KONSERVASI LUKISAN DINDING GUA HARIMAU DI SUMATRA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSERVASI LUKISAN DINDING GUA HARIMAU DI SUMATRA SELATAN"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DIREKTORAT JENDERAL SEJARAH DAN PURBAKALA LAPORAN HASIL KAJIAN KONSERVASI LUKISAN DINDING GUA HARIMAU DI SUMATRA SELATAN OLEH : Winda Diah Puspita Rini, S.S Nahar Cahyandaru, S.Si Heri Yulianto BALAI KONSERVASI PENINGGALAN BOROBUDUR MAGELANG 2011

2 Lembar Pengesahan Laporan Kajian KONSERVASI LUKISAN DINDING GUA HARIMAU DI SUMATRA SELATAN Tim Pelaksana : Winda Diah Puspita Rini, S.S / /III a Nahar Cahyandaru, S.Si / /III b Heri Yulianto / / II c Jangka Waktu Pelaksanaan : 4 bulan Sumber Anggaran : DIPA Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Mengetahui, Kepala Seksi Layanan Teknis Borobudur, Desember 2011 Ketua Tim Pelaksana Iskandar M.Siregar, S.Si NIP Winda Diah Puspita Rini NIP Menyetujui Kepala BKPB Drs. Marsis Sutopo, M.Si NIP ii

3 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur atas izin Allah S.W.T kami dapat menyelesaikan laporan kajian yang berjudul Konservasi Lukisan Dinding Gua Harimau Di Sumatra Selatan. Laporan ini adalah laporan pelaksanaan kajian tahun 2011 yang telah ditugaskan kepada kami sebagai staf Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.Kajian merupakan salah satu Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Balai Konservasi Peninggalan Borobudur yang harus dilaksanakan dan dimanfaatkan hasilnya. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan kajian ini. Ucapan kami sampaikan kepada : 1. Drs. Marsis Sutopo, M.Si selaku Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam melaksanakan kajian dan terima kasih atas bimbingannya; 2. Ir. Subagyo Pramumijoyo, DEA, dosen Fakultas tekhnik Geologi UGM yang telah menjadi narasumber kajian yang sangat membantu terlaksananya kajian; 3. Kepala BP3 Jambi atas izin yang diberikan; 4. Rekan-rekan dari BP3 Jambi yang telah mengantar kami ke lokasi Gua dan mendampingi selama studi di lapangan; 5. Kepala Balar Palembang dan staf yang telah memberikan pustakapustaka sebagai acuan kami; 6. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera selatan atas izin yang diberikan; 7. Pihak-pihak lain yang secara langsung ataupun tidak langsung membantu terlaksananya kajian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami menyadari bahwa laporan kajian ini masih belum sempurna.oleh karena itu kami mohon kritik dan sarannya untuk perbaikan kajian di masa mendatang.semoga kajian awal ini dapat menjadi titik tolak untuk kajian selanjutnya. Borobudur, Desember 2011 Penulis iii

4 ABSTRAK Konservasi pada lukisan dinding Gua Harimau perlu dilakukan karena keberadaan sejumlah lukisan prasejarah yang ditemukan di dinding dan langit-langit Gua Harimau sangat mengkhawatirkan. Setahun setelah lukisan prasejarah di gua tersebut diketahui keberadaannya oleh arkeolog (E Wahyu Saptomo, tahun 2009), pada penelitian tahun berikutnya (20 September -3 Oktober 2010), beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu, sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah berpotensi adanya vandalisme yang dilakukan oleh manusia masa kini (Simanjuntak, 2009). Oleh karena itu studi konservasi lukisan dinding gua di Gua Harimau ini penting untuk dilakukan sebagai upaya pengamanan dalam rangka konservasi ke depan. Pencegahan terhadap ulah manusia dan binatang liar, serta untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat faktor alam. Kajian pada lukisan dinding di Gua Harimau ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan pada lukisan dan mengetahui penyebab kerusakannya. Hal ini merupakan salah satu upaya pelestarian lukisan dinding di Gua Harimau. Lukisan yang relatif masih utuh ditemukan di bagian dinding gua yang terletak di sudut timur laut. Bagian ini bentuknya semacam ceruk kecil. Posisi lukisan cukup tinggi dan tidak mungkin terjangkau manusia apabila tidak menggunakan tangga/sarana lain. Bidang lukis yang terdapat pada bagian atas ceruk ini cukup luas. Pada bidang ini dijumpai adanya sekelompok lukisan yang digambarkan secara berjajar. Umumnya lukisan-lukisan yang terdapat di bagian atap gua kondisinya sudah sangat aus.akibatnya bentuk lukisan tersebut sudah tidak dapat dikenali lagi. Lukisanlukisan yang tersisa umumnya tinggal potongan-potongan hiasan geometris berupa bentuk-bentuk hiasan tumpal, garis-garis lengkung sejajar, dan garis lengkung berpola konsentrik, serta sebuah hiasan yang masih agak utuh yang terdapat pada suatu cekungan dinding yaitu berupa rangkaian garis-garis pendek dengan sebuah garis panjang di tengahnya (garis sisir). Artikel ini tidak akan membahas tentang keberadaan lukisan dinding Gua Harimau dalam konteks sejarah budaya di Indonesia, tetapi merupakan kajian awal untuk melakukan konservasi lukisan pada Gua Harimau. Hal ini dilakukan sebagai titik awal upaya pelestarian yang terlebih dahulu ditujukan untuk mengetahui tingkat kerusakan pada lukisan dan mengetahui penyebab kerusakannya. Kajian ini diharapkan menghasilkan penanganan konservasi yang tepat untuk lukisan dinding Gua Harimau sebagai tinggalan BudayaPrasejarah. Tahap awal dari kajian ini adalah dengan melakukan observasi di lapangan yang meliputi pengamatan langsung lukisan dinding gua beserta lingkungannya. Selain observasi di lapangan, juga dilakukan analisis laboratorim terhadap sampel yang diambil dari gua dan lingkungannya serta studi pustaka mengenai konservasi gua. iv

5 BAB II 8 TINJAUAN PUSTAKA 8 A. Tinjauan Tentang Lukisan Gua 8 1. Penelitian Maros-Pangkep Penelitian Maros-Pangkep Penelitian padang Bindu, 2009 dan B. Riwayat Penelitian Gua 13 C. Lukisan Dinding Gua 19 D. Konservasi Lukisan Dinding Gua 21 BAB III 25 DATA FISIK GUA HARIMAU DAN LINGKUNGANNYA 25 A. Vegetasi Di Situs Gua Harimau 25 B. Geografi Wilayah Padang Bindu 30 C. Geologi Wilayah Padang Bindu Lingkungan Lokasi dan Data Fisik Gua Harimau Geologi Wilayah Padang Bindu Geomorfologi Stratigrafi Struktur Geologi 44 BAB IV 47 HASIL OBSERVASI DAN ANALISIS LABORATORIUM 47 A. Hasil Observasi Lukisan Dinding Gua 49 v

6 B. Pengambilan Sampel dan Analisis Laboratorium 54 C. Hasil Analisis 57 BAB V 67 A. Kesimpulan 67 B. Saran 68 BAB V. PENUTUP 69 A. Kesimpulan Error! Bookmark not defined. C. Saran Error! Bookmark not defined. BAB V Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA 71 vi

7 BAB I PENDAHULUAN A. Dasar 1. Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya; 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1992; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 4. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.40/OT.001/MKP Tanggal 7 September 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Peninggalan Borobudur; 5. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.108/KP.110/MKP/2010 tentang Penunjukan Pejabat Pelaksana Anggaran Tahun 2011 pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 6. DIPA Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Tahun anggaran 2011 Nomor: 0022/ /13/2011 Tanggal 20 Desember 2010; 7. Surat Keputusan Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Nomor : HK.501/0377/UPT/28,II/2011 tentang Tim Pelaksana Kajian Konservasi Gua Harimau di Sumatra Selatan pada Balai Konservasi Peninggalan Bororbudur Tahun B. Latar Belakang Lukisan dinding gua yang dikenal dengan istilah rock art di luar negeri, berkembang di Eropa, Afrika, Amerika Utara dan di Amerika Selatan.Di wilayah Asia terdapat di India, Thailand, Malaysia, Burma serta di Australia. Lukisan yang terdapat di beberapa Negara tersebut diperkirakan sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang hidup berburu dan mengumpulkan makanan pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut( 1

8 Di Indonesia, lukisan gua ditemukan di daerah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kalimantan. Lukisan gua merupakan sebuah bukti sejarah kemampuan manusia pada zaman prasejarah yang mampu mencurahkan ekspresinya kedalam sebuah lukisan. Keberadaan Lukisan dinding gua yang berkembang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di belahan dunia lain. Hal ini kemungkinan adalah karena adanya migrasi manusia dari luar wilayah nusantara ke wilayah nusantara pada zaman dahulu. Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini memunculkan teori migrasi ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang menyebutkan bahwa mereka menyebar dari daratan Asia ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi. Namun kini, setelah ditemukan Gua Harimau di Sumatra Selatan pada tahun 2008, mematahkan pandangan lama atas zona sebaran lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara. Gua Harimau adalah sebuah situs prasejarah yang berupa ceruk besar yang tersembunyi di antara rimbun pepohonan tinggi.gua Harimau berada di perbukitan karst sekitar 3 km di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan. Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Bagi dunia arkeologigua Harimau menjadi istimewa karena selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat lukisan prasejarah. Dua tahun ekskavasi di Gua Harimau menghasilkan penemuan-penemuan baru yang unik dan pertama di Sumatera, terutama temuan rangka-rangka manusia dan lukisan dindingnya.sebaran kubur manusia juga merupakan temuan yang sangat penting untuk mengetahui siapa penghuni gua dan konsepsi kepercayaan yang dianutnya.di Gua Harimau ini ditemukan kubur-kubur 17 individu dengan variasi sistem penguburan (Simanjuntak, et al., 2010: 69). Temuan rangka tersebut oleh tim peneliti dari puslitbangarkenas diperkiran berumur ±3000 tahun. Dimungkinkan gua tersebut dihuni kurang lebih 3000 tahun yang lalu. 2

9 Rute Mingrasi Ras Au8stromelanesid ( tahun yang lalu) Rute Mingrasi Ras Mongoloid di Indonesia Timur (Teori Out of Taiwan), sejak 6000 tahun yang lalu Rute Mingrasi Ras Mongoloid di Indonesia Barat: tiba di Gua Harimau sekitar 3000 tahun yang lalu Gambar 1.Peta Lokasi Gua Harimau dan Teori Out Of Taiwan Foto 1.Mulut Gua Harimau (foto dari dalam gua) 3

10 Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada awal maret 2009 menemukan beberapa kerangka manusia yang diperkirakan berumur tahun di dalam Gua Harimau dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter (KOMPAS, 9 Maret 2009). Berdasarkan ciri-ciri morfologis, kerangka menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras mongoloid yang baru muncul di nusantara sejak 4000 tahun yang lalu. ciri-ciri morfologis rangka temuan tersebut, terutama dari bentuk tengkorak yang meninggi dan membundar ( brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid. Menurut Hari Widianto (ahli paleantropologi dan kepala BPSMP Sangiran ) Salah satu penyakit yang terlihat pada rangka-rangka manusia prasejarah di Gua Harimau adalah adanya keropos gigi ( karies) yang cukup signifikan. Kecenderungan umum pada kehidupan manusia prasejarah ras mongoloid lebih bertumpu pada kegiatan meramu tumbuhan. Model pola makanan inilah yang diduga menjadi penyebab utama pada karies gigi pada mereka. (KOMPAS, 29 Oktober 2010) Temuan para peneliti dari Puslitbang menemukan Sedikitnya 17 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam proses penggalian itu. Tim peneliti melakukan ekskavasi sebanyak 10 kotak galian, masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter yang memanjang membentuk huruf L. Pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanahditemukan Kerangka manusia. Foto 2.Fosil manusia berumur sekitar tahun yang dikubur dalam posisi setengah terlipat (kubur primer) Sumber : Kompas.com Senin, 1 November

11 Temuan kerangka pada ekskavasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Puslitbang Arkenas telah dipendam kembali dan ditutup dengan papan kayu untuk menghindarinya dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, serta untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar. Di kotak galian ekskavasi juga didapati distribusi artefak berupa alat serpih terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan dalam sebaran yang cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk pemakaman, tetapi sekaligus tempat hunian. Selain kerangka manusia prasejarah, ditemukan pula lukisan pada dinding gua.lukisan dinding gua ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langitlangit pojok timur laut gua. Lukisan berwarna merah-kecoklatan kemungkinan dibuat menggunakan oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat di kawasan ini (KOMPAS, 1 November 2010). Lukisan dinding di Gua Harimau merupakan lukisan dinding pertama yang ditemukan di wilayah Sumatera.Lukisan ini sangat bernilai sehingga perlu untuk diamankan dari vandalisme maupun oleh alam disekitarnya. Proses penanganan penelitian Gua Harimau yang kompleks memerlukan waktu yang relatif lebih lama, tenaga yang lebih lengkap, dan biaya yang lebih memadai serta membutuhkan tahapantahapan ekskavasi lanjutan yang lamanya tergantung dari ketersediaan dana. Oleh karena itu dilakukan ekskavasi dan penelitian lanjutan di Gua Harimau pada tahun 2010 yang juga dilakukan oleh tim dari Puslitbangarkenas. Terlepas dari pertanggalannya yang belum pasti, penemuan ini telah mengubah anggapan yang selama ini memandang bahwa lukisan gua prasejarah tidak pernah menyentuh Sumatera.Melalui kenyataan temuan ini, Sumatera termasuk wilayah sebaran lukisan dinding gua.hasil analisis pendahuluan telah memberikan pencerahan atas jenis-jenis dan arti lukisan tersebut. Gambar-gambar yang dibuat diduga terkait dengan upacara-upacara ritual masyarakat pendukungnya. Hal ini menunjukkan kekayaan alam pikir manusia pada masa itu. Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih sangat sederhana.hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa lingkaran konsentris bersusun 5

12 tiga.beberapa di antaranya berbentuk seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.lukisan seperti ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud hewan atau aktivitas manusia, misalnya.keragamannya pun tidak sekaya motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan.Ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, Dr. Truman Simanjuntak menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan nonfiguratif.akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi karena merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera atau daerah Indonesia Barat. Keberadaan sejumlah lukisan prasejarah yang ditemukan di dinding dan langitlangit gua sangat mengkhawatirkan.setahun setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun berikutnya (20 September -3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini.bahkan sudah muncul vandalisme yang dilakukan oleh manusia masa kini. Oleh karena itu studi konservasi lukisan dinding gua di Gua Harimau ini penting untuk dilakukan sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kerusakan yang terjadi di Lukisan Dinding Gua Harimau di Sumatra selatan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya? 2. Bagaimana cara-cara untuk preservasi Lukisan Dinding Gua Harimau? D. Tujuan Penelitian Maksud kajian ini adalah untuk upaya pelestarian lukisan dinding gua pada situs gua Harimau. Sedangkan tujuan dari kegiatan kajian ini adalah untuk mengetahui kerusakan yang bagaimana yang terjadi di pada lukisan dinding Gua Harimau dan 6

13 faktor-faktor apa saja penyebab kerusakannya, serta mencari metode konservasi yang tepat untuk melestarikan lukisan dinding Gua Harimau sebagai tinggalan budaya hunian prasejarah. E. Manfaat Penelitian Manfaat kajian yang diharapkan adalah : 1. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai konservasi lukisan prasejarah. 2. Data dan analis yang dilakukan dalam kajian diharapkan dapat bermanfaat dalam melakukan konservasi gua. Diharapkan dengan melakukan konservasi, lukisan gua dapat dilestarikan dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. F. Ruang Lingkup Ruang lingkup pelaksanaan kajian adalah konservasi pada lukisan dinding gua pada Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Penelitian ini fokus pada kerusakan lukisan dan kondisi lingkungan eksisting. Aspek-aspek yang diobservasi adalah kondisi lukisan, kondisi fisik gua, kelembaban gua, PH dan kadar air tanah, pertumbuhan jasad yang ada, warna lukisan dan vegetasi di sekitar gua. G. Metodologi Untuk memperoleh gambaran mengenai situs Gua Harimau, dilakukan observasi untuk mengetahui data fisik Gua Harimau dan Lingkungannya. Melalui observasi diharapkan dapat diketahui apakah kondisi lingkungan mempengaruhi keawetan lukisan pada dinding Gua Harimau ataukah tidak. Selain observasi, pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil sampel lukisan (serpihan kelupasan lukisan), mikroorganisme yang ada pada dinding gua, air tetesan dari stalaktit Gua Harimau, sampel batu penyusun gua, dan batu merah yang ditemukan di sekitar Gua Harimau. Studi pustaka juga dilakukan dalam kajian ini. 7

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah kajian mengenai lukisan dinding gua berawal dari kajian artefak sebagai karya seni manusia prasejarah (seni paleolitik) yang disebut mobileart atau portable art seperti ukiran pada tanduk, gambar gores pada tulang, gambar pada sebuah pecahan batu, dan lain-lain. Pelopornya adalah Boucher de Perthes dan Sir John Lubbock pada pertengahan abad ke-19.edward Lartet dan H.Christy memfokuskan pada fitur yang disebut parietal art seperti coretan, ukiran, atau goresan pada dinding gua, ceruk dan tebing (Ucko dan Rosenfeld, 1967: ). Reinach mengkaji mengenai analisis sympathetic magic, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan dalam aspek kesuburan. Bégouën, mempokokkan kajian pada analisis rites magic, yaitu kekuatan gambargambar binatang dan manusia dalam suatu ritual upacara magis.breuil, menganalisis sexual symbolic, yaitu gambar-gambar binatang dan bentuk-bentuk lain menunjukkan simbol laki-laki/jantan dan perempuan/betina (Ucko dan Rosenfeld, 1967: ).Lewis-Williams mengkaji symbol, makna, dan fungsi lukisan prasejarah pada guagua di Afrika Selatan melalui analisis semiotic dengan referensi etnografi suku San di Kalahari dekat Botswana, Afrika Selatan (Lewis -William, 1981).Christopher Tilley mengkaji lukisan prasejarah pada gua-gua di Nämforsen (Swedia) secara gramatikal dengan membacanya seperti kata dan kalimat sehingga diperoleh pemahaman tentang struktur logisnya. Untuk memahami maknanya dilakukan analisis hermeneutic dengan bantuan data etnografi shaman pada suku Saami di skandinavia dan suku Aborigin, Australia (Tilley, 1991 dalam Permana,2008) A. Tinjauan Tentang Lukisan Gua 1. Penelitian Maros-Pangkep 2008 Pada tahun 2008, Tim Kajian dari Balai Konservasi Peninggalan Borobudur membentuk tim kajian yang diketuai Oleh Yudi Suhartono yang membahas mengenai Konservasi lukisan Gua Prasejarah di Maros dan Pangkep yang membahas faktor-faktor penyebab kerusakan lukisan dinding gua, bahan yang digunakan untuk melukis dan bahan untuk rekonstruksi lukisan yang mengalami kerusakan tersebut. 8

15 Dari analisis yang telah dilakukan pada penelitian tersebut, ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : Kerusakan lukisan adalah bukan karena lunturnya bahan/cat yang digunakan untuk melukis, tetapi karena terjadinya pengelupasan lapisan pada permukaan batuan di mana lukisan itu dibuat. Tumbuhnya ganggang di permukaan lukisan yang membuat lukisan tidak terlihat jelas. Lukisan terhapus oleh aliran air hujan yang melewati lukisan Hasil penelitian yang dilakukan Suhartono, dkk (2008) menunjukkan kerusakan lukisan dinding gua di Kabupaten Maros dan pangkep disebabkan adanya fluktuasi temperatur yang besar dalam sehari (faktor iklim makro).temperatur tinggi pada siang hari dan menurun tajam pada malam hari. Ketika batuan terkena panas pada siang hari dan mengembang, pada malam hari terkontraksi karena dingin. Tekanan (stress) sering dialami oleh lapisan luar sehingga menyebabkan terkelupasnya lapisan luar.meskipun ekspansi termal ini disebabkan terutama oleh perubahan temperatur, proses ini juga diperparah oleh adanya kelembaban yang tinggi.dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa lukisan yang berada di mulut gua (terbuka) memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi daripada yang ada di bagian dalam gua(yudi Suhartono, et al., 2009: 2) Pada laporan kajian Suhartono (2008) dievaluasi pula konservasi yang pernah dilakukan oleh Samidi (1985 dan 1986). Hasil evaluasi menyatakan bahwa konservasi menggunakan bahan kimia menyebabkan kondisi lingkungan yang dikonservasi tidak sama dengan yang asli, sehingga mengurangi nilai arkeologi dari lukisan tersebut. Oleh karena itu konservasi menggunakan bahan kimia sebaiknya digunakan seminimal mungkin atau dikurangi untuk menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi tersebut. Bahan lukisan di Gua-gua Maros dan Pangkep diduga dihasilkan dari bahan Hematit.Berdasarkanhasil uji laboratorium Tim Kajian Suhartono, et al (2008) terhadap bahan lukisan dinding gua, menunjukkan bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Jadi, tidak hanya menggunakan bahan mineral merah (Hematit ) saja tetap juga menggunakan unsurlain sebagai campurannya. Dalam hal ini hematite yang didominasi oleh unsur oksida besi (Fe) berperan dalam pembentukan warna 9

16 merah.melihat hal tesebut, kemungkinan besar pada masa lalu, manusia yang tinggal di gua membuat lukisan dinding gua dari campuran hematite dan bahan lainnya yang kemungkinan berasal dari bahan organik.pada kajian tahun 2008, penelitian tentang bahan lukisan gua yang dilakukan Suhartono, dkk belum selesai dilakukan dan belum mendapat kesimpulan bahan perekat yang digunakan sebagai campuran hematite dalam lukisan dinding gua. Warna yang digunakan pada lukisan dinding gua di Maros dan Pangkep adalah merah dan hitam.warna merah yang digunakan umumnya dapat dihasilkan dari oker (ochre) atau oksida besi (Fe 2O 3 (hematite)) yang bersumber dari bahan batuan mineral, sedangkan warna hitam biasanya menggunakan bahan arang (McCarthy, 1979; Lerol Gourham, 1981 dalam Permana, 2008).Selain itu pada lukisan gua juga terdapat warna coklat yang diperkirakan bukan merupakan warna aslinya. Semua lukisan diperkirakan berwarna merah namun kemudian berubah menjadi coklat akibat pengaruh cuaca dan proses kimiawi pada batuan dinding gua. Warna merah yang tetap bertahan terutama terdapat pada batuan yang sangat keras dan terlindung dari proses pelapukan dan perusakan alamiah (Permana, 2008). Hasil uji laboratorium terhadap bahan pengganti lukisan dinding gua sebaiknya menggunakan bahan-bahan alami dan sedikit mungkin menggunakan batuan merah (Hematit) yang berasal dari sekitar situs Sumpang Bita sebagai bahan dasaryang dicampurkan dengan 8 buah larutan yang sebagian besar berasal dari bahan organik. Hasil uji ini memperlihatkan bahwa bahan campuran hematit yang berasal dari bahan organik yang paling efektif di antara 8 sampel adalah menggunakan ekstrak tumbuhan, yaitu daun sirih dan buah pinang (Yudi Suhartono, et al., 2008: 73) Dalam laporan kajiannya, Yudi Suhartono (2008) menyarankan 3 hal berikut : 1) Dalam melakukan tindakan konservasi lukisan dinding gua sebaiknya menggunakan bahan-bahan alami dan sedikit mungkin menggunakan bahan kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahan-bahan asli pembuatan lukisan dinding gua prasejarah tentunya merupakan bahan-bahan alami sehingga pada rekonstruksinya juga diusahakan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan alami juga diharapkan bersifat lebih ramah terhadap objek dan lingkungannya. 10

17 2) Dalam melakukan rekonstruksi lukisan gua, diupayakan bersifat reversible yang artinya rekonstruksi yang dilakukan tidak bersifat tetap dan merusak. Dengan demikian, pada saat ditemukan masalah atau kesalahan aplikasi masih dapat dikembalikan pada kondisi sebelum direkonstruksi. Selain itu juga perlu memperhatikan teknik aplikasi yang sesuai dengan objek aslinya, sehingga hasilnya selaras dan bernilai estetika tinggi. Sebagai contoh pembuatan garis-garis lukisan pada gambar badan babi agar disesuaikan dengan pola garis lukisan aslinya. Dalam hal ini perlu melibatkan ahli (kurator). 3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh dalam upaya menjaga kelestarian lukisan gua prasejarah sebagai sumberdaya arkeologi yang bernilai tinggi. 2. Penelitian Maros-Pangkep 2009 Berdasarkan hasil kajian Suhartono pada tahun 2008, kerusakan dan pelapukan lukisan dinding gua kemungkinan besar disebabkan oleh faktor iklim makro yang telah mengalami perubahan. Pada bagian pendahuluan laporan kajian Konservasi Lukisan Goa Prasejarah di Maros dan Pangkep di Sulawesi selatan Tahap II oleh Suhartono (2009), dinyatakan bahwa untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan kajian yang mendalam tentangberbagai permasalahan yang terkait dengan perubahan mikro. Pada penelitian Suhartono ini dilakukan analisis dengan berbagai percobaan untuk mengetahui bahan lukisan gua. Untuk mengetahui perkembangan kerusakan pada lukisan gua, perlu dilakukan monitoring terhadap kerusakan yang terjadi.selama ini kegiatan di Gua Maros dan Pangkep kurang dilakukan secara optimal sehingga kerusakan yang terjadi tidak dapat dimonitor secara sistematis dari tahun ke tahun ( YudiSuhartono, et al., 2009: 3) Kesimpulan dari kajian Konservasi di Maros dan Pangkep Tahap II (lanjutan) oleh Suhartono, dkk, adalah : Kerusakan lukisan yang letaknya di dekat mulut gua dan lingkungannya cenderung lebih besar daripada lukisan yang letaknya tersembunyi dan terlindungi oleh pepohonan. 11

18 Berdasarkan data curah hujan antara tahun menunjukkan bahwa terjadi penurunan curah hujan dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan penyinaran matahari makin intensif ke bumi sehingga menyebabkan sinar matahari lebih banyak masuk ke dalam gua. Intensitas masuknya sinar semakin besar ke dalam gua dengan berkurangnya pepohonan di sekitar mulut gua. Berkurangnya pepohonan di sekitar lingkungan gua menyebabkan tidak adanya penyaring/ penahan sinar matahari masuk ke dalam gua. Berdasarkan hasil analisis, kerusakan lukisan dinding disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pelapukan kimia, fisik dan biologi. Dalam upaya mengantisipasi kerusakan lukisan dinding gua, perlu tindakan penghijauan di sekitar lingkungan gua. Selain itu juga perlu dilakukan kegiatan monitoring digital secara periodik yang bertujuan untuk memantau perkembangan kerusakan dan pelapukan lukisan gua dari tahun ke tahun, yang merupakan dasar dalam melakukan tindakan konservasi. Berdasarkan hasil uji leboratorium terhadap bahan lukisan dinding gua menunjukkkan bahwa bahan lukisan yang digunakan tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa kemungkinan ada 2 unsur yang memberi pengaruh terhadap warna merah, yaitu unsure Fe yang jika teroksidasi menjadi Fe 2O 3 dan unsur Pb yang jika teroksidasi menjadi PbO. Suhartono (2009) menyarankan bahwa dalam upaya menjaga kelestarian lukisan dinding di gua-gua Maros dan Pangkep perlu segera dilakukan tindakan konservasi lingkungan.hal ini disebabkan faktor lingkungan member kontribusi besar terhadap kerusakan lukisan dinding gua.perlu adanya kesepakatan dari para ahli arkeologi mengenai perlu tidaknya rekonstruksi dilakukan pada suatu situs tertentu. 3. Penelitian padang Bindu, 2009 dan 2010 Penelitian mengenai Lukisan Gua Harimau telah dilakukan oleh Tim Penelitian Padang Bindu (Puslitbang Arkenas) mulai tahu n 2009 dan berlanjut pada tahun 2010 dengan pemaparan yang lebih lengkap. Pada laporan penelitian arkeologi yang berjudul Penelitian Hunian Prasejarah di Padang Bindu, Baturaja Sumatera Selatan yang dibuat oleh tim tersebut, disebutkan pada Bab VI mengenai analisis dan pembahasan khusus 12

19 tentang lukisan dinding gua. Analisis terhadap lukisan dinding yang terdapat di Situs Gua Harimau dilakukan oleh seorang ahli lukisan dinding gua, yaitu Dr.Pindi Setiawan dari Jurusan Seni Rupa ITB.Dr. Pindi Setiawan menyebut lukisan dinding gua sebagai gambar cadas yang diartikan bagian dari wujud kebudayaan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.pada laporan ini disebutkan letak lukisan dinding berada pada sisi utara ruang utama dan sisi barat ruang utama.disebutkan pula bahwa lukisan pada dinding Gua Harimau berupa kumpulan imaji-imaji gerigis dan belum ditemukan imaji wimba (seperti satwa, flora, antropomorfik) atau imaji citra (tera tangan, matahari, pohon hayat, topeng, atau sosok tertentu).pada panil dinding utara terlihat imaji yang bertumpuk. Pada laporan ini disimpulkan sementara bahwa panil ini dipergunakan berulang-ulang yang menunjukkan bahwa proses menggambarnya mempunyai arti yang penting bagi masyarakat pendukungnya (Simanjuntak, 2010: 115). Pada penelitian ini juga disebutkan mengenai struktur gambar cadas (lukisan dinding gua) yang berupa garis lengkung sejajar, jala tumpal, konsentrik, dan garis sisir (Simanjuntak, 2010: ). B. Riwayat Penelitian Gua Belum ada pernyataan yang pasti mengenai jenis bahan lukisan maupun cara pembuatan lukisan dinding gua karena sulitnya mengungkap bahan yang digunakan. Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan adalah laporan penelitian arkeologi oleh Tim Dr. Truman Simanjuntak dari Puslitbangarkenas yang telah dilakukan pada tahun 2009 (bekerjasama dengan IRD Perancis) dan 2010 yang lalu.pada laporan tersebut dilakukan identifikasi pola gambar lukisan dinding gua, vegetasi, geologi dan lain-lain. Hasil penelitian selama ini memperlihatkan gua dan ceruk di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya telah dimanfaatkan manusia modern awal sejak paruh kedua Plestosen Atas.Pertanggalan tertua sejauh ini berasal dari Song Terus di wilayah Pacitan dari sekitar tahun yang lalu (Semah et al, 2003), Sementara bukti-bukti pemanfaatan dari kurun sesudahnya (antara hingga sekitar tahun yang lalu) diperoleh dari berbagai gua lainnya di kawasan Nusantara. Beberapa di antaranya yang telah diteliti secara intensif adalah Gua Braholo dan Song Keplek di wilayah 13

20 Gunung Sewu (Simanjuntak, 2002; 2004), Leang Burung 2 (Glover, 1981) dan Leang Sakapao di Sulawesi Selatan (Bulbeck et al, 2004), Leang Sarru di Kepulauan Sangihe- Talaud (Tanudirjo, 2001), Gua Golo di Maluku (Belwood et al 1998) dan Leang Lemdubu di Kepulauan Aru (Veth et al, 1998), serta Leang Bua Flores (Morwood dan van Oosterzee, 2007). Penelitian di Gua Harimau yang dimulai tahun 2009 dilatarbelakangi oleh kekosongan data hunian akhir Plestosen di wilayah Padang Bindu dan Sumatera pada umumnya yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kekosongan ini sungguh mengherankan mengingat hunian pada periode itu telah ditemukan di berbagai pulau lainnya, sementara Sumatera merupakan sebuah pulau besar dan startegis keletakannya.kekosongan ini menjadi tantangan besar bagi para peneliti. Penelitian-penelitian yang selama ini (sebelum tahun 2009) belum menemukan data hunian masa Plestosen Akhir di Sumatera, tidak serta merta membuat para peneliti berhenti mencari data hunian di wilayah ini.pencarian harus terus dilakukan dengan prioritas pada gua-gua dan ceruk di wilayah-wilayah perbukitan Karst. Penemuan Gua Harimau dengan kondisi lingkungan yang baik dan strategis, ruangan yang luas dengan sirkulasi udara dan cahaya yang baik, dan sedimentologi yang tebal, sangat menjanjikan bagi penemuan kronologi hunian panjang masa Prasejarah. Atas dasar itulah penelitian dilakukan pada tahun Pada tahun 2009 dilakukan penellitian di Gua Harimau dengan melakukan ekskavasi serta observasi lingkungan.pada penelitian ini, Tim Truman Simanjuntak (2009) dari Puslitbangarkenas menemukan kubur-kubur neolitik (sebuah penemuan yang sangat jarang baik di dalam gua maupun di situs neolitik terbuka), artefak, ekofak dan fitur. Selain itu di Gua Harimau juga ditemukan lukisan gua pertama untuk Wilayah Sumatera. Lukisan ini sangat bernilai sehingga perlu di amankan dari vandalisme orangorang tak bertanggung jawab dan oleh alam sendiri. Proses penanganan penelitian Gua Harimau yang kompleks memerlukan waktu yang relatif lebih lama, tenaga yang lebih lengkap, dan biaya yang lebih memadai sehingga membutuhkan tahapan-tahapan ekskavasi lanjutan yang lamanya tergantung dari ketersediaan dana. Oleh karena itu dilakukan ekskavasi dan penelitian lanjutan di Gua Harimau pada tahun 2010 yang juga dilakukan oleh tim dari Puslitbangarkenas (Dr.Truman Simanjuntak sebagai pengarah 14

21 kegiatan). Dalam laporan penelitian tahun 2010, terdapat pembahasan khusus mengenai temuan rangka pada kotak-kotak ekskavasi dan analisis khusus mengenai deskripsi dan interpretasi lukisan dinding Gua Harimau. Dua tahun ekskavasi di Gua Harimau menghasilkan penemuan-penemuan baru yang unik dan pertama di Sumatera.Terutama temuan rangka-rangka manusia dan lukisan dindingnya.sebaran kubur manusia merupakan temuan yang sangat penting untuk mengetahui siapa penghuni gua dan konsepsi kepercayaan yang dianutnya.di Gua Harimau ini ditemukan kubur-kubur 17 individu(truman Simanjuntak, 2010: 69)dengan variasi sistem penguburan.variasi tersebut yaitu teknik penguburan primer terlentang, terlipat, dan setengah terlipat serta teknik penguburan sekunder.variasi sistem penguburan tersebut juga mengisyaratkan telah terbentuknya stratifikasi masyarakat penghuni gua. Lukisan di dinding gua merupakan temuan yang unik dan pertama di Sumatera.Terlepas dari pertanggalannya yang belum pasti, penemuan ini telah mengubah anggapan yang selama ini memandang bahwa lukisan gua prasejarah tidak pernah menyentuh Sumatera.Melalui kenyataan temuan ini, Sumatera_sebagaimana pulau-pulau lain di Sumatera (Kecuali Jawa yang sejauh ini belum ada data lukisan), termasuk wilayah sebaran lukisan dinding gua.hasil analisis pendahuluan telah memberikan pencerahan atas jenis-jenis dan arti lukisan tersebut. Gambar-gambar yang dibuat diduga terkait dengan upacara-upacara ritual masyarakat pendukungnya. Hal ini menunjukkan kekayaan alam pikir manusia pada masa itu. Lukisan dinding gua yang berasal dari masa prasejarah mempunyai batas usia. Semakin lama akan semakin terkikis dan memudar warnanya dari waktu ke waktu. Lukisan dinding pun jauh lebih rentan jika dibandingkan dinding itu sendiri. Oleh sebab itu perlu dilakukan tindakan konservasi terhadap lukisan dinding gua tersebut. Dari hasil-hasil penelitian, diketahui bahwa gua di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya telah dimanfaatkan sejak paruh kedua Plestosen atas. Pertanggalan tertua sejauh ini berasal dari Song Terus di wilayah Pacitan dari sekitar tahun yang lalu, sementara bukti-bukti pemanfaatan dari kurun sesudahnya ( tahun yang lalu) tampak semakin intensif dan meluas. Beberapa gua hunian yang telah diteliti intensif adalah Gua Braholo dan Song Keplek di wilayah Gunung Sewu, Leang Burung 2 dan Leang Sakapao di Sulawesi Selatan, Leang Sarru di kepulauan Sangir- 15

22 Talaud, Gua Golo di Maluku dan Leang Lemdubu di kepulauan Aru, serta Leang Bua di Flores(Simanjuntak, 2001 dalam Truman Simanjuntak, 2009: 4) Pulau Sumatera mempunyai posisi geografis yang strategis sebagai jalur yang menghubungkan kawasan kepulauan dan Asia Tenggara Daratan. Namun selama ini bukti-bukti hunian dari kala Holosen di Sumatera masih terbatas dari Gua Tiangko Panjang di Jambi dari sekitar tahun yang lalu (Bronson dan Teguh Asmar, 1975 dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 4) dan dari Gua Silabe di Desa Padang Bindu, Kabupaten Baturaja, Sumatera Selatan(Guillaud 2006 dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 5).Sedikitnya bukti-bukti hunian di Sumatera mendorong pentingnya penelitian gua yang lebih intensif di Sumatera.Sebagai prioritas adalah Desa Padang Bindu yang merupakan wilayah karstic dan memiliki gua-gua dan ceruk alam yang sangat potensial untuk hunian masa lampau.penelitian di kala itu baru memberikan gambaran tentang hunian gua dari sekitar BP di Gua Pandan dan sekitar BP di Gua Silabe 1 (Forestier et al dalam Truman Simanjuntak, 2009:5).Hasil awal ini memperlihatkan secara jelas bahwa wilayah Padang Bindu sangat penting untuk mengisi keterbatasan dan kekosongan data mengenai hunian gua di Sumatera, sehingga memerlukan penelitian lanjutan yang intensif dan sistematis. Potensi tinggalan arkeologi prasejarah yang berasal dari kurun waktu tertua di daerah Padang Bindu ditandai dengan melimpahnya alat-alat Paleolitik pada aliranaliran sungainya. Sebagian di antaranya merupakan alat batu inti yang dibuat dari kerakal-kerakal dengan cara memangkas sederhana untuk menajamkan. Sebagian lainnya dibuat dari serpihan-serpihan besar. Pada umumnya alat-alat paleolitik tersebut ditemukan pada aliran-aliran sungai sehingga telah aus dan mengalami penbundaran akibat transformasi arus sungai (Truman Simanjuntak, 2009 : 5). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Arkenas pada tahun 1995 di sekitar aliran Sungai Ogan dan anak cabangnya Sungai Lengkayap telah memperlihatkan sejumlah bukti temuan alat-alat Paleolitik yang mempunyai sebaran cukup melimpah. Survei permukaan pada aliran sungai ini dilakukan di wilayah sekitar Baturaja baik ke arah hulu maupun hilir.penelusuran du Sungai Ogan dilakukan ke arah hulu (dari kota Baturaja) dengan jarak jelajah 50 km (Sampai di Jembatan Mandingin, Desa Gunung Meraksa, Kecamatan pengadonan), sedangkan ke arah hilir sampai di Desa 16

23 Lubukbatang Lama, Kecamatan Peninjauan yang berjarak sekitar 15 km dari Baturaja. Pengamatan di Sungai Lengkayap yang merupakan anak cabang Sungai Ogan dilakukan mulai dari Desa Tandikat, Kecamatan Baturaja Barat kea rah hulu sampai di Desa Peyandingan, Kecamatan Sosoh Buayrayap (Jatmiko, 1995 dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 5). Hasil Survei tersebut memperlihatkan sebaran artefak litik di bagian hulu Sungai Ogan, terutama dalam wilayah Kecamatan Pengadonan dan Semidang Aji dengan konsentrasi terbanyak di Desa Padang Bindu ( Truman Simanjuntak, 2009 : 5). Bertolak dari hasil penelitian tahun 1995, tersebut penelitian dilanjutkan tahun 2001 melalui kerjasama antara Puslit Arkenas dengan sebuah lembaga penelitian Perancis yaitu Institut de Recherche pour le Developpement (IRD).Hasil-hasil penelitian telah dapat mengidentifikasi puluhan situs prasejarah dan mengekskavasi beberapa gua hunian (laporan penelitian, 2004 dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 4).Penelitian lebih difokuskan di wilayah sekitar Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji. Selain melakukan ekskavasi di Situs Gua Pondok Silabe, dalam penelitian di wilayah ini juga dilakukan survey lanjutan terhadap beberapa aliran sungai anak cabang dari Sungai Ogan; di antaranya adalah Sungai Semuhun, Sungai Air Tawar, Sungai Aek Haman, dan Sungai Dayang Rindu (Jatmiko dan Forestier, 2005 dalam Truman Simanjuntak,2009 : 6). Survei permukaan yang dilaksanakan di sekitar Padang Bindu menampakkan populasi artefak Paleolitik yang kurang padat di aliran Sungai Ogan dibandingkan dengan anak-anak sungainya. Himpunan artefak dari anak-anak sungai tersebut memperlihatkan kondisi yang lebih segar dibandingkan dengan artefak dari Sungai Ogan. Secara umum himpunan alat-alat Paleolitik di wilayah ini menunjukkkan jenis dan bahan baku yang lebih variatif, antara lain dari batuan andesitic, chert, jasper, breksi vulkanik, dan lain-lain. Selain Kapak Parimbas ( chopper), kapak penetak ( chopping tool), dan alat-alat serpih sebagai alat yang paling umum ditemukan, terdapat juga jenis artefak lain yang dikenal sebagai alat-alat khas budaya Acheulean, seperti kapak genggam (biface) dan kapak pembelah (cleaver) (Truman Simanjuntak, 2009: 6). Penelitian lanjutan dilaksanakan pada tahun 2003 dengan mengadakan ekskavasi di Situs Pondok Gua Silabe 1. Ekskavasi di Gua yang sama kemudian 17

24 dilanjutkan tahun Hasil-hasil penelitian di gua ini menampakkan keberadaan hunian Preneolitik dari sekitar 5700 BP, dicirikan oleh pembuatan alat-alat serpih, dan perburuan fauna darat. Hunian berlanjut ke Neolitik di sekitar 2700 BP dengan memunculkan teknologi tembikar, tetapi unsur-unsur Preneolitikmasih bertahan. Di lapisan paling atas terdapat benda-benda logam yang merupakan lanjut dari Neolitik (Forestier et al. 2006dalam Truman Simanjuntak,2009 : 6). Setelah dua tahun berakhirnya penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (tahun 2005),pada tahun 2007 dimulai penelitian lanjutan yang dilaksanakan oleh Puslit Arkenas. Hingga tahun 2008, penelitian telah dilaksanakan dengan mengekskavasi Gua Karang Beringin dan Gua Karang Pelaluan, di samping penemuan situs-situs baru (Laporan 2007,2008 dalam Truman Simanjuntak,2009 : 7).Hasil-hasil penelitian memperlihatkan di wilayah Padang Bindu sangat potensial untuk studi kala Holosen.Puluhan gua yang terdapat di wilayah ini pernah dihuni oleh komunitas-komunitas prasejarah pendukung budaya preneolitik dan neolitik sejak sekitar tahun yang lalu. Penelitian tahun 2009 merupakan lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya dan kali ini sasaran ujung adalah hunian gua yang lebih tua-hunian akhir plestosen (Late Pleistocene).Namun untuk mencapai sasaran ini, harus melalui hunian Holosen yang terdapat pada lapisan hunian atas gua. Sejauh ini data hunian diperoleh di Gua Tianko Panjang, Jambi (Bronson dan Asmar, 1975 dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 7), Gua Togindrawa, Nias (Forestier et al, 2005), dan Gua Silabe (Simanjuntak dan Forestier 2004).Kondisi ini sangat kontradiktif dengan keletakan geografis Sumatera yang menempati posisi strategis, sebagai jalur yang menghubungkan kepulauan nusantara dan Asia Tenggara Daratan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Puslitbang Arkenas sejak tahun 2007 menekankan sasaran pada pencarian data hunian gua Holosen-akhir Plestosen.Untuk pencarian data hunian gua, dilakukan ekskavasi di beberapa gua antara lain Gua Karang Pelaluan ( ) dan Gua Karang Beringin (20 07). Hasil-hasil penelitian menampakkan adanya hunian gua yang intensif di wilayah Padang Bindupada kala Holosen, dimulai dari hunian preneolitik dan neolitik (Laporan penelitian dalam Truman Simanjuntak, 2009 : 8). 18

25 Penelitian tahun 2008, tim penelitian dari Puslitbang Arkenas melanjutkan eksplorasi untuk menemulkan gua baru yang diharapkan mengandung data hunian yang lebih tua. Dalam eksplorasi itu diperoleh informasi mengenai keberadaan Gua Harimau dan hasil pengamatan memperlihatkan gua ini sangat potensial untuk diteliti secara intensif.tahun 2009 dilakukan penelitan lanjutan yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan data hunian prasejarah pada akhir Plestosen dalam konteks mikro (Padang Bindu) dan makro (Sumatera). Atas dasar pertimbangan itulah maka dilakukan ekskavasi di gua ini (dalam Truman Simanjuntak,2009 : 8). Dalam penelitian Gua Harimau tahun 2009 dilakukan pengumpulan data hunian neolitik dan menelusuri data hunian sebelum neolitik (preneolitik).data hunian neolitik dicirikan dari keberadaan tembikar atau beliung persegi.data hunian sebelum neolitik (preneolitik) dicirikan keberadaan alat-alat serpih yang melimpah, sisa fauna buruan, alat-alat tulang, kerangka manusia penghuni gua, dan lain-lain. Penelitian Gua Harimau membutuhkan tahap-tahap berkelanjutan. Pencapaian seluruh tahapan itu akan membawa sebuah kemajuan penelitian di wilayah ini, sekaligus memberikan kontribusi besar bagi pemahaman sejarah hunian gua di Sumatera. Mengingat Gua Harimau baru ditemukan, maka ekskavasi pendahuluan ini lebih ditujukan untuk menjajagi potensi data vertikal dalam arti mengetahuiketebalan lapisan hunian dan sekaligus mengetahui corak budayanya (Truman Simanjuntak, 2009 : 9). C. Lukisan Dinding Gua Salah satu alasan manusia tinggal di dalam gua dan ceruk adalah adanya desakan kebutuhan akan rasa aman dari berbagai gangguan, ketakutan dan ancaman. Gangguan dan ancaman tersebut dapat datang dari binatang buas, persaingan antar individu atau kelompok sosial lain. Apabila kebutuhan akan rasa aman tersebut terpenuhi, pengetahuanakan dapat lebih berkembang melalui adanya waktu luang untuk melakukan eksperimen dalam gua. Hal ini dikarenakan ketika manusia tinggal di alam terbuka, waktu luang dan eksperimen diekspresikan oleh kebutuhan yang lebih mendesak, yaitu rasa aman, sehingga pengetahuan tidak dapat berkembang sama sekali. Akan tetapi arah perkembangan pengetahuan pada saat manusia tinggal di alam terbuka berada pada keterbatasan strategi untuk bertahan hidup.seiring dengan 19

26 terpenuhinya rasa aman tersebut, muncul kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan mereka. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain religi, seni dan identitas. Bukti adanya kebutuhan tersebut dapat ditemukan misalnya dari teknologi yang mereka gunakan. Apabila diamati dengan cermat, tinggalan teknologi yang ada sampai saat ini ditemukan pada gua-gua hunian prasejarah tidak sematamata berdasarkan atas pertimbangan fungsional, akan tetapi juga memperhatian aspek keindahan melalui proporsi keseimbangan formal. Selain melalui teknologi, kebutuhan religi, seni dan identitas, juga tertuang pada keberadaan lukisan gua (Restiyadi, 2007 dalam Suhartono 2008:8) Di Kawasan pegunungan kapur (karst) terdapat gua -gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia.gua terpilih sebagai tempat bermukim manusia, tidak terlepas dari tersedianya sumber daya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar gua.selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua (Stern, 1973 dalam Linda, 2005). Seni yang dibuat manusia sudah ada sejak manusia diciptakan.hanya saja, seni yang dibuat oleh manusia Neanderthal dalam berbagai bentuk, sampai sekarang tidak ada jejak yang dapat ditemukan.tetapi seni yang dihadirkan oleh manusia modern atau Homo sapien sangat mudah ditemukan.di dalam ceruk-ceruk gua, manusia mulai mendekorasi bebatuan dengan tema yang penting mengenai kehidupan keseharian mereka atau suatu kejadian penting. Kejadian penting yang sering muncul di dinding gua prasejarah terkait dengan ritual (tata-kepercayan yang dianut; manusia prasejarah mempunyai kepercayaan samanik), perilaku sosial dan mata pencahariannya (berburu, memanah, alat-alat, menggembala, upacara inisiasi, kehidupan sehari-hari), kejadian yang terkait dengan tokoh-tokoh penting (saman, pemimpin, raja), serta kejadian yang terkai dengan spiritual mahluk gaib (satwa yang disembah, satwa penting, satwa sakti, matahari, benda sakti) yang dipercayainya (Truman Simanjuntak, 2010: 102). Gambar binatang buruan seperti bison dan rusa sering kali muncul dalam lukisan dinding gua.pada lukisan dinding gua juga sering ditemukan bentuk dari ketertarikan pradominan manusia yaitu bentuk wanita, yang menggambarkan kesuburan dimana keselamatan suku tergantung padanya. 20

27 Mengingat usia lukisan yang kemungkinan mencapai ribuan tahun sangat sulit untuk mengenal zat apakah yang dipakai sebagai medium atau perekat zat warna. Tetapi jelas bahwa medium diperlukan.teknik pembuatan lukisan pada dinding rumah tradisional di Toraja, kemungkinan mempunyai kesinambungan sejarah dengan teknik lukisan dinding pada masa prasejarah (dapat dijadikan studi etnografi).di Toraja sampai sekarang masih menggunakan medium legen aren (zat gula) yang telah diragikan (semacam tuak).(samidi, 1984:16-17). Untuk mencegah kerusakan dan pengelupasan lukisan lebih lanjut, perlu segera dilakukan konservasi, pada prinsipnya, konservasi ini mempunyai sasaran untuk memperkuat lapisan batuan hasil proses remineralisasi yang telah membentuk patina(lapisan yang melindungi benda, hasil reaksi antara benda sendiri dengan lingkungan) agar tidak mudah mengelupas. Secara ideal konservasi lukisan perlu dilakukan di laboratorium.di laboratorium lapisan batuan dapat dikonsolidasi secara maksimal dan diisolasi dari faktor negatif yang mempengaruhi.tetapi hal ini hanya bisa dilakukan bila lukisan bersama batu medianya dapat dibongkar baik dengan teknik stacco maupun strappo. (Paul Philipot and Paolo Mora, t.t, dalam Samidi, 1984:17). Dalam tulisan Paul Philippot dan Paolo Mora dalam The Conservation of Wall Paintings, Teknik Stacco adalah teknik membongkar lukisan dengan batuannya setebal ±10 cm. Sedangkan teknik Strappo adalah teknik membongkar lukisan saja dengan massa dasar (dengan tebal±2 mm).tetapi teknik ini tidak dapat dipakai untuk untuk kasus yang batuan kapur di belakangnya sangat keras, permukaan lukisan yang luas dan membentuk lengkungan yang tidak merata.perlu dikaji lebih lanjut apakah teknik ini bisa dan perlu diterapkan pada lukisan dinding di Gua Harimau dengan memperhatikan tingkat pelapukan lapisan dinding Gua Harimau. (Samidi, 1984: 17-18) D. Konservasi Lukisan Dinding Gua Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam.secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.dalam konsepsi arkeologis, konservasi adalah pengelolaan dan pemeliharaan benda cagar budaya agar dapat dimanfaatkan 21

28 lebih lama dengan tetap mempertahankan makna kulturalnya. Kegiatan konservasi di bidang ini meliputi; pemeliharaan berkesinambungan (maintenance), pengawetan objek tanpa melakukan perubahan ( preservation), mengembalikan objek pada keadaan sebenarnya tanpa menggunakan bahan baru (restoration), mengembalikan objek pada keadaan mendekati aslinya dengan bukti-bukti yang ada, baik bukti fisik maupun bukti tertulis ( reconstruction), dan memodifikasi objek sesuai dengan penggunaannya (adaptation) (Taufik, 2005). Konservasi arkeologi adalah upaya pelestarian benda arkeologi.oleh karena itu merupakan prinsip bahwa konservasi harus berdasarkan kaidah-kaidah arkeologi serta budaya yang melatarbelakanginya.prinsip ini secara filosofi menjiwai konservasi arkeologi untuk tetap melestarikan keaslian benda serta nilai yang dikandungnya. Dari segi operasional, konservasi arkeologi harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, Konservasi tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan atau gejala (simptomatik), tetapi harus dilakukan dengan pendekatan sistemik atas problema yang ada, yang mencakup faktor penyebab, proses kerusakan dan pelapukan yang berlangsung, serta akibatnya. Untuk itu diperlukan suatu pola pikir untuk memahami permasalahan yang ada, sehingga diperoleh metode konservasi yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.prinsip dan pola pikir tersebut harus dipergunakan sebagai landasan atau arahan dalam menjabarkan metode konservasi yang tepat guna untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan yang ada tanpa menyimpang dari kaidah-kaidah arkeologi dan budaya (Samidi, 1996/1997 dalam Suhartono, 2009:5). Pertimbangan melakukan konservasi tertuju pada asumsi bahwa objek-objek arkeologi terbuat dari bahan atau materi yang memiliki keterbatasan daya tahan, dan bagaimana cara kita mempertahankannya selama mungkin agar dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya pendidikan, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Konservasi arkeologi harus memperhatikan faktor-faktor penyebab serta jenis kerusakan seperti; kerusakan mekanis, kemis dan biologis.konservasi yang dilakukan pada sumberdaya arkeologi, adalah karena pertimbangan nilai penting yang tersimpan di dalamnya berupa informasi pengetahuan, budaya, teknologi, sosial, politik, dan agama. Apabila objek arkeologi tersebut diproyeksikan atau dijadikan sebagia objek wisata, maka harus 22

29 mempertimbangkan nilai: ekonomi, estetika, informasi, arkeologi, dan nilai sejarahnya (taufik, 2005 dalam Suhartono, 2008). KonservasiGua adalah perlindungan dan pemulihan gua untuk mencegah atau meminimalkan dampak aktivitas manusia di gua (apabila telah menjadi tempat wisata).beberapa gua memiliki fitur halus yang dapat terganggu oleh perubahan kadar cahaya, kelembaban dan aliran udara. Gua yang memiliki pencahayaan, rentan tumbuh ganggang di dalamnya sehingga dapat mengubah tampilan dan ekologinya. Langkah pertama yang perlu segera dilakukan adalah melakukan dokumentasi secara terperinci terhadap lukisan yang masih ada secara kualitatif. Dokumen ini akan sangat berharga karena dapat dipakai sebagai pedoman konservasi di kemudian hari, terutama bila selama ini terjadi proses pengelupasan yang sangat cepat. Pendokumentasian dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pendokumentasian dapat dilakukan menggunakan 3D lasser scanner bila memungkinkan, untuk memperoleh gambar dengan ukurannya sekaligus dimensi gua dan keletakkannya secara tepat.bila tidak,dapat dilakukan pembuatan gambar dengan sistem ploting secara langsung di atas lukisan dengan dengan menggunakan kertas kalkir. Dengan caraini akan diperoleh gambar dengan skala 1:1. Dalam sistem ploting, tempat-tempat (spot) yang mengelupas perlu direkam secara tepat.pendokumentasian dengan foto (dilengkapi dengan skala) perlu pula dilakukan.pemotretan dilakukan keseluruhan hingga detail tiap unsur lukisan. Gambar dan foto merupakan data dokumentasi yang saling mendukung. Percobaan konservasi pada dinding gua prasejarah pernah dilakukan sebelumnya oleh Samidi (1984) di Gua Leang -leang (Samidi, 1984: 19).Namun penanganan konservasi yang dilakukan tidak berhasil. Setelah lebih dari 20 tahun dan dilakukan evaluasi, disimpulkan bahwa konservasi oleh Samidi (1984) menggunakan bahan kimia menyebabkan kondisi lukisan yang dikonservasi tidak sama seperti aslinya sehingga mengurangi nilai arkeologis dari lukisan tersebut. Oleh karena itu konservasi menggunakan bahan kimia dapat dikurangi seminimal mungkin (Suhartono, 2008:53). Hasil percobaan lapangan mengenai metode konservasi yang disarankan perlu diobservasi sekurang-kurangnya 1 tahun (satu siklus musim hujan -kemarau).hasil 23

30 evaluasi dapat menunjukkan bahan dan metode terbaik yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk konservasi lukisan pada Gua Harimau. 24

31 BAB III DATA FISIK GUA HARIMAU DAN LINGKUNGANNYA A. Vegetasi Di Situs Gua Harimau Gua Harimau merupakan sebuah gua kapur yang memiliki pintu masuk yang sangat besar (mulut gua setinggi 20 meter) serta atap yang sangat tinggi (12-17 meter).bagian dalamnya sangat terang dan memiliki sirkulasi udara yang baik serta tidak lembab.di lantai guanya pada saat akan diekskavasi oleh Tim penelitian Padang Bindu (2009) banyak ditumbuhi oleh semak belukar dan tumbuhan paku-pakuan dari jenis Pteridophyta(tanaman tingkat rendah). Namun pada saat Tim Kajian Balai Konservasi melakukan observasi (2011) tanah permukaan di Gua Harimau, tidak ditemukan semak belukar di permukaan tanah tetapi masih ditemukan paku-pakuan di sela-sela batu-batu endapan gua.berdasarkan observasitim Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, jenisjenis tumbuhan yang ada di Gua Harimau adalah Algae, lichen, lumut, paku, dan tumbuhan tingkat tingi. Tidak terdapat lumut pada dinding gua.lumut hanya terdapat pada lantai gua yang lembab/ basah.algae terlihat pada dinding-dinding gua berwarna hijau hingga hitam kehijauan. Foto 3.Gua Harimau dilihat dari sisi Baratdaya Foto 4.Stalaktit dalam gua 25

32 Foto 5. Tumbuhan paku-pakuan Foto 6.Tumbuhan paku-pakuan banyak tumbuh pada batu-batu endapan gua Foto 7.Vegetasi di hutan di lingkungan Gua harimau Lingkungan di sekitar gua merupakan hutan yang tidak begitu lebat dengan lantai hutan yang tidak sepenuhnya tertutup oleh tajuk-tajuk pohon.berbagai jenis tanaman keras banyak tumbuh di sekitar gua ini.keadaan vegetasi seperti ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keadaan fisik lingkungan di sekitar gua.banyaknya tanaman keras yang tumbuh di depan dan samping gua sangat 26

33 berperan untuk mencegah terjadinya erosi, khususnya untuk areal di depan gua karena areal tersebut mempunyai kelerengan yang cukup curam, yaitu kira-kira 38⁰. Areal di depan Gua Harimau banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman, baik tanaman tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Berbagai jenis tanaman tingkat rendah misalnya tumbuhan paku-pakuan (dari jenis Pteridophyta) hingga tumbuhan tingkat tinggi berupa berjenis-jenis tumbuhan Angiospermae seperti pohon jelatang (Laportea stimulan), manggis hutan (fam.cluciaceae), rengas ( Anacardiaceae), sekuai ( Sesanium indicum), kayu pelangas (Verbenaceae), beringin ( Moraceae), asam kandis ( Cluciceae), pohon baniban (Piperaceae), dan pohon bayur Foto 8.Jalan setapak di hutan (Sterculiaceae), dan tumbuhan semak belukar dari tumbuhan Araceae, Arecaceae, Zingiberaceae, Pipieraceae, Musaceae, Selaginellaceae, Polypodiaceae dan lain-lain (Tim Peneliti Padang Bindu, 2009: 36). Gua Harimau dekat dengan sumber air (Sungai Aek Haman). Jalan dari sungai ke muara gua Harimau cukup curam (kemiringan sekitar 22-25⁰), namun pendakian Foto 9.Sungai Aek Haman didominasi tumbuhan Bam busa Sp 27

34 masih dapat dilakukan tanpa menggunakan tangan untuk memanjat sehinggamempermudah perjalanan tim kajian dalam melakukan observasi di lapangan. Areal di depan gua merupakan bagian yang melereng menuju Sungai Aek Haman. Pada bagian tersebut pada saat ini banyak ditumbuhi oleh tanaman jati (Tectona grandis) yang merupakan kebun milik rakyat. Tanaman selingan yang tumbuh secara liar di antara tanaman jati tersebut terdiri dari tumbuhan semak belukar dari jenis Gesneriaceae, Zingiberaceae, Poaceae, Urticaceae, Pipieraceae, Moraceae,dan Myrtaceae (Truman Simanjuntak, 2009 : 36-37). Secara umum lingkungan vegetasi situs Gua Harimau tersusun oleh beberapa komunitas tumbuhan.penentuan komunitas ini didasarkan pada pengamatan terhadap penampakkan, habitat, komposisi dan dominan dari tumbuhan yang ditemukan. Komunitas-komunitas tersebut adalah : 1. Kebun kopi (Coffea sp); 2. Kebun karet (Ficus elastica); 3. Kebun rambutan (Nephelium lapacceum); 4. Hutan Jati (Tectacona grandis); 5. Tumbuhan kulit manis (Cinnamomum burmanni); 6. Tumbuhan semak belukar. (Sumber : Truman Simanjuntak, 2009 : 37) Vegetasi di sekitar gua berpengaruh untuk menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung ke permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah dapat dikurangi.di samping itu juga dapat menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi. Hal ini sangat membantu proses penyerapan air ke dalam tanah (Truman Simanjuntak, 2009: 39) Gua Harimau sebagian daerahnya masih ditutupi oleh vegetasi tumbuhan hutan, walaupun di sekitar gua itu sendiri merupakan hutan jati.hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya beberapa jenis tumbuhan yang umumnya terdapat di hutan seperti, jenis surian (Toona sureni), laban (Vitex pubescens), seluai (Shores sp.), sungkai (Peronema canescen), lawu ( Ficus variegata), seru ( Euphorbia barnhartii), beringin hutan ( Ficus sp.), kedondong hutan ( Spondias sp.), bekhu ( Baccaurea montleyana), kemang (mangifera caesia), kayu hujan (Pithecelobium samman) dan lain sebagainya. 28

35 Beberapa jenis tumbuhan sangat menonjol di antara jenis tumbuhan lainnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh lapisan tajuk/kanopi pohon yang luas, seperti jenis kemiri (Euphorbiac.), dammar (Pinac.), Fabaceae. Dengan adanya kanopi ini, maka beberapa anakan tumbuhan akan tumbuh dan berkembang untuk membentuk individu baru. Lingkungan vegetasi di sekitar Gua Harimau mempunyai vegetasi yang sedikit tertutup yang disebabkan oleh kanopi dari jenis pohon-pohonan yang berbanir, seperti jenis payang ( Flacourtiac), dammar ( Pinac.), dan lain-lain.oleh karena sebagian dari areal ini tertutup oleh kanopi pohon-pohon besar maka menyebabkan kelembabab yang cukup tinggi pada areal tersebut. Pada daerah yang agak terbuka di sekitar hutan jati umumnya ditumbuhi dengan tumbuhan jenis Melastoma, Pandanus, Graminae, Urena lobata, Hyptis, Asteraceae, Piperaceae dan lain-lain.jenis-jenis tumbuhan seperti ini biasa disebut dengan tumbuhan terna.jenis tumbuhan ini mempunyai sifat yang sangat toleran terhadap sinar matahari.jenis tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik di tempat ini karena masuknya cahaya matahari sampai ke lantai hutan.di daerah sekitar situs, jenis tumbuhan ini berkembang sebagai vegetasi dasar yang berwarna hijau.vegetasi ini dalam keadaan lembab cenderung bersifat seperti terna dengan jenis paku-pakuan dan paku lumut (Selaginella sp.) yang kadang-kadang tumbuh menyolok.sementara itu pada bagian yang kering, dapat tumbuh tumbuhan berkayu yang sebagai vegetasi dasarnya berupa tumbuhan semak seperti Musaceae, Zingiberaceae (kadang-kadang tingginya bisa mencapai 5 meter). (Truman Simanjuntak, 2009: 40-41) Jenis paku-pakuan yang lain juga dijumpai di Gua Harimau, yaitu jenis paku asam. Dari hasil pengamatan lapangan juga dijumpai jenis paku-pakuan yang umumnya berada pada daerah-daerah yang terkena sinar matahari langsung, yaitu paku rasam (Gleichenia linearis).berdasarkan pada adaptasi dan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di sekitar Gua Harimau, maka daerah sekitar gua ini dapat dikategorikan sebagai daerah yang berekosistim hutan dataran rendah campuran Dipterocarpaceae.Hal ini antara lain ditandai dengan terdapatnya jenis tumbuhan dari family Dipterocarpaceae dari jenis seluai (Shorea sp.)(truman Simanjuntak, 2009: 41). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa di Situs Gua Harimau ditemukan jenis tumbuhan paku-pakuan dari jenis Gleichenia linearis yang umumnya 29

36 hidup pada tempat-tempat terbuka yang mendapat sinar matahari langsung.di sekitar situs masih banyak ditemukan jenis-jenis tumbuhan hutan, seperti seluai (Dipterocarpaceae), damar ( Agathis Alba), kepayang ( Pangium edule), surian ( Toona sureni), pohon bekhung ( Baccaurea sp.), durian ( Durio zibethinus), dan asam (Fabaceae). Lingkungan situs Gua Harimau merupakan ekosistim hutan dataran rendah campuran Dipterocarpaceaeyang ditandai dengan terdapatnya jenis tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae dari jenis seluai ( Shorea sp.)beserta anakannya yang tumbuh dengan subur Untuk mengetahui bagaimana keadaan lingkungan tumbuhan masa lampau maka dilakukan pengujian terhadap fosil butiran serbuk sari ( polen) yang terkandung dalam sedimen.tim penelitian puslitbangarkenas (Truman Simanjuntak,2009) melakukan pengambilan sampel tanah pada dinding kotak ekskavasi dan melakukan analisis terhadap sampel tersebut. Berdasarkan analisis, belum diketahui dengan jelas bagaimana keadaan lingkungan vegetasi masa lampau di sekitar Gua Harimau.Masih diperlukan analisis polen lebih lanjut.namun demikian hasil analisis sementara menunjukkan adanya iklim yang lebih panas di masa lalu (Truman Simanjuntak, 2010: 75).Dari sejumlah sampel yang diambil di beberapa kotak ekskavasi tahun 2009 justru mengindikasikan adanya pemusatan polen dari beberapa spesies bunga.tampaknya polen beberapa spesies bunga tersebut diambil dan ditempatkan berbarengan dengan tubuh individu yang dikubur (temuan rangka manusia). Beberapa butiran serbuk sari yang ditemukan antara lain dari kelompok tumbuhan Oleaceae, Onagraceae, Poaceae, Myricaceae, Rubiaceae, dan Bombacaceae. Kelompok tumbuhan tersebut umumnya tumbuh di daerah beriklim panas.hingga tahun 2011 ini, tim penelitian dari puslitbangarkenas masih membuat laporan penelitian hunian prasejarah di Padang Bindu, Baturaja Sumatera Selatan termasuk Gua Harimau. B. Geografi Wilayah Padang Bindu Desa Padang Buindu terletak dalam dalam wilayah Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Kumering Ulu, Sumatera Selatan, berjarak 35 km dari Baturaja, Ibu kota Kabupaten. Sebagai bagian dari lereng timur pegunungan Bukit Barisan, topografi wilayah ini termasuk bergelombang dengan gugusan perbukitan yang diselang-selingi 30

37 dataran. Kodisi geografi yang demikian menjadikan wilayah ini kaya akan sumberdaya air dengan sungai-sungai yang berhulu di wilayah perbukitan. Keseluruhan sungai tersebut membentuk pohon sungai dengan Sungai Ogan sebagai pohon (sungai induk ) dan anak -anak sungai yang bermuara kepadanya sebagai cabang-cabangnya (Truman Simanjuntak, 2009: 1). Dari sudut geologi, wilayah ini umumnya tersusun oleh batuan vulkanik, terutama batuan andesitik dan basaltik.perkecualian terdapat di wilayah selatan aliran Sungai Ogan yang tersusun oleh perbukitan karstik.perbukitan ini memanjang membentuk uraturat kea rah timur, memasuki wilayah Baturaja dan membelok Foto 10.Sungai Ogan ke selatan ke wilayah Muara Dua. Wilayah perbukitan tersebut umumnya ditumbuhi pepohonan lebat.sebagian dari vegetasi tersebut termasuk tanaman budi daya, seperti karet, kopi, dan lain sebagainya.di kala musim hujan wilayah ini berubah drastis dengan tanaman semak belukar hingga menciptakan kawasan hutan hujan (rain forest).tidak mengherankan jika di kawasan musim hujan, kawasan ini sulit untuk dimasuki karena terhalang tumbuhtumbuhan yang lebat.kondisi wilayah yang berbukit-bukit menjadikan terbatasnya lahan pertanian.kegiatan perladangan terdapat di lereng lereng perbukitan, sementara pertanian basah sangat terbatas di dataran-dataran sempit. Keberadaan Sungai Ogan dan anak-anak sungainya menjadi faktor pendukung penting bagi kehidupan masyarakat sekarang. Sebagian besar penduduk memanfaatkan sungai yang berhulu di lereng pegunungan Bukit Barisandan yang bermuara di Sungai Musi ini untuk kehidupan sehari-hari, terutama untuk mencuci, mandi dan irigasi pertanian. Bahkan konon sungai ini pernah dimanfaatkan sebagai jalur 31

38 transportasi di daerah sepanjang airan sungai hingga ke hilir (Palembang).Berbagai kemudahan yang ditawarkan sungai-sungai itu agaknya menjadi daya tarik manusia sejak zaman purba untuk mengeksploitasi wilayah ini.ketersediaan air yang melimpah di sepanjang musim dengan vegetasi yang tumbuh dan lingkungan fauna yang ada di dalamnya, kemungkinan merupakan salah satu faktor pendukung keberlanjutan hunian manusia di wilayah ini. Daerah aliran sungai menjadi pilihan utama untuk hunian tertua seperti ditampakkan oleh keberadaan artefak paleolitik yang padat di sepanjang aliran-aliran Foto 11.Jembatan gantung sungai ogan sungai tersebut (Jatmiko, 1995 dalam Truman Simanjuntak, 2009:2). Keberadaan perbukitan karst, khususnya di selatan aliran Sungai Ogan, juga melatarbelakangi sejarah hunian berkelanjutan di wilayah ini.bukit-bukit karst dengan keberadaan banyaknya gua dan ceruk menjadi daya tarik tersendiri pula bagi hunian manusia prasejarah, sebagaimana dibuktikan oleh keberadaan berbagai tinggalan sisa peralatan, sisa hewan buruan, dan lain sebagainya.ketersediaan berbagai sumberdaya lingkungan merupakan faktor-faktor pendukung keberlanjutan hunian di wilayah ini semenjak hunian tertua di jaman prasejarah hingga sekarang ( Truman Simanjuntak2009:2). C. Geologi Wilayah Padang Bindu 1. Lingkungan Lingkungan geologi di sekitar manusia didominasi oleh batuan, endapan dan bentang alam di Zaman Kuarter, yakni unsur-unsur yang sangat penting bagi tata guna tanah dan pertanian.endapan, dan terbentuk selam ketidakmantapan iklim di bumi, dan menunjukkan pada zona-zona temperatur bumi, perwujudan maju mundurnya selubung 32

39 es benua yang berulang-ulang yang membawa sedimen dalam jumlah sangat besar. Endapan in juga menutupi wilayah-wilayah lain di dalam zona yang lebih lembab atau lebih kering daripada zaman sekarang, mengandung paleosol dan tertindih tanah penutup baru yang merupakan tempat kegiatan manusia. Zaman Kuarter juga ditandai dengan perubahan muka laut yang hebat yang terjadi di seluruh muka bumi, dan pergerakan di kerak bumi yang ditunjukkan oleh letusan gunung api dan gempa bumi di negeri-negeri seperti Indonesia, Filipina, Papua New Guinea dan sebagainya. Pada zaman Kuarter kehidupan manusia dimulai dengan menghuni alam terbuka dan ceruk-ceruk gua Batu gamping.penghunian gua-gua di wilayah Eropa diketahui sejak kala Plestosen, sedangkan di Indonesia penghunian ini disebutkan pada pasca Plestosen (Soejono, 1990; Geoffrey dan Susan Jellicoe, 1995; Howel, 1980 dalam Eriawati, 1997). Bukti adanya penghuni gua di Indonesia antara lain didapati dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh L.J.C. van Es tahun 1926 dan P.V. Stein callenfels pada tahun di Gua Lawa, dekat Sampung, Ponorogo (Jawa Timur), dan Heekeren di Gua Sampung, Jawa Timur. Situs-situs gua di luar Pulau Jawa yang juga memperlihatkan adanya tinggalan bekas hunian, ditemukan antara lain di Timor oleh W. Meyer dan Buhler (1935, gua-gua di Flores Barat dan tengah oleh Th. Verhoeven pada tahun , gua-gua di Muna (Sulawesi T enggara), serta gua-gua di Sulawesi Selatan (Heekeren, 1972; Soejono, 1990 dalam Eriawati, 1997). Penelitian Eksplorasi tahun 2007 di Padang Bindu dan sekitarnya menghasilkan 24 situs (16 situs gua dan 8 situs terbuka) (Laporan penelitian Padang Bindu, 2007 dalam Truman Simanjuntak, 2010: 12). 2. Lokasi dan Data Fisik Gua Harimau Gua atau ceruk merupakan fitur alam yang memegang peran penting dalam kehidupan manusia prasejarah Indonesia, khususnya semenjak kemunculan manusia dengan anatomi modern atau Homo Saphiens tertua.keberadaan ruangan yang dibatasi oleh dinding dan langit-langit bebatuan dengan pintu masuk yang menghubungkannya dengan alam terbuka, menjadikannya sebagai tempat yang cocok untuk hunian atau perhentian sementara manusia karena dapat melindungi manusia dari keganasan iklim 33

40 dan ancaman lainnya.bukti-bukti di Indonesia memperlihatkan bahwa pada Zaman Prasejarah, gua dan ceruk yang banyak terdapat di wilayah perbukitan-perbukitan karst telah dimanfaatkan manusia untuk hunian dan berbagai kegiatan lainnya ( Truman Simanjuntak, 2009). Gua Harimau oleh penduduk setempat sering pula disebut dengan Karang Sialang.Disebut dengan Gua Harimau karena konon gua tersebut pada masa lalu sering dikunjungi oleh Harimau, sedangkan disebut dengan Karang Sialang karena di sekitar bukit tersebut sering dijumpai adanya sarang lebah.dalam bahasa setempat, sialang berarti lebah.kedua istilah tersebut sampai sekarang masih digunakan ( Truman Simanjuntak, 2009). Lokasi Gua Harimau berada di salah satu sisi timur dari Bukit Karang Sialang. Di depannya terdapat lembah yang memanjang yang dibatasi Karang Lugur dan Bukit Bagok. Karang Lugur merupakan bukit kapur yang hingga saat ini tidak berpenghuni, namun di beberapa arealnya telah dimanfaatkan untuk perkebunan buah-buahan, kopi, karet, dan kayu jati. Sementara itu, di Bukit Bagok yang bukan merupakan bukit kapur saat ini juga telah dimanfaatkan untuk areal perkebunan. Sejak beberapa waktu yang lalu, beberapa keluarga telah menghuni beberapa bagian dari bukit tersebut ( Truman Simanjuntak, 2009). Gua Harimau merupakan gua tebing yang termasuk wilayah administratif Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, berjarak 35km dari Kota Baturaja (Ibukota Kabupaten) ke arah baratdaya. Secara geografis, situs ini terletak pada koordinat 4⁰4 26,5 Lintang Selatan dan 103⁰55 52,0 Bujur Timur, dengan ketinggian ± 164 meter di atas permukaan laut dan ketinggian dari dataran 20 meter. Gua Harimau berarah hadap N133⁰E (tenggara) dan termasuk pada kategori gua yang terkena sinar matahari terbit, dengan kemiringan lereng 40⁰. Luas ruangan 1376 meter 2 (43 x 32 meter) dan tinggi ±15 meter ( Truman Simanjuntak, 2010)..Tipe gua melebar ke samping(32 meter) dengan sirkulasi udara yang sedang serta intensitas sinar yang sedang hingga bagus.ornamen yang terdapat di guai ni adalah flow stone, pilar, stalaktit dan stalagmit. Di bagian kaki bukit tempat Gua Harimau, mengalir Sungai Ayakamanbasah. 34

41 Kemiringan lantai gua relative datar, yaitu antara 2⁰-5⁰.Lantai berpasir kering dan tidak becek.umumnya sinar matahari dapat menerangi seluruh ruangan bergambar, serta ruangan tidak berbau. Batu-batu gamping yang berasal dari runtuhan dinding dan atap gua umumnya hanya terkonsentrasi di bagian dalam gua, yaitu di sisi utara bagian tengah hingga ke timur.sementara itu, bekas runtuhan atap dan dinding gua yang terdapat di sekitar mulut gua jumlahnya tidak banyak.dengan demikian kondisi gua dengan lantai yang luas dan memiliki sirkulasi udara yang bagus serta selalu memperoleh sinar matahari yang cukup.(laporan penelitian Padang Bindu, 2009). Batuan penyusun Gua Harimau adalah batu gamping ( limestone) termasuk dalam jenis batuan sedimen yang berwarna putih kekuningan dan lapuk berwarna putih kecoklatan. Tekstur termasuk dalam kelompok non klastik dengan struktur tidak berlapis (non stratified). KOmposisi mineralnya adalah kalsium karbonat (CaCO 3). Berdasarkan klasifikasi atas genesanya, maka batuan tersebut, termasuk pada batuan sedimen kimia.batu gamping ini berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di Gua Harimau (tahun ) adalah alat litik, fragmen gerabah, fragmen keramik, fragmen tulang gigi, moluska, manikmanik, bandul kalung, arang, biji-bijian, fosil kayu, artefak logam, rangka manusia, dan lukisan dinding gua (Truman Simanjuntak, 2010: 15). 3. Geologi Wilayah Padang Bindu Kondisi geologi wilayah Padang Bindu dan sekitarnya telah diteliti oleh Ir. Fadhlan S. Intan yang termasuk anggota Tim Penelitian Padang Bindu 2007 (laporan Penelitian 2007).Ogan Komering Ulu (OKU) merup akan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu berada pada 103,4⁰ - 104,9⁰ BT dan 3,7⁰- 4,9⁰ LS. Wilayah Baturaja (35 km dari Desa Padang Bindu) merupakan wilayah yang sangat rentan dengan gempa, terutama berpusat di sudut barat daya pada kedalaman dangkal sampai menengah antara km dan khas dengan magnitude 5-6 skala Richter. Hal ini disebabkan oleh daerah yan ditafsirkan berimpit dengan salah satu untaian Sistem Sesar Sumatera yaitu Sesar Semangko dan sesar-sesar terkait.sejarah 35

42 mencatat bahwa gempa tektonik pada lembar Baturaja secara nisbi sangat kompleks, meliputi peristiwa-peristiwa Tektonik sejak Paleozoikum Akhir sampai waktu sekarang (Recent) (Kertapati et al dalam Tim Penelitian P adang Bindu, 2009: 24). Walaupun wilayah Baturaja secara regional merupakan suatu wilayah dari Sesar Besar Sumatera, namun dalam pengamatan lapangan tidak dijumpai indikasi-indikasi primer yang mencirikan adanya gangguan struktur geologi, baik berupa patahan (fault), lipatan (fold), maupun kekar (joint). Wilayah Baturaja dan Sumatera pada umumnya merupakan bagian dari Busur Sunda.Busur ini, oleh para peneliti geologi tertentu dianggap terbagi atas dua busur, yaitu Busur Sunda di bagian barat dan Busur Banda di bagian timur.batas antara kedua busur itu masih merupakan suatu problema geologi yang menarik dan belum terpecahkan, namun diperkirakan berada di bagian timur Pulau Flores (Sartono, 1998 dalam Tim penelitian Padang Bindu, 2009: 24). Sartono (1998) mengajukan synopsis pembentukan melange tektonikdan mélange sedimenter maupun sedimen non delapsional di Pulau Sumatera yang dimulai dari 1)Pra-Varisia, 2)Varisia, 3)Mesozoikum, 4)Larami, 5) Pasca Larami, hingga 6) Pasca Miosen Bawah(Tim penelitian Padang Bindu, 2009: 24). Penelitian tektonostratigrafi di bagian selatan Pulau Sumatera menunjukkan adanya kompleks mélange tektonik dari bongkah batuan metamorfisme dan batuan beku berupa kompleks batuan acak yang terpengaruh oleh tektonisasi pada Akhir Kapur. Sedangkan batuan pra-tersier di Sumatera bagian selatan boleh dikatakan hingga sekarang belum cukup banyak diketahui, jika dibandingkan dengan endapan tersier yang kaya akan minyak bumi (Sartono, 1998 dalam Tim penelitian Padang Bindu, 2009: 24). 1. Geomorfologi Secara fisiografi wilayah Baturaja dibagi dalam lima satuan morfologi yaitu kerucut gunung api, pegunungan bertimbulan tinggi, perbukitan gelombang, plato pusat, dan dataran rendah (Gafoer at al. 1993). Bagian barat dan selatan dikuasai oleh daerah pegunungan kasar Pegunungan Barisan yang dicirikan oleh batuan gunung api dari Busur Kenozoikum yang berlereng terjal dengan 36

43 ketinggian mencapa 2400 meter di Bukit Garang-garang yang tertutup oleh hutan tropik yang lebat (Gafoer at al. 1993). Iklim wilayah Baturaja terletak pada zona Iklim Indo-Australia yang dicirikan oleh suhu yang beraneka ragam dan umumnya tinggi serta kelembaban dan curah hujan yang berubah-ubah (Geofer et al. 1993). Kondisi geomorfologi wilayah Gua Harimau (Padang Bindu) sangat dipengaruhi ol eh beberapa faktor, yaitu: 1) Lithologi penyusun bentang alam yang berbeda akan mempunyai sifat resistensi yang berbeda terhadap gaya eksogen yang bekerja, sehingga akan memperlihatkan kenampakkan bentang alam yang berbeda; 2) Struktur geologi merupakan hal yang memegang peranan penting dalam pembentukan bentang alam, walaupun lithologi penyusun sama pada daerah yang terkena struktur akan memperlihatkan kenampakkan bentang alam yang berbeda dengan daerah yang belum atau tidak memiliki gangguan struktur; 3) Stadia suatu daerah merupakan hal yang penting karena dapat mempengaruhi bentang alam, walaupun lithologi penyusun bentang alam sama, tetapi stadia suatu daerah berbeda, akan memeperlihatkan bentang alam yang berbeda pula; 4) Tingkat perkembangan erosi merupakan faktor yang penting dalam pembentukan bentang alam. Perubahan atau perbedaan cuaca akan mempercepat tingkat pelapukan sehingga proses erosi yang berlangsung akan lebih cepat (Thornbury, 1964). Satuan morfologi yang berkembang di wilayah ini dapat dibagi menjadi 3 satuan morfologi, yaitu satuan Morfologi Dataran Bergelombang, Satuan Morfologi Perbukitan Karst dan Satuan Morfologi Perbukitan. Satuan Morfologi Dataran Bergelombang berkembang di wilayah sekitar Desa Padang Bindu dan sekitar Sungai Ogan. Satuan ini dicirikan dengan beda tinggi di bawah 10 persen dengan ketinggian di bawah 100 meter dpal, vegetasi umumnya tanaman perkebunan, persawahan dan juga pekarangan.selain itu wilayah satuan ini dimanfaatkan sebagai lokasi pemukiman manusia masa 37

44 sekarang.litologinya merupakan bagian dari formasi Gumai yang sebagian sudah mengalami pelapukan menjadi tanah humus. Satuan Morfologi perbukitan Karst terletak di sebelah selatan Sungai Ogan Perbukitan ini memanjang dengan arah barat - timur dengan ketinggian mencapai 227 meter dpal dan terdiri dari beberapa bukit karst di antaranya bukit Karang Sialang yang merupakan tempat beradanya Situs Gua Harimau. Ciri dari satuan morfologi in adalah sifat dari litologi karst yang sangat mempengaruhi bentuknya.ciri lainnya adalah rapatnya garis kontur dan juga berkembangnya sungai-sungai bawah tanah serta tumbuhnya gua-gua di beberapa tempat yang pembentukannya dipengaruhi oleh aliran air.vegetasinya didominasi oleh jenis tumbuhan yang hidupnya memerlukan tanah yang bersifat karbonatan, diantaranya kayu jati. Satuan Morfologi Perbukitan berkembang di wilayah bagian selatan dan sebagian di bagian utara.satuan ini dicirikan dengan bentuknya yan memanjang dan saling berhubungan.litologinya berupa batuan sedimen yang sangat dipengaruhi oleh air.sedimentasi di wilayah ini cukup tebal sehingga wilayah ini banyak ditanami oleh jenis tumbuhan hutan basah. Kontur pada wilayah satuan morfologi perbukitan cenderung tidak terlalu rapat bahkan mempunyai bentuk kontur yang lebih teratur. Ketinggian satuan morfologi di wilayah ini mencapai lebih dari 200 meter dpal. Sungai utama yang mengalir di wilayah ini adalah Sungai Ogan yang mengalir dari arah relativ barat - timur. Sungai-sungai lainnya yang berada di wilayah ini semuanya bermuara ke Sungai Ogan. Sungai yang ada di dekat lokasi gua atau yang berada di wilayah perbukitan karst di antaranya Aek Haman dan Aek Semuhun. Aek Haman mengalir dekat dengan di Goa Putri. Jika dilihat berdasarkan kondisi morfologinya, maka Gua Harimau dan Gua Putri terletak dalam satu kawasan bukit yang sama. Dalam perspektif geologis, Gua Harimau menempati bagian sebelah Tenggara bukit Karang Sialang dengan arah hadap ± 150⁰ pada ketinggian ± 176 meter dpal (berdasarkan GPS Magelan Exploristyang dikonversikan denan peta topografi skala 1:50.000). Tinggi dari gua ini bila dihitung dari kaki bukit ± 40 38

45 meter dengan kemiringan lereng mencapai 38⁰. Gua ini cukup luas dengan lebar mencapai 40 meter dalam 32 meter dan tinggi ± 16,5 meter. Pada bagian dalam gua terlihat adanya lubang yang mengarah ke atas gua yang sebagian sudah tertutup oleh bongkahan gamping yang runtuh akibat proses pelapukan. Selain itu juga terlihat adanya lubang yang diperkirakan merupakan jalan ke arah sisi barat laut gua yang berhubungan dengan Gua Putri.Gua ini merupakan Gua karst dengan litologi utamanya berupa gamping terumbu.sedimentasi pada lantai gua cukup tebal (dilihat dari kotak ekskavasi mencapai lebih dari 2 meter).endapan ini didominasi oleh geluh lempungan, dan di beberapa tempat yang cukup lembab dan basah endapannya berupa lempung coklat. Produk khas gua karst di gua ini masih banyak terlihat di antaranya berupa stalaktit yang menggantung di langit-langit gua, stalakmit yang berada di dasar gua, flow stone yang terbentuk di langit-langit gua dan juga pilar yang berdiri menyentuh atap gua. Endapan yang menutupi dasar gua ini umumnya berupa hasil pelapukan dari material gua itu sendiri juga dari debu yang terbawa oleh angin dari sekitar gua. Batuan lepas yang dijumpai di sini antara lain yaitu gamping, gamping kersikan, jasper, kayu kersikan, andesit, dan obsidian. Selain itu juga ditemukan adanya cangkang-cangkang moluska. Secara umum satuan batuan yang ada di wilayah sekitar Gua Harimau, Padang Bindu dan sekitarnya dikuasai oleh tiga formasi yaitu Formasi Gumai yang terdiri dari serpih gampingan, napal, batu lempung dengan serpih, batu pasir tuffan dan batu pasir gampingan. Formasi Baturaja yang terdiri dari batu gamping terumbu, kalkarenit dengan sisipan serpih gampingan dan napal.formasi Talang Akar yang terdiri dari batu pasir kwarsa mengandung kayu terkersikan, batu pasir konglomeratan, dan batu lanau mengandung moluska.gua Harimau sendiri masuk dalam formasi Baturaja yang berumur miosen awal. Formasi Baturaja diendapkan secara menjari dengan Formasi Gumai, sedangkan Formasi Talang Akar diendapkan secara tidak selaras di bawah formasi Baturaja. Produk dari Formasi Talang Akar sebagian ada yang tertransportasi ke wilayah sekitar Gua Harimau dan tersingkap di Sungai Aek Haman yang mengalir di depan Gua Harimau. 39

46 Bagian tengah dan barat laut merupakan kaki bukit sebelah timur Pegunungan Barat yang terdiri dari batuan beku dan sedimen meta, sedang bagian timur laut merupakan perbukitan bergelombang dan dataran rendah yang tersusun oleh sedimen Tersier dan Endapan Kuarter (Gafoer et al dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2009). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka secara umum bentang alam (morfologi) di wilayah Padang Bindu ada pengamatan lapangan,memperlihatkan kondisi dataran bergelombang. Kondisi bentang alam seperti ini, apabila diklasifikasikan dengan menggunakan sistem Desaunettes, 1977 (Todd 1980 dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2009 hlm 26), yang berdasarkan atas besarnya prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi relief suatu tempat, maka wilayah Pengadonan terbagi atas tiga satuan morfologi yaitu : 1) Satuan morfologi dataran; 2) Satuan morfologi bergelombang lemah; 3) Satuan morfologi karst. Ketinggian wilayah penelitian dan sekitarnya, secara umum adalah meter di atas permukaan laut. 1. Satuan Morfologi Dataran Satuan ini dicirikan dengan bentuk permukaan yang sangat landai dan datar, dengan prosentase kemiringan lereng antara 0-2%.Satuan morfologi ini menempati 50% dari wilyah penelitian.satuan morfologi ini terletak di bagian utara wilayah penelitian.satuan morfologi dataran, pada umumnya ditempati oleh penduduk sebagai wilayah pemukiman dan pertanian. 2. Satuan Morfologi Bergelombang lemah Satuan ini dicirikan dengan bentuk bukit yang landai, relief halus, lembah yang melebar dan menyerupai huruf "U", bentuk bukit yang agak membulat dengan prosentase kemiringan lereng antara 2-8%. Satuan morfologi ini menempati 40% dari wilayah penelitian.satuan morfologi ini terletak di bagian selatan wilayah penelitian.satuan morfologi bergelombang lemah, pada umumnya berupa hutan yang ditumbuhi oelh pohon-pohon besar dan semak belukar. 40

47 3. Satuan Morfologi Karst Satuan ini menempati 10% wilayah penelitian yang tersusun oleh batu gamping, dengan kenampakan khas seperti bentuk bukit bulat dengan lereng tegak, dolena, pipa kras, stalagtit dan stalagmit, travertin, sungai bawah tanah, voclus, ponore, gua-gua sisi lereng dan gua-gua kaki cadas (clift foot cave). Pola aliran permukaan ( Surface drainage pattern) sungai-sungai di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sungai-sungainya berarah aliran dari arah selatan ke utara, dan utara ke selatan menuju ke Sungai Ogan, serta mengikuti bentuk bentang alam lokasi penelitian. Sungai besar yang mengalir di wilayah Padang Bindu dan sekitarnya adalah Sungai Ogan yang berhulu di sekitar Bakit Nanti (1619 meter), terletak di antara perbatasan Kabupaten Ogan Komuering Ulu (OKU) dengan kabupaten Lamatang Ilir Ogan Tegah (LIOT), dan selanjutnya Sungai Ogan bermuara di Sungai Musi. Sungai besar dan kecil di wilayah penelitian termasuk dalam kelompok stadia Sungai Dewasa-Tua ( old-mature river stadium), dan stadia Sungai Tua ( old river stadium). Sungai Dewasa-Tua (old-mature river stadium) ditandai oleh gradient sedang, alirannya berkelok-kelok, sudah tidak dijumpai adanya danau di sepanjang aliran sungai, erosi vertical sudah diimbangi dengan erosi horizontal, dan lembahnya sudah agak tumpul. Stadia Sungai Tua ( old river stadium) ditandai oleh erosi vertical sudah tidak berperan lagi dan diganti dengan erosi lateral, proses pengendapan sangat besar, sudah banyak kelokan dan sudah terbentuk pemotongan-pemotongan karena kelokan tadi sehingga danau membentuk tapal kuda (oxbow lake). Penampang sungai berbentuk U, terbentuk dataran banjir (flood plain) yang lebarnya melebihi jalur kelokan (meander belt), sudah terbentuk endapan-endapan pasir di kelokan-kelokannya atau pada sungainya sendiri yang disebut sand bar (Lobeck, 1939; Thornbury, 1964 dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2010 : 18). Keseluruhan sungai di wilayah Padang Bindu dan sekitarnya (sungai besar dan kecil), memberikan kenampakan pola pengeringan denditrik, dan pola pengeringan radial.pola pengeringan dendritik bentuknya mirip urat-urat daun, pola ini khas pada daerah dataran dengan lithologi yang homogen. Pola pengeringan radial adalah pola penyaluran melingkar yang dibentuk oleh aliran sungai yang keluar dari daerah yang 41

48 tinggi, pola ini khas di daerah gunung api, kubah, dan pada tubuh intrusi batuan beku (Lobeck, 1939; Thornbury, 1964 dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2010 : 18-19). Berdasarkan klasifikasi atas kuantitas air, maka sebagian dari sungai-sungai tersebut termasuk pada Tipe Sungai Periodik/ Permanen dan Tipe Sungai Episodik/ Intermittent. Sungai Periodik atau Sungai Permanen adalah sungai yang volume airnya besar pada musim hujan, tetapi pada musim kemarau volumenya kecil. SEdangkan Sungai Episodik atau Sungai Intermittent adalah Sungai yang hanya mengalir pada musim penghujan saja, sedang pada musim kemarau airnya kering (Lobeck, 1939; Thornbury, 1964 dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2010 : 19) 2. Stratigrafi Batuan penyusun wilayah Padang Bindu dan sekitarnya tersusun oleh batu gamping, tuff, batu lempung dan alluvial. Hasil analisis petrologi batuan-batuan tersebut adalah sebagai berikut : a. Aluvial Aluvial terdiri dari pasir, lanau, dan lempung serta merupakan hasil pelapukan batuan penyususn wilayah padang Bindu. Satuan batuan ini terhampar di bagian tengah (setempat di Sungai Ogan) wilyah penelitian dan berumur Holosen. b. Batu Lempung Batu lempung ( clay stone), termasuk jenis batuan sedimen, berwarna segar abu-abu kehitaman, dan lapuk berwarna hitam keabu-abuan, serta bertekstur klastik (lutit). Bentuk butirnya subrounded dengan ukuran butir 1/512-1/256 mm. Sortasi sedang dengan struktur tidak berlapis ( non stratified). Komposisi mineral adalah lempung, oksida besi.berdasarkan atas genesanya termasuk pada batuan sedimen mekanik (epyclastic). Batu lempung tersingkap di Sungai Ogan (Kota Lama Padang Bindu), Sungai Aya Kaman Basah (dasar dan tebing sungai), jalan menuju ke Talang Bago, Sungai Kadangjang (dasar dan tebing sungai), Sungai Leban (dasar dan tebing sungai), Sungai Penasahan (dasar dan tebing sungai), dan Sungai Gayan (Negeri Sindang). 42

49 Penentuan umur batu lempung dilakukan dengan cara korelasi antar batuan yang didasarkan atas ciri-ciri litologi, kondisi daerah dan persebaran batuan serta memenuhi prinsip Stratigrafi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka batu lempung di wilayah peneltian dapat disamakan dengan Formasi Gumai dari Gafoer, dkk (1993), yang terdiri dari serpih gampingan, napal, batu lempung dengan sisipan batupasir tuffn, dan batu pasir gampingan. Atas dasar sebandingnya batuan, maka batu lempung di wilayah peneltian berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah. c. Tuff Batuan tuff termasuk jenis batuan sedimen, berwarna segar coklat muda dengan warna lapuk coklat kehitaman, bertekstur klastik ( lutit-arenit), berukuran butir 1/256-1/16 mm hingga 1-2 mm, pemilahan (sortasi) sedang -jelek, bentuk butir rounded-subrounded, struktur tidak berlapis ( non stratified), mengandung mineral kuarsa, feldspard, biotit, hornblende dan glass volcanic. Berdasarkan genesa, batuan ini termasuk pada batuan sedimen vulkanik (pyroclastic). Batuan tuff tersingkap di sebagian wilayah Sungai Air Tawar (dasar sungai), wilayah Situs Terbuka Air Minum, di wilayah Situs Terbuka Tapak Harimau, Sungai Lentipo, di Bukit Riang, Jalan antara Tanjungsari-Tanjungpura), dan Talang Beringin. Penentuan umur batuan tuff dilakukan dengan cara korelasi antar batuan yang didasarkan atas ciri-ciri litologi, kondisi daerah dan persebaran batuan serta memenuhi prinsip stratigrafi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka batuan tuff di wilayah penelitian dapat disebandingkan dengan satuan batuan Breksi- Gunung Api Tuf dari Gafoer,dkk (1993), yang terdiri dari breksi gunung api, lava, tuf bersusunan andesit-basal. Atas dasar kesebandingan batuan, maka batuan tuff di wilayah penelitian berumur Plestosen tengah hingga Holosen. d. Batu gamping Batu gamping ( limestone) termasuk dalam jenis batuan sedimen yang berwarna segar putih kekuningan dan lapuk berwarna putih kecoklatan. Tekstur termasuk dalam kelompok Non klastik dengan struktur tidak berlapis ( non 43

50 stratified). Komposisi mineralnya adalah Kalium Karbonat (CaCO 3).Berdasarkan klasifikasi atas genesanya batuan tersebut termasuk pada batuan sedimen kimia. Batu gamping tersingkap di Bukit Sayak, Bukit Karang Batu belah, situssitus gua Padang Bindu, Sungai Semuhun, dan Sungai Muara Cawang (negeri Sindang). Penentuan umur batu gamping dilakukan dengan cara korelasi antar batuan yang didasarkan atas ciri-ciri litologi, kondisi daerah dan persebaran batuan serta memenuhi prinsip stratigrafi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka batu gamping di wilayah penelitian dapat dibandingkan dengan Formasi Baturaja dari Gafoer, dkk (1993), yang terdiri dari batu gamping terumbu, kalkarenit, dengan sisipan serpih gampingan, dan napal.atas dasar kesebandingan batuan, makabatu gamping di wilayah penelitian berumur Miosen Awal hingga Holosen. 3. Struktur Geologi Wilayah Baturajamerupakanwilayah yang rentan dengan gempa, terutama bepusat di susut barat daya pada kedalaman dangkal sampai menengah antara km dan khas dengan magnituda 5-6 Skala Richter.Hal ini disebabkan oleh daerah yang ditafsirkan berhimpit dengan salah satu untaian Sistem Sesar Sumatera, yaitu Sesar Semangko dan sesar-sesar terkait.sejarah mencatat bahwa gempa tektonik pada lembar Baturaja secara nisbi sangat kompleks, meliputi peristiwa-peristiwa tektonik sejak Paleozoikum Akhir sampai masa sekarang (recent) (Kertapati et al dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2009). Walaupun wilayah Baturaja secara regional merupakan suatu wilayah dari Sesar Besar Sumatera, namun dalam pengamatan lapangan yang dilakuakan oleh Tim Padang Bindu ( ) tidak dijumpai indikasi-indikasi primer yang mencirikan adanya gangguan struktur geologi, baik berupa patahan (fault), lipatan (fold), maupun kekar (joint). Wilayah Baturaja dan Sumatera pada umumnya merupakan bagian dari Busur Sunda.Busur ini oleh para peneliti geologi terbagi atas dua, yaitu Busur Sunda 44

51 di bagian barat dan Busur Banda di bagian timur.batas antara kedua busur itu masih merupakan suatu problema geologi menarik yang belum terpecahkan.namun diperkirakan berada di bagian timur Flores. Sartono (1988) mengajukan sinopsis pembentukan melange tektonik dan melange sedimenter maupun sedimen non delapsional di Pulau Sumatera yang dimulai dari 1) Pra-Varisia 2) Varisia 3) Mesozoikum 4) Larami 5) Pasca Larami hingga 6) Pasca Miosen Bawah. Penelitian tektonostratigrafi di bagian selatan Pulau Sumatera menunjukkan adanya kompleks melange tektonik dari bongkah batuan metamorfisme dan batuan beku berupa kompleks batuan acak yang terpengaruh oleh tektonisasi pada Akhir Kapur. Sedangkan batuan pratersier di Sumatera bagian selatan boleh dikatakan hingga sekarang belum cukup banyak diketahui, jika dibandingkan dengan endapan tersier yang kaya akan minyak bumi (Sartono, 1988 dalam Tim Penelitian Padang Bindu, 2009). D. Nilai Penting Nilai penting lukisan dinding Gua Harimau yaitu : 1. Nilai Sejarah Lukisan dinding gua merupakan sumber daya arkeologi yang berperan penting dalam tahapan tertentu perkembangan kajian mengenai manusia masa lampau. Dalam hal ini, gua harimau memegang peranan penting untuk mengungkap kehidupan masa prasejarah di Indonesia. 2. Nilai Ilmu Pengetahuan Lukisan dinding Gua Harimau berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, misalnya bidang arkeologi, geologi, biologi, antropologi, Kimia, seni, dan lain-lain. 3. Nilai Pendidikan Lukisan dinding gua dapat dijadikan menjadi sarana pembelajaran bagi generasi muda dalam mengungkap awal mula manusia dalam bentuk coretan atau goresan pada dinding gua dan mempelajari segala hal yang berkaitan dengan masa lampau melalui penelitian. 45

52 4. Nilai seni dan budaya Lukisan dinding Gua di Gua Harimau, Sumatera selatan, mewakili pencapaian seni dan budaya masyarakat Sumatera sekaligus mewakili hunian prasejarah di bagian barat Indonesia pada sekitar 3000 tahun yang lalu. 46

53 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Selain diperoleh data dari hasil penggalian, dalam penelitian Gua Harimau tahun 2009 juga ditemukan adanya sejumlah lukisan yang terdapat pada dinding gua sebelah timur. Selain itu ada pula lukisan yang terdapat pada atap gua.secara keseluruhan lukisan tersebut jumlahnya cukup banyak, namun sebagian besar sudah sangat aus sehingga sulit untuk dikenali.semua lukisan-lukisan tersebut berwarna merah kecoklatan yang diduga dibua dengan bahan hematite. Penemuan lukisan dalam dinding di Situs Gua Harimau merupakan berita pertama tantang adanya lukisan dinding di Sumatera. Secara umum lukisan-lukisan yang ditemukan di situs ini mempunyai beberapa kemiripan dengan lukisan-lukisan yang ditemukan di lokasi-lokasi lain. Penggunaan dinding dan atap gua dengan posisi yang agak sulit untuk dijangkau juga terjadi di lokasi-lokasi yang lain. Di samping itu, kemiripan juga tampak pada penggunaan oker sebagai bahan untuk membuat lukisan. Oker sebagai bahan untuk membuat lukisan dinding merupakan bahan yang umum digunakan pada zaman prasejarah. Dari bahan ini akan dihasilkan warna merah. Lukisan dinding seperti ini banyak ditemui di Sulawesi dan Kalimantan, sedangkan di daerah-daerah lain seperti Irian dan Kai (Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala BurungIrian Jaya), dijumpai adanya lukisan yang menggunakan warna lain, misalnya putih dan hitam. Berdasarkan teknik pembuatannya, lukisan dinding dapat dibuat dengan cara disemprot atau dilukis. Diduga teknik semprot banyak digunakan untuk membuat lukisan berupa cap-cap tangan yang hampir selalu ditemukan di setiap situs.akibatnya jenis lukisan ini sering sering pula disebut dengan istilah Hand Stencil.Sementara itu, teknik lukis banyak digunakan untuk menggambar obyek-obyek tertentu yang akan digambarkan pada dinding, seperti babi, rusa, kuda, ular ayau bentuk-bentuk lain seperti senjata, perahu, orang menari ataupun matahari. Berkaitan dengan bukti lukisan yang dijumpai di situs ini, maka diduga bahwa lukisan yang terdapat di situs Gua Harimau hanya dibuat dengan menggunakan bahan oker.bahan-bahan lain tampaknya tidak digunakan.hal ini didasarkan pada bukti bahwa 47

54 lukisan yang terdapat di situs ini hanyalah lukisan yang berwarna merah.lukisan dengan warna-warna lain belum/ tidak dijumpai.diduga oker yang digunakan sebagai bahan pewarna tersebut diproses di dalam gua. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan batu pukul dengan noda merah, pada salah satu bagiannya, pada kotak ekskavasi tim Padang Bindu 2009 yang berada dekat dengan dinding gua sisi timur. serta adanya temuan butiran-butiran hematite yang bercampur dengan tanah pada kotak ekskavasi di bagian tengah gua (Truman Simanjuntak,2009: 49-52). Sementara itu apabila dikaitkan dengan obyek yang digambarkannya, lukisan dari Situs Gua Harimau mempunyai suatu keunikan tersendiri.lukisan-lukisan yang terdapat di situs ini umumnya berupa bidang-bidang segi empat yang dihiasi dengan pola-pola geometris berupa perpaduan antara garis-garis lurus dan garis silang yang membentuk hiasan tumpal.lukisan lainnya berupa semacam lukisan gambar tangan lukisan tangan berkaki empat yang hanya digambarkan bagian badan hingga kaki (bagian kepala tidak digambarkan karena posisinya berada di belakang bingkai berhias pola geometris), semacam lukisan binatang air dan kerangka ikan atau binatang melata (ular) yang digambarkan di bagian atap serta sejumlah gambar yang sudah tidak jelas bentuknya karena aus.gambar lukisan dinding dengan obyek seperti ini sedikit berlainan dengan obyek-obyek yang biasa digambarkan pada beberapa situs lukisan dinding gua pada umumnya. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebagian lukisan telah mengalami kerusakan.hal ini terutama terjadi pada lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding yang mengarah ke luar gua dan lukisan yang terdapat pada bagian atap gua.diduga bahwa ada dua faktor yang menjadi penyebab utama kerusakan lukisan tersebut, yaitu karena keausan yang terjadi pada lukisan itu sendiri dank arena terjadinya pengelupasan atau penutupan dinding gua akibat adanya flow stone.lukisan-lukisan yang rusak akibat keausan umumnya meninggalkan semacam goresan-goresan berwarna putih yang bentuknya mengikuti bentuk lukisan aslinya. Sementara itu, kerusakan lukisan yang disebabkan oleh mengelupasnya dinding gua atau terjadinya penutupan oleh flow stone umumnya akan meninggalkan lukisan-lukisan yang bentuknya terpotong-potong (Tim penelitian Padang bindu, 2009:87). 48

55 A. Hasil Observasi Lukisan Dinding Gua Lukisan yang relatif masih utuh ditemukan di bagian dinding gua yang terletak di sudut timur laut.bagian ini bentuknya semacam ceruk kecil. Posisi lukisan cukup tinggi dan tidak mungkin terjangkau manusia apabila tidak menggunakan tangga/sarana lain. Bidang lukis yang terdapat pada bagian atas ceruk ini cukup luas.pada bidang ini dijumpai adanya sekelompok lukisan yang digambarkan secara berjajar. Foto 12. Lukisan pada dinding gua yang terletak di sudut timur laut Adapun lukisan tersebut dari kiri ke kanan meliputi : 1. Lukisan pertama berupa sebuah garis vertikal berwarna merah yang digambarkan cukup tebal. Tidak diketahui dengan jelas apakah garis vertikal ini merupakan bagian dari suatu bentuk lukisan yang sudah rusak. 2. Lukisan kedua berupa dua buah garis vertikal sejajar yang dipotong oleh beberapa garis melintang. Tampak adanya warna-warna putih di belakang warna merah. Diduga warna putih tersebut muncul akibat mengelupasnya lukisan aslinya. 3. Lukisan ketiga merupakan sebuah garis vertikal yang dikombinasikan dengan garis-garis melintang. Kondisi lukisan ini sudah sangat aus sehingga gambar detailnya menjadi kurang jelas. 49

56 4. Lukisan keempat merupakan dua bidang berbentuk segiempat memanjang yang terletak saling berdampingan. Bidang segiempat memanjang yang terletak di sebelah kiri, kondisi bagian atas dan bawahnya sudah sangat aus. Bagian yang masih kelihatan cukup baik terletak di bagian tengah. Pada bagian tersebut tampak adanya garis-garis sejajar yang miring ke kiri. Sementara itu pada bidang empat persegi memanjang yang terdapat di sebelah kanan tampak pada bagian atasnya sudah sangat aus sedangkan bagian bawahnya masih cukup baik. Pada bagian yang masih cukup baik ini tampak adanya hiasan tumpal dalam bentuk tersusun dari bawah ke atas. 5. Lukisan kelima kondisinya sudah agak aus. Pada lukisan ini tampak adanya gambar yang bentuknya menyerupa telapak tangan. Dalam lukisan ini, bagian ibu jari dan jari kelingking bentuknya sudah tidak jelas. 6. Lukisan keenam berupa kumpulan motif-motif geometris berupa hiasan tumpal sambung-menyambung dalam suatu bingkai berbentuk persegi. Di bawahnya masih terdapat lukisan yang lain namun kondisinya sudah sangat aus.bagian yang tersisa menggambarkan adanya lukisan geometris (hiasan tumpal) dalam ukuran yang lebih besar. 7. Lukisan ketujuh berupa kumpulan motif-motif geometris berbentuk rangkaian hiasan tumpal sambung menyambung yang dibatasi oleh suatu bingkai berbentuk persegi. Di belakangnya tampak lima buah garis vertikal bergelombangyang muncul hingga bagian atas dan bawah bingkai tersebut. Di samping itu, pada sudut kanan bawah dari bingkai berbentuk persegi tersebut terdapat pula lukisan semacam binatang berkaki empat (kijang atau rusa?). Gambar lain yang terdapat dalam lukisan ketujuh ini adalah adanya gambar hiasan tumpal yang posisinya di bawah hiasan binatang. Selain ditemukan di dalam ceruk, lukisan dinding di Gua Harimau jga ditemukan di atap dan dinding gua. Lukisan pada bagian atap ditemukan di sebelah barat ceruk.umumnya lukisan-lukisan yang terdapat di bagian atap gua kondisinya sudah sangat aus.akibatnya bentuk lukisan tersebut sudah tidak dapat dikenali lagi.bagian yang tersisa hanyalah bekas-bekas warna merah yang sudah tak berbentuk.salah satu yang 50

57 masih dapat dikenali berupa semacam binatang air dengan badan berbentuk membulat dan di kanan kirinya masing-masing terdapat semacam garis menjurai. Lukisan dinding juga dijumpai pada bagian dinding timur yang mengarah ke luar.lukisan-lukisan bagian ini kondisinya juga sudah sangat aus.lukisan-lukisan yang tersisa umumnya tinggal potongan-potongan hiasan geometris berupa bentuk-bentuk hiasan tumpal ataupun hanya berupa noda-noda berwarna merah.ada sebuah hiasan yang masih agak utuh yang terdapat pada suatu cekungan dinding yaitu berupa rangkaian garis-garis pendek dengan sebuah garis panjang di tengahnya.konfigurasi ini membentuk gambar menyerupai kerangka ikan atau ular. Struktur Gambar Gambar galeri pada dinding utara guaterawetkan oleh kondisi dinding dan plafon yang relative kering dan tidak terkena sinar matahari langsung.gambar yang kondisinya masih baik berada di panil dinding utara, sedang di panil plafon utara dan timur merupakan sisa-sisa imaji saja. Struktur Gambar Isi Imaji Keterangan b a Bentuk Imagi : Gerigis Cara penggambaran : Kumpulan garis lengkung sejajar Lokasi : dinding utara Catatan : Setidaknya ada 1 imagi garis lengkung sejajar (a) dan terdapat setidaknya 1 imaji yang kemungkinan dulunya berupa garis lengkung sejajar. 51

58 Bentuk Imagi : Gerigis Cara penggambaran : Kumpulan garis d Zig zag seperti tumpal Lokasi : dinding utara e Catatan : Setidaknya terdapat 2 imagi Jala Tumpal c (c dan d) yang relatif utuh dan terdapat sedikitnya f 2 (e dan f) sisa imaji yang kemungkinan dulunya berupa Jala Tumpal. Analisis (adanya tumpang tindih gambar) : Pada panil dinding utara terlihat imaji yang bertumpuk-tumpuk. Diperkirakan bahwa panil ini dipergunakan berulang-ulang. Kemungkinan karena proses penggambaran yang mempunyai nilai penting bagi masyarakat pendukungnya, sehingga imajinya boleh ditimpa imaji lainnya (Simanjuntak, 2010 : 115) Foto-foto berikut ini merupakan imaji-imaji yang tersebar di dinding dan plafon gua: Foto 14.Imaji Konsentrik Foto 13. Sisa imaji garis pola konsentrik 52

59 Foto 16. garis Imaji sisir Foto 15. garis lengkung sejajar Foto 18. Sisa imaji berbentuk tumpal (?) Foto 17. garis imaji berbentuk F (sisa imaji?) Foto-foto di atas merupakan sisa-sisa imaji yang terdapat pada panil langitlangit Utara dan Timur. Terdapat indikasi kerusakan lukisan berupa pengelupasan yang sudah lama terjadi. Pada foto 16 yang berupa garis lengkung sejajar, terjadi pemudaran gambar ketika tim kajian ini (2011) membandingkan hasil foto p ada tim dari Puslitbangarkenas pada tahun Lokasi lukisan ini adalah pada plafon timur gua. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebagian lukisan telah mengalami kerusakan.hal ini terutama terjadi pada lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding yang mengarah ke luar gua dan lukisan yang terdapat pada bagian atap gua.diduga ada dua faktor yang menjadi penyebab utama kerusakan lukisan tersebut, yaitu karena keausan yang terjadi pada lukisan itu sendiri dan karena terjadinya pengelupasan ataupenutupan dinding gua akibat adanya flow stone.flow stone adalah lapisan tumpukan Kalsium Karbonat/kalsit (CaCO3) yang terbentuk dari aliran air yang mengalir pada dinding gua. 53

60 Lukisan-lukisan yang rusak akibat keausan umumnya meninggalkan semacam goresangoresan berwarna putih yang bentuknya mengikuti bentuk lukisan aslinya. Sementara itu kerusakan lukisan yang disebabkan oleh mengelupasnya dinding gua atau terjadinya penutupan oleh flow stone umumnya akan meninggalkan lukisan-lukisan yang bentuknya terpotong-potong ( Simanjuntak, 2009). Faktor lain yang juga berperan terhadap kerusakan pada lukisan gua tersebut diduga juga diakibatkan oleh adanya kontak dengan atmosfer yang berbeda pada musim hujan dan musim kemarau. Selain itu kerusakan juga diakibatkan fluktuasi kelembaban dan suhu pada siang dan malam hariyang berbeda secara signifikan dari waktu ke waktu,sehingga menyebabkan pudarnya lukisan dinding Gua Harimau.Faktor kerusakan yang berasal dari luar (selain faktor alam) juga terdapat dugaan vandalisme yang diindikasikan dengan sisa-sisa imaji lukisan yang berwarna keputih-putihan.walaupun gua ini bukan atau belum menjadi tempat wisata,dugaan vandalisme ini patut menjadi perhatian karena lokasinya yang mudah dijangkau dan dekat dengan pemukiman penduduk saat ini, terlebih jika kelak dibuka untuk tempat wisata. Gambar-gambar pada dinding-dinding gua dibuat untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka.gambar-gambar tersebut juga mungkin terkait dengan upacara ritual tertentu yang hanya bisa diikuti segelintir manusia. B. Pengambilan Sampel dan Analisis Laboratorium Untuk mengetahui kelembaban dan suhu udara, dipasang data logger pada pukul WIB pada tanggal 24 Mei 2011 di Gua Harimau. B7 B8 B5 B6 B4 B3 B2 B9 A7 A6 A5 A4 A3 A2 U B1 A1 Gambar 2. Titik tes kelembaban suhu udara pada gua 54

61 Catatan : Titik sampel Lokasi Suhu (⁰C) A1 Di luar 22 A2 Di luar 22 A3 Di luar 22 A4 Di luar 22 A5 Di luar 21 A6 pada lukisan 22 A7 pada lukisan 22 B1 Di luar 22 B2 Di luar 22 B3 Di luar 22 B4 Di luar 22 B5 Di luar 22 B6 Di luar 22 B7 Atas 23 B8 Bawah 21 B9 Rembesan 22 Pada tanggal 24 Mei 2011 pukul WIB diukur kadar air pada permukaan dinding Gua Harimau dengan protimeter. Berikut ini titik-titik tes pada gua : B4 B5 A6 A5 A4 U B3 B2 A3 A2 B1 A1 Gambar 3. Titik tes kadar air pada gua 55

62 Titik tes Kadar air (Skala proti) Keterangan A1 14,3 - A2 13,2 Ada pertumbuhan lumut kerak dan ganggang A3 25,5 Ada pertumbuhan ganggang hijau A4 95,8 Ada rembesan A5 20,4 - A6 13,5 Posisi lukisan B1 45,5 Ada pertumbuhan alga (cenderung basah) B2 34,6 Ada pertumbuhan alga hitam kehijauan B3 14,1 Tidak ada pertumbuhan B4 96,1 Tidak ada alga hijau B5 96,1 Ada tumbuhan alga hitam-hijau Pengukuran ph air rembesan diperoleh dari tiga titik tempat menetesnya air.pengukuran ph di lapangan diketiga titik adalah 6.Berikut lokasi tetesan air pada gua: Titik-titik tetesan air Mulut gua Gambar 4. Lokasi sampel rembesan air Gua Harimau 56

63 C. Hasil Analisis Hasil pengamatan pada lingkungan di sekitar gua menunjukkan bahwa kerusakan pada lukisan gua tersebut diduga diakibatkan oleh adanya kontak dengan atmosfer yang berbeda secara signifikan pada musim hujan dan musim kemarau. 1. Musim Hujan Pada musim hujan air yang bereaksi dengan karbondioksida dapat membentuk asam karbonat yang kemudian mengalir melewati permukaan batuan yang mengandung lukisan sehingga menyebabkan kerusakan lukisan. Karbondioksida dalam bentuk asam karbonat, jika bercampur dengan mineral batuan dapat menyerang feldspar dan mineral lainnya, kemudian mengakibatkan silika dan Kalium Natrium Karbonat menjadi terlarut dan terbawa oleh aliran air sehingga lukisan dapat terkelupas. Di samping itu, apabila aliran air yang mengandung garam terlarut melewati lukisan, jika berada di udara terbuka atau suhu atmosfer tinggi mengakibatkan terjadinya pengendapan dan dapat menutupi lukisan. 2. Musim Kemarau Pada musim hujan, permukaan batuan akan mengalami pelapukan kimia dan biologi yang disertai pembentukan lapisan lumut dan lapisan hasil pelapukan kimia. Pada musim kemarau, permukaan tersebut akan terpapar sinar matahari secara terusmenerus dan mengakibatkan terjadinya penguapan air dan tumbuhan pada permukaan batuan akan mati. Tumbuhan mati ini akan meninggalkan lapisan yang berwarna hijau kehitaman pada permukaan batuan (Suhartono, 2009: 46). 57

64 Foto 19. Lapisan lumut pada dinding gua Hasil uji terhadap sampel air dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) di laboratorium Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, dua sampel tetesan air dari gua harimau dengan parameter Kalsium, magnesium, dan Besi serta tes PH menghasilkan data sebagai berikut: HASIL ANALISIS KIMIA SAMPEL REMBESAN DINDING GUA HARIMAU NO PARAMETER KODE SAMPEL R1 R2 R3 SATUAN METODE ANALISIS 1 ph Kalsium(Ca) ppm TITRIMETRI 3 Magenesium(Mg) ppm AAS 4 Besi (Fe) ppm AAS Di Gua Harimau, tim kajian mengambil 3 sampel tetesan air dari air yang menetes di langit-langit gua. Tiga lokasi tetesan air tersebut diberi kode R1, R2 dan R3. Setiap sampel mempunyai tingkat keasaman yang sama yaitu 6. Dengan parameter kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan besi (Fe), diketahui bahwa tidak terdapat Fe pada sampel R1, terdapat Fe sebanyak 0, ppm pada R2 dan 0, ppm pada sampel 3. Pada ketiga sampel tersebut mengandung kalsium (Ca) dan magnesium (Mg).Hal ini terlihat dari kemunculan angka di atas. Tetesan air yang mengandung 58

65 material tersebut di atas dapat menutupi lukisan atau melapisinya sedikit demi sedikit seiring waktu.keberadaan tetesan air menunjukkan bahwa pembentukan stalaktit dan stalakmit pada gua masih aktif.jadi, mempunyai potensi juga untuk menutupi lukisan. Tetesan air yang berada dekat dengan lukisan juga menyebabkan kelembaban pada dinding gua sehingga dapat menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme berupa lumut maupun algae. Dari hasil analisis Sulfat (SO 4) Sampel air rembesan secara kualitatif tidak terdapat kandungan Sulfat dalam sampel. Terbukti dari tidak adanya endapan ketika ditetesi Barium Klorida (BaCl2) dengan konsentari 1%. Di samping pelapukan kimia, air hujan juga dapat menimbulkan pelapukan biologi. Permukaan batuan yang terkena air hujan akan ditumbuhi lumut/jamur. Pertumbuhan lumut/ jamur ini dipercepat oleh adanya pancaran sinar matahari.dengan bantuan sinar matahari, proses fotosintesis dapat berlangsung cepat yang memacu perkembangan tumbuhan hijau.bentuk paling umum pelapukan biologi adalah pelepasan senyawa kelat, yaitu asam, oleh tumbuhan sehingga merusak senyawa yang mengandung aluminium dan besi dalam batuan yang ada di bawahnya (Suhartono, et al. 2009: 43). Analisis Sulfat (SO 4) Sampel air rembesan secara kualitatif tidak terdapat kandungan Sulfat dalam sampel. Terbukti dari tidak adanya endapan ketika ditetesi Barium Klorida (BaCl2) dengan konsentari 1%. Di samping pelapukan kimia, air hujan juga dapat menimbulkan pelapukan biologi. Permukaan batuan yang terkena air hujan akan tumbuh lumut/jamur. Pertumbuhan lumut/ jamur ini dipercepat oleh adanya pancaran sinar matahari.dengan bantuan sinar matahari, proses fotosintesis dapat berlangsung cepat yang memacu perkembangan tumbuhan hijau.bentuk paling umum pelapukan biologi adalah pelepasan senyawa kelat, yaitu asam, oleh tumbuhan sehingga merusak senyawa yang mengandung aluminium dan besi dalam batuan yang ada di bawahnya (Suhartono, 2009: 43). Berdasarkan hasil uji XRD terhadap sampel lapisan dinding Gua Harimau (lihat lampiran) menghasilkan Interpretasi Difraktogram berikut ini : 1. Kristalinitas 59

66 Karena bentuk difraktogram sempit dan tajam, maka dapat disimpulkan bahwa kristalinitas material tersebut cukup tinggi. 2. Setelah dicocokkan dengan JCPDS (data standar) Data standard standard d (intensitas tertinggi) Kalsium Karbonat (Kalsit) 3,0355 1,8753 1,9123 2,2846 2,0944 2,4948 Kalsium sulfat hidrat (Gipsum) 2,871 4,28 2,684 7,61 Mangan aluminium karbonat hidroksid hidrat (Charmarit-2H) 7,53 3,768 2,578 2,221 1,856 Fe, Ni (Taenit) 2,079 1,800 1,272 1,085 Hasil Interpretasi 2theta LM1 LM1 d Fwhm Interpretasi Jenis mineral 20,8584 4, ,22120 Kalsium sulfat hidrat 29,2501 3, ,21210 Kalsit 31,2480 2, ,20900 Kalsium sulfat hidrat 2, ,22460 Kalsium sulfat hidrat 2, ,28160 Fe,Ni 60

67 2theta LM2 LM2 d Fwhm Interpretasi jenis mineral 20,9658 4, ,19100 Kalsium sulfat hidrat 29,7308 3, ,13970 Kalsit 29,3538 3, ,18270 Kalsit 2, ,19170 Kalsit 7, , , ,20440 Mangan * Aluminium Karbonat Hasil analisis : 1. Untuk sampel LM 1 dominan terdiri dari kalsiumsulfat hidrat dan ada sedikit Fe,Ni. Walaupun hanya terdapat sedikit Fe (kemungkinan karena sedikitnya sampel), namun kandungan Fe ini menunjukkan bahwa warna merah lukisan berasal dari mineral ini. 2. Untuk sampel LM 2 dominan terdiri dari kalsiumsulfat hidrat dan ada sangat sedikit Mangan aluminium karbonat hidroksida. Kalsiumsulfat hidrat diinterpretasikan berasal dari batu dinding gua. Diperlukan dukungan instrument analisis lainnya untuk bisa menyimpulkan komponen pigmennya (material/jenis sen yawa yang digunakan pada lukisan). Jika material/jenis senyawa yang digunakan pada lukisan dapat ditemukan, maka akan mudah dilakukan konservasi karena pada prinsipnya konservasi harus menggunakan bahan yang sejenis atau mendekati artefak atau tinggalan budaya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Selain untuk tujuan konservasi, pengetahuan mengenai material/jenis senyawa yang digunakan pada lukisan prasejarah juga penting untuk pengetahuan mengenai kehidupan masa prasejarah. 61

68 3. Ukuran Partikel sampel 2theta theta theta (rad) cos theta LM1 20, ,4292 0, , LM 2 20, ,4829 0, , sampel fwhm panjang gelombang konstanta ukuran partikel (nm) LM1 0,2212 0, ,89 0, LM 2 0,191 0, ,89 0, Ukuran partikel LM 1 sebesar 0,620 nm - Ukuran partikel LM 2 sebesar 0,719 nm HASIL ANALISIS KIMIA SAMPEL BATU MERAH GUA HARIMAU NO PARAMETER KANDUNGAN SAMPEL SATUAN METODE 1 Kalsium(Ca) % TITRIMETRI 2 Magnesium(Mg) % TITRIMETRI 3 Besi(Fe) % TITRIMETRI 4 Aluminium(Al) % TITRIMETRI 5 Sulfat(SO4) % TITRIMETRI 6 Klorida(Cl) % TITRIMETRI 7 Silikat(SiO2) % GRAVIMETRI 8 Karbonat(CO3) % GRAVIMETRI Batu merah yang ditemukan termasuk batuan silikat yang mengandung besi relatif tinggi.warna merah dari batu tersebut dimungkinkan dari mineral besi (Fe) yang terkandung di dalamnya.dari analisis kimia sampel temuan batu merah dan sampel kelupasan lukisan dinding Gua Harimau yang sama-sama mengandung Fe, maka kemungkinan lukisan dinding gua mengandung Fe. Dari analisis kimia sampel temuan batu merah dan sampel kelupasan lukisan dinding Gua Harimau yang sama-sama mengandung Fe, maka kemungkinan lukisan dinding gua mengandung Fe. 62

69 HASIL ANALISIS MIKROORGANISME DINDING GUA HARIMAU Dari hasil analisis mikroorganisme pada dinding Gua Harimau, diketahui bahwa mikroorganisme yang tumbuh adalah Algae. Untuk lebih jelasnya, lihat tipe algae berikut ini: 1. Kode S1 Jenis Algae : Tipe benang Phylum Class Ordo Family Genus Species : CYANOPHYTA Gambar sampel algae : : CYANOPHYCEAE Sachs : STIGONEMATALES Geitler : MASTIGOCLADOPSIDACEAE Iyengar : Matigocladopsis Iyengar : Mastigocladopsis jogensis 2. Kode S2 Jenis Algae : Tipe butiran Phylum Class Ordo Family Genus Species : CYANOPHYTA : CYANOPHYCEAE Sachs : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nageli :. Gloeocapsa Kutzing : Gloeocapsa decorticans 63

70 Gambar sampel algae : 3. Kode S3 Jenis Algae : Tipe butiran Phylum Class Ordo Family Genus Species : CYANOPHYTA : CYANOPHYCEAE Sachs : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nageli : Chroococcus Nag Gambar sampel algae : : Chroococcus pallidus Nag 4. Kode S4 Jenis Algae : Tipe butiran Phylum Class Ordo Family Genus : CYANOPHYTA : CYANOPHYCEAE Sachs : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nag. : Aphanothece Nageli 64

71 Species Gambar sampel algae : : Aphanothece bullosa 5. Kode S5 Jenis Algae : Tipe butiran Phylum Class Ordo Family Genus Species : CYANOPHYTA : CYANOPHYCEAE Sachs : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nageli : Chroococcus Nag Gambar sampel algae : : Chroococcus montanus forma Rao 6. Kode S6 Jenis Algae : tipe butiran Phylum Class Ordo Family : CYANOPHYTA : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nageli : CHROOCOCCUS Nag 65

72 Genus : Gloeocapsa Kutzing Species : Gloeocapsa luteofusca Martens Gambar sampel algae : 7. Kode S7 Jenis Algae : tipe butiran Phylum Class Order Family Genus Species : CYANOPHYTA Gambar sampel algae : : CYANOPHYCEAE Sachs : CHROOCOCCALES Wettstein : CHROOCOCCACEAE Nag, : Gloeocapsa Kutzing : Gloecapsa Montana Kutz. 66

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Pada awal abad ke 20, Pulau Jawa menjadi pusat penelitian mengenai manusia prasejarah. Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Jawa memiliki bukti dan sejarah

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstrack Humans and the environment are interrelated and inseparable. Environment provides everything and

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16

Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16 1 Daftar Isi Foto sampul depan: Lawang Sewu Kini dan Dulu Dok. BPCB Jawa Tengah ISSN : 1978-8584 Pelindung : Prof. Kacung Marijan, Ph.D. Direktur Jenderal Kebudayaan Pengarah : Dr. Harry Widianto Direktur

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup populer di dunia. Gambar cadas merupakan suatu karya manusia

BAB I PENDAHULUAN. cukup populer di dunia. Gambar cadas merupakan suatu karya manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gambar cadas merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang cukup populer di dunia. Gambar cadas merupakan suatu karya manusia yang memiliki pola tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Indentitas Flora dan Fauna Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

Ke Gua Harimau, Siapa Takut? Copyright, Puslit Arkenas. : Truman Simanjuntak dan Adhi Agus Oktaviana

Ke Gua Harimau, Siapa Takut? Copyright, Puslit Arkenas. : Truman Simanjuntak dan Adhi Agus Oktaviana Ke Gua Harimau, Siapa Takut? Copyright, Puslit Arkenas Penyusun Desain dan Tata letak 2016 : Truman Simanjuntak dan Adhi Agus Oktaviana : Adhi Agus Oktaviana dan Anthon Yulvianda i Rumah Peradaban Gua

Lebih terperinci

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta A. Peta Dalam kehidupan sehari-hari kamu tentu membutuhkan peta, misalnya saja mencari daerah yang terkena bencana alam setelah kamu mendengar beritanya di televisi, sewaktu mudik untuk memudahkan rute

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

KEBERADAAN SITUS GUA HARIMAU DI KAWASAN PERBUKITAN KARTS PADANG BINDU, SUMATERA SELATAN

KEBERADAAN SITUS GUA HARIMAU DI KAWASAN PERBUKITAN KARTS PADANG BINDU, SUMATERA SELATAN KEBERADAAN SITUS GUA HARIMAU DI KAWASAN PERBUKITAN KARTS PADANG BINDU, SUMATERA SELATAN Desra Lorensia 1* Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T. 1 1 Teknik Geologi, Universitas Sriwijaya, Jl. Sriyaja Negara,

Lebih terperinci

Pengertian. Ragam hias. Teknik. Pada pelajaran Bab 4, peserta didik diharapkan peduli dan melakukan aktivitas berkesenian,

Pengertian. Ragam hias. Teknik. Pada pelajaran Bab 4, peserta didik diharapkan peduli dan melakukan aktivitas berkesenian, Bab 4 Menerapkan Ragam Hias pada Bahan Kayu Alur Pembelajaran Pengertian Menerapkan Ragam Hias pada Bahan Kayu Ragam hias Teknik Menggambar Ragam Hias Ukiran Melukis Ragam Hias di Atas Bahan Kayu Pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

POLA GAMBAR CADAS DI SITUS GUA HARIMAU, SUMATERA SELATAN

POLA GAMBAR CADAS DI SITUS GUA HARIMAU, SUMATERA SELATAN POLA GAMBAR CADAS DI SITUS GUA HARIMAU, SUMATERA SELATAN ROCK ART PATTERN IN GUA HARIMAU, SOUTH SUMATERA Adhi Agus Oktaviana 1 dan Pindi Setiawan 2 1 Pusat Arkeologi Nasional, Jln. Raya Condet Pejaten

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN MUSEUM PALEONTOLOGI PATIAYAM

BAB I PENDAHULUAN MUSEUM PALEONTOLOGI PATIAYAM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sejarah panjang peradaban dan kebudayaan manusia. Jejak jejak manusia purba dan peradabannya yang ditemukan dari lapisan pleistosen terdapat di berbagai

Lebih terperinci

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gua Pawon dengan segala bentuk temuan prasejarah yang terkandung di dalamnya, begitu juga dengan lingkungannya bila di kaitkan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN

LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Budaya Nusantara Dosen Pengampu Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. Sartika Devi Putri E.A.A NIM. 14148115 Angga

Lebih terperinci

Penggunaan Bahan Alami pada Bahan Restorasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep (Sulawesi Selatan)

Penggunaan Bahan Alami pada Bahan Restorasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep (Sulawesi Selatan) Penggunaan Bahan Alami pada Bahan Restorasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep (Sulawesi Selatan) Yudi Suhartono Balai Konservasi Borobudur email: Yudi.Suhartono@gmail.com Abstrak: Di kawasan pegunungan

Lebih terperinci

BAB III ZAMAN PRASEJARAH

BAB III ZAMAN PRASEJARAH 79 BAB III ZAMAN PRASEJARAH Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari: A.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia

BAB V PENUTUP. Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia Tenggara menjelang akhir plestosen, yang didasarkan akan adanya kebutuhan manusia akan tempat yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang cukup luas dengan penduduk yang beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk Negara Kepulauan yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 240 gunung. Diantaranya, sekitar 70

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemeliharaan Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya mempunyai sejarah yang panjang dan tidak terlepas dari dinamika

Lebih terperinci

BAB II BATIK BASUREK SEBAGAI IDENTITAS BENGKULU

BAB II BATIK BASUREK SEBAGAI IDENTITAS BENGKULU BAB II BATIK BASUREK SEBAGAI IDENTITAS BENGKULU 2.1. Kain Batik Basurek Bengkulu Kain Basurek merupakan salah satu bentuk batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan dari generasi

Lebih terperinci

Daftar Isi. Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17

Daftar Isi. Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17 1 Daftar Isi Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17 Identifikasi Kawasan Cagar Budaya Situs Kerajaan Islam Mataram di Pleret, Bantul dengan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M /

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M / WAWASAN BUDAYA NUSANTARA Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / 14148126 2. Bayu Setyaningrum / 14148127 3. Winda Setya M / 14148128 Institut Seni Indonesia Surakarta 2015/2016 PERGERAKAN MANUSA DISANGIRAN

Lebih terperinci

Situs Gunung Padang. Nopsi Marga Handayani Gregorian Anjar Prastawa

Situs Gunung Padang. Nopsi Marga Handayani Gregorian Anjar Prastawa Situs Gunung Padang Nopsi Marga Handayani 14148118 Gregorian Anjar Prastawa - 14148136 Situs Gunung Padang terletak di kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan,Desa Karyamukti Kecamatan Cempakan, Cianjur.

Lebih terperinci

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002 Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 00 Oleh: J. A. Sonjaya a. Latar Belakang Pada tanggal -3 Maret 00 telah dilakukan ekskavasi di situs Song Agung,

Lebih terperinci

RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora

RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora Flora sebagai sumber objek motif ragam hias dapat dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia. Ragam hias dengan motif flora (vegetal) mudah dijumpai pada barang-barang

Lebih terperinci

KONSERVASI LOGAM DENGAN BAHAN TRADISIONAL

KONSERVASI LOGAM DENGAN BAHAN TRADISIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN LAPORAN HASIL KAJIAN KONSERVASI LOGAM DENGAN BAHAN TRADISIONAL Oleh : Ari Swastikawati, S.Si, M.A Henny Kusumawati, S.S Rony Muhammad,

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

SOAL PRETEST Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban yang menurut anda benar! 1. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu

Lebih terperinci

KERAJINAN DARI BAHAN ALAM

KERAJINAN DARI BAHAN ALAM TUGAS PRAKARYA KERAJINAN DARI BAHAN ALAM Oleh: NAMA : FARHAN ARIYANDI SAPUTRA KELAS : VII D SMP YKPP DUMAI T.A 2015/2016 I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang berlimpah. Kekayaan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH A.Pembentukan Tanah Pada mulanya, permukaan bumi tidaklah berupa tanah seperti sekarang ini. Permukaan bumi di awal terbentuknya hanyalah berupa batuan-batuan

Lebih terperinci

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

SOAL PENGAYAAN A. FLORA, FAUNA DAN ALAM BENDA

SOAL PENGAYAAN A. FLORA, FAUNA DAN ALAM BENDA SOAL PENGAYAAN A. FLORA, FAUNA DAN ALAM BENDA 1 Jelaskan apa yang dimaksud dengan aktivitas fisik dan mental dalam menggambar! 2 Sebutkan dan jelaskan dua komposisi dalam menggambar! 3 Sebutkan contoh

Lebih terperinci

Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10

Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10 1 Daftar Isi Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10 Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali Ida Bagus Alit Sancana 11-23 Foto sampul depan:

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA

POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA POTENSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KABUPATEN TANAH BUMBU DAN ANCAMAN YANG DIHADAPINYA THE POTENCY OF PREHISTORIC ARCHAEOLOGY IN TANAH BUMBU AND ITS THREATENINGS Bambang Sugiyanto Balai Arkeologi Banjarmasin,

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2 SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2 1. Berdasarkan teori geologi modern, Indonesia terbentuk dari pertemuan beberapa lempeng benua yaitu... Lempeng Eurasia,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013 KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013 Perubahan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Menjadi Kementerian Pendidikan dan

Lebih terperinci

AssAlAmu AlAyku m wr.wb

AssAlAmu AlAyku m wr.wb AssAlAmu AlAyku m wr.wb BIOMA Bioma adalah wilayah yang memiliki kondisi iklim tertentu dan batas-batas yang sebagian besar dikendalikan di daratan oleh iklim dan yang dibedakan oleh dominasi tertentu,

Lebih terperinci

SEBARAN FLORA DAN FAUNA DI PERMUKAAN BUMI

SEBARAN FLORA DAN FAUNA DI PERMUKAAN BUMI SEBARAN FLORA DAN FAUNA DI PERMUKAAN BUMI Disusun Oleh : Hamdan Gunadi Kelas : XI TKJ 1 SMK Taruna Bhakti Kota Depok TAHUN 2011 LEMBAR PENGESAHAN Disetujui dan di sahkan oleh dewan Pembina pada hari Sabtu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologinya (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologinya (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transportasi merupakan pengangkutan barang yang menggunakan berbagai jenis kendaraan sesuai dengan perkembangan teknologinya

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini

BAB IV KESIMPULAN. purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini BAB IV KESIMPULAN A. KESIMPULAN Situs Manusia Purba Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang mempunyai peran penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Di situs ini ditemukan beragam jenis fosil

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) GAMBARAN UMUM Propinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 714.480 km 2 terdiri atas 92,4 % Lautan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Secara geografis Provinsi Sumatera Selatan terletak antara 1 0 4 0 Lintang Selatan dan 102 0-106 0 Bujur Timur dengan

Lebih terperinci

MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI.

MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI. MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI. Macam-macam Letak Geografi Untuk mengetahui dengan baik keadaan geografis suatu tempat atau daerah, terlebih dahulu perlu kita ketahui letak tempat atau daerah tersebut di permukaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

PENDALAMAN MATERI LETAK (ASTRONOMIS DAN GEOGRAFIS) SERTA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL; EKONOMI; IKLIM DAN MUSIM

PENDALAMAN MATERI LETAK (ASTRONOMIS DAN GEOGRAFIS) SERTA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL; EKONOMI; IKLIM DAN MUSIM MODUL ONLINE 21.2 DAMPAK LETAK GEOGRAFIS, LETAK ASTRONOMIS DAN LETAK GEOLOGI INDONESIA PENDALAMAN MATERI LETAK (ASTRONOMIS DAN GEOGRAFIS) SERTA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL; EKONOMI; IKLIM DAN MUSIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik

Lebih terperinci

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS Langkah kami setelah mencari tahu dan segala informasi tentang Pulau Nias adalah survey langsung ke lokasi site untuk Tugas Akhir ini. Alangkah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam utama yang berada di bumi

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam utama yang berada di bumi PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam utama yang berada di bumi dan memiliki pengaruh dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, karena dapat dijadikan sebagai tempat tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku bangsa, budaya, dan keindahan alam yang mempesona. Keindahan alam yang dimiliki oleh Indonesia menyimpan banyak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

BAB 1: SEJARAH PRASEJARAH

BAB 1: SEJARAH PRASEJARAH www.bimbinganalumniui.com 1. Studi tentang kebudayaan adalah suatu studi yang mempelajari... (A) Gagasan-gagasan untuk mewujudkan tindakan dan artefak (B) Kesenian (C) Karya sastra dan cerita rakyat (D)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Geologi dan Endapan Batubara Daerah Pasuang-Lunai dan Sekitarnya Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Endapan Batubara Daerah Pasuang-Lunai dan Sekitarnya Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menunjang pembangunan di Indonesia, dibutuhkan sumber energi yang memadai, hal ini harus didukung dengan ketersediaan sumber daya alam yang cukup. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Lukisan Dinding Gua ( ): Keterancaman dan Upaya Konservasinya

Lukisan Dinding Gua ( ): Keterancaman dan Upaya Konservasinya Lukisan Dinding Gua ( ): Keterancaman dan Upaya Konservasinya R. Cecep Eka Permana Departemen Arkeologi FIB UI, Depok, Jawa Barat 16424 Email: cecep1permana@yahoo.com Abstrak: Lukisan dinding gua merupakan

Lebih terperinci

P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR

P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Disampaikan oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala Bappeda Kutai Timur) Dalam rangka Seminar Internasional dengan tema Kawasan Cagar Alam dan Budaya Sangkulirang: Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman penuh tamasya sekarang ini, banyak warga Indonesia khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman penuh tamasya sekarang ini, banyak warga Indonesia khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di zaman penuh tamasya sekarang ini, banyak warga Indonesia khususnya mengisi liburan dengan bertamasya ke luar negeri. Hal ini merupakan produk dari maraknya publikasi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Sejarah Seni Rupa Prasejarah Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Teknik Perencanaan & Desain Desain Produk 01 Kode MK Abstract Seni rupa dapat dikatakan sebagai

Lebih terperinci

II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA

II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA A. Pengertian Interprestasi Peta Unsur geografis adalah keadaan alam di muka bumi yang membentuk lingkungan geografis adalah bentang alam, letak,

Lebih terperinci

TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN

TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN NAMA : RINI LARASATI KELAS : X MIA 5 MANUSIA PURBA TRINIL Museum Trinil terletak di pinggiran Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Pilang, Desa Kawu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Indonesia Membutuhkan Lebih Banyak Kawasan Penunjang Konservasi Indonesia merupakan negara yang menyimpan kekayaan keanekaragaman ekosistem yang terbentang dari

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI Indonesia terdiri atas pulau-pulau sehingga disebut negara kepulauan. Jumlah pulau yang lebih dari 17.000 buah itu menandakan bahwa Indonesia merupakan suatu wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat dan saling berakibat sejak awal kemunculan manusia. Kehidupan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) KEGIATAN KEGIATAN PENYUSUNAN ZONA PEMANFAATAN DAN KONSERVASI AIR TANAH PADA CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) DI JAWA TENGAH DINAS

Lebih terperinci