IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode PCR-SSCP adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2011 Surya Nur Rahmatullah NIM D

4

5 ABSTRACT SURYA NUR RAHMATULLAH. Identification of Growth Hormone Gene Variation in the Exon Region of Indonesian Local Cattle Based on PCR-SSCP Method. Under supervision of RONNY RACHMAN NOOR and JAKARIA. The aim of this study was to identify the polymorphisms of the growth hormone gene (GH) of Indonesian local cattle breeds as well as two exotic breed as the out grouped using polymerase chain reaction and single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). 20 DNA samples of each Indonesian local cattle in consists of Bali, Pesisir, Madura and Katingan and 10 DNA samples of Simmental and Limousine cattle were used. The results show that the polymorphism of the GH gene was found in the three exon regions which are exon 1, 2 and 5 at Indonesian local cattle except for the Bali and Madura cattle that showed polymorphism only at exon 2. This two cattle showed monomorphism at their exon 3 and 4. On the other hand, the exotic breed showed the polymorphism in all exon regions, except for exon 2 in Simmental cattle which was found to be monomorphic. Bos javanicus was monomorphic in the fifth exon except at exon 2 that is polymorphic, while Bos taurus and Bos indicus were polymorphic in the fifth exon. The degree of heterozygosity in the Bos javanicus was a lower when compared to the value of Bos taurus and Bos indicus, so that it can be stated that the high diversity found in the Bos taurus and Bos indicus cattle. Keywords: Indonesian local Cattle, growth hormone gene, PCR-SSCP, polymorphism.

6

7 RINGKASAN SURYA NUR RAHMATULLAH. Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode PCR-SSCP. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR dan JAKARIA. Indonesia memiliki berbagai bangsa ternak sapi potong yang merupakan ternak lokal yang informasi genetiknya masih terbatas seperti sapi Bali, Aceh, Madura, Pesisir dan sapi Katingan. Sapi potong tersebut memiliki potensi yang sangat besar karena merupakan sumber daya genetik ternak lokal yang tidak ternilai harganya. Keunggulan yang dimiliki sapi lokal Indonesia adalah kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, ketersediaan pakan yang berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, serta mampu bertahan pada kondisi iklim tropis. Keunggulan pada sapi lokal Indonesia inilah yang menjadi salah satu alasan dasar atas kajian molekuler terhadap gen hormon pertumbuhan (GH) yang diduga sebagai salah satu gen utama (major gene) yang berperan penting dalam proses pertumbuhan. Polimorfisme dari gen GH yang terdapat sapi lokal seperti sapi Bali, Madura, Pesisir, dan sapi Katingan (Kalimantan Tengah) belum banyak informasinya. Hal ini terkendala dari segi penelitian maupun teknik dalam pendeteksian keragaman gen tersebut. Teknik yang juga bisa digunakan untuk mendeteksi keragaman gen pada suatu ternak adalah dengan teknik PCR- SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism). Teknik ini relatif masih baru dalam penentuan polimorfisme suatu gen, dan tidak banyak dilakukan, khususnya dalam penentuan gen GH terlebih pada ternak sapi lokal Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman gen hormon pertumbuhan di daerah exon dengan menggunakan teknik PCR-SSCP pada populasi sapi lokal Indonesia. Sampel darah sapi yang digunakan adalah sapi lokal Indonesia yaitu sapi Bali, Madura, Pesisir dan Katingan, sebanyak 80 sampel dengan masing-masing bangsa sapi sebanyak 20 sampel, sedangkan sampel sapi yang digunakan sebagai pembanding adalah sapi yang berasal dari bangsa Bos taurus seperti Limousin dan Simmental dengan masing-masing bangsa sebanyak 10 sampel, yang sudah dikoleksi dan disimpan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Isolasi DNA total menggunakan metode Sambrook et al. (1989) yang dimodifikasi. Isolasi DNA total, teknik PCR dan SSCP dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan IPB. Penelitian berlangsung sejak Oktober 2010 s/d Juni Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen gen GH daerah exon 1, 2, 3, 4 dan 5 didasarkan pada Lagziel et al. (1996) dan Kioka et al. (1989) yang dimodifikasi. Panjang produk hasil amplifikasi fragmen gen GH pada masing masing exon adalah exon 1: 315 pb, exon 2 : 283 pb, exon 3 : 158 pb, exon 4 : 198 pb dan exon 5 : 392 pb. Deteksi polimorfisme gen GH dilakukan melalui teknik PCR-SSCP. Keragaman gen GH ditentukan dengan analisis frekuensi alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He). Keseimbangan genotipe gen GH dalam populasi diuji dengan uji χ2 (chi-square). Keragaman gen GH pada sapi lokal Indonesia bersifat polimorfik (beragam) pada kelima exon (exon 1, 2, 3, 4 dan 5). Alel A, D, H, J dan L pada

8 sapi lokal Indonesia yang merupakan alel-alel yang memiliki nilai frekuensi yang jauh tinggi dibandingkan frekuensi alel pada sapi impor. Sapi impor bersifat polimorfik untuk semua exon (exon 1,2,3,4,5). Bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa Bos javanicus bersifat monomorfik pada kelima exon kecuali pada exon 2 bersifat polimorfik, bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa Bos taurus dan Bos indicus bersifat polimorfik di kelima exon. Derajat heterozigositas pada bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa Bos javanicus memiliki nilai heterozigositas yang rendah dibandingkan nilai heterozigositas bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus, sehingga dapat dinyatakan bahwa keragaman yang tinggi terdapat pada bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa Bos taurus dan Bos indicus. Kata kunci: Sapi lokal Indonesia, gen hormon pertumbuhan, PCR-SSCP, polimorfisme

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN METODE PCR-SSCP SURYA NUR RAHMATULLAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

13 HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis Nama NIM Program Studi/Mayor : Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode PCR-SSCP : Surya Nur Rahmatullah : D : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Ketua Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si Anggota Diketahui Koordinator Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 20 September 2011 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan karunia-nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini ialah identifikasi tentang genetika molekuler pada ternak dengan judul: Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode PCR-SSCP. Penelitian ini dilakukan atas dasar, yaitu (1) sapi lokal Indonesia memiliki kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, ketersediaan pakan yang berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, serta mampu bertahan pada kondisi iklim tropis dan (2) sapi lokal Indonesia yang merupakan salah satu ternak lokal yang masih terbatas informasi molekulernya terutama mengenai keragaman gen hormon pertumbuhan (GH) dengan menggunakan metode PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism). Atas dasar tersebut, penulis berharap agar informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini mungkin dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pemuliaan dan genetika ternak di Indonesia.

16

17 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. dan Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. atas bimbingan, arahan, dan dorongan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala amal ibadah, pengorbanan, curahan waktu, pikiran dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. sebagai penguji pada ujian sidang tesis atas kesediaannya meluangkan waktu menjadi penguji luar komisi. Beberapa pertanyaan, saran, dan komentar yang telah diberikan sangat bermanfaat dan memiliki arti penting bagi penulis untuk kesempurnaan tesis ini. Kepada Ketua dan staf dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada Gubernur Provinsi Daerah Kalimantan Selatan, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banjar, Kalimantan Selatan, serta PD. Baramarta terima kasih penulis sampaikan atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc. atas izin penggunaan data dan sampel darah sapi Katingan, Kalimantan Tengah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc sebagai Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Dr. Ir. Rarah R.A Maheswari, DEA sebagai Ketua Program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, staf pengajar, dan staf penunjang Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Andi Baso LI,MP, M Ihsan AD, M.Si, Irine, S.Pt, Ferdy, S,Pt, Revy, S.Pt, dan semua kawan atau sahabat seperjuangan di Laboratorium Genetika Molekuler Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Eryk Andreas, S.Pt, M.Si yang telah banyak membantu selama kegiatan penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman ITP 08, 10 dan 11, khususnya pada kawankawan ITP 09: Restu M, Almira P, Prima PR, Fera US, Bambang K, Heni VS,

18 Yoshi, Adi R, Jaya PJ, Petlane David M, terima kasih atas do a restu, semangat, dan motivasi yang diberikan. Kepada orang tua, Ibunda Mahdanur Masy, S.Pd dan Ayahanda Suriani Dasri serta Kakak Yayan dan Istri serta Ayra, dan Adinda Didi yang selalu memberikan dorongan, semangat dan do a restu yang tidak ada hentinya. Keberhasilan ini sebenarnya adalah buah keberhasilan dan kerja keras ibunda dan ayahanda peroleh, semoga ilmu dan keberhasilan yang didapatkan ini dapat penulis manfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Kepada teman-teman serta sahabat yang ada di Kalimantan Selatan terima kasih banyak atas segala pengorbanan, kasih sayang, dan pengertian yang diberikan. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan semangat untuk menyelesaikan studi ini. Semoga ALLAH SWT membalas segala amal ibadah dan kebaikan yang diberikan dengan pahala atau balasan yang setimpal. Bogor, Oktober 2011 Surya Nur Rahmatullah

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Agustus 1985 di Barabai. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Suriani Dasri, BA dan Mahdanur Masy, S.Pd. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Negeri Jawa 4, Martapura. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP N 1 Martapura. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas diselesaikan pada tahun 2003 di SLTA Negeri 1 Martapura. Tahun 2003 penulis lulus seleksi masuk Universitas Lambung Mangkurat melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Universitas Lambung Mangkurat (SMPTN). Penulis memilih Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dan lulus pada tahun 2008, pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Selama mengikuti studi magister penulis menjadi assisten mata kuliah Pemuliaan Ternak pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Selain itu, penulis juga ikut aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Peternakan tahun 2010 dan pada tahun 2011 penulis berkesempatan menjadi Ketua Animal Breeding and Genetic Science, serta aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan.

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian Manfaat TINJAUAN PUSTAKA. 5 Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia... 5 Potensi Genetik Sapi Lokal Indonesia... 7 Sapi Bali 7 Sapi Pesisir 9 Sapi Madura.. 9 Sapi Katingan 10 Pertumbuhan Sapi. 11 Hormon Pertumbuhan 14 Gen Hormon Pertumbuhan 17 Keragaman Genetik Gen GH. 18 PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) 20 MATERI DAN METODE.. 23 Tempat dan Waktu Materi dan Alat Penelitian 23 Isolasi DNA.. 23 Analisis PCR. 24 Analisis Elektroforesis.. 24 Metode Penelitian.. 24 Isolasi DNA Total. 24 Amplifikasi Gen GH Elektroforesis dan Visualisasi DNA.. 26 Pendeteksian Varian Gen GH dengan Metode PCR-SSCP Analisis Data.. 28 Frekuensi Alel Frekuensi Hereozigositas Pengamatan.. 28 Frekuensi Heterozigositas Harapan Ragam Heterozigositas Harapan Pengujian Chi-Kuadrat.. 29 xxi

22 xxii HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan. 32 Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dalam Populasi Sapi Lokal Indonesia.. 32 Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan antar Bangsa Sapi 40 Keseimbangan Gen dalam Populasi.. 46 Keseimbangan Hardy-Weinberg dalam Populasi Sapi Lokal Indonesia 46 Keseimbangan Hardy-Weinberg antar Bangsa Sapi di Indonesia Derajat Heterozigositas Derajat Heterozigositas Populasi Sapi Lokal Indonesia. 50 Derajat Heterozigositas Bangsa Sapi di Indonesia. 52 KESIMPULAN DAN SARAN.. 55 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA.. 57 LAMPIRAN 64

23 DAFTAR TABEL Halaman 1. Sampel, jumlah dan asal sapi yang digunakan dalam penelitian Posisi, panjang fragmen dan sekuens primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen GH Frekuensi alel gen GH pada kelima exon pada masing-masing bangsa sapi Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH Frekuensi alel gen GH pada semua bangsa sapi Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH pada semua bangsa sapi Keragaman gen GH pada beberapa bangsa sapi yang telah dilakukan penelitiannya Uji Khi-kuadrat (χ 2 ) terhadap genotipe fragmen gen GH di kelima exon Uji Khi-kuadrat (χ 2 ) terhadap genotipe fragmen gen GH di kelima exon pada semua bangsa sapi di Indonesia Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) fragmen gen GH di kelima exon seluruh populasi sampel Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) fragmen gen GH di kelima exon seluruh populasi bangsa sapi di Indonesia xxiii

24 xxiv

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Penyebaran dan tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika dan Eropa (MacHugh 1996) Lokasi dan hubungan genetik dari populasi sapi Indonesia (Mohamad et al. 2009) Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan pertumbuhan otot dan tulang (Roith et al. 2001) Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya pada ternak domestik (Lawrence & Fowler 2002) Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH di GenBank (Gordon et al. 1983) Sekuens gen hormon pertumbuhan (bgh) pada sapi Bos taurus yang diakses di GenBank (Gordon et al. 1983) Posisi penempelan primer (cetak tebal) pada sekuens gen GH (nomor akses M57764) Elektroforesis produk PCR gen GH pada gel acrilamyde 6% Macam genotipe yang ditemukan di gen GH pada sapi lokal Indonesia Sapi PO dan sapi Katingan (Utomo 2011) Hubungan genetik lokal sapi Indonesia (Mohamad et al. 2009) Kemungkinan rute domestikasi sapi di Asia (Payne & Rollinson 1973) xxv

26 xxvi

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Informasi sekuen gen GH pada ternak sapi (Bovine) Modifikasi isolasi DNA menggunakan metode Sambrook et al. (1989) Jumlah alel dan genotipe serta frekuensi genotipe gen GH di kelima exon pada masing-masing bangsa sapi. 68 xxvii

28

29 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki keistimewaan dengan adanya tipe ternak sapi yang berbeda dari tipe Zebu maupun Taurine, tetapi ternak sapi tersebut termasuk spesies liar, yaitu termasuk ke dalam Bos banteng dan bangsa sapi silangan. Spesies banteng yang sudah didomestikasi ini di Indonesia dikenal sebagai sapi Bali yang termasuk dalam spesies Bos javanicus atau Bos sondaicus (Talib et al. 2002). Sapi Bali, dengan kehadirannya sekarang merupakan salah satu aset peternakan di dunia yang banyak diteliti dalam upaya mengembangkannya. Selain itu, juga terdapat beberapa ternak lokal lainnya yang belum dieksplorasi melalui penelitian penelitian walaupun tidak sepopuler sapi Bali, seperti sapi Madura, sapi Pesisir, bahkan yang terbaru adalah sapi Katingan yang terdapat di Kalimantan Tengah. Sapi lokal Indonesia tersebut merupakan salah satu sumber daya genetik ternal lokal yang memiliki keunikan serta keistimewaan seperti memiliki penampilan (fenotipe) dengan bentuk dan ukuran tubuh yang kecil dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya, seperti bangsa sapi Indicus dan Taurine. Oleh karena itu, sapi lokal Indonesia merupakan salah bangsa sapi terkecil di dunia setelah sapi dwarf West Afrika shorthorn dari wilayah pantai Afrika Barat dan termasuk ke dalam kelompok sapi kecil (mini cattle) (Sarbaini 2004). Indonesia memiliki berbagai bangsa ternak sapi potong yang informasi genetiknya masih terbatas khususnya pada sapi Bali, Aceh, Madura, Pesisir dan Katingan. Bangsa ternak sapi potong lokal tersebut memiliki potensi yang sangat besar karena merupakan sebagai sumber daya genetik lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal utama yang berasal dari Indonesia, yaitu sapi Aceh, sapi Pesisir dan sapi Madura (Martojo 2003). Sapi Bali merupakan sumber daya genetik ternak yang memiliki keistimewaan sehingga banyak penelitian yang berkaitan genetik melibatkan ternak sapi Bali, sehingga dapat dikatakan sapi Bali sebagai sapi asli Indonesia yang tidak ternilai harganya. Keunggulan sapi lokal Indonesia lainnya adalah kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, mampu

30 2 memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, serta mampu bertahan pada kondisi iklim tropis (Jakaria 2008). Pemanfaatan penerapan teknologi molekuler dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi keragaman genetik ternak asli Indonesia dengan menggunakan beberapa penanda molekuler. Penanda molekuler ini dapat digunakan untuk mengetahui keragaman genetik suatu ternak juga dapat digunakan untuk mengetahui asal usul ternak. Penanda molekuler atau marker genetik, merupakan penanda yang dapat dideteksi baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan genotipe suatu individu ternak. Hasil dari suatu penanda molekuler ini dapat dilacak untuk mengetahui keberadaan lokasinya di kromosom. Beberapa penciri genetik yang dianggap berpotensi digunakan sebagai gen yang pengendali sifat pertumbuhan dan kualitas karkas adalah hormon pertumbuhan (GH) yang merupakan salah satu gen kandidat (Unanian et al. 2000) yang dicari untuk menduga penampilan produksi karena diduga berhubungan dengan lokus-lokus penyandi (Dybus et al. 2002). Selain itu, gen GH dipertimbangkan sebagai gen kandidat penciri produksi susu karena fungsinya yang mengatur metabolisme galactopoietic dan proses pertumbuhan (Høj et al. 1993). Gen GH juga berperan dalam perkembangan sel di kelenjar mammae, lactogenesis serta proliferasi sel mammae (Horvat & Medrano 1995; Lagziel et al. 1999). Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine) merupakan single protein yang memiliki berat molekul sebesar 22-kDa, yang terdiri atas asam amino (Wallis 1973). Sekuen gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang 2856 pasang basa (pb) dengan daerah coding 1826 bp yang terdiri atas lima exon dan empat intron (Woychick et al. 1982; Gordon et al. 1983) terletak di kromosom 19 (Hediger et al. 1990). Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan eksploitasi terhadap gen growth hormone (GH) telah banyak dilaporkan. Zhang et al. (1993), Jakaria (2008) dan Sutarno et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat polimorfisme yang ditemukan pada gen hormon pertumbuhan (GH) sapi yaitu pada intron 3 dan

31 3 exon 5, intron 3 parsial dan exon 4 parsial, intron 4 parsial dan exon 5 parsial, serta pada fragmen 223 pb (lokus 1) dan fragmen 329 pb (lokus 2). Terbatasnya informasi tentang keragaman fragmen gen growth hormone (GH) pada sapi lokal Indonesia yang belum banyak dieksploitasi terutama di daerah exon 1, 2, 3, 4 dan 5. Hal ini penting untuk diketahui sebagai upaya melengkapi kerangka kerja genetika molekuler yang terdapat dalam program pemuliaan ternak lokal, sehingga informasi tersebut dapat digunakan di masa mendatang pada tingkatan nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya kajian molekuler dan masih terbatasnya informasi karakteristik genetik sapi potong Indonesia khususnya kajian DNA pada tingkat gen (coding sequence) maka perlu dilakukan eksplorasi terhadap gen-gen lain yang sangat potensial. Salah satu gen yang sangat potensial adalah gen GH yang merupakan gen yang dapat mengontrol ekspresi gen lain yaitu gen prolaktin, gen tirotropin dan gen Pit-1. Gen GH juga dianggap sebagai kandidat untuk penciri genetik (genetic marker) sifat pertumbuhan dan kualitas karkas (Curi et al. 2010). Teknik yang banyak digunakan untuk mendeteksi keragaman gen GH berbasis teknik genetika molekuler seperti PCR (polymerase chain reaction) antara lain PCR RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), PCR-RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), Degradative Gradien Gel Electrophoresis (DGGE), Mikrosatelit dan PCR-SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism). PCR-SSCP untuk mendeteksi adanya keragaman di gen GH pada sapi lokal seperti sapi Bali, Pesisir, Madura dan Katingan, belum pernah dilakukan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian untuk mengetahui keragaman gen GH pada sapi lokal tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman gen hormon pertumbuhan di daerah exon dengan menggunakan teknik PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) pada populasi sapi lokal Indonesia.

32 4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu informasi dasar dalam kajian gen hormon pertumbuhan pada sapi lokal Indonesia, baik untuk tujuan pelestarian, pemanfaatan dan perbaikan mutu genetik ternak lokal Indonesia.

33 5 TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia Keanakeragaman ternak yang terdapat di Indonesia khususnya pada ternak sapi berasal dari sumber daya genetik ternak asli dan ternak impor. Impor ternak sapi Ongole dan Zebu (Bos indicus) yang dimulai pada awal abad ke-20 memegang peranan penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Ongole murni pertama kali dibawa ke Pulau Sumba yang kemudian dikenal dengan sebutan Sumba Ongole (SO) dan selanjutnya dibawa ke wilayah lain di Indonesia untuk disebarkan. Penyebaran tersebut dimaksudkan untuk dapat disilangkan dengan sapi asli Jawa dan akhirnya membentuk suatu bangsa sapi peranakan Ongole dan sapi Madura (Utoyo 2002). Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih beragam, yaitu mulai dari sapi asli seperti sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi Peranakan Ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003). Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne & Rollinson 1973). Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini, banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Pada keadaan liar, habitat asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Baluran) dan di Jawa Barat (Ujung Kulon), selain itu banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf 1995). Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan Pada tahun 1927 sapi Bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor dan pada tahun 1940 jumlahnya telah mencapai 80 ekor. Pada

34 6 tahun 1947 sapi Bali disebarkan ke propinsi ini secara besar besaran. Sapi-sapi inilah bersama dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi Bali terbanyak di Indonesia. Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah penyakit jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib 2002). Gambar 1. Penyebaran dan tipe tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika dan Eropa (MacHugh 1996). Gambar 1 terlihat dengan jelas bahwa penyebaran sapi yang secara tertutup (warna hijau), hal ini terkait dengan spesies Bos (Bibos) seperti banteng, gaur dan kouprey (MacHugh 1996). Hasil domestikasi spesies liar Bos (Bibos) banteng adalah sapi Bali (Bos sondaicus) atau Bos javanicus (Talib et al. 2002). Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia sebagai sapi Bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar

35

36 8 dipertimbangkan untuk dijadikan kriteria seleksi, mengingat produksi susu sapi Bali yang baik hanya dalam 4 bulan pertama (Talib et al. 1999). Korelasi genetik bobot umur 120 hari dengan sifat-sifat ekonomis seperti bobot potong dan pertambahan bobot badan pada bangsa sapi Bali cukup tinggi (Talib 2002). Cara lain untuk meningkatkan produktivitas sapi adalah dengan memanfaatkan banteng yang memiliki bobot dewasa yang besar (pejantan sapi Bali dengan bobot sekitar kg terdapat di luar pulau Bali) ataupun sapi Mithan yang memang masih satu tetua dengan sapi Bali (Scherf 1995; Talib et al. 1997). Sapi Bali umur sekitar 2 tahun dengan bobot 400 kg atau umur 4 tahun dengan bobot badan sekitar kg dapat ditemukan di Bali. Kasus penyakitpenyakit yang menjadi khas sapi Bali seperti Jembrana, mengakibatkan potensi yang baik ini belum dapat digunakan dengan semestinya di luar Pulau Bali. Pada umumnya di Sulawesi Selatan pemeliharaan sapi Bali dengan digembalakan, sehingga penampilan produksi lebih rendah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh batas bawah dari performan sapi Bali di NTT, tetapi pada pemeliharaan intensif terlihat bahwa sapi Bali baik di Bali ataupun di NTT menunjukkan performan yang sama baiknya (Talib 2002). Sapi Bali merupakan salah satu penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia khususnya dari ternak sapi, terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi Bali telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat di Indonesia, seperti di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan beberapa wilayah di pulau Jawa, sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi Bali sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana 2009). Pada pemeliharaan intensif maupun ekstensif sapi Bali menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan khusus tersebut. Hal ini dapat dilihat dari laporan Siregar et al. (2000) bahwa walaupun sapi Bali di

37 9 Ujung Pandang berukuran kecil tetapi mempunyai body condition score yang baik, artinya sapi-sapi tersebut tidak kurus. Kemampuan adaptasi ini merupakan salah satu keunggulan sapi Bali tetapi juga sekaligus merupakan kelemahannya. Keadaan lingkungan hidup sapi Bali yang kurang baik (pakan jelek) maka adaptasi sapi Bali adalah dengan menurunkan ukuran tubuh, sehingga akan menghasilkan jumlah edible meat sedikit dan kecil-kecil. Kondisi ini akan menyebabkan pasarannya sapi Bali hanya dapat menjangkau kalangan bawah sampai menengah. Sapi Pesisir Sapi di Sumatera Barat, menurut catatan sejarah terdiri atas sapi lokal, sapi Zebu dan sapi Eropa. Sejak tahun 1907 telah dimasukkan sapi-sapi Zebu (Ongole dan Hissar) untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal. Setelah kemerdekaan, kembali dimasukkan sapi Ongole di Sumatera Barat dalam rangka Program Ongolisasi. Terbatasnya sarana perhubungan di bagian selatan Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan, Program Ongolisasi tidak berjalan sebaik di daerah bagian utara dan tengah, seperti di Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar (Sarbaini 2004). Ciri-ciri sapi lokal Sumatera Barat adalah tubuh kecil, badan pendek dan kaki kecil. Sapi Pesisir memiliki pola warna bulu tunggal yang dikelompokkan atas lima warna utama, yaitu merah bata (34.35%), kuning (25.51%), cokelat (19.96%), hitam (10.91%), dan putih (9.26%) (Sarbaini 2004). Selain itu, sapi Pesisir juga dikenal bertemperamen jinak sehingga mudah dikendalikan dalam pemeliharaan (Saladin 1983). Sapi Pesisir Sumatera Barat khususnya sapi Pesisir Selatan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu sapi terkecil di dunia. Contoh sapi terkecil di dunia yang lainnya berdasarkan bobot badannya adalah sapi dwarf West Afrika shorthorn yang berasal dari Wilayah Pantai Afrika Barat dan Bonsai Brahman dari Meksiko (Sarbaini 2004). Sapi Madura Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus. Daerah atau lokasi penyebaran terutama di pulau Madura, Jawa Timur. Sapi ini termasuk tipe pedaging dan pekerja, dengan memiliki karakteristik warna

38 10 merah bata baik pada jantan maupun betina. Sapi jantan memiliki tanduk yang pendek dan beragam lebih kurang cm, sedangkan pada betina, tanduk lebih kecil dan pendek lebih kurang 10 cm. Panjang badan lebih mirip seperti sapi Bali tetapi berpunuk kecil, dengan tinggi badan kira 118 cm dengan berat badan rata rata 350 kg (Arbi 2009). Saat ini breed sapi lain dilarang masuk ke pulau Madura, tetapi sapi Madura disebarkan ke berbagai daerah seperti Jawa Timur, Flores, Kalimantan dan Sumatra, walaupun perkembangannya tidak sebaik di Pulau Madura. Berdasarkan bentuk fenotipe, sapi Madura menyerupai sapi Bali, yakni bentuknya yang uniform, ukuran tubuhnya sedang sampai kecil, bertulang dan berotot yang bagus, terutama sapi jantan (karapan) dan mempunyai kaki yang cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja tarik yang berat. Sapi Madura umumnya berwarna coklat medium dan coklat merah. Warna putih seperti pada kaki (white stocking) juga sering ditemukan di daerah abdomen dan bagian paha dalam. White stocking yang ditemukan pada kaki sapi Madura berwarna lebih muda dan tidak sejelas yang ditemukan pada sapi Bali (Suwiti et al. 2008). Sapi Madura merupakan salah satu jenis sapi potong lokal dari Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Madura serta pulau pulau disekitarnya. Asal domestikasi sapi Madura juga hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Secara morfologi, sapi Madura memiliki karakter yang hampir sama dengan sapi Bali, kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih kecil (Setiadi 2010). Sapi Madura mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan dan diberdayakan. Keunggulan itu antara lain, memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stres pada lingkungan tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang kurang baik, tumbuh dan berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi serangan caplak dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap parasit tertentu. Beberapa sumber hingga kini menyebutkan bahwa sapi Madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif dan inbreeding (Leasa 2009). Sapi Katingan Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah yang ada di Kalimantan Tengah yang secara umum dapat dimanfaatkan dalam berkontribusi dalam pembangunan peternakan nasional. Hasil karakterisasi fenotipik yang menjadi

39 11 ciri umum sapi Katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan mempunyai banyak variasi warna. Keberadaan sapi katingan yang unik ini dipelihara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan dan Kahayan secara ekstensif dalam bentuk ranch-ranch. Sapi-sapi tersebut hanya dipelihara oleh masyarakat lokal setempat atau yang dikenal dengan sebutan suku Dayak, sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti sapi Bali (dominan), sapi Madura dan sapi PO kebanyakan dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Tidak seperti sapi lokal lainnya yang sudah banyak dilakukan penelitian, informasi mengenai sapi lokal dari Kalimantan Tengah ini masih sangat minim, mulai dari informasi tentang reproduksi, pertumbuhan bahkan dari genetika. Keberadaan sapi tersebut sudah puluhan bahkan ratusan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang lahannya tergolong asam dan rawa (Utomo 2011). Penciri pada sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya, yaitu adanya variasi pertumbuhan tanduk seperti melengkung ke depan, melengkung ke samping, dan melengkung ke bawah, sedangkan pada sapi jantan, hanya terdapat variasi tanduk melengkung ke atas dan menyamping ke atas. Pola warna bulu pada sapi Katingan juga sangat bervariasi baik pada jantan maupun betina mulai dari pola warna coklat kemerahan, coklat keputihan, hitam hingga putih keabuan. Hal menarik yang terdapat pada sapi Katingan adalah adanya tonjolan kecil pada bagian kepala yang kemungkinan dapat mejadi penciri morfologi dari sapi Katingan. Tonjolan yang terdapat pada bagian tengah (diantara dua tanduk) dari kepala sapi Katingan hanya ditemukan pada sapi betina saja. Berdasarkan bobot badan, sapi Katingan jantan memiliki rata-rata bobot badan sebesar kg, sedangkan betina memiliki rata-rata bobot badan sebesar kg, hal ini dapat menyatakan bahwa sapi Katingan tergolong bangsa sapi tipe kecil dan sedang (Utomo 2011). Pertumbuhan Sapi Pertumbuhan bagi ternak merupakan suatu proses perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu proses-proses dasar pertumbuhan sel,

40 12 diferensiasi sel-sel induk menjadi beberapa lapisan yaitu ektodermis, mesodermis dan endodermis dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Aberle et al. 2001). Pertumbuhan merupakan indikator yang utama dan terpenting dalam produksi daging pada sapi pedaging, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam budidaya sapi pedaging. Sapi Bali merupakan salah satu sapi pedaging lokal Indonesia yang memiliki kelebihan berupa kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan Indonesia baik terhadap iklim, ketersediaan makanan alami, ketersediaan air dan juga ketahanan terhadap bakteri maupun parasit yang ada di lingkungan Indonesia. Meskipun sapi Bali ini mampu berkembang biak dengan baik di Indonesia, namun kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah dengan sapi impor (Talib 2002). Peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi daging bagi sapi lokal Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotipe), melainkan melalui seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotipe yang ingin diperbaiki kualitasnya (Martojo 2003). Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis. Faktor lingkungan meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor lingkungan ini tidak diturunkan kepada anakan. Faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan (Carnicella et al. 2003)

41 13 Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (hormon pertumbuhan). Gen GH memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak (Carnicella et al. 2003). Fungsi dari gen GH pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. Menurut Silveira et al. (2007), GH merupakan kandidat gen yang sangat mendasar dan berperan dalam pertambahan dan pertumbuhan bobot badan pada ternak. Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon immun (Ge et al. 2003). Selain itu, gen GH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994). Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak adalah gen yang termasuk dalam famili POU atau transcription factor family yaitu gen Pit-1 (pituitary specific transciptation factor-1) yang berfungsi sebagai faktor pengatur (regulator) hormon pertumbuhan, hormone prolaktin dan hormon tirotropin β- subunit (Tuggle & Trenkle 1996). Selain itu gen Pit-1 juga berperan dalam diferensiasi dan proliferasi sel kelenjar pituitary (Hoggard et al. 1993). Mengingat peran penting gen tersebut dalam mengatur gen-gen lain dalam proses pertumbuhan khususnya pada ternak sapi, maka gen Pit-1 dipilih sebagai salah satu gen kandidat yang perlu dicari hubungan atau keterkaitannya dengan performa pertumbuhan, kualitas karkas dan juga performa laktasi pada beberapa bangsa sapi seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Woollard et al. 1994; Moody et al. 1995; Zwierzhowski et al. 2001; Dybus et al. 2003; Oprzadek et al. 2003; Zhao et al. 2004; Viorica et al. 2007). Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008). Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses

42 14 metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi metabolisme protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ (Pereira et al. 2005). Hormon Pertumbuhan Pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan secara umum adalah adanya perubahan bentuk atau ukuran serta penampilan seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa dengan satuan berat maupun satuan panjang. Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi selsel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Gambar 3. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan pertumbuhan otot dan tulang (Roith et al. 2001). Pada hewan yang sedang tumbuh, hormon pertumbuhan dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang

43 15 pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Roith et al. 2001) (Gambar 3). Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham 1994; Hoj et al. 1993). Menurut Sellier et al. (2005), pertumbuhan pada ternak dikontrol oleh suatu sistem yang kompleks, salah satu yang memiliki peranan penting dalam proses ini adalah somatotropin. Gen yang mengatur dari somatotropin ini dalam menjalankan fungsinya dalam masa pertumbuhan postnatal adalah GH yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang dan otot, dan gen yang membantu GH dalam proses tersebut adalah IGF-1. Hormon pertumbuhan menyebabkan perubahan yang luar biasa di dalam tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses fisiologis di dalam jaringan dan organ tubuh (Gambar 4). Selain itu, aksi biologis hormon pertumbuhan selama pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino (Bauman & Vernon 1993). Hormon pertumbuhan adalah hormon peptida yang reseptornya terdapat di permukaan sel, superfamili dari reseptor sitokinin. Ikatan antara hormon pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim fosforilase yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara menambah gugus fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi intrasel yang dapat berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner 2003). Pengikatan hormon pertumbuhan akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor hormon pertumbuhan (GHR). Reis et al. (2001) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (bgh) adalah hormon peptida (protein) yang secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan. Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kda) (Vukasinovic et al. 1999; Dybus 2002) yang

44 16 disusun oleh asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (Gordon et al. 1983). Keterangan : TRH = thyrotrophin releasing hormone, GRF = growth hormone releasing factor, SRIF = somatostatin inhibitory releasing factor, T3 = triidothyronine, T4 = thyroxine, NA = Non adrenaline, A = Adrenaline, 5HT = 5- hydroxytryptamine, = meningkat, = menurun. Gambar 4. Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya pada ternak domestik (Lawrence & Fowler 2002)

45 17 Gen Hormon Pertumbuhan Gen adalah unit pewarisan sifat yang terdapat pada organisme dan terdiri dari dua bentuk, yaitu DNA (yang berfungsi sebagai penyandi protein) dan RNA (yang berfungsi dalam rantai kehidupan organisme dalam bentuk protein). Semua gen terdiri atas rangkaian DNA, namun tidak semua rangkaian DNA identik dengan gen atau dengan kata lain ada bagian DNA yang bukan merupakan gen. DNA yang bukan gen dapat diidentifikasi, dikarakterisasi dan ditentukan posisinya pada genom. Analisis genetik untuk lokus penyandi sifat-sifat kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan gen kandidat (candidate gene) yang dieksplorasi menggunakan penciri DNA (Muladno 2002). Gen hormon pertumbuhan sapi telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al. 1990). Sekuen gen ini terdiri atas 2856 pb yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh empat intron (Gambar 5). Intron 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut terdiri atas 248 pb, 227 pb, 227 pb dan 274 pb. Woychick et al. (1982) dan Gordon et al. (1983) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida 2856 pb (Gambar 6). Variasi gen pengkode hormon pertumbuhan telah dilaporkan pada sapi Eropa, misalnya sapi perah jenis Red Danish (Hoj et al. 1993), serta sapi pedaging Hereford dan komposit (Sutarno 1998; Sutarno et al. 1996). Flanking Region 5 Kodon awal ATG Coding sequence (CDS) 5 3 Exon 1 Exon 2 Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Kodon akhir TAG Exon 3 Exon 4 Exon 5 Flanking Region 3 Lokus = BOVGH Panjang = 2856 bp Gen = , , , , Sekuen depan = 648 = 648 Exon 1 = = 75 bp Intron 1 = = 247 bp Exon 2 = = 161 bp Intron 2 = = 227 bp Exon 3 = = 227bp Intron 3 = = 227 bp Exon 4 = = 162bp Intron 4 = = 273 bp Exon 5 = = 302bp Sekuens ujung = = 382 bp Gambar 5. Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH di GenBank (Gordon et al. 1983).

46 18 Penelitian yang dilakukan pada sapi Hereford dan komposit di Wokalup Research Station Australia Barat oleh Sutarno et al. (1996) dan Sutarno (1998) menunjukkan bahwa variasi pada lokus gen hormon pertumbuhan secara signifikan berhubungan dengan terjadinya variasi rerata pertumbuhan. Penelitian yang telah dilakukan Schlee et al. (1994) menemukan bahwa perbedaan genotipe dari gen hormon pertumbuhan mempengaruhi konsentrasi sirkulasi hormon pertumbuhan dan IGF-I pada sapi Eropa jenis Simmental. Rocha et al. (1991) juga telah menemukan hubungan signifikan antara alel hormon pertumbuhan dengan berat badan waktu lahir serta lebar punggung saat lahir pada sapi jenis Brahman. Gen GH terkait dengan beberapa ekspresi gen yang mempengaruhi pertumbuhan salah satunya adalah gen Pit-1. Gen Pit-1 mengatur ekspresi gen Growth Hormone (GH), prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1993) dan thyroidstimulating hormone β (TSH-β) (Pan et al. 2008) pada pituitary anterior. Menurut McCormick et al. (1990) defisiensi dari gen Pit-1 mengurangi ekspresi GH, disebabkan penurunan proliferasi lapisan sel dalam memproduksi GH. Keragaman Genetik Gen GH Sifat polimorfisme gen GH sudah banyak diidentifikasi, baik dengan menggunakan enzim restriksi MspI dan AluI, bahkan Yardibi et al. (2009) mengidentifikasi gen GH yang bisa digunakan sebagai selection marker untuk penyeleksian sifat kadar lemak susu pada ternak sapi lokal di Turki. Dybus et al. (2004), mengidentifikasi bahwa kombinasi penggunaan enzim restriksi MspI AluI dapat digunakan sebagai marker selection pada ternak perah, terutama pada ternak Polish black white dengan sifat kadar lemak pada susu. Sutarno et al. (2005) menunjukkan terjadinya polimorfisme pada situs restriksi oleh enzim restriksi MspI yang disebabkan oleh adanya substitusi antara Leusin/Valin pada posisi 127 pb pada sapi PO. Polimorfisme yang terjadi pada gen GH secara intensif telah diteliti karena diduga mungkin berpengaruh pada ekspresi fenotipe. Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa genotipe +/+ dan +/- fragmen gen GH MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan kualitas

47 19 daging (Unanian et al. 2000; Garcia et al. 2003; Di Stasio et al. 2005). Schlee et al. (1994) menyatakan bahwa polimorfisme fragmen gen GH AluI yang bergenotipe LL diduga kuat berhubungan dengan tingkat plasma hormon pertumbuhan. Genotipe VV menurut Growchowska et al. (1997) memiliki konsentrasi GH yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV dan LL. Sebaliknya Reis et al. (2001) menyatakan bahwa genotipe LL berhubungan dengan konsentrasi sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV pada hormon pertumbuhan. 1 gtactggggt gggttgcctt tctcttctcc aggggattta tctgacccag ggattgaacc 61 tgagtctcct gcatttgcag ctagattctt tacggctgag ccacctggga agcccattcg 121 cttctgctgc tgctgctgct gctaagttgc ttcagtcgtg tccgacctgt gcgacgccat 181 agacagcagc ccaccaggtc cccgtccctg ggattctcca ggcaagaaca ttggagtggg 241 ttgccatttc ctcctccaat gcatgaaagt gaaaagtgaa agtgaagtca ctcagttgtg 301 tccgaccctc agcgacccca tggactgcag ccttccagaa tggggtgcca ttgccttctc 361 ctcgcttctg ctacctcccc tttaaaaaga aaacctatgg ggtgggctct caagctgaga 421 ccctgtgtgc acagccctct ggctggtggc agtggagacg ggatgatgac aagcctgggg 481 gacatgaccc cagagaagga acgggaacag gatgagtgag aggaggttct aaattatcca 541 ttagcacagg ctgccagtgg tccttgcata aatgtataga gcacacaggt ggggggaaag 601 ggagagagag aagaagccag ggtataaaaa tggcccagca gggaccaatt ccaggatccc 661 aggacccagt tcaccagacg actcagggtc ctgtggacag ctcaccagct atgatggctg 721 caggtaagct cgctaaaatc ccctccattc gcgtgtccta aaggggtaat gcggggggcc 781 ctgccgatgg atgtgttcag agctttgggc tttagggctt ccgaatgtga acataggtat 841 ctacacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt ccctggaggg aagggtaggt 901 ggggctggca ggagatcagg cgtctagctc cctggggccc tccgtcgcgg ccctcctggt 961 ctctccctag gcccccggac ctccctgctc ctggctttcg ccctgctctg cctgccctgg 1021 actcaggtgg tgggcgcctt cccagccatg tccttgtccg gcctgtttgc caacgctgtg 1081 ctccgggctc agcacctgca tcagctggct gctgacacct tcaaagagtt tgtaagctcc 1141 cgagggatgc gtcctagggg tggggaggca ggaaggggtg aatccacacc ccctccacac 1201 agtgggagga aactgaggag ttcagccgta ttttatccaa gtagggatgt ggttagggga 1261 gcagaaacgg gggtgtgtgg ggtggggagg gttccgaata aggcggggag gggaaccgcg 1321 caccagctta gacctgggtg ggtgtgttct tcccccagga gcgcacctac atcccggagg 1381 gacagagata ctccatccag aacacccagg ttgccttctg cttctctgaa accatcccgg 1441 cccccacggg caagaatgag gcccagcaga aatcagtgag tggcaacctc ggaccgagga 1501 gcaggggacc tccttcatcc taagtaggct gccccagctc ccgcaccggc ctggggcggc 1561 cttctccccg aggtggcgga ggttgttgga tggcagtgga ggatgatggt gggcggtggt 1621 ggcaggaggt cctcgggcag aggccgacct tgcagggctg ccccagaccc gcggcaccca 1681 ccgaccaccc acctgccagc aggacttgga gctgcttcgc atctcactgc tcctcatcca 1741 gtcgtggctt gggcccctgc agttcctcag cagagtcttc accaacagct tggtgtttgg 1801 cacctcggac cgtgtctatg agaagctgaa ggacctggag gaaggcatcc tggccctgat 1861 gcgggtgggg atggcgttgt gggtcccttc catgtggggg ccatgcccgc cctctcctgg 1921 cttagccagg agaatgcacg tgggcttggg gagacagatc cctgctctct ccctctttct 1981 agcagtccag ccttgaccca ggggaaacct tttccccttt tgaaacctcc ttcctcgccc 2041 ttctccaagc ctgtagggga gggtggaaaa tggagcgggc aggagggagc tgctcctgag 2101 ggcccttcgg cctctctgtc tctccctccc ttggcaggag ctggaagatg gcaccccccg 2161 ggctgggcag atcctcaagc agacctatga caaatttgac acaaacatgc gcagtgacga 2221 cgcgctgctc aagaactacg gtctgctctc ctgcttccgg aaggacctgc ataagacgga 2281 gacgtacctg agggtcatga agtgccgccg cttcggggag gccagctgtg ccttctagtt 2341 gccagccatc tgttgtttgc ccctcccccg tgccttcctt gaccctggaa ggtgccactc 2401 ccactgtcct ttcctaataa aatgaggaaa ttgcatcgca ttgtctgagt aggtgtcatt 2461 ctattctggg gggtggggtg gggcaggaca gcaaggggga ggattgggaa gacaatagca 2521 ggcatgctgg ggatgcggtg ggctctatgg gtacccaggt gctgaagaat tgacccggtt 2581 cctcctgggc cagaaagaag caggcacatc cccttctctg tgacacaccc tgtccacgcc 2641 cctggttctt agttccagcc ccactcatag gacactcata gctcaggagg gctccgcctt 2701 caatcccacc cgctaaagta cttggagcgg tctctccctc cctcatcagc ccaccaaacc 2761 aaacctagcc tccaagagtg ggaagaaatt aaagcaagat aggctattaa gtgcagaggg 2821 agagaaaatg cctccaacat gtgaggaagt aatgag Gambar 6. Sekuens gen hormon pertumbuhan (bgh) pada sapi Bos taurus yang diakses di GenBank (Gordon et al. 1983).

48 20 Curi et al. (2010), melaporkan bahwa polimorfisme GH1, dapat digunakan sebagai tanda dalam seleksi sifat karkas dan daging pada ternak persilangan Bos taurus Bos indicus, polimorfisme ini terjadi pada intron 3. Adanya polimorfisme pada gen GH AluI juga berhubungan dengan sifat produksi daging (Chrenek et al. 1998), deposisi daging (Oprzadek et al. 2003) dan bobot karkas (Growchowska et al. 1999). Reis et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara genotipe LL dan LV gen GH dengan rataan bobot badan hidup ternak dari bangsa sapi Alentejana, Marinhoa, dan Preta asal Portugis. Unanian et al. (2000), melaporkan bahwa adanya polimorfisme GH AluI dan GH MspI mungkin dapat dijadikan sebagai penciri genetik yang potensial untuk sifat pertumbuhan bobot badan pada sapi pejantan muda. Beauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa gen GH merupakan gen kandidat untuk program seleksi yang dibantu penciri pada ternak sapi. Namun, tidak semua polimorfisme dari gen GH dapat digunakan sebagai marker dalam seleksi, menurut Balogh et al. (2009), polimorfisme gen GH-AluI tidak memiliki efek terhadap calving interval pada ternak yang mengalami ovulasi pertama kali dan tidak berpengaruh secara langsung pada produksi susu dan body condition score (BCS) dari ternak perah yang telah beranak setelah satu bulan (bulan pertama setelah beranak). PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) Salah satu metode sederhana dalam genetika molekuler dan paling banyak digunakan untuk mendeteksi mutasi dari runutan DNA adalah PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism). Teknik ini mulai diperkenalkan pada tahun PCR-SSCP digunakan untuk mengasumsikan bahwa perubahan atau mutasi yang terdapat pada fragmen DNA akan mempengaruhi konformasi fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al. 2001) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida. Mutasi ini terdeteksi dalam bentuk pita atau band-band baru yang terlihat setelah dilakukan pewarnaan dengan pewarnaan perak. Mutasi deteksi untuk PCR-SSCP umumnya tinggi > 80% dalam menentukan DNA untai tunggal untuk fragmen pendek dari 300 pb (Hayashi

49 ). Sensitivitas dari teknik SSCP ini tergantung oleh beberapa faktor yaitu komposisi gel yang digunakan (gel yang sering digunakan berbahan acrilamide), ukuran fragmen DNA, komposisi buffer yang digunakan termasuk jumlah ion (konsentrasi) dan ph, suhu pada saat elektroforesis, dan konsentrasi dari DNA tersebut (Nataraj et al. 1999; Hayashi et al. 1991). PCR-SSCP terdiri atas beberapa tahapan dalam prosesnya, yaitu tahapan amplifikasi fragmen DNA dengan proses PCR, tahapan denaturasi produk PCR yang sudah diberi formida dye pada suhu C selama 5 menit. Tahapan terakhir elektroforesis pada gel polyacrilamide adalah proses dilakukan pada kondisi temperatur tertentu (Hayashi 1991 ; Nataraj et al. 1999). Kelebihan dari metode PCR-SSCP ini antara lain teknik penentuan mutasi DNA yang sederhana, tidak memerlukan peralatan yang rumit, visualisasinya tidak menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al. 1999; Bastos et al. 2001) dan lebih banyak mutasi yang dapat dideteksi (sampai ratusan mutasi) dibandingkan teknik yang lain yang sedikit (± 20 basa) (Hayashi 1991). Namun, terdapat juga kekurangan dalam metode ini, yaitu kurangnya landasan teori untuk mendukung terjadinya mutasi yang dideteksi dari metode ini sehingga harus dilanjutkan dengan analisa sekuensing (Hayashi 1991). Kelemahan yang sering didapatkan pada PCR-SSCP adalah kesulitan terhadap interpretasi pita-pita yang muncul pada gel, tidak dapat memberikan informasi yang jelas terhadap posisi mutasi yang terjadi pada fragmen DNA (Nataraj et al. 1999), dan pola migrasi SSCP tidak dapat dikonversi atau dinotasikan menjadi alel yang definitif (sebelum analisis lanjut seperti sekuensing) sampai posisi mutasinya dapat ditemukan (Prizenberg et al. 2005). Nataraj et al. (1999) juga mengungkapkan kekurangan PCR-SSCP yaitu ukuran fragmen DNA yang dapat dianalisis terbatas, membutuhkan kondisi yang beragam untuk mendeteksi semua kemungkinan mutasi, kadang-kadang sulit untuk menginterpretasikan pita-pita yang dihasilkan, tidak efisien untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukloetidanya.

50 22

51 23 MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama sembilan bulan dimulai pada Oktober 2010 sampai Juni Materi dan Alat Penelitian Materi penelitian yang digunakan untuk analisis DNA adalah koleksi sampel sapi Bali (Bali), Madura (Pulau Madura), Pesisir (Sumatera Barat), Katingan (Kalimantan Tengah), Limousin dan Simmental yang terdapat di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Sampel ternak, jumlah dan asal ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sampel, jumlah dan asal sapi yang digunakan dalam penelitian No. Sampel Sapi Tahun Koleksi Jumlah Asal Bali Madura Pesisir Katingan Simmental Limousin Total 100 UP3 dan BIBD Bali Pulau Madura Sumatera Barat Kalimantan Tengah BIB Singosari Malang BIB Singosari Malang Isolasi DNA Isolasi DNA menggunakan beberapa bahan atau pelarut seperti Tris- EDTA konsentrasi rendah (low TE), etanol absolut, etanol 70%, dan larutan pengencer DNA (Master mix) 1x. Peralatan yang digunakan untuk isolasi DNA adalah pipet tip Eppendorf, mikro pipet 200 P, 1000 P Gilson, microtube eppendorf ukuran 1.5 ml, mikrosentrifuge, inkubator dan vortex.

52 24 Analisis PCR Beberapa bahan yang digunakan untuk PCR adalah destilated water, DNA, primer forward dan reverse fragmen gen GH exon 1 exon 5 berdasarkan Lagziel et al. (1996) dan Kioka et al. (1989), beberapa pereaksi PCR yang terdiri atas enzim Tag DNA polymerase 5 unit/µl, bufer thermophilic DNA polymerase 10x reaksi bebas MgCl 2 25 mm dan campuran nukleotida 40 nm (masing-masing 10 mm datp, dctp, dgtp, dan dttp). Peralatan yang digunakan dalam analisis PCR adalah pipet tip Eppendorf, mikropipet 10 P, 20 P, 200 P Gilson, microtube, dan mesin PCR (eppendorf 5332) serta stabilizer. Analisis Elektroforesis Teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) digunakan untuk menguji ada tidaknya produk PCR dilakukan dengan 6-12 % dalam buffer 0.5 x TBE (Tris 0.5 M, asam borat 0.65 M dan EDTA 0.02 M). Elektroforesis dijalankan pada kondisi 200 V selama 1 jam (Zhao et al. 2004). Visualisasi produk PCR dilakukan dengan pewarnaan sensitif perak mengikuti motede Tegelstrom (1986) dan Byun et al. (2009) yang dimodifikasi. Peralatan yang digunakan untuk elektroforesis adalah pipet tip Eppendorf, mikro pipet 10 P Gilson, gelas ukur, electrophoresis (BIO-RAD machine), power supply. Metode Penelitian Isolasi DNA Total Isolasi DNA dilakukan dari sampel darah yang disimpan dalam alkohol. Ekstraksi DNA menggunakan metode Fenol kloroform berdasarkan Sambrook et al. (1989) yang dimodifikasi untuk penggunaan sampel darah yang disimpan dalam alkohol (Lampiran 2). Amplifikasi Gen GH Amplifikasi fragmen gen GH dilakukan dengan menggunakan 10 set primer dengan mesin PCR. Bahan pereaksi yang digunakan untuk PCR adalah DNA, buffer 10x, 10 mm dntp, 50 mm MgCl 2, primer Forward dan Reverse masing-masing 30 pmol, dan 2.5 unit Tag DNA Polymerase (Dream taq Fermentas) dengan total volume reaksi 12 l. Adapun komposisi bahan untuk

53 25 volume reaksi 12 l adalah 5 l buffer PCR 10x bebas MgCl 2, 2 l MgCl 2, 1 l dntp, 1.5 l masing-masing primer Forward dan Reverse, 1.5 l sampel DNA, dan 0.25 l enzim Tag DNA Polymerase dan sisanya deionized water l. Sebelum bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam mesin PCR, terlebih dahulu diputar sebentar (spin down) dengan mikro sentrifuge. Primer yang digunakan yaitu primer forward dan primer reverse, seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Posisi, panjang fragmen dan sekuens primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen GH Exon Panjang fragmen (pb) Sekuens primer dan lokasi F : 5 -TGG TGG CAG TGG AGA CGG GA-3 * R : 5 -GGA CAC GCG AAT GGA GGG GA-3 * F : 5 -GCC CTG CTC TGC CTG CCC TG-3 * R : 5 -CCC CAC ACA CCC CCG TTT CT-3 * F : 5 -GTG TGT TCT CCC CCC AGG AG-3 # R : 5 -CTC GGT CCT AGG TGG CCA CT-3 # F : 5 -GGA AGG GAC CCA ACA ATG CCA-3 # R : 5 -CTG CCA GCA GGA CTT GGA GC-3 # F : 5 -GCT GCT CCT GAG GGC CCT TC-3 * R : 5 -CCA CCC CAC CCC CCA GAA TA-3 * Ket : * = sekuens primer Lagziel et al. (1996) yang telah dimodifikasi. # = sekuens primer Kioka et al. (1989). Kelima primer tersebut memiliki polimorfisme tinggi terhadap gen GH. Kondisi mesin PCR dilakukan dengan denaturasi awal pada suhu 95ºC selama 5 menit, 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 95ºC selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 60º 66ºC selama 45 detik dan ekstensi DNA baru pada suhu 72ºC selama 1 menit, dan ekstensi akhir pada suhu 72ºC selama 5 menit. Sekuens gen GH dengan panjang produk PCR 2856 pb dari exon 1 sampai exon 5 (Gordon et al. 1983) disertai dengan penempelan kelima primer dari Lagziel et al. (1996) dan Kioka et al. (1989) yang telah dimodifikasi. Runutan primer Forward dan Reverse dapat dilihat pada Gambar 7.

54 26 1 gtactggggt gggttgcctt tctcttctcc aggggattta tctgacccag ggattgaacc 61 tgagtctcct gcatttgcag ctagattctt tacggctgag ccacctggga agcccattcg 121 cttctgctgc tgctgctgct gctaagttgc ttcagtcgtg tccgacctgt gcgacgccat 181 agacagcagc ccaccaggtc cccgtccctg ggattctcca ggcaagaaca ttggagtggg 241 ttgccatttc ctcctccaat gcatgaaagt gaaaagtgaa agtgaagtca ctcagttgtg 301 tccgaccctc agcgacccca tggactgcag ccttccagaa tggggtgcca ttgccttctc 361 ctcgcttctg ctacctcccc tttaaaaaga aaacctatgg ggtgggctct caagctgaga 421 ccctgtgtgc acagccctct ggctggtggc agtggagacg ggatgatgac aagcctgggg 481 gacatgaccc cagagaagga acgggaacag gatgagtgag aggaggttct aaattatcca 541 ttagcacagg ctgccagtgg tccttgcata aatgtataga gcacacaggt ggggggaaag 601 ggagagagag aagaagccag ggtataaaaa tggcccagca gggaccaatt ccaggatccc 661 aggacccagt tcaccagacg actcagggtc ctgtggacag ctcaccagct atgatggctg 721 caggtaagct cgctaaaatc ccctccattc gcgtgtccta aaggggtaat gcggggggcc 781 ctgccgatgg atgtgttcag agctttgggc tttagggctt ccgaatgtga acataggtat 841 ctacacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt ccctggaggg aagggtaggt 901 ggggctggca ggagatcagg cgtctagctc cctggggccc tccgtcgcgg ccctcctggt 961 ctctccctag gcccccggac ctccctgctc ctggctttcg ccctgctctg cctgccctgg 1021 actcaggtgg tgggcgcctt cccagccatg tccttgtccg gcctgtttgc caacgctgtg 1081 ctccgggctc agcacctgca tcagctggct gctgacacct tcaaagagtt tgtaagctcc 1141 cgagggatgc gtcctagggg tggggaggca ggaaggggtg aatccacacc ccctccacac 1201 agtgggagga aactgaggag ttcagccgta ttttatccaa gtagggatgt ggttagggga 1261 gcagaaacgg gggtgtgtgg ggtggggagg gttccgaata aggcggggag gggaaccgcg 1321 caccagctta gacctgggtg ggtgtgttct tcccccagga gcgcacctac atcccggagg 1381 gacagagata ctccatccag aacacccagg ttgccttctg cttctctgaa accatcccgg 1441 cccccacggg caagaatgag gcccagcaga aatcagtgag tggcaacctc ggaccgagga 1501 gcaggggacc tccttcatcc taagtaggct gccccagctc ccgcaccggc ctggggcggc 1561 cttctccccg aggtggcgga ggttgttgga tggcagtgga ggatgatggt gggcggtggt 1621 ggcaggaggt cctcgggcag aggccgacct tgcagggctg ccccagaccc gcggcaccca 1681 ccgaccaccc acctgccagc aggacttgga gctgcttcgc atctcactgc tcctcatcca 1741 gtcgtggctt gggcccctgc agttcctcag cagagtcttc accaacagct tggtgtttgg 1801 cacctcggac cgtgtctatg agaagctgaa ggacctggag gaaggcatcc tggccctgat 1861 gcgggtgggg atggcgttgt gggtcccttc catgtggggg ccatgcccgc cctctcctgg 1921 cttagccagg agaatgcacg tgggcttggg gagacagatc cctgctctct ccctctttct 1981 agcagtccag ccttgaccca ggggaaacct tttccccttt tgaaacctcc ttcctcgccc 2041 ttctccaagc ctgtagggga gggtggaaaa tggagcgggc aggagggagc tgctcctgag 2101 ggcccttcgg cctctctgtc tctccctccc ttggcaggag ctggaagatg gcaccccccg 2161 ggctgggcag atcctcaagc agacctatga caaatttgac acaaacatgc gcagtgacga 2221 cgcgctgctc aagaactacg gtctgctctc ctgcttccgg aaggacctgc ataagacgga 2281 gacgtacctg agggtcatga agtgccgccg cttcggggag gccagctgtg ccttctagtt 2341 gccagccatc tgttgtttgc ccctcccccg tgccttcctt gaccctggaa ggtgccactc 2401 ccactgtcct ttcctaataa aatgaggaaa ttgcatcgca ttgtctgagt aggtgtcatt 2461 ctattctggg gggtggggtg gggcaggaca gcaaggggga ggattgggaa gacaatagca 2521 ggcatgctgg ggatgcggtg ggctctatgg gtacccaggt gctgaagaat tgacccggtt 2581 cctcctgggc cagaaagaag caggcacatc cccttctctg tgacacaccc tgtccacgcc 2641 cctggttctt agttccagcc ccactcatag gacactcata gctcaggagg gctccgcctt 2701 caatcccacc cgctaaagta cttggagcgg tctctccctc cctcatcagc ccaccaaacc 2761 aaacctagcc tccaagagtg ggaagaaatt aaagcaagat aggctattaa gtgcagaggg 2821 agagaaaatg cctccaacat gtgaggaagt aatgag Keterangan : huruf tebal situs primer (forward reverse). Gambar 7. Posisi penempelan primer (cetak tebal) pada sekuen gen GH (nomor akses M57764). Elektroforesis dan Visualisasi DNA Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Teknik elektroforesis gel poliakrilamida (Polyacrilamide gel (PAGE)) digunakan untuk menguji ada tidaknya produk PCR dilakukan dengan dalam buffer 0.5 x TBE (Tris 0.5 M, asam borat 0.65 M dan EDTA 0.02 M). Elektroforesis dijalankan pada kondisi 200 V selama ± 2 jam. Visualisasi pola pita hasil SSCP dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid 6% yang diikuti dengan metode pewarnaan perak (silver stainning) menurut

55 27 petunjuk Tegelstrom (1986) yang telah dimodifikasi. Tahapan pewarnaan perak (silver staining) yaitu gel dicuci secara bertahap sebagai berikut: dengan larutan AgNO gram, 80 µl NaOH 10 N, 800µl ammonia dalam 200 ml air destilasi selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air destilasi selama 2 menit. Memunculkan pita dalam gel dimulai dengan merendam gel dalam larutan yang terdiri atas 3.6 gram NaOH, 1.6 gram NaCO 3, 200 ml air destilata dan 200 µl formaldehid selama 6 menit selanjutnya ditambah. Setelah pita muncul, larutan asam asetat ( 100 ml air destilasi dan 100 µl asam asetat) dituangkan untuk menghentikan aktifitas oksidasi perak oleh formaldehid. Pendeteksian Varian Gen GH dengan Metode PCR-SSCP Produk PCR yang dianalisis dengan metode SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) dimanfaatkan untuk pendeteksian adanya mutasi pada ruas exon dan intron produk gen GH (Lagziel et al. 1996). Produk PCR yang didapatkan kemudian diidentifikasi konformasi DNA utas tunggal (single strand conformational), maka sekitar 12 μl produk PCR dicampur dengan 12 μl loading dye (98% formamide, 10 mm EDTA,0.025% bromophenol blue, 0.025% xylene-cyanol), dan setelah didenaturasi pada suhu 95 o C selama 5 menit, sampel langsung didinginkan dengan es batu selama 3 menit dan diloading pada gel poliacryalmide 12-10% untuk setiap fragmen. Penggunaan teknik perendaman produk PCR di dalam waterbath dan icebath tersebut, memungkinkan DNA yang sudah terdenaturasi menjadi utas tunggal tidak kembali menjadi utas ganda lagi. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan Protean II xi cells (Bio-Rad) pada kondisi V pada suhu 5 o C selama 8-14 jam pada larutan buffer 0,5x TBE. Setelah elektroforesis gel kemudian diwarnai dengan metode silver staining (Byun et al. 2009) dan Tegelstrom (1986) yang dimodifikasi. Deteksi untai tunggal diuji dengan gel poliakrilamida (PAGE) % yang merupakan campuran akrilamid dengan bis akrilamid dengan perbandingan 29 : 1. Selanjutnya elektroforesis dijalankan pada kondisi V selama 8 14 jam pada suhu 4 0 C yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Perbedaan laju migrasi dan perbedaan jumlah pita yang muncul pada gel poliakrilamida (PAGE) dari setiap sampel menandakan terjadinya perubahan pada

56 28 nukleotida DNA untai tunggal. Berdasarkan perbedaan laju migrasi dan jumlah pita yang muncul maka keragaman tipe gen GH dapat ditentukan. Genotiping hasil SSCP berdasarkan pola pita yang muncul pada gel acrilamide yang telah diwarnai (Malveiro et al. 2001). Frekuensi Alel Analisis Data Data penelitian yang diperoleh dari metode PCR-SSCP, berupa pita DNA yang dibedakan berdasarkan laju migrasi dan jumlah pitanya. Frekuensi alel di fragmen exon-1, exon-2, exon-3, exon-4 dan exon-5 gen GH dianalisis dengan menggunakan rumus (Nei & Kumar 2000) : Keterangan : x i = frekuensi alel ke-i n ii = jumlah individu bergenotipe A i A i n ij = jumlah individu bergenotipe A i A j n = jumlah total sampel x i 2n ii 2n j i n ij Frekuensi Heterozigositas Pengamatan Analisis keragaman dilakukan melalui estimasi frekuensi heterozigositas pengamatan (H o ), heterozigositas harapan (H e ) dan standard error heterozigositas harapan (Weir 1996) : Keterangan : H o = frekuensi heterozigositas pengamatan N 1ij = jumlah individu heterozigositas pada lokus ke-1 N = jumlah individu yang dianalisis

57 29 Frekuensi Heterozigositas Harapan Keterangan : H o = frekuensi heterozigositas harapan P 1i = frekuensi alel ke-i pada lokus 1 n = jumlah alel pada lokus ke-1 Ragam Heterozigositas Harapan ( ) ( ) { ( ) ( ( ) ) ( ) } Keterangan : V sl (H e ) = ragam heterozigositas harapan x i = frekuensi gen ke-1 Ragam (SE) heterosigositas harapan diperoleh dari = ( ) (Weir 1996). Pengujian Chi-Kuadrat Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan Chi-Kuadrat (χ²) dengan rumus (Nei & Kumar 2000) : ( ) Keterangan : χ 2 = Chi-Kuadrat O = nilai pengamatan E = nilai harapan = sigma (jumlah dari nilai-nilai)

58 30

59 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi Bali, Pesisir, Madura, Katingan, Simmental dan Limousin menunjukan posisi gen GH pada masing-masing exon 1, 2, 3, 4 dan 5. Amplifikasi gen GH kelima exon (Gambar 8) dilakukan dengan panjang produk PCR adalah exon 1: 315 pb, exon 2 : 283 pb, exon 3 : 158 pb, exon 4 : 198 pb dan exon 5 : 392 pb 500 pb 300 pb 100 pb M Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon pb 315 pb 283 pb 198 pb 158 pb Keterangan: M=Marker 100 pasang basa (pb) Gambar 8. Elektroforesis produk PCR gen GH pada gel acrylamide 6%. - + Lagziel et al. (1996) melaporkan bahwa amplifikasi gen GH didapatkan dengan annealing (penempelan) primer pada masing masing exon yaitu pada suhu 58⁰-68 0 C selama 30 detik. Yao et al. (1996) mendapatkan bahwa amplifikasi gen GH terutama pada penempelan primer pada masing masing exon 1 s/d 5 adalah 59 0 C. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa annealing primer gen GH terjadi pada suhu 60⁰-66 0 C selama 45 detik. Keberhasilan amplifikasi fragmen gen GH pada setiap exon sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target), bahan pereaksi PCR dan kondisi suhu mesin thermal cycler. Identifikasi genotipe gen GH pada sapi Bali, Pesisir, Madura, Katingan, Limousin dan Simmental dilakukan melalui identifikasi keberadaan pita serta jumlah pita yang muncul. Jika terdapat perbedaan jumlah serta keberadaan pita, hal ini mengindikasikan bahwa gen GH pada sapi tersebut memiliki genotipe yang berbeda. Hasil elektroforesis fragmen gen GH menghasilkan beberapa macam tipe ataupun genotipe pada setiap exon.

60 32 Pada exon 1, terdapat lima genotipe, seperti genotipe AA, AB dan AC. Pada exon 2, terdiri atas 6 genotipe, yaitu genotipe DD, DE, GG dan FG. Exon 3 dan 4, masing-masing memiliki 2 macam genotipe yaitu genotipe HH dan HI (exon 3), JJ dan JK (exon 4) sedangkan di exon 5 terdiri atas 5 macam genotipe yaitu genotipe LL, MM, LM, NN dan LN. Jumlah genotipe yang ditemukan dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti pada sapi Frisien Holstein. Yao et al. (1996) menemukan 3 genotipe yaitu A, B dan C sedangkan Lagziel et al. (1996) mendapatkan genotipe sebanyak 13 genotipe yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L dan M. Pada kambing Algarvia di Portugal, Malviero et al. (2001) menemukan genotipe gen GH sebanyak 19 genotipe. Perbedaan genotipe dapat disebabkan adanya mutasi dari nukleotida-nukleotida yang terdapat pada sampel sapi penelitian,atau karena nukleotida dari sapi lokal Indonesia yang kemungkinan berbeda dengan sapi impor yang berada di daerah subtropis. Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Populasi Sapi Lokal Indonesia Macam dan frekuensi genotipe yang diperoleh dari hasil penelitian ini (Gambar 9) menunjukkan bahwa terdapat variasi genotipe dan frekuensi genotipe pada sapi lokal Indonesia (sapi Bali, Pesisir, Madura dan Katingan) dan sapi impor (sapi Simmental dan Limousin). Jumlah genotipe yang ditemukan secara keseluruhan pada gen GH exon-1, 2, 3, 4 dan 5 adalah 16 genotipe dengan jumlah alel yang ditemukan sebanyak 14 macam alel. Jumlah alel yang terdapat pada sapi lokal Indonesia untuk setiap exon bervariasi dari 1-4 alel, sedangkan pada sapi Simmental dan Limousin 1-3 alel. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah alel yang ditemukan pada sapi FH adalah 2-3 alel (Lagziel et al. 1996; Yao et al. 1996), sedangkan Malveiro et al. (2001) memperoleh 2-6 alel pada kambing Algarvia di Portugal.

61

62 34 Pada Tabel 3 dan 12 (Lampiran 3) tampak bahwa frekuensi genotipe dan alel gen GH pada kelima exon sapi lokal Indonesia memiliki nilai frekuensi genotipe atau alel yang tinggi, sebaliknya pada sapi Limousin dan sapi Simmental adalah rendah kecuali pada exon 2. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan frekuensi genotipe dan alel antara sapi lokal Indonesia dengan sapi impor (sapi Limousin dan sapi Simmental) untuk fragmen gen GH pada kelima exon. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan tropis (ekstrim) yang membentuk sapi lokal Indonesia seperti sapi Bali, Pesisir, Madura dan Katingan, berbeda dari sapi impor (sapi Simmental dan sapi Limousin) yang berkembang di daerah subtropik sehingga diduga dapat mengubah frekuensi genotipe atau alel fragmen gen GH sebagai akibat adanya seleksi alam atau seleksi buatan. Selain itu, mungkin juga peran sapi Bali yang bersifat monomorfik pada kelima exon gen GH kecuali exon 2 telah memberikan proporsi yang besar terhadap pembentukan sapi lokal Indonesia seperti sapi Pesisir, Madura dan Katingan. Frekuensi alel pada gen GH di kelima fragmen exon (Tabel 3) sangat bervariasi. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa suatu alel pada suatu populasi dikatakan polimorfik jika memiliki dua atau lebih alel dengan frekuensi lebih dari 1%. Pada sapi Bali di exon 1 memiliki nilai frekuensi alel A sebesar dan hanya memiliki satu alel sehingga bersifat monomorfik, sedangkan nilai frekuensi alel sapi lokal Indonesia lainnya seperti sapi Pesisir, Madura dan Katingan memiliki nilai kurang dari serta memiliki dua atau lebih frekuensi alel sehingga dikategorikan bersifat polimorfik. Pada sapi Simmental dan Limousin memiliki dua atau tiga alel dengan nilai frekuensi berkisar , sehingga dapat dinyatakan bersifat polimorfik. Pada exon 2 variasi yang terlihat sangat banyak hingga dapat dinyatakan bahwa exon ini bersifat polimorfik dan ditemukan pada sapi lokal Indonesia serta sapi impor kecuali pada sapi Madura dan Simmental. Frekuensi alel sapi Bali yaitu pada alel D, dan alel E memiliki nilai sebesar 0.275, sedangkan sapi Pesisir memiliki nilai frekuensi alel D sebesar Sapi Katingan memiliki nilai frekuensi alel G sebesar dan alel F sebesar Frekuensi alel G pada sapi Limousin sebesar 0.850, sedangkan alel F sebesar sehingga

63 35 bersifat polimorfik. Sapi Madura dan Simmental pada alel G memiliki nilai frekuensi alel sebesar sehingga bersifat monomorfik. Gen GH pada exon 3 lebih sedikit variasinya karena jumlah alel yang terdapat hanya ada dua alel. Sapi Bali, Madura dan Katingan memiliki nilai frekuensi alel H sebesar dan bersifat monomorfik, sedangkan sapi Pesisir memiliki nilai frekuensi alel H sebesar 0.950, dan alel I sebesar sehingga dinyatakan bersifat polimorfik. Sapi impor yaitu sapi Simmental dan Limousin bersifat polimorfik, hal ini dikarenakan sapi Simmental memiliki nilai frekuensi alel I sebesar dan alel H sebesar 0.300, sedangkan alel I pada sapi Limousin memiliki nilai sebesar dan alel H sebesar Keragaman alel di exon 4 juga bervariasi seperti halnya pada sapi Bali dan Madura yang memiliki nilai frekuensi alel sebesar 1.000, yaitu pada alel J sehingga dinyatakan bersifat monomorfik. Sapi Pesisir dan Katingan, jumlah alel ditemukan ada dua alel (alel J dan K) serta memiliki nilai frekuensi kurang dari sehingga bersifat polimorfik. Hasil yang berbeda didapatkan pada bangsa sapi Bos taurus, yaitu sapi Simmental dan Limousin. Variasi alel yang ditemukan menunjukan bahwa kedua bangsa tersebut bersifat polimorfik, hal ini dikarenakan frekuensi alel tertinggi pada sapi Simmental adalah alel J sebesar 0.550, sedangkan pada sapi Limousin jumlah frekuensi alel yang ditemukan pada alel J dan alel K masing-masing adalah sebesar Gen GH pada exon 5 menunjukan keragaman alel lebih bervariasi terutama pada sapi lokal Indonesia dengan sifat monomorfik hanya ditemukan pada sapi Bali ditunujjan oleh hanya satu alel yang ditemukan yaitu alel L sebesar Sapi lokal Indonesia lainnya seperti sapi Pesisir, Madura dan Katingan bersifat polimorfik disebabkan nilai frekuensi alel pada sapi-sapi tersebut berkisar serta memiliki dua buah alel, yaitu alel L dan M. Polimorfik yang terdapat pada sapi impor dikarenakan frekuensi alel serta jumlah alel yang ditemukan lebih banyak. Jumlah alel pada sapi Simmental dan Limousin ditemukan sebanyak tiga alel (alel L, M dan N) dengan nilai frekuensi berkisar Keragaman pada sapi lokal Indonesia yang bersifat monomorfik banyak ditemukan pada exon 3 dan exon 4, terutama pada sapi Bali, Madura dan

64 36 Katingan, sedangkan sapi Pesisir bersifat polimorfik pada exon 3 dan 4 gen GH. Polimorfisme alel sapi lokal Indonesia ditemukan pada alel A, D, H, J dan L (Tabel 3), kecuali pada sapi Bali. Frekuensi alel A, D, H, J dan L gen GH di seluruh exon pada sapi Bali (Bos javanicus) yang tinggi menunjukkan bahwa fragmen gen GH sapi Bali sebagian besar bersifat monomorfik kecuali di exon 2, yang memiliki frekuensi alel sebesar Falconer dan Mackay (1996) menyatakan bahwa sebuah lokus polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alelnya yaitu kurang dari Frekuensi alel gen GH sapi Bali yang tinggi (monomorfik) memperjelas perbedaan sapi Bali dengan sapi bangsa lainnya, sehingga menjadikan bukti bahwa sapi Bali merupakan ternak sapi asli Indonesia. Informasi ini penting untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan sapi Bali sebagai ternak lokal utama penghasil daging ke depan, terutama dalam mensukseskan swasembada sapi nasional. Variasi alel dan genotipe gen GH pada sapi Bali yang monomorfik disebabkan sapi Bali merupakan ternak domestik daerah tropis Indonesia. Sapi Bali sebagai hasil domestikasi langsung dari banteng (Bos banteng) (Namikawa et al. 1980), telah beradaptasi dengan lingkungan tropis sehingga pengaruh lingkungan berperan terhadap sifat produksinya. Proses adaptasi tersebut merupakan proses evolusi dan seleksi pada spesies ternak domestik. Evolusi terhadap adaptabilitas pada lingkungan tropis memberikan penyesuaian genotipe terhadap resistensi atau toleransi penyakit, stres panas (homeothermy), stres nutrisi dan toleransi obat-obatan (Newman & Coffey 1999). Adaptabilitas sapi Bali didapatkan dari seleksi alam dan berpengaruh terhadap sifat produksinya. Umumnya seleksi alam terpusat pada pembentukan individu-individu yang kuat dan tahan terhadap tantangan lingkungan alam sekitarnya, hal tersebut mengakibatkan ternak hasil seleksi alam mempunyai sifat produksi yang rendah dikarenakan kebutuhan hewan tersebut terbatas hanya untuk mempertahankan hidupnya (Pane 1991). Terkait kemampuan sapi Bali dalam mengekspresikan sifat yang dibutuhkan dalam bertahan hidup, sebuah fenomena variasi genetik pada individu berlaku. Fenomena kelenturan fenotipik sebagai hasil seleksi alam menyebabkan genotipe sapi Bali menjadi kurang bervariasi (homozigot). Noor (2002) menyatakan bahwa kemampuan suatu individu atau

65 37 genotipe untuk menampilkan lebih dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan atau tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan lingkungan disebut sebagai kelenturan fenotipik. Frekuensi alel A, D, H, J dan L yang sangat tinggi pada sapi Bali pada seluruh exon gen GH menjadi indikator bahwa sapi Bali berbeda dengan sapi bangsa Bos taurus dan sapi Pesisir. Namun, dalam penelitian ini, di exon 2, frekuensi alel D sapi Bali lebih kecil dibanding frekuensi alel D sapi Pesisir. Tingginya frekuensi genotipe DD dan alel D pada sapi Pesisir disebabkan sapi Bali diduga berperan dalam pembentukannya. Hal ini sesuai dengan Saladin (1983) yang menyatakan bahwa sapi di Sumatera Barat menurut catatan sejarah terdiri atas sapi lokal, sapi Zebu dan sapi Eropa, sejak tahun 1907 telah dimasukkan sapi-sapi zebu (Ongole dan Hissar) untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal. Jakaria (2008) menyatakan bahwa peran sapi Bali telah memberikan proporsi yang besar terhadap pembentukan sapi Pesisirditunjukkan oleh genotipe -/- atau alel (-) fragmen gen GH yang tinggi dikarenakan sapi Bali hanya memiliki genotipe -/- atau alel (-). Nilai frekuensi alel A di exon 1 pada sapi lokal Indonesia merupakan alel tertinggi dibandingkan dengan sapi yang berasal dari bangsa Bos taurus, seperti halnya pada sapi Bali sedangkan pada sapi lokal Indonesia yang lain seperti sapi Pesisir didapatkan sifat polimorfik pada gen GH di seluruh exon. Hal ini terlihat dari nilai frekuensi alel dan frekuensi genotipe dari gen GH sapi Pesisir pada keempat exon yang memiliki nilai kurang dari 0.99 kecuali pada exon 2 yang bersifat monomorfik. Nilai tertinggi dari frekuensi alel sapi Pesisir sebesar terdapat pada alel D di exon 2, dan nilai frekuensi alel terendah sebesar ditemukan pada alel C exon 1 dan alel I di exon 3. Sifat polimorfik pada sapi Pesisir dalam penelitian ini ditemukan pada seluruh exon dari gen GH. Polimorfik gen GH pada sapi Pesisir Sumatera Barat, kemungkinan disebabkan oleh perkawinan silang antara sapi lokal dengan sapi Zebu dan sapi Eropa. Sejak tahun 1907, sapi-sapi Zebu (Ongole dan Hissar) telah dimasukkan untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal di Sumatera Barat. Setelah kemerdekaan, dimasukkan kembali sapi Ongole di Sumatera Barat dalam rangka Program Ongolisasi (Saladin 1983).

66 38 Keragaman alel dan genotipe pada sapi lokal Indonesia yang lain terdapat pada sapi Madura. Nilai frekuensi alel dan frekuensi genotipe pada sapi Madura sangat bervariasi, namun dari lima exon gen GH, terdapat 2 exon pada sapi Madura yang bersifat polimorfik. Nilai frekuensi alel A pada exon 1 sapi Madura sebesar 0.850, sedangkan nilai frekuensi alel B sebesar Hal ini menunjukkan bahwa exon 1 gen GH pada sapi Madura bersifat polimorfik, dengan frekuensi genotipe AA sebesar 0.850, sedangkan nilai frekuensi genotipe AC sapi Madura sebesar Selain pada exon 1, alel polimorfik pada sapi Madura juga didapatkan pada exon 5, nilai frekuensi alel L pada exon 5 sebesar 0.875, sedangkan nilai frekuensi alel M sebesar Polimorfisme gen GH yang terdapat pada sampel sapi Madura ini sesuai dengan hasil penelitian Purwoko et al. (2003), yang menyatakan bahwa terdapat polimorfisme pada gen GH di lokus 2 yaitu pada posisi 329 pb yang meliputi exon 3 dan 4 pada sapi Madura. Penelitian Purwoko et al. (2003) tersebut menggunakan enzim restriksi MspI sebagai penciri genetik dalam penentuan variasi genetik. Menurut Purwoko et al. (2003) polimorfisme atau variasi genetik pada jenis yang sama adalah sangat penting, karena mempunyai banyak aplikasi dalam persilangan dan genetika. Polimorfisme yang terjadi pada gen GH pada exon 3 dan 4 ini terjadi dikarenakan adanya transisi C menjadi T pada posisi +837 (Hoj et al. 1993) dengan menggunakan enzim restriksi MspI.

67 34 Tabel 3. Frekuensi alel gen GH pada kelima exon pada masing-masing bangsa sapi Fragmen Bangsa sapi Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Alel Alel Alel Alel Alel A B C D E F G H I J K L M N Sapi Bali Sapi Pesisir Sapi Madura Sapi Katingan Sapi Simmental Sapi Limousin Tabel 4. Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH Fragmen Bangsa sapi Exon 1 Exon 2 Exon3 Exon 4 Exon 5 Genotipe Genotipe Genotipe Genotipe Genotipe AA AB BB AC CC DD DE EE FF FG GG HH HI II JJ JK KK LL LM MM LN NN Sapi Bali Sapi Pesisir Sapi Madura Sapi Katingan Sapi Simmental Sapi Limousin

68 40 Sapi Madura yang dijadikan sampel dalam penelitian ini diambil dari pulau Sapudi, yang terletak di sebelah timur pulau Madura dan termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Populasi sapi Madura di pulau Sapudi ini relatif banyak, hampir 2/3 jumlah populasi sapi Madura yang ada di Kabupaten Sumenep terdapat di pulau Sapudi. Selain itu, kemurnian sapi Madura di pulau Sapudi juga relatif lebih tinggi dibandingkan sapi Madura yang berada di pulau Madura. Hal ini dikarenakan, sapi-sapi yang berada di pulau Sapudi yang terpisah dari Pulau Madura jarang dikawin silangkan dengan sapi dari bangsa maupun populasi lain sehingga kemurniannya masih terjaga. Keragaman nilai frekuensi alel dan frekuensi genotipe pada sapi Katingan sangat bervariasi. Hanya pada exon 3, alel monomorfik sapi Katingan ditemukan, hal menunjukkan bahwa sapi Katingan merupakan persilangan sapi lokal Indonesia dengan sapi yang berasal dari bangsa Bos indicus. Beberapa sifat dan ciri-ciri dari sapi Katingan yang mirip dengan sapi dari Bos indicus diantaranya memiliki punuk, bergelambir serta warna kulit seperti yang terlihat pada Gambar 10. Gambar 10. Sapi PO dan sapi Katingan (Utomo 2011). Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan antar Bangsa Sapi Keseragaman alel dan genotipe fragmen gen GH yang tinggi pada sapi Bali ditemukan pada alel A, D, H, J dan L di exon 1, 2, 3, 4 dan 5, hal tersebut berbeda dengan bangsa lainnya disebabkan sapi Bali termasuk bangsa Bos javanicus, sedangkan bangsa sapi lokal Indonesia lainnya dan sapi impor termasuk dalam bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus (Tabel 5 dan 6).

69 44 Tabel 5. Frekuensi alel gen GH pada semua bangsa sapi Jenis Alel Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 A B C D E F G H I J K L M N Bos Javanicus Bos indicus Bos taurus Total populasi 41

70 45 42 Tabel 6. Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH pada semua bangsa sapi. Kelompok sapi Exon 1 Alel Genotipe Alel Genotipe A B C AA AB BB AC CC D E F G DD DE EE FF FG GG Bos javanicus Bos indicus Bos taurus (20/20) (0/20) (0/20) (0/20) (0/20) (9/20) (11/20) (0/20) (0/20) (0/20) (0/20) Exon (27/60) (25/60) (0/20) (8/20) (0/20) (20/60) (0/60) (0/60) (0/60) (9/60) (31/60) (0/10) (18/20) (0/10) (2/10) (0/10) (0/20) (0/20) (0/10) (0/20) (3/20) (17/20) Total (100) Lanjutan Tabel 6. Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH pada semua bangsa sapi Kelompok sapi Alel Bos javanicus Bos indicus Bos taurus Exon 3 Exon 4 Exon 5 Genotipe Genotipe Alel Alel Genotipe H I HH HI II J K JJ JK KK L M N LL LM MM LN NN (20/20) (0/20) (0/20) (20/20) (0/20) (0/20) (20/20) (0/20) (0/20) (0/20) (0/20) (59/60) (1/60) (0/60) (42/60) (18/60) (0/60) (32/60) (24/60) (4/60) (0/60) (0/60) (5/20) (15/20) (0/20) (1/20) (19/20) (0/20) (7/20) (5/20) (0/20) (5/20) (3/20) Total (100)

71 43 Perbedaan bangsa Bos javanicus dan bangsa sapi lainnya dikemukakan juga oleh Mohamad et al. (2009) yang menyatakan bahwa hubungan maternal dari sapi Bali asli dari empat tempat berbeda (Sulawesi, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat) berhubungan erat dengan banteng ditinjau dari analisis DNA mitokondria (mt), kromosom Y (Y) dan mikrosatelit alel autosom (µst) dan terpisah dari sapi lokal lainnya (sapi Pesisir, Aceh, Madura) dan sapi-sapi Zebu (Bos indicus). Hubungan genetik sapi lokal Indonesia ditampilkan pada Gambar 11. Gambar 11. Hubungan genetik sapi lokal Indonesia (Mohamad et al. 2009). Variasi genetik keragaman gen GH pada sapi yang berasal dari bangsa sapi yang sama yaitu bangsa sapi yang termasuk bangsa Bos indicus, dalam penelitian ini adalah sapi Pesisir, Madura dan Katingan, maka sangat penting. Hal ini bertujuan untuk dijadikan dasar dalam hal persilangan dan seleksi. Menurut Sutarno et al. (2005), variasi yang terdapat dalam gen GH dengan menggunakan enzim MspI, dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam pertumbuhan pada sapi PO, dengan catatan bahwa perbedaan jantan dan betina juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tersebut. Penelitian yang lain, Sutarno et al. (2004)

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia 5 TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia Keanakeragaman ternak yang terdapat di Indonesia khususnya pada ternak sapi berasal dari sumber daya genetik ternak asli dan ternak impor.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber Daya Genetik Ternak Lokal. Gambar 2 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber Daya Genetik Ternak Lokal. Gambar 2 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa (MacHugh 1996). TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi dan (3) ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging,

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging, APLIKASI GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH, GHRH) SEBAGAI MARKA DALAM SELEKSI PENINGKATAN BOBOT POTONG DAN KUALITAS DAGING PADA KERBAU (Penelitian lanjutan Tahun III) Tim Peneliti: Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia Utara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental menunjukkan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos Banteng Syn Bos sondaicus) yang didomestikasi. Menurut Meijer (1962) proses penjinakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG SKRIPSI DINY WIDYANINGRUM DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos banteng) (Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos sondaicus (Payne dan Hodges 1997). Banteng

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA SKRIPSI IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA Oleh: Astri Muliani 11081201226 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL Disertasi HARY SUHADA 1231212601 Pembimbing: Dr. Ir. Sarbaini Anwar, MSc Prof. Dr. Ir. Hj. Arnim,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka

Lebih terperinci

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA TESIS POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA NI LUH MADE IKA YULITA SARI HADIPRATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS POLIMORFISME

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES Nico ferdianto, Bambang Soejosopoetro and Sucik Maylinda Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi merupakan anggota famili bovidae yang muncul pada era Pleistosen. Ternak sapi berasal dari keturunan aurok liar (Bos primigenius) (Mannen

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli yang dikembangkan di Indonesia. Ternak ini berasal dari keturunan asli banteng liar yang telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI CHANDRA IMMANUEL SARAGIH

TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI CHANDRA IMMANUEL SARAGIH TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI CHANDRA IMMANUEL SARAGIH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS PROFIL HORMON

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO BAB 7 Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO Beberapa kajian dilaporkan bahwa genotip Msp1+/+danMsp1+/- dapat digunakan sebagai gen kandidat dalam seleksi ternak sapi untuk program

Lebih terperinci

PENGUJIAN KEMURNIAN SAPI BALI DENGAN MENGGUNAKAN METODE ISOELEKTRIC FOCUSING

PENGUJIAN KEMURNIAN SAPI BALI DENGAN MENGGUNAKAN METODE ISOELEKTRIC FOCUSING PENGUJIAN KEMURNIAN SAPI BALI DENGAN MENGGUNAKAN METODE ISOELEKTRIC FOCUSING Karmita, Ml., R. R. Noorl, & A. FarajaUah 2 1 Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB 2 Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas 13 TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS Shorea johorensis Foxw DI PT. SARI BUMI KUSUMA BERDASARKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) TEDI YUNANTO E14201027

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya)

SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya) SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya) Sejarah Sapi Rambon Sapi Bondowoso yang terdiri dari 3 suku bangsa yaitu Jawa Madura dan Bali yang mempunyai berbagai jenis sapi

Lebih terperinci

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia lainnya.

Lebih terperinci

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN RESEPTORNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKSI SUSU KUMULATIF PARSIAL PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI SENTRA PRODUKSI JAWA BARAT RESTU MISRIANTI SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci