LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI SURABAYA TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI SURABAYA TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)"

Transkripsi

1 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI SURABAYA TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi (1.1) Kondisi Geografis SURABAYA merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia dengan luas sekitar 326,37 km 2, yang secara geografis terletak diantara Lintang Selatan dan sampai Bujur Timur. Batas administrasi kewilayahan Kota Surabaya, di sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Topografis kota Surabaya didominasi dataran rendah (80,72% atau sekitar ,04 Ha) dengan ketinggian 3 6 meter dpl dan kemiringan 0-2%, sedangkan sisanya merupakan perbukitan landai yang terletak di wilayah barat (12,77%) dan selatan (6,52%) dengan ketinggian antara meter dpl dan kemiringan berkisar 2-15%. Secara geologis, sebagian besar jenis batuan yang ada terdiri dari 4 jenis yang pada dasarnya merupakan tanah liat atau unit- unit pasir, sedangkan jenis tanah didominasi tanah alluvial dan selebihnya tanah berkadar kapur tinggi (daerah perbukitan). Sebagaimana daerah tropis lainnya, Surabaya mengenal 2 musim yaitu musim hujan dan kemarau. Curah hujan rata- rata 172 mm, dengan temperatur berkisar maksimum 30 C dan minimum 25 C. (Stasiun Pengamat Perak 1/Tahun 2004). Kota Surabaya secara administratif terdiri dari 31 Kecamatan yang terbagi atas 163 Kelurahan, yang membawahkan sejumlah RW (Rukun Warga) dan RT (Rukun Tetangga). Populasi penduduk Kota Surabaya yang tercatat sampai Juni 2005 mencapai jiwa, yang terdiri dari penduduk laki laki sejumlah jiwa dan penduduk perempuan sejumlah jiwa, dengan tingkat kepadatan rata- rata jiwa / km2. (1.2) Perekonomian Daerah Kondisi ekonomi daerah secara umum dapat ditunjukkan oleh angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Investasi, Inflasi, pajak dan retribusi, pinjaman dan pelayanan bidang ekonomi. Besaran nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini secara nyata mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit- unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Lebih jauh, perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu

2 2 indikator yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercermin melalui pertumbuhan nilai PDRB. Berdasarkan data BPS Surabaya, perkembangan perekonomian kota Surabaya periode ( ), menunjukkan angka pertumbuhan yang cukup positif, masing- masing sebesar 4,25 persen (2001), 3,81 persen (2002), 4,23 persen (2003) dan 5,66 persen (2004). Gambaran pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya selama empat periode terakhir sebagaimana disajikan pada Tabel- 1. Tabel 1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kota Surabaya Tahun 2001 s/d 2004 (Dalam Persentase) No Sektor Sektor Primer 0,53-2,26-5,09-0,14 Pertanian 0,62-2,24-5,23-0,21 Pertambangan dan Penggalian - 2,77-2,85 0,42 2,08 2 Sektor Sekunder 3,51 1,18 2,67 3,66 Indstr. Pengolahan 3,9 0,53 1,77 2,51 Listrik, Gas, dan Air Bersih 8,71 6,42 9,39 7,5 Konstruksi 0,81 2,1 3,97 6,51 3 Sektor Tersier 4,91 6,11 5,55 7,29 Perdag. Hotel dan Restoran 4,73 6,47 6,38 8,07 Pengangkutan dan Komunikasi 6,88 7,46 5,98 6,2 Keu., Persewaan dan Jasa Persh. 5,35 5,37 2,44 7,99 Jasa- Jasa 1,9 2,03 2,99 3,04 PDRB 4,25 3,81 4,23 5,66 Sumber : Bappeko Surabaya (2005), dalam Studi Penyusunan Produk Domestik Regional Bruto Kota Surabaya Tahun 2004 Pertumbuhan ekonomi secara pasti juga menunjukkan perkembangan yang relatif cukup signifikan pada tahun Pada triwulan pertama perekonomian Kota Surabaya tumbuh 4,94% dibandingkan dengan triwulan yang sama di tahun Meski sedikit mengalami penurunan, pada triwulan dua dan tiga perekonomian Kota Surabaya tetap mengalami pertumbuhan masing- masing 4,68% (triwulan II) dan 4,30% (triwulan III). Pada triwulan keempat perekonomian kota mengalami kontraksi positif sampai dengan 6,06% apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Gambaran pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya per- triwulan pada tahun 2005 disajikan pada Tabel 2. Peran perekonomian sektoral di kota Surabaya ( ) umumnya didominasi sektor tersier (54,00%), kemudian diikuti sektor sekunder (45,79%) dan terakhir sektor primer (0,20%). Besarnya kontribusi pada sektor tersier masing- masing bersumber dari sektor (i) perdagangan hotel dan restoran (34,31%), (ii) angkutan dan komunikasi (9,00%), (iii) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (6,18%), dan (iv) jasa- jasa (4,51%). Kondisi yang sama berlanjut pada tahun 2005, dimana sampai triwulan IV sektor tersier tetap mendominasi struktur perekonomian Kota Surabaya sampai dengan 56,44%, kemudian diikuti oleh sektor sekunder dan

3 3 primer masing- masing 43,38% dan 0,18%, dengan kontribusi masing- masing dari sektor (i) perdagangan hotel dan restoran (35,36%), (ii) angkutan dan komunikasi (10,21%), (iii) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (6,34%), dan (iv) sektor jasa- jasa (4,53%). Tabel 2 Pertumbuhan Ekonomi Kota Surabaya Per Triwulan Tahun 2005 (Dalam Persentase) No Sektor TW I TW II TW III TW IV 1 Sektor Primer 0,34 3,22 2,17 0,52 Pertanian 0,28 3,21 2,27 0,68 Pertambangan dan Penggalian 2,64 3,43-1,4-5,01 2 Sektor Sekunder 4,98 3,61 3,23 4,54 Indstr. Pengolahan 2,53 1,83 1,67 4,67 Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,09 3,31 2,78 3,92 Konstruksi 13,83 9,96 8,77 4,33 3 Sektor Tersier 4,92 5,52 5,13 7,26 Perdag. Hotel dan Restoran 4,76 6,22 5,83 8,56 Pengangkutan dan Komunikasi 6,18 5,78 5,55 5,77 Keu., Persewaan dan Jasa Persh. 4,7 3,5 4,45 5,67 Jasa- Jasa 3,61 2,38 0,12 3,1 PDRB 4,94 4,68 4,3 6,06 Sumber : Bappeko Surabaya (2005), dalam Draft Studi Penyusunan Produk Domestik Regional Bruto Kota Surabaya Tahun 2005 Triwulan IV Selain peran kontributif masing- masing sektor usaha, pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga didukung oleh adanya kecenderungan bahwa tingkat inflasi selama empat periode terakhir ( ) terus mengalami penurunan, dengan tingkat inflasi masing- masing sebesar 9,53% (2001), 9,30% (2002), 7,68% (2003), dan 7,00% (2004) seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Surabaya Tahun 2001 s/d 2004 (Dalam Persentase) No Sektor Pertanian 8,72 8,44 5,48 1,12 2 Pertambangan dan Penggalian 9,05 2,28 2,53 2,63 3 Indstr. Pengolahan 10,93 10,41 7,58 7,84 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 11,47 13,74 8,05 11,32 5 Konstruksi 11,07 7,75 7,15 5,92 6 Perdag. Hotel dan Restoran 9,81 9,59 9,84 5,96 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4,06 5,3 4,39 6,79 8 Keu., Persewaan dan Jasa Persh. 9,56 9,13 3,71 8,46 9 Jasa- Jasa 4,7 8,73 5,35 7,27 PDRB 9,53 9,3 7,68 7 Sumber : Bappeko Surabaya (2005), dalam Studi Penyusunan Produk Domestik Regional Bruto Kota Surabaya Tahun 2004 Sedangkan pada triwulan pertama tahun 2005 tingkat inflasi Kota Surabaya adalah sebesar 4,03%, sedangkan pada triwulan berikutnya tingkat inflasi ada

4 4 pada kisaran 5% - 6%. Perkembangan tingkat inflasi Kota Surabaya per triwulanan pada tahun 2005 dapat dilihat pada Table 4. Tabel 4 Tingkat Inflasi Kota Surabaya Per Triwulan Tahun 2005 (Dalam Persentase) No Sektor TW I TW II TW III TW IV 1 Pertanian 2,43 2,68 2,94 4,65 2 Pertambangan dan Penggalian - 0,04 1,39 3,66 7,21 3 Indstr. Pengolahan 5,38 6,15 6,15 6,8 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 10,03 10,57 12,27 11,29 5 Konstruksi 2,78 3,63 4,76 8,87 6 Perdag. Hotel dan Restoran 3,05 4,59 4,52 5,67 7 Pengangkutan dan Komunikasi 5,04 5,52 5,56 7,92 8 Keu., Persewaan dan Jasa Persh. 2,48 3,81 2,81 2,06 9 Jasa- Jasa 2,4 3,68 2,94 2,24 PDRB 4,03 5,16 5,22 6,35 Sumber : Bappeko Surabaya (2005), dalam Draft Studi Penyusunan Produk Domestik Regional Bruto Kota Surabaya Tahun 2005 Triwulan IV Adapun perkembangan sektor ekonomi berdampak langsung terhadap peningkatan PDRB dan nilai PDRB perkapita yang pada hakekatnya menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat. Secara lengkap gambaran tentang PDRB dan nilai PDRB perkapita di Kota Surabaya selama empat periode terakhir ( ) dapat dilihat pada Tabel- 5. No Tabel 5 PDRB dan Nilai PDRB Perkapita ADHB Kota Surabaya Tahun 2001 s/d 2004 Uraian Tahun PDRB (Rp. Juta) 46,751,760 53,047,330 59,533,880 67,304,420 2 Jumlah Penduduk (Jiwa) 2,633,067 2,647,283 2,660,381 2,681,092 3 Nilai PDRB Per Kapita (Rp. Juta) 17,75 20,04 22,38 25,1 Sumber : BPS Surabaya, 2005, diolah. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari adanya perkembangan indikator perekonomian daerah (kota Surabaya) sebagaimana diuraikan diatas, adalah sebagai berikut : Perkembangan perekonomian nasional akan senantiasa mewarnai perkembangan ekonomi di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa perkotaan yang dahulu pernah dijadikan motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional tampaknya tetap menjadi bahan pertimbangan untuk dapat memacu proses pemulihan perekonomian nasional. Dengan demikian kedepan wilayah perkotaan termasuk salah satunya kota Surabaya - tampaknya akan tetap menjadi simpul pertumbuhan ekonomi yang cukup strategis dan diharapkan mampu memberikan side effect yang positif bagi perkembangan ekonomi daerah yang ada disekitarnya.

5 5 Perkembangan sektor tersier di kota Surabaya dalam beberapa tahun terakhir tampaknya semakin cukup dominan apabila dibandingkan dengan dua sektor lainnya (primer dan sekunder), baik dilihat dari sisi peranan maupun pertumbuhannya, Dengan demikian berbagai aktivitas yang ada dalam sektor tersier kedepan tampaknya akan memiliki trend yang cukup prospektif. Selain itu, adanya perkembangan kondisi perekonomian tersebut tentunya akan menimbulkan suatu tantangan untuk dapat memposisikan kota Surabaya sebagai kota yang benar- benar mampu memberikan suatu kondisi lingkungan yang tidak hanya kondusif namun juga kompetitif bagi perkembangan kota itu sendiri ketika harus dihadapkan pada perkembangan kota- kota lainnya, baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. (1.3) Sosial Budaya Daerah Sebagai kota metropolitan, Surabaya secara fisik dan ekonomi telah berkembang secara luar biasa, tetapi yang menjadi masalah pertumbuhan kota yang ekspansif ternyata tidak diimbangi dengan tingkat perkembangan bidang sosial budaya yang memadai seperti aspek kesehatan, pendidikan dan pertumbuhan kesempatan kerja bagi penduduk yang bertambah cepat. Untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan bidang sosial- budaya di Kota Surabaya, setidaknya perlu memperhatikan dua hal sebagai berikut: pertama sejauhmana kota mampu menyediakan layanan fasilitas publik dan lapangan pekerjaan yang memadai bagi penduduknya, terutama bagi penduduk miskin kota, dan kedua sejauhmana kebijakan dan kemajuan sebuah kota dapat bersejajaran dengan kepentingan upaya mengembangkan kualitas pembangunan manusia. Dengan demikian, akan dapat diukur kapabilitas Surabaya sebagai sebuah kota yang tumbuh besar secara fisik dan ekonomi, namun tetap memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan sosial masyarakatnya. (1.4) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gambaran perkembangan kondisi sosial daerah merupakan salah satu tolok ukur untuk melihat sejauhmana keberhasilan program pembangunan kesejahteraan sosial yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia. Menurut United Nations Development Program (UNDP), pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses memperbesar pilihan- pilihan bagi penduduk. Dari definisi tersebut, ditegaskan bahwa fokus pembangunan yang sesungguhnya adalah penduduk atau manusia itu sendiri. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan manusia sebagai suatu upaya pembangunan kemampuan diri manusia yang mengandung empat unsur, yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan. Perkembangan IPM Kota Surabaya beserta komponen- komponennya, sebagaimana pada Table 6.

6 6 Tabel 6 Indeks Pembangunan Manusia Kota Surabaya (Tahun ) IPM dan Komponen- komponenya Angka Melek Huruf 1) (%) 94,6 96,24 97,11 96,81 Rata- rata lama sekolah 2) (Th.) 9,1 9,41 9,8 9,8 Angka Harapan Hidup (Th.) 69,9 69,45 69,45 69,39 Paritas Daya Beli (Rp. Juta) 1,086,9 1141,1 1,384,14 1,946,46 IPM 65,4 69,3 70,53 71,37 Sumber : BPS Kota Surabaya 2004, diolah (1.5) Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indeks Kemiskinan Manusia berbeda dengan IPM yang mengukur kemajuan dari suatu negara secara keseluruhan dalam mencapai pembangunan manusia, IKM menggambarkan sebaran dari suatu kemajuan dan mengukur ketertinggalan yang masih ada. IKM mengukur ketertinggalan atau deprivasi dalam dimensi yang sama dengan dimensi pembangunan manusia yang diukur dalam IPM. IKM difokuskan pada deprivasi dalam tiga dimensi, yaitu lamanya hidup, yang diukur dengan peluang pada saat lahir untuk tidak bertahan hidup hingga usia 40 tahun; pengetahuan, yang diukur dengan angka buta huruf pada orang dewasa; dan ketersediaan sarana umum, yang diukur dengan prosentase penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap fasilitas kesehatan dan prosentase anak- anak dibawah usia lima tahun dengan berat badan kurang (BPS dan UNDP, 2001 : 10). Kondisi IKM penduduk Kota Surabaya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Indeks Kemiskinan Manusia Kota Surabaya (Tahun 2002 dan 2004) IKM dan Kmponen- komponennya Penduduk diperkirakan tidak mencapai usia 40 Tahun (%) 11,2 12,4 Angka buta huruf dewasa (%) 3,76 2,89 Penduduk tanpa akses terhadap air bersih (%) 2,88 4,91 Penduduk tanpa akses sarana kesehatan (%) 12,83 14,56 Balita kurang gizi (%) 18,69 14,09 Nilai Komposit variabel ketertinggalan 11,46 11,19 Indeks Kemiskinan Manusia Kota Surabaya 8,8 8,83 Keterangan : Data yang tersaji merupakan data dua tahunan Sumber : Bappeko Surabaya (2004), dalam Penyusunan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Kota Surabaya Tahun 2004 Dari hasil penghitungan tahun 2004, angka IKM Kota Surabaya diketahui mencapai angka 8,83. Kondisi IKM seperti ini secara relatif memang tergolong baik, terlebih diketahui bahwa di Propinsi Jawa Timur ada 26 kota dan kabupaten yang dilaporkan mengalami peningkatan angka IKM, yang berarti derajat kemiskinan masyarakat makin buruk. Dengan angka 8,83 berarti kondisi kemiskinan di Kota Surabaya sebetulnya tidak terlalu mencemaskan.

7 7 Namun demikian, bila dibandingkan tahun 2002, angka IKM Kota Surabaya tahun 2004 sedikit lebih buruk. Ditinjau dari parameter yang dikaji, dapat dilihat bahwa faktor yang menyebabkan kondisi IKM Kota Surabaya sedikit memburuk adalah karena meningkatnya jumlah penduduk yang tanpa akses terhadap air bersih dan sarana kesehatan. Disamping itu indikator lain yang tampak sedikit memburuk adalah jumlah penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun. Kelurahan yang menjadi fokus kajian dari Tim PJM Pronangkis dalam kegiatan lapangan di Kota Surabaya adalah Kelurahan Kalianak Kecamatan Asemrowo dan Kelurahan Sambikerep Kecamatan Sambikerep. a. Gambaran Umum Kelurahan Kalianak Kecamatan Asemrowo a.1. Kondisi Umum Wilayah Kelurahan Kalianak merupakan bagian dari Kecamatan Asem Rowo terdiri dari 1 RW yang dibagi menjadi 5 RT. Kelurahan ini berbatasan langsung dengan Kelurahan Morokrembangan disebelah barat; Kelurahan Genting, Asem Rowo dan Greges di sebelah selatan; Kelurahan Greges dan aliran sungai yang menuju utara/selat Madura di sebelah barat; dan selat Madura di sebelah utara. Saat ini kegiatan dan penggunaan lahan yang dominan di Kelurahan Kalianak adalah pergudangan/pabrik. Secara progresif kegiatan pergudangan mengubah lahan tambak yang ada yang menjadi tempat kegiatan usaha penduduk sebagai petambak dan nelayan. Adanya pembangunan pergudangan secara masif telah mengubah pola kehidupan masyarakat yang ada, antara lain sebaran permukiman yang menjadi kantong- kantong permukiman yang dipisahkan oleh kawasan pergudangan satu RT yang terisolasi dari komunitas lainnya adalah RT 05. Hal lain dari pengaruh pembangunan kawasan pergudangan adalah struktur orgnanisasi kelurahan yang cukup aneh dimana di kelurahan ini hanya terdapat 1 RW. a.2. Kependudukan Jumlah penduduk Kelurahan Kalianak sebanyak 1421 jiwa yang terdiri dari 705 jiwa laki- laki dan 699 jiwa perempuan dengan 363 KK. Dari perbandingan jumlah penduduk dengan KK ini menunjukkan jumlah anggota per KK adalah 4 jiwa/kk. Jumlah warga miskin di kelurahan ini cukup tinggi yaitu 103 KK yang memiliki KTP dan KSK Kalianak. Hal ini belum termasuk warga musiman yang cukup banyak, terutama yang tinggal di pesisir pantai dan yang tinggal dekat gudang/pabrik. Mata pencaharian penduduk yang dominan adalah buruh dan nelayan. Sebagai buruh, mereka tidak bekerja di lingkungan kelurahan tempat tinggal mereka. Hal ini terkait dengan adanya kebijakan pengelola gudang/pabrik yang tidak memberikan kesempatan untuk penduduk asli kelurahan Kalianak untuk

8 8 memasuki lapangan kerja yang ada. Dalam hal ini kebijakan pengelola pabrik tidak menerima penduduk setempat menjadi pegawai/karyawan. a.3. Permasalahan Faktor- faktor penyebab timbulnya kondisi kemiskinan di Kelurahan Kalianak antara lain adalah sebagai berikut: Sebaran perumahan penduduk yang terpisah- pisah menyebabkan distribusi informasi antar warga terhambat. Adanya kebijakan pengelola pabrik yang tidak menerima warga Kelurahan Kalimanak untuk memasuki pasar lapangan kerja yang ada di masing- masing perusahaan. Hal ini menyebabkan masyarkat setempat harus mencari kerja di luar wilayah kelurahan dan berakibat beban transportasi meningkat. Tingkat pendidikan masyarkat yang relatif rendah menyebabkan masyarakat sulit memasuki pasar lapangan kerja dan juga rendahnya kesadaran lingkungan dan kebersihan yang menyebabkan rendahnya kualitas lingkungan perumahan yang ada. Banyaknya pendatang dengan kesadaran lingkungan yang kurang menyebabkan tekanan terhadap penurunan kualitas lingkungan semakin besar. Gambar 1 Lingkungan Permukiman di Kelurahan Kalianak Kecamatan Asemrowo

9 9 b. Gambaran Umum Kelurahan Sambikerep Kecamatan Sambikerep b.1. Kondisi Umum Wilayah Kelurahan Sambikerep merupakan bagian dari Kecamatan Sambikerep. Kelurahan ini mempunyai luas wilayah 449,6 Ha dengan batas- batas wilayah: Disebelah utara dengan Kelurahan Manukan; sebelah selatan denagn Kelurahan Lakarsantri; sebelah barat dengan Kelurahan Made; dan sebelah timur dengan Kelurahan Lontar. Lokasi kelurahan ini ada dibagian barat kota Surabaya yang terdiri dari 11 RW dan 87 RT. Dengan jumlah RW dan RT yang cukup banyak menggambarkan bahwa kelurahan ini mempunyai ukuran kelurahan yang cukup besar. Dari kecenderungan perkembangan kelurahan ini, tumbuhnya perumahan dan permukiman di kelurahan ini lebih dipengaruhi oleh tumbuhnya perumahan formal mulai dari Perumnas sampai perumahan real estate baik skala kecil sampai besar seperti Perumahan Citra Raya. Dari sejarahnya, perumahan Perumnas Sambi Arum mulai dikembangkan pada awal tahun 80- an. Artinya komunitas penduduk di Perumnas ini sudah masuk pada putaran generasi kedua ( 29 tahun). b.2. Kependudukan Jumlah penduduk kelurahan ini adalah jiwa yang terdiri dari jiwa laki- laki dan jiwa perempuan, serta KK. Adapun jumlah KK miskin adalah jiwa atau kira- kira 300 KK. Lapangan kerja penduduk di kelurahan ini cukup bervariasi dengan jumlah terbanyak adalah sebagai wiraswasta yaitu orang, selanjutnya diikuti oleh petani/buruh tani sebanyak 379 jiwa; pensiunan 358 jiwa; dan karyawan 357 jiwa. Disamping itu juga cukup banyak wakrga yang mempunyai pekerjaan sebagai PNS yaitu sekitar 100 orang. Dari gambaran pola matapencaharian penduduk ini dapat dikatakan bahwa masyarakat di kelurahan ini cukup heterogen. Terbentuknya strukur masyarakat yang heterogen ini dipengaruhi oleh pembangunan perumahan yang cukup intensif di kelurahan ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa lingkungan perumahan ini cukup baik karena dikembangkan oleh perusahaan pengembang perumahan. Untuk perumahan yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat terutama yang tersebar sepanjang pinggir jalan raya yang ada di kelurahan ini. b.3. Permasalahan Faktor- faktor penyebab timbulnya kondisi kemiskinan di Kelurahan Sambikerep antara lain adalah sebagai berikut:

10 10 Tingginya tingkat pengangguran (generasi kedua) yang sangat memerlukan pekerjaan, serta orang tua jompo yang membutuhkan santunan. Banyak warga yang bermatapencaharian pedagang, tetapi bukan pedagang besar melainkan pedagang kecil yang membutuhkan bantuan permodalan dan pelatihan keterampilan. Dilingkungan warga miskin ketersediaan fasilitas umum masih kurang dan perlu mendapat dukungan untuk pengadaan fasilitas tersebut. Gambar 2 Lingkungan Permukiman di Kelurahan Sambikerep Kecamatan Sambikerep (2) Hasil Temuan Lapangan 1 Kesadaran Masyarakat Sejauh mana masyarakat peduli pada tujuan PJM Pronangkis? (1) Pada umumnya masyarakat memperoleh informasi tentang PNPM / P2KP dari pelaksanaan sosialisasi tahap awal di tingkat Kelurahan yang dilakukan oleh Fasilitator Kelurahan;

11 11 (2) Informasi tentang PNPM/P2KP yang dimiliki masyarakat masih terbatas, terutama yang terkait dengan pengertian dasar tentang pemberdayaan masyarakat. Masyarakat memahami PNPM/P2KP sebatas program bantuan bantuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan, ekonomi dan sosaial seperti hanlnya program- program lainnya yang bersifat charity (serupa Jaring Pengaman Sosial/JPS); (3) Sosialisasi tahap awal PNPM/P2KP di Kelurahan Sambikerep dilakukan bertahap, pertama dilakukan di tingkatk kelurahan yang dihadiri para Ketua RW, dan kedua dilakukan di tingkat RW yang dihadiri para Ketua RT. Selanjutnya beberapa Ketua RT menyampaikan informasi mengenai rencana pelaksanaan program ini kepada warga, baik dalam pertemuan- pertemuan tingkat RT maupun secara informal. Tidak semua Ketua RT menyampaikan rencana ini kepada seluruh warga mengingat pengalaman mengingat pengalaman sebelumnya menyangkut rencana bantuan sebelumnya yang tidak terealisasi; (4) Di Kelurahan Kalianak, karena kelurahan ini hanya meliputi 1 RW yang terdiri atas 5 RW, penyampaian informasi tentang PNPM/P2KP kepada warga tahap pertama langsung dilakukan oleh Faskel kepada para Ketua RT yang selanjutnya mengumpulkan kepada warga di tingkat RT; (5) Kemauan sebagian besar masyarakat untuk turut serta dalam proses kegiatan PNPM/P2KP masih dilatarbelakangi oleh adanya bantuan (BLM), baik untuk kegiatan perbaikan kondisi fisik lingkungan maupun peningkatan kondisi social dan ekonomi; (6) Di Kelurahan Sambikerep, pemilihan anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dilaksanakan berdasarkan seleksi terhadap perwakilan tiap RW. Pada tahap pertama, masing- masing RW mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh pengurus RW dan ketua/pengurus RT untuk memilih dan menetapkan 3 orang yang akan menjadi Relawan dan/atau calon anggota BKM dari tiap RW. Umumnya yang terpilih adalah ketua/pengurus RW dan RT. Selanjutnya, di tingkat kelurahan dipilih 13 orang relawan yang dipilih sebaga anggota BKM. Dalam perjalanannya, beberapa orang anggota BKM terpilih ini mengundurkan diri karena pindah rumah, lanjut usia dan keterbatasan waktu, sehingga sekarang tinggal 9 orang yang terdiri atas 5 perempuan dan 4 laki- laki; (7) Di Kelurahan Kalianak, pemilihan anggota BKM dimulai di tingkat RT dengan pemilihan 3 orang Relawan sekaligus calon anggota BKM dalam pertemuan warga. Selanjutnya, dalam pertemuan di tingkat RW dipilih 9 orang anggota BKM yang terdiri atas 7 laki- laki dan 2 perempuan; (8) Di Kelurahan Sambikerep. Tidak diperoleh informasi mengenai pelaksanaan kegiatan refleksi kemiskinan (RK). Sedangkan di Kelurahan Kalianak, kegiatan RK dilaksanakan di tingkat RT. Dalam kegiatan RK ini, di tiap RT dibentuk 3 kelompok yang masing- masing terdiri atas 10 orang. RK difasilitasi oleh Relawan dengan bantuan Faskel; (9) Pemetaan Swadaya (PS) di Kelurahan Sambikerep dilakukan di tingkat RW. Pelaksananya adalah Relawan/anggota BKM yang berasal dari RW

12 12 setempat. Bahkan, di RW tertentu yang cakupannya cukup luas (11 RT), PS dilaksanakan hanya oleh 1 orang anggota BKM. Sedangkan di Kelurahan Kalianak, PS dilaksanakan di tingkat RT oleh Relawan/anggota BKM yang juga berasal dari RT setempat; (10) Di Kelurahan Sambikerep, proses pengajuan usulan kegiatan yang akan dimasukkan dalam PJM dimulai di tingkat RW berdasarkan hasil PS, dan selanjutnya penyusunan kegiatan dan seleksi prioritasnya dilakukan oleh anggota BKM. Sementara itu, di Kelurahan Kalianak prosesnya dimulai di tingkat RT melalui pertemuan warga; 2 Pengaruh Elite Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh elit lokal, berdasarkan tingkat keterlibatannya? (1) Kelompok yang menjadi elite (yang mempunyai pengaru/kekuasaan) dalam lingkup wilayah sasaran kegiatan PNPM / P2KP antara lain Ketua RW, Tokoh Masyarakat, PNS/TNI/pensiunan dan Lurah. (2) Di kelurahan Kalianak, pengaruh elite dalam proses penyusunan PJM Pronangkis pada tingkat masyarakat tidak terlalu siginifikan. Mereka yang tergolong elite umumnya tidak terlibat aktif dalam penyusunan PJM; (3) Di Kelurahan Sambikerep, PJM Pronangkis disusun oleh Relawan/anggota BKM yang umumnya pengurus RW dan RT (umumnya PNS/TNI/pensiunan) cukup berpengaruh dalam penyusunan usulan kegiatan dan penetapan prioritas; (4) Keberadaan elite di Kelurahan Sambikerep juga dapat dilihat dari pola pemukiman yang ditandai dengan pembagian perumahan formal dan perumahan swadaya. Perumahan formal umumnya dihuni oleh PNS/ TNI/ pensiunan, sedangkan perumahan swadaya dihuni oleh petani/ pedagang/ wiraswasta dan buruh. Dalam kaitan ini, pengaruh elite dalam penyusunan PJM terlihat pada penentuan prioritas kegiatan peningkatan kondisi fisik lingkungan yang umumnya mengutamakan kegiatan di lokasi perumahan formal; (5) Lurah tidak banyak berperan pada awal pelaksanaan PNPM/P2KP yang umumnya dikarenakan adanya persepsi bahwa kegiatan P2KP berada diluar lingkup pembangunan tingkat kelurahan; 3 Pengaruh Orientasi BLM dan IPM / MDG Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh maksud proyek ( daftar harapan proyek) dan oleh batasan volume alokasi anggaran (orientasi BLM)? (1) Pengaruh maksud proyek dan batasan alokasi anggaran (orientasi) BLM dapat dilihat secara jelas dalam susunan rencana kegiatan yang terbatas pada 3 sektor Tridaya, dan jumlah anggaran yang disesuaikan dengan jumlah BLM yang disalurkan. Dalam PJM Pronangkis, sama sekali tidak ada rencana kegiatan yang pembiayaannya dari luar BLM;

13 13 (2) Kuatnya pengaruh atau orientasi terhadap BLM terkait dengan pemahaman yang dibangun sejak awal bahwa PNPM/P2KP adalah program pemberian BLM untuk kegiatan pembangunan fisik, ekonomi dan sosial yang perencanaan dan pengelolaan dilaksanakan oleh masyarakat. Penyusunan PJM Pronangkis pun diarahkan ke pengelolaan BLM tersebut. (3) Pemahaman bahwa PJM Pronangkis merupakan perencanaan partisipatoris masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan secara umum di tingkat kelurahan, tidak terbangun. Akibatnya, hampir seluruh proses yang diallui seperti RK, PS dan rembug- rembug warga untuk menyusun usulan kegiatan diarahkan ke pencairan BLM; (4) Alokasi anggaran dalam PJM Pronangkis yang disesuaikan dengan besarnya BLM ini di kemudian hari sangat menghambat pelaksanaan P2KP di Kelurahan Sambikerep, khususnya dan di Kota Surbaya pada umumnya, sehubungan dengan tidak cairnya dana BLM Tahap II. Karena dana BLM Tahap II tidak dicairkan, maka seluruh kegiatan yang direncanakan dalam PJM_Pronangkis selanjutnya pun tidak dapat dilaksanakan. Lebih jauh lagi, BKM di kelurahan ini pun tidak berupaya menyalurkan rencana kegiatan yang tidak terealisasi tersebut ke dalam program- program lain atau ke dalam program pembangunan kota melalui musrenbang dengan pertimbangan bahwa rencana kegiatan PJM Pronangkis berada di luar proses musrenbang; (5) Di Kelurahan Kalianak, sebagian rencana kegiatan dalam PJM Pronangkis P2KP yang tidak dapat direalisasikan dengan dana BLM Tahap II yang tidak cair, dapat direalisasikan dengan menggunakan dana dari program NUSSP. Sebagian lainnya yang tidak dapat didanai oleh program NUSSP tengah diupayakan dananya, antara lain, melalui musrenbang; (6) Masyarakat umumnya belum mengerti tentang kegiatan- kegiatan dalam konteks Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / MDG, namun demikian dalam susunan usulan program substansinya telah memberikan indikasi kebutuhan unsur- unsur IPM / MDG, khusus di Kelurahan Kalianak, orientasi kea arah IPM/MDG`s ini terlihat pada kegiatan- kegiatan direncanakan seperti penurunan angka kematian bayi, peningkatan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bea siswa SD/SLTP/SLTA bagi siswa dari keluarga miskin, sosialisasi peran perempuan dalam rangka kesetaraan gender (di bidang sosial); pemberian modal bergulir, pelatihan ketrampilan, informasi dan jaringan usaha bagi keluarga miskin/pedagang kecil (di bidang ekonomi) dan; pembangunan/perbaikan MCK umum bagi keluarga miskin yang tidak memiliki MCK dan perbaikan rumah tidak layak huni (di bidang sosial); (7) Di Kelurahan Sambikerep, tidak didapati rumusan rencana kegiatan yang secara eksplisit berorientasi kearah peningkatan IPM atau pencapaian MDG s; 4 Kebutuhan Advokasi dan atau Pelatihan Apa sajakah kebutuhan peningkatan kapasitas dan advokasi tingkat masyarakat untuk memastikan pemahaman dan orientasi ke arah pembangunan sosial dan

14 14 manusia yang berkelanjutan sebagai dasar perencanaan masyarakat yang bersifat partisipatif? (1) Masyarakat pada umumnya baru pada tahap mengetahui P2KP, tetapi belum memahami tentang hakekat P2KP, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pemberdayaan agar mampu mandiri; (2) Sosialisasi kepada seluruh stakeholder masih perlu dilakukan dalam konteks pemahaman yang benar (khususnya yang menyangkut proses pembelajaran dan pemberdayaan) kepada pihak- pihak yang terkait dengan PNPM / P2KP seperti relawan, Fasilitator Kelurahan, aparat Kelurahan, Kecamatan, SKPD dan anggota DPRD khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan; (3) Proses rekrutmen dan seleksi fasilitator kelurahan perlu dilakukan secara lebih ketat (terutama terkait dengan kesesuaian latar belakang pendidikan / pengalaman fasilitator), dan pelatihan kepada fasilitator terseleksi dalam konteks proses dan prosedur pemberdayaan masyarakat; (4) Perlu dilakukan sosialisasi untuk meluruskan informasi dan pandangan pada pengertian sebenarnya bahwa PJM Pronangkis adalah kegiatan perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat yang perlu diakomodir oleh Pemerintah Daerah, terutama untuk lingkungan SKPD yang terkait erat dengan kegiatan penanggulangan kemiskinan khususnya maupun kegiatan pembangunan pada umumnya; 5 Hambatan terhadap potensi Partisipasi Faktor- faktor apa yang menghambat partisipasi berbasis luas secara umum, dan termasuk partisipasi perempuan (dicirikan oleh jelasnya rasa kepemilikan), dan pembagian tanggung jawab dalam proses perencanaan di lokasi penelitian? (1) Pada umumnya masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengerti dan memahami prosedur administrasi maupun teknis BLM PNPM (penyusunan proposal dan kelengkapannya); (2) Beberapa format yang diberikan (contoh) dalam buku panduan dan / atau yang disampaikan oleh fasilitator masih sulit dilaksanakan oleh masyarakat dalam waktu yang cepat; (3) Batasan waktu proses penyusunan usulan kegiatan dirasakan terlalu pendek dan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi batasan waktu yang ditetapkan; (4) Penyampaian usulan melalui kegiatan musrenbang tingkat kelurahan belum dapat mengakomodir usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis demikian pula pada tingkat Kecamatan. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman tentang P2KP yang hanya sebatas program pemberian BLM; (5) Terkait dengan keterbatasan waktu ini, hasil penyusunan PJM Pronangkis tidak sempat disosialiasikan kepada masyarakat sesuai dengan prosedur perencanaan partisipatoris dalam P2KP, sehingga masyarakat tidak dapat berpartisipasi penuh dalam pennetapan/pengambilan keputusan untuk pengesahan PJM Pronangkis;

15 15 (6) Di samping batasan waktu, luas dan besarnya cakupan kelurahan yang dicermikan dengan RW/RT dan penduduk membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mensosialisasi P2KP secara memadai dan menghimpun potensi dan partisipasi masyarakat. Hal ini tidak terjadi di Kelurahan Kalianak yang hanya terdiri atas 1 RW dengan 5 kelurahan. Meskipun demikian, PJM Pronangkis tidak sempat dikonsultasikan kepada seluruh warga, dan hanya tersebar sampai ke ketua/pengurus RT; (7) Di samping batasan waktu, luas dan besarnya cakupan kelurahan yang dicermikan dengan RW/RT dan penduduk membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mensosialisasi P2KP secara memadai dan menghimpun potensi dan partisipasi masyarakat. Hal ini tidak terjadi di Kelurahan Kalianak yang hanya terdiri atas 1 RW dengan 5 kelurahan. Meskipun demikian, PJM Pronangkis tidak sempat dikonsultasikan kepada seluruh warga, dan hanya tersebar sampai ke ketua/pengurus RT; (8) Di Kelurahan Kalianak, yang sebagian besar penduduknya adalah buruh harian dan nelayan musiman, hambatan ini juga ditemui. Tidak mudah bagi Relawan dan BKM untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan karena keterbatasan waktu yang dimiliki warga. Rembug- rembug warga hanya dapat dilakukan malam hari; (9) Keterbatasan waktu ini juga menjadi hambatan bagi relawan/anggota BKM untuk memenuhi undangan pelatihan P2KP, baik di Kelurahan Sambikerep maupun di Kelurahan Kalianak; (10) Hambatan terhadap perluasan partisipasi perempuan dalam P2KP di kedua kelurahan hampir dapat dikatakan tidak ada. Ini terlihat, misalnya, di Kelurahan Sambikerep yang lebih dari setengah anggota BKM dan Relawannya adalah perempuan. Begitu juga dengan posisi- posisi UPK, UPL dan UPS serta KSM yang didominasi oleh perempuan; (11) Di Kelurahan Kalianak, meskipun jumlah perempuan yang menjadi anggota BKM dan relawan sedikit, relawan perempuan itulah yang berperan aktif, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam berhubungan dengan stakeholder lain di tingkat kelurahan, kecamatan maupun kota. Peran penting perempuan dalam pengambilan keputusan di Kelurahan Kalianak terlihat pada usulan mereka yang menyangkut pembangunan di sektor kesehatan ibu dan anak serta kesetaraan gender dalam PJM Pronangkis; 6 Strategi Advokasi Apakah strategi advokasi yang tepat yang harus dijalankan P2KP untuk mengurangi tantangan- tantangan tersebut? (1) Tahapan sosialisasi P2KP/PNPM seharusnya dimulai dari tingkat Pemprov, Pemko (Bappeda, SKPD terkait dengan program penanggulangan kemiskinan), aparat kecamatan, aparat kelurahan dan baru ke masyarakat. Hal ini penting karena kenyataan yang ada dukungan terhadap BKM sangat terbatas karena pemahaman aparat pemerintah dengan berbagai tingkatan masih terbatas/rendah;

16 16 (2) Anggota BKM yang terpilih menjadi anggota legislatif sebaiknya mendapat pembekalan yang baik dalam rangka memberikan advokasi tentang program P2KP/PNPM dilingkungan legislatif Kota Surabaya; (3) Rotasi faskel perlu memperhatikan proses pelaksanaan P2KP yang sedang berjalan. Rotasi faskel yang tidak tepat waktu dan tepat personel menyebabkan proses sosialisasi P2KP menjadi terhambat. 7 Kebutuhan Perbaikan Proses Integrasi Apakah persyaratan mendasar pada kedua belah pihak (dalam kemampuan, pengetahuan dan dalam penjadwalan) untuk meningkatkan pengintegrasi yang lebih baik ke dalam proses perencanaan pemerintah formal di berbagai tingkatan dan mekanisme? (1) Kunci dari proses integrasi PJM Pronangkis dengan PJM Kota Surabaya terletak pada kesamaan pandang / persepsi dari semua stakeholder mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kelurahan. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah sosialisasi secara terstruktur ; (2) Upaya yang dilakukan Pemko Surabaya dengan mengalokasikan dana untuk menyusun PJM Pronangkis Kota merupakan langkah awal yang baik untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM dari masing- masing kelurahan menjadi materi PJM Pronangkis Kota Surabaya; (3) Menyesuaikan jadwal pelaksanaan penyusunan usulan program / kegiatan masyarakat sesuai jadwal proses musyawarah perencanaan pembangunan pada setiap tingkatan (Kelurahan / Kecamatan / Kota); (4) Meningkatkan peran serta BKM dan LKMK dalam melakukan perencanaan di tingkat kelurahan; (5) Meningkatkan kerja sama / koordinasi antar lembaga kemasyarakatan pada tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota, antara lain BKM dengan LKMK, BKM dan LKMK dengan Kelurahan, BKM dengan Kelompok Peduli, dan lain- lain; (6) Meningkatkan peluang bagi BKM dan LKMK untuk secara bersama- sama turut aktif dalam forum Musrenbang tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota; (7) Membuka peluang bagi BKM dan LKMK untuk secara bersama- sama melakukan konsultasi dengan SKPD terkait maupun Legislatif; (8) Pelatihan aparat kelurahan, aparat kecamatan, pengurus LKMK, dan BKM dalam menyusun usulan program / kegiatan berbasis masyarakat; (9) Pendampingan masyarakat / aparat dalam pelaksanaan program / kegiatan yang berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat); (10) Penetapan arah kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan daerah untuk kegiatan berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dan menyajikannya secara jelas dalam dokumen Rencana Kegiatan Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan penjabarannya dalam Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

17 17 8 Tinjauan atas Kebijakan terkait Peraturan pemerintah apakah yang perlu direvisi untuk mendukung integrasi yang lebih baik lagi di tingkat lokal dari aspirasi masyarakat ke dalam proses perencanaan pembangunan formal? (1) Diperlukan adanya Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri (KEPMEN), Peraturan Gubernur / Keputusan Gubernur (PERGUB / KEPGUB), Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (PERWAL / KEPWAL) yang mengatur proses dan prosedur penyampaian usulan kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat agar dapat masuk kedalam daftar rencana kegiatan pada dokumen Rencana Pembangunan Daerah di tingkat Kota; (2) Diperlukan tinjauan atas Kebijakan Penyelenggaraan PNPM / P2KP agar dapat disesuaikan dengan Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya, terutama terkait dengan upaya men- sinergi- kan dengan target capai IPM maupun program kegiatan fasilitasi kelompok warga tidak mampu (sektor pendidikan, sektor kesehatan, sekotr ekonomi / daya beli masyarakat); (3) Diperlukan adanya Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Surabaya yang menjabarkan Mekanisme Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan, yang mencakup mekanisme pelaksanaan (i) identifikasi dan inventarisasi kegiatan yang dilakukan Eksekutif maupun Legislatif; (ii) musyawarah rencana pembangunan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota); dan (iii) sinkronisasi usulan program / kegiatan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota); (4) Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Surabaya tentang pembagian peran, tugas pokok dan fungsi antara LKMK dan BKM secara definitif dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan; (5) Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Surabaya tentang Penetapan Jadwal Musrenbang Tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota dalam kaitannya dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) setiap tahunnya, serta Dokumen Penjabaran APBD Kota setiap tahunnya agar dapat mengakomodir usulan kegiatan yang berbasis masyarakat; (6) Diperlukan Peraturan Walikota (Perwal) / Keputusan Walikota (Kepwal) / Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan definisi kemiskinan di Kota Surabaya, terutama terkait dengan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kota Surabaya; B. KEJADIAN / HAMBATAN TAK TERDUGA 1. Pimpinan Bappeda tidak berkenan ditemui dikarenakan pengalaman traumatik dengan kejadian P2KP pertama (tahun 1999/2000), dimana terjadi penyimpangan penggunaan BLM di tingkat masyarakat (oleh BKM), kemudian masuk ke pihak

18 18 berwajib, dan proses berlanjut ke meja hijau; pada waktu pemeriksaan (Tipikor) diminta saksi dari unsure Pemerintah antara lain dari Bappeda (salah satunya adalah unsur pimpinan Bappeda sekarang) yang merasa tidak terlibat sesuatu dalam penyimpangan tapi kemudian disangkut2kan. Sehingga ybs sekarang tidak bersedia menangani P2KP. Kemudian dengan mengedepankan pertimbangan kompetensi SKPD berdasarkan Tupoksi (PP.41/2007), maka kegiatan PNPM / P2KP dialihkan ke BAPERMAS (Badan Pemberdayaan Masyarakat); 2. Meskipun kondisi secara kelembagaan seperti tersebut diatas, namun tidak ada hambatan atau kejadian tak terduga yang dianggap mengganggu kontinyuitas pelaksanaan kegiatan Tim secara signifikan; 3. Pelaksanaan FGD PJOK dan Kelurahan tidak dilakukan serentak mengingat lokasi yang relatif berjauhan dan adanya pergantian struktur penanggung jawab teknis kegiatan di Kecamatan (dari Kasie Pembangunan kepada Kasie Kesejahteraan Rakyat), maka untuk menggali informasi dari PJOK / Camat dan Lurah dilakukan dengan metode Semi Structured Interview (SSI); 4. Kegiatan FGD Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) tidak dapat dilakukan karena lembaga tersebut tidak aktif / mati suri, tetapi digantikan oleh kegiatan FGD dengan Forum Komunikasi Antar (FKA) BKM Kota Surabaya yang terbentuk sejak pelaksanaan P2KP 1-1 (tahun 1999/2000); C. KOMENTAR LAIN- LAIN (1) Umum 1. Keterlambatan proses pencairan Dana BLM 2 yang bersumber dari APBD Kota Surabaya dikarenakan alokasi anggaran diperuntukkan pembiayaan program (bukan dalam bentuk alokasi anggaran Dana Tunai ke BKM). Semula, kondisi tersebut telah memperoleh persetujuan Pusat (pak Danny / Direktur Bina Program), namun menjelang pelaksanaan kegiatan mengalami penolakan juga dari Pusat (pak Djoessair Lubis / Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan); 2. Keseluruhan proses kegiatan PNPM / P2KP berada dalam kewenangan Bapermas Kota Surabaya, sebagai pelimpahan kewenangan secara kebijakan maupun pengendalian teknis program dari Bappeko Surabaya; 3. Usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis telah diakomodir dalam usulan program kegiatan pembangunan daerah (APBD TA 2009) sebagai bentuk sharing dari Pemerintah Daerah. Akan tetapi sehubungan dengan penolakan Pusat mengenai sharing dalam bentuk program, proses pelaksanaan alokasi BLM tahap 2 menjadi terhambat. Hal tersebut sampai saat ini belum memperoleh keputusan mengenai rencana tindak lanjutnya, apakah Pemko Surabaya akan tetap melakukannya sebagai bagian dari sharing Pemda dalam PNPM / P2KP atau akan dialihkan sebagai bentuk program pembangunan reguler di lingkungan Pemerintah Daerah;

19 19 (2) Kelurahan Kalianak Kec. Asemrowo 1. Didapati indikasi bahwa masyarakat cenderung kurang antusias terhadap PNPM / P2KP karena ada kemungkinan mengalami penggusuran akibat pengembangan kawasan pergudangan industri; 2. Proses penyusunan PJM Pronangkis sudah berjalan partisipatif dan bahkan hasil refleksi kemiskinan digunakan oleh Kelurahan, akan tetapi realisasi BLM PNPM / P2KP mengalami penundaan. Namun demikian, keterlambatan pencairan BLM 2 tidak berpengaruh terhadap antusiasme masyarakat kelompok sasaran PNPM / P2KP. Hal tersebut dikarenakan BKM sudah mampu memprakarsai pengalihan antusiasme masyarakat melalui pengintegrasian kegiatan- kegiatan yang ada dengan NUSSP yang diperuntukkan wilayah tersebut. Melalui upaya tersebut, masyarakat dapat melakukan kegiatan terutama dalam konteks pemberdayaan masyarakat dalam konteks peningkatan kualitas lingkungan (kegiatan fisik); 3. Pemahaman Lurah maupun aparatur Kelurahan mengenai prinsip pelaksanaan PNPM / P2KP relatif masih terbatas. Umumnya hanya memahami bahwa proses penyusunan usulan program dari masyarakat / KSM diakomodir dan disusun dalam Daftar Usulan Program Nangkis oleh BKM; (3) Kelurahan Sambikerep Kec. Sambikerep 1. Proses penyusunan PJM Pronangkis melibatkan BKM maupun masyarakat, namun inisiatif proses pengerjaan dan penyelesaiannya masih dilakukan oleh Fasilitator Kelurahan. Kondisi tersebut menyebabkan sedikitnya pengurus BKM / relawan / non- relawan yang mengerti tentang kegiatan yang disusun dalam dokumen PJM Pronangkis, bahkan ada yang tidak tahu mengenai PJM Pronangkis; 2. Hubungan interaksi di tingkat komunitas cukup berpengaruh terhadap kinerja Fasilitator Kelurahan yang sudah mengalami 2 (dua) kali pergantian personil. Tingkat kehadiran Fasilitator Kelurahan di lokasi pendampingan terhitung sangat rendah dikarenakan tertundanya proses pencairan BLM 2 yang secara teknis sulit dijawab oleh Fasilitator; Surabaya, 21 Juli 2009

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MEDAN TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (3,6% dari

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI GORONTALO TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI GORONTALO TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI GORONTALO TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi Kota Gorontalo terletak di kawasan Teluk

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi Kota Bengkulu merupakan ibukota Propinsi

Lebih terperinci

Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif

Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif 1 Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif (a) Perencanaan Partisipatif disebut sebagai model perencanaan yang menerapkan konsep partisipasi, yaitu pola perencanaan yang melibatkan semua pihak (pelaku)

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI PASURUAN TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI PASURUAN TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI PASURUAN TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi (1.1) Kondisi Geografis PASURUAN termasuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH

BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH 31 BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH 4.1 Kondisi Kemiskinan Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan tidak sematamata didefinisikan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

PROFILE DATA SIM P2KP NAD KMW II

PROFILE DATA SIM P2KP NAD KMW II PROFILE DATA SIM P2KP NAD II U R A I AN 1 INFORMASI UMUM 1.1 Cakupan Wilayah 1.1.1 Jumlah Kota/ Kab 1.1.2 Jumlah Kecamatan 3 1.1.3 Jumlah Kelurahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 1.1.4 Jumlah Lorong/Dusun

Lebih terperinci

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan P2KP UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN Upaya Peningkatan Partisipasi Perempuan UPP 1 dan awal UPP 2 ( 1999 2003), belum ada upaya yang jelas dalam konsepnya

Lebih terperinci

Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : perkotaan yang dilaksanakan di Desa Dagang Kelambir?

Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : perkotaan yang dilaksanakan di Desa Dagang Kelambir? Lampiran Wawancara Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa ukuran kebijakan dalam program penanggulangan kemiskinan di Ukuran dan tujuan kebijakan yang dilakukan dalam program P2KP

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015 RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015 Oleh: BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KABUPATEN MALANG Malang, 30 Mei 2014 Pendahuluan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004

Lebih terperinci

Diskusi Kota Hari Ketiga ( 8 September 2009 ) SURABAYA

Diskusi Kota Hari Ketiga ( 8 September 2009 ) SURABAYA Rekrutmen Cara Penentuan : Lebih banyak pada penunjukkan langsung dari Tomas Ketua KSM, biasanya Tomas, menunjuk anggota-anggotanya Ketua KSM, umumnya kelas menengah ke atas, menerima BLM lebih besar dari

Lebih terperinci

MASTER SCHEDULE 1. PNPM-MANDIRI PERKOTAAN 2011

MASTER SCHEDULE 1. PNPM-MANDIRI PERKOTAAN 2011 MASTER SCHEDULE 1. PNPM-MANDIRI PERKOTAAN 2011 KEGIATAN & SUB-KEGIATAN MILESTONE 1.1. PENDAMPINGAN TINGKAT PEMDA KOTA/ KAB 1.1.1. SERANGKAIAN LOBBY-LOBBY, SILATURAHMI SOSIAL DAN SOSIALISASI AWAL TINGKAT

Lebih terperinci

LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF

LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2010 LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Oktober 2010 P a g e 1 I. LATAR BELAKANG PELAKSANAAN UJI PETIK REVIEW PARTISIPATIF Tinjauan (Review)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

PROFILE DATA SIM P2KP NAD KMW II K E L U R A H A N

PROFILE DATA SIM P2KP NAD KMW II K E L U R A H A N PROFILE DATA SIM P2KP NAD II U R A I AN 1 INFORMASI UMUM 1.1 Cakupan Wilayah 1.1.1 Jumlah Kota/ Kab 1 1.1.2 Jumlah Kecamatan 3 1.1.3 Jumlah Kelurahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 1.1.4 Jumlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI KAJIAN

BAB III METODOLOGI KAJIAN BAB III METODOLOGI KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam menjalankan upaya penanggulangan kemiskinan di wilayah kerjanya, maka Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) membutuhkan suatu kerangka pelaksanaan program

Lebih terperinci

PNPM MANDIRI PERKOTAAN LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010

PNPM MANDIRI PERKOTAAN LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010 PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009-2010 LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010 1. KEGIATAN REVIEW PARTISIPATIF Tinjauan (Review) Partisipatif merupakan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN SUKASARI KOTA BANDUNG

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN SUKASARI KOTA BANDUNG BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN SUKASARI KOTA BANDUNG 2.1 Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Kecamatan Sukasari Kota Bandung 2.1.1 Struktur Organisasi Kecamatan Sukasari Kota Bandung Berdasarkan Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH 2.1. Kondisi Geografis Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia memiliki luas sekitar 326,37 km2 dan secara astronomis terletak di antara 07 21 Lintang

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan P2KP Oleh : Ayi Sugandhi Maret 2009 datanglah kepada masyarakat hiduplah bersama mereka belajarlah

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 18 26 Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur A. Ringkasan Hasil Sangat Sementara Kedua kelurahan ini merupakan sasaran dari program PNPM tahun 2007. Dilihat

Lebih terperinci

PROFIL PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) KABUPATEN ASAHAN

PROFIL PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) KABUPATEN ASAHAN PROFIL PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) KABUPATEN ASAHAN Dulunya, kabupaten Asahan meliputi daerah kabupaten Batu Bara, Pemko Tanjung Balai dan kabupaten Asahan sendiri. Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

Diskusi Kota Hari Ketiga ( 8 September 2009 ) MAKASSAR

Diskusi Kota Hari Ketiga ( 8 September 2009 ) MAKASSAR Sosialisasi Masih ada kawasan yang belum tersentuh sehingga tampak kumuh Masih ada kesimpangsiuran kebijakan dari pusat kepada pelaku PNPM (Faskel) dalam menentukan kegiatan sosial Keterlibatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP

BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP 7.1. STIMULAN P2KP 7.1.1. Tingkat Bantuan Dana BLM untuk Pemugaran Rumah, Perbaikan Fasilitas Umum dan Bantuan Sosial Salah satu indikator keberhasilan P2KP yaitu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk dalam suatu daerah karena hal tersebut merupakan kejadian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Nusa Tenggara Barat a. Peta wilayah Sumber : Pemda NTB Gambar 4. 1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Barat b. Konsisi geografis wilayah Letak dan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN

KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN KAJIAN PERAN PEMERINTAH DALAM PNPM P2KP TIM 7 KAJIAN PERAN PEMDA PT. DWIKARSA ENVACOTAMA KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN 1 KESIMPULAN UMUM KOORDINASI (PP1)!! Koordinasi antar dinas hanya sebatas instansi

Lebih terperinci

hal- ii Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) Tahun Anggaran 2017

hal- ii Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) Tahun Anggaran 2017 DAFTAR ISI Hal. Nota Kesepakatan Daftar Isi i BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 2 1.3. Dasar Hukum... 3 BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 8 2.1. Perkembangan Indikator Ekonomi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 20 BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 3.1. SITUASI GEOGRAFIS Secara geografis, Kota Bogor berada pada posisi diantara 106 derajat 43 30 BT-106 derajat 51 00 BT dan 30 30 LS-6 derajat 41 00 LS, atau kurang

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN Veteran Jawa Timur. Oleh :

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN Veteran Jawa Timur. Oleh : PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ( PNPM ) MANDIRI DI KELURAHAN PETEMON KECAMATAN SAWAHAN KOTA SURABAYA (studi mengenai Pengelola Lingkungan) SKRIPSI Diajukan untuk

Lebih terperinci

LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI JOMBANG I BAB

LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI JOMBANG I BAB LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI JOMBANG 2009-203 I BAB I LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI JOMBANG 2009-203 A. DASAR HUKUM Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Masa Jabatan Bupati dimaksudkan

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA

INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA Pemetaan Swadaya adalah suatu pendekatan parisipatif yang dilakukan masyarakat untuk menilai serta merumuskan sendiri berbagai persoalan yang dihadapi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Kata Pengantar Executive Summary Daftar isi

DAFTAR ISI Kata Pengantar Executive Summary Daftar isi DAFTAR ISI Kata Pengantar i Executive Summary ii Daftar isi vii Daftar Singkatan x Bab 1 Pendahuluan 1 A. Latar belakang masalah 1 B. Maksud dan Tujuan 5 Bab 2 Kegiatan Sosial Dalam P2KP 7 A. Pemikiran

Lebih terperinci

A. Gambaran Umum Daerah

A. Gambaran Umum Daerah Pemerintah Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Daerah K ota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat, terletak di antara 107º Bujur Timur dan 6,55 º

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 10 2015 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 10 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN 39 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Situ Gede Wilayah Kelurahan Situ Gede berada pada ketinggian 250 meter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa Desa Dramaga merupakan salah satu dari sepuluh desa yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Dramaga. Desa ini bukan termasuk desa pesisir karena memiliki

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN KEGIATAN PENDAMPINGAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN DAN PENDAMPINGAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 15 2015 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN SERTA

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN

BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN 38 BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN 5.1 Konsep PNPM Mandiri Perkotaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan merupakan proses pembelajaran

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 91 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur dan merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya mempunyai kedudukan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Bali

Pemerintah Provinsi Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah yang memiliki fungsi sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

10/9/09. September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA. September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA

10/9/09. September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA. September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA September 2009 PT. DWIKARSA ENVACOTAMA 1 A. PROSES DAN METODOLOGI Proses Koordinasi di lapangan SKPD/ TKPKD FASKEL BKM PROP SNVT PROP BAPEDA RELAWAN KORKOT KMW Proses

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah PAPARAN MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BEKASI TAHUN 2014 Bekasi, 18 Maret 2013 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI PENDAHULUAN RENCANA KERJA PEMERINTAH

Lebih terperinci

[Type the company name]

[Type the company name] [Type the company name] user [Pick the date] KATA PENGANTAR R PJM Daerah Kota Pontianak Tahun 2010 2014 merupakan penjabaran dari visi, misi dan program prioritas Walikota Pontianak yang akan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menteri Negara Perumahan Rakyat. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menteri Negara Perumahan Rakyat. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. No.369, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menteri Negara Perumahan Rakyat. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT Nomor 05/PERMEN/M/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

P2KP REALISASI KEGIATAN KMW-02 P2KP UPP-2 ( PNPM KELURAHAN BARU ) Quick Status. Status data: / 04-Mar-08

P2KP REALISASI KEGIATAN KMW-02 P2KP UPP-2 ( PNPM KELURAHAN BARU ) Quick Status. Status data: / 04-Mar-08 : KMW-2 P2KP UPP-2 ( PNPM KELURAHAN BARU ) KMW-2 : PROPINSI 1. PERSIAPAN OLEH KMW s/d 11. PEMANFAATAN BLM TAHAP-2 kel. SEBARAN PROGRES PER TIM-FASILITATOR ( 1 TIM, Kel. ) 9 () Quick Status P2KP Status

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

reciprocal dengan menggalang kemitraan sinergis antara pemerintah,

reciprocal dengan menggalang kemitraan sinergis antara pemerintah, STRATEGI MEMASUKKAN PJM-PRONANGKIS DALAM ALUR PEMBANGUNAN DAERAH Oleh : Sudrajat 1 A. Pendahuluan Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah mendasar yang segera ditangani. Penanggulangan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1.2 LANDASAN HUKUM.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1.2 LANDASAN HUKUM. KATA PENGANTAR Dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah RKPD Kota Semarang, sesuai dengan tahapan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tersebut dalam butir 1 d, disebutkan

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 05/PERMEN/M/2009

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 05/PERMEN/M/2009 MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 05/PERMEN/M/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERUMAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG 4.1. Indikator Kependudukan Kependudukan merupakan suatu permasalahan yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan yang mencakup antara lain mengenai distribusi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 2 Tahun 2008 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MAKASSAR TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MAKASSAR TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MAKASSAR TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Hasil Temuan Lapangan Wawancara semi-struktur dilakukan terhadap Relawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan

Lebih terperinci

SELESAI Pelatihan pra-tugas KMW Rekruitmen Fasilitator Identifikasi lokasi kelurahan sasaran

SELESAI Pelatihan pra-tugas KMW Rekruitmen Fasilitator Identifikasi lokasi kelurahan sasaran KMW-4 P2KP UPP-2 ( PNPM KELURAHAN BARU ) KMW-4 : PROPINSI 1. PERSIAPAN OLEH KMW s/d 11. PEMANFAATAN BLM TAHAP-2 kel. Quick Status SEBARAN PROGRES PER TIM-FASILITATOR ( 8 TIM, Kel. ) P2KP Status data: 1-28

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

STRATEGI PENANGANAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN MALANG Melalui : PROGRAM KEMITRAAN & GOTONG ROYONG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN

STRATEGI PENANGANAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN MALANG Melalui : PROGRAM KEMITRAAN & GOTONG ROYONG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN PEMERINTAH KABUPATEN MALANG STRATEGI PENANGANAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN MALANG Melalui : PROGRAM KEMITRAAN & GOTONG ROYONG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN Oleh : H. SUJUD PRIBADI Bupati Malang

Lebih terperinci

LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009

LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009 LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009 KEGIATAN PENGELOLAAN DANA BLM Dana BLM merupakan dukungan dana stimulan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM 51 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis 1. Keadaan Alam Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07 o 44 04 08 o 00 27 Lintang Selatan dan 110 o 12 34 110 o 31 08 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci