OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH"

Transkripsi

1 OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi ini yang berjudul : Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara Adalah karya saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi maupun sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. BOGOR, Juli 28 Sitti Marwah NRP.A236111

3 ABSTRACT SITTI MARWAH. Optimization of Agroforestry Systems Management for Sustainable Agriculture Development in Konaweha Watershed, Southeast Sulawesi. Under the supervision of NAIK SINUKABAN as chairman, KUKUH MURTILAKSONO, BUNASOR SANIM, and A. NGALOKEN GINTINGS as members. The farming systems in Konaweha watershed are mostly mixed garden that are partly managed intensively as well as traditionally. Those farming systems are known as agroforestry system which consists of plantation crops, fruits, and woods (forestry crops) with or without live stocks. The objective of this research are: 1) to identify and classify agroforestry systems that are practiced by farmers, 2) to study the effect of the agroforestry systems on soil properties, hydrological indicators, and erosion, 3) to study the effect of the agroforestry systems on the total biomass production and carbon sequestration in vegetation and soil, 4) to analyze farm management feasibility and optimization of agrotechnology of agroforestry systems to establish sustainable agriculture systems. The study was carried out in Konaweha watershed, Southeast Sulawesi. The observation of soil properties, hydrological indicators, erosion and vegetation were conducted on plots that were arranged constructed based on block random design. The social and economic data were obtained through survey using questionnares. Optimization of agrotechnology was constructed using multiple goals programming model approach. The results indicated that agroforestry systems in this area were grouped into four types i.e. sylvopastoral-p (T1), agrosylvicultural-p (T2), agrosylvicultural-m (T3) and sylvopastoral-m (T4). Base on social and economic objective, the culture management of agroforestry consisted of three types i.e. subsisten, intermediate, and commercial. The four types agroforestry systems significantly increased the soil agregate stability, soil porosity at 3 cm depth, organic mater, soil organic carbon, soil microorganisms population, total biomas production and vegetation carbon sequestration. In contrast, the agroforestry systems had decreased runoff and erosion significantly. Therefore, the erosion rate from the four types agroforestry systems were smoller than the value of tolerable soil loss (TSL), except that of agrosylvicultural-p with elevation > 3%. With such an approach, it was revealed that the best quality of soil and environment was found at sylvopastoral-m type. The sylvopastoral-m type was the most effective system decrease runoff although the mulch was lower than that in forest. The agroforestry systems in this area were economically feasible and profitable, but the farmers income were not enough to meet the needs for life worth living. Therefore, the agroferostry systems should be aptimized to increase farmers income to meet their needs for life worth living as well as, to decrease erosion to the level of lower than TSL. Through optimization of agrotechnologies, the sustainable agroforestry systems in this region could be established by using high quality varieties, improvement of agronomy, including live stocks in the system and planting fodder. Keywords: agroforestry, biomass and carbon, erosion, income, sustainable agriculture

4 RINGKASAN SITTI MARWAH, Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara, dibawah bimbingan NAIK SINUKABAN sebagai ketua, KUKUH MURTILAKSONO, BUNASOR SANIM, dan A. NGALOKEN GINTINGS sebagai anggota. Sistem usahatani di DAS Konaweha umumnya berupa kebun campuran yang dikelola secara intensif maupun tradisional. Kedua bentuk pertanian ini mengkombinasikan jenis tanaman perkebunan, buah-buahan dan kehutanan dengan/tanpa ternak yang dikenal sebagai sistem agroforestry. Tujuan penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sistem agroforestry yang diusahakan oleh petani, 2) mengkaji pengaruh sistem agroforestry terhadap sifatsifat tanah, indikator hidrologi dan erosi, 3) mengestimasi produksi biomassa total dan tambatan karbon vegetasi dan tanah, 4) menganalisis kelayakan usahatani dan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry untuk membangun pertanian berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara. Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah, paramater hidrologi, erosi dan vegetasi dilakukan pada plot yang dibuat berdasarkan rancangan acak kelompok. Data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara dan konstruksi agroforestry berkelanjutan dilakukan dengan optimalisasi agroteknologi menggunakan pendekatan model analisis multiple goals programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat tipe agroforestry yang diusahakan petani yaitu : sylvopastoral-p (T1), agrosylvicultural-p (T2), agrosylvicultural-m (T3) dan sylvopastoral-m (T4). Berdasarkan tujuan sosial ekonomi terdapat tiga kelompok pengelolaan yaitu : subsisten, intermediet dan komersial. Pengelolan sistem agroforestry umumnya setiap tipe masih dilakukan secara subsisten, kecuali tipe sylvopastoral-p yang sudah hampir 5% dikelola secara komersial. Sistem agroforestry nyata meningkatkan indeks stabilitas agregat, porositas pada kedalaman > 3 cm, bahan organik, C-organik, mikroorganisme tanah, limpasan permukaan, kapasitas infiltrasi dan erosi. Sylvopastoral-m menunjukkan indeks stabilitas agregat, bahan organik dan mikroorganisme tanah paling tinggi. Selain itu, limpasan permukaan pada tipe ini adalah paling rendah (318.1 mm) dan efektivitas menekan limpasan permukaan paling tinggi (79%), namun masih lebih rendah dari hutan (83%). Meskipun demikian, kapasitas infiltrasi dan permeabilitas profil tanahnya tidak berbeda secara signifikan dengan tipe yang lain, kecuali sylvopastoral-p. Erosi pada tipe ini juga paling rendah, namun tidak berbeda dengan tipe yang lain maupun hutan. Selanjutnya, Erosi pada seluruh tipe sistem agroforestry lebih kecil dari ETol, kecuali pada agrosylvicultural-p dengan lereng 3%. Pada tipe sylvopastoral-m dijumpai pula biomassa total, karbon vegetasi dan tanah paling tinggi, tetapi lebih rendah dari hutan. Tipe sylvopastoral-m menunjukkan kualitas tanah dan lingkungan terbaik disebabkan oleh komposisi dan kerapatan tanaman yang tinggi, struktur vegetasi pohon yang membentuk strata tajuk berlapis-lapis menyerupai hutan. Sistem agroforestry di daerah ini adalah layak diusahakan secara ekonomi, meskipun tingkat pendapatan (NPV) yang diperoleh petani masih sangat rendah, belum mencapai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi KHL.

5 Untuk mencapai tingkat pendapatan yang memenuhi KHL dengan mempertahankan erosi di bawah ETol, maka dilakukan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry. Dengan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry, pertanian berkelanjutan di daerah ini dapat dilakukan dengan perbaikan varietas dan agronomi serta menambahkan ternak sapi dan penanaman rumput pakan.

6 @Hak Cipta milik IPB, Tahun 28 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH A Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : Nama : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (Guru Besar Departemen Manajemen Hutan) Instansi : Fakultas Kehutanan IPB Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Nama : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (Guru Besar Departemen Manajemen Hutan) Instansi : Fakultas Kehutanan IPB 2. Nama : Dr. Ir. Harry Santoso (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman) Instansi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan

9 Judul Disertasi : Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara Nama Mahasiswa : Sitti Marwah Nomor Pokok : A Program Studi : Ilmu Pengelolaan DAS Menyetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Anggota Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.Si. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 24 April 28 Tanggal Lulus : 14 Juli 28

10 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Berbagai pengalaman yang sangat berharga selama penulis melalui proses persiapan rencanadan pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Pof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc., Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS, dan Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan, koreksian, dan masukan yang sangat berarti mulai dari penulisan rencana penelitian hingga penulisan disertasi. Demikian pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, dan Dr. Ir. Harry Santoso yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan memberikan masukan yang amat berharga sehingga memberi bobot tersendiri dalam disertasi ini. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Faperta, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS IPB, serta Rektor dan Dekan Faperta UNHALU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. Demikian pula tak lupa penulis sampaikan hal yang sama kepada Kepala Laboratorium Ilmu Tanah Faperta Unhalu, Pengelola BPPS Dirjen DIKTI Depdiknas dan IPB serta Bapak Ir. Syafei Kahar selaku Bupati Buton, Pemda Provinsi SULTRA, dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri atas dukungan moril dan bantuan dana yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda H. Andi Muh. Djufri (Alm) dan ibunda Andi Siti Djulsan (Alm) atas do a dan kasih sayang dimasa hidupnya, kakak dan adik-adik saya serta kepada keluarga besar H. La Ode Rafiuddin (Alm) dan Wa Ode Saiha (Alm) atas bantuan, dukungan, pengorbanan dan do anya. Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada yang tercinta suami Ir. La Ode Alwi, M.Si. dan ananda Alwan, Astriwana, Siti Alvianti, dan Aljumriana atas kesabaran, pengertian dan pengorbanan serta do a dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3 di IPB. Terima kasih pula kepada rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan semua pihak, atas segala dukungan, bantuan dan kerjasamanya. semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya kalau tulisan ini masih banyak kekurangan, karena itu, dengan segala kerendahan hati diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan, Amin. Bogor, Juli 28 Sitti Marwah

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Januari 196 di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, anak kelima dari H. Andi Muh. Djufri (almarhum) dan Andi Siti Djulsan (almarhuma). Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri 35 Makassar, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri I Bikeru Kab. Sinjai, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Makassar. Melanjutkan pendidikan sarjana tahun 1979 di Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Program Studi Silvikultur dan memperoleh ijazah Sarjana Muda tahun 1982 dan Sarjana Lengkap tahun Penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara tahun 1985 hingga sekarang. Pada tahun 2 meraih Magister Sains (S2) pada Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, IPB dengan beasiswa TMPD dari Dirjen DIKTI Depdikbud. Kemudian pada tahun 21 mendapat kesempatan kembali melanjutkan studi Program Doktor (S3) pada Perguruan Tinggi dan sumber beasiswa yang sama. Pada tahun mendapat kepercayaan selaku Sekretaris Jurusan Budidaya Pertanian dan tahun menjadi Ketua Jurusan. Aktif sebagai anggota Senat Fakultas tahun dan anggota Senat Universitas tahun Disamping itu, mengabdikan diri pada Perguruan Tinggi Swasta dan dipercayakan selaku Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Wuna, Sultra tahun Ketua Jurusan Kehutanan pada Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Kendari, tahun 2 21.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... Permasalahan... Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran... Tujuan dan Kegunaan penelitian... Kebaharuan Penelitian... Ruang Lingkup Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA Batasan dan Kriteria Sistem Agroforestry... Klasifikasi Sistem Agroforestry... Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Dalam Pengelolaan DAS... Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Sistem Agroforestry... Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry... Total Biomassa dan Karbon Berbagai Tipe Penggunaan Lahan... Potensi Implementasi Agroforestry untuk Clean Development Mechanism (CDM)... Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usahatani... BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian... Data dan Peralatan... Metode Penelitian... Teknik Pengambilan Sampel... Analisis Data... Konsep Operasional... TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN Aspek Biofisik... Aspek Sosial Ekonomi... xii xiv xv

13 HASIL DAN PEMBAHASAN Kharakteristik Sistem Agroforestry... Pengaruh Sistem Agroforestry terhadap Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Erosi di DAS Konaweha... Analisis Vegetasi Sistem Agroforestey di DAS Konaweha... Analisis Biaya dan Pendapatan Sistem Agroforestry di DAS Konaweha... Penilaian Investasi pada Usahatani Sistem Agroforestry di DAS Konaweha... Optimalisasi Agroteknologi Sistem Agroforestry di DAS Konaweha.. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL Halaman Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun Jenis tanaman, produksi dan pendapatan usahatani terpadu di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Tahun Sasaran dan metode pengumpulan data di DAS Konaweha, Tahun Metode penentuan lokasi pengamatan dan total petani sampel pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Luas perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha, periode Luas lahan berdasarkan kelas lereng di DAS Konaweha, Tahun Luas lahan berdasarkan jenis tanah kategori sub group dan sub order di DAS Konaweha, Tahun Sebaran tipe iklim berdasarkan stasiun pengukuran di DAS Konaweha, Tahun Jumlah penduduk pria dan wanita setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun Kepadatan penduduk setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun Jumlah tenaga kerja produktif dan tidak produktif setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun Luas pemilikan lahan petani menurut kecamatan di DAS Konaweha, Tahun Pendapatan penduduk dan petani setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Luas lahan dan jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry pada lokasi pengamatan di DAS Konaweha, Tahun Jumlah petani sampel setiap tipe sistem agroforestry berdasarkan tujuan sosial ekonomi di DAS Konaweha, Tahun

15 Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat fisik tanah di DAS Konaweha, Tahun Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat kimia dan mikroorganisme tanah di DAS Konaweha, Tahun Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap indikator hidrologi dan erosi di DAS Konaweha, periode Pengaruh kemiringan lereng terhadap indikator hidrologi dan erosi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Efektifitas sistem agroforestry dan hutan dalam menekan limpasan permukaan di DAS Konaweha, periode Erosi aktual dan ETol pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Nilai penting jenis vegetasi pohon pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap biomassa total, tambatan karbon vegetasi dan tanah di DAS Konaweha, Tahun Pendapatan bersih (tanpa diskonto) yang diperoleh petani dari sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Pendapatan bersih (terdiskonto) yang diperoleh petani dari sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Kelayakan investasi sistem agroforestry berdasarkan BCR, NPV, IRR dan PBP pada kondisi aktual di DAS Konaweha, Tahun Kelayakan investasi sistem agroforestry berdasarkan BCR, NPV, IRR dan PBP pada sekenario I - V di DAS Konaweha, Tahun Hasil optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry dari berbagai sekenario di DAS Konaweha, Tahun Tingkat penerimaan petani sampel terhadap agroteknologi sistem agroforestry yang direkomendasikan di DAS Konaweha, Tahun

16 DAFTAR GAMBAR Halaman Kerangka pemikiran penelitian... 7 Perpindahan dan keluaran unsur hara pada sistem agroforestry. 23 Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry 24 Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisis data Peta DAS Konaweha dan Lahumbuti Keadaan curah hujan bulanan di DAS Konaweha, periode Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik tanah (BOT), indeks stabilitas agregat (ISA) dan porositas tanah (kedalaman >3 cm) di DAS Konaweha, Tahun Efektivitas sistem agroforestry dan hutan dalam menekan limpasan permukaan di DAS Konaweha, periode Erosi dan ETol pada sistem agroforestry dan hutan setiap tingkat kemiringan lereng di DAS Konaweha, periode Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap C-vegetasi dan C-organik tanah di DAS Konaweha, Tahun

17 DAFTAR LAMPIRAN Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Banakat, Sumatera Selatan, Tahun Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Tanjungan, Lampung, Tahun Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur, Tahun Nilai faktor kedalaman berbagai jenis tanah kategori sub order (USDA), Tahun Curah hujan rata-rata bulanan (mm) di lokasi penelitian, periode Jumlah hari hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian periode Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Kriteria strata tajuk, kedalaman perakaran dan ketebalan serasah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data berat isi tanah kedalaman 3 cm pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Data berat isi tanah kedalaman > 3 cm pada sistem agroforestry di Das Konaweha, Tahun Data indeks stabilitas agregat tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data porositas tanah kedalaman 3 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data porositas tanah kedalaman > 3 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data bahan organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data C-organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data ph tanah pada sistem agroforestry dan huan di DAS Konaweha, Tahun Data total mikroorganisme tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Halaman

18 Data tinggi limpasan permukaan pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Data kapasitas infiltrasi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data permeabilitas profil pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Data total erosi pada sistem agroforestry dan hutan periode di DAS Konaweha, tahun Klasifikasi (USDA), struktur dan tekstur tanah pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) pada Sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Sidik ragam berat isi tanah kedalaman 3 dan > 3 cm... Sidik ragam indeks stabilitas agregat tanah... Sidik ragam porositas tanah kedalaman -3 dan > 3 cm... Sidik ragam bahan organik tanah dan kadar karbon tanah... Sidik ragam ph dan total mikroorganisme tanah... Sidik ragam tinggi limpasan permukaan... Sidik ragam kapasitas infiltrasi dan permeabilitas profil tanah... Sidik ragam total erosi periode Koefisien limpasan permukaan pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Nilai penting jenis (NPJ) pohon pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Biomassa total dan kadar karbon vegetasi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Persamaan allometrik dalam perhitungan biomassa dan kadar karbon vegetasi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Hasil analisis biaya usahatani pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Hasil analisis pendapatan usahatani pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Analisis BCR, NPV, IRR dan PBP kondisi existing pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Analisis sensitivitas sekenario I pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun

19 Analisis sensitivitas sekenario II pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Analisis sensitivitas sekenario III pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Analisis sensitivitas dengan sekenario IV pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Analisis sensitivitas sekenario V pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario (kondisi existing) di DAS Konaweha, Tahun Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario I di DAS Konaweha, Tahun Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry Skenario II di DAS Konaweha, Tahun Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario III di DAS Konaweha, Tahun Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario IV di DAS Konaweha, Tahun Peta penggunaan lahan DAS Konaweha, Tahun Peta lokasi pengamatan sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun Denah pola tanam tipe sylvopastoral-p di DAS Konaweha, Tahun Denah pola tanam tipe agrosylvicultural-p di DAS Konaweha, Tahun Penutupan tanah dengan serasah dan rumput pada tipe sylvopastoral-p dan sylvopastoral-m di DAS Konaweha, Tahun Contoh kondisi tipe agrosylvicultural-p dan lapisan tajuk pada tipe agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m di DAS Konaweha, Tahun Peta rekomendasi agroteknologi sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan pembangunan juga menyebabkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan sehingga petani menjadi terdesak untuk memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam menjadi areal pertanian yang pada umumnya dilaksanakan tanpa tindakan konservasi tanah yang memadai. Oleh karena itu, lahan ini menjadi rawan erosi dan mudah terdegradasi yang pada gilirannya menjadi lahan kritis. Tipe degradasi lahan tersebut termasuk tanah tererosi, penurunan tingkat kesuburan tanah, salinisasi, kerusakan sumberdaya air dan penggundulan hutan, kerusakan sumberdaya penggembalaan ternak (pasture), dan menurunnya keanekaragaman hayati (Young, 1997; UNEP, 1995). Menurut Nurlambang (28), laju kerusakan lahan di Indonesia berkaitan dengan : (1) diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah dan dampak krisis ekonomi yang belum pulih serta kondisi status sosial ekonomi di daerah yang bersangkutan, (2) adanya kecenderungan masyarakat yang kembali bertumpu pada sektor primer dengan tingkat pemanfaatan yang lebih intensif, dan (3) perubahan pola status sosial ekonomi untuk memperoleh pendapatan daerah yang lebih besar, sehingga terjadi eksploitasi terhadap sumberdaya lahan yang berlebihan. Di Indonesia telah dijumpai lahan kritis seluas ± 35 juta ha yang terdiri atas ± 21 juta ha di luar kawasan hutan dan ± 14 juta ha di dalam kawasan hutan (Planologi Dephut dalam Sinukaban, 21). Kondisi ini semakin meningkat akibat kegiatan konversi hutan + 2 juta ha sejak tahun 1989 dengan rata-rata laju penebangan meningkat dari 1,7 juta ha/thn sebelum tahun 2 (Holmes, 2) menjadi 1,87 juta ha/thn pada tahun 2-25 (FAO, 25). Demikian halnya Di Sulawesi Tenggara dijumpai lahan kritis seluas ha yang terdiri atas ± 188. ha di luar kawasan hutan dan ± 54. ha di dalam kawasan hutan. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa konversi hutan menurunkan

21 kualitas tanah, tetapi akan meningkat kembali dengan pemberaan atau dengan sistem agroforestry kakao (Handayani, 21; Anas et al., 25; Murtilaksono et al., 25). Penggunaan lahan di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara periode tahun juga menunjukkan perubahan seperti; hutan menurun dari ,4 menjadi ha, kebun campuran ha menjadi , ha dan semak bertambah dari 49.66,3 ha menjadi 55.12,5 (BPDAS Sampara, 25). Petani di daerah ini pada umumnya melaksanakan diversifikasi usahatani baik berupa kebun campuran yang dikelola secara intensif maupun tradisional berupa kebun hutan (pertanian tradisional) dengan menanam lebih dari satu jenis komoditi untuk meningkatkan produktivitas dan mengoptimalkan penggunaan lahannya. Pola-pola pertanian tersebut merupakan bentuk-bentuk sistem agroforestry yang mengkombinasikan jenis tanaman perkebunan, buah-buahan dan kehutanan dengan/tanpa ternak. Selain itu, wilayah ini merupakan sumber utama air irigasi Wawotobi dan PDAM Kodya Kendari serta menjadi penyangga bagi Taman Nasional Rawa Aopa yang terdapat di DAS Roraya, sehingga kerusakan di kawasan ini akan sangat berpengaruh terhadap fungsi irigasi, ekologis dan hidrologis DAS. Oleh karena itu, pengembangan pertanian lahan kering di DAS Konaweha terutama di daerah hulu perlu mendapat perhatian yang serius karena selain menyangkut keberlanjutan sistem usahatani di daerah tersebut juga berdampak pada indikator hidrologis kawasan hilir. Pertanian lahan kering umumnya memiliki jenis tanah Ultisol dengan tekstur lempung dan lempung berliat. Pengembangan pertanian di daerah ini banyak mengalami hambatan, karena kesuburan dan bahan organik tanah tergolong rendah, peka erosi, curah hujan tidak merata sepanjang tahun dan minimnya upaya konservasi tanah dan air, sehingga kendala utama adalah erosi tinggi di musim hujan (47 ton/ha/th) dan kekeringan di musim kemarau (BPDAS Sampara, 25). Selain itu, pengembangan pertanian juga memiliki kendala sosial ekonomi antara lain : (1) tingkat kesadaran dan pengetahuan mengenai pemeliharaan sumberdaya lahan yang rendah dan (2) tingkat pendapatan petani masih sangat rendah (Rp /ha/th) (Alwi, 24). Hal ini sesuai pernyataan Sinukaban (1994) bahwa tingginya erosi menyebabkan produktivitas lahan

22 menurun dan pendapatan petani semakin rendah sehingga terjadi proses saling memiskinkan antara petani dan lahan yang diusahakan. Erosi tinggi dan produktivitas lahan yang rendah, merupakan salah satu penyebab utama kegagalan pencapaian sasaran pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair (1989b), agroforestry merupakan sistem pertanian yang berpotensi untuk konservasi tanah dan air, menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak dan hasil kayu khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Oleh karena itu, agroforestry merupakan sistem pertanian dan teknologi penggunaan lahan yang dapat menekan erosi, degradasi dan pemanfaatan lahan-lahan marginal. Disamping itu, tanah dan tanaman pada sistem agroforestry merupakan penyimpan karbon yang cukup besar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global. Penyerapan karbon oleh vegetasi dan tanah merupakan hal yang penting untuk mengurangi akumulasi karbon di atmosfer sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim (climate change). Penyerapan karbon oleh tanaman melalui fotosintesis akan merubah CO 2 atmosfer menjadi biomassa tanaman yang secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik pada tanaman dan tanah selama proses dekomposisi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk mengetahui sejauh mana sistem agroforestry yang telah diusahakan petani dapat memelihara kualitas lingkungan, menekan erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan maka diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif sebagai indikator pencapaian sasaran pembangunan pertanian berkelanjutan. Permasalahan Adapun permasalahan dan pendekatan yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian ini adalah : 1. Sistem agroforestry yang bagaimana yang umumnya diusahakan petani di DAS Konaweha ditinjau dari komponen penyusun dan tujuan sosial ekonominya 2. Sejauhmana pengaruh sistem agroforestry yang telah diusahakan petani terhadap sifat-sifat tanah, indikator hidrologi, dan erosi

23 3. Bagaimana gambaran biomassa total dan penambatan karbon oleh sistem agroforestry 4. Bagaimana kelayakan usahatani dan agroteknologi yang optimal dalam pengelolaan sistem agroforestry di DAS Konaweha yang dapat memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak dan tetap menjamin kelestarian produktivitas sumberdaya lahan dan kualitas lingkungan Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran Pertanian berkelanjutan adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya lahan dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara layak dan terus menerus serta penerapan agroteknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakatnya (Sinukaban, 1999). Sistem agroforestry merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak, yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan) berdasarkan kelestarian dan untuk kesejahteraan masyarakat, baik diusahakan secara serentak maupun berurutan sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis (Satjapradja, 1981; Nair, 1989a; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995; Young, 1997). Untuk membangun suatu sistem pertanian berkelanjutan atau menyempurnakan sistem pertanian yang telah ada menjadi sistem pertanian berkelanjutan, termasuk sistem agroforestry maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : (1) nventarisasi keadaan biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisika dan kimia), drainase, penggunaan lahan termasuk keanekaragaman vegetasi, topografi, iklim dan degradasi lahan. (2) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, pemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi dan kualitas lingkungannya. Agroforestry mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat sehingga peran utama agroforestry bukan hanya produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Bahkan produksi dari agroforestry sering menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Menurut De Foresta et al. (2), agroforestry memasok 5

24 8% dari hasil pertanian di pedesaan melalui produksi langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan, dan pemasaran hasilnya. Pendapatan dari sistem agroforestry umumnya dapat menutupi kebutuhan seharihari dari hasil yang dapat dipanen secara teratur. Selain itu, agroforestry dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, dan pala. Komoditi lainnya seperti kayu juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendesak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk asetaset yang dapat segera diuangkan, namun diversifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditi, maka dapat dengan mudah diterlantarkan hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan gangguan ekologi terhadap sistem ini, bahkan komoditi tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditi lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditi baru dapat diintroduksi tanpa merombak sistem produksi yang ada. Adanya interaksi pohon dan tanaman dalam sistem agroforestry akan memperbaiki produktivitas lahan atau pengendali issu lingkungan maupun issu sosial guna mengoptimalkan keuntungan produk dan lingkungan (Hudge, 2). Selanjutnya manfaat agroforestry lainnya adalah untuk meningkatkan produksi tanaman, diversifikasi produk dan pendapatan petani, meningkatkan kualitas tanah dan air, menekan erosi dan bahaya banjir, mempertahankan habitat satwa liar dan menciptakan keragaman hayati serta mengurangi input eksternal seperti pupuk dan pestisida. Bentuk dan jenis tanaman dalam sistem agroforestry sangat heterogen dengan perbedaan umur, sehingga membentuk multistrata dengan penutupan tajuk yang rapat. Hal ini dapat mencegah erosi dan mempertahankan produktivitas lahan. Selain itu, para petani yang bermukim di sekitar hutan dapat mengolah lahan, menanam palawija, umbi-umbian, dan hijauan makanan ternak, serta menanam komoditas utama tanaman kehutanan. Dengan demikian petani di sekitar hutan akan memperoleh kesempatan kerja yang lebih luas dan pendapatan

25 lebih tinggi. Bahkan, hutan serbaguna yang terbentuk dengan sistem agroforestry, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan majemuk bagi penduduk yang bermukim di sekitar hutan seperti kayu bakar, pertukangan, produk madu, hijauan makanan ternak, obat-obatan, dan kebutuhan mendesak lainnya, terutama peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan. Keanekaragaman jenis yang tinggi adalah merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa jenis pohon mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dalam menghasilkan biomassa dengan proses fotosintesis dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula, sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya (Odum, 1993). Tanah dengan vegetasinya merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon secara global. Oleh karena itu, penyerapan karbon oleh tanah dan vegetasi merupakan salah satu cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di atmosfer sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim global (global climate change). Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah : (1) kebun campuran dengan pola diversifikasi usahatani maupun kebun hutan berupa pertanian tradisional yang diusahakan petani di DAS Konaweha merupakan bentuk-bentuk sistem agroforestry yang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe berdasarkan komponen penyusun dan tujuan sosial ekonominya, (2) sistem agroforestry yang memiliki jenis tanaman heterogen dengan/tanpa ternak akan menghasilkan diversifikasi produk dan mampu menekan erosi tanah. Selain itu, sistem agroforestry mampu meningkatkan stock karbon di dalam vegetasi (carbon sequestration) melalui proses fotosintesis oleh tanaman dan sebagian tersimpan di dalam tanah sehingga dapat mengurangi tingkat emisi karbon di atmosfir. Dengan demikian sistem agroforestry dapat memelihara kualitas tanah dan lingkungan serta meningkatkan pendapatan petani dan (3) optimalisasi agroteknologi pada pengelolaan sistem

26 agroforestry akan memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan tetap menjamin kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan. Skema kerangka pemikiran di disajikan pada Gambar 1. SISTEM AGROFORESTRY Kemampuan Mengendalikan Erosi Tanah Kemampuan Mengurangi Tingkat Emisi Karbon di Atmosfir Kemampuan Meningkatkan Produksi Kualitas Tanah dan Lingkungan Terpelihara Pendapatan Tinggi dan Kontinuitas Terjamin Erosi < ETol tdk Analisis Agroteknologi tdk Pendapatan > KHL ya Optimalisasi Agroteknologi ya Acceptability Replicability - sosial & budaya - keterampilan Agroteknologi Tepat Pertanian Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

27 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pengelolaan sistem agroforestry terhadap aspek biofisik dan sosial ekonomi di DAS Konaweha sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sistem agroforestry yang diusahakan petani ke dalam beberapa tipe berdasarkan struktur atau komponen penyusun dan tujuan sosial ekonomi petani 2. Mengkaji pengaruh setiap tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani terhadap sifat-sifat tanah, indikator hidrologi dan erosi 3. Mengestimasi produksi total biomassa dan penambatan karbon (carbon sequestration) pada setiap tipe sisitem agroforestry 4. Menganalisis kelayakan usahatani dan mengoptimalkan agroteknologi sistem agroforestry untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah, petani dan peneliti setempat dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha berdasarkan kondisi fisik wilayah dan sosial ekonomi masyarakat. Kebaharuan Penelitian Kebaharuan penelitian ini adalah : 1. memberikan informasi secara komprehensif mengenai aspek fisik (kualitas tanah) dan sosial-ekonomi (kebutuhan hidup secara layak bagi petani) pada sistem agroforestry 2. memberikan gambaran produksi biomassa total dan karbon sequestration pada sistem agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan yang dapat meningkatkan karbon di dalam vegetasi dan tanah sehingga dapat membantu menurunkan tingkat emisi karbon secara global di atmosfer

28 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup kebun campuran pola agroforestry dan kebun hutan (pertanian tradisional), yang diusahakan pada lahan milik petani di DAS Konaweha. Kajian tipe agroforestry meliputi kualitas lahan dan lingkungan, struktur ekosistem dan fungsi ekologis, serta sosial ekonomi. Kualitas lahan dan lingkungan menggunakan indikator : sifat fisik tanah (tekstur, struktur, berat isi, indeks stabilitas agregat, dan porositas tanah), sifat kimia (bahan organik, C- organik dan ph tanah), sifat biologi (total mikroorganisme tanah), indikator hidrologi (limpasan permukaan, kapasitas infiltrasi, dan permeabilitas profil tanah), erosi, total biomassa dan karbon vegetasi. Struktur ekosistem dan fungsi ekologis yang akan dikaji terbatas pada vegetasi komponen penyusun agroforestry yaitu tanaman perkebunan, tanaman pakan dan/atau ternak yang meliputi: kerapatan, frekuensi dan dominansi relatif dan nilai penting jenis. Kajian sosial ekonomi mencakup pendapatan petani yang diperoleh dari usahatani agroforestry dan penilaian kelayakan investasi usahatani tersebut serta pendapatan yang memenuhi standar kebutuhan hidup layak. Indikator ekonomi yang digunakan adalah produksi, biaya dan pendapatan dari seluruh komponen usahatani sistem agroforestry, sedangkan kelayakan investasi dapat diketahui dengan analisis BCR (Benefit Cost Ratio), NPV (Net Present Value) dan IRR (Internal Rate of Return) serta periode pengembalian modal (Payback Period). Adapun indikator sosial yang dapat diperoleh antara lain: jumlah penduduk, tenaga kerja produktif dan tidak produktif, luas lahan pertanian, jumlah petani, dan kharakteristik keluarga petani yang meliputi: rata-rata jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja dan sumbernya. Kajian optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry dilakukan untuk mendapatkan agroteknologi yang tepat yaitu agroteknologi yang dapat memelihara produktivitas lahan dan memberikan pendapatan yang mencapai kebutuhan hidup layak dengan alokasi lahan, modal dan tenaga kerja yang terbatas.

29 TINJAUAN PUSTAKA Batasan dan Kriteria Sistem Agroforestry Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan lahan berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman hutan dan/atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan penerapan teknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat (Nair, 1989a). Dengan kata lain, sistem penggunaan lahan dimana tanaman pohon-pohonan berkayu, semak dan rerumputan ditanam bersama-sama secara spasial dan/atau berurutan menurut waktu dengan atau tanpa hewan yang memberikan keuntungan lebih besar dari pada penanaman sistem monokultur dalam sistem pertanian atau kehutanan saja. Menurut De Foresta et al. (2), keuntungan yang diperoleh dari sistem ini antara lain; kesuburan tanah terpelihara, konservasi tanah dan air, mengurangi resiko kegagalan panen, peningkatan produksi, pengendalian hama dan penyakit sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi petani setempat. Menurut Nair (1989a; 1989b), agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan marginal. Oleh karena itu, agroforestry sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup sebagai satu kesatuan hutan dan pertanian yang bertujuan untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang dengan hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen (pohon dan non pohon). Di dalam sistem ini terdapat interaksi ekologi maupun ekonomi diantara berbagai komponen tanaman tersebut. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka batasan agroforestry dapat disimpulkan bahwa : (a) agroforestry terdiri atas dua atau lebih jenis tanaman (dan/atau hewan), (b) agroforestry selalu memiliki dua atau lebih produk, (c) siklus hidup tanaman penyusun sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun, dan (d) sistem agroforestry memiliki struktur ekosistem lebih komplek dari

30 pada sistem monokultur. Dalam perkembangannya, sistem penggunaan lahan ini dapat mengalami modifikasi model, terutama dalam hal pemilihan jenis tanaman tahunan yang lebih benilai ekonomi juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi tingkat erosi (Nair, 1985). Dengan demikian penggunaan lahan melalui sistem agroforestry dapat meredam resiko ketidakpastian harga, sementara sumberdaya tanah dan air dapat terpelihara. Selain itu, akan menciptakan kondisi iklim mikro yang lebih baik yang dimungkinkan oleh penanaman tanaman tahunan dan dengan perakarannya yang relatif dalam diharapkan mampu memperbaiki fungsi hidrologis tanah (Nair, 1989c). Klasifikasi Sistem Agroforestry Pengelolaan lahan dalam berbagai sistem agroforestry telah banyak diinventarisir dan dikembangkan dengan bentuk yang beragam tergantung pada kondisi wilayah, sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan tujuan sistem agroforestry itu sendiri. Namun demikian, keragaman sistem agroforestry tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat dasar utama (Nair, 199; Chundawat dan Gautam, 1993) yaitu: (1) berdasarkan komponen penyusun yaitu, penggolongan sistem agroforestry yang didasarkan pada aspek komposisi komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan, dan/atau ternak); (2) berdasarkan fungsinya (functional basis) adalah penggolongan sistem agroforestry yang didasarkan pada fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi perlindungan; (3) berdasarkan sosial-ekonominya (socioeconomic basis), merupakan penggolongan sistem agroforestry ditinjau dari aspek tingkat teknologi pengelolaan dan tujuan komersilnya, dan (4) berdasarkan ekologisnya (ecological basis), adalah sistem agroforestry yang didasarkan pada kondisi ekologis lokasi. Berdasarkan strukturnya sistem agroforestry dibedakan atas beberapa tipe : (1) Agrisilviculture, adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian. Contoh sistem tanaman lorong (alley cropping), dimana kebun yang ditanami pepohonan dapat terdiri dari berbagai jenis tanaman pagar, pohon penahan angin dan sejenisnya; (2) Silvopasture adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pakan

31 dan/atau ternak dengan pepohonan (hutan). Tanaman yang digunakan terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopasture adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pepohonan (hutan), tanaman pertanian, tanaman hijauan ternak (pakan) dan/atau ternak (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Sistem agroforestry berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi fungsi produksi yaitu produksi pangan, pakan, bahan bakar kayu, serat, kayu dan lain-lain, serta fungsi perlindungan (protection) yaitu pencegahan dari kerusakan sumberdaya lingkungan dan sekaligus pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, penahan angin, pencegah kebakaran, konservasi tanah dan air (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Berdasarkan sosial-ekonomi, sistem agroforestry dapat dibedakan atas: (1) tujuan komersial yaitu suatu sistem agroforestry yang pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi melebihi sistem monokultur (2) subsisten yaitu sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang memiliki sifat diantara komersial dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi sedang, dan tetap mempertimbangkan input dan output, meskipun pada tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989c; Michon et al., 1989). Menurut De Foresta et al. (2), berbagai bentuk sistem usahatani atau penggunaan lahan yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem agroforestry antara lain adalah : (1) sistem tumpangsari atau Taungya system, yaitu petani menanam tanaman semusim seperti padi, jagung, ubi kayu dan sebagainya selama 2 3 tahun setelah penanaman pohon hutan dengan kewajiban menjaga dan membersihkan gulma, (2) pertanaman lorong atau Alley cropping, yaitu suatu bentuk usahatani atau penggunaan lahan yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong yang ada diantara barisan pohon (tanaman pagar). Tanaman pagar dipangkas dan dijaga agar tetap rendah selama keberadaan tanaman semusim agar tanaman semusim tersebut tidak ternaungi dan

32 mengurangi kompetisi terhadap air dan unsur hara. Jika tanaman semusim telah dipanen, maka tanaman pagar dibiarkan tumbuh menutupi tanah, (3) talun-kebun, yaitu suatu bentuk usahatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial atau urutan temporal. Tanaman yang dominan pada sistem ini adalah tanaman tahunan seperti berbagai jenis bambu, nangka, kopi robusta, petai, jeruk keprok dan sebagainya dan (4) kebun pekarangan, yaitu suatu bentuk usahatani yang penyebarannya meluas di Indonesia dimana sistem ini merupakan kebun campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah. Bentuk-bentuk tersebut di atas telah dipraktekkan sejak dahulu oleh petani, namun sistem ini terdesak oleh pandangan dan pendekatan spesialisasi yang telah dikembangkan dalam pemerintahan dibidang pembangunan pertanian selama ini, yaitu memisahkan satu sama lain antara pertanian pangan, hortikultura, perkebunan tanaman tahunan, kehutanan dan peternakan tanpa kerjasama dan koordinasi dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan terciptanya batas yang kaku antar sektor pertanian dan kehutanan atau antar sektor lainnya, serta kurangnya perhatian dalam penelitian dan pengembangan secara ilmiah dari sistem usahatani pola agroforestry tersebut (De Foresta et al., 2). Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan dalam Pengelolaan DAS Tantangan yang paling utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan, terutama strategi pengelolaan DAS yang memungkinkan bagi petani daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus-menerus (Pasaribu, 1999). Klasifikasi kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan menjadi tugas pertama untuk membantu menentukan penggunaan lahan yang sesuai dalam

33 pengelolaan DAS. Untuk itu seluruh DAS yang telah didiami, fungsi lindung dan fungsi produksi harus diseimbangkan untuk kebutuhan penduduk (Pasaribu, 1999). Agroforestry adalah salah satu sistem penggunaan lahan yang paling dikenal dapat memenuhi tujuan tersebut bagi petani khususnya di daerah hulu. Agroforestry seperti telah didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan yang mencoba untuk mencapai produktivitas dan menjamin keberlanjutan dengan mengkombinasikan tanaman pangan (semusim) dan tanaman berkayu (tahunan) dalam sistem rotasi atau intercroping dan pada waktu yang sama komponen ternak dapat ditambahkan. Dalam sistem ini, pada dasarnya tanaman pangan berperan untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan bagi petani, sementara pepohonan (buah-buahan atau kayu-kayuan) membantu stabilisasi lahan berlereng, menurunkan erosi, memelihara kemampuan produktivitas lahan di daerah berlereng dan memperoleh kebutuhan kayu bakar, kayu perabot, buah dan biji pohon, serta pupuk hijau dan makanan ternak, bahkan menjadi investasi secara ekonomi bagi petani (Nair, 1989b dan 1989c). Dengan semakin berkurangnya hutan alam tropika, maka hutan tanaman sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya alam kayu seperti antara lain dengan penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pengelolaan hutan secara tumpangsari. Hutan Tanaman Industri (HTI) ternyata sangat terbatas dan beresiko semakin memicu ketegangan dengan petani setempat, menyangkut masalah status penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan sistem tumpangsari juga menemui banyak hambatan karena konflik kepentingan antara aparat kehutananan dan petani yang muncul akibat sangat terbatasnya peluang bagi peranserta petani (De Foresta et al., 2) Berdasarkan berbagai masalah dalam pembangunan hutan tanaman, keberhasilan kebun-kebun agroforestry tampak jauh lebih unggul. Sistem agroforestry didasari asas-asas lingkungan yang sama dengan sistem tumpangsari, tetapi dirancang dan dikelola sepenuhnya oleh para petani. Dengan bentuk yang beragam sesuai dengan jenis pohon utama, agroforestry menjamin pasokan bahanbahan kebutuhan sehari-hari (buah, sayur, dan berbagai bahan pangan lainnya). Selain itu, kehadiran budidaya tanaman komersil seperti : kopi, kayu manis, pala, karet, damar, kemiri, sukun, durian, duku, dsb, maka agroforestry juga berperanan

34 penting sebagai sumber pemasukan uang. Menurut De Foresta et al. (2), nilai ekonomi kadang-kadang memiliki arti penting di tingkat nasional seperti, karet alam di Indonesia sebagai penghasil kedua di dunia, 7% produksi karet alam berasal dari sistem pertanian agroforestry. Sistem agroforestry juga merupakan contoh penggunaan lahan yang lestari secara ekologi, dimana kemiripan struktur dan fungsinya dengan ekosistem hutan alam, membuatnya muncul sebagai satusatunya sistem produksi yang mampu secara berkelanjutan melestarikan kesuburan tanah dan sekaligus kelestarian sebagian besar keragaman hayati hutan alam, baik hewan maupun tumbuhan. Untuk tujuan pertanian berkelanjutan, rehabilitasi lahan dan tindakan konservasi tanah dan air merupakan usaha paling penting mendapat perhatian. Salah satu tindakan konservasi tanah yang dianggap sangat penting adalah pengembalian bahan organik ke dalam tanah sebanyak mungkin, baik sisa tanaman sebagai mulsa dan pupuk hijau, maupun sisa kotoran hewan sebagai pupuk kandang. Copley et al. (1944 dalam Arsyad, 2) menyebutkan bahwa diperlukan sedikitnya 18 ton/ha/th pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan kimiawi dan biologis tanah. Pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah telah banyak diketahui bahwa secara fisik dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air, merangsang granulasi, memantapkan agregat tanah, menurunkan kohesi, plastisitas dan menekan sifat-sifat buruk lainnya. Terhadap sifat kimia tanah, bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral tanah oleh asam-asam organik dan anorganik, serta dapat menambah kandungan hara di dalam tanah terutama Nitrogen dan Posfor. Bahan organik juga dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme yang pada hakekatnya sangat membantu peningkatan produktivitas tanah. Akan tetapi, ketersediaan sumber bahan organik masih merupakan kendala utama, sedangkan pupuk kandang yang demikian besar diperlukan per satuan luas per tahun bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sistem agroforestry adalah alternatif lain dalam memanfaatkan lahan menjadi lebih produktif yang merupakan teknik manajemen lahan dengan memadukan tanaman hutan dengan tanaman pertanian atau tanaman

35 pakan ternak (jenis legum) yang dapat menghasilkan bahan organik tinggi dalam satu unit lahan. Pemeliharaan ternak juga merupakan salah satu komponen sistem agroforestry yang dapat mendukung penggunaan lahan secara lestari (Narain and Grewal, 1994). Agroforestry sebagai Pengendali Erosi Penelitian berbagai ekosistem hutan telah menyoroti fungsi lindung dari pohon-pohon dalam stabilisasi lereng. Ziemer (1981) dan O Loughlin (1974) telah menunjukkan bahwa kayu dan sistem perakaran pohon dapat mengikat dan menahan tanah lapisan atas sehingga terjadi penimbunan (teras-teras kecil) serta mematahkan dan membuat retak pada lapisan cadas (bedrock) dan menciptakan pori-pori tanah yang baik sehingga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi dan mengurangi limpasan permukaan dan erosi. Kemudian dalam waktu yang lama keberadaan pohon-pohon (agroforestry) di dalam suatu DAS akan membentuk peran stabilisasi lereng yang juga memungkinkan penurunan erosi dan sedimentasi. Pada hutan alam yang belum dieksploitasi memberikan triple protective armor yaitu : lapisan tajuk (crown layer), tanaman rendah (undergrowth) dan serasah (litter mass) yang mengurangi jumlah dan kecepatan limpasan permukaan oleh hambatan vegetatif, menstabilkan lereng dan meminimalkan erosi permukaan. Meskipun pada sistem agroforestry ancaman erosi permukaan dipercepat (accelerated surface erosion) tetap dianggap serius karena pengolahan tanah dan ruang di antara pohon yang ditanami untuk tanaman semusim dapat menimbulkan kerusakan permukaan tanah dan meningkatkan erosi (Wiersum, 1984), akan tetapi penanaman pohon pada daerah berlereng merupakan pertimbangan pengelolaan yang tepat, dimana pohon-pohon memiliki peranan utama untuk meminimalkan erosi alami dan mengurangi erosi dipercepat akibat intercroping tanaman pangan. Pohon-pohon pada agroforestry yang ditanam teratur dalam jalur dan tertutup sepanjang kontur secara efektif menahan erosi dan memelihara penyaring unsur hara berdasarkan panjang dan derajat kemiringan lereng, erodibilitas tanah, dan intensitas curah hujan serta strip kontur (terdiri dari dua jalur atau lebih) yang ada. Ruang di antara strip kontour yang berjarak 2-5 m

36 dapat ditanami tanaman semusim seperti pada sistem alley cropping (Nair, 1984). Juanda dan U. Haryati (1993) mendapatkan bahwa pada sistem pertanaman lorong (alley cropping atau agrosylviculture) antara pohon legum (flamengia dan kaliandra) sebagai tanaman pagar dan tanaman padi gogo, jagung, kacang tanah dan sayuran yang ditanam secara tumpangsari sebagai tanaman lorong lebih efektif menekan laju erosi menjadi 18 ton/ha/th dibandingkan kontrol sebesar 133,68 ton/ha/th. Deblic dan Moreau (1979) mendapatkan bahwa pada infiltrasi tanah, waktu paling lambat untuk menghabiskan air setinggi 1 cm pada ring infiltrometer yang dimasukkan ke dalam tanah pertanian (8 menit) sementara waktu tercepat pada tanah hutan (hanya,7 menit) dan pada tanah yang ditanami rumput Stylosanthes diperlukan waktu selama 7.1 menit. Pereira et al. (1972 dalam Lal, 1979) juga mendapatkan bahwa laju infiltrasi dan perkolasi terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara tanah yang ditanami rumput gajah dengan tanah bervegetasi leguminosa dan tanah pertanian. Laju infiltrasi dan perkolasi pada tanah yang ditanami rumput lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang ditanami leguminosa (Peuraria sp.) dan tanaman pertanian. Teras adalah salah satu pendekatan untuk mengendalikan erosi secara efektif, namun peningkatan penduduk dan lahan pertanian di daerah hulu tidak seiring dengan perluasan daerah yang diteras. Petani daerah hulu kelihatannya enggan menginvestasikan tenaga kerja dan modal untuk perbaikan lahan yang permanen karena kepemilikan lahan yang tidak pasti dan biaya pembuatan teras yang cukup mahal dan sulit. Tipe Alley cropping dari agroforestry dengan pohon-pohon yang diatur dalam strip kontur merupakan pendekatan alternatif yang memungkinkan untuk kombinasi produksi pangan dan konservasi DAS di daerah tropik. Berbagai bentuk sistem agroforestry yang pada dasarnya dapat melindungi tanah dari ancaman erosi pada lahan berlereng dan/atau memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah dengan cara : (1) menahan atau mengurangi daya perusak butirbutir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah. Hal ini menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan, (2) menambah bahan organik tanah melalui ranting-

37 ranting mati dan daun-daun yang jatuh serta hasil pangkasan. Hal ini akan meningkatkan ketahanan struktur tanah dan kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh, serta menambah unsur hara dalam tanah. Peranan Agroforestry dalam Stabilisasi Masyarakat DAS Upaya penempatan para petani di suatu wilayah DAS biasanya kurang berhasil. Beberapa pengelola hutan telah mencoba menempatkan petani dengan memilihkan lahan pada luasan kecil untuk memantapkan dan meminimumkan kerusakan penggunaan lahan di dalam DAS. Demikian pula upaya pemerintah dengan program transmigrasi dari wilayah berpenduduk padat ke wilayah yang berpenduduk jarang. Menurut Pasaribu (1999), usaha-usaha ini kadang-kadang kurang berhasil karena beberapa alasan, antara lain : (1) etnis minoritas umumnya ditemukan dibagian hulu DAS. Mereka hidup tidak menetap (berpindah-pindah) secara tradisional dan biasanya mereka tidak menginginkan pembatasan areal pertanian, oleh karena itu mereka bertani secara berpindah-pindah dan (2) petani yang dipindahkan dari daerah hilir ke daerah hulu DAS, mungkin bermaksud untuk tinggal menetap pada satu tempat apabila setelah merasa bahwa teknik budidaya mereka tidak sesuai lagi dengan pertaniannya di daerah asal atau telah terjadi ledakan gulma/hama, sehingga menjadi tidak dapat terkontrol lagi. Hoare (1983) berpendapat bahwa penanaman pohon kelapa, mangga, nangka, dan jeruk di Filipina telah mendorong petani-petani hulu untuk menempatkan rumahnya secara permanen di lokasi pertaniannya. Fenomena yang sama dengan kebun teh, kopi, durian, nangka, dan tanaman buah-buahan lainnya di Thailand. Oleh karena itu, apabila produksi pertanian mantap, petani akan lebih senang tinggal menetap dan upaya penyerobotan hutan akan berkurang/berhenti. Meskipun kelompok petani tradisional yang tidak menetap tidak mudah untuk dirubah menjadi petani menetap, namun ketika tanamannya berbuah sebagai tanaman tahunan di dalam sistem agroforestry, maka petani akan menjadi terikat dengan tanamannya dan akan selalu ingin berada di kebunnya untuk menjaga dan memanen buahnya. Untuk itu, pengembangan sistem usahatani atau penggunaan lahan dengan sistem agroforestry yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan

38 dengan tanaman semusim yang tersusun baik secara parsial maupun temporal atau minimal dapat menghasilkan bahan pangan, dan sekaligus memberikan hasil yang lestari dan sesuai dengan aspirasi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat setempat serta tidak terlalu bergantung pada masukan teknologi yang mahal adalah sangat penting dikembangkan untuk menciptakan stabilisasi masyarakat di dalam DAS. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Sistem Agroforestry Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu tujuan sosial (social objective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan ekologi (ecological objective). Untuk tujuan sosialekonomi, masyarakat pada umumnya berupaya memperoleh kesetaraan (equity) melalui perimbangan distribusi pendapatan atau keuntungan yang timpang dan pengentasan kemiskinan antar generasi (hak generasi mendatang). Tujuan ekologi-ekonomi, mengintegrasikan faktor-faktor lingkungan ke dalam pembuatan keputusan secara ekonomi terutama penilaian dampak lingkungan terhadap aset-aset lingkungan, meskipun fungsi-fungsi lingkungan terkadang tidak dapat dinilai dengan uang seperti keragaman hayati. Sementara tujuan ekologisosial masih sangat kurang dipahami, namun penting bagi partisipsi publik, pembuatan keputusan, konsultasi yang mempengaruhi kelompok-kelompok dan pluralisme. Tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan pertanian berkelanjutan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah: kegiatan pertanian harus menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic growth), meningkatkan kesejahteraan sosial (social walfare) dan memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental integrity). Permasalahan pokok adalah bagaimana mendorong kegiatan dibidang pertanian untuk tidak hanya memperhatikan aspek komersial berdasarkan benefit cost ratio (BCR) saja, tetapi juga memperhatikan tingkat pendapatan yang

39 mencapai kesetaraan. Partisipasi masyarakat harus didorong sehingga memungkinkan keterlibatan berbagai pihak yang lebih luas. Kegiatan pembangunan dibidang pertanian tidak hanya memantapkan kegiatan berusaha para pengusaha saja, tetapi juga mampu mendistribusikan manfaat ekonomi secara adil dan merata. Pembangunan adalah sebuah proses produksi dan konsumsi dimana materi dan energi diolah dengan menggunakan faktor produksi seperti modal (capital), tenaga kerja (labor atau human resources), dan bahan baku (natural resources). Dalam hal penyediaan bahan baku dan proses produksinya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya, yang pada gilirannya akan berdampak kepada keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pengembangan pertanian berkelanjutan juga harus dipastikan bahwa implementasinya memperhatikan ketahanan lingkungan (environmental resilience), memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan fisik, seperti kualitas dan kuantitas air yang makin baik, keanekaragaman hayati yang makin pulih, dan degradasi lahan yang makin berkurang (Reijntjes et al., 1999). Pembangunan berkelanjutan harus bertumpu pada kapasitas manusia yang makin kuat. Pengembangan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) secara terus menerus dapat dikaitkan dengan implementasi kegiatan pembangunan nasional baik yang berskala kecil maupun besar. Pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan saat ini adalah pembangunan yang tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk memperoleh bagian yang menentukan kesejahteraannya. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan harus dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya (Munasinghe, 1993). Pada setiap kegiatan pembangunan harus diperkenalkan secara luas dan transparan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaannya agar dapat memperoleh manfaat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Masyarakat yang makin kritis, pintar, dan sejahtera yang terbentuk saat ini merupakan aset pembangunan di masa depan (Murdiyarso, 23). Oleh karena itu, kegiatan pembangunan harus berdampak langsung terhadap penyediaan lapangan kerja, peningkatan kegiatan ekonomi dan

40 pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Dampak selanjutnya adalah terjadinya perbaikan kualitas hidup, layanan pendidikan dan kesehatan. Namun demikian, kesejahteraan sosial tidak boleh diartikan secara sempit dari pertimbangan fisik saja. Hal-hal nonfisik seperti penghargaan atas harkat manusia itu sendiri sangat penting artinya bagi pengembangan modal sosial (social capacity), pengakuan atas hak-hak, inovasi, dan partisipasi masyarakat harus mendapat tempat yang baik dalam perencanaan dan implementasi pembangunan (Murdiyarso, 23). Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya adalah kemampuan lahan untuk tetap reproduktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya alam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan. Sinukaban (1999) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri: mantap secara ekologis (erosi aktual < erosi yang dapat ditoleransikan), dapat berlanjut secara ekonomi (produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari), teknologi dapat diterima oleh masyarakat (aplicable dan replicable). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam secara konservasi dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, tanaman dan genetik hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat. Oleh karena itu, penggunaan lahan yang berkelanjutan merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan produksi dari penggunaan lahan sekarang tetapi memelihara sumberdaya alam pokok untuk generasi mendatang. Keberlanjutan suatu sistem penggunaan lahan tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ekosistem (Reijntjes, 1999). Dengan demikian agroforestry merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan tersebut karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservasi terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan yang lebih tinggi.

41 Produktivitas Lahan pada Sistem Agroforestry Peranan sistem agroforestry sebagai tindakan konservasi tanah untuk menghindari dan mengatasi masalah degradasi lahan serta mencapai penggunaan lahan yang berkelanjutan telah diterima secara luas (Cooper et al., 1996). Sistem agroforestry menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian lingkungan karena di dalamnya terdapat tanaman pertanian yang bernilai komersial, seperti rempahrempah dan kopi tetapi juga berpeluang bagi tanaman pangan. Dengan kombinasi pohon, perdu dan tanaman semusim, akan dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistim perakarannya serta tanah menjadi produktif secara berkelanjutan (De Foresta et al., 2). Bentuk agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai adalah tumpangsari yang merupakan sistem taungya versi Indonesia yang diwajibkan di areal hutan jati di Pulau Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem-sistem agroforestry sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersial, seperti kopi sejak dahulu diselingi dengan tanaman dadap yang menyediakan naungan bagi kopi dan kayu bakar bagi petani. Demikian pula kebun campuran kelapa dengan kakao juga semakin banyak dilakukan. Menurut Vegara (1986), daerah berlereng pada umumnya dapat dijumpai dalam suatu daerah aliran sungai, dimana unsur hara dan produktivitasnya hilang melalui tiga cara yaitu : erosi, pencucian dan limpasan permukaan, pemanenan dan pemindahan biomassa. Penurunan produktivitas melalui perkolasi mungkin dapat terganti, meskipun tidak sebanyak yang hilang dari sistem, karena perkolasi hanya memindahkan unsur hara ke lapisan tanah yang lebih dalam mencapai daerah perakaran tanaman semusim. Pada sistem agroforestry, penurunan unsur hara akan meningkat akibat erosi dipercepat, pemanenan dan pemindahan biomassa tanaman seperti biji, buah, daun dan bunga untuk dikonsumsi, batangbatang pohon untuk bahan bakar, dan kayu untuk penggunaan lainnya (Gambar 2). Akan tetapi, masukan unsur hara pada sistem ini dapat diperoleh secara buatan maupun secara alami (Gambar 3). Sebaliknya, sistem alami seperti hutan lindung, biomassa tidak dipanen sehingga kehilangan unsur hara dari erosi dan pencucian secara alami relatif sama dengan masukan unsur hara alami yang

42 berasal dari atmosfer dan siklus unsur hara. Oleh karena itu, keseimbangan unsur hara pada sistem alami dapat terpelihara. Perpindahan (Di dalam Sistem) Kehilangan (Keluaran dari Sistem) Serasah Pemindahan (uptake) Perkolasi Vegetasi Agroforestry Permukaan Tanah (Topsoil) Pemanenan Biomassa (tanaman pangan dan produk Erosi pencucian/limpasan permukaan Subsoil Gambar 2. Perpindahan dan kehilangan unsur hara pada sistem agroforestry Ada empat hal menghindarkan degradasi lahan sehubungan dengan sistem agroforestry yaitu : (1) Menurunkan kehilangan unsur hara karena dalam sistem ini, hanya memindahkan bagian-bagian pohon yang bermanfaat untuk konsumsi, dan mendaur ulang biomassa yang telah menjadi residu; (2) Menurunkan erosi dan limpasan permukaan; (3) Meningkatkan laju penambahan unsur hara secara alami dengan mengintroduksi jenis-jenis pohon dan hijauan ternak yang mampu memfiksasi N dan menghasilkan serasah yang kaya Nitrogen; (4) Penggunaan pupuk kimia seminimum mungkin karena secara ekonomi penggunaan pupuk sangat terbatas dan mahal bagi petani daerah hulu. Selanjutnya, menurut Nair (1984), dalam sistem agroforestry yang dikombinasikan dengan tanaman legum, selain dapat meningkatkan N dari hasil fiksasi dan produksi pertanian, juga pada umumnya mempunyai tiga kharakteristik penting yaitu : (1) setelah pemangkasan, tanaman legum akan tumbuh kembali dengan cepat. Hal ini penting bagi petani karena tidak membutuhkan lagi tenaga kerja dan modal untuk menanam kembali tetapi seterusnya dapat memanen lagi dari tanaman tersebut. Selain itu, juga penting bagi perlindungan DAS karena keberadaan sistem perakaran tanaman/pohon yang terpelihara dapat mencegah perpindahan massa tanah dan

43 menurunkan erosi permukaan produktivitas tanah akan terpelihara secara terusmenerus, (2) daun-daun, bunga, dan buah tanaman legum umumnya cocok untuk makanan ternak dan ada pula yang dapat dikonsumsi manusia dan (3) daundaunnya kaya akan unsur N dan sangat baik untuk pupuk organik, apabila jatuh sebagai serasah, atau dipangkas secara teratur dan digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau yang dapat menyebabkan peningkatan dan pemeliharaan produksi tanaman pertanian. Unsur hara dari Curah Hujan Unsur hara Atmosfer melalui Tan. Fiks- N Pupuk Organik (pertanian dan residu pohon) Pupuk Kimia Vegetasi Agroforestry Permukaan Tanah Subsoil Gambar 3. Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry Cooper et al. (1996) mengatakan bahwa pengaruh interaksi pohontanaman pertanian di dalam agroforestry menunjukkan respon positif terhadap peningkatan produktivitas, perbaikan kesuburan tanah, siklus hara, konservasi tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya dikatakan bahwa pada sistem tanaman pagar-intercroping, pengaruh persaingan dan manfaat untuk jangka pendek dapat berbeda dengan jangka panjang. Misalnya untuk cahaya dan air biasanya berpengaruh negatif untuk jangka pendek, sedangkan hara dan bahan organik menunjukkan pengaruh yang dihasilkan positif. Namun pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan hara dari bahan organik tanah, dan perbaikan sifat kimia tanah, menunjukkan hasil pengaruh yang positif dalam jangka panjang.

44 Pada dasarnya pemanfaatan cahaya dan air, tumbuhan maupun hewan yang berbeda spesies memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu, air dan kelembaban yang berbeda. Pada umumnya, terdapat spesies yang membutuhkan cahaya tinggi dan ada pula yang membutuhkan cahaya rendah atau bahkan membutuhkan naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan di dalam sistem agroforestry terutama memodifikasi iklim mikro. Komponen tanaman dalam tumpangsari atau agroforestry sering sangat berbeda dalam ukuran, yaitu tanaman berukuran kecil sering mengalami hambatan pertumbuhan akibat pengaruh naungan, persaingan hara dan air. Persaingan cahaya merupakan faktor pembatas utama apabila air dan hara tersedia cukup. Akan tetapi di daerah tropik, faktor air dan hara (tanah masam), pencucian dan degradasi menjadi faktor utama yang akan berpengaruh terhadap produksi biomassa. Oleh karena itu, sistem agroforestry memberikan peluang untuk menerapkan sistem intercroping (tanaman sisipan) dengan pengaturan tanaman secara spasial atau temporal agar persaingan terhadap penggunaan air dapat diantisipasi, dimana antar spesies saling melengkapi dengan respon tanaman dari pola penutupan tajuk dan perakaran. Hudge (2) melihat manfaat silvopasture dari adanya diversifikasi pendapatan, penekanan kebutuhan bahan kimia berupa pupuk dan pestisida. Selain itu, penggabungan pohon, tanaman pakan ternak dalam sistem ini dapat menekan resiko ekonomi dengan ketersediaan berbagai produk pada lahan yang sama. Pada lahan berlereng, tambahan keuntungan (manfaat) jangka pendek dan jangka panjang meningkat terhadap penurunan limpasan permukaan (run off) dan erosi. Hal ini dikarenakan fungsi tanaman pagar yang semakin baik dari perakaran yang membentuk teras-teras kecil sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan menurunkan limpasan permukaan dan erosi. Demikian pula terhadap sifat fisik tanah, Greacen (1975 dalam Quirck, 1979) melaporkan bahwa padang rumput berpengaruh baik terhadap persentase agregasi tanah, terutama di lapisan atas mendekati kondisi tanah hutan baik pada padang rumput berumur 3 tahun, maupun yang berumur 6 dan 1 tahun. Sementara pada tanah pertanian, persentase agregasi tanahnya sangat kecil, yaitu sekitar 3% merata dari lapisan atas hingga kedalaman 15 cm, persentase agregasi tanah (diameter >,5 mm) pada lahan pertanian sekitar 36 42% dan pada lahan padang rumput dapat

45 mencapai 48 63%. Selanjutnya Tarigan et al. (21) melaporkan bahwa dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai penyaring sedimen vegetatif (Vegetative Sediment Filter) dan praktek agroforestry sangat efektif menurunkan hasil sedimen. Berbagai janis tanaman yang digunakan, yaitu batas lahan yang ditanami pohon pisang dan strip rumput menggambarkan efisiensi menahan sedimen sangat tinggi (74%), sementara hasil sedimentasi rata-rata pada agroforestry multistrata empat kali lebih rendah dari monokultur tanaman kopi yang dibersihkan; dan 3 kali lebih tinggi dari hutan alam. Kombinasi jenis tanaman sebagai penahan sedimen secara vegetatif dan praktek agroforestry akan memberikan pengaruh yang sama pada hutan alam terhadap penurunan hasil sedimen seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun 21 No No Jenis Tanaman dan Pola Tanam Batas Lahan yang ditanami tanaman pepohonan/pisang dan strip rumput Batas Lahan yang tertutup rumput dalam strip kecil Padi ladang Praktek Agroforestry Agroforestry dengan multistrata Perkebunan kopi monokultur tanpa gulma Hutan alam (control) Perkebunan kopi monokultur, gulma dibersihkan Efektifitas Menahan Sedimen 74 % 63 % 7 % Hasil Sedimen (ton/ha),24,25,8 1,3 Sasaran pokok agroforestry meliputi; peningkatan produktivitas lahan, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkualitas. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam menyusun diversifikasi tanaman pada sistem agroforestry adalah proporsi relatif dari masing-masing komoditi. Penetapan proporsi relatif komoditi tersebut umumnya didasarkan pada kemiringan lahan. Disamping itu, strategi pemilihan jenis komoditi didasarkan atas target pemenuhan sumber karbohidrat, nilai gizi dan pendapatan petani untuk memenuhi pendapatan keluarga. Dengan demikian orientasi usahatani tidak hanya pada pemenuhan

46 pangan, sandang dan papan akan tetapi sejogyanya juga tertuju pada peningkatan status dan kualitas hidup masyarakat petani. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan sistem usahatani yang mengarah kepada orientasi pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Aspek Ekonomi Sistem Agroforestry Secara teknis agroforestry layak sebagai sistem penggunaan lahan di daerah berbukit termasuk daerah hulu DAS. Beberapa kajian yang telah dilakukan untuk menentukan keuntungan secara ekonomi dari sistem agroforestry bagi petani antara lain Mandoza (1977) di Filipina, Rachie (1981) di Colombia dan Nair (1984) di Afrika telah menunjukkan bahwa kombinasi Leucaena-jagungsayuran menghasilkan satuan output fisik yang lebih tinggi dari pada tanaman semusim monokultur. Agroforestry mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat dan memiliki peran utama selain produksi bahan pangan juga sebagai modal atau sumber pemasukan uang. Bahkan produksi dari sistem agroforestry kadang-kadang menjadi satu-satunya sumber uang tunai keluarga petani. Menurut De Foresta et al. (2), agroforestry memasok 5 8% dari hasil pertanian di pedesaan melalui produksi langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan, prosessing, dan pemasaran hasil. Pendapatan dari sistem agroforestry umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil yang dapat dipanen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, dan kayu manis. Selain itu, juga dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh dan pala. Komoditas lainnya seperti kayu juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan, namun diversifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah

47 diterlantarkan hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan gangguan ekologi terhadap sistem ini, bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak sistem produksi yang ada. Menurut Narain dan Grewal (1994), Agrohortisilviculture adalah sistem agroforestry yang telah dikembangkan di India. Sistem ini memadukan Leucaena, lemon, pepaya dan kunyit + kacang-kacangan (okra) diperoleh total pendapatan bersih rata-rata = Rp ,-,/ha/thn sebaliknya pada sistem tanaman ganda (double cropping) = Rp ,-/ha/thn (Tabel 2). Tabel 2. Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun Sistem usahatani Jenis-jenis tanaman Pendapatan bersih (Rp/ha/th x 1) Rata-rata Agrohortisylviculture Leucaena pepaya-lemon kunyit+kacangan Total Sistem usahatani tanaman ganda Sumber : Narain dan Grewal, 1994 Jagung+blackgram Selanjutnya Gintings (1993) melaporkan bahwa hasil usahatani terpadu lahan kering milik H. Usup seluas,97 ha dapat memberikan pendapatan Rp untuk satu periode panen di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Sumedang Jawa Barat. Jenis tanaman dalam pola tanam terpadu yang diterapkan pada usahatani tersebut sesuai kondisi lahan dan iklim wilayah setempat adalah : teh, pisang, vanili, lada, salak, rumput pakan ternak dan ternak domba. Tanaman teh dipanen setelah berumur 4 tahun, vanili, lada dan pisang dapat dipanen setelah berumur 2 tahun, salak setelah 3 tahun dan rumput pakan ternak setelah berumur 1 tahun. Selain hasil tanaman tersebut juga pupuk

48 kandang dan tambahan pendapatan dari hasil penjualan domba. Jarak tanam, populasi, produksi, pendapatan dan penempatan tanaman secara spasial disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis Tanaman 1. Teh 2. Pisang 3. Vanili 4. Lada 5. Salak 6. Rumput Jenis tanaman, produksi dan pendapatan usahatani terpadu di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Tahun 1993 Jarak Tanam (m) 1,75 x 1 1 x Barisan Populasi (btg) Penempatan Spasial Produksi Pendapatan (Rp) Pada lahan olah Diantara barisan teh Selang seling vanili-lada Selang seling lada-vanili Pagar hidup Di bibir tebing teras 12.5 kg 5 tandan 625 kg 625 kg 115 kg 2 ton ,- 75., , ,- 34.5,- 2.,- Jumlah ,- Petani di Filipina memulai sistem agroforestry dengan penanaman sistem intercroping tanaman semusim seperti jagung, talas, dan padi dengan Albizia sp. Tanaman pangan diperuntukkan sebagai konsumsi rumah tangga sementara tanaman pepohonan untuk dipasarkan ke pabrik kertas dan pulp. Dengan sistem pertanian ini, petani akan memperoleh pendapatan yang lebih baik dari pohon penghasil kayu dari pada tanaman pangan/tanaman tahunan. Dengan demikian keadaan ekonomi petani meningkat dengan merubah sistem pertanian dari agroforestry tanaman tahunan subsisten menjadi tanaman tahunan berorientasi ekonomi pasar dan telah memberikan sumbangan stabilitas ekonomi daerah (Domingo, 1981 dalam Vegara, 1986). Demikian pula kombinasi tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan, seperti: sistem pertanaman kopi + Leucaena dan kopi + Casuarina di Papua New Guinea; Lanzium + kelapa dan kakao + Leucaena di Filipina; kopi + Gliricidia dan kakao + Gliricidia + kelapa di Solomon; kopi + Gmelina di Thailand, kesemuanya memberikan perlindungan tanah yang lebih baik dari pada kombinasi tanaman tahunan dengan tanaman semusim karena frekuensi kerusakan tanah akibat persiapan lahan, penanaman dan pemanenan dari tanaman semusim dapat dihindari. Apabila pasar tersedia bagi komponen produksi hortikultura atau tanaman pertanian maka sistem agroforestry dapat dirubah dari tanaman semusim-subsisten menjadi tanaman tahunan hortikultura yang berorientasi pasar. Pada dasarnya petani diharapkan mengusahakan kombinasi tanaman perkebunan dengan

49 tanaman kehutanan, karena tanaman perkebunan (kopi, kakao, dst) dapat memberikan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan sebagainya, meskipun tidak seperti halnya tanaman pangan yang dapat dikonsumsi langsung. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry Berdasarkan uraian di atas mengenai peranan agroforestry dalam pengelolaan DAS dan pertanian berkelanjutan, maka keuntungan-keuntungan penerapan sistem agroforestry dapat diterima, baik secara ekologis atau lingkungan maupun secara ekonomis dan sosial. Keuntungan secara ekologis menurut Nair (1989b), Chundawat dan Gautam (1993) dan De Foresta et al. (2) terdiri atas : (1) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam ; (2) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (3) penurunan dan pengendalian limpasan permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (4) iklim mikro terpelihara dengan baik seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (5) sistem ekologis terpelihara secara baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (6) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (7) struktur tanah terpelihara akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan. Selanjutnya dikatakan bahwa secara ekonomi, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama dalam beberapa hal antara lain : (1) peningkatan keluaran dalam arti produk yang diperoleh lebih bervariasi berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (2) memperkecil kegagalan panen akibat kegagalan dari salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan; (3) pendapatan petani terjamin dan berkelanjutan, seperti hasil kayu dapat menjadi sumber uang yang cukup besar dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendesak.

50 Keuntungan secara sosial penerapan sistem agroforestry adalah : (1) dapat memenuhi standar kehidupan layak bagi masyarakat petani di pedesaan secara berkelanjutan; (2) Sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terpelihara karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (3) terjaminnya stabilitas kelompok masyarakat petani lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Chundawat dan Gautam, 1993). Selain kelebihan-kelebihan tesebut di atas, sistem agroforestry juga memiliki kekurangan-kekurangan, baik secara ekologis maupun secara sosialekonomi (Chundawat dan Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan atau ekologis antara lain : (1) kemungkinan terjadinya persaingan cahaya, air dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (2) kemungkinan terjadinya kerusakan tanaman pangan atau anakan pohon pada saat panen kayu (penebangan) dari sistem agroforestry; (3) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit bagi tanaman pertanian; dan (4) tanaman pohon memiliki regenerasi relarif lama yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit. Kelemahan dari aspek sosial-ekonomi antara lain : (1) terbatasnya penunjang kelembagaan baik berupa organisasi pemerintah dan masyarakat maupun berupa aturan, hukum dan perundang-undangan yang mengatur secara khusus atau insentif dan disinsentif dalam pengembangan sistem agroforestry; (2) Belum ada jaminan pasar dari produk-produk tertentu yang bersumber dari sistem agroforestry; (3) memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu masa panen tanaman pohon yang dapat mengurangi produksi sistem agroforestry tersebut; (4) sistem agroforestry diakui lebih kompleks sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan petani dalam penerapannya dibandingakan pada sistem pertanian monokultur seperti pemilihan jenis-jenis tanaman, penempatan antar jenis, dan jarak tanam yang tepat; (5) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon yang bernilai ekonomis atau sebaliknya. Dalam usaha meningkatkan penggunaan lahan secara optimum, mengendalikan erosi secara efektif, memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan

51 meningkatkan pendapatan petani, maka sistem agroforestry penting dilaksanakan. Meskipun, peranan tersebut perlu dikaji lebih mendalam mengingat lahan yang diusahakan petani sangat tebatas, disamping perlunya perluasan lapangan kerja disektor lain sehingga jumlah masyarakat yang bergantung kepada lahan pertanian akan berkurang dan tekanan terhadap kawasan hutan diharapkan dapat berkurang. Model-model agroforestry yang dapat meningkatkan pendapatan petani perlu terus dikaji sesuai dengan perkembangan harga hasil produksinya. Total Biomassa dan Karbon Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 8 1. Pg sebagai karbon anorganik tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al., 1993). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi pada tanah di bawah vegetasi rumput atau hutan. Penyerapan karbon merupakan penyimpanan karbon di dalam tanah dengan bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO 2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa anorganik kalsium dan magnesium, sedangkan secara tidak langsung melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO 2 atmosfer menjadi biomassa tanaman. Biomassa tanaman tersebut berangsur-angsur secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Smith dan Frank (1985) dalam penelitiannya pada Hutan Tanaman Industri (HTI) didapatkan bahwa total biomassa untuk pohon Eucalyptus grandis sekitar ton/ha, Pinus spp. 5,6-12,9 ton/ha, Leucaena spp 5-4 ton/ha dan Cassuarium spp sebesar 15,3 ton/ha. Menurut Declerk (1985), kandungan karbon pada biomassa tegakan (vegetasi) pohon umumnya berkisar antara 48,5-5,1%, sementara pada vegetasi bukan pohon kadar karbon dari biomassa tegakannya berkisar antara 2-37%, tanaman semusim dan semak berkisar antara 15-25% (Declerk 1985; Smith dan Frank 1985).

52 Selanjutnya Paustin (1997) memperkirakan bahwa rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar.8 Mg/ha/th pada tahun pertama setelah konversi. Di daerah tropika penanaman tanaman penutup tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon 25 5 ton/ha dalam jangka waktu 4 12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 2). Demikian pula hasil penelitian Romanya et al. (2) menunjukkan bahwa pada tanah-tanah bekas pertanaman cereal mengandung lebih banyak bahan organik dari pada kebun anggur. Hal ini disebabkan oleh produktivitas tanaman dan serasah (sisa-sisa daun) di atas permukaan tanah pada lahan bekas cereal lebih tinggi (3-4 ton/ha/th) dari pada kebun anggur antara (2 3 ton/ha/th). Disamping itu, kandungan N pada lahan bekas cereal juga lebih besar, meskipun rasio C/N dan nitrogen mineral secara potensial tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok antar jenis tanaman. Demikian pula ph tanah pada saat awal tetap lebih tinggi pada lahan cereal dan mengandung tanah liat antara 7-16 %. Untuk Pinus radiata yang tumbuh pada lahan bekas kebun anggur yang telah berumur antara tahun, dalam periode pengukuran 5 tahun menunjukkan kandungan C pada lapisan atas tanah mineral meningkat 9.34 g/m 2 /thn. Namun setelah hutan pinus berumur 15 tahun, jumlah C yang terakumulasi dalam horison horison tanah telah mencapai 14,5 % dan pada lahan bekas cereal terdapat 75 %. Sebaliknya, pembukaan hutan menjadi lahan pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah. Oleh karena itu, perubahan ekosistem hutan menjadi lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan produksi C- organik dan jumlah C yang masuk ke dalam tanah, sehingga terjadi pula penurunan karbon tanah secara drastis. Penggunaan lahan padang rumput dan hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian akan kehilangan karbon (C) organik tanah 2 5 % dari kandungan awal setelah diolah selama 4 5 tahun. Selain itu, perubahan hutan menjadi lahan pertanian tidak hanya berpengaruh terhadap keseimbangan C tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti metana (CH 4 ). Metana merupakan GRK penting yang menduduki urutan kedua setelah CO 2, yang menurut

53 Soedomo (1999), emisi gas metana telah terjadi sekitar 515 Tg setiap tahunnya dan sekitar 7% dari jumlah tersebut bersumber dari anthrophogenic. Bahan organik mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mempertahankan keberlanjutan produksi tanaman, terutama berkenan dengan fungsinya sebagai penyedia hara (kimia), memelihara/mempebaiki sifat fisik dan biologi tanah. Tingginya curah hujan dan temperatur akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan pengangkutan sisa panen keluar plot serta pembakaran sisa panen di lapang akan menambah semakin tidak seimbangnya C dalam tanah. Penanaman tanaman kehutanan (hutan tanaman) atau tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan karbon tanah. Peningkatan karbon tanah disebabkan karena minimnya kerusakan fisik tanah akibat pengolahan dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik dari pool di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah. Besarnya akumulasi karbon sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi. Hasil penelitian biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Benakat Sumatera Selatan (Gintings dan Prajadinata, 22), Biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Lampung (Gintings dan Prajadinata, 23) dan biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur (Gintings dan Prajadinata 24) (Lampiran 1, 2 dan 3). Beberapa penelitian yang telah menghasilkann persamaan allometrik secara umum dapat digunakan untuk mengestimasi total biomassa pohon berbagai tipe hutan alam (Brown, 1997). Namun persamaan allometrik tersebut akan berbeda antar jenis tanaman dan antara satu daerah ke daerah lain yang memungkinkan terjadi kesalahan perumusan yang sulit diketahui. Akan tetapi persamaan yang diperoleh dari setiap daerah survei memungkinkan membangun persamaan tunggal setiap jenis pohon yang dapat diterapkan untuk seluruh daerah pengamatan (Heriansyah et al., 24). Persamaan allometrik yang dibangun menggunakan rumus umum sebagai berikut : Y = ax b,...(1) Dimana : a dan b = konstanta

54 Y = biomassa total (kering-oven, kg)) X = DBH (cm) DBH = diameter batang pada tinggi 1,3 m X = DBH 2* H (cm 2 *m) H = tinggi pohon Berdasarkan data dari kombinasi empat kelompok umur tegakan Pinus merkusii (5, 11, 19, dan 24 tahun) pada hutan tanaman P.T. Perhutani Unit III di Jawa Barat diperoleh rumus estimasi (Heriyanto et al., 25) sebagai berikut Y =,3242*DBH 2, (r 2 =,9896) Y =,3292*(DBH 2 *H), (r 2 =, (2) Kandungan karbon dalam berat kering biomassa diasumsikan 5% dari berat kering atau dengan kata lain bahwa kandungan karbon setengah dari berat kering total biomassa (JIFRO 2 dalam Heriansyah et al., 24). Potensi Implementasi Agroforestry untuk Clean Development Mechanism (CDM) Sebagian besar penduduk miskin di dunia menggunakan energi biomassa yang berasal dari kayu atau pertanian untuk memenuhi hampir seluruh kebutuhan energi mereka. Penggunaan dan pengembangan sumber energi biomassa memiliki kaitan yang erat dengan pengembangan masyarakat, pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim sehingga sangat strategis dijadikan pilihan untuk mitigasi perubahan iklim, khususnya melalui Clean Development Mechanism (Mudiyarso, 23). Perhatian Indonesia terhadap masalah perubahan iklim semakin besar mengingat luas hutan dan peranan hutan sebagai penambat CO 2 yang merupakan komponen gas rumah kaca terbesar. Perhatian awal terhadap isu perubahan iklim pada mulanya terkonsentrasi pada sektor energi, mengingat energi merupakan sumber emisi karbon terbesar ke atmosfer. Untuk itu, pemerintah melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Tahun 2 mengkoordinasikan National Strategy Study (NSS) Energy dengan fokus pada mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) (Gintings et al., 23). CDM adalah suatu mekanisme di bawah Protocol Kyoto yang merupakan mekanisme penurunan emisi berbasis pasar. Mekanisme ini memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara

55 berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda nasionalnya (Mudiyarso, 23). Indonesia memiliki kesempatan sebagai salah satu negara peserta untuk mengimplementasikan proyek CDM melalui aforestasi dan reforestasi (A/R). Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 5 tahun yang lalu. Reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak awal tahun 199 (31 Desember 1989). Dengan definisi ini, CDM kehutanan dapat dilaksanakan baik pada lahan/kawasan hutan maupun di lahan milik (Gintings et al., 23). Pada saat ini sekitar ha hutan di Indonesia perlu rehabilitasi melalui kegiatan reforestasi yang tersebar pada hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Di luar kawasan hutan sekitar ha membutuhkan rehabilitasi melalui kegiatan penghijauan (MoF, 23 dalam Masripatin, 25). Keputusan COP-9 telah memasukkan kegiatan SS-A/R (A/R skala-kecil) dalam CDM dengan prosedur dan modalitas yang sederhana. Dalam keputusan ini, SS-A/R merupakan proyek aforestasi atau reforestasi dengan batasan pada suatu lokasi yang memiliki kemampuan menambat CO 2 setara < 8. ton/tahun, yang pada COP-13 ditingkatkan setara < 16. ton/tahun yang diimplementasikan oleh kelompok masyarakat atau perorangan yang berpenghasilan rendah. Selain prosedur dan modalitas yang sederhana sebagaimana dalam CDM, maka untuk SS-A/R CDM pada COP-1 juga mendapat perlakuan khusus antara lain bahwa : 1) bagi negara berkembang yang rentang terhadap perubahan iklim tidak dikenakan pembagian hasil untuk biaya adaptasi, 2) pembayaran biaya administrasi dan registrasi lebih rendah, 3) berpeluang untuk memperoleh bantuan dari kelompok negara maju untuk kegiatan capacity building. Untuk itu, proyek SS-A/R CDM berpotensi untuk diimplementasikan pada sistem agroforestry yang merupakan bentuk penggunaan lahan yang pada umumnya diusahakan oleh petani berpenghasilan rendah, baik secara individual maupun kelompok. Meskipun demikian, beberapa kendala dalam pengelolaan pola agroforestry seperti masalah kualitas bahan tanaman, teknik silvikultur atau agroteknologi, modal dan pemasaran perlu mendapat perhatian yang serius untuk mendukung keberhasilan proyek tersebut. Selain itu,

56 hambatan dari segi kerangka peraturan juga masih menyulitkan implementasi CDM kehutanan atau bentuk investasi lain di bidang jasa lingkungan yang menyangkut perdagangan karbon. Sebagai contoh adalah Keputusan Presiden nomor 118 Tahun 2 tentang Daftar Positif dan Negatif untuk penanaman modal asing yang menyebutkan bahwa modal asing tidak bisa disertakan untuk mengembangkan hasil hutan non kayu (non timber forest product, NTFP). Kegiatan ini hanya boleh dilaksanakan oleh investor lokal dan berskala kecil. Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 212, ternyata telah memberikan berbagai penilaian bahwa Protokol Kyoto tidak mampu mencegah lajunya pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk merespon kekurangan dalam Protokol Kyoto tersebut, maka pada COP-13 tahun 27 di Bali telah memfokuskan upaya dalam merumuskan hal-hal yang lebih realistis yang dikenal sebagai Bali Roadmap. Rumusan ini menghasilkan kesepakatan pasca 212 diantaranya penerapan mekanisme Reducing Emissions from Deforestastion in Developing Countries (REDD) (Farid dan Mangunjaya, 28). Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (28), kesepakatan dalam pelaksanaan REDD terdiri dari : (1) bahwa langkah nyata dalam mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan merupakan kepentingan mendesak. Konservasi dan sustainable management of forests akan dibahas pada pertemuan COP selanjutnya, (2) kebutuhan komunitas lokal harus diperhitungkan, (3) mendorong semua negara maju untuk mendukung negara berkembang dalam mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi. Dukungan ini akan diberikan dalam bentuk capacity building, bantuan teknis, dan transfer teknologi, (4) melaksanakan demonstration activities selama tahun Dianjurkan negara-negara pihak yang melaksanakan kegiatan tersebut menggunakan indicative guidelines dalam mengevaluasi demonstration activities. Preference level dan estimates sub-national, harus berkembang menjadi pendekatan nasional, (5) menganjurkan penggunaan guidelines terbaru dalam melaporkan emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan (6) setiap negara pihak yang terlibat diminta menyampaikan pengembangan metodologi kepada Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) termasuk mengulas perubahan yang terjadi dalam penutupan hutan (forest cover) dan stock karbon emisi GRK dari sektor

57 kehutanan, referensi tingkat emisi, dan informasi lainnya sebelum 21 Maret 28 yang hasilnya akan dilaporkan dalam COP-14 tahun 28. Hal yang sangat rasional dalam REDD adalah kerusakan hutan dan lahan ternyata berkontribusi 18% atas emisi global. Di lain pihak upaya untuk memulihkan hutan dengan keanekaragaman hanyatinya merupakan proses panjang dan sangat kompleks untuk dijalankan. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usahatani Optimalisasi dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk memaksimumkan nilai ekonomi atas sebidang lahan usaha dengan tetap menjamin produktivitas secara lestari. Penelitian ini diarahkan untuk menemukan suatu kombinasi jenis tanaman yang secara agregat menghasilkan nilai ekonomi maksimum dan produktivitas lahan tidak menurun dengan agroteknologi yang dapat diterima dan diaplikasikan oleh petani setempat. Untuk menemukan tipe penggunaan lahan yang optimal dan memiliki lebih dari satu tujuan, maka alat analisis yang tepat digunakan adalah Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming). Penerapan Program Tujuan Ganda (PTG) telah banyak dikembangkan dan digunakan dibeberapa bidang pembangunan dan disiplin ilmu, seperti bidang perencanaan sumberdaya alam, bidang perencanaan akademis, perencanaan keuangan dan investasi, perencanaan administrasi kesehatan, pengangkutan, dsb. Analisis PTG bertujuan untuk meminimumkan jarak antara atau deviasi terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan syarat ikatan yang membatasinya berupa sumberdaya yang tersedia, teknologi yang ada, kendala tujuan, dan sebagainya. Dalam keadaan pengambil keputusan dihadapkan kepada suatu persoalan yang mengandung beberapa tujuan, maka Program Tujuan Ganda dapat dengan mudah menganalisisnya untuk memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan Anwar, 1985). Dengan analisis PTG maka dicoba untuk memuaskan atau memenuhi target (paling tidak mendekati target) yang telah ditentukan menurut skala prioritasnya masingmasing. Untuk dapat mengoperasikan suatu model optimalisasi, maka masalah optimalisasisi yang akan dikaji perlu diidentifikasi menjadi beberapa variabel

58 untuk pengambilan keputusan (policy) yaitu variabel penyusun fungsi tujuan, kendala dan aktivitas (decision variabel), penentuan koefisien teknologi (inputoutput), dan ketersediaan sumberdaya yang digunakan (Andayani, 22). PTG berusaha meminimumkan deviasi diantara berbagai tujuan atau sasaran yang ditetapkan yaitu meminimumkan jarak batas yang dapat dicapai oleh fungsi tujuan sebagaimana yang dikehendaki oleh berbagai fungsi kendala yang mengikat fungsi tujuan tersebut sebagai syaratnya yang terdiri dari peubah deviasi positif dan deviasi negatif. Model umum dari Program Tujuan Ganda adalah sebagai berikut : m Meminimumkan Z = W i (d i + + d i ) i =1 m = W i + d i + + W i d i... (3) i=1 Syarat ikatan atau fungsi kendala : m a ij X i + d i - d i + = b i...(4) i=1 untuk i = 1, 2,..., m tujuan atau target n g kj X j < atau > C k...(5) i=1 untuk k = 1, 2,..., p kendala fungsional j = 1, 2,..., n peubah keputusan dan X i, d i, d i + >...(6) d i, d i + =...(7) dimana : Z = nilai skala dari kriteria pengambilan kepetusan, merupakan fungsi tujuan d + i dan d i = jumlah unit deviasi yang kekuangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (b i ) W + i dan W i = timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (b i ) a ij = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambilan keputusan (X j )

59 X j b i g kj C k P y, P s = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang kini dinamakan sebagai sub tujuan = tujuan atau target yang ingin dicapai = koefisien teknologi fungsi kendala biasa = jumlah sumberdaya k yang tersedia = faktor-faktor prioritas dari tujuan Model tersebut menunjukkan bahwa pengoptimalan yang dihadapi sebagai suatu usaha untuk meminimumkan jumlah agregat dari semua deviasi positif dan negatif yang individual dari tujuan yang telah ditetapkan, dimana d + i dan d i merupakan peubah slek dan surplus pada Program Linier. Dalam perumusan Progam Tujuan Ganda terdapat lebih dari satu tujuan yang langsung berhubungan dengan fungsi tujuan dalam bentuk peubah-peubah deviasional dan memfokuskan prosedure optimasi pada peubah-peubah tersebut dengan tidak memberikan nilai pada peubah struktural X j. Oleh karena itu, penilaian dan analisis bukan pada tingkat kegiatannya, melainkan deviasi dari tujuan, sasaran atau target yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan tersebut. Model PTG dalam bentuk matriks dapat dirumuskan sbb : Minimumkan : Z = W, d + W +, d +...(8) Syarat ikatan : Ax + d - d + = b... (9) Gx < C...(1) dan X, d, d + >...(11) d, d + =...(12) dimana : W, W + = vektor pembobot atau timbangan berdimensi mxl d, d + = vektor deviasi minus dan plus berdimensi mxl b = vektor tujuan atau vektor target berdimensi mxl C = vektor sumberdaya berdimensi pxl A = matriks koefisien teknologi fungsi kendala sumberdaya berdimensi mxn G = matriks koefisien teknologi fungsi kendala sumberdaya berdimensi nxp X = vektor kegiatan atau vektor sub tujuan berdimensi nxl Perumusan PTG pada dasarnya adalah sama pada perumusan program linier dan variasi program linier lainnya, hanya saja dalam PTG diberikan

60 timbangan atau bobot khusus dan prioritas terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan lahan optimal dari berbagai kombinasi jenis tanaman (kayu afrika, padi gogo, jagung dan singkong) menggunakan analisis Program Tujuan Ganda telah menghasilkan rekomendasi bahwa setiap kepala keluarga (KK) petani di daerah ini harus memiliki lahan garapan minimal,74 1,3 ha untuk dapat memenuhi kebutuhan produksi yang dapat dikonsumsi termasuk untuk bahan bakar dan kebutuhan lainnya (Widaningsih dan Djakamihardja 1991 dalam Rauf 24). Hasil penelitian berbagai sistem usahatani dan komponen agroteknologi di Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani di wilayah ini. Teknologi usahatani yang tepat untuk wilayah ini sangat bergantung pada kondisi spesifik lokasi, disamping sosial budaya setempat yang cukup beragam perlu mendapat perhatian dalam pendekatan pembangunan pertanian. Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian di daerah ini, terutama pertanian lahan kering dengan komoditi tanaman perkebunan seperti; kakao, kopi, lada, cengkeh, jambu mete, dan kelapa. Di samping itu, sektor peternakan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan seperti ternak sapi, domba, dan unggas. Sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara tergolong dalam karakteristik lahan kering yaitu ha (+ 98%) dan selebihnya (+ 2%) lahan basah. Menurut Djufri et al. (1996 dalam Witjaksono dan Dahya 1998), Lahan kering di Sulawesi Tenggara pada umumnya memiliki kondisi agroekosistem yang beragam dengan topografi berlereng, kemantapan lahan labil, peka terhadap erosi, ph rendah dan miskin hara dan didominasi (+ 6%) jenis tanah Ultisol (podsolik merah kuning).

61 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja (purposive sampling) yang didasari dengan pertimbangan : (1) Penggunaan lahan usahatani pola agroforestry berupa kebun campuran yang dikelola intensif dan kebun hutan yang dikelola secara tradisional, (2) Hutan alam (kontrol). Pengamatan intensif dimulai Juli 25 sampai dengan Juni 26 yang meliputi kegiatan pengamatan/pengukuran lapang dan analisa sampel tanah & air di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. Data dan Peralatan Data yang dihimpun dalam penelitian terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan/pengukuran langsung dan hasil analisis laboratorium. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait dan publikasi atau laporan hasil-hasil penelitian terdahulu. Data primer yang diamati adalah parameter biofisik untuk analisis vegetasi yang meliputi: jumlah dan nama jenis tanaman, frekuensi, dominansi, kerapatan, indeks nilai penting jenis, biomassa total dan tambatan karbon vegetasi. Data iklim yaitu; jumlah curah hujan, lamanya hujan dan hari hujan. Sifat-sifat tanah yang merupakan indikator kualitas tanah meliputi: sifat fisik (tekstur, struktur, berat isi, porositas, dan indeks stabilitas agregat), sifat kimia (bahan organik, C- organik, dan ph tanah), biologi tanah (total mikroorganisme tanah) dan indikator hidrologi meliputi: limpasan permukaan, kapasitas infiltrasi, permeabilitas profil tanah, dan erosi. Parameter sosial ekonomi meliputi: status dan luas penggunaan lahan, jumlah anggota keluarga petani responden, produksi tanaman, pendapatan petani, modal, tenaga kerja dan sarana produksi yang digunakan, agroteknologi yang diterapkan, serta persepsi petani terhadap lingkungannya. Data sekunder berupa : peta administrasi, penggunaan lahan, topografi dan jenis tanah serta data

62 curah hujan periode , kependudukan, tenaga kerja dan mata pencaharian, sarana pendidikan, keagamaan, dan data sosial ekonomi lainnya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari : altimeter, kompas, planimeter, pacul, sekop, parang, palu, paku, tiang-tiang bambu dan kayu, drum penampung air limpasan dan erosi, selang plastik, bak penampung curah hujan, ring sampel, plastik sampel, cat, papan label untuk plot, label sampel untuk tanah dan vegetasi, marker, terpal, seng plat, pita meter (5 m), meteran kayu, tali raffia, seperangkat alat-tulis dan komputer. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survei dan percobaan lapang. Tahapan pelaksanaan sebagai berikut : 1. Overlay peta penggunaan lahan dengan peta topografi dan peta tanah DAS Konaweha untuk mendapatkan unit-unit lahan kebun campuran dan hutan 2. Pengecekan lapang untuk memastikan jenis penggunaan lahannya 3. Penentuan lokasi sampel penelitian secara purposive sampling berdasarkan mayoritas petani yang mengusahakan kebun campuran pola agroforestry dan kebun hutan 4. Identifikasi komposisi jenis tanaman penyusun sistem agroforestry untuk memperoleh tipe-tipe yang diusahakan petani 5. Penentuan plot pengamatan pada setiap tipe agroforestry dan hutan di lokasi sampel penelitian pada tiga tingkat kemiringan lereng berdasarkan prinsip Rancangan Acak Kelompok (RAK) 6. Berdasarkan poin 4 di atas, maka sistem agroforestry di lokasi penelitian terdiri atas empat tipe yaitu: sylvopastoral-perennial crops with pastures (sylvopastoral-p, T1), agrosylvicultural-perennial crops (agrosylvicultural-p, T2), agrosylvicultural-multystrata systems (agrosylvicultural-m, T3), dan sylvopastoral-multystrata systems (sylvopastoral-m, T4). Pengamatan dilakukan pada keempat tipe sistem agroforestry dan hutan alam yang masingmasing pada tiga tingkat kemiringan lereng (2%, 12% dan 3%) sehingga diperoleh 15 plot pengamatan yaitu :

63 - Tipe sylvopastoral-p pada kemiringan lereng 2%, 12%, dan 3% berturutturut dengan simbol; K1T1, K2T1, K3T1 - Tipe agrosylvicultural-p pada kemiringan lereng 2%, 12%, dan 3% berturut-turut dengan simbol; K1T2, K2T2, K3T2 - Tipe agrosylvicultural-m pada kemiringan lereng 2%, 12%, dan 3% berturut-turut dengan simbol; K1T3, K2T3, K3T3 - Tipe sylvopastoral-m pada kemiringan lereng 2%, 12%, dan 3% berturutturut dengan simbol; K1T4, K2T4, dan K3T4 - Hutan alam pada kemiringan lereng 2%, 12% dan 3% masing-masing disimbol K1T5, K2T5 dan K3T5. 7. Pengamatan/pengukuran sifat-sifat tanah, indikator hidrologi dan erosi serta keragaman vegetasi dilakukan pada setiap plot pengamatan. Sasaran dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sasaran dan metode pengumpulan data di DAS Konaweha, Tahun 25 No Sasaran Pengumpulan Data Metode Pengumpulan Data 1 Jenis dan jumlah tanaman dalam sistem agroforestry (keragaman vegetasi) 2. Sifat fisik, kimia dan biologi tanah (struktur dan tekstur tanah, berat isi, indeks stabilitas agregat, porositas, bahan organik, C-organik, ph dan satuan pembentuk koloni mikrobia tanah) 3. Indikator hidrologi (limpasan permukaan, kapasitas infiltrasi dan permeabilitas profil tanah) Pengamatan langsung, secara deskriptif Pengambilan contoh & analisis laboratorium Pengukuran langsung di lapang 4. Erosi aktual Petak kecil (Wischmeier dan Smith 1978) 5 Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) Perhitungan (Wood dan Dent 1983) 6 Total biomassa dan karbon vegetasi Persamaan allometrik & destruktif 7 Sosial dan ekonomi (produksi, biaya dan pendapatan) dari usahatani agroforestry 8. Optimalisasi agroteknologi dan alokasi penggunaan lahan optimal untuk mendapatkan sistem pertanian berkelanjutan Wawancara (kuisioner) Analisis optimalisasi dan perhitungan

64 Teknik Pengambilan Sampel Struktur dan Komposisi Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan komposisi tanaman, maka dilakukan analisis vegetasi pada setiap tipe agroforestry dengan membuat 3 petak pengamatan yang berukuran 2 m x 2 m untuk pohon ( batang >1 cm), 3 petak berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran tumbuhan ( batang < 1 cm dan tinggi > 1,5 m) pada hutan, dan 3 petak berukuran 1 m x 1 m untuk pengukuran tumbuhan bawah dan tingkat semai (tinggi < 1,5 m). Parameter yang diamati adalah : jumlah dan nama jenis tanaman, diameter batang setinggi dada (1,3 m) dan tinggi tanaman. Estimasi biomassa pohon akan menggunakan persamaan allometrik berdasarkan konstanta jenis tanaman yang telah ada dengan pendekatan species, genus, famili atau bentuk morfologi dan ciri-ciri atau sifat-sifat pertumbuhan dari jenis tanaman tersebut. Pengukuran biomassa untuk tumbuhan bawah masing-masing jenis dalam luasan petak sampel yang telah disebutkan di atas, diambil dengan bobot yang sama (+ 2 gram), lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 8 o C selama 48 jam kemudian ditimbang untuk menentukan biomassa kering oven (Hairiah et al., 1999). Selanjutnya, pengukuran biomassa serasah baik serasah halus maupun kasar dilakukan dengan metode kuadrat berukuran,5 m x,5 m. Serasah halus pada kedalaman 5 cm adalah akar-akar berkayu yang sebagian telah terdekomposisi dan lolos ayakan berukuran sieve 2 mm. Serasah kasar adalah semua sisa tanaman yang belum terdekomposisi termasuk pohon mati berdiameter < 5 cm, panjang < 5 m, ranting dan daun. Selanjutnya contoh serasah yang telah dikumpulkan pada petak sampel, kemudian diambil sampel dan dikering udarakan untuk mendapatkan biomassa dan karbon. Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Erosi Pengambilan sampel tanah meliputi: sampel tanah utuh (undisturbed soil sample), sampel tanah komposit dan sampel tanah bongkah (undisturbed agregate soil sample). Pengambilan contoh tanah utuh untuk penentuan sifat-sifat fisik

65 dengan menggunakan ring sample pada kedalaman 3 cm dan > 3 cm. untuk penetapan indeks stabilitas agregat dilakukan pengambilan sampel tanah bongkah pada kedalaman 3 cm. Analisis kimia dan fisik tanah, sampel tanah dikering udarakan kurang lebih 3 hari pada suhu kamar (Handayani, 1999). Penentuan sifat-siafat kimia dan biologi tanah dilakukan pengambilan sampel tanah komposit pada kedalaman 3 cm. Untuk analisis mikrobia tanah, sampel tanah disimpan terlebih dahulu dalam kulkas pada suhu 4 o C selama < 1 hari, kemudian diayak pada ukuran lolos 2 mm (Handayani et al., 1999). Untuk Pengukuran erosi dan limpasan permukaan dilakukan pada petak kecil (Wischmeier dan Smith 1978) berukuran 4 m x 6 m pada setiap plot pengamatan. Pengukuran limpasan permukaan menggunakan drum dengan cara menampung jumlah limpasan permukaan dari luasan petak erosi melalui outlet. Drum penampung (D1) dipasang di ujung bawah lereng pada masing-masing petak erosi. Pada sisi drum penampung (D1) yang menghadap keluar dibuat lubang dihubungkan dengan selang plastik ke dalam drum penampung luapan air (D2). Drum penampung (D1) dan drum penampung luapan (D2) tersebut ditutup dengan seng untuk mencegah masuknya air hujan pada setiap kejadian hujan. Kapasitas infiltrasi dan permeabilitas profil tanah dilakukan pengukuran lapang dengan metode double ring menggunakan pipa paralon. Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan suatu wadah pada setiap kejadian hujan. Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara langsung kepada petani responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (quisioner). Parameter sosial ekonomi meliputi antara lain : (1) jumlah anggota keluarga (jenis kelamin, usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani), (2) luas lahan (diusahakan dan tidak diusahakan), (3) status pemilikan dan pola penggunaan lahan garapan, (4) produksi usahatani dan pendapatan dari seluruh komponen usahatani agroforestry termasuk ternak peliharaan per tahun, (5) sarana produksi meliputi : bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan, jumlah tenaga kerja (HOK) yang digunakan serta sumbernya, (6) agroteknologi yang diterapkan terutama yang

66 berorientasi pada aspek konservasi tanah dan air, (7) kelembagaan yang mendukung pengelolaan sistem agroforestry. Penentuan petani sampel (responden) dilakukan secara proporsional stratified random sampling dengan jumlah petani sampel sebesar 1% dari jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry. Metode Penentuan lokasi pengamatan dan petani sampel disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Metode penentuan lokasi pengamatan dan total petani sampel pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Metode Total Sasaran Pengamatan Dasar Penentuan 1. DAS Boro- Boro Sub DAS Konaweha (Kec. Ranomeeto; Desa Jati Bali, Amoito, dan Rambu-rambu Jaya) dan DAS Hunggumbi Sub DAS Konaweha (Kec. Pondidaha, Desa Laloumera) Penentuan Purposive sampling sampel 15 plot - Terdapat mayoritas petani yang mengusahakan sistem agroforestry 2. Petani sampel Proporsional stratified random sampling 79 KK - 1% dari jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry Analisis Data Seluruh data dari setiap variabel yang diperoleh akan dianalisis secara statistika, baik secara deskriptif (kualitatif) maupun kuantitatif dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Analisis deskriptif dilakukan terhadap struktur ekosistem agroforestry (jenis dan komposisi tanaman), profil petani sampel dan variabel-variabel sosial ekonomi petani di lokasi penelitian. Analisis kuantitatif dan kualitatif dilakukan terhadap variabel-variabel fisik, kimia dan biologi serta kajian optimalisasi agroteknologi pada setiap tipe sistem agroforestry yang diamati. Untuk mengetahui pengaruh setiap tipe sistem agroforestry yang diterapkan petani terhadap parameter erosi, aliran permukaan dan sifat-sfat tanah akan dianalisa dengan analisis sidik ragam. Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisis data disajikan pada Gambar 4.

67 Identifikasi Sistem Agroforestry ke dalam beberapa Tipe (komponen penyusun agroforestry) Menentukan Plot Pengamatan dalam Pola RAK (Tipe & lereng) Kajian Komponen Struktur dan Komposisi Tanaman Kajian Komponen Fisik (sifat fisik, kimia, dan biologi tanah) Kajian Sosial Ekonomi (poduksi, biaya dan pendapatan) Biodiversity dan Karbon Kualitas Tanah Baik Erosi < ETol Pendapatan > KHL ya tdk Analisis Agroteknologi tdk ya Optimalisasi Acceptability Replicability - Sosial budaya - keterampilan Agroteknologi Tepat Pertanian Berkelanjutan Keterangan : ETol : Erosi yang dapat ditoleransikan KHL : Kebutuhan hidup layak Gambar 4. Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisis data

68 Analisa Vegetasi Analisa vegetasi dimaksudkan untuk mengkaji susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi yang erat kaitannya dengan produksi biomassa total vegetasi dalam sistem agroforestry yang dikelola petani di lokasi penelitian. Untuk itu, dilakukan analisa vegetasi dengan menghitung nilai penting jenis (NPJ). NPJ adalah penjumlahan dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) yang nilainya maksimum 3%. Dengan demikian NPJ suatu komunitas ditentukan oleh kerapatan, frekuensi, dan dominansi relatif. Kerapatan relatif menggambarkan besarnya populasi dalam suatu komunitas, frekuensi relatif mengindikasikan pola tumbuh/tanam suatu jenis tanaman (tersebar atau spasial) dalam suatu komunitas. Dominansi relatif menggambarkan luasan tempat tumbuh atau luas bidang dasar suatu jenis dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting jenis diperoleh berdasarkan Cox (1985) dengan persamaan sebagai berikut : Jumlah individu Kerapatan (K) = (13) Luas petak sampel Jumlah individu suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = x 1%...(14) Jumlah individu dari semua jenis Jumlah petak ditemukan suatu jenis Frekuensi (F) = (15) Jumlah seluruh petak Jumlah frekuensi suatu jenis Frekuensii Relatif (FR) = x 1%...(16) Jumlah frekuensi dari seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis Dominansi (D) = (17) Luas petak sampel Jumlah bidang dasar suatu jenis Dominansi Relatif (DR) = x 1%...(18) Jumlah luas bidang dasar seluruh jenis Nilai Penting Jenis (NPJ) untuk pohon adalah : KR + FR + DR...(19) Biomassa Total dan Karbon (C) vegetasi Produksi biomassa total pohon dapat diperoleh melalui persamaan umum allometrik (Heriansyah et al., 24) sebagai berikut :

69 Y = ax b...(2) Dimana : a dan b = konstanta Y = biomassa total (kering-oven, kg)) X = DBH (cm) DBH = diameter batang pada tinggi 1,3 m Kadar C =,5 x Y (JIFRO, 2)...(21) Dimana: Y : total biomassa pohon (kg/pohon), dan C : Kadar karbon (kg/pohon) Erosi Hasil Pengukuran dan Erosi yang Dapat Ditoleransikan (ETol). Erosi yang tertampung dalam bak erosi akan ditimbang berat basah dan selanjutnya dihitung kadar air tanahnya dengan metode gravimetrik, lalu dihitung berat kering tanah yang tererosi per satuan luas per hari, selanjutnya dapat diperoleh besarnya tanah yang tererosi selama setahun sehingga data erosi disajikan dalam berat kering tanah yang tererosi (ton/ha/th). Untuk menjaga agar penggunaan lahan dapat dipergunakan secara lestari, maka besarnya erosi harus sama atau lebih kecil dari ETol. ETol ditentukan berdasarkan persamaan Wood dan Dent (1983 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 21) sebagai berikut: ETol = D E D MPT MIN + LPT...(22) Dimana : ETol : erosi yang dapat ditoleransikan (ton/ha/th) D E : kedalaman ekivalen (nilai faktor kedalaman x kedalaman efektif tanah). D MIN : kedalaman tanah minimum yang diperlukan untuk perkembangan perakaran suatu jenis tanaman masih memungkinkan berproduksi. MPT : masa pakai tanah (25 tahun), dan LPT : laju pembentukan tanah (asumsi : 1.2 mm/th Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah, dimana tanah setelah mengalami erosi poduktivitasnya bekurang sebesar 6% dari produktivitas tanah

70 yang tidak tererosi. Nilai faktor kedalaman berdasarkan jenis tanah kategori Sub Order (USDA) disajikan pada Tabel Lampiran 4. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman tanah sampai suatu lapisan (horizon) yang menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diukur dengan menggunakan bor tanah. Kedalaman tanah minimum merupakan kedalaman tanah yang masih memungkinkan tanaman berproduksi. Faktor kedalaman tergantung pada jenis tanah (sub order), dan laju pembentukan tanah ditentukan berdasarkan sifat tanah dan substratum (Arsyad 2). Penentuan nilai ETol dilakukan untuk membandingkan besarnya erosi pada setiap tipe agroforestry yang diterapkan petani. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah sistem pertanian yang telah diterapkan petani tersebut dapat berkelanjutan atau tidak. Jika Erosi < ETol, maka sistem pertanian (tipe agrofoestry) yang diterapkan petani tersebut dapat berkelanjutan. Sebaliknya apabila Erosi > ETol, maka sistem pertanian tersebut tidak dapat berkelanjutan, melainkan lahan tersebut suatu saat tidak produktif lagi dan akan menjadi lahan kritis. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dengan alternatif-alternatif sistem pertanian terutama perbaikan terhadap tindakan pengelolaan lahan dan tanaman (C) dan teknik konservasi (P). Analisis Ekonomi Analisis ekonomi meliputi biaya (cost) dan pendapatan bersih atau keuntungan (profit) usahatani yang diperoleh petani berdasarkan seluruh komoditi sistem agroforestry yang diusahakan. Besarnya pendapatan petani dihitung dengan persamaan: π = TR TC...(23) Dimana : π TR TC : pendapatan bersih (profit) (Rp) : total penerimaan (total revenue) (Rp) : total biaya (total cost) (RP) Untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal atau penilaian investasi pada pengembangan usahatani pola agroforestry, maka digunakan analisis BCR, NPV, dan IRR serta Payback period.

71 Benefit Cost Ratio (BCR), dengan persamaan : BCR = n Σ B t t=1 (1 + r) t...(24) n Σ C t t=1 (1+ r) t Dimana : B t : nilai manfaat pada tahun ke t C t : nilai biaya pada tahun ke t r : tingkat suku bunga (discount factor) n : umur ekonomi dari jenis tanaman penyusun agroforestry Kriteria: BCR >1 : mengindikasikan bahwa usahatani agroforestry layak diusahakan, BCR = 1 : mengindikasikan bahwa usahatani agroforestry tidak untung dan tidak rugi (indifference) dan BCR < 1 : mengindikasikan usahatani tidak layak diusahakan Net present value (NPV) menurut Gittinger (1973) dengan persamaan : n NPV = Σ B t C t...(25) t =1 (1 + r ) t Kriteria : + NPV > : mengindikasikan bahwa usahatani tersebut layak diusahakan + NPV = : nilai sekarang manfaat bersih yang didiskontokan persis sama dengan biaya-biaya yang didiskontokan (middling) + NPV < : usahatani tersebut tidak layak diusahakan NPV digunakan untuk menentukan nilai sekarang manfaat bersih dengan mendiskontokan aliran dan biaya kembali pada awal tahun dasar (tahun I) dari usahatani sistem agroforestry yang diterapkan petani dengan asumsi bahwa jenis tanaman yang diusahakan memiliki umur ekonomi tertentu (n) dan menggunakan tenaga kerja keluarga dan modal terbatas. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat suku bunga dimana,

72 Present Value B t = Present Value C t atau Discounted Σ B t = Discounted Σ C t...(26) Kriteria : IRR > r (discount factor) mengindikasikan bahwa usahatani agroforestry mampu mengembalikan sejumlah modal yang diinvestasikan, IRR = r, maka suku bunga yang berlaku sama dengan sejumlah modal yang diinvestasikan dan IRR < r, maka usahatani agroforestry tidak mampu mengembalikan sejumlah modal yang diinvestasikan Untuk mengetahui lama waktu/periode pengembalian modal (payback period ) usahatani, digunakan persamaan : initial investment Payback Period (PBP) = (27) annual cash inflow Payback period adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk memperoleh kembali modal awal melalui cash inflow yang dihasilkan dari suatu investasi. Dalam analisa kelayakan (Analisis Benefit Cost) usahatani agroforestry ditetapkan asumsi-asumsi : (1) umur ekonomi dari tanaman utama pada usahatani agroforestry adalah 1 tahun, karena peningkatan produksi rata-rata pada umur > 8 tahun sudah mulai menurun, (2) tingkat suku bunga (discount factor) 12% digunakan berdasarkan : Hubungan antara tingkat diskonto dengan jangka waktu (umur) ekonomi usahatani agroforestry, dimana tingkat suku bunga berperilaku progresif mengurangi nilai sekarang biaya dan manfaat yang diperoleh di waktu yang akan datang. Makin lama waktu ke depan, makin kecil nilai manfaat untuk waktu yang akan datang. Suku bunga tersebut merupakan tingkat suku bunga yang berlaku secara umum di daerah Sulawesi Tenggara maupun secara nasional dan beberapa negara di Asia, dan perhitungan depresiasi penggunaan modal digunakan strigth line method dan market price method. Strigth line method yaitu pembebanan atas penyusutan nilai modal berupa barang/peralatan yang sifatnya tetap berdasarkan umur

73 ekonomi yang diperhitungkan. Apabila setelah mencapai usia produktif, tetapi barang/peralatan tersebut masih dapat digunakan atau dijual, maka nilai jual merupakan keuntungan. Market price method, yaitu perhitungan penggunaan modal yang didasarkan pada mekanisme permintaan dan penawaran atau perilaku pasar yang diyakini oleh pengelola atau yang ditetapkan oleh lembaga penilai. Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi (perubahan) jumlah produksi, biaya dan harga, diperlukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : Harga produksi turun 15%, jumlah dan biaya produksi tetap (Sekenario I) Biaya produksi meningkat 15%, jumlah dan harga produksi tetap (Sekenario II) Harga produksi turun 15%, biaya produksi meningkat 15%, jumlah produksi tetap (Sekenario III) Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi tetap (Sekenario IV) Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi meningkat 15% (Sekenario V) Besarnya persentase perubahan dalam analisis sensitifitas ditetapkan 15%, karena usahatani pola agroforestry terdapat beberapa jenis tanaman dan/atau ternak di dalamnya, dimana besarnya perubahan jumlah, biaya dan harga produksi masingmasing jenis tanaman dan/atau ternak berbeda-beda. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Sajogyo (1977) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskinan untuk wilayah Indonesia dispesifikasi atas tiga kemiskinan yang mencakup konsepsi Nilai Ambang Kecukupan Pangan yaitu miskin, miskin sekali dan paling miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam nilai rupiah per bulan, ekuivalen dengan nilai tukar beras dalam kg per orang per tahun sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu (zaman) baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah pedesaan berkisar antara kg per orang per tahun, daerah perkotaan kg per orang per tahun. Oleh

74 karena itu Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) di daerah penelitian adalah kebutuhan senilai beras: 32 kg/org/thn x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga (org/kk). Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah kebutuhan petani untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang meliputi: pakaian, tempat tinggal (perumahan), pendidikan, kesehatan, keagamaan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan hari tua. Untuk itu, kebutuhan tersebut dapat terpenuhi apabila pendapatan petani mencapai sebesar 25 % dari KHM (Sinukaban, 1999). Dengan demikian jumlah pendapatan bersih yang harus dipenuhi oleh setiap kepala keluarga petani untuk memenuhi KHL adalah senilai KHM x 2.5. Sehubungan dengan besarnya nilai KHL tersebut, maka luas lahan garapan minimal yang diperlukan oleh petani untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL adalah : KHL Lm = (28) Pb Dimana : Lm = Luas lahan minimal (ha) Pb = pendapatan bersih (Rp/ha) Perumusan Model Optimalisasi Agroteknologi Sistem Agroforestry Optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry dilakukan melalui perbaikan-perbaikan agroteknologi agar erosi yang ditimbulkan di bawah ETol dan pendapatan yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dengan menggunakan pendekatan program tujuan ganda (Multiple Goals Programming) yang dianalisis menggunakan software LINDO (Linear Interactive Discrete Optimizer) dengan struktur data sebagai berikut : Peubah Keputusan (Decision Variable) Peubah keputusan adalah luas penggunaan lahan masing-masing: tipe sistem agroforestry (komposisi penyusunnya) ke-i pada kelompok ke-j yang dinotasikan sebagai X ij dalam satuan hektar (ha)

75 Fungsi Tujuan Agar setiap kendala terpenuhi, maka fungsi tujuan dari Model program tujuan ganda adalah meminimalkan total tertimbang dari simpangan masing-masing fungsi kendala. Secara matematis fungsi tujuan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Minimumkan Z = 12 {[ e W - e i - - e W + e i + ]+ [ p W - p i - - p W + p i + ]}...(29) j=1 dimana : e W - - e i e W + e + i p W - - p i p W + p + i : pembobot atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan erosi : pembobot atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap unit deviasi yang kelebihan (+) terhadap tujuan erosi : pembobot atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan pendapatan : pembobot atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap unit deviasi yang kelebihan (+) terhadap tujuan pendapatan Fungsi-Fungsi Kendala Riil - Alokasi penggunan lahan pada masing-masing satuan lahan optimal (X ij ), dibatasi oleh total luas dari masing-masing satuan lahan tipe agroforestry (A ij ) dalam hektar. Secara matematis kendala ini dirumuskan sebagai berikut : 12 X ij = A ij...(3) ij=1 Xij >...(31) - Masing-masing penggunaan lahan (X ij ) memerlukan biaya rata-rata sebesar C ij yang ketersediaannya dibatasi oleh : besarnya modal rata-rata yang dapat disediakan petani pada masing-masing tipe agroforestry ke-i dan pada masing-masing kelompok ke-j (C ij ), besarnya tenaga kerja yang tersedia pada setiap keluarga petani untuk masing-masing tipe agrofoestry ke-i dan pada masing-masing kelompok ke-j (f ij ), dan besarnya subsidi pemerintah

76 yang dapat dialokasikan untuk biaya usahatani (g ij ). Secara matematis fungsi kendala ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 12 X ij C ij < f ij C ij (1- g ij )...(32) ij =1 Fungsi-Fungsi Kendala Sasaran - Setiap penggunaan lahan (X ij ) mempunyai implikasi terhadap besarnya erosi rataan tahunan (E ij ) dalam ton/ha/th. Erosi tanah boleh saja terjadi, namun agar produktifitas tanah dapat dipertahankan, maka tingkat erosi tersebut harus ditekan seminimal mungkin sehingga mendekati besarnya erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) untuk masing-masing tipe agroforestry ke-i dan kelompok ke-j. Fungsi kendala ini secara matematis dapat dirumuskan : 12 E ij X ij - e ij + < ETol ij...(33) j =1 - Setiap penggunaan lahan (X ij ) mempunyai implikasi terhadap besarnya pendapatan bersih yang dapat diterima petani (P ij ) dalam Rp/ha/th. Untuk menjamin kesejahteraan petani, pendapatan bersih usahatani ini harus ditingkatkan hingga minimal memenuhi standar kebutuhan hidup layak dari masing-masing tipe agroforestry ke-i pada kelompok ke-j. Secara matematis fungsi kendala ini dapat dirumuskan sbb: 12 P ij X ij + p ij - j =1 > P KHLij...(34) Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan agar memperoleh tingkat daya guna dan hasil guna yang tinggi dengan mengalokasikan lahan untuk berbagai kombinasi tanaman dalam sistim pertanaman agroforestry, maka setiap komponen agroforestry yang diusahakan pada lahan garapan yang tersedia dan/atau jenis agroteknologi yang diterapkan merupakan peubah keputusan (decision variable) dalam pemecahan permasalahan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry. Dalam rangka memperoleh keputusan sebagaimana diuraikan sebelumnya diperhadapkan pada kendala pembatas dan kendala tujuan yang menyangkut lahan, tekonologi, sosial budaya dan aspek ekonomi, sehingga untuk

77 mengintegrasikan kendala pembatas dan kendala tujuan diperlukan pendekatan analisis yang memadai guna memecahkan masalah yang memiliki tujuan ganda (multidimensional) tesebut. Peubah keputusan yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lahan dan lingkungan (tidak menimbulkan erosi yang melebihi Etol), jenis tanaman atau komoditi yang ditanam memiliki prospek ekonomi yang baik (pendapatan yang dapat memenuhi KHL) dan sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat agar agroteknologi alternatif dapat diterima (acceptable) dan dapat diterapkan secara berulang terus-menerus (replicable) dalam membangun sistem agroforestry di lokasi penelitian. Tujuan dan kendala untuk keperluan analisis ditetapkan menurut prioritas berikut : Prioritas : P1 : Tujuan laju erosi dari sistem agroforestry < ETol P2 : Tujuan produksi yang memberikan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak P3 : Kendala ketersediaan lahan P4 : Kendala keterbatasan modal usaha yang tersedia P5 : Kendala tenaga kerja Sekenario Sekenario agroteknologi sistem agroforestry pada analisis optimalisasi memiliki sasaran yang dapat : (1) menghasilkan laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan, (2) memberikan tingkat produksi dan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, (3) diterapkan dalam keadaan sumberdaya terbatas yang dimiliki petani, antara lain: luas lahan garapan, modal dan tenaga kerja yang tersedia pada setiap keluarga petani dalam satu tahun. Luas lahan yang digunakan dalam optimalisasi agroteknologi adalah.75 ha dan 1.1 ha. Luas lahan.75 ha adalah luas lahan minimal yang dimiliki petani dan terbanyak petani (42.8%) memiliki luas lahan tersebut. Luas lahan 1.1 ha merupakan luas lahan rata-rata yang dimiliki petani di lokasi penelitian. Erosi yang digunakan dalam optimalisasi agroteknologi merupaka hasil prediksi dengan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE), sebagai berikut : A = R x K x L x S x C x P

78 dimana, A : besarnya erosi yang diprediksikan akan terjadi pada setiap sekenario (ton/ha/th), R : erosivitas, K : erodibilitas, L : faktor panjang lereng (m), S : faktor kemiringan lereng (%), C : faktor pengelolaan tanaman, dan P : faktor tindakan konservasi tanah. Untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani di daerah penelitian, maka dilakukan perbaikan dengan beberapa skenario berdasarkan kondisi existing dan program pemerintah yang telah mencanangkan pertumbuhan sentra produksi buah-buahan, konservasi lahan pertanian, perbaikan varietas, dan agronomi. Dosis pupuk setiap tahunnya yang dianjurkan untuk tanaman perkebunan berumur > 3 tahun seperti kakao, lada dan buah-buahan rata-rata pupuk kandang 3 ton/ha, Urea 15 kg/ha, TSP 1 kg/ha, dan KCl 1 kg/ha dengan peningkatan produksi rata-rata dua kali produksi tanpa pupuk (BPTP Sultra, 23). Bedasarkan hal tersebut maka disusun sekenario sebagai berikut : Sekenario : Kondisi existing (kondisi awal pada saat penelitian) Sekenario I : Perbaikan varietas Sekenario II : Perbaikan agronomi Sekenario III : Perbaikan varietas dan agronomi Sekenario IV : Perbaikan vareitas, agronomi, dan ternak sapi Agroteknologi setiap skenario terdiri dari: (1) kondisi existing, jumlah dan komposisi jenis komoditi (Tabel 15 dan Lampiran 7) (Sekenario ); (2) penggunaan varietas dan bibit unggul bernilai ekonomi (kakao, lada, cengkeh, kopi, kelapa, durian, langsat, rambutan, dan jeruk manis) (Sekenario I); (3) mengoptimalkan jumlah tanaman bernilai ekonomi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai, pemberian pupuk sesuai anjuran (Sekenario II); (4) penggunaan bibit unggul dan mengoptimalkan jumlah tanaman bernilai ekonomi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai serta pemberian pupuk sesuai anjuran (Sekenario III); (5) penggunaan bibit unggul dan mengoptimalkan jumlah tanaman bernilai ekonomi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai, pemberian pupuk sesuai anjuran, penanaman rumput pakan, dan usaha ternak sapi 3 ekor induk (2 ekor betina dan 1 ekor jantan) (Sekenario IV).

79 Konsep Operasional Konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Agroforestry yang dimaksud pada penelitian ini adalah bentuk usahatani yang memadukan berbagai jenis tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, tanaman hutan, pakan dan/atau ternak yang diusahakan secara bersama-sama pada lahan yang sama baik secara parsial atau campuran berupa kebun campuran atau kebun hutan (penggunaan lahan tradisional) dengan pengelolaan secara komersial, intermediet atau subsisten Sylvopastoral-p adalah bentuk sistem agroforestry dengan komposisi tanaman terdiri atas tanaman tahunan berupa jenis tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, dan tanaman pakan ternak berupa rumput maupun perdu serta sapi sebagai ternak peliharaan Agrosylvicultural-p adalah bentuk agrosylvicultural yang memiliki komposisi tanaman terdiri atas tanaman tahunan berupa tanaman hutan, dan buah-buahan Agrosylvicultural-m adalah bentuk agrosylvicultural dengan komposisi tanaman terdiri atas tanaman tahunan berupa tanaman hutan, perkebunan dan industri serta buah-buahan yang dikelola secara tradisional berupa kebun hutan (forest garden) Sylvopastoral-m adalah bentuk sylvopastoral dengan komposisi tanaman terdiri atas tanaman tahunan berupa tanaman hutan, perkebunan dan industri, buah-buahan, dan tanaman pakan yang dikelola secara tradisional berupa kebun hutan (forest garden) yang di dalamnya terdapat pula sapi sebagai ternak peliharaan Investasi adalah seluruh biaya yang dikorbankan dalam kegiatan usahatani baik berupa uang tunai maupun berupa bahan, alat dan tenaga kerja yang dinyatakan dalam rupiah per hektar per tahun Penerimaan adalah jumlah produksi keseluruhan rata-rata yang diterima petani (petani sampel) dari hasil kali antara produksi dengan harga produk yang dinyatakan dalam rupiah per hektar per tahun Produksi adalah penerimaan kotor dari usahatani agroforestry yang diusahakan petani, dinyatakan dalam kg/ha/thn yang diperoleh melalui wawancara petani sampel Harga adalah besarnya nilai tukar uang terhadap produksi usahatani agroforestry. Harga korbanan adalah besarnya nilai tukar uang terhadap tiap jenis korbanan (bahan, alat dan tenaga kerja) per satuan korbanan, dinyatakan dalam rupiah per satuan fisik Petani adalah orang yang melaksanakan usahatani sistem agroforestry di lokasi penelitian Tenaga kerja adalah jumlah curahan kerja pria dewasa, wanita dewasa dan anak-anak yang dinyatakan dalam hari kerja produktif (HKP). Konversi tenaga kerja yang digunakan didasarkan pada konversi Devries yaitu; wanita =.6 pria, anak-anak =.5 pria

80 Net Present Value (NPV) adalah nilai bersih sekarang dari sejumlah uang yang akan diterima atau dikeluarkan pada beberapa periode (waktu) akan datang berdasarkan besarnya persen discount factor tertentu Internal Rate of Return (IRR) adalah suku bunga, dimana Present value B t = Present Value Ct atau Discounted Σ B t = Discounted Σ C t Benefit Cost Ratio (BCR) adalah ratio yang membandingkan manfaat yang didiskontokan dengan biaya yang didiskontokan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah kebutuhan petani dan keluaganya berdasarkan nilai ambang kecukupan pangan (Sajogyo, 1977) yang telah dimodifikasi dengan mengalikan nilai indeks = 2.5 (berdasarkan asumsi pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, aktivitas sosial, tempat tinggal, dan tabungan Discount factor adalah tingkat suku bunga Bank yang digunakan dalam analisis biaya dan pendapatan usahatani agroforestry

81 TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN Aspek Biofisik Letak Geografis dan Penggunaan Lahan DAS Konaweha berada dalam wilayah BPDAS Sampara yang meliputi wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kendari (Kecamatan Sampara, Wawatobi, Unaaha, Lambuya, Ranomeeto dan Landono) dan Kabupaten Kolaka (Kecamatan Ladongi) Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis terletak antara 3 o 39.5 LS LS dan antara BT BT seluas ha, dengan batas-batas: Sebelah Utara berbatasan dengan DAS Lahumbuti, Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda, Sebelah Selatan dengan DAS Roraya dan, Sebelah Barat dengan DAS Toari. Peta DAS Konaweha dan Lahumbuti ditunjukkan pada Gambar 5. Penutupan/penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terdiri atas: hutan, padang alang-alang, kebun campuran, dan rawa telah mengalami penurunan, sebaliknya semak, sawah, tegalan, perkebunan rakyat monokultur dan pemukiman mengalami peningkatan dalam periode (Tabel 6). Tabel 6. Luas perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha, periode Luas Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Jenis Penggunaan Lahan Luas... ha... ha % Hutan Semak Padang alang-alang Kebun campuran Sawah Tegalan Perkebunan kakao monokultur Rawa Pemukiman Jumlah (-) (+) (-) (-) (+) 19.1(+) (+) 87.1(-) 211.6(+) 4.(-) 11.(+) 32.6(-) 26.8(-) 21.4(+) 27.3(+) 38.3(+) 5.3(-) 5.(+) Sumber : BPDAS Sampara, 25

82 Gambar 5. Peta DAS Konaweha dan Lahumbuti Sulawesi Tenggara

83 Tabel 6 menunjukkan bahwa penutupan lahan di DAS Konaweha masih didominasi oleh hutan yaitu sebesar 49.73% pada Tahun 24, meskipun telah mengalami penurunan sebesar 4% selama periode Demikian juga kebun campuran yang luasnya ha telah mengalami penurunan 26.8% dalam periode yang sama. Petani di wilayah ini pada umumnya melaksanakan diversifikasi usaha dengan menanam lebih dari satu jenis komoditas untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Pola diversifikasi yang dikelola petani merupakan salah satu bentuk sistem agroforestry dengan komposisi jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari kombinasi jenis-jenis tanaman pertanian (buahbuahan), perkebunan, kehutanan/pakan ternak dengan/tanpa ternak. Jenis-jenis komoditas yang diusahakan sangat tergantung pada kemampuan ekonomi pemilik dan kondisi teknis lahan usahanya. Peta penggunaan Lahan DAS Konaweha, Tahun 24 disajikan pada Lampiran 5. Pemilik lahan dengan latar belakang sosial ekonomi cukup mampu, jenis komoditas yang dominan diusahakan adalah jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi terutama oleh penduduk transmigran dari Jawa dan Bali. Pemilik lahan yang kurang mampu, pemilihan jenis akan tekendala oleh faktor ekonomi sehingga jenis komoditas yang dikelola akan sangat bervariasi. Pola usahatani campuran tersebut sudah sejak lama dibudidayakan oleh sebagian besar petani penduduk lokal. Kombinasi jenis tanaman dominan yang diusahakan tersebut bervariasi antara tanaman hutan, rempah, industri dan hortikultura seperti : kombinasi tanaman (kakao, lada, nangka, jeruk, jambu mete, mangga, rambutan, kelapa, pisang dan gamal); (mangga, rambutan, durian, kelapa, pisang, nangka dan kakao); (kakao, nangka, rambutan, kelapa, jeruk dan gamal); (kakao, rambutan, durian, mangga, kelapa, pisang, langsat, kopi dan jati); (kakao, langsat, kelapa, rambutan, durian, pisang, kemiri, kopi dan jati); dan (kakao, pisang, kelapa, rambutan, lada, kopi, kemiri dan jati) (Alwi, 24). Topografi Keadaan topografi di DAS Konaweha bervariasi mulai dari datar, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Hasil analisis lereng berdasarkan peta topografi menunjukkan beberapa kelas lereng (Tabel 7).

84 Tabel 7. Luas lahan berdasarkan kelas lereng di DAS Konaweha, Tahun 25 Topografi Kelas Lereng (%) Luas Lahan (ha) (%) Datar landai Agak miring Miring Agak curam Curam < > Jumlah Sumber: BPDAS Sampara, 25. Jenis Tanah Jenis tanah paling luas di DAS Konaweha adalah Kambisol Distrik sekitar ha (49.6%) dan jenis tanah paling sedikit adalah Aluvial Teonik seluas ha (PPT Bogor, 1985). Luas lahan berdasarkan jenis tanah di DAS Konaweha, Tahun 25 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas lahan berdasarkan jenis tanah kategori sub group & sub order di DAS Konaweha, Tahun 25 Sub Group Sub Group Sub Order Luas No (PPT) (USDA) ha (%) Oksik Akhrik (OA) Aluvial Distrik (AD) Aluvial Eutrik (AE) Aluvial Terrotik (AT) Gleisol Distrik (GD) Gleisol Eutrik (GE) Kambisol Distrik (KD) Kambisol Eutrik (KE) Kambisol Gleik (KG) Kambisol Oksik (KO) Mediteran Haplik (MH) Mediteran Oksik (MO) Latosol Distrik (ND) Organosol Hemik (OH) Oksik Ertik (OE) Podsolik Gleik (PG) Podsolik Haplik (PH) Podsolik Oksiakuik (PO) Podsolik Xerik (PX) Oksiakuik Distrik Eutrik Terrotik Distrik Eutrik Distrik Eutrik Hidraquentik Oksiakuik Haplik Oksik Distrik Hemik Ertik Plintik Haplik Oksikakuik Xerik Udalfs Orthents Cryalfs Fluvent Ustept Cryalfs Ustept Crysalf Aquept Cryept Xeralf Ustept Ustept Fibrist Ustoll Aquult Ustult Udert Humult 2.956, , ,9 96,2 5.57, , , , ,7 35, Jumlah Sumber: Pusat Penelitian Tanah Bogor (1985)

85 Iklim Unsur-unsur iklim yang dapat mempengaruhi kharakteristik suatu DAS atau Sub DAS adalah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, lama penyinaran, kecepatan angin dan evapotranspirasi. Salah satu unsur iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap proses erosi di daerah tropis adalah curah hujan. Berdasarkan hasil analisis polygon Thiessen, maka daerah tangkapan DAS Konaweha menunjukkan 7 (tujuh) stasiun penakar curah hujan yang berpengaruh di daerah ini yaitu stasiun Kecamatan Abuki, Lambuya, Rate-Rate, Motaha, pondidaha, Mandonga dan stasiun Kecamatan Ranomeeto. Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson (1951), tipe iklim DAS Konaweha termasuk tipe iklim A, B, C dan G. Sebaran tipe iklim berdasarkan stasiun pengukuran disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Stasiun Abuki Lambuya Rate-Rate Motaha Pondidaha Mandonga Woltermonginsidi Sebaran tipe iklim berdasarkan stasiun pengukuran di DAS Konaweha, Tahun 25 Luas Tipe Iklim ha % Sumber: BPDAS Sampara, 25 B A C G B C B Lokasi sampel penelitian tergolong tipe iklim B yang termasuk dalam cakupan stasiun meteorologi Wolter Monginsidi dan Pondidaha. Jumlah curah hujan rata-rata bulanan dan tahunan dan jumlah hari hujan rata-rata bulanan di lokasi sampel penelitian berdasarkan analisis curah hujan periode pada wilayah stasiun meteorologi Wolter Monginsidi disajikan pada Tabel Lampiran 5 dan 6. Keadaan curah hujan bulanan periode di wilayah stasiun ini disajikan pada Gambar 6. Untuk stasiun Pondidaha (tidak tersedia data).

86 Keadaaan Curah Hujan Rata-Rata Tahun Jumlah CH Rata-Rata (mm/bln) J F M A M J J A S O N D Jumlah Hari Hujan setiap Bulan Gambar 6. Keadaan curah hujan bulanan di DAS Konaweha periode Hidrologi Karakteristik suatu DAS dapat dicirikan oleh kondisi hidrologis DAS tersebut. Kondisi hidrologis pada dasarnya merupakan gambaran tata air termasuk distribusi, sirkulasi dan pengaruhnya terhadap erosi dan sedimentasi serta gambaran keadaan tanah dan topografi di wilayah tersebut yang sedikit banyak mempengaruhi tata air. DAS Konaweha merupakan sumber air yang sangat penting karena selain terdapat bendungan irigasi Wawotobi yang digunakan untuk mengairi sawah seluas ha yang meliputi 3 (tiga) wilayah kecamatan (Unaaha, Wawotobi dan Pondidaha) juga merupakan sumber air minum PDAM Kodya Kendari. Adapun suatu DAS atau Sub DAS dikatakan baik, apabila tata airnya dicirikan oleh fluktuasi debit maksimum dan minimum rendah, kuantitas dan kualitas air baik, erosi dan sedimentasi rendah serta kerusakan dari satu bagian DAS dapat diatasi oleh bagian yang lainnya atau lentur (resilience) dan produktivitas lahan tinggi secara terus menerus (sustainable).

87 Aspek Sosial Ekonomi Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk di wilayah DAS Konaweha jiwa yang terdiri dari pria dan wanita. Kepadatan penduduk masih relatif rendah yaitu rata-rata 72 jiwa/km 2 dengan laju pertumbuhan pada Tahun dan Tahun sebesar 1.78 % (BPS Sultra, 24). Jumlah penduduk pria dan wanita setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 24 disajikan pada Tabel 1, dan kepadatan penduduk disajikan pada Tabel 11. Tabel 1. Jumlah penduduk pria dan wanita setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 No. Kecamatan Pria (jiwa) Wanita (jiwa) Jumlah (jiwa) Ratio Pria/wanita Ladongi Unaaha Wawotobi Lambuya Ranomeeto Landono Sampara Abuki Pondidaha Jumlah Sumber : BPS Sultra, Tabel 11. Kepadatan penduduk setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 No Kecamatan Ladongi Unaaha Wawotobi Lambuya Ranomeeto Landono Sampara Abuki Pondidaha Jumlah Penduduk (KK) (jiwa) Luas Wilayah (km 2 ) Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) Jumlah Sumber : BPS Sultra,

88 Tenaga Kerja dan Mata Pencaharian Keadaan tenaga kerja suatu wilayah ditentukan oleh komposisi umur penduduk. Angkatan kerja berdasarkan kelas umur dapat dikategorikan ke dalam tenaga kerja produktif (berusia tahun) dan tenaga kerja tidak produktif (berusia < 15 tahun dan > 55 tahun). Jumlah tenaga kerja poduktif dan tidak produktif setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 24 disajikan pada Tabel 12. Mata pencaharian penduduk pada umumnya petani ( KK) atau 6% dari jumlah penduduk di wilayah ini ( KK) dengan luas pemilikan lahan rata-rata 1.58 ha. Luas pemilikan lahan rata-rata petani (ha/kk) menurut kecamatan di DAS Konaweha disajikan pada Tabel 13. Tabel 12. Jumlah tenaga kerja produktif dan tidak produktif setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 No. Kecamatan Tenaga Kerja (jiwa) Produktif Tidak Produktif Jumlah (jiwa) Ladongi Unaaha Wawotobi Lambuya Ranomeeto Landono Sampara Abuki Pondidaha Jumlah Sumber : BPS Sultra, 24 Tabel 13. Luas pemilikan lahan petani setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun No Kecamatan Jumlah Petani (KK) Ladongi Unaaha Wawotobi Lambuya Ranomeeto Landono Sampara Abuki Pondidaha Luas Lahan (ha) Luas Lahan Rata-rata (ha) Jumlah Sumber : BPDAS Sampara, 25

89 Pendapatan Rumah Tangga Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar penduduk di daerah penelitian. Sektor pertanian yang menjadi andalan adalah tanaman perkebunan (kebun campuran dan perkebunan monokultur kakao, lada dan kopi). Adapun mata pencaharian lainnya adalah berdagang, pegawai negeri sipil, pensiunan AU, dll. Pendapatan penduduk di wilayah ini masih tergolong rendah yaitu rata-rata dari seluruh kecamatan sebesar Rp ,-/KK/th atau di bawah nilai UMR Sulawesi Tenggara (Rp 22.5/HOK setara Rp /th) dan nilai UMR Kabupaten Kendari (Rp 17.5/HOK atau Rp 6.3.-/th). Adapun pendapatan rata-rata petani sebasar Rp /KK/th, bahkan lebih rendah dari nilai UMR Kabupaten Kendari. Pendapatan penduduk dan petani rata-rata setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. N. Kecamatan Ladongi Unaaha Wawotobi Lambuya Ranomeeto Landono Sampara Abuki Pondidaha Pendapatan penduduk dan petani setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 Jumlah Penduduk (KK) Pendapatan penduduk (Rp//KK/th) Jumlah Petani (KK) Pendapatan petani (Rp/KK/th) Rata-rata Sumber : BPDAS Sampara, 25 Persepsi Penduduk terhadap Lingkungan Masyarakat di wilayah ini pada dasarnya telah memahami pentingnya kondisi lingkungan yang baik untuk kehidupan. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, maka masyarakat pada umumnya berupaya untuk menciptakan lingkungan yang segar dengan menanam berbagai jenis pohon baik

90 di pekarangan rumah maupun lahan usahatani berupa kebun campuran. Bahkan sebagian besar masyarakat telah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap terjadinya erosi pada lahan berlereng. Untuk itu, upaya-upaya konservasi tanah dan air yang ditujukan untuk pencegahan erosi maupun pemeliharaan kesuburan tanah terhadap lahan usahatani sudah dilakukan, meskipun masih terbatas seperti pembuatan teras pada lahan-lahan berlereng dan pemanfaatan bahan organik sebagai mulsa dan pupuk hijau. Persepsi masyarakat terhadap hutan adalah merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara bebas tanpa memahami peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pemanfaatannya. Meskipun masyarakat mengetahui bahwa perambahan kawasan hutan dan penebangan secara tidak legal tidak dibolehkan, tetapi pemahaman fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau masih sangat rendah. Kegiatan pemungutan hasil hutan berupa kayu bakar dilakukan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jenis kayu yang diambilnya adalah jenis perdu, cabang-cabang dan ranting pohon sampai pada akhirnya menebang pohon. Kegiatan-kegiatan tersebut menyebabkan kondisi hutan mengalami tekanan pembukaan hutan yang menciptakan lahan-lahan perladangan. Lahan ini pada awalnya cukup sempit, akan tetapi kebutuhan yang terus meningkat mendorong mereka untuk memperluas lahan garapannya, meskipun pengelolaan tanah sebagian besar petani telah melakukan tindakan konservasi pada lahan-lahan berlereng. Dalam perkembangannya pemanfaatan lahan hutan tidak hanya terbatas pada pemanfaatan tanaman semusim, tetapi juga untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri, rempah, dan buah-buahan. Dengan penanaman tanaman tahunan tersebut, pada akhirnya mereka mengklaim sebagai pemilik lahan (Manan 1999). HASIL DAN PEMBAHASAN

91 Kharakteristik Sistem Agroforestry Sistem Agroforestry Ditinjau dari Komponen Penyusun Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa komponen penyusun sistem agroforestry di wilayah DAS Konaweha secara umum dikelompokkan ke dalam: 1) Komoditi tanaman tahunan (perennial crop), terdiri atas tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan tanaman kehutanan, dan 2) komoditi tanaman pakan berupa pohon, semak dan rumput-rumputan dan/atau ternak. Karena itu, jika ditinjau dari komponen penyusunnya maka sistem agroforestry yang diterapkan petani di wilayah ini terdiri atas empat tipe yaitu: sylvopastoral-p, agrosylvicultural-p, agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m. Komposisi jenis komoditi penyusun setiap tipe sistem agroforestry dan hutan disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 7. Peta lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 51. Tabel 15. Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Komposis jenis komoditi dan Hutan Sylvopastoral-p Kk+Ld+Ck+Kl+Jm+Rb+Dr+Mg+Nk+Gm+rp+Sp Agrosylvicultural-p Rb+Jr+Mg+Dr+Nk+Ps+Kd+Sgn+Jt+rp Kk+Ld+Kp+Ck+Kl+Rb+Dr+Ls+Mg+Py+Sk+Km+Jt+ Gm+sm+rp Agrosylvicultural-m Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Rb+Dr+Ls+Mg+Sr+Sk+Km+Jt+Sg+sm+rp Kk+Ld+Kl+Jm+Nn+Rb+Dr+Mg+Ls+Kd+Km+Sgn+Jt+Kbt+Gm+sm+rp Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+sm+rp+Sp Sylvopastoral-m Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+ Pn+sm+rp+Sp Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+Pn+Sg+sm+rp+Sp Hutan Dm+Jth+Kbs+Klp+Klw+Dmk+Cpk+Kbt+Ka+Da+ Pli+Ghr+Jt+An+sm+rp Ket : Kk: kakao, Ld: lada, Ck: cengkeh, Kp: kopi, Kl: kelapa, Jm: jambu mete, Jr: jeruk, Rb: rambutan, Dr: durian, Mg: mangga, Nk: nangka, Ps: pisang, Py: pepaya, Nn: nanas, Kd: kedondong, Pn : pinang, Sg: sagu, Km: kemiri, Sgn: sengon, Jt: jati, Dm: damar, Jth: jati hutan, Ghr: gaharu, Kbs: kayu besi, Klp: kalapi, Klw: kayu lawang, Dmk: damar mata kucing, Cpk: cempaka, Kbt: kayu bitti, Ka: kayu angin, Da: dao, Pli: pulai, Gm: gamal, sm: semak, rp: rumput, Sp: sapi. Tipe sylvopastoral-p dicirikan oleh komposisi jenis komoditi penyusunnya yang terdiri dari tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, tanaman pakan (pohon dan rerumputan) dan ternak sapi. komponen penyusun tersebut dapat membedakannya dari tipe sistem agroforestry lainnya, meskipun menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan tata letak seperti; komponen buah-buahan ditanam

92 pada batas lahan, secara campuran atau secara parsial dengan jarak tanam teratur. Tipe sistem agroforestry ini didominasi oleh tanaman perkebunan dan industri seperti: kakao dan lada. Usaha ternak sapi pada tipe ini dilakukan dengan sistim kandang sehingga kotoran sapi yang dihasilkan dapat terkumpul yang kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk organik. Pola tanam tipe sylvopastoral-p secara umum ditunjukkan pada Lampiran 52. Tipe agrosylvicultural-p dicirikan oleh komposisi jenis tanaman buahbuahan dan kehutanan. Komponen tanaman penyusunnya menunjukkan perbedaan-perbedaan tata letak seperti; tanaman kehutanan ditanam di sekeliling batas lahan atau secara parsial maupun campuran dengan jarak tanam teratur. Sistem agroforestry tipe ini didominasi oleh tanaman rambutan dan durian. Produksi tanaman buah-buahan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok petani sedangkan produksi kayu dari tanaman kehutanan ditujukan untuk tujuan investasi jangka panjang. Pola tanam tipe agrosylvicultural-p disajikan pada Lampiran 53. Tipe agrosylvicultural-m merupakan sistem agroforestry yang memiliki karakteristik khas sebagai multystrata system (agroforest) yang dikelola secara tradisional. Komponen penyusun tipe ini terdiri atas kombinasi tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan tanaman kehutanan yang ditanam secara campuran maupun parsial dengan jarak tanam tidak teratur. Jenis tanaman kehutanan yang ditanam pada tipe ini, terutama ditujukan untuk produksi non kayu seperti: sukun, kemiri, dan sagu. Produksi tanaman tersebut umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, terutama tanaman sagu. Pohon sagu tumbuh secara alami di sepanjang saluran air dan tepungnya digunakan untuk konsumsi makanan pokok pengganti beras bagi penduduk asli. Selain itu, pada tipe ini djumpai pula jenis tanaman kehutanan yang ditujukan untuk produksi kayu seperti: jati dan kayu bitti. Kedua jenis tanaman ini umumnya tumbuh secara alami dan diperuntukkan sebagai investasi jangka panjang. Adapun tanaman perkebunan dan industri yang banyak dijumpai pada tipe ini adalah kakao, cengkeh dan kelapa, sedangkan tanaman buah-buahan didominan oleh langsat. Tipe sylvopastoral-m memiliki kharakteristik khas agroforest atau multystrata systems yang tidak berbeda dengan agrosylvicultural-m, akan tetapi

93 pada tipe ini selain terdapat komponen tanaman, juga sapi sebagai ternak peliharaan sehingga dikategorikan ke dalam tipe sylvopastoral-multystrata system (sylvopastoral-m). Komponen penyusunnya terdiri dari komoditi tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, dan tanaman kehutanam. Jenis tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan kehutanan yang dominan pada tipe ini berturut-turut: kakao, durian dan jati. Ternak sapi pada tipe ini digembalakan secara lepas, sehingga kotoran sapi yang dihasilkan berupa pupuk organik tidak merata di seluruh lahan. Hutan sebagai kontrol, merupakan hutan alam dengan faktor-faktor lingkungannya mempunyai pengaruh selektif terhadap pertumbuhan vegetasi sehingga jenis-jenis pohon yang tumbuh secara alamiah sangat terbatas, meskipun komunitas tumbuh-tumbuhannya masih bervariasi. Sistem Agroforestry Ditinjau dari Struktur Vegetasi Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha disajikan pada Tabel 16 dan Lampiran 8). Tabel 16. Sistem agroforestry & Hutan Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Strata tajuk* B C A B A B C A B C A B C Kerapatan (ph/ha) Sylvopastoral-m Intensitas perakaran* dangkal - dalam dangkal - sangat dalam dangkal - sangat dalam dangkal - sangat dalam Hutan sangat dalam 3% Tanaman penutup tanah semak rumput 1% 25% Ketebalan Serasah* 4% sedang 2% tipis agak tebal 1% 25% agak tebal 7% tebal Ket : * Kriteria : strata tajuk, intensitas perakaran, dan ketebalan serasah (Tabel Lampiran 9) Tabel 16 menunjukkan bahwa struktur vegetasi tipe sylvopastoral-p secara umum terdiri atas dua lapisan tajuk yaitu: strata B dan C. Strata B adalah lapisan tajuk paling atas yang dibentuk oleh tanaman buah-buahan dengan tinggi pohon 1

94 15 m. Strata C merupakan lapisan tajuk di bawah strata B yang dibentuk oleh tanaman kakao dan gamal/lada dengan tinggi pohon < 1 m. Kerapatan tanaman pada tipe ini dijumpai lebih tinggi (1.781 phn/ha) dari tipe agrosylvicultural-p (455 phn/ha) maupun agrosylvicultural-m (1.165 phn/ha) dengan jarak tanam teratur dan sistem perakaran dangkal sampai dalam. Penutupan tanah oleh rumput dengan luasan sekitar 4% dan ketebalan serasah di permukaan tanah tergolong sedang (Lampiran 54). Tipe agrosylvicultural-p memiliki dua lapisan tajuk, yaitu strata A dan B. Strata A dibentuk oleh tanaman kehutanan (jati, sengon dan kedondong) dan buahbuahan (durian) dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman buah-buahan yang terdiri dari rambutan, mangga dan nangka dengan tinggi pohon 1 15 m. Selain itu, pada tipe ini terdapat tanaman jeruk dan pisang yang ditanam secara parsial sehingga tajuk kedua tanaman ini tidak berada persis di bawah lapisan strata B maupun A. Jenis tanaman setiap strata memiliki intensitas perakaran yang dalam sampai sangat dalam, kecuali tanaman pisang. Tipe ini memiliki perkembangan perakaran lateral maupun vertikal yang sangat baik karena kerapatan tanaman rendah (455 phn/ha), jarak tanam teratur dan solum tanah yang dalam (+ 1.5 m) sehingga tersedia ruang tumbuh yang cukup bagi pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan tanaman berupa penyiangan rumput dilakukan secara rutin sehingga penutupan permukaan tanah oleh rerumputan dengan luasan sekitar 2% dan ketebalan serasah di permukaan tanah tergolong tipis. Kondisi pemeliharaan dan tanaman penutup tanah pada tipe ini ditunjukkan pada Lampiran 55. Tipe agrosylvicultural-m memiliki struktur vegetasi yang terdiri atas tiga lapisan tajuk yaitu: strata A, B dan C. Strata A dibentuk oleh tanaman: jati, kayu bitti, kemiri, sukun, kedondong, durian, langsat dan kelapa dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman: jambu mete, cengkeh, rambutan dan mangga dengan tinggi pohon 1 15 m. Strata C dibentuk oleh tanaman: kakao, kopi, dan sirsak dengan tinggi pohon < 1 m. Tipe ini mempunyai kerapatan pohon (1.165 phn/ha) dengan intensitas perakaran dangkal sampai sangat dalam. Tanaman penutup tanah berupa semak dari jenis paku-pakuan dan rerumputan menutupi lahan + 35% pada ruang-ruang kosong yang terkena cahaya dan serasah

95 tersebar agak tebal di permukaan tanah. Gambaran strata A dan B ditunjukkan pada Lampiran 55. Struktur vegetasi tipe sylvopastoral-m memiliki tajuk berlapis-lapis yang terdiri dari: strata A, B dan C. Strata A dibentuk oleh tanaman jati, kemiri, langsat, durian dan kelapa dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman pinang, jambu mete, cengkeh, rambutan dan mangga dengan tinggi pohon 1-15 m. Strata C dibentuk oleh tanaman kakao dan kopi dengan tinggi pohon < 1 m. Tipe ini mempunyai kerapatan pohon paling tinggi (1.975 phn/ha) dari tipe sistem agroforestry lainnya dengan jarak tanam tidak teratur dan intensitas perakaran tergolong dangkal sampai sangat dalam. Tanaman penutup tanah berupa semak (jenis perdu dan paku-pakuan) dan jenis rerumputan tumbuh secara alami menutupi lahan sekitar 35% pada ruang-ruang kosong yang terkena cahaya dan lapisan serasah tersebar agak tebal dipermukaan tanah. Gambaran lapisan tajuk strata A dan B ditunjukkan pada Lampiran 55. Hutan memiliki struktur vegetasi dengan lapisan tajuk yang rapat dan berlapis-lapis yang terdiri dari: strata A, B dan C. Tipe vegetasi ini mempunyai kerapatan pohon yang tinggi (2.125 phn/ha) dan lapisan serasah pada lantai hutan yang tergolong tebal, tetapi tanaman penutup tanah seperti semak dan rerumputannya rendah (1%). Rendahnya tanaman penutup tanah tersebut disebabkan oleh kurangnya cahaya yang dapat menembus ke lantai hutan dan serasah yang tebal menutupi permukaan tanah sehingga menghambat pertumbuhan semak maupun rerumputan. Bentuk dan jenis tanaman dalam sistem agroforestry yang heterogen dan terdapat perbedaan umur sehingga membentuk multistrata dengan penutupan tajuk yang rapat. Keanekaragaman jenis yang tinggi adalah merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa jenis pohon mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dalam menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya (Odum, 1993).

96 Sistem Agroforestry Ditinjau dari Tujuan Sosial Ekonomi Berdasarkan tujuan sosial ekonomi, sistem agroforestry di lokasi penelitian terdiri atas tiga kelompok yaitu : 1) usahatani subsisten, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri, teknologi yang digunakan bersifat tradisional secara turun temurun seperti; menggunakan berbagai macam jenis bibit lokal, belum berorientasi pasar, dan pengelolaan usahatani belum memperhitungkan besarnya input berupa modal uang tunai dan tenaga kerja yang digunakan serta output berupa produksi yang dihasilkan; 2) usahatani intermediet, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan memperoleh tambahan pendapatan, sudah menggunakan teknologi berupa pengolahan tanah, pengaturan jarak tanam, penyiangan gulma, penggunaan pupuk meskipun belum sesuai anjuran, masih menggunakan bibit lokal, pemilihan jenis komoditi belum sepenuhnya memperhitungkan permintaan pasar dan besarnya input yang dikorbankan serta output yang diperoleh; 3) usahatani komersial, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, telah melakukan pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pengaturan jarak tanam, penyiangan gulma, penyulaman, penggunaan pupuk sesuai jenis dan dosis anjuran bagi setiap tingkat pertumbuhan tanaman, pemilihan jenis komoditi telah memperhitungkan permintaan pasar, sudah menerapkan teknologi pasca panen, dan pengelolaan usahatani sepenuhnya memperhitungkan besarnya input yang dikorbankan dan output yang diperoleh. Sistem agroforestry di lokasi pengamatan seluas ha yang terdiri atas 252 ha sylvopastoral-p, 2 ha agrosylvicultural-p, 24 ha agrosylvicultural-m dan 364 ha sylvopastoral-m dengan jumlah petani keseluruhan 785 KK sehingga luas kepemilikan lahan rata-rata 1.1 ha/kk (Tabel 17). Tabel 17 menunjukkan bahwa sylvopastoral-p merupakan tipe sistem agroforestry yang paling banyak diusahakan petani (336 KK) tetapi luas lahan milik petani rata-rata paling kecil (.75 ha/kk). Tipe ini telah dikelola secara intensif yang kebanyakan bertujuan komersial. Jumlah petani sampel sistem agroforestry berdasarkan tujuan sosial ekonomi disajikan pada Tabel 18.

97 Tabel 17. Luas lahan dan jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry pada lokasi pengamatan di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Luas lahan (ha) Jumlah petani (KK) Luas pemilikan lahan rata-rata (ha/kk) Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Jumlah Tabel 18. Jumlah petani sampel sistem agroforestry setiap tipe berdasarkan tujuan sosial ekonomi di DAS Konaweha, Tahun 25 Jumlah petani sampel berdasarkan tujuan sosial-ekonomi (KK) Sistem agroforestry Komersial Intermediet Subsisten Total KK % KK % KK % KK % Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Total Tabel 18 menunjukkan bahwa pengelolaan sistem agroforestry dari seluruh tipe yang diusahakan petani di lokasi pengamatan kebanyakan dilakukan secara subsisten (44.3%), akan tetapi pengelolaan secara komersial sudah banyak dilakukan pada tipe sylvopastoral-p (2.25%) atau hampir 5% (16 KK dari 34 KK) petani sampel yang mengusahakan tipe ini. Petani sistem agroforestry tipe sylvopastoral-p merupakan komunitas transmigran asal Pulau Bali yang sudah terbiasa dengan pengelolaan pertanian intensif dari daerah asalnya. Selain itu, masyarakat Bali memiliki sosial-budaya yang sangat berbeda dengan penduduk setempat terutama dalam aspek ritual. Kebiasaan (sosial budaya) tersebut, menuntut mereka untuk melakukan usaha produktif agar kebutuhan akan hal tersebut dapat terpenuhi. Jenis komoditi penyusun tipe sylvopastoral-p sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terdiri dari tanaman perkebunan dan industri seperti: kakao, lada dan cengkeh yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan pengelolaan secara intensif. Demikian halnya jenis tanaman buah-buahan yang diusahakan oleh

98 petani untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan meningkatkan proroduksi dan pendapatannya. Selain itu, pada tipe ini dijumpai pula ternak sapi yang diusahakan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan sewaktu-waktu yang berjumlah besar seperti kebutuhan pendidikan, sosial budaya dan keagamaan. Ketiga tipe agrosylvicultural-p, agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m umumnya masih diusahakan secara subsisten karena keterbatasan modal untuk menciptakan pengelolaan usahatani komersial. Selain itu, terdapat anggapan oleh sebagian masyarakat bahwa sistem agroforestry merupakan kombinasi tanaman tahunan, baik antara tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan dan industri maupun dengan tanaman buah-buahan atau kombinasi dari ketiga komponen tanaman tersebut membuat keberadaan vegetasinya menyerupai kondisi hutan dengan keadaan tajuk berlapis-lapis dan terdapat hamparan serasah yang tebal di permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya siklus hara dan energi (bahan organik) secara terus-menerus sehingga memungkinkan pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan tetap berlangsung, meskipun tidak optimal. Hal ini mendorong petani merasa tidak perlu melakukan pemupukan dan pemberian input lainnya dalam pengelolaan sistem agroforestry subsisten. Berdasarkan uraian komponen penyusun sistem agroforestry diatas, maka sistem agroforestry di lokasi penelitian memiliki ciri dan kharakteristik yang sama dengan sistem agroforestry yang dikemukakan oleh Nair (1989) bahwa sistem agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial ekonomi dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan/atau hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan marginal. Pengaruh Sistem Agroforestry terhadap Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Erosi di DAS Konaweha Sifat-Sifat Tanah Analisis statistik menunjukkan bahwa keempat tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani tidak berpengaruh nyata terhadap berat isi (kedalaman

99 3 cm dan > 3 cm), porositas (kedalaman 3 cm), dan ph tanah, namun sistem agroforestry tersebut nyata meningkatkan indeks stabilitas agregat, porositas (kedalaman > 3 cm), bahan organik, C-organik, dan total mikroorganisme tanah (Tabel 19 dan 2, Lampiran 1 18 dan 25 29). Tabel 19. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat fisik tanah di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry & hutan Berat isi kedalaman (cm) Indeks stabilitas agregat Porositas kedalaman (cm) - 3 > 3-3 > 3...(g/cm 3 ) (%) Sylvopastoral-p.97a 1.17a bc a c Agrosylvicultural-p 1.1a 1.2a 41. c a a Agrosylvicultural-m 1.3a 1.2a bc a bc Sylvopastoral-m.9a 1.17a ab a 43.5 ab Hutan.9a 1.13a a a 44.7 a BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT Peningkatan indeks stabilitas agregat, bahan organik, C-organik, dan mikroorganisme tanah paling tinggi dijumpai pada tipe sylvopastoral-m (Tabel 19 dan 2). Tingginya sifat-sifat tanah tersebut pada tipe sylvopastoral-m disebabkan oleh kondisi biofisik yang menyerupai hutan, yaitu memiliki strata tajuk yang rapat dan berlapis-lapis, kerapatan pohon yang tinggi (1.975 phn/ha), dan tingginya intensitas perakaran dangkal sampai sangat dalam, tanaman penutup tanah berupa semak dan rumput dan serasah dipermukaan yang agak tebal (Tabel 16) sehingga sangat mendukung terciptanya kelembaban tanah yang memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme tanah. Selain itu, pupuk kandang yang terdistribusi dari 2 ekor sapi yang di digembalakan di dalamnya dapat menambah bahan organik sehingga meningkatkan ketersediaan sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme tanah dan meningkatkan jumlah aktivitas metabolik organisme yang pada hakekatnya sangat membantu peningkatan produktivitas tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Parr et al. (1983) yang menunjukkan bahwa selama periode lima tahun mengembangkan dan mempertahankan 7 ekor sapi perah pada lahan pertanian seluas 16 acre

100 menghasilkan pupuk kandang lebih dari 8 ton/tahun atau sekitar ton/ekor/tahun dan memberikan produksi susu rata-rata 2 pon/ekor. Demikian pula Copley et al. (1944 dalam Arsyad, 2) menyebutkan bahwa diperlukan sedikitnya 18 ton/ha/th pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan sifat kimiawi dan biologis tanah. Oleh karena itu, kondisi pada tipe sylvopastoral-m ini dapat menciptakan kondisi sifat fisik tanah yang optimum untuk perkembangan makro dan mikroorganisme tanah. Tabel 2. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat kimia dan mikroorganisme tanah di DAS Konaweha, Tahun 25 Bahan Sistem agroforestry C-organik Total organik ph & hutan tanah mikroorganisme tanah (%) (%) (x 1 7 spc/g) Sylvopastoral-p 2.6 c 1.31 bc 4.46a 1.9 c agrosylvicultural-p 1.9 c 1.1 c 4.52a.9 c agrosylvicultural-m 2.59 cb 1.5 b 4.48a 6.7 c Sylvopastoral-m 2.77 b 1.61 ab 4.51a 66.3 b Hutan 4.1 a 1.91 a 4.45a a BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT Makro dan mikroorganisme tanah sangat berperan dalam peningkatan bahan organik tanah. Makroorganisme berperan langsung terhadap perombakan bahan asal menjadi bahan yang lebih kecil dan selanjutnya bahan tersebut oleh mikroorganisme tanah dirombak menjadi bahan organik tanah yang merupakan perekat butir-butir primer tanah (Boyle et al. 1989). Mekanisme perekatan tersebut, oleh mikroorganisme tanah terutama fungi dengan hifanya yang panjang dan mengeluarkan eksudat berupa polisakarida menjerat partikel-partikel tanah ke dalam agregat-agregat mikro yang stabil (Tisdall dan Oades, 1982). Oleh karena itu, tanah dengan kandungan mikroorganisme yang tinggi menunjukkan bahan organik yang tinggi. Dengan demikian, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi akan memiliki kemantapan agregat tanah yang tinggi pula. Sesuai pendapat Tisdall dan Oades (1982) bahwa pengaruh bahan organik terhadap sifatsifat tanah telah banyak diketahui antara lain secara fisik dapat meningkatkan

101 kemampuan tanah menahan air, merangsang granulasi, memantapkan agregat tanah, menurunkan kohesi, plastisitas dan menekan sifat-sifat buruk lainnya. Disamping itu, terlihat bahwa bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral tanah oleh asam-asam organik dan anorganik, serta menambah kandungan hara di dalam tanah terutama Nitrogen dan Posfor. Namun demikian peningkatan bahan organik dan besarnya akumulasi karbon di dalam tanah sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi. Peningkatan porositas tanah pada kedalaman > 3 cm paling tinggi pada agrosylvicultural-p, meskipun tidak berbeda secara signifikan dengan sylvopastoral-m maupun hutan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh akar pohon yang lebih berperan dari kombinasi pohon buah-buahan dan kehutanan yang memiliki perakaran yang dalam sampai sangat dalam. Dengan kerapatan pohon yang rendah (455 pohon/ha) dan solum tanah yang dalam memberikan ruang tumbuh yang leluasa untuk perkembangan akar lateral maupun vertikal yang cukup baik. Oleh karena itu, kondisi ini memungkinkan pembentukan ruangruang pori yang cukup besar pada kedalaman > 3 cm. Hal ini didukung oleh pernyataan Nair (1989) bahwa penanaman tanaman tahunan dengan perakarannya yang relatif dalam akan memungkinkan terciptanya kondisi iklim mikro yang lebih baik dan mampu memperbaiki fungsi hidrologis tanah. Sistem agroforestry yang diusahakan petani mampu meningkatkan dan mempertahankan sifat fisik (stabilitas agregat dan porositas tanah kedalaman > 3 cm), kimia (bahan organik dan C-organik tanah), dan biologi tanah (mikroorganisme tanah). Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik, indeks stabilitas agregat, dan porositas tanah (kedalaman >3 cm) di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 7.

102 Bahan Organik Tanah (%) T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry & Hutan Indeks Stabilitas Agregat T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry & Hutan Porositas Tanah (% ) Kedalaman > 3 cm T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry 44.7 Gambar 7. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik tanah (BOT), indeks stabilitas agregat (ISA) dan porositas tanah (kedalaman >3 cm) di DAS Konaweha, Tahun 25

103 Indikator Hidrologi Sistem agroforestry yang diusahakan petani tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permeabilitas profil, kapasitas infiltrasi dan erosi tanah, tetapi sistem agroforestry nyata menurunkan limpasan permukaan (Tabel 21, Lampiran dan 3-32). Tabel 21. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap indikator hidrologi dan erosi di DAS Konaweha, periode Sistem agroforestry & hutan Tinggi limpasan permukaan Koefisien limpasan permukaan Kapasitas Infiltrasi Permeabilitas Profil Erosi mm cm/jam ton/ha/th Sylvopastoral-p 43.8a b 3.3a 28.3a Agrosylvicultural-p 426.3a b 4.3a 3.3a Agrosylvicultural-m 386.5a ab 5.27a 25.3a Sylvopastoral-m 318.1b ab 5.33a 17.2ab Hutan 256.7b a 6.7a 7.3 b BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT Lebih rendahnya limpasan permukaan pada tipe sylvopastoral-m disebabkan oleh komponen vegetasi pohon penyusun terdiri dari komposisi jenis tanaman yang lebih kompleks sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tipe ini tersusun oleh lapisan tajuk yang rapat sehingga membentuk strata berlapislapis menyerupai hutan. Selain itu, sistem agroforestry tipe ini juga menghasilkan tanaman penutup tanah berupa semak dan rumput tumbuh rapat (35% luasan lahan) serta serasah yang tebal menutupi permukaan tanah (Tabel 16). Kondisi vegetasi pohon dan penutup tanah tersebut mampu menghambat limpasan permukaan sehingga air memperoleh kesempatan lebih lama untuk terinfiltrasi. Hal ini terbukti dari lebih tingginya kapasitas infiltrasi pada tipe ini, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata dengan tipe yang lainnya. Peningkatan kapasitas infiltrasi sangat ditentukan oleh struktur tanahnya yang tergolong gumpal membulat dengan perkembangan lemah dan berukuran halus (weak fine subangular bloky) dengan tekstur lempung-liat berpasir. Selain itu, tingginya kapasitas infiltrasi dapat pula disebabkan oleh meningkatnya populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah yang dapat membentuk celah atau rongga-rongga

104 dan agregat yang stabil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Edwards et al. (1988) yang menunjukkan bahwa aktivitas makro organisme dan mikroorganisme tanah mempunyai kontribusi yang penting dalam meningkatkan proses infiltrasi tanah. Pengaruh kemiringan lereng terhadap indikator hidrologi dan erosi ( Tabel 22) menunjukkan bahwa kemiringan lereng 3% secara nyata meningkatkan limpasan permukaan dan erosi pada sistem agroforestry dan hutan. Limpasan permukaan dan erosi menunjukkan perbedaan yang signifikan antara lereng 2% dengan lereng 3%. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh sistem agroforestry yang diusahakan petani di lokasi penelitian kurang mampu menghambat limpasan permukaan dan erosi pada kemiringan lereng > 3%, meskipun kapasitas infiltrasi dan permeabilitas cenderung meningkat dengan meningkatnya kemiringan lereng. Sebagaimana dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (21) bahwa suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput tebal atau rimba yang lebat akan menghambat atau menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap limpasan permukaan dan erosi. Namun demikian sifat-sifat tanah juga besar pengaruhnya seperti; erodibilitas tanah, dimana makin besar nilai erodibilitas suatu tanah makin peka tanah tersebut terhadap erosi. Tabel 22. Pengaruh Kemiringan lereng terhadap indikator hidrologi dan erosi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Indikator hidrologi dan erosi Kemiringan lereng (%) BNT.5 Limpasan permukaan (mm) b 355. ab 41.4 a 94.5 Coef. Limpasan permukaan Kapasitas infiltrasi (cm/jam) 6.5 a 7.4 a 8.5 a Permeabilitas profil (cm/jam) 3.7 a 5.2 a 5.9 a Erosi (ton/ha/th) 16.1 b 2.6 ab 28.9 a 9.6 Ket: Angka-angka dalam baris yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT. CH yang menimbulkan limpasan permukaan dan erosi : mm Sistem agroforestry nyata meningkatkan efektifitas dalam menekan limpasan permukaan dan erosi (Tabel 23, Lampiran 33 dan Gambar 8). Efektifitas penutupan lahan dari sistem agroforestry dalam menekan limpasan permukaan

105 sangat ditentukan oleh luas penutupan dan kerapatan tajuk dari setiap bentuk dan kharakteristik komponen tanaman penyusunnya. Tabel 23. Efektifitas sistem agroforestry dan hutan dalam menekan limpasan permukaan di DAS Konaweha, periode Sistem agroforestry & hutan Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylviculturalm Sylvopastoral-m Hutan Keterangan : Rata-rata limpasan permukaan Coefisien limpasan permukaan Efektifitas menekan limpasan permukaan (mm) (%) Total curah hujan : mm Total curah hujan yang mengakibatkan limpasan : mm Efektivitas menekan limpasan (% ) T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry Gambar 8. Efektivitas sistem agroforestry dan hutan dalam menekan limpasan permukaan di DAS Konaweha, periode Tabel 23 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa Tipe sylvopastoral-m (T4) paling efektif menekan limpasan permukaan dibandingkan dengan ketiga tipe sistem agroforestry lainnya. Hal ini disebabkan oleh peranan penutupan tajuk dari

106 komposisi jenis tanaman yang lebih kompleks dan rapat membentuk strata berlapis-lapis menyerupai hutan. Selain itu, tanaman penutup tanah berupa semak dan rumput juga tumbuh rapat (35%) dan serasah yang tebal menutupi permukaan tanah. Kondisi vegetasi pohon dan tanaman penutup tanah tersebut mampu menghambat limpasan permukaan dan memberi kesempatan melalukan air ke dalam tanah sebagai infiltrasi. Erosi dan Erosi yang dapat Ditoleransikan (ETol) Hasil pengamatan erosi dan ETol (Tabel 24, Lampiran 22 dan 24, dan Gambar 9) menunjukkan bahwa erosi yang terjadi pada setiap tipe sistem agroforestry masih berada di bawah ETol, kecuali tipe agrosylvicultural-p pada lereng 3%. Tingginya erosi yang terjadi pada tipe dan kemiringan lereng tersebut, disebabkan oleh tingkat penutupan vegetasi yang relatif lebih terbuka (kerapatan pohon rendah, 455 pohon/ha) dan struktur pohon yang memiliki strata tajuk yang tinggi dari permukaan tanah (strata A dan B) sehingga cenderung kurang efektif mengurangi daya/energi perusak butir-butir hujan yang jatuh. Disamping itu, vegetasi rumput di permukaan tanah hanya memiliki persentase penutupan 2% akibat tindakan penyiangan secara rutin yang dilakukan oleh petani (Tabel 16). Dengan demikian, penutupan lahan pada tipe ini tidak optimal mengendalikan erosi pada kemiringan lereng 3% hingga di bawah ETol. Sesuai pernyataan Stalling (1959) bahwa pengaruh tanaman terhadap erosi ditentukan oleh jenis tanaman, kerapatan dan distribusi tanaman. Pengaruh jenis tanaman terhadap erosi ditentukan oleh kanopi dan perakarannya, sedangkan kerapatan dan distribusi tanaman menunjukkan banyaknya permukaan tanah yang terlindung dari pukulan butir-butir hujan. Tanaman yang tinggi biasanya menyebabkan erosi lebih besar, karena air yang tertahan oleh tajuk tanaman masih dapat merusak tanah pada waktu jatuh ke permukaan. Sebaliknya pada tipe sylvopastoral-m, erosi yang terjadi jauh lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan pada semua tingkat kemiringan lereng, sehingga dapat dikatakan cukup efektif mengendalikan erosi pada kemiringan lereng > 3%. Hal ini disebabkan oleh pengaruh penutupan vegetasi pohon yang terdiri dari komposisi tanaman yang menciptakan penutupan tajuk berlapis (strata

107 A, B, dan C), semak dan rumput tumbuh subur (35%) dan serasah yang agak tebal di permukaan tanah. Menurut Sinukaban (1999), penutupan oleh tajuk tanaman dapat membantu mengimbangi pengaruh curah hujan terhadap aliran permukaan dan erosi. Ditambahkan oleh Arsyad (2) bahwa vegetasi rumput dan semak belukar yang rapat menutupi lahan dapat menghambat proses penghancuran tanah (soil detachment) oleh energi kinetik hujan dan atau limpasan permukaan sehingga dapat memperkecil laju erosi. Tabel 24. Erosi aktual dan ETol pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Sistem agroforestry & hutan Erosi ETol Erosi ETol Erosi ETol lereng 2% lereng 12% lereng 3% ton/ha/th Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p * 35.6 Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Hutan Ket : * Erosi > ETol Gambar 9 menunjukkan bahwa erosi meningkat seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng. Peningkatan erosi pada lereng 2% dan 12% terjadi secara drastis pada sylvopastoral-p (T1), agrosylvicultural-p (T2) dan agrosylvicultural-m (T3) meskipun masih lebih kecil dari ETol. Selanjutnya, pada lereng 3% erosi semakin meningkat, bahkan pada tipe agrosylvicultural-p erosi meningkat tajam hingga melebihi ETol. Pada kondisi ini penutupan lahan tipe agrosylvicultural-p tidak mampu lagi menekan erosi hingga di bawah ETol. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan merupakan media untuk pertumbuhan tanaman dan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Oleh karena itu, indikasi awal terjadinya degradasi lahan dapat dilihat apabila besarnya erosi yang terjadi lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol). Adapun ETol merupakan laju erosi yang terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi secara lestari.

108 ton/ha/th T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry Erosi ETol K ton/ha/th T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry Erosi ETol K2 ton/ha/th T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry Erosi ETol K3 Keterangan: kemiringan lereng K1 : 2%, K2 : 12% dan K3 : 3%. Gambar 9. Erosi dan ETol pada sistem agroforestry dan hutan setiap tingkat

109 kemiringan lereng di DAS Konaweha, periode Analisis Vegetasi Sistem Agroforestry di DAS Konaweha Nilai penting jenis (NPJ) Hasil analisis NPJ sistem agroforestry dari jenis pohon dua urutan tertinggi disajikan pada Tabel 25 dan selengkapnya disajikan pada Lampiran 34. Tabel 25. Nilai penting jenis vegetasi pohon pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry & hutan Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Hutan Jenis tanaman* Kakao Lada Durian Rambutan Kakao Cengkeh Langsat Kakao Damar Kalapi KR (%) FR (%) DR (%) NPJ (%) Keterangan : * : memiliki NPJ dua urutan tertinggi KR: Keraparatan relatif, FR: Frekuensi relatif, dan DR: Dominansi relatif Tabel 25 memberikan gambaran bahwa tipe sylvopastoral-p memiliki jumlah (komposisi) jenis dan struktur vegetasi relatif sama dengan agrosylvicultural-p yang ditunjukkan oleh NPJ pohon tertinggi (73. dan 74.5). Demikian pula untuk tipe agrosylvicultural-m, sylvopastoral-m, dan hutan dengan NPJ pohon tertinggi (59.4, 5.3 dan 53.). Karena NPJ merupakan penjumlahan dari KR, FR, dan DR, maka total biomassa suatu komunitas dapat dicerminkan oleh jenis tanaman yang memiliki NPJ tertinggi dari penyusun komunitas (sistem agroforestry) tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Odum (1959 dalam Soerianegara dan Andry, 1998) bahwa jenis-jenis yang dominan di dalam komunitas menentukan besarnya total biomassa komunitas tersebut. Selanjutnya menurut Rahayu et al. (25), suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri atas jenis-jenis pohon dengan kerapatan tinggi akan memiliki biomassa dan karbon yang lebih tinggi dibandingkan jenis pohon pada kerapatan rendah dengan diameter batang yang sama.

110 Biomassa Total dan Tambatan Karbon (C) Vegetasi Hasil pendugaan biomassa total, tambatan karbon vegetasi dan tanah (kedalaman -2 cm) berdasarkan persamaan allometrik dan penetapan kadar karbon vegetasi (Lampiran 36) menunjukkan bahwa sistem agroforestry nyata meningkatkan biomassa total, tambatan karbon vegetasi dan tanah (Tabel 26 dan Lampiran 35). Tabel 26 Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap biomassa total, tambatan karbon vegetasi dan tanah di DAS Konaweha, Tahun 25 Biomassa vegetasi Tambatan Karbon organik Sistem agroforestry karbon vegetasi tanah & hutan (ton/ha) (%) (t/ha) (%) (t/ha) Sylvopastoral-p bc bc bc Agrosylvicultural-p 77.1c c c Agrosylvicultural-m b b b Sylvopastoral-m ab ab ab Hutan a a a BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT Biomassa total dan tambatan karbon vegetasi tertinggi terdapat pada tipe sylvopastoral-m (Tabel 26), namun tidak berbeda secara signifikan dengan tipe yang lainnya kecuali agrosylvicultural-p. Tingginya biomassa total dan tambatan karbon vegetasi pada tipe sylvopastoral-m tersebut disebabkan oleh komponen vegetasi penyusunnya terdiri dari vegetasi pohon yang berukuran tinggi dan berdiameter batang besar. Disamping itu, jumlah populasi dan kerapatan pohonnya tinggi dan strata tajuk berlapis-lapis yang tersusun dari jenis-jenis vegetasi pohon antara lain: langsat, durian, jambu mete, cengkeh, mangga, rambutan, kemiri dan jati. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyerapan dan penyimpanan energi berupa biomassa dan karbon vegetasi yang relatif lebih banyak pada komunitas (sistem agroforestry) yang vegetasi pohon penyusunnya berukuran relatif tinggi, berdiameter batang besar serta kerapatan tinggi dengan strata tajuk berlapis-lapis. Namun demikian total biomassa pada tipe sylvopastoral-m masih lebih rendah dari total biomassa hutan. Akan tetapi total biomassa pada tipe sylvopastoral-m ( ton/ha) maupun tipe agrosylvicultural-m ( ton/ha) masih lebih

111 tinggi, jika dibandingkan dengan total biomassa bagian batang, cabang dan daun (aboveground) pada hutan sekunder tua (old secondary forest) di Jambi ( ton/ha). Hal ini membuktikan bahwa tipe sylvopastoral-m dan agrosylvicultural-m memiliki potensi energi dalam biomassanya melebihi potensi energi pada hutan sekunder tua dengan kerapatan pohon/ha di Jambi. Lebih jauh lagi bahwa total biomassa terendah pada tipe agrosylvicultural-p (77.1 ton/ha) juga masih lebih tinggi dari pada total biomassa bagian batang, cabang, dan daun (aboveground) pada hutan sekunder remaja (middle secondary forest) (68.17 ton/ha) dengan kerapatan pohon/ha di Jambi (Hardiwinoto et al., 25). Kandungan karbon pada biomassa tegakan (vegetasi) pohon umumnya berkisar antara %, vegetasi non pohon 2-37% serta tanaman semusim dan semak 15-25% dari biomassa vegetasinya (Declerk, 1985; Smith dan Frank, 1985). Oleh karena itu, total karbon vegetasi pada sistem agroforestry tipe sylvopastoral-p, agrosylvicultural-m, dan sylvopastoral-m tergolong rendah (46.2%, 46.9%, dan 47.8%) (Tabel 26). Rendahnya kadar karbon pada sistem agroforestry tersebut disebabkan oleh komponen tanaman penyusunnya didominasi oleh kakao dan lada; kakao dan cengkeh; serta langsat dan kakao yang ditunjukkan dengan NPJ tertinggi. Dalam hal ini, penetapan kadar karbon kakao dan lada yang digunakan adalah 45% dan 25% dari bobot biomassanya (Lampiran 36). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem agroforestry nyata meningkatkan tambatan karbon vegetasi dan tanah, namun peningkatan karbon tanah tidak konsisten mengikuti peningkatan karbon vegetasi (Gambar 1). Hal ini secara jelas ditunjukkan pada Gambar 1 dimana tipe agrosylvicultural-p memiliki C-vegetasi ton/ha dan C-organik tanah 22. ton/ha (58.84%), tipe sylvopastoral-p ton/ha dan 26.2 ton/ha (47.12%), tipe agrosylvicultural-m ton/ha dan 3. ton/ha (34.37%), dan tipe sylvopastoral-m ton/ha dan 32.2 ton/ha (29%). Hal yang mirip juga terlihat pada hutan yang memiliki C- vegetasi sangat tinggi yang melebihi empat kali dari C-tanahnya ton/ha dan 38.2 ton/ha (23.5%). Data kadar karbon vegetasi dan tanah tersebut menunjukkan bahwa persentase kadar karbon tanah pada tipe agrosylvicultural-p paling tinggi, meskipun kadar karbon vegetasinya paling rendah. Hal ini sejalan

112 dengan pendapat Paustin (1997) yang menyatakan bahwa besarnya akumulasi karbon tanah sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi. Bahkan, peningkatan karbon di permukaan dan di dalam profil tanah dapat berbeda antar jenis vegetasi. Vegetasi berdaun lebar menghasilkan karbon organik lebih tinggi di permukaan tanah dan horison A, dibandingkan vegetasi berdaun jarum menghasilkan dengan konsentrasi carbón organik lebih tinggi di horison bawah. Selain itu, peningkatan karbon tanah dimungkinkan pula oleh minimnya kerusakan fisik tanah dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik dari pool di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah. Tambatan Karbon (ton/ha) T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry 38.2 C-vegetasi C-tanah Gambar 1. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap C-vegetasi dan C- organik tanah di DAS Konaweha, Tahun 25 Adapun peningkatan karbon vegetasi pada agrosylvicultural-m, sylvopastoral-m, dan hutan yang tinggi mengindikasikan bahwa penanaman tanaman kehutanan atau tanaman tahunan dengan komposisi dan struktur vegetasi menyerupai hutan, merupakan cara yang efektif untuk mempertahankan dan meningkatkan karbon sequestration. Dengan demikian, biomassa total dan karbon vegetasi dalam suatu kawasan atau unit lahan menggambarkan besarnya energi potensial atau energi yang tersimpan berupa biomassa vegetasi pada kawasan tersebut. Semakin lebat keadaan vegetasi di suatu kawasan akan semakin tinggi energi potensial yang tersimpan dalam kawasan tersebut dan demikian juga

113 sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tinggi atau rendahnya kandungan karbon pada tanaman/tumbuhan sangat dipengaruhi oleh kemampuan vegetasi tersebut menyerap karbon dari lingkungannya melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesisis tersebut terakumulasi dalam biomassa tanaman atau vegetasi sehingga total karbon vegetasi berkorelasi positif dengan volume dan bobot biomassanya. Menurut Arsyad (2), penanaman tanaman penutup tanah di daerah tropika dapat meningkatkan penyerapan karbon 25 5 ton/ha dalam jangka waktu 4 12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan. Oleh karena itu, pemanfaatan energi potensial (vegetasi) sangat penting dalam kaitannya dengan issu perubahan iklim ataupun pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Analisis Biaya dan Pendapatan Sistem Agroforestry di DAS Konaweha Analisis biaya dan pendapatan petani dihitung berdasarkan hasil seluruh komoditi dari tipe agroforestry yang diusahakan untuk 1 tahun sebagai batas umur ekonomi rata-rata komoditi tanaman perkebunan dan industri, serta tanaman buah-buahan yang diusahakan. Komoditi tanaman kehutanan (hasil kayu) merupakan investasi jangka panjang yang tidak dihitung dalam perhitungan pendapatan usahatani ini. Berdasarkan hasil perhitungan biaya dan penerimaan, maka pendapatan bersih yang diperoleh petani dari semua tipe sistem agroforestry tanpa memperhitungkan discount factor cukup tinggi dan telah melebihi standar KHL (Tabel 27). Akan tetapi, apabila hasil perhitungan biaya dan penerimaan memperhitungkan discount factor 12%, maka pendapatan bersih yang diperoleh petani masih sangat rendah (Tabel 28). Hasil perhitungan biaya dan pendapatan selengkapnya disajikan pada Tabel Lampiran 37 dan 38. Pada tipe agrosylvicultural-m, pendapatan petani hanya mencapai Rp ,-/ha/tahun dan pada tipe sylvopastoral-p mencapai Rp ,- /ha/thn yang merupakan tingkat pendapatan paling tinggi dari seluruh tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani di lokasi penelitian. Dengan demikian, standar KHL belum dapat dicapai, bahkan pada tipe agrosylvicultural-m besarnya pendapatan petani belum mencapai standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).

114 Tabel 27. Pendapatan bersih (tanpa diskonto) yang diperoleh petani dari sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Jumlah sampel Biaya Penerimaan Pendapatan bersih KK Rp/ha/th Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Tabel 28. Pendapatan bersih (terdiskonto) yang diperoleh petani dari sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Jumlah Biaya Penerimaan Pendapatan sampel bersih LM KK Rp/ha/th ha/kk Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Keterangan : discount factor: 12% dan LM : Luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk mencapai KHL Berdasarkan kriteria KHM (Sajogyo, 1977), maka besarnya pendapatan untuk KHM di wilayah ini dengan jumlah anggota keluarga petani setiap kepala keluarga (KK) rata-rata 5 orang adalah Rp 5.6.,-/KK/tahun dan pendapatan untuk KHL (Sinukaban, 1999) adalah Rp 14..,-/KK/th. Oleh karena itu, berdasarkan standar tersebut, maka pendapatan petani dari semua tipe sistem agroforestry yang diusahakan di wilayah ini belum mencapai pendapatan yang dapat memenuhi KHL. Untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL i pada kondisi agroteknolog awal (existing condtion) diperlukan luas lahan minimal secara berturut-turut pada sylvopastoral-p, agrosylvicultural-p, agrosylviculturalm, dan sylvopastoral-m adalah 2.2 ha/kk, 2.8 ha/kk, 3. ha/kk, dan 2.3 ha/kk padahal luas lahan milik petani yang tersedia secara berturut-turut adalah.75 ha/kk,.8 ha/kk, 1.3 ha/kk, dan 1.5 ha/kk. Oleh karena itu perlu dilakukan optimalisasi agroteknologi agar pendapatan petani dapat mencapai jumlah yang

115 memenuhi KHL dengan tetap mempertahankan erosi < Etol dan luas pemilikan lahan petani adalah ha/kk. Penilaian Investasi pada Usahatani Sistem Agroforestry di DAS Konaweha Hasil penilaian kelayakan investasi usahatani sistem agroforestry menggunakan analisis Benefit Cost ratio (BCR), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) adalah seperti pada Tabel 29 dan Lampiran 39. Tabel 29 menunjukkan bahwa usahatani sistem agroforestry adalah layak diusahakan secara ekonomi. Lamanya periode pengembalian modal yang dibutuhkan petani melalui analisis Payback Period (PBP) didapatkan paling cepat pada tipe sylvopastoral-p (4.9 thn). Tabel 29. Penilaian kelayakan investasi sistem agroforestry pada kondisi aktual di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Jumlah NPV IRR PBP BCR sampel (KK) (Rp) (%) (thn) Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Ket : discount factor = 12% Kedua tipe sylvopastoral (sylvopastoral-p dan sylvopastoral-m) memberikan NPV lebih tinggi dari kedua tipe agrosylvicultural (agrosylviculturalp dan agrosylvicultural-m) pada tingkat discount faktor 12% per tahun. Tingginya NPV pada kedua tipe sylvopastoral disebabkan oleh adanya komoditi sapi yang memiliki harga jual yang tinggi, meskipun efisiensi penggunaan modal (BCR) pada kedua tipe ini secara rata-rata lebih rendah dari kedua tipe agrosylvicultural. Rendahnya NPV dan tingginya BCR pada kedua tipe agrosylvicultural disebabkan oleh komoditi tanaman yang bernilai ekonomi pada kedua tipe ini memiliki jumlah populasi yang rendah.

116 Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi (perubahan) jumlah produksi, biaya dan harga pada sistem agroforestry di wilayah ini dilakukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : Harga produksi turun 15%, jumlah produksi dan biaya tetap (sekenario I) Biaya produksi meningkat 15%, jumlah produksi dan harga tetap (sekenario II) Harga produksi turun 15%, biaya produksi meningkat 15%, jumlah produksi tetap (sekenario III) Jumlah produksi dan harga masing-masing turun 15%, biaya produksi tetap (sekenario IV) Jumlah produksi dan harga masing-masing turun 15%, biaya produksi meningkat 15% (sekenario V) Hasil analisis sensitivitas untuk sekenario I V disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran Tabel 3. Kelayakan investasi sistem agroforestry berbagai skenario di DAS Konaweha, Tahun 25 Sekenari o I II III IV V Sistem agroforestry Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Ket: discount factor = 12% BCR NPV IRR PBP (Rp/ha/th) (%) (th)

117 Apabila terjadi penurunan harga produksi sebesar 15% tetapi jumlah dan biaya tetap (skenario I), maka hasil analisis menunjukkan bahwa semua tipe sistem agroforestry masih layak diusahakan dengan BCR > 1 ( ), NPV > (Rp Rp ) dan IRR > r (31.9% %) (discont factor 12%), sehingga tingkat pengembalian modal (rentability) yang diinvestasikan cukup besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang berlaku (Tabel 3). Selain penurunan harga produksi di atas, kemungkinan lain yang bisa tejadi adalah peningkatan biaya produksi karena adanya variabilitas sarana produksi dan upah tenaga kerja yang dipengaruhi oleh keadaan, waktu, dan kondisi setempat. Apabila biaya produksi diasumsikan meningkat sebesar 15% dari biaya rata-rata usahatani (ha/thn) (sekenario II), tetapi jumlah dan harga produksi tetap, maka hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa semua tipe sistem agroforestry memperoleh nilai BCR > 1 ( ), NPV (Rp Rp ) dan IRR > r (3.63% - 4.7%). Dengan demikian, secara keseluruhan tipe sistem agroforestry mengindikasikan bahwa dengan naiknya biaya produksi sebesar 15% tetapi jumlah dan harga tetap, maka petani masih akan mampu mengembalikan modal yang diinvestasikan. Pada kondisi tertentu harga produksi turun sementara biaya produksi ratarata meningkat. Apabila pada kondisi ini diasumsikan harga produksi turun 15% dan biaya rata-rata usahatani meningkat 15% (sekenario III), maka hasil analisis sensitivitasnya menunjukkan bahwa semua tipe agroforestry masih layak diusahakan dengan nilai BCR > 1 ( ), NPV > (Rp Rp ) dan IRR > r (28.1% 36.6%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengembalian modal (rentability) yang diinvestasikan untuk usahatani agroforestry ini cukup besar dibandingkan tingkat suku bunga yang berlaku. Selanjutnya, apabila diasumsikan bahwa usahatani sistem agroforestry mengalami penurunan jumlah dan harga produksi rata-rata sebesar 15% sementara biaya tetap (skenario IV), maka hasil analisis sensitivitasnya menunjukkan bahwa sistem agroforestry yang diusahakan petani pada kondisi tersebut masih layak berdasarkan kriteria BCR, NPV dan IRR sebagaimana halnya kriteria di atas.

118 Pada kondisi yang lebih ekstrim, yaitu diasumsikan bahwa jumlah produksi dan harga menurun 15%, sementara biaya produksi rata-rata meningkat 15% (sekenario V), hasil analisis BCR, NPV dan IRR menggambarkan bahwa semua tipe sistem agroforestry di daerah ini masih layak diusahakan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas kelima sekenario di atas, maka semua tipe sistem agroforestry di lokasi penelitian adalah layak diusahakan secara ekonomi. Namun demikian pendapatan (NPV) yang diperoleh petani dari semua tipe sistem agroforestry tersebut belum mencapai KHL. Untuk mendapatkan pendapatan (NPV) yang tinggi dan dapat memenuhi KHL bagi petani dan keluarganya secara terus-menerus, dan sekaligus erosi yang diakibatkan tidak melebihi ETol maka diperlukan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry. Optimalisasi Agroteknologi Sistem Agroforestry di DAS Konaweha Hasil optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry berbagai sekenario ditunjukkan pada Tabel 31 dan Lampiran Tabel 31 menunjukkan bahwa sekenario (kondisi existing), I perbaikan varietas) dan II (perbaikan agronomi) mengakibatkan erosi < ETol pada seluruh tipe system agroforestry, tetapi belum memberikan pendapatan yang memenuhi KHL baik dengan luas lahan.75 ha maupun 1.1 ha. Sekenario III (perbaikan varietas dan agronomi) menunjukkan erosi < ETol pada seluruh tipe sistem agroforestry tetapi pendapatan yang memenuhi KHL telah dicapai pada tipe sylvopastoral-p dengan luas lahan 1.1 ha, meskipun ketiga tipe sistem agroforestry lainnya belum mencapai KHL baik untuk luas lahan.75 ha maupun 1.1 ha. Sekenario IV (perbaikan varietas, agronomi, rumput pakan dan ternak sapi) menunjukkan erosi < ETol pada seluruh tipe sistem agroforestry dan memberikan pendapatan melebihi KHL dengan luas lahan 1.1 ha, namun dengan luas lahan.75 ha pendapatan yang memenuhi KHL belum tercapai. Tabel 31. Sekenario Hasil optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry dari berbagai sekenario di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Erosi ETol Pendapatan (Rp/thn)

119 . Existing I. Perbaikan varietas II. Perbaikan agronomi III. Perbaikan varietas dan agronomi IV. Perbaikan vareitas, agronomi, dan ternak sapi Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Keterangan: KHL : Rp 14 juta/th (ton/ha/th) * : Pendapatan > KHL Luas lahan.75 ha Luas lahan 1.1 ha * * * * * Berdasrkan hasil optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry (Tabel 31) maka sekenario yang paling baik dan dapat direkomendasikan adalah sekenario IV dan luas lahan minimal yang dibutuhkan petani adalah 1.1 ha. Agroteknologi sistem agroforestry yang direkomendasikan tersebut menghasilkan laju erosi yang lebih kecil dari laju erosi yang masih dapat ditoleransikan, produksi dan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak bagi petani dan keluarganya, serta secara sosial budaya dapat diterima (acceptable) dan sesuai dengan keterampilan petani sehingga agroteknologi tersebut dapat diterapkan dan dikembangkan (replicable). Implikasi acceptable dan replicable ditandai dengan petani yang tergolong setuju dan sangat setuju menerima agroteknologi yang direkomendasikan berjumlah 7 KK (88.6%) petani sampel (Tabel 32). Dengan demikian agroteknologi yang direkomendasikan (sekenario IV) merupakan agroteknologi sistem agroforestry yang tepat karena secara ekologi dapat mendukung kelestarian sumberdaya lahan, secara ekonomi dapat memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan keluarganya, dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, serta secara teknis dapat diterapkan dan dikembangkan sehingga keberlanjutan pembangunan pertanian di daerah ini dapat tercapai.

120 Tabel 32. Tingkat penerimaan petani sampel terhadap agroteknologi sistem agroforestry yang direkomendasikan di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Jumlah petani sampel Agroteknologi yang direkomendasikan (sekenario IV) sangat setuju setuju kurang setuju ragu-ragu jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh % Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m Total Implementasi agroteknologi sistem agroforestry hasil optimalisasi yang direkomendasikan (sekenario IV) berupa perbaikan varietas, agronomi dan ternak sapi dengan luas lahan minimal 1.1 ha pada lokasi pengamatan intensif seluas 876 ha di DAS Boro-Boro dapat diterapkan ke seluruh unit lahan kebun campuran dan pertanian tradisional di DAS Konaweha seluas ha yang berupa sistem agroforestry dengan tipe sylvopastoral perenial crops, agrosylvicultural perenial crops, agrosylvicultural multystrata systems, dan sylvopastoral multystrata systems. Hasil ekstrapolasi tersebut ditunjukkan pada peta rekomendasi agrotekologi sistem agroforestry pada Lampiran 56. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

121 Berdasarkan hasil penelitian di DAS Konaweha, maka dapat disimpulkan : 1. Sistem agroforestry hasil identifikasi menunjukkan empat tipe, yaitu : tipe sylvopastoral-p (T1), agrosylvicultural-p (T2), agrosylvicultural-m (T3), dan sylvopastoral-m (T4) dengan sifat pengelolaan terdiri atas : subsisten, intermediet dan komersial. 2. Sylvopastoral-m adalah tipe sistem agroforestry yang mampu meningkatkan dan mempertahankan kualitas sifat fisik (indeks stabilitas agregat, porositas tanah pada kedalaman >3 cm), sifat kimia (bahan organik), dan biologi tanah (mikroorgnisme tanah), dan kualitas lingkungan (carbon sequestration) yang cukup baik, serta paling efektif menekan limpasan permukaan dan erosi. 3. Semua tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani di daerah ini tergolong layak secara ekonomi (BCR > 1, NPV >, IRR > r ), tetapi belum mampu meningkatkan pendapatan sehingga mampu mendukung kebutuhan hidup layak. 4. Tipe Sylvopastoral-p merupakan sistem agroforestry paling menguntungkan dengan NPV tertinggi, payback period tercepat dan umumnya telah dilakukan pengelolaan secara komersial. 5. Sekenario IV (perbaikan varietas, agronomi, dan usaha ternak sapi) merupakan agroteknologi sistem agroforestry yang tepat, secara ekologi dapat mendukung kelestarian sumberdaya lahan, secara ekonomi dapat memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak, dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, serta secara teknis dapat diterapkan dan dikembangkan sehingga keberlanjutan pembangunan pertanian di daerah ini dapat tercapai. Saran Guna pengembangan sistem agroforestry untuk mendukung pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha, maka diperlukan :

122 1. Pengembangan tipe sylvopastoral-p di wilayah ini dengan optimalisasi agroteknologi untuk memperoleh pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak dan pemeliharaan kualitas tanah serta peningkatan tambatan karbon (carbon sequestration) dan pengelolaan secara komersial. 2. Pengembangan tipe sylvopastoral-m terutama pada lahan kawasan hutan melalui pendekatan partisipasi masyarakat dengan optimalisasi agroteknologi untuk memperoleh pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak dan tetap mempertahankan kelestarian produktivitas lahan dan lingkungannya, serta sosialisasi pengelolaan secara komersial, karena pada umumnya tipe ini masih dikelola secara subsisten. 3. Dukungan pemerintah daerah terkait dengan supporting service systems berupa kebijakan yang berpihak kepada petani seperti: subsidi langsung dan tidak langsung, melindungi/membantu petani dalam penetapan harga komoditas, menyiapkan sarana konsultasi dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan aksessibilitas petani (produsen) dengan konsumen (pasar). DAFTAR PUSTAKA

123 Alwi, L. 24. Perencanaan Pola Usahatani Lahan Kering Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Anas, I., Gultom T. and Migge S. 25. Soil Microbial Population and Activity at Different Land use Types. In: Stictentroth D, W. Lorenz, S.D. Tarigan, A. Malik (eds). Proceedings International Symposium The Stability of Tropical Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Social Constrain of Land use and Conservation September, 25. Georg- August-University of Göettingen, Germany: Universittsverlag Gettingen: 162. Andayani, W. 22. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usahatani Pola Agroforestry. Tinjauan Teoritis. Paper Didiskusikan Dalam Seminar Pusat Kajian Hutan Rakyat. 18 Januari 21. Jurnal Hutan Rakyat Vol. IV. No. 1. hal: Arsyad, S. 2. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Cetakan Ke Tiga. Gedung Lembaga Sumberdaya Informasi Lt. 1 Kampus Darmaga, Bogor. Boyle, M., W.T. Frankenberger Jr. and L.H. Stolzy The influence of Organic Matter on Soil Aggregation and Water Infiltration. J Prod. Agric, 2: [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara. 23. Acuan Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi untuk Tanaman Kakao dan beberapa Tanaman Perkebunan Lainnya di Sulawesi Tenggara. Seri: Perkebunan. Kendari [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara. 25. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Sampara, Kendari. [BPS] Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara. 24. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan BPS Provinsi Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Brown, S Estimating Biomass Change of Tropical Forest. A Forest Resources Assesment Publication. FAO Forestry Paper: 134 Chundawat, B.S. and S.K. Gautam Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd, New Delhi. Cooper, P.J.M., R.R.B. Leakey, M.R. Rao and L. Reynolds Agroforestry and the Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub-humid Tropical of Arica. Experimental Agriculture 32: Cox, G.W Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque-Iowa: Brown Company Published. De Blic, R. Moreau Structure Characteristic of Ferralitic Soils under Mechanical Cultivation in Marginal Forest Areas of the Ivory Coast. Di dalam: R Lal, DJ Greenland (eds). Soil Physical Properties and Crop

124 Production in the Tropics. John Wiley and Sons, Inc. New York, pp: Declerk, M., P.H. Smets and J. Rom Euphorbia Project: Reneweble Energy Production Through the Cultivation and Processing of Semiarid Land Biomass in Kenya. In: Palm, C., J. Commbs, D.O. Hall. Energi From Biomass, 3 rd E.C. Conference. Elsevier Applied Science Publishers. London, pp: De Foresta, H., A. Kuswono, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2. Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. Edwards, W.M., L.D. Norton and C.E. Redmond Characterizing macropores that Affect Infiltration into notilled Soil. Soil Science Society of America, 44: Eswaran, H.E. and V.D. Berg Organik Carbon Soils of The World Soils Sci. Of American Journal 57: [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations Planning for Sustainable Use of Land Resources. Towards a New Approach. FAO Land and Water Bulletin. FAO, Rome Planning for Sustainable Use of Land Resources. Towards a New Approach. FAO Land and Water Bulletin. FAO, Rome. Farid, M. dan F. Mangunjaya. 28. Jalan Lurus Setelah Pertemuan Bali. Gintings, A.Ng Perkembangan Agroforestry di Sekitar Hutan Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan : Sebuah Tanggapan. Prosiding Seminar Nasional II MKTI, Yogyakarta, Oktober hal: Gintings, A.Ng. dan Prajadinata. 22. Interim Report. Assessment on the Potentiality of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry Indonesia in Cooperation with Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre (JIFPRO) Interim Report. Assessment on the Potentiality of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry Indonesia in Cooperation with Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre (JIFPRO). Gintings, A.Ng., N. Masripatin, K. Ginoga, H. Daryanto, Ch. A. Siregar dan A. Sarsito. 23. Status Penelitian dan Kajian tentang CDM Kehutanan dan Proyek Karbon Berbasis Hutan lainnya di Indonesia. Sekretariat CDM Departemen Kehutanan. Jakarta. Gintings, A.Ng. dan Prajadinata. 24. Interim Report. Assessment on the Potentiality of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Forestry Research and Development Agency, Ministry

125 of Forestry Indonesia in Cooperation with Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre (JIFPRO). Gittinger, J.P Economic Analysis of Agricultural Project. Development Digest Vol. XI No. 3. Washington, DC. Gupta, R.K., Y.K. Arora, and D. Shuka Know Peach Cultivars of Doon Valley. India. Hort, 2 4. Hairiah, K., M. van Noorwidjk and C. Palm Methods for Sampling Above and Below Ground Organik Pools. In: Mudiyarso, D., M. van Noorwidjk, and D.A. Suyanto (eds). Report of Training Workshop on Modelling Global Change Impacts on the Soil Environment. GCTE Working Document No. 28. IC-SEA Report No. 6. Handayani, I.P Kuantitas dan Variasi N-tersedia pada Tanah setelah Penebangan Hutan. Jurnal Tanah Trop. No. 8. hal: Comparison of Soil Quality in Cultivated Field and Grassland. Jurnal Tanah Trop. 12: Hardiwinoto, S., A. Thoyib, D.T. Adriyanti, Handojo and K. Cahyono. 25. Estimation of Biomass and Carbon Stock in Some Potential Land-Uses for Forest Carbon Project in Bungo-Tebo Area. Jambi. Estimation of Abovegeround Biomass and Carbon Stock in Secondary Forests and Rubber Agroforests. Proceeding of the 2 nd. Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. Bogor. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 21. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Heriansyah, I., C.A. Siregar, N.M. Hariyanto and K. Tsuyoshi. 24. Carbon Stock Estimates for Acacia mangium, Pinus merkusii and Shorea leprosula in West Java, Indonesia. Forest and Nature Conservation Research and Development Center and Japan International Cooperation Agency, Carbon Fixing Forest Management Project. Bogor. Heriyanto, N.M., Harris H. Siringoringo, K. Miyakuni and K. Yoshiyuki. 25. Allometric Equations and Other Parameters for Estimating the amount of Biomass in Pinus merkusii Forest. Proceeding of the 2 nd Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. Bogor. Hoare, P Techniques for Encouraging Community Participation in Agroforestry Projects. Paper for Workshop on Agroforestry, East-West Center FAO. Thailand. Holmes, D. 2. Deforestation in Indonesia: A Review of the Situation in Sumatera, Kalimantan and Sulawesi. Jakarta, Indonesia: World Bank. Hudge, S.S. 2. Agroforestry. An Integrated of Land Use Practices. University of Missouri Centre for Agroforestry. Juanda, D. dan U. Haryati Teknologi Konservasi Berorientasi Agribisnis di Lahan Kering DAS Jratunseluna Hulu. Prosiding Seminar Nasional II MKTI, Yogyakarta, Oktober 1993, hal:

126 Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 28. Hasil-Hasil Utama Konvensi Perubahan Iklim Bali 27 dan Implikasinya bagi Indonesia. Seminar Nasional Merespon Konvensi Perubahan Iklim Bali dan Bencana Banjir-Longsor di Indonesia. IPB International Convention Center (IICC), Botani Square, Baranangsiang, Bogor. 23 dan 24 Januari 28 Lal, R Physical Characteristic of Soils of the Tropics: Determination and Management. In: Lal, R. and D.J. Greenland (eds). Soil Physical Properties and Crop Production in the Tropics. John Wiley & Sons, Inc. New York, pp: Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics. United Nation University Press, Tokyo. Mandoza, R.C Notes on Corn Ipil-Ipil Intercropping Trials: Research Results. University of the Philippines at Los Banos. Mannan, A Laporan Rancangan Teknis. Pembangunan Pilot Project Hutan Kemasyarakatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerjasama Bagian Proyek Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Bantuan OECF) dengan Pusat Studi Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo. Kendari. Masripatin, N. 25. COP-9 and COP-1 Decision and Potential of A/R-CDM Project in Indonesia. Proceeding of the 2 nd Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. How to increase the Welfare of Local People Through the Sustainable forest Management. Organized by Forestry Research & Development Agency (FORDA) & Japan International Cooperation Agency (JICA). 11 Januari 25. Bogor. Michon, G., F. Mary and J. Bompard Multistoreyed Agroforestry Garden System in West Sumatera, Indonesia. In: P.K.R. Nair (eds). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publisher, The Netherlands. pp: Munasinghe, M Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank. Washington, DC, USA. Murdiyarso, D. 23. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Seri Perubahan Iklim. Kompas, Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Murtilaksono, K., Y. Hidayat dan G. Gerold. 25. Consequence of Rainforest Conversion with Different Landuse Types for Soil Erosion and Surface Runoff in Nopu Catchment, Central Sulawesi. In: Stictentroth D., W. Lorenz, S.D. Tarigan, A. Malik (eds). Proceedings International Symposium The Stability of Tropical Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Social Constrain of Landuse and Conservation September, 25. Georg-August-University of Göettingen, Germany: Universittsverlag Gettingen: 127. Nair, P.K.R The Re-marriage of Crop and Trees. International Agricultural Dev. Vol. 3(4) : 5-8. Pharos Publ. Service, London.

127 Soil Productivity Aspects of Agroforestry. ICRAF, Nairobi, Kenya Agroforestry in the Context of Land Clearing and Development in the Tropics. In: Tropical Land Clearing for Sustainable Agriculture. IBSRAM Proc. No. 3: a. Agroforestry Defined. In: P.K.R. Nair (eds). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, the Netherlands, pp: b. Agroforestry Systems, Practices and Technologies. In: P.K.R. Nair (eds). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, the Netherlands, pp: c. Ecological spread of Agroforestry Systems. In: P.K.R. Nair (eds). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, the Netherlands, pp: Classification of Agroforestry System. In: MacDicken and Vergara (199), pp: Narain, P. and S.S. Grewal Agroforestry for Soil and Water Conservation- India Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Institute, Dehra Dun , India. 8 th International Soil and Water Conservation. Challenges and Opportunities, Vol. 2. Nasendi, B.D. dan A. Anwar Program Linear dan Variasinya. PT Gramedia, Jakarta. Nurlambang, T. 28. Pendekatan Tinjauan Sosial Ekonomi Dalam Kajian Kerusakan Lahan. Paper yang diajukan dalam the Conference on Natural Resource Accounting, April Washington. www. Geografiana.com. Odum, P.E Dasar-Dasar Ekologi. Ed-ke3. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. O Loughlin, C.L The effect of Timber Removal on the Stability of Forest Soils. Hydrology 13: Parr, J.F. and R.J. Papendick Strategis for Inproving Soil Productivity in Developing Countries with Organic Wastes. In: Lockeritz (editor) Environmentally Sound Agriculture. Praeger Publicer New York, New York. Pasaribu, H.S Daerah Aliran Sungai sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air. Seminar Sehari DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. 21 Desember Jakarta. Paustin Agricultural Soil as a C Sink to Offset CO 2 Emissions. Soil Use and Management, 13: [PPT] Pusat Penelitian Tanah Bogor Survey Tanah Tinjau Daerah Sulawesi Tenggara. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

128 Quirck, J. P Nature of Agregate Stability and Implication for Management. In: R. Lal and D.J. Greenland (eds). Soil Physical Properties and Crop Production in the Tropics. John Wiley & Sons, Inc. New York, pp: Rachie, K. O Intercropping Tree Legumes with Annual Crops. Call, Colombia, CIAT. Rahayu, S., B. Lusiana and M. van Noordwijk. 25. Aboveground Carbon Stock Assessment for Various Land Use Systems in Nunukan, East Kalimantan. In: B. Lusiana, M.van Noordwijk and S. Rahayu. 25. Carbon Stocks in Nunukan, East Kalimantan : A Spatial Monitoring and Modelling Approach. World Agroforestry Centre. Bogor. Rauf. 24. Kajian system dan Optimalisasi Penggunaan lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Studi Kasus di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Reijntjes, C., B. Havercort and A. Water Bayer Pertanian Masa Depan. Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Jogjakarta. Kanisius. Romanya, J., J. Cortina, P. Falloon, K. Coleman and P. Smith. 2. Modelling Changes in Soil Organic Matter After Planting Fast-Growing Pinus radiata on Mediterranean Agricultural Soils. European Journal of Soil Science, December 2, 51: Sajogyo Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). IPB, Bogor. Satjapradja, O Agroforestry di Indonesia: Pengertian dan implementasinya. Prosiding Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Jakarta November Badan Litbang Pertanian. Jakarta, hal: Siagian, M.O., L.M. Rachman dan H. Rambe Aspek Teknologi Konservasi Dalam Pembangunan Pertanian Lahan Kering: Suatu Pengalaman Kelompok Tani Sadagori Sukabumi. Prosiding Lokakarya Nasional Pembangunan Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Usahatani Lahan Kering dan Perbukitan Kritis. Jakarta, 2-4 Pebruari 1993, hal: Sinukaban, N Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor Sistem Pertanian Konservasi Kunci Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Sehari Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan, Dalam Rangka Diesnatalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999., 21. Strategi Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis. Makalah pada Seminar Sehari Pengelolaan DAS, Universitas Haluoleo Kendari, 5 Juli 21.

129 Schmidt, F.H. dan J.H.A. Ferguson Rainfall Type Based on Wet and Dry Periode Ratio for Indonesia with Western New Guinea. Verhandelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Smith, W.H. and J.R. Frank Comparative Biomass Yields of Energy Crops. In: C. Palm, J. Commbs and D.O. Hall (eds). Energi From Biomass, 3 rd E.C. Conference. Elsevier Applied Science Publishers. London, pp: Soedomo, M Kumpulan Karya Ilmiah. Pencemaran Udara. Penerbit ITB, Bandung. Soerianegara, I. dan A. Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fahutan, IPB. Bogor Stalling Soil Conservation. Pretice-Hall, Inc. Englewood Cliffs N J. Tarigan, S.D., N. Sinukaban, B. Verbist and A. Widayati. 21. Development of Vegetative Sediment Filter and Agroforestry Practices for Sustainable Reduction of Water Non-Point Pollution in Tropical Rainforest Margin. Presentation of this paper in at 5 th International Conference Diffuse/ Non-point Pollution and Watershed Management, 1-15 June at Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, USA. Tejwani, K.G. and R. Lal Asia Pasific Agroforestry Profile. APAN Field Document. FAO, Bogor. Indonesia. Tisdall, C.M. and J.M. Oades Organic Matter and Water Stable aggregates in Soil. J. Soil Sci. 33: Tsuyoshi, K., Rohman, S.N. Oktalina, H. Supryo and H. Simon. 25. Allometric Patterns of Young Teak Trees Managed with Different Silvicultural Systems in Madiun. Proceeding of the 2 nd Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. Bogor. [UNEP] United Nations Conservation to Combat Desertification. UNEP, Geneva. Van Noorwidjk, M. and H. Kurniatun. 2. Tree-Soil-Crop Interactions. International Centre for Research in Agroforestry Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor, Indonesia. Vegara, N.T The Potential Role of Agroforestry in Watershed Management. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies From Asia and the Pasific. Edited by K Willian Easter, John A Dixon, Maynard M Hufschmidt. Published in Cooperation with the East-West Center, Environment and Policy Institute. Honolulu. Hawaii Widaningsih, D.S. dan S. Djakamihardja Optimasi Penggunaan Lahan Kering Berlereng Curam dengan Sistem Pertanaman Agroforestry di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Prosiding Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang, Agustus 1991, hal: Wiersum, K.F Surface Erosion Under Various Agroforestry Systems. Paper Presented at Symposium on the Effects of Forest Land Use on

130 Erosion and Slope Stability, 7-11 May, East-West Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawai. Wischmeier, W.H. and D.D Smith Predicting Rainfall Erosion Losses - A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook. No. 58: 537. Witjaksono, J. dan Dahya Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Tanaman Pangan pada Lahan Kering Di Sulawesi Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi, Kendari. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun Young, A Agroforestry for Soil Management. Ed ke-2. Cab International in Association with the International Centre for Research in Agroforestry. Nairobi, Kenya. Ziemer, R.R Root and Stability of Forest Slopes. IAHS Publication 132. Christchurch, New Zealand.

131 LAMPIRAN Lampiran 1. Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Banakat, Sumatera Selatan, Tahun 22

132 Jenis Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla) mangium (Acacia mangium) Sungkai (Peronema canescens) Umur Kerapatan Total biomassa Total karbon (th) (phn/ha) (ton/ha) (ton/ha) Lampiran 2. Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Tanjungan, Lampung, Tahun 23 Jenis Tanaman Kemiri (Aleurites moluccana) Puspa ( Schima walichii) Sungkai (Peronema canescens) Umur Kerapatan Total biomassa Total karbon (th) (phn/ha) (ton/ha) (ton/ha) Lampiran 3. Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur, Tahun 24 Jenis Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) Mahoni (Swietenia macrophylla) Pinus (Pinus merkusii) Umur Kerapatan Total biomassa Total karbon (th) (phn/ha) (ton/ha) (ton/ha) Lampiran 4. Nilai faktor kedalaman berbagai jenis tanah kategori sub order (USDA), Tahun 1973

133 No Kategori sub order Nilai faktor kedalaman Aqualf Udalf Ustalf Aquent Arents Fluvent Orthent Psamment Andept Aquept Tropept Alboll Aquall Rendoll Udoll Ustoll Aquox Hamox Orthox Ustox Aquod Ferrod Hummod Orthod Aquult Hummult Udult Ustult Udert Ustert Lampiran 5. Curah hujan rata-rata bulanan (mm) di lokasi penelitian periode

134 Bulan Tahun Rata rata Jan 113, , ,8 127,1 21,6 164,9 294,5 33,1 224 Feb , , ,1 13,2 351,1 188,1 Mar ,3 243, ,6 228,6 234,2 195,8 422,4 24,6 Apr ,1 176,4 148,5 256,7 199,5 364, ,5 23,4 236,1 Mei ,2 49,5 214,6 166,2 173,1 24,7 Juni ,6 231,5 494,3 144, , ,1 229,5 Juli 29, ,3 213,5 241,1 14,2 15,6 181, ,7 Agst , ,7 Sept 21,5 112, , ,4 Okt 191, ,3 54, ,5 Nov 15 24, ,7 61,9 237,5 22,6 355,4 174,2 Des ,9 95,5 258, ,6 158,8 45,8 228,5 Jumlah ,7 2695,5 224,3 2483,4 1781,4 2277,9 2264,5 1555,6 285, Sumber : Stasiun Meteorologi Wolter Monginsidi, 26 Lampiran 6. Jumlah hari hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian periode Tahun Bulan Rata-rata Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Rata-rata Sumber : Stasiun Meteorologi Wolter Monginsidi, 26 Lampiran 7. Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25

135 Sistem agroforestry Sylvopastoral-p Kakao (Theobroma cacao ) 64 3 x 3 Lada (Piper ningrum ) 8 2 x 1,5 Cengkeh (Syzygium aromaticum ) 7 5 x 5 Kelapa (Cocos nucifera ) 3 5 x 1 Jambu mete (Anacardium occidentale ) 61 1 x 1 Rambutan (Nephelium lappaceum ) 3 5 x 7 Durian (Durio zibethinus ) 5 1 Mangga (Mangifera indica ) 3 8 x 8 Nangka (Arthocarpus integra ) 3 1 x 1 Pisang kepok (Musa paradisiaca )* 4 1 Gamal 12 1 rerumputan 4% cover crop Sapi (ternak peliharaan) 3 ekor di kandang Agrosylvicultural-p Rambutan (Nephelium lappaceum ) 75 1 x 1 Jeruk manis (Citrus sinensis) 1 5 x 5 Mangga (Mangifera indica ) 6 7 x 7 Durian (Durio zibethinus ) 5 1 x 1 Nangka (Arthocarpus integra ) 15 5 x 5 Pisang kepok (Musa paradisiaca )* 1 1 Kedondong (Spondias pinnata ) 2 1 x 2 Sengon (Paraserienthes falcata ) 2 2 Jati (Tectona grandis ) 15 2 rerumputan 2% cover crop Agrosylvicultural-m Kakao (Theobroma cacao ) 54 3 x 2,5 Kopi (Cffea robusta ) 6 3 x3 Cengkeh (Syzygium aromaticum ) 1 5 x 5 Kelapa (Cocos nucifera ) 12 tidak teratur Jambu mete (Anacardium occidentale ) 3 7 Rambutan (Nephelium lappaceum ) 35 1 x 1 Durian (Durio zibethinus ) 45 1 x 2 Langsat (Lansium domesticum) 8 tidak teratur Mangga (Mangifera indica ) 2 1 x 1 sirsak 25 tidak teratur Kedondong (Spondias pinnata ) 2 8 x 8 Sukun (Arthocarpus sp ) 2 sda Kemiri (Aleurites moluccana ) 1 sda Jati (Tectona grandis ) 3 sda Kayu bitti (Vitex sp ) 2 tidak teratur Sagu* 3 2 m semak 1% cover crop rerumputan 25% cover crop Sylvopastoral-m Kakao (Theobroma cacao ) 5 3 x 3 Kopi (Cffea robusta ) 24 2 x 3 Cengkeh (Syzygium aromaticum ) 11 5 x 5 Kelapa (Cocos nucifera ) 8 tidak teratur Jambu mete (Anacardium occidentale ) 1 tidak teratur Durian (Durio zibethinus ) 16 7 x 7 Langsat (Lansium domesticum) 45 tidak teratur Mangga (Mangifera indica ) 3 1 Rambutan (Nephelium lappaceum ) 3 4,5 x 5 Kemiri (Aleurites moluccana ) 8 tidak teratur Jati (Tectona grandis ) 16 sda Pinang (Pinanga kuhlii ) 75 5 semak 1% cover crop rerumputan 25% cover crop Sapi (ternak peliharaan) 2 ekor di lepas Keterangan : * rumpun Jenis tanaman Populasi (phn/ha) jarak tanam (m) Lampiran 7. Lanjutan

136 Hutan T5 Jenis Tanaman Populasi (phn/ha) Jarak Tanam (m) Damar (Agathis spp.) 317 semua jenis Jati hutan (Nauclea spp ) 25 tidak teratur Kayu besi (Chaetocarpus sp. ) 118 Kalapi 23 Kayu Lawang 83 Damar mata kucing (Shorea lamelllata ) 15 Cempaka (Elmerrillia sp ) 5 Kayu bitti (Vitex sp.) 122 Kayu angin 65 Dao (Dracontomelon dao ) 82 Pulai (Alstonia spp ) 53 Gaharu (Aquillaria malaccensis ) 15 Jati (Tectona grandis ) 57 Anakan (Ə < 1 cm) 9 semak 3% rerumputan 7% Lampiran 8 Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25

137 Sistem agroforestry Strata Intensitas Jenis tanaman Kerapatan tajuk (ph/ha) perakaran Sylvopastoral-p B kelapa 3 dangkal durian 5 dalam j. mete 61 nangka 3 cengkeh 7 mangga 3 rambutan 3 C kakao 64 dangkal gamal/lada 8 pisang 4 Total Agrosylvicultural-p A durian 5 sangat kedondong 2 dalam jati 15 sengon 2 B rambutan 75 dalam mangga 6 nangka 15 jeruk 1 pisang 1 dangkal Total 455 Agrosylvicultural-m A kelapa 12 dangkal durian 45 sangat langsat 8 dalam kedondong 2 sukun 2 kemiri 1 jati 3 B j. mete 3 dalam cengkeh 1 mangga 2 rambutan 35 C kakao 54 dangkal kopi 6 sirsak 25 sagu 3 Total 1165 Sylvopastoral-m A kelapa 8 dangkal durian 16 langsat 45 kemiri 8 jati 16 B mete 1 cengkeh 11 mangga 3 rambutan 3 pinang 75 dangkal C kakao 5 dangkal kopi 2 Total 1975 Hutan A damar 317 jati hutan 25 Jati 57 Gaharu 15 kayu angin 65 d. mata kucing 5 sangat dalam dalam sangat dalam B cempaka 5 dalam kayu bitti 122 dao 82 pulai 53 kalapi 23 kayu lawanng 83 kayu besi 118 C anakan ( btg) 9 dangkal < 1 cm) Tanaman penutup tanah semak rumput 4% 2% Serasah agak tebal sedang 1% 25% agak tebal 1% 25% tebal 3% 7% sangat tebal Lampiran 9. Kriteria strata tajuk, kedalaman perakaran dan ketebalan serasah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25

138 Lapisan tajuk Perakaran Serasah Strata Tinggi pohon kriteria Kedalaman akar Kriteria Ketebalan A > 15 m Dangkal < 1 m Tipis < 2 cm B 1 15 m Dalam m Sedang cm C < 1 m Sangat dalam > 1.5 m Agak tebal cm tebal > 5 cm Lampiran 1. Data berat isi tanah kedalaman -3 cm pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Berat Isi (gr/cm 3 ) Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T T T T T Rataan Lampiran 11. Data berat isi tanah kedalaman > 3 cm pada Sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Berat Isi (gr/cm 3 ) Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T T T T T Rataan Lampiran 12. Data indeks stabilitas agregat tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Perlakuan Indeks Stabilitas Agregat Rataan

139 Kelompok K1 K2 K3 T bc T c T ab T bc T a Rataan BNT 6.53 Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 13. Data porositas tanah kedalaman -3 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Porositas tanah ( % ) Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T T T T T Rataan Lampiran 14. Data porositas tanah kedalaman > 3 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Porositas Tanah ( % ) Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T bc T a T c T ab T a Rataan BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 15. Data bahan organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Bahan Organik ( % )

140 Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T bc T c T bc T b T a Rataan BNT.1.53 Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 16. Data C-organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 C-organik tanah ( % ) Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T bc T c T b T ab T a Rataan BNT.1 Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama.35 tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 17. Data ph tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 ph Tanah Perlakuan Kelompok Rataan K1 K2 K3 T T T T T Rataan Lampiran 18. Data total mikroorganisme tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Perlakuan Total Mikroorganisme Tanah Rataan

141 Kelompok K1 K2 K x 1 7 (spc/gr) T c T c T c T b T a Rataan BNT Ket : spc : satuan pembentuk koloni Angka-angka dalam kolom yang sama, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.1 Lampiran 19. Data tinggi limpasan permukaan pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Tinggi limpasan permukaan (mm) Perlakuan Kelompok Rataan BNT.1 K1 K2 K3 T a T a T a T b T b 66.8 Rataan b 35.1 ab a BNT Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama, demikian juga dalam baris yang sama, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.1 Lampiran 2. Data kapasitas infiltrasi pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Kapasitas infiltrasi cm/jam) Perlakuan Kelompok Rataan

142 K1 K2 K3 T b T b T ab T ab T a Rataan 9.3a 7.5a 6.1a BNT Ket: Angka-angka dalam kolom & baris yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 21. Data permeabilitas profil tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25 Permeabilitas Profil (cm/jam) Perlakuan Kelompok K1 K2 K3 Rataan T a T a T a T a T a Rataan 4.64a 4.96a 5.14a Ket: Angka-angka dalam kolom & baris yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 Lampiran 22. Data total erosi pada sistem agroforestry periode di DAS Konaweha, Tahun 25 Total Erosi (ton/ha/th) Perlakuan Kelompok Rataan BNT.1 K1 K2 K3 T a T a T a T ab T b 14. Rataan 16.1 b 2.6 ab 28.9 a BNT Ket: Angka-angka dalam baris atau kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT.5 untuk baris dan.1 untuk kolom Lampiran 23. Struktur dan tekstur tanah (klasifikasi USDA) pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Klasifikasi Tanah Kode Plot Struktur Tekstur (USDA)

143 K 1 T 1 K 2 T 1 K 3 T 1 K 1 T 2 K 2 T 2 K 3 T 2 K 1 T 3 K 2 T 3 K 3 T 3 K 1 T 4 K 2 T 4 K 3 T 4 K 1 T5 K 2 T 5 K 3 T 5 Typic Dystropept Typic Dystropept Typic Dystropept Typic Hapludult Oxic Dystropept Oxic Dystropept Typic Dystropept Typic Eutropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Oxic Dystropept Struktureless massive Sda Weak fine subangular blocky Sda Struktureless massive Struktureless massive Sda Struktureless massive Sda Weak fine subangular blocky Weak fine subangular blocky Weak fine subangular blocky Weak fine subangular blocky Weak fine subangular blocky Weak fine subangular blocky Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Loam Clay Loam Clay Loam Clay Loam Clay Loam Silty Loam Clay Loam Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam Lampiran 24. Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Kode D DE Dmin LPT BV ETol NFK Plot (mm) (mm) (mm) (mm/th) (g/cm 3) (ton/ha/th) K1T ,2,9 34,6 K2T ,2 1,1 4. K3T ,2 1,1 42,2 K1T2 15, ,2 1,1 22,4 K2T ,2 1,1 35,6 K3T ,2 1,1 35,6 K1T ,2 1,1 35,6 K2T ,2 1,1 4. K3T ,2,9 27,4 K1T ,2,9 36,4 K2T ,2,9 36,4 K3T ,2,9 34,6 K1T ,2.9 36,4 K2T ,2.9 36,4 K3T ,2.9 32,8 Keterangan : D : Kedalaman efektif tanah, NFK : Nilai Faktor Kedalaman, DE : Kedalaman Ekivalen, Dmin : Kedalaman minimum Tanah, LPT : Laju pembentukan tanah rata-rata di Indonesia (Hardjowigeno, 1983), Lampiran 25. Sidik ragam berat isi tanah kedalaman -3 dan > 3 cm Berat isi tanah Sumber Db kedalaman -3 cm kedalaman > 3 cm Keragaman KT Pr > F KT Pr > F Model

144 Kelompok ns ns Perlakuan ns ns Galat Total 14 Ket : ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 26. Sidik ragam indeks stabilitas agregat tanah Sumber Indeks Stabilitas Agregat Db Keragaman KT Pr > F Model Kelompok ns Perlakuan * Galat Total 14 Ket : * : Berbeda pada taraf nyata.5, ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 27. Sidik ragam porositas tanah kedalaman -3 dan > 3 cm Porositas Tanah Sumber Db kedalaman -3 cm kedalaman > 3 cm Keragaman KT Pr > F KT Pr > F Model Kelompok ns ns Perlakuan ns * Galat Total 14 Ket : * : Berbeda pada taraf nyata.5, ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 28. Sidik ragam bahan organik dan kadar karbon tanah Sumber Bahan organik tanah C-organik tanah Db Keragaman KT Pr > F KT Pr > F Model Kelompok ns ns Perlakuan **.277.7** Galat Total 14 Ket : ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 ** : Berbeda pada taraf nyata.1 Lampiran 29. Sidik ragam ph dan total mikroorganisme tanah Sumber Keragaman ph Tanah Total Mikroorganisme Tanah (spc) Db KT Pr > F KT Pr > F Model

145 Kelompok ns ns Perlakuan ns ** Galat Total 14 Ket : ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 3. Sidik ragam tinggi limpasan permukaan Sumber Keragaman Db KT Tinggi limpasan permukaan Pr > F Model Kelompok ** Perlakuan ** Galat Total 14 Ket : ** : berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 31. Sidik ragam kapasitas infiltrasi dan permeabilitas profil Sumber Keragaman Db Kapasitas infiltrasi (cm/jam) Permeabilitas Profil (cm/jam) KT Pr > F KT Pr > F Model Kelompok ns ns Perlakuan * ns Galat Total 14 Ket : * : Berbeda pada taraf nyata.5 ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5 Lampiran 32. Sidik ragam total erosi periode Sumber Total erosi Db Keragaman KT Pr > F Model Kelompok * Perlakuan ** Galat Total 14 Ket : * : Berbeda pada taraf nyata.5 ns : tidak berbeda pada taraf nyata.5

146 Lampiran 33. Koefisien limpasan permukaan pada system agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, periode Jumlah curah hujan bulanan (mm) periode Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Total HH (hr) CH (mm) CH* Kode Plot Tinggi limpasan permukaan Koefisien limpasan permukaan K1T K2T K3T Rataan K1T K2T K3T Rataan K1T K2T K3T Rataan K1T K2T K3T Rataan K1T K2T K3T Rataan Keterangan: CH* : Jumlah Curah hujan yang mengakibatkan limpasan permukaan

147 Lampiran 34. Nilai penting jenis (NPJ) pohon pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem agroforestry Jenis tanaman populasi Kerapatan Frekuensi Dominansi (phn) relatif (%) relatif (%) relatif (%) NPJ Kakao Sylvopastoral-p Lada/Gamal Gamal Mangga Rambutan Durian Jambu Mete Nangka Cengkeh Kelapa Durian Agrosylvicultural-p Rambutan Jeruk manis Mangga Pisang Sengon Jati Nangka Kedondong Kakao Agrosylvicultural-m Cengkeh Kelapa Kemiri Langsat Jambu mete Sagu Durian Mangga Jati Kopi Sukun kedondong Rambutan sirsak Sylvopastoral-m Langsat Kakao Durian Jati Kemiri Pinang Rambutan Jambu mete Kopi Cengkeh Sagu Kelapa Mangga Damar Hutan Kalapi Jati hutan Kayu bitti Kayu besi Kayu angin Kayu Lawang Dao Cempaka Damar mata kucing Pulai Jati Gaharu

148 Lampiran 35. Biomassa total dan kadar karbon vegetasi pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Populasi (phn/ha) Biomassa (ton/ha) Kadar karbon Sistem agroforestry Jenis Tanaman (%) (ton/ha) Sylvopastoral-p Kakao Lada Cengkeh Kelapa Jambu mete* Rambutan Durian Mangga Nangka Pisang kepok Gamal penutupan rumput 4% lahan penutupan serasah 6% lahan Total Agrosylvicultural-p Rambutan Jeruk manis Mangga Durian Nangka Pisang * Kedondong Sengon Jati penutupan semak/rumput 2% lahan penutupan serasah 6% lahan Total Agrosylvicultural-m Kakao Kopi Cengkeh Kelapa Jambu mete Rambutan Durian Langsat Mangga sirsak kedondong Sukun Kemiri Jati Sagu* penutupan semak/rumput 35% lahan penutupan serasah 65% lahan Total

149 Lampiran 35. Lanjutan Sistem agroforestry Populasi Biomassa Kadar karbon Jenis tanaman & Hutan (phn/ha) (ton/ha) (%) (ton/ha) Sylvopastoral-m Kakao Kopi Cengkeh Kelapa Jambu mete* Durian Langsat Mangga Rambutan Kemiri Jati Rumput pakan 35% lahan Serasah 65% lahan Total Hutan Damar Jati hutan Kayu besi Kalapi Kayu Lawang Damar mata kucing Cempaka Kayu bitti Kayu angin Dao Pulai Gaharu Jati Anakan (Ə < 1 cm) Semak dan rumput 1% lahan Serasah 9% lahan Total Lampiran 36. Persamaan allometrik dalam perhitungan biomassa dan kadar karbon vegetasi pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Rumus allometrik Sumber Jenis Tanaman Kadar karbon (%) BK biomassa Pengukuran langsung Lada, nanas, semak, rumput, anakan, serasah Y :,281D^2,6 Arifin (21); Van Noordwijk (22) Kopi* : kakao, jeruk manis, sirsak, 45 gamal Y : BA*H*ρ Hairiah (2) Palm* : kelapa, pinang, sagu 45 Y :,3D^2,13 Arifin (21); Van Noordwijk (22) Pisang* : pepaya 45 Y:,92255X^2,1226 Heriyanto, et al. (25) Shorea*: cengkeh, mete, durian rambutan, mangga, nangka, langsat, kedondong, kemiri, damar, jati hutan,, kayu besi, kalapi, kayu 5 lawang, cempaka, kayu bitti, pulai, gaharu Y :,5628X^2,54548 Heriyanto, et al. (25) Pinus*: kayu angin 5 Y :,8842*X^2,614 Purwanto, et al. (23) Jati 5 Keterangan : * persamaan allometrik tanaman yang digunakan

150 Lampiran 37. Hasil analisis biaya usahatani pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem Kode Jumlah petani Tenaga Sarana Total biaya Tenaga kerja agroforestry plot sampel kerja produksi tanpa diskont terdiskont (KK) (HOK/ha/th) Rp/ha/th T1 K1T K2T K3T Rataan T2 K1T K2T K3T Rataan T3 K1T3 6 25, K2T , K3T , Rataan T4 K1T K2T K3T Rataan Keterangan : discount factor : 12% Lampiran 38. Hasil analisis pendapatan usahatani pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Sistem Kode Jumlah petani Penerimaan Pendapatan agroforestry plot sampel tanpa diskont terdiskont tanpa diskont terdiskont (KK) Rp/ha/th T1 K1T K2T K3T Rataan T2 K1T K2T K3T Rataan T3 K1T K2T K3T Rataan T4 K1T K2T K3T Rataan Keterangan : discount factor : 12%

151 Lampiran 39. Analisis BCR, NPV, IRR dan PBP kondisi existing pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Tipe T1 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 27,834,933 16, (27,674,933) 24,852, , (24,79,762) (2,2,681) 2 5,725,4 8, (4,925,4) 4,564, , (3,926,499) (2,624,221) 3 14,486,4 8,152,533 (6,333,867) 1,311,133 5,82, (4,58,321) (2,463,243) 4 6,742,733 13,639,333 6,896,6 4,285,129 8,668, ,382,914 1,957,73 5 8,935,4 24,185,8 15,25,4 5,7,186 13,723, ,653,487 3,159, ,263,4 3,644,8 2,381,4 5,199,758 15,525, ,325,852 3,82, ,6,583 47,7,4 35,693,817 5,431,169 21,577, ,146,7 3,94, ,715,4 59,911,4 5,196, 3,923,887 24,197, ,273,323 4,44, ,945,4 75,39,933 63,364,533 4,37,631 27,157, ,849,886 3,727, ,628,733 81,35,267 69,721,533 3,744,141 26,192, ,448,468 2,993,376 Total 119,284, ,854, ,57,83 71,689,97 143,625,323 71,935,416 (2,382,185) BCR : 2, NPV : IRR : 35,8% PBP : 4.9 th Tipe T2 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 47% (Rp), 12% (Rp), 47% 1 1,16, , (1,44,583) 9,71,949 13, (8,968,378) (6,833,5) 2 2,79, 348, (2,361,) 2,159, , (1,882,175) (1,92,6) 3 3,286, 348, (2,938,) 2,338,91 247, (2,91,21) (924,911) 4 3,849,633 2,681,333 (1,168,3) 2,446,512 1,74, (742,476) (25,199) 5 5,316, 8,348, 3,32, 3,16,441 4,736, ,72, , ,382, 15,948, 1,566, 2,726,689 8,79, ,353,64 1,47, ,171, 28,773, 21,62, 3,243,796 13,15, ,771,648 1,456, ,552, 4,581,333 34,29,333 2,646,243 16,39, ,743,877 1,56, ,717, 63,248, 55,531, 2,782,828 22,87, ,25,35 1,732, ,658, 69,673, 62,15, 2,465,671 22,432, ,967,17 1,316,25 Total 59,81,217 23,64,667 17,263,45 32,898,637 89,795,631 56,896,994 (1,546,114) BCR : 2.73 NPV : IRR : 45.76% PBP : 5.4 th

152 TipeT3 TAHUN Lampiran 39. Lanjutan COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 47% (Rp), 12% (Rp), 62% 1 9,7,83 3, (8,77,83) 8,98, , (7,83,432) (5,966,43) 2 2,761, 566,667 (2,194,333) 2,21,52 451, (1,749,39) (1,15,472) 3 4,584,5 1,212,417 (3,372,83) 3,263, , (2,4,182) (1,61,564) 4 4,395,5 4,174,333 (221,167) 2,793,42 2,652, (14,555) (47,364) 5 6,552, 8,578,833 2,26,833 3,717,781 4,867, ,15,8 295, ,428, 14,749,167 8,321,167 3,256,625 7,472, ,215, ,67 7 8,536, 24,62, 16,84, 3,861,253 11,136, ,275,585 1,84, ,578, 38,258,667 29,68,667 3,464,51 15,452, ,987,523 1,361, ,632, 6,39,667 5,47,667 3,473,396 21,65, ,177,51 1,572, ,82, 78,269,833 69,467,833 2,834,8 25,2, ,366,783 1,474,383 Total 69,339,83 23,769, ,43,5 36,963,49 9,16,255 53,52,765 (1,477,832) BCR : 2.44 NPV : IRR : 45.73% PBP : 5. th Tipe T4 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 42% (Rp), 12% (Rp), 62% 1 19,389,65 66,667 (19,322,983) 17,312,188 59, (17,252,664) (13,67,735) 2 2,95,5 66,667 (2,883,833) 2,352,121 53, (2,298,974) (1,43,189) 3 4,467,25 3,685,333 (781,917) 3,179,7 2,623, (556,553) (273,83) 4 4,484,75 7,148, 2,663,25 2,85,14 4,542, ,692, ,26 5 6,686, 12,836,5 6,15,5 3,793,816 7,283, ,489,959 1,65, ,515, 27,655, 21,14, 3,3,72 14,1, ,71,182 2,578, ,4, 31,614, 22,574, 4,89,237 14,3, ,211,331 1,939,55 8 8,785, 48,663, 39,878, 3,548,114 19,654, ,16,55 2,412, ,458, 69,531,167 6,73,167 3,41,65 25,73, ,662,986 2,559,89 1 8,976,333 85,78, 76,83,667 2,89,139 27,618, ,728,725 2,34,85 Total 8,752, ,46,333 26,293,85 46,726,86 115,22,397 68,493,591 (1,797,64) BCR : 2.47 NPV : IRR : 39.77% PBP : 5.4 th

153 Tipe T1 TAHUN Lampiran 4. Analisis sensitivitas sekenario I pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 32% 1 27,834, , (27,698,933) 24,852, , (24,731,19) (2,984,4) 2 5,725,4 68, (5,45,4) 4,564, , (4,22,162) (2,895,661) 3 14,486,4 7,897,653 (6,588,747) 1,311,133 5,621, (4,689,74) (2,864,712) 4 6,742,733 12,91,433 6,158,7 4,285,129 8,199, ,913,965 2,28, ,935,4 21,46,817 12,471,417 5,7,186 12,146, ,76,617 3,112,47 6 1,263,4 29,719,8 19,455,68 5,199,758 15,56, ,856,853 3,677, ,6,583 43,77,34 31,7,757 5,431,169 19,486, ,54,832 4,449, ,715,4 53,449,89 43,734,49 3,923,887 21,587, ,663,627 4,744, ,945,4 67,228,53 55,283,13 4,37,631 24,243, ,935,641 4,543, ,628,733 73,182,47 61,553,737 3,744,141 23,562, ,818,656 3,832,791 Total 119,284,383 39,679,187 19,394,83 71,689,97 13,567,6 58,877,99 (354,487) BCR : 1.82 NPV : IRR : 31,8% PBP : 5.1 Tipe T2 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 42% (Rp), 12% (Rp), 42% 1 1,16,583 98,6 (1,61,983) 9,71,949 88, (8,983,914) (7,85,94) 2 2,79, 295,8 (2,413,2) 2,159, , (1,923,788) (1,196,786) 3 3,286, 295,8 (2,99,2) 2,338,91 21, (2,128,365) (1,44,324) 4 3,849,633 2,675,8 (1,173,833) 2,446,512 1,7, (745,992) (288,74) 5 5,316, 7,832,467 2,516,467 3,16,441 4,444, ,427, , ,382, 15,29,133 9,647,133 2,726,689 7,614, ,887,538 1,176,77 7 7,171, 26,837,5 19,666,5 3,243,796 12,139, ,895,922 1,689, ,552, 37,327,467 3,775,467 2,646,243 15,75, ,429,695 1,861, ,717, 56,594,133 48,877,133 2,782,828 2,48, ,625,584 2,82, ,658, 63,32,883 55,374,883 2,465,671 2,294, ,829,23 1,661,229 Total 59,81,217 21,19,133 15,217,917 32,898,637 82,212,458 49,313,821 (78,859) BCR : 2.5 NPV : IRR : 41.4% PBP : 5.5

154 Tipe T3 Lampiran 4. Lanjutan (sekenario I) TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 42% (Rp), 12% (Rp), 42% 1 9,7,83 255, (8,815,83) 8,98, , (7,87,61) (6,27,85) 2 2,761, 481,667 (2,279,333) 2,21,52 383, (1,817,71) (1,13,397) 3 4,584,5 1,16,133 (3,478,367) 3,263, , (2,475,833) (1,214,816) 4 4,395,5 3,454,683 (94,817) 2,793,42 2,195, (597,96) (231,394) 5 6,552, 7,473, ,342 3,717,781 4,24, , ,58 6 6,428, 12,927,792 6,499,792 3,256,625 6,549, ,292, ,81 7 8,536, 21,731,667 13,195,667 3,861,253 9,83, ,969,49 1,133, ,578, 33,8,533 25,222,533 3,464,51 13,651, ,186,958 1,525, ,632, 48,383,417 38,751,417 3,473,396 17,447, ,974,149 1,65, ,82, 63,61,458 54,88,458 2,834,8 2,48, ,646,857 1,644,236 Total 69,339,83 193,224, ,885,68 36,963,49 75,794,875 38,831,385 (1,877,77) BCR : 2.5 NPV : IRR : 4.6% PBP : 5.2 Tipe T4 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 19,389,65 56,667 (19,332,983) 17,312,188 5, (17,261,592) (14,111,667) 2 2,95,5 56,667 (2,893,833) 2,352,121 45, (2,36,946) (1,541,815) 3 4,467,25 3,639,2 (828,5) 3,179,7 2,59, (589,39) (322,29) 4 4,484,75 6,27,8 1,786,5 2,85,14 3,985, ,135,67 57,4 5 6,686, 12,32,825 5,616,825 3,793,816 6,98, ,187,137 1,163, ,515, 19,85,35 13,29,35 3,3,72 1,34, ,733,35 2,1,78 7 9,4, 33,226,85 24,186,85 4,89,237 15,3, ,94,93 2,67, ,785, 47,72,35 38,917,35 3,548,114 19,266, ,718,65 3,136,19 9 9,458, 64,692,575 55,234,575 3,41,65 23,328, ,918,141 3,248, ,976,333 73,846,367 64,87,33 2,89,139 23,776, ,886,415 2,785,85 Total 261,599,65 18,847,167 46,726,86 15,87,91 58,361,15 (454,528) BCR : 2.23 NPV : IRR : 36.56% PBP : 5.6

155 Tipe T1 TAHUN Lampiran 41. Analisis sensitivitas sekenario II pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 3.63% 1 32,1,173 16, (31,85,173) 28,58, , (28,437,655) (24,128,919) 2 6,584,21 8, (5,784,21) 5,248, , (4,611,137) (3,319,68) 3 16,659,36 8,152,533 (8,56,827) 11,857,83 5,82, (6,54,991) (3,698,672) 4 7,754,143 13,639,333 5,885,19 4,927,898 8,668, ,74,145 1,938, ,275,71 24,185,8 13,91,9 5,83,714 13,723, ,892,959 3,471, ,82,91 3,644,8 18,841,89 5,979,722 15,525, ,545,888 3,561, ,87,571 47,7,4 33,892,829 6,245,844 21,577, ,331,395 4,853, ,172,71 59,911,4 48,738,69 4,512,47 24,197, ,684,739 5,287, ,737,21 75,39,933 61,572,723 4,953,776 27,157, ,23,741 5,6, ,373,43 81,35,267 67,977,223 4,35,762 26,192, ,886,847 4,232,765 Total 137,177,41 341,854,467 24,677,426 82,443, ,625,323 61,181,93 (2,74,444) BCR : 1.74 NPV : Rp IRR : 3.6% PBP : 5.2 Tipe T2 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DISCOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 42% (Rp), 12% (Rp), 42% 1 11,684, , (11,568,671) 1,432,742 13, (1,329,17) (8,146,951) 2 3,115,35 348, (2,767,35) 2,483, , (2,26,114) (1,372,421) 3 3,778,9 348, (3,43,9) 2,689, , (2,442,47) (1,198,238) 4 4,427,78 2,681,333 (1,745,745) 2,813,488 1,74, (1,19,453) (429,366) 5 6,113,4 8,348, 2,234,6 3,468,97 4,736, ,267, ,42 6 6,189,3 15,948, 9,758,7 3,135,692 8,79, ,944,61 1,19, ,246,65 28,773, 2,526,35 3,73,366 13,15, ,285,78 1,763, ,534,8 4,581,333 33,46,533 3,43,179 16,39, ,346,941 1,999,29 9 8,874,55 63,248, 54,373,45 3,2,252 22,87, ,67,611 2,316, ,86,7 69,673, 6,866,3 2,835,522 22,432, ,597,32 1,825,969 Total 68,771,399 23,64, ,293,268 37,833,432 89,795,631 51,962,199 (1,665,17) BCR : 2.37 NPV : Rp IRR : 4.7% PBP : 5.6

156 Lampiran 41. Lanjutan (sekenario II) Tipe T3 ` NET PRESENT VALUE COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR TAHUN (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 42% (Rp), 12% (Rp), 52% 1 1,43,596 3, (1,13,596) 9,313,32 267, (9,45,175) (7,134,222) 2 3,175,15 566,667 (2,68,483) 2,531,21 451, (2,79,467) (1,293,634) 3 5,272,175 1,212,417 (4,59,758) 3,752,63 862, (2,889,656) (1,417,866) 4 5,54,825 4,174,333 (88,492) 3,212,433 2,652, (559,568) (216,557) 5 7,534,8 8,578,833 1,44,33 4,275,448 4,867, ,413 18, ,392,2 14,749,167 7,356,967 3,745,119 7,472, ,727, , ,816,4 24,62, 14,83,6 4,44,441 11,136, ,696,397 1,271, ,864,7 38,258,667 28,393,967 3,984,187 15,452, ,467,847 1,717, ,76,8 6,39,667 48,962,867 3,994,45 21,65, ,656,51 2,85, ,122,3 78,269,833 68,147,533 3,259,11 25,2, ,941,682 2,44,44 Total 42,58,14 9,16,255 47,58,241 (1,864,7) BCR : 2.12 NPV : Rp IRR : 49.41% PBP : 5.2 Tipe T4 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 57% 1 22,298,98 66,667 (22,231,431) 19,99,16 59, (19,849,492) (16,227,322) 2 3,393,75 66,667 (3,326,48) 2,74,939 53, (2,651,792) (1,772,289) 3 5,137,338 3,685,333 (1,452,4) 3,656,655 2,623, (1,33,58) (564,685) 4 5,157,463 7,148, 1,99,538 3,277,661 4,542, ,265,23 565,52 5 7,688,9 12,836,5 5,147,6 4,362,888 7,283, ,92,886 1,66,61 6 7,492,25 27,655, 2,162,75 3,795,87 14,1, ,215,77 3,49, ,396, 31,614, 21,218, 4,72,622 14,3, ,597,946 2,342, ,12,75 48,663, 38,56,25 4,8,331 19,654, ,573,838 3,17, ,876,7 69,531,167 58,654,467 3,922,247 25,73, ,151,389 3,449, ,322,783 85,78, 75,457,217 3,323,66 27,618, ,295,24 3,239,628 Total 53,735, ,22,397 61,484,57 (1,743,915) BCR : 2.14 NPV : Rp IRR : 36.98% PBP : 5.6

157 Lampiran 42. Analisis sensitivitas sekenario III pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Tipe T1 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 32,1, , (31,874,173) 28,58, , (28,459,83) (24,147,11) 2 6,584,21 68, (5,94,21) 5,248, , (4,76,8) (3,388,55) 3 16,659,36 7,897,653 (8,761,77) 11,857,83 5,621, (6,236,41) (3,89,491) 4 7,754,143 12,91,433 5,147,29 4,927,898 8,199, ,271,196 1,695, ,275,71 21,46,817 11,131,17 5,83,714 12,146, ,316,89 2,777, ,82,91 29,719,8 17,916,17 5,979,722 15,56, ,76,889 3,386, ,87,571 43,77,34 29,269,769 6,245,844 19,486, ,24,157 4,191, ,172,71 53,449,89 42,277,18 4,512,47 21,587, ,75,44 4,586, ,737,21 67,228,53 53,491,293 4,953,776 24,243, ,289,497 4,396, ,373,43 73,182,47 59,89,427 4,35,762 23,562, ,257,35 3,724,177 Total 137,177,41 39,679, ,52,146 82,443,393 13,567,6 48,123,613 (6,585,766) BCR : 1.58 NPV : IRR : 28.1% PBP :5.5 Tipe T2 ` NET PRESENT VALUE COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR TAHUN (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 11,684,671 98,6 (11,586,71) 1,432,742 88, (1,344,76) (8,456,986) 2 3,115,35 295,8 (2,819,55) 2,483, , (2,247,728) (1,52,238) 3 3,778,9 295,8 (3,483,1) 2,689,746 21, (2,479,22) (1,354,579) 4 4,427,78 2,675,8 (1,751,278) 2,813,488 1,7, (1,112,969) (497,133) 5 6,113,4 7,832,467 1,719,67 3,468,97 4,444, , , ,189,3 15,29,133 8,839,833 3,135,692 7,614, ,478,535 1,336, ,246,65 26,837,5 18,59,4 3,73,366 12,139, ,49,353 2,52, ,534,8 37,327,467 29,792,667 3,43,179 15,75, ,32,758 2,4, ,874,55 56,594,133 47,719,583 3,2,252 2,48, ,28,16 2,86,8 1 8,86,7 63,32,883 54,226,183 2,835,522 2,294, ,459,38 2,328,19 Total 68,771,399 21,19, ,247,734 37,833,432 82,212,458 44,379,25 (529,85) BCR : 2.17 NPV : IRR : 36.6% PBP : 5.8

158 Tipe T3 Lampiran 42. Lanjutan (sekenario III) TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 1,43, , (1,175,596) 9,313,32 227, (9,85,353) (7,427,442) 2 3,175,15 481,667 (2,693,483) 2,531,21 383, (2,147,228) (1,435,7) 3 5,272,175 1,16,133 (4,166,42) 3,752,63 787, (2,965,36) (1,62,175) 4 5,54,825 3,454,683 (1,6,142) 3,212,433 2,195, (1,16,919) (454,23) 5 7,534,8 7,473,342 (61,458) 4,275,448 4,24, (34,873) (12,734) 6 7,392,2 12,927,792 5,535,592 3,745,119 6,549, ,84,53 837, ,816,4 21,731,667 11,915,267 4,44,441 9,83, ,389,862 1,315,46 8 9,864,7 33,8,533 23,935,833 3,984,187 13,651, ,667,282 1,928, ,76,8 48,383,417 37,36,617 3,994,45 17,447, ,453,14 2,194, ,122,3 63,61,458 53,488,158 3,259,11 2,48, ,221,755 2,296,423 Total 79,739, ,224, ,484,746 42,58,14 75,794,875 33,286,862 (2,377,491) BCR : 1.78 NPV : IRR : 34.53% PBP : 5.5 Tipe T4 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 62% 1 22,298,98 56,667 (22,241,431) 19,99,16 5, (19,858,42) (16,849,569) 2 3,688,125 56,667 (3,631,458) 2,94,151 45, (2,894,976) (2,84,17) 3 5,584,63 3,639,2 (1,944,863) 3,974,625 2,59, (1,384,315) (845,64) 4 5,65,938 6,27,8 664,863 3,562,675 3,985, , , ,357,5 12,32,825 3,945,325 4,742,27 6,98, ,238, , ,143,75 19,85,35 11,661,6 4,125,877 1,34, ,98,129 2,24, ,3, 33,226,85 21,926,85 5,111,546 15,3, ,918,593 3,14,21 8 1,981,25 47,72,35 36,721,1 4,435,143 19,266, ,831,36 3,984, ,822,5 64,692,575 52,87,75 4,263,312 23,328, ,65,479 4,345, ,22,417 73,846,367 62,625,95 3,612,674 23,776, ,163,88 3,899,555 Total 99,1, ,599,65 162,598,11 56,677,288 15,87,91 48,41,622 (1,1,973) BCR : 1.94 NPV : IRR : 31.92% PBP: 6.1

159 Lampiran 43. Analisis sensitivitas sekenario IV pada system agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Tipe T1 TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 32% 1 27,834, ,6 (27,719,333) 24,852,619 13, (24,749,45) (2,999,495) 2 5,725,4 578, (5,147,4) 4,564,254 46, (4,13,476) (2,954,21) 3 14,486,4 7,613,5 (6,873,395) 1,311,133 5,418, (4,892,347) (2,988,474) 4 6,742,733 11,866,218 5,123,485 4,285,129 7,541, ,256,67 1,687,61 5 8,935,4 19,95,794 1,16,394 5,7,186 1,835, ,765,281 2,535, ,263,4 26,161,218 15,897,818 5,199,758 13,254, ,54,329 3,5, ,6,583 37,515,739 25,59,156 5,431,169 16,97, ,539,47 3,653, ,715,4 46,332,47 36,617,7 3,923,887 18,712, ,788,995 3,972, ,945,4 58,44,228 46,98,828 4,37,631 2,931, ,623,699 3,788, ,628,733 63,15,1 51,476,366 3,744,141 2,318, ,574,12 3,25,299 Total 119,284,383 27,427,39 151,142,925 71,689,97 114,546,11 42,856,23 (5,93,567) BCR : 1.6 NPV : Rp IRR : 28.6% PBP : 5.3 Tipe T2 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DISCOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 37% (Rp), 12% (Rp), 37% 1 1,16,583 83,81 (1,76,773) 9,71,949 74, (8,997,119) (7,355,39) 2 2,79, 251,43 (2,457,57) 2,159,598 2, (1,959,16) (1,39,377) 3 3,286, 251,43 (3,34,57) 2,338,91 178, (2,159,947) (1,18,145) 4 3,849,633 2,274,43 (1,575,23) 2,446,512 1,445, (1,1,7) (447,151) 5 5,316, 6,657,597 1,341,597 3,16,441 3,777, , , ,382, 12,774,763 7,392,763 2,726,689 6,472, ,745,44 1,118,17 7 7,171, 22,811,493 15,64,493 3,243,796 1,318, ,74,965 1,726, ,552, 31,728,347 25,176,347 2,646,243 12,814, ,168,34 2,28, ,717, 48,15,13 4,388,13 2,782,828 17,347, ,564,322 2,375, ,658, 53,577,951 45,919,951 2,465,671 17,25, ,784,995 1,971,495 Total 59,81, ,516, ,715,47 32,898,637 69,88,589 36,981,952 (793,422) BCR : 2.12 NPV : Rp IRR : 36.22% PBP : 5.7

160 Tipe T3 TAHUN Lampiran 43. Lanjutan (sekenario IV) ` COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 32% 1 9,7,83 216,75 (8,853,333) 8,98, , (7,94,762) (6,77,71) 2 2,761, 49,417 (2,351,583) 2,21,52 326, (1,874,668) (1,349,623) 3 4,584,5 94,213 (3,644,287) 3,263, , (2,593,931) (1,584,495) 4 4,395,5 2,936,481 (1,459,19) 2,793,42 1,866, (927,233) (48,58) 5 6,552, 6,212,657 (339,343) 3,717,781 3,525, (192,552) (84,678) 6 6,428, 1,79,256 4,281,256 3,256,625 5,425, ,169,18 89, ,536, 17,961,35 9,425,35 3,861,253 8,124, ,263,55 1,349, ,578, 27,757,487 19,179,487 3,464,51 11,21, ,746,273 2,8, ,632, 39,69,538 3,58,538 3,473,396 14,312, ,839,41 2,47,6 1 8,82, 52,325,256 43,523,256 2,834,8 16,847, ,13,324 2,71,8 Total 69,339,83 159,159,45 89,82,321 36,963,49 62,51,918 25,538,428 (785,726) BCR : 1.69 NPV : Rp IRR : 31.4% PBP : 5.5 Tipe T4 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% 12%, (Rp) 32%, (Rp) 1 19,389,65 48,167 (19,341,483) 17,312,188 43, (17,269,182) (14,652,639) 2 2,95,5 48,167 (2,92,333) 2,352,121 38, (2,313,722) (1,665,71) 3 4,467,25 3,543,32 (923,93) 3,179,7 2,522, (657,635) (41,714) 4 4,484,75 5,78,18 1,295,43 2,85,14 3,673, , , ,686, 9,751,41 3,65,41 3,793,816 5,533, ,739, , ,515, 13,816,548 7,31,548 3,3,72 6,999, ,699,191 1,38, ,4, 23,49,823 14,45,823 4,89,237 1,626, ,536,818 2,69, ,785, 35,361,498 26,576,498 3,548,114 14,281, ,733,82 2,883,49 9 9,458, 49,767,64 4,39,64 3,41,65 17,946, ,535,852 3,313, ,976,333 57,547,787 48,571,453 2,89,139 18,528, ,638,78 3,24,418 Total 8,752, ,154, ,42,469 46,726,86 8,193,298 33,466,493 (2,857,657) BCR : 1.71 NPV : Rp IRR : 29.26% PBP: 6.1

161 Lampiran 44 Analisis sensitivitas sekenario V pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25 Tipe T1 ` NET PRESENT VALUE COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR TAHUN (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 27% (Rp), 12% (Rp), 27% 1 32,1, ,6 (31,894,573) 28,58,512 13, (28,477,298) (25,113,837) 2 6,584,21 578, (6,6,21) 5,248,892 46, (4,788,114) (3,723,858) 3 16,659,36 7,613,5 (9,46,355) 11,857,83 5,418, (6,439,17) (4,416,339) 4 7,754,143 11,866,218 4,112,75 4,927,898 7,541, ,613,298 1,58, ,275,71 19,95,794 8,82,84 5,83,714 1,835, ,4,753 2,669, ,82,91 26,161,218 14,358,38 5,979,722 13,254, ,274,366 3,422,7 7 13,87,571 37,515,739 23,78,168 6,245,844 16,97, ,724,371 4,449, ,172,71 46,332,47 35,159,697 4,512,47 18,712, ,2,412 5,195, ,737,21 58,44,228 44,37,18 4,953,776 2,931, ,977,555 5,155, ,373,43 63,15,1 49,732,56 4,35,762 2,318, ,12,391 4,556,163 Total 137,177,41 27,427,39 133,25,268 82,443, ,546,11 32,12,717 (6,225,951) BCR : 1.39 NPV : Rp IRR : 22.6% PBP : 5.6 th Tipe T2 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DISCOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 32% (Rp), 12% (Rp), 32% 1 11,684,671 83,81 (11,6,861) 1,432,742 74, (1,357,911) (8,788,531) 2 3,115,35 251,43 (2,863,92) 2,483,538 2, (2,283,99) (1,643,664) 3 3,778,9 251,43 (3,527,47) 2,689, , (2,51,783) (1,533,74) 4 4,427,78 2,274,43 (2,152,648) 2,813,488 1,445, (1,368,47) (79,51) 5 6,113,4 6,657, ,197 3,468,97 3,777, , , ,189,3 12,774,763 6,585,463 3,135,692 6,472, ,336,41 1,244, ,246,65 22,811,493 14,564,843 3,73,366 1,318, ,588,395 2,85, ,534,8 31,728,347 24,193,547 3,43,179 12,814, ,771,368 2,624, ,874,55 48,15,13 39,23,463 3,2,252 17,347, ,146,898 3,224, ,86,7 53,577,951 44,771,251 2,835,522 17,25, ,415,145 2,787,789 Total 68,771, ,516,263 19,744,864 37,833,432 69,88,589 32,47,157 (571,226) BCR : 1.85 NPV : Rp IRR : 31.44% PBP : 5.9 th

162 Tipe T3 TAHUN Lampiran 44. Lanjutan (sekenario V) COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT ` DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 27% (Rp), 12% (Rp), 52% 1 1,43, ,75 (1,213,846) 9,313,32 193, (9,119,55) (8,42,398) 2 3,175,15 49,417 (2,765,733) 2,531,21 326, (2,24,826) (1,714,758) 3 5,272,175 94,213 (4,331,962) 3,752,63 669, (3,83,45) (2,114,82) 4 5,54,825 2,936,481 (2,118,344) 3,212,433 1,866, (1,346,246) (814,295) 5 7,534,8 6,212,657 (1,322,143) 4,275,448 3,525, (75,219) (4,184) 6 7,392,2 1,79,256 3,317,56 3,745,119 5,425, ,68,524 79, ,816,4 17,961,35 8,144,95 4,44,441 8,124, ,684,362 1,528, ,864,7 27,757,487 17,892,787 3,984,187 11,21, ,226,596 2,643, ,76,8 39,69,538 28,613,738 3,994,45 14,312, ,318,41 3,329,29 1 1,122,3 52,325,256 42,22,956 3,259,11 16,847, ,588,222 3,866,39 Total 79,739, ,159,45 79,419,459 42,58,14 62,51,918 19,993,94 (927,895) BCR : 1.47 NPV : Rp IRR : 25.8% PBP : 5.7 th Tipe T4 ` TAHUN COST BENEFIT PROFIT NET COST NET BENEFIT DICOUNT FACTOR NET PRESENT VALUE (DISCOUNTED) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 12% 27% (Rp), 12% (Rp), 57% 1 22,298,98 48,167 (22,249,931) 19,99,16 43, (19,866,1) (17,519,631) 2 3,393,75 48,167 (3,344,98) 2,74,939 38, (2,666,54) (2,73,847) 3 5,137,338 3,543,32 (1,594,18) 3,656,655 2,522, (1,134,59) (778,183) 4 5,157,463 5,78,18 622,718 3,277,661 3,673, , , ,688,9 9,751,41 2,62,51 4,362,888 5,533, ,17, , ,492,25 13,816,548 6,324,298 3,795,87 6,999, ,24,86 1,57, ,396, 23,49,823 13,94,823 4,72,622 1,626, ,923,433 2,457, ,12,75 35,361,498 25,258,748 4,8,331 14,281, ,21,584 3,732, ,876,7 49,767,64 38,89,364 3,922,247 17,946, ,24,255 4,524, ,322,783 57,547,787 47,225,3 3,323,66 18,528, ,25,187 4,326,481 Total 92,865, ,154,953 16,289,597 53,735,826 8,193,298 26,457,472 (2,959,637) BCR : 1.48 NPV : Rp IRR : 24.% PBP : 6.5 th

163 Lampiran 45. Prioritas tujuan P1 : T1 T2 T3 T4 Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario (kondisi existing) di DAS Konaweha, Tahun 25 Tujuan (target) P3: Luas lahan.75 ha 1.1 ha DU DO DU DO P2 : T1 T2 T3 T P4 : T1 T2 T3 T P5 : T1 T2 T3 T Keterangan: P1 : tujuan laju erosi (ton/ha/th), P2: tujuan pendapatan memenuhi KHL (Rp/KK/th), P3 : kendala ketersediaan lahan (ha), P4: kendala ketersediaan modal (Rp/ha), P5: kendala ketersediaan tenaga kerja (HOK/ha), (DU) : target tidak tercapai dan (DO) : melebihi target, T1: sylvopastoral-p, T2: agrosylvicultural-p, T3: agrosylviculturalm, T4: sylvopastoral-m.

164 Lampiran 46. Prioritas tujuan P1 : T1 T2 T3 T4 Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario I di DAS Konaweha, Tahun 25 Tujuan (target) P3: Luas lahan.75 ha 1.1 ha DU DO DU DO P2 : T1 T2 T3 T P4 : T1 T2 T3 T P5 : T1 T2 T3 T Keterangan: P1 : tujuan laju erosi (ton/ha/th), P2: tujuan pendapatan memenuhi KHL (Rp/KK/th), P3 : kendala ketersediaan lahan (ha), P4: kendala ketersediaan modal (Rp/ha), P5: kendala ketersediaan tenaga kerja (HOK/ha), (DU) : target tidak tercapai dan (DO) : melebihi target, T1: sylvopastoral-p, T2: agrosylvicultural-p, T3: agrosylviculturalm, T4: sylvopastoral-m.

165 Lampiran 47. Prioritas tujuan P1 : T1 T2 T3 T4 Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario II di DAS Konaweha, Tahun 25 Tujuan (target) P3: Luas lahan.75 ha 1.1 ha DU DO DU DO P2 : T1 T2 T3 T P4 : T1 T2 T3 T P5 : T1 T2 T3 T Keterangan: P1 : tujuan laju erosi (ton/ha/th), P2: tujuan pendapatan memenuhi KHL (Rp/KK/th), P3 : kendala ketersediaan lahan (ha), P4: kendala ketersediaan modal (Rp/ha), P5: kendala ketersediaan tenaga kerja (HOK/ha), (DU) : target tidak tercapai dan (DO) : melebihi target, T1: sylvopastoral-p, T2: agrosylvicultural-p, T3: agrosylviculturalm, T4: sylvopastoral-m.

166 Lampiran 48. Prioritas tujuan P1 : T1 T2 T3 T4 P2 : T1 T2 T3 T4 P4 : T1 T2 T3 T4 Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario III di DAS Konaweha, Tahun 25 Tujuan (target) P3: Luas lahan.75 ha 1.1 ha DU DO DU DO P5 : T1 T2 T3 T Keterangan: P1 : tujuan laju erosi (ton/ha/th), P2: tujuan pendapatan memenuhi KHL (Rp/KK/th), P3 : kendala ketersediaan lahan (ha), P4: kendala ketersediaan modal (Rp/ha), P5: kendala ketersediaan tenaga kerja (HOK/ha), (DU) : target tidak tercapai dan (DO) : melebihi target, T1: sylvopastoral-p, T2: agrosylvicultural-p, T3: agrosylviculturalm, T4: sylvopastoral-m.

167 Lampiran 49. Prioritas tujuan P1 : T1 T2 T3 T4 P2 : T1 T2 T3 T4 P4 : T1 T2 T3 T4 P5 : T1 T2 T3 T4 Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry sekenario IV di DAS Konaweha, Tahun 25 Tujuan (target) P3: Luas lahan.75 ha 1.1 ha DU DO DU DO Keterangan: P1 : tujuan laju erosi (ton/ha/th), P2: tujuan pendapatan memenuhi KHL (Rp/KK/th), P3 : kendala ketersediaan lahan (ha), P4: kendala ketersediaan modal (Rp/ha), P5: kendala ketersediaan tenaga kerja (HOK/ha), (DU) : target tidak tercapai dan (DO) : melebihi target, T1: sylvopastoral-p, T2: agrosylvicultural-p, T3: agrosylviculturalm, T4: sylvopastoral-m.

168 Lampiran 5. Peta Penggunaan lahan DAS Konaweha, Tahun 24

169 Lampiran 51 Peta lokasi pengamatan sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 25

170 N g g g g N g g g g g M lg lg lg lg M g g g C g g C g g g k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg k k R k k g Ps m k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg k k C lg lg C g g k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg R lg lg lg R M k k k k N k k k k lg lg lg lg lg lg lg k k C lg lg Cg g k k k k k k k k k M lg lg lg lg lg lg k k k R lg lg g P k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg M C K lg C lg K g D k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg lg k k k k k g N k k k k N k k k k M lg lg lg lg lg lg R k k R k k R g k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg k k C k k k C P k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg K k k K k k g g m k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg lg lg C lg lg C M k k k k N k k k k M lg lg lg lg M R lg lg R lg lg g g k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg lg lg C lg lg Cg P D k k D k k k D lg lg D lg lg lg lg K lg lg R lg lg g g k k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg lg lg C lg lg C g N k k k k N k k k k M lg lg lg lg lg R lg lg R lg lg M g g m k k k k k k k k lg lg lg lg lg lg lg lg C lg lg C lg g P k k k k k k k k k lg lg lg lg lg R lg K k R k k Kg g k k k D k k k D k lg lg D lg lg m lg lg D lg lg lg D M g g P g g g N g g P g g M g g g g P g g g N g g P g g gp 2 m Keterangan : Kode tanaman Jarak tanam (m) Jumlah pohon/ha k : kakao 3 x 3 48 lg : lada/gamal 2 x 1,5 61 C : cengkeh 5 x 5 22 K : kelapa 1 x 1 3 M : jambu mete 2 x 2 61 R : rambutan 5 x 7 27 D : durian 1 37 m : mangga 8 3 N : nangka 1 x 1 3 P : pisang 1 3 g : gamal 1 4 Lampiran 52. Denah Pola Tanam Tipe Sylvopastoral-p di DAS Konaweha, Tahun 25

171 S M M M P j j j j j j j j j j j R R R P D D D D j j j j j j j j j j j j K M M M J N N N N P j j j j j j j j j j j R R R P D D D D j j j j j j j j j j j K M M M S N N N N P j j j j j j j j j j j R R R P D D D D j j j j j j j j j j j K M M M J N N N N P j j j j j j j j j j j R R R P D D D D j j j j j j j j j j j K P K P P K P P S J S 4 m 1 m 1 m Keterangan : Kode tanaman Jarak tanam (m) Jumlah pohon/ha R : rambutan 1 x 1 75 M : mangga 7 x 7 5 j : jeruk manis 5 x 5 75 K : kedondong 1 x D : durian 1 x 1 5 N : nangka 1 x 1 1 P : pisang 1 2 S : sengon 2 2 J : jati 2 15 Lampiran 53. Denah Pola Tanam Tipe Agrosylvicultural-p di DAS Konaweha, Tahun 25

172 Foto A : Tipe sylvopastoral-p Tipe sylvopastoral-p Tipe sylvopastoral-m Lampiran 54. Penutupan tanah dengan serasah dan rumput pada tipe sylvopastoral-p dan sylvopastoral-m di DAS Konaweha, Tahun 25

173 Tipe agrosylvicultural-p Lapisan tajuk strata A pada tipe agrosylvicultural-m Lapisan tajuk strata A dan B pada tipe sylvopastoral-m Lampiran 55. Contoh kondisi tipe agrosylvicultural-p dan lapisan tajuk pada tipe agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m di DAS Konaweha, Tahun 25

174 Lampiran 56. Peta Rekomendasi Agroteknologi Sistem Agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 25

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH

OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH OPTIMALISASI PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA SULAWESI TENGGARA SITTI MARWAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Hairiah, dkk (2003) mendefinisikan agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pertanian lahan kering adalah merupakan suatu bentuk bercocok tanam diatas lahan tanpa irigasi, yang kebutuhan air sangat bergantung pada curah hujan. Bentuk pertanian

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai (DAS), berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Inilah Gambaran Peternak Dalam Mencari Hijauan Bagaimna Penanaman Rumput Pada Peternak Ruminansia Bagaimna Penanaman Rumput

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013)

TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013) TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013) Prinsip-prinsip Panen Air Hujan Pemanenan-air-hujan dalam makna yang luas dapat didefinisikan sebagai kegiatan

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA

PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi berasal dari bahasa latin erodere yang berarti menggerogoti atau untuk menggali. Istilah erosi ini pertama kali digunakan dalam istilah geologi untuk menggambarkan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit ABSTRACT JAKA SUYANA. The Development of Tobacco-Based Sustainable Dry Land Farming System at Progo Hulu Sub-Watershed (Temanggung Regency, Central Java Province). Under direction of NAIK SINUKABAN, BUNASOR

Lebih terperinci

Kharakteristik Sistem Agroforestry. Sistem Agroforestry Ditinjau dari Komponen Penyusun

Kharakteristik Sistem Agroforestry. Sistem Agroforestry Ditinjau dari Komponen Penyusun Kharakteristik Sistem Agroforestry Sistem Agroforestry Ditinjau dari Komponen Penyusun Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa komponen penyusun sistem agroforestry di wilayah DAS Konaweha secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal

TINJAUAN PUSTAKA. Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal TINJAUAN PUSTAKA Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal penting, karena terkait dengan sistim penggunaan lahan secara lestari. Bahasan tersebut merupakan salah satu kesimpulan

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) DI SUB DAS CIPAMINGKIS HULU, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Wilis Juharini F14103083 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR. Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM

PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR. Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM anah dan air merupakan komponen yang sangat vital dalam menopang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) 1. Cara memperbaiki tanah setelah mengalami erosi yaitu dengan cara?? Konservasi Tanah adalah penempatansetiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN i ii Kata Pengantar Penyusunan rencana pengelolaan ( Manajemen Plan) Sub DAS Gogopan merupakan bahagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan di wilayah DAS Asahan Barumun melalui program

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat dan Agroforestry Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel 19850. Ada banyak pengertian dan batasan agroforestri.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Tipe Penggunaan Lahan (Land Utilization Type) Salah satu tahapan sebelum melakukan proses evaluasi lahan adalah mendeskripsikan 11 atribut kunci tipe penggunaan lahan. Berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengolahan Tanah dan Pemanasan Global Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian, memberantas gulma, memperbaikai

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam perkembangannya memanfaatkan hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan kayu bangunan, hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA Nini Rahmawati Pangan dan Gizi Manusia Zat gizi merupakan komponen pangan yang bermanfaat bagi kesehatan (Mc Collum 1957; Intel et al 2002). Secara klasik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan 7 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya,

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan 21 TINJAUAN PUSTAKA Indonesia merupakan negara yang penting dalam konteks perubahan iklim dunia karena memiliki luas hutan tropis terbesar setelah Brasil. Namun kanyataannya saat ini degradasi hutan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri 2.1.1 Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci