ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI"

Transkripsi

1 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Februari 2010 Juwarin Pancawati NIM A

4 ABSTRACT JUWARIN PANCAWATI. The Analysis of Green Open Space Requirements in Tangerang City. Under direction of KUKUH MURTILAKSONO and BABA BARUS. Some places in Tangerang City has small amount of Green Open Space (GOS), whereas the presence of GOS is needed in order to create a comfortable urban environment. This study aims to analyze the suitability of GOS, knowing the public preference for GOS priorities, and constructing the formulation of referrals development for Tangerang City. GOS requirements were calculated based on; a) area (UU No.26/2007), b) population (Regulation of Public Works Minister No.05/PRT/M/2008), c) oxygen needs (Gerarkis method) and d) water needs (Faculty of Forestry IPB method). The analysis of the suitability of GOS was done by comparing the requirements with the existing GOS and the allocation in City s Spatial Arrangement Plan (RTRW). While public preferences of GOS were analyzed by AHP method. GOS requirements by area (4.935,6 Hectares) and population ( Hectares) were generally adequate. Meanwhile, requirement that based on the needed oxygen ( Hectares) and needed water ( Hectares) can not be fulfilled. The GOS s allocation in the Spatial Plan of Tangerang City , is not in accordance with the GOS requirements. The GOS s referrals development of Tangerang City was; to maintain the GOS area to 5.890,3 Hectares in order to not convert into built up area. This includes GOS for comfort of residents, both existing (261,6 Hectares) and constructed (4.022,6 Hectares), and the non-comfort GOS (1.867,7 Hectares). Most of the comfort GOS is in the form of block and the rest is in corridor form. The form of noncomfort GOS directed as agricultural area that concentrated at District Periuk and the area surrounding the airport. Keywords: green open space, requirement

5 RINGKASAN JUWARIN PANCAWATI. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan BABA BARUS. Kota Tangerang merupakan kota yang berkembang pesat. Perkembangan tersebut berakibat pada jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang. Padahal keberadaan RTH sangat diperlukan di perkotaan agar tercipta lingkungan yang nyaman dan sehat. Penelitian ini bertujuan memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang, berupa 1) analisis kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang, 2) analisis preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH di kota Tangerang, dan 3) rumusan arahan pengembangan RTH Kebutuhan RTH dihitung dengan pendekatan luas wilayah yang mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 yaitu 30% dari luas administrasi, kebutuhan penduduk akan RTH kenyamanan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008 yaitu 20m 2 per jiwa, kebutuhan oksigen yang dihitung menggunakan metode Gerarkis dan kebutuhan air dengan metode Sutisna. Analisis kecukupan RTH dilakukan dengan memperbandingkan ketersediaan RTH eksisting dan alokasi RTH dalam RTRW dengan kebutuhan RTH. Preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH dianalisis menggunakan metode AHP terhadap 31 responden yang terdiri dari kalangan akademisi, pengembang, pemerintah dan tokoh masyarakat. Hasil analisis menunjukan prioritas RTH yang ingin dikembangkan secara berturut-turut adalah RTH berbentuk kawasan, jalur, dan simpul. Kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air bersih secara berturut-turut adalah 4.935,6 Hektar, 3.063,3 Hektar, Hektar, dan Hektar. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dan air bersih jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang, sehingga sulit dipenuhi. Sedangkan kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk secara umum terpenuhi, kecuali Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ciledug. Alokasi RTH dalam Revisi RTRW Kota Tangerang , ruang terbuka secara umum tidak sesuai dengan kebutuhan RTH. Hampir semua Kecamatan di Kota Tangerang kekurangan alokasi RTH, kecuali Kecamatan Tangerang, Karawaci dan Neglasari. Preferensi masyarakat terhadap pengembangan RTH secara berturut-turut adalah berbentuk kawasan, jalur dan simpul Arahan pengembangan RTH Kota Tangerang dilakukan berdasarkan ketersediaan RTH, alokasi RTH dalam RTRW, dan proyeksi kebutuhan RTH pada tahun 2018 dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi yang diinginkan. Arahan RTH yang dilakukan adalah mempertahankan RTH seluas 5.890,3 hektar agar tidak terkonversi menjadi lahan terbangun. Termasuk di dalamnya adalah RTH taman baik eksisting maupun yang ditambahkan (4.022,6 hektar) dan RTH non-taman (1.867,7 hektar). RTH taman sebagian besar berbentuk kawasan (sempadan situ, taman kota, hutan kota

6 dan lapangan olah raga) dan sebagian lainnya berbentuk jalur hijau tepi jalan dan jalur hijau sempadan sungai. RTH non-taman diarahkan dalam bentuk lahan-lahan pertanian, terutama dipusatkan di kecamatan periuk dan kawasan sekitar bandara. Pada kawasan ini diperlukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian. Cadangan ruang terbangun seluas 2075,4 hektar sebagian besar diarahkan di Kecamatan Cipondoh, Pinang, Jatiuwung dan Benda.

7 Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang Nama : Juwarin Pancawati NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Ketua Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 5 Febuari 2010 Tanggal Lulus:

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si.

9 KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Allah SWT, salam dan salawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, karena perkenan-nya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan penelitian ini penulis mendapat masukan, arahan, petunjuk dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Baba Barus, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan saran yang diberikan. Lebih daripada itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Risnur dan Ibu Mesi Shinta Dewi dari Dinas Tata Kota Tangerang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta yang telah memberi semangat, doa, dan kasih sayangnya. Tidak lupa Teman-teman PWD 2007 dan PWL 2007 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terimakasih atas segala bantuan dan kerjasama yang terjalin selam ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Febuari 2010 Juwarin Pancawati

10 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purwokerto pada tanggal 14 Februari 1975, dari ayah Suyitno Padmowiyoto dan ibu Siti Robi,atun (almh). Menikah dengan M. Irsyad dan dikaruniai tiga orang anak; Iriene Naura Khansa, Muhammad Afif Abiyyuga dan Muhammad Latief Aditya. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Purwokerto pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada program studi Ilmu Tanah. Tahun 2002 penulis menyelesaikan studi Program Pascasarjana (S2) Ekonomi Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Tahun 2007, penulis mendapat kesempatan kembali untuk menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sulltan Ageng Tirtayasa di Serang Banten.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xii xiii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau... 6 Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau Proses Hierarki Analitik Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Penyusunan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Topografi dan Kelerengan Iklim Hidrologi Penggunaan Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang 31 Kondisi Perekonomian Kondisi Sosial Budaya HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kecukupan RTH berdasarkan Kondisi Eksisting RTH Kesesuaian Rencana Umum Tata Ruang Kota untuk Kawasan Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH Arahan Pengembangan RTH... 86

12 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Skala Perbandingan Berpasangan Ketinggian dan Kemiringan Lahan Kota Tangerang Penggunaan Lahan Kota Tangerang Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang Kota Tangerang Rencana Penggunaan Lahan Kota Tangerang Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun Kebutuhan Oksigen untuk Manusia di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Kebutuhan Oksigen Kebutuhan Oksigen Bagi Kendaraan Bermotor di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Karakteristik Umum Jalan Utama Kota Tangerang Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor untuk Tiap Kecamatan di Kota Tangerang Jumlah Ternak Tahun 2008 dan Karakteristik Kebutuhan Oksigen Kebutuhan Oksigen Bagi Ternak di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Kebutuhan Oksigen Bagi Hewan Ternak Per Kecamatan Pada Tiga Titik Tahun Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Golongan Konsumen Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang Kecukupan RTH Berdasarkan Kondisis Eksisting... 65

14 Halaman 23. Proyeksi Kecukupan RTH berdasarkan UU No.26/2007 pada Tiga Titik Tahun Jumlah Ruang Terbuka Hijau dan Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Kecukupan Kebutuhan RTH Taman di Kota Tangerang Kecukupan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Tahun Jumlah Pohon yang Diperlukan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Golongan Konsumen Jumlah Pohon yang Dibutuhkan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan Jumlah Pohon pada Program GERHAN Kota Tangerang Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bersih Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Hasil Proses Hierarki Analitik (AHP) untuk Mendapatkan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Jumlah Pohon Trembesi untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993) Letak Geografis Kota Tangerang Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH Contoh Bentuk-Bentuk Umum RTH Kota Tangerang Diagram Alir Analisis Penutupan Lahan Pembagian Wilayah Pengembangan Kota (WPK) dalam Revisi RTRW Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun Citra Satelit Lokasi Penelitian Kota Tangerang Peta Penutupan Lahan Kota Tangerang Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang Kecukupan RTH berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kota Tangerang Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang Kebutuhan RTH berdasarkan Kebutuhan Air Tanah Kota Tangerang Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Sketsa Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 91

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Administrasi Kota Tangerang Komponen Perhitungan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Di Kota Tangerang Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Pertama (Prioritas Fungsi RTH) Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekologi) Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Sosial) Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekonomi) Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Estetika) Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kemampuan Vegetasi Dalam Memproduksi Oksigen Lokasi dan Luas Taman dan Hutan Kota Di Kota Tangerang

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan yang semakin padat oleh berbagai infrastruktur sehingga berdampak terhadap kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut apabila tidak diimbangi dengan pertambahan ruang terbuka hijau dapat menyebabkan menurunnya kualitas air dan udara, berkurangnya daerah tangkapan air (catchment area) dan meningkatnya pencemaran lingkungan. Sehingga kota hanya maju secara ekonomi, namun mundur secara ekologi. Kota Tangerang merupakan salah satu kota di kawasan Jabotabek yang mengalami perkembangan pesat. Selain dikenal sebagai kota industri, Kota Tangerang juga merupakan daerah pengembangan kawasan pemukiman bagi para komuter yang bekerja di Jakarta. Kota Tangerang memiliki luas wilayah ,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas ,231 Ha (57,12 % dari luas seluruh kota) dengan urutan penggunaan tertinggi sebagai kawasan pemukiman (5.988,2 Ha). Luas kawasan pemukiman diperkirakan akan meningkat pesat mengingat tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang, yaitu rata-rata diatas 3,0%. Hingga pertengahan tahun 2007 penduduk Kota Tangerang berjumlah jiwa. Populasi penduduk dalam kurun tahun , telah berkembang menjadi 1,5 kali dibandingkan dengan tahun 1990 yang berjumlah jiwa (Dinas Kependudukan Catatan Sipil, 2008). Jumlah penduduk yang meningkat pesat akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang. Di banyak perkotaan di Indonesia, tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang seringkali diiringi menurunnya kualitas dan kuantitas kawasan hijau di kawasan perkotaan. Menurut Widodo (2007), sebagian besar kecamatan di Kota Tangerang, terutama Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan, memiliki kawasan hijau kurang dari 10%. Kawasan hijau masih dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Pinang, Cipondoh, Neglasari, sebagian kecil Kecamatan Batu Ceper (kawasan bandara) 1

18 dan Kecamatan Periuk. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, hanya Kecamatan Cipondoh dan Kecamatan Pinang yang masih memiliki kawasan hijau yang memadai, yaitu sekitar 40 % dari masing masing wilayah kedua kecamatan ini. Walaupun demikian di masa yang akan datang kondisi ini akan cepat berubah mengingat wilayah ini merupakan daerah konsesi para pengembang perumahan. Apabila nanti dikembangkan maka kegersangan mungkin juga akan tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Ciledug atau Kecamatan Larangan. Tentu saja ini merupakan kondisi yang perlu diwaspadai mengingat pentingnya keberadaan kawasan hijau bagi masyarakat perkotaan. Keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan bagi wilayah perkotaan seperti Tangerang. Selain menambah nilai estetika dan keasrian kota, ruang terbuka hijau juga berfungsi menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk, menjaga keseimbangan oksigen (O 2 ) dan karbon dioksida (CO 2 ), mengurangi polutan, serta membantu mempertahankan ketersediaan air tanah. Menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti udara dan air bersih. Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau minimal menempati 30% luas wilayah perkotaan. Lebih lanjut dipertegas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, bahwa proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota. Setiap hari manusia membutuhkan oksigen sekitar 0,5 kg/hari; tanpanya manusia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius. Ruang terbuka hijau disebut sebagai paru-paru kota karena merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Fungsi ini sebenarnya merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO 2 ) dan oksigen (O 2 ), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Proses pembersihan udara oleh tanaman berlangsung secara efektif melalui proses penyerapan (absorpsi) dan penjerapan (adsorpsi) dalam proses fisiologis. Mengingat tingginya jumlah 2

19 penduduk, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan RTH sangat diperlukan untuk menjamin pasokan oksigen bagi penduduk Kota Tangerang. Kebutuhan prasarana lain yang harus disediakan oleh pemerintah adalah prasarana air bersih. Pelayanan air bersih di Kota Tangerang, baik yang berasal dari sistem perpipaan maupun non perpipaan, terus mengalami peningkatan. Tahun 2004 jumlah rumah tangga terlayani air bersih, baik dari sistem perpipaan maupun non-perpipaan, sebesar 92,31 %, pada tahun 2005 meningkat menjadi 92,34 % dan pada tahun 2006 menjadi 93,15%. Sisanya, sekitar 7% merupakan penduduk yang tidak terlayani air bersih. Namun dari jumlah tersebut (93,15%) pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan baru dapat menjangkau 20% dari penduduk kota Tangerang, dan terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Adapun sebagian besar penduduk Kota Tangerang (sekitar 73%) masih mengandalkan pemanfaatan sumber air tanah (sumur gali/sumur pompa) untuk mencukupi kebutuhan air mereka Mengingat besarnya jumlah penduduk yang masih menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sudah seyogyanya pemerintah berkewajiban untuk menjaga kualitas dan kuantitas air bawah tanah di Kota Tangerang. Salah satu upaya mempertahankan keberadaan air bawah tanah antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (Thohir, 1991). Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap keberadaan ruang publik, khususnya RTH. Keberhasilan pengembangan RTH selain ditentukan oleh strategi pemerintah juga ditentukan oleh adanya partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh mereka (Fear, 1990). Pemerintah kota harus dapat mengelola ketersediaan RTH dalam wilayahnya sesuai dengan keinginan masyarakat, juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota. Wujud dan manfaat RTH yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota, akan memberikan rasa nyaman, sejahtera, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid, 1979). Keterlibatan masyarakat ini, secara langsung maupun tidak langsung, dapat 3

20 menciptakan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan memelihara kawasan RTH di lingkungan mereka. Perumusan Masalah Berkembangnya Kota Tangerang yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitasnya, secara tidak langsung mengakibatkan tekanan yang tinggi pada pemanfaatan ruang. Keberadaaan kawasan hijau di perkotaan seringkali dikalahkan oleh kebutuhan lain, seperti pengembangan kawasan pemukiman, pusat perbelanjaan dan aktivitas komersial lain, sehingga kualitas dan kuantitasnya semakin hari semakin berkurang. Di sisi lain, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, keberadaan akan RTH sebagai penyedia jasa lingkungan semakin dibutuhkan. Kualitas dan kuantitas RTH harus terus disesuaikan dengan perkembangan penduduk agar tercipta Kota Tangerang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Penataan ruang ditujukan untuk menghasilkan suatu perencanaan tata ruang yang diinginkan di masa mendatang. Proses perwujudan tata ruang kota biasanya dijabarkan dalam rencana tata ruang kota atau rencana detil tata ruang kota. Selain dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang, proses perencanaan maupun teknis pelaksanaan penyelenggaraan RTH sedapat mungkin melibatkan para-pihak (stakeholder). Dalam upaya penyelenggaraan RTH, kemampuan pemerintah seringkali terbatas, sehingga perlu adanya prioritas dalam pengembangan RTH yang tidak mengesampingkan keinginan masyarakat, terutama terkait dengan manfaat dan bentuk RTH. Terkait dengan hal tersebut, secara khusus, penelitian ini akan memfokuskan pada pertanyaan penelitian (reserch question) sebagai berikut: 1. Berapa jumlah kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan air bersih. 2. Apakah pengembangan ruang terbuka hijau yang ada telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penduduk Kota Tangerang 4

21 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji jumlah dan kecukupan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang. 2. Mengkaji preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Tangerang 3. Membuat rumusan arahan pengembangan RTH sesuai dengan kebutuhan, kondisi penutupan lahan, kebijakan tata ruang pemerintah, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Kota Tangerang terhadap bentuk dan fungsi yang diharapkan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kebutuhan RTH di Kota Tangerang, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan pembangunanya, yaitu; mengembangkan pemukiman dengan menekankan pada kelestarian hidup. 5

22 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau square (Gunadi, 1995). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka Hijau. Ruang terbuka didefinisikan sebagai ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 dalam Purnomohadi, 2006). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal, bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002) Ruang terbuka berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, pertukaran udara sebagian besar terjadi di areal (ruang) terbuka (Purnomohadi, 2006). Menurut Spreigen (1965) dalam Hakim (2002), ruang terbuka juga memiliki fungsi sebagai penunjang kenyamanan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan dan

23 pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang di dalam kota dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang terbuka lebih dominan (Hakim, 2002). Pelaksanaan pengembangan RTH dilakukan dengan pengisian tumbuhan pada ruang terbuka, baik secara alami ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman komoditi pertanian dalam arti luas, pertamanan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perenial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995) Penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk tiga hal, yaitu: 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu 1) luas minimum yang diperlukan, 2) lokasi lahan kota yang

24 potensial dan tersedia untuk RTH, 3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 1), dan 4) distribusinya dalam kota (Tim IPB, 1993). Konsentris Terdistribusi Hierarkis Linear Mengikuti fisiografi (sungai) Jaringan Gambar 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993) Anderson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa kawasan hijau terdiri dari barisan pepohonan sepanjang jalan, gerombolan vegetasi di taman-taman, terasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke daerah hutan. Menurut Grey dan Deneke (1978) ruang terbuka hijau akan disebut sebagai hutan kota jika memiliki luas minimum 0,4 ha, atau jika memiliki bentuk jalur lebarnya minimum 30 meter 1. Ruang tebuka hijau meliputi semua vegetasi yang tumbuh di daerah taman, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan kawasan luar kota. Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah, 1996). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, RTH dikelompokkan menjadi 4 jenis 1 Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 menetapkan hutan kota dapat berbentuk bergerombol/menumpuk dengan berbentuk jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak rapat tidak beraturan, atau menyebar tidak beraturan dengan luas minimum 2500 m 2, atau berbentuk jalur dengan lebar minimal 30 m.

25 yakni: RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan RTH fungsi tertentu (termasuk didalamnya RTH sempadan badan air dan pemakaman). Berbeda dengan Nurisyah, Fandeli (2004) mengklasifikasikan RTH berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, dan kawasan hijau pekarangan. Djamal Irwan (1994) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi lingkungan terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan dan debu. Bentuk RTH dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk: a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan. b. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak memiliki pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol kecil c. Bentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya. Sedangkan Nurisjah (2005) membedakan bentuk ruang terbuka hijau berdasarkan kesesuaian fungsionalnya terhadap ruang-ruang kota. Ruang terbuka hijau dikelompokkan menjadi dua: a. Bentuk mengelompok, dibedakan lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek estetika ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas masyarakat kota dan kurang bermanfaat secara ekologis.

26 b. Bentuk jalur dikategorikan lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai, jalur hijau tepi kota dan sebagainya. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita, 1997 dalam Nurisjah, 2005). RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (Crowe, 1981). Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih. Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang (Carpenter et al., 1975). Menurut Simonds (1983) RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana pendidikan. Menurut Purnomosidi (2006), kemudian dikukuhkan dan disempurnakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH

27 memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Sedangkan fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah: 1) fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam, 2) fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya. 3) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau Hingga saat ini, formula rumusan penentuan luas kebutuhan RTH untuk memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih terbatas pada penentuan luas secara kuantitatif. Luas RTH tersebut masih harus disesuaikan dengan faktor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi dan sebagainya. Perhitungan luas minimum kebutuhan RTH perkotaan secara kuantitatif dapat didasarkan pada: 1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, 2) jumlah penduduk, yakni 20m 2 per kapita yang didistribusikan pada berbagai tingkat hierarki (Tabel 1), dan/atau 3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu biasanya dikaitkan dengan isuisu penting di suatu wilayah perkotaan antara lain kebutuhan oksigen, ketersediaan air, atau pencemaran udara.

28 Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas Minimal/ unit(m 2 ) Luas Minimal/ kapita (m 2 ) jiwa Taman RT 250 1,0 Lokasi Ditengah lingkungan RT jiwa Taman RW ,5 Dipusat kegiatan RW jiwa Taman kelurahan ,3 Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kelurahan jiwa jiwa Taman kecamatan ,2 Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan Taman kota ,3 Di pusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan pinggiran Untuk fungsifungsi tertentu disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan kebutuhan Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 Kebutuhan oksigen di wilayah perkotaan, dapat menggunakan metode Gerarkis (Wisesa, 1988). Perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah konsumsi oksigen oleh penduduk kota, namun juga memperhitungkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ternak dan kendaraan bermoor. Kebutuhan oksigen untuk manusia dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan memproduksi 480 liter CO 2. Untuk menghitung konsumsi oksigen oleh kendaraan bermotor, terlebih dahulu perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor. Jenis kendaraan bermotor dibedakan menjadi kendaraan penumpang, kendaraan beban, kendaraan bis dan sepeda motor Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcchy Process) Proses Hierarki Analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa

29 model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hierarki adalah merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya. Selanjutnya mengatur bagian-bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki. Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen unit lain, sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement, syntesis of priority, dan logical consistency. 1) Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy). 2) Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya

30 dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Agar diperoleh skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban perlu memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari. 3) Synthesis of priority. Dari setiap matriks pairwise comparison dicari eigenvector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk hierarki. Pengurutan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan priority setting. 4) Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat adalah kriterianya). Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C, maka seharusnya A>C. Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008. Partisipasi masyarakat merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan dalam penataan ruang, baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan, melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH.

31 Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan RTH di wilayah perkotaan adalah: 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam pengembangan ruang terbuka hijau, 2) memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pengembangan RTH, 3) menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budaya, 4) menjunjung tinggi keterbukaan dan semangat tetap menegakkan etika, serta 5) memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.

32 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, Propinsi Banten. Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data, analisis dan diakhiri dengan penyusunan laporan, pada bulan Mei hingga Desember Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6º6' Lintang Utara sampai dengan 6º13 Lintang Selatan dan 106º36' Bujur Timur sampai dengan 106º42' Bujur Timur. Batas-batas wilayah penelitian adalah: Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang. Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang, dan Kecamatan Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan. Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Secara rinci, posisi geografis wilayah Kota Tangerang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Letak Geografis Kota Tangerang

33 Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data-data dan informasi yang dibutuhkan, serta menganalisis data sesuai dengan kebutuhan. Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan meliputi : Pengumpulan Data Pengumpulan data diperlukan untuk menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau di kota Tangerang. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh langsung melalui pengamatan di lapangan serta wawancara dengan narasumber, terutama untuk menentukan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH yang diinginkan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka dari literatur dan dokumen yang ada. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data administrasi, data fisik dan biofisik, data sosial demografi, data ekonomi dan data lainnya yang digunakan untuk analisis lebih lanjut. Adapun rincian data tersebut adalah sebagai berikut: Peta Administrasi Kota Tangerang Citra Ikonos tahun 2007 yang diolah untuk memperoleh informasi penutupan lahan, diakses dari BPLH Kota Tangerang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang tahun (Draft sementara, yang di-up date pada September 2009) Peraturan-perundangan yang terkait dengan RTH Luas wilayah, jumlah penduduk, jenis dan jumlah kendaraan, jenis dan jumlah ternak, jumlah dan distribusi air minum oleh PDAM, dan jumlah air tanah Kota Tangerang yang digunakan untuk menghitung luas kebutuhan RTH. Luas wilayah diperoleh dari BPS, jumlah penduduk diperoleh dari BPS, jenis dan jumlah kendaraan dari Kantor Samsat Kota Tangerang, jenis dan jumlah ternak dari Dinas Pertanian Kota Tangerang, sedangkan jumlah dan distribusi air minum diperoleh dari PDAM Kerta Raharja dan PDAM Tirta Benteng.

34 Analisis Data Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan dilakukan perhitungan dan analisis terhadap kebutuhan RTH, analisis penutupan lahan, analisis kesesuaian RTH, dan analisis terhadap preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Tangerang. Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah. Luas kebutuhan RTH didasarkan pada Undang-Undang Tata Ruang nomor 26 Tahun 2007, yang mensyaratkan luas RTH minimal 30% dari total luas wilayah kota. Proporsi RTH berdasarkan kepemilikan adalah 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk. Untuk menentukan luas RTH dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota per penduduk ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu 20m 2 /penduduk. Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang. Luas kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan metode Gerarkis (Fakultas Kehutanan IPB 1987), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988). Perhitungan tersebut menggunakan data sosial budaya seperti jumlah penduduk, jumlah ternak dan jumlah kendaraan bermotor. Rumus dari metode Gerarkis adalah sebagai berikut: L t = P + K + T t ( 54) ( 0,9375) Dimana: Lt adalah luas RTH kota pada tahun ke t (m 2 ) Pt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t Kt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke t Tt adalah jumlah kebutuhan bagi ternak pada tahun ke t 54 adalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m 2 luas lahan menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari t t m 2

35 0,9375 merupakan konstanta yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara produksi oksigen 0,9375 gram Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini: Kebutuhan oksigen per hari tiap penduduk adalah sama, yaitu 600 liter/hari Pengguna oksigen adalah manusia, kendaraan bermotor dan ternak, sedangkan hewan dan pengguna lain diabaikan dalam perhitungan. Jumlah kendaraan yang keluar dan masuk dalam wilayah Kota Tangerang dianggap sama setiap hari Jumlah kendaraan yang beredar di Kota Tangerang sebanding dengan jumlah kepemilikan kendaraan penduduk yang tercatat di Kantor Samsat Kota Tangerang. Kesejahteraan penduduk meningkat setiap tahun sehingga mampu membeli kendaraan bermotor Guna memprediksikan jumlah penduduk pada tahun mendatang (2013 dan 2018) dapat digunakan rumus bunga berganda: Dimana: P t+x P t r x P = P ( 1+ r) t + x t Jumlah penduduk pada tahun t+x Jumlah penduduk pada tahun t Rata-rata persentase pertambahan jumlah penduduk selisih tahun Rumus bunga berganda dapat digunakan untuk memprediksikan jumlah hewan ternak dan kendaraan bermotor berdasarkan jenisnya dengan menggunakan data perkembangan jumlah pada tahun sebelumnya. Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang. Kebutuhan air dalam kota bergantung pada faktor; kebutuhan air bersih per tahun, jumlah yang dapat disediakan oleh PAM, potensi air saat ini, kemampuan ruang terbuka hijau menyimpan air. Faktor tersebut dapat ditulis dalam persamaan : x

36 Po. K La = t ( 1+ R C) z PAM Pa Dimana: La adalah luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (Ha) Po adalah jumlah penduduk pada tahun ke 0 K adalah konsumsi air per kapita (liter/hari) R adalah laju peningkatan pemakaian air (biasanya seiring dengan laju pertumbuhan penduduk kota setempat) C adalah faktor koreksi; tergantung upaya pemerintah untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk (%) PAM adalah kapasitas suplai air oleh PAM (dalam m 3 /tahun) t adalah tahun ke Pa adalah potensi air tanah saat ini (m 3 /tahun) z adalah kemampuan RTH dalam menyimpan air (m 3 /ha/tahun) Asumsi: Potensi air tanah tersebar merata di seluruh kawasan Sumber air berasal dari kota Tangerang dan tidak ada suplai dari daerah lain Standar kebutuhan konsumsi air bersih 300 liter/orang/hari hanya bersumber dari PDAM 1 dan air tanah dengan kapasitas suplai air bersih tetap Jenis vegetasi yang digunakan memiliki kemampuan yang sama dalam meresapkan air Laju pertambahan penduduk 10 tahun yang akan datang relatif tetap Analisis Penutupan Lahan Analisis penutupan lahan dilakukan untuk memperoleh informasi penutupan lahan eksisting. Informasi daerah yang bervegetasi diperlukan untuk mengetahui kecukupan vegetasi dalam memenuhi standar kebutuhan ruang terbuka hijau yang dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah citra Ikonos wilayah Tangerang tahun Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1 Departemen Pekerjaan Umum, 1998.

37 1) Pemotongan citra, atau cropping dilakukan untuk membatasi daerah penelitian. Pemotongan citra menggunakan peta digital Kota Tangerang, mencakup seluruh wilayah administratif Kota Tangerang. 2) Citra kemudian didigitasi sesuai dengan jenis penutupan lahannya. Adapun jenis penutupan lahan dikelaskan menjadi; 1) ruang terbangun, 2) lahan bervegetasi pohon, 3) lahan bervegetasi semak, rumput, perdu dan tanaman pertanian semusin, dan 4) lahan kosong (tanpa vegetasi). 3) Pengecekan lapang. Pengecekan ini dilakukan untuk memperoleh informasi dan kondisi Kota Tangerang terkini secara nyata. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dicatat koordinatnya, untuk kemudian dilakukan koreksi pada peta penutupan lahan yang akan dihasilkan. Analisis Kesesuaian Ruang Terbuka Hijau Analisis kesesuaian ruang terbuka hijau digunakan untuk mengetahui kecukupan kondisi eksisting RTH dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang terhadap kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air tanah bagi penduduk Kota Tangerang. Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang Penelitian ini menggunakan metode Analysis Hierarchy Process (Saaty, 1993), untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH berdasarkan bentuk dan manfaatnya. Penilaian preferensi masyarakat dilakukan melalui kuisioner yang diisi oleh responden dengan penilaian skala perbandingan berpasangan. Responden berjumlah 31 orang terdiri dari empat para-pihak (stakeholder), yaitu kalangan akademisi, pemerintahan, swasta dan tokoh masyarakat. Langkah-langkah Analysis Hierarchy Process (AHP) yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Penyusunan hierarki. Persoalan yang ada didekomposisikan menjadi unsur-unsur, yaitu kriteria dan alternatifnya. Unsur-unsur tersebut kemudian disusun menjadi struktur

38 hierarki. Hal yang ingin diketahui adalah bentuk dan fungsi ruang terbuka hijau yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Bentuk dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang menjadi preferensi tertinggi akan menjadi prioritas dalam pengembangan RTH di Kota Tangerang. Kriteria untuk mengambil keputusan adalah berdasarkan fungsi ruang terbuka hijau (ekologis, sosial, ekonomi dan estetika). Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya dinyatakan dalam tiga bentuk fisik RTH yang terkait dengan kesesuaian fungsionalnya dan merupakan bentuk umum yang banyak dijumpai di Kota Tangerang, yaitu kawasan, simpul dan jalur (Gambar 4). a). Kawasan berbentuk non-linier, zonal atau areal, dengan luas minimal satu hektar, seperti taman kota, hutan kota, kawasan konservasi, lapangan bola, alun-alun kota, dan sebagainya. b). Simpul berbentuk non-linier, zonal atau areal dengan luas kurang dari satu hektar, seperti pekarangan, taman RT, Taman RW, traffic islands, pocket park, dan sebagainya c). Jalur berbentuk koridor, linier, memanjang. Termasuk dalam RTH ini adalah jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau sempadan sungai, jalur pengaman listrik tegangan tinggi. Adapun struktur hierarki persoalan ini digambarkan sebagai berikut: Prioritas Pengembangan RTH Ekologis Sosial Ekonomi Estetika Kawasan Simpul Jalur Gambar 3. Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH

39 Lapangan PT. Kumatex Taman Kota Cisadane RTH bentuk mengelompok: kawasan Jl. Veteran Jl. Daan Mogot RTH bentuk mengelompok: simpul Tanah tinggi Jl Pengayoman Cipondoh Indah Cisadane Pintu Air Sepuluh Perintis Kemerdekaan RTH bentuk jalur: jalur hijau lintas kereta, jalur hijau jalan raya, jalur hijau listrik tegangan tingi, jalur hijau tepi sungai Gambar 4. Contoh Bentuk-Bentuk Umum RTH Kota Tangerang

40 2) Penilaian Kriteria dan Alternatif Penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan penilaian skala perbandingan berpasangan. Skala yang digunakan adalah 1-9 dengan nilai dan definisi pendapat kualitatif dari Saaty, seperti yang dikemukakan Marimin (2004) berikut: Tabel 2. Skala Perbandingan Berpasangan Nilai Keterangan 1 Kriteria/Alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 Mutlak lebih penting dari B 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan 3) Penentuan Kriteria. Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria-kriteria kualitatif yang ada dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik 4) Konsistensi Logis Semua elemen kemudian dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Analisis ini dilakukan dengan bantuan software Expert Choice Penyusunan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau untuk Kota Tangerang Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sebagai hasil akhir penelitian dibuat rumusan arahan pengembangan ruang terbuka hijau untuk Kota Tangerang. Arahan pengembangan RTH yang dilakukan didasarkan pada hasil analisis penutupan lahan, RUTR Kota Tangerang, dan proyeksi kebutuhan RTH pada tahun 2018, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH yang diharapkan. Arahan pengembangan berupa arahan sebaran luas, bentuk dan fungsi RTH pada tiap kecamatan.

41 Arahan pengembangan RTH dilakukan untuk memenuhi kebutuhan RTH maksimum yang masih mungkin dicapai berdasarkan kondisi penutupan lahan eksisting, RUTR dal luas wilayah pada masing-masing kecamatan. Sebaran kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah digunakan untuk melihat kebutuhan RTH kota secara total pada wilayah Kota Tangerang yang berupa ruang terbuka yang didominasi oleh hijauan (vegetasi) dalam bentuk apapun. Sebaran RTH menurut kebutuhan penduduk ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan penduduk yang berbentuk taman umum, jalur hijau, hutan kota, dan/atau kawasan perlindungan setempat (selanjutnya disebut RTH kenyamanan). Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen digunakan untuk melihat kebutuhan RTH yang berupa tegakan-tegakan pohon yang diasumsikan dapat menghasilkan oksigen. Sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan air digunakan untuk melihat kebutuhan RTH berupa lahan-lahan resapan air. Ruang terbuka hijau yang telah tertata tetap dipertahankan. Kekurangan luasan RTH selanjutnya dipenuhi dengan menjadikan RTH eksisting menjadi RTH tertata. Proses akuisisi ini diorientasikan pada lahan-lahan yang direncanakan pemerintah dalam RTRW dan lahan-lahan yang masih berupa RTH. Bentuk RTH disesuaikan dengan ketersediaan lahan yang ada, namun sebisa mungkin mengakomodasikan preferensi masyarakat. Bila ketersediaan lahan di suatu kecamatan tidak mencukupi, maka pemenuhan kebutuhan diperoleh dari subsidi dari kecamatan lain. Pada prinsipnya seluruh RTH ditujukan untuk menyangga ekologi Kota Tangerang, namun beberapa diantaranya perlu ditekankan pada fungsi tertentu. Fungsi estetika antara lain ditekankan pada RTH taman dan jalur hijau tepi jalan. Fungsi ekologi ditekankan pada hutan kota, kawasan resapan air, kawasan sempadan situ dan jalur hijau sempadan sungai. Sedangkan kawasan pertanian menekankan pada fungsi ekonomi. Adapun rangkaian tahapan penelitian hingga diperoleh rumusan arahan pengembangan RTH disajikan dalam Gambar 5.

42 Perkembangan Kota Tangerang Kondisi umum Ruang Terbuka Hijau RTRW Kota Tangerang Standar Kebutuhan RTH RTH Eksisting Kondisi Fisik, Biofisik, Sosial- Budaya, Ekonomi Luas wilayah Jumlah Penduduk Kebutuhan Oksigen & Air Bersih Analisis Penutupan Lahan Analisis Kebutuhan RTH RUTRK Kawasan Hijau Luas dan sebaran RTH Analisis Kecukupan dan Kesesuaian RTH Peraturan Menteri PU No 05/PRT/M/2008 Preferensi masyarakat Arahan Pengembangan RTH Kota Tangerang Gambar 5. Diagram Alur Penelitian

43 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang Analisis penutupan lahan dilakukan untuk mengetahui luas ketersediaan RTH, lokasi dan penyebarannya. Hasil analisis tersebut akan digunakan sebagai dasar analisis selanjutnya, serta sebagai dasar dalam melakukan penyusunan arahan pengembangan RTH. Berdasarkan kenampakan citra Ikonos dan survei lapang, penutupan lahan di Kota Tangerang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas (Gambar 5), yaitu: 1. Lahan bervegetasi pohon atau tanaman keras (6%) 2. Lahan bervegetasi semak, rumput, dan tanaman musiman (sawah/ladang) (39%) 3. Lahan kosong atau tidak bervegetasi (1%) 4. Lahan terbangun, baik berupa pemukiman, bangunan industri, bangunan infrastuktur, dan bentuk lainnya (54%) Vegetasi Pohon 6% Lahan terbangun 54% semak, rumput, tanaman semusim 39% Lahan kosong 1% Gambar 7. Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun 2007 Kawasan hijau di Kota Tangerang secara umum membentuk pola terdistribusi tidak merata. Lahan bervegetasi pohon, yang dicirikan oleh tekstur yang kasar dan berwarna hijau tua sebagian membentuk pola memanjang (jalur) di sepanjang sungai, dan sebagian lainnya membentuk gerombol-gerombol kecil yang tidak saling terhubung. Lahan hijau yang lainnya berupa lahan bervegetasi semak, rumput, dan tanaman pertanian semusim membentuk pola menyebar atau terdistribusi secara tidak merata (Gambar 8 dan 9). 43

44 Gambar 8. Citra Satelit Lokasi Penelitian Kota Tangerang 44

45 Gambar 9. Peta Penutupan Lahan Kota Tangerang

46 Kegiatan pertanian di Kota Tangerang pada umumnya tidak dilakukan secara intensif. Kegiatan bercocok tanam lebih sering dilakukan pada saat musim penghujan saja, bahkan pada lahan yang berstatus sawah irigasi teknis. Sehingga lahan-lahan tersebut lebih sering tidak tergarap, ditumbuhi rumput dan belukar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, lahan pertanian tidak diklasifikasikan secara khusus. Adapun hasil analisis penutupan lahan secara rinci disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 10 berikut. Tabel 8. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang Kecamatan Bervegetasi Pohon Klasifikasi Penutupan Lahan (hektar) Semak, rumput, tnm.semusim dan tnm sejenisnya Lahan kosong Lahan terbangun Jumlah RTH (1) +(2) (1) (2) (3) (4) (5) Ciledug 0,6 205,4 22,6 654,7 206,0 Larangan 5,9 101,8 37,8 668,3 107,6 Karang Tengah 67,5 259,6 42,2 640,3 327,0 Cipondoh 310,1 541,9 10,9 830,6 852,1 Pinang 222, ,9 17,9 818, ,1 Tangerang 188,4 510,0-859,1 698,4 Karawaci 39,4 465,6 2,5 716,3 505,0 Cibodas - 367,6-515,0 367,6 Jatiuwung 7,0 701,9-776,9 708,9 Periuk 5,2 452,9-666,8 458,1 Neglasari 30,8 631,8 18,3 889,6 662,7 Batuceper 44,7 374,0 15,6 469,8 418,7 Benda 52,0 584,4 45,1 382,1 636,3 Total 973, ,9 212, , ,5 Sumber: Hasil Analisis

47 Gambar 10. Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang Pada Gambar 9 dan 10 dapat terlihat bahwa kawasan yang relatif masih memiliki banyak vegetasi nampak terlihat di sekitar Situ Cipondoh, di sekitar kawasan industri Jatiuwung, dan di sekitar Neglasari. Kawasan hijau di sekitar Situ Cipondoh, meliputi Kecamatan Pinang (1.544,07 Hektar) dan Kecamatan Cipondoh (852,06 Hektar). Berdasarkan analisis visual, kawasan hijau ini masih didominasi oleh lahan pertanian. Kegiatan pertanian di daerah ini ditunjang dengan oleh adanya Situ Cipondoh dan dataran banjir yang ada disekitarnya. Selain itu di daerah ini masih banyak dijumpai pepohonan (tanaman berkayu) yang biasanya merupakan kebun atau pekarangan penduduk setempat. Pepohonan juga terlihat di beberapa tempat di sepanjang aliran Sungai Cisadane. RTH ini tidak membentuk jalur namun lebih membentuk gerombol yang terpisah-pisah Kawasan hijau lainnya banyak ditemukan di daerah Jatiuwung dan Periuk. Di daerah ini, kawasan hijau berada di sekitar kawasan industri. Lahan hijau yang terdapat di dalam areal pabrik umumnya tidak terkelola dengan baik. Lahan-lahan

48 terbuka sebagian besar merupakan bagian dari lokasi pabrik ataupun kavlingkavling pabrik yang belum terbangun. Lahan ini umumnya dibiarkan begitu saja sehingga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Luas lahan ini hampir mencapai Hektar. Kawasan Neglasari berada dekat dengan Pintu Air Sepuluh yang dahulu dibangun pemerintahan Belanda untuk keperluan irigasi. Sampai saat ini saluran irigasi di kawasan ini sebagian masih berfungsi dengan baik. Sebagian besar kawasan hijau di wilayah ini merupakan areal persawahan. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian, pada tahun 2007, lahan irigasi teknis di Kota Tangerang berjumlah 585,0 Hektar, dan yang terluas berada di Kecamatan Neglasari (301,0 Hektar) dan Kecamatan Benda (166,0 Hektar). Namun seiring dengan perkembangan penduduk Kota Tangerang, lahan-lahan sawah di daerah ini banyak yang mulai dikonversi menjadi pemukiman. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan standar tersebut maka wilayah Kota Tangerang, yang memiliki luas ,1 Hektar, harus memiliki RTH minimum seluas 4.935,6 Hektar, dengan luas RTH publik seluas 3.290,4 Hektar. Kebutuhan ini relatif tetap di tahun-tahun yang mendatang, kecuali terjadi perubahan luas wilayah administrasi. Secara rinci, sebaran Kebutuhan RTH berdasarkan luas kecamatan dapat dilihat pada Tabel 9.

49 Tabel 9. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun 2007 Kecamatan Luas (ha) Kebutuhan RTH (Ha) Tahun 2008 Publik (20%) Privat (10%) Total (30%) Ciledug 876,9 175,4 87,7 263,1 Larangan 937,9 187,6 93,8 281,4 Karang Tengah 1.047,4 209,5 104,7 314,2 Cipondoh 1.791,0 358,2 179,1 537,3 Pinang 2.159,0 431,8 215,9 647,7 Tangerang 1.578,5 315,7 157,9 473,6 Karawaci 1.347,5 269,5 134,8 404,3 Cibodas 961,1 192,2 96,1 288,3 Jatiuwung 1.440,6 288,1 144,1 432,2 Periuk 954,3 190,9 95,4 286,3 Neglasari 1.607,7 321,5 160,8 482,3 Batuceper 1.158,3 231,7 115,8 347,5 B e n d a * 998,9 199,8 99,9 299,7 Kota Tangerang , , , ,6 * Tidak termasuk luas Bandara Internasional Soekarno-Hatta = 1.969,31 hektar ** Sumber: Dinas Tata Kota Tangerang Tahun 2008 (diolah). Kebutuhan RTH berdasarkan Jumlah Penduduk Berdasarkan ketentuan yang tersirat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, standar kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk adalah 20 m 2 /kapita. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2008 adalah jiwa Sehingga pada tahun 2008 Kota Tangerang membutuhkan RTH seluas 3.063,3 Hektar. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir adalah 1,75% per tahun (BPS, 2008). Sejauh ini tidak ada program khusus dari pemerintah yang ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Proyeksi jumlah penduduk untuk tahun 2013 dan 2018 dilakukan dengan menggunakan rumus bunga berganda, dan diperoleh perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2013 adalah jiwa, dan tahun 2018 adalah jiwa. Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan RTH. Pada tahun

50 2013 dan 2018 kebutuhan RTH diproyeksikan meningkat menjadi 3.341,3 Hektar dan 3.644,5 Hektar (Tabel 10). Sesuai dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan, kebutuhan RTH tertinggi dimiliki oleh Kecamatan Karawaci, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Benda. Tabel 10. Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan RTH (Ha) Ciledug ,6 237,3 258,8 Larangan ,2 300,2 327,5 Karang Tengah ,0 221,4 241,5 Cipondoh ,8 354,3 386,5 Pinang ,5 291,8 318,2 Tangerang ,0 282,5 308,1 Karawaci ,4 356,0 388,3 Cibodas ,7 286,6 312,6 Jatiuwung ,4 256,7 280,0 Periuk ,0 236,7 258,1 Neglasari ,7 199,3 217,4 Batuceper ,1 173,5 189,2 B e n d a ,0 145,1 158,2 Kota Tangerang , , ,5 Sumber: BPS (2009) dan Hasil Analisis Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen di Kota Tangerang Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan merupakan paru-paru kota. Tanaman, sebagai unsur utama RTH, merupakan produsen oksigen yang sangat dibutuhkan oleh berbagai aktivitas kehidupan perkotaan. Oksigen yang dihasilkan kemudian akan dikonsumsi oleh manusia dan hewan, serta dipergunakan dalam proses pembakaran mesin kendaraan bermotor. Dengan demikian, kebutuhan akan RTH dapat ditentukan dengan pendekatan kebutuhan oksigen. Besarnya RTH yang dibutuhkan diperhitungkan berdasarkan kontribusi oksigen oleh tanaman dengan melihat kebutuhan akan oksigen yang digunakan oleh manusia, hewan ternak, dan kendaraan bermotor. Metode perhitungan kebutuhan RTH ini menggunakan rumus Gerarkis (Tim Fahutan IPB, 1987) yang mengasumsikan kontribusi oksigen hanya dari tanaman.

51 a. Kebutuhan Oksigen untuk Manusia Menurut White, Handler dan Smith (1959) dalam Wisesa (1988), manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanannya, menggunakan 600 liter oksigen dan menghasilkan sekitar 450 liter karbondioksida. Secara normal, manusia membutuhkan 600 liter oksigen atau setara dengan 864 gram oksigen setiap hari. Menggunakan metode proyeksi jumlah penduduk pada pembahasan sebelumnya, diketahui jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2013 adalah jiwa, dan tahun 2018 adalah jiwa. Dengan menggandakan jumlah penduduk dengan standar kebutuhan oksigen per jiwa, maka jumlah kebutuhan oksigen untuk manusia di Kota Tangerang dapat diketahui. Tahun 2008 kebutuhan oksigen manusia di Kota Tangerang adalah jiwa dikali 0,864 kg/jiwa/hari, atau sama dengan kilogram/hari. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan oksigen pada tahun 2013 dan 2018, meningkat menjadi dan kilogram/hari. Tabel 11 menyajikan data lengkap proyeksi jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia berdasarkan kecamatan di Kota Tangerang. Tabel 11. Kebutuhan Oksigen untuk Manusia di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan oksigen (kg/hari) Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper B e n d a Kota Tangerang Sumber: BPS (2009) dan Hasil Analisis

52 b. Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor Kendaraan bermotor merupakan salah satu konsumen oksigen perkotaan yang menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar. Proses pembakaran yang terjadi saat kendaraan dioperasikan membutuhkan oksigen, yang jumlah kebutuhannya tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan. Pada Tabel 12 disajikan jenis kendaraan bermotor dan kebutuhan oksigen. Tabel 12. Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Kebutuhan Oksigen Jenis Kendaraan Bahan Bakar Kebutuhan BB (kg/ps Jam) Daya (PS) Kebutuhan O 2 /kg BB (kg) Kebutuhan O 2 (Kg/jam) Sepeda Motor Bensin 0,21 1 2,77 0,5817 Kend Penumpang Bensin 0, ,77 11,634 Kend Beban Ringan Solar 0, ,86 22,88 Kend Beban Berat Solar 0, ,86 91,52 Kend Bus Solar 0, ,77 44,32 Sumber: Wisesa (1988) Secara rinci penjelasan dari Tabel 12 adalah sebagai berikut : 1. Sepeda motor, yaitu kendaraan berbahan bakar bensin dan kebutuhan bahan bakarnya 0,21 kg/ps jam dengan daya minimal 1 PS. Terdiri dari sepeda motor biasa, sepeda motor automatic dan scooter. Kebutuhan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,77 kg. 2. Kendaraan penumpang, yaitu kendaraan berbahan bakar bensin dengan kebutuhan bahan bakar 0,21 kg/ps jam dengan daya minimal 20 PS. Terdiri dari berbagai jenis seperti sedan, jeep, station wagon, ambulance dan mobil jenazah. Kendaraan jenis ini membutuhkan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,77 kg. 3. Kendaraan beban terdiri dari beban ringan dan beban berat, yaitu kendaraan berbahan bakar diesel dengan kebutuhan bahan bakarnya 0,16 kg/ps jam dengan daya minimal 50 PS. Kendaraan ini terdiri dari jenis truk, pick up, tracktor, pemadam kebakaran, mobil tangki, mobil derek, dan mobil kontainer, dengan kebutuhan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,86 kg. 4. Kendaraan bus, yaitu kendaraan berbahan bakar diesel dengan kebutuhan bahan bakar 0,16 kg/ps jam dengan daya minimal 100 PS. Terdiri dari jenis-

53 jenis mobil mini bus, bus biasa termasuk dalam kategori kendaraan penumpang berat. Kebutuhan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,77 kg. Dengan mengasumsikan jumlah kendaraan yang beroperasi di Kota Tangerang adalah sama dengan jumlah kendaraan yang tercatat hingga takhir tahun 2008 di Samsat Kota Tangerang, dan pemakaian kendaraan bermotor maksimal 5 jam/hari, maka kebutuhan oksigen untuk kendaraan bermotor dapat dihitung. Pada tahun 2008, kebutuhan oksigen kendaraan bermotor sebesar ,4 kg/hari. Proyeksi jumlah kendaraan untuk tahun 2013 dan 2018 dilakukan dengan mengasumsikan jumlah kendaraan meningkat secara konstan berdasarkan rata-rata laju pertumbuhan kendaraan lima tahun terakhir yaitu, kendaraan penumpang 2,0% per tahun, kendaraan beban 9,9% per tahun, kendaraan bus 6,31%, kecuali sepeda motor. Jumlah sepeda motor diasumsikan sebesar 85% dari total jumlah kendaraan (diolah dari data DLLAJ Kota Tangerang, 2009). Hasil proyeksi jumlah kendaraan tahun 2013 adalah sebesar kendaraan dengan jumlah kebutuhan oksigen kg/hari. Pada tahun 2018, diperkirakan jumlah kendaraan mencapai kendaraan dengan kebutuhan oksigen mencapai ,4 kg/hari. Rincian jumlah dan kebutuhan oksigen kendaraan bermotor di Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Kebutuhan Oksigen Bagi Kendaraan Bermotor di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Jenis Kendaraan Jumlah Kendaraan Kebutuhan Oksigen (kg/hari) Sepeda Motor , , , , , ,3 Kend Penumpang , , , , , ,7 Kend Beban Ringan , , , , , ,6 Kend Beban Berat , , , , , ,9 Kend Bus 1.393, , , , , ,8 Total Kendaraan , , , , , ,4 Sumber: Samsat Kota Tangerang (2009), DLLAJ (2008) dan Hasil Analisis

54 Berdasarkan hasil review beberapa kajian transportasi yang telah dilakukan untuk Kota Tangerang, jaringan jalan Kota Tangerang saat ini cenderung membentuk pola grid walaupun tidak terlalu simetris, sedangkan lalu lintas regional membentuk pola sirkulasi radial. Sebagai gambaran jaringan jalan di Kota Tangerang, terdapat meter jalan dengan lebar lebih dari 7 meter, sedangkan jalan kecil dengan lebar lebih dari 3 meter sepanjang meter (Dinas Tata Kota, 2009). Karakteristik jaringan jalan di wilayah Kota Tangaerang bervariasi sesuai fungsi dan tipenya seperti dijelaskan pada Tabel 14. Tabel 14. Karakteristik Umum Jalan Utama Kota Tangerang Ruas Jalan Panjang jalan Lebar jalan (m) (m) Eksisting ROW Fungsi Jalan Jl. Merdeka ,00 17,65 Arteri Primer Jl. Gatot Subroto ,00 18,55 Arteri Primer Jl. Daan Mogot I ,65 16,45 Arteri Primer Jl. Daan Mogot II ,90 20,40 Arteri Primer Jl. Imam Bonjol I ,70 12,00 Arteri Sekunder Jl. Imam Bonjol II ,14 14,75 Arteri Sekunder Jl. Otista ,60 14,70 Arteri Sekunder Jl. Moh. Toha ,10 18,74 Arteri Sekunder Jl. Jend. Sudirman ,85 20,44 Arteri Sekunder Jl. Ki Samaun ,45 14,15 Arteri Sekunder Jl. Moh. Husni Thamrin ,05 36,90 Arteri Sekunder Jl. KH Hasyim Ashari I ,60 17,69 Kolektor Primer Jl. KH Hasyim Ashari II ,30 12,50 Kolektor Primer Jl. HOS Cokroaminoto ,40 21,55 Kolektor Sekunder Jl. Prabu Kisiantang ,20 11,57 Kolektor Sekunder Jl. Moh. Yamin ,20 27,20 Kolektor Sekunder Sumber: Penyusunan Bisnisplan Pengembangan Angkutan Masal, 2006 Berdasarkan fungsinya, jalan di Kota Tangerang dibedakan menjadi Jalan Utama, Jalan Konektor, Jalan Lingkungan dan Jalan Perumahan. Jalan Utama merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan Konektor merupakan jalan umum yang

55 berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Sedangkan Jalan Perumahan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Berdasarkan pengamatan, intensitas lalu lintas kendaraan di Jalan Utama dan Jalan Konektor relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Jalan Lingkungan dan Jalan Perumahan. Dengan mengasumsikan bahwa kendaraan-kendaraan bermotor lebih sering beroperasi di Jalan Utama dan Jalan Konektor, maka dapat diperkirakan jumlah kendaraan per kecamatan berdasarkan panjang Jalan Utama dan Jalan Konektor pada tiap kecamatan. Dari jumlah kendaraan tersebut, kemudian dapat dihitung kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor untuk masing-masing kecamatan yang ada di Kota Tangerang, sebagaimana tercantum dalam Tabel 15. Tabel 15. Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor untuk Tiap Kecamatan di Kota Tangerang Kecamatan Jumlah Kendaraan Kebutuhan Oksigen (kg/hari) Ciledug , , Larangan , , Karang Tengah , , Cipondoh , , Pinang , , Tangerang , , Karawaci , , Cibodas , , Jatiuwung , , Periuk , , Neglasari , , Batuceper , , B e n d a , , Kota tangerang , , Sumber: Hasil Analisis

56 c. Kebutuhan Oksigen bagi Hewan Ternak Besarnya kebutuhan oksigen tiap jenis hewan ternak berbeda-beda tergantung pada metabolisme basal yang dilakukan. Pada Tabel 16 berikut disajikan jumlah dan karakteristik kebutuhan oksigen hewan ternak yang terdapat di Kota Tangerang. Tabel. 16. Jumlah Ternak Tahun 2008 dan Karakteristik Kebutuhan Oksigen Jenis ternak Kebutuhan O Jumlah 2 (l/hari) (ekor) liter/hari kg/hari Sapi Potong ,70 Kerbau ,70 Kuda ,85 Kambing ,31 Domba ,31 Babi ,47 Ayam&Itik ,17 Sumber: Dinas Pertanian (2009) dan Wisesa (1998) Di Kota Tangerang kegiatan peternakan (pemeliharaan dan pengembangbiakan) relatif sedikit dan jumlahnya cenderung semakin menurun. Keberadaaan hewan ternak lebih didominasi oleh keberadaan ternak di Rumah Pemotongan Hewan (tempat penampungan sementara). Jumlah hewan ternak potong yang keluar masuk Kota Tangerang relatif stabil, untuk itu proyeksi jumlah ternak tahun 2013 dan 2018 menggunakan jumlah yang tetap, yaitu menggunakan rata-rata lima tahun terakhir, kecuali ternak babi. Adanya isu flu babi, dan Kota Tangerang yang mencitrakan diri sebagai kota yang berakhlakul karimah, membuat jumlah peternak babi di kawasan Neglasari turun secara drastis. Hingga tahun 2005 jumlah babi yang diternakkan di Kota Tangerang masih mencapai ribuan ekor, bahkan mencapai ekor pada tahun 2003, namun pada akhir tahun 2008, menurun drastis menjadi 548 ekor. Jumlah ini diperkirakan akan relatif tetap, bahkan cenderung menurun. Berdasarkan data ternak yang ada, maka dapat dihitung kebutuhan oksigen bagi ternak di Kota Tangerang. Hasil perhitungan per wilayah kecamatan tersebut tersaji pada Tabel 17.

57 Tabel 17. Kebutuhan Oksigen Bagi Ternak di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun Jenis ternak Jumlah ternak (ekor) Kebutuhan oksigen (kg/hari) Sapi Potong ,0 619,6 619,6 Kerbau ,5 106,7 106,7 Kuda ,0 23,5 23,5 Kambing , , ,1 Domba , , ,6 Babi ,0 172,0 172,0 Ayam&Itik , , ,2 Total , , ,7 Sumber: Wisesa (1998), Dinas Pertanian (2009) dan Hasil Analisis Dengan memperhatikan data kebutuhan oksigen dalam Tabel 17 dapat diketahui bahwa jumlah hewan ternak yang mendominasi di Kota Tangerang adalah jenis ternak itik dan ayam. Berdasarkan perhitungan, kebutuhan oksigen untuk jenis ternak ini juga paling tinggi dibandingkan dengan jenis hewan ternak lainnya. Sedangkan untuk jenis hewan ternak kuda merupakan jenis ternak yang paling sedikit membutuhkan oksigen, sebab di Kota Tangerang sangat jarang penduduk yang memelihara kuda, dan kuda bukan pula sebagai salah satu kendaraan alternatif di daerah ini. Populasi hewan ternak tahun 2008 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Tangerang berjumlah ekor. Namun tidak terdapat cukup data yang menginformasikan jumlah ternak pada masing-masing kecamatan, sehingga untuk menghitung kebutuhan oksigen bagi hewan ternak per kecamatan, sebaran hewan ternak diduga dari keberadaan kelompok peternak yang tercatat di Dinas Pertanian Kota Tangerang. Hingga tahun 2009, kelompok peternak di Kota Tangerang ada di 9 kecamatan, yaitu; Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Karawaci, Jatiuwung, Periuk, Neglasari, Batuceper, dan Benda. Sehingga dalam penelitian ini ternak diasumsikan tersebar merata di ke-9 kecamatan tersebut, kecuali ternak babi yang dapat dipastikan hanya terdapat 518 ekor di Kecamatan Neglasari dan 30 ekor Kecamatan Benda. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat dihitung kebutuhan oksigen tiap kecamatan, seperti yang tercantum pada Tabel 18.

58 Tabel 18. Kebutuhan Oksigen Bagi Hewan Ternak Per Kecamatan Pada Tiga Titik Tahun `Kecamatan Jumlah Ternak (ekor) Kebutuhan Oksigen (Kilogram/hari) Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper B e n d a Kota Tangerang Sumber: Dinas Pertanian (2009) dan Hasil Analisis Setelah diketahui kebutuhan oksigen bagi masing-masing konsumen dan wilayah, maka dengan menggunakan rumus Gerarkis dapat dihitung kebutuhan RTH di Kota Tangerang. Tabel 19 dan 20 menyajikan rangkuman kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Tangerang. Tabel 19 menyajikan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen bagi manusia, kendaraan bermotor dan ternak yang ada di Kota Tangerang. Sedangkan Tabel 20 menyajikan data kebutuhan RTH untuk tiap kecamatan. Tabel 19. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Golongan Konsumen Tahun Kebutuhan Oksigen (Kg/hari) Kebutuhan RTH Kendaraan Penduduk Ternak Total Bermotor (Hektar) , , ,81 Sumber: Dinas Tata Kota (2009) dan Hasil Analisis

59 Tabel 20. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan Kecamatan Kebutuhan Oksigen (Kg/hari) Kebutuhan RTH (Ha) Ciledug , , ,5 Larangan , , ,6 Karang Tengah , , ,6 Cipondoh , , ,4 Pinang , , ,4 Tangerang , , ,4 Karawaci , , ,0 Cibodas , , ,9 Jatiuwung , , ,6 Periuk , , ,0 Neglasari , , ,5 Batuceper , , ,4 B e n d a , , ,1 Kota Tangerang , , ,8 Sumber: Hasil Analisis Berdasarkan ketiga golongan konsumen yang telah dibahas tersebut, terlihat bahwa kendaraan bermotor merupakan konsumen oksigen yang paling dominan. Laju peningkatan kebutuhan oksigen kendaraan bermotor juga paling pesat dibanding kebutuhan konsumen lain. Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan RTH di Kota Tangerang lebih didominasi karena peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Pada tingkat kecamatan, wilayah yang memiliki kebutuhan RTH tertinggi berturut-turut adalah Kecamatan Benda, Kecamatan Cipondoh, dan Kecamatan Karawaci. Sedangkan yang memiliki kebutuhan yang terkecil adalah Kecamatan Periuk, Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Larangan. Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang Konsumsi Air Bersih. Air merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan oleh mahluk hidup khususnya manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik untuk kebutuhan domestik, pertanian, industri dan lain-lain. Sementara disadari

60 bahwa keberadaan air di permukaan bumi dibatasi oleh ruang dan waktu. Air sebagai penopang pembangunan semakin terancam keberadaannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi tersebut memerlukan penanganan yang khusus dan berkelanjutan sehingga keberadaan air dapat tetap dipelihara dan dipertahankan kualitas dan kuantitasnya. Kota Tangerang merupakan daerah penyangga dan penyeimbang DKI Jakarta yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang pesat, baik pertumbuhan penduduk maupun peningkatan ekonomi, hal ini membawa konsekuensi bertambah luasnya lahan terbangun karena fisik pembangunan untuk industri dan permukiman. Akibatnya terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap penyediaan air untuk kehidupan itu sendiri. Air yang dikonsumsi oleh manusia dapat berasal dari dalam tanah dan juga dari air permukaan. Ketersediaan air suatu kawasan bergantung pada daur hidrologis di kawasan tersebut. Oleh karena itu ketersediaan air di permukaan tidak selalu tetap jumlahnya, sehingga dapat menjadi berkurang. Dengan semakin berkurangnya air yang masuk kedalam tanah, maka air sungai akan semakin bertambah banyak dan kemudian meluap. Jika tidak ada usaha pencegahan maka, akan terjadi banjir. Pengambilan air oleh manusia yang berlebihan dan tidak ada usaha mengembalikannya kedalam tanah akan mengakibatkan berkurangnya air tanah. Ruang terbuka hijau merupakan salah satu sarana yang dapat mengkonservasi air, dan diharapkan dapat menanggulangi permasalahan ketersediaan air di Kota Tangerang. Banyaknya akar tanaman diharapkan akan mampu menambah lubang pori-pori tanah, sehingga air dapat masuk ke pori tersebut dan kelebihan air di permukaan tanah manjadi kurang. Usaha konservasi air bertujuan memanfaatkan air yang jatuh kepermukaan bumi dengan sebaikbaiknya agar tidak terbuang dengan sia-sia (Arsyad, 1989). Departemen Pekerjaan Umum (1998), menyatakan terdapat tiga kelompok masyarakat berdasarkan konsumsi air, yaitu golongan sederhana dengan konsumsi air per orang 80 liter/hari, golongan menengah dengan konsumsi air per orang 150 liter/hari, dan golongan atas dengan konsumsi air 250 liter/hari. Besarnya jumlah

61 air yang dikonsumsi hanya terbatas pada kebutuhan untuk makan, minum dan MCK, sedangkan kebutuhan air bersih untuk perumahan berkisar antara liter/orang/hari. Besarnya konsumsi air bagi penduduk yang digunakan pada perhitungan ini adalah jumlah konsumsi air bersih standar kebutuhan rumah tangga 300 liter/orang/hari, dengan menggunakan asumsi bahwa angka yang digunakan adalah angka konsumsi air setiap penduduk Kota Tangerang tanpa membedakan jenis dan kelompok pelanggan. Laju peningkatan pemakaian air diasumsikan sebanding dengan laju pertambahan penduduk Kota Tangerang. Penyediaan Air Bersih. Sebagai kota metropolitan, Kota Tangerang dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 juta jiwa, tentunya sarana dan prasarana pendukung fasilitas perkotaan harus memadai. Salah satu kebutuhan untuk menunjang kehidupan masyarakat perkotaan adalah tersedianya sarana air bersih. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa 79,88% penduduk Kota Tangerang telah menggunakan air bersih. Dari persentase tersebut sarana air bersih yang paling banyak digunakan penduduk adalah sumur pompa (54,92%) dan sambungan langsung PDAM (21,92%). Sistem Perpipaan PDAM di Kota Tangerang dikelola PDAM Kabupaten Tangerang (PDAM Tirta Rajasa) dan PDAM Kota Tangerang (PDAM Tirta Benteng). PDAM Tirta Rajasa memiliki wilayah pelayanan Kecamatan Tangerang dan Kecamatan Jatiuwung. Sistem ini terbagi atas 3 cabang yaitu: Cabang Babakan menggunakan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Babakan dengan kapasitas 80 liter/detik dan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 liter/detik dengan daerah pelayanan meliputi wilayah pusat kota. Cabang Perumnas 1 menggunakan IPA Perumnas kapasitas 40 dan 20 liter/detik, serta IPA Cikokol dengan kapasitas 500 dan 100 liter/detik dengan daerah pelayanan meliputi wilayah Perumnas I. Cabang Perumnas II, menggunakan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 liter/detik dengan daerah pelayanan meliputi pusat kota yaitu Tangerang, Bandara Soekano - Hatta, sebagian wilayah Serpong, dan wilayah Perumnas. Total kapasitas terpasang saat ini sekitar 740 liter/detik. Sumber air baku adalah Sungai Cisadane dengan kapasitas produksi sekitar 647 liter/detik yang didistribusikan dengan sistem pemompaan. Total kapasitas terdistribusi adalah 633 liter/detik dan yang

62 terjual sekitar 356 liter/detik dengan penduduk terlayani sekitar jiwa atau sekitar 16% dari penduduk Kota Tangerang. Pendistribusian 3 (tiga) cabang sistem penyediaan air bersih tersebut dilakukan secara terpadu, yaitu pipa distribusi antar masing-masing cabang pelayanan yang saling berhubungan sehingga air yang dihasilkan IPA Cikokol akan interkoneksi dengan air yang dihasilkan dari IPA Babakan dan IPA Perumnas 1. PDAM Tirta Benteng Kota Tangerang berdiri berdasarkan Perda No. 33 Tahun 1995 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kotamadya Tangerang. Sejak awal sampai berdirinya PDAM telah melayani beberapa wilayah di Kecamatan Neglasari, Batuceper, Cipondoh, Benda, sebagian Tangerang, Jatiuwung, Ciledug, Pinang. Dengan jumlah pelanggan mencapai pelanggan. Selain pelanggan rumah tangga, PDAM TB juga melayani Bandara Soekarno Hatta dan beberapa Industri besar dan kecil. Dari jumlah pelanggan yang dilayani sekitar 370 liter/detik produksi air PDAM didistribusikan kepada masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pelayanan, PDAM Kota Tangerang merencanakan akan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta yaitu memanfaatkan sisa kapasitas dari IPA yang dimiliki swasta sebesar 30 liter/detik dari total kapasitas yang dimiliki sebesar 100 liter/detik. Pihak swasta belum memiliki jaringan pipa distribusi, sehingga selama ini penjualan air dilakukan dengan menggunakan mobil tanki. Kemampuan RTH Menyimpan Air. Banyaknya air di permukaan bumi tidak terlepas dari jumlah curah hujan yang turun ke bumi. Semakin banyaknya hujan yang turun ke permukaan bumi, seharusnya semakin banyak pula air yang dapat masuk kedalam tanah. Namun tidak demikian terjadi bila tidak terdapat tempat untuk meresapnya air kedalam tanah. Curah hujan merupakan sumber air tanah yang potensial, namun konservasi lahan dari ruang terbuka menjadi ruang terbangun berdampak pada hilangnya potensi sumber daya air. Wilayah Kota Tangerang memiliki iklim tropis dipengaruhi oleh iklim musim, sehingga ada dua musim yaitu musim hujan antara bulan Oktober Maret dan musim kemarau antara bulan April September. Menurut Rismunandar (1984), hujan yang turun ke permukaan bumi dapat menambah ketersediaan air

63 di dalam tanah dan juga dapat menyebabkan terjadinya banjir. Pengamanan air hujan pada prinsipnya terletak dalam dua pengelolaan teknis, yaitu peningkatan daya serap tanah dan pengendalian mengalirnya. Meningkatkan daya serap tanah pada hakekatnya adalah meningkatkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah. Kemampuan menyimpan air suatu areal tidak akan terlepas dari pengaruh vegetasi diatasnya. Pada umumnya, tumbuhan yang mampu menyimpan air dari tanah adalah yang berakar panjang dan berdaun kecil, sehingga penguapan yang terjadi melalui daun juga kecil. Walaupun tanaman juga mengalami transpirasi, namun air tidak begitu mudah keluar dari tanaman karena terdapat hambatan-hambatan. Adanya hambatan pergerakan air di dalam tanaman dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa kehilangan air tanah dari tanah selalu lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan air dari tanah terbuka (Islami dan Utomo, 1995 dalam Yullyarti 2004). Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi daya serap tanah antara lain; jenis tanah, sistem pengolahan tanah, keadaan air tanah, jenis vegetasi, dan penggunaan lahan (Asdak, 1995 dan Pawitan, 1989). Daya simpan tanah terhadap air juga dipengaruhi oleh daya infiltrasinya. Berdasarkan penelitian Isyari (2005), laju infiltrasi untuk beberapa jenis penggunaan lahan berbeda-beda; hutan 2,02 cm/menit, tegalan 0,91 cm/menit, semak 0,84 cm/menit, kebun 0,73 cm/menit, pemukiman 0,53 cm/menit, dan sawah 0,36 cm/menit. Penggunaan lahan sebagai hutan kota mampu menyimpan air tanah sebesar 900 m 3 /ha/tahun dan dapat mentransfer air liter/hari (Joga, 2004 dan Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta, 2003). Hingga saat ini belum ada penelitian lain yang dilakukan untuk memperbandingkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah pada berbagai penggunaan lahan. Sehingga nilai standar tersebut masih dijadikan acuan dalam perhitungan kebutuhan luas RTH untuk penyediaan air di Kota Tangerang. Adapun hasil perhitungan untuk Kota Tangerang disajikan pada Tabel 21, dan selengkapnya pada Lampiran 2.

64 Tabel 21. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang Kecamatan Kebutuhan RTH (Ha) Ciledug , , ,4 Larangan , , ,0 Karang Tengah , , ,5 Cipondoh , , ,6 Pinang , , ,5 Tangerang 7.640, , ,5 Karawaci , , ,0 Cibodas , , ,2 Jatiuwung , , ,1 Periuk , , ,3 Neglasari , , ,9 Batuceper (250,8) 2.155, ,1 B e n d a , , ,4 Kota Tangerang , , ,4 Sumber: Hasil Analisis Kecukupan RTH Berdasarkan Kondisi Eksisting RTH Klasifikasi penutupan lahan untuk areal bervegetasi di Kota Tangerang menghasilkan luas sekitar 7.492,49 Hektar atau 45,5% dari luas wilayah Kota Tangerang (16.452,1 Hektar). Sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, berdasarkan kebutuhan oksigen, dan berdasarkan kebutuhan air secara berturut-turut adalah 4.935,6 Hektar, 3.063,3 Hektar, ,3 Hektar dan ,4 Hektar. Kecukupan RTH di suatu wilayah diketahui dari memperbandingkan kondisi eksisting dan kebutuhannya. Tabel 22 menyajikan hasil analisis kecukupan RTH untuk setiap kecamatan. Secara umum kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk tercukupi, kecuali Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan. Sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dan air, jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang. Hal ini berarti secara kuantitas kedua kebutuhan tersebut tidak mungkin dapat tercukupi.

65 Tabel 22. Kecukupan RTH Berdasarkan Kondisis Eksisting Kecamatan Luas RTH Saat ini Luas Wilayah Kebutuhan RTH (Ha) Berdasarkan Jumlah Kebutuhan Pendudu O k 2 Kebutuhan Air Luas Wilayah Selisih jumlah RTH (Ha) Berdasarkan Jumlah Kebutuhan Pendudu O2 k Kebutuhan Air Ciledug 206,0 263,1 217, , ,0-57,1-11, , ,0 Larangan 107,6 281,4 275, , ,7-173,8-167, , ,1 Kr. Tengah 328,0 314,2 203, , ,3 12,8 124, , ,3 Cipondoh 852,1 537,3 324, , ,1 314,8 527, , ,0 Pinang 1.544,1 647,7 267, , ,4 896, ,6-389, ,3 Tangerang 698,4 473,6 259, , ,5 224,8 439, , ,1 Karawaci 505,0 404,3 326, , ,4 100,7 178, , ,4 Cibodas 367,6 288,3 262, , ,1 79,3 104, , ,5 Jatiuwung 708,9 432,2 235, , ,4 276,7 473, , ,5 Periuk 458,1 286,3 217, , ,8 171,8 241,1-770, ,7 Neglasari 662,7 482,3 182, , ,1 180,4 480,0-781, ,4 Batuceper 418,7 347,5 159, ,1-250,8 71,2 259, ,4 669,5 B e n d a 636,3 299,7 133, , ,4 336,6 503, , ,1 Total 7.492, , , , , , , , ,9 Sumber: Hasil Analisis Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah (UU No.26/2007) Luas RTH yang disyaratkan dalam UU No.26/2007 untuk Kota Tangerang adalah 4.935,6 Hektar. Sesuai dengan tujuannya, luas RTH minimum yang harus dimiliki Kota Tangerang tersebut, merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. Dalam UU No.26/2007 ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan definisi dan tujuan tersebut semua jenis RTH, baik berupa taman terbuka, lahan belukar, lahan pertanian, lapangan olah raga, pemakaman dan sebagainya, dapat digolongkan sebagai RTH.

66 Jika standar kebutuhan ini dibandingkan dengan kondisi eksisting kawasan hijau, maka Kota Tangerang masih memiliki RTH yang cukup, kecuali Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan. Tidak tercukupinya kebutuhan RTH pada kedua wilayah ini terkait dengan tingginya jumlah lahan terbangun di kedua kecamatan tersebut. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kota Tangerang (2008), sebagian besar wilayah ini merupakan area pemukiman. Luas pemukiman di Kecamatan Larangan adalah 905,83 Hektar (97%), sedangkan di Kecamatan Ciledug mencapai 833,66 Hektar (95%). Kecamatan Karang Tengah jumlah RTH eksisting masih mencukupi, namun kondisinya sudah kritis mendekati 30%. Berdasarkan kajian Lestari (2008) dan data BPS Kota Tangerang (2005 dan 2007) diketahui rata-rata laju pertumbuhan lahan terbangun di Kota Tangerang sebesar 1,1% per tahun. Jika diasumsikan tingkat pertumbuhan yang sama terjadi pada periode , maka pada tahun 2013 Kecamatan Karang Tengah sudah tidak memiliki RTH yang cukup (Tabel 23). Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan penataan ruang diperlukan perhatian khusus terhadap keberadaan RTH di wilayah ini, agar kecukupan RTH dapat tetap terpenuhi di masa yang akan datang. Gambar 11. Kecukupan RTH berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang

67 Tabel 23. Proyeksi Kecukupan RTH berdasarkan UU No.26/2007 pada Tiga Titik Tahun Kecamatan Luas RTH eksisting Kebutuhan Kecukupan RTH RTH Ciledug 206,0 195,7 185,4 263,1-57,1-67,4-77,7 Larangan 107,6 102,2 96,8 281,4-173,8-179,2-184,5 Kr. Tengah 327,0 310,7 294,3 314,2 12,8-3,6-19,9 Cipondoh 852,1 809,5 766,9 537,3 314,8 272,2 229,6 Pinang 1544,1 1466,9 1389,7 647,7 896,4 819,2 742,0 Tangerang 698,4 663,5 628,6 473,6 224,9 189,9 155,0 Karawaci 505,0 479,8 454,5 404,3 100,8 75,5 50,3 Cibodas 367,6 349,2 330,8 288,3 79,3 60,9 42,5 Jatiuwung 708,9 673,5 638,0 432,2 276,7 241,3 205,8 Periuk 458,1 435,2 412,3 286,3 171,8 148,9 126,0 Neglasari 662,7 629,6 596,4 482,3 180,4 147,3 114,1 Batuceper 418,7 397,8 376,8 347,5 71,2 50,3 29,3 Benda 636,3 604,5 572,7 299,6 458,7 426,9 395,1 Total 7492,5 7117,9 6743,3 4935,6 2556,9 2182,2 1807,6 Sumber: BPS (2005 dan 2007), Lestari (2008) dan Hasil Analisis Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 3.063,3 Hektar. Secara umum luas kebutuhan ini masih di bawah jumlah RTH eksisting di Kota Tangerang. Kebutuhan RTH yang lebih melebihi jumlah RTH eksisting hanya terjadi di Kecamatan Ciledug dan Larangan. Minimnya RTH eksisting ini terkait dengan tingginya jumlah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Larangan dan Ciledug (Tabel 24 dan Gambar10). Terkait dengan kepadatan penduduk yang tinggi, hal yang menarik dijumpai pada Kecamatan Cibodas. Kecamatan Cibodas memiliki luas wilayah dan kepadatan penduduk yang hampir serupa dengan Kecamatan Larangan. Namun Kecamatan Cibodas masih memiliki RTH yang memadai. Berbeda dengan Kecamatan Larangan dan Ciledug, Kecamatan Cibodas memiliki karakteristik spesifik yaitu memiliki kawasan permukiman dengan berbagai tipe yang relatif teratur (Pemerintah Kota Tangerang, 2009). Kecamatan Cibodas termasuk dalam kawasan industri Cibodas-Jatiuwung. Sebagian besar pemukiman berbentuk komplek-komplek perumahan yang tertata, yang awalnya

68 dibangun guna menunjang kegiatan industri. Ruang terbuka hijau yang ada di kecamatan ini sebagian besar berupa lahan pekarangan dan lahan tidur yang belum/tidak diusahakan (BPS, 2008). Tabel 24. Jumlah Ruang Terbuka Hijau dan Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Kecamatan Jumlah Kepadatan Ruang Terbuka Hijau Penduduk penduduk Kebutuhan Eksisting Selisih (jiwa) (jiwa/ha) (Ha) (Ha) (Ha) Ciledug ,1 217,6 206,0-11,1 Larangan ,7 275,2 107,6-129,8 Karang Tengah ,9 203,0 327,0 166,2 Cipondoh ,7 324,8 852,0 538,2 Pinang ,9 267, , ,5 Tangerang ,0 259,0 698,4 439,4 Karawaci ,1 326,4 505,0 181,1 Cibodas ,7 262,7 367,6 104,9 Jatiuwung ,7 235,4 708,9 473,5 Periuk ,7 217,0 458,1 241,1 Neglasari ,8 182,7 463,7 298,2 Batuceper ,7 159,1 418,6 275,1 B e n d a ,4 133,0 636,3 548,4 Kota Tangerang , , , ,4 Sumber: BPS (2008) dan Hasil Analisis Gambar 12. Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kota Tangerang

69 Secara kuantitas, luas RTH eksisting di Kota Tangerang masih mencukupi. Namun secara kualitas, kebutuhan ini belum tentu terpenuhi. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk pada dasarnya bertujuan memberikan kenyamanan lingkungan bagi warga (Simonds, 1984). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, yang termasuk dalam kategori RTH ini adalah; taman umum pada berbagai tingkat hierarki (Taman Rukun Tetangga hingga Taman Kota), hutan kota, Taman Pemakaman Umum (TPU), jalur hijau sempadan rel, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengaman sumber air baku/mata air (untuk selanjutnya disebut RTH Kenyamanan). Berdasarkan data dari Dinas Tata Kota (2009), RTH Kenyamanan di Kota Tangerang berjumlah 261,6 Hektar. Ketersediaanya baik di tingkat kota maupun kecamatan belum dapat memenuhi kebutuhan (Tabel 25). Tabel 25. Kecukupan Kebutuhan RTH Kenyamanan di Kota Tangerang Kecamatan Taman Kota TPU Taman Olah Raga RTH Taman Jalur hijau Jalan Jalur hijau Sungai Jalur Hijau Situ Jumlah Kebutuhan RTH Selisih Ciledug ,6-217,6 Larangan ,2-275,2 Kr. Tengah ,0-203,0 Cipondoh ,84-75,4 77,2 324,8-247,6 Pinang 9, ,9 267,5-257,6 Tangerang 8,1-110,5 2,82 6,2-127,6 259,0-131,4 Karawaci 2,2 29, ,5-31,9 326,4-294,5 Cibodas ,7-262,7 Jatiuwung ,4-235,4 Periuk ,4-7,4 217,0-209,6 Neglasari 1, ,60 0,11-5,8 182,7-176,9 Batuceper , ,8 159,1-157,3 B e n d a ,0-133,0 Total 21,3 29,2 110,5 11,04 14,3 75,4 261, , ,6 Sumber: Dinas Tata Kota (2009).

70 Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Metode Gerarkis) Perhitungan dengan metode Gerarkis pada dasarnya menghitung kebutuhan RTH yang berupa tegakan pohon sebagai produsen oksigen (hutan kota). Luas RTH di Kota Tangerang secara total adalah 7.292,5 Hektar, sedangkan jumlah RTH yang bervegetasi pohon di Kota Tangerang hanya 973,6 Hektar (13,3% dari luas RTH). Luasan ini masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan yaitu Hektar. Tingginya kebutuhan luasan RTH yang melebihi luas Kota Tangerang juga merupakan indikasi bahwa perluasan RTH tidak dapat menjadi solusi tunggal dalam masalah ketercukupan oksigen bagi Kota Tangerang. Namun demikian peningkatan kualitas udara tetap harus diupayakan, antara lain dengan menambah jumlah tegakan pohon (Gambar 13). Gambar 13. Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang Pusat konservasi tumbuhan, LIPI (2004) menyatakan bahwa satu batang pohon bertajuk sekitar 2 meter dapat menghasilkan pasokan oksigen yang cukup untuk 3 hingga 4 orang. Siahaan (2005) berpendapat bahwa lahan seluas meter dengan 16 pohon berdiameter batang 10 cm mampu menyuplai oksigen sebesar liter/hari. Sehingga jika 1 batang pohon mampu menyuplai oksigen sebesar 875 liter/hari atau setara dengan 1,26 kg/hari, maka dapat

71 dihitung jumlah batang pohon yang dapat mencukupi kebutuhan oksigen Kota Tangerang (Tabel 26). Tabel 26. Jumlah Pohon yang Diperlukan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Golongan Konsumen Jumlah Pohon yang Diperlukan Tahun (batang) Manusia Kendaraan Ternak Total Sumber: Hasil Analisi Berdasarkan kajian Tabel 19 dan 26, lebih dari 90 % kebutuhan oksigen bersumber dari kendaraan bermotor. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen penduduk dan ternak, Kota Tangerang hanya diperlukan batang pohon pada tahun 2008, pada tahun 2013, dan batang pohon pada tahun Sebaran pohon per kecamatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Jumlah Pohon yang Dibutuhkan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan Kebutuhan Oksigen (Kg perhari) Kebutuhan pohon (batang) Kecamatan Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper B e n d a Kota Tangerang Sumber: Hasil Analisis

72 Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 2005 telah mulai mengupayakan penghijauan melalui Program Adipura dan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN). Adapun rincian kedua kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: Program Adipura. Pelaksanaan penghijauan yang telah dilakukan untuk Program Adipura adalah penanaman pohon jenis Ecaliptus, Trembesi, dan Mangga. Lokasi penanamannya tersebar di daerah perumahan, stasiun kereta api, pasar, jalur hijau SUTET, tempat pembuangan sampah akhir dan sempadan jalan raya. Program GERHAN. Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN- RHL/GERHAN) telah berhasil menanam batang pohon pada lahan seluas 100,43 Hektar (Tabel 28). Jenis pohon yang ditanam pada Program GERHAN adalah jenis Mahoni, Kupu-kupu, Cempaka, Bintaro, Sengon Buto, Kelapa Sawit, Tabe Buya, Biola Cantik, Palem Putri, Kemiri Cina, Sengon Buto, Spathodea. Lokasi penanamannya adalah di sempadan sungai, kawasan hutan dan taman kota, sempadan jalan raya dan daerah pemukiman (Dinas Lingkungan Hidup, 2008). Tabel 28. Jumlah Pohon pada Program GERHAN Kota Tangerang Lokasi Panjang Luas Jumlah Pohon (m) (Ha) (batang) Sempadan Jalan Raya , Daerah Perumahan - 4, Hutan dan Taman Kota , Daerah Aliran Sungai , Total , Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang (2008) Kedua program yang telah dilakukan Pemerintah Kota Tangerang tersebut telah menghasilkan tegakan pohon sebanyak batang. Namun jumlah pohon yang ditanam oleh pemerintah Kota Tangerang masih tetap belum mencukupi jumlah kebutuhan pohon. Kekurangan ini dari tahun ke tahun akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan penggunaan kendaraan bermotor.

73 Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Seperti halnya kecukupan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen, kecukupan RTH untuk memenuhi kebutuhan air juga sulit terpenuhi, sebab jumlah RTH yang dibutuhkan jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang. RTH yang tersedia (7.492,5 Hektar), dan hanya mampu memenuhi 1,5 % kebutuhan RTH tersebut. Tingginya kebutuhan RTH yang melebihi luas wilayah Kota Tangerang menunjukkan bahwa perluasan lahan RTH sebagai lahan resapan tidak dapat menjadi solusi tunggal dalam peningkatan ketersediaan air bersih di Kota Tangerang. Upaya pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang harus diintegrasikan dengan upaya-upaya lain selain perluasan RTH. Tabel 29. Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bersih Kecamatan Jumlah RTH (Ha) Eksisting Kebutuhan Selisih Ciledug 228, , ,5 Larangan 145, , ,2 Karang Tengah 369, , ,1 Cipondoh 863, , ,1 Pinang 1.562, , ,5 Tangerang 409, , ,9 Karawaci 507, , ,9 Cibodas 367, , ,5 Jatiuwung 708, , ,5 Periuk 458, , ,7 Neglasari 480, , ,2 Batuceper 434,2-250,8 685,0 B e n d a 681, , ,1 Total 7.216, , ,9 Sumberr: Hasil Analisis Gambar 11 menunjukkan bahwa dari 13 kecamatan yang ada, hanya Kecamatan Batuceper yang memiliki jumlah RTH mencukupi. Kecukupan ini bukan disebabkan luas RTH yang tinggi, namun disebabkan kebutuhan air bersih di Kecamatan Batuceper sudah terpasok sepenuhnya oleh PDAM, bahkan surplus sebesar 250,8 m 3 /tahun. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kebutuhan air

74 bersih di Kecamatan Batuceper dipasok oleh 2 instansi PDAM, yaitu PDAM Kerta Raharja dengan kapasitas suplai m 3 /tahun dan PDAM Tirta Benteng dengan kapasitas suplai m 3 /tahun. Gambar 14. Kebutuhan RTH berdasarkan Kebutuhan Air Tanah Kota Tangerang Bila dikaji lebih mendalam, hasil analisis kecukupan RTH dalam penelitian ini menunjukkan fakta yang bertentangan dengan pernyataan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa proporsi 30% dari luas wilayah merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota (Bab II sub 2.1.a). Namun berdasarkan hasil analisis, walaupun luas RTH di Kota Tangerang masih lebih dari 30%, luasan ini tidak dapat menjamin ketersediaan air tanah dan oksigen yang memadai bagi penduduk Kota Tangerang. Padahal dalam analisis kecukupan RTH tersebut, seluruh RTH yang tersedia diasumsikan berupa hutan kota, dimana jenis RTH ini memiliki kemampuan tertinggi dalam memproduksi oksigen dan meresapkan aliran permukaan (Ardiyansyah, 2007 dan Iverson et al, 1993). Sedangkan kondisi eksisting RTH di Kota Tangerang lebih

75 dengan jenis RTH yang ada, RTH yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan air jumlahnya lebih besar dari yang diperhitungkan. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan luas RTH tersebut adalah air dan oksigen yang dikonsumsi di Kota Tangerang hanya berasal dari Kota Tangerang dan tidak berasal dari wilayah lain. Pada kenyataannya tidak demikian. Udara dan air yang dikonsumsi penduduk Kota Tangerang dapat dipasok dari berbagai wilayah. Secara global udara Analisis Kesesuaian Rencana Umum Tata Ruang Kota untuk Kawasan Hijau Terhadap Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berlakunya Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang penataan ruang membuat RTH menjadi salah satu sektor yang mendapat prioritas dalam arahan penyusunan RTRW Kota. Dalam RTRW Kota Tangerang , luas kawasan lindung dan RTH hanya sekitar 278 Hektar atau sekitar 1,5% dari luas wilayah (sudah termasuk Situ Cipondoh). Luasan ini tentu sangat jauh dari standar yang diamanatkan dalam UU No.26/2007. Untuk itu dalam revisi RTRW Kota Tangerang (2009), direncanakan penambahan RTH menjadi 2.886,69 Hektar (17,5%). Luas ini belum termasuk Kawasan Lindung berupa badan air sungai, situ dan tandon air seluas 273,61 Hektar. Sehingga luas Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru berjumlah 3.160,30 Hektar. Adapun alokasi RTH untuk tiap kecamatan disajikan dalam Tabel 30. Tabel 30. Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kecamatan Taman Kota Lap. Olah Raga TPU Jalur hijau jalan Sempadan Sungai Sempadan Situ Kawasan Buffer Pertanian Bandara Total RTH Ciledug Larangan Kr.Tengah Cipondoh ,8 45, ,3 Pinang 9, , ,7 Tangerang 3,5 110,5 0,1 2,8 528,7 9, ,7 Karawaci ,2 535, ,6 Cibodas , ,2 Jatiuwung

76 Periuk ,6 22,4 161,7 257,7 Neglasari ,6 261,0-780, ,3 Batuceper , ,8 B e n d a ,4 43,4 Total 13,36 110,51 29,31 11, ,73 76,92 824,11 161, ,69 Sumber: Dinas Tata Kota Tangerang, 2009 Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah (UU No.26/2007) Undang-undang Tata Ruang No.26 Tahun 2007 secara tegas menetapkan bahwa kabupaten/kota harus memiliki RTH minimal 30% dari total luas wilayahnya, terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan undang-undang tersebut, Kota Tangerang harus memiliki 4.935,6 Hektar RTH, dengan rincian 3.290,4 Hektar RTH publik dan 1.645,2 Hektar RTH privat. Dalam Revisi RTRW Kota Tangerang (2009), pemerintah Kota Tangerang mengalokasikan 2.886,69 Hektar RTH, dengan rincian 1.767,8 Hektar RTH publik dan 1.118,9 Hektar RTH privat. Berdasarkan standar yang ditetapkan tersebut, Kota Tangerang memiliki kekurangan RTH seluas 2.049,1 Hektar. Kesesuaian RUTRK terhadap kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah untuk Kota Tangerang selengkapnya disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang Kecamatan RUTRK untuk RTH Kebutuhan RTH Berdasarkan UU No.26/2007 Selisih Publik Privat Total Publik Privat Total Publik Privat Total Ciledug ,4 87,7 263,1-175,4-87,7-263,1 Larangan ,6 93,8 281,4-187,6-93,8-281,4 Kr. Tengah ,5 104,7 314,2-209,5-104,7-314,2 Cipondoh 47,3-47,3 358,2 179,1 537,3-310,9-179,1-490,0 Pinang 143,7-143,7 431,8 215,9 647,7-288,1-215,9-504,0 Tangerang 550,8 103,9 654,7 315,7 157,9 473,6 235,1-54,0 181,1 Karawaci 535,4 29,2 564,6 269,5 134,8 404,3 265,9-105,6 160,3 Cibodas 127,2-127,2 192,2 96,1 288,3-65,0-96,1-161,1 Jatiuwung ,1 144,1 432,2-288,1-144,1-432,2 Periuk 96,0 161,7 257,7 190,9 95,4 286,3-94,9-66,3-28,6 Neglasari 265,6 780, ,3 321,5 160,8 482,3-55,9 619,9 564,0 Batuceper 1,8-1,8 231,7 115,8 347,5-229,9-115,8-345,7 B e n d a - 43,4 43,4 199,8 99,9 299,7-199,8-56,5-256,7

77 Total 1.767, , , , , , ,7-526, ,1 Sumber: Dinas Tata Kota (2009), dan Hasil Analisis Berdasarkan kajian Tabel 31, hampir seluruh kecamatan kekurangan alokasi RTH, kecuali Kecamatan Tangerang, Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Neglasari. Dalam Revisi RTRW Kota Tangerang, RTH yang dialokasikan di Kecamatan Tangerang dan Kecamatan Karawaci sebagian besar merupakan RTH publik berupa jalur hijau sempadan Sungai Cisadane (528,7 Hektar dan 535,4 Hektar). Kawasan ini rencananya akan dijadikan Kawasan Tepian Air Sungai Cisadane (Cisadane Riverfront) dengan konsep kawasan fungsi campuran taman (mixed use park zone). Sedangkan di Kecamatan Neglasari, RTH yang mendominasi adalah kawasan buffer bandara (780,7 Hektar). Tidak seluruh kecamatan memiliki alokasi RTH, kecamatan tersebut adalah Kecamatan Ciledug, Kecamatan Larangan, Kecamatan Karang Tengah, Kecamatan Cibodas dan Kecamatan Jatiuwung Gambar 15. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRTM/M/2008, standar kebutuhan RTH berdasarkan penduduk adalah 20 m 3 /kapita. Jumlah

78 penduduk Kota Tangerang hingga tahun 2008 sebanyak jiwa, sehingga Kota Tangerang harus menyediakan RTH seluas 3.036,3 Hektar. Dalam Revisi RTRW (2009), pemerintah hanya mengalokasikan RTH seluas 2.886,7 Hektar. Artinya, pada awal perencanaan telah terjadi kekurangan alokasi RTH seluas 176,6 Hektar. Kekurangan ini dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Jika diasumsikan laju pertumbuhan penduduk relatif stabil pada kisaran 1,75% per tahun, maka pada akhir periode RTRW (tahun 2028), Kota Tangerang harus menyediakan RTH kenyamanan seluas 4.336,0 Hektar, dan kekurangan RTH menjadi 1300 Hektar. Namun luasan ini relatif lebih kecil dari luasan RTH yang disyaratkan oleh standar kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah (4.935,6 Hektar). Sehingga bila luas RTH di Kota Tangerang dapat dipertahankan minimal 30% dari luas wilayah, maka hingga tahun 2028 kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk masih dapat relatif terpenuhi. Tabel 32 dan Gambar 16 menyajikan kesesuaian RUTRK untuk RTH pada tiap kecamatan. Dari 13 kecamatan yang ada, hanya empat kecamatan yang memiliki kecukupan alokasi RTH. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tangerang, Kecamatan Karawaci, Kecamatan Periuk dan Kecamatan Neglasari. Kecamatan lain yang memiliki rencana alokasi RTH namun belum mencukupi adalah Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Pinang, Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda. Sedangkan di lima kecamatan lain sama sekali tidak terdapat rencana peruntukan RTH. Tabel 32. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah RTH (Ha) Kebutuhan RTRW Selisih Ciledug , ,6 Larangan , ,2 Karang Tengah , ,0 Cipondoh ,8 47,3-277,5 Pinang ,5 143,7-123,8 Tangerang ,0 654,7 395,7 Karawaci ,4 564,6 238,2 Cibodas ,7 127,2-135,6 Jatiuwung , ,4

79 Periuk ,0 257,7 40,7 Neglasari , ,3 863,6 Batuceper ,1 1,8-157,3 B e n d a ,0 43,4-89,6 Total , ,7-176,6 Sumber: Dinas Tata Kota (2009), BPS (2009), Hasil Analisis Gambar 16. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Air bersih merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengupayakan ketersediaannya guna memenuhi kebutuhan warganya. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan air untuk penduduk Kota Tangerang sangat besar yaitu ,7 Hektar. Luasan ini jauh melebihi luas RTH yang direncanakan (2.886,7 Hektar), bahkan melebihi luas Kota Tangerang (16.452,1 Hektar). Berdasarkan Tabel 33, wilayah yang memiliki selisih kekurangan RTH yang paling tinggi adalah Kecamatan Larangan. Penyebabnya adalah perpaduan dari jumlah penduduk yang tinggi, tidak tersedianya jaringan perpipaan PDAM, dan ketiadaan alokasi RTH dalam RUTRK. Sedangkan kecamatan yang memiliki surplus RTH adalah Kecamatan Batuceper. Surplus ini bukan disebabkan karena alokasi RTH yang tinggi, namun karena kebutuhan air di kecamatan ini

80 lebih kecil dari suplai air PDAM. Hingga penelitian ini berakhir, belum ada rencana pengembangan jaringan atau peningkatan kapasitas suplai dari PDAM Kerta Raharja maupun PDAM Tirta Benteng. Tabel 33. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Kecamatan RUTRK untuk RTH Kebutuhan RTH Selisih Ciledug , ,0 Larangan , ,7 Karang Tengah , ,3 Cipondoh 47, , ,8 Pinang 143, , ,5 Tangerang 654, , ,8 Karawaci 564, , ,2 Cibodas 127, , ,1 Jatiuwung , ,4 Periuk 257, , ,1 Neglasari 1.046, , ,8 Batuceper 1,8-250,8 252,6 B e n d a 43, , ,0 Total 2.886, , ,7 Sumber: Dinas Tata Kota (2009), dan Hasil Analisis Dalam rencana penyediaan air bersih, pemerintah Kota Tangerang tidak berorientasi pada pemanfaatan air tanah mengingat kualitas dan kuantitas yang kurang memadai. Selain itu, pengambilan air dalam jumlah besar dan terus menerus dikhawatirkan dapat memperparah intrusi air laut yang telah terjadi di Kota Tangerang. Sumber air lain yang rencananya akan dimanfaatkan adalah sumber air permukaan, yaitu air baku dari Sungai Cisadane dan Situ Cipondoh. Untuk itu, pemerintah akan berupaya untuk menjaga kelestarian sumber air tersebut, antara lain dengan mempertahankan keberadaan situ, mengendalikan pencemaran air, dan mengajak keikutsertaan masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber air (Dinas Tata Ruang, 2009). Berdasarkan kebijakan pemerintah Kota Tangerang tersebut, maka arahan mengembangan RTH yang

81 dibuat lebih diorientasikan untuk mendukung usaha konservasi Sungai Cisadane dan Situ Cipondoh.

82 Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Rencana Umum Tata Ruang Kota Tangerang untuk RTH masih jauh dari syarat ketercukupan RTH untuk memenuhi kebutuhan oksigen. RTH yang dialokasikan dalam RUTRK hanya memenuhi 1% dari kebutuhan yang ada. Seluruh kecamatan mengalami kekurangan alokaasi RTH. Kekurangan tertinggi dialami oleh Kecamatan Benda dan Kecamatan Cipondoh, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Periuk. Bahkan Kecamatan Tangerang yang memiliki alokasi RTH tertinggi dibanding kecamatan lain pun hanya terpenuhi sekitar 10% dari kebutuhan RTH yang ada (Tabel 34). Tabel 34. Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kecamatan RUTRK untuk RTH Kebutuhan RTH Selisih Ciledug , ,4 Larangan , ,0 Karang Tengah , ,8 Cipondoh 47, , ,2 Pinang 143, , ,1 Tangerang 654, , ,1 Karawaci 564, , ,6 Cibodas 127, , ,6 Jatiuwung , ,5 Periuk 257, , ,8 Neglasari 1.046, , ,9 Batuceper 1, , ,2 B e n d a 43, , ,2 Total 2.886, , ,6 Sumber: Dinas Tata Kota (2009), dan Hasil Analisis Tingginya konsumsi oksigen di Kota Tangerang nampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Rencana peningkatan jumlah RTH harus diintegrasikan dengan rencana pengendalian konsumsi oksigen, terutama dari kendaraan bermotor. Rencana Pemerintah Kota Tangerang yang akan mengembangkan Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) terpadu sangat

83 tepat. Konsep ini mengedepankan lalu lintas penumpang (passanger traffic) daripada lalu lintas kendaraan (vehicle traffic). Pengembangan sistem ini diharapkan akan memberikan pilihan bagi pelaku perjalanan, yang selama ini melakukan mobilitasnya dengan kendaraan pribadi, dapat beralih ke angkutan umum massal dan pada akhirnya dapat menurunkan kepadatan lalu lintas di jalanjalan Kota Tangerang. Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH Preferensi masyarakat diperlukan dalam studi ini untuk memberikan masukan tentang fungsi dan bentuk RTH yang diharapkan oleh masyarakat. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor atau pengguna lahan yang dianggap mempunyai kemampuan berperanserta dan mengerti permasalahan terkait dengan RTH di Kota Tangerang. Dalam studi ini telah disebar 68 kuisioner, dan yang dapat diolah sebanyak 31 kuisioner. Para responden terdiri dari beberapa kelompok para-pihak, yaitu: Dinas Tata Kota, sebagai perwakilan dari pemerintah (4 orang) LSM Pemerhati Lingkungan (2 orang) Pengembang perumahan, sebagai perwakilan dari swasta (1 orang) Akademisi (5 orang) Tokoh Masyarakat (19 orang). Prinsip penilaian AHP adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lain yang berbeda, pada tingkatan hierarki yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Data perbandingan berpasangan diolah dan dianalisis dengan bantuan program Expert Choice Analisis yang dilakukan mencakup analisis pendapat individu dan analisis pendapat gabungan. Hasil pendapat gabungan tersebut memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,049. Nilai ini merupakan nilai gabungan dari 31 responden, dimana masing-masing individu telah memiliki CR < 0,1. Artinya para responden termasuk konsisten dalam memberikan nilai pembobotan dengan tingkat penyimpangan kecil. Hasil analisis gabungan menyatakan bahwa prioritas utama pengembangan RTH adalah bentuk RTH Kawasan dengan bobot nilai 0,405, disusul RTH Jalur

84 dengan bobot nilai 0,345, dan RTH Simpul dengan bobot nilai 0,251. Nilai ini merupakan hasil perkalian matrik antara nilai bobot fungsi dan nilai bobot bentuk (Tabel 35). Prioritas ini dipengaruhi oleh orientasi penduduk Kota Tangerang terhadap fungsi RTH secara berturut-turut adalah untuk meningkatkan estetika (0,4931), mutu ekologis (0,2693), ekonomi (0,1288) dan sosial (0,1088). Tabel 35. Hasil Proses Hierarki Analitik (AHP) untuk Mendapatkan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Fungsi Bentuk Nilai Bobot Ekologis 0,2693 Kawasan 0,538 Simpul 0,214 Jalur 0,248 Sosial 0,1088 Kawasan 0,575 Simpul 0,274 Jalur 0,150 Ekonomi 0,1288 Kawasan 0,147 Simpul 0,402 Jalur 0,451 Estetika 0,4931 Kawasan 0,362 Simpul 0,226 Jalur 0,412 Hasil Gabungan Kawasan 0,405 Simpul 0,251 Jalur 0,345 Sumber: Hasil Analisis Data Primer Berdasarkan preferensi masyarakat tersebut, pengembangan RTH pertama diprioritaskan pada RTH berbentuk kawasan, yaitu RTH yang memiliki bentuk mengelompok (non-linier) dan berukuran lebih dari satu hektar, seperti kawasan konservasi, taman kota, hutan kota, lapangan sepak bola, alun-alun kota, dan sebagainya. Prioritas kedua adalah RTH berbentuk jalur, yaitu RTH yang memiliki bentuk linier, seperti jalur hijau jalan raya, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau listrik tegangan tinggi dan jalur hijau rel kereta api. Prioritas terakhir adalah RTH berbentuk simpul, yaitu RTH yang memiliki bentuk mengelompok dan berukuran kurang dari satu hektar, seperti traffic islands, taman RT, taman RW, pekarangan bangunan, dan sebagainya.

85 Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kegiatan peningkatan kualitas dan kuantitas RTH dilakukan untuk memperoleh manfaat RTH sebagai pelindung lingkungan. Agar diperoleh keseimbangan antara aktivitas masyarakat dan daya dukung lingkungan, arahan pengembangan RTH dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan RTH ditetapkan berdasarkan luas wilayah (UUTR No.26/2007), jumlah penduduk (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008), kebutuhan oksigen dan kebutuhan air Kota Tangerang. Arahan pengembangan RTH yang dilakukan didasarkan pada hasil analisis penutupan lahan, RUTR Kota Tangerang, dan proyeksi kebutuhan RTH pada tahun 2018, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi yang diharapkan. Arahan pengembangan berupa arahan sebaran luas, bentuk dan fungsi RTH pada tiap kecamatan. Sebaran kebutuhan RTH berdasarkan UU No.26/2007 digunakan untuk melihat kebutuhan RTH kota secara total pada wilayah Kota Tangerang yang berupa ruang terbuka yang didominasi oleh hijauan (vegetasi) dalam bentuk apapun. Sebaran RTH menurut kebutuhan penduduk ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan penduduk yang berbentuk taman umum, jalur hijau, hutan kota, dan/atau kawasan perlindungan setempat. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen digunakan untuk melihat kebutuhan RTH yang berupa tegakan-tegakan pohon yang diasumsikan dapat menghasilkan oksigen yang berguna bagi penduduk, ternak dan kendaraan bermotor. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan air digunakan untuk melihat kebutuhan RTH berupa lahan-lahan resapan air yang dapat berguna untuk meningkatkan jumlah air tanah yang menjadi sumber air bersih penduduk. Pada pembahasan sebelumnya diketahui bahwa kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dan air tidak mungkin terpenuhi, sebab luas yang dibutuhkan jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang. Berdasarkan hal 86

86 tersebut, maka arahan pengembangan RTH akan lebih difokuskan pada pemenuhan luas kebutuhan RTH maksimum yang mungkin dicapai berdasarkan kondisi eksisting, RUTR dan luas wilayah pada masing-masing kecamatan, yaitu kebutuhan berdasarkan luas wilayah dan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk. Arahan pengembangan RTH dilakukan melalui empat pendekatan sebagai berikut: Perhitungan Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah (UU No.26/2007) Standar perhitungan menurut UU No. 26/2007 dengan menetapkan RTH berkisar 30% dari total wilayah yang harus dihijaukan. Seluruh bentuk ruang terbuka hijau, baik berupa taman, lahan budidaya pertanian, lapangan rumput dan sebagainya, termasuk dalam RTH ini. Penambahan luas area RTH secara umum di Kota Tangerang sangat terbatas. Penambahan luas RTH dapat dilakukan dengan meningkatkan fungsi garis sempadan sungai, sempadan situ, jalur hijau jalan, menambah taman lingkungan, taman kawasan, penghijauan di lahan kosong, serta upaya melalui peraturanperaturan daerah agar ruang-ruang pemukiman, komersial dan industri menyediakan RTH. Khusus bagi Kecamatan Ciledug, dan Kecamatan Larangan diperlukan subsidi dari kecamatan lain. Pengendalian laju penyusutan RTH pada lahan-lahan non terbangun dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme Koefisien Dasar Hijau (KDH). Strategi ini biasanya dikaitkan dengan peningkatan intensitas bangunan pada ruang-ruang pemukiman, komersial dan industri, terutama pada pengembangan skala menengah besar (lebih dari 5000m 2 ). KDH adalah luas lahan minimal yang berfungsi sebagai RTH dan area resapan air. Area yang termasuk KDH tidak diijinkan dilapis bahan yang menghalangi proses peresapan air ke tanah. Sebagai asumsi perhitungan, bila KDH ditentukan 87

87 30%, maka setiap 1 Hektar pengembangan properti vertikal akan menghasilkan 3000 m 2 RTH privat. Namun strategi ini memerlukan peraturan tegas, detil dan pengawasan yang ketat dari pemerintah daerah. KDH diterapkan pada kawasan yang masih memiliki cadangan ruang terbangun cukup luas. Perhitungan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008) Dasar perhitungan kebutuhan RTH ini adalah jumlah RTH yang diperlukan untuk mendukung kenyamanan warga kota (penduduk), yaitu 20 m 2 /jiwa. Termasuk dalam RTH ini diantaranya taman-taman umum (taman kota, taman kecamatan, Taman Pemakaman Umum (TPU), taman lingkungan dan pekarangan), lapangan olah raga, jalur hijau jalan dan jalur hijau sempadan sungai dan kawasan perlindungan/konservasi. Dalam pembuatan arahan ini, jumlah RTH eksisting yang menjadi acuan adalah jumlah RTH eksisting yang diperoleh dari Dinas Tata Kota Tangerang (2009). Upaya pemenuhan kebutuhan RTH kenyamanan berupa konversi ruang terbuka yang tidak produktif (semak belukar, alang-alang, lahan kosong dan lahan pertanian yang tidak produktif) menjadi RTH kenyamanan. Hal ini memerlukan kerjasama dengan masyarakat, karena lahan ini umumnya dikuasai oleh masyarakat. Perhitungan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Metode Gerarkis). Perhitungan dengan metode Gerarkis pada dasarnya menghitung kebutuhan RTH yang diisi oleh tegakan pohon. Hasil perhitungan kebutuhan RTH tersebut jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang. Namun bukan berarti hasil perhitungan ini dapat diabaikan, bahkan hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen di Kota Tangerang sudah mencapai 88

88 tahap yang mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius dari pihak pemerintah sebagai penyelenggara RTH. Kendati tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen sepenuhnya, namun usaha peningkatan mutu udara, khususnya oksigen, perlu menjadi perhatian. Upaya peningkatkan kualitas RTH dalam arahan ini dilakukan secara kualitatif, antara lain dilakukan dengan memperbanyak jumlah tegakan pohon (gerakan penghijauan), terutama jenis pohon yang menghasilkan banyak oksigen. Upaya ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk, berupa peningkatan jumlah pepohonan pada taman umum, hutan kota, jalur hijau dan area pemukiman. Penambahan jumlah tegakan pohon juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat umum, seperti yang telah dilaksanakan Kota Surabaya (Perda No.7/2002) dan Pekan Baru (Instruksi Walikota No.522.4/Dinas Pertanian/935). Kota-kota tersebut mewajibkan setiap tempat tinggal (rumah atau ruko) memelihara minimal satu pohon. Penerapan aturan seperti ini berpotensi menyumbangkan pohon 2 sesuai dengan jumlah rumah tinggal yang ada di Kota Tangerang (BPS, 2008). Upaya penambahan jumlah pohon di ruang-ruang terbuka di Kota Tangerang perlu diikuti dengan pengendalian konsumsi oksigen, khususnya bagi kendaraan. Selain itu perlu dipertimbangkan untuk bekerjasama dengan kota atau kabupaten lain yang masih memiliki RTH yang luas agar dapat memberikan subsidi RTH. Perhitungan kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Tanah (Metode Sutisna). Pendekatan metode ini menghitung kebutuhan RTH yang berupa luasan lahan yang dapat meresapkan air tanah. RTH berdasarkan pendekatan 2 Atau setara dengan 541,3 hektar jika diasumsikan setiap pohon memiliki tajuk 4x4 meter. 89

89 ini meliputi seluruh bentuk RTH, termasuk di dalamnya adalah lahan bervegetasi pohon, semak belukar, padang rumput, lahan budidaya pertanian, jalur hijau dan sebagainya. Sesuai dengan orientasi pemerintah yang lebih memilih pemanfaatan air permukaan (sungai dan situ) dalam memenuhi kebutuhan air bersih di masa mendatang, maka pengembangan RTH lebih diarahkan untuk untuk mengkonservasi sumber daya air permukaan, terutama di sepanjang sempadan sungai dan situ. Sedangkan untuk mempertahankan sumberdaya air tanah yang ada, dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah kawasan resapan, sumur resapan, pembuatan tandon-tandon penampungan air di wilayah banjir, serta menggalakkan pembuatan lubang resapan biopori di wilayah padat penduduk. Pengembangan RTH ini dapat diintegrasikan dengan pendekatan RTH berdasarkan luas wilayah. Arahan pengembangan RTH ini bersifat kualitatif, sebab pemenuhan kebutuhan secara kuantitatif tidak memungkinkan. Keempat pendekatan tersebut diintegrasikan dan dituangkan secara spasial dalam Sketsa Arahan Pengembangan RTH Kota Tangerang (Gambar 15). Sketsa arahan ini dikembangkan berdasarkan Peta Penutupan Lahan Eksisting dan sketsa lokasi RTH yang direncanakan dalam RTRW Kota Tangerang Arahan Pengembangan RTH ini berlaku ideal sampai tahun 2018 (sesuai analisis dengan data proyeksi hingga tahun 2018). 90

90 Kawasan konservasi Situ C k i Resapan air disekitar anak Kawasan keselamatan bandara difungsikan sebagai lahan pertanian Hutan/taman kota tipe industri, minimal menempati 30% k i d t i KTASC berupa Taman Kota yang berfungsi mengkonservasi air permukaan KKSC mengkonservasi air permukaan & bawah tanah Fungsi yang dominan pada RTH : fungsi ekologis fungsi estetika dan sosial lahan pertanian (fungsi Kawasan resapan air Kawasan resapan air Batusari Hutan/taman kota di kawasan industri, berfungsi utama sebagai buffer industri & pemukiman Kawasan limpasan Sungai Memaksimalkan pemanfaatan Ruang Terbuka yang ada membuat &bi i Gambar 17. Sketsa Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang 91

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) Juliana Maria Tontou 1, Ingerid L. Moniaga ST. M.Si 2, Michael M.Rengkung, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan I.3 Ruang Lingkup I.4 Keluaran I.5 Jadwal Pelaksanaan III.1 III.2 III.3 III.3

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung 50 BAB VI SINTESIS Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING. IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING.  IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/scaffolding IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG Mashuri Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Rona Teknik Pertanian Vol. 2 No. 2 Tahun 2010

Rona Teknik Pertanian Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 169 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PENYEDIAAN OKSIGEN DAN AIR DI KOTA DEPOK PROPINSI JAWA BARAT Bos Ariadi Muis, SP.,M.Si 1 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar

Lebih terperinci

KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR

KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR Nilva Elysa Siregar Alumnus S1 Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN LAHAN RESAPAN AIR DI KOTA TANGERANG

KETERSEDIAAN LAHAN RESAPAN AIR DI KOTA TANGERANG Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2013 Vol. 2 No.1 Hal : 11-18 ISSN 2302-6308 Available online at: http://umbidharma.org/jipp KETERSEDIAAN LAHAN RESAPAN AIR DI KOTA TANGERANG (The Adequacy of Water

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pembangunan perkotaan cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan terbuka hijau dialih fungsikan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON 110 BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON Pada Bab ini dilakukan analisis data-data yang telah diperoleh. Untuk mempermudah proses analisis secara keseluruhan, dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha)

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha) 80 Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun 1988 RUTRK Untuk RTH (ha) Kebutuhan RTH Berdasarkan Inmendagri No.14/88 Selisih (ha) Pekanbaru Kota 0 90-90 * Senapelan 0 266-266

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada PENDAHULUAN Latar Belakang Kota adalah suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas.dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat kedudukan

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2014 (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dokumen MPS yang disusun oleh Pokja Sanitasi Kota Tangerang ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) dan penyusunan Buku Putih Sanitasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan Penelitian estimasi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen di Kotamadya Jakarta Selatan. Tempat pengambilan data primer

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) D216 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Untuk Menyerap Emisi CO 2 Kendaraan Bermotor Di Surabaya (Studi Kasus: Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo) Afrizal Ma arif dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis 4.1.1 Gambaran Umum Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106 43 30 BT - 106 51 00 BT dan 30 30 LS 6 41 00 LS dengan jarak dari ibu kota 54 km. Dengan ketinggian

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

BAB 1 PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN Lingkungan adalah bagian tidak terpisahkan dari hidup kita sebagai tempat di mana kita tumbuh, kita berpijak, kita hidup. Dalam konteks mensyukuri nikmat Allah atas segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Ruang Terbuka Hijau Aktual Ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Tangerang adalah ruang yang ditutupi vegetasi baik tumbuh secara alami maupun binaan, termasuk didalamnya

Lebih terperinci

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 5 TAHUN 2010 Menimbang : PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN BUNDARAN MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA DENGAN

Lebih terperinci

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO Ristanti Konofo 1, Veronica Kumurur 2, & Fella Warouw 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2 & 3 Staf

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat dimana mereka dapat bersosialisasi serta tempat melakukan aktifitas sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang aktivitas

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya tarik kota yang sangat besar bagi penduduk desa mendorong laju urbanisasi semakin cepat. Pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin pesat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D 300 377 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang ditujukan untuk kesejahteraan manusia, pada dasarnya menimbulkan suatu dampak yang positif maupun negatif. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dapat

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk

II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk baik peningkatan maupun penurunannya. Menurut Rusli (1995), secara umum

Lebih terperinci

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara C193 Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan, Jakarta Utara Shella Anastasia dan Haryo Sulistyarso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN

STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN Oleh CHOLOT JANALA A 26.1333 -- -- - --- - - --- JURUSAN-BUDI-BAYA-PERTANIAN FAKULTAS PERTANlAN INSTITUT

Lebih terperinci

STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN

STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN STUD1 RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSlGEN Oleh CHOLOT JANALA A 26.1333 -- -- - --- - - --- JURUSAN-BUDI-BAYA-PERTANIAN FAKULTAS PERTANlAN INSTITUT

Lebih terperinci

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo Dirthasia G. Putri 1 Latar Belakang KOTA PONOROGO Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota merupakan kerangka struktur pembentuk kota. Ruang terbuka Hijau (RTH)

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci