuan tahun yang sudah pernah melahirkan bayi hidup atau sedang hamil anak pertama saat survei

11 ix Gambar Kunjungan K1 dan K4 antara tahun (SDKI) 107 Gambar Tren Unmet need di Indonesia tahun (SDKI) 108 Gambar Total Fertility Rate (TFR) berdasarkan provinsi tahun 2012 (SDKI) 109 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Total Fertility Rate berdasarkan Lokasi tempat tinggal, Pendidikan, dan Kuintil Kekayaan, tahun 2012 (SDKI) Persen perempuan usia tahun yang menggunakan kontrasepsi modern berdasarkan provinsi (SDKI 2012) Distribusi wanita usia tahun yang menggunakan metode KB modern berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan (SDKI 2012) Metode Kontrasepsi yang digunakan wanita menikah usia tahun berdasarkan jumlah anak yang masih hidup dan variabel lainnya (SDKI 2007 dan 2012) Persen wanita usia tahun yang telah melahirkan atau sedang hamil anak pertama (childbearing) berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan, dan kuintil kekayaan di Indonesia tahun 2007 dan 2012 (SDKI) Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil berdasarkan provinsi, SDKI 2012 Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan, SDKI 2012 Gambar Unmet need metode KB berdasarkan provinsi, SDKI Gambar Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik 114 Gambar Persen wanita menikah yang tidak menginginkan anak lagi berdasarkan jumlah anak, lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan kuintil kekayaan (SDKI 2007 dan 2012) Gambar 6.1 Prevalensi HIV populasi umur tahun (Kemenkes RI, 2012) 124 Gambar 6.2 Angka kumulatif HIV tahun 2013* (Kemenkes RI, 2012) 124 Gambar 6.3 Angka kumulatif AIDS sampai dengan September 2013* (Kemenkes RI, 2013) 125 Gambar 6.4 AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan September 2013 (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.5 Penggunaan kondom pada populasi berisiko (Kemenkes RI, 2012) 126 Gambar 6.6 Persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.7 Persentase ODHA yang mendapatkan ART (Kemenkes RI, 2013) 126 Gambar 6.8 Angka Insidensi dan Angka Kematian Yang Berhubungan Dengan Malaria 130 Gambar 6.9 Annual Parasite Incidence (API) menurut provinsi pada tahun 2013 (dengan kelengkapan laporan kab/kota 90%) (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.10 Jumlah kasus positif Malaria menurut provinsi di Indonesia Tahun Gambar 6.11 Jumlah Kasus Malaria Terkonfirmasi per Provinsi Tahun 2012 (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.12 Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria ( Kemenkes RI, 2013) 132 Gambar 6.13 Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR) (Kemenkes RI, 2012) 137 Gambar 6.14 Beban TB dalam rate (per penduduk) tahun (Kemenkes RI, 2013)

12 x Gambar 6.15 Perkiraan prevalensi TB per penduduk per tahun berdasarkan modeling TB (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.16 Prevalensi stroke menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 141 Gambar 6.17 Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 142 Gambar 6.18 Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 142 Gambar 6.19 Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 143 Gambar 6.20 Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 143 Gambar 6.21 Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 144 Gambar 6.22 Prevalensi tumor/kanker menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 144 Gambar 6.23 Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 145 Gambar 7.1 Tutupan Hutan dalam Laporan Terdahulu dan Data Tahun Gambar 7.2 Disparitas Tutupan Hutan 151 Gambar 7.3 Konsumsi Energi Pada Laporan Terdahulu 153 Gambar 7.4 Produksi Perikanan Dibandingkan dengan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), Tahun Gambar 7.5 Rasio Kawasan Lahan Lindung Pada Laporan Terdahulu dan Data Tahun Gambar 7.6 Disparitas Provinsi untuk Kawasan Lahan Lindung 157 Gambar 7.7 Grafik Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan, Gambar 7.8 Gambar 7.9 Gambar 7.10 Gambar 7.11 Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung pada Laporan Terdahulu dan Data BPS Terakhir untuk Tahun 2011, 2012 dan 2013 Disparitas Provinsi untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Disparitas Perkotaan-Perdesaan untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Akses Berkelanjutan terhadap Sanitasi Dasar pada Laporan Terdahulu dan Data BPS 2013 Gambar 7.12 Disparitas Provinsi untuk Akses terhadap Sanitasi Dasar Tahun Gambar 7.13 Gambar 7.14 Proporsi Penduduk Perkotaan yang Tinggal di Daerah Kumuh Pada Laporan Terdahulu Disparitas Provinsi untuk penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh Tahun 2012 Gambar 7.15 Target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun Gambar 8.1. Perkembangan Impor, Ekspor, PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB 192 Gambar 8.2. Perkembangan Outstanding Pinjaman Luar Negeri Pemerintah DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Cakupan Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun Tabel 3.1. Rasio APM menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Wilayah, Tahun

13 xi Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Daftar Provinsi yang Mempunyai Bias Gender Terbesar Berdasarkan Rasio APM, 2012 Rasio APM Per Jenjang Pendidikan menurut Golongan Pengeluaran, Tahun 2013 Korban TPPO yang Dipulangkan dan Didampingi IOM, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ( ) Tabel 4.1. Angka kematian anak menurut provinsi 70 Tabel 5.1 Kelengkapan Peralatan dan Obat di Puskesmas Perawatan dan Puskesmas PONED Tabel 5.2. Kelengkapan Tenaga dan Kesiapan Pelayanan PONEK di RSU Pemerintah 97 Tabel 5.3. Data kualitas APN (Asuhan Persalinan Normal) 98 Tabel 7.1. Konsumsi energi, Tabel 7.2. Perkembangan Luasan Kawasan Konservasi Perairan, Tabel 7.3. Jenis Kawasan Konservasi, Jumlah Kawasan, dan Status Luasan Kawasan Konservasi Perairan, 2013 Tabel 8.1 Beberapa Indikator Terpilih Kondisi Bank Umum di Indonesia, DAFTAR KOTAK Kotak 1.1. Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial 25 Kotak 1.2. Kartu Perlindungan Sosial 26 Kotak 2.1 Perbaikan Mutu dan Distribusi Guru di Kabupaten Gorontalo 41 Kotak 3.1. Kotak 3.2. Kotak 3.3. Kotak 4.1. Kotak 5.1. Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan 30 Persen di Lembaga Legislatif pada Tahun 2013 Upaya Penyediaan Data Gender dan Anak Melalui Publikasi: Profil Perempuan Indonesia; Profil Anak Indonesia; dan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Pelaksanaan Stranas Percepatan Pug Melalui Perencanaan Pembangunan yang Responsif Gender (PPRG) Pengalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Percepatan Penurunan Kematian Neonatal Mewujudkan Angka Kematian Ibu Nol (AKINO) di Kabupaten Lombok Utara, NTB Kotak 6.1 Pengendalian HIV dan AIDS di Puskesmas Semeni Kota Surabaya, Jawa Timur 127 Kotak 6.2. Kotak 6.3. Upaya Juru Malaria Kampung di Teluk Bintuni Papua Barat, Peningkatan Pemberdayaan dan penggerakan Masyarakat dalam memerangi malaria dalam rangka percepatan pencapaian Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2030 PEJUANG TANGGUH (PETA) Suatu bentuk dukungan sebaya untuk pasien Tuberkulosis Kotak 6.4. Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Penyakit Tidak Menular (PTM) 146 Kotak 7.1. Kebijakan Umum Pemerintah dalam Pengamanan Lingkungan

14 xii Kotak 7.2. Kotak 7.3. Pelaksanaan Hibah Air Minum untuk Masyarakat Miskin Perkotaan melalui Pendekatan Bantuan Berdasar Hasil atau Kinerja (Output/Performance-based Aid/OBA), sebuah Best Practice Gerakan BASNO Sebagai Kebijakan Propinsi dalam Mendukung Percepatan Program Melalui Pendekatan STBM, sebuah Best Practice Kotak 7.4. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Air Minum dan Sanitasi, Kotak 7.5. Capaian dan Best Practice Pelaksanaan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) Tahun 2012 (di Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang) Kotak 7.6. Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh 185 Kotak 8.1. Perkembangan Kerjasama Pembangunan Internasional Tahun DAFTAR FOTO Foto 1.1. Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat Raskin 22 Foto 1.2. Kartu Perlindungan Sosial 26 Foto 7.1. Foto 7.2. Foto 7.3. Masyarakat Perdesaan menikmati layanan air minum di Desa Tammerodo Kab Majene Provinsi Sulawesi Barat melalui kegiatan Pembangunan SPAM Berbasis Masyarakt (Program PAMSIMAS) SPAM Regional Petanu sangat bermanfaat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar Masyarakat Nelayan di Pulau Mandangin mampu menikmati air minum hasil olahan Sea Water Reverse Osmosis pada Program SPAM Kawasan Khusus Foto 7.4. Kondisi Jalan Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 setelah Diperbaiki 182 Foto 7.5. Foto 7.6. Bangunan Serbaguna di Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 yang Dibangun melalui PLP2K-BK Bangunan Dermaga di di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui PLP2K-BK (kiri).bangunan Serbaguna di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui PLP2K-BK (kanan) Foto 7.7. Peningkatan Kualitas Rumah di Kelurahan 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kiri). Bangunan Tempat Bermain di Kelurahan Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kanan) Foto 7.8. Pengelolaan sempadan Boezem Morokrembangan, pengelolaan sampah 3R DAFTAR SINGKATAN ABAT AKBA APBD APBN APK Aku Bangga Aku Tahu Angka Kematian Balita Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Angka Partisipasi Kasar

15 xiii APM APS ARG ART ARV ASEAN ASFR ASI Balita Bappenas BBLR BBM BCG BKKBN BLM BOK BOS BP3AKB BPD BPO BPR BPS Perum Bulog BUMN CAR CBEIS CDR CFCD CFCs CLTS CO 2 CPE CPR CSR CTU DAD DAK Desa Pinter DO DOTS DPR DPT-HB DSR Fasyankes FWT Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi Sekolah Anggaran Responsif Gender Antiretroviral Treatment Antiretroviral Association of South-East Asia Nations Age Specific Fertility Rate Air Susu Ibu Bawah Lima Tahun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Berat Badan Lahir Rendah Bahan Bakar Minyak Bacillus Calmette Guerin Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Bantuan Langsung Masyarakat Bantuan Operasional Kesehatan Bantuan Operasional Sekolah Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Bank Pembangunan Daerah Bahan Perusak Ozon Bank Perkreditan Rakyat Badan Pusat Statistik Perusahaan Umum Bulog (Badan Urusan Logistik) Badan Usaha Milik Negara Capital Adequacy Ratio Community-Based Education Information System Case Detection Rate Corporate Forum for Community Development Clorofluorocarbons Comunity Led Total Sanitation Carbon dioxide Customer Premises Equipment Contraceptive Prevalence Rate Corporate Social Responsibility Contraceptive Technology Update Dana Alokasi Desa Dana Alokasi Khusus Desa Punya Internet Definisi Operasional Directly Observed Treatment Shortcourse Dewan Perwakilan Rakyat Diphteria-Pertusis-Tetanus Hepatitis B Debt Service Ratio Fasilitas pelayanan kesehatan Fixed Wireless Telephone

16 xiv GBS GPI GRK GWM LDR HCFCs HIV dan AIDs HPB HPMP IIX IPG Jamkesda Jamkesmas Jampersal JPS K1 K4 KB Kemendagri Kemdikbud Kemenhut Kemenkes Kemenkeu Kemenkokesra Kemen PPN Kemen PU Kementan Kominfo KH KIA KIE KKP KLB KLH KPP&PA KPU KRR KS-1 KUR LDR LPA LSM LULUCF MDGs MDR-TB MI Gender Budget Statement Gender Parity Index Gas Rumah Kaca Giro Wajib Minimum Loan to Deposit ratio Hydrochlorofluorocarbons Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Harga pembelian beras HCFC Phase-Out Management Plan Indonesia Internet Exchange Indeks Paritas Gender Jaminan kesehatan daerah Jaminan kesehatan masyarakat Jaminan Persalinan Jaring Pengaman Sosial Kunjungan Kehamilan ke-1 Kunjungan Kehamilan ke-4 Keluarga Berencana Kementerian Dalam Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Kehutanan Kementerian Kesehatan Kementerian Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Pertanian Kementerian Komunikasi dan Informasi Kelahiran Hidup Kesehatan Ibu dan Anak Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Kejadian Luar Biasa Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Komisi Pemilihan Umum Kesehatan Reproduksi Remaja Keluarga Sejahtera I Kredit Usaha Rakyat Loan to Deposit Ratio Line Probe Assay Lembaga Swadaya Masyarakat Land Use, Land Use Change and Forestry Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium) Multi-Drug Resistant Tuberculosis Madrasah Ibtidaiyah

17 xv MKJP MOP MOW MP3EI MRV MTBS MTs NPL NTRL NUSSP OJK Opsus P2DTK PAMSIMAS PAUD PBB PDB Perda PISEW PKBR PKH PKK PLIK PLP2K-BK PMK PMT PMT-AS PNPM PNPM-KP PONED PONEK Poskesdes Posyandu PPIP PPN PPP PPP PPRG Pra-KS PSK PT PUAP PUG PUGAR Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Medis Operasi Pria Medis Operasi Wanita Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Measurable, Reportable dan Verifiable Manajemen Terpadu Balita Sakit Madrasah Tsanawiyah Non-Performing Loans National Tuberculosis Referral Laboratory Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project Otoritas Jasa Keuangan Operasi Pasar Khusus PNPM Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat Pendidikan Anak Usia Dini Perserikatan Bangsa-Bangsa Produk Domestik Bruto Peraturan Daerah PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja Program Keluarga Harapan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Pusat Layanan Internet Kecamatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan Peraturan Menteri Keuangan Pemberian Makanan Tambahan Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Kelautan dan Perikanan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif Pos Kesehatan Desa Pos Pelayanan Terpadu PNPM Infrastruktur Perdesaan Perencanaan Pembangunan Nasional Public-Private Partnership Purchasing Power Parity Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Pra-Keluarga Sejahtera Pekerja Seks Komersial Perguruan TInggi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Pengarus-utamaan Gender Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat

18 xvi Puskesmas PUS PUMP Pustu RA RAD Raskinda Raskindes RDT Renstra Riskesdas Risti RK RKB ROA RPJMN RPJPN RPJMD RS RTS RTSM Sakernas SBI SBN SD SDKI SDLB SDM SIP SIPBM SKRRI SMA SMP SMPLB SPAM SR SSL STBM STBP Susenas TB TPA TOMA TOGA Pusat Kesehatan Masyarakat Pasangan Usia Subur Pengembangan Usaha Mina Perdesaan Puskesmas Pembantu Raudlatul Afthal Rencana Aksi Daerah Beras Miskin Daerah Program Beras Miskin Desa Rapid Diagnostic Test Rencana Strategis Riset Kesehatan Dasar Resiko Tinggi Ruang Kelas Ruang Kelas Baru Return on Assets Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rumah Sakit Rumah Tangga Sasaran Rumah Tangga Sangat Miskin Survei Angkatan Kerja Nasional Sertifikat Bank Indonesia Surat Berharga Negara Sekolah Dasar Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Sekolah Dasar Luar Biasa Sumber Daya Manusia Surat Ijin Praktek Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Sistem Penyediaan Air Minum Succes Rate Satuan Sambungan Layanan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Survei Sosial Ekonomi Nasional Tuberkulosis Tempat Pembuangan Akhir Tokoh Masyarakat Tokoh Agama

19 xvii UKBM ULN UMKM UNDP UNESCO UNFCCC UNICEF USO Valas VCT WHO Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat Utang Luar Negeri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah United Nations Development Programme United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization United Nations Framework Convention on Climate Change United Nations Children s Fund Universal Service Obligation Valuta Asing Voluntary Counseling and Testing World Health Organization

20 xviii

21 1 Pendahuluan PENDAHULUAN Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan , Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang semakin membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan yang semakin mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional. Capaian Tujuan MDGs 2013 Capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai. Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun Ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: MDG 1, proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari. MDG 3, rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi; dan rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki umur tahun. MDG 6, angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian, serta proporsi jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). MDG 8, proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler. Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah: MDG 1, indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi balita dengan berat badan rendah/ kekurangan gizi. MDG 2, APM SD, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek huruf penduduk usia tahun (perempuan dan laki-laki). MDG 3, rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B, dan pendidikan tinggi serta kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR. MDG 5, proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih, Angka pemakaian kontrasepsi / CPR bagi perempuan menikah usia semua cara, cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan unmet need. MDG 6, angka kejadian Malaria (per 1,000 penduduk), proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV)

22 2 MDG 7, konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang tidak melebihi batas biologis yang aman, serta rasio luas kawasan lindung terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar layak di perkotaan. MDG 8, rasio ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR, rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR), proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap. Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya adalah: MDG 1, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional; Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum MDG 4, angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup. MDG 5, angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup MDG 6, proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS; Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir; Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi MDG 7, jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ); Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan; Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di perdesaan; Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di perdesaan; Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan MDG 8, proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi; dan Proporsi rumah tangga dengan akses internet Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh berbagai penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok negara-negara yang makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju, Indonesia telah masuk pada forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global menjadi sangat penting.

23 3 Upaya-Upaya Penting dalam Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia Untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs, Presiden telah menetapkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Salah satu amanat yang tercantum dalam Inpres tersebut adalah agar setiap kementerian/lembaga, gubernur, dan para bupati/walikota mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, antara lain meliputi program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Pengintegrasian tujuan, target, dan indikator MDGs ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota baik jangka menengah (5 tahunan) maupun jangka pendek (tahunan); 2. Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi berbagai program dan kegiatan dalam rangka percepatan pencapaian MDGs; 3. Pembentukan Tim Koordinasi MDGs Nasional di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan beranggotakan seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. Tugas pokok dari tim tersebut adalah bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi pencapaian sasaran MDGs; 4. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) percepatan pencapaian MDGs di 33 Provinsi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan pedoman teknis Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi tentang percepatan pencapaian tujuan MDGs untuk memberikan panduan bagi daerah, khususnya provinsi dalam menyusun dokumen rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional; b. Pelaksanaan fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi oleh Tim Koordinasi MDGs Nasional kepada Tim Koordinasi MDGs Provinsi untuk menyamakan persepsi dalam penyusunan target dan indikator MDGs di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, menyusun langkah-langkah penyusunan RAD MDGs Provinsi, dan melakukan exercise penyusunan draft RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs di Provinsi termasuk penyusunan target, sasaran dan indikator; c. Penyusunan pedoman teknis Definisi Operasional Indikator MDGs yang berisikan tentang daftar tujuan, target, dan indikator MDGs, konsep definisi, manfaat, metode perhitungan, dan sumber data yang digunakan untuk menyamakan persepsi sehingga data dan informasi MDGs dapat dibandingkan antarprovinsi; d. Penyusunan pedoman teknis Review RAD MDGs Provinsi sebagai acuan dalam mereview RAD MDGs Provinsi yang sejalan dengan kebijakan program, dan sasaran MDGs Nasional; e. Penyusunan pedoman laporan pencapaian MDGs provinsi untuk memberikan panduan bagi provinsi untuk dapat melaporkan berbagai keberhasilan yang telah dicapai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah Daerah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk

24 4 memperkuat ketersediaan data dan informasi mengenai data capaian target MDGs di setiap provinsi sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan/program/kegiatan untuk mempercepat pencapaian MDGs di daerahnya masing-masing. f. Penyusunan pedoman penyusunan matrik RAD MDGs kabupaten dan kota sebagai panduan bagi kabupaten dan kota untuk menyusun rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan suatu produk dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional. g. Penyusunan pedoman teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan RAD MDGs Provinsi untuk memastikan pelaksanaan program dan kegiatan MDGs yang tertuang didalam RAD MDGs Provinsi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program percepatan pencapaian MDGs sehingga dapat diatasi, dan merumuskan langkah tindak lanjut percepatan pencapaian target MDGs; 5. Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) Tahun antara lain untuk mendorong agar daerah menyusun program dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di masing-masing provinsi untuk percepatan pencapaian tujuan target dan indikator MDGs. 6. Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu : a. Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public Private Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah dalam upaya percepatan pencapaian MDGs; b. Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR) untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan pelaksanaan CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok masyarakat, (iii) keselarasan lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian MDG; dan, (iv) keselarasan indikator kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan kegiatan CSR; 7. Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan pemberian insentif daerah yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs. 8. Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh stakeholders meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya masyarakat, Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD; 9. Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya mendorong percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan disinsentif berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian MDGs di Indonesia. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI untuk Millennium Development Goals;

25 5 10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk memperkuat sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs. Kegiatannya merupakan kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kemen PPN/Bappenas. 11. Dalam lingkup regional, khususnya ASEAN, Indonesia juga berperan aktif dalam mendukung upaya peningkatan kerjasama MDGs dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan di kawasan. Diadopsinya ASEAN Roadmap for the Attainment of the Millennium Development Goals selama Keketuaan Indonesia untuk untuk ASEAN pada tahun 2011 mencerminkan komitmen dan kontribusi signifikan Indonesia untuk turut mendukung penetapan kebijakan regional terkait dengan upaya percepatan pencapaian MDGs. 12. Pelaksanaan MDGs Acceleration Framework (MAF) dalam upaya peningkatan kesehatan ibu di Provinsi Jawa Tengah dan replikasinya di provinsi fokus 13. Penyusunan dokumen High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) yang merupakan gagasan agenda post MDGs 2015 dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu co chair bersama Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia. ingkasan Pencapaian Status MDGs di Indonesia

26 6 RINGKASAN PENCAPAIAN STATUS MDGs DI INDONESIA TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia menunjukkan kemajuan yang berarti dan ini sudah sesuai dengan target MDGs yang ditunjukkan dengan menurunnya proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dari 15,10 persen (tahun 1990) menjadi 11,47 persen (2013) dan Indeks Kedalaman Kemiskinan dari 2,70 menjadi 1,75 pada periode yang sama. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 persen (tahun 1990) menjadi 5,24 persen (tahun 2012). Di samping itu, terjadi penurunan proporsi penduduk yang menderita kelaparan dari tahun 1989 ke tahun 2013 yang ditunjukkan dengan prevalensi balita dengan berat badan rendah dari 31,00 persen menjadi 19,60 persen, serta proporsi penduduk dengan asupan kalori kurang dari 1400 Kkal/kapita/hari dari 17,00 persen (tahun 1990) menjadi 19,04 persen (tahun 2013). TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Upaya pencapaian pendidikan dasar untuk semua telah sejalan dengan sasaran MDGs, hal ini ditunjukkan dengan sudah diterapkannya pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia. Pada tahun 2012, angka partisipasi murni SD telah mencapai 95,71 persen; proporsi murid kelas I yang berhasil mencapai kelas VI adalah 96,43 persen pada tahun 2012; dan angka melek huruf penduduk usia tahun perempuan dan laki-laki sudah mencapai 99,08 persen pada tahun TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Upaya untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagian besar telah mencapai sasaran MDGs tahun Pada tahun 2013, Rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD adalah 99,81 persen; di tingkat SMP adalah

27 7 105,69 persen; di tingkat SMA adalah 100,66 persen; dan di tingkat pendidikan tinggi adalah 109,73 persen. Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, yaitu 35,10 persen pada tahun Di samping itu, proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR juga mengalami peningkatan, menjadi 16,79 persen (2013). TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 40 per seribu kelahiran hidup (tahun 2012); penurunan angka kematian bayi dari 68 menjadi 32 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 74,20 persen (tahun 2013). TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih telah berhasil ditingkatkan dari 40,70 persen (tahun 1992) menjadi 83,10 persen (tahun 2012), namun di sisi lain angka kematian ibu baru dapat ditekan dari 390 (tahun 1991) menjadi 359 per kelahiran hidup (tahun 2012). Sementara itu angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia tahun dengan cara modern meningkat dari 47,10 persen (tahun 1991) menjadi 57,90 persen (tahun 2012). TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Upaya mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus baru dan mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS masih memerlukan upaya keras, inovatif, dan kreatif untuk mencapainya. Prevalensi HIV dan AIDS masih cukup tinggi yaitu 0,43 persen pada tahun Selain itu, akses terhadap ARV sudah mencapai 84,67 persen (tahun 2013) dari penduduk terinfeksi HIV dan AIDs lanjut. Angka kejadian malaria menurun pesat dari 4,68 (tahun 1990) menjadi 1,69 per penduduk pada tahun

28 Sementara itu, angka kejadian Tuberkulosis sudah berhasil mencapai target MDGs 2015 pada tahun 2012 yaitu dari 343 (1990) menjadi 187 kasus per penduduk/tahun. TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sebagian besar sasaran untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan menurun dari 59,97 persen pada tahun 1990 menjadi 52,54 persen pada 2012, sedangkan jumlah emisi CO 2 meningkat dari Gg CO 2 e (2000) menjadi GgCO 2 e (2008). Lebih lanjut, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen (1993) menjadi 67,73 persen (2013), sedangkan untuk fasilitasi sanitasi dasar layak dari 24,81 persen (1993) menjadi 59,71persen (2013). TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sistem keuangan dan perdagangan Indonesia kini semakin terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif. Hal ini diukur dari indikator keterbukaan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio ekspor dan impor terhadap PDB dari 41,60 persen tahun 1990 menjadi 43,62 persen tahun Sedangkan rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB menurun dari 24,59 persen pada tahun 1996 menjadi 7,40 persen pada tahun Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler meningkat dari 14,79 persen pada tahun 2004 menjadi 131,41 persen pada tahun Namun pada tahun 2012 proporsi rumah tangga dengan akses internet baru mencapai 30,66 persen dan proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi baru mencapai 14,86 persen pada tahun 2012.

29 9 TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Indikator Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber TUJUAN 1. MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1 (PPP) per hari dalam kurun waktu Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari 20,60% (1990) 5,90% (2008) 10,30% Bank Dunia dan BPS 1.1a Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 15,10% (1990) 11,47% (2013) 7,55% BPS, Susenas 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan 2,70% (1990) 1,75% (2013) Berkurang BPS, Susenas Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja 3,52% (1990) 5,24% (2012) - BPS,PDB Nasional dan Sakernas Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 65% (1990) 71% (1990) 63,71% (2012) 55,32% (2012) - Menurun BPS, Sakernas Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi 1.8a Prevalensi balita gizi buruk 1.8b Prevalensi balita gizi kurang 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* 23,80% (1989)* 19,60% (2013) ** 15,50% 5,70% (2013) ** 3,60% 13,90% (2013) ** 11,90% *BPS, Susenas **Kemenkes Riskesdas 1.9 Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum: Kkal/kapita/hari 17,00% (1990) 19,04% (2013) 8,50% BPS, Susenas Kkal/kapita/hari 64,21% (1990) 68,25% (2013) 35,32% TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar 88,70% (1992)* 95.71% (2012)** 100,00% *BPS, Susenas **Kemdikbud

30 10 Indikator Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber 2.2. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar 62,00% (1990) 96.43% (2012) 100,00% Kemdikbud 2.3 Angka melek huruf penduduk usia tahun, perempuan dan laki-laki 96,60% (1990) 99.08% (2012) 100,00% BPS, Susenas TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun a Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia tahun Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 100,27% (1993) 99,86% (1993) 93,67% (1993) 74,06% (1993) 98,44% (1993) 29,24% (1990) 12,50% (1990) 99.81% (2013) % (2013) % (2013) % (2013) % (2013) 35.10% (2013) 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 BPS, Susenas Meningkat BPS, Sakernas 16.79% (2013) Meningkat KPU Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu a Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 97 (1991) 40 (2012) (1991) 32 (2012) (1991) 19 (2012) Menurun 44,50% (1991) 74,20 % (2013)* Meningkat Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih BPS, SDKI *BPS, Susenas 390 (1991) 359 (2012) 102 BPS, SDKI 40,70% (1992) 83,10 % (2012) Meningkat BPS, Susenas

31 11 Indikator Acuan Dasar Saat Ini Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun a Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia tahun, cara modern Angka kelahiran remaja (perempuan usia tahun) per 1000 perempuan usia tahun Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya satu kali kunjungan dan empat kali kunjungan) 49,70% (1991) 47,10% (1991) Target MDGs 2015 Status 61,90 (2012) Meningkat 57,90 (2012) Meningkat 67 (1991) 48 (2012) Menurun - 1 kunjungan: 75,00% 96,90 % (2012) - 4 kunjungan: 5.6 Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 56,00% (1991) 12,70% (1991) Me-ningkat 73,50 % (2012) 11,40 % (2012) Menurun TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Sumber BPS, SDKI 1991, 2012 Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir Proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS - 0,43% (2012)* Menurun 12,80% (2002/03)* 37,6% (2011)** Meningkat Kemenkes 2011 *BPS, SKRRI 2002/2003 **STBP, Kemenkes ,25% (2012)* Meningkat Kemenkes, Riskesdas 2010 Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral - 84,67% (2013) Meningkat Kemenkes Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun a Angka kejadian dan tingkat kematian akibat Malaria Angka kejadian Malaria (per 1,000 penduduk): Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Proporsi anak balita dengan demam yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat 4,68% (1990) 1,38% (2013) Menurun Kemenkes - 16,50% (2010) - 34,70% (2010) Meningkat Kemenkes, Riskesdas Kemenkes, Riskesdas Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis

32 12 6.9a 6.9b c 6.10a 6.10b Indikator Angka kejadian Tuberkulosis (semua kasus/100,000 penduduk/tahun) Tingkat prevalensi Tuberkulosis (per 100,000 penduduk) Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per 100,000 penduduk) Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Status 343 (1990) 187 (2013) Dihentikan, mulai 443 (1990) 213 (2013) berkurang 92 (1990) 27 (2012) 20,00% (2000)* 87,00% (2000)* TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 84,41 % (2012)** 70,00% 90,2 % (2012)** 85,00% Sumber Laporan TB Global WHO *Laporan TB Global WHO **Laporan Kemenkes Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang 7.1 Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) 7.2a. 7.2b. Jumlah konsumsi energi primer (per kapita) Intensitas Energi 59,97% (1990) Gg CO2e (2000) 2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/ USD 1,000 (1990) 52,54% (2012) Gg CO e 2 (2008) 3,46 (2012) 1,00 SBM/USD (2012) Meningkat Kementerian Kehutanan Berkurang 26% pada 2020 Menurun dari kondisi BAU 6,99 Menurun 7.2c. Elastisitas Energi 0,98 (1991) 1,6 (2010) Menurun 7.2d. Bauran energi untuk energi terbarukan 3,50% (2000) 6,00 % (2011) - Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 7.3 Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton 8.332,7 metric tons (1992) 202 metric tons methyl bromide, 5, metric tons (2012) 0 CFCs dengan mengurangi HCFCs Kementerian Lingkungan Hidup 7.4 Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman 66,08% (1998) 93,25% (2012) tidak melebihi batas Kementerian Kelautan & Perikanan 7.5 Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan 26,40% (1990) 28,45% (2012) Meningkat Kementerian Kehutanan 7.6 Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 0,14% (1990)* 5,1% (2012)** Meningkat *Kementerian Kehutanan ** Kementerian Kelautan & Perikanan

33 13 Indikator Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak hingga tahun Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan 7.8a Perkotaan 7.8b Perdesaan Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan perdesaan 7.9a Perkotaan 7.9b Perdesaan 37,73% (1993) 50,58% (1993) 31,61% (1993) 24,81% (1993) 53,64% (1993) 11,10% (1993) 67.73% (2013) 68,87% 79,34% (2013) 75,29% 56,17% (2013) 65,81% 59.71% (2013) 62,41% 75.63% (2013) 76,82% 44.09% ( ,55% BPS, Susenas Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) TUJUAN 8: MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN 13,39% (2013) 6% (2020) BPS, Susenas Target 8A: Mengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a 8.6b Rasio Ekspor + Impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum 8.6c Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 41,60% (1990)* 45,80% (2000)* 101,30% (2003)* 43,62% (2012)** Meningkat 83,58% (2012) 111,03% (2012) Meningkat Meningkat *BPS dan Bank Dunia **BPS dan Kemendag Bank Indonesia Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12 Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB 8.12a Rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR) 24,59% (1996) 51,00% (1996)* 28,7% (2012) Berkurang Kementerian Keuangan 34,9% (2012) Berkurang Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi a Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk) Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler Proporsi rumah tangga dengan akses internet Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi 4,02% (2004) 14,79% (2004) 3,23% (2012) Meningkat Kementerian Komunikasi dan Informatika 131,41% (2012) 100,00% ,66% (2012) 50,00% BPS, Susenas ,86% (2012) Meningkat

34 14

35 TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Sumber foto : World Bank

36

37 17 TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN TARGET 1A MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK DENGAN TINGKAT PENDAPATAN KURANG DARI USD 1,00 (PPP) PER HARI DALAM KURUN WAKTU Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 1.1 Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari 20,60% (1990) 5,90% (2008) 10,30% Bank Dunia dan BPS 1.1a Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 15,10% (1990) 11,47% (2013) 7,55% BPS, Susenas 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan 2,70% (1990) 1,75% (2013) Berkurang BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Gambar 1.1 Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Nasional Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan Persentase penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional terus menurun. Data pada Maret 2013 menunjukkan proporsi penduduk miskin sebesar 11,47 persen, (Gambar 1.1). Namun

38 18 terdapat hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu adanya kecenderungan perlambatan laju penurunan tingkat kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir ( Gambar 1.2). Salah satu faktor penyebabnya adalah terjadinya perubahan kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan, seperti tingginya laju inflasi terutama harga komoditi kebutuhan pokok yang dikonsumsi penduduk miskin. Disamping stabilitas harga barang kebutuhan pokok perlu dijaga agar daya beli penduduk miskin dan rentan tidak tergerus oleh inflasi, juga diperlukan strategi khusus untuk mempertahankan prestasi yang telah diraih selama ini. Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan. Gambar 1.2 Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, (Juta Jiwa) Tingkat kesejahteraan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan juga terus mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan oleh menurunnya Indeks Kedalaman Kemiskinan dari 2,08 pada tahun 2011 menjadi 1,75 pada tahun 2013 (gambar 1.3). Kondisi ini, bersama dengan menurunnya persentase penduduk miskin, menegaskan upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini telah berada di jalur yang tepat. Gambar 1.3. Tingkat Kedalaman (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2),

39 19 Peraturan Presiden No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan mengamanatkan empat klaster program penanggulangan kemiskinan sebagai instrumen penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Empat klaster tersebut adalah: 1. Klaster 1, kegiatan yang bersifat bantuan dan perlindungan sosial berbasis rumah tangga/ keluarga/individu (Jamkesmas, Bantuan Siswa Miskin, Program Keluarga Harapan dan Raskin); 2. Klaster 2, pemberdayaan masyarakat miskin (PNPM Mandiri); 3. Klaster 3, pemberdayaan usaha kecil dan menengah (KUR dan program UKM lainnya); serta 4. Klaster 4, program-program pro-rakyat yang diarahkan untuk memberikan subsidi dalam pemenuhan fasilitas dasar pada wilayah-wilayah khusus (masyarakat nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan/PPI, masyarakat miskin perkotaan dan masyarakat daerah tertinggal). Penguatan lebih lanjut terhadap 4 klaster tersebut diperlukan untuk memastikan ketepatan sasaran dan komplementaritas antarprogram penanggulangan kemiskinan. Tujuan utamanya adalah memberikan daya ungkit yang lebih besar bagi penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan agar keluar dari kemiskinan. Di tingkat provinsi, terdapat beberapa provinsi yang telah mencapai penurunan proporsi penduduk miskin hingga setengahnya, yaitu provinsi DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Gambar 1.3). Beberapa provinsi lainnya yang hampir dapat mencapai target yaitu Sumatera Barat, Riau dan Sulawesi Utara. Perhatian khusus perlu diberikan kepada provinsi NAD yang tingkat kemiskinannya pada 2013 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun Selain itu, disparitas kemiskinan antar wilayah cukup tinggi, yaitu dari 3,55 persen sampai 31,13 persen. Lima provinsi dengan proporsi penduduk miskin tertinggi adalah Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Bengkulu. Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan. Keterangan: Beberapa provinsi tidak tersedia data tahun 1990, salah satunya karena provinsi pemekaran Gambar 1.4. Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Menurut Provinsi tahun 1990 dan 2013 TANTANGAN Tantangan Umum: 1. Kecenderungan perlambatan laju penurunan tingkat kemiskinan sebagai akibat dari perubahan kondisi perekonomian, seperti tingginya laju inflasi terutama komoditi kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi penduduk miskin dan rentan. 2. Pendataan target sasaran yang berkelanjutan, terutama untuk program-program bantuan sosial berbasis rumah tangga/keluarga/individu (klaster 1) seperti program Raskin, Jamkesmas, BSM, BLSM dan PKH.

40 20 3. Sinergitas antar program penanggulangan kemiskinan masih perlu ditingkatkan terutama untuk pelaksanaan program klaster Pendampingan pelaksanaan program belum memadai, baik dari sisi kualitas sumber daya manusia maupun dari sisi dukungan pemerintah daerah. Tantangan Khusus: 1. Terkait PKH; a. Fungsi pendampingan masih terkendala oleh rendahnya rasio jumlah personil organik dengan jumlah peserta program serta terbatasnya kapasitas personil. Efektivitas kinerja pendamping sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan mekanisme pengembangan kapasitas. b. Keterkaitannya dengan program penanggulangan kemiskinan dan inisiatif program daerah lainnya masih lemah. Komplementaritas ini belum terintegrasi dengan baik padahal peningkatan sumber daya tidak hanya diperlukan pada anak peserta PKH saja namun juga pada sumberdaya rumah tangga atau keluarga secara keseluruhan. c. Sistem Informasi Manajemen PKH (SIM-PKH) merupakan tulang punggung program yang berkaitan dengan kondisi peserta. Terkait dengan perluasan cakupan, maka peningkatan jumlah RTSM akan berdampak pada SIM secara keseluruhan. Selain itu perlu disiapkan mekanisme yang dapat mengakomodasi pergeseran fungsi MIS dari pusat ke daerah untuk meningkatkan efektivitas fungsi monitoring dan evaluasi program. 2. Jangkauan pelayanan program KB dan pelaksanaan advokasi-kie program KB belum optimal dan belum merata, terutama pada sasaran khusus atau sulit seperti masyarakat miskin dan wilayah kumuh, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, serta wilayah kepulauan dan sungai. Kecenderungan rumah tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dibanding rumah tangga non-miskin akan menciptakan inter-generational poverty trap dalam jangka panjang. Kemampuan investasi rumah tangga miskin yang memiliki anak lebih 2 akan semakin berat. Oleh karenanya Program KB bagi rumah tangga miskin mutlak dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dalam jangka panjang.disamping itu, sasaran belum ditujukan/difokuskan kepada pasangan muda dan pasangan yang memiliki dua anak. Hal ini mengakibatkan masih tingginya tingkat ketidakberlanjutan (DO) kepesertaan ber-kb yang mencapai sekitar 20 persen. 3. Dalam pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah, kendala yang dihadapi adalah semakin berkurangnya jumlah sumber tanah obyek reforma agraria (TORA). Hal ini dikarenakan faktor kelangkaan tanah TORA yang telah didistribusikan sejak Dari berbagai jenis sumber TORA tersebut, hanya tanah terlantar dan kawasan hutan yang telah dilepaskan masih cukup tersedia. 4. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program klaster 2 adalah (i) minimnya dukungan regulasi bagi pengembangan desa dan perdesaan dan (ii) belum memadainya kapasitas SDM, baik pemerintah desa, lembaga desa dan lembaga kemasyarakatan. Terkait dengan hal ini, permasalahan dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan desa melalui PNPM- MP adalah (i) masih rendahnya komitmen daerah dalam pengalokasian Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) untuk mendukung Program PNPM-MP dan (ii) kooodinasi lintas SKPD yang masih lemah. Perkiraan permasalahan tersebut teridentifikasi dari beberapa kasus yang sering muncul dari tahun ke tahun dan diperkirakan akan menjadi permasalahan pada tahun berikutnya. Dalam pelaksanaan kegiatan PUAP masih ditemui kendala dalam bentuk (i) keterlambatan penyampaian bantuan

41 21 PUAP kepada penerima manfaat karena lokasi penerima yang jauh (terpencil) dan (ii) ketidaksiapan penerima manfaat memenuhi persyaratan, antara lain penyediaan rekening bank sebagai media penyaluran bantuan. 5. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program di Klaster 3 yaitu belum optimalnya upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha mikro dan kecil. Usaha mikro dan kecil juga belum banyak yang terhubung dengan layanan pendampingan usaha, kerja sama usaha yang berbasis nilai tambah, dan pasar yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan usahanya serta meningkatkan pendapatannya secara berkelanjutan. 6. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program di Klaster 4 antara lain: (i) Koordinasi lintas sektor antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan program masih lemah, (ii) Status lahan dalam rangka sertifikasi tanah dan pembangunan rumah untuk nelayan masih bermasalah, (iii) Belum memadainya kesiapan kelompok penerima; (iv) Belum maksimalnya sistem pelayanan di tingkat penyedia layanan, terutama dari segi kualitas dan kemampuan layanan untuk menjangkau kelompok miskin yang sulit terjangkau; (v) Masih adanya ketimpangan antar daerah dan antar kelompok masyarakat (miskin dan nonmiskin) untuk mengakses pelayananan dasar; (vi) Belum tersedianya sistem pelayanan terpadu yang menyediakan informasi dan pendampingan bagi kelompok penerima potensial untuk mengakses program-program yang ada, terutama di tingkat komunitas. KEBIJAKAN Dalam rangka mendukung pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, program-program penanggulangan kemiskinan perlu dipertajam dan diperluas. Untuk itu, arah kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: 1. Menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok agar daya beli masyarakat miskin dan rentan tidak tergerus oleh inflasi 2. Mempercepat sasaran pengurangan kemiskinan melalui: (i) Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memperkuat pembangunan yang inklusif dan berkeadilan; (ii) Penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pemberian akses modal yang mendukung peningkatan produktivitas usaha dan pendapatan. (iii) Perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan melalui sinergisitas pelaksanaan berbagai program terutama di kantong-kantong kemiskinan yang telah ditentukan sebagai daerah Quick Wins MP3KI pada Memperluas dan menyempurnakan pelaksanaan sistem jaminan sosial sehingga semua penduduk miskin dan rentan dapat berpartisipasi penuh dan menerima manfaatnya; 4. Mengoptimalkan sistem pembangunan partisipatif yang dirancang untuk menjamin partisipasi aktif penduduk miskin dan rentan dalam pengambilan keputusan di berbagai tahapan proses pembangunan. 5. Memperkuat kegiatan usaha masyarakat miskin, termasuk membangun keterkaitan dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

42 22 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah sebagai bagian dari upaya mencapai target angka kemiskinan 2014 sebesar 8%-10%. Tabel 1.1 menunjukkan capaian dan cakupan beberapa program penanggulangan kemiskinan utama di Indonesia. TABEL 1.1 Klaster I Kegiatan/ Indikator Cakupan Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun Satuan Tahun PKH RTS Raskin RTS Jamkesmas Juta Jiwa 76,4 76,4 76,4 76,4 4 Bantuan Siswa Miskin Juta Siswa 5,5 4,6 6,8 7,7 Klaster II 1 PNPM Perdesaan Kecamatan PNPM Perkotaan Kecamatan PPIP/RIS Kecamatan PISEW Kecamatan Klaster III 1 Dukungan penjaminan KUR Persen Peningkatan dan perluasan akses permodalan bagi koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah Usaha Mikro/ Koperasi usaha mikro Koperasi Koperasi Koperasi 3 Perluasan KUR Provinsi Klaster 1 mencakup Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin, Jamkesmas, dan lainnya. Cakupan peserta PKH mengalami peningkatan signifikan pada 2013 menjadi 2,4 juta RTSM. Pada pembayaran tahap I di bulan Mei 2013, RTSM telah menerima bantuan tunai PKH, sebesar rata-rata Rp ,00 per RTSM. Dengan penambahan RTSM baru ini, wilayah program PKH pada 2013 telah mencakup kecamatan di 336 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi. Sejaan dengan perluasan cakupan PKH, proses verifikasi komitmen peserta PKH dalam mengakses layanan pendidikan dan kesehatan terus ditingkatkan. Hingga akhir 2012, 90,6 persen peserta PKH telah melalui proses verifikasi komitmen. Terkait dengan perkembangan inflasi, mulai 2013 dilaksanakan penyesuaian jumlah manfaat bantuan tunai PKH untuk RTSM. Ratarata bantuan tunai PKH yang diterima oleh RTSM bertambah dari Rp ,00 menjadi Rp ,00 per tahun. Foto 1.1 Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat Raskin Kerjasama antarkementerian juga dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan PKH, diantaranya melalui Program Penarikan Pekerja Anak PKH (PPA PKH) yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. PPA PKH pada pertengahan 2013 telah

43 23 melaksanakan penarikan pekerja anak yang merupakan peserta PKH dari bentuk pekerjaan terburuk anak (BPTA). Berkaitan dengan pembangunan kependudukan dan KB, hingga Mei 2013 capaiannya antara lain adalah: (i) meningkatnya jumlah peserta KB baru (PB) sebanyak 4,2 juta peserta dari target 7,5 juta peserta, termasuk di dalamnya PB dari keluarga pra-sejahtera/kps dan keluarga sejahtera-1/ks-1) dan rentan lainnya; (ii) PB pria sebanyak peserta dari target peserta; (iii) PB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) sebanyak peserta dari target 1,2 juta peserta; (iv) meningkatnya pembinaan peserta KB aktif (PA) sebanyak 35,2 juta peserta, termasuk di dalamnya PA dari KPS dan KS-1 sebanyak 14,2 juta peserta, PA pria sebanyak 1,3 juta peserta, dan PA MKJP sebesar 8,8 juta peserta. Pada 2013, peserta cakupan program Jamkesmas ditingkatkan sebesar 10 juta jiwa sehingga saat ini terdapat 86,4 juta jiwa yang memiliki kartu peserta Jamkesmas. Selain itu, pada 2011 cakupan program persalinan (Jampersal) telah mencapai persalinan yang terdiri dari persalinan di pelayanan kesehatan dasar dan persalinan di pelayanan kesehatan rujukan. Pada 2013, cakupan siswa penerima BSM ditingkatkan menjadi 16,6 juta siswa SD/MI sampai dengan SMA/SMK/MA. Cakupan Beasiswa Bidik Misi ditingkatkan menjadi mahasiswa PT/PTA. Selain itu, besaran beasiswa bertambah menjadi Rp.450 ribu/siswa untuk siswa SD/MI, Rp.750 ribu/siswa untuk siswa SMP/MTs, dan Rp.1 juta/siswa untuk siswa SMA/SMK/MA per tahun. Klaster 2 mencakup PNPM Mandiri yang telah berjalan selama 6 tahun sejak Selama , alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) mencapai Rp.33,7 triliun untuk menstimulasi berbagai kegiatan pembangunan perdesaan. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan pada 2013 dilaksanakan di kecamatan, 392 kabupaten dan 32 provinsi. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Perbatasan berada di 80 kecamatan, 15 kabupaten pada 4 provinsi, dan PNPM Mandiri Perdesaan Integrasi SP-SPPN di 85 kabupaten di 30 provinsi. Pelaksanaan PNPM Perkotaan 2012 dilakukan di kelurahan/desa. Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) mencakup desa. Program Infrastruktur Pendukung Kegiatan Ekonomi dan Sosial (RISE/PISEW) di 237 kecamatan, dan Program Infrastruktur Air Limbah di 635 kawasan. Klaster 3 mencakup pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Hasil-hasil yang dicapai pada semester I 2013 antara lain: a) Volume penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mencakup kredit modal kerja dan kredit investasi bagi UMKM dan koperasi secara kumulatif sejak 2007 sampai dengan 30 April 2013 telah mencapai lebih dari Rp.111,9 triliun. Jumlah debitur KUR mencapai sekitar 8,45 juta debitur, dengan rata-rata KUR yang diterima Rp.13,2 juta per debitur. Volume penyaluran KUR pada semester I tahun 2013 mencapai lebih dari Rp.14,2 triliun, yang disalurkan kepada debitur, dengan rata-rata besar pinjaman Rp.18,4 juta per debitur, dan NPL 4,4 persen. b) Kedua, peningkatan akses permodalan bagi usaha mikro dan kecil juga dilaksanakan melalui: (i) Penguatan kapasitas pembiayaan di 609 koperasi perkotaan dan pedesaan; (ii) Penyaluran start-up capital bagi wirausaha pemula; (iii) Peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga keuangan mikro (LKM) yang bertransformasi menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sebanyak 100 LKM; (iv) Fasilitasi 2 jaringan kerjasama KSP dengan perbankan; (v) Fasilitasi pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) di 4 provinsi; (vi) Penguatan kapasitas KSP untuk mengakses perbankan di 4 provinsi; serta (vii) Penyaluran dana bergulir sebesar Rp.493,4 miliar bagi 398 mitra (4 koperasi sekunder, 188 koperasi primer, 5 bank, 2 perusahaan modal ventura dan 199 UKM), yang selanjutnya akan menggulirkan dana kepada usaha mikro dan kecil

44 24 c) Upaya peningkatan kapasitas SDM, produksi, pemasaran, dan kelembagaan koperasi yang dilaksanakan melalui: (i) Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN), diklat kewirausahaan bagi 600 orang di 14 provinsi dan diklat perkoperasian bagi 480 orang di 3 provinsi; (ii) Diklat dan sertifikasi bagi 200 pengelola KSP; (iii) Bimbingan dan konsultasi penerapan teknologi tepat guna (TTG) bagi 450 koperasi, usaha mikro dan kecil; (iv) Dukungan TTG bagi 9 koperasi di 9 provinsi; (v) Revitalisasi 25 unit pasar tradisional yang dikelola oleh koperasi di daerah tertinggal/perbatasan; (vi) Pemasyarakatan dan penyuluhan perkoperasian yang melibatkan 425 Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL) yang bertugas di 10 provinsi dan 98 kabupaten/kota pada 2012, dan akan diperluas dengan tambahan 115 PPKL pada 2013; dan (vii) Sosialisasi UU No.17/2012 tentang Perkoperasian. Klaster 4 mencakup program-program prorakyat. Program prorakyat yang telah dilaksanakan pada 2012 antara lain: a) Program Rumah Sangat Murah yaitu pembangunan baru perumahan swadaya unit serta peningkatan kualitas perumahan swadaya sebanyak unit; b) Program Pamsimas/SPAM Perdesaan berlangsung di kawasan; c) Program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) dilaksanakan di 816 Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), dengan rincian 100 PPI pada 2011, 400 PPI pada 2012 dan 200 PPI pada 2013 dan rencananya 116 PPI pada Pada 2012, Program PKN meliputi bantuan langsung pada individu nelayan, kelompok nelayan, dan sarana prasarana PPI. Beberapa kegiatan untuk individu nelayan diantaranya mencakup fasilitasi sertifikat hak atas tanah nelayan untuk bidang tanah dan memberikan bantuan 300 paket sarana sistem rantai dingin. Selain itu, upaya pemberdayaan kelompok nelayan mencakup bantuan 125 unit Kapal >30 GT, bantuan 15 unit kapal GT, pemberian bantuan PUMP perikanan tangkap untuk kelompok, bantuan PUMP pengolahan untuk kelompok, bantuan PUMP-perikanan budidaya untuk 600 kelompok, dan bantuan pemberdayaan usaha garam rakyat di 23 kabupaten/kota. Sedangkan untuk penguatan sarana dan prasarana di PPI telah dilaksanakan pembangunan 30 unit mini cold storage, 30 unit mesin pembuat es, 300 unit kendaraan pengangkut ikan roda 3 berinsulasi, 5 unit sarana pemasaran roda 4 dan 50 unit SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan). Terkait pelaksanaan redistribusi tanah, pada 2012 telah mencapai bidang atau 76,1 persen dari target bidang. Pada 2013, target kegiatan redistribusi tanah akan mencakup bidang tanah. Selain program-program di atas, pemerintah juga melakukan beberapa inovasi yang bertujuan memperkuat dan menyempurnakan pelaksanaan program dan memastikan pencapaian tujuan. Inovasi tersebut antara lain meliputi: 1. Pembangunan dan pemanfaatan Basis Data Terpadu (BDT) untuk Program Perlindungan Sosial dalam penetapan sasaran program-program nasional seperti Raskin, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Basis Data Terpadu adalah basis data yang diolah dari hasil kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BDT berisikan informasi tentang rumah tangga yang layak menerima program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Inisiatif ini merupakan implementasi dari kebijakan unifikasi penetapan sasaran program perlindungan sosial yang telah dirumuskan pemerintah. 2. Pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Program Perlindungan Sosial (Program P4S) dan Program Kompensasi Khusus, termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Kedua program ini diluncurkan sebagai tindak lanjut realokasi anggaran yang diperoleh dari pengurangan

45 25 subsidi BBM dan dalam rangka membantu penduduk miskin dan rentan dalam mempertahankan daya beli mereka karena adanya kenaikan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM. 3. Penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) untuk mengakses program bantuan sosial dan penanggulangan kemiskinan. KPS yang dibagikan bersamaan dengan program P4S dan BLSM, berlaku sampai dengan akhir Tujuan pemberian KPS adalah untuk memastikan rumah tangga penerima dapat memperoleh semua manfaat program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, KPS dapat meningkatkan ketepatan sasaran dan komplementaritas antar program. 4. Persiapan peluncuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional mulai awal Program yang dijalankan dengan prinsip asuransi sosial ini memiliki tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap penduduk Indonesia sehingga dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera. 5. Perluasan cakupan dan penyempurnaan pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH dapat berkontribusi pada pencapaian beberapa komponen MDGs dari penanggulangan kemiskinan dan kelaparan hingga pengurangan angka kematian ibu karena melahirkan. Oleh karena itu, pemerintah terus memperluas cakupan PKH sehingga diharapkan pada 2014 pesertanya berjumlah 3,2 juta rumah tangga. Selain itu penyempurnaan berkelanjutan terus dilaksanakan seperti peningkatan rasio pendamping, revitalisasi family development session and pemanfaatan teknologi informasi (seperti penggunaan kartu e-pkh dan Digital Mark Reader). Kotak 1.1 Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial Sumber: Gambar 1.5. Salah Satu Tampilan Data dalam Situs Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan adalah melakukan identifikasi dengan tepat kelompok sasaran penerima manfaat program sesuai dengan kriteria dan aturan program. Ketepatan sasaran program akan berdampak langsung terhadap keberhasilan pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan dan kerentanan. Untuk meningkatkan ketepatan sasaran program, ketersediaan suatu basis data calon penerima manfaat program menjadi sangat penting. Atas dasar itu, pemerintah telah mengembangkan BDT untuk Program Perlindungan Sosial yang berisikan informasi nama, alamat dan karakteristik sekitar 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosio ekonomi terendah di Indonesia. Data awal rumah tangga ini dihimpun melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. Data dari PPLS 2011 ini kemudian diolah

46 26 lebih lanjut menggunakan metodologi ilmiah dan selaras dengan praktik terbaik internasional menjadi BDT untuk Program Perlindungan Sosial. Basis data ini dapat menjadi rujukan bagi program untuk memperoleh daftar calon penerima manfaat sesuai dengan kriteria kepesertaan masing-masing program. Terhitung sejak Januari 2012 BDT telah tersedia dan telah digunakan oleh program-program bantuan sosial berbasis rumah tangga/individu utama di Indonesia seperti program Raskin, Jamkesmas, BSM, PKH, dan BLSM. Selain program nasional, BDT juga telah diakses oleh lebih dari 300 Pemerintah Daerah untuk keperluan penetapan sasaran program-program inisiatif daerah. Kotak 1.2 Kartu Perlindungan Sosial Sumber: Dokumentasi Foto 1.2 Kartu Perlindungan Sosial Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan P4S dan BLSM. KPS memuat informasi nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dan dilengkapi dengan nomor identitas KPS yang unik. Rumah tangga penerima KPS berjumlah rumah tangga miskin dan rentan yang merupakan 25 persen rumah tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data rumah tangga tersebut diperoleh dari BDT untuk Program Perlindungan Sosial. KPS didistribusikan secara langsung kepada rumah tangga sasaran dengan menggunakan jasa PT. Pos Indonesia. Terdapat kemungkinan kartu tidak dapat diantarkan karena berbagai alasan, antara lain karena rumah kosong, alamat tidak lengkap, alamat tidak dikenal, rumahtangga pindah, ditolak atau seluruh anggota rumahtangga telah meninggal. Untuk menentukan rumahtangga pengganti penerima KPS karena alasan-alasan tersebut, terdapat mekanisme penggantian penerima KPS melalui musyawarah desa/ kelurahan. Pelaksanaan penggantian ini difasilitasi oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dari Kementerian Sosial Republik Indonesia. Bagi rumahtangga pengganti akan diberikan KPS setelah data diterima dan disahkan. Dengan adanya KPS ini seluruh anggota rumahtangga pemegang KPS berhak menerima program perlindungan sosial sesuai dengan aturan yang berlaku di masing-masing program, seperti Program Raskin, Program BLSM dan Program BSM. KPS memiliki masa berlaku hingga akhir Selanjutnya akan dilaksanakan pemutakhiran data penerima KPS untuk menentukan penerima KPS selanjutnya. Diharapkan penggunaan KPS ini akan semakin mempertajam penetapan sasaran program dan meningkatkan komplementaritas program sehingga mendukung percepatan pencapaian tujuan dalam mengurangi kemiskinan dan kerentanan di Indonesia.

47 27 TARGET 1B MENCIPTAKAN KESEMPATAN KERJA PENUH DAN PRODUKTIF DAN PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA, TERMASUK PEREMPUAN DAN KAUM MUDA Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja 3,52% (1990) 5,24% (2012) - PDB Nasional dan Sakernas Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 65,00% (1990) 71,00% (1990) 63,71% (2012) 55,32% (2012) - Menurun BPS, Sakernas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Sumber: PDB Nasional dan Sakernas 2012 Gambar 1.6 Laju Pertumbuhan PDB per Tenaga Kerja Tahun 2012 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja terus memperlihatkan peningkatan dari 5,04 persen pada 2011 menjadi 5,24 persen pada 2012 (Gambar 1.7). Hal ini menandakan adanya peningkatan produktifitas tenaga kerja. Telaah lebih lanjut di tingkat provinsi menunjukkan perhatian khusus perlu diberikan terutama untuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua yang pada 2012 PDB per tenaga kerjanya mengalami laju pertumbuhan negatif. Terdapat beberapa provinsi lain yang menunjukkan penurunan laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja seperti DKI Jakarta, Lampung dan Banten.

48 28 Sumber BPS, Sakernas 2012 Gambar 1.7. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2012 Untuk indikator rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas, kondisinya cenderung tidak berubah pada kisaran persen. Jika dipilah menurut jenis kelamin, rasio untuk tenaga kerja lakilaki cenderung tetap pada kisaran 80 persen dan untuk perempuan rasionya berada pada kisaran persen. Pertumbuhan penduduk usia kerja yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja mengindikasikan adanya preferensi yang lebih besar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya dibandingkan dengan mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Kondisi demikian juga diperkuat oleh data yang menunjukkan pertumbuhan kelompok usia tahun yang bukan merupakan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan angkatan kerja, serta turunnya rasio tingkat partisipasi angkatan kerja. Penciptaan lapangan kerja di Indonesia yang meningkat juga ditunjukkan oleh menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Pada 2010 tingkat pengangguran terbuka tercatat 7,14 persen, pada 2011 dan 2012 angkanya menurun menjadi 6,56 persen dan 6,14 persen. Pada tingkat provinsi, Bali merupakan provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka terendah (2,04 persen), sementara provinsi Banten tercatat sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi (10,13 persen). Terdapat delapan provinsi lainnya yang memiliki tingkat pengangguran terbuka lebih tinggi dari rata-rata nasional seperti terlihat dalam Gambar 1.9. Sumber BPS, Sakernas 2012 Gambar 1.8 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Provinsi Tahun 2012

49 29 Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri (termasuk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap), pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga terhadap total kesempatan kerja merupakan indikator bagi kerentanan dalam lapangan kerja. Pada 1990 proporsi pekerja rentan tersebut mencapai 71,00 persen, namun pada 2012 proporsinya telah menurun secara signifikan menjadi 55,32 persen. Proporsi pekerja rentan terhadap total kesempatan kerja menurut provinsi juga menunjukkan pola yang sama, kecuali provinsi Papua yang justru menunjukkan peningkatan. Sumber BPS, Sakernas berbagai tahun penerbitan. TANTANGAN 1. Meskipun pemerintah telah melaksanakan banyak program penciptaan lapangan kerja yang tersebar di banyak kementerian/lembaga, namun koordinasi antar kementerian/lembaga pelaksana masih perlu terus ditingkatkan. 2. Efektivitas program penciptaan lapangan kerja yang telah berjalan masih dapat ditingkatkan lebih lanjut. 3. Pola pikir dan pola sikap wirausaha masih perlu terus dibangun dan ditingkatkan. KEBIJAKAN Gambar 1.9. Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga Terhadap Total Kesempatan Kerja Tahun 1998, 2009 dan 2012 Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan, pemerintah telah menetapkan lima pilar utama programprogram perluasan dan penciptaan lapangan kerja, yaitu; 1. Pilar I: Perbaikan layanan dan Sistem Informasi Ketenagakerjaan. Pilar ini bertujuan untuk memastikan terciptanya hubungan antara pekerjaan yang tersedia dengan tenaga yang memerlukan pekerjaan.

50 30 2. Pilar II: Peningkatan kapasitas dan keterampilan angkatan kerja. Bertujuan untuk mengembangkan dan menyelaraskan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan dunia usaha. 3. Pilar III: Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta kewirausahaan. UMKM merupakan penyerap tenaga kerja yang besar. Mengembangkan UMKM akan secara langsung berdampak pada penciptaan lapangan kerja. 4. Pilar IV: Peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur berbasis komunitas (Program padat karya dan infrastruktur). Infrastruktur perdesaan yang baik dan berkembang akan memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat untuk melakukan aktivitas yang produktif dan berdaya guna. 5. Pilar V: Program darurat ketenagakerjaan. Bertujuan untuk membantu masyarakat yang terkena krisis, misalnya bencana alam. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Lima pilar program perluasan dan penciptaan lapangan kerja telah dilaksanakan di 14 kementerian/ lembaga. Beragam upaya perluasan dan penciptaan lapangan kerja oleh masing-masing kementerian/ lembaga tersebut diharapkan dapat terintegrasi dan saling melengkapi sehingga dapat mempercepat pencapaian tujuan pengurangan jumlah penganggur terbuka menjadi 5,1-5.3 persen pada Penguatan penyelenggaran pemerintahan umum, pengembangan bursa kerja, pemberdayaan masyarakat desa dan pemerintah desa, hingga peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada tenaga kerja, terutama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan beberapa program yang termasuk dalam pilar satu. Pilar dua berisi beragam program pelatihan teknis dan vokasional di berbagai bidang seperti industri, pertanian, peternakan dan lainnya. Selain itu juga dilakukan pengembangan standardisasi kompetensi kerja dan sertifikasi profesi, pelatihan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta program magang. Kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam pilar tiga diantaranya adalah pelatihan kewirausahaan, pemberian bantuan modal awal, pendampingan berkelanjutan bagi UMKM termasuk dalam mengakses KUR, dan dukungan fasilitasi peningkatan nilai tambah dan daya saing. Pilar empat berisikan program pembangunan sarana dan prasarana pasar, infrastruktur perdesaan padat pekerja, perluasan areal dan pengelolaan usaha, terutama bidang pertanian dan peternakan, penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana usaha, termasuk sarana dan prasarana sekolah terutama sekolah kejuruan. Sementara contoh dari program pilar lima adalah program padat pekerja di wilayah pasca bencana.

51 31 TARGET 1C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK YANG MENDERITA KELAPARAN DALAM KURUN WAKTU a. Indikator Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi Prevalensi balita gizi buruk Acuan dasar 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* Saat ini 19,60% (2013) ** 5,70% (2013) ** Target MDGs 2015 Status 15,50% 3,60% Sumber * BPS, Susenas ** Kemenkes, Riskesdas 1.8.b. Prevalensi balita gizi kurang 23,80% (1989)* 13,90% (2013) ** 11,90% 1.9 Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum Kkal/kapita/hari 17,00% (1990) 19,04% (2013) 8,50% BPS, Susenas Kkal/kapita/hari 64,21% (1990) 68,25% (2013) 35,32% Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Gambar 1.10 Prevalensi Kekurangan Gizi Pada Balita Sumber BPS, Susenas berbagai tahun peberbitandan Kemenkes, Riskesdas, 2007, 2010, dan 2013 Ketahanan pangan dan gizi merupakan landasan penting bagi peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berujung pada peningkatan daya saing bangsa. Oleh karena itu, penanganan pangan dan gizi merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional. Indonesia telah berada dalam jalur yang benar (on track) untuk mencapai MDGs khususnya target 1C, yaitu telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak di bawah lima tahun (balita) dari 24,0 persen pada 2005 menjadi 13,90 persen pada 2013 (Riskesdas 2013). Penurunan angka kekurangan gizi pada anak balita harus terus dilakukan agar Indonesia dapat mencapai target MDG pata 2015, yaitu 15,50 persen. Di sisi lain, proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum mengalami sedikit peningkatan. Pada 2011 proporsi penduduk dengan asupan kalori harian di bawah Kkal dan

52 Kkl per hari secara nasional adalah 60,03 persen dan 14,65 persen. Angka ini meningkat pada 2012 menjadi 68,21 persen dan persen. Pada 2013, proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah Kkal kondisinya relatif sama (68 persen), sementara proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah 1,400 Kkal meningkat menjadi 19,04 persen. Jumlah asupan kalori dapat menjadi salah satu indikator kecukupan gizi, namun perubahan perilaku konsumsi di masyarakat dapat juga menyebabkan terjadinya perubahan asupan kalori. Misalnya, masyarakat lebih memilih mengkonsumsi sayuran daripada telur atau daging. Perubahan ini tidak langsung berarti telah terjadi kekurangan asupan gizi, melainkan terjadinya perubahan pola diet yang pada akhirnya berpengaruh pada proporsi asupan nutrisi, lebih sedikit kalori namun lebih banyak nutria lainnya. Namun demikian, perhatian dan upaya khusus perlu diberikan kepada daerah dengan asupan kalori di bawah 1,400 Kkal per hari yang masih tinggi, seperti Papua, Papua Barat dan Maluku. Sumber BPS, Susenas 2013 TANTANGAN 1. Masih tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting). Data Riskesdas 2010 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 35,60 persen. 2. Beragamnya permasalahan pangan dan gizi antar wilayah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. 3. Masih terbatasnya pengetahuan akan pentingnya kecukupan gizi di masyarakat. Gambar 1.11 Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < Kkal dan < Kkal Tahun 2013 KEBIJAKAN Pemerintah Indonesia telah merumuskan suatu rencana aksi yang disebut dengan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi Dalam rencana aksi ini, kebijakan pangan dan gizi di Indonesia disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi: i. perbaikan gizi masyarakat, ii. aksesibilitas pangan, iii. mutu dan keamanan pangan, iv. perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan v. kelembagaan pangan dan gizi. Sejalan dengan rencana aksi nasional pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres ini merupakanarahan upaya perbaikan gizi sebagai salah satu arus utama pembangunan sumber daya

53 33 manusia, sosial budaya dan perekonomian. Gerakan nasional percepatan perbaikan gizi adalah upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada seribu hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun, menjadi fokus utama seiring dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilan dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Hal inilah yang menjadi landasan pemikiran perumusan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres No 42 Tahun 2013 juga mengamanatkan rangkaian kegiatan gerakan yang meliputi kampanye nasional dan daerah, advokasi dan sosialisasi lintas sektor dan lintas lembaga, dialog untuk menggalang kerja sama dan kontribusi, pelatihan, diskusi, intervensi kegiatan gizi langsung (spesifik), intervensi kegiatan gizi tidak langsung (sensitif); dan kegiatan lain. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Program dan kegiatan penanganan pangan dan gizi di Indonesia telah dilaksanakan dengan strategi nasional sebagai berikut; 1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak melalui peningkatan ketersedian dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan yang difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi dan anak usia di bawah dua tahun. 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin. 3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) yang tersertifikasi. 4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu. 5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian pengembangan, Beragam upaya juga telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan percepatan perbaikan gizi melalui Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, antara lain meliputi: 1. Kampanye sadar gizi tingkat nasional dan daerah; 2. Sosialisasi pencegahan dan penanggulangan stunting; 3. Peningkatan kapasitas petugas di tingkat nasional dan daerah dalam perencanaan, 4. Koordinasi dan evaluasi;

54 34 5. Penyiapan tenaga kesehatan yang terlatih dan kompeten dalam menyampaikan informasi dan pengetahuan dalam bidang gizi; 6. Peningkatan pengetahuan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, ibu balita, anak sekolah, remaja, lanjut usia dan masyarakat umum melalui media cetak dan elektronik yang meliputi materi penyuluhan makanan bergizi seimbang, konseling ASI dan MP-ASI, 7. Penyuluhan tentang PMT dan Perilaku hidup bersih dan sehat; 8. Pelayanan gizi masyarakat meliputi penimbangan balita di Posyandu dan pemantauan status gizi dan survey gizi; 9. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi kurang, pemberian vitamin A yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan balita, 10. Pemberian Makanan Tambahan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan pemberian tablet Fe yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan ibu hamil, serta 11. Pemberian multimikronutrien/taburia pada balita usia di atas enam bulan.

55 TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Sumber foto: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

56

57 37 TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA TARGET 2A MENJAMIN PADA 2015 SEMUA ANAK-ANAK, LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN DI MANAPUN DAPAT MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DASAR Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar 88,70% (1992)* 95.71% (2012)** 100,00% *BPS, Susenas **Kemdikbud 2.2. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar 62,00% (1990) 96.43% (2012) 100,00% Kemdikbud 2.3 Angka melek huruf penduduk usia tahun, perempuan dan laki-laki 96,60% (1990) 99.08% (2012) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 100,00% BPS, Susenas KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Memperoleh pendidikan terutama pendidikan dasar yang mencakup jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau yang sederajat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam Undang- Undang Dasar Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan partisipasi masyarakat peluang anak Indonesia untuk memperoleh layanan pendidikan dasar semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari membaiknya berbagai indikator kinerja pendidikan seperti (i) angka partisipasi pendidikan jenjang SD/MI/sederajat; (ii) proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan SD/MI/sederajat; dan (iii) angka melek huruf penduduk usia tahun. Angka partisipasi pendidikan jenjang sekolah dasar termasuk madrasah ibtidaiyah (SD/MI) terus meningkat. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa angka partisipasi murni (APM) jenjang SD/MI/sederajat di Indonesia pada tahun 2012 sudah mencapai 95,71 persen, meningkat dari 95,55 persen pada tahun Pengukuran menggunakan angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang SD/MI/sederajat sudah mencapai 115,88 persen pada tahun 2012 (Gambar 2.1).

58 APK SD/MI/Paket A APM SD/MI/Paket A APK SMP/MTs/Paket B APM SMP/MTs/Paket B Gambar 2.1. Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/ MI dan SMP/MTs tahun Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sebaran nilai APK dan APM untuk jenjang SD/MI/sederajat tahun ajaran 2012/2013 menurut provinsi dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Tampak nyata dalam gambar tersebut bahwa seluruh provinsi memiliki APK lebih dari 100 persen meskipun masih ada 12 provinsi yang memiliki APM kurang dari 95 persen APM APK Bali NTB DKI Jakarta Maluku Utara DI Yogyakarta Kepulauan Riau Sumatera Barat Kalimantan Timur NTT Bangka Belitung Kalimantan Tengah INDONESIA Banten Jawa Tengah Sulawesi Utara Jawa Timur Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan Jambi INDONESIA Lampung Sulawesi Tengah Sumatera Utara Riau Gorontalo NTT Sumatera Selatan Kalimantan Barat NTB Maluku Papua Sulawesi Barat Papua Barat Aceh Gambar 2.2. Perbedaan APM dan APK jenjang SD/MI/ sederajat menurut provinsi, tahun ajaran 2012 Sumber: Kemdikbud, 2013 Perbedaan secara signifikan antara APM dan APK tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan komposisi siswa menurut umur. Angka partisipasi murni hanya mempertimbangkan siswa dengan usia 7-12 tahun sementara APK memperhitungkan semua siswa tanpa memperhatikan usia mereka. Dengan hanya memperhitungkan siswa usia 7-12 tahun maka nilai APM tidak akan mencapai angka 100 persen karena tidak sedikit anak yang berusia kurang dari 7 tahun sudah masuk sekolah SD/MI sehingga banyak anak usia 12 tahun yang sudah menjadi murid SMP/MTs. Jumlah anak usia kurang dari 7 tahun yang masuk kelas-1 SD/MI terus meningkat. Jika pada tahun 2000 proporsi anak usia dibawah 7 tahun di Kelas-1 SD/MI baru sekitar 35,5 persen, pada tahun 2012 angkanya meningkat menjadi 44,2 persen. Karena APM dihitung sebagai persentasi anak usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI/sederajat, maka sampai titik tertentu perubahan struktur umur ini dapat menyebabkan penurunan APM meskipun jumlah siswa SD/ MI terus mengalami peningkatan.

59 39 Indikator APM dan APK juga tidak mampu memperkirakan jumlah anak Indonesia yang tidak sekolah. Untuk itu dalam laporan ini diungkapkan juga indikator angka partisipasi sekolah (APS) untuk kelompok umur tertentu atau di dalam terminologi internasional disebut age specific enrolment rate (ASER). Pada tahun 2012, APS usia 7-12 tahun mencapai 97,9 persen atau meningkat 2,4 persen dari keadaan tahun 2000 (Gambar 2.3). Dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang diperkirakan sebanyak 30,9 juta jiwa, pada tahun 2012 diperkirakan masih ada sekitar 620 ribu anak yang tidak sekolah. Dari sejumlah tersebut, sekitar 40 persennya adalah anak usia 7-8 tahun yang belum pernah masuk sekolah dan selebihnya adalah anak usia 9-12 tahun yang umumnya putus sekolah di SD/MI ,1 72,4 93,9 73,2 94,4 95,4 95,1 95,3 95,5 75,8 77,5 77,2 79,0 79, Tahun Tahun 95,6 79,4 96,1 79,2 96,4 81,0 96,8 83,5 97,1 84,0 97,4 84,1 97,6 84,3 97,8 84,4 98,0 85,4 98,0 86,1 97,5 87,6 97,9 89,5 Gambar 2.3. Perkembangan angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun dan tahun, Sumber: BPS, 2012 Peningkatan kinerja pendidikan jenjang SD/MI/sederajat diikuti dengan menurunnya kesenjangan baik kesenjangan gender maupun antar daerah. Perbaikan kesenjangan gender dijelaskan dalam bab khusus untuk Goal 3. Kesenjangan antar propinsi tidak lagi mengemuka sebagaimana ditunjukkan dengan data sebaran APS usia 7-12 tahun menurut provinsi. (Gambar 2.4). Dari gambar tersebut tampak bahwa pada tahun 2012 hampir tidak ada perbedaan antar propinsi dengan nilai APS lebih dari 96.5 persen. Hanya Provinsi Papua yang mempunyai APS 7-12 tahun kurang dari 80 persen DI Yogyakarta Aceh B a l i Kalimantan Timur DKI Jakarta Bengkulu Jawa Tengah Jawa Timur Jambi Sumatera Utara Lampung Kalimantan Tengah Sumatera Barat Jawa Barat Maluku Banten Kepulauan Riau Maluku Utara Sulawesi Utara N T B R i a u Sumatera Selatan Indonesia Kalimantan Selatan Bangka Belitung Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sulawesi Tengah N T T Sulawesi Barat Papua Barat Papua Gambar 2.4. Angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 menurut provinsi, 2012 Sumber: BPS, 2012 Perbaikan kinerja pendidikan dapat juga ditunjukkan oleh membaiknya angka menyelesaikan sekolah yang diukur antara lain dengan proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan sekolah dasar atau disebut angka bertahan. Dalam satu tahun terakhir angka ini mengalami sedikit peningkatan dari

60 40 95,78 persen pada tahun 2011 menjadi 96,43 persen pada tahun Kesenjangan antar provinsi juga berubah. Jika tahun 2011 angka bertahan ini berkisar antara 95,11 persen di Provinsi Papua sampai dengan 96,88 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2012 angkanya beriksar antara 93,88 persen di Provinsi Kalimantan Timur sampai dengan 98,44 persen di Provinsi DI Yogyakarta (Gambar 2.5) ,43 DI Yogyakarta Bali NTB Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Barat Kalimantan Barat NTT Riau Kalimantan Selatan Lampung Sulawesi Barat INDONESIA Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Aceh Jawa Barat Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Sumatera Utara Papua Barat Papua Maluku Jambi Gorontalo Banten Bengkulu Maluku Utara Kepulauan Riau Bangka Belitung Kalimantan Timur Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gambar 2.5. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar tahun 2012 Pembangunan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar tidak hanya diarahkan untuk meningkatkan akses tetapi juga untuk meningkatkan mutunya. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk melalui peningkatan mutu dan kesejahteraan guru. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Guru untuk jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah atas harus berkualifikasi paling tidak S1/D4. Pada tahun 2012 untuk sekolah dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persentase guru yang sudah berpendidikan S1/D4 sudah mencapai 53,0 persen untuk jenjang SD dan 84,5 persen untuk jenjang SMP (Gambar 2.6). Angka tersebut meningkat, secara berturut-turut dari 9,0 persen dan 54,9 persen pada tahun Selain itu, peningkatan kesejahteraan guru juga dilakukan melalui pemberian berbagai tunjangan termasuk tunjangan profesi sebesar satu kali gaji untuk guru yang sudah bersertifikasi pendidik dan tunjangan khusus untuk guru yang mengajar di daerah terpencil yang juga sebesar satu kali gaji ,5 76,3 80, ,7 74, ,6 60,3 63, ,9 53, , ,7 26,8 22, ,6 15,2 15,3 9, SD SMP Sumber: Kemdikbud, 2013 Gambar 2.6. Perkembangan persentase guru yang berkualifikasi akademik S1/D4 pendidikan dasar,

61 41 Sertifikasi pendidik yang diterapkan sesuai UU No. 14/2005 telah meningkatkan persentase guru yang bersertifikasi pendidik. Pada tahun 2012, guru SD yang sudah bersertifikat pendidik sudah mencapai 39,2 persen, sementara persentasi untuk guru SMP mencapai 55,4 persen. Mereka yang sudah bersertifikat pendidik dan mengajar paling tidak 24 jam per minggu berhak untuk memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya satu kali gaji. Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang belum memberikan dampak yang signifikan. Sebagai contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi pendidik dan pemberian tunjangan profesi baru dapat meningkatkan kesejahteraan guru secara finansial dan belum berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran (De Ree, , Fahmi, dkk, ). Namun demikian, upaya peningkatan kesejahteraan yang signifikan tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang mampu menarik lulusan-lulusan terbaik untuk berkarir menjadi guru yang pada gilirannya dapat berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Selain dilakukan melalui peningkatan kualitifikasi akademik, sertifikasi, dan kesejahteraan guru, peningkatan profesionalisme guru didukung pula oleh perbaikan sistem pembinaan guru. Peningkatan kompetensi guru terhadap konten dan pendekatan pedagogi dilakukan melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk jenjang SD/MI dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk jenjang SMP/MTs. Program induksi untuk guru baru juga dikembangkan untuk menjamin guru baru dapat melaksanakan pembelajaran secara baik. Untuk mendukung program ini, di beberapa kabupaten/kota juga dilakukan redistribusi guru untuk menyeimbangkan ketersediaan guru antar sekolah. Pembelajaran dari Kabupaten Gorontalo dapat dilihat dalam Box 1. Kotak 2.1. Perbaikan Mutu dan Distribusi Guru di Kabupaten Gorontalo Sejalan dengan visinya yaitu Kabupaten Gorontalo Cerdas, Sehat, Kreatif, dan Berwawasan Lingkungan Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan Mandiri, dengan dipimpin langsung oleh Bupati, sejak tahun 2005 Kabupaten Gorontalo membuat berbagai terobosan untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan. Karena kepercayaannya tentang pentingnya guru sebagai salah satu pilar utama pendidikan, pembinaan guru menjadi perhatian utama Bapak Bupati. Kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru antara lain: (i) pembinaan KKG dan pelatihan untuk pengembangan profesi berkelanjutan, pendampingan dan asistansi terhadap kegiatan KKG untuk memperkuat sinergi kelompok; (ii) publikasi ilmiah dan simposium daerah sebagai agenda tahunan untuk memfasilitasi guru, kepala sekolah dan pengawas dalam pengembangan profesinya; dan (iii) pengembangan program kemitraan guru melalui kerjasama dengan berbagai fihak. Selain itu, kabupaten ini juga melakukan kegiatan rolling teachers. Melalui program ini guru-guru terbaik ditempatkan di sekolahsekolah yang guru-gurunya kurang berkualitas atau sebaliknya, sehingga pada akhirnya diharapkan semua guru dapat meningkat kualitasnya. Upaya meningkatkan pemerataan guru terutama dilakukan melalui mutasi guru dari daerah perkotaan ke wilayah lain dan penempatan guru-guru PNS baru di wilayah tertinggal. Upaya ini cukup efektif untuk mengatasi kekurangan guru antar wilayah di Gorontalo. 1 De Ree, Joppe Jaitze (2012). Policy Brief. Teacher certification in Indonesia: a doubling of salary, or a way to improve learning?. World Bank. Indonesia. 2 Fahmi, Maulana, dan Yusuf (2011), Teacher Certification in Indonesia: A Confusion of Means and Ends. Center for Economics and Development Studies (CEDS), Padjadjaran University, Indonesia

62 42 Dengan berbagai terobosan tersebut tidak mengherankan jika pada tahun 2009 Kabupaten Gorontalo mendapat Penghargaan Bidang pendidikan dan penghargaan nasional dalam pengelolaan PAUD. Sumber: Disarikan dari laporan Bupati Kabupaten Gorontalo dalam program BERMUTU, 2013 dan dilaporkan pula dalam Laporan Kinerja KIB I dan KIB II Peningkatan mutu pendidikan dasar juga dilakukan melalui penetapan standar pelayanan minimal (SPM) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23/2013 yang merupakan revisi dari Permendikbud No.15/2010. Dalam peraturan ini setiap satuan pendidikan dasar harus memenuhi standar minimal ketersediaan dan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, ketersediaan prasarana fisik seperti ruang kelas, ruang guru, dan laboratorium, serta kegiatan non-fisik seperti pengembangan kurikulum dan supervisi sekolah. Penetapan SPM ini secara tidak langsung juga dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan kualitas pendidikan. Kerangka kerja legal untuk pelaksanaan peraturan ini sudah tersedia dan ditargetkan agar seluruh satuan pendidikan dasar memenuhi SPM pada akhir tahun Namun demikian data terakhir menunjukkan baru sebagian kecil satuan pendidikan dasar yang memenuhi SPM. Diperlukan komitmen yang lebih besar dari Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab untuk mempercepat pemenuhan SPM di wilayahnya masing-masing sehingga seluruh anak Indonesia dapat mengikuti pembelajaran yang berkualitas. Membaiknya kinerja pendidikan juga dapat dilihat dari membaiknya taraf keberaksaraan penduduk Indonesia yang diukur menggunakan indikator angka melek huruf. Angka melek huruf penduduk usia tahun meningkat dari 96,60 persen pada tahun 1990 menjadi 98,94 persen pada tahun Secara lebih rinci, Gambar 2.7 menunjukkan perkembangan angka melek huruf penduduk usia tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin dalam kurun waktu ,70 98,20 98,50 98,10 98,80 98,60 98,70 98,40 98,90 98,50 98,78 98,71 98,80 98,73 98,92 98,76 99,54 99,38 99,55 99,40 99,53 99,46 98,80 98,75 98,98 98, Laki-Laki Perempuan Sumber: BPS, Data Susenas berbagai tahun Gambar 2.7. Perkembangan Angka Melek Huruf Penduduk Usia tahun, Kesenjangan angka melek huruf antar kelompok masyarakat di Indonesia semakin mengecil dari waktu ke waktu. Pada tahun 2012 tampak bahwa angka melek huruf di wilayah perdesaan (98,23 persen) hanya sedikit lebih rendah dibandingkan di wilayah perkotaan (99,57 persen) sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2.8. Hanya di Papua yang perbedaannya cukup besar yaitu 68,32 persen di perdesaan dan 97,94 persen di perkotaan. Peningkatan angka melek huruf juga diikuti dengan penurunan kesenjangan antar gender sebagaimana dibahas dalam Goal 3.

63 Perkotaan Perdesaan 10 0 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA Gambar 2.8. Angka Melek Huruf Penduduk Berusia Tahun Menurut Provinsi dan tipe wilayah, 2012 Sumber: BPS, Susenas 2012 Sangat jelas bahwa membaiknya angka melek huruf penduduk Indonesia sangat dipengaruhi oleh membaiknya partipasi sekolah, khususnya sekolah dasar yang memberikan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Oleh karena itu pemerintah perlu terus berupaya menurunkan angka putus sekolah khususnya di kelas awal SD/MI sehingga kemampuan keberaksaraan penduduk dapat terus bertahan dan tidak mengalami buta huruf kembali atau biasa disebut dengan relapsed illiteracy. Penyediaan fasilitas membaca seperti melalui perpustakaan dan pusat sumber belajar di masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong minat membaca masyarakat. TANTANGAN 1. Meningkatkan akses pendidikan kelompok tertinggal terutama karena kemiskinan. Sebagaimana diungkapkan dalam bahasan terdahulu, pada tahun 2012 dengan APS usia 7-12 tahun sekitar 97,9 persen diperkirakan masih ada sekitar 620 ribu anak yang tidak sekolah karena sama sekali belum pernah sekolah maupun karena putus sekolah. Kemiskinan merupakan penyebab utama karena anak terpaksa harus bekerja membantu orangtuanya mencari nafkah. Kemiskinan pula yang menyebabkan anak terlantar dan berkeliaran di jalanan. Data Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa APS 7-12 tahun kelompok 20 persen termiskin (Kuintil 1) masih sekitar 95,9 persen sementara APS kelompok terkaya sudah hampir mencapai 100 persen (99,4 persen). Untuk kelompok usia tahun, APS dari kelompok 20 termiskin (Kuintil 1) baru mencapai 81 persen, sementara dari kelompok terkaya (Kuintil 5) sudah mencapai 94,9 persen. Berdasarkan data tersebut, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan upaya yang lebih sungguh-sungguh agar semua anak baik laki-laki maupun perempuan di seluruh wilayah dapat menjangkau pelayanan pendidikan dasar termasuk sekolah menengah pertama tanpa kecuali. 2. Meningkatkan kesiapan anak untuk bersekolah. Salah satu masalah yang dihadapi pembangunan pendidikan dasar adalah masih terdapat anak yang putus sekolah terutama di kelas awal SD/MI. Selain karna faktor kemiskinan hal ini juga disebabkan oleh kurang siapnya anak bersekolah. Program pendidikan pra sekolah dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dapat membantu perkembangan mental dan kecerdasan anak sehingga lebih mempunyai kesiapan untuk bersekolah. Selain dapat mencegah terjadinya putus sekolah kesiapan anak untuk bersekolah juga berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pembelajaran. Akan tetapi sebagian besar anak yang masuk kelas satu SD/MI

64 44 belum mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan pra sekolah atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Data tahun 2012 dari Kemdikbud menyebutkan bahwa partisipasi PAUD baru mencapai sekitar 40 persen. Dengan demikian tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan akses dan kualitas PAUD terutama bagi anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. 3. Meningkatkan mutu pendidikan secara lebih merata. Perbaikan kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana prasarana yang memadai, serta kualitas dan kesejahteraan guru. Masalah yang dihadapi adalah masih banyak sekolah yang belum mempunyai sarana prasarana belajar yang memenuhi stadar pelayanan minimal (SPM). Berkenaan dengan tenaga pendidik, masalah yang dihadapi antara lain rendahnya mutu dan tidak meratanya penyebaran guru antar wilayah. Pada tahun 2012 data Kemdikbud menunjukan bahwa pada tahun 2012 masih terdapat sekitar 47% guru SD (tidak termasuk MI) yang belum memenuhi persyaratan pendidikan yaitu minimal S1/D4. Dengan demikian maka tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah (i) meningkatkan ketersediaan sarana prasana agar memenuhi SPM; (ii) meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru; (iii) meningkatkan penyebaran guru agar lebih merata sampai ke daerah terpencil dan tertinggal. 4. Meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas manajemen pendidikan. Keberhasilan pandidikan sangat ditentukan oleh manajemen pendidikan baik pada tingkat sekolah maupun tingkat daerah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh wilayah baik di perkotaan maupun di pedesaan. Selain itu, belum semua pimpinan daerah mempunyai komitmen yang kuat terhadap pentingnya pendidikan. KEBIJAKAN 1. Menurunkan kesenjangan partisipasi pendidikan untuk menjamin agar semua anak mendapat pelayanan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu. Hal ini akan dicapai melalui peningkatan pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau terutama bagi penduduk miskin dan mereka yang bermukim di wilayah terpencil dan tertinggal, serta anak-anak terlantar dan anak-anak kebutuhan khusus. Kebijakan ini akan didukung dengan penyediaan skema dan mekanisme pembiayaan pendidikan yang lebih pro-masyarakat miskin dan tertinggal antara lain melalui penyediaan beasiswa untuk murid tidak mampu, serta melakukan investasi yang lebih besar kepada daerah-daerah yang mempunyai komitmen tinggi pada pendidikan namun kinerja pendidikannya masih rendah. Sesuai amanat konstitusi bahwa anak-anak usia 7-15 tahun mempunyai hak untuk mandapat pelayanan pendidikan dasar Sembilan tahun. Hal ini dilakukan dengan menjamin seluruh lulusan SD/MI untuk dapat melanjutkan ke SMP/ MTs dan memastikan tidak ada dari mereka yang putus sekolah. 2. Memperluas akses pendidikan PAUD yang bermutu untuk meningkatkan kesiapan anak bersekolah. Program PAUD ditingkatkan mutunya dan diperluas jangkauannya sehingga dapat menjangkau anakanak di wilayah pedesaan dan tertinggal. Selain itu, program PAUD juga akan diselenggarakan dalam kerangka pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif untuk menjamin agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. 3. Meningkatkan mutu pendidikan dasar. Kebijakan akan ini dicapai antara lain melalui: (1) menyiapkan dan melaksanakan road map pemenuhan standar pelayanan minimum untuk jenjang pendidikan dasar; (2) mengembangkan karakter dan keterampilan (skill) siswa antara lain melalui pengembangan

65 45 kurikulum dan proses belajar-mengajar yang tepat; (3) meningkatkan profesionalisme pendidik melalui pelatihan dan penilaian kinerja secara berkesinambungan; (4) melakukan penyebaran guru secara lebih merata; (5) memperkuat sistem seleksi guru sejak dari masuk perguruan tinggi sampai dengan seleksi penerimaan guru; (6) meningkatkan kualitas lembaga pendidikan guru agar mampu mencetak guru yang benar-benar berkualitas. 4. Memperkuat tata kelola pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas. Kebijakan ini akan dilakukan antara lain melalui: (1) meningkatkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang memberi kewenangan kepada sekolah sebagai unit otonom untuk mengelola sumberdaya sekolah; (2) menyempurnakan sistem kepegawaian tenaga pendidik dan kependidikan; (3) meningkatkan komitmen kepala daerah terhadap pentingnya penyelenggaraan pendidikan dasar berkualitas; (4) menyebarluaskan best practices berkenaan dengan manajemen pendidikan; (5) memberi insentif fiskal atau non-fiskal kepada pemerintah daerah yang telah sungguh-sungguh mengupayakan pencapaian tujuan MDG bidang pendidikan; (6) meningkatkan akuntabilitas manajemen sumber daya pendidikan; (7) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain melalui penguatan komite sekolah.

66 46

67 TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sumber foto: World Bank

68 Sumber: UNDP Indonesia

69 49 TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TARGET 3A MENGHILANGKAN KETIMPANGAN GENDER DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN LANJUTAN PADA TAHUN 2005, DAN DI SEMUA JENJANG PENDIDIKAN TIDAK LEBIH DARI TAHUN 2015 Indikator 3.1 Rasio perempuan terhadap lakilaki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi 3.1a - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia tahun 3.2 Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian 3.3 Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR Acuan dasar (1993) (1993) (1993) (1993) (1993) 29.24% (1990) 12.50% (1990) Saat ini (2013)* (2013)* (2013)* (2013)* (2013)* 35.10% (2013) 17.30% (2014) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus; Keterangan: *angka pada triwulan I tahun 2013 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Target MDGs 2015 Status Meningkat Sumber BPS, Susenas BPS, Sakernas Meningkat KPU Dalam rangka mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender, pemerintah, antara lain, melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, menginstruksikan agar semua kementerian dan lembaga mengintegrasikan kondisi, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan dalam seluruh

70 50 tahapan menejemen pembangunan. Sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal. Ketertinggalan perempuan dari laki-laki dalam kehidupan sosial dan terutama ekonomi di Indonesia masih tergambar dari adanya perbedaan antara indeks pembangunan manusia dan indeks pembangunan gender yang kondisinya dapat dikatakan hampir stagnan sejak tahun Kalau pada tahun 2005 nilai dua indeks tersebut, berturut-turut adalah 68.7 dan 63.9 dengan gap sama dengan 4.8 poin dan pada tahun 2011 nilainya adalah dan 67.8 dengan gap sama dengan 4.97, maka besarnya gap tersebut bahkan meningkat, walaupun tidak signifikan Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun , Kerjasama BPS dengan Kementerian PP dan PA Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun , Kerjasama BPS dengan Kementerian PP dan PA IPM IPG Gambar 3.1. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender di Indonesia, Tahun Dorongan terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah disepakati Indonesia bersama para pemimpin dunia melalui Target 3A MDGs, yaitu penghapusan ketimpangan gender di bidang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Perbaikan di bidang pendidikan perempuan ini secara bertahap diharapkan dapat berdampak pada kehidupan fisik perempuan yang lebih sehat dan terutama, kualitas di bidang kehidupan ekonomi yang lebih mapan, yang pada akhirnya akan meningkatkan indeks pembangunan penduduk perempuan. Indikator pendidikan yang secara global digunakan untuk mengukur Target 3A tersebut adalah rasio angka partisipasi murni perempuan terhadap angka untuk lakilaki (disingkat rasio APM) di jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu, dipakai pula indikator rasio angka melek huruf yang merupakan indikator nasional. Di samping dilihat dari indikator yang terkait langsung dengan pendidikan, disepakati pula dua indikator lain untuk menilai capaian Tujuan 3. Indikator tersebut terkait dengan dampak pendidikan pada kehidupan perempuan di sektor publik, yaitu a) kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian, dan b) keterlibatan perempuan di parlemen. Capaian Tujuan 3 di bidang pendidikan sudah menggembirakan (Tabel 3.1). Di bidang tersebut, kesetaraan gender terlihat sudah tercapai pada berbagai jenjang pendidikan. Pada Tahun 2013, rasio APM-SD sudah mencapai persen; bahkan rasio APM-SMP, rasio APM-SMA, rasio APM-PerguruanTinggi dan rasio AMH sudah melebihi target 100 persen. Di samping itu, walaupun tanpa target kuantitatif, Indikator 3.2 dan 3.3. menunjukkan arah kecenderungan yang sudah sesuai dengan harapan. Keterlibatan perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian meningkat dari persen pada tahun 1990 menjadi persen di tahun 2013 dan keterwakilan di DPR meningkat dari persen pada tahun 1990 menjadi persen, pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014.

71 51 Kecenderungan empat indikator yang merupakan komponen dari Indikator 3.1 di bidang pendidikan untuk menilai capaian Tujuan 3 MDGs dalam periode tahun 2000 sampai 2013 sangat bervariasi, tetapi sejak tahun 2011 semuanya menuju arah yang positif, kecuali rasio APM SMA (Gambar 3.2). Rasio APM SMA mengalami sedikit penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2011, namun kembali meningkat pada tahun Berdasarkan perkembangan pada periode tersebut dapat diduga bahwa status capaian indikator 3.1 akan dapat bertahan sampai tahun Hal yang perlu dicatat dari kecenderungan yang terjadi pada tahun adalah terus melajunya rasio APM pada jenjang SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hal ini berarti terus menurunnya APM laki-laki dibanding perempuan. Oleh karena itu motivasi terhadap pendidikan anak perempuan perlu dibarengi dengan motivasi terhadap pendidikan untuk anak laki-laki juga, agar ada keseimbangan antara pendidikan laki-laki dan perempuan di masa mendatang Pada periode tahun , kecenderungan nilai kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian, berfluktuasi pada kisaran 31.5 persen (tahun 2004) sampai 37.1 persen (tahun 2009), lihat Gambar 3.3. Walaupun meningkat dibandingkan dengan angka tahun dasar 1990, kontribusi perempuan yang menurun sejak tahun 2009, kurang mendukung percepatan capaian nilai indikator ini di masa mendatang. Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun. Gambar 3.2. Kecenderungan Rasio APM Perempuan terhadap Laki-laki menurut Jenjang Pendidikan, Tahun Gambar 3.3. Kecenderungan Kontribusi Perempuan dalam Kerja Upahan di Sektor Non- Pertanian, Tahun Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun.

72 52 Kecenderungan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional terus meningkat, walaupun berfluktuasi (Gambar 3.4.) Sejak ditetapkannya keanggotaan legislatif periode tahun 1950, sudah ada perempuan yang menduduki kursi di DPR, walaupun masih sangat sedikit (3.8 persen). Setelah dikeluarkannya Undang-undang Pemilu Tahun 2003, keterwakilan perempuan terus meningkat sampai Pemilu tahun 2009 sebelum menurun lagi sedikit pada Pemilu Sumber: KPU. Gambar 3.4. Kecenderungan Keterwakilan Perempuan dalam DPR menurut Periode Pemilihan, Tahun Beberapa partai politik tertentu telah memperhatikan anjuran seperti apa yang tercantum pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277 dalam Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan bahwa Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.... Namun beberapa partai politik lainnya baru tergerak untuk mencalonkan perempuan pada Pemilu tahun 2014 yang ternyata hanya sebagian saja terpilih. Bila dibandingkan dengan jumlah anggota DPR tingkat nasional yang terpilih dalam Pemilu 2009, yaitu 18,40 persen, maka keanggotaan perempuan yang terpilih dalam lembaga legislatif tahun 2014 menurun 1,10 persen menjadi 17,30 persen. Tanpa dibarengi dengan pendidikan politik yang komprehensif bagi perempuan, ternyata affirmative action sebesar 30 persen untuk keanggotaan perempuan di DPR kurang memenuhi harapan. Kesenjangan Rasio APM Keberhasilan capaian rasio APM pada tingkat nasional seperti yang disajikan di Gambar 3.2 tidak selalu diikuti dengan keberhasilan di tingkat lokal. Nilai indikatornya bervariasi antar-wilayah perdesaan/ perkotaan, antar-provinsi, dan antar-golongan ekonomi. Mulai jenjang SD sampai perguruan tinggi, ketersediaan gedung sekolah lebih langka di daerah perdesaan daripada di daerah perkotaan. Walaupun begitu hal ini tidak menjadi halangan perempuan untuk mengakses pendidikan sama dengan laki-laki. Nilai indikator rasio APM SD di perdesaan hampir sama dengan nilai di perkotaan, sedangkan pada jenjang yang lebih tinggi rasio APM lebih dari 100 persen, yang berarti lebih banyak perempuan di perdesaan yang bersekolah pada umur yang sesuai daripada laki-laki (Tabel 3.2.)

73 53 Tabel 3.1. Rasio APM menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Wilayah, Tahun 2013 Rasio APM Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Sumber: BPS, Susenas triwulan I tahun 2013 Tidak seperti ketimpangan pada jejang sekolah yang lebih tinggi, ketimpangan rasio APM SD antarprovinsi tidak signifkan. Sementara itu, ketimpangan gender dalam partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan SMP ke atas memperlihatkan adanya keberpihakan provinsi tertentu kepada laki-laki maupun perempuan. Kalau dari seluruh provinsi di Indonesia dipilih enam provisi yang bias kepada laki-laki atau kepada perempuan maka gambaran keberpihakan terlihat pada Tabel 3.3. Jenjang sekolah Tabel 3.2. Daftar Provinsi yang Mempunyai Bias Gender Terbesar Berdasarkan Rasio APM, 2012 Bias kepada laki-laki Bias kepada perempuan Provinsi Rasio APM Provinsi Rasio APM SMP Papua Barat Sulawesi Barat DKI Jakarta Sulawesi Tenggara Riau Sumatera Barat SMA Papua Barat Gorontalo Papua Sumatera Barat DKI Jakarta Sulawesi Tengah Perguruan Tinggi NTB Bangka Belitung Sumber: BPS, Susenas 2012 Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Papua Aceh Ditinjau dari golongan pengeluaran, ternyata bahwa keberpihakan rumah tangga terkaya (20 persen golongan teratas) lebih diberikan kepada laki-laki. Pada jenjang SD, rasio APM-SD pada semua golongan ada di sekitar angka 100 (Tabel 3.4), namun hal yang tidak sama terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rasio APM SMP dan SMA dari golongan termiskin lebih besar dari rasio APM dari golongan menengah dan terkaya, yang berarti bahwa pada kelompok miskin partisipasi perempuan pada jenjang pendidikan tersebut lebih diperhatikan daripada laki-laki. Berkaitan dengan pendidikan tinggi, golongan terkaya pun lebih memilih untuk mengirim anak laki-laki kuliah ke perguruan tinggi tetapi golongan menengah ke bawah lebih mementingkan anak perempuannya yang masuk perguruan tinggi.

74 54 Tabel 3.3. Rasio APM Per Jenjang Pendidikan menurut Golongan Pengeluaran, Tahun 2013 Kesenjangan pendidikan Termiskin (40% terendah) Menengah (40% ditengah) Terkaya (20% teratas) Rasio APM-SD Rasio APM-SMP Rasio APM-SMA Rasio APM-P. Tinggi Sumber: BPS, Susenas triwulan I tahun 2013 Gambaran tentang variasi rasio APM pada setiap jenjang pendidikan menurut tipe wilayah (perkotaan/ perdesaan) dan golongan ekonomi (termiskin/40 persen pendapatan terendah, menengah/40 persen pendapatan sedang dan terkaya/20 persen pendapatan teratas) dapat dilihat dari Gambar 3.5. Seperti telah disinggung sebelumnya, ada kesamaan pola angka Rasio APM pada semua jenjang sekolah, yaitu kelompok masyarakat kaya lebih memilih anaknya laki-laki yang bersekolah, sedangkan masyarakat miskin lebih memilih anaknya yang perempuan mengikuti pendidikan. Gambar 3.5. Rasio AMP menurut Jenjang Sekolah, Tipe Wilayah dan Status Ekonomi Sumber: BPS, Susenas Kesenjangan Rasio AMH Berkaitan dengan angka melek huruf yang dirinci menurut jenis kelamin, terdapat variasi antarprovinsi yang lebar. Pada kelompok usia penduduk tahun, di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat lebih

75 55 banyak laki-laki yang melek huruf daripada perempuan dengan rasio-amh masing-masing persen dan persen. Sementara itu di DI Yogyakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan hal sebaliknya terjadi. Rasio AMH di dua provinsi tersebut masing-masing adalah persen dan persen. Variasi angka melek huruf kelompok remaja seperti juga indikator pendidikan lainnya di Proinsi Papua dan Papua Barat pada umumnya, terjadi antardesa/kota, antarkelompok kaya/miskin dan antarpendidikan ibu. Ketersediaan sekolah di berbagai jenjang pendidikan di wilayah pedesaan secara historis lebih langka daripada di wilayah perkotaan. Hal ini menyebabkan banyaknya remaja buta huruf lebih terkonsentrasi di daerah pedesaan. Hasil pendataan MICS di lima kabupaten di Tanah Papua juga menunjukkan bahwa angka buta aksara remaja di sana sangat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga dan pendidikan ibunya (Unicef, 2012). Sumber: BPS, Susenas Triwulan I Tahun 2013 Gambar 3.6. Rasio AMH Perempuan terhadap AMH Laki-laki menurut Provinsi, 2013 Pada tingkat nasional, variasi rasio AMH antar-tipe wilayah (perkotaan/perdesaan) dan antar-golongan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.7. Rasio AMH remaja berusia tahun hampir tidak berbeda antar-tipe wilayah maupun antar-golongan ekonomi. Semuanya berada pada sekitar angka 100; ini berarti bahwa melek aksara sudah merata di antara remaja laki-laki/perempuan, di kota/desa, dan kelompok kaya/miskin. Gambar 3.7. Rasio AMH menurut Tipe Wilayah dan Status Ekonomi

76 56 Kesenjangan Kontribusi dalam Kerja Upahan Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian juga bervariasi antarprovinsi, antardesa/kota, dan antargolongan ekonomi. Bila dirinci menurut provinsi, angkanya berkisar antara 44.7 persen (Gorontalo) dan 25.1 (Papua), sedangkan posisi nasional ada di angka 5.1 persen (Gambar 3.5). Karena menyangkut sektor non-pertanian, maka kontribusi perempuan kota lebih besar dari kontribusi perempuan pedesaan. Walaupun begitu, pada periode tahun , kesenjangan antara wilayah perdesaan dari perkotaan makin menyempit. Menurut hasil Sakernas perbedaan kontribusi perempuan dalam kerja upahan antara dua tipe wilayah itu turun dari 2.9 persen pada tahun 2012 menjadi 2.0 persen pada tahun Apabila pengelompokan didasarkan pada golongan pengeluaran, maka perbedaan kontribusi perempuan lebih besar pada golongan terkaya, yaitu sekitar persen daripada golongan termiskin yang angkanya hanya berkisar persen. Di samping dari sisi jumlah, kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian yang rendah, terdapat kesenjangan upah yang diterima pekerja perempuan dibandingkan laki-laki. Rata-rata upah buruh perempuan per bulan pada tahun 2013 di sektor formal adalah Rp 1,427,400.- hanya sekitar 69 persen dari jumlah yang diterima laki-laki, yaitu Rp 2,061, Sumber: BPS, Sakernas 2013 Gambar 3.8 Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non- Pertanian, Tahun 2013 Keterbatasan pasar kerja formal di sektor non-pertanian, tidak menghalagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pasar kerja melalui jalur informal. Sebagai contoh, kontribusi perempuan secara total di sektor perdagangan (formal dan informal) sudah mencapai 50 persen, sementara itu di sektor jasa mencapai 47 persen dan di sektor industri 42 persen. Namun demikian keterbatasan lapangan kerja formal tersebut di beberapa tempat masih memicu maraknya perdagangan orang, yang umumnya memakai modus operandi mencarikan pekerjaan yang lebih baik di lain tempat. Jumlah yang pasti tentang berapa orang yang diperdagangkan tidak diketahui, namun dari urutan daftar TPPO yang dipulangkan pada periode tahun tergambar bahwa banyak di antara mereka berasal dari Jawa Barat (276 orang), Jawa Tengah (142 orang) dan NTT (78 orang). Dari seluruh korban TPPO yang dipulangkan sebagian besar, hampir 70 persen adalah perempuan (8.38 persen anak-

77 57 anak dan persen dewasa). Rincian daftar korban TPPO yang dipulangkan secara lengkap disajikan di Tabel 3.5. Perdagangan orang tidak hanya terjadi dalam lingkup dalam negeri tetapi melintasi batas ke luar negeri. Pada tahun 2012 kasus yang ditangani kedutaan RI sebanyak 315 yang pada tahun itu hanya dapat diselesaikan 60 kasus, sedangkan yang lainnya masih dalam proses penyelesaian. Kasus perdagangan orang yang paling banyak terungkap dan tertangani oleh perwakilan KBRI/KJRI adalah di Kualalumpur (124 orang) dan Amman (105 orang). Dengan pesatnya kemajuan tehnologi komunikasi saat ini, kegiatan para calo TPPO semakin bebas. Kegiataan mereka semakin tidak kentara karena tidak selalu ada kontak langsung antara pelaku dan korban. Komunikasi untuk bernegosiasi mereka lakukan melalui telpon atau media internet dan transaksi uang kalau diperlukan dilakukan melalui ATM. Bahkan para korban dapat dipandu para calo sampai ke tempat tujuan hanya dengan melalui telpon, tanpa diketahui oleh orang lain. Tabel 3.4 Korban TPPO yang Dipulangkan dan Didampingi IOM, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ( ) Jenis Kelamin Usia Grand Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) Perempuan Anak Dewasa Laki-laki Anak Dewasa Grand Total Sumber : ATFF Tahun 2012 Sumber : Bareskrim Polri Gambar 3.9 Jumlah Korban TPPO yang diproses, Bila dilihat dari jumlah korban yang sedang diproses, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, terlihat kecenderungan jumlah korban yang menurun (Gambar 3. 9). Selama tiga tahun tersebut jumlah korban TPPO yang

78 58 tercatat adalah 755 orang yang umumnya adalah perempuan-- dewasa dan anak-anak. Komposisinya adalah perempuan sebanyak 84% ( dewasa 55 persen dan anak-anak 29 persen) sedangkan laki-laki hanya sebanyak 16 persen (15 persen dewasa dan 1 persen anak-anak) Di samping memicu tingginya angka perdagangan orang, terbatasnya pasar kerja formal juga menyebabkan meningkatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang sebagian menimbulkan banyak masalah. Tidak seperti TKI di sektor formal, masalah yang dihadapai TKI di sektor non-formal sangat memprihatinkan dan banyak menyita perhatian dari berbagai komponen masyarakat. TKI yang bekerja di sektor informal mempunyai banyak permasalahan, antara lain karena faktor-faktor berikut: 1. Kualitas tenaga kerja Umumnya berpendidikan rendah sehingga kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai TKI. 2. Jenis pekerjaan Umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh perkebunan, sehingga sulit dipantau keberadaannya. 3. Rekrutmen tidak sesuai aturan Banyak pelanggaran aturan sejak pengisian formulir perjanjian kerja, pra penempatan, masa penempatan maupun purna penempatan. 4. Kurangnya perlindungan Koordinasi perlindungan TKI antar stakeholder, seperti antara KBRI/KJRI dengan kabupaten/kota pengirim TKI, masih lemah. Belum ada mekanisme penyelesaian kasus yang efektif seperti, upah rendah bahkan tidak dibayar, mengalami penyiksaan atau perkosaan, PHK sepihak, dan ketidaksesuaian kondisi ketenegakerjaan dengan perjanjian kerja. 5. Sistem informasi tentang TKI yang lemah Belum tertatanya system informasi yang memungkinkan adanya pemantauan terhadap kondisi para TKI. 6. Jaminan terhadap keluarga Terutama anak-anak yang turut tinggal di luar negeri, banyak yang berstatus ilegal sehingga tidak memperoleh akses pelayanan dasar. Perempuan yang tidak bekerja cenderung menjadi sasaran KDRT. Data kekerasan yang dikompilasi dari sistim pencatatan pelaporan dari 32 Provinsi dan Kab/Kota per Januari 2013 adalah 20,430 kasus. Sebagian besar korban, hampir 90 persen (18,718 Kasus) adalah perempuan tidak bekarja, dengan status menikah (45.72 persen),mempunyai pendidikan (SLTA persen), dengan rata-rata usia tahun, serta umumnya tercatat mengalami kekerasan fisik. Kesenjangan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif Berkaitan dengan keanggotaan di DPR/DPRD, hanya di dua provinsi yang perlu mendapat pujian, yaitu di DPRD Provinsi Maluku yang mempunyai keterwakilan perempuan sebanyak persen dan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah anggota perempuan yang mendekati anjuran, yaitu persen. Seperti halnya di tingkat nasional, keterwakilan perempuan di daerah sangat jauh dari jumlah yang dianjurkan. Masih terdapat 10 persen dari 490 kabupaten/kota tidak memiliki keterwakilan perempuan di legislatif daerah. Pada lembaga yang mengatur pemilihan umum, yaitu KPU, keanggotaan perempuan hanya 14 persen. Kurangnya keterwakilan perempuan ini menyebabkan peraturan daerah yang disusun kurang responsif

79 59 gender. Hal ini dibuktikan dengan masih terdapatnya kurang lebih 200 Perda yang Diskriminatif (Sumber Data: Komnas Perempuan 2013). Sumber: BPS; Keterangan: Data anggota DPR tingkat nasional adalah data pada akhir tahun 2013 Gambar 3.10 Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di DPR, 2012 Kotak 3.1: Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan 30 Persen di Lembaga Legislatif pada Tahun 2013 Kota Depok Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Kab Minahasa Utara Kab Minahasa Tenggara Kota Tomohon Kota Kendari Berkaitan dengan peran dalam pengambilan keputusan di sektor publik lainnya, seperti di bidang legislatif, perempuan sedikit sekali yang memegang kendali di bidang yudikatif dan eksekutif. Keterwakilan perempuan di lima lembaga yudikatif dan lembaga hukum lainnya antara lain di Mahkamah Agung (12 persen), 11 persen di Mahkamah Konstitusi, dan tidak ada perempuan satu pun sebagai anggota di Komisi Yudisial dan KPK. Di tingkat nasional jumlah pejabat Eselon I perempuan ada persen dan jumlah pejabat Eselon II perempuan ada persen, sementara keterwakilan perempuan di jajaran atas eksekutif dapat diperlihatkan, sebagai berikut: a. Satu orang Gubernur dari 33 Gubernur/Kada; b. Tigapuluh delapanperempuan menjadi Bupati/Walikota atau 7.6 persen dari 497 kabupaten/kota; c. Lima perempuan menjadi menteri/wakil menteri atau mencapai 11 persen dari 56 menteri/wakil menteri atau setingkat menteri. Kesenjangan kualitatif masih diperlihatkan pada komunitas perempuan yang belum siap berkompetisi dengan laki-laki baik karena faktor biologis, sosiologis maupun kultural, sehingga perlu adanya pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan.

80 60 Kotak 3.2: Upaya Penyediaan Data Gender Dan Anak Melalui Publikasi: Profil Perempuan Indonesia; Profil Anak Indonesia; Dan Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin menjadi suatu keniscayaan; khususnya terkait dengan keharusan melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG) diseluruh bidang pembangunan tingkat nasional maupun daerah (Inpres No.9/2000). Ini adalah sebagai respons Indonesia terhadap the Beijing Platform for Action, yang merupakan hasil kesepakatan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin diperlukan sebagai input analisis gender yang merupakan salah satu unsur penting dalam melaksanakan PUG. Data terpilah menurut jenis kelamin antara lain memberikan : (i) indentifikasi perbedaan (kondisi/progress) keadaan perempuan dan laki-laki dalam konteks tempat dan waktu (ii) gambaran umum dampak dari intervensi pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki; bahan untuk evaluasi, monitor, outcome; (iii) informasi dan dampak dari suatu keadaan (iv) identifikasi masalah, membangun opsi dan memilih opsi yang paling efektif untuk kemaslahatan perempuan dan laki-laki; (v) dasar untuk alokasi sumberdaya yang adil dan lebih terfokus, (vi) input penting untuk melakukan analisis gender dalam rangka melaksanakan PUG. Dalam rangka ketersediaan data terpilah Kementerian menerbitkan Profil Perempuan Indonesia, Profil Anak Indonesia, dan Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Publikasi tersebut diterbitkan setiap tahun sejak tahun 2010, dengan menyajikan data dan analisis terkait kondisi laki-laki, perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan. Sebagian besar data yang digunakan bersumber dari hasil sensus dan survei yang dilakukan BPS, yaitu Sensus Penduduk, Susenas dan Sakernas. Untuk Profil Perempuan dan Profil Anak menyajikan data sampai tingkat provinsi, sedangkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender menyajikan data sampai tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Profil Perempuan Indonesia berisi tentang data perempuan dan laki-laki di berbagai bidang pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik dan pengambilan keputusan, serta data kekerasan. Profil Anak Indonesia berisi tentang data anak yang terbagi dalam 5 cluster terkait pemenuhan hak anak, yaitu 1). lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (antara lain berisi tentang data anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya, dan anak-anak yang hanya tinggal dengan salah satu orang tuanya atau dengan orang lain); 2). hak sipil dan kebebasan (antara lain berisi tentang data kepemilikan akte kelahiran dan akses terhadap informasi dan komunikasi); 3). kesehatan dasar dan kesejahteraan (antara lain berisi tentang data anak yang mengalami keluhan kesakitan dan pengobatan serta pemberian ASI); 4). pendidikan (antara lain berisi tentang data status pendidikan anak dan anak putus sekolah; serta 5). perlindungan khusus (berisi data anak bermasalah hukum, anak yang mengalami kesulitan fungsional dan pekerja anak). Sedangkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender menyajikan indikator komposit, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) beserta datadata variabel pembentuknya dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Publikasi ini juga menyajikan analisis disparitas antar wilayah.

81 61 Kotak 3.3. Pelaksanaan Stranas Percepatan PUG melalui Perencanaan Pembangunan yang Responsif Gender (PPRG) Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG bertujuan untuk percepatan pelaksanaan pengarusutamaan gender sesuai RPJMN yang sekaligus menunjang pencapaian kepemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkelanjutan serta pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), sehingga pelaksanaan PPRG menjadi lebih terarah, sistematis dan sinergis Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempercepat pelaksanaan PUG di berbagai bidang pembangunan. Hasil evaluasi pelaksanaan PPRG (Bappenas, 2011) di tujuh K/L (KPP&PA, Kementerian Keuangan, Kementerian PU, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian PPN/Bappenas) telah menunjukkan kemajuan dengan terbentuknya kelembagaan PUG dan pelaksanaan PPRG. Pelaksanaan PPRG di empat provinsi (Banten, DI Yogyakarta, Jateng, Jatim) telah berjalan dengan baik. Beberapa hal yang menjadi tantangan ke depan adalah: (i) perspektif kesetaraan gender perlu ditingkatkan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional, maupun daerah. (ii) koordinasi antar instasi penggerak masih perlu ditingkatkan, (iii) perlu penguatan dasar hukum PPRG dan mekanisme pemantauan dan evaluasi, serta (iv) perlu penguatan kapasitas instansi pelaksana PPRG. Terkait dengan pelaksanaan PPRG di daerah, telah ada 5 (lima) provinsi yang turut melaksanakan PPRG dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur/Instruksi Gubernur diantaranya, Banten, DIY Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kep. Riau, dan Sulawesi Tengah. Namun demikian hampir seluruh provinsi sudah mengintegrasikan gender dalam program dan kegiatannya, meski belum didukung oleh peraturan daerah. Keberhasilan ini umumnya didukung oleh komitmen Gubernur serta inisiatif dan keaktifan instansi penggerak PPRG. Sementara itu, kebijakan PPRG ke depan diarahkan pada: (1) Pelembagaan PPRG dengan membangun komitmen pejabat tertinggi dan tinggi K/L dan Pemerintah Daerah; (2) Koordinasi instansi penggerak dengan K/L teknis dan SKPD teknis; dan (3) Peningkatan kapasitas K/L dalam melakukan analisis gender untuk menyusun Lembar ARG. Dalam rangka penerapan PPRG di Daerah, Kementerian Dalam Negeri, menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2014 telah memasukkan Strategi Nasional ini sebagai salah satu dokumen yang menjadi rujukan. Kementerian PP dan PA telah mengeluarkan Permen PP dan PA No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi PPRG sebagai alat bagi SKPD dalam memantau seluruh pelaksanaan program dan kegiatan yang responsif gender mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan tahap hasil dari PPRG.

82 62 TANTANGAN Dari tiga kelompok indikator --pendidikan, ketenagakerjaan dan keterwakilan di DPR--yang capaiannya sudah sesuai dengan harapan, laju percepatan dua indikator yang terakhir disebutkan adalah yang sangat lamban. Masih perlu adanya upaya yang yang efektif dan efisien untuk memacunya. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian memang meningkat, tetapi peningkatannya masih rendah; dalam jangka waktu 22 tahun pertumbuhannya hanya 6.53 persen. Di samping itu juga terdapat kesenjangan upah yang diterima pekerja perempuan dibandingkan lakilaki. Rata-rata upah buruh perempuan per bulan di sektor formal hanya sekitar 79 persen dari jumlah yang diterima laki-laki. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut di atas, antara lain, a) rendahnya kesempatan perempuan dalam memperoleh pekerjaan formal terkait dengan rendahnya control perempuan dalam rekrutmen pegawai, dan b) masih lemahnya regulasi terkait kesetaraan upah tenaga kerja perempuan. Dampak dari rendahnya penyerapan kerja di sektor formal adalah antara lain, adalah mengalirnya tenaga kerja ke luar negeri serta maraknya tindak pidana perdagangan orang yang makin tersembunyi. Di samping itu rendahnya posisi tawar dalam keputusan rumah tangga dari perempuan yang tidak bekerja, cenderung memicu adanya KDRT. Keterwakilan perempuan dalam bidang legislatif sudah terlihat ada peningkatan di tingkat nasional, namum laju peningkatannya masih sangat rendah. Walaupun di tingkat lokal sudah ada dua DPRD provinsi yang mempunyai anggota perempuan sekitar 30 persen,namun di tingkat kabupaten/kota, masih ada 49 DPRD yang belum mempunyai anggota perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa peraturan perundangan yang diterbitkan sejak tahun 2003 yang menganjurkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen belum mendapatkan perhatian penuh dari para pimpinan partai politik. Dari uraian tersebut di atas tantangan yang dihadapi dalam mencapai Tujuan 3 MDGs adalah: 1. Mindset para pengambil keputusan masih menginterpretasikan bahwa gender sebagai program perempuan dan produk barat sehingga mereka masih bias gender dan diskriminatif, 2. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender belum konseptual sekaligus kontekstual dengan isuisu internasional, nasional serta tematik dalam seluruh bidang-bidang pembangunan baik yang merupakan kewenanngan pusat, maupun daerah dengan kompleksnya desentaralisasi serta otonomi daerah, 3. Upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak yang belum optimal, apalagi isu globalisasi tentang TPPO dan kekerasan yang semakin komplek dan beragam baik meliputi kekerasan fisik, psikis, eksploitasi, penelantaran serta lainnya, 4. Upaya pendidikan politik bagi calon politisi perempuan dan pendidikan gender bagi politisi laki-laki masih menghadapi banyak hambatan. KEBIJAKAN 1. SE Menakertrans No. 60/MEN/SJ- HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia/EEO, 2. SK Menakertrans No. 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan (Task Force Equal Employment) 3. UU No No. 80 Tahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 Mengenai Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita 4. UU Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

83 63 5. Surat EdaranMenteri Perencanaan Pembangunan/Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: NOMOR : 270/M.PPN/11/2012, NOMOR : SE-33/MK.02/2012, NOMOR : 050/4379A/SJ, dan NOMOR : SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui PPRG. STRA EGI NASIONAL PERCEPATAN UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Di samping mengawal implementasi kebijakan yang sudah digariskan, secara umum upaya percepatan pencapaian MDGs adalah a) Menguatkan peran 3 Kelembagaan (Kementerian PP-PA, Kementerian KUMHAM, dan Kemendagri) untuk pengintegrasian gender dalam pembentukan Peraturan Per-UU melalui parameter kesetaraan gender, b) Penguatan kapasitas SDM, telaah kebijakan pembangunan dan rencana aksi yang lebih konkrit baik dilakukan oleh eksekutif, legislative, yudikatif maupun masyarakat, serta c) Memperkuat kelembagaan perlindungan perempuan dan anak melalui pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan. Sementara itu, secara khusus upaya yang terkait dengan masing-masing indikator diuraikan berikut. Kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian Mendorong terbitnya petunjuk teknis/regulasi terkait kesetaraan upah tenaga kerja perempuan: 1. SE Menakertrans No. 60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia/EEO, 2. SK Menakertrans No. 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan (Task Force Equal Employment) 3. UU No No. 80 Tahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita TPPO Percepatan upaya pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dilakukan melalui pembentukan lembaga koordinatif Gugus Tugas. Untuk itu Kementerian PP dan PA mendorong terbitnya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) mengatur: 1. Keanggotaan, struktur organisasi, mekanisme koordinasi, dan pemantauan. Anggota Gugus Tugas PPTPPO terdiri dari masyarakat, organisasi masyarakat, Perguruan Tingggi, dan Profesional. 2. Gugus Tugas PPTPPO dibentuk di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Data Sekretratiat Gugus Tugas PPTPPO Tingkat Pusat menyebutkan bahwa sudah terbentuk 29 Gugus Tugas PPTPPO tingkat provinsi dan 163 Gugus Tugas PPTPPO tingkat kabupaten/kota. Pembentukan Sub Gugus Tugas Pencegahan dan Partisipasi Anak bertujuan untuk mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA. Berdasarkan RAN PP TPPO, Sub Gugus Tugas Pencegahan dan Partisipasi Anak mempunyai target atau output yaitu: terbentuknya sistem pengawasan yang efektif dalam upaya pencegahan TPPO dan ESA; menurunnya jumlah kasus TPPO dan ESA; meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencegah praktek TPPO dan ESA; dan mengarusutamakan gender dan hak anak dalam upaya pencegahan TKI Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI: 1. Melakukan advokasi dan sosialisasi guna penerapan Modul Penguatan Mental TKI di 12 provinsi dan 34 kabupaten/kota pengirim TKI.

84 64 2. Melakukan advokasi dan sosialisasi penerapan Kebijakan Bina Keluarga TKI di 8 provinsi dan 27 kabupaten/kota kantong utama pengirim TKI. 3. Menerapkan 3 Panduan Praktis bagi keluarga TKI di 12 provinsi dan 34 kabupaten/kota. 4. Mensosialisasikan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri di 16 provinsi daerah pengirim TKI dan daerah transit. 5. Menerapkan Instrumen Pencatatan Pelangaran Hak TKI Perempuan di 8 provinsi daerah embarkasi dan debarkasi. KDRT 1. Sosialisasi UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, 2. Evaluasi Pelaksanaan UU NO 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, 3. MOU dengan 6 K/L (KPP PA, Komnas Perempuan, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Peradi) tentang Akses Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan, 4. Inisiasi pelaksanaan sistim Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan, 5. PP Nomor 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Penanganan dan Pemulihan Kekerasan terhadap Perempuan. 6. SPM Bidang Layanan Terpadu Permeneg PP No.1 tahun 2010 (SOP pelaksanaaan SPM, Sistem pencatatan dan pelaporan, dan costing): disampaikan ke kabupaten kota. Kompilasi di provinsi kemudian disampaikan laporannya ke pusat. 7. Evaluasi pelaksaan SPM Permen PP PA No.01 Tahun 2010 Provinsi dan Kabupaten Kota 8. Penguatan mekanisme koordinasi pencapaian target SPM dengan Kemenkes dalam pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Sosial (Kemensos) serta Dalam proses hokum dengan instansi Kepolisian, Kekajsaan Agung, Mahkamah Agung dan Kementerian Agama. 9. Perda provinsi dan kabupaten/kota tentang penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan 10. Advokasi terbentuknya regulasi di Pemda dalam rangka Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Korban KDRT 11. Mendorong terbentuknya lembaga layanan korban kekerasan, baik yang berbasis pemerintah, maupun swasta termasuk alikasi anggarannya oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai wujud dari upaya ini, sampai saat ini telah terbentuk: a. P2TP2A (Pusat pelayanan terpadu pemmberdayaan perempuan dan anak) di 33 Provinsi dan 242 kab/kota, b. Lembaga layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit sebanyak 22 unit di seluruh Indonesia. c. UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di 456 di kepolisian (Polda dan Polres). d. PPT/PKT(Pusat Pelayanan Terpadu/Pusat Krisis Terpadu) di sebanyak 22 RS. e. Rumah Perlindunagn Sosial Anak 22 Provinsi, serta f. Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan sebanyak Peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik Melakukan langkah strategis dalam upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, dengan melakukan pembenahan aspek peraturan perundangan terkait politik dan pengambilan keputusan yang mendukung keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif dan yudikatif antara lain: - UU No.2 tahun 2011 tentang partai politik, yang telah mengakomodasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik. - UU No.15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, yang telah mengakomodasi 30 persen keterwakilan perempuan di KPU dan KPUD. - UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD yang telah mengakomodasi 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Ketiga undang-undang ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi kementerian/lembaga dalam meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan.

85 TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Sumber: UNDP Indonesia

86 Sumber: UNDP Indonesia

87 67 TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK TARGET 4A MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BALITA (AKBA) HINGGA DUA PER TIGA DALAM KURUN WAKTU Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 4.1 Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000 kelahiran hidup 97 (1991) 40 (2012) Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup 68 (1991) 32 (2012) 23 BPS, SDKI 4.2a Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup 32 (1991) 19 (2012) Menurun 4.3 Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak 44,50% (1991)* 74,20 % (2013)* Meningkat *BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Angka Kematian Balita dan Kematian Bayi telah mengalami penurunan tajam tetapi diperkirakan masih belum mencapai target MDG pada tahun 2015 Angka Kematian Neonatal turun, tetapi sejak tahun 2007 tidak mengalami penurunan Kematian Neonatal memberikan kontribusi yang besar bagi kematian Bayi dan Balita Target persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak telah tercapai Terjadi disparitas yang konsisten dalam pencapaian MDG 4 antarprovinsi tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan Angka Kematian Balita (AKBa) telah turun sebesar 58.8% dari 97 pada tahun 1991 menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun Namun demikian, masih diperlukan upaya keras untuk dapat mencapai target MDG 4 sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Dengan tren seperti ini, target MDG pada tahun 2015 diperkirakan tidak dapat tercapai, terutama karena kedua indikator tersebut sudah mencapai tahap yang sulit untuk diturunkan (hard rock). Sementara itu Angka Kematian Bayi (AKB) turun sebesar 52.5 persen pada kurun waktu yang sama. Seperti pada AKBa, penurunan ini masih perlu upaya keras untuk mencapai target 23 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Neonatal (AKN) turun sebesar 37.5 persen sampai

88 68 dengan tahun 2003, dari 32 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 pada tahun 2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun Gambar 4.1. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun Sebelum Survei, Tahun (SDKI) Sumber: SDKI berbagai tahun Antara tahun 1991 sampai dengan 2003, AKBa dan AKB menurun cukup tajam, tetapi sesudah itu penurunan terjadi lebih lambat sampai dengan tahun Penurunan AKBa terutama disebabkan oleh kontribusi penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), yang menurun dengan cepat antara tahun 1991 sampai tahun 2003 dan selanjutnya melambat sampai tahun Perlu juga mendapatkan perhatian bahwa kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi diukur untuk periode 10 tahun sebelum survei sehingga tidak sepenuhnya menggambarkan pencapaian upaya terkini. Analisis terhadap tren penurunan AKBa dan AKB yang melambat sejak tahun 2003 perlu dilihat setidaknya dari dua aspek: 1. Aspek periode life-cycle, terutama periode neonatal (0-28 hari), periode bayi usia 1-11 bulan dan anak balita usia 1-5 tahun, oleh karena faktor yang mempengaruhi dan program untuk ketiga periode life-cycle tersbut mempunyai arti dan implikasi yang berbeda; dan 2. Aspek disparitas berdasarkan berbagai variabel, yaitu provinsi, tempat tinggal, pendidikan, kuintil kekayaan, dan variabel lainnya. Kemiskinan merupakan faktor mendasar yang sangat penting yang berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tingginya faktor risiko lain pada kelompok miskin seringkali sejalan dengan status kesehatan yang buruk dan kematian bayi dan anak yang tinggi. Oleh karena itu, analisis terhadap disparitas terkait kemiskinan dan faktor determinan lainnya perlu dilakukan. Periode neonatal (bayi 0-28 hari) Masih tingginya kematian neonatal secara global dan pentingnya kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi telah mendorong ditetapkannya Every Newborn Initiative baru-baru ini oleh WHO untuk menghentikan kematian yang dapat dicegah. Kematian neonatal perlu dianalisis secara lebih mendalam karena kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan anak balita sangat tinggi. Gambar 2 menunjukkan bahwa kematian bayi dan balita yang terjadi pada periode neonatal proporsinya sangat besar. Bila dibandingkan dengan sebelumnya, proporsi

89 69 kematian neonatal terhadap kematian anak balita meningkat, dari 33 persen pada tahun 1991, meningkat tajam sampai tahun 1999, kemudian menurun sedikit dan naik lagi menjadi 47.5 persen pada tahun Demikian pula proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi meningkat dari 47.1 persen pada tahun 1991 menjadi 59.4 persen pada tahun Sementara itu, proporsi kematian bayi terhadap kematian balita sangat tinggi, 70 persen pada tahun 1991 menjadi 80 persen pada tahun Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa penurunan kematian neonatal yang signifikan, target MDG 4 akan sulit dicapai. Diperkirakan bahwa dengan menurunkan AKN sebesar 50 persen akan bisa menurunkan AKB sebesar 30 persen dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup dan menurunkan AKBa sebesar 23.5 persen dari 40 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Gambar 4.2. Tren Proporsi Kematian Neonatal terhadap Kematian Bayi dan Balita, Proporsi Kematian Bayi terhadap Kematian Balita (SDKI berbagai tahun) Sumber: BPS, SDKI berbagai tahun Tren dan Disparitas Kematian Neonatal, Bayi dan Balita Menurut Provinsi Kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi (yang merupakan angka 10 tahun sebelum survei) pada umumnya mengalami penurunan antara tahun 2007 dan Walaupiun demikian, masih terjadi kenaikan angka kematian neotanal di 13 provinsi yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Kenaikan yang sangat tajam terjadi di Aceh dan Papua Barat. Kematian bayi dan balita di tingkat provinsi juga sebagian besar mengalami penurunan. Tetapi di sembilan provinsi yaitu Gorontalo, Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan DI Aceh, kematian bayi dan balita (kecuali di Sulawesi Tenggara) justru mengalami kenaikan. Disparitas tingkat kematian neonatal, bayi dan balita antar provinsi masih tetap tinggi. Pada tahun 2012, kematian neonatal terendah adalah 12 per 1000 kelahiran hidup di Kalimantan Timur dan tertingi adalah 37 per 1000 kelahiran hidup di Maluku Utara. Kematian bayi, terendah adalah 21 per 1000 kelahiran hidup di Kalimantan Timur dan tertinggi 74 per 1000 kelahiran hidup di Papua Barat. Sedangkan angka kematian balita terendah adalah 28 per 1000 kelahiran hidup di Riau dan tertinggi 115 per 1000 kelahiran hidup di Papua. Bahkan di Pulau Jawa dengan kondisi ekonomi dan akses pelayanan kesehatan yang relatif baik dan merata, disparitas antarprovinsi masih cukup lebar yaitu dari 14 per 1000 kelahiran hidup di Jawa Timur sampai dengan 23 per 1000 kelahiran hidup di Banten. Disparitas serupa juga terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

90 70 Tabel 4.1. Angka kematian anak menurut provinsi Angka kematian neonatal, bayi, dan balita untuk periode 10 tahun sebelum survei menurut provinsi (SDKI 2007 dan 2012) Provinsi Sumatera DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Angka kematian neonatal Angka kematian bayi Angka kematian balita Jawa DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali dan Nusa Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan timur Sulawesi Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku dan Papua Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Telaah lebih lanjut terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita berdasarkan provinsi menunjukkan hasil yang menarik. Pada umumnya kontribusi kematian neonatal di negara maju dengan angka kematian bayi sangat rendah, lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi kematian neonatal di negara dengan kematian bayinya tinggi. Hal ini terjadi karena di negara maju penanganan terhadap neonatal semakin canggih sehingga bayi prematur yang mempunyai resiko kematian sangat tinggi dapat diselamatkan.

91 71 Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi lebih tinggi di provinsi yang AKBnya rendah, dan sebaliknya lebih rendah di provinsi yang AKBnya tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada provinsi dengan AKB rendah, penurunan kematian bayi dicapai keberhasilan dallam penurunan penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi, penurunan infeksi karena diare, dan upaya-upaya lainnya seperti perbaikan status gizi bayi karena asupan bayinya yang baik. Sementara itu, kematian neonatal dengan penanganan dan teknologi yang lebih kompleks serta kualitas pelayanan persalinan yang tinggi belum secara optimal bisa dicapai. Pada provinsi dengan AKB tinggi, tidak berarti bahwa masalah kematian neonatal lebih baik, masalah kematian tetap ada, tetapi masalah penyakit infeksi masih belum tertangani dengan baik. Demikian pula dengan perbaikan status gizi bayi dan anak belum optimal. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 4.3. Angka Kematian Bayi dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap AKB di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah(SDKI 2012) Kecenderungan serupa juga terjadi pada kontribusi kematian nneonatal terhadap kematian balita. Provinsi yang mempunyai angka kematian balita yang rendah, proporsi kematian neonatal terhadap kematian balitanya lebih kecil dibandingkan dengan di provinsi yang mempunyai AKBa tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di provinsi dengan kematian bayi dan balita masih tinggi, permasalahannya tidak hanya pada pencegahan terjadinya dan penanganan neonatal, tetapi juga pada pencegahan dan penanganan penyakit infeksi dan kurang gizi. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 4.4. Angka Kematian Balita dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap AKBa di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah ( SDKI 2012)

92 72 Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan daerah, kondisi ekonomi dan demografi ibu Kematian neonatal, bayi maupun balita lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita hampir tidak ada perbedaan antara daerah perkotaan dan perdesaan, yaitu masing-masing. Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi adalah 58 persen di perkotaan dan 60 persen di perdesaan. Sedangkan kontribusi kematian neoatal terhadap kematian balita adalah 44 persen di perkotaan dan 46 persen di perdesaan. Kematian neonatal, bayi maupun balita secara umum juga lebih tinggi pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah serta ibu pada kuintil kekayaan yang lebih rendah. Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita secara umum lebih besar pada ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Di antara ibu yang bersekolah, kontribusi kematian neonatalnya mencapai 32 persen, sedangkan di antara ibu yang mempunyai pendidikan tertinggi, kontribusinya menjadi 56 persen. Disparitas kematian balita berdasarkan status pendidikan ibu antara yang terendah dan tertinggi sangat besar, yaitu lebih dari 5 kali lipat (96 dibanding 18 kematian per kelahiran hidup). Disparitas ini jauh lebih besar dibandingkan dengan disparitas pada kematian neonatal dan bayi. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pola asuh yang diberikan ibu/pengasuh terkait dengan asupan makanan yang adekuat, pencegahan penyakit infeksi melalui imunisasi dan perilaku hidup bersih. Data pada Gambar 15 menunjukkan bahwa pada anak balita, anak berusia 6-47 bulan mempunyai risiko menderita penyakit ISPA lebih tinggi dan anak usia 6-35 bulan lebih beresiko menderita enyakit diare.. Gizi kurang dan stunting lebih banyak pada anak usia 12 bulan atau lebih, sedangkan kurus lebih banyak pada usia yg lebih muda (Gambar 23). Sebagaimana perkiraan, kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi pada kelompok keluarga yang lebih miskin (kuintil rendah). Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita, tidak banyak berbeda antar golongan pendapatan, yaitu berturut-turut adalah 56 persen dan 41 persen pada kuintil terendah serta 59 persen dan 43 persen pada kuintil tertinggi Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 4.5. Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan Perdesaan/ Perkotaan, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Kuintil Kemiskinan ( SDKI 2012)

93 73 Analisis terhadap faktor usia ibu terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita menunjukkan kecenderungan hubungan berpola U-shape, yaitu kematian yang tinggi pada usia kurang dari 20 tahun,dan usia 40 tahun atau lebih, serta rendah dinatar kedua kelompok usia tersebut. Seharusnya kematian neonatal lebih terkait dengan faktor usia ibu, sementara kematian bayi dan balita lebaih karena faktor diluar usia ibu, atau faktor sisa (retained effect) pada periode neonatal yang terbawa sampai bayi/anak selanjutnya. Kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi pada ibu yang melahirkan dengan jarak 2 tahun atau kurang. Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita antara jarak kelahiran yang berbeda, tidak begitu berbeda. Pada kelompok dengan jarak kelahiran < 2 tahun kontribusi kematian neonatal terhadap bayi adalah 56 persen sedangkan terhadap balita 44 persen. Selanjutnya pada kelompok yang mempunyai jarak kelahiran 4 tahun atau lebih, kontribusi tersebut berturut-turut adalah 54 persen dan 41persen. Pada umumnya, bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah cenderung mempunyai status gizi yang lebih rendah pada umur-umur selanjutnya dibandingkan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Gambar 6 mengkonfirmasikan besarnya pengaruh BBLR, yaitu menunjukkan bahwa resiko kematian neonatal dan kematian bayi jauh lebih tinggi pada bayi BBLR dibandingkan dengan kematian pada bayi dengan berat lahir normal, yaitu masing-masing 8 kali dan 5 kali lebih tinggi. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 4.6. Kematian Bayi dan Anak berdasarkan Berbagai Variabel(SDKI 2012) Penyebab Kematian Neonatal Secara global penyebab utama kematian neonatal adalah prematuritas (28 persen), infeksi berat (36 persen, termasuk sepsis/pneumonia 26 persen, tetanus 7 persen, dan diare 3 persen) dan asfiksia (23 persen). Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada minggu pertama pascalahir, terutama pada hari pertama kehidupan (Lawn, 2005). Artinya, masa persalinan dan 24 jam setelah persalinan merupakan waktu yang sangat kritis dan strategis untuk mencegah kematian neonatal. Kematian neonatal setelah minggu pertama biasanya disebabkan oleh infeksi.

94 74 Di Indonesia, penyebab utama kematian neonatal usia 0-6 hari adalah gangguan pernapasan/asfiksia, prematuritas, infeksi, dan hipotermi. Infeksi dan hipotermi dapat merupakan akibat dari berat badan lahir yang rendah dan sebagian besar prematuritas juga mempunyai berat badan lahir rendah. Oleh karena itu, peran BBLR terhadap kematian pada minggu pertama pascalahir cukup besar. Penyebab utama kematian neonatal usia 7-28 hari adalah sepsis, malformasi kongenital, pneumonia, RDS, dan prematuritas. Gambar 4.7. Penyebab Kematian Neonatal Usia 0-6 Hari dan 7-28 Hari (Riskesdas 2007) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007 Penanganan Persalinan dan Pascasalin Proses persalinan merupakan faktor penting untuk mencegah kesakitan dan kematian bayi, terutama yang disebabkan oleh asfiksia dan infeksi. Continuum of care atau pelayanan berkelanjutan kebidanan dan neonatal mulai dari tingkat komunitas sampai fasilitas rujukan untuk kasus komplikasi menjadi sangat penting, yaitu apakah proses persalinan berjalan dengan baik termasuk apakah persalinan yang disertai komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya ditangani dengan baik di fasilitas rujukan. Dalam kenyataannya, akses terhadap pelayanan persalinan yang berkualitas masih menjadi permasalahan besar di Indonesia. Kontinuitas pelayanan PONED dan PONEK 24/7 berkualitas yang ditunjang oleh sistem rujukan yang kuat masih menghadapi berbagai tantangan. Akses terhadap pelayanan kebidanan berkelanjutan dan berkualitas masih menjadi kendala dan karenanya perlu mendapatkan prioritas lebih tinggi. Selanjutnya, pola perawatan bayi baru lahir di rumah akan mempengaruhi kesakitan dan kematian neonatal, termasuk tetanus. Program pemerintah untuk kunjungan neonatal (KN) sebanyak 3 kali, yaitu pada 6-48 jam pertama (KN1), 3-7 hari pasca lahir (KN2) dan 8-28 hari pasca lahir (KN3), dimaksudkan untuk mencegah dan mengidentifikasi dengan segera kesakitan pada periode neonatal ini. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase KNI adalah sebesar 71.4 persen, KN2 sebesar 61.3persen, dan KN3 hanya 38 persen. Kurang dari sepertiga (31.8 persen) yang mendapatkan KN lengkap, sementara yang tidak pernah melakukan KN mencapai 20.8 persen. Kematian neonatal terutama terjadi sekitar 24 jam pertama pascasalin. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa hanya 40.5 persen bayi yang mendapatkan kunjungan dalam 24 jam pertama sesudah kelahirannya. Kurang dari separuhnya, yaitu 45.6 persen, diperiksa oleh tenaga kesehatan.

95 75 Disparitas Kunjungan 24 jam pertama pascalahir Terdapat disparitas antarprovinsi yang cukup lebar pada program KN1, KN2 dan dan KN3. KN1 bervariasi antara antara 37.5 persen (Maluku Utara) sampai 96.2 persen (Yogyakarta), KN2 antara 25.9 persen (Maluku Utara) sampai 83.7 persen (DI Yogyakata), dan KN3 antara 9.2 persen (Sulawesi Barat) sampai 77.1 persen (DIY). Sedangkan KN lengkap bervariasi antara 6.8 persen (Sulawesi Barat) sampai 71.2 persen (DIY) (Riskesdas, 2010). Gambar 8 menyajikan kunjungan dalam waktu kurang dari 4 jam dan 4-23 jam setelah lahir (SDKI 2012). Secara umum kunjungan dalam 4 jam pertama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kunjungan 4-23 jam pascalahir. Penjumlahan keduanya menunjukkan kunjungan di dalam 24 jam pertama pascalahir. Terdapat perbedaan yang mencolok pada kunjungan tersebut antara ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dan tempat lainnya, yang bisa dimengerti karena kunjungan tersebut mungkin merupakan kunjungan saat ibu masih berada di fasilitas kesehatan. Perbedaan berdasarkan tempat tinggal tidak begitu mencolok. Berdasarkan pendidikan, ibu yang dengan tingkat pendidikan paling rendah melaksanakan kunjungan yang paling rendah juga, dan kunjungan tersebut terutama adalah antara 4-23 jam setelah persalinan. Demikian pula berdasarkan tingkat kekayaan, kunjungan yang terendah adalah pada kelompok kuintil terendah. Gambar 4.8. Proporsi BBLR berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2010 dan 2013) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2010 dan 2013 Disparitas BBLR berdasarkan berbagai Variabel BBLR lebih tinggi di perdesaan, di kelompok berpendidikan rendah dan kelompok dengan kuintil kekayaan rendah. Data SDKI 2012 menunjukkan perbedaan prevalensi BBLR berdasarkan pendidikan yang sangat mencolok pada 3 kelompok terendah tingkat pendidikan, sedangkan berdasarkan kuintil kekayaan, perbedaan sangat nyata pada kelompok kuintil 1. Gambaran tersebut mengindikasikan panjangnya proses yang mempengaruhi terjadinya BBLR, yaitu mulai dari status gizi remaja sampai ibu hamil, yang sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Meningkatnya childbearing (hamil atau pernah melahirkan anak pertama saat berumur tahun) pada remaja puteri yaitu 8.5 persen pada tahun 2007 dan 9.5 persen pada tahun 2012 (SDKI), bisa juga terkait dengan rendahnya pendidikan remaja puteri. Pada umumnya pertumbuhan remaja puteri telah selesai pada usia tahun, yang berarti setelah usia inilah remaja puteri siap untuk hamil. Kehamilan pada usia sebelum selesainya pertumbuhan akan mengakibatkan terjadinya persaingan pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan bayi dan pertumbuhan ibunya yang belum selesai. Akibatnya, pertumbuhan ibu dan bayi akan terhambat.

96 76 Berbedanya prevalensi BBLR antara data SDKI 2012 (7.3 persen) dengan Riskesdas (10.2 persen) mungkin disebabkan oleh berbedanya segmen penduduk yang digunakan di dalam kedua survei atau metoda pengumpulan informasi yang berbeda. Penyajian kedua data yang berbeda tersebut tidak untuk menggambarkan prevalensinya semata tetapi lebih dimaksudkan untuk melihat disparitas berdasarkan berbagai variabel. Sumber: BPS, SDKI 2012 Status Gizi Wanita Usia Subur Gambar 4.9 Distribusi BBLR (berat lahir kurang dari 2,5 kg) berdasarkan beberapa Variabel (SDKI 2012) Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi ibu yaitu tinggi badan, berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa Tubuhdan pertambahan berat badan selama kehamilan. Berdasarkan hasil meta analisis dari berbagai negara berkembang yang dilakukan oleh Kramer (1987), ketiganya merupakan faktor resiko yang diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 40 persen terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh IUGR (Intra Uterine Growth Restriction). Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi pendek dan sangat pendek pada remaja perempuan umur tahun adalah 25.9 persen, sedangkan prevalensi kurus berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada perempuan dewasa > 18 tahun adalah 12.3 persen. Selain itu, data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang mempunyai risiko terjadinya kurang energi kronis (KEK) berdasarkan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) menunjukkan kenaikan dari tahun 2007 ke tahun 2013 (Riskesdas), dan KEK terutama tinggi pada mereka yang berusia muda, tahun.

97 77 Gambar Proporsi Wanita Usia Subur (WUS) dengan Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007 dan 2013 Periode bayi usia 1-11 bulan dan anak usia 1-5 tahun Penyebab utama kematian bayi adalah diare, pneumonia, dan meningitis, sementara penyebab utama kematian anak 1-5 tahun adalah diare, pneumonia, NEC (necroticans entero colitis), meningitis, DBD, dan campak. Turunnya AKB dan AKBa mengindikasikan bahwa program untuk menurunkan kematian bayi dan balita cukup sukses. Program tersebut meliputi peningkatan imunisasi termasuk imunisasi campak yang dapat menurunkan kematian melalui penurunan prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare dan penyakit infeksi lainnya yang berpengaruh terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak. Gambar Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007 Disparitas Penyakit pada Anak Balita berdasarkan provinsi dan variabel lainnya. Dua penyakit yang paling sering diderita pada masa kanak-kanak adalah diare dan penyakit pernapasan akut, termasuk pneumonia. Terdapat variasi yang besar pada insiiden diare pada Balita, yaitu 3.3 persen di Kalimantan Timur sampai 10.2 persen di Aceh. Demikian pula dengan period prevalence pneumonia, yaitu 6.6 per 1000 Balita di Kalimantan Timur sampai 38.5 per 100 Balita di provinsi Nusa Tenggara Timur (Riskesdas 2013).

98 78 v Gambar Insiden Diare dan Prevalensi Penumonia per 1000 Balita berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2013) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2013 Disparitas penyakit diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) juga terlihat berdasarkan usia ibu, tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan. ISPA lebih banyak terjadi pada bayi usia 6 bulan atau lebih, di daerah perdesaan, pada kelompok berpendidikan lebih rendah, dan kelompok dengan kuintil rendah. Untuk penyakit diare, perbedaan mencolok terutama adalah pada kelompok usia 6-35 bulan. Disparitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan tidak begitu mencolok seperti pada ISPA (SDKI 2012). Total: 5.1% Total: 14.3% Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Disparitas Penyakit Diare dan ISPA berdasarkan berbagai Variabel (SDKI 2012) Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak Indikator MDG 4 lainnya adalah meningkatnya proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam sebesar 66.4 persen, yaitu dari persen pada tahun 1991 menjadi persen pada tahun 2012.

99 79 Disparitas Vaksinasi Campak Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup tinggi. Variasi cakupan berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 49 persen di Papua dan 97.1 persen di DI Yogyakarta. Lebih dari separo dari 33 provinsi mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional (80.1 persen), 9 di antaranya mempunyai cakupan kurang dari 70 persen. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Anak yang Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, SDKI 2012 IImunisasi campak berkaitan dengan angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Secara umum kematian neonatal, bayi dan balita rendah pada provinsi yang mempunyai cakupan imunisasi campak tinggi. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Kematian Bayi, Kematian Balita, dan Imunisasi Campak berdasarkan Provinsi 2012 Asupan Makanan Bayi dan Anak Pemberian ASI merupakan praktik yang sangat efektif untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup anak karena ASI mengandung zat gizi yang lengkap dan antibodi yang dibutuhkan bayi, mempunyai risiko pencemaran yang rendah dibandingkan susu formula serta menciptakan kedekatan antara ibu dan bayinya. Selanjutnya, saat usia bayi mencapai 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI akan sangat mempengaruhi status kesehatan dan gizi bayi. Oleh karena itu, WHO menganjurkan agar setiap anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan, termasuk upaya inisasi menyusu (IMD) dini dalam 1 jam

100 80 pertama pasca lahir. Pada usia 6 bulan makanan pendamping ASI mulai diberikan dan dilanjutkan selama dua tahun. Pemberian ASI ini sebaiknya on demand, atau sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bayi. IMD akan merangsang produksi ASI dan memfasilitasi pengeluarannya sehingga bayi dapat segera mendapatkan asupan makanannya. IMD juga penting karena ASI yang keluar pertama kali sampai dengan beberapa hari setelahnya mengandung kolostrum yang kaya zat gizi dan antibodi sehingga segera memenuhi kebutuhan makanan bayi dan memproteksi terhadap serangan penyakit infeksi. Masalah utama dengan pola makan bayi dan anak di Indonesia adalah rendahnya praktik pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tidak adekuat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan status gizi bayi, yang kemudian akan meningkatkan risiko terjadinya kematian. Gambar 18 menunjukkan bahwa prevalensi ASI eksklusif 0-6 bulan masih rendah yaitu hanya 41persen, sementara ASI ekslusif sampai usia 4-5 bulan lebih rendah lagi yaitu 27 persen. Sumber, BPS, SDKI 2007 dan 2012 Gambar Praktek Pemberian ASI pada Bayi dan Anak Usia Dini, SDKI Selain IMD, ASI eksklusif, dan pemberian ASI sampai dengan usia 2 tahun, pedoman yang direkomendasikan WHO mengenai pemberian makanan pada bayi dan anak usia dini (IYCF- Infant and Young Child Feeding) adalah waktu pemberian makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan, yang dimulai dengan jumlah yang sedikit, selanjutnya jumlah dan frekuensi makanan ditingkatkan seiring dengan bertambahnya usia. Pemberian makanan semisolid /solid untuk bayi usia 6-8 bulan adalah sebanyak 2-3 kali perhari dan 3-4 kali perhari untuk bayi usia 9 24 bulan, diselingi makanan kudapan (snack) di antaranya, 1 atau 2 kali perhari sesuai dengan keinginan bayi/anak. Minimum IYCF untuk bayi usia 6-23 bulan yang diberi ASI adalah melanjutkan pemberian ASI, pemberian makanan semisolid/solid untuk bayi usia 6-8 bulan sedikitnya 2 kali perhari dan sedikitnya 3 kali perhari untuk bayi usia 9 24 bulan, dengan persyaratan makanan tersebut mengandung sedikitnya 3 kelompok makanan perhari. Sedangkan untuk bayi yang tidak mendapatkan ASI, minimum IYCF adalah mendapatkan pengganti ASI, pemberian makanan semisolid/solid sedikitnya 4 kali perhari, dengan persyaratan makanan tersebut mengandung sedikitnya 4 kelompok makanan perhari, termasuk pengganti ASI.

101 81 Sumber: BPS, SDKI 2007 dan 2012 Gambar Indikator Pola Makan pada Bayi dan Anak Usia Dini (SDKI ) Gambar 19 menunjukkan bahwa bayi 6-23 bulan yang diberi makanan sesuai dengan rekomendasi IYCF hanya 37 persen. Pada kelompok anak yang diberi ASI hanya 3 persen yang mendapatkan minimum diet yg bisa diterima (minimum acceptable diet), dibandingkan 43 persen pada anak yang tidak diberi ASI. Keragaman diet minimum pada anak yang diberi ASI hanya 52 persen dengan frekuensi diet minimum 61 persen, dibandingkan dengan anak non-asi, yaitu berturut-turut 76 persen dan 79 persen. Suplementasi Vitamin A Defisiensi vitamin A berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas anak sehingga pencapaian suplementasi vitamin A perlu dijadikan indikator penentu penurunan morbiditas dan mortalitas anak balita. Disparitas Suplementasi Vitamin A Proporsi anak 6-59 bulan yang menerima suplementasi vitamin A mempunyai bervariasi antarprovinsi, yaitu antara 32 persen (Provinsi Sulawesi Barat) dan 75 persen (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam 6 Bulan Terakhir, berdasarkan Provinsi ( SDKI Tahun 2012) Variasi cakupan suplementasi vitamin A yang cukup besar antae kelompok pendidikan dan antar tingkat pendapatan. Secara umum semakin rendah tingkat pendidikan dan semakin rendah tingkat pendapatan, cakupan suplementasi vitamin A semakin kecil. Khusus untuk kelompok yang tidak pernah bersekolah, cakupan suplementasi vitamin A hanya 28.2 persen.

102 82 Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam 6 Bulan Terakhir, berdasarkan Beberapa Variabel Tahun 2012 (SDKI 2012) Hubungan konsumsi vitamin A dan tingkat kematian mengindikasikan bahwa pada umumnya angka kematian neonatal, bayi dan balita lebih rendah di provinsi dengan cakupan suplementasi vitamin A tinggi atau sebalikya walaupun tidak selalu konsisten untuk individual provinsi. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar Prevalensi yang Menerima Vitamin A, Kematian Bayi, dan Kematian Balita berdasarkan Provinsi, SDKI 2012 Status Gizi Bayi dan Anak Balita Status gizi dan infeksi saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Infeksi dapat menyebabkan seorang bayi/anak kekurangan gizi karena meningkatnya metabolisme, berkurangnya asupan makanan dan pada diare disertai dengan kehilangan cairan dan zat gizi. Sebaliknya bayi/anak yang kekurangan gizi mudah terinfeksi penyakit oleh karena daya tahannya menurun. Salah satu penyebab belum tercapainya penurunan AKBa dan AKB adalah banyaknya balita yang menderita gizi kurang, pendek atau kurus. Walaupun tatus gizi balita telah mengalami perbaikan dan prevalensi gizi kurang pada anak balita hampir mencapai target MDG, yaitu sebesar 17.9 persen pada tahun 2010, prevalensi balita pendek/stunting dan sangat pendek, masih sangat tinggi dan cenderung bahkan cenderung meiningkat 36.8 persen (2007) menjadi 37.2 persen (2012). Tingginya stunting pada anak balita mengindikasikan bahwa telah terjadi keadaan kurang gizi secara kronis dan/atau berulang sejak usia dini. Prevalensi stunting meningkat mulai usia 12 bulan sampai dengan umur 59 bulan. Hal ini mengindikasikan adanya proses kekurangan gizi kronis/berulang pada usia dini (<12 bulan) dan berlanjut sampai usia selanjutnya. Tingginya prevalensi kurus pada usia yang lebih muda juga mengindikasikan bahwa proses kekurangan gizi akut sudah terjadi sejak usia dini.

103 83 Gambar Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 Gambar Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013 TANTANGAN Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2013 Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Bayi sudah turun dengan tajam, tetapi dengan pelambatan laju penurunan di beberapa tahun terakhir, target MDG pada tahun 2015 diperkirakan tidakakan terrcapai. Program untuk menurunkan AKBa dan AKB melalui imunisasi dan penurunan infeksi cukup berhasil. Indikator penurunan AKN dan peningkatan imunisasi campak pada bayi dan anak 6-59 bulan telah memenuhi target MDG. Beberapa hal yang dapat dijelaskan sehubungan upaya penurunan AKBa dan AKB untuk mencapai tujuan MDG adalah sebagai berikut: 1. AKB dan AKBa akan sulit untuk turun jika AKN tidak dapat diturunkan dengan signifikan. Pernurunan AKN sebesar 50 persen diperkirakan akan dapat menurunkan AKB sebesar 30 persen (dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup) dan menurunkan AKBa sebesar 23.5 persen (dari 40 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup).

104 84 Oleh karena itu, upaya penurunan AKBa dan AKB sebaiknya difokuskan pada penurunan kematian neonatal khususnya dengan menurunkan BBLR dan meningkatkan akses terhadap pelayanan kebidanan berkelanjutan (PONED 24/7 dan PONEK 24/7 yang didukung oleh sistem rujukan yang kuat). Akses terhadap pelayanan kebidanan berkualitas di sekitar waktu persalinan dapat menurunkan risiko asfiksia dan infeksi dan memperbaiki manajemen BBLR. Karena sebagian kematian neonatal sangat terkait dengan komplikasi maternal saat persalinan, maka penurunan kematian neonatal perlu didesain dalam konteks program maternal dan neonatal secara terintegrasi. 2. Gizi kurang dan terutama stunting pada bayi dan balita masih tinggi. Oleh karena itu perbaikan status gizi pada anak balita perlu dikaitkan dengan program perbaikan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yaitu ibu hamil dan anak usia 2 tahun pertama kehidupan. 3. Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi ibu, yaitu tinggi badan ibu, berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa Tubuh (IMT) dan pertambahan berat badan selama kehamilan. Ketiganya diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 40 persen risiko terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh IUGR (Intra Uiterine Growth Restriction). 4. Disparitas angka kematian bayi, kematian anak, BBLR dan dalam capaian program antra provinsi masih lebar. Peran daerah dalam menurunkan AKB dan AKBa dapat lebih ditingkatkan dan difokuskan pada penurunan AKN dan peningkatan status gizi 1000 HPK. 5. Kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi di perdesaan, pada kelompok masyarakat dengan pendidikan rendah dan pada kuintil terendah. Program perlu memfokuskan target pada kelompok ini dan berintegrasi dengan sektor terkait. Kotak 4.1. Pengalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Percepatan Penurunan Kematian Neonatal Kabupaten TTS merupakan kabupaten di provinsi NTT dengan jumlah penduduk tertinggi yaitu 441,155 (BPS 2012), yang tinggal di 278 desa, dan 32 kecamatan. Kabupaten TTS mempunyai 30 Puskesmas, 1 RSUD (RS Soe) dan 1 RS Swasta. Kabupaten TTS merupakan kabupaten yang mempunyai kematian neonatal yang tinggi yang berfluktuasi dari tahun 2011, 2012, dan 2013 yakni 58, 93, dan 67 per 1000 kelahiran hidup. Pemerintah Daerah dalam menurunkan kematian neonatal melakukan berbagai intervensi baik di tingkat keluarga, masyarakat, pelayanan kesehatan primer, dan pelayanan kesehatan rujukan. Beberapa upaya intervensi terkait erat dengan upaya penurunan kematian ibu, antara lain Revolusi KIA yang dicanangkan pada tahun 2009 untuk mendorong persalinan di fasilitas kesehatan. Terobosan lain dilaksanakan melalui AIPMNH Australia-Indonesia Pertnership for Maternal Neonatal Health (AIPMNH) antara lain: 1. Di tingkat masyarakat melalui desa siaga aktif dengan aktivitas meliputi kelompok siaga ibu hamil (terdiri dari suami, orangtua, om dan tanta, penatua, kader dan tokoh masyarakat)), gerakan TABULIN (tabungan ibu bersalin), kesiapan donor darah, rumah tunggu berbasis masyarakat, ambulans desa serta membawa ibu melahirkan ke fasilitas kesehatan. Kondisi ini diperkuat dengan adanya Regulasi KIA berupa Perda dan Instruksi Bupati serta Peraturan Desa. Peningkatan cakupan pelayanan KIA dikomunikasikan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat yang menganjurkanpentingnya kesehatan ibu dan anak serta pemanfaatan pelayanan KIA.

105 85 2. Di tingkat keluarga diupayakan eliminasi budaya sei, yaitu ibu setelah melahirkan melakukan panggang dengan bara api di dalam rumah bulat selama 40 hari. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan melaksanakan studi dengan melaksanakan beberapa intervensi yang menyadarkan masyarakat akan dampak negatif dari budaya sei ini. Intervensi yang dilaksanakan antara lain membuat percontohan rumah bulat sehat, budaya panggang yang semula menggunakan bara api diganti dengan arang saja dan yang tadinya dilaksanakan 40 hari pertama setelah persalinan menjadi 5-6 hari. Kondisi ini diperkuat dengan adanya peraturan desa. Upaya ini menekan kasus pneumonia pada ibu dan neonatal. Salah satu strategi meningkatkan kualitas RS Soe dalam penanganan kasus emergensi bagi maternal dan neonatal adalah program Sister Hospital sehingga mampu PONEK. Kondisi ini meningkatkan akses rujukan kasus komplikasi maternal dan neonatal ke RS SOE dan mengurangi rujukan kasus ke RS Kupang sehingga kasus emergency maternal dan neonatal semakin cepat tertangani. RS SOE juga berfungsi meningkatkan kualitas pelayanan Puskesmas termasuk Puskesmas PONED melalui bimbingan tenis, magang, dan menyelenggarakan konferensi klinik terhadap kasus komplikasi maternal dan neonatal. Peningkatan pelayanan di fasilitas kesehatan juga diikuti oleh peningkatan fisik serta perubahan perilaku. Agar rujukan dapat berjalan dengan baik dan terencana, Dinas kesehatan bersama stakeholders terkait membuat Manual Rujukan yang didukung dengan adanya frontline SMS, sistem kewaspadaan melalui pemantauan ibu hamil 7 hari sebelum melahirkan dan 7 hari sesudah melahirkan, serta audit maternal neonatal yang ditindaklanjuti dengan implementasi dari rekomendasi. KEBIJAKAN 1. Fokus intervensi pada penyebab terbanyak kematian bayi dan balita yaitu masalah neonatus (asfiksia, berat badan lahir rendah, dan infeksi), penyakit infeksi (terutama diare dan pneumonia serta malaria pada daerah endemis), dan masalah gizi kurang dan gizi buruk sebagai underlying factor penyebab kematian bayi dan balita. 2. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk neonatus-bayi dan balita sakit, dengan penekanan pada penguatan di pelayanan primer. Khusus untuk mengatasi masalah pada neonatus perlu peningkatan kualitas kesehatan sebelum dan selama kehamilan, masa persalinan dan pelayanan kesehatan ibu pascasalin dan neonatus. 3. Meningkatkan pelayanan kesehatan neonatus, bayi, dan balita yang terstandardisasi, dan terakreditasi, peningkatan distribusi tenaga kesehatan startegis dan kompetensi tenaga kesehatan (in- dan preservice), pendanaan (termasuk pelaporan dan akuntabilitas), ketersediaan obat-sarana dan prasarana serta peralatan medis yang siap pakai dan aman, regulasi-manajemen dan sistem informasi serta penelitian yang mendukung peningkatkan kesehatan bayi dan balita dengan pendekatan penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening). 4. Meningkatkan peran serta keluarga (termasuk suami dan anggota keluarga lain) dan masyarakat (peran kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat) melalui peningkatan pengetahuan dan pemberdayaan untuk kesehatan neonatus-bayi dan balita serta deteksi dini faktor risiko dan pola pencarian pertolongan pelayanan kesehatan.

106 86 5. Memperkuat implementasi registrasi vital serta meningkatkan pengetahuan menganalisis penyebab kematian pada neonatus, bayi dan balita serta tindak lanjutnya. 6. Fokus pendekatan pada daerah dengan jumlah penduduk besar dan jumlah kematian bayi terbanyak tanpa mengabaikan daerah terisolisasi, dengan memanfaatkan skema jainan kesehatan nasinal untuk mempermudah akses bayi dan balita sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 7. Meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor terkait, profesi, akademisi, LSM, dan mitra pembangunan intarenasional serta institusi pendidikan untuk meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup bayi dan balita. UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs 1. Upaya penurunan AKN, karena AKN merupakan proporsi yang tinggi terhadap Angka Kematian Bayi dan Anak. 2. Upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas karena proses kelahiran berpengaruh terhadap kematian neonatal. 3. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program perbaikan gizi remaja puteri, dan kesehatan serta status gizi ibu hamil lebih baik. 4. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan direktorat terkait agar upaya program perbaikan Gizi bayi dan anak balita lebih baik, termasuk: a. Upaya perbaikan status gizi bayi 0-5 bulan melalui peningkatan pemberian ASI eksklusif. b. Upaya perbaikan status gizi bayi/anak 6-24 bulan: MP-ASI adekuat; ASI sampai usia 2 tahun; suplementasi vit A; pemantauan berat badan secara teratur melalui Posyandu dll. 5. Upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan MTBS. 6. Memberikan penekanan yang berbeda untuk provinsi yang kematian Bayi dan Balitanya tinggi dan rendah dan daerah perdesaan dan perkotaan.

107 TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Sumber Foto: UNDP Indonesia

108 Sumber: UNDP Indonesia

109 89 TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU TARGET 5A TARGET 5B MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU HINGGA TIGA PER EMPAT DALAM KURUN WAKTU MEWUJUDKAN AKSES KESEHATAN REPRODUKSI BAGI SEMUA PADA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih 390 (1991) 40,70% (1992)* 359 (2012) ,10% (2012)* Meningkat Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 Sumber BPS, SDKI *BPS, Susenas 5.3 Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara 49,70% (1991) 61,9 % (2012) Meningkat 5.3a Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia tahun, cara modern 47,10% (1991) 57,90% (2012) Meningkat Angka kelahiran remaja (perempuan usia tahun) per 1000 perempuan usia tahun Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya 1 kali kunjungan dan 4 kali kunjungan) 67 (1991) 48 (2012) Menurun BPS, SDKI - 1 kunjungan: - 4 kunjungan: 75,00% (1991) 56,00% (1991) 95.7% (2012) 73.5% (2012) Meningkat 5.6 Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 12,70% (1991) 11,4% (2012) Menurun Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

110 90 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Target MDG 5A: Meningkatkan Kesehatan Ibu Berdasarkan survei SDKI, AKI di Indonesia menurun yaitu dari 390 (SDKI 1994) menjadi 228 (SDKI 2007), tetapi kemudian menunjukkan peningkatan menjadi 359 (SDKI 2012). Tren AKI dari hasil survei SDKI ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Penghitungan AKI dalam survei SDKI selalu menghasilkan confidence interval (CI) yang sangat lebar sehingga sulit untuk menginterpretasikan point prevalence AKI secara tepat. Sebagai contoh nilai AKI 228 pada tahun 2007 mempunyai kisaran 132 sampai dengan 323, sedangkan nilai 359 pada tahun 2012 berada pada kisaran 239 sampai dengan 478, sehingga terdapat overlapping pada CI kedua periode pengukuran tersebut. Selain itu terdapat perbedaan definisi AKI pada SDKI 2012 yaitu kematian oleh sebab apapun yang terjadi saat kehamilan, selama persalinan atau dalam waktu 2 bulan setelah persalinan, untuk menyesuaikan dengan kecilnya jumlah yang hanya mencatat 92 kematian.sementara definisi kematian ibu mencakup kematian saat kehamilan, persalinan dan dalam waktu 42 hari pasca persalinan. Namun demikian, penggunaan definisi ini dianggap tidak akan menyebabkan over-reported kematian ibu, karena sebagian besar kematian perempuan dalam periode umur tersebut disebabkan oleh sebab maternal, sementara kematian maternal lebih cenderung under-reported. Selain itu, sampel SDKI 2012 adalah semua perempuan umur tahun, baik yang kawin atau tidak kawin, sementara sampel SDKI 2007 hanya perempuan umur tahun yang pernah kawin. Kenaikan AKI sesungguhnya konsisten dengan kenaikan kematian perempuan dewasa di Indonesia. Gambar 5.1 Angka Kematian Ibu Indonesia tahun Sumber: BPS, SDKI Persalinan dengan tenaga kesehatan terampil Indikator MDG 5A lainnya adalah proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih.proporsi persalinan ditolong tenaga kesehatan terus meningkat sejak tahun 1991 dan pada tahun 2012 menjadi 83 persen. Peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan yang tajam sebesar 25 persen antara tahun 1991 dan tahun 2004 kemungkinan disebabkan karena adanya program pemerintah yang menempatkan bidan di setiap desa yang dimulai pada awal tahun Namun demikian akhir-akhir ini jumlah bidan yang tinggal di desa menurun sehingga kenaikan persalinan dengan tenaga kesehatan dalam 8 tahun berikutnya agak melambat, yaitu sekitar 12 persen.

111 91 Gambar 5.2. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun Sumber: BPS, Susenas Inkonsistensi antara Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan AKI Kenaikan persalinan oleh tenaga kesehatan yang signifikan ternyata tidak sejalan dengan penurunan AKI. Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan dan penanganganan komplikasi kebidanan serta pencegahan kematian ibu tidak sepenuhnya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan oleh dua hal. Pertama,peningkatan cakupan persalinan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan terutamakompetensi tenaga kesehatan dan kelengkapan alat dan obat, pada pelayanan persalinan normal, upaya pencegahan komplikasi, identifikasi dini komplikasi dan pelayanan rujukan efektif bila komplikasi terjadi. Kegagalan dalam melakukan identifikasi komplikasi secara dini, penanganansegera dan rujukan efektif meningkatkan risiko kematian ibu. Kedua, sebagian besar kejadian komplikasi kebidanan tidak dapat diprediksidan sebagian komplikasi tersebut memerlukan penanganan di rumah sakit dan tidak dapat ditolong oleh tenaga kesehatandi tingkat pelayanan primer.dengan demikian, perlu adanya kesiapan pelayanan kebidanan setiap saat yaitu sepanjang 24 jam sehari, 7 hari seminggu (pelayanan 24/7) di semua tingkat pelayanan kesehatan. Kesiapan pelayanan kebidanan tersebut terdiri dari akses terhadap pelayanan berkualitas di tingkat primer PONED (Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Dasar) yang meliputi ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil, alat, pemeriksaan laboratorium dan obat dan kesiapan pelayanan rujukan yang efektif di Rumah Sakit PONEK (Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif) meliputi tenaga spesialis dan tenaga kesehatan lainnya, alat, obat, darah, pemeriksaan laboratorium dan kamar operasi. Sebagian besar kematian terjadi saat persalinan dan dalam 24 jam setelah persalinan, waktu yang sangat pendek bila dibandingkan dengan periode kehamilan selama 9 bulan dan periode nifas selama 42 hari. Oleh karena itu, kesiapan pelayanan 24/7 di semua tingkat pelayanan kebidanan ini perlu lebih difokuskan pada periode persalinan dan 24 jam pertama pasca-persalinan.tidak terjangkaunya pelayanan kebidanan yang berkualitas pada masa tersebut meningkatkan risiko kematian ibu dan kematian neonatal. Dengan mempertimbangkan unpredictability dari komplikasi kebidanan serta pentingnya penanganan komplikasi pada periode persalinan dan 24 jam pertama pasca salin, maka kesinambungan pelayanan atau continuum of care perlu dijaga, mulai padapelayanan primer sampai pelayanan di RS rujukan. Di tingkat pelayanan primer, tenaga kesehatan mempunyai keterampilan untuk mengenali tanda-tanda komplikasi, melakukan tindakan pencegahan komplikasimenangangi sebagian komplikasi apabila terjadi dan mencegah komplikasi agar tidak menjadi lebih parah, memonitor tanda-tanda vital, melakukan penanganan pertama kasus komplikasi dan akhirnya melakukan rujukan efektif ke RS kapanpun jika diperlukan. Selanjutnya,

112 92 RS rujukan yang siap 24/7, dapat menangani pasien dengan segera secara adekuat. Dengan demikian manjaga continuum of careharus disertai dengan penanganan yang berkualitas,tepat waktu dan tepat guna. Sumber: Endang L. Achadi Gambar 5.3. Kerangka Konsep Pelayanan Kesehatan Kebidanan Berkesinambungan Dalam kenyataannya, sering terjadi berbagai keterlambatan yang menyebabkan pelayanan kebidanan tidak dapat terlaksana dengan baik. Keterlambatan tersebut adalah keputusan untuk merujuk pada tingkat pelayanan primer (terlambat pertama), keterlambatan dalam proses rujukan ke RS (terlambat kedua) dan keterlambatan dalam pelayanan di RS (terlambat ketiga). 1. Terlambat pertama: Keterlambatan mengambil keputusanini dipengaruhi oleh prefrensi masyarakat pemberi pelayanan dan kualitas tenaga kesehatan di tingkat komunitas. Jika preferensi masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan tinggi, maka tenaga kesehatan, khususnya bidan, dapat melakukan pemeriksaan dan monitoring secara tepat waktu dan tepat guna yang dapat mencegahkomplikasi, mengidentifikasi komplikasi dini dan melakukan rujukan bila diperlukan. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat sangat berpengaruh untuk menurunkan keterlambatan pada periode ini. Dipihak lain, tenaga kesehatan di tingkat komunitas maupun di fasilitas pelayanan tingkat primer harus mempunyai kemampuan untuk melakukan: 1)pertolongan persalinan normal, 2) pencegahan terjadinya komplikasi, antara lain dengan penggunaan Partograph dan Manajemen Aktif Kala III (AMTSL Active Management ofthe Third Stage Labour);3) identifikasi komplikasi sedini mungkin; 4) pertolongan pertama bila terjadi komplikasi; dan 5) rujukan efektif bila rujukan diperlukan. 2. Terlambat kedua: Keterlambatan untuk merujuk sangat dipengaruhi efektifitas sistem rujukan yang meliputi transportasi yang memadai, kecepatan identifikasi komplikasi dan perujukan pasien yang disertai dengan tindakan stabilisasi dan pendampingan (monitoring).keberhasilan pencegahan keterlambatan dalam merujuk ini sangat ditentukan oleh kompetensi tenaga kesehatan (bidan) dalam mengidentifikasi dan menstabilisai pasien, serta menentukan jenis rujukan, apakah langsung ke rumah sakit atau melalui Puskesmas PONED. 3. Terlambat ketiga: Keterlambatan ketiga terjadi bila pasien yang dirujuk tidak segera mendapatkan pelayanan secara tepat waktu dan tepat guna. Penanganan segera berarti bahwa rumah sakit rujukan

113 93 seharusnya siap memberikan pelayanan dalam waktu 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu sehinggadapat segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk penyelamatan pasien. Kesiapan tersebut meliputi ketersediaan dan kesiapan tenaga spesialis dan tenaga kesehatan lainnya, kamar operasi, alat dan obat dan, pada keadaan tertentu, kesiapan darah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam 15 tahun terakhir untuk menghilangkan hambatan finansial dari sisi demand dalam menjangkau pelayanan kesehatan antara lain Jaringan Pengaman Sosial bidang Kesehatan ( ), Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin atau Askeskin (2005), Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas ( ), Jaminan Persalinan atau Jampersal ( ) dan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN (mulai 2014). Di tingkat daerah juga telah dilaksanakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dari sisi suplai, dalam kurun waktu 6 tahun, pemerintah telah mendidik dan menempatkan bidan di seluruh desa di Indonesia dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan kebidanan kepada masyarakat melalui program bidan di desa. Upaya ini berhasil meningkatkan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan secara signifikan. Tetapi untuk menurunkan kematian ibu secara efektif, peningkatan cakupan ini perlu diikuti dengan kesinambungan pelayanan sampai pada tingkat fasilitas rujukan. Ilustrasi pada Gambar 4 menjelaskan beberapa skenario dampak dari kesinambungan pelayanan kesehatan kebidanan terhadap penurunan kematian ibu. Pada skenario A, cakupan pelayanan di tingkat primer tinggi tetapi tidak diikuti dengan sistem rujukan kasus komplikasiyang efektif. Pada skenario B, pelayanan di tingkat primer kurang optimal, menyebabkan sedikitnya kasus yang dirujuk, sehingga pemanfaatan rumah sakit rujukan kecil. Skenario A dan B menyebabkan menurunnya peluang untuk menyelamatkan ibu hamil yang beresiko dan yang mengalami komplikasi. Skenario C menunjukkan bahwa tanpa sistem rujukan yang efektif, pelayanan di tingkat primer dan pelayanan di rumas sakit yang bagus tidak akan efektif untuk menyelamatkan ibu. Skenario D menggambarkan pelayanan berkesinambungan, yaitu pelayanan di tingkat primer cukup efektif sehingga sebagian besar kasus komplikasi dapat dirujuk, dan mendapatkan pelayanan yang mencukupi di rumah sakit. Skenario ini, akan meningkatkan peluang untuk menyelematkan ibu secara signifikan. Gambar 5.4. Berbagai skenario miss-oportunities Penyelamatan Ibu di berbagai tingkat pelayanan kebidanan

114 94 Situasi kesinambungan pelayanan kebidanan antarpropinsi dan kabupaten/kota bervariasi dan masuk pada salah satu skenario di atas. Oleh karena itu, prioritas penanganan dan pencapaian penurunan kematian ibu akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, terutama karena sumber permasalahan yang berbeda disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia, biaya, logistik, peraturan dan kebijakan. Secara nasional, kualitas pelayanan kebidanan masih belum baik. Menurut data Rifaskes 2011, Puskesmas mampu PONED baru mencapai 47 persen dan dari Puskesmas PONED yang mempunyai persediaan MgSO4 baru mencapai 42 persen. Dari sisi ketenagaan, 35 persen bidan di desa tidak mempunyai Bidan Kit, dan hanya 11 persen bidan yang mampu pelayanan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan Neonatal). Sementara itu bidan yang telah mengikuti pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal) untuk meningkatkan keterampilan persalinan dasar masih kurang dari separuh. Pelatihan keterampilan bidan sangat diperlukan mengingat sistem pendidikan sebelumnya yang tidak optimal. Selanjutnya hasil Rifaskes menunjukkan bahwa sistem rujukan yang seharusnya merupakan komponen sangat penting untuk menjamin kesinambungan pelayanan, juga masih belum kuat. Proporsi RS yang siap memberikan pelayanan PONEK 24/7 masih rendah dan hanya 21 persen RS pemerintah yang memenuhi Kriteria Umum PONEK, serta 52,7% RSU mempunyai dokter terlatih PONEK dan 50,4 persen mempunyai Bidan telah terlatih PONEK. Tempat persalinan. Pada tahun 2012, sebanyak 63,2 persen atau hampir dua pertiga persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Angka ini telah mengalami kenaikan yang bermakna dari 46,1 persen pada tahun Persalinan di fasilitas kesehatan swasta mencapai 46 persen, sedangkan di fasilitas pemerintah 17 persen. Dengan demikian persalinan di fasilitas kesehatan swasta dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan di fasilitas pemerintah. Studi Badan Litbangkes (2012) terhadap kematian ibu yang teridentifikasi melalui Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa - tergantung jenis komplikasi - 49,7 persen-75,3 persen ibu meninggal di RS pemerintah dan swasta; dan 17,1-37.,persen meninggal di rumah sendiri. Tingginya kematian di RS mengindikasikan kemungkinan terjadinya 3 keterlambatan, yaitu pengambilan keputusan yang terlambat dan/atau rujukan tidak efektif sehingga pasien saat mencapai rumah sakit berada dalam keadaan parah, dan/atau penanganan di rumah sakit yang tidak tepat waktu dan tidak tepat guna. Sementara yang meninggal di rumah mengindikasikan keluarga tidak atau terlambat mencari pelayanan dari tenaga kesehatan, komplikasi tidak segera teridentifikasi oleh tenaga kesehatan; dan/atau pasien tidak dirujuk. Persiapan Persalinan. Oleh karena komplikasi kehamilan dan persalinan dapat terjadi setiap saat pada siapa saja, maka seharusnya ibu hamil melakukan persiapan yang cukup untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi. Persiapan tersebut termasuk membicarakan dengan suami dan keluarga mengenai berbagai hal termasuk tempat persalinan, penolong persalinan, transportasi, biaya, dan donor darah. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa secara umum mereka telah mendiskusikan hal-hal tersebut, kecuali tentang donor darah, hanya 15,4 persen yang mendiskusikannya dengan keluarga. Studi Immpact dan FKM UI di provinsi Banten pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terlambat mengambil keputusan mencapai 45 persen, terlambat mencapai fasilitas rujukan 66 persen dan terlambat mendapatkan pelayanan di RS sebesar 44 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keterlambatan tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat dan akibat hambatan transportasi, tetapi juga pada masalah keterlambatan penanganan di RS terutama karena RS tidak siap dalam 24/7. Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai pelayanan PONEK adalah proporsi seksio. WHO memperkirakan bahwa 5-15 persen persalinan memerlukan seksio. Persen seksio yang rendah mengindikasikan bahwa banyak persalinan yang membutuhkan seksio tetapi tidak mendapatkannya,

115 95 sehingga meningkatkan resiko kematian. Sebaliknya tindakan seksio yang terlalu tinggi mengindikasikan banyak seksio yang dilakukan tanpa indikasi medis. Menurut data SDKI, persentase seksio pada tahun 2002 sebesar 4,5 persen, tetapi kemudian meningkat menjadi 6,8 persen pada tahun 2007 dan pada tahun 2012 mencapai 12,3 persen. Kenaikan signifikan pada tahun 2012 kemungkinan terjadi karena diberlakukankannya Jampersal sejak tahun Komplikasi selama Kehamilan dan Persalinan Kematian ibu sangat tergantung pada apakah komplikasi kebidanan yang terjadi ditangani secara tepat waktu dan tepat guna. Oleh karena itu, analisis terhadap kejadian komplikasi sangat penting, antara lain apakah proporsi ibu yang mengalami komplikasi yang ditangani di rumah sakit tinggi atau rendah, dan apakah kualitas pelayanan di rumah sakit dapat menyelamatkan ibu. Karenanyaindikator komplikasi yang ditangani di rumah sakit merupakan indikator yang sangat dekat dengan indikator kematian ibu, komplikasi selama kehamilan dan persalinan merupakan indikator yang sangat dekat dan terkait dengan resiko kematian ibu. Menurut SDKI 2012, proporsi komplikasi selama kehamilan pada perempuan yang hamil anak terakhir dalam 5 tahun sebelum survei adalah 12,8 persen; terdiri dari 3,6 persen perdarahan, 2,2 persen persalinan prematur, 0,7 persen panas, 0.3 persen kejang dan pingsan, dan 7.5 persen sebab lainnya. SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa proporsi komplikasi selama persalinan mencapai 45.6 persen, yang meliputi persalinan lama 34.7 persen, ketuban pecah 14.9 persen, perdarahan per vaginam 7.6 persen, keputihan yang berbau 7.6 persen, kejang-kejang 1.6 persen, dan sisanya oleh sebab lain. Walaupun demikian diperlukan kehati-hatian dalam penggunaan data ini karena informasi didapatkan dari pernyataan ibu yang bisa mempunyai persepsi dan pengetahuan yang berbeda. Misalnya persentase komplikasi dalam survei tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi rata-rata yang diberikan oleh WHO sebesar 5-15 persen. Dari hasil SDKI 2012, tindakan sebagian besar ibu yang mengalami komplikasi sudah cukup baik, yaitu mengunjungi bidan 44 persen, mengunjungi dokter 29 persen dan ke fasilitas kesehatan lain 21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa merujuk ke tenaga dan/atau fasilitas kesehatan sangat membantu dalam menurunkan resiko kematian. Studi Kematian Maternal oleh Balitbangkes 2013 menunjukkan bahwa 29,4 persen kematian ibu terjadi di rumah. Tetapi pada saat yang sama kematian ibu yang tinggi juga terjadi di fasilitas kesehatan, terutama di rumah sakit pemerintah (41,9 persen) dan RS swasta (16.1 persen). Hal ini menunjukkan bahwa kematian ibu juga terjadi setelah ibu melakukan rujukan ke Rumah sakit yang kemungkinan besar terkait dengan kualitas pelayanan di rumah sakit. Oleh karenanya kesiapan tenaga dan fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas setiap saat menjadi kunci. Hasil Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang tidak siap memberikan pelayanan yang berkualitas, baik oleh karena tidak lengkapnya alat dan obat, maupun karena masih banyak yang belum mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka, misalnya pelatihan APN untuk bidan.

116 96 Gambar 5.5. Tindakan yang Dilakukan Saat Terjadi Komplikasi, SDKI 2012 Sumber: BPS, SDKI 2012 Kunjungan post-natal (PNC) Kunjungan post-natal, khususnya para periode 24 jam pertama sudah cukup tinggi. Lebih dari dua-pertiga (69,1 persen) ibu melahirkan melakukan kunjungan dalam 23 jam pertama setelah lahir, dan 10,9 persen melakukan kunjungan antara 1-2 hari pasca lahir. Sebagian besar PNC dilakukan oleh Nakes (78 persen), yang terdiri dari bidan/perawat (60 persen), spesialis kebidanan (16.6 persen dan dokter (1.4 persen). Walaupun PNC cukup tinggi, tetapi bila pelayanan yang diberikan tidak adekuat maka kematian yang tidak perlu terjadi dapat terjadi. Oleh karena itu keterampilan dan kelengkapan alat dan obat tenaga dan fasilitas kesehatan sangat penting. Kualitas Pelayanan Untuk memberikan pelayanan yang optimal, kualitas pelayanan perlu ditingkatnya, setidaknya mempunyai sumber daya manusia yang cukup, dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Kelengkapan alat dan obat merupakan faktor esensial yang harus dilengkapi. Hasil Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan obat di Puskesmas dan Puskesmas PONED masih belum baik dan perlu mendapatkan perhatian yang besar. Tabel 5.1. Kelengkapan Peralatan dan Obat di Puskesmas Perawatan dan Puskesmas PONED (Rifaskes 2011) Indikator Kelengkapan Status 1 Kabupaten mempunyai minimal 4 PONED 39.5 % 2 Kota memiliki 4 Puskesmas PONED 13.0 % 3 Puskesmas perawatan mampu PONED 47.4 % 4 Puskesmas PONED tersedia MgSO % 5 Puskesmas PONED tersedia alatresusitasi bayi 46.3 % 6 Puskesmas mempunyai Gentamisin Injeksi 80 mg 25.2 % 7 Puskesmas mempunyaiampisilin Injeksi 1000 mg 25.2 % 8 Puskesmas mempunyai alat pemeriksaan Haemoglobine (Hb Sahli atau yang lebih modern) 67.7% 9 P uskesmas mempunyai air bersih dan listrik 24 jam 65.5 % Puskesmas perawatan mempunyai alat transport rujukan 76.5%

117 97 Kebijakan pemerintah saat ini adalah setiap kabupaten dan kota sedikitnya mempunyai 4 Puskesmas PONED. Rifaskes menunjukkan kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kemenkes, masih sekitar 40 persen diperdesaan sedangkan di kota jauh lebih sedikit (13 persen). Namun demikian walaupun persen Puskesmas perawatan yang mampu PONED cukup tinggi yaitu 47 persen. Kelengkapan alat dan obat di fasilitas kesehatan dasar juga masih belum baik. Pada Puskesmas PONED, beberapa indikator penting yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan Magnesium Sulfate (MgSO4) untuk pre-eklampsia/eklampsia yang merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan ketersediaan alat resusitasi bayi untuk penanganan asfixia yang merupakan salah satu penyebab kematian utama pada neonatal. Data menunjukkan bahwa kurang dari separuh Puskesmas PONED yang mempunyai MgSO4 dan alat resusitasi bayi. Ketersediaan obat injeksi antibiotik (gentamisin dan ampisilin) hanya terdapat pada seperempat dari Puskesmas. Puskesmas yang mempunyai alat pengukur hemoglobin hanya 68 persen, padahal ibu yang menderita anemia di Indonesia cukup besar dan perdarahan merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu. Dalam hal pelayanan rujukan, RSU Pemerintah yang memenuhi 9 kriteria PONEK1 hanya 21 persen. Rumah Sakit Umum (RSU) Pemerintah yang mempunyai spesialis kebidanan dan kandungan sudah cukup tinggi, yaitu 83 persen. Tetapi hanya separuh rumah sakit yang mempunyai dokter dan bidan yang telah dilatih PONEK, dan kurang dari separuh RSU Pemerintah mempunyai Tim PONEK Esensial.Dalam kesiapan pelayanan darurat, RSU yang mempunyai Tim operasi siap cukup tinggi yaitu 72 persen, tetapi RSU yang mempunyai kesiapan kamar bersalin mampu operasi dalam waktu < 30 menit hanya 59 persen, yang siap dengan darah 24 jam hanya 54 persen dan yang siap dengan pelayanan laboratorium hanya 64 persen. Tabel 5.2. Kelengkapan Tenaga dan Kesiapan Pelayanan PONEK di RSU Pemerintah (Rifaskes 2011) Indikator Kelengkapan Status 1. RSU Pemerintah Memiliki Spesialis Kebidanan dan Kandungan 83 % 2 RSU pemerintah memenuhi 9 KriteriaPONEK 21 % 3 RSU Pemerintah mempunyai Dokter terlatih PONEK 52.7 % 4 RSU Pemerintah mempunyai Bidan terlatih PONEK 50.4 % 5 RSU Pemerintah dg Keberadaan Tim PONEK Esensial 43.2 % 6 RSU Pemerintah mempunyai Tim Operasi Siap meskipun on call 72.3 % 7 RSU Pemerinthah dg Kesiapan Kamar Bersalin Mampu Operasi dalam Waktu < 30 menit 59.1 % 8 RSU Pemerintah dengan Kesiapan Darah 24 jam 54.2 % 9 RSU Pemerintah dg Kesiapan Pelayanan Laboratorium 24 jam 63.9 % Kualitas pelayanan antara lain dapat dinilai dari kompetensi petugas di fasilitas kesehatan. Tabel 5.2 menggambarkan kompetensi bidan dalam Asuhan Persalinan Normal, baik di Rumah sakit maupun di Puskesmas. Dari tabel dapat dilihat bahwa secara umum pencatatan dan pendokumentasian belum dianggap sebagai hal yang perlu dilakukan untuk semua kasus. Proporsi bidan yang melakukan pendokumentasian hasil pemeriksaan sangat kecil, terutama di rumah sakit. Demikian pula dengan praktek melengkapi riwayat medis dan pemeriksaan fisik masih cukup rendah. Seharusnya pemahaman 1 Kriteria RSU PONEK adalah: 1) Tersedia kamar operasi yang siap (siaga 24 jam) untuk melakukan operasi, bila ada kasus emergensi obstetrik atau umum; 2) Tersedia kamar bersalin yang mampu menyiapkan operasi dalam waktu kurang dari 30 menit; 3) Memiliki tim yang siap melakukan operasi atau melaksanakan tugas sewaktu-waktu, meskipun on call; 4) Adanya dukungan semua pihak dalam tim pelayanan PONEK, antara lain dokter kebidanan, dokter anak, dokter/petugas anestesi, dokter sesialis lain, dokter umum, bidan dan perawat;5) Tersedia pelayanan darah yang siap 24 jam; 6)Tersedia pelayanan laboratorium 24 jam; 7)Tersedia pelayanan Radiologi 24 jam; 8)Tersedia recovery room 24 jam; dan 9) Obat dan alat penunjang yang selalu siap sedia.

118 98 mengenai pentingnya informasi klinis untuk keperluan monitoring dan evaluasi serta untuk memperbaiki pelayanan, dipahami dengan baik oleh setiap petugas kesehatan. Bidan seharusnya menggunakan partograf untuk semua kasus persalinan agar dapat melihat perkembangan persalinan dan mendeteksi secara dini bila ada masalah. Pada kenyataannya, praktek tersebut belum dilaksanakan di banyak fasilitas kesehatan. Demikian pula dengan penyiapan pertolongan persalinan, seharusnya dilakukan untuk setiap persalinan, tetapi belum optimal. Tabel 5.3. Data kualitas APN (Asuhan Persalinan Normal) ASUHAN PERSALINAN NORMAL Persentasi bidan yang melakukan APN Rumah Sakit Puskesmas Melengkapi riwayat medis 68,6 61,4 Melengkapi pemeriksaan fisik umum dan obstetrik 52,1 57,3 Menggunakan partograf 41,0 68,3 Melakukan perawatan kala satu persalinan 73,8 83,8 Melihat tanda dan gejala kala dua 80,0 85,0 Menyiapkan pertolongan persalinan 60,6 65,8 Memastikan pembukaan lengkap 72,5 77,5 Memastikan kondisi janin baik 77,5 75,0 Mendokumentasikan hasil pemeriksaan 20,0 42,5 Data SDKI 2012 mengindikasikan bahwa tindakan seksio tidak sepenuhnya didasarkan pada indikasi yang benar. Diantara ibu yang mendapatkan tindakan seksio, 76.5 persen menyatakan tidak mempunyai komplikasi selama kehamilan, sementara 44.6 persen yang dioperasi seksio menyatakan tidak mempunyai komplikasi selama persalinan. Disparitas Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu Persalinan oleh tenaga kesehatan Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional sudah cukup tinggi, yaitu 83.1 persen. Tetapi disparitas antarprovinsi sangat lebar, yaitu antara 40 persen di Papua dan 99 persen di Bali. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan perbedaan akses kepada bidan. Pada daerah-daerah dengan densitas penduduk rendah dan hambatan geografis yang tinggi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat dan Maluku persalinan oleh nakes relatif rendah, sementara pada daerah dengan densitas tinggi dan akses transportasi mudah seperti di Pulau Jawa dan Bali, persalinan terhadap nakes cukup tinggi. Gambar 5.6. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi, SDKI 2012

119 99 Disparitas persalinan oleh nakes yang signifikan terjadi menurut tempat tinggal, tingkat pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan, tetapi tidak berbeda menurut umur ibu. Persalinan oleh tenaga kesehatan di perdesaan hampir 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Tingkat pendidikan ibu sangat berkorelasi dengan persalinan oleh nakes. Pada ibu dengan pendidikan tertinggi, persalinan oleh nakes mencapai 97 persen, sedangkan pada ibu yang tidak bersekolah hanya mencapai 32 persen.rentang perbedaan berdasarkan kuintil kekayaan lebih kecil dibandingkan dengan pendidikan ibu, yaitu 58 persen pada kelompok termiskin dan 97 persen pada kelompok terkaya. Perbedaan tajam ditemukan antara kuintil 1 (kelompok termiskin) dan kuintil 2. Persalinan di Fasilitas Kesehatan Gambar 5.7. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel, SDKI 2012 Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di perkotaan dua kali lebih besar dibandingkan dengan di perdesaan, lebih banyak pada mereka yang mempunyai pendidikan tinggi dan pada kelompok kuintil kaya. Dibandingkan dengan tahun 2007, secara umum persalinan di fasilitas kesehatan mengalami kenaikan pada semua kelompok sosial ekonomi dan demografi, dengan kenaikan pada ibu yang tinggal di perdesaan dan kelompok miskin lebih tinggi. Seperti yang diharapkan, ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan hampir semua ditolong tenaga kesehatan, sebaliknya mereka yang melahirkan di selain fasilitas kesehatan hanya 55 persen yang ditolong tenaga kesehatan. Gambar 5.8. Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai Karakteristik

120 100 Akses terhadap persalinan dengan Seksio Data SDKI menunjukkan tren persalinan dengan seksio, terutama terjadi pada kelompok penduduk terkaya, terutama kuintil 4 dan 5. Persen seksio pada kelompok kuintil 1 dan 2 adalah kurang dari 1 persen dan nyaris tidak ada perubahan selama lebih dari 20 tahun, sementara pada kuintil 3, terjadi kenaikan walaupun tetap masih di bawah 2 persen. Sedangkan kenaikan persentase seksio pada kelompok kuintil 5 cenderung mengalami peningkatan hingga hampir mencapai 10 persen pada tahun Rendahnya proporsi yang mendapatkan tindakan seksio pada tiga kelompok kuintil terbawah mengindikasikan rendahnya akses kelompok miskin pada seksio karena memerlukan biaya tinggi, sementara diperkirakan sedikitnya 5 persen persalinan memerlukan tindakan seksio. Dengan demikian, sebagian besar mereka yang membutuhkan seksio tidak mendapatkannya dan kemungkinan meninggal. Gambar 5.9. Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia berdasarkan kuintil kekayaan, Tahun (SDKI) Untuk menghilangkan hambatan biaya dalam mengakses pelayanan kesehatan terutama rumah sakit, pemerintah telah menjalankan Program Jampersal sejak tahun Melalui Jampersal, seluruh biaya persalinan di fasilitas kesehatan ditanggung oleh pemerintah. Program ini diperkirakan meningkatkan akses persalinan, termasuk tindakan seksio. Data SDKI menunjukkan terjadi kenaikan pelayanan seksio dari 6,8 persen (2007) menjadi 12,3 persen (2012). Peningkatan tersebut terutama terjadi pada kelompok kuintil 1 sampai 4, yaitu sekitar dua kalinya, sementara pada kuintil 5 terjadi kenaikan sebesar 40 persen. Walaupun meningkat, persentase seksio pada kelompok kuintil 1 masih sangat rendah, yaitu 3.7 persen. Gambar Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia, berdasarkan Kuintil Kekayaan tahun 2007 dan 2012

121 101 Target MDG 5 B: Mewujudkan Akses Kesehatan Reproduksi bagi Semua pada tahun 2015 Target mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua atau universal access of reproductive health mengindikasikan bahwa pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi seharusnya tersedia, dapat dijangkau, dan memenuhi beragam kebutuhan semua orang. Arti universal mensyaratkan pelayanan yang: (1) dengan mudah dan aman terjangkau oleh semua orang, (2) tersedia bagi masyarakat miskin dengan biaya yang murah; dan (3) peka terhadap nilai sosial, kultural, agama dan nilai-nilai lokal lainnya. Untuk Indonesia, akses universal terhadap kesehatan reproduksi sangat penting mengingat lebih dari 60 juta penduduk merupakan perempuan usia produktif. Total Fertility rate (TFR) dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Dalam 10 tahun terakhir TFR Indonesia tidak mengalami penurunan. Beberapa hal bisa menjelaskan stagnasi ini, antara lain proporsi wanita usia subur yang pernah kawin, tren CPR, penggunaan metoda campuran (mixed methods) dan umur saat perkawinan pertama. Perkawinan usia remaja dan proporsi childbearing pada usia remaja juga akan berpengaruh terhadap TFR. Tidak turunnya TFR di Indonesia mungkin disebabkan karena sejak desentralisasi sistem pemerintahan yang dimulai tahun 2000, terjadi perubahan organisasi BKKBN, yang implikasinya berbeda di setiap provinsi, tetapi pada umumnya terjadi pelemahan kantor BKKBN di daerah, termasuk pendanaannya. Hal ini diikuti antara lain dengan menurunnya jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) secara signifikan sehingga menyebabkan program promosi KB di masyarakat sangat turun. Gambar Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun (SDKI) Prevalensi pemakaian kontrasepsi (CPR-contraceptive prevalence rate) merupakan indikator penting dalam mengukur akses pelayanan KB. Target nasional CPR untuk tahun 2014 adalah 65,5 persen (RPJMN ), sementara target MDGs adalah meningkatnya CPR, tanpa target angka. Data SDKI menunjukkan sedikit peningkatan CPR dengan menggunakan cara modern yaitu dari 57,4 persen (2007) menjadi 57,9 persen (2012). Namun demikian perlu diperhatikan adanya perubahan sample dari ever married dan currently married pada SDKI sebelumnya menjadi semua perempuan dan perempuan yang sedang menikah (all women and currently married) pada SDKI Dengan demikian denominatornya lebih besar, sehingga CPR menjadi lebih kecil. Sebaliknya bila menggunakan denominator yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya diperkirakan CPR akan lebih besar.

122 102 Gambar Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) modern pada wanita kawin usia tahun di Indonesia,tahun (SDKI) Metode KB yang digunakan CPR tidak sepenuhnya menunjukkan proteksi terhadap terjadinya kehamilan karena mengukur metode KB yang berbeda dan tidak memperhitungkan diskontinuitas penggunaan KB. Data SDKI 2007 menunjukkan rendahnya penggunaan metode KB berjangka waktu panjang (implan dan operasi) dibandingkan dengan metode berjangka pendek. Perbandingan penggunaan metoda KB antara tahun 2007 dan 2012 menunjukkan bahwa penggunaan injeksi hampir sama, penggunaan implan meningkat dari 2.8 persen menjadi 3.3 persen dan penggunaan IUD menurun dari 4.9 persen menjadi 3.9 persen. Gambar Metode Kontrasepsi yang dipergunakan wanita menikah usia tahun, SDKI 2007 dan 2012

123 103 Perubahan peran sektor pemerintah dan sektor swasta Rendahnya penggunaan metoda KB berjangka panjang perlu dikaji bersama-sama mengingat telah terjadi perubahan peran sektor swasta dalam pemberian pelayanan KB. Data SDKI antara tahun 1991 dan 2012 menunjukkan semakin turunnya peran pemerintah dan semakin naiknya peran swasta, yang merupakan keberhasilan program KB. Tetapi di pihak lain, penggunaan metoda KB ternyata lebih banyak pada metoda yang berjangka pendek. Gambar Perubahan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pelayanan KB SDKI 2012 menunjukkan bahwa diantara penggunaan metoda KB yang digunakan, metode jangka pendek injeksi 83,1 persen dan pill 68 persen diperoleh dari swasta dan hanya 16, persen untuk injeksi dan 18,7 persen pil yang diperoleh dari fasilitas pemerintah. Secara umum penggunaan injeksi, IUD, pil dan kondom pria sebagian besar diperoleh dari fasilitas swatsa, sedangkan metode tubektomi dan implan diperoleh lebih banyak yang diperoleh dari fasilitas pemerintah. Dengan demikian metoda KB jangka panjang terutama implan dan operasi pada wanita sebagian besar diberikan oleh fasilitas pemerintah. Gambar Metoda KB yang digunakan menurut sumber

124 104 Partisipasi laki-laki dalam program KB Rendahnya partisipasi dalam penggunaan metode KB tergambar dari rendahnya operasi dan penggunaan kondom. Operasi laki-laki hanya 0,2 persen, dan tidak mengalami perubahan antara tahun 2007 dan Penggunaan metode kondom meningkat dari 1,3 persen menjadi 1,8 persen, tetapi masih rendah. Semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat mengikuti program Keluarga Berencana (KB) sangat dirasakan dalam satu dasawarsa terakhir dan memberikan dampak yang signifikan terhadap tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk. Karena itu revitalisasi program KB mutlak diperlukan. Bukan saja demi menekan laju pertumbuhan penduduk, namun lebih jauh lagi diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sejahtera. Kinerja BKKBN memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih baik. Perlu berkonsultasi dan melibatkan para pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta pemimpin informal lainnya. Sekaligus juga harus dipikirkan metode dan cara-cara KB yang tepat, yang dapat melindungi hak azasi manusia termasuk hak reproduksi, sekaligus hak-hak kaum perempuan. Angka Fertilitas dan Child bearing pada Remaja perempuan usia tahun Angka Fertilitas Remaja mengindikasikan kesempatan yang tersedia bagi setiap anak perempuan dan kerentanan yang mereka hadapi selama dan setelah melewati masa remaja. Angka Fertilitas remaja per 1000 perempuan usia tahun menurun dari 51 pada tahun 2002/2003 dan 2007, menjadi 48 pada tahun Namun demikian angka tersebut masih relatif jauh dari target MDGs yang dicanangkan, yaitu sebesar 30 kelahiran per 1000 wanita pada tahun Gambar Angka Fertilitas Spesifik Remaja usia tahun,sdki Indikator penting lainnya adalah childbearing (pernah melahirkan anak hidup atau sedang hamil anak pertama) pada usia remaja. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa 9,5 persen remaja telah memulai childbearing-nya pada saat survei. Persentase remaja yang sudah pernah melahirkan anak hidup tiga kali lebih besar (7 persen) dibandingkan dengan yang sedang hamil anak pertamanya (2.5 persen) saat survei. Angka ini turun dari 11,2 persen pada tahun 1994, menjadi 8,5 persen pada tahun tahun 2007, tetapi meningkat lagi pada tahun Hal ini sangat penting mendapatkan perhatian karena jumlah penduduk remaja perempuan di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 10 juta pada tahun 2010 (BPS, Sensus Penduduk).

125 105 Meningkatnya angka childbearing pada remaja dapat disebabkan karena kurangnya akses terhadap pelayanan dan informasi tentang kesehatan reproduksi yang mencukupi. Hal ini mungkin terkait dengan melemahnya fungsi BKKBN dalam program KB di daerah sehingga promosi dan pelayanan program KB pada remaja mengalami penurunan. Selain itu UU No. 1 tahun 1974 mengenai usia perkawinan, yang memperbolehkan perempuan untuk menikah pada usia 16 tahun, dapat berpengaruh terhadap perkawinan usia remaja. Angka childbearing pada remaja dua kali lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, jauh lebih tinggi pada perempuan yang mempunyai pendidikan rendah dan yang berada dalam kelompok kuintil rendah. Gambar menyajikan persentase wanita remaja umur tahun yang sudah pernah melahirkan dan atau sedang hamil saat survei dilakukan. Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa tren fertilitas remaja di Indonesia menurun, yaitu pada tahun 1997 sekitar 12,2 persen remaja sudah membina keluarga, dimana 9,4 persen sudah pernah melahirkan anak dan 2,7 persen sedang mengandung anak pertama. Pada SDKI tahun 2002/2003, menunjukkan penurunan menjadi 10,4 persen saja remaja yang sudah pernah melahirkan atau sedang mengandung anak pertama. Pada tahun 2007 terdapat 8,5 persen remaja sudah pernah melahirkan dan sedang mengandung anak pertama yaitu sebesar 6,6 persen remaja sudah pernah melahirkan dan 1,9 persen remaja sedang mengandung anak pertama (SDKI, 2007). Sementara itu hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan adanya peningkatan fertilitas remaja dimana persentase remaja wanita umur tahun yang sudah melahirkan dan hamil anak pertama yaitu mencapai 10 persen. Hal tersebut menunjukkan remaja merupakan pelaku seks aktif, namun masih memiliki pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang rendah. Tabel 5.3. Distribusi persentase fertilitas remaja wanita tahun menurut karakteristik demografi dan sosio-ekonomi, SDKI 2012 Gambar Persen perempuan tahun yang sudah pernah melahirkan bayi hidup atau sedang hamil anak pertama saat survei Variabel Fertilitas remaja Tidak Ya Jumlah p-value Daerah tempat tinggal Perkotaan 93,7 6, ,000 Perdesaan 86,9 13,

126 106 Pendidikan (years of schooling) 9 tahun 84,7 15, ,000 > 9 tahun 96,6 3, Indeks kekayaan kuintil Terbawah 83,2 16, ,000 Menengah bawah 86,3 13, Menengah 90,3 9, Menengah atas 93,4 6, Teratas 97,4 2, Status bekerja Tidak bekerja 89,9 10, ,012 Bekerja 91,9 8, Menurut daerah tempat tinggal remaja wanita menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian fertilitasnya antara mereka yang tinggal di perkotaan dengan di perdesaan. Remaja wanita yang tinggal di perdesaan memiliki persentase pernah melahirkan dan atau sedang hamil saat survei dua kali lebih tinggi (13 persen) dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan (6 persen). Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McDevitt dkk (1996) yang menemukan bahwa kejadian fertilitas remaja yang tinggal di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaan. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan terbatasnya fasilitas, akses dan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang tersedia di wilayah perdesaan. Apabila ditinjau menurut lamanya menjalani pendidikan formal, terlihat bahwa semakin lama seorang wanita menduduki sekolah formal maka semakin kecil persentase wanita yang mengalami fertilitas pada usia remaja. Persentase remaja wanita dengan lama pendidikan lebih dari sembilan tahun (memasuki SLTA dan lebih tinggi) memiliki persentase kejadian fertilitas sebesar 3 persen, sementara persentase kejadian fertilitas pada wanita dengan lama pendidikan maksimal sembilan tahun (lulus SLTP) tiga kali lebih tinggi yaitu sebesar 15 persen. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nahar dan Min (2008) yang menjelaskan bahwa wanita berpendidikan tinggi identik dengan penundaan usia perkawinan dan menunda memiliki anak. Berdasarkan status kesejahteraan yang dicerminkan dengan indeks kekayaan kuintil menunjukkan bahwa terdapat pola dan hubungan yang kuat antara kejadian fertilitas pada remaja dengan tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi status kesejahteraan keluarga dari remaja maka akan memperkecil persentase kejadian fertilitas remaja. Persentase tertinggi (17 persen) fertilitas remaja terjadi pada mereka yang memiliki status kesejahteraan terbawah, sebaliknya remaja wanita dengan status kesejahteraan teratas memiliki persentase kejadian fertilitas terendah yaitu sebesar tiga persen. Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cesare dan Vignoli (2006) yang menjelaskan bahwa ada pengaruh tingkat sosial ekonomi dengan probabilitas menjadi ibu pada umur muda. Remaja dengan indeks kekayaan tinggi memiliki resiko menjadi ibu umur remaja lebih rendah dibandingkan dengan remaja dengan indeks kekayaan rendah. Kondisi sosial ekonomi memiliki pengaruh negatif pada probabilitas menjadi ibu pada umur remaja.

127 107 Kunjungan Ante Natal 1 dan 4 (K1 dan K4) Indikator MDG 5 B lainnya adalah kunjungan ANC 1 dan ANC 4 (K1 dan K4), yang telah memenuhi target MDG 5. Kunjungan K1 sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, naik dari 75 persen pada tahun 1991 menjadi 96,9 persen pada tahun Untuk K4, telah terjadi kenaikan cukup tajam (dari 56 persen di tahun 1991 naik menjadi 73,5 persen di tahun 2012) walaupun masih perlu ditingkatkan lagi. Angka K4 menunjukkan peningkatan antara tahun 2003 dan 2012, terutama antara tahun 2007 dan Namun demikian masih seperempat dari wanita hamil tidak mendapatkan pelayanan ANC yang seharusnya (lengkap) sehingga mungkin sebagian komplikasi kehamilan tidak terdeteksi (misalnya preeklampsi dan kelainan letak), sehingga terlambat mendapatkan pertolongan yang mencukupi. Salah satu penyebab tidak naiknya K4 lebih tinggi adalah karena banyak bidan yang tidak tinggal di desa sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan bidan kurang optimal. Selain itu, pencapaian K4 saja perannya tidak akan optimal bila komponen pelayanan yang penting dalam kunjungan antenatal tersebut tidak diberikan. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa pada saat antenatal, hanya 53 persen ibu yang memperoleh informasi mengenai tanda-tanda kompliksi kehamilan, hanya 47,7 persen yg diperiksa urinnya, dan 41 persen yang diperiksa darahnya (untuk menentukan apakah ibu mengalami anemia). Hal ini seharusnya sangat penting dilakukan karena perdarahan dan eklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu. Perdarahan kebidanan sangat terkait dengan status anemia ibu hamil, sementara prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia tinggi. Unmet need KB Gambar Kunjungan K1 dan K4 antara tahun (SDKI) Unmet need mengindikasikan bahwa permintaan terhadap kontrasepsi tidak terpenuhi, baik karena tidak optimalnya pelayanan maupun karena biaya. Dengan menggunakan definisi unmet need yang baru, telah terjadi penurunan persen unmet need, dari 17,0 persen pada tahun 1991 menjadi 13,1 persen dan 11,4 persen pada tahun 2007 dan 2012 sehingga telah memenuhi target MDG 5B. Namun demikian, angka unmet need ini tinggi. Untuk mencapai universal coverage seharusnya angka unmet need nol.

128 108 Masih tingginya unmet need KB, mengindikasikan bahwa masih cukup banyak perempuan yang kebutuhannya terhadap KB tidak terpenuhi, baik karena alasan mengatur jarak kehamilan (spacing) ataupun pembatasan kehamilan. Dari gambaran ini, 4,5 persen unmet need disebabkan karena alasan penjarangan kehamilan, sedangkan 6,9 persen untuk pembatasan kehamilan. Sesuai dengan yg diperkirakan, alasan spacing lebih besar pada kelompok usia muda, sedangkan alasan pembatasan lebih besar pada mereka yang berusia lebih tua. Bagi wanita berstatus kawin yang berusia dibawah 25 tahun yang mengalami unmet need KB, hampir seluruhnya ditujukan untuk menunda kelahiran. Sedangkan untuk wanita kawin yang diatas usia 25 tahun, unmet need KB untuk membatasi kelahiran menunjukkan peningkatan. Demikian pula, alasan pembatasan lebih banyak pada mereka yang telah mempunyai anak 3 atau lebih, sedangkan alasan spacing lebih banyak pada mereka yang mempunyai anak 2 atau kurang. Tidak terdapat perbedaan nyata antara perkotaan dan perdesaan. Gambar Tren Unmet need (persen) di Indonesia tahun (SDKI) Disparitas terhadap Akses Pelayanan Reproduksi Disparitas TFR Disparitas antar provinsi terlihat pada angka TFR, terendah di DIY dan tertinggi di provinsi Papua Barat. Angka TFR lebih tinggi pada masyarakat perdesaan dibanding perkotaan. Diharapkan bahwa CPR yang tinggi akan diikuti dengan TFR yang rendah. Tidak sejalannya antara CPR dan TFR mungkin disebabkan karena perbedaan kecenderungan pengguna kontrasepsi tahun-tahun terakhir.

129 109 Gambar Total Fertility Rate (TFR) berdasarkan provinsi tahun 2012 (SDKI) Selanjutnya TFR secara umum lebih tinggi pada masyarakat yang berpendidikan lebih rendah (3 kelompok masyarakat dengan pendidikan terendah) dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih tinggi. Perbedaan TFR terlihat nyata antar kuintil kekayaan. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa telah terjadi pola penggunaan kontrasepsi, dalam hal ini CPR rendah, pada kelompok yang berpendidikan dan kuintil cukup tinggi. Gambar Total Fertility Rate berdasarkan Lokasi tempat tinggal, Pendidikan, dan Kuintil Kekayaan, tahun 2012 (SDKI)

130 110 Disparitas CPR Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa disparitas CPR antarprovinsi. CPR terendah adalah di provinsi Papua (19,1 persen) dan tertinggi di provinsi Kalimantan Selatan (66,4 persen). Lebih lanjut, CPR di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Kenyataan bahwa CPR di perkotaan lebih rendah dibandingkan di perdesaan perlu dikaji lebih lanjut, terutama jika dikaitkan dengan TFR yang lebih tinggi di perkotaan di bandingkan diperdesaan tertama pada kelompok usia yang lebih muda. Demikian juga untuk tingkat pendidikan, pola disparitas cukup menarik karena angka CPR terendah pada kelompok masyarakat yang mempunyai pendidikan tertinggi dan terendah. Demikian pula dengan kuintil kekayaan, CPR terendah pada kuintil 5 dan kuintil 1. Gambar Persen perempuan usia tahun yang menggunakan kontrasepsi modern berdasarkan provinsi (SDKI 2012) Gambar Distribusi wanita usia tahun yang menggunakan metode KB modern berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan (SDKI 2012)

131 111 Disparitas Metoda KB Analisa terhadap metode kontrasepsi yang digunakanberdasarkan jumlah anak yang sudah dimiliki pada tahun 2007 dan 2012 dilakukan untuk mengetahui apakah kelompok yang sudah mempunyai anak lebih dari 2 orang lebih cenderung menggunakan metode KB jangka panjang (operasi dan implan) atau tidak. Penggunaan Implan meningkat pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun Kenaikan terutama terjadi pada perempuan yang mempunyai anak 3 atau lebih. Metode operasi pada perempuan yang mempunyai anak 3-4 meningkat. Namun pada perempuan yang mempunyai anak 5 atau lebih tidak terjadi peningkatan. Sementara itu metode operasi pada laki-laki sangat rendah dan bahkan turun dari 0.5 persen ke 0,1 persen dari tahun 2007 ke 2012 pada mereka yang telah mempunyai anak 5 atau lebih. Sebaliknya penggunaan metode kondom meningkat lebih dari 2 kalinya, yaitu dari 2.3 persen menjadi 5.1 persen pada tahun 2012, walaupun tetap masih rendah. Disparitas childbearing pada Remaja Gambar Metode Kontrasepsi yang digunakan wanita menikah usia tahun berdasarkan jumlah anak yang masih hidup dan variabel lainnya (SDKI 2007 dan 2012) Bila dilihat berdasarkan umur, remaja yang telah memulai childbearing-nya meningkat dengan meningkatnya umur, yaitu 1,2 peren pada remaja usia 15 tahun, meningkat menjadi 4,1 persen, 7,3 persen, 13,11 persen dan 24,1 persen secara berturut-turut pada remaja usia 16, 17, 18 dan 19 tahun. Angka childbearing pada remaja dua kali lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, namun kenaikan antara tahun 2007 dan 2012 justru terjadi pada mereka yang tinggal di perkotaan. Angka childbearing pada remaja pada kelompok dengan pendidikan lebih rendah (3 kelompok terendah) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendidikan tinggi; dan terjadi kenaikan yang tajam pada semua kelompok kecuali pada kelompok dengan pendidikan tertinggi. Berdasarkan kuintil kekayaan, childbearing tahun 2007 lebih tinggi pada kuintil atas, terutama kuintil 4. Tetapi kenaikan tajam pada tahun 2012 terjadi pada kelompok kuintil 1 dan 2, sebaliknya turun secara tajam pada kuintil 3 dan terutama pada kuintil 4 dan 5.Tampaknya childbearing pada remaja yang cenderung meningkat di perkotaan, berpendidikan rendah dan pada kelompok miskin terkait dengan program penyuluhan KB pada remaja yang kurang efektif.

132 112 Disparitas pemanfaatan layanan ANC Gambar Persen wanita usia tahun yang telah melahirkan atau sedang hamil anak pertama (childbearing) berdasarkan berbagai variable, SDKI 2007 dan 2012 Secara umum, disparitas ANC antarpropinsi tidak terlalu besar. Kunjungan ANC (minimal sekali kunjungan) telah melebihi 85 persen di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali di Papua yang baru mencapai 57,8 persen pada tahun Demikian pula dengan disparitas ANC antar tingkat pendidikan ibu, kecuali pada ibu yang tidak pernah sekolah, ANC hanya 64 persen. Sedangkan berdasarkan variabel lainnya, yaitu antara perkotaan dan perdesaan dan antara kuintil kekayaan, tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam capaian ANC. Gambar Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil berdasarkan provinsi, SDKI 2012

133 113 Gambar Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan, SDKI 2012 Disparitas Unmet need KB Disparitas proporsi unmet need antarprovinsi cukup besar, yaitu antara 7,6 persen di Kalimantan Tengah dan 23,8 persen di provinsi Papua. Dengan demikian, unmet need di propinsi tertinggi mencapai 3 kali lipat di banding unmet di propinsi yang terendah. Dengan rata-rata unmet need 11,4 persen pada tahun 2012, kira-kira dua pertiga provinsi di Indonesia mempunya unmet need lebih besar dari 10 persen. Gambar Unmet need metode KB berdasarkan provinsi, SDKI 2012

134 114 Dilihat dari kondisi geografi dan sosial ekonomi keluarga dan karakateristik ibu, unmet need semakin meningkat dengan jumlah anak yang hidup. Bahkan pada ibu yang mempunyai dua anak atau lebih, unmet need mencapai hampir 40 persen dan kondisi ini tidak mengalami perubahan secara signifikan dari tahun Kebutuhan kontrasepsi dapat dibagi dua kelompok, yaitu untuk menjaga jarak kelahiran (pen-jarakan atau spacing) dan untuk membatasi jumlah kelahiran (limiting) berdasarkan umur, alasan pen-jarak-an kehamilan lebih tinggi pada yang berusia muda, sedangkan pada kelompok yang bersuia lebih tua alasan pembatasan kehamilan lebih mendominasi. Alasan pembatasan kehamilan juga lebih besar pada mereka yang telah mempunyai anak 3 orang atau lebih.alasan pembatasan kehamilan lebih dominan pada mereka yang tinggal di perkotaan dan pada mereka yang mempunyai pendidikan rendah, dan sebaliknya pada kelompok dengan kuintil kekayaan yang tinggi. Gambar Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik Di antara ibu yang telah mempunyai 2 anak, masih cukup banyak yang tidak menginginkan jumlah anak lagi (limiting). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan kontrasepsi pada kelompok ini perlu mendapat perhatian yang serius. Demikian pula pada kelompok miskin dan ibu yang tidak pernah bersekolah, keinginan untuk tidak mempunyai anak lagi cukup tinggi, tetapi pada saat yang sama unmet need pada kelompok ini juga cukup tinggi, sehingga perlu perhatian yang lebih serius.

135 115 Gambar Persen wanita menikah yang tidak menginginkan anak lagi berdasarkan berbagai variabel (SDKI 2007 dan 2012) 5.1. Kotak Best practices Mewujudkan Angka Kematian Ibu Nol (AKINO) di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat Pemda provinsi NTB sejak tahun 2010 mencanangkan Program AKINO, yaitu menekan AKI menjadi Nol. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk penggratisan biaya pelayanan di fasilitas kesehatan dan penempatan satu orang Bidan di setiap desa. Sejak pencanangannya, Kabupaten Lombok Utara telah berhasil menurunkan kematian ibu menjadi nol secara berturut-turut tahun 2012 dan 2013, dan menjadi kabupaten pertama yang mencapai AKI nol. Upaya yang telah dilakukan di KLU meliputi penguatan kebijakan sistem, kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat, kebijakan program kesehatan di KLU dan kebijakan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan pemberdayaan masyarakat meliputi pelayanan kesehatan gratis di sarana kesehatan dan rujukan melalui pemanfaatan program Jamkesmas, Jampersal dan Bansos; peningkatan pelayanan Puskesmas oleh dokter dengan menempatkan minimal 1 dokter di setiap Puskesmas dibantu setidaknya Perawat dan Kebidanan lulusan D3; dan setiap desa mempunyai 2 orang Bidan dan satu Pustu. Kebijakan ini didukung oleh kebijakan lainnya, antara lain pendataan ketat Bumil secara dini oleh kader; memberlakukan sistem pelaporan cepat Posyandu (SMS center) dan sistem pelaporan cepat pasca salin; dan dikembangkannya model pembiayaan operasional INOVASI Puskesmas bersama Kepala Desa. Penjaminan kualitas pelayanan, peningkatan kompetensi manajemen Puskesmas, dan memperbaiki fungsi rujukan oleh masyarakat sampai ke RS juga merupakan komponen kegiatan yang diprioritaskan. Kebijakan yang cukup komprehensif tersebut telah memungkinkan dilakukannya pelayanan yang berkesinambungan (continuum of care)

136 Tantangan (Unfinished Business MDG 5 and Emerging Issues) 1. Secara umum akses terhadap pelayanan ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, tetapi peningkatan cakupan ini belum mampu mendorong penurunan angka kematian ibu. Tantangan yang dihadapi adalah menjamin keberlangungan pelayanan secara konsisten dan berkualitas terutama meliputi: a. Pemahaman konsep yang kurang mengenai continuum of care untuk penyelamatan ibu terutama menjaminketersediaan pelayanan 24/7 di tingkat pelayanan dasar (PONED, Puskesmas, Polindes) dan pelayanan rujukan (PONEK) 24/7 yang didukung dengan sistem rujukan yang efektif. b. Kualitas pelayanan PONED dan PONEK yang berfungsi 24/7 masih rendah, yang disebabkan karena keterbatasan jumlah,distribusi, keterampilan tenaga,dan kualitas pelayanan termasuk ketersediaan obat dan darah) c. Sistem rujukan yang belum efektif, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mengambil keputusan, keterlambatan dalam merujuk dan keterlambatan dalam mengambil tindakan. d. Tingkat pengetahuan dan keterampilan bidan dalam pengenalan berbagai tandatanda komplikasi kehamilan dan kemampuan dalam merujuk masih rendah. 2. TFR yang masih tetap tinggi dan bahkan tidak mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir, CPR yang tidak meningkat scara signifikasn, dan masih tingginya unmet needmenyebabkan. Jumlah population at risk, yaitu ibu hamil yang masih tinggi, yang pada gilirannya peluang untuk terjadinya kematian ibu juga tinggi. 3. Disparitas pelayanan kesehatan reproduksi serta pelayanan keluarga berencana baik antar propinsi, antara perkotaan dan perdesaan serta antara tingkat sosial ekonomi keluarga dan ibu masih tinggi, sehingga perlu adanya penajaman sasaran agar intervensi lebih efektifitas 4. Pemakaian mixed method KB dan penggunaan metoda KB berjangka pendek jauh lebih tinggi dibandingkan dengan metoda jangka panjang, serta masih rendahnyaperan serta laki-laki dalam KB perlu adanya penigkatan 5. Tingginya angka childbearing pada remaja yang dipengaruhi oleh keterbatasan ketersediaaan dan akses ke informasi (kurikulum, promosi diluar institusi) perlu diatasi antara lain terhadap pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi terutama untuk remaja puteri serta upaya promosi melalui program KIE di masyarakat dan institusi formal; UU perkawinan; target perdesaan dan terutama urban, kelompok pendidikan 3 terendah, 2 kuintil terbawah 6. Komitmen pemerintah daerah masih sangat bervariasi dalam hal pengadaan dan distribusi tenaga kesehatan, pengadaan dan distribusi fasilitas kesehatan, peraturan terkait pelayanan di fasilitas kesehatan serta kerjasama dengan PMI 1.2. Kebijakan 1. Dalam rangka percepatan penurunan AKI, Kementerian Kesehatan menetapkan 7 program utama. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, perlu adanya monitoring dan evaluasi yang kuat untuk mengetahui perkembangan program dan menjadi masukan untuk perbaikan program maka sistem monitoring dan evaluasi perlu diperkuat. Program utama percepatan penurunan AKI tersebut adalah sebagai berikut: a. Penjaminan kompetensi bidan di desa sesuai standar b. Penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar

137 117 c. Penjaminan seluruh RS Kab./Kota mampu PONEK 24/7 sesuai standar d. Penjaminan terlaksananya rujukan efektif e. Penjaminan dukungan PEMDA terhadap regulasi yang diperlukan untuk mendukung secara efektif pelaksanaan program f. Peningkatan kemitraan swasta g. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat 2. Dalam rangka meningkatkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015, kebijakan yang ditetapkan adalah: a. Secara Umum i. Meningkatkan dan memperkuat Kelembagaan dan fungsi BKKBN agar mempunyai otoritas koordinasi di tingkat nasional lebih kuat ii. Memperkuat penggerakan lini lapangan sehingga penguatan demand dan supply berjalan seimbang b. Secara Khusus i. Meningkatkan kualitas Supply Chain Management (mulai dari forecasting, pengadaan, penyimpanan, distibusi sampai faskes dan akseptor KB) sehingga dapat mencegah stock nol dan putus pakai KB ii. Meningkatkan kualitas dan kompetensi provider pelayanan KB (pembangunan kapasitas dan peningkatan kompetensi) iii. Pengembangan jejaring kemitraan pelayanan KB berkualitas dan merata termasuk dengan swasta iv. Meningkatkan intensitas KIE yang berkesinambungan dan tepat v. Peningkatan pendewasaan usia perkawinan pertama pada perempuan melalui program GENRE (generasi berencana) vi. Pembekalan calon pengantin tentang perencanaan kehidupan berkeluarga vii. Penguatan peran pengelola dan motivator KB 3. Peningkatan akses, kualitas dan kemitraan dalam pembinaan kesertaan KB di klinik KB Pemerintah dan Swasta, dengan sasaran: a. Tersedianya data basis basis dari klinik KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta TNI, POLRI dan Swasta b. Terselenggaranya pelayanan KB yg berkualitas di klinik KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta TNI, POLRI dan Swasta c. Tersedianya sarana penunjang pelayanan KB di klinik KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta TNI, POLRI dan Swasta d. Meningkatnya kompetensi sumber daya penyelenggara pelayanan KB di klinik KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta TNI, POLRI dan Swasta 4. Peningkatan kesertaan KB MKJP terutama di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan (Galcitas), KB PUSMU (PUS Muda) atau PUSMUPAR (Pus Muda Paritas Rendah), KB Pria, KB Pasca Persalinan-Pasca Keguguran (KB PP-PK), Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak (KHIBA) dan Pencegahan Masalah Kesehatan Reproduksi (PMKR) 5. Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian khususnya dalam pelayanan KB antara lain adalah:

138 118 a. Penyediaan alokon, Contraceptive Supply Chain dan menjamin bahwa alokon tersebut dapat mencapai pengguna b. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan khususnya dalam pelayanan metoda kontrasepsi jangka panjang c. Pemberian kewenangan yang jelas bagi tenaga kesehatan dalam memberikan metoda kontraseptif jangka panjang d. Peningkatan kemitraan dengan swasta UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs 1. Penjaminan kompetensi Bidan di desa sesuai standar 2. Penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar 3. Penjaminan seluruh RS Kab/Kota mampu PONEK 24/7 sesuai standar 4. Penjaminan terlaksananya Rujukan Efektif 5. Penjaminan dukungan PEMDA terhadap Regulasi yg diperlukan untuk mendukung secara efektif pelaksanaan Program 6. Peningkatan Kemitraan swasta a) Peningkatan koordinasi dengan fasilitas pelayanan kebidanan sawsta (klinik, Rumah Sakit, Rumah Bersalin) b) peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kesehatan dan obat c) peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal untuk masyarakat miskin d) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal e) Peningkatan promosi dan penggunaan metoda KB jangka panjang oleh tenaga dan fasilitas kesehatan swasta; f) peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kontrasepsi, g) peningkatan pelayanan KB dan Kespro di tempat kerja, dan h) pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan KB 7. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat 8. Meningkatkan strategi KIE yang berkesinambungan dan tepat sasaran yang terintegrasi dengan pesan cegah 4 Terlalu dan pentingnya kehidupan 1000 hari pertama kehidupan dengan (i) Pemberdayaan secara berjenjang: tenaga kesehatan di berbagai tingkat pelayanan kesehatan, dan tenaga non-kesehatan (guru, TOMA, TOGA, LSM, dll); dan (ii) Pemanfaatan berbagai pendekatan, termasuk media massa. Fokus Area Strategi KIE, yaitu (i) Konsep kesehatan reproduksi, dan penitngnya 2 anak cukup yang dihubungkan dengan pencegahan 4 terlalu; (ii) informed choice tentang KB dan pengambilan keputusan berkb; (iii) Genre dan penyiapan kehidupan berkeluarga; (iv) Pentingnya pematangan usia perkawinan pertama; (v) Kelebihan dan kekurangan berbagai metoda KB utama, metoda jangka pendek dan panjang; dan (vi) Akibat diskontinu penggunaan metoda KB 9. Sinkronisasi program dan anggaran pusat dan daerah 10. Peningkatan kapasitas dan kompetensi provider pelayanan KB dan petugas lapanagan KB 11. Penguatan Koordinasi dalam hal menentukan dana operasional untuk penyuluhan dan pelaksanaan program KB serta rekrutmen jumlah PLKB. Selain itu, dalam memperkuat Koordinansi Dinkes dan RS pemerintash dan swasta, koordinasi tingkat Pusat dengan Kemendikbud tentang pendidikan

139 119 Kespro melalui program formal (kurikulum) atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll. Koordinasi tingkat Pusat dengan KemenAg tentang: 1) pendidikan Kespro melalui program formal (kurikulum) di madrasah dan pesantren atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll; 2) calon pengantin 12. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan: a) Pengembangan strategi peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui: pengembangan materi, pendekatan/metoda penyampaian, prioritas target. b) Peningkatan ketersediaan informasi dan pelayanan Kespro untuk remaja melalui kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan: Puskesmas, Sekolah, perkumpulan remaja, dll. 13. Penguatan sistem Informasi, Monitoring dan Evaluasi: a) Antar jenjang sektor kesehatan b) Antar program di sektor kesehatan c) Antar sektor (RS pemerintah, Dinkes, Swasta, BKKBN, dll)

140 120

141 TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Sumber foto: UNDP Indonesia

142 Sumber: UNDP Indonesia

143 123 TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA TARGET 6A TARGET 6B MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU HIV DAN AIDS HINGGA TAHUN 2015 MEWUJUDKAN AKSES TERHADAP PENGOBATAN HIV DAN AIDS BAGI SEMUA YANG MEMBUTUHKAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi 6.2 Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir 6.3 Proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS - 0,43% (2012) Menurun Kemenkes 12,80% (2002/03)* 37,6% (2011)** Meningkat *BPS, SKRRI ** Kemenkes, Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) - 21,25% (2012) Meningkat Kemenkes Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti-retroviral Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus - 84,67% (2013) Meningkat Kemenkes KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Saat ini perhitungan angka prevalensi penyakit HIV dan AIDS dilakukan berdasarkan pemodelan Matematika, berdasarkan perhitungan tersebut deperkirakan Indonesia memiliki prevalensi HIV dan AIDS sebesar 0,43 pada tahun Angka prevalesni kejadian penyakit HIV dan AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat (gambar 6.1) akan tetapi angka prevalensi ini masih di bawah 0,5 persen sesuai dengan angka yang ditargetkan oleh MDGs.

144 124 Gambar 6.1. Prevalensi HIV populasi umur tahun (Kemenkes RI, 2012) Jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan triwulan ke tiga tahun 2013 ada kasus yang dilaporkan. Jumlah kasus HIV tertinggi yang dilaporkan pada triwulan ketiga 2013 adalah dari Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus kasus (Triwulan ke ), sedangkan pada urutan kedua adalah dari Provinsi Papua kasus, urutan ketiga ditempati oleh Provinsi Jawa Timur (Triwulan ke ) (Gambar 6.2). Sedangkan untuk kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan triwulan ketiga tahun 2013, jumlah kasus tertinggi adalah dari Provinsi Papua dengan jumlah kasus, sedangkan urutan kedua dan ketiga adalah Provinsi Jawa Timur sebanyak kasus dan Provinsi DKI Jakarta kasus (Gambar 6.3). Gambar 6.2. Angka kumulatif HIV tahun 2013* (Kemenkes RI, 2013)

145 125 Gambar 6.3. Angka kumulatif AIDS sampai dengan September 2013* (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.4. AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan September 2013 (Kemenkes RI, 2013) Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengendalikan laju penularan penyakit HIV dan AIDS diantaranya adalah penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS, akan tetapi upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil dari Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2013 menunjukkan penggunaan kondom pada populasi berisiko baru mencapai angka 43,52 persen, angka ini masih jauh dari target MDGs yaitu 65 persen (Gambar 6.5). Upaya lain yang juga dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit HIV dan AIDS adalah dengan meningkatkan pengetahuan penduduk melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Berdasarkan rapid survey pada tahun 2012 tentang tingkat pengetahuan masyarakat pada usia tahun mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21% angka ini masih jauh dari target MDGs yakni 95 persen (Gambar 6.6). Sebagai tindak lanjut pada penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut dilakukan upaya pemberian obat antiretroviral (ARV). Proporsi penduduk yang terinfeksi HIV lanjut yang tercakup dalam Antiretroviral Therapy (ART) pada tahun 2011 adalah 84,10 persen ( ODHA) dan meningkat menjadi 88 persen pada tahun 2012 ( ODHA) (Gambar 6.7). Sedangkan ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan tahun 2013 adalah 93,28 persen ( ODHA) dan telah mencapai target RPJMN 90 persen. Peningkatan ODHA yang mendapatkan ART didukung juga dengan peningkatan jumlah fasilitas Konseling dan Testing (KT) serta pelayanan pengobatan di fasilitas-fasilitas kesehatan.

146 126 Gambar 6.5. Penggunaan kondom pada populasi berisiko (Kemenkes RI, 2013) Gambar 6.6. Persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2013) Target 6B: Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS Bagi Semua Yang Membutuhkan Sampai Dengan Tahun 2010 Gambar 6.7. Persentase ODHA yang mendapatkan ART (Kemenkes RI, 2013)

147 127 Kotak 6.1 Pengendalian HIV dan AIDS di Puskesmas Semeni Kota Surabaya, Jawa Timur

148 128 TANTANGAN DAN KEBIJAKAN Penyakit HIV / AIDS merupakan masalah global yang sampai saat ini terus mengancam penduduk dunia tidak terkecuali di Indonesia. Beberapa program yang telah dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penularan penyakit ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang sampai saat ini terus dihadapi tentunya agar penyakit ini tidak meluas dan angka kasusnya menurun. Tantangan tersebut diantaranya adalah; Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengetahui status HIVnya baik ditawarkan ataupun secara sukarela pada kelompok berisiko, selain itu juga tingginya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA baik di masyarakat maupun petugas kesehatan menyebabkan penyakit ini semakin sulit untuk dikendalikan. Tantangan-tantangan diatas ditanggapi pemerintah dengan berbagai upaya diantaranya melalui upaya advokasi kepada pemerintah daerah untuk memasukkan kesehatan remaja (HIV/AIDS) ke dalam kurikulum muatan lokal daerah pada tingkat sekolah menengah. Hal ini dilakukan untuk menjangkau berbagai tingkat pendidikan terutama bagi para remaja yang duduk pada tingkat sekolah menengah yang sangat rentan terhadap penyakit ini. Selain upaya diatas, pemerintah juga melakukan promosi kesehatan melalui kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT) di Provinsi Papua, Sulsel, Bali, Kalbar, Jatim, Jateng, Jabar, DKI, Riau, Sumut, Lampung, Sumsel, DIY, Sulbar, NTB, Jambi, Maluku. Pemilihan provinsi-provinsi ini berdasarkan angka kasus di masing-masing provinsi yang masih tinggi. Untuk memperkuat upaya pegendalikan penyakit HIV/AIDS, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan penting diantaranya adalah; (1) Permenkes nomor : 21 tahun 2013 tentang pengaturan penanggulangan HIV-AIDS, (2) Surat Kesepakatan Bersama 5 Menteri (Menkes, Mendagri, Mendikbud, Mensos, Menag) Tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV/ AIDS, (3) Surat Edaran Menkes nomor : GK/ Menkes/001/I/2013 tentang layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), (4) Instruksi Mendagri nomor : /2259/SJ tentang penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, (5) Perluasan layanan HIV-AIDS dengan pendekatan Layanan Komprehensif Berkesinambungan. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan data persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen dan masih jauh dari target MDGs (95 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan remaja tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah dan megakibatkan kelompok umur remaja tersebut sangat rentan terhadap penularan HIV dan AIDS. Untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran serta untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS maka perlu dilakukan upaya khusus yang difokuskan pada kelompok usia remaja terutama untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit HIV dan AIDS dan salah satunya adalah melalui kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT). Kampanye ini merupakan strategi untuk menyampaikan dan mensosialisasikan perilaku seksual yang berisiko yang harus dihindari sebelum adanya komitmen pernikahan dan penyadaran tentang tata cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Pada tahap pertama kampanye ini dilakukan di 10 Provinsi terpilih yaitu; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi dan Papua. Pada tahap selanjutnya kampanye ini akan

149 129 dilakukan diseluruh Provinsi di Indonesia dengan harapan agar pemerintah, dunia usaha, dan seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda dapat lebih mengenal serta melindungi diri dan orang lain dari risiko penularan penyakit HIV dan AIDS. Selain itu upaya lain yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan terpadu atau komprehensif HIV dan AIDS. Dengan upaya ini maka pencegahan, perawatan dan pelayanan kasus HIV dan AIDS termasuk layanan konseling dan testing, layanan perawatan dan dukungan pengobatan, serta pengurangan dampak buruk dapat dilakukan di satu titik layanan. Upaya tepadu ini telah disepakati dan diterapkan di beberapa daerah di Indonsia seperti di daerah Bogor, Tangerang dan Singkawang. Selain itu, peningkatan jumlah layanan kesehatan untuk konseling telah dilakukan untuk mendukung program tersebut dimana dari 156 layanan pada tahun 2009 menjadi 500 layanan pada tahun Kemudian untuk fasilitas layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (care, support and treatment) telah ditingkatkan dari 163 menjadi 303 rumah sakit yang terdiri dari 235 rumah sakit induk dan 68 rumah sakit satelit. Penerbitan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS telah diterbitkan sebagai upaya untuk menguatkan penanggulangan HIV dan AIDS. Sampai awal tahun 2011, telah terbit 10 Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi; 1 Peraturan Gubernur, dan 13 Perda Kabupaten/ Kota tekait penanggulangan HIV dan AIDS. Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV) Saat ini Kementerian Kesehatan sedang mengembangkan desentralisasi obat ARV sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan obat ARV yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat serta didukung oleh kualitas pelaporan yang baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, Dinas Kesehatan Provinsi bertanggung jawab terhadap manajemen pelaporan rumah sakit dan distribusi obat ARV di daerahnya. Tahun 2000 merupakan awal desentralisasi obat ARV dan saat ini ada 5 Provinsi yang telah melakukan desentralisasi obat ARV antara lain; Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua. Melalui desentralisasi ini Dinas Kesehatan Provinisi mengetahui dan mampu mengontrol distribusi obat ARV di wilayahnya. Pelaksanaan desentralisasi juga dapat meningkatkan akurasi laporan di rumah sakit, mencegah terjadinya stock out, serta mengurangi waktu lead time distribusi ARV dari 5 hari menjadi 2-3 hari. Desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara institusi terkait dan mempermudah evaluasi provinsi tehadap masalah-masalah yang ada di wilayahnya khususnya masalah manajemen pelaporan dan pengelolaan logistik obat ARV.

150 130 TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun Angka kejadian dan tingkat kematian akibat malaria 66.a Angka kejadian malaria (per 1,000 penduduk) 4,68 (1990) 1,38 (2013) Menurun Kementerian Kesehatan 6.7 Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida - 16,50% (2010) Meningkat Kemenkes, Riskesdas 6.8 Proporsi anak balita dengan demam yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat - 34,70% (2010) Meningkat Riskesdas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Saat ini upaya untuk menurunkan angka kejadian malaria berdasarkan annual parasite Incidende (API) menununjukan kecenderungan yang positif, hal ini dapat dilihat dari penurunan kasus malaria sejak tahun 1990 (API 4,68/1000 penduduk) menurun menjadi 1,38/1000 penduduk pada tahun Angka penurunan kasus ini sudah mendekati target yaitu 1,00 per 1000 penduduk (Gambar 6.8). Hal ini didukung dengan semakin baiknya sistem surveilans di daerah sehingga semakin mudah mendeteksi keberadaan kasus di masing-masing daerah terutama di daerah endemisalnya seperti Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (Gambar 6.9). Kelengkapan laporan kabupaten/kota juga mengalami peningkatan, yaitu 79 persen pada tahun 2010 meningkat menjadi 87 persen pada tahun 2012 dan 90 persen pada tahun Gambar 6.8. Angka Insidensi dan Angka Kematian Yang Berhubungan Dengan Malaria

151 131 Gambar 6.9. Annual Parasite Incidence (API) menurut provinsi pada tahun 2013 (dengan kelengkapan laporan kab/kota 90 persen) (Kemenkes RI, 2013) Gambar Jumlah kasus positif Malaria menurut provinsi di Indonesia Tahun 2013 Jika dilihat data lebih lanjut menurut kabupaten/kota, maka terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota yang API nya telah di bawah 1 per 1000 penduduk. Pada tahun 2011 sebanyak 63 persen, meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2012 dan 71 persen pada tahun 2013, sehingga pada tahun 2013 sebanyak 88 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan API < 1 per 1000.

152 132 Gambar 6.11 Jumlah Kasus Malaria Terkonfirmasi per Provinsi Tahun 2012 (Kemenkes RI, 2013) Cakupan penderita malaria yang diobati sesuai standar yaitu terhadap setiap penderita tersangka malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati dengan menggunakan ACT, pada tahun 2013 sebesar 84 persen. Angka ini meningkat dibandingkan dengan cakupan tahun 2012 sebesar 82 persen dan tahun 2010 baru mencapai 47 persen. Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Gambar Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria ( Kemenkes RI, 2013) Sebagai upaya mengurangi angka kejadian malaria khususnya di daerah endemisalnya tinggi, upaya pencegahan dan penyebarluasan malaria adalah untuk mengurangi penularan malaria melalui perlindungan kepada kelompok usia rentan seperti ibu hamil, bayi dan anak-anak usia balita dari gigitan nyamuk penular malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Menurut data Riset Kesehatan daerah Tahun 2010 proporsi anak yang tidur dengan kelambu berinsektisida sebesar 16,5 persen dan diharapkan meningkat pada tahun 2015 sebesar 95 persen. Upaya mencegah penularan khususnya di daerah endemi tinggi malaria dilaksanakan dengan kegiatan distribusi kelambu berinsektisida secara massal dan program terpadu pengendalian malaria, kesehatan

153 133 ibu hamil dan imunisasi untuk mencegah malaria pada ibu hamil, bayi dan balita. Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor risiko penularan malaria. Hingga tahun 2013 triwulan kedua cakupan penduduk yang mendapat perlindungan kelambu berinsektisida di daerah endemi tinggi, sebesar 64 persen. Kotak 6.2. Upaya Juru Malaria Kampung di Teluk Bintuni Papua Barat, Peningkatan Pemberdayaan dan penggerakan Masyarakat dalam memerangi malaria dalam rangka percepatan pencapaian Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2030 Wilayah Papua Barat berupa pegunungan, dataran dan pesisir, sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir, yang kebanyakan adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Situasi ini ideal bagi perkembangbiakan nyamuk malaria, termasuk Teluk Bintuni menjadi daerah endemis malaria dan menjadi permasalahan utama kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Upaya menurunkan kasus malaria dengan memberdayakan dan menggerakkan masyarakat salah satunya dilakukan dengan Program Juru Malaria Kampung (JMK) di Teluk Bintuni Papua Barat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses diagnosis yang cepat dan pengobatan malaria yang terjangkau dan efektif di setiap desa, mengembangkan sistem surveilans yang berkelanjutan, meningkatkan akses dan penggunaan kelambu berinsektisida yang tahan lama, mengembangkan model yang didasarkan pada pendekatan pemasaran sosal dalam peningkatan kesehatan yang berkesinambungan di TelukBintuni dan daerah sekitarnya. Pembentukan JMK dimulai sejak tahun 2006 hingga sekarang. Peran JMK dalam pengendalian malaria di Teluk Bintuni sangat strategis dimana angka kejadian malaria menurun dari 100,07 pada tahun 2008 menjadi 34,41 pada tahun 2010, lalu menurun kembali menjadi 3,56 pada tahun 2012.

154 134 TANTANGAN DAN KEBIJAKAN Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia bagian timur. Di daerah transmigrasi dimana terdapat campuran penduduk yang berasal dari daerah yang endemisalnya dan tidak endemisalnya malaria. Di daerah endemisalnya malaria, masih sering terjadi kejadian luar biasa (KLB) malaria. Kejadian luar biasa ini menyebabkan angka insiden penyakit malaria masih tinggi di daerahdaerah tersebut. Dilihat dari gambaran epidemiologis malaria menurut provinsi di Indonesia, maka terdapat disparitas yang cukup tinggi antara kejadian malaria di kawasan timur Indonesia dengan daerah lain, di mana kasus tertinggi ditemukan di kawasan timur Indonesia (79 persen dari total kasus). Sementara di daerah Jawa Bali, kejadian malaria sudah sangat rendah (1 per 1000 penduduk) sehingga sebagian besar kab/kota sudah memasuki tahap pre eliminasi dan eliminasi. Berdasarkan situasi tersebut, maka dilakukan upaya akselerasi di kawasan timur Indonesia berupa : 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif melalui MBS (mass blood survey). 2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal 3. Penyemprotan Dinding Rumah (Indoor Residual Spraying / IRS) di desa hiperendemisalnya 4. Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) 5. Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya 6. Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria) Strategi distribusi kelambu berinsektisida di Indonesia : 1. Di daerah endemisalnya tinggi dilakukan pembagian kelambu massal 2. Di daerah endemisalnya sedang, kelambu dibagikan kepada kelompok risiko tinggi yaitu ibu hamil dan bayi melalui integrasi dengan program KIA dan Imunisasi. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/Menkes/SK/IV tanggal 28 April 2009 tentang eliminasi Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada tahun 2030 ada delapan strategi yaitu: 1) Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat; 2) Memberdayakan dan menggerakkan masyarakat; 3) Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang berisiko; 4) Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada Pemerintah dan Pemerintah daerah; 5) Menggalang kemitraan dan sumber daya lokal, nasional maupun internasional; 6) Menyelenggarakan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta informasi kesehatan; 7) Melakukan upaya eliminasi melalui forum kemitraan Gebrak Malaria; dan 8) meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan teknologi dalam upaya eliminasi malaria. Penyakit malaria banyak terjadi di daerah terpencil (remote) dan pedesaan (rural),hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai faktor risiko yang lebih besar dibandingkan daerah perkotaan,dikarenakan : - Tempat perindukan (breeding places) nyamuk anopheles banyak terdapat di pedesaan dan terpencil baik perindukan alami maupun akibat secara tidak sengaja dibuat oleh manusia misalnya laguna,tambak terlantar dan galian pasir.

155 135 - Perilaku yang berisiko, mereka yang sering berada diluar rumah pada malam hari dengan tidak menggunakan pakaian atau bahan pelindung dari gigitan nyamuk - Infrastruktur yang belum baik misalnyanya penyediaan air bersih yang belum sampai ke rumah tangga sehingga banyak masyarakat mandi dan mengambil air pada malam hari di sumber mata air Penyakit malaria sangat local specific sehingga antara satu daerah dengan yang lainnya terjadi perbedaan baik menurut kelompok umur, jenis kelamin penderita maupun jenis pekerjaan penderita.di beberapa daerah penyakit malaria banyak menyerang usia produktif dan laki-laki,hal ini disebabkan karena kebiasaan laki-laki lebih sering keluar rumah pada malam hari dan jenis pekerjaan misalnya penambang emas, perambah hutan dan nelayan. Disamping itu di dalam kebijakan program pengendalian malaria ada prioritas perlindungan terhadap ibu hamil dan balita yang sangat rentan terhadap penyakit malaria yaitu pemberian kelambu dan skrining untuk ibu hamil dan bayi yang telah mendapat imunisasi lengkap Upaya yang dilakukan untuk mengakselerasi pengendalian malaria di KTI sehingga angka kesakitan malaria dapat diturunkan lebih cepat adalah dengan berfokus pada kampanye dan distribusi kelambu massal, penemuan aktif penderita melalui pemeriksaan darah massal disertai dengan pengobatan, penyemprotan dinding rumah terbatas pada daerah endemisalnya sangat tinggi. Di samping itu dilakukan pula perbaikan lingkungan di pemukiman sehingga diharapkan mampu mengurangi risiko penularan malaria di masyarakat. Strategi Akselerasi Pengendalian Malaria di KTI 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif melalui MBS (mass blood survey). 2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal 3. Penyemprotan Dinding Rumah (IRS) di desa dengan API > Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) 5. Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya 6. Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria)

156 136 TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan a 6.9b 6.9c a 6.10b penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis Angka kejadian Tuberkulosis(semua kasus/ penduduk/tahun) Tingkat prevalensi Tuberkulosis(per penduduk) Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per penduduk) Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS 343 (1990) 443 (1990) 92 (1990) 20,0% (2000)* 87,0% (2000)* 213 (2013) 27 (2012) 84,41% (2013)** 90,2% (2013)** Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 187 (2013) Dihentikan, mulai berkurang Sumber Laporan TB Global WHO 70,0% *Laporan TB Global WHO, 2009 **Laporan Kemenkes 85,0% KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Program pengendalaan Tuberkolusis dari tahun ke tahun menunjukan hasil yang positif, hal ini terlihat dari peningkatan indikator penemuan kasus / case detection rate (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan / Succes rate (SR). Angka CDR pada tahun 2003 hanya 37,6 persen meningkat menjadi 84,4 persen pada tahun Lama pengobatan TB memerlukan waktu sekitar 6-8 bulan, sehingga untuk menilai angka keberhasilan pengobatan atau SR diperlukan waktu untuk evaluasi sekitar 9-12 bulan, sehingga pasien yang berobat pada tahun 2011 baru dapat dilaporkan pada tahun Angka SR pada tahun 2011 mencapai 90,3 persen dan terjadi peningkatan pada tahun 2012 menjadi 90,2 persen. Indikator SR merupakan salah satu target dari MDGs yang saat ini sudah melampaui target MDGs yaitu 85 persen, dengan demikian Indonesia adalah Negara pertama dari 22 High Burden TB Countries di Wilayah Asia Tenggara yang mencapai target global SR yaitu 85 persen pada tahun 2005.

157 137 Gambar Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR) (Kemenkes RI, 2012) Keberhasilan dalam mengendalikan laju penyakit TB juga dapat dilihat dari penurunan angka kejadian TB, yaitu angka insidensi, prevalensi (gambar 6.15) dan angka mortalitas yang diukur berdasarkan jumlah kasus per penduduk per tahun. Angka insidensi dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dari 204 kasus pada tahun 2000 menjadi 185 kasus pada tahun Penurunan angka insidensi diikuti juga dengan penurunan angka mortalitas akibat TB. Kematian akibat TB 55 kasus pada tahun 2000 turun menjadi 27 kematian pada tahun Gambar Beban TB dalam rate (per penduduk) tahun (Kemenkes RI, 2013) Gambar Perkiraan prevalensi TB per penduduk per tahun berdasarkan modeling TB (Kemenkes RI, 2013)

158 138 Kotak 6.3. PEJUANG TANGGUH (PETA) Suatu bentuk dukungan sebaya untuk pasien Tuberkulosis Calon peer educator dipandu untuk belajar bermain peran (role play) Memotivasi dan memberikan semangat kepada pasien TB MDR untuk menyelesaikan pengobatan Pasien TB yang diobati tetapi tidak sesuai standar akan menyebabkan timbulnya TB resisten obat atau TB MDR (Multi Drugs Resistance). Jumlah pasien TB MDR yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, merupakan beban baru dalam masalah kesehatan di masyarakat. Pengobatan TB MDR membutuhkan waktu yang lama yaitu bulan dan biaya yang lebih besar dari TB biasa menimbulkan permasalahan pada pasien seperti ekonomi, depresi bahkan kehilangan pekerjaan, dan yang lebih mengenaskan adalah timbulnya penolakan maupun pandangan negatif dari masyarakat. Permasalahan yang dialami pasien TB MDR tersebut membutuhkan perhatian lebih terutama untuk penanganan aspek psikososial pasien. Pasien-pasien tersebut membutuhkan dukungan psikologis dari keluarga, masyarakat, petugas kesehatan dan juga dari pasien lainnya (peer/ sebaya). Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang dibentuknya Peer Educator (pendidik sebaya) TB MDR. Konsep peer educator ini adalah untuk memberikan motivasi dan edukasi yang dilakukan oleh pasien kepada pasien. Pasien yang telah sembuh dilatih, diberdayakan dalam memberikan edukasi dan terlibat aktif dalam mendampingi dan memotivasi pasien TB MDR yang masih dalam masa pengobatan. Dukungan dan informasi dari rekan sebaya yang mempunyai latar belakang yang sama akan lebih efektif secara psikologis bagi pasien agar semangat dan cepat sembuh. Pelatihan untuk Peer Educator TB MDR pertama kali diselenggarakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan pada Mei Hasilnya ada 20 orang peer educator yang siap untuk mendukung dan mendampingi para pasien TB MDR yang sedang dalam masa pengobatan, mereka menamai organisasi mereka yaitu Pejuang Tangguh (PETA). Saat ini, PETA sudah dapat membantu dokter dan petugas kesehatan di Rumah Sakit dalam memberikan pendampingan kepada pasien TB MDR dan memotivasi dengan berbagi dan memaparkan pengalamannya sendiri pada saat menjalani pengobatan, diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pasien lainnya dan masyarakat bahwa TB MDR dapat disembuhkan. Dari adanya kegiatan dan lahirnya kelompok PETA ini menunjukkan bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia sudah memulai suatu gerakan ke arah yang lebih baik, salah satunya adalah dengan peduli terhadap penderitaan sesama, dan kita berharap semua tujuan mulia dari teman-teman PETA ini akan membantu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

159 139 TANTANGAN DAN KEBIJAKAN Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa Tuberculosis (TB) merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti jumlah pasien TB yang ditatalaksana di fasilitas pelayanan kesehatan non pemerintah (swasta), masih rendahnya kasus TB resisten obat yang berhasil ditemukan dan mendapatkan pengobatan, komitmen dari pemerintah masih kurang untuk pendanaan program TB, masih kurangnya perhatian untuk tatalaksana kasus TB BTA negatif dan TB anak dan masih rendahnya sumber daya manusia untuk mendukung ekspansi program dan penerapan inovasi baru. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut pemerintan Indonesia melakukan berbagai upaya, diantaranya adalah; (1) Meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu, (2) Menangani MDR- TB, TB anak dan masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. (3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard of TB Care (ISTC), (4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB, (5) Memperkuat sistem kesehatan, termasuk sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB, (6) Meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB, (7) Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN TUJUAN Berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan TB diantaranya dengan peningkatan penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang telah ditemukan. Cara tersebut diwujudkan melalui terebosan-terobosan, antara lain: (1) Memasukkan strategi DOTS dalam akreditasi Rumash Sakit dan pelaksanaan Surat Tanda Registrasi (STR) atau surat Ijin Praktek (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai unsur penilaian, untuk 33 Provinsi; (2) Inisiasi penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT) dalam pemeriksaan TB dengan implementasi metode Line Prob Assay (LPA)/HAIN test di laboratorium mikrobilogi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Dr, Soetomo serta RS Labuan Baji Makasar; (3) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium sebagai National Tuberculosis Referral Laboratory (NTRL); (4) Pengajuan pra kualifikasi obat TB ke WHO; (5) Inisiasi penerapan tes tuberkulin untuk mendukung tes TB pada anak-anak di 33 Propinsi; (6) Penggunaan 17 Gene Expert sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di RS Adam Malik, Laboratorium Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS Moewardi Solo, RS Karjadi, serta Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS Labuan Baji, BBLK Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab. NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (7) Kerjasama dengan asuransi kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB berbasis asuransi bagi pasien TB yang ditangani serta pengembangan skema pembiayaan berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3 BUMN; (8) Pelaksanaan survei nasional prevalensi TB di 33 Provinsi; (9) Perluasan pelayanan pasien TB resisten obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap; (10) Penyusunan exit strategy program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap donor.

160 140 Selain terobosan-terobosan diatas, ditetapakan juga strategi nasional pengendalian TB yang merupakan upaya untuk mencapai tujuan dengan penjabaran strategi kedalam rencana aksi nasional: Pertama, meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani MDR-TB, TB anak dan masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. Ketiga, Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard Of TB Care. Keempat, memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Kelima, memperkuat sistem kesehatan, termasuk sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis. PENYAKIT TIDAK MENULAR DAN CEDERA KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Akibat perubahan perilaku dan gaya hidup manusia maka terjadi perubahan pola dan kecenderungan penyakit. Telah terjadi transisi epidemiologi penyakit dari yang tadinya didominasi penyakit menular, disusul dengan penyakit tidak menular, penyakit akibat kecelakaan dan cedera yang akan menjadi tantangan pembangunan kesehatan di masa yang akan datang. Saat ini penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59.5 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka ini meningkat dari sebelumnya 41.7 persen tahun 1995 dan 49.9persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001) A. Kematian akibat PTM No GOALS-TARGET-INDIKATOR ACUAN DASAR TARGET Persentase kematian akibat stroke 2. Persentase kematian akibat hipertensi 3. Persentase kematian akibat penyakit iskemik 4. Persentase kematian akibat penyakit jantung 5. Persentase kematian akibat diabetes melitus 6. Persentase kematian akibat tumor ganas 7. Persentase kematian akibat cedera 8. Persentase kematian akibat penyakit saluran nafas bawah 15.4% (Riskesdas 2007) 6.8% (Riskesdas 2007) 5.1% (Riskesdas 2007) 4.6% (Riskesdas 2007) 5.7% (Riskesdas 2007) 5.7% (Riskesdas 2007) 6.5% (Riskesdas 2007) 5.1% (Riskesdas 2007) 25% penurunan relatif semua kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan kronis

161 141 B. Prevalensi PTM No GOALS-TARGET-INDIKATOR ACUAN DASAR CAPAIAN TARGET Prevalensi stroke penduduk usia 15+ 8,3 per 1000 (Riskesdas 2007) 2. Prevalensi hipertensi penduduk usia Prevalensi penyakit jantung penduduk usia Prevalensi penyakit sendi penduduk usia ,7% (Riskesdas 2007) 7,2% (Riskesdas 2007) 30,3% (Riskesdas 2007) 5. Prevalensi asma penduduk usia 15+ 3,5% (Riskesdas 2007) 6. Prevalensi Diabetes Mellitus penduduk usia Prevalensi tumor/kanker penduduk usia 15+ 1,1% (Riskesdas 2007) 4,3 per 1000 (Riskesdas 2007) 8. Prevalensi cedera penduduk usia 15+ 7,5% (Riskesdas 2007) Riskesdas ,1 % / 1000 Riskesdas , 8 % Riskesdas ,5 % (PJK) 0,3 % (Gagal Jantung) Riskesdas ,7 % (Rematik) Riskesdas ,5% (Semua Umur) Riskesdas ,1 % Riskesdas ,4 % / 1000 Riskesdas ,2 % (Semua Umur) 10% penuruan relatif prevalensi PT,M Keadaan dan Kecenderungan Prevalensi PTM di Indonesia relatif tinggi. Prevalensi stroke sebesa 8,3 per 1000 penduduk, prevalensi hipertensi 31,7 persen, penyakit jantung 7,2 persen, penyakit sendi 30,3 persen, asma 3,5 persen, DM 1,1 persen, tumor/kanker 4,3 per 1000, dan cedera 7,5 persen. 1. Prevalensi stroke Gambar Prevalensi stroke menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 12 provinsi memiliki prevalensi stroke lebih tinggi dari prevalensi nasional (8.3 per 1000 penduduk). Prevalensi stroke tertinggi di provinsi NAD sebesar 16.6 per 1000 penduduk, disusul Gorontalo 14.9 per 1000 penduduk, dan Kepulauan Riau 14.9 per 1000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah di Papua sebesar 3.8 per 1000 penduduk.

162 Prevalensi hipertensi Terdapat 9 provinsi memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi dari prevalensi nasional (31,7 persen). Prevalensi hipertensi tertinggi di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 39,9 persen, disusul Jawa Timur 37,4 persen, dan Bangka Belitung 37,2 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Papua sebesar 20,1 persen. Gambar Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) 3. Prevalensi penyakit jantung Gambar Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 16 provinsi memiliki prevalensi penyakit jantung lebih tinggi dari prevalensi nasional (7,2 persen). Prevalensi penyakit jantung tertinggi di provinsi NAD sebesar 12,6 persen, disusul Sulawesi Tengah 11,8 persen, dan Sumatera Barat 11,3 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Bengkulu sebesar 0,3 persen.

163 Prevalensi penyakit sendi Gambar Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 11 provinsi memiliki prevalensi penyakit sendi lebih tinggi dari prevalensi nasional (30,3 persen). Prevalensi penyakit sendi tertinggi di provinsi Jawa Barat sebesar 41,7 persen, disusul Papua Barat 38,2 persen, dan NTT 38 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Kepulauan Riau sebesar 17,6 persen. 5. Prevalensi asma Gambar Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 17 provinsi memiliki prevalensi penyakit asma lebih tinggi dari prevalensi nasional (3,5 persen). Prevalensi penyakit asma tertinggi di provinsi Gorontalo sebesar 7,2 persen, disusul Sulawesi Tengah 6,5 persen, dan Papua 5,5 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 1,5 persen.

164 Prevalensi DM Gambar Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 16 provinsi memiliki prevalensi DM lebih tinggi dari prevalensi nasional (1,1 persen). Prevalensi DM tertinggi di provinsi NAD sebesar 1,7 persen, disusul DIY 1,6 persen, dan Sulawesi Tengah 1,6 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 0,4 persen. 7. Prevalensi tumor/kanker Gambar Prevalensi tumor/kanker menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 11 provinsi memiliki prevalensi tumor/kanker lebih tinggi dari prevalensi nasional (4,3 persen). Prevalensi penyakit tumor/kanker tertinggi di provinsi DIY sebesar 9,6 persen, disusul Jawa Tengah 8,1 persen, dan DKI Jakarta 7,4 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Maluku sebesar 1,5 persen.

165 Prevalensi cedera Gambar Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI) Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi cedera lebih tinggi dari prevalensi nasional (7,5 persen). Prevalensi cedera tertinggi di provinsi NTT sebesar 12,9 persen, disusul Kalimantan Selatan 12 persen, dan Gorontalo 11,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Sumatera Utara sebesar 3,8 persen. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN Penyakit tidak menular merupakan masalah kesehatan masyarakat yang merupakan tantangan baru kedepan. Hal ini diperberat dengan adanya beban ganda epidemiologi dimana sampai saat ini penyakit menular juga belum teratasi. Penyakit tidak manular (PTM) merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59,5 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka ini meningkat dari sebelumnya 41,7 persen tahun 1995 dan 49,9 persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001). Untuk megendalikan PTM di Indonesia pemerintah menargetkan beberapa hal diantaranya adalah menurunkan angka kematian akibat PTM sebesar 25 persen dan menurunkan persentase prevalensi PTM sebesar 10 persen. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PTM dilakukan dengan advokasi untuk mendapat dukungan dan komitmen politis serta upaya promosi gaya hidup sehat, yaitu tidak merokok, diet sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi konsumsi alkohol. Upaya lain dengan deteksi dini faktor risiko dan PTM melalui kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut meliputi obesitas umum dan obesitas sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol darah, kapasitas paru, amfetemin urin, Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination untuk kanker payudara. Program lain adalah dengan meningkatkan akses pengobatan dan penyiapan peralatan diagnosis dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan untuk pasien PTM stadium akhir dilakukan pelayanan paliatif dan rehabilitatif di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan.

166 146 Kotak 6.4 Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Penyakit Tidak Menular (PTM) Dalam rangka menyiapkan SDM pengendalian kanker di tingkat provinsi, Direktorat PPTM mengadakan training of trainers (TOT) Pengendaalian PTM terintegrasi. Gambar tersebut adalah TOT PPTM terintegrasi di provinsi Sulawesi Tenggara tahun Tujuannya adalah membentuk tim pelatih provinsi, yang dibagi menjadi 3 katagori yaitu manajemen, teknis PTM terintegrasi, dan kelas kanker. Dengan TOT ini, pelatih yang dibentuk akan menindaklanjuti dengan pelatihan di wilayahnya dan pengembangan program pengendalian PTM. Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat kanker leher rahim (serviks) dan kanker payudara, dilakukan pelatihan deteksi dini kedua kenker tersebut pada dokter umum dan bidan, dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination (CBE) untuk kanker payudara.. Salah satu kegiatan dilakukan di Karawang, Jawa Barat tahun Tujuannya untuk membentuk provider deteksi dini di Puskesmas. Dengan kegiatan ini, cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara dapat ditingkatkan untuk mencapai 80 persen perempuan berusia tahun. Dalam rangka deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM di masyarakat dilakukan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM. Salah satunya di Bekasi, Jawa Barat tahun Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya dengan mengukur lingkar perut seperti dalam foto (kiri), yang dilakukan oleh kader. Selain itu dilakukan pemeriksaan faktor risiko lainnya dengan wawancara seperti merokok, diet tidak sehat, aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol, serta pemeriksaan tekanan darah, gula darah, dan kolesterol darah. Tujuannya agar masyarakat mawas diri melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat tersebut. Selain pemeriksaan faktor risiko, dilakukan juga kegiatan senam bersama (foto kanan).

167 TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sumber foto: UNDP Indonesia

168 Sumber: UNDP Indonesia

169 149 TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP TARGET 7A MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan a Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) Jumlah konsumsi energi primer (per kapita) 7.2b Intensitas energi 59,97% (1990) 52,54% (2012) Meningkat Kementerian Kehutanan Gg CO 2 (2000) 2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/ USD (1990) Gg CO 2 e (2005) Gg CO 2 e (2008) Berkurang 3,46 (2012) Berkurang 1,00 SBM/USD (2012) Menurun 7.2c Elastisitas energi 0,98 (1991) 1.6 (2010) Menurun 7.2d Bauran energi untuk energi terbarukan Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas daratan (*) 3,5% (2000) 6,00% (2012) ,7 metrik ton BPO (1992) 202 metric tons methyl bromide, 5, metric tons (2012) 66,08% (1998) 93,25% (2012) 0 CFCs sementara HCFCs menurun Tidak terlampaui 26,40% (1990) 28,45% (2012) Meningkat Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kelautan & Perikanan Kementerian Kehutanan

170 Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 0,14% (1990)* 5,1% (2012)** Meningkat * Kementerian Kehutanan ** Kementerian Kelautan & Perikanan Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus (*) Angka sebagai acuan dasar merujuk pada rasio luas kawasan lindung terhadap total luas daratan, bukan terhadap luas kawasan hutan. Penjelasan lebih lanjut pada pembahasan Target 7.5. KEADAAN DAN KECENDERUNGAN PROPORSI KAWASAN DARATAN YANG TERTUTUP HUTAN Laporan MDGs tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan proporsi tutupan hutan tidak mengalami perubahan yang berarti sebagaimana ditampilkan pada Gambar 7.1. Data Statistik Kehutanan terbaru memperlihatkan bahwa rasionya pada tahun 2012 masih berkisar pada angka yang sama, yaitu 52,54 persen. Namun, dibandingkan dengan tahun 2003, terjadi peningkatan sekitar 4 persen meskipun masih perlu upaya keras sesuai dengan target untuk meningkat dari kondisi tahun Pada periode terjadi deforestasi yang cukup tinggi dengan laju rata-rata 1,87 juta hektar/tahun. Laju deforestasi ini meningkat pada periode hingga mencapai angka tertinggi, rata-rata 3,51 juta hektar/tahun. Pada periode laju telah berkurang menjadi sekitar 1 juta hektar/tahun, tetapi tutupan hutan telah berkurang drastis dari 59,97% pada tahun 1990 menjadi 48,97% pada tahun Belum mantapnya tata kelola sumber daya hutan, pembukaan hutan untuk perkebunan, permukiman dan infrastruktur, banyaknya penebangan liar, perdagangan liar, dan kebakaran hutan menjadi faktor tingginya pengurangan hutan. Gambar 7.1 Tutupan Hutan dalam Laporan Terdahulu dan Data Tahun 2012 Sumber: Kementerian Kehutanan Upaya peningkatan tutupan hutan terus dilakukan melalui kegiatan reboisasi (di dalam kawasan hutan) dan penghijauan (di luar kawasan hutan). Pada tahun 2003 diluncurkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) dengan target seluas 3 juta hektar sampai tahun Pada RPJMN ditetapkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 2,5 juta hektar untuk periode lima tahun. Meskipun demikian, hasil rehabilitasi tidak dapat dihitung dalam waktu singkat mengingat perlu waktu

171 151 untuk tumbuhnya pepohonan. Dalam kurun waktu selama 10 tahun dari 2003 hingga 2012, peningkatan tutupan hutan hanya tercapai sebesar 4%. Data tutupan hutan per provinsi menunjukkan adanya disparitas dengan kecenderungan pada tiap provinsi tidak sama. Di luar Provinsi DKI Jakarta, sekitar 17 provinsi memperlihatkan adanya kenaikan, 10 provinsi mengalami penurunan dan 5 provinsi cenderung tetap. Secara nasional, rata-rata tutupan hutan tidak berubah. Sumber: Kementerian Kehutanan Gambar 7.2 Disparitas Tutupan Hutan PENURUNAN EMISI KARBON Penurunan emisi karbon dioksida (CO 2 ) mengindikasikan keberhasilan penurunan dalam intensitas konsumsi energi. Emisi CO 2, bersama-sama dengan metan dan chloro-fluorocarbons (CFCs) adalah hasil produksi aktivitas manusia dan dikategorikan sebagai efek Gas Rumah Kaca (Green House Gasses/GHGs). Tingginya konsentrasi bahan kimia tersebut di lapisan biosfir memicu pemanasan global dan perubahan iklim.1 Emisi efek Gas Rumah Kaca (GRK) diukur dalam tingkat konsentrasi CO 2 atau CO 2 ekivalen. Upaya untuk mengurangi emisi GRK telah disepakati secara internasional melalui Protokol Kyoto, dimana Indonesia meratifikasi Protokol ini dengan penerbitan UU No. 17/2004. Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, untuk Laporan MDGs sebelumnya (tahun 2011), angka penurunan emisi karbon dioksida sebesar Gg CO2e (2000) dan Gg CO 2 e (2005) merupakan angka total emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2000 dan 2005 dari sektor energi, proses industri, pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, serta limbah, dan memuat gas rumah kaca yang sudah disetarakan dari CO 2, N 2 O dan CH 4 disetarkan menjadi CO 2 ekuivalen (e) (lihat tabel berikut). 1 Reports on the Achievement of Millennium Development Goals, Indonesia, 2011

172 152 Indikator Acuan Dasar Data Terbaru Target MDGs 2015 Status Sumber 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) Gg CO 2 e (2000) Gg CO 2 e (2005) Gg CO 2 e (2008) Berkurang Kementerian Lingkungan Hidup Dengan demikian angka Gg CO 2 e (2000) dan Gg CO 2 e (2005) mencakup semua unsur GRK yaitu CO 2, N 2 O dan CH 4. Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) (Indikator 7.2) merupakan satu kesatuan dengan Indikator 7.2a, 7.2b, 7.2c dan 7.2d yang semuanya menyangkut energi. Dengan demikian, emisi CO 2 yang dicantumkan untuk Indikator 7.2, sebagaimana terlihat dalam Tabel induk diatas, adalah emisi CO 2 yang bersumber dari kegiatan energi. Dengan demikian, angka CO 2 sebesar Gg CO 2 (2000), Gg CO 2 (2005) dan Gg CO 2 (2008) merupakan jumlah emisi CO 2 yang bersumber dari kegiatan energi. Pengurangan rasio konsumsi energi Konsumsi energi dicatat sebagai konsumsi energi konvensional dari penggunaan batubara, gas alam, bahan bakar berbasis minyak, biomasa, briket, elpiji dan listrik. Laporan tahun 2007 dan 2010 keduanya mencatat peningkatan konsumsi energi untuk 15 tahun terakhir. Sebagaimana tercatat pada Laporan tahun 2007 (Lihat tabel di bawah), konsumsi energi meningkat stabil dari 502 juta BOE (Barrel Oil Equivalent atau Setara Barel Minyak/SBM) menjadi 864 juta BOE dengan peningkatan pertahun sebesar 4,8 persen. Tabel 7.1. Konsumsi energi, (dinyatakan dalam BOE) Tahun Batubara Gas Alam LPG Bahan Bakar berbasis Minyak Listrik Biomasa Total ,441,700 43,936,367 2,705, ,135,825 18,788, ,511, ,519, ,924,331 52,562,903 5,862, ,233,214 30,366, ,698, ,647, ,950,289 84,004,525 8,127, ,580,862 49,569, ,042, ,275, ,641,206 99,058,305 8,994, ,289,308 65,644, ,121, ,750,390 Sumber: Laporan MDGs tahun 2007 Sejak tahun 2010, rasio konsumsi energi diukur sebagai BOE per kapita. Laporan tahun 2010 mencatat bahwa pada tahun 2008, rasio konsumsi energi dalam BOE per kapita adalah 4,3. Data terakhir yang tersedia untuk tahun 2010 adalah 4,95. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 15 persen dalam dua tahun, atau 7,5 persen pertahun. Meskipun demikian, menurut catatan terakhir 2 konsumsi energi final pada tahun 2011 tercatat lebih dari juta BOE (lihat tabel di bawah ini). Konsumsi energi final, juta BOE Batubara Minyak Gas Listrik Briket LPG Biomasa Total , Dengan jumlah penduduk total sebanyak , rasio konsumsi energi yang dinyatakan dalam BOE per kapita, tercatat lebih kecil dari catatan tahun Tidak ada penjelasan yang diberikan kenapa konsumsi energi ini berkurang. Apabila hal ini benar, maka pengurangan konsumsi energi ini merupakan 2 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, 2012, Ministry of Energy and Mineral Resources

173 153 perkembangan yang menggembirakan. Diperlukan analisis lebih lanjut apakah pengurangan konsumsi energi ini diakibatkan hanya karena adanya kebijakan baru atau karena faktor-faktor lain. Pengurangan intensitas energi Laporan tahun 2007 mencatat bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, jenis bahan bakar yang digunakan oleh rumah tangga untuk memasak telah beralih menjadi bahan bakar yang lebih aman dari segi emisi yang diproduksi selama pembakaran. Proporsi penduduk yang menggunakan kayu bakar dan arang untuk memasak baik di perkotaan maupun di perdesaan telah menurun secara rata-rata dari 87,4 persen pada tahun 1971 menjadi 70,2 persen di tahun Sementara ini, penggunaan listrik, gas dan minyak tanah telah meningkat dari 0,1-11,7 persen tahun 1971 menjadi 0,7-26,85 persen di tahun Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Gambar 7.3 Konsumsi Energi Pada Laporan Terdahulu JUMLAH KONSUMSI BAHAN PERUSAK OZON (BPO) Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tentang perlindungan lapisan ozon dan Protokol Montreal tentang pengaturan bahan-bahan yang dapat merusak ozon, melalui Keputusan Presiden No. 23 tahun Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan setiap keputusan yang ditetapkan, diantaranya untuk menghapuskan konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dan melaporkan data konsumsi BPO setiap tahunnya kepada Sekretariat Ozon dan Multilateral Fund (MLF) Protokol Montreal. Konsumsi BPO dalam Protokol Montreal didefinisikan sebagai Konsumsi = (Produksi + Impor) Ekspor. Indonesia tidak memproduksi dan mengekspor BPO, oleh karena itu, tingkat ketaatan Indonesia diukur dari kemampuan Indonesia mengendalikan Impor BPO. Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (2013), Chlorofluorocarbon (CFC), halon, carbontetrachloride (CTC), methyl chloroform (TCA) dan methyl bromide (MBr) untuk keperluan fumigasi non karantina dan pra-pengapalan merupakan jenis BPO yang telah dihentikan impornya di Indonesia sejak 1 Januari 2008, atau dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh Protokol Montreal bagi negara-negara Artikel 5 (negara-negara dengan konsumsi BPO kurang dari 0,3 kg/kapita/pertahun). Saat ini BPO yang masih diperkenankan untuk diimpor yaitu jenis hydrochlorofluorocarbon (HCFC) dan methyl bromide (MBr) untuk aplikasi karantina dan pra-pengapalan.

174 154 HCFC merupakan BPO yang saat ini masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang sebagai alternatif pengganti sementara CFC. Disebut sebagai pengganti sementara karena bahan tersebut masih memiliki potensi merusak ozon walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan CFC. Selain itu HCFC juga memiliki nilai potensi pemanasan global yang cukup tinggi, dimana jenis HCFC yang paling umum digunakan memiliki hampir kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO 2 ) dalam meningkatkan pemanasan global. Mempertimbangkan kondisi tersebut, Meeting of Parties Protokol Montreal pada tahun 2007 memutuskan untuk mempercepat jadwal penghapusan BPO jenis HCFC. Sehingga setiap negara pihak mulai menyusun strategi penghapusan HCFC secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. PROPORSI CADANGAN IKAN DALAM BATAS BIOLOGIS AMAN Proporsi penangkapan ikan harus dijaga agar selalu dibawah batas biologis aman. Pada tahun 1998 yang merupakan tahun dasar, prorporsi cadangan ikan di dalam batas biologis aman adalah 66,08%. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi lestari SDI di perairan laut atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah sebesar 6,52 juta ton/per tahun. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) adalah sebesar 80% dari potensi lestari atau sebesar 5,216 juta ton. Besaran angka potensi lestari SDI yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanandimaksud tidak menghitung seluruh jenis komoditas, tetapi hanya untuk sebagian komoditas saja yakni: (1) pelagis besar, (2) tongkol, (3) pelagis kecil, (4) ikan karang konsumsi, (5) udang paraneid, (6) lobster, (7) cumi-cumi. Untuk jenis sumber daya lainnya, karena sifat biologisnya, nilai ekonomisnya, atau sangat beragamnya jenis sumber daya ikan, maka sumber daya tersebut tidak/belum diestimasi. Apabila melihat produksi tahun 2012 dan 2013, dapat dijelaskan sebagai berikut: Produksi ikan, dalam ton Kelompok sumber daya ikan yang diestimasi potensinya (ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, cumi-cumi) Kelompok sumber daya ikan yang tidak/belum diestimasi potensinya (tuna, binatang lunak selain cumi-cumi, kepiting, rajungan, udang lainnya, binatang berkulit keras lainnya, binatang air lainnya, rumput laut) Perairan umum daratan Total Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Dari data tersebut terlihat bahwa apabila dibandingkan terdahap komoditas yang telah diestimasi produksinya, produksi perikanan tangkap di laut tahun 2012 dan 2013 masih berada di bawah JTB (TAC), yakni 93,25 persen pada tahun 2012 dan 93,84 persen pada tahun 2013, sebagaimana terlihat dalam Gambar 7.4.

175 155 Gambar 7.4 Produksi Perikanan Dibandingkan dengan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), Tahun Sumber: Kementerian Kelauatan dan Perikanan Catatan: *) Produksi perikanan laut yang komoditasnya diperhitungkan dalam potensi lestari dan JTB PROPORSI KAWASAN LINDUNG DARATAN Kawasan lindung daratan dalam MDGs meliputi kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan konservasi daratan dan hutan lindung. Kawasan hutan konservasi (daratan dan perairan) mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman hayati di tingkat ekosistem, tumbuhan dan satwa, serta genetik. Kawasan hutan lindung berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi laut dan memelihara kesuburan tanah. Pada tahun 2008 Indonesia memiliki kawasan lindung daratan seluas ,6 ribu hektar dan terus meningkat hingga tahun 2012 mencapai ,9 ribu hektar. Pada Laporan MDGs proporsi kawasan lindung daratan dihitung berdasarkan perbandingan luas kawasan lindung daratan dibagi dengan total luas daratan. Pada tahun 1990 telah dihitung rasio sebesar 26,4%. Angka ini sempat meningkat pada tahun 2005 sejalan dengan penetapan sejumlah kawasan konservasi (taman nasional) baru sehingga proporsi meningkat menjadi sebesar 27,59% sebagaimana disampaikan pada Laporan MDGs Namun, terjadinya konversi hutan menyebabkan berkurangnya kawasan lindung daratan yang berdampak pada berkurangnya rasio pada tahun 2009, sebesar 26,39%. Upaya peningkatan luas kawasan lindung daratan terus dilakukan sehingga pada tahun 2012 dicapai 28,45%.

176 156 Gambar 7.5 Rasio Kawasan Lahan Lindung Pada Laporan Terdahulu dan Data Tahun 2012 Perlu disampaikan bahwa pada Laporan MDGs 2010 dan 2011 indikator proporsi kawasan lindung daratan dituliskan sebagai perbandingan luas kawasan lindung daratan dengan total luas kawasan hutan, bukan total luas daratan. Meskipun demikian, angka persentase yang ditampilkan sebagai pencapaian merupakan perbandingan luas kawasan lindung daratan dengan total luas daratan. Tabel berikut menjelaskan perbedaan yang ada agar terjadi konsistensi dalam setiap laporan. a. Luas kawasan lindung daratan , , , , ,9 b. Total luas kawasan hutan , , , , ,4 Persentase (a:b) 37,43% 37,43% 38,71% 38,71% 40,71% c. Total luas daratan , , , , ,9 Persentase (a:c) 26,39% 26,39% 27,54% 27,52% 28,45% Sumber: Data Statistik Kehutanan 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 Data proporsi luas kawasan lindung daratan dan total luas daratan untuk setiap provinsi menunjukkan terjadinya disparitas sebagaimana ditampilkan pada Gambar 7.6. Hanya 5 provinsi yang memiliki persentase kawasan lindung daratan sedikitnya 40%, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Peningkatan sangat drastis terjadi pada Provinsi Kalimantan Tengah dengan dikeluarkannya Surat keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 2012 yang menetapkan adanya alih fungsi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi dan lindung sehingga terjadi kenaikan dari 10% pada tahun 2011 menjadi 19,23% pada tahun Terlihat juga bahwa sekitar 20 provinsi mengalami peningkatan sehingga secara keseluruhan Indonesia pun mengalami kenaikan.

177 157 Sumber: Kementerian Kehutanan Gambar 7.6 Disparitas Provinsi untuk Kawasan Lindung Daratan RASIO KAWASAN LINDUNG PERAIRAN (Indikator 7.6) Kawasan lindung perairan atau sering disebut sebagai kawasan konservasi perairan merupakan kawasan pesisir dan laut yang dilindungi untuk melestarikan ekosistem dan menjamin ketersedian dan keberlanjutan sumber daya pesisir. Kawasan konservasi perairan memelihara fungsi konservasi ekosistem kawasan perairan pantai, termasuk biodiversitas kawasan sekitarnya. Laporan tahun 2007 mengindikasikan bahwa tahun 2002 Indonesia telah memiliki kawasan konservasi perairan yang meliputi luas 5,07 juta hektar. Ini meningkat pada tahun 2005 menjadi 6,08 juta hektar. Di depan sidang Pertemuan Para Pihak CBD pada Maret 2006 di Brasil, Presiden menyatakan bahwa Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan (KKP) seluas 10 juta ha pada tahun 2010 dan menjadi dua kali lipat pada tahun Lebih lanjut didalam rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan dinyatakan bahwa untuk menuju 20 juta ha, maka luasan KKP pada tahun 2014 ditargetkan sudah mencapai 15,5 juta ha, sehingga di dalam kurun waktu 6 tahun selanjutnya harus mengembangkan minimal 4,5 juta KKP baru. Sampai dengan tahun 2013, luas Kawasan Konservasi Perairan mencapai 15,76 juta ha yang merupakan inisiasi Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah (lihat tabel berikut dan grafik pada Gambar 7.7). Tabel 7.2. Perkembangan Luasan Kawasan Konservasi Perairan, Tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah Kementerian Kehutanan Total (ha) , , , , , , , , , , , , , , , , , ,55

178 158 Tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah Kementerian Kehutanan Total (ha) , , , , , , , , , , , , , , ,85 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Gambar 7.7 Grafik Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan, Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Sebagaimana terlihat dalam grafik, luas Kawasan Konservasi Perairan pada tahun 2012 mencapai 15,78 juta Ha, dan menurun sedikit pada tahun 2013 menjadi 15,76 juta Ha. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan luasan yang signifikan di KKP Daerah (KKPD) Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dari 1,27 juta Ha (Peraturan Bupati Berau No. 31/2005) menjadi 285,266 Ha (Surat Keputusan Bupati Berau No. 516/2013) dan penurunan luasan KKPD Batang dari 8.369,75 Ha menjadi 4.015,20 Ha. Sementara itu, pada tahun 2013 terdapat 19 KKPD baru yang dibentuk atas inisiasi pemerintah daerah. Secara rinci, jenis kawasan konservasi, jumlah kawasan, dan status luasan Kawasan Konservasi Perairan pada akhir 2013 adalah sebagai berikut: Tabel 7.3. Jenis Kawasan Konservasi, Jumlah Kawasan, dan Status Luasan Kawasan Konservasi Perairan, 2013 No Kategori Kategori Luas (ha) A. Kementerian Kehutanan ,60 1 Taman Nasional Laut ,30 2 Taman Wisata Alam Laut ,00 3 Suaka Margasatwa Laut ,30 4 Cagar Alam Laut ,00 B. Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemda ,80 1 Taman Nasional Perairan ,00 2 Suaka Alam Perairan ,00

179 159 No Kategori Kategori Luas (ha) 3 Taman Wisata Perairan ,20 4 Kawasan Konservasi Perairan Daerah ,10 TOTAL ,90 Pada tanggal 4 Maret 2009, telah dilakukan serah terima antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk 8 (delapan) kawasan suaka alam yakni Suaka Alam Perairan (SAP) Kepulauan Aru Tenggara; SAP Kepulauan Raja Ampat; SAP Kepulauan Waigeo sebelah Barat; Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang; TWP Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan; TWP Kepulauan Padaido; TWP Laut Banda; dan TWP Pulau Pieh. TANTANGAN Pencapaian target pada Tujuan 7 menghadapi berbagai tantangan sehingga beberapa indikator masih mendapatkan status Perlu Perhatian Khusus, yaitu Indikator 7.1 dan 7.2. Proporsi tutupan hutan sebagai indikator 7.1 masih sulit untuk dicapai karena tantangan dalam upaya pemeliharaan atas hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan. Penyediaan bibit dan penanaman dilaksanakan secara masif, tetapi tidak adanya pemeliharaan atas hasil penanaman di tingkat tapak menyebabkan tingkat keberhasilan dari rehabilitasi hutan dan lahan masih sangat rendah. Di samping itu, perlunya waktu bagi bibit tanaman untuk tumbuh dan dapat diidentifikasi dari citra satelit sebagai tutupan hutan. Tantangan lain yang dihadapai pada saat ini adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic). Jenis/tipe GRK yang keberadaannya di atmosfir berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO 2, CH4, N 2 O, HFCs, PFCs, SF 6, dan senyawasenyawa halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO 2, CH4, dan N 2 O. Dari ketiga jenis gas ini, yang paling banyak kandungannya di atmosfer ialah CO 2 sedangkan yang lainnya sangat sedikit sekali. Sumber emisi GRK karbondioksida terutama dihasilkan dari kegiatan penggunaan dan penyediaan energi. Sektor energi biasanya merupakan sektor yang paling penting dalam kontribusi emisi gas rumah kaca, dan biasanya memberikan kontribusi lebih dari 90 persen dari emisi CO 2 dan 75 persen dari emisi gas rumah kaca total di negara maju. Pada tahun 2010 total CO 2 equivalen sebesar Gg CO 2 eq dengan emisi CO 2 sebesar Gg CO 2 ekivalen, CH Gg CO 2 ekivalen dan N 2 O sebesar 10.54Gg CO 2 ekivalen. Tabulasi Emisi tahun gas rumah kaca tahun adalah seperti yang terlihat pada table berikut ini. Emisi dari tahun ke tahun cenderung naik kecuali pada tahun 2009 dimana emisi menurun sebesar Gg ton atau sebesar 5% dari tahun Pada tahun 2009, data konsumsi bahan bakar pada tabel keseimbangan energi menurun hal ini mengakibatkan emisi gas rumah kaca pada tahun tersebut juga menurun. Tahun CO 2 CH4 N 2 O Total Gg CO 2 GgCH4 GgN 2 O CO 2 eq , ,914 12, , , ,421 9, , ,886 9, , , ,92 9, , , ,006 10,

180 160 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Telah banyak upaya yang telah dilakukan dalam memperbaiki kerusakan lingkungan oleh Pemerintah Indonesia. Laporan sebelumnya telah memuat berbagai kebijakan, strategi dan program pemerintah pada saat laporan tersebut disusun. Boks 7.1 dan uraian berikutnya menghimpun berbagai kebijakan pemerintah dalam upaya untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, sesuai informasi yang didapatkan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kotak 7.1 Kebijakan Umum Pemerintah dalam Pengamanan Lingkungan Isu kerusakan lingkungan dan perubahan iklim semakin hari menjadi isu yang sangat penting untuk ditangani. Persoalan lingkungan tidak semakin membaik, penanganan perbaikan belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen untuk menangani persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun telah menetapkan prioritas pembangunan pengelolaan lingkungan hidup yang diarahkan pada Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang berkelanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan resiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim. Berkenaan dengan hal tersebut, pada tanggal 19 Oktober 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan 3 (tiga) arahan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pertama, agar KLH memastikan bisnis bidang pertambangan benar-benar tidak merusak lingkungan. Kedua, peran KLH dalam penurunan emisi 26% yang dikerjakan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, internasionalisasi KLH dalam masalah perubahan iklim global. Dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), Indonesia secara sukarela telah menetapkan target nasional dalam penurunan emisi GRK sebesar 26% dari bussiness as usual pada tahun Hal ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK secara global. Komitmen secara sukarela dari negara berkembang untuk menurunkan emisi GRK, tentunya harus menjadi stimulan bagi negara maju untuk meningkatkan komitmennya dalam menurunkan emisi GRK. Kebijakan Umum Pengelolaan Energi Nasional, berdasarkan kepada UU 30/2007 tentang Energi dan UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba menekankan perntingnya ketahanan energi yang dicapai melalui (i) jaminan pasokan melalui kegiatan eksplorasi, optimasi dan diversifikasi produksi, (ii) harga energi melalui subsidi langsung, dan (iii) kesadaran masyarakat tengan diversifikasi dan konservasi (efisiensi). Upaya untuk Meningkatkan Rasio Tutupan Hutan dan Kawasan Lahan Lindung Dalam rangka meningkatkan rasio luas kawasan tertutup pepohonan dan rasio luas kawasan lindung, Pemerintah Indonesia telah melakukan kegiatan prioritas rehabilitasi hutan dan lahan kritis, termasuk

181 161 hutan bakau (mangrove), pantai, gambut dan rawa pada 108 Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas di seluruh Indonesia dengan target pada periode seluas 2,5 juta hektar. Selain itu, dilakukan pula berbagai upaya perbaikan pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak berupa percepatan penyelesaian tata batas kawasan hutan dan percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan. Lebih lanjut, berbagai upaya untuk mempertahankan tutupan hutan yang ada dari risiko kebakaran hutan juga telah dilakukan. Pengendalian kebakaran melalui peningkatan kapasitas Manggala Agni, partisipasi Masyarakat Peduli Api, pengembangan sarana dan prasarana, serta penyediaan informasi terkait kejadian titik api dan kebakaran. Dengan upaya tersebut, telah terjadi penurunan jumlah titik api (hotspots) dan berkurangnya luas kawasan hutan yang terbakar, terutama di kawasan yang sering terjadi kebakaran, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Upaya untuk Meningkatkan Bauran Energi, dan Energi Baru dan Terbarukan Dalam rangka meningkatkan bauran energi untuk energi terbarukan yang bersumber dari panas bumi, upaya penting yang dilakukan adalah melakukan nota kesepahaman antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan dengan tujuan mempercepat proses perijinan pengusahaan panas bumi di kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, serta mempersiapkan langkah-langkah agar kegiatan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi. Selain itu, juga dilakukan upaya revisi harga pengusahaan panas bumi melalui penyempurnaan Permen ESDM No. 2 Tahun 2011 untuk penerapan feed-in tariff dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi untuk pembangkit listrik yang ada di suatu daerah dan daya dukung lingkungannya. Beberapa upaya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan antara lain dilakukan melalui (i) penyempurnaan kebijakan dan regulasi; (ii) penciptaan pasar, diantaranya melalui kewajiban penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati/bbn, kewajiban PLN untuk membeli listrik, penerapan SNI, dan lain-lain; (iii) pemberian subsidi untuk BBM, yang telah berjalan sejak tahun 2009, diberikan atas selisih harga BBM dengan harga BBN, dan disalurkan melalui Pertamina; (iv) penetapan harga jual listrik yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM yang mengatur harga jual listrik dari energi terbarukan yang dibeli oleh PLN; (v) pemberian insentif dan kemudahan, antara lain melalui pengurangan pajak dan bea masuk; (vi) penyediaan anggaran dan pendukung lainnya; (vii) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia; (viii) peningkatan penelitian di bidang EBT; dan (ix) peningkatan kerjasama dengan negara lain dan organisasi internasional. Tabel berikut memperlihatkan gambaran tentang implementasi pemanfaatan EBT. No Sumber Daya Cadangan Produksi 1 Listrik dari Panas Bumi 2 Listrik berbasis Biomassa *) MW Sampai dengan Mei 2013: Kapasitas terpasang adalah MW Produksi uap tahun ton MWe MWe On Grid: 75,5 MWe 3 Biofuel (Bahan Bakar Nabati) - Biodiesel Produksi CPO s.d. akhir tahun 2013 diperkirakan mencapai 28 Juta Ton. Sampai dengan Juni 2013 sebesar KL

182 162 No. Sumber Daya Cadangan Produksi 4 Biogas Sumber Kementan 28 Juni 2013: Sapi Potong: Ekor Sapi Perah : Ekor Kerbau : Ekor Sampai dengan Juni 2013 mencapai m3 (produksi Biogas tahun 2012 mencapai m 3 ) 5 Listrik dari Tenaga Air Skala Besar 6 Listrik dari Tenaga Mini/ Mikro Hidro 7 Listrik dari Tenaga Surya Fotovoltaik 8 Listrik dari Tenaga Angin Potensi tenaga listrik dari air skala besar sebesar MW Potensi tenaga listrik dari tenaga mini/mikro hidro sebesar 769,69 MW Potensi tenaga listrik dari tenaga surya adalah sebesar 4,80 kwh/m 2 /day Daerah daerah dengan kecepatan angin di atas 5 m/s yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai PLTB adalah di daerah DIY, Jateng, NTB, NTT, Sulsel, Sulut dan Sultra Kapasitas terpasang PLTA saat ini adalah MW Kapasitas terpasang PLTM/PLTMH saat ini adalah 512 MW Kapasitas terpasang PLTS saat ini adalah 42,779 MW baik itu untuk PLTS Terpusat, PLTS Tersebar, PJU dan Pompa Air Tenaga Surya Kapasitas terpasang PLTB saat in adalah 1,331 MW Sumber: Kementerian ESDM Untuk penggunaan energi yang lebih efisien, beberapa upaya telah dilakukan dalam konservasi energi melalui penghematan energi dan audit energi. Upaya-upaya ini dilaksanakan melalui: (i) peningkatan kesadarah masyarakat, (ii) pedoman teknis untuk penghematan energi, (iii) pelaksanaan program kemitraan untuk koservasi energi melalui kasa audit energi untuk industri dan dunia konstruksi, (iv) pelaksanaan manajer energi dalam standar kompetensi kerja nasional,(v) penamaan (labeling) tingkat efisiensi energi, (vi) pemantauan dan pelaksanaan PP No. 13/2011, dan (vii) penerapan konservasi energi pada SNI di sektor konstruksi. Kebijakan, strategi dan program tersebut telah sebagian atau seluruhnya dilaksanakan oleh Pemerintah, dan hasilnya telah mulai dapat dirasakan dalam memperbaiki lingkungan, dan menjamin lingkungan yang berkelanjutan. Tidak dapat diragukan bahwa segala upaya tersebut telah memperlihatkan keseriusan Pemerintah dalam rangka mencegah dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan. Apabila beberapa indikator ada yang belum mencapai target, itu tidak berarti bahwa semua upaya itu tidak ada gunanya. Sebaliknya, lebih banyak lagi upaya yang harus dilakukan, karena masalah lingkungan cenderung menjadi lebih rumit dan lebih mengglobal.

183 163 Upaya dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pemerintah Indonesia telah menerbitkan 2 (dua) peraturan presiden yaitu Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Kedua Peraturan Presiden tersebut beserta peraturan lainnya akan menjadi kekuatan untuk keberhasilan pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca, dengan memenuhi prinsip yang diakui secara internasional, yaitu measurable, reportable dan verifiable (MRV). Kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca tersebut memerlukan percepatan dalam pelaksanaannya. Koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta pemantauan dan evaluasi secara berkala diperlukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca. Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya Pada tahun 2011 pemerintah Indonesia telah melaksanakan serangkaian kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain Penebaran Benih Ikan di Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan melalui kegiatan One Man One Thousand Fries yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, dilakukan Pembangunan Rumah Ikan yang merupakan bagian dari strategi pemulihan sumberdaya ikan dan pengkayaan stock. Selain itu, dalam rangka inisiasi penerapan manajemen sumberdaya perikanan yang lebih baik, bertanggungjawab dan berkelanjutan, telah dilakukan penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan (RPP WPP). Penyusunan RPP WPP tersebut dilakukan dengan pendekatan Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem atau Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Upaya untuk meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi perairan Berdasarkan Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan diamanatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi perairan diatur melalui sistem zonasi. Terdapat empat zona dalam kawasan konservasi perairan yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Penyusunan rencana zonasi untuk masing-masing kawasan konservasi perairan terus dilakukan. Kawasan Konservasi Perairan direncanakan akan diperluas menjadi 20 juta hektar pada tahun Peningkatan luasan kawasan konservasi tersebut juga dibarengi dengan upaya menuju pengelolaan yang efektif. Pada tahun 2011 telah disusun rancangan alat penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan Indonesia.

184 164 Kerja sama pengelolaan eksosistem laut dan pesisir antar negara juga dilakukan secara terus menerus untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Indonesia berpartisipasi dalam pengelolaan Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion dan menjadi penggagas dalam Coral Triangle Initiative (CTI).Indonesia bekerja sama dengan 5 negara tetangga yang tergabung dalam Coral Triangle Initiative/CTI, yaitu : Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, sebagai sebuah upaya untuk melestarikan kekayaan sumber daya laut di kawasan ini. Upaya-upaya untuk meningkatkan kelestarian lingkungan pesisir dan laut akan terus dilakukan baik melalui kegiatan rehabilitasi maupun konservasi untuk habitat dan peningkatan status dan upaya perlindungan untuk spesies atau jenis biota perairan.

185 165 TARGET 7C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA TAHUN 2015 Target 7C: 7.8 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan dan perdesaan 7.8a Perkotaan 7.8b Perdesaan 7.9 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan dan perdesaan 7.9a Perkotaan 7.9b Perdesaan Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 37,73% (1993) 50,58% (1993) 31,61% (1993) 24,81% (1993) 53,64% (1993) 11,10% (1993) 67,73% (2013) 79,34% (2013) 56,17% (2013) 59.71% (2013) 75.63% (2013) 44.09% ( % 75.29% 65.81% 62.41% 76.82% 55.55% BPS, Susenas KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Akses yang berkelanjutan terhadap sumber air yang terlindung (dan terhadap sanitasi dasar) adalah diantara indikator untuk menjamin lingkungan yang berkelanjutan, sebagaimana dinyatakan dalam Tujuan 7.Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung di daerah perkotaan dan perdesaan memperlihatkan peningkatan sejak tahun 1993.Dari tahun 2001, kecenderungannya menjadi tidak beraturan, tapi kemudian menurun setelah tahun 2009 (lihat grafik berikut, diambil dari Figure 7.2 Laporan 2011).

186 166 Sumber: MDGs Report for Indonesia, 2011 Definisi akses berkelanjutan terhadap sumber terlindung ( sustainable access to an improved source ) telah memicu pembahasan yang cukup panjang dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya kemungkinan besar karena masalah definisi itu sendiri dan interpretasinya. Untuk definisi, Laporan 2004 menyatakan tidak ada kriteria yang memberi definisi atas akses yang berkelanjutan, namun ada disebutkan beberapa definisi tentang sumber air terlindung. Untuk sumber air terlindung, laporan tersebut menyatakan bahwa status cakupan di Indonesia bervariasi berdasarakan definisi mana yang digunakan: 1. Persentasi rumah tangga yang menggunakan air leding, definisi ini dianggap paling dapat diandalkan (reliable) dan paling mendekati standar kesehatan. 2. Persentasi penduduk menggunakan air dari sumber terlindung yang jaraknya lebih dari 10 meter dari lokasi pembuangan tinja. Sumber terlindung meliputi: air leding, air pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung atau mata air atau air hujan terlindung. 3. Persentasi rumah tangga yang menggunakan air dari sumber terlindung didefinisikan sebagaimana diatas tapi tanpa melihat jarak dari lokasi pembuangan tinja. Definisi ini kemungkinan besar memasukkan air yang terkontaminasi. Dalam Laporan 2004, akses dibedakan berdasarkan air leding dan sumber air terlindung bukan leding, dan tidak membedakan akses antara perkotaan dan perdesaan. Walau bagaimanapun, data yang tersedia agak terbatas dan hanya menyajikan data berikut ini: Data yang disajikan pada Laporan 2004: Tahun Air leding Sumber air terlindung bukan leding % % % 43.40% % 57.20%

187 167 Laporan 2011 memberikan data yang lebih lengkap sejak tahun 1993 (lihat Gambar 7.8).Pada waktu laporan ini disiapkan, serangkaian pembahasan telah dilakukan dengan BPS, Bappenas dan kementerian terkait, dan BPS selanjutnya membuat kajian untuk akses terhadap air, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam laporan ini. Dari hasil kajian tersebut, angka baru untuk tahun 2011, 2012 dan 2013, sebagaimana terlihat dalam Gambar 7.8 di bawah ini, menunjukkan peningkatan, dan yang jelas lebih tinggi dari angka pada Laporan tahun Sumber: Laporan MDGs sebelumnya dan BPS Gambar 7.8. Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung pada Laporan Terdahulu dan Data BPS Terakhir untuk Tahun 2011, 2012 dan 2013 Laporan 2011 menunjukkan angka yang menurun mulai tahun 2007.Data BPS yang terakhir untuk tahun 2011, 2012 dan 2013, setelah dilakukan kajian, menunjukkan kecenderungan menaik. Kecenderungan yang terus menurun untuk akses terhadap airpada beberapa tahun sebelumnya dipertanyakan karena tampaknya tidak sesuai dengan fakta bahwa investasi dalam bidang air minum telah meningkat cukup signfikan dalam RPJMN saat ini ( ) dan akan meningkat lebih besar lagi (tiga sampai lima kali lipat) dalam RPJMN ). Peningkatan ini cukup besar untuk bisa meningkatkan akses. Pada tahun 2009 dan 2010, Pemerintah telah melaksanaan serangkaian program reformasi yang difokuskan pada pemerintah daerah selaku pemilik dan penanggung jawab penyediaan air minum yang terjangkau melalui jaringan pipa untuk semua lapisan masyarakat. Program reformasi tersebut termasuk program untuk menjadual ulang utang PDAM kepada Kementerian Keuangan dan untuk mengubah perusahaan milik daerah itu menjadi perusahaan yang bisa menutup biaya operasinya. Program reformasi lainnya adalah tersedianya subsidi untuk sambungan rumah bagi masyarakat kurang mampu di daerah perkotaan.3 Program-program tersebut telah menghasilkan peningkatan dalam program investasi (Lihat Lampiran 7.1 untuk pembahasan lebih lanjut. Kecenderungan yang menurun dimungkinkan karena meningkatnya penggunaan air kemasan. Dalam Laporan 2011, kecenderungan penurunan ini tetlah dibahas, dan diindikasikan bahwa peningkatan pemakaian air kemasan merupakan penyebab utamanya. Peningkatan penggunaan air kemasan dan air isi 3 Indonesia Water Investment Roadmap, , the World Bank, January 2012

188 168 ulang dikatakan sebagai salah satu penyebab menurunnya akses air minum yang aman (Laporan 2011 halaman 92). Laporan tersebut juga menyatakan bahwa data yang dikumpulkan tidak mempertimbangkan kondisi rumah tangga, yang memiliki lebih dari satu sumber air (halaman 93). BPS mengumpulkan data sosio-ekonomi pada akhir tahun, yang dilakukan setiap tahun, dimana didalamnya termasuk data tentang akses terhadap air. BPS mengumpulkan data melalui serangkaian pertanyaan.sebelum tahun 2011, pertanyaan tentang air terdiri dari: (i) sumber air utama untuk minum, dan (ii) jarak dari sumber ke tempat pembuangan limbah. Sejak tahun 2011 dan yang dilanjutkan pada tahun 2012 (dan 2013), pertanyaan yang diajukan juga termasuk sumber air lainnya untuk memasak dan mandi. Hasilnya, akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung menjadi lebih besar. Lihat Lampiran 7.2 untuk pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini. Dari hasil kajian BPS dan dengan definisi baru, angka untuk akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung pada tahun 2012 dan 2013 telah meningkat masing-masing menjadi 65,05 dan 67,73 persen. Apabila diasumsikan bahwa peningkatan investasi saat ini sama, status Indikator 7.8 akan tetap Perlu Perhatian Khusus, sementara status untuk Indikator 7.8a (akses berkelanjutan terhadao sumber air terlindungi di daerah perkotaan) sekarang menjadi Sudah Tercapai ). Data terakhir (2011, 2012 dan 2013) memperlihatkan angka yang berbeda (lebih besar) karena memasukkan akses terhadap sumber air lain sesuai definisi yang baru, yang merupakan perbaikan terhadap definisi sebelumnya.ini juga konsisten dengan definisi yang digunakan oleh PBB. Akses adalah salah satu indikator yang digunakan MDG untuk sektor air dan sanitasi, ada banyak indikator lainnya seperti tingkat dan kualitas pelayanan dan kesehatan finansial dimana para penyedia layanan air minum masih harus selesaikan.tabel berikut ini memperlihatkan angka revisi untuk tahun 2011, 2012 dan 2013 dengan menggunakan definisi yang telah diperbaiki. Indikator 7.8 Proporsi rumahtangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung, perkotaan dan perdesaan Thn Dasar, Sumber 37,73% 63,48% 65,05% 67,73% BPS, Susenas (Maret 2013) 7.8a Perkotaan 50,58% 76,00% 76,95% 79,34% 7.8b Perdesaan 31,61% 52,15% 53,39% 56,17% Terlepas dari keberhasilan program nasional air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS), yang saat ini dilanjutkan dengan generasi keempat (PAMSIMAS II), akses berkelanjutan di daerah perdesaan masih dibawah target. Meskipun demikian tercatat adanya sedikit kenaikan dalam akses untuk tiga tahun terakhir (2011 sampai 2013) sebagaimana terlihat pada tabel diatas. Sebagaimana terlihat pada Gambar 7.9, disparitas provinsi (untuk akses berkelanjutan terhadap sumbe air terlindung di perkotaan dan perdesaan) menunjukkan variasi yang tidak terlalu lebar, dengan angka tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, masing-masing 92 dan 90 persen, sedangkan untuk angka terendah berada di Provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat dan Papua, masing-masing 37, 42 dan 44 persen.. Perlu dicatat bahwa akses ini menggunakan definisi yang telah diperbaiki dimanasumber air minum layak tidak hanya yang berasal dari air leding (PDAM), tapi juga termasuk sumber air terlindung lainnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

189 169 Sumber: BPS, 2013 Gambar 7.9 Disparitas Provinsi untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Untuk disparitas antara perkotaan dan perdesaan, beberapa provinsi yang memperlihatkan gap dibawah 15 persen ada di Bali (7 persen), DI Yogyakarta (15 persen), Jawa Timur (14 persen) dan Jawa Tengah (11 persen). Angka gap rata-rata nasional adalah 23 persen. Gambar 7.10 memperlihatkan disparitas kota desa untuk tahun Sumber: BPS, 2013 Gambar 7.10 Disparitas Perkotaan- Perdesaan untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelajutan terhadap Sanitasi Dasar Dibandingkan dengan akses terhadap air, untuk sanitasi, data dari tahun-tahun sebelumnya lebih tidak jelas. Laporan 2004, 2005 dan 2007 tidak menampilkan data lengkap, dan hanya dalam Laporan dua tahun terakhir, yaitu tahun 2010 dan 2011, ditampilkan data yang lebih lengkap. Tidak ada penjelasan atas ketiadaan data pada periode pembuatan laporan tersebut. Tabel berikut memperlihatkan data yang tersedia pada Laporan tahun-tahun 2004, 2005 dan 2007.

190 170 Lap 2004 Lap 2005 Lap 2007 Total 64% (2004) 63,5% (2002) 67,1% (2004) Perkotaan 78% (2004) 30,9% (1992) 69,3% (2003) Perdesaan 52% (2004) 19,1% (1992) 52,0% (2000) 60,0% (2006) Dalam kedua Laporan tahun 2020 dan 2011, data yang tercata adalah sama, dimana pada Laporan tahun 2011 terdapat seri data lebih banyak setelah tahun Ini memberikan indikasi bahwa datanya lebih dapat diandalkan (reliable) dan tampaknya tidak ada masalah definisi dan interpretasinya. Data dari Laporan 2007 tidak sama dan karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Angka yang ditampilkan termasuk data paling baru, Maret 2013 untuk tahun 2011, 2012 dan 2013 (Gambar 7.11). Dari seri data tersebut, telihat nyata bahwa akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar meningkat secara tetap. Meskipun demikian, beberapa laporan menunjukkan bahwa pengelolaan lumpur tinja masih banyak kekurangannya.4 Sistem air limbah perpipaan hanya ditemukan di beberapa kota besar, dengan cakupan yang rendah dibandingkan dengan beberapa kota Asia lainnya. 5 Sumber: Laporan MDGs 2010 dan 2011 dan Data BPS 2013 Gambar 7.11 Akses Berkelanjutan terhadap Sanitasi Dasar pada Laporan Terdahulu dan Data BPS 2013 Disparitas diantara provinsi (tahun 2013, perkotaan dan perdesaan) memperlihatkan variasi yang cukup lebar, dengan Provinsi DKI Jakarta memiliki akses tertinggi pada angka 87 persen, sedangkan Provinsi Papua adalah paling rendah dengan 28 persen, lihat Gambar Angka rata-tata nasional adalah 57,82 persen.gambar 7.12 memperlihatkan disparitas antara provinsi dan antara perkotaan dan perdesaan, dimana untuk akses di perkotaan, Bali adalah tertinggi dan NTT terrendah. Angka rata-rata nasional 4 Di daerah perkotaan di Indonesia, lebih dari 70 persen rumah tangga saat ini membuang limbahnya (kebanyakan dengan sistem kakus siram) ke dalam tangki septic atau umumnya dikenal sebagai cubluk, yang dasarnya lubang terbuka atau resapan. Meskipun SNI untuk perencanaan tangki septic sudah ada, akan tetapi umumnya tidak banyak diterapkan oleh Pemda dan sedikit yang dibangun sesuai SNI (Diambil dari Indonesia Country Study, East Asia and Pacific Region Urban Sanitation Review, the World Bank and Australian Aid, September 2013). 5 Sebagai ilustrasi, persentase penduduk yang memiliki sambungan ke jaringan air limbah di Jakarta addalah 2,0 persen, dibandingkan dengan Manila (7 persen), Ho Chi Minh City (29 persen), Dhaka (30 persen), Phnom Penh (41 persen), Delhi (60 persen) dan Kuala Lumpur (80 persen). (Diambil dari lamporan yang sama dalam Catatan kaki 7).

191 171 adalah 60,91 persen. Data BPS tidak memiliki akses sanitasi dasar untuk perkotaan dan perdesaan, sehingga disparitas perkotaan-perdesaan tidak dapat ditampilkan. Gambar 7.12 memperlihatkan akses keberlanjutan terhadap sanitasi dasar pada tiga tahun terakhir ( ). Grafik menunjukkan bahwa di hampir semua provinsi, kecenderungannya menaik. Sumber: BPS Gambar 7.12 Disparitas Provinsi untuk Akses terhadap Sanitasi Dasar, 2013 Sejak diterbitkannya UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, tanggung jawab penyediaan sarana dasar air minum dan sanitasi telah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dan penyediaan sarana air minum dan sanitasi telah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupatn/kota. Disparitas antara provinsi tidak sepenuhnya memberikan gambaran kinerja sektor air minum dan sanitasi di provinsi yang bersangkutan, karena pada setiap provinsi terdapat sejumlah kabupaten/kota yang memiliki kinerja yang berbeda-beda.angka tingkat provinsi hanya memberikan gambaran kinerja rata-rata pada tingkat provinsi yang bersangkutan. Pada saat ini terdapat lebih dari500 (tepatnya 507) pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia. Menyajikan indikator akses air minum dan sanitasi pada tingkat pemerintah daerah menjadi terlalu rumit. TANTANGAN Sektor air dan sanitasi menghadapi tantangan nyata setelah era desentralisasi, dimana sektor tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya.laporan terdahulu memberikan kajian tentang tantangan yang dihadapi sektor dan masing-masing Laporan memberikan pandangan serupa. Hal ini dapat dirangkum sebagai berikut: (i) kemampuan untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas prima; (ii) ketergantungan PDAM dalam mengelola bisnisnya; (iii) mobilisasi pendanaan untuk investasi; (iv) kemampuan untuk menciptakan kebutuhan, terutama untuk sanitasi; (iv) meningkatkan peranserta sektor swasta (antara lain melalui kemitraan Pemerintah-Swasta atau KPS) dan masyarakat; (v) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk masalah sanitasi; (vi) persepsi bahwa air minum dan sanitasi adalah urusan bersama; (vii) persepsi politisi terhadap sanitasi; (viii) menyusun kerangka peraturan perundangan; (ix) peningkatan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang tidak sebanding dengan peningkatan investasi di bidang air minum dan sanitasi.

192 172 Tantangan lainnya adalah perluasan pelayanan kepada masyarakat miskin di perkotaan.pada umumnya PDAM enggan melayani masyarakat miskin perkotaan karena rendahnya kemampuan masyarakat untuk membayar, dan kadang kadang, masyarakat miskin tinggal di daerah kumuh yang tidak terjangkau oleh sistem air minum PDAM. Untuk mengatasi hal ini Pemerintah telah melaksanakan program pelayanan air minum bagi masyarakat miskin di perkotaan melalui bantuan dengan pendekatan berdasarkan hasil (output-based aid atau OBA). Program dengan pendekatan OBA pada mulanya dicoba di Surabaya dengan bantuan dana hibah dari GPOBA (Global Partnership for Output-based Aid) melalui Bank Dunia. Pelaksanaan OBA di Surabaya pada awalnya berjalan kurang lancar, karena pada waktu program ini dimulai belum ada mekanisme penyaluran hibah dari pemerintah pusat ke daerah. Baru setelah diterbitkannya PMK No 168/2008 tentang Hibah Daerah dan PMK 169/2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Pemeintah Daerah, program dengan pedekatan OBA dilaksanakan secara meluas melalui bantuan AusAID, yang dikenal dengan Program Water Hibah (lihat Boks 7.2 untuk Best Practice pelaksanaan Water Hibah). Kotak 7.2 Pelaksanaan Hibah Air Minum untuk Masyarakat Miskin Perkotaan melalui Pendekatan Bantuan Berdasar Hasil atau Kinerja (Output/ Performance-based Aid/OBA), sebuah Best Practice OBA Surabaya disiapkan pada tahun 2007 dimana kondisi ekonomi Indonesia sudah mulai membaik setelah adanya perubahan fiscal dan moneter yang dramatis pada akhir tahun Akan tetapi bencana alam yang berturut-turut menimpa sebagian dari tanah air (antara lain gempa di Yogyakarta, tsunami di Jawa Barat selatan dan lumpur Lapindo di Jawa Timur) telah mempengaruhi kondisi ekonomi dan meningkatkan angka kemiskinan. Sektor air minum di Indonesia mengalami masa-masa sulit selama beberapa dasawarsa, dan situasi diatas semakin memperburuk situasi. Sebagian besar PDAM menghadapi masalah tarif yang rendah sehingga tidak bisa menutup biaya operasi, cakupan juga masih rendah, sementara kehilangan air (air tak terhitung NRW) masih tinggi. Selain itu, manajamen yang buruk serta besarnya hutang dan tunggakan menyebabkan banyak PDAM mengalami kerugian. Situasi yang tidak menguntungkan ini diperburuk dengan tidak adanya strategi air minum yang jelas di tingkat pusat, terutama setelah UU otonomi daerah diberlakukan pada tahun 2004, dimana tanggung jawab pelayanan public telah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, Bank Dunia melalui dana hibah dari GPOBA (Global Partnership fo Output Based Aid), bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia menginsiasi pendekatan Bantuan Berdasarkan Hasil atau Output Based Aid (OBA) dengan menetapkan Surabaya sebagai lokasi uji coba. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses masyarakat kurang mampu terhadap air minum perpipaan. Hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut: Terbukanya akses terhadap pelayanan air minum yang terjangkau; Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang dihasilkan dari menurunnya resiko lingkungan karena air yang terkontaminasi dan penyakit-penyakti yang ditularkan melalui air (waterborne diseases); Meningkatnya kondisi ekonomi yang dihasilkan dari harga air yang terjangkau, penghematan untuk biaya pengobatan dan penghematan lainnya karena tersedianya air bersih;

193 173 Meningkatnya kondisi sosial yang disebakan karena terbukanya akses secara lebih merata bagi masyarakat kurang mampu; dan Membaiknya kondisi lingkungan karena beralihnya menggunaan air sumur menjadi air perpipaan, yang akan mengurangi pengambilan air tanah secara berlebihan, serta mengurangi resiko penurunan muka tanah. Target dari Proyek ini adalah masyarakat miskin di Kota Surabaya yang tinggal di daerah dimana sistem perpipaan tersedia tapi mereka belum dilayani dengan sambungan rumah. Masyarakat yang akan mendapat manfaat dari proyek ini dipilih berdasarkan data yang sudah ada pada PDAM dengan kriteria miskin yang digunakan (misalnya lebar jalan dan ukuran lahan), dengan target sekitar sambungan. Selain itu, proyek ini juga dirancang melayani 500 rumah tangga yang akan disambung melalui meter induk (master meter), sehingga secara keseluruhan menerima manfaat dari proyek ini adalah rumah tangga atau sekitar jiwa (dengan asumsi lima orang tiap rumah). Meskipun pada awalnya mengalami banyak hambatan, antara lain karena belum adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang penerusan hibah ke daerah, akhirnya proyek uji coba ini berakhir pada tahun 2007 dengan capaian hampir 90%. Dengan pendekatan yang sama, Pemerintah Australia memberikan dana bantuan hibah melalui AusAID, yang diberi nama The Water and Sanitation Hibah. Program bantuan ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu mekanisme pembayaran berdasar hasil, dengan tujuan agar pemerintah daerah nantinya mau menginvestasikan dananya untuk PDAM dalam rangka memperluas jaringan melalui sambungan rumah yang baru. Program ini difokuskan pada masyarakat berpendapatan rendah. Pemerintah Daerah diminta untuk melaksanakan program terlebih dahulu dengan dana mereka sendiri, yang akan diganti setelah dilakukan verifikasi. Prinsip yang sama juga diterapkan untuk sambungan air limbah. Pada tahap pertama, ada 35 pemerintah daerah yang berpartisipasi dalam program Water Hibah dan lima pemerintah daerah untuk program Sanitation Hibah. Keduanya telah menghasilkan sambungan air minum dan sambungan air limbah. Program dengan pendekatan pembayaran berdasar kinerja (performance based) ini dianggap berhasil karena mempercepat akses terhadap air minum dan air limbah perpipaan di perkotaan, sehingga direncanakan untuk diperluas di kota-kota lainnya. Untuk air limbah perpipaan, AusAID telah meneruskannya dengan program saiig (Australian Indonesian Infrastructure Grant for Sanitation) yang saat ini sedang berjalan di 40 kabupaten kota. Sumber: 1. Implementation Completion and Results Report (TF-91511) on a Grant in the Amount of US 2,407,500 to the Republic of Indonesia for an Expanding Piped Water Supply to Surabaya s Urban Poor (World Bank, 2013) 2. Independent Evaluation of Water and Sanitation Hibah (IndII/AusAID, 2012). 3. World Bank, Indonesia Country Brief, Draft Concept Note for a Performance Based Subsidy Fund for the Indonesian Water Sector, World Bank. Tantangan yang disebutkan dalam laporan-laporan terdahulu, sudah diantisipasi oleh Pemerintah, dengan berbagai tingkat pencapaian dan hasil. Dalam meningkatkan kebutuhan untuk sanitasi, misalnya, lebih dari 300 pemerintah daerah telah ikut bergabung dalam program Percepatan Pembangunan Sanitasi

194 174 Permukiman, melalui insiatif Bappenas dalam mendorong kesadaran akan sanitasi dan dalam menyiapkan dokumen pengembagan sanitasi berdasarkan Peta Jalan Sanitasi Hal ini sekarang sudah menjadi portfolio rencana pembangunan di daerah, yang digunnakan oleh Pemda sebagai alat untuk memprioritaskan program sanitasi di masing-masing Pemda. Target untuk tahun adalah untuk menyiapkan dokumen pengembangan sanitasi (satrategi sanitasi kota dan memorandum program) untuk 330 Pemda pada akhir tahun Target ini sudah terlampaui karena sudah 347 Pemda yang telah menyelesaikan dokumen pengembangan sanitasinya dan sekitar 97 Pemda sudah akan menyelesaikannya sebelum tahun Program ini telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah yang berpartisipasi. Beberapa walikota/bupati yang antusias kemudian membentuk aliansi walikota/bupati peduli sanitasi (AKKOPSI). Dengan bantuan AsuAID (sekarang DFAT), program untuk Hibah Air Minum telah diperluas mencakup juga sambungan air limbah di beberapa kota besar yang telah memiliki jaringan air limbah. Sebagai tambahan, DFAT melanjutkan bantuan terhadap kota-kota yang berminat untuk membangun sistem jaringan air limbahnya melalui program saiig (Australia-Indonesia Infrastructure Grant for Sanitation). Hal tersebut diatas merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesadaran akan sanitasi, dan dalam memperluas cakupan sanitasi, sehingga akan meningkatkan akses terhadap sanitasi yang layak. Sama halnya dengan air minum, dengan upaya yang ada, sektor sanitasi telah dapat memanfaatkan momentum dari hasil program reformasi yang dilakuka beberapa tahun sebelumnya. Kotak 7.3 Gerakan BASNO Sebagai Kebijakan Propinsi Dalam Mendukung Percepatan Program Melalui Pendekatan STBM, sebuah Best Practice Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 masih terdapat 34.8 persen penduduk NTB yang berperilaku buang air besar di sembarang tempat baik itu ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka lainnya. Fakta ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mempunyai resiko tinggi untuk terkontaminasi berbagai bakteri dan penyakit Karen kondisi lingkungan yang tercemar, mengakibatkan rendahnya status gizi balita bahkan dapat menimbulkan kematian. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Provinsi NTB mengambil tindakan strategis dengan mencanangkan Gerakan Buang Air Besar Sembarangan menuju Nol (BASNO). Dalam pelaksanaannya Gerakan ini mengadopsi pendekatan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang fokus pada perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan yang berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan perilaku menjadi penting dalam implemetasi BASNO karena dari program peningkatan akses masyarakat terhadap sarana sanitasi (jamban sehat) yang sebelumnya dilakukan ternyata belum mampu (i) meningkatkan kebutuhan (demand) dalam skala

195 175 besaruntuk pelayanan sanitasi dan perubahan perilaku; (ii) mendorong pelaku usaha sanitasi menyediakan pilihan jenis saraan sanitasi yang beragam dan terjangkau (supply capacity) bagi konsumen miskin maupun tidak; (iii) menghasilkan dampak kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang diinginkan. Karena itu dalam implementasinya BASNO menggunakan pendekatan STBM mengembangkan 3 komponen kegiatan utama yaitu (i) penciptaan lingkungan pendukung (ii) penciptaan kebutuhan untuk perubahan perilaku yang hygiene dan saniter (demand) dan (iii) peningkatan penyediaan sarana sanitasi di masyarakat (supply). Dengan pendekatan STBM ini gerakan BASNO mampu membangun perubahan perilaku dimasyarakat dalam mengakses dan menyediakan sarana sanitasi rumah tangga dengan swadaya murni. Hal ini tentunya membawa pengaruh pada penurunan kasus penyakit yang sangat signifikan terutama diare dengan peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang sehat. Kedepannya, dengan pendekatan STBM ini di harapkan Gerakan BASNO NTB bisa berkelanjutan sampai terwujudnya kondisi Sanitasi Total di NTB, di mana seluruh masyarakat NTB mempraktikan perilaku higiene dan saniter secara berkelanjutan. Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, 2013 UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Sasaran MDGs telah ditempatkan sebagai tolok ukur penting dalam menyiapkan dan mengembangkan program investasi sektor air minum dan sanitasi. Selain dari mengembangkan instrumen pembiayaan dan program investasi, pemerintah telah memusatkan perhatiannya padamobilisasi sumber-sumber pendanaan untuk menutup kesenjangan pendanaan sebagaimana diindikasikan dalam Peta Jalan Investasi Air Minum, Hal ini diharapkan akan bersinergi dengan kebijakan pemerintah untuk program pembangunan lima tahun berikutnya (RPJMN ). Berdasarkan informasi dari Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, upaya untuk mempercepat pencapaian tujuan MDGs dalam pengembangan air minum antara lain melalui: Peningkatan kapasitas produksi di kawasan yang belum memiliki akses pelayanan air minum, melalui (i) pembangunan SPAM bagi masyarakat Ibu Kota Kecamatan (SPAM IKK); (ii) pembangunan SPAM bagi masyarakat yang belum terlayani di kawasan khusus (perbatasan/pemekaran dan pelabuhan perikanan); dan (iii) pembangunan SPAM bagi masyarakat yang belum terlayani di perdesaan (desa rawan air, daerah tertingal, pulau terluar dan daerah pesisir) Percepatan pemanfaatan sisa kapasitas produksi pada SPAM yang memilki idle capacity, dengan cara (i) mendukung Pemerintah Daerah membangun jaringan distribusi yang mampu melayani 40 persen masyarakat berpenghasilan rendah dari penduduk daerah pelayanan; dan (ii) memasangsambungan rumah bagi masyarakat miskin perkotaan dengan pendekatan output-based dimana Pemerintah Daerah membangun terlebih dahulu selanjutnya biaya investasi akan dikembalikan bila masyarakat penerima manfaat sudah sesuai dengan kriteria MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dalam program hibah air minum. Meningkatkan kinerja PDAM untuk mampu melakukan investasi untuk mampu secara mandiri memperluas pelayanan dengan menggunakan Internal Cash, memanfaatkan fasilitas pinjaman perbankan

196 176 dengan bunga bersubsidi atau alternatif pembiayaan lainnya (KPS, B to B, PIP, dan CSR) sehingga diharapkan dapat menjadi PDAM yang mandiri. Mendorong Kerja Sama Regional antar Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota dalam rangka meningkatkan pelayanan air minum diperkotaan sekaligus mengatasi ketersediaan air baku tidak merata di Kab/Kota dan mewujudkan operasional yang lebih efektif dan efisien. Foto 7.1. Masyarakat Perdesaan menikmati layanan air minum di Desa Tammerodo Kab Majene Provinsi Sulawesi Barat melalui kegiatan Pembangunan SPAM Berbasis Masyarakt (Program PAMSIMAS) Foto 7.2. SPAM Regional Petanu sangat bermanfaat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar Pembangunan lebih dari 1000 SPAM sederhana berbasis masyarakat setiap tahun (PAMSIMAS) di perdesaan dimana sumber air relatif mudah jarak tidak terlalu jauh Foto 7.3. Masyarakat Nelayan di Pulau Mandangin (kiri) mampu menikmati air minum hasil olahan Sea Water Reverse Osmosis pada Program SPAM Kawasan Khusus (kanan) Diantara insiatif yang sedang diambil pemerintah adalah formulasi dan pengembangan fasilitas pendanaan di bawah Kementerian Keuangan. Fasilitas pendanaan ini akan menyediakan dana hibah untuk modal, hibah berdasarkan kinerja, dan pinjaman melalui fasilitas program kemitraan, dan dukungan perkuatan kapasitas pemerintah pusat dan daerah. Fasilitas ini juga akan mencakup sanitasi. Berdasarkan Peta Jalan Investasi Air Minum , dan Peta Jalan Pengembangan Sanitasi , melalui dukungan semua fihak, sektor air minum dan sanitasi telah melaksanakan sejumlah proyek investasi, terutama yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, seperti program hibah berdasarkan kinerja untuk penambahan sambungan rumah, yang juga termasuk sambungan air limbah pada kota-kota yang telah memiliki jaringan air limbah.program ini utamanya dilaksanakan di perkotaan. Di daerah perdesaan, generasi keempat PAMSIMAS (program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah) akan menjadi kegiatan penting dalam penyediaan sarana air minum dan sanitasi di daerah perdesaan. Di daerah semi-perkotaan, Pemerintah telah memulai program Ibu Kota Kecamatan (IKK). Program ini, yang sudah dimulai sejak tahun 1980-an, saat ini sedang dipertimbangkan untuk diperluas.

197 177 Kotak 7.4. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Air Minum dan Sanitasi, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional mengamanatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berupa air minum dan sanitasi yang layak. Dalam penyusunan Draft RPJMN , dari enam isu strategis yang diangkat, dua isu yang erat kaitannya dengan air minum dan sanitasi adalah: (i) menjamin ketahanan air, pangan dan energi untuk mendukung ketahanan nasional; dan (ii) pemenuhan ketersediaan infrastruktur dasar dan standar layanan minimum dalam rangka pemerataan pembangunan infrastruktur. Untuk isu yang pertama, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang relevan dengan air minum dan sanitasi adalah: a. Peningkatan cakupan pemenuhan dan kualitas layanan air baku b. Menjamin ketahanan sumber daya air domestic melalui perwujudan keseimbangan neraca air domestik dengan strategi menjaga kualitas air dan sumber air, ketersediaan, efisiensi dan daur ulang air Sedangkan yang berkaitan dengan isu kedua, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang relevan dengan air minum dan sanitasi adalah: a. Penyediaan infrastruktur produktif melalui penerapan manajemen asset baik di perencanaan, penganggaran dan investasi, termasuk untuk pemeliharaan dan pembaharuan infrastruktur terbangun b. Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi di tingkat nasional, kabupaten/kota dan masyarakat c. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi melalui sinergi dan koordinasi antar pelaku program dan kegiatan mulai tahap perencanaan sampai implementasi baik secara vertical maupun horizontal d. Mengembangkan mekanisme pendanaan alternative dengan memantapkan fasilitas pendanaan di luar mekanisme anggaran pemerintah untuk mendukung percepatan penyediaan layanan air minum dan sanitasi. Sumber: Kedeputian Bidang Infrastruktur, Bappenas, 2013 Merujuk kepada kebijakan tersebut, pengembangan air minum dan sanitasi akan dilaksanakan melalui paradigma Rencana Pengamanan Air minum (RPAM), dimana prinsip dasarnya adalah keseimbangan neraca air domestik, yang mengupayakan efisiensi pada setiap tahapan penmakaian air. Konsep ini mengatur efisiensi penggunaan air pada sumber, pada bangunan pengolahan air, dan pada saat air digunakan di tingkat rumah tangga, dimana air yang sudah terpakai dapat dimanfaatkan untuk kegunaan yang lain, sehingga mengurangi pencemaran pada badan-badan air. Dalam konsep ini, pengelolaan air dan air limbah akanmenjadi sinergi dengan laju yang sama dan sektor akan terintegrasi secara lebih holistik. Karena RPAM berkaitan dengan tiga komponan yaitu sumber, operator dan masyarakat, maka ia mencakup sektor yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak lembaga yang bertanggungjawab untuk tiap sektornya.6 6 Draft Water Safety Plan: Review of the Results of Field Trials and Drafting WSP Academic Paper, Waspola, December 2013

198 178 TARGET 7D MENCAPAI PENINGKATAN YANG SIGNIFIKAN DALAM KEHIDUPAN PENDUDUK MISKIN DI PERMUKIMAN KUMUH (MINIMAL 100 JUTA) PADA TAHUN 2020 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs Status Sumber Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) 13,39% (2013) 6% (2020) BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Data paling akhir (Maret 2013) menunjukkan bahwa proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh adalah 8,55 persen, tapi untuk menjaga konsistensi, data tahun 2012 digunakan dalam laporan ini sebagaimana terlihat dari tabel diatas, sebesar 12,42 persen. Ini merupakan penurunan yang menerus sejak tahun dasar sebesar 20,75 persen, dan jika upaya saat ini tetap dipertahankan, maka akan memiliki potensi untuk terus menurun, dan akan mengubah status dari Perlu Perhatian Khusus dalam laporan sebelumnya menjadi Akan Tercapai, sebagaimana diuraikan berikut ini. Indikator yang digunakan untuk Sasaran 7D pada Laporan tahun 2004 berbeda. Yang digunakan adalah proporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah sebagai indikator. Meskipun demikian, terdapat juga data tentang daerah kumuh, dimana catatan tahun 1999 mengindikasikan sekitar hektar yang diklasifikasikan sebagai daerah kumuh, dengan jumlah penduduk sebanyak 2,3 juta jiwa di kampung. Angka ini menujukan peningkatan pesat dari tahun 1996, dimana hektar diklasifikasikan sebagai daerah kumuh. Laporan tahun 2005 tidak memiliki catatan proporsi penduduk perkotaan di daerah kumuh, dan Laporan tahun 2007 masih menggunakan indikator yang sama seperti pada Laporan tahun Hanya pada Laporan tahun 2010 dan 2011, proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh digunakan sebagai indikator. Pada Laporan tahun 2010, rasionya adalah 12,12 persen tapi pada Laporan tahun 2011 agak meningkat lagi menjadi 12,57 persen. Gambar 7.14 memperlihatkan kecenderungan rasio untuk 19 tahun terakhir, berdasarkan catatan dari laporan-laporan sebelumnya, termasuk data terakhir dan target tahun Angkanya menunjukan kecenderungan penurunan yang konsisten dalam empat tahun terakhir.

199 179 Gambar 7.13 Proporsi Penduduk Perkotaan yang Tinggal di Daerah Kumuh Pada Laporan Terdahulu Sumber: BPS Laporan tahun 2011 mengindikasikan bahwa angka rata-rata penurunan dalam proporsi rumah tangga di daerah kumuh adalah 0,50 persen pertahun. Dalam Laporan tersebut diingingatkan bahwa tanpa terobosan besar, target 6 persen akan sulit tercapai dalam waktu yang sudah ditetapkan, yaitu tahun Penurunan yang tajam pada bulan Maret 2013, meskipun terjadi hanya pada bulan yang bersangkutan saja, memberikan perkiraan yang positif untuk terus menurun pada tahun-tahun yang akan datang. Untuk 19 tahun terakhir, rasionya berubah naik turun dengan rata-rata 0,50 persen penurunan. Untuk mencapai target 6 persen pada tahun 2020, hanya diperlukan penurunan sebesar 0,36 persen pertahun. Apabila upaya yang saat ini dilakukan tetap dipertahankan, target secara optimis akan tercapai. Disparitas regional, sebagaimana tercatat pada Laporan tahun 2011, memperlihatklan bahwa proporsi rumah tangga yang tinggal di daerah kumuh masih cukup besar, dengan angka paling besar terdapat di DKI Jakarta (diatas 25 persen) dan yang terkecil di Jawa Timur (kurang dari 5 persen). Pada data paling akhir (2012), disparitas diantara provinsi memperlihatkan bahwa DKI Jakarta tetap paling tinggi (25,90 persen) diikuti oleh Papua dan Papua Barat (masing-masing 22,85 dan 22,53 persen), dan yang terrendah adalah di Provinsi NAD (0,11 persen). Disparitas untuk daerah perdesaan mungkin bisa berbeda, tapi tidak ditampilkan disini karena indikatornya berkaitan dengan kawasan kumuh perkotaan.

200 180 Gambar 7.14 Disparitas Provinsi untuk penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh (2012) Sumber: BPS dan Susenas, Maret 2013 Laporan tahun 2011 menyatakan bahwa penurunan proporsi rumah tangga yang tinggal di daerah tertinggal di perkotaan akan sesuai dengan penurunan rumah tangga miskin. Akan tetapi, dari sudut pandang ekonomi, peningkatan pendapatan rumah tangga miskin tidak serta merta mendorong mereka untuk memperbaiki kondisi perumahan mereka, mengingat bahwa untuk memperbaiki rumah yang berkualitas dan lingkungan dimana mereka tinggal diperlukan biaya yang cukup besar. Masyarakat kurang mampu akan memprioritaskan peningkatan pendapatannya untuk keperluan lain seperti makanan dan pakaian. TANTANGAN Tantangan dalam mengurangi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh berkaitan dengan masalah urbanisasi. Laporan tahun 2010 mengindikasikan bahwa angka urbanisasi yang pesat (0,96 persen) telah menghasilkan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggal di daerah kumuh dengan angka absolut dari 2,7 juta jiwa tahun 1993 menjadi 3,4 juta jiwa tahun Selain masalah pendanaan perumahan dan mekanisme subsidi, akses yang terbatas terhadap kepemilikan lahan, dan kurangnya sarana perkotaan untuk masyarakat miskin, sebagaimana diindikasikan dalam laporan-laporan sebelumnya, tantangannya lebih berat karena masalah utamanya terletak pada status ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan migrasi dari desa ke kota karena masyarakat mengharapkan kehidupan yang lebih baik di perkotaan. Ini memicu peningkatan daerah kumuh di perkotaan. Tantangan terbesar terletak pada upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai suatu bangsa.

201 181 Kotak 7.5. Capaian dan Best Practice Pelaksanaan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K- BK) Tahun 2012 (di Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang) Penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh bukan hanya menjadi kewajiban Pemerintah, akan tetapi yang menjadi pelaku utama dalam penanganan kumuh di daerah justru adalah pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan stakeholder terkait lainnya. Program PLP2K-BK dinilai berhasil apabila seluruh sektor yang terkait baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, beserta masyarakat dan swasta, secara sinergis dan koordinatif, berpartisipasi dalam penanganan kekumuhan di suatu lokasi. Salah satu best practise pelaksanaan PLP2K-BK di daerah adalah penanganan kumuh di Kota Palembang yang dimotori oleh Walikota Palembang. Pada Tahun 2012, Kota Palembang mendapatkan bantuan PLP2K-BK dari Kemenpera, di 2 (dua) lokasi, yaitu: (i) Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Sebrang Ulu 1; and (ii) Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1. Penanganan PLP2K-BK Tahun 2012 Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Sebrang Ulu 1, Kota Palembang berada di pinggiran Sungai Musi, dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa atau KK (2012). Dengan luas 184 hektar, maka kepadatan penduduk adalah 147 jiwa/hektar. Kepadatan penduduk tiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Karena berada di pinggiran bahkan di atas Sungai Musi, masyarakat di kelurahan ini sudah sangat terbiasa dengan genangan air pada permukimannya, ketika pasang air/banjir terjadi. Pada saat air surut, endapan tanah dan sampah sudah sangat awam terlihat pada lokasi ini.bangunan-bangunan rumah dibangun tidak terencana dan kebanyakan berada di area sepanjang sungai. Satu sama lain dihubungkan dengan jalan beton atau kayu yang dibuat cukup tinggi agar tidak tertutup air ketika sungai sedang pasang. Lokasi ini menghadapi masalah air bersih dan sanitasi lingkungan yang cukup buruk. Sungai Musi dimanfaatkan sebagai sumber utama untuk air minum, mandi, mencuci, namun sekaligus juga sebagai kakus. Prasarana persampahan juga masih sangat minim, demikian juga dengan prasarana jalan lingkungan.mayoritas penduduk yang tinggal di lokasi penanganan ini bekerja sebagai buruh dengan upah harian di sektor transportasi, di pabrik-pabrikdan di pasar. Ketergantungan terhadap upah harian menyebabkan rumah tangga yang tinggal di lokasi ini termasuk cukup miskin. Di lokasi ini juga sering terjadi kebakaran dan rawan tindak kriminal. Pada Tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat memberikan bantuan PLP2K-BK di lokasi ini berupa jalan lingkungan, drainase, TPS, PJU, dermaga, dan bangunan serbaguna, dengan total nilai bantuan Rp 3,9 Milyar. Bantuan stimulan ini dilaksanakan berdasarkan indikasi program yang telah direkomendasikan melalui Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) PLP2K-BK Kelurahan 5 Ulu yang telah disusun oleh Kemenpera pada Tahun Komponen fisik tersebut dapat ditunjukkan pada foto-foto dokumen di bawah ini :

202 182 Foto 7.4. Kondisi Jalan Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 setelah Diperbaiki Foto 7.5. Bangunan Serbaguna di Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 yang Dibangun melalui PLP2K-BK Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1, Kota Palembang Sama seperti Kelurahan 5 Ulu, Kelurahan Tuan Kentang juga berada di wilayah pinggiran Sungai Musi, dengan jumlah penduduk sekitar jiwa atau KK (2012). PSU lingkungan secara umum baru dapat melayani 40 persen dari seluruh kebutuhan y ang ada. Air bersih pada umumnya diambil langsung dari Sungai Musi. Sambungan PDAM masih minim di lokasi ini. Selain itu, sanitasi lingkungan dan drainase dinilai cukup memprihatinkan. Hal ini diindikasikan dengan masih intensnya aktivitas MCK dilakukan di sungai. Saluran drainase masih banyak yang tersumbat dan tidak terhubung satu sama lain, yang mengakibatkan genangan air pada waktu musim hujan maupun pasang, tidak dapat dihindari. Secara umum, tata letak perumahan tidak teratur. Pola penyebaran cenderung mengikuti alur sungai dan jalan, dengan intensitas kepadatan tinggi (70-90 persen kawasan terbangun). Kawasan ini merupakan kawasan langganan banjir apabila musim hujan. Kepemilikan tanah merupakan hanya pada beberapa individu saja. Masyarakat pada umumnya menyewa. Pada umumnya masyarakat bekerja di industri rumah tangga (home industry) rajut jumputan dan kain tajung. Kegiatan ekonomi ini dinilai merupakan potensi ekonomi yang dapatdikembangkan di lokasi ini. Pada Tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat memberikan bantuan PLP2K-BK di lokasi ini berupa jalan, drainase, PJU, MCK, Rumah Pintar, Dermaga, Bangunan Serbaguna, Pembangunan Taman, dan Tempat Parkir, dengan total nilai bantuan sebesar Rp Bantuan stimulan ini dilaksanakan berdasarkan indikasi program yang telah direkomendasikan melalui Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) PLP2K-BK Kelurahan Tuan Kentang yang telah disusun oleh Kemenpera pada Tahun Komponen fisik tersebut dapat ditunjukkan pada foto-foto dokumen di bawah ini :

203 183 Foto 7.6. Bangunan Dermaga di di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui PLP2K-BK (kiri).bangunan Serbaguna di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui PLP2K-BK (kanan) Tindak Lanjut Pelaksanaan PLP2K-BK di Kota Palembang oleh Pemerintah Kota Palembang Penanganan kumuh yang dilaksanakan oleh Kemenpera di Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan Tuang Kentang, ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Palembang. Sebagai leader dalam penanganan kumuh di daerah, Pemerintah Kota Palembang pada Tahun 2013 ini telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain program pembebasan lahan untuk relokasi penduduk, peningkatan kualitas rumah, peningkatan kualitas jalan, pembangunan rumah pintar, dan show room untuk produk-produk home industry masyarakat setempat. Selain itu, Kemenpera melalui program BSPS (Bantuan Stimulan Perumah Swadaya) juga turut serta memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta/unit rumah untuk peningkatan kualitas rumah di lokasi ini, demikian juga dengan Kementerian Sosial. Dari pihak swasta, REI juga terlibat dalam pembangunan rumah. Foto-foto dokumentasi tindak lanjut upaya penanganan yang telah dilakukan di lokasi ini disampaikan di bawah ini : Foto 7.7. Peningkatan Kualitas Rumah di Kelurahan 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kiri). Bangunan Tempat Bermain di Kelurahan Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kanan)

204 184 Sesuai dengan prinsip awalnya, bahwa penanganan PLP2K-BK merupakan pendekatan sinergis dan berkelanjutan antar sektor di tingkat pusat dan daerah dengan pemerintah daerah sebagai leader, diharapkan penanganan permasalahan kekumuhan di Kelurahan 5 Ulu, dan Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1, dapat terus dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu perencanaan penanganan (5 tahun). Penanganan tersebut difokuskan tidak hanya pada sektor lingkungan/fisik, namun juga pada sektor ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan permasalahan kekumuhan lokasi ini dapat terselesaikan. Sumber: Kemenpera, 2013 Revitalisasi Boezem Morokrembangan, Surabaya Dalam rangka peningkatan manfaat Boezem (Kolam) Morokrembangan di Surabaya sebagai kolam retensi untuk menjaga zona konservasi dan mengamankan system pengendali banjir kota Surabaya, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah berhasil melaksanakan revitalisasi kawasan Boezem Morokrembangan, sebagaimana terlihat pada beberapa foto berikut ini. Sumber: Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, MCK komunal (kiri atas), Revitalisasi pasar (kiri bawah) dan jalan lingkungan (kanan) Foto 7.8. Pengelolaan sempadan Boezem Morokrembangan (kiri dan kanan atas), pengelolaan sampah 3R (kanan bawah)

205 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs 185 Jumlah penduduk perkotaan saat ini sudah mencapai lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia. Pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut, yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya perumahan dan permukiman kumuh. Kondisi ini dapat ditunjukkan melalui fakta bahwa luas perumahan dan permukiman kumuh pada tahun 2004 yang tadinya sebesar ha telah berkembang menjadi sebesar ha pada tahun Bahkan diperkirakan apabila tidak dilakukan penanganan maka luas perumahan dan permukiman kumuh akan tumbuh menjadi ha pada tahun 2025 dengan pertumbuhan 1,37 persen pertahun. Meluasnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh khususnya di perkotaan telah menimbulkan dampak pada peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir, meningkatnya potensi kerawanan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, menurunnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman, dan lain sebagainya.perumahan dan permukiman kumuh yang cenderung meluas ini perlu segera ditangani, sehingga diharapkan terwujud suatu lingkungan perumahan dan permukiman yang layak huni dalam suatu lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah c.q., Direktorat Jenderal Cipta Karya antara lain adalah melalui pembangunan infrastruktur fisik sebagai stimulant, yang meliputi (i) penyediaan infrastruktur permukiman kumuh di perkotaan dalam rangka peningkatan kualitas permukiman; (ii) peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan sesuai amanat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro Rakyat (Klaster IV) yang dilakukan di 5 kawasan yaitu : Belawan - Medan, Ciliwung - DKI Jakarta, Tamansari - Kota Bandung, Boezem Morokrembangan - Surabaya, dan Tallo - Makassar dalam rangka penanganan kawasan permukiman kumuh skala besar di kota metropolitan; (iii) pembangunan Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya sebagai salah satu solusi dalam penanganan kawasan kumuh perkotaan serta untuk memfasilitasi MBR yang belum terjangkau fasilitasi hunian layak. Selain itu, telah disiapkan pula sejumlah peraturan perundangan dan pedoman, yang antara lain meliputi: (i) Penyusunan Rapermen Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan: (ii) penyusunan Road Map Penanganan Kumuh 2020; (iii) pemutakhiran Data Kumuh berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Bupati/Walikota (SK Kumuh sesuai amanah UU 1 Tahun 2011), dan (iv) pendampingan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyusunan dokumen perencanaan (SPPIP dan RPKPP) dan survey primer. Kotak 7.6. Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh Berdasarkan arah kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum (Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya) dalam penanganan permukiman kumuh bidang Cipta Karya, obyek penanganan permukiman kumuh terdiri dari rumah dan penyediaan sarana umum, yang didukung sarana jaringan air minum, sistem sanitasi, jalan lingkungan, ruang terbuka dan sarana prasarana lainnya. Penanganannya adalah melalui program peremajaan dan permukiman kembali rumah kumuh melalui pengadaan rumah susun, penyediaan akses

206 186 terhadap air minum dan sanitasi, penyediaan jalan lingkungan, dan penyediaan ruang terbukan dan sarana prasarana lainnya. Program adalah sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: No Kegiatan Uraian TA 2010 TA 2011 TA 2012 TA 2013 Rencana TA 2014 Total 1. Penanganan Kumuh Jumlah kawasan permukiman kumuh perkotaan yang ditangani 128 kws 221 kws 151 kws 171 kws 150 kws 821 kws 2. Rusunawa Jumlah satuan unit hunian rumah susun yang terbangun beserta infrastrukturnya 40 TB 65 TB 53 TB 67 TB 25 TB 250 TB Kebijakan Direktorat Pengembangan Permukiman dalam rangka mendukung upaya pencapaian Tujuan 7, Target 7D MDGs bersumber dari: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Peraturan Menteri PU 20/PRT/M/2012 tentang Renstra PU 4. Arahan Presiden dalam Rapat Kabinet bulan Agustus 2012 : Kota Bebas Permukiman Kumuh Tahun 2020 Sumber: Kemenpera, 2013, Direktorat Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013 Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang setiap tahunnya mengalami perluasan tersebut, maka mulai tahun 2010 Kementerian Perumahan Rakyat melaksanakan penanganan lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan pendekatan kawasan yang terpadu (multi sektor), yaitu program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun , target penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh seluas 655 hektar. Sumber: Kemenpera Gambar Target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun

207 187 PLP2K-BK pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk menata dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh secara berkelanjutan dengan pendekatan tridaya melalui perbaikan dan penyediaan prasarana, sarana dan ulitilitas umum (PSU) yang memadai untuk mendukung penghidupan dan kehidupan lingkungan menjadi layak dan produktif. Objek penanganan PLP2K-BK adalah perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang sesuai dengan peruntukkannya sebagai perumahan dalam rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten setempat, dengan kriteria lokasi: 1) mengelompok minimal 10 hektar; 2) ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan 3) memiliki intensitas kekumuhan dan permasalahan sosial kemasyarakatan. PLP2K-BK memiliki beberapa komponen kegiatan utama yang satu dengan yang lainnya saling terintegrasi, antara lain: 1) penyusunan rencana PLP2K-BK; 2) pembentukan tenaga penggerak masyarakat (TPM); 3) penyusunan rencana tindak komunitas; 4) penyusunan detailed engineering design; 5) pembangunan stimulan fisik; 6) supervisi pembangunan stimulan fisik dan 7) monitoring dan evaluasi. Seluruh kegiatan tersebut diawali dengan verifikasi lokasi berdasarkan usulan lokasi dari pemerintah daerah, dengan melakukan verifikasi kesesuaian lokasi dengan kriteria lokasi PLP2K-BK, hingga kemudian pembangunan stimulan fisik PSU sesuai dengan kebutuhan masyarakat (parcipatory planning) melalui rembug warga. Kabupaten/kota yang telah mendapat bantuan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuhnya melalui PLP2K-BK pada Tahun , yaitu sebanyak 94 (sembilan puluh empat) lokasi pada 89 kabupaten/kota, dengan rincian sebagai berikut: 1) Tahun Anggaran 2010 sebanyak 10 (sepuluh) kabupaten/kota; 2) Tahun Anggaran 2011 sebanyak23 (duapuluh tiga) kabupaten/kota; dan 3) Tahun Anggaran 2012 sebanyak56(lima puluh enam) kabupaten/kota. Luas wilayah penanganan pada masing-masing lokasi berbeda-beda, sesuai dengan intensitas dan sebaran permasalahan kekumuhan. Luasan minimal sebuah perencanaan PLP2K-BK adalah 10 (sepuluh) hektar dengan wilayah penanganan seluas 3 5 hektar, yaitu luasan pembangunan stimulan PSU PLP2K-BK. Dengan asumsi 1 (satu) lokasi pada masing-masing kabupaten/kota telah ditangani seluas 5 (lima) hektar, maka hingga TA 2012, perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang telah ditangani oleh PLP2K-BK seluas 470 (empat ratus tujuh puluh) hektar atau sekitar 72% dari target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat, dengan jumlah penduduk yang mendapatkan manfaat ± kepala keluarga (KK). Pemerintah telah melakukan berbagai upaya sebisanya. Laporan tahun 2011 mengindikasikan beberapa program yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengelola masalah rumah tangga yang tinggal di daerah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat. Diantaranya adalah Program Perbaikan Lingkungan dan Perumahan (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Program /NUSSP), Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan atau P2KP (Urban Poverty Alleviation Program/UPP), Community- Based Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Life Improvement Program for Poor Urban Communities dan Regional-Based Plans for Management of Slum Housing and Neighborhoods (PLP2K- BK). Apabila program-program tersebut dilanjutkan, dipercepat dan diperluas, dan dilaksanakan dengan strategi untuk menjamin integrasi, efektifitas dan efisiensi, maka hasilnya diharapkan tidak hanya akan mencegah tumbuhnya daerah kumuh baru, tapi juga mengurangi daerah kumuh perkotaan pada tingkat yang paling rendah.

208 188

209 TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sumber foto: Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan

210

211 191 TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN TARGET 8A MENGEMBANGKAN SISTEM KEUANGAN DAN PERDAGANGAN YANG TERBUKA, BERBASIS PERATURAN, DAPAT DIPREDIKSI DAN TIDAK DISKRIMINATIF Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a 8.6b 8.6c Rasio ekspor dan impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 41,60% (1990)* 45,80% (2000)* 101,30% (2003)* Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 43,62% (2012)** 83,58% (2012) 111,03% (2012) Meningkat Meningkat Meningkat * BPS & Bank Dunia ** BPS Bank Indonesia KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Perekonomian dunia di tahun 2012 mengalami kelesuan sebagai akibat dari pemulihan kondisi fiskal di Amerika Serikat dan adanya krisis utang di kawasan Uni Eropa. Kelesuan ini mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan produk ekspor asal Indonesia di pasar ekspor tersebut. Berkurangnya permintaan juga menyebabkan turunnya harga produk ekspor. Kedua hal ini berdampak pada penurunan nilai ekspor. Kecenderungan ini nampaknya akan terus berlanjut pada tahun Kinerja perdagangan luar negeri Indonesia mengalami penurunan pada tahun Total ekspor Indonesia di tahun 2012 mencapai USD miliar atau mengalami penurunan sebesar -5,6 persen dari tahun Sementara itu total impor mengalami peningkatan sebesar 8,0 persen dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2012 mencapai nilai USD 191,67 miliar. Di sisi lain Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2012 mengalami pertumbuhan sebesar 6,2 persen, dengan harga berlaku senilai USD 875,07 miliar. Dari data ekspor, impor dan PDB ini kemudian dihitung indikator keterbukaan ekonomi, yang dirumuskan sebagai rasio jumlah ekspor dan impor nasional terhadap PDB. Pada Gambar 8.1 dapat dilihat terjadinya penurunan indikator keterbukaan ekonomi pada tahun 2012 menjadi sebesar 43,62

212 192 persen, dibandingkan pencapaian pada tahun 2011 yang mencapai 45,00 persen. Penurunan ini terus berlanjut hingga semester pertama tahun 2013 menjadi 41,41 persen. Gambar 8.1. Perkembangan Impor, Ekspor, PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB Sistem keuangan yang handal dan terbuka diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Berbagai kebijakan pembenahan sektor keuangan, terutama perbankan setelah krisis ekonomi dan keuangan tahun 2008, telah berhasil meningkatkan ketahanan sektor keuangan maupun perkembangan sektor keuangan secara keseluruhan sampai dengan tahun Ketahanan perbankan antara lain tercermin pada beberapa indikator seperti rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio CAR) yang di tahun 2012 mencapai 17,43 persen. CAR mencerminkan kemampuan perbankan menghadapi risiko krisis keuangan maupun perkembangan permintaan jasa perbankan pada masa mendatang. Meningkatnya stabilitas perbankan dan perkembangan kegiatan ekonomi juga terlihat antara lain pada meningkatnya dana pihak ketiga perbankan dan penyaluran pinjaman perbankan. Ketahanan dan fungsi intermediasi perbankan yang berhati-hati juga tercermin pada peningkatan indikator rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit ratio - LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan NPL) selama dua tahun terakhir. Indikator LDR pada perbankan umum dan BPR, sebagaimana tersaji pada indikator 8.6b dan 8.6c di atas, belum memasukkan unsur perbankan syariah dan BPR syariah, karena publikasi statistik perbankan yang belum menyatukan kedua jenis perbankan/bpr tersebut. Kondisi perbankan di Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat pada capaian beberapa indikator sebagaimana tersaji dalam Tabel 8.1. Tabel 8.1. Beberapa Indikator Terpilih Kondisi Bank Umum di Indonesia, Indikator Total Aset (triliun Rp) 3.652, ,9 Dana Pihak Ketiga (triliun Rp) 2.784, ,2 Kredit Perbankan (triliun Rp) 2.200, ,9 Loan to Deposit Ration LDR (%) 78,80 83,58 Return on Assets ROA (%) 3,00 3,11 Non-Performing Loans NPL (%) 2,2 2,3 Capital Adequacy Ration CAR (%) 16,10 17,43

213 193 Meskipun terjadi krisis di Eropa dan gejolak politik dan ekonomi di Amerika Serikat, kinerja sektor perbankan pada semester I tahun 2013 masih terjaga dengan baik. Indikator rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio CAR) mencapai 18,4 persen meningkat dibanding status pada akhir 2012 (17,9 persen). Indikator lain seperti rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan NPL), tercatat mengalami penurunan (semakin membaik statusnya) menjadi 1,9 persen pada pertengahan Capaian ini antara lain merupakan implikasi dari kebijakan Loan to Value dan Down Payment perbankan. Dari segi aset, total aset bank-bank umum pada Juni tahun 2013 tercatat sebesar Rp 4.533,6 triliun, meningkat dibanding tahun 2012, yaitu sebesar Rp 4.329,9 triliun. TANTANGAN Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan adanya risiko penurunan kinerja ekspor ke bawah (downside risk) yang antara lain disebabkan oleh: (i) potensi penurunan harga komoditas di pasar internasional yang akan mempengaruhi nilai ekspor Indonesia, dimana ekspor Indonesia masih bergantung kepada komoditas primer, (ii) terhambatnya proses pemulihan ekonomi kawasan Eropa dan turunnya tingkat pertumbuhan China sebagai salah satu pasar tujuan ekspor utama Indonesia, serta (iii) tingkat persaingan di pasar barang kawasan Asia yang semakin meningkat. Terkait dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan moneter internasional, dan kenaikan harga BBM dalam negeri, masih akan menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi. Tekanan ini memerlukan antisipasi kebijakan moneter yang relatif ketat, dan menuntut adanya koordinasi kebijakan yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia, baik di sektor riil dan keuangan, agar dapat melonggarkan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi tersebut. Kebijakan ini mendorong penurunan laju pertumbuhan kredit yang diberikan oleh bank umum dan BPR. Arah perekonomian yang mulai membaik pada triwulan IV 2013 menjadi modal penting bagi prospek ekonomi ke depan. Bank Indonesia memperkirakan pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi akan lebih berimbang sehingga akan semakin memperkuat stabilitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada pada kisaran 5,5%-5,9% dengan sumber pertumbuhan yang lebih seimbang antara permintaan eksternal dan permintaan domestik. Permintaan eksternal diperkirakan terus membaik sehingga ekspor akan meningkat sedangkan permintaan domestik masih moderat sehingga impor dan inflasi akan tetap terkendali. Dengan demikian, rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB diprakirakan akan menurun menjadi di bawah 3,0% dan laju inflasi diprakirakan akan berada pada kisaran sasaran 4,5%±1%. Meskipun membaik, prospek perekonomian Indonesia tahun 2014 masih dihadapkan pada beberapa faktor risiko, baik yang bersifat global maupun domestik. Di sisi global, proses rebalancing ekonomi China yang semula berorientasi investasi menjadi konsumsi dapat mengurangi ekspor. Selain itu, suasana ketidakpastian yang mengiringi implementasi kebijakan tapering off oleh the Fed dapat mengurangi arus masuk modal portofolio. Di sisi domestik, terdapat risiko kenaikan laju inflasi yang bersumber dari dampak gangguan cuaca dan bencana alam terhadap harga bahan makanan serta dampak lanjutan dari kenaikan harga barang administered dan pelemahan nilai tukar. Terkait implementasi UU Minerba, kebijakan ini dalam jangka menengah berdampak positif terhadap ekspor, tetapi dalam jangka pendek dapat mengurangi ekspor jika proses pembangunan smelter tidak berjalan lancar sesuai rencana. Dinamika perekonomian Indonesia selama 2013 memberikan beberapa pelajaran berharga bagi kita dalam menghadapi berbagai faktor risiko tersebut. Pertama, pentingnya kebijakan makroekonomi, baik fiskal

214 194 maupun moneter, yang disiplin dalam menjaga stabilitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Kedua, respons kebijakan tidak hanya dapat dengan menggunakan satu jenis kebijakan, tapi perlu dengan satu bauran kebijakan. Ketiga, respon kebijakan yang kuat (bold) mensyaratkan pentingnya dukungan sistem keuangan dan neraca korporasi yang sehat. Keempat, komunikasi yang intensif sangat penting untuk menjangkar persepsi pasar. Kelima, pentingnya koordinasi yang erat di antara berbagai pemangku kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan. Keenam, penguatan kebijakan struktural sangat dibutuhkan untuk menopang keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, termasuk kebijakan pengelolaan subsidi BBM, kebijakan di sektor keuangan, terutama terkait pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan di sektor riil. Mengacu kepada beberapa pelajaran berharga tersebut, untuk memperkuat prospek ekonomi tersebut sekaligus merespon berbagai risiko yang ada, arah kebijakan Bank Indonesia akan tetap difokuskan pada upaya menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan. Kebijakan moneter akan tetap diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi dan penurunan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat melalui kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai fundamentalnya. Penguatan operasi moneter, pengelolaan lalu lintas devisa, dan pendalaman pasar keuangan akan diintensifkan untuk mendukung efektivitas transmisi suku bunga dan nilai tukar, sekaligus untuk memperkuat struktur dan daya dukung sistem keuangan dalam pembiayaan pembangunan. Kebijakan makroprudensial akan diarahkan pada mitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Bank Indonesia juga akan meningkatkan upaya perluasan akses masyarakat terhadap perbankan (financial inclusion). Kebijakan sistem pembayaran akan tetap diarahkan pada pengembangan industri sistem pembayaran domestik yang lebih aman, efisien, dan lancar. Seluruh kebijakan tersebut akan diperkuat dengan berbagai langkah koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas sektor keuangan terkait. Dalam jangka menengah, perekonomian Indonesia diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi dengan laju inflasi yang lebih rendah dan postur transaksi berjalan yang lebih sehat. Namun, prognosa ini sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan struktural yang saat ini masih menyelimuti perekonomian domestik. Beberapa tantangan tersebut berkaitan dengan permasalahan pada struktur pembiayaan, struktur produksi domestik, termasuk ketahanan energi dan ketahanan pangan serta dampaknya terhadap pengelolaan subsidi di APBN, dan ketersediaan modal dasar pembangunan. Berbagai langkah reformasi struktural telah ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengatasi berbagai tantangan struktural tersebut. Terlepas dari capaian yang telah diraih, percepatan implementasi berbagai kebijakan reformasi struktural yang telah dicanangkan masih diperlukan. Kebijakan struktural tersebut meliputi upaya pendalaman pasar keuangan domestik, upaya penguatan striktur produksi dan integrasi rantai nilai global, dan upaya mengelola subsidi BBM secara optimal guna memberikan ruang gerak fiskal dalam mendukung pertumbuhan yang berkesinambungan. Percepatan berbagai upaya reformasi struktural tersebut diperkirakan dapat menghindarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Bank Indonesia memperkirakan apabila reformasi struktural dapat berjalan baik, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,5% pada 2018 dengan tingkat inflasi yang menurun sesuai target jangka menengah dan defisit transaksi berjalan yang lebih sehat. Prospek perekonomian dalam jangka bahkan dapat lebih tinggi bila berbagai upaya peningkatan kapabilitas industri dapat berjalan sesuai harapan. Lebih jauh, prospek ekonomi Indonesia dapat lebih meningkat apabila prakondisi kebijakan untuk mendukung kenaikan produktivitas dan daya saing di perekonomian domestik juga terpenuhi. Namun, apabila pelaksanaan

215 195 kebijakan reformasi struktural tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan, pertumbuhan ekonomi dapat lebih rendah dari perkiraan, dan diikuti inflasi yang lebih tinggi dan perbaikan defisit transaksi berjalan yang lebih terbatas. KEBIJAKAN Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya menjaga kinerja ekspor dan impor, antara lain sebagai berikut: (i) Meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia; (ii) Meningkatkan penetrasi produk ekspor di pasar ekspor non-tradisional, terutama di negara-negara Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur, yang dilakukan antara lain melalui optimalisasi skema kerjasama perdagangan internasional terutama secara bilateral, memaksimalkan peran jaringan Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, kantor promosi perdagangan di negara-negara tersebut, serta mengoptimalkan upaya promosi terpadu; (iii) melanjutkan upaya peningkatan ekspor produk hilir, terutama produk mineral dan pertambangan agar dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar untuk perekonomian nasional; (iv) meningkatkan pemanfaatan kesepakatan kerjasama perdagangan ASEAN dan ASEAN+1; serta (v) meningkatkan kapasitas eksportir dan calon eksportir melalui pelatihan dan fasilitasi pembiayaan ekspor. Dari sisi pembiayaan kegiatan ekonomi, telah diupayakan untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan antara lain melalui penerapan kebijakan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Perbankan. Selain itu telah pula dibangun Sistem informasi Debitur (SID) dengan tujuan untuk memudahkan lembaga keuangan dalam mengidentifikasi debitur potensial yang layak menerima kredit. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini, ditengarai akan berpengaruh kepada stabilitas makro ekonomi, yang pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya mengambil langkah-langkah kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural. Di antara langkah-langkah yang telah diambil tersebut, antara lain diterbitkannya Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi pada 23 Agustus 2013 untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi dan menjaga kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Kebijakan Keuangan Inklusif dalam rangka memperkuat akses ke lembaga keuangan formal dilakukan melalui 6 pilar strategi yakni: a). Penguatan Edukasi keuangan, b). Peningkatan Fasilitas Keuangan Publik, c). Pemetaan Informasi Keuangan d). Kebijakan Peraturan yang Mendukung e). Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi f). Perlindungan Konsumen. Pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, yang diimplementasikan dengan memperkuat ketentuan makroprudensial. Kebijakan ini, bersama-sama dengan kebijakan suku bunga dan nilai tukar, merupakan bagian dari bauran kebijakan makroprudensial yang terkait dengan prinsip kehati-hatian perbankan. Selain itu, penguatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan/perbankan ditempuh melalui: (i) penataan struktur kepemilikan bank, dan (ii) pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modal (inti) yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan kesehatan bank. Pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan.

216 196 Sedangkan kebijakan penguatan fungsi intermediasi diupayakan melalui peningkatan akses layanan pemberian kredit/pembiayaan UMKM oleh bank umum dan BPR. Perluasan akses layanan keuangan dilakukan pula tanpa melalui kantor bank atau dilakukan melalui cara non-konvesional, melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan kerjasama keagenan (branchless banking). Kebijakan intermediasi perbankan juga didorong melalui berbagai langkah antara lain melalui perluasan akses keuangan (financial inclusion) kepada masyarakat, yang meliputi layanan perbankan berbiaya rendah bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan.

217 197 TARGET 8D MENANGANI UTANG NEGARA BERKEMBANG MELALUI UPAYA NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL UNTUK DAPAT MENGELOLA UTANG DALAM JANGKA PANJANG Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Target 8D: Menangani utang Negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang a Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB Rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR) 24,59% (1996) 51,00% (1996) 28,7% (2012) 34,9% (2012) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Berkurang Berkurang Sumber Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Bank Indonesia Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Utang luar negeri Indonesia terdiri atas utang luar negeri pemerintah, bank sentral (Bank Indonesia), dan sektor swasta. Dari 2006 sampai dengan 2012, posisi utang luar negeri Indonesia meningkat sebesar USD119,7 miliar (90,3 persen). Peningkatan terjadi baik pada utang luar negeri pemerintah dan bank sentral maupun swasta. Namun demikian, pada periode yang sama peningkatan utang luar negeri tersebut diikuti peningkatan PDB yang relatif lebih besar yaitu sebesar USD 520,9 miliar (141,1 persen). Oleh karenanya, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB cenderung mengalami penurunan menjadi 28,7 persen pada Peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia pada tahun 2012, banyak dipengaruhi oleh peningkatan utang luar negeri swasta yang cukup signifikan menjadi USD miliar (18.3 persen yoy). Peningkatan ini terutama disebabkan berlakunya sanksi denda kepada perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban utang luar negeri berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 12/24/PBI/2010 tanggal 29 Desember Sanksi dari peraturan tersebut telah berlaku efektif sejak Juli 2011, sehingga telah meningkatkan cakupan pelaporan dan jumlah pelapor utang luar negeri swasta. Peningkatan utang luar negeri juga disebabkan oleh peningkatan utang luar negeri bank sentral sebesar 59,8 persen (yoy) dari USD 6,2 miliar pada tahun 2011 menjadi USD9,9 miliar pada tahun Peningkatan itu merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia dalam optimalisasi pengelolaan cadangan devisa. Outstanding Pinjaman Luar Negeri mengalami peningkatan dari Rp 614,81 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp 640,66 triliun pada pertengahan Agustus Kenaikan tersebut disebabkan oleh pelemahan kurs rupiah terhadap valas. Sekalipun demikian, beban Pinjaman Luar Negeri Pemerintah sejak krisis tahun 1998 cenderung membaik yang dapat dilihat dari penurunan rasio Pinjaman Luar Negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu dari 8,30% pada tahun 2011, menjadi 7,40 persen pada tahun 2012, bahkan mencapai 6,80 persen pada bulan Agustus Penurunan tersebut mengindikasikan peningkatan kemampuan Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal. Penurunan rasio ini antara lain dikontribusikan oleh kebijakan pemerintah yang lebih

218 198 mengutamakan instrumen utang domestik dalam pembiayaan APBN dan upaya untuk mengendalikan ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Selain itu, upaya Pemerintah dalam mengarahkan pemanfaatan utang untuk membiayai kegiatan produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, juga memberikan konstribusi terhadap penurunan rasio ini. Pemerintah secara konsisten berupaya mengendalikan pertumbuhan utang dan mengelola utang dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, efisensi, dan efektifitas. Membaiknya kemampuan Pemerintah Indonesia untuk mengelola utang luar negerinya juga dapat dilihat dari penurunan rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (debt service ratio/dsr). Seiring dengan penurunan posisi utang luar negeri Pemerintah, DSR pada tahun 2012 atas dasar seluruh kewajiban utang luar negeri Pemerintah mencapai 4,61 persen. Sementara itu, rasio pembayaran kewajiban utang utang luar negeri Indonesia secara terhadap penerimaan hasil ekspor (debt service ratio/dsr) terlihat berfluktuasi, dimana pada 2011 tercatat sebesar 21,10 persen meningkat menjadi 34,9 persen pada tahun Peningkatan DSR ini dipengaruhi oleh peningkatan pembayaran kewajiban utang luar negeri swasta dan penurunan nilai ekspor pada tahun 2012, sebagai imbas dari gejolak perekonomian yang melanda Amerika Serikat dan kawasan Eropa. Gambar 8.2 Perkembangan Outstanding Pinjaman Luar Negeri Pemerintah TANTANGAN Pemerintah perlu mewaspadai adanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, mengingat masih tingginya jumlah outstanding utang dalam valuta asing. Jumlah utang dalam valuta asing ini juga dipengaruhi oleh (i) penetapan defisit APBN yang tinggi sehingga memerlukan pembiayaan utang yang tinggi pula, dan (ii) kapasitas utang dalam negeri yang masih terbatas, baik dalam Surat berharga Negara maupun Pinjaman Dalam Negeri KEBIJAKAN Untuk mengelola utang dengan baik, Pemerintah menyusun strategi pengelolaan utang negara jangka menengah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang, untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Dalam Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun

219 199 antara lain disebutkan strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai berikut: a) Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang dari luar negeri sebagai pelengkap; b) Melakukan pengembangan instrumen dan perluasan basis investor utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih sumber utang yang lebih sesuai kebutuhan dengan biaya yang minimal dan risiko terkendali; c) Memanfaatkan fleksibilitas pembiayaan utang untuk menjamin terpenuhinya pembiayaan APBN dengan biaya dan risiko yang optimal; d) Memaksimalkan pemanfaatan utang untuk belanja modal terutama pembangunan infrastruktur; e) Melakukan pengelolaan utang secara aktif dalam kerangka ALM Negara; f) Menghentikan kebijakan pemberian jaminan Pemerintah yang bersifat blanket guarantee, seperti penerbitan support letter untuk proyek-proyek Independent Power Producer (IPP) PT. PLN; g) Mendukung peningkatan modal perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah untuk melaksanakan penjaminan infrastruktur agar mampu memberi jaminan tanpa melibatkan Pemerintah; h) Meningkatkan transparansi pengelolaan utang dan kewajiban kontinjensi melalui penerbitan informasi publik secara berkala; i) melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi APBN, mendukung pengembangan pasar keuangan, meningkatkan sovereign credit rating, dan mengidentifikasi potensi risiko penjaminan serta rekomendasi langkah mitigasinya. Selain itu, Pemerintah secara konsisten juga berupaya melakukan pengendalian utang untuk menjaga kesinambungan fiskal Pemerintah melalui penetapan target rasio total utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) sebesar 22,00 persen pada akhir Dari sisi pinjaman, pengendalian utang diwujudkan melalui penerapan kebijakan negative netflow untuk Pinjaman Luar Negeri yaitu pinjaman yang ditarik diupayakan lebih rendah dari pinjaman yang jatuh tempo.

220 200 TARGET 8F BEKERJA SAMA DENGAN SWASTA DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI BARU, TERUTAMA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi a Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk) Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler Proporsi rumah tangga dengan akses internet Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi 4,02% (2004) 14,79% (2004) - - 3,23% (2012) 131,41% (2012) 30,66% (2012) 14,86% (2012) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Meningkat 100,00% Kemkominfo 50,00% BPS, Susenas Meningkat BPS, Susenas KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam era masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), akses untuk mendapatkan informasi dan kemampuan untuk mengolah informasi merupakan suatu kebutuhan dasar. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat saat ini memungkinkan hampir setiap orang untuk mendapatkan informasi dalam waktu sesaat (real time). Bila sebelumnya jaringan Public Switched Telephone Network (PSTN) merupakan moda utama bagi komunikasi, sejak tahun 2002 pola tersebut bergeser ke akses nirkabel (wireless) termasuk seluler. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia yang memiliki jaringan PSTN hanya 4,02 persen dibandingkan dengan seluler sebesar 14,79 persen pada tahun Cepatnya implementasi dan murahnya investasi akses nirkabel, serta semakin tingginya mobilitas masyarakat, menyebabkan akses nirkabel khususnya seluler telah menjadi moda utama komunikasi dan akses informasi dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia yang memiliki telepon seluler pada tahun 2012 yaitu 131,41 persen, jauh lebih besar dari PSTN yang hanya mencapai 3,23 persen pada tahun yang sama. Sesuai dengan kecenderungan global, pembangunan PSTN semakin ditinggalkan sehingga pembangunan PSTN akan terus mengalami penurunan. Peningkatan pemanfaatan TIK juga dapat dilihat dari penggunaan internet dan kepemilikian komputer di rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan akses internet meningkat dari 11,06 persen pada tahun 2009 menjadi 26,21 persen tahun 2011 dan 30,66 persen pada tahun Adapun proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi juga meningkat dari 10,20 persen pada tahun 2009 menjadi 12,30 persen di tahun 2011 dan 14,86 persen di tahun Rendahnya kepemilikan komputer pribadi per rumah tangga antara lain disebabkan oleh masih tingginya harga komputer pribadi. Masyarakat lebih banyak mengakses internet melalui warung internet dan telepon pintar (smart phone) yang semakin mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Salah satu bentuk penggunaan internet yang digemari oleh penduduk Indonesia adalah aplikasi media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah pengguna facebook dan twitter Indonesia yang masing-masing merupakan pengguna terbesar nomor 4 dan nomor 5 di dunia pada tahun 2012.

221 201 TANTANGAN Pada awal tahun 2000, sebagian penduduk Indonesia seperti halnya penduduk dunia mengalami kesenjangan informasi karena terbatasnya akses informasi. Saat ini, penduduk Indonesia justru mengalami tsunami informasi karena terlalu banyak informasi yang didapat dari berbagai media. Pada dasarnya, TIK merupakan instrumen untuk mendapatkan informasi. Nilai sesungguhnya akan didapat dari pemahaman dan kemampuan masyarakat untuk menggunakan TIK guna mendukung kegiatan yang produktif, serta kemampuan masyarakat untuk memilah, memilih, dan mengolah informasi menjadi hal yang bermanfaat. Tanpa kedua kemampuan tersebut, masyarakat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan komoditas, namun tidak mendapatkan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup. Tantangan terbesar adalah mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut. KEBIJAKAN Sesuai dengan arah pembangunan TIK nasional, pembangunan pada tahun difokuskan kepada penyediaan infrastruktur TIK yang ditujukan untuk memastikan tersedianya konektivitas di seluruh pelosok Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui penyediaan layanan telepon dan internet di wilayah perdesaan, yang menjadi bagian dari Program Universal Service Obligation (USO) atau kewajiban pelayanan universal. Selain itu, Pemerintah juga mempercepat pembangunan pita lebar (broadband) sebagai konektivitas antar dan intra pulau (Palapa Ring). Di samping agenda konektivitas, pembangunan TIK pada tahun juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penggunaan TIK. Agenda ini dimaksudkan agar pemanfaatan TIK dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka implementasi Program USO, Pemerintah menargetkan penyediaan jasa telekomunikasi (melalui program Desa Berdering) di desa dan jasa internet (Pusat Layanan Internet Kecamatan/ PLIK) di desa ibukota kecamatan. Pada tahun 2012 Desa Dering telah tersedia di desa (93,7 persen), sedangkan PLIK telah tersedia di kecamatan (102,6 persen). Selain itu Pemerintah juga telah menyediakan unit Mobile PLIK (MPLIK) sebanyak unit atau 94,5 persen dari target unit. Adapun dalam rangka pembangunan pita lebar, Pemerintah bersama PT Telkom akan membangun jaringan serat optik ke 497 kabupaten/kota. Dari total target 497 kabupaten/kota tersebut, PT Telkom akan membangun jaringan serat optik ke 446 kabupaten/kota, sedangkan Pemerintah akan membangun ke 51 kabupaten/kota yang berada di wilayah non-komersial. Pembangunan jaringan serat optik oleh PT Telkom telah menjangkau 346 kabupaten/kota (69,6 persen) pada tahun 2012, sedangkan pembangunan oleh Pemerintah baru akan dimulai pada tahun Untuk mendukung pengembangan layanan komunikasi seluler, Pemerintah sedang melakukan penataan ulang spektrum frekuensi radio agar penyelenggara dapat menyediakan layanan secara optimal. Pemerintah juga sedang melakukan migrasi sistem penyiaran televisi free-to-air dari analog ke digital yang dijadwalkan selesai pada tahun Selain untuk mendapatkan kualitas siaran televisi yang lebih baik, program migrasi ke sistem digital juga dimaksudkan untuk membebaskan lebih dari 100 MHz pita spektrum frekuensi radio (digital dividend) yang dapat digunakan kemudian untuk penyediaan layanan telekomunikasi.

222 202 Kotak 8.1. Perkembangan Kerjasama Pembangunan Internasional Tahun 2013 Dalam implementasi kebijakan luar negeri sejalan dengan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945, keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia. Partisipasi Indonesia dalam berbagai forum dialog internasional diharapkan akan mendorong penguatan dan peningkatan ekonomi. Menyikapi dinamika ekonomi global dan nasional, Pemerintah Indonesia perlu memiliki andil dalam menciptakan lingkungan global yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi global yang kuat, stabil, berkesinambungan dan seimbang. Indonesia sangat berkepentingan terhadap pembahasan berbagai isu dan sektor terkait upaya percepatan implementasi Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia aktif dalam berbagai mekanisme forum, baik dalam konteks bilateral, regional dan multilateral, diantaranya ASEAN, APEC, G20, dan PBB. Disamping itu, Indonesia berperan aktif dalam kerjasama pembangunan internasional melalui Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). Perubahan lingkungan dan kondisi global menuntut adanya terobosan baru dalam melakukan transformasi kemitraan kerja sama pembangunan sehingga KSST dapat memberikan keuntungan, baik bagi dalam rangka mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional Indonesia, maupun bagi negara penerima. Dalam kaitan ini, pada tahun 2013 Pemerintah Indonesia telah meningkatkan skala kegiatan dalam kerangka KSST. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah penguatan koordinasi dalam Tim Koordinasi Nasional KSST, memfinalisasi penyusunan peraturan sebagai dasar hukum pelaksanaan KSST dan penyusunan Rencana Induk KSST Indonesia dengan visi: Kemitraan yang lebih baik untuk kesejahteraan. Rencana Induk KSST akan menjadi landasan dan arah kebijakan dalam peningkatan KSST yang lebih terencana, terintegrasi dan terarah sesuai dengan dinamika konstelasi global untuk mendukung kepentingan nasional. Rencana Induk KSST akan dijabarkan secara lebih detail dalam cetak biru KSST dan terintegrasi dengan pelaksanaan RPJMN dalam jangka waktu lima tahunan. Selain itu kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan adalah pelaksanaan flagship KSST berupa pelatihan di bidang inseminasi buatan, pengelolaan risiko bencana, dan workshop demokrasi. Flagship dilaksanakan dengan tujuan agar kegiatan tersebut dapat menjadi benchmark KSST. Untuk meningkatkan koordinasi dalam proses perencanaan program di kementerian/lembaga maka pada tahun ini telah dimulai institusionalisasi kegiatan KSST dalam proses perencanaan dan penganggaran melalui trilateral meeting. Selain itu untuk meningkatkan skala KSST Indonesia maka telah dilakukan resource mobilization untuk kerjasama triangular dengan beberapa mitra pembangunan. Indonesia juga aktif dalam kerjasama pembangunan Global Partnership for Effective Development Cooperation (GPEDC), dengan posisi dan komitmen tinggi untuk meningkatkan efektivitas kerjasama pembangunan internasional yang diwujudkan dengan menginisiasi

223 203 knowledge sharing. Dalam forum GPEDC, Indonesia menjadi salah satu co-chair bersamasama dengan Nigeria dan Inggris. Sementara itu pada forum G20, Indonesia mengedepankan pembangunan ekonomi yang menyeluruh untuk menggerakkan pembangunan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan. Sebagai the premier forum for international economic cooperation yang dihadiri pimpinan level tertinggi, G20 memiliki peran strategis untuk mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi dunia kuat, berkesinambungan dan seimbang. Dalam hal ini, Indonesia berhasil mendorong adanya pembahasan dimensi pembangunan sebagai bagian integral dari G20 Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth (FSSBG), bersama dengan negara emerging G20 lainnya, serta mendorong pembentukan global financial safety net (GFSN) untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dunia terhadap kemungkinan krisis ekonomi di masa mendatang. Dengan desakan tersebut, mayoritas negara G20 sependapat dengan pentingnya dorongan bagi implementasi percepatan target MDGs dan mendorong kontribusi G20 lebih lanjut pada pembahasan isu pembangunan global pasca-2015, khususnya terkait elemen global partnership, dengan memanfaatkan kapasitas G20 terutama terkait knowledge sharing dan resources mobilization. Dalam tingkat global, kebijakan nasional dan pencapaian Indonesia telah mendapatkan pengakuan dan menjadi salah satu tolok ukur hasil MDGs. Pada tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah diminta oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk menjadi Ketua Bersama High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda, bersama Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia, untuk membahas kerangka pembangunan pasca Selanjutnya Indonesia juga terlibat dalam pembahasan Agenda Pembangunan Pasca-2015, dimana Indonesia aktif dalam dialog pada Open Working Group on SDGs (OWG on SDGs) untuk merumuskan Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini untuk memastikan bahwa konsep pembangunan global sejalan dengan kepentingan negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan penyempurnaan konsep MDGs.

224 204

225 DAFTAR PUSTAKA

226 206

227 207 Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA TUJUAN Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 23/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Perubahan atas Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 28/KEP/MENKO/KESRA/XI/2006 tentang Tim Pengendali Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Badan Pusat Statistik (2010). Survei Tenaga Kerja Nasional Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (2011). Survei Tenaga Kerja Nasional Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (2012). Survei Tenaga Kerja Nasional Jakarta: BPS (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, Jakarta: BPS. Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Bappenas, PNPM Support Facility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/desinventar/about Kementerian Kesehatan (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Kesehatan Jakarta: Kementerian Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra. Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Kota (KWK) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa (KWD) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Purwadi, A. (2010). Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi: Program Mahasiswa Wirausaha Jakarta: Kemdiknas (2010). Pendidikan Kewirausahaan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdiknas.

228 208 TUJUAN Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 36 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SD/SDLB Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SMP/SMPLB. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, Jakarta: BPS. Kementerian Agama (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin untuk, MI, MTs., dan MA. Jakarta: Kemenag (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri Jakarta: Kemenag (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri Swasta. Jakarta: Kemenag Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis Jakarta: Kemdiknas (1990, 2010). Data Internal Angka Bertahan 1990, Jakarta: Kemdiknas (2011). Pedoman Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Jakarta: Kemdiknas (2011). Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah. Jakarta: Kemdiknas (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Dasar. Jakarta: Kemdiknas (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemdiknas (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Kemdiknas (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Kemdiknas (2011). Panduan Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP Jakarta: Kemdiknas Kemdiknas dan Unicef (2007). Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef (2011). Studi Anak di Luar Sekolah (SALSA). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef. The World Bank (2003). Gender Equality and the Millenium Development Goals. Washington: the World Bank. Unicef dan Unesco Institute for Statistics (2010). Global Initiative on Out-of-School Children. Jakarta: UNICEF.

229 209 TUJUAN Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. Kep. 30 /M.PPN/HK/03/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarah dan Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. Badan Pusat Statistik (1993, 2013). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1993 dan Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, Jakarta: BPS. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006). Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Sembilan Sektor. Jakarta: Bappenas (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2005). Parameter Gender dalam peraturan Perundang-undangan Jakarta: Kementerian PP dan PA (2010). Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah. Jakarta: Kementerian PP dan PA (2011). Statistik Gender Jakarta: Kementerian PP dan PA (2011). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian PP dan PA. Komisi Pemilihan Umum (2011). Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan: Data Internal KPU. TUJUAN Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas (2008). Pengembangan Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Dokumen internal (2008). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia, Laporan Kajian. Jakarta: Bappenas (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas

230 210 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan UNFPA (2006). Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. Jakarta: BKKBN dan UNFPA. Badan Pusat Statistik (1992, 2011, 2012) Jakarta: BPS. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991, 2010, dan (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 1991, 1995, /03, 2007, Jakarta: BPS. Kementerian Kesehatan (2008). Kementerian Kesehatan. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: (2008). Profil Kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Kementerian Kesehatan (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, and Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (2014). Kesehatan Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Jakarta: Kementerian World Health Organization. (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of thetask Force on Health Systems Research, (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. Badan Pusat Statistik ( ). % Balita yang pernah Menerima Imunisasi Campak. tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=30&notab=33 TUJUAN 5 Adam Wagstaff, Mariam Claeson, Robert M. Hecht, Pablo Gottret, and Qiu Fang. (2004). Millennium Development Goals for Health: What Will It Take to Accelerate Progress?. Ahrizal Ahnaf. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Kecenderungan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Dipresentasikan pada Workshop Prakarsa Strategis Percepatan Penurunan AKI, di Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1992, 2002, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991, 2001, Jakarta: BPS (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 1991, 1995, /03, Jakarta: BPS (2011). Profil Statistik Kesehatan Indonesia Jakarta: BPS. Kementerian Kesehatan (2008). Profil Kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Kementerian Kesehatan (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, and Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan.

231 211 Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Kesehatan Jakarta: Kementerian World Health Organization (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of the Task Force on Health Systems Research, (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. TUJUAN Keputusan Menteri Kesehatan No. 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Councelling and Test) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah perawatan, Dukungan, dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS tahun Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/MENKES/SK/XI/2007 tentang Kelompok Kerja Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan No. 043/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Pengobatan Malaria Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penangggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. 20 th Meeting of The National AIDS Programme Managers; 2-4 Desember 2008: Recommendations to the Member Countries. Andy Barraclough, Malcolm Clark, et all. (2008). Report of HIV/AIDS Commodities Survey and Supply Chain Status Assessment in Tanah Papua: A survey of HIV/AIDS Commodities Situation in Tanah Papua. Februari. ASAP UNAIDS (2008). Preparing National HIV/AIDS Strategies and Action Plans - Lessons ofexperience. Badan Pusat Statistik (2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/03, 2007, Jakarta: BPS (2011). Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indoensia (SKRRI). Jakarta: BPS. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Kesehatan ( ). CDR dan Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, Dokumen Internal (2002). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang Penanggulangan HIV/AIDS Respon Menangkal Bencana Nasional apda Sidang Kabinet Maret Jakarta: Kementerian Kesehatan (2007). Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIVpada Orang Dewasa dan Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

232 (2008). Pedoman Perluasan Jejaring Perawatan, Dukungan dan Pengobatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011, 2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010, Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Profi l Penyakit Menular Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Prevalensi HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Akibat Malaria. Dokumen internal (2011). Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Terobati. Dokumen internal (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia : Terobosan Menuju Akses Universal. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2008). Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2007). HIV and AIDS Response Strategies (2010). Rencana Aksi dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, (2010). Country report on the Follow up to the Declaration ofcommitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period World Health Organization (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of thetask Force on Health Systems Research, (2010). Global Tuberculosis Control 2009: Epidemiology Strategy Financing. Geneva: WHO (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO (2012). Global Tuberculosis Control Geneva: WHO (2013). Global Tuberculosis Control Geneva: WHO. Yayasan Spiritia (2005). Protokol Penanggulangan terapi Antiretroviral. Diambil dari the PIH Guide to the Community-Based Treatment of HIV in Resources-Poor Setting, July Jakarta: Yayasan Spiritia TUJUAN Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/MDAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/MDAG/PER/1/2012 tentang Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

233 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Badan Pusat Statistik (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional Jakarta: BPS. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas (2011). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/desinventar/about Badan Pusat Statistik ( ). Survai Sosial Ekonomi Nasional, Jakarta: BPS HCFC Phase-out Management Plans. environmentandenergy/focus_area/ozone_and_climate/hcfc_phase-out_managementplans/ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (1990 dan 2010). Indonesia, 1990 dan Jakarta: Kementerian ESDM. Buku Data Statistik Ekonomi Energi Kementerian Kehutanan (1990 dan 2010). Luas Kawasan Tertutup Hutan, 1990 dan Dokumen internal (1990 dan 2010). Rasio Luas Kawasan Lindung untuk Menjaga Kelestarian Keanekaragaman Hayati terhadap Total Luas Kawasan Hutan, 1990 dan Dokumen internal (1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012). Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan, 1990, 2002, 2005, 2008, 2010, dan Dokumen internal (1990 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1990 dan Dokumen internal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (1998 dan 2010). Proporsi Tangkapan Ikan yang Berada dalam Batasan Biologis yang Aman, 1998 dan Dokumen internal (1998 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1998 dan Dokumen internal (2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, Dokumen internal. Kementerian Kesehatan (2008). Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan & WSP-EAP. (2008). Mobilisasi Pendanaan Guna Mendukung Pengembangan Sanitasi. Jakarta (2008). Pendekatan Strategis Pengembangan Sanitasi di Indonesia. Jakarta (2008). Peranserta Swasta Dalam Peningkatan Layanan Sanitasi. Jakarta (2008). Public-Private Partnership in Handwashing with Soap (PPPHWWS)For Diarrheal Diseases Prevention in Indonesia. Fact Sheets. Jakarta (2008). SPM Sebagai Target Pencapaian Pengembangan Sanitasi.Jakarta (2008). Strategi Sanitasi melalui Pendekatan Pengembangan Kelembagaan. Jakarta (2010). Renstra Kementerian Kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.

234 214 Kementerian Lingkungan Hidup (1992 dan 2010). Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO), 1992 dan Dokumen internal (2000 dan 2005). Emisi Karbon, 2000 dan Dokumen internal (2007). National Action Plan Adressing Climate Change. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Indonesia Second National Communication under the UNFCCC. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Pendidikan Nasional (2004). Rencana Strategis Jakarta: Kemdiknas. Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol. www. multilateral fund.org PEACE (2007). Indonesia and Climate Change. Current Status and Policies. Jakarta: Penataan Hukum terhadap Penggunaan dan Perdagangan Bahan Perusak Ozon (BPO). penataan-hukum-terhadap-penggunaan-dan-perdagangan-bahan-perusak-ozon-bpo/ The Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Montreal Conference, 16 September 1987 beserta amadenen-amandemennya. untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html UNDP (2007). The Other Half of Climate Change Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People. New York: UNDP. Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer. Vienna Conference, 22 Maret untreaty. un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html WHO and UNICEF (2006). Meeting the MDG drinking water and sanitation target. New York: WHO and Unicef. TUJUAN Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. BPS dan Bank Dunia. Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB. Jakarta: BPS dan Bank Dunia. Bank Indonesia (2003 dan 2011). Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia (1990 dan 2012). Laporan Perekonomian Indonesia 1990 dan Jakarta: Bank Indonesia (2011). Neraca Pembayaran Indoensia, Triwulan I, II, III, IV Tahun Jakarta: Bank Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas (2009). The Jakarta Commitment: Indonesia Roadmap to Jakarta: Bappenas (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas (2011). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas. Badan Pusat Statistik (2012, 2013). Survai Sosial Ekonomi Nasional 2012, Jakarta: BPS (2012). Statistik Perekonomian Indonesia Jakarta: BPS. International Telecomunication Union. (2011). Yearbook of Statistics: Telecommunication /ICT Indicators Geneve: ITU (2011). M-Governmennt Mobile Technologies for Responsive Governments and Connected

235 215 Societies. Geneve: ITU. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (1997 dan 2012) Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Statistik Utang Luar Negeri, 1996 dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Jaringan PSTN, 2004 dan Dokumen internal (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Telepon Seluler, 2004 dan Dokumen internal (2010). Komunikasi dan Informatika White Paper Jakarta: Kemkominfo. Kementerian Perdagangan (2011). Perdagangan Pangestu, Mari (2009). November Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK). layanan-internet-kecamatan-plik Neraca Perdagangan Indonesia Jakarta: Kementerian Statement on Plenary Session of 7th WTO Ministerial Meeting. Geneva. 30th Universal Service Obligation (USO) Telekomunikasi. universal-service-obligation-uso-telekomunikasi ---oleh-eddy-satriya_ _7-2.pdf Adobe reader

236 216

237

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes. KATA PENGANTAR Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia sepakat untuk mengadopsi Deklarasi

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 2.2 2.3 Target MDGs Status Sumber 2015 Angka Partisipasi 90,0202 95,74 100%

Lebih terperinci

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN 2010-2014 NINA SARDJUNANI Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Rakornas

Lebih terperinci

SERIAL PEDOMAN TEKNIS

SERIAL PEDOMAN TEKNIS SERIAL PEDOMAN TEKNIS PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI PROVINSI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3 DAFTAR ISI SAMBUTAN BUPATI POLEWALI MANDAR....... i DAFTAR ISI............ iii DAFTAR TABEL............ vi DAFTAR GRAFIK............ ix DAFTAR GAMBAR............ xiii DAFTAR SINGKATAN............ xiv PETA

Lebih terperinci

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH CAPAIAN MDGs provinsi KALIMANTAN TENGAH BAPPEDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Palangka Raya, 16 Desember 2015 CAPAIAN INDIKATOR MDGS 2 JUMLAH INDIKATOR 23% 20% 1 Menanggulangi kemiskinan dan Kelaparan 2 Mencapai

Lebih terperinci

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jl. Diponegoro No. 60 Telepon (0536) 3221715, 3221645, Fax (0536) 3222217 PALANGKA RAYA 73111 Paparan Kepala Bappeda Provinsi

Lebih terperinci

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah STRATEGI DAN INOVASI PENCAPAIAN MDGs 2015 DI INDONESIA Oleh Dr. Afrina Sari. M.Si Dosen Universitas Islam 45 Bekasi Email: afrina.sari@yahoo.co.id ABSTRACT Indonesia telah berhasil mengurangi kemiskinan

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010 LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 21 DEPUTI BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Tujuan dan Target Millennium Development Goals (MDGs)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER Kerjasama Penelitian : BADAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Laporan Ringkasan ini.

KATA PENGANTAR. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Laporan Ringkasan ini. KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Laporan Ringkasan Kajian Capaian Target MDGs terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya Buku ini merupakan ringkasan

Lebih terperinci

Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas

Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas Disampaikan dalam Dialog Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan 2015-2019 Ruang SG 1-5, Bappenas, 30 Januari

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-979-3764-79-5

Lebih terperinci

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM) 1. Menanggulangi Kemiskinan

Lebih terperinci

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Millennium Development Goals (MDGs) Komitmen Negara terhadap rakyat Indonesia dan global Komitmen Indonesia kepada masyarakat Suatu kesepakatan dan kemitraan global

Lebih terperinci

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut : 4. Sistem Informasi pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Provinsi yang belum tepat waktu Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... ii Daftar Tabel dan Gambar... xii Daftar Singkatan... xvi Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Kondisi Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Jawa Tengah... 3 Tujuan 1. Menanggulangi

Lebih terperinci

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG RAD MDGs PROVINSI LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR : 45 TAHUN 2011 TANGGAL : 9 Desember 2011 BAB I PENDAHULUAN Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) merupakan

Lebih terperinci

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun 3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat di Mandar 2007-2009 Indikator 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 3 4 5 6 7 8 9 20 Tujuan Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Menurunkan Proporsi

Lebih terperinci

BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI

BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI Untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan kebijakan dan program, serta mengukur dampak kebijakan dan program pencapaian Target MDG s di Provinsi Lampung perlu dilakukan

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014 2015 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-602-1154-50-2 Diterbitkan

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-979-3764-79-5

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA (Disampaikan dalam Diplomat Briefing, Jakarta 11 Maret 2013) Kata Pengantar Refleksi tentang Pencapaian MDG ini merupakan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM 1. Latar Belakang dan Kondisi Umum 2. Dasar Hukum 3. Proses Penyusunan RAD 4. Capaian RAD MDGS Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011 2015 5. Permasalahan Pelaksanaan Aksi MDGS 6. Penghargaan yang Diperoleh

Lebih terperinci

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS Fatia Fatimah (fatia@ut.ac.id) Tati Rajati Andriyansah UPBJJ-UT Padang Abstrak Pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 khususnya

Lebih terperinci

BAB IV P E N U T U P

BAB IV P E N U T U P BAB IV P E N U T U P 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari Analisa Data Secara Integratif Untuk Menghasilkan Database Kecamatan dan Atlas adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum sejauh mana pencapain

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari Analisa Data Secara Integratif Untuk Menghasilkan Database Kecamatan dan Atlas adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum sejauh mana pencapain dari 7

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD)

Lebih terperinci

Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi

Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi Oleh: Nugrahana Fitria Ruhyana, SP., ME. (Perencana Muda - Bappeda Kab. Sumedang) I. Latar Belakang Pada akhir tahun 2015 seiring berakhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Di beberapa negara terutama negara berkembang, kesehatan ibu dan anak masih merupakan permasalahan besar. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kematian

Lebih terperinci

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MDGs dirumuskan pada tahun 2000, Instruksi Presiden 10 tahun kemudian (Inpres No.3 tahun 2010 tentang Pencapaian Tujuan MDGs) Lesson Learnt:

Lebih terperinci

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007 MDGs dalam Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007 1 Cakupan Paparan I. MDGs sebagai suatu Kerangka untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS LAMPIRAN 39 40 Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS 41 42 43 Lampiran 2 TUJUAN, TARGET, DAN INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA No Tujuan Target Indikator 1 Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

Lebih terperinci

KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010

KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010 SAMBUTAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010 Yang kami hormati, Deputy Head of Delegation European Union

Lebih terperinci

CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN

CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN MENTERI KESEHATAN dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH SIMPOSIUM NASIONAL JHCC, Jakarta, 20 Desember 2010 CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN MENTERI KESEHATAN dr. Endang

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

Nina Sardjunani. Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi. Reuni Akbar Alumni ITB 75, Jakarta, 31 Januari 2011

Nina Sardjunani. Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi. Reuni Akbar Alumni ITB 75, Jakarta, 31 Januari 2011 STRATEGI MEMPERCEPAT PENCAPAIAN TARGET MDGS Nina Sardjunani Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi.

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program-program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

INTEGRASI SPM DALAM RPJMD. BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012

INTEGRASI SPM DALAM RPJMD. BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012 INTEGRASI SPM DALAM RPJMD BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012 LATAR BELAKANG Tujuan Negara (Alinea 4 Pembukaan UUD 1945) : Membentuk Pemerintahan RI yang: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs)

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs) PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs) KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2010 PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN RAPAT KERJA TEKNIS TKPK TAHUN 2015 KERANGKA ANALISIS SITUASI KEMISKINAN KOMPONEN ANALISIS Perubahan akibat intervensi

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Pada misi V yaitu Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat telah didukung dengan 8 sasaran sebagai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU dr. Budihardja, DTM&H, MPH Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Pertemuan Teknis Program Kesehatan Ibu Bandung,

Lebih terperinci

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Wahyuningsih Darajati Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian PPN/Bappenas

Lebih terperinci

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL Oleh : Drs. Andang Muryanta PENDAHULUAN Banyak negara diberbagai belahan dunia telah berkomitmen secara serius dalam menggapai target MDGs (Millenium Development

Lebih terperinci

MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional

MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional Dosen Pembimbing : H. Toto Subiakto, S.Kp, M.Kep Disusun Oleh: 1. Yolanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN... I-1

BAB I PENDAHULUAN... I-1 DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar... Daftar Gambar... BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen... I-7 1.4. Kaidah Pelaksanaan...

Lebih terperinci

Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif

Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif Setyo Budiantoro Manager Pilar Pembangunan Ekonomi, Sekretariat TPB/SDGs Kementerian PPN/Bappenas Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk SDGs

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PENANGANAN STUNTING TERPADU TAHUN 2018

PENANGANAN STUNTING TERPADU TAHUN 2018 PENANGANAN STUNTING TERPADU TAHUN 2018 Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Jakarta, 16 Januari 2018 1 1 Outline 1 2 3 Kondisi Stunting di Indonesia Evaluasi Efektivitas dan Efisiensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati oleh 191 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dicapai pada tahun 2015 (WHO, 2013).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu tertinggi dibandingkan negara-negara

Lebih terperinci

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan BAB IV PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA 4.1. Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan Sejak pengambilan komitmen terkandung dalam Deklarasi Milenium tahun 2000 terkait dengan

Lebih terperinci

Katalog BPS: KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat

Katalog BPS: KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat Katalog BPS: 4201005 KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat 4 GENDER 3 Kesehatan Seksual dan Reproduksi 2 Kependudukan dan Keluarga Berencana 1 PENGANTAR

Lebih terperinci

Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan Kemiskinan SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Panduan Penanggulangan Kemiskinan BUKU PEGANGAN RESMI TKPK DAERAH TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUKU PEGANGAN RESMI TKPK DAERAH 1 2 BUKU

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI)

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI) kesehatan ibu dan anak, penyediaan SDM yang berkulitas dan penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya percepatan penurunan AKI di Kabupaten Bangka Tengah. Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN I N A N T A INOVASI KETAHANAN KOMUNITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN TANA TORAJA Penanggulangan Kemiskinan APA ITU adalah kebijakan dan program pemerintah pusat serta pemerintah daerah yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) disusun sebagai bahan informasi tentang pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Kota Surakarta pada tahun 2016.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN KABUPATEN/KOTA WILAYAH RUMAH JIWA/RUMAH PENDUDUK DESA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH

BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH A. Kondisi Umum Daerah 1. Pertumbuhan PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam suatu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Studi Efektifitas CSR 6 Desa Binaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan Pendekatan MDGs dan Lima Pilar Pembangunan Nasional

Studi Efektifitas CSR 6 Desa Binaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan Pendekatan MDGs dan Lima Pilar Pembangunan Nasional Studi Efektifitas CSR 6 Desa Binaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan Pendekatan MDGs dan Lima Pilar Pembangunan Nasional Arif Nurudin Program Studi Teknik Industri, Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB II. 2.1 MDG s Dan SDG s. A. MDG s

BAB II. 2.1 MDG s Dan SDG s. A. MDG s BAB II 2.1 MDG s Dan SDG s A. MDG s Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 272 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN SERDANG

Lebih terperinci

Lampiran Perjanjian Kinerja Tahun 2015 PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GOWA

Lampiran Perjanjian Kinerja Tahun 2015 PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GOWA Lampiran Perjanjian Kinerja Tahun 2015 PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GOWA NO INDIKATOR SASARAN INDIKATOR KINERJA TARGET SATUAN BESARAN Misi 1 : Meningkatnya kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

DRAFT LAMPIRAN MATRIK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGS UNTUK RAPAT KERJA 2 TAMPAK SIRING, BALI

DRAFT LAMPIRAN MATRIK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGS UNTUK RAPAT KERJA 2 TAMPAK SIRING, BALI DRAFT LAMPIRAN MATRIK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGS UNTUK RAPAT KERJA 2 TAMPAK SIRING, BALI Tujuan MDGs GOAL 1 : MEMBERANTAS KEMISKINAN DAN KELAPARAN GOAL 2 : MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013 BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KECAMATAN NO KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN WILAYAH

Lebih terperinci

NOMOR : TANGGAL : TENTANG : RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BOGOR TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

NOMOR : TANGGAL : TENTANG : RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BOGOR TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR : TANGGAL : TENTANG : RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BOGOR TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi

Lebih terperinci

Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs)

Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs) 45 Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs) A Mufti Kepala Bagian Data & Informasi Kantor Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. MDGs ini

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci