5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku"

Transkripsi

1 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku Produksi dan tingkat utilisasi Berdasarkan komoditas yang diolah, unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) unit pengolahan ikan yang mengolah satu jenis komoditas tertentu, dan (2) unit pengolahan ikan yang mengolah berbagai jenis komoditas atau multi komoditas. Dari 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian, 25 unit diantaranya hanya mengolah komoditas udang, tujuh unit hanya mengolah tuna dan sejenisnya (swordfish, meka, marlin), satu unit hanya mengolah ikan nila, dua unit hanya mengolah ikan layur, dua unit hanya mengolah kepiting, empat unit mengolah ikan-ikan demersal (beloso, tiga waja, dll) menjadi surimi beku dan 28 unit mengolah berbagai komoditas (kakap merah, cumi, sotong, gurita, ikan nila, patin, tuna, paha kodok, lobster, udang, tuna, dll.). Kapasitas produksi seluruh unit pengolahan ikan tersebut adalah 892,3 ton perhari, namun realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 rata-rata sebesar 503,9 ton perhari. Dengan demikian, tingkat utilisasi yang dicapai pada tahun itu adalah 56,47%, sehingga terdapat kapasitas terbuang (idle capacity) sebesar 43,53%. Tingkat utilisasi tertinggi dicapai oleh unit pengolahan ikan nila beku yakni 87,10%, diikuti oleh unit pengolahan ikan layur beku (71,43%), unit pengolahan udang beku (63,45%), unit pengolahan tuna beku (51,97%), unit pengolahan multi komoditas (51,04%), unit pengolahan surimi beku (36,58%) dan unit pengolahan kepiting beku (8,57%). Apabila dilihat secara spasial menurut provinsi, terlihat bahwa tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Jawa Timur merupakan tertinggi yaitu mencapai 64,27%. DKI Jakarta menempati urutan kedua, yakni 50,05%, disusul Jawa Tengah (44,92%), Jawa Barat (44,07%) dan Banten (41,67%). Informasi yang lebih detail mengenai produksi dan tingkat utilisasi beberapa unit pengolahan ikan tersebut di atas adalah sebagai berikut :

2 100 Tabel 16 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006 No Provinsi Komoditas yg diolah Jumlah UPI (unit) Kapasitas produksi (ton/hari) Realisasi produksi (ton/hari) Tingkat utilisasi (%) 1 Banten Multi komoditas 1 6,0 2,5 41,67 2 Jawa Barat Udang 2 9,0 4,5 50,00 Multi komoditas 7 47,5 20,4 42,95 Sub jumlah 9 56,5 24,9 44,07 3 DKI Jakarta Udang 5 37,0 20,8 56,22 Tuna dan sejenisnya 5 51,0 23,8 46,67 Multi komoditas 7 99,0 49,0 49,49 Sub jumlah ,0 93,6 50,05 4 Jawa Tengah Udang 3 13,1 4,8 36,26 Nila 1 31,0 27,0 87,10 Multi komoditas 2 17,0 3,8 22,35 Ikan demersal 4 95,0 34,8 36,58 Kepiting 1 0,5 0,05 10,00 Sub jumlah ,6 70,4 44,92 5 Jawa Timur Udang ,0 147,7 66,82 Tuna dan sejenisnya 2 12,5 9,2 73,60 Multi komoditas ,7 95,4 57,56 Kepiting 1 3,0 0,3 8,33 Layur 2 84,0 60,0 71,43 Sub jumlah ,2 312,5 64,27 Seluruh Udang ,1 177,7 63,45 Pulau Jawa Tuna dan sejenisnya 7 63,5 33,0 51,97 Multi komoditas ,2 171,1 51,04 Nila 1 31,0 27,0 87,10 Kepiting 2 3,5 0,3 8,57 Layur 2 84,0 60,0 71,43 Ikan demersal 4 95,0 34,8 36,58 Jumlah ,3 503,9 56,47 Keterangan : Multi komoditas : kakap merah, cumi, kerapu, sotong, gurita, nila, patin, tuna, paha kodok, dll. Tuna dan sejenisnya : tuna, swordfish, meka, marlin, dll. 1) Unit pengolahan udang beku Unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa yang saat ini masih aktif beroperasi dan bersedia menjadi sampel penelitian berjumlah 25 unit, masing-masing dua unit berada di Jawa Barat, lima unit di DKI Jakarta, tiga unit di Jawa Tengah dan 15 unit di Jawa Timur. Status perusahaan dari unit pengolahan udang beku tersebut

3 101 adalah sembilan unit berstatus swasta nasional, 11 unit berstatus PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan lima unit berstatus PMA (Penanaman Modal Asing). Unit pengolahan udang beku berstatus PMA pada umumnya mengolah produk bernilai tambah tinggi seperti frozen breaded shrimp dan frozen sushi ebi. Berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia, kapasitas produksi 25 unit pengolahan udang beku itu adalah sebesar 280,1 ton perhari. Namun karena kelangkaan bahan baku, realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 adalah rata-rata sebesar 177,7 ton perhari, sehingga tingkat utilisasi yang dicapai adalah 63,45%. Dengan demikian, pada unit pengolahan udang beku terdapat idle capacity sebesar 36,55%. Tingkat utilisasi tertinggi dicapai oleh unit pengolahan udang beku di Jawa Timur, yakni sebesar 66,82%, diikuti oleh DKI Jakarta (56,22%), Jawa Barat (50%) dan Jawa Tengah (36,26%). Tabel 17 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa, 2006 No Provinsi Kapasitas Realisasi Tingkat Jumlah Status produksi produksi utilisasi (unit) perusahaan (ton/hari) (ton/hari) (%) 1 Jawa Barat 2 2 SN 9,0 4,5 50,00 2 DKI Jakarta 5 3 PMDN 37,0 20,8 56,22 2 PMA 3 Jawa Tengah 3 2 SN 13,1 4,8 36,26 1 PMA 4 Jawa Timur 15 5 SN 221,0 147,7 66,82 8 PMDN 2 PMA Jumlah ,1 177,7 63,45 Keterangan : SN = Swasta Nasional 2) Unit pengolahan tuna beku Unit pengolahan ikan yang khusus mengolah tuna dan sejenisnya berjumlah tujuh unit, masing-masing lima unit berada di DKI Jakarta dan dua unit di Jawa Timur. Empat dari tujuh unit pengolahan ikan tersebut berstatus swasta nasional, satu unit berstatus PMDN dan dua unit berstatus PMA.

4 102 Pada Tabel 18 terlihat bahwa kapasitas produksi tujuh unit pengolahan tuna beku itu adalah sebesar 63,5 ton perhari, namun realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 rata-rata hanya 33 ton perhari atau 51,97% dari kapasitas terpasang. Dengan demikian, pada unit pengolahan tuna beku terdapat idle capacity sebesar 48,03%. Tingkat utilisasi yang dicapai oleh unit pengolahan tuna beku di Jawa Timur adalah 73,60%, sedangkan di DKI Jakarta hanya 46,67%. No Tabel 18 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan tuna beku di Pulau Jawa, 2006 Provinsi Jumlah (unit) Status perusahaan 1 DKI Jakarta 5 3 SN 1 PMDN 1 PMA 2 Jawa Timur 2 1 SN 1 PMA Kapasitas produksi (ton/hari) Realisasi produksi (ton/hari) Tingkat utilisasi (%) 51,0 23,8 46,67 12,5 9,2 73,60 Jumlah 7 63,5 33,0 51,97 3) Unit pengolahan multi komoditas Unit pengolahan ikan yang mengolah berbagai komoditas atau multi komoditas berkembang pesat belakangan ini. Dari 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian, 28 unit diantaranya mengolah berbagai jenis komoditas seperti kakap merah, cumi-cumi, sotong, gurita, nila, patin, bandeng, lemuru, paha kodok, dll. Distribusi unit pengolahan tersebut adalah satu unit berada di Banten, tujuh unit di Jawa Barat, tujuh unit di DKI Jakarta, dua unit di Jawa Tengah dan 11 unit di Jawa Timur. Pengolahan ikan multi komoditas ternyata juga diminati oleh investor asing, terutama dari Korea Selatan, terlihat dari tiga unit yang berstatus PMA, masingmasing berada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kaitannya dengan tingkat utilisasi, terlihat bahwa unit pengolahan ikan di Jawa Timur menduduki peringkat teratas (57,56%), diikuti DKI Jakarta (49,49%), Jawa Barat (42,95%), Banten (41,67%) dan Jawa Tengah (22,35%).

5 103 Tabel 19 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan multi komoditas di Pulau Jawa, 2006 No Provinsi Kapasitas Realisasi Tingkat Jumlah Status produksi produksi utilisasi (unit) perusahaan (ton/hari) (ton/hari) (%) 1 Banten 1 1 SN 6,0 2,5 41,67 2 Jawa Barat 7 1 SN 5 PMDN 1 PMA 47,5 20,4 42,95 3 DKI Jakarta 7 7 SN 99,0 49,0 49,49 4 Jawa Tengah 2 1 PMDN 17,0 3,8 22,35 1 PMA 5 Jawa Timur 11 3 SN 165,7 95,4 57,56 7 PMDN 1 PMA Jumlah ,2 171,1 51,04 4) Unit pengolahan surimi beku Unit pengolahan ikan yang khusus mengolah ikan-ikan demersal menjadi surimi beku berjumlah empat unit, semuanya berada di Jawa Tengah. Dari empat unit pengolahan tersebut, tiga diantaranya bertatus PMA (Korea Selatan) dan satu unit berstatus swasta nasional. Industri ini mulai berkembang sejak tahun 2003 dan bertambah satu unit setiap tahunnya, hingga berjumlah empat unit pada tahun Namun sayangnya ke empat unit pengolahan dimaksud berada di lokasi yang hampir berdekatan dan mengandalkan pasokan bahan baku dari lokasi yang sama, yaitu Pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dampaknya persaingan dalam pengadaan bahan baku menjadi ketat dan hal ini menyebabkan tingkat utilisasi yang dicapai hanya sebesar 36,58% dari kapasitas produksi sebesar 95 ton perhari Diversifikasi dan nilai tambah produk Sumberdaya ikan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) hewan kulit keras (crustaceans), (2) hewan lunak (molluscs), (3) ikan (fishes), dan (4) hewan air lainnya (other aquatic animals). Kelompok hewan kulit keras meliputi beberapa jenis udang (shrimp), udang barong (lobster) dan kepiting (crab).

6 104 Sedangkan kelompok hewan lunak meliputi cumi-cumi (squid), sotong (cuttlefish) dan gurita (octopus). Kelompok ikan meliputi ikan tuna (yellowfin tuna, bigeye tuna, albacore), setuhuk (marlin), ikan pedang (swordfish), meka, remang (yellow pike eel), kakap merah (red snapper), layur (hairtails), ikan nila (tilapia), kurisi (ornate treadfin bream), ikan leather jacket, ribbonfish, ikan sebelah (indian halibut), lemuru (bali sardinella), tengiri (spanish mackerel), cakalang (skipjack tuna), lemadang (common dolphin fish/oil fish), cucut (shark), bandeng (milkfish), lele (walking catfish), patin (catfish), kuniran (sulphur goatfish), swanggi (purple-spotted) dan ikan-ikan demersal seperti tiga waja, biji nangka dan beloso. Sedangkan dari kelompok hewan air lainnya adalah katak (frog). Berikut ini diuraikan diversifikasi produk dan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan masing-masing kelompok sumberdaya ikan tersebut di atas : 1) Hewan kulit keras (crustaceans) Seperti telah diuraikan di atas bahwa hewan kulit keras yang diolah oleh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa terdiri atas beberapa jenis udang (udang windu, udang putih dan udang vanamei), udang barong (lobster) dan kepiting. Berdasarkan cara pembekuannya, produk udang beku dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu udang beku blok (block frozen shrimp) dan udang beku individual (individual quick frozen/iqf shrimp). Pada awalnya, produk udang beku blok hanya ada dua jenis, yaitu block frozen head-less shrimp dan block frozen head-on shrimp. Namun sekarang telah berkembang menjadi delapan jenis produk, meliputi : (1) block frozen head-less shrimp, (2) block frozen head-on shrimp, (3) block frozen peeled & devined (PD) shrimp, (4) block frozen PDTO (peeled & devined tail-on) shrimp, (5) block frozen eazy peeled shrimp, (6) block frozen blancing/cooked shrimp, (7) block frozen peeled undevined (PUD) shrimp, dan (8) block frozen cooked & peeled undevined shrimp. Perkembangan ini merupakan tuntutan pasar internasional, terutama Jepang, yang menghendaki produk dengan bentuk dan perlakuan yang beragam. Sementara itu, pengembangan produk udang beku individual ditujukan untuk memenuhi tren permintaan pasar yang mengarah kepada produk-produk siap

7 105 saji/dimakan (ready to serve/eat products) yang dikemas dalam bentuk consumer pack. Saat ini produk udang beku individual yang telah berkembang ada tujuh jenis, yaitu : (1) frozen breaded shrimp, (2) IQF peeled & devined shrimp, (3) frozen nobashi ebi, (4) IQF peeled tail-on shrimp, (5) IQF head-less shrimp, (6) semi IQF head-on shrimp, dan (7) IQF cooked shrimp. Pada Tabel 20 terlihat bahwa sebagian besar unit pengolahan ikan mengolah produk konvensional, yakni block frozen head-less shrimp. Produk lain yang sudah cukup berkembang adalah block frozen peeled & devined shrimp, frozen breaded shrimp dan IQF peeled & devined shrimp, yang masing-masing dihasilkan oleh tujuh unit pengolahan ikan. Produk block frozen head-on shrimp diproduksi oleh empat unit pengolahan ikan, sedangkan produk lainnya hanya diproduksi oleh satu sampai tiga unit pengolahan ikan. Pada Tabel 20 juga dapat dilihat bahwa secara umum, nilai tambah produk udang beku individual lebih tinggi bila dibandingkan dengan produk udang beku blok. Lima dari tujuh jenis produk udang beku individual bernilai tambah di atas 30%, sedangkan yang lain yakni produk IQF peeled & devined shrimp bernilai tambah 23,31% dan produk semi IQF head-on shrimp bernilai tambah 22,27%. Jika dilihat secara keseluruhan, tiga jenis produk udang beku yang nilai tambahnya tertinggi adalah frozen breaded shrimp (37,70%), frozen nobashi ebi (36,54%) dan IQF head-less shrimp (35,33%). Sedangkan tiga jenis yang terendah adalah block frozen cooked & peeled undevined shrimp (16,27%), block frozen headless shrimp (16,60%) dan block frozen head-on shrimp (18,41%). Lain halnya dengan komoditas udang yang telah diolah menjadi berbagai macam produk, diversifikasi olahan komoditas lobster dan kepiting dapat dikatakan tidak ada. Sampai saat ini, lobster hanya diolah menjadi produk lobster beku utuh (frozen lobster), sedangkan kepiting diolah menjadi produk frozen soft shell crab dan frozen crab white body meat. Nilai tambah ketiga jenis produk tersebut tergolong tinggi, yakni 52,54% untuk produk frozen lobster; 44,19% untuk produk frozen soft shell crab dan 46,64% untuk produk frozen crab white body meat.

8 106 No Tabel 20 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan kulit keras (crustaceans), 2006 Jenis komoditas/nama produk Produsen/ UPI (unit) Nilai tambah rata-rata (%) 1 Udang Block frozen head-less shrimp 22 16,60 Block frozen head-on shrimp 4 18,41 Block frozen PD shrimp 7 24,09 Block frozen PDTO shrimp 3 18,52 Block frozen eazy peeled shrimp 2 28,46 Block frozen blancing/cooked shrimp 1 30,07 Block frozen PUD shrimp 1 26,08 Block frozen cooked & PUD shrimp 1 16,27 Frozen breaded shrimp 7 37,70 IQF PD shrimp 7 23,31 Frozen nobashi ebi 2 36,54 IQF peeled tail-on shrimp 2 30,71 IQF head-less shrimp 2 35,33 Semi IQF head-on shrimp 1 22,27 IQF cooked shrimp 3 32,92 2 Udang barong Frozen lobster 3 52,54 3 Kepiting Frozen soft shell crab 1 44,19 Frozen crab white body meat 1 46,64 Keterangan : - UPI = Unit Pengolahan Ikan - PD = Peeled & devined - PDTO = Peeled & devined tail-on - PUD = Peeled undevined - IQF = Individual Quick Freezing 2) Hewan lunak (molluscs) Usaha pengolahan binatang lunak (cumi-cumi, sotong dan gurita) belum berkembang di Pulau Jawa dan tidak ada unit pengolahan ikan yang secara khusus mengolah komoditas tersebut. Pada saat dilakukan penelitian, hanya satu unit yang mengolah cumi-cumi, dua unit yang mengolah sotong dan dua unit yang mengolah gurita. Padahal potensi sumber bahan bakunya cukup melimpah di Indonesia dan peluang pasar ekspornya masih terbuka. Selama periode , produksi cumi-cumi mengalami peningkatan ratarata sebesar 10,54% per tahun, yakni dari ton pada tahun 1995 menjadi

9 107 ton pada tahun Pada periode yang sama, produksi sotong mengalami pertumbuhan rata-rata 13,01% per tahun, yaitu dari ton menjadi ton. Sedangkan produksi gurita meningkat rata-rata 33,10% per tahun, yakni dari 664 ton menjadi ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Sehubungan dengan belum berkembangnya industri pengolahan cumi-cumi, sotong dan gurita, diversifikasi olahan komoditas tersebut juga belum berkembang. Cumi-cumi hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round squid), sotong juga hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round cuttlefish), sedangkan gurita diolah menjadi produk utuh dan produk tanpa kepala (frozen whole round octopus dan frozen whole gutted octopus). Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan produk frozen whole round squid dan frozen whole round cuttlefish tidak besar, yaitu 17,95% dan 24,37%. Sementara itu, nilai tambah kedua produk olahan gurita lebih besar, yakni masing-masing 30,03% dan 35,69%. Tabel 21 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan lunak (molluscs), 2006 No Jenis komoditas/ Produsen/ Nilai tambah nama produk UPI (unit) rata-rata (%) 1 Cumi-cumi Frozen whole round squid 1 17,95 2 Sotong Frozen whole round cuttlefish 2 24,37 3 Gurita Frozen whole round octopus 1 30,03 Frozen whole gutted octopus 2 35,69 3) Ikan (fishes) Dalam uraian ini, ikan (fishes) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikan tuna dan sejenisnya, ikan kakap merah dan ikan nila, serta ikan lainnya. Industri pengolahan tuna beku di Pulau Jawa telah berkembang cukup lama, yaitu sekitar 25 tahun yang lalu. Pada saat itu, usaha penangkapan tuna dengan long-liner yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta dan di Pelabuhan Benoa Bali berkembang dengan pesat. Namun dalam perkembangannya, beberapa unit

10 108 pengolahan tuna beku berhenti beroperasi karena tidak memperoleh pasokan bahan baku, sebagai dampak menurunnya pendaratan ikan tuna di dua pelabuhan tersebut. Diversifikasi produk olahan tuna beku sudah cukup berkembang, yakni ada lima jenis, meliputi : frozen whole round tuna, frozen loin tuna, frozen DWT (dressed without tail) tuna, frozen saku tuna, dan frozen steak tuna. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa seluruh unit pengolahan ikan yang mengolah tuna beku menghasilkan produk frozen loin tuna. Pada tabel 22 terlihat bahwa produk olahan tuna beku yang paling tinggi nilai tambahnya adalah frozen saku tuna yakni 35,34%, diikuti oleh frozen steak tuna (34,28%), frozen loin tuna (24,33%), frozen DWT tuna (23,94%), dan frozen whole round tuna (16,69%). No Tabel 22 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan tuna dan sejenisnya, 2006 Jenis komoditas/nama produk Produsen/ UPI (unit) Nilai tambah rata-rata (%) 1 Tuna (yellowfin tuna, bigeye tuna, albacore) Frozen whole round tuna 3 16,69 Frozen loin tuna 13 24,33 Frozen DWT tuna 1 23,94 Frozen saku tuna 2 35,34 Frozen steak tuna 2 34,28 2 Setuhuk (marlin) Frozen loin marlin 3 17,36 3 Ikan Pedang (swordfish) Frozen DWT swordfish 1 9,78 Frozen loin swordfish 1 14,76 4 Meka Frozen DWT meka 1 17,08 5 Cakalang (skipjack) Frozen whole round skipjack 1 26,70 Diversifikasi produk olahan ikan sejenis tuna (marlin, swordfish dan meka) hampir sama dengan diversifikasi olahan ikan tuna, yakni loin dan DWT. Hal ini karena produk-produk tersebut merupakan subtitusi produk olahan tuna. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ikan sejenis tuna relatif rendah (dibawah 18%), karena nilai jual produk-produk tersebut juga rendah. Sementara itu, ikan cakalang

11 109 meskipun hanya diolah dalam bentuk utuh (frozen skipjack whole round) nilai tambahnya mencapai 26,70%. Diversifikasi produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila adalah sama, karena perdagangan ikan nila di pasar dunia merupakan substitusi terhadap ikan kakap merah yang produksinya semakin menurun. Saat ini tercatat ada empat jenis produk olahan ikan kakap merah atau nila, yaitu : frozen whole round, frozen fillet dan frozen WGGS (whole, gilled, gutted and scalled). Pada Tabel 23 terlihat bahwa untuk produk yang sama, nilai tambah produk olahan ikan nila lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kakap merah. Jika dilihat per jenis produk, diketahui bahwa produk fillet bernilai tambah paling tinggi, diikuti produk WGGS dan produk utuh. Tabel 23 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila, 2006 No Jenis komoditas/nama produk Produsen/ UPI (unit) Nilai tambah rata-rata (%) 1 Kakap merah Frozen whole round red snapper 1 15,48 Frozen fillet red snapper 9 26,54 Frozen WGGS red snapper 2 22,30 2 Ikan nila Frozen whole round tilapia 1 24,52 Frozen fillet tilapia 1 32,81 Frozen WGGS tilapia 1 28,38 Sementara itu, diversifikasi olahan komoditas yang dikelompokkan sebagai ikan lainnya hampir tidak ada, karena ikan-ikan tersebut pada umumnya diolah dalam bentuk utuh (Tabel 24). Diversifikasi pengolahan terjadi hanya terhadap jenis-jenis ikan demersal yang diolah menjadi surimi beku, yaitu produk setengah jadi (intermediate product) yang merupakan bahan baku produk-produk jelli ikan (fish jelly products) seperti bakso ikan, fish nugget, fish finger dan sebagainya. Nilai tambah produk olahan jenis-jenis ikan ini sangat beragam, yang tertinggi adalah produk kurisi beku (frozen ornate treadfin bream) yakni 40,11%, sedangkan yang terendah adalah frozen loin oil fish yaitu 8,58%. Perbedaan nilai tambah tidak diketahui secara jelas, namun diperkirakan tergantung dari jenis ikan yang diolah.

12 110 Tabel 24 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan lainnya, 2006 No Nama produk Produsen/ Nilai tambah UPI (unit) rata-rata (%) 1 Frozen whole round hairtail 12 32,84 2 Frozen yellow pike eel 2 35,36 3 Frozen bream 1 32,01 4 Frozen leather jacket 1 28,88 5 Frozen ribbon fish 2 20,51 6 Frozen indian halibut 2 20,19 7 Frozen whole round ornate treadfin bream 1 40,11 8 Frozen bali sardinella 3 35,62 9 Frozen steak spanish mackerel 2 36,24 10 Frozen loin oil fish 1 8,58 11 Frozen steak shark 1 19,44 12 Frozen milkfish 1 34,50 13 Frozen whole round walking catfish 1 36,97 14 Frozen fillet catfish 1 21,46 15 Frozen whole round sulphur goatfish 1 31,58 16 Frozen purple-spotted 1 32,32 17 Frozen surimi 5 26,87 4) Hewan air lainnya Hewan air lainnya yang dimanfaatkan oleh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa adalah kodok (katak), yang diolah menjadi produk frozen froglegs. Dari empat unit pengolahan ikan yang memproduksi produk tersebut, diperoleh informasi bahwa nilai tambah produk tersebut rata-rata adalah sebesar 33,24% Pemasaran produk Seluruh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa berorientasi pasar ekspor, sehingga hampir seluruh hasil produksinya diekspor ke manca negara. Pemasaran produk ke pasar domestik dilakukan hanya terhadap produk-produk yang tidak memenuhi standar mutu ekspor dan jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 5%. Negara tujuan ekspor yang utama adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun belakangan ini, meskipun dalam jumlah yang masih sangat sedikit, beberapa unit pengolahan ikan telah mulai melakukan diversifikasi pemasaran ke negara/ kawasan potensial, seperti Korea Selatan, RRC, Australia dan Timur Tengah.

13 111 Selama periode , volume ekspor 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian mengalami peningkatan rata-rata sebesar 24,58% per tahun, yaitu dari ton menjadi ton. Sedangkan nilainya meningkat ratarata 17,73% per tahun, yakni dari US $ 212,913 juta menjadi US $ juta. Peningkatan volume dan nilai ekspor yg cukup besar tersebut ternyata tidak diikuti oleh peningkatan harga rata-rata, yang meningkat hanya sebesar 1,24% per tahun. Jika dilihat per komoditas, peningkatan volume ekspor tertinggi dicapai oleh komoditas hewan lunak (cumi-cumi, sotong dan gurita) yakni 212,33% per tahun, diikuti oleh udang yang meningkat rata-rata 35,08% per tahun, ikan lainnya 20,33% per tahun, tuna dan sejenisnya 7,92% per tahun serta komoditas lainnya 7,39%. Sedangkan menurut nilai, peningkatan ekspor tertinggi juga dicapai oleh komoditas binatang lunak (281,78%), diikuti komoditas ikan lainnya (25,68%), udang (19,77%) dan komoditas lainnya (14,65%). Sementara itu, nilai ekspor komoditas tuna dan sejenisnya mengalami penurunan dengan laju rata-rata sebesar -1,18% per tahun. Jika dilihat pada periode , secara keseluruhan terjadi penurunan ekspor yang cukup besar, yakni 4,79% dalam volume dan 8,78% dalam nilai. Penurunan volume ekspor tertinggi terjadi pada komoditas tuna dan sejenisnya, yakni 32,81%, diikuti komoditas cumi-cumi, sotong dan gurita sebesar 15,33%, dan ikan lainnya sebesar 4,34%. Sedangkan udang dan komoditas lainnya mengalami kenaikan, masingmasing sebesar 0,70% dan 7,11%. Sementara itu, penurunan nilai ekspor tertinggi terjadi pada komoditas tuna dan sejenisnya yakni sebesar 29,40%, diikuti cumi-cumi, sotong dan gurita sebesar 13,30%, udang sebesar 9,72% dan ikan lainnya sebesar 0,78%. Sedangkan nilai ekspor komoditas lainnya meningkat sebesar 74,91%. Dari sisi tujuan ekspor, terlihat bahwa diversifikasi pemasaran produk olahan udang beku nampaknya belum berkembang, karena tujuan ekspor produk tersebut masih ke pasar tertentu saja yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ekspor ke negara lain, yakni RRC dan Hongkong, hanya dilakukan terhadap produk udang utuh beku (frozen head-on shrimp) dan itupun dalam volume yang sangat kecil. Ekspor produk olahan hewan kulit keras (crustaceans) lainnya, yakni lobster beku dan kepiting beku juga ditujukan ke pasar tersebut.

14 112 Tabel 25 Perkembangan ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, Perubahan (%) No Komoditas Udang Volume (ton) ,70 35,08 Nilai (US $ 1000) ,72 19,77 2 Tuna dan sejenisnya Volume (ton) ,81 7,92 Nilai (US $ 1000) ,40-1,18 3 Ikan lainnya Volume (ton) ,34 20,33 Nilai (US $ 1000) ,78 25,68 4 Cumi, sotong & gurita Volume (ton) ,33 212,33 Nilai (US $ 1000) ,30 281,78 5 Komoditas lainnya Volume (ton) ,11 7,39 Nilai (US $ 1000) ,91 14,65 Jumlah Volume (ton) ,79 24,58 Nilai (US $ 1000) ,78 17,73 Harga rata2 (US$/kg) 5,90 6,49 4,67 5,93 5,69-4,05 1,24 Keterangan : Tuna dan sejenisnya = tuna, swordfish, marlin, meka dan cakalang Ikan lainnya = kakap merah, nila, remang, layur, kurisi, ikan leather jacket, ribbonfish, ikan sebelah, lemuru, tengiri, lemadang, cucut, bandeng, lele, patin, kuniran dan swanggi Komoditas lainnya = lobster, paha katak, surimi. Kondisi yang hampir sama juga terjadi dalam pemasaran produk olahan hewan lunak (molluscs), dimana Jepang dan Uni Eropa merupakan tujuan ekspor utama produk olahan cumi-cumi, sotong dan gurita. Selain diekspor kedua negara tersebut, gurita juga diekspor ke Amerika Serikat. Diversifikasi pemasaran yang sudah cukup berkembang terjadi pada ekspor produk olahan ikan tuna dan sejenisnya. Selain diekspor ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, produk ini diekspor pula

15 113 ke beberapa pasar potensial, yaitu Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Australia, Afrika dan Timur Tengah. Pemasaran ekspor produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila pada umumnya hanya ditujukan ke Amerika Serikat dan Uni Eropa, hanya produk kakap merah utuh beku yang diekspor ke negara lain yakni RRC. Sementara itu, pemasaran produk olahan ikan lainnya agak spesifik karena produk olahan dari jenis ikan tertentu diekspor ke negara tertentu pula. Sebagai contoh, produk olahan ikan patin hanya ditujukan ke pasar Amerika Serikat; produk-produk olahan dari beberapa jenis ikan yang selama ini tidak diekspor, seperti cunang-cunang (remang), ikan sebelah, ikan ayam-ayam, kurisi, dan swanggi hanya diekspor ke RRC; dan produk olahan lemuru hanya ditujukan ke pasar Australia. Produk olahan yang cukup terdiversifikasi pasarnya adalah ikan layur beku dan surimi beku. Produk ikan layur beku diekspor ke RRC, Korea Selatan, Jepang dan Australia, sedangkan tujuan ekspor surimi beku adalah Jepang, Singapura, Korea Selatan Volume (ton) Udang Tuna Ikan lainnya Cumi, sotong & gurita Komoditas lainnya Total Gambar 12 Volume ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian,

16 114 Nilai (US$ Ribu) Udang Tuna Ikan lainnya Cumi, sotong & gurita Komoditas lainnya Total Gambar 13 Nilai ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian secara keseluruhan berjumlah orang, terdiri atas orang lakilaki dan orang perempuan. Berdasarkan jenis pekerjaan, terlihat bahwa 90,24% atau orang bekerja pada bidang pengolahan, sedangkan sisanya yakni 9,76% atau orang bekerja pada bidang administrasi (Tabel 26). Pada tabel itu juga terlihat bahwa secara keseluruhan, setiap unit pengolahan ikan rata-rata menyerap tenaga kerja sebanyak 314 orang, terdiri atas 96 orang laki-laki dan 218 orang perempuan. Dari 315 orang tersebut, 284 orang diantaranya bekerja pada bidang pengolahan dan 31 orang pada bidang administrasi. Apabila dilihat tingkat penyerapan tenaga kerja per satuan produksi, diketahui bahwa untuk mengolah satu ton bahan baku diperlukan input tenaga kerja sebanyak 43 orang, meliputi 30 orang perempuan dan 13 orang laki-laki. Mereka bekerja pada bidang pengolahan sebanyak 39 orang dan pada bidang administrasi sebanyak empat orang. Dengan demikian, apabila seluruh unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian dapat beroperasi sesuai kapasitas terpasang, yaitu 892,3 ton per hari, maka tenaga kerja yang akan diserap diperkirakan mencapai orang.

17 115 Tabel 26 Penyerapan tenaga kerja unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006 Jumlah Produksi Karyawan (orang) No Komoditas UPI (ton/ Laki-laki Perempuan Jumlah (unit) hari) Pengol. Adm Jumlah Pengol. Adm Jumlah total 1 Udang , Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Tuna dan sejenisnya Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Multi komoditas , Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Nila Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Kepiting 2 0, Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Layur Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Ikan demersal 4 34, Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku Jumlah , Rata-rata per UPI Rata-rata per ton bahan baku

18 116 Jika dilihat berdasarkan komoditas, unit pengolahan udang beku menyerap tenaga kerja paling banyak yaitu 456 orang per UPI (unit pengolahan ikan). Selanjutnya, berturut-turut unit pengolahan nila beku 298 orang per UPI, unit pengolahan multi komoditas beku 296 orang per UPI, unit pengolahan layur beku 288 orang per UPI, unit pengolahan surimi beku 162 orang per UPI, unit pengolahan tuna beku 57 orang per UPI, dan unit pengolahan kepiting beku 42 orang per UPI. Sementara itu, jika dihitung berdasarkan satuan produksi, diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja per satu ton bahan baku masing-masing komoditas adalah : kepiting 240 orang, udang 63 orang, multi komoditas 49 orang, ikan demersal 18 orang, tuna dan sejenisnya 12 orang, nila 11 orang, dan layur 10 orang. 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima Hasil analisis kriteria produk perikanan prima Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa produk perikanan prima didiskripsikan sebagai produk perikanan yang mempunyai tiga kriteria, yaitu : (1) bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, (2) bernilai tambah tinggi, dan (3) berdaya saing tinggi. Dari hasil analisis dengan menggunakan SEM sebagaimana disajikan pada Tabel 27, diketahui bahwa seluruh peubah berbeda nyata pada taraf 1 %. Kriteria produk perikanan prima yang paling kuat adalah daya saing, selanjutnya nilai tambah dan yang paling lemah adalah mutu dan keamanan produk. Tabel 27 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima, 2006 (n = 69) No. Kriteria produk perikanan prima Koefisien Nilai t Keterangan 1 Mutu dan keamanan (Y 1 ) 0,055 7,857 BN 2 Nilai tambah (Y 2 ) 0,210 30,000 BN 3 Daya saing (Y 3 ) 0,355 50,714 BN Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1% Faktor-faktor penentu produk perikanan prima Dari hasil analisis SEM diketahui bahwa seluruh faktor penentu produk perikanan prima berbeda nyata pada taraf 1 %. Faktor yang paling besar peranannya

19 117 adalah orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation), diikuti oleh kebijakan publik (public policy) dan kompetensi sumberdaya manusia (human resources competency). Tabel 28 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima, 2006 (n = 69) Faktor penentu Koefisien Nilai t Keterangan X 1 (kebijakan publik) 0,385 55,000 BN X 2 (orientasi kewirausahaan) 0,564 80,571 BN X 3 (kompetensi SDM) 0,379 54,143 BN Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1% Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima menunjukkan bahwa seluruh peubah berbeda nyata pada taraf 1% (Tabel 30). Pada faktor kebijakan publik, dukungan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan kebijakan publik memiliki pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain berdasarkan urutan pengaruhnya adalah : kelengkapan dan kebenaran informasi dalam perumusan kebijakan, dukungan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan, rasionalitas tujuan dan alasan diadakannya kebijakan, legitimasi kebijakan yang digulirkan, kerealistisan asumsi dalam perumusan kebijakan, advokatif tidaknya apabila terjadi perbedaan di lapangan dalam pelaksanaan kebijakan, kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kebijakan, ekspektasi masyarakat terhadap tujuan kebijakan, dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan, dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan kebijakan, sosialisasi tentang manfaat kebijakan kepada masyarakat, antisipatif tidaknya terhadap perubahan dalam pelaksanaan kebijakan, partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan, kepatuhan aparat Dinas Kelautan dan Perikanan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan, dan kepatuhan aparat DKP terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan. Pada faktor orientasi kewirausahaan, tindakan kompetitif memiliki pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain dalam faktor ini berdasarkan urutan pengaruhnya adalah jenis-jenis produk baru, teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan, keberanian

20 118 Tabel 29 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, 2006 (n = 69) No Faktor-faktor yang mempengaruhi Koefisierangan Kete- Nilai t produk perikanan prima 1. Kebijakan publik (X 1 ) a Tujuan atau alasan rasional (X 1.1 ) 0,599 85,571 BN b Tujuan diinginkan masyarakat (X 1.2 ) 0,513 73,286 BN c Asumsi perumusan realistis (X 1.3 ) 0,562 80,286 BN d Informasi perumusan lengkap dan benar (X 1.4 ) 0,614 87,714 BN e Manfaat tersosialisasi kepada masyarakat (X 1.5 ) 0,488 69,714 BN f Advokatif dalam hal terjadi perbedaan (X 1.6 ) 0,548 78,286 BN g Antisipatif terhadap perubahan (X 1.7 ) 0,458 65,429 BN h Dukungan SDM dalam pelaksanaan (X 1.8 ) 0, ,143 BN i Dukungan Anggaran dalam pelaksanaan (X 1.9 ) 0,613 87,571 BN j Dukungan sarana & prasarana dlm pelaksanaan (X 1.10 ) 0,502 71,714 BN k Dukungan informasi dalam pelaksanaan (X 1.11 ) 0,506 72,286 BN l Memperoleh legitimasi (X 1.12 ) 0,579 82,714 BN m Partisipasi publik dalam pelaksanaan (X 1.13 ) 0,426 60,857 BN n Kepatuhan aparat DKP thd ketentuan dlm kebijakan X 1.14 ) 0,261 37,286 BN o Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan thd 0,337 48,143 BN ketentuan dalam kebijakan (X 1.15 ) p Kepatuhan karyawan perusahaan tdp ketentuan dalam ,857 BN kebijakan (X 1.16 ) 2. Orientasi kewirausahaan (X 2 ) a Tindakan kompetitif (X 2.1 ) 0,658 94,000 BN b Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan (X 2.2 ) 0,607 86,714 BN c Sikap kompetitif dalam menghadapi persiangan (X 2.3 ) 0,550 78,571 BN d Kepemimpinan R&D (X 2.4 ) 0,572 81,714 BN e Jenis-jenis produk baru (X 2.5 ) 0,624 89,143 BN f Perubahan produk (X 2.6 ) 0,558 79,714 BN g Kecenderungan risk taker (X 2.7 ) 0,449 64,143 BN h Keberanian menghadapi lingkungan bisnis (X 2.8 ) 0,604 86,286 BN 3. Kompetensi SDM (X 3 ) a Pengetahuan mengenai PMMT/HACCP (X 3.1 ) 0,432 61,714 BN b Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan (X 3.2 ) 0,446 63,714 BN c Ketrampilan mengenai PMMT/HACCP (X 3.3 ) 0,414 59,143 BN d Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan (X 3.4 ) 0,484 69,143 BN e Perhargaan bagi karyawan (X 3.5 ) 0, ,286 BN f Kesempatan berkembang bagi karyawan (X 3.6 ) 0, ,286 BN g Gaji/upah bagi karyawan (X 3.7 ) 0,611 87,286 BN h Jenjang karier bagi karyawan (X 3.8 ) 0, ,286 BN i Komunikasi antar personil dalam perusahaan (X 3.9 ) 0, ,571 BN Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1%

21 119 menghadapi lingkungan bisnis, kepemimpinan dalam riset dan pengembangan, perubahan produk (product changes), sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan, dan yang terakhir adalah kecenderungan mengambil resiko. Sementara itu, pada faktor kompetensi sumberdaya manusia, jenjang karier bagi karyawan mempunyai pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain berdasarkan urutan pengaruhnya adalah komunikasi antar personil dalam perusahaan, kesempatan berkembang bagi karyawan, reward bagi karyawan, gaji/upah bagi karyawan, ketrampilan mengenai teknologi pengolahan, pengetahuan mengenai teknologi pengolahan, pengetahuan mengenai HACCP dan yang terakhir adalah ketrampilan mengenai HACCP Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Hasil pengujian korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima disajikan pada Tabel 30. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semua korelasi antar faktor mempunyai pengaruh terhadap produk perikanan prima. Korelasi yang paling kuat adalah antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Selanjutnya, korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor orientasi kewirausahaan dan yang paling lemah adalah korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Faktor penentu X 1 (Kebijakan publik) X 2 (Orientasi kewirausahaan) X 3 (Kompetensi SDM) Tabel 30 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, 2006 (n = 69) X 1 (Kebijakan publik) X 2 (Orientasi kewirausahaan) X 3 (Kompetensi SDM) 1,000 0,303 0,214 0,303 1,000 0,459 0,214 0,459 1, Hasil pengujian hipotesa Berdasarkan Tabel 27, 28, 29 dan 30 dapat ditarik kesimpulan atas hipotesa yang dikemukakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 31.

22 120 Tabel 31 Hasil pengujian hipotesa Kode H 0 H 1 Hasil pengujian H 1.1 H 1.2 H 1.3 H 1.4 H 1.5 H 1.6 H 1.7 H 1.8 H 1.9 H 1.10 H 1.11 H 1.12 H 1.13 Rasionalitas tujuan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Keinginan masyarakat terhadap tujuan Realistis tidaknya asumsi dalam perumusan Lengkap dan benar tidaknya informasi dalam perumusan Kemampuan penyebaran manfaat Advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan pandangan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Antisipatif tidaknya dalam menghadapi perubahan di lapangan Dukungan SDM menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan anggaran menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan sarana dan prasarana Dukungan informasi menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Legitimasi Partisipasi masyarakat Rasionalitas tujuan tidak Keinginan masyarakat thp tujuan tdk Realistis tidaknya asumsi dalam perumusan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Lengkap dan benar tidaknya informasi dalam perumusan Kemampuan penyebaran manfaat tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan pandangan tidak Antisipatif tidaknya dalam menghadapi perubahan di lapangan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan SDM tidak Dukungan anggaran tidak Dukungan sarana prasarana tidak Dukungan informasi tidak Legitimasi tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Partisipasi masyarakat tidak

23 121 Tabel 31 Lanjutan Kode H 0 H 1 Hasil pengujian H 1.14 H 1.15 H 1.16 H 2 H 3.1 H 3.2 H 3.3 H 3.4 H 3.5 H 3.6 H 3.7 H 3.8 Kepatuhan aparat DKP menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Jenis-jenis produk baru yang dihasilkan perusahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Perubahan terhadap produk menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kecenderungan mengambil resiko menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Keberanian menghadapi lingkungan bisnis menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kepatuhan aparat DKP tidak Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan tidak Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan tidak Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan tdk menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Jenis-jenis produk baru yang dihasilkan perusahaan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Perubahan terhadap produk tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kecenderungan mengambil resiko tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Keberanian menghadapi lingkungan bisnis tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan

24 122 Tabel 31 Lanjutan Kode H 0 H 1 Hasil pengujian H 4 H 5.1 H 5.2 H 5.3 H 5.4 H 5.5 H 5.6 H 5.7 H 5.8 H 5.9 H 6 H 7 Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP menentukan kompetensi SDM Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi menentukan kompetensi SDM Pemberian penghargaan bagi karyawan yang berprestasi menentukan kompetensi SDM Kesempatan karyawan untuk berkembang menentukan kompetensi SDM Upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan menentukan kompetensi SDM Jenjang karier menentukan kompetensi SDM Komunikasi interpersonal pada perusahaan menentukan kompetensi SDM Kompetensi SDM pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Interaksi kebijakan publik dengan orientasi kewirausahaan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP tidak menentukan kompetensi SDM Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi tidak menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP tidak menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi tidak menentukan kompetensi SDM Pemberian penghargaan bagi karyawan yang berprestasi tidak menentukan kompetensi SDM Kesempatan karyawan untuk berkembang tidak menentukan kompetensi SDM Upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan tidak menentukan kompetensi SDM Jenjang karier tidak menentukan kompetensi SDM Komunikasi interpersonal pada perusahaan tidak menentukan kompetensi SDM Kompetensi SDM pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif terhadap produk perikanan prima Interaksi kebijakan publik dengan orientasi kewirausahaan mempunyai pengaruh negatif terhadap produk perikanan prima

25 123 Tabel 31 Lanjutan Kode H 0 H 1 Hasil pengujian H 8 H 9 H 10.1 H 10.2 H 10.3 Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Interaksi orientasi kewirausahaan dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Kasus penahanan/penolakan dan RASSF merupakan indikator produk perikanan prima Nilai tambah produk merupakan indikator produk perikanan prima Indeks RCA merupakan indikator produk perikanan prima Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Interaksi orientasi kewirausahaan dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Kasus penahanan/penolakan dan RASSF bukan merupakan indikator produk perikanan prima Nilai tambah produk bukan merupakan indikator produk perikanan prima Indeks RCA bukan merupakan indikator produk perikanan prima

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku 6.1.1 Tingkat utilisasi Seperti telah dikemukakan pada Bab 5 bahwa realisasi produksi seluruh unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT 36 IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT Wilayah utara Jawa Barat merupakan penghasil ikan laut tangkapan dengan jumlah terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di lain pihak, Dahuri (2004) menyatakan bahwa potensi perikanan tangkap di laut

I. PENDAHULUAN. Di lain pihak, Dahuri (2004) menyatakan bahwa potensi perikanan tangkap di laut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia sangat memungkinkan. Hal ini didasarkan atas potensi sumberdaya yang cukup besar dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA 5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 304/MPP/Kep/4/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 304/MPP/Kep/4/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 304/MPP/Kep/4/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kelautan yang memiliki banyak kekayaan hayati. Tiga perempat dari luas wilayah Indonesia atau sekitar 5.8 juta km² berupa laut. Garis pantai

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Tahap persiapan dan pengumpulan data

Lebih terperinci

PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN

PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8/KEPMEN -KP/2014 TENTANG PEMBERLAKUAN PENERAPAN STANDAR INDONESIA PRODUK PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang mempunyai potensi dan peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan sektor perikanan dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi di dalam memasok total kebutuhan konsumsi protein di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi di dalam memasok total kebutuhan konsumsi protein di Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan dan dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, karenanya potensi ikan di Indonesia sangat berlimpah. Sumber daya perikanan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN DAERAH-DAERAH TERTENTU PADA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN

BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN DAERAH-DAERAH TERTENTU PADA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : 17/PERMEN-KP/2015 TENTANG : KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Luas wilayah laut Indonesia sangat luas yaitu sekitar 7,9 juta km 2 dan

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Luas wilayah laut Indonesia sangat luas yaitu sekitar 7,9 juta km 2 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi yang besar di sektor perikanan. Luas wilayah laut Indonesia sangat luas yaitu sekitar 7,9 juta km 2 dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim. Sebagai wilayah dengan dominasi lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di bidang perikanan dan kelautan.

Lebih terperinci

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Hasil tangkapan di PPS Belawan idistribusikan dengan dua cara. Cara pertama adalah hasil tangkapan dari jalur laut didaratkan di PPS Belawan didistribusikan

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2015 TENTANG KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA

Lebih terperinci

ANALISA HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN MARET Oleh : I Wayan Sudana SPi *

ANALISA HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN MARET Oleh : I Wayan Sudana SPi * ANALISA HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN MARET 2016 Oleh : I Wayan Sudana SPi * Diawali survey pengumpulan data harga ikan dan wawancara dengan pedagang di pasar tradisional

Lebih terperinci

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Iin Solihin 1, Sugeng Hari Wisudo 1, Joko Susanto 2 1 Departemen

Lebih terperinci

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya mengalami peningkatan, baik

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam potensi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah lautan dengan luas mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting bagi suatu negara. Perdagangan internasional memberikan manfaat berkaitan dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 548/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 548/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG KEPUTUSAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 548/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Poduksi perikanan Indonesia (ribu ton) tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Poduksi perikanan Indonesia (ribu ton) tahun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara maritim, dua pertiga wilayahnya merupakan lautan dan luas perairan lautnya mencapai 5.8 juta km 2 termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan dua samudra yaitu benua Asia dan Australia sehingga memiliki potensi perikanan yang sangat

Lebih terperinci

PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN

PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA ABDUL ROKHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk perikanan Indonesia. Nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat lebih besar daripada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan Menurut Rosyidi (2007), dalam melakukan kegiatan ekspor suatu perusahaan dapat menentukan sendiri kebijakan mengenai pemasaran

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PENYEDIAAN PANGAN IKAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI. Oleh: Yusma Damayanti 1*

KONTRIBUSI PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PENYEDIAAN PANGAN IKAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI. Oleh: Yusma Damayanti 1* BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 1 Edisi Maret 2012 Hal. 81-87 KONTRIBUSI PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PENYEDIAAN PANGAN IKAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI Oleh: Yusma Damayanti

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas keseluruhan sekitar ± 5,18 juta km 2, dari luasan tersebut dimana luas daratannya sekitar ± 1,9 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekspor merupakan salah satu bagian penting dalam perdagangan internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN APRIL 2016 Oleh : I Wayan Sudana SPi *

ANALISIS VARIASI HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN APRIL 2016 Oleh : I Wayan Sudana SPi * ANALISIS VARIASI HARGA IKAN DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL WILAYAH BALI BULAN APRIL 2016 Oleh : I Wayan Sudana SPi * Pemantauan perkembangan harga ikan selama bulan April 216 dilakukan melalui pengumpulan

Lebih terperinci

DAFTAR IS1 Halaman Kata Pengantar... i... Daftar Isi...: Daftar Tabel... v Dafiar Gambar... vii

DAFTAR IS1 Halaman Kata Pengantar... i... Daftar Isi...: Daftar Tabel... v Dafiar Gambar... vii DAFTAR IS1 Halaman Kata Pengantar... i... Daftar Isi...:... 111 Daftar Tabel... v Dafiar Gambar... vii... Daftar Lampiran... viii Daftar Istilah... ix I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu cara untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu cara untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu cara untuk memenuhi tujuan pemerintah yaitu mencapai peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata. Untuk

Lebih terperinci

6. DAFTAR SNI PRODUK PERIKANAN

6. DAFTAR SNI PRODUK PERIKANAN 6. DAFTAR SNI PRODUK PERIKANAN 6. 1 PRODUK BEKU 1 SNI 01-3229-1992 Sirip cucut segar beku Frozen fresh shark fin 2 SNI 01-7145.1-2005 Hiu utuh beku - Bagian 1: Frozen whole shark SNI 01-7145.2-2005 Hiu

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: ht tp :// w w w.b p s. go.id Katalog BPS: 5402003 PRODUKSI PERIKANAN LAUT YANG DIJUAL DI TEMPAT PELELANGAN IKAN 2008 ISSN. 0216-6178 No. Publikasi / Publication Number : 05220.0902 Katalog BPS / BPS Catalogue

Lebih terperinci

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK PENGERTIAN EKONOMI POLITIK CAPORASO DAN LEVINE, 1992 :31 INTERELASI DIANTARA ASPEK, PROSES DAN INSTITUSI POLITIK DENGAN KEGIATAN EKONOMI (PRODUKSI, INVESTASI, PENCIPTAAN HARGA, PERDAGANGAN, KONSUMSI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tulang punggung dunia dalam memasok pangan dunia terutama dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. tulang punggung dunia dalam memasok pangan dunia terutama dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Akuakultur atau lebih dikenal perikanan budidaya kini telah menjadi tulang punggung dunia dalam memasok pangan dunia terutama dari sektor perikanan. Produksi akuakultur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Dengan menggunakan data dari SITC Rev. 3 UN-COMTRADE tiga digit

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Dengan menggunakan data dari SITC Rev. 3 UN-COMTRADE tiga digit BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif produk perikanan Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Dengan menggunakan data dari SITC Rev. 3 UN-COMTRADE

Lebih terperinci

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian lndonesia memegang peran yang cukup penting, mengingat potensi sumberdaya ikan tuna di perairan lndonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang lndonesia adalah negara kepulauan dan maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu sepanjang 81.000 km dan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau serta

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, sebab ikan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak dan membusuk, di samping itu

Lebih terperinci

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan sasaran program

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA KOREA SELATAN PERIODE : JANUARI SEPTEMBER 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA KOREA SELATAN PERIODE : JANUARI SEPTEMBER 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA KOREA SELATAN PERIODE : JANUARI SEPTEMBER 2015 A. Perkembangan perekonomian dan perdagangan Korea Selatan 1. Total perdagangan Korea Selatan dengan Dunia pada periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya kelautan dan perikanan menyebabkan munculnya suatu aktivitas atau usaha di bidang perikanan sesuai dengan kondisi lokasi dan fisiknya. Banyak penduduk

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang sangat tinggi sesungguhnya merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi modal utama bangsa untuk

Lebih terperinci

LAPORAN KERJA PRAKTEK DI PT. KELOLA MINA LAUT

LAPORAN KERJA PRAKTEK DI PT. KELOLA MINA LAUT LAPORAN KERJA PRAKTEK DI PT. KELOLA MINA LAUT Disusun oleh : Nama : Hendri Wijaya NRP : 5303012022 Nama : Ezra Rian Sobari NRP : 5303012004 JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS WIDYA MANDALA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

untuk diaplikasikan dalam produk jelly, pasta, mayonnaise, es krim atau marshmallow. Gelatin dalam industri pangan bersifat sebagai pembentuk gel

untuk diaplikasikan dalam produk jelly, pasta, mayonnaise, es krim atau marshmallow. Gelatin dalam industri pangan bersifat sebagai pembentuk gel I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gelatin digunakan luas di berbagai bidang seperti dalam industri pangan untuk diaplikasikan dalam produk jelly, pasta, mayonnaise, es krim atau marshmallow. Gelatin dalam

Lebih terperinci

LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM LP-103-IDN

LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM LP-103-IDN LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM LP-103-IDN Mikrobiologi Udang segar, udang beku, Angka lempeng total SNI 01-2339-1991 udang kupas mentah beku, Escherichia coli SNI 01-2332-1991 udang kupas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

P R O F I L POTENSI KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LUMAJANG

P R O F I L POTENSI KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LUMAJANG P R O F I L POTENSI KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LUMAJANG DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LUMAJANG 2013 PROFIL POTENSI KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

PURSE SEINE (Pukat Cincin) Riza Rahman Hakim, S.Pi

PURSE SEINE (Pukat Cincin) Riza Rahman Hakim, S.Pi PURSE SEINE (Pukat Cincin) Riza Rahman Hakim, S.Pi Pendahuluan Purse seine adalah alat (gear) yang digunakan untuk menangkap ikan pelagic yang membentuk gerombolan Ikan yang menjadi tujuan penangkapan

Lebih terperinci

ANALISIS LOCATION QUOTIENT (LQ) DALAM PENENTUAN KOMODITAS IKAN UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CILACAP

ANALISIS LOCATION QUOTIENT (LQ) DALAM PENENTUAN KOMODITAS IKAN UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CILACAP ANALISIS LOCATION QUOTIENT (LQ) DALAM PENENTUAN KOMODITAS IKAN UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CILACAP Location Quotient (LQ) Analysis for Primer Fish Determination Fisheries Capture at Cilacap Regency

Lebih terperinci

V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN

V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN 143 V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN 1989-2008 Tujuan penelitian pertama yaitu mengetahui posisi daya saing Indonesia dan Thailand dalam mengekspor udang ketiga pasar utama akan dilakukan menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi negara terutama negara yang bercorak agraris seperti Indonesia. Salah satu subsektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap

I. PENDAHULUAN. Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap atau overfishing, hal tersebut mengakibatkan timbulnya degradasi pada sistem laut, punahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Neraca perdagangan komoditi perikanan menunjukkan surplus. pada tahun Sedangkan, nilai komoditi ekspor hasil perikanan

BAB I PENDAHULUAN. Neraca perdagangan komoditi perikanan menunjukkan surplus. pada tahun Sedangkan, nilai komoditi ekspor hasil perikanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan menjadi salah satu sektor yang menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari adanya dukungan kebijakan fiskal maupun non-fiskal.

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode 1.1. Latar Belakang Pada umumnya perekonomian di negara-negara sedang berkembang lebih berorientasi kepada produksi bahan mentah sebagai saingan dari pada produksi hasil industri dan jasa, di mana bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim yang kaya akan potensi ikannya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan dan perairan. Sektor perikanan menjadi bagian yang sangat

Lebih terperinci

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00 Tabel Table Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan dan di Provinsi (Ton), 2016 Quantity of Marine Fisheries Production by Type and in Province (Ton), 2016 Manyung Ikan Sebelah Ekor Kuning /Pisangpisang

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan maupun pengolahan merupakan suatu cara ataupun tindakan untuk mempertahankan mutu dan kualitas bahan pangan, termasuk di sektor perikanan. Menurut data Dirjen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan Indonesia sangat besar dimana luas perairan Indonesia sebesar 2 per 3 luas daratan. Luas wilayah daratan Indonesia mencakup 1.910.931,32

Lebih terperinci

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7.1 Pendahuluan Surimi pada dasarnya adalah daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan duri serta telah dibersihkan dari lemak, merupakan bahan baku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan yang dikelilingi oleh perairan laut dan perairan tawar yang sangat luas, yaitu 5,8 juta km 2 atau meliputi sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kelautan Indonesia yang cukup signifikan dan Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas yang dikelilingi oleh perairan dan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Udang merupakan salah satu komoditas primadona di sub sektor perikanan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Udang merupakan salah satu komoditas primadona di sub sektor perikanan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas primadona di sub sektor perikanan yang di harapkan dapat meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

1. Secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah.

1. Secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah. PEMBANGUNAN DAERAH Menurut Balkley, 1988 pembangunan daerah merupakan fungsi dari sumber daya manusia dan alam, investasi, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi teknologi, teknologi lintas

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi PT. Agung Sumatera Samudera Abadi secara legalitas berdiri pada tanggal 25 Januari 1997 sesuai dengan akta pendirian perseroan

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN I Dari hasil analisa yang dilakukan terhadap berbagai data dan informasi yang dikumpulkan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pangsa TSR Indonesia

Lebih terperinci

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ)

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) 1 Nurintang dan 2 Yudi ahdiansyah 1 Mahasiswa Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5,8 juta km 2, panjang garis

I. PENDAHULUAN. Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5,8 juta km 2, panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan alam laut yang banyak dan beranekaragam. Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5,8 juta km 2, panjang garis pantai 81.000 km,

Lebih terperinci

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN Disepakatinya suatu kesepakatan liberalisasi perdagangan, sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk mempermudah kegiatan perdagangan

Lebih terperinci