TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tuna Mata Besar
|
|
- Yohanes Setiawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tuna Mata Besar Menurut Saanin (1986), klasifikasi ikan tuna mata besar adalah sebagai berikut : dunia : Animalia sub dunia : Metazoa filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Scombroidae famili : Scombridae genus : Thunnus species : Thunnus obesus Ikan tuna mata besar termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang sangat kecil. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, dan pada umumnya 180 cm. Ikan ini tersebar di seluruh perairan di dunia baik di perairan tropis maupun subtropis yang meliputi perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tetapi tidak terdapat di Laut Mediterania. Tuna jenis ini bersifat epipelagik, mesopelagik, berada pada permukaan sampai kedalaman 250 m, dapat ditemukan pada perairan dengan suhu o C, tetapi batas optimumnya antara o C (Collette dan Nauen 1983).
2 8 Sumber: FAO (2005) Gambar 2 Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus). Menurut Fukofuka dan Itano (2006), ikan tuna mata besar mempunyai ciriciri luar sebagai berikut : Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor; Pada ikan dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain; Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata; Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4-1/3 kali fork length (FL); Sirip dada pada anak ikan tuna (yuwana) lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal; Ikan-ikan tuna mata besar dengan ukuran <75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding; Ikan-ikan yuwana sering mempunyai 7-10 strip-strip yang berwarna putih dan tidak terputus-putus, menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ikan tuna sirip kuning. Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tuna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat
3 9 Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik (Uktolseja 1988). Sumber: FAO (2005) Gambar 3 Peta penyebaran ikan tuna mata besar di dunia. 2.2 Hasil Tangkapan Ikan Tuna Mata Besar Didaratkan di Benoa Pengertian hasil tangkapan didaratkan adalah jumlah ikan dari satu atau lebih spesies ataupun hewn air lainnya yang tertangkap oleh suatu kegiatan operasi penangkapan dan didaratkan di suatu tempat pendaratan yang merupakan fishing base suatu perusahaan penangkapan atau di suatu pelabuhan perikanan. Hasil tangkapan terbagi menjadi 2, yaitu hasil tangkapan utama (HTU) dan hasil tangkapan sampingan (HTS). Hasil tangkapan sampingan (HTS) dapat diartikan sebagai hasil tangkapan yang tertangkap selain hasil tangkapan utama dan bukan merupakan target spesies. Beverly et al. (2003) menyatakan bahwa HTS adalah hasil tangkapan yang tidak diinginkan namun tertangkap secara kebetulan selama operasi penangkapan dengan tuna longline. Penanganan HTS terbagi 2, yaitu disimpan karena memiliki nilai ekonomis tinggi (by-product) dan dibuang karena tidak memiliki nilai ekonomis (discard). Hasil tangkapan utama tuna longline adalah jenis-jenis tuna dan paruh panjang (billfish), termasuk jenis-jenis hiu (cucut) yang merupakan salah satu komponen hasil tangkapan yang sangat penting (Beverly et al. 2003), sedangkan hasil tangkapan sampingannya adalah beberapa jenis ikan, penyu dan burung.
4 10 Indonesia adalah salah satu negara perikanan tuna yang penting di Samudera Hindia. Potensi sumberdaya tuna di wilayah Samudera Hindia termasuk ZEEI 200 mil sebesar ton/tahun atau 39,4% dari total potensi tuna Indonesia yaitu sebesar ton/tahun (Uktolseja et al. 1997). Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean Tuna Commission, IOTC) memperkirakan hasil tangkapan tuna dan sejenisnya (tuna like species) dari Indonesia di Samudera Hindia sebesar ton pada tahun 2000 (Herrera 2002, diacu dalam Proctor et al. 2003). Hasil tangkapan tuna mata besar yang didaratkan di Benoa hingga tahun 2002 diperkirakan mencapai ton atau 43,5% dari total hasil tangkapan tuna yaitu sebesar ton (Tabel 2) (Proctor et al. 2003). Tabel 2 Estimasi hasil tangkapan tuna yang didaratkan di Benoa tahun Jenis tuna Berat Berat Berat % % (ton) (ton) (ton) % Mata besar , , ,5 Madidihang , , ,8 Sirip biru selatan , , ,1 Albakor , , ,4 Paruh panjang 752 3, , ,1 Total Sumber: Proctor et al. (2003) Sebagian besar ikan tuna, termasuk ikan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline yang berbasis di Benoa dijual dalam bentuk segar dan beku. Produksi tuna segar dan beku pada tahun 2005 sebesar ton. Produksi ini mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2000 yaitu sebesar ton (Tabel 3) (Asosiasi Tuna Longline Indonesia, ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). Tabel 3 Produksi tuna segar dan beku kapal tuna longline di Benoa Tahun Segar (ton) Beku (ton) Total (ton) Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007)
5 11 ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) melaporkan bahwa ekspor tuna dari Benoa semenjak tahun mengalami penurunan. Penurunan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 dimana hanya ton tuna yang diekspor dibandingkan pada tahun 2000 yang berjumlah ton (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan nilai ekspor tuna dari Benoa tahun Tahun Jumlah ekspor (ton) Nilai ekspor (US$) Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 2005 jumlah kapal tuna longline pada tahun 2003 berjumlah unit, sedangkan pada tahun 2002 hanya berjumlah unit atau mengalami kenaikan sebesar 189,18%. Jumlah kapal tuna longline di Benoa sejak tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1997 jumlah kapal tuna longline di Benoa sebanyak 459 unit, bertambah jumlahnya pada tahun 2004 hingga mencapai 700 unit. Pada tahun 2005 jumlah kapal tuna longline menurun seiring dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) (Tabel 5) (ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). Tabel 5 Jumlah kapal tuna longline di Benoa tahun Tahun Jumlah kapal (unit) Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Ukuran kapal tuna longline di Benoa terdiri dari 0-30 GT, GT, dan >60 GT. Dari keseluruhan kapal tuna longline yang ada di Benoa, dapat dilihat bahwa kapal tuna longline yang mempunyai ukuran >60 GT 57% lebih banyak
6 dibandingkan kapal yang mempunyai ukuran <60 GT (Tabel 6) (ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). 12 Tabel 6 Ukuran kapal tuna longline dan jenis lainnya di Benoa tahun 2005 Ukuran kapal Tuna longline Alat tangkap lain Total 0-30 GT GT >60 GT Jumlah Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Beberapa daerah di Indonesia yang merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan selatan Jawa terus menuju timur. Begitu pula di perairan selatan dan barat Sumatera serta perairan lainnya (Gunarso 1998). Menurut Uktolseja et al. (1991) tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar. Menurut Wudianto et al. (2003) daerah penangkapan kapal tuna longline yang berasal dari Cilacap dan Benoa yaitu di perairan selatan Jawa Tengah antara o BT dan 8-22 o LS dimana sebagian besar (>70%) melakukan penangkapan di luar perairan ZEEI. Penangkapan di luar perairan ZEEI Samudera Hindia diduga karena kelimpahan tuna di perairan ZEEI semakin sedikit. Hal ini terlihat dari laju pancing (hook rate) di perairan ZEEI makin kecil dan berat ikan yang tertangkap juga makin kecil. Pada awal-awal perkembangan tuna longline (1970-an), laju pancing berkisar antara 1,15-2,16. Pada tahun 1999 turun mencapai 0,67. Begitu pula dengan berat ikan yang tertangkap terus turun dari 37 kg/ekor pada tahun 1973 menjadi 26 kg/ekor pada tahun 1999 (Pusat Riset Perikanan Tangkap 2002). Daerah penangkapan yang pernah dilaporkan oleh PT. PSB sebagai berikut (Uktolseja et al. 1991):
7 13 Tabel 7 Daerah penangkapan tuna longline di perairan Indonesia Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Daerah penangkapan barat Sumatera, selatan NTB/NTT, Laut Flores, Laut Banda bagian timur barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT, Laut Flores dan di Laut Banda cukup padat terutama di selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda selatan Jawa/Bali, lepas pantai NTB/NTT dan sedikit di Laut Banda sedikit di barat Sumatera dan selatan Jawa dan Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa, lepas pantai NTB dan Laut Banda.cukup padat selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan Laut Banda barat Sumatera, sedikit di selatan Jawa/NTB, Laut Flores dan Laut Banda selatan NTB/NTT dan Laut Banda serta Laut Flores 2.3 DNA (Deoxyribonuleic Acid) Mitokondria DNA mitokondria sangat potensial digunakan untuk pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies (intra spesies yang memiliki hubungan dekat). Brown (1983) diacu dalam Arifin (2005) menyatakan bahwa peranan DNA mitokondria dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan cukup besar, karena DNA mitokondria memiliki derajat polimorfisme yang tinggi serta hubungan yang jelas antara poplimorfisme dengan substansi basa-basa penyusun genomnya. DNA mitokondria, berbeda dengan organel sel lainnya, mitokondria memiliki materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi genetik di inti sel. Mitokondria, sesuai dengan namanya, merupakan rantai DNA yang terletak di bagian sel yang bernama mitokondria. DNA mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau dari ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Di antaranya adalah memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar kali DNA inti. Selain itu DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. DNA inti merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu (maternally inherited) (Anonim 2008c). Aplikasi DNA mitokondria telah banyak dilakukan pada bidang perikanan sebagai dasar analisis keragaman genetik ikan dan struktur populasi (Saiki et al. 1988; Kitamura et al. 1996, diacu dalam Arifin 2005). Analisis DNA mitokondria
8 14 memberikan hasil yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis protein karena analisis DNA mitokondria dapat mendeteksi semua keragaman genetik yang bernilai bagi pemahaman identifikasi stok (Ferris dan Berg 1987, diacu dalam Rina 2001). Hal ini dapat dilihat dari perbandingan hasil-hasil penelitian dengan menggunakan DNA mitokondria dan analisis protein pada ikan-ikan American oyster (Crassostrera virginica), kepiting (Limulus polyphemus), ikan teleostei laut (Fundulus heteroclitus dan Theragra chalcogramma) ikan teleostei air tawar (Stizestedion vitreum) serta ikan anadromus American shad (Alosa sapidissima) yang menyimpulkan bahwa sub divisi populasi lebih besar terlihat pada analisis dengan DNA mitokondria dibandingkan dengan protein (Ward dan Grewe 1995, diacu dalam Rina 2001). Daerah D-loop atau dikenal juga dengan nama daerah kontrol (control region) merupakan bagian dari DNA mitokondria yang sangat spesifik. Analisis DNA mitokondria pada D-loop telah digunakan untuk menduga keragaman genetik dan struktur populasi ikan japanese flounder (Paralichthys alovaceus) oleh Fujii dan Nishida (1997). 2.4 RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) RFLP adalah suatu metode untuk melihat perbedaan profil dan panjang DNA yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease yang sama tetapi pada individu yang berbeda dalam suatu populasi (Stansfield 1991, diacu dalam Ayu 2005). Metode RFLP digunakan untuk mengetahui polimorfisme DNA pada wilayah tertentu dengan melihat tipe atau pola pemotongan DNA dengan menggunakan bantuan enzim restriksi (Sianipar 2003). RFLP atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah fragmen restriksi yang polimorfik merupakan penanda molekul yang pertama kali ditemukan dan digunakan. Penggunaannya dimungkinkan semenjak orang menemukan enzim endonuklease restriksi (RE), suatu kelas enzim yang mampu mengenal dan memotong seurutan pendek basa DNA (biasanya 4-6 urutan basa). RFLP bersifat kodominan dan cukup berlimpah serta polimorfik. Penanda ini juga mudah dipetakan dalam peta genetik dan bersifat stabil (Anonim 2008d).
9 15 Suatu fragmen restriksi yang polimorfik (RFLP) akan muncul apabila DNA dari individu yang berbeda dalam populasi memberikan profil fragmen yang berbeda saat DNA-nya terpotong menggunakan enzim restriksi endonuklease yang sama (Stansfield 1991, diacu dalam Sunandar 2008). RFLP telah digunakan pada genom mitokondria di beberapa situs restriksi antara lain 16S rrna (ribosomal ribonucleic acid) dan CO (cytochrome oxidase)-i (Mathews et al. 2002, diacu dalam Sunandar 2008) dan area D-loop (Nugroho et al. 2002). Penelitian Bouchon et al. (1994) diacu dalam Rina (2001) memperlihatkan bahwa analisis mtdna dengan RFLP telah dapat memperlihatkan variasi DNA pada dua spesies udang penaeid (Penaeus monodon Fab dan P. japonicus Bate). Selain itu, Tabata dan Mizuta (1997) diacu dalam Rina (2001) melakukan penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih rinci pada populasi ikan red sea bream (Pagrus major) dengan analisis RFLP mtdna pada daerah D-loop. 2.5 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah reaksi berantai polimerase merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, orang dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar dalam waktu singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA (Anonim 2009a). Erlich (1989) diacu dalam Rina (2001) menyatakan bahwa PCR adalah sebuah metode in vitro yang digunakan untuk mensintesa sekuen DNA tertentu secara enzimatis dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridasi pita yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Metode PCR terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap denaturasi (denaturation) untuk memisahkan DNA menjadi utas tunggal (single strand) pada suhu 95 o C, (2) tahap penempelan (annealing) merupakan proses penempelan primer DNA baru pada utas tunggal yang telah terpisah dan (3) tahap pengembangan (extension) yang merupakan proses pemanjangan utas DNA yang baru (Baker dan Birt 2000, diacu dalam Sunandar 2008). Lisdiyanti (1997) mengemukakan bahwa PCR adalah metode yang sangat sensitif sehingga hanya
10 16 dengan satu molekul DNA, dapat diperbanyak dua kali lipat DNA dalam satu siklus suhu denaturation, annealing dan extension. Sekuens primer DNA merupakan faktor kunci yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu PCR, karena primer ini sebagai awal dimulainya proses amplifikasi DNA. Jika primer langsung menempel pada susunan basa nukleotida pada sekuens DNA, maka proses berikutnya akan mudah bekerja dengan baik. umumnya suatu primer DNA memiliki panjang antara pasangan basa (basepairs), baik primer yang berukuran panjang atau pendek keduanya umum digunakan dalam proses PCR (Baker dan Birt 2000, diacu dalam Sunandar 2008). Primer DNA yang digunakan sebaiknya memiliki kesamaan sekuens atau spesifik dengan target template DNA 2.6 Keragaman Genetik Keragaman genetik merupakan hirarki yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Keragaman hayati mencakup area yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi sampai dengan spesies. Keragaman genetik merupakan cerminan keragaman di dalam spesies yang secara umum disebut subspesies. Terminologi sumber daya genetik diartikan untuk merefleksikan adanya keragaman genetik di dalam satu spesies sampai pada tingkat DNA (Soewardi 2007). Lebih lanjut Soewardi (2007) menyebutkan bahwa keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati (biodiversity) yang memiliki pengertian yang lebih luas, yakni keragaman struktural dan fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan genetik. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan keragaman hayati, sumberdaya genetik memiliki peran penting karena semakin beragam sumberdaya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka yang lama serta semakin tinggi daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan semakin besar. Disamping itu, keragaman genetik juga merupakan kunci penting dalam memelihara keberlanjutan dan meningkatkan produktivitas dari suatu spesies. Menurut Sumantadinata (1982) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis,
11 17 terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Secara umum keragaman genetik suatu populasi akan mempengaruhi respon populasi terhadap seleksi alam dan seleksi buatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individuindividu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman dan Utter 1987). Pembentukan struktur genetika populasi suatu jenis ikan dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat menambah maupun mengurangi keragaman genetik. Faktor-faktor yang menyebabkan penambahan gen atau meningkatkan keragaman genetik antara lain faktor mutasi dan imigrasi, sedangkan faktor-faktor yang menurunkan keragaman genetik antara lain seleksi alami dan penghanyutan genetik (genetic drift) (Gardner et al. 1991, diacu dalam Soewardi 2007). Menurut Soelistyawati (1996), keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat. Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam suatu atau antar populasi. Menurut Chambers dan Bayless (1983) diacu dalam Imron (1998), ada tujuh cara yaitu pengukuran asam inti, sekuensing protein, elektroforesis, imunologi, kromosom, hubungan antar lokus, morfometrik dan studi breeding; sedangkan menurut Allendorf dan Phelp (1981) diacu dalam Imron (1998) cara untuk menduga keragaman genetik populasi adalah dengan metode biometrik yaitu keragaman karakter fisiologis atau morfologis yang terukur seperti bobot, panjang, umur kematangan, ketahanan terhadap penyakit, toleransi salinitas, metode studi kromosom dan marka genetik biokimia. Powers (1991) mengajukan cara protein pengkode lokus (elektroforesis) dan pendeteksian keragaman genetik melalui metode asam inti. Metode-metode yang dimaksud
12 18 adalah DNA mitokondria, DNA figerprinting, amplifikasi DNA dengan PCR dan sekuensing protein dan DNA mikrosatelit. Metode untuk mengukur keragaman genotip yang sekarang ini banyak digunakan oleh para ahli genetika salah satunya adalah DNA mitokondria. Pengukuran tingkat DNA ini mempunyai hasil yang lebih akurat (Ryman dan Utter 1987). 2.7 Pengukuran Jarak Genetik Unit stok, sekelompok individu atau sub kelompok dari suatu spesies yang memiliki kesamaan dalam struktur atau pola genetik, dapat dipelajari berdasarkan frekuensi genetik dari setiap gen yang terlibat dalam ekspresi fenotipik. Pada tingkat molekular (DNA) ikan laut menunjukkan keragaman genetik walaupun dalam derajat yang lebih rendah dibanding ikan air tawar baik pada level supraspesifik maupun taksa kelompok individu (populasi dan subpopulasi) dimana pada tingkat protein (studi allozyme) tidak terlihat (Suwarso 2002). Berdasarkan sifat polimorfisme DNA mitokondria, keragaman genetik populasi dapat diketahui oleh dua ukuran divergensi yaitu divergensi di dalam populasi (intrapopulasi) dan divergensi antar populasi (interpopulasi). Selanjutnya dikatakan oleh Hartl (1980) bahwa divergensi interpopulasi diperoleh berdasarkan parameter jarak genetik (genetic distance) dan analisis statistik (sampling varian) terhadap perbedaan situs restriksi. Jarak genetik merupakan ukuran perbedaan genetik antar populasi karena mutasi, seleksi, persilangan acak dan penghanyutan gen yang akan mengubah genetic make up populasi; dan migrasi akan menyebabkan terjadinya evolusi. Keragaman intrapopulasi dinyatakan dengan parameter diversitas haplotipe atau diversitas nukleon (h), banyaknya nukleomorf (unit polimorfisme pada nukleon yang terdapat dalam bentuk pola situs restriksi), jumlah rata-rata perbedaan situs restriksi, jumlah segresi situs retriksi atau jumlah situs retriksi polimorfisme dalam sejumlah sampel nukleon. Nukleon merupakan suatu segmen DNA, identik dengan gen dalam DNA inti, yang dicirikan oleh peta situs restriksi atau jumlah dan ukuran frgamen DNA (Nei dan Tajima 1981). Penggunaan teknik molekuler tingkat DNA menambah dimensi baru dalam penyusunan filogeni dan reklasifikasi filogeni organisme karena lebih teliti dan
13 19 akurat, selain itu telah melahirkan interes baru dalam pengujian tentang hipotesis mekanisme evolusi. Algoritma dasar dalam rekonstruksi pohon filogenetik didasarkan pada asumsi bahwa bila satu gen pada sepasang spesies atau populasi berevolusi secara clocklike fashion dengan derajat divergensi gen menyimpang selama t generasi, maka diperkirakan gen terpisah dari nenek moyang umumnya selama ½ generasi (Hartl dan Clark 1997, diacu dalam Suwarso 2002). Asumsi ini dipakai dalam menerapkan metode rekonstruksi pohon filogenetik yang didasarkan pada ukuran jarak genetik. Salah satu metode yang sederhana adalah metode jarak rata-rata (Unweighted Pair-Group Method with Arihmatic Mean, UPGMA method) atau disebut metode least square. Dengan asumsi bahwa seluruh sekuen berevolusi dengan laju sama, metode ini meminimalkan deviasi dari jumlah kuadrat statistik (sum of square). Topologi pohon disusun berdasarkan matrik jarak secara berpasangan (pairwise distances matrix), sedang pengklusteran dimulai dari takson yang memiliki jarak genetik terkecil hingga terbesar.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. belakang, dan mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ikan Tuna Ikan tuna mempunyai tubuh yang menyerupai cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia
Lebih terperinciGambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi Udang Mantis Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod,
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN M
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaman Haplotipe Ikan Malalugis Panjang sekuens mtdna ikan malalugis (D. macarellus) yang diperoleh dari hasil amplifikasi (PCR) dengan menggunakan pasangan primer HN20
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada
Lebih terperinciBIO306. Prinsip Bioteknologi
BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah
Lebih terperinciIdentifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )
Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk
Lebih terperinciPENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau
PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian mengenai biodiversitas mikroba termofilik telah membuka banyak informasi mengenai interaksi mikroba dengan lingkungannya (Newman dan Banfield, 2002).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem
Lebih terperinciPRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)
Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Profil RAPD Keanekaragaman profil RAPD meliputi jumlah fragmen dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan tiga primer (OPA-2, OPC- 2, dan OPC-5)
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni
TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus
Lebih terperinciGambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah
Lebih terperinciANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI
1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang
Lebih terperinciKATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis
KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens
Lebih terperinciIkan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan
1. Latar Belakang Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan demersal berukuran besar yang mempunyai nilai ekonomis penting karena permintaan pasar yang tinggi. Jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Metapenaeus elegans), udang dogol (Metapenaeus ensis), udang pasir
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan ekosistem bakau dengan laguna yang unik dan langka yang terletak di antara Pantai Selatan Kabupaten Cilacap dan Pulau Nusakambangan (Saputra,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus monodon Fabricius,1798) merupakan komoditas primadona dan termasuk jenis udang lokal yang berasal
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas merupakan salah satu ikan dengan penyebaran dan domestikasi terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia dan dari lokai
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Spesies Azadirachta indica memiliki nama lokal mimba atau nimbi. Tanaman mimba dapat beradaptasi di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman mimba dapat tumbuh dengan
Lebih terperinciPEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali
41 PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali Sekuen individu S. incertulas untuk masing-masing gen COI dan gen COII dapat dikelompokkan menjadi haplotipe umum dan haplotipe-haplotipe
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup
Lebih terperinciSTUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA
STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN
Lebih terperinciII. BAHAN DAN METODE
II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis
Lebih terperinciKERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA
Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.) KERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA Budi Nugraha, Dian Novianto dan
Lebih terperinciKERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI
KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI EKO HANDIWIRAWAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151 ABSTRAK Variasi di dalam populasi terjadi sebagai akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara yang masuk ke dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal sebagai kelompok ikan bakutut atau belosoh. Secara morfologis, anggota Famili ini mirip dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam, dimana kondisi lingkungan geografis antara suku yang satu dengan suku yang lainnya berbeda. Adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil produk perikanan budidaya kategori ikan, crustacea dan moluska ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. Pada tahun 2014,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak
Lebih terperinciIdentifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information)
Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information) Identifikasi bakteri pada saat ini masih dilakukan secara konvensional melalui studi morfologi dan
Lebih terperinciBAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI
BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai
Lebih terperinciANALISIS SIDIK DNA (DNA Fingerprinting) RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism)
ANALISIS SIDIK DNA (DNA Fingerprinting) RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism) Laurencius Sihotang I. Tujuan Mempelajari cara teknik RFLP(Restriction Fragmen Length Polymorphism) Menganalisis pola
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,
Lebih terperinciBahasa Indonesia version of: A Handbook for the Identification of Yellowfin and Bigeye Tunas in Fresh Condition
Bahasa Indonesia version of: A Handbook for the Identification of Yellowfin and Bigeye Tunas in Fresh Condition David G. Itano 1 1 Pelagic Fisheries Research Programme, Honolulu, Hawaii Translation by
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Sumber :
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini
Lebih terperinciGambar 1. Diagram TS
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun
Lebih terperinciII. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.
4 II. TELAAH PUSTAKA Jabon (Neolamarckia sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah beriklim muson tropika seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Jabon juga ditemukan tumbuh di Sri Lanka,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maskoki memiliki keindahan dan daya tarik tersendiri karena bentuk dan ukuran tubuhnya serta keindahan pada variasi warna dan corak yang beragam (Perkasa & Abdullah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan berparuh (Istioporidae dan Xiphiidae) merupakan hasil tangkapan kedua terbesar setelah tuna, dimana terkadang tidak tercatat dengan baik di logbook (Cramer et
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya
Lebih terperinciURAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan
URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis
Lebih terperinciPRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas
PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting
Lebih terperinciSaintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf
Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,
Lebih terperinciABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau
ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. (a)
8 tampak diskor secara manual. Kriteria penskoran berdasarkan muncul tidaknya lokus, lokus yang muncul diberi skor 1 dan yang tidak muncul diberi skor 0. Data biner yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan tanaman, hewan dan mikroorganisme, termasuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut
Lebih terperinciDASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN
DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar
7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tuna merupakan anggota famili Scombridae. Dilihat dari ukurannya, terdapat dua jenis tuna yang biasa dijumpai di Indonesia yaitu kelompok tuna besar
Lebih terperinciKryptopterus spp. dan Ompok spp.
TINJAUAN PUSTAKA Kryptopterus spp. dan Ompok spp. Kryptopterus spp. dan Ompok spp. merupakan kelompok ikan air tawar yang termasuk dalam ordo Siluriformes, famili Siluridae. Famili Siluridae dikenal sebagai
Lebih terperinciDAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1
DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan langka yang terletak di antara Pantai Selatan Kabupaten Cilacap dan Pulau Nusakambangan (Saputra,2005).
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciPOLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang beranekaragam baik suku, budaya, bahasa, dan lain-lain. Keadaan geografis dari suku-suku yang berbeda
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level biodiversitas tinggi. Tingginya level biodiversitas tersebut ditunjukkan dengan tingginya keanekaragaman
Lebih terperinciDAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...
DAFTAR ISI Bab Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x xii I II III PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Kegunaan Penelitian...
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial
Lebih terperinciTeknik-teknik Dasar Bioteknologi
Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung walet sarang putih Burung walet sarang putih merupakan burung pemangsa serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Sayapnya yang berbentuk sabit, sempit, dan runcing
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal
TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang. Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting,
1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting, baik secara lokal maupun global. Lobster merupakan bahan makanan populer yang memiliki
Lebih terperinciREKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si
REKAYASA GENETIKA By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si Dalam rekayasa genetika DNA dan RNA DNA (deoxyribonucleic Acid) : penyimpan informasi genetika Informasi melambangkan suatu keteraturan kebalikan dari entropi
Lebih terperinci