LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014"

Transkripsi

1

2 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN Diterbitkan oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tim Penyusun: Penanggung Jawab Sekretaris Anggota Mitra Pendukung : Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.Si. : Dra. Nina Sardjunani, MA : Dr. Sudarti Surbakti; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D; Dr. Ir. Subandi, MSc; Ir. Suharti, MA, Ph.D; Dr. Hadiat, MA; Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH.; Ir. Wahyuningsih Darajati, MSc; Dra. Tuti Riyati, MA; Riza Hamzah, SE, AK, ME; Dr. Arum Atmawikarta, MPH; Mukhlis Hanif Nurdin, SKM. : United Nations Development Programme (UNDP)

3 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014 Diterbitkan Oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

4

5 i KATA PENGANTAR Keikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan proenvironment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan produktif dengan masyarakat madani dan sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan pencapaian MDGs. ini merupakan laporan ke sembilan yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun Penerbitan laporan ini bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat bangsabangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan kecenderungan serta upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi tahun 2014, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat dicapai. Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggi-tingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan baik. Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada: Dra. Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Dr. Sudarti Surbakti; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; dan yang telah menyusun laporan dari setiap goal MDGs. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan data, informasi, dan penyiapan naskah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations Development Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs ini, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

6 ii Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.S Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

7 iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR FOTO DAFTAR SINGKATAN PENDAHULUAN RINGKASAN STATUS PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA i iii iv ivv vii vii xi xvi xxi TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu Target 1B: Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 11 TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam kurun waktu TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga-perempat dalam kurun waktu Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun

8 iv TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menu-runkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015 Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menu-runkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak pada 2015 Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perda-gangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang Target 8F: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan, Gambar 1.2. Persentase Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan 2 Gambar 1.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan Gambar 1.4. Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Provinsi, Gambar 1.5. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk menurut Provinsi Tahun Gambar 1.6. Persentase Penduduk Bekerja yang Berusaha Sendiri, Pekerja Bebas dan 5 Pekerja Keluarga menurut Provinsi, Tahun 2014 Gambar 1.7. Proporsi Penduduk dengan Asupan < 1400 kkal dan < 2000 kkal,

9 v Gambar 1.8. Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 1400 Kkal menurut Provinsi, Gambar 1.9. Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 2000 Kkal menurut Provinsi, Gambar 1.10 Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah Tahun Gambar Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah menurut Provinsi, Gambar 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan Angka Melek Huruf (AMH) Penduduk 12 Berusia Tahun, Gambar 2.2 Angka Melek Huruf Laki-laki dan Perempuan Ber-usia Tahun, Gambar 2.3 Angka Melek Huruf Pen-duduk Berusia Tahun menurut Provinsi, Gambar 2.4. Angka Melek Huruf Laki-laki dan Perempuan Berusia Tahun menurut 13 Provinsi, 2014 Gambar 3.1. sio APM Perempuan Terhadap Laki-laki di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, Gambar 3.2. Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia Tahun, Gambar 3.3. Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia Tahun 18 menurut Provinsi, 2014 Gambar 3.4. Konntribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan Di Sektor Non- Pertanian Gambar 3.5. Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non- Pertanian 19 menurut Provinsi, 2014 Gambar 3.6. Persentase Anggota DPR Perempuan pada Periode Pemilu Gambar 3.7. Jumlah Anggota DPR Perempuan Periode menurut Provinsi 20 Gambar 3.8. Jumlah Anggota DPR menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin, Gambar 4.1. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun. Sebelum 23 Survei, Tahun (SDKI), Gambar 4.2. Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007) 26 Gambar 4.3. imunisasi dasar lengkap pada anak umur bulan, Indonesia tahun , 2010, dan 2013 (Riskesdas, 2013) Gambar 4.4. Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, Tahun 2014). 27 Gambar 4.5. Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun Gambar 4.6. Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan 28 Jenis Kelamin, Tahun 2013 (Kemenkes, Riskesdas 2013) Gambar 5.1 Angka Kematian Ibu Indonesia tahun Gambar 5.2. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun (triwulan 1) 33 Gambar 5.3. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi Gambar 5.4. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel, Tahun Gambar 5.5. Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai 35 Karakteristik, SDKI 2012 Gambar 5.6. Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun

10 vi Gambar 5.7. Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) modern pada wanita kawin 36 usia tahun di Indonesia. Gambar 5.8. Kunjungan K1 dan K4 antara tahun (SDKI 2012, Kemenkes * ) Gambar 5.9. Tren Unmet need (persen) di Indonesia tahun (SDKI) 38 Gambar Unmet need metode KB berdasarkan provinsi tahun Gambar Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik 39 (SDKI, 2012) Gambar 6.1 Jumlah kumulatif HIV sampai dengan Desember Gambar 6.2 Jumlah kumulatif AIDS sampai dengan Desember Gambar 6.3 AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan Desember Gambar 6.4 Penggunaan kondom pada populasi berisiko Tahun Gambar 6.5 Persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan 43 komprehensif tentang HIV dan AIDS Tahun 2014 Gambar 6.6 Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS bagi Semua yang 44 Membutuhkan Gambar 6.7 Annual Parasite Incidende (API) Malaria di Indonesia Tahun Gambar 6.8 Annual Parasite Incidende (API) Malaria Per Provinsi di Indonesia dan Peta 47 Endemisitas Tahun 2014 Gambar 6.9 Perkembangan endemisitas per Kabupaten/Kota pada tahun Gambar 6.10 Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria tahun Gambar 6.11 Proporsi Penggunaan Kelambu Per Provinsi 48 Gambar 6.12 Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR) 51 Gambar 6.13 Beban TB dalam rate (per penduduk) tahun Gambar 6.14 Kecenderungan Prevalensi Stroke per 1000*) menurut Provinsi Gambar 6.15 Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun Gambar 6.16 Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun Gambar 6.17 Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun Gambar 6.18 Prevalensi asma menurut provinsi tahun Gambar 6.19 Prevalensi DM menurut provinsi tahun Gambar 6.20 Prevalensi tumor/ kanker menurut provinsi tahun Gambar 6.21 Prevalensi cedera menurut provinsi tahun Gambar 7.1 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap 61 Provinsi Gambar 7.2 Peningkatan/Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau 62 Gambar 7.3 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap 62 Pulau Gambar 7.4 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan 63 pada Hutan Lindung tiap Provinsi Gambar 7.5 Produksi Perikanan Dibandingkan Dengan Jumlah Tangkapan Yang 66 Diperbolehkan (JTB), Gambar 7.6 Kawasan Konservasi Perairan 67

11 vii Gambar 7.7 Luas Kawasan Konservasi, Gambar 7.8 Kecenderungan akses air minum layak(perkotaan dan perdesaan) 70 Gambar 7.9 Analisis disparitas provinsi, Gambar 7.10 Disparitas provinsi untuk akses air minum layak (perkotaan dan perdesaaan) 71 Gambar 7.11 Disparitas perkotaan dan perdesaan Gambar 7.12 Analisis disparitas provinsi, Gambar 7.13 Kecenderungan sanitasi layak (perkotaan dan perdesaan) 73 Gambar 7.14 Disparitas perkotaan perdesaan Gambar 7.15 Disparitas provinsi untuk akses sanitasi layak tahun Gambar 7.16 Disparitas Provinsi Kawasan Kumuh Perkotaan, Gambar 8.1. Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB 80 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Kesetaran Gender Pendidikan pada Jejang SD, SMP, SMA dan PT di Daerah 17 Tabel 3.2. Jumlah Kabupaten/kota menurut Provinsi dan Jumlah Anggota Parlemen Perempuan, DAFTAR FOTO Foto 6.1. Kegiatan Pekan Kelambu Masal di Kawasan Timur Indonesia Tahun DAFTAR SINGKATAN ABAT AIDS AMH AKB AKBa AKI APBD APM API AP3F ART ARV Aku Bangga Aku Tahu Acquired Immune Deficiency Syndrome Angka Melek Huruf Angka Kematian Bayi Angka Kematian Balita Angka Kematian Ibu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Angka Partisipasi Murni Annual Parasite Incidence Asia Pacific Project Preparation Fund Antiretroviral Therapy Antiretroviral

12 viii ASEAN BBM BLT BNSP BOE BPO BPR BPS CAR CDR CFC CO 2 CPR CTC DPR DPRD DPT-HB DRM DSR DWG GGGI GIF GPEDC GWM HCFC HIV HPK Association of Southeast Asian Nations Bahan Bakar Minyak Bantuan Langsung Tunai Badan Nasional Setifikasi Profesi Barrel of Oil Equivalent Bahan Perusak Ozon Bank Perkreditan Rakyat Badan Pusat Statistik Capital Adequacy Ratio Case Detection Rate Chlorofluorocarbon Carbon Dioxide Contraceptive Prevalence Rate Carbontetrachloride Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Diphtheria, Tetanus, Acellular Pertussis, Hepatitis B, and Polio Domestic Resources Mobilisation Debt Service Ratio Development Working Group Global Green Growth Institute Global Infrastructure Fund Global Partnership for Effective Development Cooepration Giro Wajib Minimum Hydrochorofluorocarbon Human Immunodeficiency Virus Hari Pertama Kehidupan ICE-SDF Intergovernmental Committee of Experts on Sustainable Development Financing IMS Infeksi Menular Seksual IPG Indeks Paritas Gender IUU Illegal, Unreported and Unregulated JTB Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan KIE Komunikasi Informasi Edukasi KKNI Kompetensi Kerja Nasional Indonesia KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan KKPN Kawasan Konservasi Perairan Nasional KSST Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular K1 Kunjungan Antenatal 1 K4 Kunjungan Antenatal 4 LDCM The Landsat Data Continuity Mission LDR Loan to Deposit Ratio LSP Lembaga Sertifikasi Profesi

13 ix LTV LPA MBr MDGs MDR-TB MEA MTBS NPL NTRL ODHA OWG PBB PDAM PDB PDP PEMDA Perda PLKB PPIA PT PONED PONEK Posbindu PTM PTM P4K RASKIN Riskesdas Risti RPJMD RPJMN RSU SDM SDKI SIM SJSN SKKNI SKN SMA SR STBP SPM Susenas TAC Loan to Value Line Prob Assay Methyl Bromide Millennium Development Goals Multi Drug Resistant-Tuberculosis Masyarakat Ekonomi Asean Manajemen Terpadu Balita Sakit Non Performing Loan National Tuberculosis Referral Laboratory Orang dengan HIV AIDS Open Working Group Perserikatan Bangsa Bangsa Perusahaan Daerah Air Minum Product Domestic Bruto Perawatan dan Dukungan Pengobatan Pemerintah Daerah Peraturan Daerah Petugas Lapangan Keluarga Berencana Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak Perguruan Tinggi Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif Pos Pembinaan Terpadu PTM Penyakit Tidak Menular Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi Beras Miskin Riset Kesehatan Dasar Risiko Tinggi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rumah Sakit Umum Sumber Daya Manusia Survey Demografi Kesehatan Indonesia Subscriber Identity Module Sistem Jaminan Sosial Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sistem Kesehatan Nasional Sekolah Menengah Atas Success Rate Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Standar Pelayanan Minimum Survei Sosial Ekonomi Nasional Total Allowable Catch

14 x TB TCA TIK TOMA TOGA TWP UKS USO WHO WPI Tuberculosis Methyl Chloroform Teknologi Informasi dan Komunikasi Tokoh Masyarakat Tokoh Agama Taman Wisata Perairan Unit Kesehatan Sekolah Universal Service Obligation World Health Organization Wilayah Penanganan Intensif

15 xi PENDAHULUAN Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan , Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang semakin membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan yang semakin mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional. Capaian Tujuan MDGs 2014 Capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai. Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun Ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: MDG 1, proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari. MDG 3, Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi; dan rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki umur tahun. MDG 6, angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian, serta proporsi jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). MDG 7, Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak di perkotaan. MDG 8, Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah: MDG 1, indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi. MDG 2, APM SD, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek huruf penduduk usia tahun (perempuan dan laki-laki). MDG 3, kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR. MDG 4, Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak dan Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup

16 xii MDG 5, Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih, angka pemakaian kontrasepsi /CPR bagi perempuan menikah usia semua cara, cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak dan unmet need. MDG 6, Angka kejadian Malaria (per penduduk), proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV), proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida, angka kejadian, prevalensi, dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis, Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS. MDG 7, Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan, Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton, proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman, rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan, dan perdesaan. MDG 8, Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR, rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR), proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap, proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler. Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya adalah: MDG 1, (i) Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional; (ii) Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum. MDG 4, (iii) Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; (iv) Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup. MDG 5, (v) Angka Kematian Ibu per kelahiran hidup. MDG 6, (vi) Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi; (vii) Proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. MDG 7, (ix) Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ); (x) Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di perdesaan; (xi) Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di perdesaan; (xi) Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan. MDG 8, (xii) Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB; (xiii) Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi; dan (xiv) Proporsi rumah tangga dengan akses internet. Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh berbagai penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok negara-negara yang makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju, Indonesia telah masuk pada forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global menjadi sangat penting.

17 Upaya-Upaya Penting dalam Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia Untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs, presiden telah menetapkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang berkeadilan. Salah satu amanat yang tercantum dalam Inpres tersebut adalah agar setiap kementerian/lembaga, gubernur, dan para bupati/walikota mengambil langkahlangkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, antara lain meliputi program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Pengintegrasian tujuan, target, dan indikator MDGs ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun kabupaten/kota baik jangka menengah (5 tahunan) maupun jangka pendek (tahunan). 2. Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi berbagai program dan kegiatan dalam rangka percepatan pencapaian MDGs. 3. Pembentukan Tim Koordinasi MDGs Nasional di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan beranggotakan seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. Tugas pokok dari tim tersebut adalah bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi pencapaian sasaran MDGs. 4. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) percepatan pencapaian MDGs di 33 Provinsi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan pedoman teknis Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi tentang percepatan pencapaian tujuan MDGs untuk memberikan panduan bagi daerah, khususnya provinsi dalam menyusun dokumen rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional. b. Pelaksanaan fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi oleh Tim Koordinasi MDGs Nasional kepada Tim Koordinasi MDGs Provinsi untuk menyamakan persepsi dalam penyusunan target dan indikator MDGs di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, menyusun langkah-langkah penyusunan RAD MDGs Provinsi, dan melakukan exercise penyusunan draft RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs di Provinsi termasuk penyusunan target, sasaran dan indikator. c. Penyusunan pedoman teknis Definisi Operasional Indikator MDGs yang berisikan tentang daftar tujuan, target, dan indikator MDGs, konsep definisi, manfaat, metode perhitungan, dan sumber data yang digunakan untuk menyamakan persepsi sehingga data dan informasi MDGs dapat dibandingkan antarprovinsi. d. Penyusunan pedoman teknis Review RAD MDGs Provinsi sebagai acuan dalam mereview RAD MDGs Provinsi yang sejalan dengan kebijakan program, dan sasaran MDGs Nasional. e. Penyusunan pedoman laporan pencapaian MDGs provinsi untuk memberikan panduan bagi provinsi untuk dapat melaporkan berbagai keberhasilan yang telah dicapai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah Daerah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk memperkuat ketersediaan data dan informasi mengenai data capaian target MDGs di setiap provinsi sehingga xiii

18 xiv dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan/program/kegiatan untuk mempercepat pencapaian MDGs di daerahnya masing-masing. f. Penyusunan pedoman penyusunan matrik RAD MDGs kabupaten dan kota sebagai panduan bagi kabupaten dan kota untuk menyusun rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan suatu produk dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional. g. Penyusunan pedoman teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan RAD MDGs Provinsi untuk memastikan pelaksanaan program dan kegiatan MDGs yang tertuang didalam RAD MDGs Provinsi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program percepatan pencapaian MDGs sehingga dapat diatasi, dan merumuskan langkah tindak lanjut percepatan pencapaian target MDGs; 5. Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) Tahun antara lain untuk mendorong agar daerah menyusun program dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di masing-masing provinsi untuk percepatan pencapaian tujuan target dan indikator MDGs. 6. Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu : a. Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public Private Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. b. Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR) untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan pelaksanaan CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok masyarakat, (iii) keselarasan lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian MDG; dan, (iv) keselarasan indikator kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan kegiatan CSR. 7. Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan pemberian insentif daerah yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs. 8. Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh stakeholders meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya masyarakat, kementerian/lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD. 9. Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya mendorong percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan disinsentif berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian MDGs di Indonesia. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI untuk Millennium Development Goals. 10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk memperkuat sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs. Kegiatannya merupakan kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kemen PPN/Bappenas.

19 xv 11. Pelaksanaan MDGs Acceleration Framework (MAF) untuk peningkatan kesehatan ibu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, penurunan prevalensi HIV dan AIDS di Provinsi Kepulauan Riau, peningkatan akses air minum layak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan peningkatan akses sanitasi layak di Provinsi Bengkulu. 12. Penyusunan dokumen High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) yang merupakan gagasan agenda post MDGs 2015 dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu co chair bersama Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia. 13. Persiapan pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), diantaranya mengintegrasikan sebanyak mungkin indikator SDGs ke dalam RPJMN , menyusun mapping ketersediaan data dan sumber data untuk draft indikator SDGs, melakukan piloting untuk goal governance dalam SDGs, dan melakukan piloting untuk indikator disaster and risk reduction.

20 xvi RINGKASAN PENCAPAIAN STATUS MDGs DI INDONESIA TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Dalam beberapa tahun belakangan ini, upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Walaupun persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional berhasil diturunkan dari sebesar 15,10 persen di tahun 1990 menjadi sebesar 11,25 persen di tahun 2014, namun penurunan ini masih jauh dari target MDGs sebesar 7,55 persen di tahun Walaupun demikian indeks kedalaman kemiskinan turun dari sebesar 2,70 di tahun 1990 menjadi sebesar 1,75 persen di tahun Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 persen di tahun 1990 menjadi 5,66 persen di tahun Namun terjadi penurunan terhadap rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas dari 65,00 persen di tahun 1990 menjadi 62,64 persen di tahun Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga terhadap total pekerja juga menurun dari 71 persen di tahun 1990 menjadi persen di tahun Walaupun perubahannya tidak signifikan, terjadi pertambahan proporsi penduduk yang menderita kelaparan dari tahun 1990 ke tahun Kondisi ini ditunjukkan dengan naiknya proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi 1400 kkal/kapita/hari dari 17,00 persen di tahun 1990 menjadi 17,39 persen di tahun TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Pendidikan dasar untuk semua yang merupakan Tujuan 2 MDGs, sudah diupayakan di Indonesia sejak dicanangkannya Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun Pencapaian Tujuan 2 tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Pada tahun 2013/2014 angka partisipasi murni SD/sederajat baru mencapai 96.0 persen. Capaian ini masih jauh dari target MDGs sebesar 100 persen. Kemudian, capaian proporsi murid kelas I yang berhasil mencapai Kelas VI sudah lebih baik, yaitu 96,57 persen (pada tahun 2013/2014). Dari 3 indikator untuk menilai capaian Tujuan 2, capaian yang paling baik ditunjukkan oleh angka melek huruf penduduk usia tahun yang pada tahun 2014 sudah mencapai 98,88 persen dengan kelompok laki-laki dan perempuan yang hampir tidak ada bedanya.

21 xvii TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Upaya mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sesuai dengan target MDGs tahun 2015 hampir seluruhnya sudah dicapai pada tahun Capaian indikator yang pertama, yaitu berkaitan dengan pendidikan terdiri dari a) Rasio APM perempuan terhadap laki-laki, baik pada jenjang SD, SMP maupun SMA sudah diposisi sekitar target MDGs 100 persen, dan b) Rasio AMH penduduk berusia tahun juga sudah mendekati 100 persen yang berarti bahwa kesetaraan gender bidang pendidikan telah terwujud. Walaupun begitu rasio APM perempuan terhadap laki-laki di perguruan tinggi yang sebesar 112,01 persen di tahun 2014 memberi indikasi menurunnya minat kelompok laki-laki di perguruan tinggi dan ini perlu diseimbangkan. Di bidang ketenagakerjaan, terjadi peningkatan sedikit pada kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian. Kontribusi perempuan dalam kelompok pekerjaan tersebut sudah lebih tinggi (35,53 persen) dibandingkan tahun 1990 yang hanya 29,24 persen. Hal ini berarti bahwa jenis pekerjaan tersebut masih didominasi laki-laki. Di bidang politik, di tahun 2014 proporsi kursi yang duduki perempuan mengalami penurunan dibandingkan hasil Pemilu yang lalu dari 18,4 persen menjadi 17,3 persen, sudah lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 1990 yang hanya sebesar 12,5 persen. Walaupun sudah ada peningkatan peran perempuan di DPR, namun hal ini belum memenuhi quota 30 persen seperti yang diharapkan. TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Upaya untuk menurunkan angka kematian anak masih memerlukan kerja keras untuk mencapaianya di tahun Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 40 per seribu kelahiran hidup (tahun 2012); penurunan angka kematian bayi dari 68 menjadi 32 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 89,42 persen (tahun 2014).

22 xviii TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih telah berhasil ditingkatkan dari 40,70 persen (tahun 1992) menjadi 83,10 persen (tahun 2012), namun di sisi lain angka kematian ibu baru dapat ditekan dari 390 (tahun 1991) menjadi 359 per kelahiran hidup (tahun 2012). Sementara itu angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia tahun dengan cara modern meningkat dari 47,10 persen (tahun 1991) menjadi 57,90 persen (tahun 2012). TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Upaya mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus baru dan mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS masih memerlukan upaya keras, inovatif, dan kreatif untuk mencapainya. Prevalensi HIV dan AIDS masih cukup tinggi yaitu 0,46 persen pada tahun Selain itu, akses terhadap ARV sudah mencapai 96,01 persen (tahun 2014) dari penduduk terinfeksi HIV dan AIDs lanjut. Angka kejadian malaria menurun pesat dari 4,68 (tahun 1990) menjadi 0,99 per penduduk pada tahun Sementara itu, angka kejadian Tuberkulosis sudah berhasil mencapai target MDGs 2015 yaitu dari 343 (1990) menjadi 183 kasus per penduduk/tahun (2013).

23 xix TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sebagian besar sasaran untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan meningkat dari 59,97 persen pada tahun 1990 menjadi 66,00 persen pada 2013, sedangkan jumlah emisi CO2 meningkat dari Gg CO2e (2000) menjadi GgCO2e (2008). Lebih lanjut, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen (1993) menjadi 68,87 persen (2014), sedangkan untuk fasilitasi sanitasi dasar layak dari 24,81 persen (1993) menjadi 61,04 persen (2014). TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sistem keuangan dan perdagangan Indonesia kini semakin terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif. Hal ini diukur dari indikator keterbukaan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio ekspor dan impor terhadap PDB dari 41,60 persen tahun 1990 menjadi 39,96 persen tahun Sedangkan rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB menurun dari 24,59 persen pada tahun 1996 menjadi 6,4 persen pada tahun Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler meningkat dari 14,79 persen pada tahun 2004 menjadi 87,07 persen pada tahun Namun pada tahun 2014 proporsi rumah tangga dengan akses internet baru mencapai 36,45 persen dan proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi baru mencapai 17,75 persen pada tahun 2013.

24 xx

25 xxi TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Indikator Acuan Dasar TUJUAN 1. MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1 (PPP) per hari dalam kurun waktu a Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan 20,60% (1990) 15,10% (1990) 2,70% (1990) 5,90% (2008) 10,30% 11,25% (2014) 1,75% (2014) Bank Dunia dan BPS 7,55% BPS, Susenas Berkurang BPS, Susenas Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 3,52% (1990) 65% (1990) 71% (1990) 5,66% (2013) 62,64% (2014) 42,57% (2014) - - Menurun BPS,PDB Nasional dan Sakernas BPS, Sakernas Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi 1.8a Prevalensi balita gizi buruk 1.8b Prevalensi balita gizi kurang 1.9 Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum: Kkal/kapita/hari Kkal/kapita/hari 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* 23,80% (1989)* 17,00% (1990) 64,21% (1990) 19,60% (2013) ** 15,50% 5,70% (2013) ** 3,60% 13,90% (2013) ** 11,90% 17,39% (2014) 66,96% (2014) 8,50% 35,32% q *BPS, Susenas **Kemenkes Riskesdas BPS, Susenas

26 xxii Indikator Acuan Dasar TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar Angka melek huruf penduduk usia tahun, perempuan dan laki-laki 88,70% (1992)* 62,00% (1990) 96,60% (1990) 96,00% (2013/2014)** 100,00% 96,57% (2013/2014) *BPS, Susenas **Kemdikbud 100,00% Kemdikbud 98,88% (2014) 100,00% BPS, Susenas TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun a Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia tahun Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 100,27% (1993) 99,86% (1993) 93,67% (1993) 74,06% (1993) 98,44% (1993) 29,24% (1990) 12,50% (1990) 99,28% (2014) 100,00 104,10%(2014) 100,00 103,28%(2014) 100,00 112,01%(2014) 100,00 100,34%(2014) 100,00 BPS, Susenas 35,53%(2014) Meningkat BPS, Sakernas 17,32%(2014) Meningkat KPU Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu a 4.3 Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 97 (1991) 40 (2012) (1991) 32 (2012) (1991) 19 (2012) Menurun 44,50% (1991) 89,42 % (2014)* Meningkat Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup BPS, SDKI *BPS, Susenas 390 (1991) 359 (2012) 102 BPS, SDKI

27 xxiii 5.2 Indikator Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih Acuan Dasar 40,70% (1992) Saat Ini 86,89% (2014)* Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun a Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia tahun, cara modern Angka kelahiran remaja (perempuan usia tahun) per 1000 perempuan usia tahun Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya satu kali kunjungan dan empat kali kunjungan) 49,70% (1991) 47,10% (1991) - 1 kunjungan: 75,00% - 4 kunjungan: 5.6 Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 61,17 % (2014)* 60,18 % (2014)* Target MDGs 2015 Status Sumber Meningkat BPS, Susenas Meningkat Meningkat 67 (1991) 48 (2012) Menurun 56,00% (1991) 12,70% (1991) 93,76 % (2014) ** 85,72 % (2014) ** 11,4% (2012) TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Meningkat Menurun BPS, SDKI 1991, 2012 Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir Proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS - 0,46% (2014) Menurun Kemenkes 12,80% (2002/03)* 43,52% (2013)** Meningkat *BPS, SKRRI 2002/2003 **STBP, Kemenkes - 21,3% (2014) Meningkat Kemenkes, Riskesdas Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral % (2014) Meningkat Kemenkes Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun Angka kejadian dan tingkat kematian akibat Malaria Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida 4,68 (1990) 0,99 (2014) Menurun Kemenkes, Riskesdas - 34,80% (2013) Meningkat Kemenkes, Riskesdas

28 xxiv 6.8 Indikator Proporsi anak balita dengan demam yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Status Sumber - 34,70% (2010) Meningkat Kemenkes, Riskesdas Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis 6.9a Angka kejadian Tuberkulosis (semua kasus/ penduduk/tahun) 343 (1990) 183 (2013) Dihentikan, mulai berkurang 6.9b Tingkat prevalensi Tuberkulosis (per penduduk) 443 (1990) 272 (2013) Laporan TB Global WHO 6.9c Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per penduduk) 92 (1990) 25 (2013) a 6.10b Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS 20,00% (2000)* 87,00% (2000)* TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 70 % ( 2014) 89,7%* (2014) 70,0% 85,0% *Laporan TB Global WHO **Laporan Kemenkes Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang 7.1 Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) 7.2a. 7.2b. Jumlah konsumsi energi primer (per kapita) Intensitas Energi 59,97% (1990) Gg CO 2 e (2000) 2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/ USD 1,000 (1990) 66 % (2014) Meningkat Kementerian Kehutanan 1,791,372 Gg CO e (2005)* Gg CO e 2 (2005)** Gg CO e 2 (2008)** 3,46 (2012) 1,00 BOE/USD (2012) Berkurang 26% pada tahun 2015 Berkurang dari kondisi BAU 6,99 Menurun 7.2c. Elastisitas Energi 0,98 (1991) 1.6 (2010) Menurun 7.2d. Bauran energi untuk energi terbarukan 3,50% (2000) 6,00% (2012) - Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

29 xxv Indikator Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial Acuan Dasar 8.332,7 metric tons (1992) 66,08% (1998) 26,40% (1990) 0,14% (1990)* Saat Ini 0 CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida 6, metrik ton HCFC (2010) 93,54% (2013) Target MDGs CFCs sementara HCFCs menurun Tidak terlampaui Status Sumber Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kelautan & Perikanan 42% (2014) Meningkat Kementerian Kehutanan 5,1% (2012) Meningkat *Kementerian Kehutanan ** Kementerian Kelautan & Perikanan Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak hingga tahun Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan 7.8a Perkotaan 7.8b Perdesaan Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan perdesaan 7.9a Perkotaan 7.9b Perdesaan 37,73% (1993) 50,58% (1993) 31,61% (1993) 24,81% (1993) 53,64% (1993) 11,10% (1993) (2014) (2014) (2014) 68.87% 75.29% 65.81% 61,04% (2014) 62.41% 76,75% (2014) 45,45% (2014) 76.82% 55.55% BPS, Susenas Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) 9,12% (2014) 6% (2020) BPS, Susenas

30 xxvi Indikator Acuan Dasar Saat Ini TUJUAN 8: MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8A: Mengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a 8.6b 8.6c Rasio Ekspor + Impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 41,60% (1990)* 45,80% (2000)* 101,30% (2003)* 39,96%** (2014) 88,7% (2014) 124,45% (2014) Meningkat Meningkat Meningkat *BPS dan Bank Dunia **BPS Bank Indonesia Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12 Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB 8.12a Rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR) 24,59% (1996) 51,00% (1996)* 6,4% (2014) Berkurang Kementerian Keuangan 3,8% (2014) Berkurang Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi 8.14 Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk) 4,02% (2004) 5,57% (2014) Meningkat Kementerian Komunikasi 8.15 Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler 14,79% (2004) 87,07% (2014) 100,00% dan Informatika a Proporsi rumah tangga dengan akses internet Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi - 36,45% (2014) 50,00% - 17,75% (2014) Meningkat BPS, Susenas

31 TUJUAN 1 MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Sumber: PNPM Facility

32

33 1 TUJUAN 1 MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN TARGET 1A MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK DENGAN TINGKAT PENDAPATAN KURANG DARI USD 1,00 (PPP) PER HARI DALAM KURUN WAKTU a Indikator Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Acuan dasar 20,60% (1990) 15,10% (1990) 2,70% (1990) Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Saat ini 5,90% (2008) 11,25% (2014) 1,75% (2014) Target MDGs 2015 Status 10,30% Sumber Bank Dunia dan BPS 7,55% BPS, Susenas Berkurang BPS, Susenas Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang di Indonesia diukur dengan pendekatan pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pada tahun 2014 penduduk yang hidup dalam kelompok tersebut adalah sebesar 11,25 persen.dalam kurun waktu 25 tahun persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional hanya turun 3,85 persen dari 15,10 persen di tahun Ini menunjukkan bahwa untuk mencapai target MDGs 7,55 persen di tahun 2015 bukan hal yang mudah, masih perlu upaya yang keras. Meskipun demikian, indeks kedalaman kemiskinan berhasil diturunkan dari 2,70 persen di tahun 1990 menjadi 1,75 persen di tahun 2014.Target MDGs tahun 2015 agar indeks kedalaman kemiskinan berkurang telah tercapai. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mengalami kecenderungan menurun. Penurunan persentase penduduk miskin terus terjadi sampai dengan tahun Kenaikan harga-harga yang dipicu oleh kenaikan harga BBM di tahun 2005 dari Rp menjadi Rp pada bulan Maret 2005 dan naik lagi menjadi Rp pada bulan Oktober 2005 berdampak pada bertambahnya penduduk miskin di tahun Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya persentase penduduk menjadi 17,75 persen di tahun Berkat upaya-upaya seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan beras untuk keluarga miskin (Raskin), kemiskinan dapat dikurangi dan berkurangnya penduduk miskin berlanjut higga tahun 2014 menjadi 11,25 persen (lihat Gambar 1.1). Di tingkat provinsi persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bervariasi. Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang persentase penduduk miskinnya paling rendah yakni 3,92 persen. Selain provinsi ini, terdapat beberapa provinsi lain yang sudah dapat memenuhi target MGDs yaitu 7,55 persen di tahun 2015.Provinsi tersebut adalah Bali, Kalimantan Selatan, Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat (lihat Gambar 1.2).

34 2 Sumber: Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Provinsi, , Kemiskinan Indonesia Gambar1.1 Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan, Sumber: Badan Pusat Statistik, Seri Data Kemiskinan Provinsi, , Gambar 1.2 Persentase Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan menurut Provinsi, 2014 Bila dilihat dari indikator kedalaman kemiskinan, kesejahteraan penduduk mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan turunnya indeks kedalaman kemiskinan, tingkat kesejahteraan sempat memburuk di tahun 2006 dan tahun 2007 yang dipicuoleh kenaikan harga BBM dua kali di tahun Tampak pada Gambar 1.3 bahwa terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan menjadi 2,90 di tahun 2006 dan menjadi 3,43 di tahun 2007, namun mulai turun di tahun 2008 hingga tahun 2014 (1,75). Sumber:Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Provinsi , Series Kemiskinan Provinsi Gambar1.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan

35 3 Gambar 1.4 Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Provinsi, 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Indonesia Kesejahteraan penduduk untuk masing-masing provinsi bervariasi. Penduduk DKI Jakarta merupakan penduduk yang kesejahteraan terbaik dan Papua terrendah (karena dipengaruhi oleh kemiskinan di daerah pedesaan). Tampak pada Gambar 1.4 bahwa indeks kedalaman kemiskianan DKI Jakarta terrendah (0.39) dan Papua tertinggi (6.84). UPAYA PENTING UNTUK MEMPERCEPAT PENCAPAIAN MDGs Agar upaya menurunkan angka kemiskinan, pada tahun 2015 sebesar 9 10 persen dapat diwujudkan, arah kebijakan dan strategi keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan harus didukung dengan kebijakan ekonomi, kebijakan afirmatif program penanggulangan kemiskinan, dan diperkuat dengan regulasi, sistem dan prosedur, serta data yang menunjang. Dengan demikian kebijakan penanggulangan kemiskinan akan diarahkan pada: 1. Penyempurnaan dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang komprehensif melalui: (i) Peningkatan pelaksanaan program-program bantuan sosial reguler ; (ii) Peningkatan dan perbaikan pelaksanaan bantuan sosial temporer meliputi, antara lain, transformasi bantuan beras untuk rumah tangga miskin (Raskin). 2. Peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan melalui: (i) peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar termasuk pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dan infrastruktur dasar terutama di wilayah kantong- kantong kemiskinan, (ii) penguatan kelembagaan dan sistem pelayanan publik yang berdasarkan akuntabilitas dan berpihak pada masyarakat miskin dan rentan, (iii) pemberdayaan penduduk miskin dalam pendataan sasaran, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kualitas pelayanan dasar, (iv) pengembangan model dan sistem koordinasi dan pengelolaan antar-program sektoral di tingkat masyarakat terutama di wilayah kantongkantong kemiskinan, (v) pengembangan sistem insentif bagi penyedia layanan untuk melayani penduduk miskin dan rentan. 3. Kebutuhan untuk meningkatkan sinergi dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemberdayaan UMK dan koperasi yang semula menjadi bagian dari Klaster 3 Program Penanggulangan Kemiskinan akan dilanjutkan, namun ditransformasikan menjadi bagian dari kebijakan afirmatif yang dilaksanakan melalui strategi pengembangan penghidupan. Strategi ini mencakup berbagai dukungan untuk meningkatkan aset finansial UMK dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala mikro dan kecil bagi masyarakat miskin dan rentan. Kegiatan - kegiatan utamanya diarahkan untuk meningkatkan akses ke pembiayaan usaha, peningkatan kapasitas SDM, dukungan akses dan integrasi ke pasar, serta penguatan kelembagaan. 4. Pembenahan aspek kelembagaan penanggulangan kemiskinan melalui harmonisasi regulasi dan program penanggulangan kemiskinan, baik secara horizontal (antar kementerian/lembaga) maupun vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah).

36 4 TARGET 1B MENCIPTAKAN KESEMPATAN KERJA PENUH DAN PRODUKTIF DAN PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA, TERMASUK PEREMPUAN DAN KAUM MUDA Indikator 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja Acuan dasar 3,52% (1990) Saat ini 5,66% (2013) Target MDGs Status Sumber PDB Nasional dan Sakernas Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 65,00% (1990) 71,00% (1990) 62,64% (2014) 42,57% (2014) - Menurun BPS, Sakernas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam memantau perkembangan ketenagakerjaan digunakan indikator laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja, rasio kesempatan kerja terhadap penduduk berusia 15 tahun ke atas, dan proprosi tenaga kerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan keluarga terhadap total pekerja. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja mengalami perbaikan. Tampak pada Tabel 1.2 bahwa indikator laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 pada tahun 1990 menjadi 5,66 di tahun Walaupun demikian rasio kesempatan kerja turun dari 65,00 persen di tahun 1990 menjadi 62,64 di tahun Sedangkan proprosi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja juga mengalami penurunan, yakni dari 71,00 persen di tahun 1990 menjadi 42,57 persen di tahun Sumber: BPS, Sakernas 2014, diolah Gambar 1.5 Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk menurut Provinsi Tahun 2014 Di tingkat provinsi rasio kesempatan kerja bervariasi. Tampak pada Gambar 1.5 bahwa rasio kesempatan kerja di Provinsi Maluku adalah sebesar 54,52 persen (terrendah) dan di Provinsi Papua adalah sebesar 75,76 persen (tertinggi). Hal ini perlu diimbangi dengan informasi tentang indikator yang terkait erat dengan kegiatan di sektor informal, yaitu proporsi yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Proporsi yang terendah terdapat di DKI Jakarta (22,79 persen) dan tertinggi di Papua dengan proporsi sebesar 55,58 persen (lihat Gambar 1.6)

37 5 Gambar 1.6 Persentase Penduduk Bekerja yang Berusaha Sendiri, Pekerja Bebas dan Pekerja Keluarga menurut Provinsi, Tahun 2014 Sumber: BPS, Sakernas 2014, diolah. UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Arah kebijakan dan strategi untuk meningkatnya daya saing tenaga kerja dapat dilakukan, antara lain, dengan : 1. Mengembangkan program kemitraan antara pemerintah dengan dunia usaha/industri, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, untuk peningkatkan kualitas tenaga kerja yang mencakup empat aspek, yaitu: (a) pengembangan standard kompetensi oleh pihak pengguna terutama asosiasi industri dan asosiasi profesi dan bersifat dinamis sesuai perkembangan iptek dan kebutuhan industri; (b) pengembangan program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui kurikulum dan modul pelatihan yang mengacu kepada standar yang dikembangkan industri, merekrut instruktur yang memiliki sertifikat kompetensi sebagai tanda penguasaan materi, (c) pengembangan sertifikasi kompetensi melalui uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dilisensi oleh BNSP, dan sertifikat kompetensi memiliki masa berlaku (validitas) sesuai ketentuan bidang profesi masing-masing, dan pengembangan kesempatan kerja. 2. Harmonisasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi melalui kerjasama lintas-sektor, lintas-daerah dan lintas-negara mitra bisnis, dalam kerangka keterbukaan pasar. Dalam rangka menunjang pemenuhan tenaga kerja kompeten di sektor/sub-sektor pembangunan, khususnya yang telah disepakati dalam MEA 2015 dan 22 kegiatan ekonomi utama dalam 6 koridor ekonomi, strategi yang dilakukan adalah: a) Penyusunan pedoman teknis registrasi standar kompetensi internasional dan standar khusus, agar standar yang telah setara dengan SKKNI dapat diproses, untuk memperoleh rekognisi antar negara dan antar sistem untuk memastikan kesetaraan, dan b) Pemetaan area kompetensi 8 bidang yang telah mencapai MRA dengan SKKNI yang telah ditetapkan, dengan menyusun standar yang perlu dikembangkan. 3. Identifikasi bidang-bidang keahlian baru sesuai kecenderungan global, yang perlu diantisipasi menjadi bidang baru yang akan ditetapkan dalam MEA. 4. Pengembangan program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui KKNI, okupasi, dan pemaketan klaster dan unit kompetensi. 5. Penguatan kelembagaan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui standardisasi sistem kelembagaan dan standardisasi sarana dan prasarana kelembagaan pendidikan dan pelatihan kerja. 6. Pengelolaan manajemen lembaga pelatihan dan program pelatihan yang komprehensif di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. 7. Fasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi (LSP) kepada asosiasi industri dan LSP terlisensi dalam rangka pelaksanaan uji kompetensi untuk percepatan sertifikasi. 8. Penerapan kerjasama saling pengakuan dalam sistem logistik nasional, sistem latihan kerja nasional, dan sistem pendidikan nasional. 9. Pengembangan sistem pengendalian mutu sistem sertifikasi dan sistem pengendalian pelaksanaan sertifikasi. 10. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.

38 6 TARGET 1C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK YANG MENDERITA KELAPARAN DALAM KURUN WAKTU a. 1.8.b. 1.9 Indikator Prevalensi balita dengan berat badan rendah/ kekurangan gizi Prevalensi balita gizi buruk Prevalensi balita gizi kurang Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum Acuan dasar 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* 23,80% (1989)* Saat ini 19,60% (2013) ** 5,70% (2013) ** 13,90% (2013) ** Target MDGs 2015 Status 15,50% 3,60% 11,90% Sumber * BPS, Susenas ** Kemenkes, Riskesdas Kkal/kapita/hari 17,00% (1990) 64,21% (1990) 17,39% (2014) 66,96% (2014) 8,50% BPS, Susenas Kkal/kapita/hari 35,32% Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Salah satu indikator untuk melihat capaian penanggulangan kelaparan adalah status gizi balita yang juga merupakan indikator kesehatan. Status gizi balita mengalami perbaikan, namun belum mencapai target MDGs.Tampak pada Tabel 1.3 bahwa prevalensi balita dengan berat badan rendah adalah sebesar 19,6 persen yang terdiri dari 5,7 persen balita dengan gizi buruk dan 13,9 persen berstatus gizi kurang. Dibandingkan dengan tahun 1989 terjadi sedikit perbaikan pada balita kekurangan gizi. Prevalensi Balita dengan berat badan rendah di tahun 1989 adalah sebesar 31 persen yang terdiri atas 23,80 persen gizi buruk dan 7,20 persen gizi kurang. Meskipun terjadi perbaikan namun masih belum dapat mencapai target MDGs persen balita kekurangan gizi pada tahun Asupan kalori dapat menjadi salah satu indikator kelaparan. Pada 2014 proporsi penduduk dengan asupan kalori harian di bawah kkal dan kkl per hari secara nasional adalah 66,96 persen dan 17,39 persen, lebih buruk sedikit dibandingkan dengan tahun 1990, yakni 64,21 persen dan 17,00 persen. Masih jauh dari target MDGs untuk dapat dicapai pada tahun Dengan melihat waktu yang tinggal satu tahun lagi, status gizi balita dan asupan kalori perlu perhatian yang lebih khusus lagi. Kondisi rawan pangan dapat dibedakan berdasarkan waktunya yaitu rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, aset produktif, dan kekurangan pendapatan. Sedangkan rawan pangan transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun bencana alam. Kerawanan pangan di Indonesia dapat diketahui dari tingkat kecukupan gizi masyarakat yang diukur dari asupan kalori/kapita/hari. Kecukupan konsumsi kalori penduduk Indonesia per kapita per hari sempat naik cukup besar di tahun 2012 dan turun secara perlahan sampai dengan tahun Tampak pada Gambar 1.7 bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori < 1400 kkal/kapita/hari dan <2000 kkal/kapita/hari turun dari tahun 2012 sebesar 21,16 dan 68,21 menjadi sebesar 17,39 dan 66,96 pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa 17,39 persen masyarakat Indonesia yang hidup dengan kondisi sangat rawan pangan dan 66,96 persen penduduk hidup dengan kondisi rawan pangan yang ringan.

39 7 Gambar 1.7 Proporsi Penduduk dengan Asupan < 1400 kkal dan < 2000 kkal, Sumber: BPS, Susenas Tingkat kerawanan pangan antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 1.8 proporsi penduduk dengan kondisi sangat rawan pangan tertinggi terdapat di Kalimantan Timur (36,82) dan terendah di DI Yogyakarta (6,05%), sedangkan provinsi dengan proporsi penduduk rawan pangan ringan yang terbesar adalah di Provinsi Kalimantan Timur (82,38) dan yang terendah adalah Provinsi Bali (Gambar 1.9). Sumber: BPS, Susenas Gambar1.8 Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 1400 Kkal menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Susenas Gambar 1.9 Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 2000 Kkal menurut Provinsi, 2014

40 8 Gambar 1.10 Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah Tahun Sumber: Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Prevalensi balita dengan berat badan rendah mengalami penurunan dari sebesar 29,51 persen di tahun 1998 menjadi sebesar 19,60 persen di tahun Gambar 1.10 menunjukkan bahwa prevalensi Balita dengan berat badan rendah pernah sangat dekat dengan target MDGs (15,5 persen) di tahun 2010 (17,9), namun kondisi ini tidak dapat dipertahankan sehingga naik kembali di tahun 2013 menjadi sebesar 19,60 persen. Hal yang sama juga terjadi pada prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk. Di tahun 2010, sudah mendekati prevalensi balita gizi kurang (13,0 persen) dan gizi buruk (4,90 persen) sudah dekat dengan target MDGs yaitu 11,90 persen dan 3,60 persen, namun di tahun 2013 menjauh dari target tersebut. Di tingkat provinsi capaian prevalensi balita dengan berat badan rendah masih jauh dari harapan. Tampak pada Gambar 1.11 bahwa hanya 4 provinsi yang sudah berhasil mencapai target MDGs (15,5 persen) di tahun 2013 yaitu Provinsi Bali, Sulawesi Tenggara, DKI Jakarta dan Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan Provinsi Jawa Barat, Kepulauan Riau, D.I Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur sudah sangat dekat dengan target MDGs, dan provinsi sisanya harus berusaha lebih keras lagi mengingat 2015 hanya tinggal satu tahun lagi. Keadaan capaian di tingkat provinsi terhadap prevalensi balita gizi buruk tidak jauh berbeda. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa target MDGs untuk prevalensi gizi buruk (3,9) di tahun 2013 sudah tercapai di Provinsi Bali, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung dan Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan Indonesia Gambar 1.11 Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah menurut Provinsi, 2013

41 9 UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat dilakukan untuk mendukung perbaikan kualitas SDM, akan dilakukan melalui: 1. Peningkatan produksi bahan pangan non padi dan pangan lainnya sesuai kondisi lokal. 2. Pendidikan dan KIE tentang gizi seimbang bagi keluarga dan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas Posyandu untuk pemantauan pertumbuhan balita dan pelayanan kesehatan. 3. Peningkatan kualitas intervensi gizi spesifik dengan fokus pada sasaran 1000 hari pertama kehidupan (HPK). 4. Peningkatan kemitraan dengan lintas program dan sektor dalam rangka intervensi sensitif. 5. Peningkatan produksi protein hewani (bagian dari peningkatan produksi sumber pangan protein). 6. Peningkatan komposisi penggunaan bahan pangan lokal dalam industri pangan olahan. 7. Penyediaan dan penyaluran bahan pangan bersubsidi bagi masyarakat yang kurang mampu (RASKIN). 8. Peningkatan akses keluarga terhadap bahan pangan yang bergizi.

42 10

43 TUJUAN 2 MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Sumber Foto: PNPM Facility

44

45 11 TUJUAN 2 MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA TARGET 2A MENJAMIN PADA 2015 SEMUA ANAK-ANAK, LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN DI MANAPUN DAPAT MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DASAR Indikator Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar Angka melek huruf penduduk usia tahun, perempuan dan lakilaki Acuan dasar 88,70% (1992)* 62,00% (1990) 96,60% (1990) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Saat ini 96,00 % (2013/2014) ** 96,57% (2013/2014) Target MDGs 2015 Status 100,00% Sumber *BPS, Susenas **Kemdikbud 100,00% Kemdikbud 98,88% (2014) 100,00% BPS, Susenas KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Pencapaian MDGs Target 2A diukur dengan menggunakan 3 indikator yakni APM-SD, proporsi murid kelas 1 yang tamat SD dan angka melek huruf (AMH) penduduk berusia tahun baik laki-laki maupun perempuan. Sejak tahun 1992, Indonesia mengalami kenaikan pada APM dari 88,70 persen menjadi 96,00 persen pada tahun ajaran 2013/2014. Meskipun terjadi kenaikan, namun APM-SD masih jauh dari angka target MDGs tahun 2015 (100 persen). Sebagian anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah di jenjang SMP karena masuk SD pada usia kurang dari 7 tahun. Menurut data Susenas Tahun 2012, 6,4 persen penduduk usia 11 tahun dan 14,4 persen penduduk usia 12 tahun sudah bersekolah di jenjang SMP. Beberapa pengamatan tentang kurangnya fasilitas sekolah di daerah pedesaan terpencil serta daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) merupakan salah satu penyebab kondisi tersebut di atas. Hal ini terutama menimpa anak-anak yang berkebutuhan khusus dan cacat. Langkah-langkah terobosan harus diambil untuk dapat mencapai target dalam waktu dekat. Peningkatan yang terjadi pada proporsi murid kelas satu yang tamat SD sangat tinggi dari 62 persen di tahun 1990 menjadi 96,57 persen di tahun ajaran 2013/2014, walaupun demikian target MDGs 2015 sebesar 100 persen, kelihatannya, belum dapat dicapai. Dari ketiga indikator tersebut hanya AMH penduduk berusia tahun (98,88 presen) yang sudah sangat dekat dengan target MDGs (100 persen). Bahkan AMH penduduk berusia perempuan tahun sudah mencapai 99,05 persen. Angka partisipasi murni di sekolah dasar tidak mengalami banyak perubahan sejak tahun 2001, angkanya hampir stabil, pada range persen. Hal ini berkaitan Wajib Belajar Sembilan Tahun yang dicanangkan

46 12 pada tahun 1994 dan ditandaskan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Kemudian Pasal 34 Ayat 2 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, telah berdampak pada peningkatkan APM SD hingga tahun 2013, walaupun kecil (lihat Gambar 2.1). Indikator yang ke dua, yaitu proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar juga dapat dipertahankan pada angka dalam range persen pada tiga tahun terakhir ini. Variasi nilai indikator ini antar-provinsi juga sangat kecil. Angka melek huruf penduduk berusia tahun dari tahun ke tahun bergerak dengan trend mendatar, pada range persen. Tidak banyak perubahan yang terjadi sejak tahun Pada Gambar 2.1 juga tampak bahwa posisi AMH penduduk berusia tahun membaik sedikit 0,80 persen dari 98,08 persen di tahun 2001 menjadi 98,88 persen pada tahun AMH laki-laki dan perempuan berusia tahun tidak jauh berbeda. Pada Gambar 2.2 tampak bahwa nilai AMH kelompok laki-laki lebih tinggi sedikit dibandingkan kelompok perempuan sampai pada tahun Sedangkan pada tahun 2014, posisi AMH perempuan berusia tahun (99,05 persen) lebih tinggi dari laki-laki (98,71 persen). Capaian AMH penduduk berusia tahun untuk masing-masing provinsi bervariasi. Gambar 2.3 menunjukkan bahwa di tingkat provinsi, hanya Provinsi Papua (81,85%) yang posisi AMH di bawah 95 persen sedangkan provinsi yang sangat dengan dengan target (sudah di atas 99 persen) berjumlah 18 provinsi. Sementara itu AMH dari 14 provinsi lainnya berkisar antara persen. Sumber: BPS (AMH dari hasil pengolahan data Susenas 2014) dan Kemendikbud (APM SD) Gambar 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan Angka Melek Huruf (AMH) Penduduk Berusia Tahun, Sumber: BPS (Hasil pengolahan data Susenas 2014) Gambar 2.2 Angka Melek Huruf Lakilaki dan Perempuan Berusia Tahun,

47 13 Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas 2014 Gambar 2.3 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia Tahun menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas 2014 Gambar 2.4 Angka Melek Huruf Lakilaki dan Perempuan Berusia Tahun menurut Provinsi, 2014 Di tingkat Provinsi, posisi AMH laki-laki dan perempuan berusia tahun tahun berada di atas 95 persen kecuali Provinsi Papua, bahkan terdapat 2 (dua) provinsi posisi AHM perempuan berusia tahun mencapai 100 persen. Pada Gambar 2.4 tampak bahwa Provinsi Kep. Bangka Belitung dan DIY berada pada posisi 100 persen untuk AMH perempuan berusia tahun yang berarti bahwa kedua provinsi ini telah mencapai target MDGs 100 persen. Walaupun begitu masih ada provinsi yang capaiannya di bawah 95 persen. AMH penduduk berusia tahun laki-laki (84,30 persen) dan perempuan (70,85 persen) Provinsi Papua masih di bawah 95 persen. Selain itu, di sebagian besar provinsi, AMH perempuan berusia tahun lebih tinggi dari laki-laki. Tampak pada Gambar 2.4 bahwa AMH laki-laki berusia tahun yang lebih tinggi dari perempuan terjadi pada Provinsi Jambi, Lampung, DKI Jakarta,Bali, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Papua Barat dan Papua sedangkan pada provinsi lainnya posisi AMH perempuan lebih tinggi dari laki-laki. UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Terkait dengan pendidikan dasar, arah kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2015 ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antar-wilayah, antar-jenis kelamin, dan antar-kelompok sosial, meliputi antara lain hal-hal berikut: 1. Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata, terutama melalui pemenuhan SPM Pendidikan. Perhatian yang lebih besar diberikan pada kelompok miskin, anak-anak

48 14 yang tinggal di wilayah perdesaan dan daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), serta anak-anak cacat dan yang memiliki kebutuhan khusus. 2. Peningkatan profesionalisme melalui peningkatan kompetensi pendidik dan pembenahan distribusi guru dan tenaga kependidikan di wilayah perdesaan dan daerah 3T, 3. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal melalui penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, peningkatan pendidikan keterampilan terutama bagi penduduk usia produktif muda yang tidak berkesempatan menyelesaikan Wajar Sembilan Tahun. 4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan dengan penguatan kapasitas daerah untuk memantapkan pelaksanaan desentralisasi pendidikan.

49 TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sumber Foto: PNPM Facility

50

51 15 TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TARGET 3A MENGHILANGKAN KETIMPANGAN GENDER DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN LANJUTAN PADA TAHUN 2005, DAN DI SEMUA JENJANG PENDIDIKAN TIDAK LEBIH DARI TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 3.1 Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD 100,27 (1993) 99,28% (2014) 100,00 - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA 99,86 (1993) 93,67 (1993) 104,10% (2014) 103,28% (2014) 100,00 100,00 BPS, Susenas - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi 74,06 (1993) 112,01% (2014) 100,00 3.1a Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia tahun 98,44 (1993) 100,34% (2014) 100, Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian 29,24% (1990) 35,53% (2014) Meningkat BPS, Sakernas 3.3 Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR 12,50% (1990) 17,32% (2014) Meningkat KPU Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Capaian Target 3 A dipantau dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendidikan, ketenagakerjaan dan politik. Di bidang pendidikan kesetaraan gender diukur dengan menggunakan rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan rasio angka melek huruf penduduk berusia tahun. Rasio indikator perempuan terhadap laki-laki merupakan indeks paritas gender (IPG). Kesetaraan gender dikatakan sudah terwujud apabila indeks paritas gender sama dengan seratus persen. Jika IPG lebih kecil dari 100 persen, berarti terjadi ketimpangan gender di mana kondisi laki-laki lebih baik dan jika IPG lebih besar dari 100 persen, terjadi ketimpangan gender di mana konsisi perempuan lebih baik. Untuk mengukur capaian dua bidang lainnya, yaitu a) bidang ketenagakerjaan: digunakan indikator kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian, sedangkan b) bidang

52 16 politik indikator yang digunakan untuk mengetahui keterlibatan perempuan dalam bidang pengambilan keputusan publik digunakan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR. Kesetaraan gender di bidang pendidikan di Indonesia sudah berada pada posisi yang menggembirakan. Pada tahun 2014 rasio APM perempuan terhadap laki-laki di SD (99,28 persen) serta rasio AMH (100,34 persen) sudah sangat dekat dengan Target MDGs 100 persen, artinya kesetaraan gender sudah terwujud dan kondisi seperti ini harus dipertahankan Pada jenjang SMP, rasio APM adalah sebesar 104,10 persen dan rasio APM SMA sebesar 103,28 persen, dan kondisi ini sudah sesuai dengan harapan karena mendekati capaian MDGs (100 persen). Hal ini perlu dijaga agar peningkatan APM perempuan jangan sampai menurunkan APM lakilaki. Seperti yang terjadi pada jenjang perguruan tinggi, rasio APM mencapai angka 112,01 persen, yang kurang sesuai dengan harapan, karena menjauh dari target MDGs. Masih perlu perhatian khusus terhadap laki-laki agar kesetaraan gender dapat terwujud. DI bidang ketenagakerjaan, keterlibatan perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian yang meningkat dari 29,24 persen pada tahun 1990 menjadi 35,53 persen pada tahun 2014, sudah sesuai dengan target MDGs (meningkat tetapi masih terlalu sedikit). Di bidang poilitk, proporsi perempuan di DPR sudah lebih tinggi di tahun 2014 (17,30 persen) dibandingkan pada tahun 1990 (12,50 persen), sudah sesuai dengan target MDGs (meningkat tetapi belum sesuai dengan kuota yang diharapkan). Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Gambar 3.1 Rasio APM Perempuan Terhadap Laki-laki di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, Perkembangan rasio APM laki-laki terhadap perempuan (rasio APM P/L) di SD sampai dengan perguruan tinggi dari tahun ke tahun bervariasi antar-jenjang pendidikan. Fluktuasi rasio APM P/L di SD dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2014 relatif datar dan selalu sangat dekat dengan angka 100 persen, sehingga untuk jenjang pendidikan ini, kesetaraan gender sudah lama terwujud dan tetap bertahan sampai dengan tahun Pada jenjang sekolah menengah kondisi kesetaraan gender dapat dikatakan sudah sesuai harapan. Pada jenjang SMP, posisi rasio APM P/L selalu sedikit di atas 100 persen dari tahun 2001 hingga kini. Ketimpangan gender pada jenjang pendidikan SMP menunjukkan kondisi perempuan yang sedikit lebih baik, namun masih dalam batas toleransi 5 persen (kecuali pada tahun 2013 yang besarnya 105,69 persen), tetapi kemudian pada tahun 2014 sudah kembali berada di dalam batas toleransi. Trend ini masih sesuai dengan harapan (on-track). Sementara itu, pada jenjang pendidikan SMA, dalam beberapa tahun posisi rasio APM P/L di SMA berada di sekitar target MDGs tetapi pada tahun 2014 mengarah pada ketimpangan di mana kondisi perempuan cenderung lebih baik, walaupun tidak signifikan.

53 17 Rasio APM parempuan terhadap laki-laki pada jenjang perguruan tinggi (PT) memiliki trend yang mengarah pada ketimpangan yang lebih besar. Tampak pada Gambar 3.1 bahwa rasio APM P/L-PT (87,10 persen) tahun 2001 menunjukkan adanya ketimpangan di mana laki-laki lebih baik, kemudian pada tahun 2004 berada pada posisi yang sangat dekat dengan target MDGs (100 persen) sampai tahun 2007 dan kembali on-track pada tahun Mulai tahun 2012 terjadi lagi ketimpangan dengan kondisi laki-laki lebih buruk, bahkan di tahun 2014 mencapai angka rasio 112,01 persen. Kesetaraan gender di bidang pendidikan di daerah. Di tingkat nasional dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah dekat dengan kondisi kesetaraan gender pada jenjang SD sampai dengan SMA, tetapi kondisi di tingkat daerah tidak demikian. Meskipun rasio APM P/L di SD secara nasional sudah sangat dekat dengan kesetaraan gender tetapi hal tersebut tidak dirasakan oleh semua provinsi. Pada Tabel 3.1 ditunjukkan bahwa provinsi yang sudah sangat dekat dengan kesetaraan gender berjumlah 12 yaitu Provinsi Kalimatan Timur, Sumatera Utara, NTB, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Banten, NTT dan DIY. Kemudian pada jenjang SMP jumlah provinsi yang sudah sangat dekat dengan kondidi kesetaraan gender adalah Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur, sedangkan pada jenjang SMA dan PT kesetaraan gender dicapai oleh masing-masing satu provinsi yaitu Maluku (SMA) dan Sulawesi Tenggara (PT). No. Tabel 3.1 Kesetaran Gender Pendidikan pada Jejang SD, SMP, SMA dan PT di Daerah Jenjang Sekolah Sangat dekat dengan kesetaraan gender (laki-laki lebih baik) Rasio APM Provinsi P/L Sangat dekat dengan kesetaraan gender (perempuan lebih baik) Rasio Provinsi APM P/L 1 SD Kalimantan Timur 99,00 Sulawesi Barat 100,12 2 Sumatera Utara 99,33 Jawa Barat 100,23 3 Nusa Tenggara Barat 99,52 Banten 100,39 4 Jambi 99,61 Nusa Tenggara Timur 100,46 5 Kalimantan Selatan 99,85 DI Yogyakarta 100,79 6 Sulawesi Tenggara 99,97 7 SMP Sumatera Utara 100,68 Jawa Timur 100,84 8 SMA Maluku 99,65 9 PT Sulawesi Tenggara 99,06 Sumber: Badan Pusat Statistik, Data Indikator MDGs , Data Indikator MDGs 2013, Data Indikator MDGs 2014 Kesetaraan gender keaksaraan. Dari sisi keaksaraan tidak terjadi kesejangan. Tampak pada Gambar 3.2 bahwa rasio AMH P/L penduduk berusia tahun dari tahun ke tahun sudah sangat dekat dengan 100 persen, sehingga dapat dikatakan telah terjadi kesetaraan gender. Walaupun demikian, di tingkat provinsi rasio AMH P/L penduduk berusia bervariasi. Hanya Provinsi Papua yang memiliki rasio AMH P/L di bawah 95 persen dan provinsi yang sangat dekat dengan rasio AMH P/L 100 persen berjumlah 20 provinsi, bahkan terdapat provinsi dengan rasio AMH P/L 100 persen yaitu Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 3.3). Provinsi sisanya memiliki rasio AMH P/L yang dekat dengan kondisi kesetaraan gender (di bawah 105 persen).

54 18 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Gambar 3.2 Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia Tahun, Gambar 3.3 Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia Tahun menurut Provinsi, 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian dari tahun dasar mengalami trend yang naik, namun kenaikannya sangat lamban. Tampak pada Gambar 3.4 bahwa kontribusi perempuan tersebut di tahun 2001 adalah sebesar 32,30 persen dan mengalami penurunan sampai pada angka 31,49 persen di tahun Pada tahun 2009 kontribusi perempuan mencapai titik tertinggi yaitu sebesar 37,08 persen dan turun kembali menjadi sebesar 35,10 persen pada tahun Pada tahun 2014 kontribusi perempuan naik sedikit menjadi sebesar 35,53. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 3.5 bahwa kontribusi perempuan berada pada kisaran antara 47,32 persen di Provinsi Gorontalo dan 25,56 persen di Provinsi Papua.

55 19 Sumber: BPS, Sakernas Gambar 3.4 Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan Di Sektor Non- Pertanian Sumber: BPS, Sakernas 2014 Gambar 3.5 Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non- Pertanian menurut Provinsi, 2014 Perempuan di Parlemen. Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional memiliki trend meningkat, walaupun berfluktuasi (Gambar 3.6.) Sejak pemilu legislatif periode tahun 1950 dilaksanakan, perempuan sudah menduduki kursi di DPR, mekipun sedikit (3,8 persen), namun nilai indikator ini terus mengalami trend naik sampai pada puncaknya di tahun 1987 (13 persen), kemudian turun lagi sampai tahun 1999 (9 persen). Undang-undang nomor 12 tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang menerapkan kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif dapat menaikkan kembali proporsi perempuan di DPR hingga pemilu tahun 2009 (18,4 persen), namun di tahun 2014 nilai indikator ini turun lagi menjadi 17,3 persen.

56 20 Sumber: KPU, Pusat Data Arsip Nasional KPU. Gambar 3.6 Persentase Anggota DPR Perempuan pada Periode Pemilu Jumlah anggota DPR perempuan antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 3.7 bahwa provinsi yang tidak memiliki anggota DPR perempuan berjumlah 7 (tujuh) yaitu Provinsi Aceh, Kep. Bangka Belitung, Bali, NTT, Gorontalo, dan Papua Barat. Sedangkan Provinsi Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara memiliki 1 (satu) anggota DPR perempuan. Kendati demikian, terdapat provinsi yang memiliki anggota DPR perempuan lebih dari 10, yaitu Jawa Timur (11), Jawa Tengah (14) dan Jawa Barat (19). Sisanya 5 (lima) perempuan atau kurang dari 5 (lima) anggota DPR perempuan. Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Data Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2014 Gambar 3.7 Jumlah Anggota DPR Perempuan Periode menurut Provinsi Kondisi seperti ini juga terjadi di DPRD tingkat kabupaten/kota. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik UI (Puskapolui) terhadap hasil pemilu 2014 di 403 kabupaten/kota terpilih menunjukkan bahwa terdapat 14 kabupaten/kota yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan. Tampak pada Tabel 3.3 bahwa di Provinsi Jawa Timur, NTB, Maluku, dan Maluku Utara, terdapat 1(satu) kabupaten tidak memiliki anggota DPRD perempuan, di Provinsi NAD, Jambi dan NTT, terdapat 2 kabupaten yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan, sedangkan di Provinsi Sumatera Barat terdapat 4 kabupaten yang tidak memiliki anggota DPRD permpuan. Sementara itu, jumlah kabupaten yang memiliki hanya 1(satu) anggota DPRD perempuan berjumlah 36, dan jumlah kabupaten yang memiliki anggota DPRD lebin dari 10 hanya berjumlah 27 kabupaten.

57 21 Tabel 3.2 Jumlah Kabupaten/kota menurut Provinsi dan Jumlah Anggota Parlemen Perempuan, 2014 No. Provinsi Jumlah Kabupaten/kota yang diamati Jumlah kabupaten yang memiliki anggota DPRD = 0 = >10 1 NAD Sumut Riau Sumbar Bengkulu Babel Sumsel Jambi Kepri Lampung Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kaltim Kalbar Kalteng Kalsel Sulut Sulteng Susel Sutra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia Sumber: Puskapol UI, Diolah. Wakil rakyat perempuan yang tertinggi diajukan PDIP, seperti tampak pada Gambar 3.8 bahwa jumlah anggota DPR perempuan dari PDIP adalah sebanyak 21 orang yang diikuti oleh Partai Gerindra (16 orang) sedangkan anggota DPR dari PKS hanya satu orang dan Partai Hanura hanya dua orang.

58 22 Gambar 3.8 Jumlah Anggota DPR menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin, 2014 Sumber: Formappi, Anatomi Caleg DPR Terpiilih pada Pemilu 2014 UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Agar kesetaraan dan keadilan gender segera terwujud, maka arah kebijakan dan strategi pengarusutamaan gender di tahun 2015, antara lain, meliputi: 1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, yang dilakukan melalui implementasi PUG dan PPRG terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi, dan hukum. 2. Meningkatkan efektivitas kelembagaan PUG di Pusat dan Daerah melalui strategi: (a) Peningkatan kapasitas SDM; (b) penguataan lembaga/jejaring PUG; dan (c) Ketersediaan data terpilah yang berkualitas dan berkesinambungan untuk penyusunan PPR G.

59 TUJUAN 4 MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Sumber Foto: PNPM Facility

60

61 23 TUJUAN 4 MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK TARGET 4A MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BALITA (AKBA) HINGGA DUA PER TIGA DALAM KURUN WAKTU Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup 97 (1991) 68 (1991) 40 (2012) (2012) 23 BPS, SDKI 4.2a Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup 32 (1991) 19 (2012) Menurun 4.3 Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak 44,50% (1991)* 89,42 % (2014)* Meningkat *BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Sampai saat ini status kesehatan anak Indonesia mengalami perkembangan yang semakin baik, walaupun masih akan belum mencapai target MDGs pada tahun Seperti yang terlihat pada gambar 4.1. Gambar 4.1 Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun. Sebelum Survei, Tahun (SDKI), (Kemenkes RI*)

62 24 Seperti yang sudah dilaporkan pada laporan pencapaian tujuan pembangunan Milenium di tahun 2013 bahwa angka kematian balita (AKBa) telah turun secara bermakna dari 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai target MDG 4 sebesar 32 per 100 kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) turun dari 68 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi separuhnya, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, sedangkan target MDGs yang harus dicapai adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu angka kematian neonatal (AKN) dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2003 turun dari 32 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun Apabila merujuk pada data resmi SDKI yang dimuat pada laporan MDGs tahun 2013, diperkirakan target MDGs 4 untuk AKBa dan AKB tidak akan tercapai. Oleh karena data terbaru yang bersumber dari SDKI 2012 dan RISKESDAS 2013 sampai saat ini belum ada pemutakhiran data, maka untuk pemutakhiran data terbaru bersumber dari laporan Kementerian Kesehatan tahun 2014 yang dimuat secara resmi di web ( gizikia.depkes.go.id /data/publicreport/anaktahun?active=80) dimana dilaporakan angka Kematian Balita sebesar 9 per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi sebesar 8 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatal sebesar 6 per 1000 kelahiran hidup. Mengacu pada laporan tersebut maka tampaknya indikator MDGs telah mencapai target yang telah ditentukan, dimana AKBa di bawah 32 per 1000 kelahiran hidup dan AKB di bawah 24 per 1000 kelahiran hidup. Dengan catatan bahwa data yang berasal dari laporan rutin yang sudah dipublilkasi secara resmi harus dibcaca dengan sangat hati-hati. Angka-angka dari laporan rutin ini tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan angka hasil survey seperti SDKI yang di disain secara khusus dengan metodologi survey yang sudah baku. Analisis terhadap tren penurunan AKBa dan AKB dari tahun ke tahun bisa dilihat dari dua aspek : 1. Aspek periode life-cycle, terutama periode neonatal (0-28 hari), periode bayi usia 1-11 bulan dan anak balita usia 1-5 tahun, oleh karena faktor yang mempengaruhi usia-usia tersebut dan program yang harus dibuat untuk ketiga periode life-cycle tersebut berbeda. 2. Aspek disparitas berdasarkan berbagai variabel, yaitu provinsi, tempat tinggal, pendidikan, kuintil kekayaan, dan variabel lainnya. Kemiskinan merupakan faktor mendasar yang berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tingginya faktor risiko lain ada pada kelompok miskin. Kedua aspek tersebut diatas harusnya menjadi acuan penting setiap saat ingin melakukan upaya untuk mencapai target MDGs dan mempertahankan sustainabiltas pencapaian target MDGs tersebut pasca Tren dan Disparitas Kematian Neonatal, Bayi dan Balita Menurut Provinsi Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi lebih tinggi di provinsi dengan AKB rendah, dan sebaliknya kematian neonatal lebih rendah di provinsi dengan AKB tinggi. Di provinsi dengan AKB rendah, penurunan kematian bayi dicapai antara lain melalui keberhasilan dalam penurunan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penurunan infeksi diare dan upaya-upaya lain seperti perbaikan status gizi bayi karena asupan gizi yang baik. Sementara itu, kematian neonatal dengan penanganan dan teknologi yang lebih kompleks serta kualitas pelayanan persalinan yang tinggi belum secara optimal bisa dicapai. Penyebab Kematian Neonatal Kematian neonatal mempunyai kontribusi besar terhadap AKB. Secara global diketahui bahwa penyebab utama kematian neonatal adalah prematuritas, infeksi berat, termasuk sepsis/pneumonia, tetanus, diare dan asfiksia. Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada minggu pertama pasca lahir, terutama pada

63 25 hari pertama kehidupan (Lawn, 2005). Artinya, masa persalinan dan 24 jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang sangat kritis dan strategis untuk mencegah kematian neonatal. Kematian neonatal setelah minggu pertama biasanya disebabkan oleh infeksi. Pengetahuan tentang penyebab utama kematian neonatal seperti gangguan pernapasan/asfiksia, prematuritas, infeksi, dan hipotermi, prematuritas serta berat badan lahir rendah sangatlah penting untuk merancang program intervensi yang tepat dalam upaya menurunkan kematian neonatal. Penanganan Persalinan dan Pascasalin Proses persalinan tidak kalah penting sebagai faktor penyebab kesakitan dan kematian bayi, terutama yang disebabkan oleh asfiksia dan infeksi, oleh karena itu Continuum of care atau pelayanan berkelanjutan kebidanan dan neonatal mulai dari tingkat komunitas sampai fasilitas rujukan untuk kasus komplikasi tetap menjadi hal yang sangat penting, yaitu apakah proses persalinan berjalan dengan baik termasuk apakah persalinan yang disertai komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya ditangani dengan baik di fasilitas rujukan. Akses terhadap pelayanan kebidanan berkelanjutan dan berkualitas perlu terus mendapatkan prioritas tinggi. Uraian pola perawatan bayi baru lahir di rumah sangat mempengaruhi kesakitan dan kematian neonatal, termasuk tetanus neonatorum yang sudah disajikan pada laporan MDGs 2013 yaitu kunjungan neonatal (KN) disajikan lagi pada laporan ini. Program pemerintah untuk kunjungan neonatal (KN) sebanyak 3 kali, yaitu pada 6-48 jam pertama (KN1), 3-7 hari pasca lahir (KN2) dan 8-28 hari pasca lahir (KN3), dimaksudkan untuk mencegah dan mengidentifikasi dengan segera kesakitan pada periode neonatal ini. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 persantase KN 1 dan KN 2 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan riskesdas tahun Peresentase KN1 pada tahun 2010 yaitu 71,4 persen sedangkan pada tahun 2013 hanya 71,3. Untuk KN2 masih sama dengan tahun 2010 yaitu sebesar 61,3 persen pada tahun Sedangkan untuk persentase KN3 dan dan KN lengkap mengalami peningkatan pada tahun Untuk KN3 sebesar 38 persen pada tahun 2010 meningkat menjadi 47,5 persen pada tahun 2013 dan KN lengkap 31,8 persen pada tahun 2010 menigkat menjadi 47,5 persen pada tahun Periode bayi usia 1-11 bulan dan anak usia 1-5 tahun Turunnya AKB dan AKBa menunjukan bahwa program penurunan kematian bayi dan balita cukup berhasil. Program tersebut meliputi peningkatan imunisasi termasuk imunisasi campak yang dapat menurunkan kematian melalui penurunan prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare sebagai akibat komplikasi campak dan program pengendalian penyakit infeksi lainnya yang berpengaruh terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak. Sampai saat ini sumber data terbaru penyebab kematian bayi umur 29 Hari-11 bulan dan kematian balita umur 1-4 tahun adalah dari Riskesdas tahun 2007, sedangkan dari data Riskesdas 2013 tidak ada lagi variabel mengenai penyebab kematian bayi maupun balita, begitu juga dengan data rutin tahunan yang bersumber dari Kemenkes RI tidak dirinci penyebab kematian bayi dan balita.

64 26 Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007 Gambar 4.2 Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007) Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan anak, antara lain pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas, persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan dan penanganan neonatal (kunjungan neonatal), cakupan imunisasi khususnya imunisasi campak, penanganan neonatal, bayi dan balita sakit sesuai standar baik di fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas kesehatan rujukan. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran keluarga serta masyarakat akan perawatan pada masa kehamilan, pada masa neonatal, bayi dan balita, serta deteksi dini penyakit dan semakin sadarnya masyarakat untuk mencari pengobotan ke fasilitas pelayan kesehatan juga mempengaruhi peningkatan status kesehatan anak. Membaiknya tingkat kesehatan anak tersebut terkait dengan berbagai upaya pengendalian penyakit, termasuk pemberian imunisasi. Imunisasi dasar lengkap bagi anak meliputi BCG sebanyak 1 kali, DPT-HB 3 kali, polio 4 kali, dan campak 1 kali. Gambar 4.3 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%) namun masih jauh dari cakupan minimal 80% sebagai target pencapaian UCI (Universal Covarage of Immunization). Gambar 4.3 Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 (Riskesdas, 2013) Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak Indikator MDG 4 lainnya adalah proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam yaitu dari persen pada tahun 1991 menjadi 80,18 persen pada tahun 2012 dan persen pada tahun 2014 (Susenas, tw 1).

65 27 Disparitas Vaksinasi Campak Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup tinggi. Variasi cakupan berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 65,07 persen di Papua dan 100 persen di DI Yogyakarta. Lebih dari separo dari 33 provinsi mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional 89,42 persen (BPS, Susenas tw 1, 2014). Imunisasi campak berkaitan dengan angka kematian bayi, dan balita. Secara umum kematian bayi dan balita rendah pada provinsi yang mempunyai cakupan imunisasi campak tinggi. Pemerataan cakupan immunisasi campak yang tinggi sangatlah penting dalam upaya mencapai dan mempertahankan penurunan angka kematian bayi dan balita. Sumber : BPS, Susenas Triwulan Gambar 4.4 Anak yang Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, Tahun 2014). Status Gizi Bayi dan Anak Balita Status gizi dan infeksi saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Infeksi dapat menyebabkan seorang bayi/ anak kekurangan gizi karena meningkatnya metabolisme, berkurangnya asupan makanan dan terjadi pada diare disertai dengan kehilangan cairan dan zat gizi. Sebaliknya bayi/anak yang kekurangan gizi mudah terinfeksi penyakit oleh karena daya tahannya menurun. Pemberian immunisasi untuk mencegah terjadinya PD3I ( Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Immunisasi) sangatlah penting. Salah satu penyebab belum tercapainya penurunan AKBa dan AKB adalah banyaknya balita yang menderita gizi kurang, pendek atau kurus. Walaupun tatus gizi balita telah mengalami perbaikan dan prevalensi gizi kurang pada anak balita hampir mencapai target MDG, prevalensi balita pendek/stunting dan sangat pendek, masih sangat tinggi dan cenderung meiningkat. Tingginya stunting pada anak balita mengindikasikan bahwa telah terjadi keadaan kurang gizi secara kronis dan/atau berulang sejak usia dini. Tingginya prevalensi kurus pada usia yang lebih muda juga mengindikasikan bahwa proses kekurangan gizi akut sudah terjadi sejak usia dini. Data terbaru mengenai status gizi bayi dan anak balita adalah data yang bersumber dari Riskesdas, Kemenkes RI tahun 2013.

66 28 Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 Gambar 4.5 Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun Gambar 4.6 Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013 (Kemenkes, Riskesdas 2013) UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka percepatan pencapaian indikator MDG goal 4 serta mempertahankan apa yang sudah dicapai telah dilakukan berbagai upaya strategis yang operasional dan lokal spesifik. Percepatan pencapaian MDGs selama ini telah dilakukan melalui pendekatan wilayah, yaitu upaya intervensi secara terfokus dan memberi dampak optimal sesuai dengan permasalahan spesifik yang ada di wilayah tersebut. Di Wilayah Penanganan Intensif (WPI), pertama-tama yang sudah dilakukan adalah melakukan intervensi ketat adalah di 12 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini tidak berarti bahwa provinsi lainnya tidak mendapat perhatian. Pemberian insentif dan penghargaan setiap tahun kepada daerah-daerah yang telah mencapai target MDGs dimaksudkan untuk merangsang daerah melakukan upaya percepatan pencapaian target MDGs. Langkah-langkah strategis percepatan pencapaian MDGs antara lain adalah pemetaan masalah, penguatan peran masyarakat, peningkatan pengendalian penyakit menular dan tidak menular, penguatan peran masyarakat melalui pembentukan Posbindu dan klub kesehatan, serta mendorong penyediaan fasilitas publik untuk gaya hidup sehat; yang merupakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai target MDGs dan RPJMN , serta mendukung SJSN, SKN dan RPJMN , RPJMD ,

67 29 yang merupakan upaya reformasi birokrasi, penguatan SDM kesehatan, peningkatan peran aktif daerah, penguatan penyelenggaraan sistem informasi kesehatan, penyiapan Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu juga upaya yang perlu dilakukan untuk percepatan pencapaian MDGs secara spesifik adalah dengan segera melakukan penurunan AKN, karena AKN menyumbang proporsi yang tinggi terhadap Angka Kematian Bayi dan Anak. Selain itu upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas perlu dilakukan terus menerus karena proses kelahiran sangat berpengaruh terhadap kematian neonatal. Kemudian melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program perbaikan gizi remaja puteri, dan kesehatan serta status gizi ibu hamil lebih baik, melakukan koordinasi dan sinergi dengan unit dan instansi terkait agar upaya perbaikan gizi bayi dan anak balita lebih baik. Hal lain lain yang telah dan perlu terus dilakukan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan MTBS, dengan memperhatikan social determinants of health di masyarakat.

68 30

69 TUJUAN 5 MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Sumber: UNDP Indonesia

70

71 31 TUJUAN 5 MENINGKATKAN KESEHATAN IBU TARGET 5A TARGET 5B MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU HINGGA TIGA PER EMPAT DALAM KURUN WAKTU MEWUJUDKAN AKSES KESEHATAN REPRODUKSI BAGI SEMUA PADA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih 390 (1991) 40,70% (1992)* 359 (2012) ,89% (2014)* Meningkat BPS, SDKI *BPS, Susenas Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara 49,70% (1991) 61,17 % (2014)* Meningkat 5.3a Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia tahun, cara modern 47,10% (1991) 60,18 % (2014)* Meningkat Angka kelahiran remaja (perempuan usia tahun) per 1000 perempuan usia tahun Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya 1 kali kunjungan dan 4 kali kunjungan) 67 (1991) 48 (2012) Menurun BPS, SDKI * BPS, Susenas ** Kemenkes RI - 1 kunjungan: - 4 kunjungan: 75,00% (1991) 56,00% (1991) 93,76 % (2014) ** 85,72 % (2014) ** Meningkat 5.6 Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 12,70% (1991) 11,4% (2012) Menurun Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

72 32 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Gambar 5.1 Angka Kematian Ibu Indonesia tahun Sumber: BPS, SDKI Upaya keras untuk mencapai salah satu sasaraan MDGs yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) dengan target 102 per kelahiran hidup pada tahun 2015 telah dilakukan. Pada tahun 1991 Angka kematian ibu menurun dari 390 menjadi 228 per kelahiran hidup pada tahun 2007 dan meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi 359 per kelahiran hidup (Gambar 5.1). Tren AKI dari hasil survei SDKI harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Penghitungan AKI dalam survei SDKI selalu menghasilkan Confidence Interval (CI) yang sangat lebar sehingga sulit untuk menginterpretasikan point prevalence AKI secara tepat. Sebagai contoh nilai AKI 228 pada tahun 2007 mempunyai kisaran 132 sampai dengan 323, sedangkan nilai 359 pada tahun 2012 berada pada kisaran 239 sampai dengan 478, sehingga terdapat overlapping pada CI kedua periode pengukuran tersebut. Selain itu terdapat perbedaan definisi AKI pada SDKI 2012 yaitu kematian oleh sebab apapun yang terjadi saat kehamilan, selama persalinan atau dalam waktu 2 bulan setelah persalinan, untuk menyesuaikan dengan kecilnya jumlah yang hanya mencatat 92 kematian.sementara definisi kematian ibu mencakup kematian saat kehamilan, persalinan dan dalam waktu 42 hari pasca persalinan. Namun demikian, penggunaan definisi ini dianggap tidak akan menyebabkan over-reported kematian ibu, karena sebagian besar kematian perempuan dalam periode umur tersebut disebabkan oleh sebab maternal, sementara kematian maternal lebih cenderung under-reported. Selain itu, sampel SDKI 2012 adalah semua perempuan umur tahun, baik yang kawin atau tidak kawin, sementara sampel SDKI 2007 hanya perempuan umur tahun yang pernah kawin. Kenaikan AKI sesungguhnya konsisten dengan kenaikan kematian perempuan dewasa di Indonesia. Berdasarkan perkiraan dari WHO sekitar persen ibu hamil, baik di negara maju maupun berkembang akan mengalami risiko tinggi (risti) dan/atau komplikasi. Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih.

73 33 Sumber: BPS, Susenas (Triwulan I) Gambar 5.2 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun (triwulan 1) Dari gambar 5.2 dapat dilihat proporsi persalinan ditolong tenaga kesehatan terus meningkat sejak tahun 1991 sampai tahun 2013 persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan mencapai 90,5 persen dan sedikit menurun pada triwulan I tahun 2014 menjadi 86,89 persen (Susenas, triwulan I, 2014). Peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan antara tahun 1991 sampai dengan tahun 2004 seperti diketahui disebabkan karena adanya program pemerintah yang menempatkan bidan di setiap desa yang dimulai sejak awal tahun Adanya perlambatan dan penurunan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akhir-akhir ini dikarenakan jumlah bidan yang tinggal di desa menurun. Disparitas Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu Persalinan oleh tenaga kesehatan Secara umum persentase persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sudah cukup tinggi, yaitu rata-rata 86,89 persen. Namun disparitas antarprovinsi masih sangat lebar, yaitu antara 50 persen di Maluku dan 100 persen di Yogyakarta. Hal ini terkait dengan perbedaan akses kepada bidan. Di daerah-daerah dengan densitas penduduk rendah dengan hambatan geografis yang tinggi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat dan Maluku persalinan oleh nakes relatif rendah, sementara di daerah dengan densitas penduduk tinggi dengan akses transportasi mudah seperti di Pulau Jawa dan Bali, persalinan terhadap nakes cukup tinggi seperti yang ditunjukan pada gambar 5.3

74 34 Sumber: BPS, Susenas Gambar 5.3 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi 2014 Disparitas persalinan oleh nakes masih tetap terjadi menurut variabel tempat tinggal, tingkat pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan, namun tidak berbeda menurut umur ibu. Persalinan oleh tenaga kesehatan di pedesaan hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Tingkat pendidikan ibu sangat berkorelasi dengan tingginya persalinan oleh nakes. Pada ibu dengan pendidikan tertinggi, persalinan oleh nakes selalu lebih tinggi dari ibu yang tidak bersekolah. Data terbaru mengenai persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan berbagai variabel hanya bersumber dari Data terbaru mengenai persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan berbagai variabel hanya bersumber dari Susenas Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 5.4 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel, Tahun 2012 Persalinan di Fasilitas Kesehatan Secara umum persalinan di fasilitas kesehatan tetap mengalami kenaikan dari tahun ke tahun di semua kelompok sosial ekonomi dan demografi dengan proporsi dua kali lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kenaikan ini lebih nyata terlihat pada kelompok sosial dengan pendidikan dan ekonomi tinggi apabila dibandingkan dengan kelompok pendidikan dan ekonomi rendah. Mereka yang melahirakan di fasilitas kesehatan hampir semuanya ditolong oleh tenaga kesehatan, sebaliknya yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan hanya separuhnya saja ditolong oleh tenaga profesional. Sampai saat ini data terbaru mengenai disparitas persalinan di fasilitas kesehatan berdasarkan berbagai karakteristik hanya bersumber dari SDKI tahun 2012.

75 35 Gambar 5.5 Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai Karakteristik, SDKI 2012 Kualitas Pelayanan Pelayanan yang optimal dan berkualitas harus selalu ditingkatkan dijamin dengan sumber daya manusia yang cukup, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Kecukupan alat dan obat baik mutu dan jumlah merupakan faktor esensial yang harus diperhatikan. Namun dari hasil Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan obat di Puskesmas dan Puskesmas PONED masih belum baik dan perlu dilakukan evaluasi serta mendapatkan perhatian yang besar. Mengacu pada kebijakan pemerintah bahwa setiap kabupaten dan kota sedikitnya harus mempunyai 4 Puskesmas PONED, namun berdasarkan data terbaru Rifaskes 2011 menunjukkan kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, sesuai dengan standar baru sekitar 40 persen diperdesaan sedangkan di kota malah jauh lebih (13 persen). Namun yang menggembirakan Puskesmas perawatan yang mampu PONED cukup tinggi hampir 50 persen. Masih ada kekurangan dalam pelayanan rujukan, RSU Pemerintah yang memenuhi 9 kriteria PONEK masih kecil hanya 21 persen. Walaupun yang mempunyai spesialis kebidanan dan kandungan sudah cukup tinggi, yaitu 83 persen. Tetapi hanya separuh rumah sakit yang mempunyai dokter dan bidan yang telah dilatih PONEK, dan kurang dari separuh RSU Pemerintah mempunyai Tim PONEK Esensial. Rumah sakit umum yang mempunyai tim operasi untuk pelayanan darurat cukup tinggi yaitu sekitar 72 persen, namun kesiapan untuk melakukan pelayanan darurat ini perlu dilengkapi dengan fasilitas dan perlengkapan yang memadai Target MDG 5 B: Mewujudkan Akses Kesehatan Reproduksi bagi Semua pada tahun 2015 Agar dapat mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua atau universal access of reproductive health maka pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi harus tersedia, terjangkau, dan memenuhi kebutuhan semua orang, yaitu: (1) mudah dan aman serta terjangkau oleh semua orang, (2) tersedia bagi masyarakat miskin dengan biaya murah; dan (3) peka terhadap nilai sosial, kultural, agama dan nilai-nilai lokal lainnya.

76 36 Total Fertility rate (TFR) dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Total fertility rate di Indonesia sampai saat ini stagnan disebabkan antara lain oleh proporsi wanita usia subur yang pernah kawin, tren CPR, penggunaan metoda campuran (mixed methods) dan usia saat perkawinan pertama. Perkawinan usia remaja dan proporsi childbearing pada usia remaja sangat berpengaruh terhadap TFR. Desentralisasi sistem pemerintahan terjadinya perubahan struktur organisasi BKKBN, berkurangannya pendanaan diikuti dengan menurunnya jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) secara signifikan menyebabkan program promosi KB di masyarakat menurun drastis Sumber: BPS, SDKI Gambar 5.6 Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun Prevalensi pemakaian kontrasepsi (CPR-contraceptive prevalence rate) merupakan indikator dalam mengukur akses pelayanan KB. Target nasional CPR untuk tahun 2014 adalah 65,5 persen (RPJMN ), sementara MDGs menargetkan meningkatnya CPR tanpa target angka. Namun dari data SDKI ada peningkatan CPR yang dihitung dengan menggunakan cara modern yaitu dari 57,4 persen (2007) menjadi 57,9 persen (2012) dan meningkat menjadi 60,18 persen (Susenas, 2014, triwulan 1). Adanya perubahan metode sampel dari ever married dan currently married pada SDKI sebelumnya menjadi semua perempuan dan perempuan yang sedang menikah (all women and currently married) pada SDKI 2012 menyebabkan denominatornya lebih besar, sehingga angka CPR menjadi lebih kecil. Sebaliknya bila menggunakan denominator yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya diperkirakan CPR akan lebih besar. Gambar 5.7 Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) modern pada wanita kawin usia tahun di Indonesia.

77 37 Kunjungan Ante Natal 1 dan 4 (K1 dan K4) Berdasarkan data SDKI Tahun 2012, kunjungan KI Sudah mencapai persentase yang sangat tinggi, yaitu 96,9 persen sedangkan kunjungan K4 masih mencapai 73,5 persen. saat ini, persentase kunjungan KI mencapai 93,75 persen dan kunjungan K4 mencapai 84,72 persen pada tahun 2014 berdasarkan data dari Kementerian Kesahatan. Pada tahun 2014 tersebut mengalami penurunan dari tahun 2013 persentase kunjungan KI tahun 2013 mencapai 98,21 persentase sedangkan kunjungan K4 mencapai 89,03 persen Menurut data SDKI, angka K4 menunjukkan peningkatan antara tahun 2003 dan 2012, terutama antara tahun 2007 dan Namun demikian masih seperempat dari wanita hamil tidak mendapatkan pelayanan ANC yang seharusnya (lengkap) sehingga mungkin sebagian komplikasi kehamilan tidak terdeteksi (misalnya pre-eklampsi dan kelainan letak), sehingga terlambat mendapatkan pertolongan yang mencukupi. Salah satu penyebab tidak naiknya K4 lebih tinggi adalah karena banyak bidan yang tidak tinggal di desa sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan bidan kurang optimal. Selain itu, pencapaian K4 saja perannya tidak akan optimal bila komponen pelayanan yang penting dalam kunjungan antenatal tersebut tidak diberikan. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa pada saat antenatal, hanya 53 persen ibu yang memperoleh informasi mengenai tanda-tanda kompliksi kehamilan, hanya 47,7 persen yg diperiksa urinnya, dan 41 persen yang diperiksa darahnya (untuk menentukan apakah ibu mengalami anemia). Hal ini seharusnya sangat penting dilakukan karena perdarahan dan eklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu. Perdarahan kebidanan sangat terkait dengan status anemia ibu hamil, sementara prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia tinggi. Gambar 5.8 Kunjungan K1 dan K4 antara tahun (SDKI 2012, Kemenkes 2014* ) Unmet need KB Unmet need adalah permintaan terhadap kontrasepsi yang tidak terpenuhi, yang bisa disebabkan oleh pelayanan yang tidak optimal maupun karena kendala anggaran. Telah terjadi penurunan unmet need, dari tahun ke tahun sehingga saat ini telah memenuhi target MDG 5B, walaupun angka unmet need ini masih tinggi. Untuk bisa mencapai universal coverage angka unmet need seharusnya nol. Masih tingginya unmet need KB, mengindikasikan bahwa masih cukup banyak perempuan yang kebutuhannya terhadap KB tidak terpenuhi, baik karena alasan mengatur jarak kehamilan (spacing) ataupun pembatasan kehamilan (gambar 5.9).

78 38 Gambar 5.9 Tren Unmet need (persen) di Indonesia tahun (SDKI) Disparitas Unmet need KB Walaupun telah terjadi penurunan unmeet need secara maksimal namun masih terjadi disparitas proporsi unmet need antar provinsi yang masih cukup besar, antara lain di Kalimantan Tengah dan di Provinsi Papua, dimana unmet need di propinsi tertinggi mencapai hampir 3 kali lipat di banding unmet di propinsi yang terendah. Seperti yang dilaporkan pada laporan MDGs tahun 2013 rata-rata unmet need 11,4 persen pada tahun 2012 dan dua pertiga provinsi di Indonesia mempunya unmet need lebih besar dari 10 persen. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 5.10 Unmet need metode KB berdasarkan provinsi tahun 2012

79 39 Unmet need semakin meningkat dengan jumlah anak yang hidup pada kondisi geografis, sosio ekonomi tertentu. Kebutuhan masyarakat akan kontrasepsi, yaitu dari kelompok yang ingin menjaga jarak kelahiran untuk membatasi jumlah kelahiran (limiting) berdasarkan umur, dimana alasan pen-jarak-an kehamilan lebih tinggi pada pasangan yang berusia muda, sedangkan pada kelompok pasangan yang berusia lebih tua alasan pembatasan kehamilan lebih dominan. Alasan pembatasan kehamilan juga lebih besar pada mereka yang telah mempunyai anak 3 orang atau lebih, pada mereka yang tinggal di perkotaan dan pada mereka yang mempunyai pendidikan rendah. Sumber: BPS, SDKI 2012 Gambar 5.11 Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik (SDKI, 2012) Mereka yang telah mempunyai 2 anak, kebanyakan tidak menginginkan penambahan jumlah anak lagi (limiting). Pemenuhan kebutuhan kontrasepsi pada kelompok ini perlu mendapat perhatian yang serius. Pada kelompok miskin dan ibu yang tidak pernah bersekolah, keinginan untuk tidak mempunyai anak lagi juga cukup tinggi, pada saat yang sama unmet need pada kelompok ini juga cukup tinggi. Pada kelompok masyarakat yang kaya umumnya tidak mempermasalahkan pembatasan kehamilan dan kelahiran.

80 40 UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk percepatan pencapaian MDGs antara lain melalui penjaminan kompetensi Bidan di desa yang diikuti dengan penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar yang ditetapkan Kemenkes RI. Kemudian Penjaminan seluruh RS Kab./Kota mampu PONEK 24/7 serta penjaminan terlaksananya rujukan efektif dan penjaminan dukungan PEMDA dengan menerbitkan regulasi yg diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program secara efektif. Selain dukungan dari pemerintah perlu juga dilakuan peningkatan kemitraan dengan pihak swasta melalui : a) Peningkatan koordinasi dengan fasilitas pelayanan kebidanan swasta (klinik, Rumah Sakit, Rumah Bersalin). b) Peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kesehatan dan obat. c) Peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal untuk masyarakat miskin. d) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal. e) Peningkatan promosi dan penggunaan metoda KB jangka panjang oleh tenaga dan fasilitas kesehatan swasta. f) Peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kontrasepsi, peningkatan pelayanan KB dan Kespro di tempat kerja, dan g) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan KB. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat serat meningkatkan strategi KIE yang berkesinambungan dan tepat sasaran yang terintegrasi dengan pesan cegah 4 Terlalu dan pentingnya kehidupan 1000 hari pertama kehidupan dengan (i) Pemberdayaan secara berjenjang: tenaga kesehatan di berbagai tingkat pelayanan kesehatan, dan tenaga non-kesehatan (guru, TOMA, TOGA, LSM, dll); dan (ii) Pemanfaatan berbagai pendekatan, termasuk media massa. Fokus Area Strategi KIE, yaitu (i) Konsep kesehatan reproduksi, dan penitngnya 2 anak cukup yang dihubungkan dengan pencegahan 4 terlalu; (ii) informed choice tentang KB dan pengambilan keputusan berkb; (iii) Genre dan penyiapan kehidupan berkeluarga; (iv) Pentingnya pematangan usia perkawinan pertama; (v) Kelebihan dan kekurangan berbagai metoda KB utama, metoda jangka pendek dan panjang; dan (vi) Akibat diskontinu penggunaan metoda KB. Selain itu juga harus dilakukan sinkronisasi program dan anggaran pusat dan daerah. Perlunya peningkatan kapasitas dan kompetensi provider pelayanan KB dan petugas lapangan KB serta penguatan koordinasi dalam perancanaan terpadu untuk menentukan dana operasional bagi upaya penyuluhan dan pelaksanaan program KB serta rekrutmen untuk menambah jumlah PLKB. Selain itu, dalam upaya memperkuat koordinansi Dinkes dengan RS pemerintah dan swasta, serta koordinasi di tingkat Pusat dengan Kemendikbud tentang pendidikan Kespro melalui program formal (kurikulum) atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll. Serta koordinasi tingkat Pusat dengan Kemenag tentang: 1) pendidikan Kespro melalui program formal (kurikulum) di madrasah dan pesantren atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll; 2) calon pengantin Upaya yang telah dilakukan juga melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan: a) Pengembangan strategi peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui: pengembangan materi, pendekatan/metoda penyampaian, prioritas target. b) Peningkatan ketersediaan informasi dan pelayanan Kespro untuk remaja melalui kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan: Puskesmas, Sekolah, perkumpulan remaja, dll. Penguatan sistem Informasi, Monitoring dan Evaluasi: a) Antar jenjang sektor kesehatan. b) Antar program di sektor kesehatan. c) Antar sektor (RS pemerintah, Dinkes, Swasta, BKKBN, dll.).

81 TUJUAN 6 MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Sumber: TEMPO

82

83 41 TUJUAN 6 MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA TARGET 6A TARGET 6B MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU HIV DAN AIDS HINGGA TAHUN 2015 MEWUJUDKAN AKSES TERHADAP PENGOBATAN HIV DAN AIDS BAGI SEMUA YANG MEMBUTUHKAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun 2015 Prevalensi HIV dan AIDS (persen) 6.1-0,46% Menurun Kemenkes dari total populasi 6.2 Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir 6.3 Proporsi jumlah penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS 12,80% (2002/03) 43,52% (2013) Meningkat - 21,25% (2012) Meningkat Kemenkes, Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kemenkes, Rapid Survey 2012 Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti-retroviral Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN - 96,01% (2014) Meningkat Kemenkes RI Untuk mengetahui prevalensi HIV di Indonesia dilakukaan perhitungan dengan pemodelan matematika. Dari hasil perhitungan tersebut diperkirakan Indonesia memiliki prevalensi HIV sebesar 0,46 persen pada tahun Sementara itu, jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan tahun 2014 yang terlaporkan berjumlah kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yang dilaporkan tahun 2014 adalah dari Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus kasus, selanjutnya adalah Provinsi Jawa Timur kasus, Provinsi Papua kasus (Gambar 6.1). Sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang terlaporkan sampai dengan tahun 2014 adalah kasus, jumlah kasus tertinggi adalah dari Provinsi Jawa Timur sebanyak kasus, urutan kedua dan ketiga adalah Provinsi Papua kasus dan Provinsi DKI Jakarta kasus (Gambar 6.2).

84 42 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.1 Jumlah kumulatif HIV sampai dengan Desember 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.2 Jumlah kumulatif AIDS sampai dengan Desember Berdasarkan Gambar 6.3 angka kumulatif kasus per penduduk (AIDS case rate) dibandingkan dengan jumlah kumulatif kasus AIDS menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur dengan jumlah kasus AIDS tertinggi ternyata AIDS case rate nya lebih rendah dibandingkan 7 provinsi lainnya. Sebaliknya Provinsi Papua dengan jumlah penduduk yang lebih kecil tetapi kasus AIDS yang ditemukan hanya selisih 506 lebih sedikit dibandingkan Provinsi Jawa Timur. Keadaan ini membuat AIDS case rate di Provinsi Papua lebih tinggi dari Provinsi lainnya. Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.3 AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan Desember 2014

85 43 Untuk mengendalikan laju penularan kasus HIV dan AIDS, dilakukan berbagai upaya preventive diantaranya adalah penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS, akan tetapi upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil dari Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2013 menunjukkan penggunaan kondom pada populasi berisiko baru mencapai angka 43,52 persen. Upaya lain yang juga dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit HIV dan AIDS adalah dengan meningkatkan pengetahuan penduduk melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Berdasarkan rapid survey pada tahun 2014 triwulan ke-3 tentang tingkat pengetahuan masyarakat pada usia tahun mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen (Gambar 6.5). Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.4 Penggunaan kondom pada populasi berisiko Tahun 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.5 Persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS Tahun 2014 Sebagai tindak lanjut pada penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut dilakukan upaya pemberian obat antiretroviral (ARV). Proporsi penduduk yang terinfeksi HIV lanjut yang tercakup dalam Antiretroviral Therapy (ART) pada tahun 2011 adalah 84,10 persen ( ODHA) dan meningkat menjadi 88 persen pada tahun 2012 ( ODHA), 93 persen pada tahun 2013 ( ODHA). Kemudian meningkat kembali pada tahun 2014 menjadi menjadi 96 persen ( ODHA) (Gambar 6.6)

86 44 Gambar 6.6 Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS bagi Semua yang Membutuhkan UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan data persentase penduduk usia tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan remaja tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah dan megakibatkan kelompok umur remaja tersebut sangat rentan terhadap penularan HIV dan AIDS. Untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran serta untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS maka dilakukan upaya khusus secara terus menerus yang difokuskan pada kelompok usia remaja terutama untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit HIV dan AIDS dan salah satunya adalah melalui kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT). Kampanye ini merupakan strategi untuk menyampaikan dan mensosialisasikan perilaku seksual yang berisiko yang harus dihindari sebelum adanya komitmen pernikahan dan penyadaran tentang tata cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Kampanye ini akan dilakukan diseluruh Provinsi di Indonesia dengan harapan agar pemerintah, dunia usaha, dan seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda dapat lebih mengenal serta melindungi diri dan orang lain dari risiko penularan penyakit HIV dan AIDS. Upaya lain yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan terpadu atau komprehensif HIV dan AIDS. Sejak tahun 2010 sampai 2014 pelayanan HIV telah diperluas ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota prioritas. Sampai Desember 2014, ada layanan konseling dan testing (KT), 465 layanan perawatan dan dukungan pengobatan (PDP), 214 Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), Infeksi Menular Seksual (IMS) dan 90 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Pada tahun 2014 telah dilakukan peningkatan jumlah Puskesmas yang mampu melaksanakan inisiasi pemberian ARV. Perluasan tes dan pengobatan layanan HIV-TB terintegrasi serta integrasi layanan PPIA dan layanan Kesehatan Ibu dan Anak. Sehingga terjadi peningkatan jumlah ibu hamil usia 15 tahun keatas yang tes dan menerima hasilnya dalam 12 bulan terakhir, yaitu ibu hamil dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah ibu hamil. Penerbitan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS telah diterbitkan sebagai upaya untuk menguatkan penanggulangan HIV dan AIDS. Sampai awal tahun 2011, telah terbit 10 Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi; 1 Peraturan Gubernur, dan 13 Perda Kabupaten/Kota tekait penanggulangan HIV/AIDS dan jumlah peraturan daerah ini akan meningkat seiring dengan perjalanan waktu dengan upaya advokasi.

87 45 Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV) Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan desentralisasi obat ARV sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan obat ARV yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat serta didukung oleh kualitas pelaporan yang baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, Dinas Kesehatan Provinsi bertanggung jawab terhadap manajemen pelaporan rumah sakit dan distribusi obat ARV di daerahnya. Desentralisasi obat ARV ini dimulai pada tahun 2000 di lima provinsi yaitu: Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua, dan sampai tahun 2014 sudah terdapat 24 Provinsi yang telah melaksanakan desentralisasi obat ARV. Pada tahun 2014 juga dikembangkan desentralisasi sampai daerah Kabupaten/ Kota. Kabupaten/Kota yang telah melakukan disentralisasi obat ARV pada tahun 2014 adalah Kepuluan Riau (Batam, Tanjung Pinang, Bintan, Kep. Anambas, Kep. Natuna, Kep. Karimun), Bali (Denpasar, Gianyar, Buleleng, Tabanan, Jembrana, Badung), Papua (Nabire, Jayapura, Wamena).

88 46 TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun Angka kejadian dan tingkat kematian akibat malaria 6.6a Angka kejadian malaria (per 1,000 penduduk) 4,68 (1990) 0,99 (2014) Menurun Kementerian Kesehatan (2015) 6.7 Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida 16.5 % (2010) 34.8% (2013) Meningkat Kemenkes, Riskesdas 2013 Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Upaya menurunkan angka kejadian malaria berdasarkan annual parasite incidende (API) menununjukan kecenderungan yang positif, hal ini dapat dilihat dari penurunan kasus malaria sejak tahun 1990 (API 4,68/1000 penduduk) menurun menjadi 1,38/1000 penduduk pada tahun 2013 dan telah mencapai target RPJMN pada tahun 2014 dengan API di bawah 1 (Gambar 6.7). Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.7 Annual Parasite Incidende (API) Malaria di Indonesia Tahun Penurunan kasus ini didukung dengan semakin baiknya sistem surveilans di daerah sehingga semakin mudah mendeteksi keberadaan kasus di masing-masing daerah terutama di daerah endemis tinggi seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (Gambar 6.8)

89 47 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.8 Annual Parasite Incidende (API) Malaria Per Provinsi di Indonesia dan Peta Endemisitas Tahun 2014 Pencapaian program malaria di Indonesia pada tahun 2014 juga terlihat dari meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang menerima sertifikat eliminasi malaria, tahun 2014 sebanyak 213 kabupaten/kota telah menerima sertifikat eliminasi malaria dan dalam tahap pemeliharaan/ bebas penularan malaria. Tahun 2015 ditargetkan sebanyak 225 Kabupaten/kota menerima sertifikat eliminasi malaria, bertambah 12 Kabupaten/ Kota dari tahun 2014 dan saat ini sudah 16 Kabupaten/Kota yang dinyatakan memenuhi persyaratan mendapat sertifikat eliminasi. Kabupaten/kota dalam tahap pre-eliminasi (endemis rendah) meningkat dari 124 menjadi 144 kab/kota. Total kabupaten/kota dengan API < 1 per 1000 penduduk meningkat dari 337 (67%) menjadi 368 kabupaten/kota (73%). Kabupaten/kota dalam tahapan intensifikasi fokus (endemis sedang) menurun dari 112 (22%) menjadi 84 kabupaten/kota (16%). (Gambar 6.9) Gambar 6.9 Perkembangan endemisitas per Kabupaten/Kota pada tahun Indikator penting untuk tatalaksana kasus malaria adalah persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standard, angka ini digunakan untuk melihat kualitas pengobatan kasus malaria apakah sesuai standar nasional atau tidak. Pengobatan hanya diberikan kepada penderita dengan hasil pemeriksaan positif, cakupan penderita malaria yang diobati sesuai standar (ACT) mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2013 sebesar 84% menjadi 86% pada tahun 2015 (Gambar 6.10) Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.10 Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria tahun

90 48 Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Sebagai upaya mengurangi angka kejadian malaria khususnya di daerah endemis tinggi, upaya pencegahan malaria adalah untuk mengurangi penularan malaria melalui perlindungan kepada kelompok usia rentan seperti ibu hamil, bayi dan anak-anak usia balita dari gigitan nyamuk penular malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 proporsi anak yang tidur dengan kelambu berinsektisida sebesar 34,80 persen meningkat dibandingkan data Riskesdas tahun 2010 Sebesar 16,5%. Proporsi penggunaan kelambu bervariasi pada setiap provinsi yaitu tertinggi di provinsi sulawesi barat sebesar 82.8% dan terendah di provinsi bali sebesar 2,5%, rendahnya proporsi penggunaan kelambu pada beberapa provinsi karena distribusi kelambu yang rendah sebab status endemisitasnya yang sudah baik (gambar 6.11). Peningkatan proporsi anak yang tidur dengan kelambu juga terlihat dari survai KAP di wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada tahun 2012 sebesar 48,2% meningkat menjadi 80,6% pada tahun 2014 (Kemenkes, 2015) Sumber: Riskesdas, 2013 Gambar 6.11 Proporsi Penggunaan Kelambu Per Provinsi Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Kelambu dibagikan kepada penduduk yang tinggal di daerah endemis tinggi malaria (API > 5 per 1000) setiap keluarga mendapatkan 2 buah kelambu. Sedangkan di daerah endemis sedang (API 1-5 per 1000) kelambu dibagikan hanya kepada kelompok risiko tinggi yaitu ibu hamil dan bayi. Total nasional sejak tahun sebanyak 7,6 juta kelambu telah didistribusikan untuk seluruh Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia sebenyak 2.4 Juta, diantaranya untuk ibu hamil dan balita 3.9 Juta. Distribusi kelambu total nasional tahun 2014 sekitar 6,3 juta dan diantaranya untuk Kawasan Timur Indonesia (5 provinsi sebanya 3,5 juta). UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/Menkes/SK/IV tanggal 28 April 2009 tentang eliminasi Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada tahun 2030 ada delapan strategi yaitu: 1) Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat; 2) Memberdayakan dan menggerakkan masyarakat; 3) Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang berisiko; 4) Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada Pemerintah dan Pemerintah daerah; 5) Menggalang kemitraan dan sumber daya lokal, nasional maupun internasional; 6) Menyelenggarakan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta informasi kesehatan; 7) Melakukan upaya eliminasi melalui forum kemitraan Gebrak Malaria; dan 8) meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan teknologi dalam upaya eliminasi malaria. Penyakit malaria banyak terjadi di daerah terpencil (remote) dan pedesaan (rural),hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai faktor risiko yang lebih besar dibandingkan daerah perkotaan,dikarenakan :

91 49 1. Tempat perindukan (breeding places) nyamuk anopheles banyak terdapat di pedesaan dan terpencil baik perindukan alami maupun akibat secara tidak sengaja dibuat oleh manusia misalnya laguna,tambak terlantar dan galian pasir. 2. Perilaku yang berisiko, mereka yang sering berada diluar rumah pada malam hari dengan tidak menggunakan pakaian atau bahan pelindung dari gigitan nyamuk. 3. Infrastruktur yang belum baik misalnyanya penyediaan air bersih yang belum sampai ke rumah tangga sehingga banyak masyarakat mandi dan mengambil air pada malam hari di sumber mata air. Penyakit malaria bersifat sangat local specific sehingga antara satu daerah dengan yang lainnya terjadi perbedaan baik menurut kelompok umur, jenis kelamin penderita maupun jenis pekerjaan penderita. Strategi Akselerasi Pengendalian Malaria di KTI 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif melalui MBS (mass blood survey). 2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal. 3. Penyemprotan Dinding Rumah (IRS) di desa dengan API> Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). 5. Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya. 6. Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria). Strategi Khusus Strategi khusus berdasarkan peta epidemiologis endemisitas malaria : AKSELERASI Pengendalian Malaria pada daerah dengan endemisitas tinggi(papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku dan NTT), dengan cakupan seluruh wilayah (Universal Coverage) dengan endemisitas tinggi. 1. Penemuan secara aktif melalui MBS (Mass Blood Survey). 2. Kampanye kelambu berinsektisida secara massal, pada tahun 2014 dibagikan sebanyak 3,5 juta kelambu di 54 Kabupaten di Kawasan Timur Indonesia (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT) (Gambar 6.12) 3. Penyemprotan dinding rumah (Indoor Residual Spraying) di desa dengan API > 40. INTENSIFIKASI Pengendalian Malaria di daerah FOKUS (tambang, pertanian, kehutanan, transmigrasi, pengungsian, dll.) bagi wilayah di luar KTI (Kawasan Timur Indonesia). ELIMINASI Malaria pada daerah dengan endemisitas rendah. 1. Penguatan surveilans migrasi. 2. Pengamatan daerah reseptif.

92 50 Foto 6.1 Kegiatan Pekan Kelambu Masal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2014

93 51 TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 Angka kejadian, prevalensi dan tingkat 6.9 kematian akibat Tuberkulosis 6.9a 6.9b 6.9c a 6.10b Angka kejadian Tuberkulosis(semua kasus/ penduduk/tahun) Tingkat prevalensi Tuberkulosis(per penduduk) Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per penduduk) Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS 343 (1990) 443 (1990) 92 (1990) 20,0% (2000) 87,0% (2000) 272 (2013) 25 (2013) 70 % ( 2014)* 89.7% (TW 3, 2014)* 183 (2013) Dihentikan, mulai berkurang 70,0% 85,0% Sumber Global TB Report, WHO, 2014 Global TB Report, WHO * Kemenkes Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Program pengendalian Tuberkolusis dari tahun ke tahun menunjukan hasil yang positif, hal ini terlihat dari peningkatan indikator penemuan kasus/case detection rate (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan / Succes rate (SR). Angka CDR pada tahun 2003 hanya 37,6 persen meningkat menjadi 70 persen pada tahun Lama pengobatan TB memerlukan waktu sekitar 6-8 bulan, sehingga untuk menilai angka keberhasilan pengobatan atau SR diperlukan waktu untuk evaluasi sekitar 9-12 bulan, sehingga pasien yang berobat pada tahun 2011 baru dapat dilaporkan pada tahun Angka SR pada tahun 2014 triwulan-3 mencapai 89,7 persen. Indikator SR merupakan salah satu target dari MDGs yang saat ini sudah melampaui target MDGs yaitu 85 persen, dengan demikian Indonesia adalah Negara pertama dari 22 High Burden TB Countries di Wilayah Asia Tenggara yang mencapai target global SR yaitu 85 persen pada tahun % 80% 60% % 89.7% Target SR : 85% Target CDR : 75% 40% 20% 0% % 70.0% CDR SR Gambar 6.12 Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR) Sumber: Kementerian Kesehatan 2014

94 52 Keberhasilan dalam mengendalikan laju penyakit TB juga dapat dilihat dari penurunan angka kejadian TB, yaitu angka insidensi, prevalensi (gambar 6.13) dan angka mortalitas yang diukur berdasarkan jumlah kasus per penduduk per tahun. Angka insidensi dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dari 204 kasus pada tahun 2000 menjadi 183 kasus pada tahun Penurunan angka insidensi diikuti juga dengan penurunan angka mortalitas akibat TB. Kematian akibat TB 71 kasus pada tahun 2000 turun menjadi 25 kematian pada tahun Prevalens Insidens Mortalitas Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Gambar 6.13 Beban TB dalam rate (per penduduk) tahun UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN TUJUAN Upaya yang telah dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit TB paru diantaranya dengan meningkatkan penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang telah ditemukan. Cara tersebut diwujudkan melalui terebosan-terobosan, antara lain: (1) Memasukkan strategi DOTS dalam akreditasi Rumash Sakit dan pelaksanaan Surat Tanda Registrasi (STR) atau surat Ijin Praktek (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai unsur penilaian, untuk 33 Provinsi; (2) Inisiasi penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT) dalam pemeriksaan TB dengan implementasi metode Line Prob Assay (LPA)/HAIN test di laboratorium mikrobilogi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Dr, Soetomo serta RS Labuan Baji Makasar; (3) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium sebagai National Tuberculosis Referral Laboratory (NTRL); (4) Pengajuan pra kualifikasi obat TB ke WHO; (5) Inisiasi penerapan tes tuberkulin untuk mendukung tes TB pada anak-anak di 33 Propinsi; (6) Penggunaan 17 Gene Expert sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di RS Adam Malik, Laboratorium Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS Moewardi Solo, RS Karjadi, serta Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS Labuan Baji, BBLK Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab. NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (7) Kerjasama dengan asuransi kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB berbasis asuransi bagi pasien TB yang ditangani serta pengembangan skema pembiayaan berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3 BUMN; (8) Pelaksanaan survei nasional prevalensi TB di 33 Provinsi; (9) Perluasan pelayanan pasien TB resisten obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap; (10) Penyusunan exit strategy program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap donor. Selain terobosan-terobosan diatas, ditetapakan juga strategi nasional pengendalian TB yang merupakan upaya untuk mencapai tujuan dengan penjabaran strategi kedalam rencana aksi nasional: Pertama, meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani MDR-TB, TB anak dan masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. Ketiga, Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard Of TB Care. Keempat, memberdayakan masyarakat

95 53 dan pasien TB.Kelima, memperkuat sistem kesehatan, termasuk sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis. PENYAKIT TIDAK MENULAR DAN CEDERA KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Akibat perubahan perilaku dan gaya hidup manusia maka terjadi perubahan pola dan kecenderungan penyakit. Telah terjadi transisi epidemiologi penyakit dari yang tadinya didominasi penyakit menular, disusul dengan penyakit tidak menular, penyakit akibat kecelakaan dan cedera yang akan menjadi tantangan pembangunan kesehatan di masa yang akan datang. Saat ini penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59.5 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka ini meningkat dari sebelumnya 41.7 persen tahun 1995 dan 49.9persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001). Sampai saat ini data terbaru tentang kematian akibat PTM terakhir adalah Riskesdas Kematian Akibat PTM No GOALS-TARGET-INDIKATOR ACUAN DASAR TARGET Persentase kematian akibat stroke 15.4% (Riskesdas 2007) 2. Persentase kematian akibat hipertensi 6.8% (Riskesdas 2007) Persentase kematian akibat penyakit iskemik Persentase kematian akibat penyakit jantung Persentase kematian akibat diabetes melitus 5.1% (Riskesdas 2007) 4.6% (Riskesdas 2007) 5.7% (Riskesdas 2007) 6. Persentase kematian akibat tumor ganas 5.7% (Riskesdas 2007) 25% penurunan relatif semua kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan kronis 7. Persentase kematian akibat cedera 6.5% (Riskesdas 2007) 8. Persentase kematian akibat penyakit saluran nafas bawah 5.1% (Riskesdas 2007)

96 54 Prevalensi PTM No GOALS-TARGET-INDIKATOR ACUAN DASAR CAPAIAN TARGET Prevalensi stroke penduduk usia Prevalensi hipertensi penduduk usia 15+ Prevalensi penyakit jantung penduduk usia 15+ Prevalensi penyakit sendi penduduk usia Prevalensi asma penduduk usia Prevalensi Diabetes Mellitus penduduk usia 15+ Prevalensi tumor/kanker penduduk usia Prevalensi cedera penduduk usia 15+ Keadaan dan Kecenderungan 8,3 per 1000 (Riskesdas 2007) 31,7% (Riskesdas 2007) 7,2% (Riskesdas 2007) 30,3% (Riskesdas 2007) 3,5% (Riskesdas 2007) 1,1% (Riskesdas 2007) 4,3 per 1000 (Riskesdas 2007) 7,5% (Riskesdas 2007) Riskesdas ,1 % / 1000 Riskesdas , 8 % Riskesdas ,5 % (PJK) 0,3 % (Gagal Jantung) Riskesdas ,7 % (Rematik) Riskesdas ,5% (Semua Umur) Riskesdas ,1 % Riskesdas ,4 % / 1000 Riskesdas ,2 % (Semua Umur) 10% penuruan relatif prevalensi PTM Prevalensi PTM di Indonesia relatif tinggi. Prevalensi stroke sebesa 8,3 per 1000 penduduk, prevalensi hipertensi 31,7 persen, penyakit jantung 7,2 persen, penyakit sendi 30,3 persen, asma 3,5 persen, DM 1,1 persen, tumor/kanker 4,3 per 1000, dan cedera 7,5 persen. Prevalensi stroke Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.14 Kecenderungan Prevalensi Stroke per 1000*) menurut Provinsi Terdapat 12 provinsi memiliki prevalensi stroke lebih tinggi dari prevalensi nasional (8.3 per 1000 penduduk). Prevalensi stroke tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 17,9 per 1000 penduduk, disusul Provinsi DIY 16,9 per 1000 penduduk, dan Provinsi Sulawesi Tengah 16,6 per 1000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah di Provinsi Riau sebesar 5,2 per 1000 penduduk. Sampai saat ini data terbaru mengenai prevalensi stroke dan penyakit PTM lainnya bersumber dari Riskesdas 2013.

97 55 Prevalensi Hipertensi Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.15 Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2013 Berdasarkan gambar 6.14 terdapat penurunan prevalensi hipertensi nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 31,7% turun menjadi 25,8% pada tahun Hal ini menunjukan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit Jantung Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.16 Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2013 Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi penyakit jantung lebih tinggi dari prevalensi nasional (0,3 persen). Prevalensi penyakit jantung tertinggi di provinsi NTT sebesar 0,8 persen, disusul Sulawesi Tengah 0,7 persen, dan Sulawesi Selatan 0,5 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Provinsi Jambi sebesar 0,1 persen. Prevalensi Penyakit Sendi Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.17 Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2013

98 56 Berdasarkan gambar 6.16 terdapat penurunan prevalensi penyakit sendi nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 30,3% turun menjadi 24,7% pada tahun Terdapat 10 provinsi memiliki prevalensi penyakit sendi lebih tinggi dari prevalensi nasional (24,7 persen). Prevalensi penyakit sendi tertinggi di provinsi NTT sebesar 33,1 persen, disusul Jawa Barat 32,1 persen, dan Bali 30,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Riau sebesar 10,8 persen. Prevalensi Asma Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.18 Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2013 Terdapat 18 provinsi memiliki prevalensi penyakit asma lebih tinggi dari prevalensi nasional (4,5 persen). Prevalensi penyakit asma tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 7,8 persen, disusul NTT 7,3 persen, dan DIY 6,9 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 1,6 persen. Prevalensi DM Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.19 Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2013 Berdasarkan gambar 6.18 terdapat peningkatan prevalensi penyakit DM nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 1,1% meningkat menjadi 2,1% pada tahun Terdapat 14 provinsi memiliki prevalensi DM lebih tinggi dari prevalensi nasional (2,1 persen). Prevalensi DM tertinggi di provinsi Sulawesi Tengah sebesar 3,7 persen, disusul Sulewesi Utara 3,6 persen, dan Sulawesi Selatan 3,4 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 0,8 persen.

99 57 Prevalensi Tumor/Kanker Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.20 Prevalensi tumor/ kanker menurut provinsi tahun 2013 Terdapat 13 provinsi memiliki prevalensi tumor/kanker lebih tinggi dari prevalensi nasional (1,4 persen). Prevalensi penyakit tumor/kanker tertinggi di Provinsi DIY sebesar 4,1 persen, disusul Jawa Tengah 2,1 persen, dan Bali 2,0 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Gorontalo sebesar 0,2 persen. Prevalensi Cedera Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013 Gambar 6.21 Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2013 Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi cedera lebih tinggi dari prevalensi nasional (8,2 persen). Prevalensi cedera tertinggi di provinsi Sulawesi Selatan sebesar 12,8 persen, disusul DIY 12,4 persen, dan NTT 12,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Jambi sebesar 4,5 persen. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PTM dilakukan dengan advokasi untuk mendapat dukungan dan komitmen politis serta upaya promosi gaya hidup sehat, yaitu tidak merokok, diet sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi konsumsi alkohol. Upaya lain dengan deteksi dini faktor risiko dan PTM melalui kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut meliputi obesitas umum dan obesitas sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol darah, kapasitas paru, amfetemin urin, Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination untuk kanker payudara. Program lain adalah dengan meningkatkan akses pengobatan dan penyiapan peralatan diagnosis dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan untuk pasien PTM stadium akhir dilakukan pelayanan paliatif dan rehabilitatif di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan.

100 58

101 TUJUAN 7 MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sumber: Pemerintah Provinsi Bengkulu

102

103 59 TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP TARGET 7A MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan a 7.2b Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) Jumlah konsumsi energi primer (BOE per kapita) Intensitas energi (BOE per 1000 USD) 59,97% (1990) 1,377,983 Gg CO 2 (2000)* Gg CO2 (2000)** 2,64 BOE (1991) 5,28 BOE/ USD (1990) 66,00% (2013)* Meningkat 1,791,372 Gg CO 2 e (2005)** Gg CO 2 e (2005)*** Gg CO 2 e (2008)*** 3,46 (2012) 1,00 BOE/USD (2012) Berkurang 26% pada tahun 2015 Berkurang dari kondisi BAU 6,99 Menurun 7.2c Elastisitas energi 0,98 (1991) 1.6 (2010) Menurun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 7.2d Bauran energi untuk energi terbarukan 3,5% (2000) 6,00% (2012) Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton 8.332,7 metrik ton BPO (1992) 0 CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida 6, metrik ton HCFC (2010) 0 CFCs sementara HCFCs menurun Kementerian Lingkungan Hidup 7.4 Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman 66,08% (1998) 93,54% (2013) Tidak terlampaui Kementerian Kelautan & Perikanan

104 Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 26,40% (1990) 0,14% (1990) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 42,00% (2014) Meningkat 5,1% (2014)* Meningkat Catatan: *Hasil penafsiran citra LDCM/Landsat 8 OLI Liputan Tahun 2013 (KLHK) **Jumlah emisi karbon dioksida yang mencakup semua unsur GRK ***Jumlah emisi karbon dioksida yang bersumber hanya dari kegiatan energi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) *Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (sebagian diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan) Kementerian Kelautan & Perikanan TUJUAN DAN TARGET MDGs Keberadaan hutan di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait. Keberadaan hutan ini sangat penting sebagai penyangga kehidupan manusia dan bumi yang perlu dilindungi, dikonservasi, dimanfaatkan dan direboisasi untuk generasi sekarang dan yang akan datang. 1 Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka meningkatkan proporsi kawasan daratan yang tertutup hutan (Indikator 7.1) serta meningkatkan luas kawasan lindung (Indikator 7.5) dan kawasan lindung perairan (Indikator 7.6) menjadi hal yang penting yang perlu dipantau dalam rangka upaya pencapaian target MDGs, Goal 7a. Target MDGs 2015 untuk ketiga indikator ini sifatnya kualitatif, yaitu bahwa proporsi kawasan daratan yang tertutup hutan dan kawasan lindung perairan seharusnya adalah meningkat. Penurunan emisi karbon dioksida (Indikator 7.2) dan jumlah konsumsi bahan perusak ozon atau BPO (Indikator 7.3) adalah indikator lingkungan lainnya yang juga merupakan salah satu dari target MDGs Goal 7a, dengan target MDGs 2015, untuk emisi karbon dioksida adalah berkurang dengan 26 persen pada tahun 2015, dan untuk jumlah konsumsi BPO adalah menurun untuk HCFC (hydrochorofluorocarbon) dan nol untuk CFS (chlorofuorocarbon). Kegiatan yang antara lain berkaitan dengan meningkatnya emisi karbon dioksida adalah penggunaan energi, terutama energi konvensional yang berasal dari penggunaan batubara, gas alam bahan bakar berbasis minyak, biomasa, briket, elpiji dan listrik. Pengurangan rasio konsumsi energi termasuk dalam target MDGs (Indikator 7.2a sampai 7.2d) yang juga dipantau statusnya, dan targetnya pada tahun 2015 adalah berkurang atau menurun. Indikator lingkungan lainnya adalah proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman (Indikator 7.4), dan target MDGs untuk tahun 2015 adalah tidak terlampaui, dalam arti bahwa tangkapan ikan tidak melampaui batas biologis aman yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 1 Dikutip dari Pidato Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) ke 7, 28 November 2014.

105 61 KEADAAN SAAT INI Rasio Luas Tutupan Hutan (Indikator 7.1) Berdasarkan hasil penafsiran citra LDCM (The Landsat Data Continuity Mission)/Landsat 8 OLI liputan Tahun 2013, luas daratan Indonesia adalah + 187,9 juta hektar. Luas tersebut terdiri dari: (a) Kawasan Hutan seluas 124,02 juta hektar (66%) dan (b) Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan Kawasan Hutan seluas 63,89 juta hektar (34%). Penutupan lahan di Kawasan Hutan Tahun 2013, terdiri dari (a) lahan berhutan seluas 88,34 juta hektar (71,24%) dan (b) lahan tidak berhutan/non hutan seluas 35,67 juta hektar (28,76%). Sedangkan penutupan lahan di Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan Kawasan Hutan Tahun 2013, terdiri dari (a) lahan berhutan seluas 8,16 juta hektar (12,8%) dan (b) lahan tidak berhutan/non hutan seluas 55,73 juta hektar (87,2%). Sehingga penutupan lahan berhutan Indonesia (Kawasan Hutan dan APL) Tahun 2013, terdiri dari: (a) lahan berhutan seluas 96,5 juta hektar (51,3%) dan (b) lahan tidak berhutan seluas 91,4 juta hektar (48,7%). Rasio luas penutupan lahan berhutan Indonesia (Kawasan Hutan dan APL) Tahun 2012 dan Tahun 2013, dihasilkan berdasarkan perbandingan luas tutupan lahan berhutan terhadap luas Kawasan Hutan Tahun 2012 dan luas Kawasan Hutan Tahun 2013 dengan satuan persentase. Hal ini dikarenakan luas Kawasan Hutan bersifat dinamis setiap tahunnya akibat perkembangan hasil paduserasi Kawasan Hutan dengan Tata Ruang. Rasio luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013, ada Provinsi yang mengalami peningkatan dan ada Provinsi yang mengalami penurunan. Provinsi yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan sebesar + 0,2% adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sedangkan Provinsi yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan sebesar + 0,4% adalah Provinsi Kalimantan Barat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.1 Pada rasio luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013 tingkat Pulau, maka pulau yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan adalah Pulau Sumatera (0,1%), Pulau Bali Nusa Tenggara (0,1%) dan Pulau Papua (0,3%). Sedangkan Pulau yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan adalah Pulau Kalimantan (0,5%), Pulau Jawa (0,4%), Pulau Sulawesi (0,4%) dan Pulau Maluku (0,1%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.2 Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2013 Gambar 7.1 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Provinsi.

106 62 Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun Gambar 7.2 Peningkatan/Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau Persentase besarnya peningkatan/penurunan luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013 tingkat Pulau, maka Pulau yang persentase luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan tertinggi adalah Pulau Papua sebesar 0,3%. Sedangkan Pulau yang persentase luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan tertinggi adalah Pulau Kalimantan sebesar 0,5%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.3 Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun (Kementerian KLHK) Gambar 7.3 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau Dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, rasio luas kawasan Hutan Lindung terhadap luas total Kawasan Hutan, perlu dijaga agar stabil. Persentase luas tutupan lahan berhutan pada kawasan Hutan Lindung tiap Provinsi pada Tahun 2012 dan Tahun 2013, ada Provinsi yang mengalami peningkatan, dan ada Provinsi yang mengalami penurunan. Hutan Lindung yang mengalami peningkatan luas tutupan lahan berhutannya adalah Provinsi Kalimantan Timur sebesar 0,1% dan Hutan Lindung yang mengalami penurunan luas tutupan lahan berhutannya adalah Provinsi Riau, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Barat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.4

107 63 Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun (Kementerian KLHK) Gambar 7.4 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan pada Hutan Lindung tiap Provinsi Jumlah Emisi Karbon Dioksida (Indikator 7.2) Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, untuk Laporan MDGs sebelumnya (tahun 2011), angka penurunan emisi karbon dioksida sebesar Gg CO 2 e (2000) dan Gg CO 2 e (2005) merupakan angka total emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2000 dan 2005 dari sektor energi, proses industri, pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, serta limbah, dan memuat gas rumah kaca yang sudah disetarakan dari CO 2, N 2 O dan CH 4 disetarkan menjadi CO 2 ekuivalen (e) (lihat tabel berikut). Indikator 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) Acuan Dasar Gg CO 2 e (2000) Data Terbaru Gg CO 2 e (2005) Gg CO 2 e (2008) Target MDGs 2015 Status Sumber Berkurang Kementerian Lingkungan Hidup Dengan demikian angka Gg CO 2 e (2000) dan Gg CO 2 e (2005) mencakup semua unsur GRK yaitu CO 2, N 2 O dan CH 4. Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) (Indikator 7.2) merupakan satu kesatuan dengan Indikator 7.2a, 7.2b, 7.2c dan 7.2d yang semuanya menyangkut energi. Dengan demikian, emisi CO 2 yang bersumber dari kegiatan energi juga dicantumkan dalam Tabel Induk, karena angka CO 2 sebesar Gg CO 2 (2000), Gg CO 2 (2005) dan Gg CO 2 (2008) merupakan jumlah emisi CO 2 yang bersumber dari kegiatan energi. Dalam laporan ini, untuk menjaga konsistensi dengan laporan tahun-tahun sebelumnya, jumlah emisi karbon dioksida yang mencakup semua unsur GRK tetap dicantumkan. Konsumsi Energi Primer (Indikator 7.2a) Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, informasi yang tersedia untuk konsumsi energi adalah berasal dari tahun Dengan demikian jumlah konsumsi energi primer pada tahun 2012 (data terakhir yang tersedia) adalah 3,46 BOE 2 per kapita., dengan prosentasi kenaikan sebesar 3,46 persen Angka ini tidak berbeda dengan Laporan MDGs tahun Untuk tahun yang sama, intensitas energi adalah 1 BOE per seribu USD, dan bauran energi untuk energi baru dan terbarukan adalah 6 persen. 2 Barrel Oil Equivalent atau Setara Barel Minyak (SBM)

108 64 Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (Indikator 7.3) Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (2013), Chlorofluorocarbon (CFC), halon, carbontetrachloride (CTC), methyl chloroform (TCA) dan methyl bromide (MBr) untuk keperluan fumigasi non karantina dan pra-pengapalan merupakan jenis BPO yang telah dihentikan impornya di Indonesia sejak 1 Januari 2008, atau dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh Protokol Montreal bagi negaranegara Artikel 5 (negara-negara dengan konsumsi BPO kurang dari 0,3 kg/kapita/pertahun). Saat ini BPO yang masih diperkenankan untuk diimpor yaitu jenis hydrochlorofluorocarbon (HCFC) dan methyl bromide (MBr) untuk aplikasi karantina dan pra-pengapalan HCFC merupakan BPO yang saat ini masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang sebagai alternatif pengganti sementara CFC. Disebut sebagai pengganti sementara karena bahan tersebut masih memiliki potensi merusak ozon walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan CFC. Selain itu HCFC juga memiliki nilai potensi pemanasan global yang cukup tinggi, dimana jenis HCFC yang paling umum digunakan memiliki hampir kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO 2 ) dalam meningkatkan pemanasan global. Mempertimbangkan kondisi tersebut, Meeting of Parties Protokol Montreal pada tahun 2007 memutuskan untuk mempercepat jadwal penghapusan BPO jenis HCFC. Sehingga setiap negara pihak mulai menyusun strategi penghapusan HCFC secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Proporsi Tangkapan Ikan (Indikator 7.4) Proporsi penangkapan ikan harus dijaga agar selalu di bawah batas biologis aman. Pada tahun 1998 yang merupakan tahun dasar, proporsi cadangan ikan di dalam batas biologis aman adalah 66,08 persen. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi lestari SDI di perairan laut atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah sebesar 6,52 juta ton/per tahun. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) adalah sebesar 80% dari potensi lestari atau sebesar 5,216 juta ton. Besaran angka potensi lestari SDI yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dimaksud tidak menghitung seluruh jenis komoditas, tetapi hanya untuk sebagian komoditas saja yakni: (1) pelagis besar, (2) tongkol, (3) pelagis kecil, (4) ikan karang konsumsi, (5) udang paraneid, (6) lobster, (7) cumicumi. Untuk jenis sumber daya lainnya, karena sifat biologisnya, nilai ekonomisnya, atau sangat beragamnya jenis sumber daya ikan, maka sumber daya tersebut tidak/belum diestimasi. Apabila melihat produksi tahun 2012, 2013, dan 2014, dapat dijelaskan sebagai berikut: Produksi Perikanan Tangkap * Perikanan Lauit a. Kelompok sumber daya ikan yang diestimasi potensinya (ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, cumicumi) b. Kelompok sumber daya ikan yang tidak/belum diestimasi potensinya (tuna, binatang lunak selain cumi-cumi, kepiting, rajungan, udang lainnya, binatang berkulit keras lainnya, binatang air lainnya, rumput laut) Perairan umum daratan Total *Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

109 65 Tabel berikut memperlihatkan rincian produksi perikanan tangkap untuk tahun (dalam ton) Produksi Perikanan Tangkap * Perikanan Laut Kelompok SDI yang diestimasi potensinya Pelagis Besar Tongkol Pelagis Kecil Demersal Ikan Karang Konsumsi Udang Penaeid Lobster Cumi-cumi Kelompok SDI yang tidak diestimasi potensinya Tuna Binatang lunak selain cumi-cumi Kepiting Rajungan Udong Krosok Udang Lainnya Binatang Berkulit Keras Lainnya Binatang air lainnya Rumput laut Perairan Umum Daratan *Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman, berdasarkan Keputusan MKP No. KEP.45/MEN/2011untuk tahun dapat dilihat dalam tabel berikut * Produksi Perikanan Tangkap Laut (ton) JTB = 80% MSY (MSY ton)** = ,25% 93,54% 97,91% *Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Dari data tersebut terlihat bahwa apabila dibandingkan terhadap komoditas yang telah diestimasi produksinya, produksi perikanan tangkap di laut tahun 2012, 2013 dan 2014 masih berada di bawah JTB, yakni 93,25 persen pada tahun 2012, 93,54 persen pada tahun 2013 dan 97,91 persen pada tahun Capaian ini menggambarkan kondisi yang baik mengingat batasan yang ditoleransi adalah pada kisaran < 100% dari JTB. Angka estimasi tersebut dapat saja berubah, karena perhitungan estimasi JTB sampai dengan Tahun 2014 masih menggunakan angka potensi sebesar 6,52 juta ton sesuai dengan Keputusan MKP Nomor KEP.45/ MEN/2011. Ke depan, KKP akan melakukan kajian angka potensi sumber daya ikan dengan melibatkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dalam menghitung potensi sumber daya ikan di Indonesia.

110 66 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Catatan: JTB = ton (80% dari MSY), sehingga nilai JTB tahun adalah sama, yaitu ton Pada tahun 2014 produksi hasil tangkap ikan di laut (angka sementara) sebesar 5,11 juta ton, jika dihitung berdasarkan JTB tahun 2011 dan dibandingkan dengan besarnya potensi lestari sebesar 5,22 juta ton, maka proporsi tangkapan ikan sebesar 97,91 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2014 proporsi tangkapan ikan masih dalam batasan biologis yang aman. Perkiraan tahun 2015 akan terdapat peningkatan potensi lestari sumber daya ikan mengingat kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam memberantas Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing melalui moratorium izin penangkapan, penenggalaman kapal pencuri ikan serta pelarangan transshipment. Kawasan Lindung Perairan (Indikator 7.6) Luas kawasan konservasi perairan sampai dengan tahun 2014 adalah seluas 16,5 juta Ha, sebagaimana terlihat pada tabel dan grafik berikut: Tabel 1. Capaian Konservasi Kawasan Tahun Gambar 7.5 Produksi Perikanan Dibandingkan Dengan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), Kawasan Konservasi Jumlah Kawasan Luas (Ha) A. Dikelola Kemenhut ,55 Taman Nasional Laut ,30 Taman Wisata Alam Laut ,00 Suaka Margasatwa Laut ,25 Cagar Alam Laut ,00 B. Dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemda ,41 Taman Nasional Perairan ,82 Suaka Alam Perairan ,00 Taman Wisata Perairan ,20 Kawasan Konservasi Perairan Daerah ,39 Jumlah Total ,96 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

111 67 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Gambar 7.6 Kawasan Konservasi Perairan Secara terperinci, perkembangan luasan kawasan koservasi perairan mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun Dalam perkembangannya, sampai dengan akhir tahun 2014 luas KKP di Indonesia telah mencapai 16,546 juta ha. Pergeseran data kawasan koservasi perairan terjadi pada tahun 2009 dengan adanya pengalihan 8 (delapan) kawasan konservasi dari Kementerian Kehutanan seluas Ha. Peningkatan yang signifikan ini terjadi antara lain dengan berkembangnya kawasan konservasi perairan di daerah yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah yang disebut Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN), diantaranya Pencadangan Taman Nasional Perairan (TNP) laut Sawu seluas 3,52 juta Hektar pada tahun 2009 dan Pencadangan Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Anambas seluas 1,26 juta Hektar pada tahun Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Gambar 7.7 Luas Kawasan Konservasi, UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Penurunan Emisi Karbon Dioksida dan Pemakaian Bahan Perusak Ozon (BPO) Kementerian Lingkungan Hidup, bersama-sama dengan kementerian terkait lainnya (Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai) serta Perusahaan Pengguna Bahan Perusak Ozon telah melaksanakan strategi nasional penghapusan konsumsi HCFC di Indonesia. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan saling bersinergi dalam menyusun peraturan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan upaya penghapusan penggunaan HCFC tersebut. Target Indonesia adalah sebelum tanggal 1 Januari 2015 industri manufaktur dan atau perakitan refrigerasi dan AC pengguna HCFC-22 serta industri pengguna HCFC-141b sebagai blowing agent untuk busa insulasi

112 68 pada peralatan refrigerasi, dan manufaktur produk refrigerasi domestik, freezer, thermoware, refrigerated trucks dan integral skin telah selesai melakukan alih teknologi dari yang menggunakan HCFC menjadi non- HCFC untuk mencapai penurunan konsumsi HCFC sebesar 10% pada 1 Januari Menjaga Proporsi Penangkapan Ikan Dalam upaya menjaga proporsi penangkapan ikan di bawah batas biologis aman, beberapa upaya yang dilakukan di tahun 2014, antara lain adalah: penyediaan rumah ikan, penyediaan reservat perairan umum daratan, pengelolaan laut teritorial dan kepulauan, pengelolaan sumber daya ikan di 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan serta pelaksanaan FKPPS Nasional. Pengelolaan Efektif Kawasan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai secara efektif sesuai dengan tujuannya jika didukung dengan sistem zonasi dan rencana pengelolaan yang disusun dengan baik. Tatacara Penyusunannya telah diatur dengan Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan adalah dokumen kerja yang dapat dimutakhirkan secara periodik, sebagai panduan operasional pengelolaan kawasan konservasi perairan. Setiap rencana pengelolaan kawasan konservasi harus memuat zonasi. Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas: (a) rencana jangka panjang (20 tahun); (b) rencana jangka menengah (5 tahun) dan (c) rencana kerja tahunan. Pengelolaan berkelanjutan merupakan upaya yang dilakukan pengelola kawasan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatan dan pengelolaan yang menjamin ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya yang ada. Adapun upayaupaya pokok pengelolaan kawasan konservasi meliputi: koordinasi dan pembinaan, peningkatan infrastruktur, penyusunan NSPK, review dan implementasi rencana pengelolaan, sosialisasi, konsultasi publik, Peningkatan kapasitas, operasionalisasi lembaga pengelola, Rehabilitasi kawasan, monitoring sumberdaya kawasan, monitoring sosial ekonomi dan budaya, kegiatan pemanfaatan sumberdaya untuk peningkatan ekonomi masyarakat, evaluasi pengelolaan, pengawasan sumberdaya ikan, penegakan hukum dan pengelolaan batas kawasan dan lain sebagainya. Upaya pengelolaan efektif selama kurun waktu , terutama melalui asistensi dan pembinaan kepada para pengelola kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil terus dilakukan. Diantaranya asistensi penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi KKP/3K daerah, serta evaluasi rencana pengelolaan dan zonasi pada 10 (sepuluh) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) yang selanjutnya diteruskan melalui upaya legislasi. Selain evaluasi rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan nasional, juga telah dilaksanakan evaluasi usulan penetapan kawasan konservasi perairan Daerah untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Hasil yang dicapai antara lain: (1) Penetapan KKP3KD Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang, seluas 4.015,2 Ha; (2) Penetapan KKPD Suaka Alam Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Kota Sabang, seluas 3.207,98 Ha; (3) Penetapan KKPN Taman Nasional Perairan Laut Sawu seluas ,82 Hektar; (4) Pengesahan Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP laut Sawu; dan (5) Penetapan KKPD Taman Wisata Perairan Nusa Penida seluas Hektar. Bali. Tahun 2014 sedang dalam proses evaluasi untuk penetapan KKP/3K Daerah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, antara lain KKPN TWP Kepulauan Anambas, KKP3K Raja Ampat, KKPD Alor, KKP3KD Sukabumi, KKPD Lombok Tengah, KKPD Selayar, KKPD Kep. Mentawai dan beberapa daerah lainnya. Sedangkan Evaluasi Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKPN TWP Pulau Pieh telah siap diproses legislasi pengesahannya, menyusul berikutnya untuk 7 (tujuh) KKPN lainnya, yakni: TWP Gili Matra, TWP Kapoposang, TWP Padaido, TWP Laut Banda, SAP Raja Ampat, SAP Waigeo Sebelah Barat dan SAP Aru Bagian Tenggara. 3 Ir. Arief Yuwono, MA, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, disampaikan dalam Rapat Kerja Teknis (RAKERNIS) Perlindungan Lapisan Ozon ke 8, Bali,16 dan 17 September 2014.

113 69 TARGET 7C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA TAHUN 2015 Target 7C: Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan dan perdesaan 37,73% (1993) 68,36% (2014) 68.87% 7.8a Perkotaan 50,58% (1993) 80,72% (2014) 75.29% 7.8b Perdesaan 31,61% (1993) 56,09% (2014) 65.81% BPS, Susenas 7.9 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan dan perdesaan 24,81% (1993) 61,04% (2014) 62.41% 7.9a Perkotaan 53,64% (1993) 76,75% (2014) 76.82% 7.9b Perdesaan 11,10% (1993) 45,45% (2014) 55.55% Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus TUJUAN DAN TARGET MDGs Penyediaan air minum dan sarana sanitasi, sesuai Undang-Undang No 23 tahun 2014 merupakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang urusannya telah diserahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian upaya-upaya untuk meningkatkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak di perkotaan dan perdesaan, serta akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar adalah merupakan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 4 Sejalan dengan hal tersebut diatas, peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan tehadap sumber air minum layak di perkotaan (Indikator 7.8a) dan di perdesaan (Indikator 7.8b) menjadi relevan dan perlu dipantau dalam rangka upaya pencapaian target MDGs, Goal 7c. Target MDGs 2015 untuk kedua indikator tersebut adalah 75,29 persen untuk di kawasan perkotaan dan 65,81 persen di perdesaan. Sama halnya dengan akses air minum, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar yang layak, di perkotaan (Indikator 7.9a) dan perdesaan (Indikator 7.9b) juga perlu dipantau pencapaiannya, dimana target MDGs 2015 untuk kedua indikator tersebut adalah 76,82 persen untuk perkotaan dan 55,55 persen untuk perdesaan. 4 Undang-Undang No 23 tahun 2014, Pasal 12(1)

114 70 KEADAAN SAAT INI Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Pada Laporan MDGs tahun 2013, akses terhadap air minum layak didasarkan pada definisi PBB sebagai berikut: air minum adalah air untuk minum, kebutuhan dasar perorangan dan higiene rumah tangga dan memasak. Dengan definisi tersebut hasil survey BPS/Susenas menunjukkan bahwa akses terhadap air minum layak sebagai berikut: Akses Air Minum , Tw-1 Perkotaan 76,00% 76,95% 79,34% 80,72% Perdesaan 51,15% 53,39% 56,17% 56,09% Perkotaan dan Perdesaan 63,48% 65,05% 67,73% 68,36% Grafik 1 di bawah ini memperlihatkan kecenderungan akses terhadap air minum layak selama kurun tahun 2004 sampai Triwulan I tahun Sejak tahun 2011, pada saat BPS/Susenas menggunakan definisi yang diperbaharui,5 proporsi rumah tangga yang memiliki akses air minum yang layak menjadi lebih besar. Angka tahun 2014 merupakan angka Triwulan I, pada akhir 2014, akses air minum layak diperkirakan akan tinggi. Peningkatan akses air minum layak pada perkotaan dan perdesaan tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti pada Namun akses di perdesaan menunjukkan penurunan pada tahun 2014, meskipun angka tersebut merupakan angka sementara untuk triwulan pertama Catatan: sumbu x adalah tahun dan sumbu y adalah persen Gambar 7.8 Kecenderungan akses air minum layak(perkotaan dan perdesaan) Disparitas provinsi untuk akses air minum layak antar provinsi (perkotaan dan perdesaan) menunjukkan variasi yang berbeda diantara provinsi, dengan DKI Jakarta paling tinggi (92%) dan Bengkulu paling rendah (37%). Rata-rata nasional adalah 67,7%. Analisis terhadap disparitas provinsi pada kurun waktu menunjukkan variasi yang tidak jauh berbeda, kecuali untuk beberapa provinsi tertentu seperti Kepulauan Riau yang memperlihatkan kecenderungan menurun dan Sulawesi Tenggara yang mengalami lonjakan pada tahun 2013 (lihat Grafik 2). 5 Definisi BPS yang diperbaharui untuk akses air minum merujuk pada Laporan MDGs tahun 2013, dimana BPS mengumpulkan data tentang akses terhadap air melalui serangkaian pertanyaan. Sebelum tahun 2011, pertanyaan tentang air terdiri dari: (i) sumber air utama untuk minum, dan (ii) jarak dari sumber ke tempat pembuangan limbah. Sejak tahun 2011 dan yang dilanjutkan pada tahun 2012 (dan 2013), pertanyaan yang diajukan juga termasuk sumber air lainnya untuk memasak dan mandi. Hasilnya, akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung menjadi lebih besar.

115 71 Gambar 7.9 Analisis disparitas provinsi, Berdasarkan angka-angka tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa target MDGs untuk akses terhadap air minum layak di perkotaan dan perdesaan sebesar 68,87 persen pada tahun 2015 optimis akan tercapai (bahkan untuk perkotaan sudah terlampaui). Namun demikian, akses hanyalah salah satu dari sejumlah indikator lain untuk kinerja pelayanan air minum yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan, serta keterjangkauan tariff air oleh masyarakat luas. Catatan: untuk rata-rata nasional (Indonesia), akses air minum layak adalah 67,7 persen Gambar 7.10 Disparitas provinsi untuk akses air minum layak (perkotaan dan perdesaaan) Untuk disparitas perkotaan perdesaan, kecenderungannya untuk perkotaan terlihat meningkat setara stabil, terutama setelah definisi baru digunakan sejak tahun 2011, sedangkan peningkatan di perdesaan terlihat tidak begitu stabil (Gambar 7.11), dengan capaian akses tahun 2013 sebesar 56,17 persen. Dengan demikian, untuk perdesaan, masih diperlukan perhatian khusus untuk mencapai target MDGs sebesar 65,81 persen. Masalah kuantitas dan kontinuitas antara lain masih tingginya angka kehilangan air (NRW) dan pelayanan yang belum 24 jam pada PDAM serta masih besarnya kapasitas produksi yang belum termanfaatkan (idle), sedangkan untuk masalah kualitas, masih banyak masyarakat yang menggunakan air yang belum memenuhi syarat kesehatan, pada umumnya melalui sumber-sumber air yang diusahakan sendiri atau secara kelompok. Masalah keterjangkauan menyangkut kemampuan masyarakat untuk mendapatkan air dengan harga yang wajar.

116 72 Gambar 7.11 Disparitas perkotaan dan perdesaan Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sanitasi Dasar Pada Laporan MDGs tahun 2013, kecenderungan proporsi rumah tangga berkelanjutan terhadap sanitasi dasar menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Data yang diperoleh waktu itu termasuk untuk tahun Berdasarkan data dari BPS/Susenas, untuk periode 2011 sampai 2014 (triwulan 1), proporsi rumah tangga terhadap sanitasi dasar adalah sebagai berikut: , Tw-1 Perkotaan 72,54% 72,70% 77,15% 76,75% Perdesaan 38,97% 42,30% 44,74% 45,45% Perkotaan dan Perdesaan 55,60% 57,35% 60,91% 61,04% Catatan: untuk tahun 2014, angka menunjukkan posisi triwulan 1 Kecenderungan untuk perkotaan dan perdesaan memperlihatkan pertumbuhan yang seimbang, sedangkan diparitas provinsi untuk tahun 2013 memperlihatkan perbedaan yang cukup besar, dengan Provinsi DKI Jakarta menempati urutan paling tinggi (86,57%) dan Provinsi Papua paling rendah (27,89%). Rata-rata nasional adalah 60,91%. Analisis terhadap disparitas provinsi pada kurun waktu menunjukkan variasi yang tidak jauh berbeda, kecuali untuk beberapa provinsi tertentu seperti Papua Barat yang mengalami lonjakan pada tahun 2012 dan Bengkulu yang mengalami kecenderungan menurun (lihat Gambar 7.12).

117 73 Gambar 7.12 Analisis disparitas provinsi, Gambar 7.13 Kecenderungan sanitasi layak (perkotaan dan perdesaan) Berdasarkan angka-angka tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa target MDGs untuk akses terhadap sanitasi layak di perkotaan dan perdesaan sebesar 62,41 persen pada tahun 2015 optimis akan tercapai, bahkan mungkin terlampaui. Untuk perdesaan, meskipun cenderungannya lebih baik dari perkotaan, tapi capaian pada tahun 2013 (44,74 persen) masih jauh dari target MDGs sebesar 55,55 persen, sehingga masih memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencapainya. Perlu dicatat bahwa akses hanyalah salah satu dari sejumlah indikator lain untuk kinerja pelayanan sanitasi yang lebih baik, yang berkaitan dengan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, jamban dan tangki septik yang memenuhi syarat serta sistem pengelolaan lumpur tinja yang baik, manajemen pengumpulan, pembuangan dan pengolahan limbah padat yang lebih baik serta pengelolaan limbah cair yang lebih komprehensif, termasuk institusi pengelolanya pada tingkat kabupaten/kota.

118 74 Gambar 7.14 Disparitas perkotaan perdesaan Catatan: untuk rata-rata nasional (Indonesia), akses sanitasi layak adalah 60,9 persen Gambar 7.15 Disparitas provinsi untuk akses sanitasi layak tahun 2013 UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Masalah air minum dan sanitasi telah mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya pada beberapa tahun terakhir ini. Tantangan yang masih harus dihadapai dalam mencapai target MDGs antara lain adalah bahwa PDAM yang sehat baru 50%, tarif air minum PDAM banyak yang belum memenuhi biaya operasi, angka kehilangan air masih tinggi (sekitar 33%), kapasitas yang belum termanfaatkan masih sekitar l/detik, masih rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk pendanaan air minum, masih perlu ditingkatkannya peran serta masyarakat untuk pengadaan air berbasis masyarakat seperti Pamsimas dan SPAM bukan jaringan perpipaan,dan keterbatasan air baku. Dalam sektor sanitasi, tantangan yang masih harus dihadapai antara lain adalah bahwa pembangunan sanitasi belum menjadi prioritas pemerintah daerah, dimana rata-rata alokasi anggaran untuk sanitasi masih berkisar antara 1 sampai 2 persen dari APBD. Tantangan lainnya minimnya kesiapan daerah dalam implementasi pembangunan sanitasi (misalnya: ketersediaan dokumen perencanaan, kesiapan lahan institusi pengelola), terbatasnya pendanaan pemerintah pusat dan daerah, serta terbatasnya sumberdaya manusia berkualitas di bidang pembangunan sanitasi baik di pusat, daerah maupun fihak penyedia jasa (konsultan, kontraktor, fasilitator).

119 75 Penanganan sanitasi tidak hanya sekedar masalah infrastruktur, melainkan masalah perilaku dan pemahaman masyarakat terhadap sampah, air limbah, maupun drainase. Dengan demikian, yang lebih penting adalah kampanye perubahan perilaku, dan ini harus dilakukan semua pihak karena sanitasi merupakan urusan kita bersama. Perubahan perilaku menjadi tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia, terutama masalah sosial budaya dan upaya mengubah perilaku buruk masyarakat yang masih terbiasa buang air besar (BAB) dan buang sampah di sembarang tempat, khususnya di saluran drainase maupun ke badan air, dimana pada sisi lain, masih banyak yang menggunakannya sebagai sumber air untuk mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya. Untuk akses air minum dan sanitasi layak, mengingat target MDGs 2015 diperkirakan tercapai, pemerintah saat ini memberikan perhatian lebih banyak dalam upaya pencapaian akses universal tahun 2019 yaitu 100 persen akses air minum dan sanitasi. Untuk itu pemerintah telah menyusun kebijakan dan strategi yang dimuat dalam RPJMN yaitu: Menjamin ketahanan air melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku dalam pemanfaatan air minum dan pengelolaan sanitasi melalui strategi jaga air, simpan air, hemat air, dan bauran air domestik; Penyediaan infrastruktur produktif dan manajemen layanan melalui penerapan manajemen aset baik di perencanaan, penganggaran, dan investasi termasuk untuk pemeliharaan dan pembaharuan infrastruktur yang sudah terbangun melalui strategi penurunan tingkat kehilangan air, pemanfaatan idle capacity, dan penerapan prinsip tarif pemulihan biaya penuh; Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi yang dilakukan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota dan masyarakat melalui strategi peningkatan kualitas perencanaan, integrasi promosi hygiene dan sanitasi dalam demand generation, peningkatan peran, kapasitas serta kualitas kinerja pemerintah daerah, advokasi kepada para pemangku kepentingan; Peningkatan efektifitas dan efesiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi melalui strategi sinergi dan koordinasi antara pelaku program dan kegiatan, sinergi pendanaan air minum dan sanitasi, penguatan pengelolaan pengetahuan termasuk pengelolaan data dan informasi. Dalam aspek regulasi, saat ini telah ada Peraturan Presiden No. 185 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi yang menjadi penegasan dasar hukum terhadap siklus kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan hingga implementasi serta monitoring dan evaluasi untuk percepatan pembangunan air minum dan sanitasi. Dengan berbagai kendala yang ada, bagaimanapun juga Pemerintah tetap berupaya keras untuk memenuhi akses pelayanan air minum dan sanitasi di Indonesia terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan pembangunan yang melibatkan secara aktif penggunanya dan disertai perubahan perilaku masyarakat dalam praktek sanitasi. Memuaskan disini bila sarana yang ada dapat dirasakan manfaatnya dan efektif penggunaannya, hal ini terjadi bila sebagian besar masyarakat memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi.

120 76 TARGET 7D MENCAPAI PENINGKATAN YANG SIGNIFIKAN DALAM KEHIDUPAN PENDUDUK MISKIN DI PERMUKIMAN KUMUH (MINIMAL 100 JUTA) PADA TAHUN 2020 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs Status Sumber Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) 9,12% (2014) 6% (2020) BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus TUJUAN DAN TARGET MDGs Menghapuskan daerah kumuh di kawasan perkotaan merupakan bagian kebijakan pemerintah dalam rangka program penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota beserta masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam upaya untuk mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di perkotaan, MDGs menargetkan minimal 100 juta penduduk miskin perkotaan meningkat kehidupannya pada tahun Indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga kumuh perkotaan (Indikator 7.10) yang diharapkan menurun dari 20,75 persen pada tahun1993 menjadi minimal 6 persen pada tahun Dalam RPJMN Pemerintah menargetkan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan nol persen pada tahun Masalah yang dihadapi dalam upaya pemantauan capaian ini adalah bahwa informasi yang dimiliki Kementerian Pekeraan Umum dan Perumahan Rakyat saat ini menggunakan data kawasan kumuh perkotaan sebagai basis, dan bukan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan kumuh. Kawasan kumuh perkotaan dicirikan dengan kodisi bangunan yang tidak teratur, kepadatan bangunan yang tinggi, kondisi rumah yang tidak layak huni, dan sarana serta prasarana di dalam kawasan tersebut yang tidak memenuhi syarat. KEADAAN SAAT INI Proporsi Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Sesuai UU 1/2011, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Arahan RPJPN untuk RPJMN III bidang Cipta Karya meliputi pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung, didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien dan akuntabel, yaitu kota tanpa permukiman kumuh, dengan indikatornya berupa berkurangnya proporsi rumah tanggan yang menempati hunian dan permukiman tidak layak sehingga menjadi nol persen. Menurut data dari Ditjen Cipta Karya Kementerian PU dan Pera, terdapat Ha kawasan kumuh di 506 kab/kota. Pada tahun 2014, sebanyak148 kabupaten/kota telah menerbitkan Surat Keputusan Kawasan Kumuh Perkotaan, 185 kab/kota sedang dalam proses penyusunan SK dan 95 kab/kota sedang dalam proses validasi luas kawasan. Beberapa faktor penyebab kekumuhan antara lain adalah fisik alami (kelayakan dan ketersediaan serta daya dukung lahan), fisik binaan (akses dan ketersediaan prasarana, struktur dan tata letak bangunan), sosial ekonomi (kemampuan ekonomi individu maupun potensi ekonomi lingkungannya), sosial budaya (pola perilaku dan pola bermukim) dan faktor-faktor eksternal lainnya seperti ketidakjelasan status tanah, ketidaktahuan aturan bangunan dan lingkungan, dan marginalisasi dalam proses pembangunan.

121 77 Selain itu terdapat beberapa tantangan atau kendala dalam penanganan kawasan kumuh perkotaan, antara lain adalah (i) jumlah dan luas kawasan kumuh yang ditangani cukup besar, sedangkan data dan informasi yang akurat (baseline) di tiap daerah yang dapat menginformasikan luas kawasan kumuh belum cukup tersedia; (ii) kemampuan pemerintah daerah dalam menangani permukiman kumuh sesuai tugas dan kewenangannya (UU No 1/2011) masih belum memadai, baik dalam hal kapasitas sumber daya maupun pembiayaannya; dan (iii) masih belum optimalnya penanganan permukiman kumuh, terutama dalam mengatasi permasalahan lahan dan pemberdayaan masyarakat. Disparitas provinsi, menurut data BPS/Susenas menunjukkan variasi yang cukup besar, sebagaimana terlihat dalam Grafik berikut. Sumber: BPS/Susenas Gambar 7.16 Disparitas Provinsi Kawasan Kumuh Perkotaan, 2014 UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka menuju kota tanpa kawasan kumuh tahun 2019, program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diprioritaskan pada lima klaster, yaitu klaster A sampai E. Klaster A (di 94 kab./kota) dan B (di 82 kab./kota) untuk kab/kota strategis nasional, klaster C untuk kab./kota yang responsif terhadap pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM), klaster D untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan klaster E untuk program-program kreatif. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melaksanakan quick count survey luas permukiman kumuh di seluruh kab./kota pada tahun Hal tersebut membantu memetakan luas kawasan kumuh di seluruh kab./kota sehingga menjadi dasar penentuan besar penanganan yang diperlukan.

122 78

123 TUJUAN 8 MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sumber: Kementerian Luar Negeri

124

125 79 TUJUAN 8 MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN TARGET 8A MENGEMBANGKAN SISTEM KEUANGAN DAN PERDAGANGAN YANG TERBUKA, BERBASIS PERATURAN, DAPAT DIPREDIKSI DAN TIDAK DISKRIMINATIF Acuan Target MDGs Indikator Saat ini Status Sumber dasar 2015 Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a Rasio ekspor dan impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) 41,60% (1990)* 39,96%** (2014) Meningkat * BPS & Bank Dunia ** BPS 8.6b 8.6c Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 45,80% (2000) 101,30% (2003) 88,7% (Nov 2014) 124,45% (Nov 2014) Meningkat Meningkat Bank Indoensia Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam tahun 2014, kondisi perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian. Krisis keuangan Eropa yang masih menghawatirkan dan kondisi perekonomian Eropa yang dihadapkan pada situasi permasalahan fiskal yang cukup berat menekan perekonomian dunia, termasuk perekonomian Indonesia. Pada tahun 2014, perekonomian Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5,1 persen, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5,8 persen. Hal ini berdampak pula pada penurunan nilai ekspor dan impor Indonesia di tahun Berdasarkan laporan BPS yang terbit pada bulan Februari 2015, nilai ekspor Indonesia tahun 2014 mencapai USD 176,29 miliar atau menurun 3,43 persen dibanding tahun Sedangkan nilai impor tahun 2014 mencapai USD 178,18 miliar atau turun 4,53 persen dibanding tahun Nilai PDB Indonesia tahun 2014 berdasarkan harga berlaku adalah sebesar Rp ,69 triliun atau tumbuh 10,7% dibandingkan tahun 2013 yang nilainya sebesar Rp ,74 triliun. Jika dikonversikan dalam USD menggunakan kurs rata-rata bulanan Bank Indonesia sebesar Rp ,5 per US dollar (terdepresiasi 12,5% dari rata-rata tahun 2013 yang sebesar Rp ,6 per US dollar), PDB nominal tahun 2014 dalam satuan dollar Amerika Serikat menjadi sebesar USD 887,1 miliar atau turun sebesar 1,6% dibanding PDB tahun 2013 yang sebesar USD 901,7 miliar.

126 80 Keterbukaan ekonomi (trade openness ratio) Indonesia yang diukur menggunakan penjumlahan ekspor dan impor terhadap nilai PDB, pada tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun Secara umum, penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan nilai ekspor dan impor (X dan M) dibanding tahun sebelumnya, dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Gambar 8.1 Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB Indikator keterbukaan ekonomi yang dihitung sebagai rasio penjumlahan ekspor dan impor nasional terhadap PDB tidaklah secara bulat diterima sebagai indikator yang mencerminkan restriktif atau tidaknya kebijakan perdagangan suatu negara. Secara umum, beberapa literatur menyatakan bahwa nilai perdagangan dalam indikator keterbukaan tersebut hanya mencerminkan skala perekonomian dan integrasi perekonomian suatu negara ke dalam pasar internasional, namun tidak mencerminkan orientasi kebijakan perdagangan yang diambil. Hal lainnya adalah sulitnya mencari pendukung hipotesa bahwa keterbukaan/rasio perdagangan dipengaruhi hanya oleh kebijakan perdagangan (rasio perdagangan dipengaruhi oleh banyak hal) sehingga keterbukaan ekonomi tidak selalu dapat mencerminkan kebijakan perdagangan suatu negara. Sebagai contoh, penurunan harga komoditas internasional pada tahun 2014 dan berkurangnya permintaan global menyebabkan nilai ekspor non-migas Indonesia mengalami penurunan. Di sisi lain, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat menyebabkan menguatnya nilai USD terhadap Rupiah sehingga mengakibatkan penurunan impor Indonesia. Kedua hal tersebut (penurunan nilai ekspor non-migas dan dan penurunan nilai impor) bukan merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan Indonesia, namun berpengaruh pada nilai indikator keterbukaan ekonomi yang dimaksud. Meskipun terjadi krisis Eropa dan gejolak politik dan ekonomi di Amerika Serikat , kinerja sektor perbankan masih terjaga dengan baik. Indikator rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio CAR) pada 2014 mencapai 19,6 persen (November 2014) meningkat dibanding akhir 2013 (18,1 persen). CAR mencerminkan kemampuan perbankan menghadapi risiko krisis keuangan maupun perkembangan permintaan jasa perbankan pada masa mendatang. Indikator lain seperti rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan NPL), tercatat menjadi 2,0 persen (November 2014), sedikit meningkat dibanding 2013 (1,8 persen). Perkembangan ini terkait dengan implementasi kebijakan Loan to Value dan Down Payment perbankan. Dari segi aset, total aset bank-bank umum pada bulan September tahun 2014 tercatat sebesar Rp 5.511,4 triliun, meningkat dibanding akhir tahun 2013, yaitu sebesar Rp 4.954,5 triliun. Meningkatnya stabilitas perbankan dan perkembangan kegiatan ekonomi juga terlihat antara lain pada peningkatan dana pihak ketiga perbankan dan penyaluran pinjaman perbankan. Ketahanan dan fungsi intermediasi perbankan yang berhati-hati juga tercermin pada peningkatan indikator rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit ratio - LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan

127 81 NPL) selama dua tahun terakhir. Indikator LDR pada perbankan umum dan BPR, sebagaimana tersaji pada indikator 8.6b dan 8.6c di atas belum memasukkan unsur perbankan syariah dan BPR syariah, dikarenakan publikasi statistik perbankan yang belum menyatukan kedua jenis perbankan/bpr tersebut. TANTANGAN Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan adanya risiko penurunan kinerja ekspor ke bawah (downside risk) yang antara lain disebabkan oleh: (i) potensi penurunan harga komoditas di pasar internasional yang akan mempengaruhi nilai ekspor Indonesia, dimana ekspor Indonesia masih bergantung kepada komoditas primer, (ii) terhambatnya proses pemulihan ekonomi kawasan Eropa dan turunnya tingkat pertumbuhan China sebagai salah satu pasar tujuan ekspor utama Indonesia, serta (iii) tingkat persaingan di pasar barang kawasan Asia yang semakin meningkat. Terkait dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan moneter internasional khususnya ekspektasi terhadap kebijakan bank sentral Amerika Serikat (the Fed), dan kenaikan harga BBM dalam negeri, masih akan menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi. Tekanan ini memerlukan antisipasi kebijakan moneter yang relatif ketat, dan menuntut adanya koordinasi kebijakan yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia, baik di sektor riil dan keuangan, agar dapat melonggarkan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi tersebut. Kebijakan ini mendorong penurunan laju pertumbuhan kredit yang diberikan oleh bank umum dan BPR. KEBIJAKAN Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya menjaga kinerja ekspor dan impor, antara lain sebagai berikut: (i) Meningkatkan penetrasi produk ekspor di pasar ekspor non-tradisional, terutama di negara-negara Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur, yang dilakukan antara lain melalui optimalisasi skema kerjasama perdagangan internasional terutama secara bilateral, memaksimalkan peran atase perdagangan dan kantor promosi perdagangan di negara-negara tersebut, serta mengoptimalkan upaya promosi terpadu; (ii) melanjutkan upaya peningkatan ekspor produk hilir, terutama produk mineral dan pertambangan agar dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar untuk perekonomian nasional; (iii) meningkatkan pemanfaatan kesepakatan kerjasama perdagangan ASEAN dan ASEAN+1; serta (iv) meningkatkan kapasitas eksportir dan calon eksportir melalui pelatihan dan fasilitas pembiayaan ekspor. Di bidang perkreditan, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan penyaluran pinjaman/optimalisasi fungsi intermediasi perbankan seperti menerapkan kebijakan suku bunga dasar kredit perbankan dan kebijakan Loan to Value (LTV) perkreditan. Seiring dengan meningkatnya gejolak perekonomian di dalam dan luar negeri pada tahun 2013, dilakukan penyempurnaan kebijakan LTV perkreditan dan penyesuaian ketentuan cadangan wajib perbankan dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder dan GWM LDR, serta Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Kebijakan ini merupakan upaya menjaga stabilitas sektor keuangan, melalui penguatan likuiditas perbankan dengan tetap mempertahankan fungsi intermediasi agar berjalan optimal. UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini, ditengarai akan berpengaruh kepada stabilitas makro ekonomi, yang pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya mengambil langkah-langkah kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural. Di antara langkah-langkah yang telah diambil tersebut, antara lain diterbitkannya Paket Kebijakan

128 82 Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi pada 23 Agustus 2013 untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi dan menjaga kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Memperbaiki neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit) dan menjaga nilai tukar Rupiah; Menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat; Menjaga tingkat inflasi; dan Mempercepat investasi. Pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, yang diimplementasikan dengan memperkuat ketentuan makroprudensial. Kebijakan ini, bersama-sama dengan kebijakan suku bunga dan nilai tukar, merupakan bagian dari bauran kebijakan makroprudensial yang terkait dengan prinsip kehati-hatian perbankan. Selain itu, penguatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan/perbankan ditempuh melalui: (i) penataan struktur kepemilikan bank, dan (ii) pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modal (inti) yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan kesehatan bank. Pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan. Di tengah dinamika ekonomi dan pasar keuangan global yang penuh dengan ketidakpastian dan risiko, sejak tahun 2013 telah diterapkan kebijakan moneter bias ketat. Kebijakan ini diperlukan untuk mendorong tercapainya sasaran inflasi, memitigasi dampak lanjutan kenaikan harga BBM, menjaga kepercayaan pasar serta mengendalikan defisit transaksi berjalan. Sedangkan kebijakan penguatan fungsi intermediasi diupayakan melalui peningkatan akses layanan pemberian kredit/pembiayaan UMKM oleh bank umum dan BPR. Perluasan akses layanan keuangan dilakukan pula tanpa melalui kantor bank atau dilakukan melalui cara non-konvesional, melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan kerjasama keagenan (branchless banking). Dalam rangka peningkatan akses masyarakat terhadap layanan keuangan (financial inclusion), terutama bagi kelompok masyarakat yang belum terlayani (unbanked), telah dilakukan beberapa kegiatan oleh Bank Indonesia maupun bersama pihak lainnya. Salah satunya adalah program Layanan Keuangan Digital (LKD) yang merupakan kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile atau web dalam rangka keuangan inklusif. Sementara itu, kegiatan edukasi keuangan ditujukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan keuangan, produk dan jasa perbankan. Otoritas Keuangan (BI dan OJK) melakukan berbagai kegiatan edukasi keuangan. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap produk-produk perbankan, diharapkan pendalaman pasar keuangan akan semakin meningkat.

129 83 TARGET 8D MENANGANI UTANG NEGARA BERKEMBANG MELALUI UPAYA NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL UNTUK DAPAT MENGELOLA UTANG DALAM JANGKA PANJANG Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8D: Menangani utang Negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12 Rasio pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap PDB 8.12a Rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (debt service ratio/dsr) 24,59% (1996) 51,00% (1996) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 6,4% (2014) 3,8% (2014) Berkurang Berkurang Kementerian Keuangan dan BPS Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Outstanding pinjaman luar negeri Pemerintah pada Desember 2014 mencapai Rp 670,8 triliun, menurun sebesar Rp 41,37 triliun dari posisi Desember 2013 yang mencapai Rp 712,17 triliun. Rasio pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga semakin menurun, yaitu dari 9,6% pada tahun 2010 menjadi 6,4% pada tahun Penurunan tersebut mengindikasikan peningkatan kemampuan Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal. Penurunan rasio ini antara lain dikontribusikan oleh upaya pemerintah dalam mengarahkan pemanfaatan utang kepada pengeluaran yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan kebijakan net negatif transfer dalam pembiayaan APBN melalui pinjaman luar negeri. Pemerintah secara konsisten berupaya mengendalikan pertumbuhan utang dan mengelola utang dengan mengutamakan prinsip kehatihatian, akuntabilitas, efisensi, dan efektifitas. Membaiknya kemampuan pengelolaan utang luar negeri Pemerintah dapat dilihat dari penurunan rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (debt service ratio/ DSR) dari 5,5% pada tahun 2010 menjadi 3,2% pada tahun Secara total, utang luar negeri sektor swasta memegang porsi terbesar utang luar negeri Indonesia. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Desember 2014 terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebesar USD129,7 miliar dan utang luar negeri sektor swasta USD162,8 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, posisi utang luar negeri meningkat USD26,5 miliar atau 9,9% dari posisi akhir 2013 sebesar USD266,1 miliar. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan pinjaman luar negeri baik sektor publik (5,0% yoy) maupun sektor swasta (14,2% yoy). Dengan perkembangan tersebut, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) dan debt service ratio (DSR) mengalami peningkatan masing-masing dari 29,1% dan 41,3% pada Desember 2013 menjadi 32,9% dan 46,2% pada Desember TANTANGAN Pemerintah perlu mewaspadai adanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, mengingat masih tingginya jumlah outstanding utang dalam valuta asing. Jumlah utang dalam valuta asing ini juga dipengaruhi

130 84 oleh (i) penetapan defisit APBN yang tinggi sehingga memerlukan pembiayaan utang yang tinggi pula, dan (ii) kapasitas utang dalam negeri yang masih terbatas, baik yang diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara maupun pengadaan Pinjaman Dalam Negeri. Dari sisi global, prospek perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian. Likuiditas global diperkirakan akan mengetat seiring dengan berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, ekonomi negara-negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan mengalami perlambatan disertai dengan harga komoditas ekspor di pasar internasional yang masih rendah. Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran utang luar negeri berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar utang luar negeri berpotensi menurun. UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Agar dapat mengelola utang dengan baik, pemerintah menyusun strategi pengelolaan utang negara jangka menengah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang, yaitu untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Dalam Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun antara lain disebutkan strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai berikut: a. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri; b. Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficient dan risiko yang minimal; c. Pinjaman Luar Negeri dilakukan sepanjang digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas, memberikan terms and conditions yang wajar (favourable) bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor; d. Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka menengah; e. Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama dalam rangka mendorong upaya financial market deepening; dan f. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating. Di sektor swasta, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank dan Surat Edaran Ekstern No. 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya, Peraturan Bank Indonesia No. 16/20/PBI/2014 tanggal 28 Oktober 2014 perihal yang sama. Penerbitan ketentuan dimaksud agar korporasi nonbank dapat memitigasi risiko yang dapat timbul dari kegiatan utang luar negeri sehingga mampu berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional tanpa menimbulkan gangguan pada kestabilan makroekonomi.

131 85 TARGET 8F BEKERJA SAMA DENGAN SWASTA DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI BARU, TERUTAMA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Indikator Acuan Dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi 8.14 Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk) 4,02% (2004) 5,57% (2013) Meningkat BPS, Susenas 8.15 Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler 14,79% (2004) 87,07% (2013) 100,00% BPS, Susenas 8.16 Proporsi rumah tangga dengan akses internet - 36,45% (2013) 50,00% BPS, Susenas 8.16a Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi - 17,75% (2013) Meningkat BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam era masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), akses untuk mendapatkan informasi dan kemampuan untuk mengolah informasi merupakan suatu kebutuhan dasar. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat saat ini memungkinkan hampir setiap orang untuk mendapatkan informasi dalam waktu sesaat (real time). Bila sebelumnya jaringan Public Switched Telephone Network (PSTN) merupakan moda utama bagi komunikasi, pola tersebut telah bergeser ke akses nirkabel (wireless) termasuk seluler. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia yang memiliki jaringan PSTN (sebesar 4,02 persen) dibandingkan dengan proporsi penduduk yang memiliki jaringan seluler (sebesar 14,79 persen) pada tahun Cepatnya implementasi dan murahnya investasi akses nirkabel, serta semakin tingginya mobilitas masyarakat, menyebabkan akses nirkabel khususnya seluler menjadi moda utama komunikasi dan akses informasi dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan menggunakan pendekatan jumlah kartu SIM (Subscriber Identity Module) yang beredar sebagai rujukan, pengguna layanan seluler pada akhir tahun 2013 mencapai lebih dari 270 juta (lebih besar daripada jumlah penduduk Indonesia), sehingga tingkat penetrasinya mencapai lebih dari 100 persen. Penetrasi kartu SIM yang melebihi total jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh adanya kepemilikan ganda kartu SIM. Pada periode , rumah tangga di hampir setiap provinsi rata-rata memiliki lebih dari dua nomor telepon seluler aktif. Hanya enam provinsi saja yang rumah tangganya memiliki rata-rata di bawah satu nomor seluler, yaitu di Provinsi Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Adapun dengan pendekatan jumlah masyarakat yang memiliki kartu SIM sebagai rujukan, tanpa memperhatikan jumlah kartu yang dimiliki, maka tingkat penetrasi layanan seluler pada tahun 2013 mencapai 87,07 persen. Kedua angka ini jauh lebih tinggi dari tingkat penetrasi PSTN yang hanya mencapai 5,57 persen pada tahun yang sama 1. Sesuai dengan kecenderungan global, penggunaan PSTN semakin ditinggalkan sehingga pembangunan PSTN akan terus mengalami penurunan. 1 Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya, capaian indikator 8.15 menggunanakan pendekatan jumlah kartu SIM yang beredar di masyarakat. Pendekatan ini dinilai kurang tepat karena menggunakan data jumlah kartu SIM yang dikeluarkan oleh penyedia layanan seluler, tanpa penyesuaian jumlah kartu yang sudah tidak aktif. Oleh karena itu, dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia di tahun ini menggunakan pendekatan jumlah masyarakat yang yanng memiliki kartu SIM sebagai rujukan, dengan menggunakan data dari BPS (Susenas).

132 86 Peningkatan pemanfaatan TIK juga dapat dilihat dari tingkat penggunaan internet dan kepemilikian komputer di rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan akses internet semakin meningkat dari 11,06 persen pada tahun 2009 menjadi 36,45 persen pada tahun Adapun proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi juga mengalami peningkatan dari 10,20 persen pada tahun 2009 menjadi 17,75 persen di tahun Namun demikian, peningkatan ini masih jauh dari target pencapaian yang diharapkan. Rendahnya kepemilikan komputer pribadi per rumah tangga antara lain disebabkan oleh masih tingginya harga komputer pribadi. Di samping itu, semakin banyak masyarakat yang mengakses internet melalui telepon seluler, karena semakin mudah diperoleh dan harga relatif terjangkau. Bahkan sejak tahun 2011, telepon seluler sudah menjadi moda utama untuk mengakses internet. Salah satu bentuk penggunaan internet yang digemari oleh penduduk Indonesia adalah aplikasi media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah pengguna facebook dan twitter di Indonesia, yang menempatkan Indonesia sebagai terbesar nomor 4 dan nomor 5 di dunia pengguna aplikasi media sosial tersebut pada tahun TANTANGAN Pada awal tahun 2000, sebagian penduduk Indonesia, seperti halnya penduduk dunia, mengalami kesenjangan informasi karena terbatasnya akses informasi. Saat ini, penduduk Indonesia justru mengalami tsunami informasi karena terlalu banyak informasi yang dapat diperoleh dari berbagai media. Pada dasarnya, TIK merupakan instrumen untuk mendapatkan informasi. Masyarakat diharapkan dapat menggunakan TIK untuk mendukung kegiatan yang produktif, serta mampu untuk memilah, memilih, dan mengolah informasi menjadi hal yang bermanfaat. Tanpa kedua kemampuan tersebut, masyarakat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan komoditas, namun tidak mendapatkan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup. Tantangan terbesar pembangunan TIK adalah mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut. KEBIJAKAN Sesuai dengan arah pembangunan TIK nasional , penyediaan infrastruktur TIK ditujukan antara lain untuk memastikan tersedianya konektivitas di seluruh pelosok Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui penyediaan layanan telepon dan internet di wilayah perdesaan, yang menjadi bagian dari Program Universal Service Obligation (USO) atau kewajiban pelayanan universal. Adapun pembangunan TIK (pasca MDG) difokuskan untuk empat agenda yang di antaranya merupakan kelanjutan dari penguatan konektivitas TIK. Agenda pembangunan TIK meliputi (a) penyediaan akses informasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah non-komersial dan perbatasan negara sebagai bentuk amanah Pasal 28F UUD 1945; (b) pembangunan akses internet berkecepatan tinggi (pitalebar atau broadband) sebagai jalan tol informasi untuk mempercepat transformasi perekonomian Indonesia; (c) pengintegrasian sistem komunikasi dan informatika instansi pemerintah untuk mendukung pemerintahan yang efisien dan pengelolaan data pemerintah sebagai aset strategis; dan (d) pemanfaatan informasi dan TIK secara produktif dan bijak. Fokus pembangunan infrastuktur TIK akan bergeser dari penyediaan akses komunikasi dan informatika yang konvensional (PSTN dan seluler) ke modern (pitalebar) yang memiliki jaminan konektivitas selalu tersambung, terjamin ketahanan dan keamanan informasinya, serta memiliki kemampuan triple-play dengan kecepatan minimal 2 Mbps untuk akses tetap (fixed) dan 1 Mbps untuk akses bergerak (mobile). Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah bersama dunia usaha telah menyusun rencana pembangunan pitalebar nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia Adapun prioritas pembangunan pitalebar difokuskan untuk mendukung lima sektor yaitu e-pemerintahan, e-kesehatan, e-pendidikan, e-logistik, dan e-pengadaan.

133 87 Untuk mendorong pelaksanaan pembangunan pitalebar, Pemerintah telah menetapkan enam program unggulan, yaitu (1) pembangunan Palapa Ring untuk menyediakan jaringan serat optik nasional ke seluruh kabupaten/kota; (2) pembangunan pipa bersama untuk mengakomodasi jaringan serat optik dari berbagai penyelenggara telekomunikasi dalam satu pipa; (3) pelaksanaan percontohan konektivitas nirkabel pitalebar untuk menyediakan akses pitalebar di perdesaan dengan solusi nirkabel; (4) pembangunan jaringan dan pusat data pemerintah terpadu untuk membangun jaringan intranet pemerintah yang aman dan mengintegrasikan pusat data pemerintah; (5) rancang ulang USO agar dapat digunakan untuk pembangunan ekosistem pitalebar; dan (6) pengembangan SDM dan industri TIK nasional untuk meningkatkan kualitas SDM TIK nasional dalam rangka mempercepat adopsi dan utilisasi pitalebar serta memperkuat manufaktur TIK nasional. UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka implementasi Program USO, Pemerintah menargetkan penyediaan jasa telekomunikasi (melalui program Desa Berdering) di desa dan jasa internet (Pusat Layanan Internet Kecamatan/PLIK) di desa ibukota kecamatan. Pada tahun 2013 Desa Dering telah tersedia di desa (99,2 persen), sedangkan PLIK telah tersedia di kecamatan (103,6 persen). Adapun dalam rangka pembangunan pitalebar, Pemerintah bersama PT Telkom membangun jaringan serat optik ke 497 kabupaten/kota, dimana PT Telkom membangun di 446 kabupaten/kota sedangkan Pemerintah di 51 kabupaten/kota yang berada di wilayah non-komersial. Realisasi pembangunan jaringan serat optik oleh PT Telkom pada tahun 2013 telah menjangkau 361 kabupaten/kota (72,6 persen). Untuk mendukung pengembangan pitalebar, Pemerintah sedang melakukan penataan ulang spektrum frekuensi radio agar penyelenggara dapat menyediakan layanan secara optimal. Pemerintah juga sedang melakukan migrasi sistem penyiaran televisi free-to-air dari analog ke digital yang dijadwalkan selesai pada tahun Selain untuk mendapatkan kualitas siaran televisi yang lebih baik, program migrasi ke sistem digital juga dimaksudkan untuk membebaskan lebih dari 100 MHz pita spektrum frekuensi radio (digital dividend) yang dapat digunakan kemudian untuk penyediaan layanan pitalebar. PERKEMBANGAN KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL PADA TAHUN 2014 Pada tahun 2014, keterlibatan Indonesia dalam pembahasan terhadap pencapaian agenda pembangunan paska 2015 intensif dilakukan dalam berbagai forum kerjasama internasional. Pembahasan terkait dengan perumusan tujuan dan target pembangunan serta upaya-upaya implementasi hingga strategi pendanaan, dilakukan baik melalui forum khusus di bawah naungan PBB seperti Open Working Group on Sustainable Development Financing (OWG) dan Intergovernmental Committee of Experts on Sustainable Development Financing (ICE-SDF) maupun diskusi dan negosiasi pada berbagai forum kerjasama internasional lainnya seperti G20, Global Partnership for Effective Development Cooepration (GPEDC), dan Global Green Growth Institute (GGGI). Bersama negara-negara di dunia, forum kerjasama pembangunan internasional Indonesia memberikan masukan sesuai mandat dan fungsinya, dan memastikan adanya nilai tambah (value added) pada berbagai agenda forum yang ada terhadap upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan paska Keterlibatan Indonesia dalam berbagai bentuk kerjasama pembangunan internasional, melalui penjalinan hubungan dan diplomasi luar negeri baik dalam konteks bilateral, regional, maupun multilateral pada tahun 2014 sangat erat terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan millennium, khususnya pada sejumlah agenda pembangunan yang menjadi perhatian global, kawasan, dan Indonesia secara spesifik, di antaranya:

134 88 Group of 20 (G20 Development Working Group) Salah satu peran aktif Indonesia dalam kemitraan global adalah melalui forum G20 Development Working Group yang dibentuk dengan tujuan untuk membantu penurunan gap kemiskinan dan membantu pencapaian pertumbuhann yang kuat, seimbang dan berkelanjutan (Strong, Sustained, and Balanced Growth) melalui kontribusi beberapa langkah aksi agenda pembangunan dalam membantu penyelarasan kebijakan pembangunan diantara negara anggota G20 sendiri maupun membantu negara berkembang lainnya di luar keanggotaan G20. Partisipasi dalam forum G20 tersebut meningkatkan bargaining position Indonesia, baik secara politik maupun manfaat dalam perekonomian dunia, dan mengupayakan keikutsertaan kepentingan Indonesia dalam agenda pembangunan global agar dapat membantu mencapai pertumbuhan merata ke seluruh dunia. Pada forum G20 pada tahun 2014, fokus pembahasan Development Working Group (DWG) ditekankan pada lima pilar prioritas yaitu Infrastruktur, Financial Inclusion & Remittances (keuangan inklusif dan remitansi), Domestic Resources Mobilisation (mobilisasi sumberdaya domestik), Food Security and Nutrition (ketahanan pangan dan nutrisi) dan Human Resources Development (pembangunan sumberdaya manusia). Pada agenda Infrastructure dilakukan upaya untuk melihat potensi kebutuhan investasi infrastruktur, kondisi persiapan proyek infrastruktur serta penyiapan analisa yang relevan (environment, risk and return dll) untuk mendukung persiapan proyek infrastruktur di Asia dan Afrika. Pada tahun 2014, telah disiapkan sumber pendanaan yang lebih luas khusus untuk persiapan proyek infrastruktur (project preparation facility/ppf) dari Global Infrastructure Fund (GIF) oleh World Bank dan Asia Pacific Project Preparation Fund (AP3F) oleh ADB yang dapat dimanfaatkan oleh negara G20 maupun negara berkembang lainnya. Terkait agenda pembiayaan inklusif dan biaya remittances (Financial Inclusion dan Remittances), telah disiapkan rencana aksi untuk meningkatkan akses golongan masyarakat yang rentan kemiskinan kepada lembaga keuangan untuk mempermudah melakukan pembayaran untuk kebutuhannya. Selain itu dibahas juga mengenai upaya untuk menurunkan global average cost of remittance untuk tenaga kerja diluar negeri, agar tidak mengalami masalah dalam pengiriman pendapatannya kepada keluarga di dalam negeri Di dalam agenda Domestic Resources Mobilisation (DRM) yang bertujuan mendorong negara berkembang untuk dapat memanfaatkan agenda terkait Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan Automatic Exchange of Information (AEOI) guna memaksimalkan pendapatan pajak setiap negara dan mengupayakan keterbukaan dalam informasi pajak antar negara. Untuk agenda Food Security and Nutrition (Ketahanan Pangan dan Nutrisi), telah dilakukan diskusi mengenai kebijakan food security yang berhubungan dengan isu-isu lain (cross-cutting issue), dibahas pula upaya mendapatkan peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja dalam kaitannya dengan Ketahanan Pangan dan Nutrisi. Sementara itu, di dalam agenda Human Resources Development mendorong penyiapan kualitas dan keahlian sumber daya manusia untuk masuk dalam pasar tenaga kerja internasional melalui penyiapan standard skill workers. Indonesia secara khusus juga menjadi salah satu co-facilitator dalam accountability steering committee untuk melakukan penilaian pencapaian target agenda pembangunan dalam G20. Global Green Growth Institute (GGGI) Global Green Growth Institute (GGGI) merupakan organisasi internasional yang fokus terhadap kebutuhan Negara berkembang dalam meningkatkan pembangunan ekonomi yang selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup, dengan melakukan promosi pengembangan konsep green growth untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, menciptakan kesempatan kerja dan menjaga kelestarian lingkungan. Indonesia merupakan salah satu participating member dalam GGGI dengan meratifikasi Agreement on the Establishment of Global Green Growth Institute (Perpres No. 82 tahun 2014).

135 89 Pada tahun 2014 Indonesia meningkatkan status kontribusinya GGGI, dari participating member menjadi contributing member. Indonesia juga mendapatkan kehormatan dengan diangkatnya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Chair of the Council sekaligus President of Assembly GGGI untuk periode Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah Indonesia yang memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan. Intergovernmental Commitee of Experts for Sustainable Development Financing (ICE-SDF) Indonesia juga aktif terlibat dalam forum ICE-SDF, yaitu suatu proses yang dijalankan oleh komite antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum PBB untuk menyiapkan opsi-opsi strategi pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan. Indonesia menjadi salah satu negara yang terpilih sebagai anggota komite bersama China, Arab Saudi, Jepang, Iran, Korea Selatan dan India mewakili Kelompok Kawasan Asia Pasifik. Beberapa isu yang terkait dengan tujuan dan target pembangunan milenium dibahas dalam pertemuan ini diantaranya adalah penanganan utang negara berkembang. ICE-SDF telah merekomendasikan agar dalam pengelolaan pinjaman negara secara berkala digunakan alat analitis untuk menilai alternatif strategi pinjaman dan risiko-risiko, pengelolaan yang lebih baik pada aset dan kewajiban; pengendalian kredit macet; dan peningkatan penerbitan surat hutang jangka panjang dengan mata uang nasional. Dalam upaya merestrukturisasi pinjaman negara, ICE-SDF telah mengusulkan untuk mempertimbangkan sejumlah klausul (Collective Action Clauses) dalam proses restrukturisasi, sehingga dapat digunakan lebih adil dan efektif pada semua kasus. Selain itu, direkomendasikan pula upaya kolaboratif dalam memperbaiki ketepatan waktu dan sistem pelaporan kreditur dan debitur. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular Indonesia saat ini tidak lagi hanya menerima bantuan dari mitra pembangunan tetapi juga memberi bantuan kepada negara-negara selatan khususnya masuk kepada kategori Least Development Countries (LDCs) melalui Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular. Pelaksanaan KSST Indonesia dilandasi dengan semangat solidaritas dan upaya peningkatan pembangunan sesama negara-negara selatan dan juga untuk melengkapi kerjasama pembangunan utara-selatan. Visi dari KSST Indonesia adalah Kemitraan yang lebih baik untuk kesejahteraan. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan KSST, dibentuk Tim Koordinasi Nasional (Tim Kornas) KSST yang terdiri dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, dan Sekretariat Negara. Sejumlah kegiatan pelaksanaan KSST yang dilaksanakan pada tahun 2014 melibatkan pula Kementerian/ Lembaga lain di luar Tim Kornas KSST, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Budaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta BKKBN. Negara-negara selatan yang menjadi mitra dalam pelaksanakan KSST Indonesia adalah CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), Palestina, negara-negara Pasifik atau Melanesian Spearhead Group (MSG), Timor Leste, Afganistan, dan beberapa negara di Afrika. Alokasi dana untuk kegiatan KSST Indonesia pada tahun 2014 mencapai 208 milyar rupiah, tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga). Dana tersebut sebagian besar digunakan untuk beasiswa untuk mendorong kerjasama internasional dan sisanya dalam bentuk pelatihan, lokakarya, expert dispatch/visit, dan pemberian bantuan peralatan. Selain itu, pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia juga melakukan persiapan program KSST bersama mitra pembangunan (diantaranya JICA, UNDP, Norwegia, USAID, IDB, GIZ Jerman, Inggris, World Bank, dan Colombo Plan) melalui skema kerjasama triangular yang akan dilaksanakan pada tahun 2015.

136 90 Global Partnership for Effective Development Cooperation (GPEDC) Pada tahun 2014 Indonesia telah menyelesaikan penugasan chairmanship (bersama dengan UK dan Nigeria) dalam forum GPEDC. Dalam forum tersebut Indonesia menempatkan posisi dan komitmen yang kuat dalam meningkatkan efektivitas kerjasama pembangunan internasional yang diwujudkan dengan menginisiasi knowledge sharing sebagai upaya membantu percepatan pembangunan di berbagai negara. Indonesia menjadikan forum GPEDC sebagai contoh kongkrit dalam kerjasama pembangunan yang melibatkan beragam pihak pemangku kepentingan dalam pembangunan. Selain itu dalam forum tersebut Indonesia juga ikut berkontribusi dalam proses penyiapan beberapa agenda GPEDC, yaitu (a) perkembangan upaya mendorong efektifitas pemanfaatan pendanaan luar negeri melalui ODA (progress since Busan) dengan beberapa fokus area seperti ownership, result based, inclusive partnership dan perhatian pada negara-negara fragile; (b) DRM dengan konsentrasi pada penilaian terhadap kondisi penerimaan pajak yang memadai pada berbagai negara, perbaikan dan perkuatan sistem perpajakan, penguatan dan pengembangan sumber pendanaan publik yang inklusif; (c) upaya pengembangan kerjasama pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular; (d) kerjasama pembangunan dengan negara Middle Income Countries (MICs); dan (e) keterlibatan private sector sebagai mitra pembangunan.

137 91 DAFTAR PUSTAKA TUJUAN Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 23/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Perubahan atas Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 28/KEP/MENKO/KESRA/XI/2006 tentang Tim Pengendali Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, Jakarta: BPS. Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Kesehatan (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Kementerian Kesehatan Jakarta: Kementerian Ke- Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia sehatan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra. Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Kota (KWK) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa (KWD) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional (2010). Pendidikan Kewirausahaan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdiknas. TUJUAN Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 36 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SD/SDLB Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SMP/SMPLB.

138 92 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, Jakarta: BPS. Kementerian Agama (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin untuk, MI, MTs., dan MA. Jakarta: Kemenag. Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis Jakarta: Kemdiknas (2011). Studi Anak di Luar Sekolah (SALSA). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef. The World Bank (2003). Gender Equality and tje Millenium Development Goals. Washington: the World Bank. Unicef dan Unesco Institute for Statistics (2010). Global Initiative on Out-of-School Children. Jakarta: UNICEF. TUJUAN Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. Kep. 30 /M.PPN/HK/03/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarah dan Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Badan Pusat Statistik (1993, 2014). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1993 dan Jakarta: BPS.

139 93 Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, Jakarta: BPS (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2005). Parameter Gender dalam peraturan Perundang-undangan Jakarta: Kementerian PP dan PA (2010). Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah. Jakarta: Kementerian PP dan PA (2011). Statistik Gender Jakarta: Kementerian PP dan PA (2011). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian PP dan PA. Komisi Pemilihan Umum (2011). Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan: Data Internal KPU. TUJUAN Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas (2008). Pengembangan Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Dokumen internal (2008). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia, Laporan Kajian. Jakarta: Bappenas (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, Jakarta: BPS. Kementerian Kesehatan (2008). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011, 2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010, Jakarta: Kementerian Kesehatan.

140 (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, and Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Kesehatan Jakarta: Kementerian World Health Organization. (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of thetask Force on Health Systems Research, (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. Badan Pusat Statistik ( ). % Balita yang pernah Menerima Imunisasi Campak. tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=30&notab=33 TUJUAN 5 Adam Wagstaff, Mariam Claeson, Robert M. Hecht, Pablo Gottret, and Qiu Fang. (2004). MillenniumDevelopment Goals for Health: What Will It Take to Accelerate Progress?. Ahrizal Ahnaf. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Kecenderungan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Dipresentasikan pada Workshop Prakarsa Strategis Percepatan Penurunan AKI, di Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, ). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 1991, 1995, /03, 2007, Jakarta: BPS. Kementerian Kesehatan (2008). Profil Kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Kementerian Kesehatan (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, and Jakarta: Kementerian Kesehatan.

141 (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Kesehatan Jakarta: Kementerian World Health Organization (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of thetask Force on Health Systems Research, (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. TUJUAN Keputusan Menteri Kesehatan No. 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Councelling and Test) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah perawatan, Dukungan, dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS tahun Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/MENKES/SK/XI/2007 tentang Kelompok Kerja Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan No. 043/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Pengobatan Malaria Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penangggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. 20th Meeting of The National AIDS Programme Managers; 2-4 Desember 2008: Recommendations to the Member Countries. Andy Barraclough, Malcolm Clark, et all. (2008). Report of HIV/AIDS Commodities Survey and Supply Chain Status Assessment in Tanah Papua: A survey of HIV/AIDS Commodities Situation in Tanah Papua. Februari. ASAP UNAIDS (2008). Preparing National HIV/AIDS Strategies and Action Plans - Lessons ofexperience. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas.

142 96 Badan Pusat Statistik (2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/03, 2007, Jakarta: BPS (2011). Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indoensia (SKRRI). Jakarta: BPS. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Kesehatan ( ). CDR dan Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, Dokumen Internal (2002). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang Penanggulangan HIV/AIDS Respon Menangkal Bencana Nasional apda Sidang Kabinet Maret Jakarta: Kementerian Kesehatan (2007). Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIVpada Orang Dewasa dan Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008). Pedoman Perluasan Jejaring Perawatan, Dukungan dan Pengobatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Kementerian Kesehatan (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Profi l Penyakit Menular Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Prevalensi HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2011). Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Akibat Malaria. Dokumen internal (2011). Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Terobati. Dokumen internal (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia : Terobosan Menuju Akses Universal. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2008). Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2007). HIV and AIDS Response Strategies (2010). Rencana Aksi dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, (2010). Country report on the Follow up to the Declaration ofcommitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period World Health Organization (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of thetask Force on Health Systems Research, (2010). Global Tuberculosis Control 2009: Epidemiology Strategy Financing. Geneva: WHO.

143 (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO (2012). Global Tuberculosis Control Geneva: WHO (2013). Global Tuberculosis Control Geneva: WHO. Yayasan Spiritia (2005). Protokol Penanggulangan terapi Antiretroviral. Diambil dari the PIH Guide to the Community-Based Treatment of HIV in Resources-Poor Setting, July Jakarta: Yayasan Spiritia TUJUAN Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/MDAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/MDAG/PER/1/2012 tentang Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbanagn Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Badan Pusat Statistik (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional Jakarta: BPS (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas

144 98 Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/desinventar/about Badan Pusat Statistik ( ). Survai Sosial Ekonomi Nasional, Jakarta: BPS HCFC Phase-out Management Plans. environmentandenergy/focus_area/ozone_and_climate/hcfc_phase-out_managementplans/ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (1990 dan 2010). Indonesia, 1990 dan Jakarta: Kementerian ESDM. Buku Data Statistik Ekonomi Energi Kementerian Kehutanan (1990 dan 2010). Luas Kawasan Tertutup Hutan, 1990 dan Dokumen internal (1990 dan 2010). Rasio Luas Kawasan Lindung untuk Menjaga Kelestarian Keanekaragaman Hayati terhadap Total Luas Kawasan Hutan, 1990 dan Dokumen internal (1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012, 2014). Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan, 1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012 dan Dokumen internal (1990 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1990 dan Dokumen internal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (1998 dan 2010). Proporsi Tangkapan Ikan yang Berada dalam Batasan Biologis yang Aman, 1998 dan Dokumen internal (1998 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1998 dan Dokumen internal (2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, Dokumen internal. Kementerian Kesehatan (2008). Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan & WSP-EAP. (2008). Mobilisasi Pendanaan Guna Mendukung PengembanganSanitasi. Jakarta (2008). Pendekatan Strategis Pengembangan Sanitasi di Indonesia. Jakarta (2008). Peranserta Swasta Dalam Peningkatan Layanan Sanitasi. Jakarta (2008). Public-Private Partnership in Handwashing with Soap (PPPHWWS)For Diarrheal Diseases Prevention in Indonesia. Fact Sheets. Jakarta (2008). SPM Sebagai Target Pencapaian Pengembangan Sanitasi. Jakarta (2008). Strategi Sanitasi melalui Pendekatan Pengembangan Kelembagaan. Jakarta (2010). Renstra Kementerian Kesehatan Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.

145 99 Kementerian Lingkungan Hidup (1992 dan 2010). Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO), 1992 dan Dokumen internal (2000 dan 2005). Emisi Karbon, 2000 dan Dokumen internal (2007). National Action Plan Adressing Climate Change. Jakarta: Kementerian Kesehatan (2010). Indonesia Second National Communication under the UNFCCC. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Pendidikan Nasional (2004). Rencana Strategis Jakarta: Kemdiknas. Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol. www. multilateral fund.org PEACE (2007). Indonesia and Climate Change. Current Status and Policies. Jakarta: Penataan Hukum terhadap Penggunaan dan Perdagangan Bahan Perusak Ozon (BPO). penataan-hukum-terhadap-penggunaan-dan-perdagangan-bahan-perusak-ozon-bpo/ The Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Montreal Conference, 16 September 1987 beserta amadenen-amandemennya. untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html UNDP (2007). The Other Half of Climate Change Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People. New York: UNDP. Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer. Vienna Conference, 22 Maret untreaty.un.org/ cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html WHO and UNICEF (2006). Meeting the MDG drinking water and sanitation target. New York: WHO and Unicef. TUJUAN Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. BPS dan Bank Dunia. Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB. Jakarta: BPS dan Bank Dunia. Bank Indonesia (2003 dan 2011). Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia (1990 dan 2012). Laporan Perekonomian Indonesia 1990 dan Jakarta: Bank Indonesia (2011). Neraca Pembayaran Indoensia, Triwulan I, II, III, IV Tahun Jakarta: Bank Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Jakarta: Bappenas (2009). The Jakarta Commitment: Indonesia Roadmap to Jakarta: Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Jakarta: Bappenas.

146 100 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Jakarta: Bappenas. Badan Pusat Statistik (2012, 2013, 2014). Survai Sosial Ekonomi Nasional 2012, 2013, Jakarta: BPS (2012). Statistik Perekonomian Indonesia Jakarta: BPS. International Telecomunication Union. (2011). Yearbook of Statistics: Telecommunication /ICT Indicators Geneve: ITU (2011). M-Governmennt Mobile Technologies for Responsive Governments and Connected Societies. Geneve: ITU. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (1997 dan 2012). Statistik Utang Luar Negeri, 1996 dan Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Jaringan PSTN, 2004 dan Dokumen internal (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Telepon Seluler, 2004 dan Dokumen internal. Kementerian Perdagangan (2013). Neraca Perdagangan Indonesia Jakarta: Kementerian Perdagangan

147

148

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes. KATA PENGANTAR Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia sepakat untuk mengadopsi Deklarasi

Lebih terperinci

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jl. Diponegoro No. 60 Telepon (0536) 3221715, 3221645, Fax (0536) 3222217 PALANGKA RAYA 73111 Paparan Kepala Bappeda Provinsi

Lebih terperinci

Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas

Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas Disampaikan dalam Dialog Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan 2015-2019 Ruang SG 1-5, Bappenas, 30 Januari

Lebih terperinci

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 2.2 2.3 Target MDGs Status Sumber 2015 Angka Partisipasi 90,0202 95,74 100%

Lebih terperinci

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH CAPAIAN MDGs provinsi KALIMANTAN TENGAH BAPPEDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Palangka Raya, 16 Desember 2015 CAPAIAN INDIKATOR MDGS 2 JUMLAH INDIKATOR 23% 20% 1 Menanggulangi kemiskinan dan Kelaparan 2 Mencapai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Laporan Ringkasan ini.

KATA PENGANTAR. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Laporan Ringkasan ini. KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Laporan Ringkasan Kajian Capaian Target MDGs terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya Buku ini merupakan ringkasan

Lebih terperinci

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN 2010-2014 NINA SARDJUNANI Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Rakornas

Lebih terperinci

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM) 1. Menanggulangi Kemiskinan

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010 LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 21 DEPUTI BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Tujuan dan Target Millennium Development Goals (MDGs)

Lebih terperinci

SERIAL PEDOMAN TEKNIS

SERIAL PEDOMAN TEKNIS SERIAL PEDOMAN TEKNIS PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI PROVINSI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3 DAFTAR ISI SAMBUTAN BUPATI POLEWALI MANDAR....... i DAFTAR ISI............ iii DAFTAR TABEL............ vi DAFTAR GRAFIK............ ix DAFTAR GAMBAR............ xiii DAFTAR SINGKATAN............ xiv PETA

Lebih terperinci

BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI

BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI Untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan kebijakan dan program, serta mengukur dampak kebijakan dan program pencapaian Target MDG s di Provinsi Lampung perlu dilakukan

Lebih terperinci

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah STRATEGI DAN INOVASI PENCAPAIAN MDGs 2015 DI INDONESIA Oleh Dr. Afrina Sari. M.Si Dosen Universitas Islam 45 Bekasi Email: afrina.sari@yahoo.co.id ABSTRACT Indonesia telah berhasil mengurangi kemiskinan

Lebih terperinci

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut : 4. Sistem Informasi pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Provinsi yang belum tepat waktu Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER Kerjasama Penelitian : BADAN

Lebih terperinci

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun 3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat di Mandar 2007-2009 Indikator 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 3 4 5 6 7 8 9 20 Tujuan Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Menurunkan Proporsi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... ii Daftar Tabel dan Gambar... xii Daftar Singkatan... xvi Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Kondisi Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Jawa Tengah... 3 Tujuan 1. Menanggulangi

Lebih terperinci

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MDGs dirumuskan pada tahun 2000, Instruksi Presiden 10 tahun kemudian (Inpres No.3 tahun 2010 tentang Pencapaian Tujuan MDGs) Lesson Learnt:

Lebih terperinci

Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi

Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi Oleh: Nugrahana Fitria Ruhyana, SP., ME. (Perencana Muda - Bappeda Kab. Sumedang) I. Latar Belakang Pada akhir tahun 2015 seiring berakhirnya

Lebih terperinci

MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional

MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional Dosen Pembimbing : H. Toto Subiakto, S.Kp, M.Kep Disusun Oleh: 1. Yolanda

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG RAD MDGs PROVINSI LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR : 45 TAHUN 2011 TANGGAL : 9 Desember 2011 BAB I PENDAHULUAN Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) merupakan

Lebih terperinci

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA (Disampaikan dalam Diplomat Briefing, Jakarta 11 Maret 2013) Kata Pengantar Refleksi tentang Pencapaian MDG ini merupakan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM 1. Latar Belakang dan Kondisi Umum 2. Dasar Hukum 3. Proses Penyusunan RAD 4. Capaian RAD MDGS Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011 2015 5. Permasalahan Pelaksanaan Aksi MDGS 6. Penghargaan yang Diperoleh

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS LAMPIRAN 39 40 Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS 41 42 43 Lampiran 2 TUJUAN, TARGET, DAN INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA No Tujuan Target Indikator 1 Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

Lebih terperinci

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Millennium Development Goals (MDGs) Komitmen Negara terhadap rakyat Indonesia dan global Komitmen Indonesia kepada masyarakat Suatu kesepakatan dan kemitraan global

Lebih terperinci

Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Melaksanakan MDGs dan Bergerak Menuju SDGs

Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Melaksanakan MDGs dan Bergerak Menuju SDGs Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Melaksanakan MDGs dan Bergerak Menuju SDGs Oleh: DR. SOEMARSONO, MDM Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Disampaikan pada: Pertemuan Nasional

Lebih terperinci

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS Fatia Fatimah (fatia@ut.ac.id) Tati Rajati Andriyansah UPBJJ-UT Padang Abstrak Pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 khususnya

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari Analisa Data Secara Integratif Untuk Menghasilkan Database Kecamatan dan Atlas adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum sejauh mana pencapain dari 7

Lebih terperinci

INTEGRASI SPM DALAM RPJMD. BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012

INTEGRASI SPM DALAM RPJMD. BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012 INTEGRASI SPM DALAM RPJMD BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012 LATAR BELAKANG Tujuan Negara (Alinea 4 Pembukaan UUD 1945) : Membentuk Pemerintahan RI yang: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Nina Sardjunani. Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi. Reuni Akbar Alumni ITB 75, Jakarta, 31 Januari 2011

Nina Sardjunani. Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi. Reuni Akbar Alumni ITB 75, Jakarta, 31 Januari 2011 STRATEGI MEMPERCEPAT PENCAPAIAN TARGET MDGS Nina Sardjunani Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi.

Lebih terperinci

CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN

CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN MENTERI KESEHATAN dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH SIMPOSIUM NASIONAL JHCC, Jakarta, 20 Desember 2010 CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN MENTERI KESEHATAN dr. Endang

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

BAB IV P E N U T U P

BAB IV P E N U T U P BAB IV P E N U T U P 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari Analisa Data Secara Integratif Untuk Menghasilkan Database Kecamatan dan Atlas adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum sejauh mana pencapain

Lebih terperinci

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Di beberapa negara terutama negara berkembang, kesehatan ibu dan anak masih merupakan permasalahan besar. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kematian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD)

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-979-3764-79-5

Lebih terperinci

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Wahyuningsih Darajati Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian PPN/Bappenas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2011

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2011 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS DENGAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program-program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan BAB IV PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA 4.1. Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan Sejak pengambilan komitmen terkandung dalam Deklarasi Milenium tahun 2000 terkait dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif

Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif Setyo Budiantoro Manager Pilar Pembangunan Ekonomi, Sekretariat TPB/SDGs Kementerian PPN/Bappenas Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk SDGs

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

Katalog BPS: KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat

Katalog BPS: KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat Katalog BPS: 4201005 KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat 4 GENDER 3 Kesehatan Seksual dan Reproduksi 2 Kependudukan dan Keluarga Berencana 1 PENGANTAR

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR Gerakan mondial dalam rangka mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didalam dokumen Millenium

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010

KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010 SAMBUTAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010 Yang kami hormati, Deputy Head of Delegation European Union

Lebih terperinci

BAB II. 2.1 MDG s Dan SDG s. A. MDG s

BAB II. 2.1 MDG s Dan SDG s. A. MDG s BAB II 2.1 MDG s Dan SDG s A. MDG s Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013 BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati oleh 191 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dicapai pada tahun 2015 (WHO, 2013).

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB/SDGs)

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB/SDGs) STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB/SDGs) DR. SUBANDI SARDJOKO Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Disampaikan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs)

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs) PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs) KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2010 PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik...

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... DAFTAR ISI Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel..... Daftar Grafik... i ii iii iv Bab I Pendahuluan... I-1 A. Latar Belakang... I-1 B. Dasar Hukum... I-3 C. Maksud dan Tujuan... I-4 D. Jenis Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kependudukan telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak ditandatanganinya deklarasi mengenai kependudukan oleh para pemimpin dunia termasuk presiden

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN RAPAT KERJA TEKNIS TKPK TAHUN 2015 KERANGKA ANALISIS SITUASI KEMISKINAN KOMPONEN ANALISIS Perubahan akibat intervensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. MDGs ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma pembangunan global, dideklarasikan di Konferensi Tingkat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL Oleh : Drs. Andang Muryanta PENDAHULUAN Banyak negara diberbagai belahan dunia telah berkomitmen secara serius dalam menggapai target MDGs (Millenium Development

Lebih terperinci

Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs)

Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs) 45 Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs) A Mufti Kepala Bagian Data & Informasi Kantor Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-979-3764-79-5

Lebih terperinci

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007 MDGs dalam Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007 1 Cakupan Paparan I. MDGs sebagai suatu Kerangka untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2011-2015 Diperbanyak oleh: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Lebih terperinci

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013 LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013 2014 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-602-1154-11-3 Diterbitkan

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara : KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA Disampaikan Pada Acara : LATAR BELKANG 1. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)

KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB) KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB) Deputi Kemaritiman dan SDA Kementerian PPN/Bappenas Disampaikan pada Rapat Pedoman Teknis Perumusan RAN TPB Jakarta, 23 Juni 2016 OUTLINE 1.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) disusun sebagai bahan informasi tentang pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Kota Surakarta pada tahun 2016.

Lebih terperinci

Keynote Speech. Pengendalian Produk Tembakau dan Pembangunan Berkelanjutan. Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, MUP, Ph.D. Menteri PPN/Kepala Bappenas

Keynote Speech. Pengendalian Produk Tembakau dan Pembangunan Berkelanjutan. Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, MUP, Ph.D. Menteri PPN/Kepala Bappenas Keynote Speech Pengendalian Produk Tembakau dan Pembangunan Berkelanjutan Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, MUP, Ph.D. Menteri PPN/Kepala Bappenas The 4th Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH)

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :

Lebih terperinci

TUJUAN 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu

TUJUAN 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu TUJUAN 5 Meningkatkan Kesehatan Ibu 57 Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990 dan 2015. Indikator: Angka kematian ibu. Proporsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals atau disingkat MDG s dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang merupakan paradigma pembangunan global

Lebih terperinci

PRA-MUSRENBANGNAS RKP 2016 Kelompok Pembahasan: Kesehatan

PRA-MUSRENBANGNAS RKP 2016 Kelompok Pembahasan: Kesehatan PRA-MUSRENBANGNAS RKP Kelompok Pembahasan: Kesehatan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Jakarta, 16-24 April 2015 Buku I: STRATEGI PEMBANGUNAN NORMA PEMBANGUNAN 1) Membangun untuk manusia dan masyarakat;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati Deklarasi Millenium di New York pada bulan September 2000. Deklarasi Millenium ini dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deklarasi pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan hasil kesepakatan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.389, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Penyediaan Air Minum. Sanitasi. Percepatan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan secara terarah, terpadu, dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tahapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai individu yang berada pada rentang usia tahun (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai individu yang berada pada rentang usia tahun (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefenisikan remaja sebagai masa dimana individu berkembang pada saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sampai mencapai

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya

Lebih terperinci

SERIAL PEDOMAN TEKNIS Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah

SERIAL PEDOMAN TEKNIS Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah SERIAL PEDOMAN TEKNIS Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah PEDOMAN PENYUSUNAN MATRIK RAD MDGs KABUPATEN DAN KOTA MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN MENCAPAI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

ANGGARAN KESEHATAN DALAM APBN

ANGGARAN KESEHATAN DALAM APBN ANGGARAN KESEHATAN DALAM APBN PUSAT KAJIAN ANGGARAN BADAN KEAHLIAN DPR RI 2016 Anggaran Kesehatan Dalam APBN Tim Penyusun Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Penulis Slamet Widodo, S.E.,

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci