TINJAUAN PUSTAKA. Sumber Daya Genetik Ternak Lokal. Gambar 2 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Sumber Daya Genetik Ternak Lokal. Gambar 2 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996)."

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi dan (3) ternak impor (Sarbaini, 2004). Menurut MacHugh (1996), sapi domestikasi yang terdapat di Asia khususnya di Indonesia merupakan sapi yang termasuk dalam spesies Bos bibos dan sapi silangan (crossbred) yang berbeda dari sapi domestikasi yang terdapat di Afrika dan Eropa, meskipun diduga bahwa pola penyebarannya berasal dari wilayah India (Bos indicus) yang merupakan tipe sapi berpunuk (Zebu) (Gambar 2 dan 3). Gambar 2 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996). Pada Gambar 2 tampak bahwa penyebaran sapi yang secara tertutup (warna hijau) terkait dengan spesies Bos (Bibos) seperti banteng, gaur, dan kouprey (MacHugh 1996). Hasil domestikasi spesies liar Bos (Bibos) banteng adalah sapi bali (Bos sondaicus) atau (Bos javanicus) (Talib et al. 2002) yang sekarang telah menjadi salah satu bangsa ternak asli Indonesia (DGLS 2003; Martojo 2003).

2 7 Gambar 3 Rute penyebaran sapi di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996). Keanekaragaman ternak bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi ongole (Bos indicus) atau zebu yang dimulai pada awal abad ke-20 memegang peranan penting dalam pengembangan peternakan di Indonesia. Ongole murni pertama kali dibawa ke Pulau Sumba yang kemudian disebut sebagai sumba ongole (SO) dan selanjutnya dibawa ke tempat-tempat lain di Indonesia untuk disilangkan dengan sapi asli jawa dan membentuk peranakan ongole (PO) dan sapi madura (Utoyo 2002). Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih beragam, yaitu mulai dari sapi asli seperti sapi bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti sapi pesisir, sapi aceh, sapi madura, sapi sumba ongole (SO) dan sapi peranakan ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003). Secara terminologi, sumber daya genetik ternak adalah semua yang termasuk dalam spesies, bangsa, dan strain (galur) ternak yang secara ekonomi, ilmiah, dan budaya penting bagi umat manusia baik dalam bentuk makanan maupun produksi (FAO 1999). Departemen Pertanian (2006) pula menyatakan bahwa sumber daya genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam bentuk individu suatu populasi rumpun ternak secara genetik unik, terbentuk dalam

3 8 proses domestikasi dari masing-masing spesies yang memiliki nilai potensial serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul. Sumber daya genetik ternak merupakan kerangka dasar acuan (building block) bagi pertanian dan pengembangan verietas dan bangsa hewan ternak untuk masa yang akan datang. Berlimpahnya keanekaragaman bangsa ternak asli yang mampu beradaptasi secara lokal dapat menyelamatkan petani dalam menghadapi iklim yang sulit dan wilayah yang marjinal. Sumber daya genetik ternak lokal dapat dimanfaatkan dengan biaya (input) minimum dan memegang peranan penting dalam budaya masyarakat pedesaan (FAO 2001). Keanekaragaman genetik ternak khususnya ternak lokal paling tidak memiliki manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan, (2) memaksimalkan produktivitas lahan dan sumber daya pertanian, (3) pencapaian pertanian berkelanjutan, dan (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang akan diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak khususnya ternak sapi akan memberikan keberhasilan dalam strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994). Soebandriyo dan Setiadi (2003) menyatakan bahwa keragaman genetik pada ternak penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Selanjutnya dinyatakan bahwa punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kamajuan bioteknologi paling tidak sampai saat ini. Oleh karena itu, pelestarian sumber daya genetik ternak perlu dilakukan. Departemen Pertanian (DEPTAN 2006) menyatakan bahwa pelestarian sumber daya genetik ternak adalah semua kegiatan untuk mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetik ternak baik secara in-situ maupun ex-situ. Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak asli atau ternak lokal sangat penting karena merupakan bagian dari komponen keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertanian, dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Beberapa alasan pelestarian sumber daya genetik ternak Indonesia penting dilakukan, yaitu (1) lebih dari 60% bangsa

4 9 ternak di dunia berada di negara berkembang, (2) konservasi ternak asli atau ternak lokal tidak menarik bagi petani, (3) secara umum tidak ada program pemantauan yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sebagian sumber daya genetik ternak yang ada, dan (4) sedikit sekali bangsabangsa ternak asli maupun ternak lokal yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001). Sapi pesisir sebagai salah satu sumber daya genetik ternak lokal dan menjadi aset (plasma nutfah) nasional berperan sangat penting sebagai sumber daging bagi masyarakat Kota Padang dan sekitarnya, juga bagi masyarakat pesisir terutama masyarakat di Kabupaten Pesisir Selatan. Selain berperan sebagai sumber daging, sapi pesisir juga sangat populer untuk kebutuhan hewan kurban terutama pada hari raya Idul Adha karena harganya yang relatif murah. Keunggulan sapi pesisir lainnya adalah dapat hidup pada kondisi lingkungan yang marjinal dengan pola manajemen ekstensif dan memiliki efesiensi reproduksi yang tinggi, meskipun berpenampilan kecil (mini cattle), sehingga menjadi salah satu bangsa sapi unggulan atau sapi khas Sumatera Barat (Saladin 1983). Sapi Pesisir Sumatera Barat Sapi di Sumatera Barat, menurut catatan sejarah terdiri atas sapi lokal, sapi zebu dan sapi eropa (Merkens 1926). Sejak tahun 1907 telah dimasukkan sapi-sapi zebu (Ongole dan Hissar) untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal. Setelah kemerdekaan, kembali dimasukkan sapi ongole di Sumatera Barat dalam rangka Program Ongolisasi. Terbatasnya sarana perhubungan di bagian selatan Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan, Program Ongolisasi tidak berjalan sebaik di daerah bagian utara dan tengah, seperti di Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar. Oleh karena itu, sejak zaman penjajahan Belanda masih terdapat sapi asli di Kabupaten Pesisir Selatan yang tidak terkontaminasi oleh Program Ongolisasi (Saladin 1983). Ciri-ciri sapi lokal Sumatera Barat adalah tubuh kecil, badan pendek, dan kaki kecil (Merkens 1926). Sapi pesisir memiliki pola warna bulu tunggal yang dikelompokkan atas lima warna utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning (25,51%), cokelat (19,96%), hitam (10,91%), dan putih (9,26%) (Sarbaini 2004).

5 10 Selain itu, sapi pesisir juga dikenal bertemperamen jinak sehingga mudah dikendalikan dalam pemeliharaan. Karakteristik lain adalah berpunuk kecil sampai sedang, tanduk pendek dan mengarah ke luar, seperti tanduk kambing (Saladin 1983) (Gambar 4). Sumber : Sarbaini (2004) Gambar 4 Performa sapi pesisir Sumatera Barat. Sapi lokal jantan Sumatera Barat memiliki rataan tinggi pundak 115 cm dan sapi betina 105 cm (Merkens 1926), sedangkan Saladin (1983) mendapatkan rataan tinggi pundak umur 4 tahun 114 cm dan betina 109 cm. Demikian pula Sarbaini (2004) mendapatkan rataan tinggi pundak pada sapi pesisir jantan dewasa pada setiap subpopulasi sapi pesisir, yaitu di daerah Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam masing-masing 99,9 cm, 108,7 cm, dan 101,8 cm, sedangkan ukuran betinanya masing-masing 99,2 cm, 108,2 cm, dan 101,7 cm. Dibandingkan dengan sapi bali dan sapi ongole, sapi pesisir memiliki bobot badan dan ukuran tubuh lebih kecil baik pada jantan maupun pada betina (Saladin 1983) (Tabel 1). Hal yang sama juga ditemukan oleh Sarbaini (2004) bahwa bobot badan sapi pesisir lebih rendah dibandingkan dengan sapi madura, sapi bali, sapi aceh, dan peranakan ongole (PO) pada umur 0,5-1,0 tahun baik jantan maupun betina.

6 11 Tabel 1 Bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh dewasa (3-6 tahun) sapi pesisir, sapi bali, dan sapi ongole Peubah Berdasarkan Jenis Kelamin Sapi Pesisir **1-2 Sapi Pesisir * Sapi Bali * Sapi Ongole * Jantan : Bobot badan (kg) 162,2 203,1 294,5 395,6 510,0 Tinggi pundak (cm) 99,9 108,7 110,2 126,0 135,0 Panjang badan (cm) 112,2 119,3 114,8 132,0 133,0 Lingkar dada (cm) 124,2 142,3 142,0 193,0 169,0 Betina : Bobot badan (kg) 149,1 199,9 256,5 302,5 420,0 Tinggi pundak (cm) 99,2 108,2 110,0 115,0 122,0 Panjang badan (cm) 109,4 118,3 117,0 120,0 132,0 Lingkar dada (cm) 125,5 140,1 138,0 168,0 162,0 Sumber : Sarbaini (2004)**, 1= Kabupaten Pesisir Selatan, 2= Kabupaten Padang Pariaman Saladin (1983)* Berdasarkan kajian molekuler terhadap sapi pesisir dengan menggunakan penciri DNA mikrosatelit yang terdiri atas enam lokus, yaitu lokus BM2113, ETH225, ILSTS006, HEL09, ETH03, dan INRA037 diperoleh keragaman yang tinggi pada subpopulasi Pesisir Selatan maupun Padang Pariaman dengan rataan nili heterozigositas masing-masing 0,85731 dan 0, Meskipun tingkat heterozigositas relatif sama, baik di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang Pariaman, bobot badan dan ukuran tubuh sapi pesisir di Kabupaten Padang Pariaman lebih besar dibandingkan di Kabupaten Pesisir Selatan (Tabel 1) (Sarbaini 2004). Sapi pesisir bagi masyarakat Sumatera Barat disebut sapi lokal Sumatera Barat dengan nama I Jawi Ratuih dan II Bantiang Ratuih yang artinya sapi yang beranak setiap tahun dan murah harganya karena ukuran badannya yang kecil (Saladin 1983). Sapi pesisir Sumatera Barat khususnya sapi pesisir selatan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu sapi terkecil kedua di dunia setelah sapi dwarf west afrika shorthorn yang berasal dari Wilayah Pantai Afrika Barat berdasarkan bobot badannya (Tabel 2) (Sarbaini 2004).

7 Tabel 2 Bobot badan dewasa (3-6 tahun) sapi pesisir dan bangsa sapi kecil lainnya (mini cattle) di dunia Bangsa Sapi Bobot badan (kg) Jantan Betina Sapi Pesisir Mini cattle : Bonsai Brahman (Meksiko) Dwarf West Africa Shorthorn (Afrika Barat) Murutu (Nigeria) Rodope (Eropa Bagian Tenggara) Kedah Kelantan (Malaysia) Hill Cattle (Nepal) Yellow Cattle (Barat Daya dan Selatan Cina) Cheju Hanwoo (Korea) Sumber: Sarbaini (2004) Menurut publikasi International Miniature Breeders Society (IMBS) ( kategori sapi mini (full miniature) memiliki ukuran tinggi pundak kurang dari 42 inch (106,68 cm), sedangkan kategori ukuran sedang (mid size miniature) 42 inch (106,68 cm) sampai dengan 48 inch (121,92 cm). Berdasarkan kategori tersebut, sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat, termasuk dalam kelompok sapi mini full miniature dengan tinggi pundak sapi jantan dewasa 99,9 cm dan betina 99,2 cm. Adapun sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman termasuk kelompok sapi mini mid size miniature dengan tinggi pundak sapi jantan dewasa 108,7 cm dan betina 108,2 cm (Sarbaini 2004). 12 Hormon Pertumbuhan Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan (growth hormone). Chung et al. (2000) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan (GH) bersama-sama dengan hormon insulin-like growth factor-1 (IGF-1) berperan

8 13 sangat penting dalam mengatur pertumbuhan kelenjar susu dan produksi susu, metabolisme, laktasi, dan komposisi tubuh. Proses sintesis dan pelepasan hormon pertumbuhan atau somatotropin dikontrol oleh dua macam hormon yang terdapat di hipotalamus (Gambar 5), yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang berfungsi sebagai penggertak (stimulator) dan Somatotropin Releasing-Inhibitory Factor (SRIF) atau somatostatin sebagai penghambat (inhibitor) (Anderson et al. 2004). Kedua hormon tersebut disekresikan oleh neuron sekretoris dalam hipotalamus dan masuk ke dalam pembuluh darah portal pituitari (Hartman 2000). Neurotransmiter dan neuropeptida mengontrol sekresi somatotropin secara langsung pada bagian somatotrop atau secara tidak langsung melalui jalur hipotalamus (Franklin dan Ferry 2006). Reis et al. (2001) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (bgh) adalah hormon peptida (protein) yang secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan. Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kda) (Vukasinovic et al. 1999; Dybus 2002) yang disusun oleh asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (Gordon et al. 1983). Hormon pertumbuhan adalah hormon peptida yang reseptornya terdapat di permukaan sel, superfamili dari reseptor sitokinin. Ikatan antara hormon pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim forforilasi yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara menambah gugus fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi intrasel yang dapat berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner 2003). Pengikatan hormon pertumbuhan akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor hormon pertumbuhan (GHR). Pengikatan hormon pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim tirosin kinase JAK 2 (Janus-family Tyrosine Kinase 2) yang berikatan dengan GHR, sehingga terjadi fosforilasi reseptor dengan JAK 2 pada residu tirosil. Kejadian ini menimbulkan aktivasi sejumlah lintasan pembentukan sinyal, salah satunya fosforilasi protein STAT (Signal Transduser and Activator of Transcription) dan transkripsi gen (Gambar 6).

9 14 Nutrisi Somatomedin Stres (+) Androgen (+) T4/T3 +/- Hipotalamus NA/A + 5TH +/- Asetilkolin + Prostaglandin +/-? + GRF TRH SRIF -?? Kelenjar Hipofisa Hormon Pertumbuhan +/- Metabolisme Lemak Lipolisis Lipogenesis Trigliserida Disimpan? Hati +? Pertumbuhan Tulang rawan Otot + Somatomedin + Pelepasan Hormon Insulin Glukokortikoid T4/T3 +? + Produksi Susu Laktosa Lemak Keterangan : TRH = thyrotrophin releasing hormone, GRF = growth hormone releasing factor, SRIF = somatostatin inhibitory releasing factor, T3 = triiodothyronine, T4 = thyroxine, NA = non adrenaline, A = adrenaline, 5HT = 5-hydroxytryptamine, = meningkat, = menurun. Gambar 5 Representasi diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya pada ternak domestik (Lawrence dan Fowler 2002).

10 15 Gambar 6 Lintasan transduksi sinyal yang diaktifkan oleh hormon pertumbuhan (Granner 2003). Menurut Hartman (2000) target utama hormon pertumbuhan adalah hati. Hormon pertumbuhan di dalam permukaan sel hati akan mengatur dan mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh dan bekerja pada sel-sel target melalui ikatan reseptor hormon pertumbuhan. Hati akan memproduksi insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dengan aktivasi tirosin kinase yang memiliki potensi untuk mengatur metabolisme dengan mempercepat pengangkutan asam amino melalui membran sel ke dalam sitoplasma. Meningkatnya konsentrasi asam amino di dalam sel akan meningkatkan kecepatan sintesis protein dan berdampak pada peningkatan jumlah sel sehingga mempercepat laju pertumbuhan jaringan di berbagai bagian tubuh.

11 16 Hormon pertumbuhan menyebabkan perubahan yang luar biasa di dalam tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses fisiologis di dalam jaringan dan organ tubuh. Selain itu, aksi biologis hormon pertumbuhan selama pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino (Bauman dan Vernon 1993). Pada hewan yang sedang tumbuh, hormon pertumbuhan dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Etherton dan Bauman 1998) (Gambar 7). Kelenjar Hipofisa IGF-1 Otot Tulang Gambar 7 Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan pertumbuhan otot dan tulang (Roith et al. 2001). Menurut Ohlson et al. (1998), aksi hormon pertumbuhan merangsang pertumbuhan tulang longitudinal secara langsung, yaitu dengan cara merangsang prekondrosit di dalam lempeng pertumbuhan dan diikuti oleh perluasan klonal. Proses ini dapat diakibatkan baik melalui produksi IGF-1 maupun oleh induksi hormon pertumbuhan yang dapat meningkatkan sirkulasi IGF-1. Hormon

12 17 pertumbuhan dan IGF-1 dalam pertumbuhan tulang, bekerja pada sel melalui tahapan pematangan yang berbeda. Hormon pertumbuhan akan merangsang prekondrosit muda, sedangkan IGF-1 berperan dalam merangsang sel pada tahap berikutnya. Hormon pertumbuhan dengan kata lain, bekerja pada sel progenitor, sedangkan IGF-1 berperan dalam merangsang perluasan klonal. Pengaruh perlakukan bovine somatotropin (bst) dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan otot, perbanyakan selular (melalui perantara IGF-1) dan peningkatan eksresi protein. Neraca nitrogen yang positif dikaitkan dengan penyuntikan bst bukan disebabkan oleh penurunan katabolisme protein, akan tetapi diperoleh dari pengaruh positif bst pada sentesis protein (Manalu 1991). Selanjutnya dinyatakan bahwa somatotropin meningkatkan jumlah sel-sel tubuh melalui percepatan sintesis DNA pada otot dan hati, selain itu juga dapat merangsang sintesis protein dalam hati dan sintesis asam amino dan protein di dalam otot. Pengaruh penyuntikan bovine somatotropin (bst) pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu 10% sampai 20% melalui penambahan masingmasing 5 mg bst dan 20 mg bst per hari melalui rekayasa genetik recombinant bovine somatotropin (rbst) (Chilliard 1989; Bauman et al. 1994). Selain itu dapat dilakukan upaya produksi somatotropin dalam jumlah besar melalui transfer sekuen DNA ke dalam bakteri agar dapat mensintesis somatotropin untuk dikomersialkan dan bernilai ekonomis. Gen Hormon Pertumbuhan Semua gen terdiri atas rangkaian DNA, namun tidak semua rangkaian DNA identik dengan gen atau dengan kata lain ada bagian DNA yang bukan merupakan gen. DNA yang bukan gen dapat diidentifikasi, dikarakterisasi dan ditentukan posisinya pada genom. Segmen-segmen DNA yang bukan gen dapat diketahui dalam bentuk minisatelit, mikrosatelit, short interspersed nucleotide element (SINE) dan long interspersed nucleotide element (LINE)(Brown 1999). Gen adalah bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang ditranskripsi ke dalam mrna yang akan ditranslasi menjadi protein (Nicholas 1996; Brown 1999; Muladno 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan

13 18 menghasilkan protein disebut daerah penyandi (coding sequence) (CDS). Selain itu, terdapat pula bagian segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya exon (pengkode protein) dan intron (spacer internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown 1999). Woychick et al. (1982) dan Gordon et al (1983) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida 2856 bp dengan bagian open reading frame-nya 1800 bp (Gambar 8) (Lampiran 1). Selanjutnya dinyatakan bahwa gen GH terdiri atas lima exon dan dipisahkan oleh empat intron dengan panjang sekuens nukleotida yang berbeda antara exon dan intron (Gambar 9). Gen GH merupakan gen yang menyandi hormon pertumbuhan sebagai produknya dan terletak di kromosom 19 pada ternak sapi (Hediger et al. 1990). Gen GH berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui memiliki keragaman yang tinggi (Cowan et al. 1989) dan polimorfisme untuk enzim pemotong MspI yang terletak di intron tiga (Zhang et al. 1992) dan enzim pemotong AluI di exon lima, yaitu terjadi transversi dari nukleotida cytosine (C) menjadi guanine (G) pada posisi asam amino 127 yang menyebabkan asam amino berubah dari leucine menjadi valine (Lucy et al. 1993). Mutasi (polimorfisme) yang terjadi pada gen GH secara intensif telah diteliti karena diduga mungkin berpengaruh pada ekspresi fenotipe. Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa genotipe +/+ dan +/- fragmen gen GH MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan kualitas daging (Unanian et al. 2000; Garcia et al. 2003; Di Stasio et al. 2005). Schlee (1994) menyatakan bahwa polimorfisme fragmen gen GH AluI yang bergenotipe LL diduga kuat berhubungan dengan tingkat plasma hormon pertumbuhan. Genotipe VV menurut Growchowska et al. (1997) memiliki konsentrasi GH yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV dan LL. Sebaliknya Reis et al. (2001) menyatakan bahwa genotipe LL berhubungan dengan konsentrasi sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV pada hormon pertumbuhan.

14 19 1 gtactggggt gggttgcctt tctcttctcc aggggattta tctgacccag ggattgaacc 61 tgagtctcct gcatttgcag ctagattctt tacggctgag ccacctggga agcccattcg 121 cttctgctgc tgctgctgct gctaagttgc ttcagtcgtg tccgacctgt gcgacgccat 181 agacagcagc ccaccaggtc cccgtccctg ggattctcca ggcaagaaca ttggagtggg 241 ttgccatttc ctcctccaat gcatgaaagt gaaaagtgaa agtgaagtca ctcagttgtg 301 tccgaccctc agcgacccca tggactgcag ccttccagaa tggggtgcca ttgccttctc 361 ctcgcttctg ctacctcccc tttaaaaaga aaacctatgg ggtgggctct caagctgaga 421 ccctgtgtgc acagccctct ggctggtggc agtggagacg ggatgatgac aagcctgggg 481 gacatgaccc cagagaagga acgggaacag gatgagtgag aggaggttct aaattatcca 541 ttagcacagg ctgccagtgg tccttgcata aatgtataga gcacacaggt ggggggaaag 601 ggagagagag aagaagccag ggtataaaaa tggcccagca gggaccaatt ccaggatccc 661 aggacccagt tcaccagacg actcagggtc ctgtggacag ctcaccagct ATGATGGCTG 721 CAGGTAAGCT CGCTAAAATC CCCTCCATTC GCGTGTCCTA AAGGGGTAAT GCGGGGGGCC 781 CTGCCGATGG ATGTGTTCAG AGCTTTGGGC TTTAGGGCTT CCGAATGTGA ACATAGGTAT 841 CTACACCCAG ACATTTGGCC AAGTTTGAAA TGTTCTCAGT CCCTGGAGGG AAGGGTAGGT 901 GGGGCTGGCA GGAGATCAGG CGTCTAGCTC CCTGGGGCCC TCCGTCGCGG CCCTCCTGGT 961 CTCTCCCTAG GCCCCCGGAC CTCCCTGCTC CTGGCTTTCG CCCTGCTCTG CCTGCCCTGG 1021 ACTCAGGTGG TGGGCGCCTT CCCAGCCATG TCCTTGTCCG GCCTGTTTGC CAACGCTGTG 1081 CTCCGGGCTC AGCACCTGCA TCAGCTGGCT GCTGACACCT TCAAAGAGTT TGTAAGCTCC 1141 CGAGGGATGC GTCCTAGGGG TGGGGAGGCA GGAAGGGGTG AATCCACACC CCCTCCACAC 1201 AGTGGGAGGA AACTGAGGAG TTCAGCCGTA TTTTATCCAA GTAGGGATGT GGTTAGGGGA 1261 GCAGAAACGG GGGTGTGTGG GGTGGGGAGG GTTCCGAATA AGGCGGGGAG GGGAACCGCG 1321 CACCAGCTTA GACCTGGGTG GGTGTGTTCT TCCCCCAGGA GCGCACCTAC ATCCCGGAGG 1381 GACAGAGATA CTCCATCCAG AACACCCAGG TTGCCTTCTG CTTCTCTGAA ACCATCCCGG 1441 CCCCCACGGG CAAGAATGAG GCCCAGCAGA AATCAGTGAG TGGCAACCTC GGACCGAGGA 1501 GCAGGGGACC TCCTTCATCC TAAGTAGGCT GCCCCAGCTC CCGCACCGGC CTGGGGCGGC 1561 CTTCTCCCCG AGGTGGCGGA GGTTGTTGGA TGGCAGTGGA GGATGATGGT GGGCGGTGGT 1621 GGCAGGAGGT CCTCGGGCAG AGGCCGACCT TGCAGGGCTG CCCCAGACCC GCGGCACCCA 1681 CCGACCACCC ACCTGCCAGC AGGACTTGGA GCTGCTTCGC ATCTCACTGC TCCTCATCCA 1741 GTCGTGGCTT GGGCCCCTGC AGTTCCTCAG CAGAGTCTTC ACCAACAGCT TGGTGTTTGG 1801 CACCTCGGAC CGTGTCTATG AGAAGCTGAA GGACCTGGAG GAAGGCATCC TGGCCCTGAT 1861 GCGGGTGGGG ATGGCGTTGT GGGTCCCTTC CATGTGGGGG CCATGCCCGC CCTCTCCTGG 1921 CTTAGCCAGG AGAATGCACG TGGGCTTGGG GAGACAGATC CCTGCTCTCT CCCTCTTTCT 1981 AGCAGTCCAG CCTTGACCCA GGGGAAACCT TTTCCCCTTT TGAAACCTCC TTCCTCGCCC 2041 TTCTCCAAGC CTGTAGGGGA GGGTGGAAAA TGGAGCGGGC AGGAGGGAGC TGCTCCTGAG 2101 GGCCCTTCGG CCTCTCTGTC TCTCCCTCCC TTGGCAGGAG CTGGAAGATG GCACCCCCCG 2161 GGCTGGGCAG ATCCTCAAGC AGACCTATGA CAAATTTGAC ACAAACATGC GCAGTGACGA 2221 CGCGCTGCTC AAGAACTACG GTCTGCTCTC CTGCTTCCGG AAGGACCTGC ATAAGACGGA 2281 GACGTACCTG AGGGTCATGA AGTGCCGCCG CTTCGGGGAG GCCAGCTGTG CCTTCTAGtt 2341 gccagccatc tgttgtttgc ccctcccccg tgccttcctt gaccctggaa ggtgccactc 2401 ccactgtcct ttcctaataa aatgaggaaa ttgcatcgca ttgtctgagt aggtgtcatt 2461 ctattctggg gggtggggtg gggcaggaca gcaaggggga ggattgggaa gacaatagca 2521 ggcatgctgg ggatgcggtg ggctctatgg gtacccaggt gctgaagaat tgacccggtt 2581 cctcctgggc cagaaagaag caggcacatc cccttctctg tgacacaccc tgtccacgcc 2641 cctggttctt agttccagcc ccactcatag gacactcata gctcaggagg gctccgcctt 2701 caatcccacc cgctaaagta cttggagcgg tctctccctc cctcatcagc ccaccaaacc 2761 aaacctagcc tccaagagtg ggaagaaatt aaagcaagat aggctattaa gtgcagaggg 2821 agagaaaatg cctccaacat gtgaggaagt aatgag Keterangan : huruf kecil = segmen depan atau belakang, huruf besar = daerah CDS (coding sequence). Gambar 8 Sekuens gen hormon pertumbuhan (bgh) pada sapi Bos taurus yang diakses di GenBank (Gordon et al. 1983). Adanya polimorfisme pada gen GH AluI juga berhubungan dengan sifat produksi daging (Chrenek et al. 1998), deposisi daging (Oprzadek et al. 2003), dan bobot karkas (Growchowska et al. 1999). Reis et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara genotipe LL dan LV gen GH dengan rataan bobot badan hidup ternak dari bangsa sapi alentejana, marinhoa, dan preta asal Portugis. Unanian et al. (2000), melaporkan bahwa adanya polimorfisme GH

15 20 AluI dan GH MspI mungkin dapat dijadikan sebagai penciri genetik yang potensial untuk sifat pertumbuhan bobot badan pada sapi pejantan muda. Beauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa gen GH merupakan gen kandidat untuk program seleksi yang dibantu penciri (MAS) pada ternak sapi. 5 Kodon awal ATG Coding sequence (CDS) Kodon akhir TAG Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Flanking intron 1 intron 2 intron 3 intron 4 region 5 Flanking region 3 3 Keterangan : Lokus = BOVGH Panjang = 2856 bp Gen = , , , , Sekuen depan = 648 = 648 bp Exon 1 = = 75 bp Intron 1 = = 247 bp Exon 2 = = 161 bp Intron 2 = = 227 bp Exon 3 = = 227 bp Intron 3 = = 227 bp Exon 4 = = 162 bp Intron 4 = = 273 bp Exon 5 = = 302 bp Sekuen ujung = = 382 bp Gambar 9 Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH di GenBank (Gordon et al. 1983). Analisis genetik untuk lokus penyandi sifat-sifat kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan gen kandidat (candidate gene) yang dieksplorasi menggunakan penciri DNA. Park (2004) menjelaskan bahwa gen kandidat adalah gen yang sebelumnya telah diidentifikasi dan diketahui fungsi biokimia yang meliputi jalur fisiologi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat yang diinginkan. Adanya keragaman (polimorfisme) dari gen-gen kandidat memungkinkan analisis suatu organisme yang dapat dihubungkan antara polimorfisme DNA dengan variasi fenotipe.

16 Penciri Genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) 21 Salah satu teknik penciri genetik (genetic marker) yang dikembangkan dan digunakan untuk mengetahui adanya polimorfisme sekuens DNA adalah Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) yang dipopulerkan oleh Botstein et al. (1980). Mullis et al. (1986) menyatakan bahwa setelah adanya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik secara in-vitro, penggunaan teknik RFLP menjadi lebih intensif dengan mengkombinasikan teknologi PCR tersebut sehingga lahirlah teknik PCR-RFLP yang penggunaannya terus hingga sekarang ini. PCR-RFLP adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzyme) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera 1998). Li dan Graur (1991) menyatakan bahwa enzim pemotong yang dapat mengenal sekuens DNA spesifik disebut recognition sequences dan biasanya memiliki panjang empat sekuens basa atau lebih dan bersifat palindrome. Brown (1999) menyatakan bahwa dari tiga macam tipe enzim pemotong yang dapat digunakan untuk teknik analisis RFLP, tipe II (restriction endoculease) merupakan tipe enzim yang tempat pemotongannya selalu sama dan ukuran fragmen dapat diramalkan jika molekul DNA targetnya diketahui. Meghen et al. (1995) menyatakan bahwa jumlah dan ukuran yang dihasilkan oleh pemotongan DNA dengan enzim pemotong memiliki pola pita ada atau tidaknya tempat restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa atas dasar terpotong atau tidak fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi. Beberapa enzim yang termasuk dalam tipe II di antaranya disajikan pada Tabel 3.

17 Tabel 3 Beberapa tipe enzim pemotong yang digunakan dalam analisis RFLP No. Nama Enzim Sekuens Pengenal Tipe Potongan 1. AluI 2. HaeIII 3. MspI 4. HinfI 5. BamHI 6. EcoRI Sumber : Brown AG*CT-3 3 -TC*GA-5 5 -GG*CC-3 3 -CC*GG-5 5 -C*CGG-3 3 -G*GCC-5 5 -G*ANTC-3 3 -CTNA*G-5 5 -G*GATCC-3 3 -CCTAG*G-5 5 -G*AATTC-3 3 -CTTAA*G-5 Tumpul Tumpul Tajam Tajam Tajam Tajam Teknik RFLP yang dikombinasikan dengan teknik PCR telah secara luas digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) pada genom maupun pada daerah yang tidak penyandi atau daerah non-coding (Vasconcellos et al. 2003). Tingkat polimorfisme dan mutasi yang tinggi di daerah non-coding diduga dapat mempengaruhi ekspresi gen secara tidak langsung (Funk 2001). 22 Analisis Sekuens DNA Sejak diperkenalkannya sekuens DNA yang memiliki akurasi tinggi pada tahun 1977 melalui metode Sanger atau metode Maxam dan Gilbert, akhirnya metode tersebut berkembang menjadi suatu metode dengan dua prosedur yang berbeda (Brown 1999), yaitu metode Sanger (chain termination method) dan metode Maxam-Gilbert (chemical degradation method) sehingga analisis genom menjadi lebih berkembang. Meskipun kedua metode tersebut, laju perkembangannya berbeda, yaitu metode Sanger lebih berkembang dibandingkan dengan metode Maxam-Gilbert karena lebih mudah, praktis, dan efisien dilakukan (Muladno 2002). Bersamaan dengan berkembangnya teknik PCR dan teknik pendukung lain, maka proses perunutan atau sekuensing DNA secara keseluruhan dapat lebih cepat dan setiap hari hasil sekuens tersebut terus meningkat sehingga memicu lahirnya berbagai macam proyek dan di antaranya lahir proyek penelitian genom

18 23 sapi (Switonski 2002). Saat ini tidak kurang dari sekitar 3600 penciri genetik telah dipetakan pada ternak sapi (http// Analisis sekuens DNA melengkapi struktur yang sangat fundamental dalam mengkarakterisasi suatu gen, walaupun secara umum teknik sekuensing DNA tidak praktis apabila hanya digunakan untuk mengidentifikasi variasi antarhewan atau ternak pada semua genom. Analisis sekuensing DNA tersebut sangat penting dilakukan sebagai alat bantu, khususnya dalam mengetahui ekspresi gen (Drinkwater dan Hetzel 1991). Gen Kandidat (Candidate Gene) Pada program pemuliaan, penciri genetik molekuler diharapkan dapat menjadikan seleksi agar lebih tepat dan efisien. Suatu penciri genetik molekuler dikatakan sebagai gen kandidat (candidate gene) apabila nyata pengaruhnya secara biologis pada sifat-sifat kuantitatif. Salah satu gen yang dianggap sebagai gen kandidat untuk pertumbuhan adalah gen hormon pertumbuhan (GH) (Unanian et al. 2002). Hormon pertumbuhan menurut Burton et al. (1994) memiliki aktivitas fisiologi yang luas dan termasuk di dalamnya mengatur pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu, gluconeogenesis, aktivasi lipolisis, dan memperkaya inkorporasi asam amino di dalam protein otot. Pereira et al. (2005) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dikontrol oleh sejumlah gen (polygenes) yang tempat atau posisi lokus sifat kuantitatifnya (QTL) dapat diketahui melalui analisis linkage disequilibrium atau analisis pendekatan gen kadidat. Yao et al. (1996) menyatakan bahwa gen-gen yang termasuk sebagai gen kandidat dapat diuji sebagai putative QTL. Terdapat dua kategori utama informasi genom yang dapat digunakan dalam perbaikan genetik ternak, yaitu (1) gen-gen yang telah diketahui ekspresi proteinnya secara pasti dan (2) pengaruh gen-gen dapat dideteksi melalui pendekatan statistik terutama kaitannya dengan deteksi QTL (Montaldo dan Hereira 1998). Selanjutnya dinyatakan bahwa kategori I (tipe 1), terdapat beberapa contoh gen yang memiliki atau diketahui ekspresi proteinnya seperti myostatin (George et al. 1998) dan gen ryanodyne receptor (Huges dan Lowden 1998). Kategori II (tipe 2) berhubungan dengan gen yang terkait dengan QTL dan beberapa studi telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara keragaman genetik dengan ekspresi fenotipe pada beberapa

19 24 spesies ternak. Adanya hubungan keragaman genetik dengan ekspresi fenotipe tersebut, melahirkan gagasan terhadap penggunaan seleksi yang dibantu penciri atau marker assisted selection (MAS) (Montaldo dan Hereira 1998). MAS (Marker Assisted Selection) Gagasan di balik penggunaan MAS ialah terdapat gen yang memiliki pengaruh nyata dan menjadi sasaran atau target secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf 2000). Beberapa sifat dikontrol oleh gen tunggal, seperti warna bulu merupakan sifat yang pola pewarisannya sederhana, akan tetapi kebanyakan sifatsifat penting pada ternak terutama sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen (Nicholas 1996; Noor 2004). Gen-gen sifat kuantitatif yang memiliki pengaruh besar merupakan gen-gen yang disebut sebagai gen utama (major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau Quantitative Trait Loci (QTL). Metode seleksi secara sederhana menggunakan informasi fenotipik telah berhasil dalam memperbaiki produktivitas ternak, akan tetapi metode seleksi sederhana tersebut memiliki beberapa keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal untuk diukur. Melalui penciri genetik diharapkan memiliki potensi yang dapat mengurangi masalah yang dihadapi terkait dengan menggunakan metode seleksi konvensional, sebab melalui penciri genetik (genetic marker) yang ditambahkan pada seleksi dibantu penciri (marker) dapat lebih meningkatkan dan mempercepat kemajuan genetik yang diperoleh (Visscher et al. 2000). Teori pemuliaan ternak klasik untuk pewarisan sifat kuantitatif yaitu didasarkan pada model pewarisan yang diasumsikan bahwa banyak gen yang terlibat dan memiliki pengaruh kecil terhadap ekspresi fenotipe. Akan tetapi, dalam dua dekade terakhir telah diidentifikasi beberapa gen yang memiliki pengaruh utama (major gene) terhadap sifat-sifat komersial atau ekonomis pada ternak. Beberapa gen utama seperti gen Booroola merupakan gen banyak anak (prolifik) pada domba, gen Thoka inverdale dan Woodland merupakan gen yang berpengaruh pada laju ovulasi, gen Callipyge berpengaruh pada produksi daging domba, gen Double muscling berpengaruh pada produksi daging sapi dan gen Naked neck berpengaruh pada toleransi panas pada ayam (Davis et al. 1998).

20 25 Salah satu keuntungan dari peta genetik yaitu dapat digunakan untuk mengidentifikasi penciri DNA yang terpaut (Linked) dengan QTL (Nicholas, 1996). Jika kandidat QTL dapat diidentifikasi genotipenya untuk setiap penciri DNA yang terkait, maka genotipe tersebut dapat digunakan sebagai pentunjuk nilai pemuliaan dari setiap kandidat QTL atau gen untuk suatu sifat. Penggunaan penciri demikian dalam program perbaikan genetik terutama seleksi disebut dengan istilah marker assisted selection (MAS). Penggunaan MAS adalah suatu harapan yang optimis. Akan tetapi penerapan MAS akan lebih tepat digunakan pada skala industri pemuliaan ternak atau industri peternakan sehingga keberhasilan penerapannya memerlukan strategi terpadu yang menyeluruh untuk skala usaha peternakan besar (Dekkers 2004). Meuwissen (2001) menyatakan bahwa MAS penting pada situasi yang ketepatan seleksi rendah, nilai heritabilitas rendah dan terbatas. Melalui seleksi MAS yang digunakan, ketepatan seleksi diharapkan dapat lebih baik sejak periode anak atau fase embrional. Beberapa penciri genetik (genetic marker) yang telah digunakan sebagai alat MAS atau sebagai alat seleksi genetik telah diproduksi dan dipasarkan sebagai alat seleksi genetik untuk sifat marbling, keempukan daging (tenderness), dan efisiensi pakan pada ternak sapi pedaging. Alat seleksi genetik tersebut dipasarkan dengan merek, yaitu GeneSTAR dan GeneSTAR Tenderness ( serta Igenity TenderGENE ( igenty.com) (Enennaam 2006).

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia 5 TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia Keanakeragaman ternak yang terdapat di Indonesia khususnya pada ternak sapi berasal dari sumber daya genetik ternak asli dan ternak impor.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

Lebih terperinci

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging,

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging, APLIKASI GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH, GHRH) SEBAGAI MARKA DALAM SELEKSI PENINGKATAN BOBOT POTONG DAN KUALITAS DAGING PADA KERBAU (Penelitian lanjutan Tahun III) Tim Peneliti: Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental menunjukkan adanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia Utara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos banteng) (Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos sondaicus (Payne dan Hodges 1997). Banteng

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG SKRIPSI DINY WIDYANINGRUM DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos Banteng Syn Bos sondaicus) yang didomestikasi. Menurut Meijer (1962) proses penjinakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi merupakan anggota famili bovidae yang muncul pada era Pleistosen. Ternak sapi berasal dari keturunan aurok liar (Bos primigenius) (Mannen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya

I. PENDAHULUAN. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya menyebar di Sumatera Barat dan sebagai plasma nutfah Indonesia dan komoditas unggulan spesifik wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan. 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sapi lokal merupakan alternatif kebijakan yang sangat memungkinkan untuk dapat meningkatkan produksi dan ketersediaan daging nasional. Ketidak cukupan daging

Lebih terperinci

ANALISIS POLIMORFISME GEN BOVINE GROWTH HORMONE (BGH) EXON III-IV PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI BPTU BATURRADEN

ANALISIS POLIMORFISME GEN BOVINE GROWTH HORMONE (BGH) EXON III-IV PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI BPTU BATURRADEN ANALISIS POLIMORFISME GEN BOVINE GROWTH HORMONE (BGH) EXON III-IV PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI BPTU BATURRADEN (Polymorphisms Analysis of Bovine Growth Hormone (bgh) Gene Exon III- IV in BPTU Baturraden

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA SKRIPSI IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA Oleh: Astri Muliani 11081201226 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada REKAYASA GENETIKA Sukarti Moeljopawiro Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Rekayasa Genetika REKAYASA GENETIKA Teknik untuk menghasilkan molekul DNA yang berisi gen baru yang

Lebih terperinci

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh PEMBAHASAN UMUM Kebutuhan pangan berupa beras di Indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Akan tetapi di masa datang kemampuan pertanian di Indonesia untuk menyediakan beras

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN RESEPTORNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKSI SUSU KUMULATIF PARSIAL PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI SENTRA PRODUKSI JAWA BARAT RESTU MISRIANTI SEKOLAH

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN DAN DEFINI

DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN DAN DEFINI DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN DAN DEFINI α : alpha A : adenine ADG : average daily gain AFLP : amplified fragment length polymorphism AI : artificial insemination (inseminasi buatan) Bentuk alternatif dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia memiliki beberapa bangsa sapi diantaranya adalah sapi Bali, Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir merupakan salah satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba Menurut Blakely dan Bade (1991) domba sudah sejak lama diternakkan orang, tetapi hanya sedikit saja yang mengetahui asal mula dilakukannya seleksi dan domestikasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba Garut merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu dilestarikan sebagai sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi TINJAUAN PUSTAKA Sapi Sapi diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactile (hewan berkuku atau berteracak genap), sub-ordo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

Struktur Gen Manusia Secara Menyeluruh

Struktur Gen Manusia Secara Menyeluruh Nama NIM Judul Email Blog : Lestari Trihartani : B1J005194 : Struktur Gen Manusia Secara Menyeluruh : masuka_berd2yahoo.com : http//:masuka.wordpress.com Struktur Gen Manusia Secara Menyeluruh Tahun 1977,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi TINJAUAN PUSTAKA Sapi Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali 41 PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali Sekuen individu S. incertulas untuk masing-masing gen COI dan gen COII dapat dikelompokkan menjadi haplotipe umum dan haplotipe-haplotipe

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK 16 3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK Pertumbuhan dikontrol oleh multi gen, diantaranya gen Insulin-Like Growth

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1. 1 Pertumbuhan, Konversi Pakan, dan Kelangsungan Hidup Pada pemeliharaan 4 minggu pertama, biomassa ikan yang diberi pakan mengandung rgh belum terlihat berbeda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

ISOLASI DAN KARAKTERISASI cdna HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MOCHAMAD SYAlFUDlN

ISOLASI DAN KARAKTERISASI cdna HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MOCHAMAD SYAlFUDlN ISOLASI DAN KARAKTERISASI cdna HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MOCHAMAD SYAlFUDlN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK MOCHAMAD SYAIFUDIN. Isolasi-

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci