ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KESENJANGAN PEMBANGUNAN DALAM WILAYAH PENGEMBANGAN DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PUJI WIJANARKO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KESENJANGAN PEMBANGUNAN DALAM WILAYAH PENGEMBANGAN DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PUJI WIJANARKO"

Transkripsi

1 ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KESENJANGAN PEMBANGUNAN DALAM WILAYAH PENGEMBANGAN DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PUJI WIJANARKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA * Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sektor Unggulan dan Kesenjangan Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 15 Januari 2013 Puji Wijanarko NIM H * Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

4 RINGKASAN PUJI WIJANARKO. Analisis Sektor Unggulan dan Kesenjangan Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan ARIFIN RUDIYANTO Pembangunan adalah bertujuan mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata, tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran, kemiskinan serta kesenjangan dimana kemiskinan adalah kondisi kesenjangan yang paling buruk. Di Indonesia sendiri, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa kesenjangan wilayah di Indonesia tidaklah terlalu besar apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai karakteristik yang sama tetapi beberapa gejolak di daerah membuktikan bahwa kesenjangan itu ada. Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Ciamis tahun 2009 untuk mengurangi kesenjangan maka arah pembangunan Kabupaten Ciamis ditetapkan dengan tema: Peningkatan Kualitas Pembangunan Menuju Tercapainya Visi dan IPM Kabupaten Ciamis dimana visinya adalah: Dengan Iman dan Taqwa Ciamis Terdepan dalam Agribisnis dan Pariwisata di Priangan Tahun Penelitian ini bertujuan mengetahui lebih detail masalah kesenjangan di Kabupaten Ciamis dengan: (1) Menentukan sektor unggulan wilayah pengembangan (2) Melihat tingkat perkembangan wilayah (3) Mengetahui besarnya tingkat kesenjangan (4) Mengetahui faktor penyebab kesenjangan. Metode LQ dan SSA untuk menjawab tujuan 1, metode Skalogram, Entropy dan Klassen untuk menjawab tujuan 2, metode Williamson dan Spatial Mean Method untuk menjawab tujuan 3 serta Regresi berganda untuk menjawab tujuan 4. LQ; secara agregat, wilayah pengembangan (WP) Selatan memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan WP Utara dan WP Tengah. SSA; WP Tengah memiliki nilai differential shift positif lebih baik dibanding WP Utara maupun WP Selatan. Metode Skalogram; kecamatan Pangandaran di WP Selatan berada pada hirarki 1. Indeks Entropi; secara agregat menurun nilainya dari tahun namun masih mendekati 1 berarti tingkat keberagaman dan keberimbangan aktifitas/ sektor ekonomi antara WP di Kabupaten Ciamis masih baik. Pada Tipologi Klassen kecamatan; Kawali, Ciamis, Cikoneng, Banjarsari, Padaherang dan Pangandaran masuk dalam daerah maju. Berdasarkan Indeks Williamson tahun meningkat yang berarti terjadi kesenjangan yang semakin tinggi dari tahun tersebut, Spatial Mean Method untuk Penduduk dan PDRB berada di Kecamatan Cimaragas walaupun titik centroid Kabupaten berada pada kecamatan Cidolog (WP Tengah) tetapi arahnya ke utara. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Ciamis dalam mengambil kebijakan pembangunan. Kata kunci: sektor unggulan, kesenjangan wilayah, wilayah pengembangan

5 SUMMARY PUJI WIJANARKO. Analysis of the Leading Sectors and Development Disparity within Development Areas (DA) in Ciamis Regency West Java. Supervised by ERNAN RUSTIADI and ARIFIN RUDIYANTO. Development is aimed to bring a just and equal prosperity for the society, but it is faced with three main issues of economic development, namely unemployment, poverty and disparity, in which poverty is reflecting the worst disparity condition. In Indonesia, although there is a view that the regional disparity in Indonesia is not so large compared to that of other countries with similar characteristics, there is some social unrest in the region, proving that the gap does exist. The general objective of the study was to examine disparity between three Development Area (DA) in Ciamis Regency by (1) determining competitive sectors in the region, (2) analyzing subdistrict s level of development, (3) measuring the magnitude of disparity, and (4) identifying the determinant factors of disparity. Location Quotient (LQ) and Shfit Share Analysis (SSA) methods were employed to identify priority sectors; the methods of Schallogram, Entropy and Klassen were employed to analysis level of development; the Williamson Index and Spatial Mean Methods were employed to measure disparity; and Multiple Regression was employed to identify determinant factors of disparity. In general, the Southern DA has more competitive sectors than the Northern and Central DA. Development According to SSA, the development areas in the Central DA has better positive differential values of shifts than both Northern and Southern DA. Based on the schallogram, Pangandaran District in the Southern DA is at the first hierarchie. Entropy index Ciamis regency was declining from 2006 to 2010, indicating that there were still have better level of disparity and balance of economic activities/ sectors among the development district in Ciamis regency. Based on the Klassen Typology, the subdistricts of Kawali, Ciamis, Cikoneng, Banjarsari, Padaherang and Pangandaran are in the category of developed regions. In terms of Williamson Index for , there was an increase, indicating that there was an increasing disparity in the period of the years, and the Spatial Mean of Population and GDP was in the subdistrict of Cimaragas although the center point of the Regency was in Cidolog subdistrict (Central DA) but with its direction to the north. This study is expected to become an input or consideration for Ciamis Regency government in making its development policies Keyword: competitive sectors, regional disparity, development area

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

7 ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KESENJANGAN PEMBANGUNAN DALAM WILAYAH PENGEMBANGAN DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PUJI WIJANARKO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Setia Hadi, MS

9

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Oktober 2011 sampai Maret 2012 ini ialah kesenjangan, dengan judul Analisis Sektor Unggulan dan Kesenjangan Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Ir Arifin Rudiyanto, MSc PhD selaku pembimbing yang telah bersedia mencurahkan waktu, pemikiran serta sabar memberi pengarahan dan masukkan bagi kelengkapan penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr Ir Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis, terutama kepada: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bapak Dian Winarlan dan Ibu Armina, Badan Pusat Statistik terutama kepada Bapak Asim Haidar, Dinas Tata Ruang terutama kepada Ibu Rini dan Bapak Agus serta pihak lain yang telah bekerjasama dalam penelitian ini. Penulis persembahkan karya ilmiah ini kepada Almarhumah Ibunda tercinta Rodiah yang memang asli dari Kabupaten Ciamis dan berkeinginan melihat anaknya lulus dan wisuda namun tidak kesampaian serta terima kasih kepada istriku tercinta Nur Afiyah, tersayang Latifah dan Karina Sita Putri yang dengan tulus mengorbankan baik moril maupun materil serta penyemangat tanpa disadari dalam menyelesaikan studi ini, Ayahanda Imam Soetardjo dan Ibunda Mertua Hj Siti Khadijah dan semua keluarga atas dukungan moril dan doanya yang tak terbatas. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan setiap langkah kita. Kepada saudaraku PWD Angkatan 2009 (Pak Firman, Aa Wawan, Si Bontot Tabrani, Ibu Hj Linda, Ibu Nina, Pak Dede, Pak Adam, Pak Masril, Pak H Untung, Pak Alex, Pak Eni dan Ibu Luh) terima kasih atas semua kebersamaan dan goresan perjalanan episode hidup yang pernah kita lalui bersama, setiap kenangan canda tawa serta pernak-pernik perkuliahan akan selalu teringat dalam hati sanubari. Penulis tetap berkeinginan melihat semua teman-teman lulus dan sukses. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, 15 Januari 2013 Puji Wijanarko

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN viii x xi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Masalah Pembangunan Wilayah Kabupaten Ciamis 4 Masalah Penelitian 8 Tujuan Penelitian 9 Manfaat Penelitian 9 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pewilayahan 10 Hirarki Wilayah 11 Pembangunan Wilayah 13 Indikator-indikator Pembangunan 14 Sektor Unggulan 18 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya 20 Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 22 Faktor-faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan 23 Urgensi Pembangunan antar Wilayah Secara Berimbang 27 Upaya Penanggulangan Kesenjangan Pembangunan 27 Paradigma Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 30 Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 31 3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 35 Hipotesis Penelitian 36 Lokasi dan Waktu Penelitian 37 Metode Pengumpulan Data 37 Metode Analisis: Identifikasi Sektor Unggulan per Wilayah Pengembangan 38 Locatoin Quotient 38 Shift Share Analisis 39 Analisis Perkembangan Wilayah 40 Metode Skalogram 40 Indeks Entropy 41 Tipologi Klassen 41 Analisis Tingkat Kesenjangan 43 Indeks Williamson 43 Spatial Mean Method 43 Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan 44 Analisis Regresi Berganda 44

12 DAFTAR ISI (lanjutan) 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Umum Kabupaten Ciamis 46 Kondisi Demografi 48 Karakteristik Biofisik Wilayah 53 Kondisi Sarana dan Prasarana 54 Jalan 55 Pendidikan 56 Kesehatan 57 Keagamaan 59 Perdagangan 59 Ekonomi Wilayah 60 Arah Kebijakan Pembangunan 61 Alokasi dan Distribusi Anggaran Pembangunan 65 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Sektor Unggulan 68 Sektor Unggulan Komparatif (LQ) 68 Sektor Unggulan Kompetitif (SSA) 74 Identifikasi Tingkat Perkembangan Wilayah 78 Hirarki Wilayah 78 Indeks Keragaman/ Perkembangan Struktur Ekonomi 80 Tipologi Perkembangan Wilayah 81 Identifikasi Tingkat Kesenjangan 83 Indeks Kesenjangan 83 Pergeseran Lokasi Pemusatan Wilayah 84 Faktor Penyebab Kesenjangan 88 Ikhtisar 90 6 SIMPULAN dan SARAN Simpulan 92 Saran 93 DAFTAR PUSTAKA 94 LAMPIRAN 96

13 DAFTAR TABEL 1 Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil 7 2 Kecamatan dengan wilayah terbesar dan kepadatan penduduk terendah 7 3 Laju pertumbuhan PDRB (ADHK) Kab. Ciamis, Jawa Barat dan Nasional berdasarkan lapangan usaha tahun Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokannya 17 5 Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian 38 6 Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kabupaten Ciamis 50 7 Jarak kecamatan ke ibukota Kabupaten Ciamis (Km) 51 8 Jumlah usia tidak produktif, usia produktif dan beban tanggungan 52 9 Data penggunaan lahan (Km2) Kondisi dan panjang jalan yang ada di Kabupaten Ciamis Sarana pendidikan di Kabupaten Ciamis Rumah sakit, puskesmas, pengobatan di Kabupaten Ciamis Rumah ibadah di Kabupaten Ciamis Fasilitas ekonomi di Kabupaten Ciamis PDRB wilayah pengembangan dan kecamatan serta kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Ciamis Sasaran pendapatan daerah pemerintah Kabupaten Ciamis dari tahun Rencana belanja daerah pemerintah Kabupaten Ciamis tahun Rencana pembiayaan pemerintah Kabupaten Ciamis tahun Nilai LQ per wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun Nilai LQ kecamatan di Kabupaten Ciamis tahun Nilai LQ Kabupaten Ciamis terhadap Kab/ Kota Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun Nilai LQ kecamatan di Kabupaten Ciamis relatif terhadap kecamatan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah Nilai SSA WP Utara di Kabupaten Ciamis tahun Nilai SSA WP Tengah di Kabupaten Ciamis tahun Nilai SSA WP Selatan di Kabupaten Ciamis tahun Nilai Differential Shift kecamatan di Kabupaten Camis tahun Nilai SSA Kabupaten Ciamis terhadap Kab/ Kota Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di Kabupaten Ciamis tahun Jumlah tingkat Hirarki kecamatan dalam wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun Nilai Entropi Kabupaten Ciamis tahun Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per kapita Kabupaten Ciamis tahun Indeks Williamson wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun Mean Centre kecamatan di Kabupaten Ciamis Nilai kordinat X m dan Y m Penduduk dan PDRB Kabupaten Ciamis tahun

14 DAFTAR TABEL (lanjutan) 35 Data (Y) dan (X) wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis tahun Analisis regresi berganda faktor kesenjangan pembangunan di Kabupaten Ciamis 89

15 DAFTAR GAMBAR 1 Peta orientasi Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat 5 2 Peta wilayah administrasi Kabupaten Ciamis 6 3 Konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah 15 4 Struktur proses pembangunan 16 5 Kerangka pemikiran 36 6 Klasifikasi tipologi Klassen 42 7 Kerangka analisis penelitian 45 8 Peta wilayah administrasi Kabupaten Ciamis 46 9 Peta wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis Peta kepadatan penduduk di Kabupaten Ciamis Peta penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis Peta kebutuhan pendidikan di Kabupaten Ciamis Klasifikasi/ kategori LQ>1 dan RS Peta penyebaran kecamatan menurut menurut hirarki di Kabupaten Ciamis Pengelompokan pertumbuhan ekonomi kecamatan berdasarkan tipologi Klassen Diagram indeks Williamson Peta centroid kecamatan di Kabupaten Ciamis Titik kordinat X m dan Y m pada peta di Kabupaten Ciamis Titik kordinat X m dan Y m pada peta di WP Utara Kab. Ciamis Titik kordinat X m dan Y m pada peta di WP Tengah Kab. Ciamis Titik kordinat X m dan Y m pada peta di WP Selatan Kab. Ciamis 88

16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Data yang digunakan dalam analisis Location Quotien wilayah pengembangan terhadap Kabupaten Ciamis 96 2 Data yang digunakan dalam analisis Location Quotien Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah 98 3 Data yang digunakan dalam Shift Share Analisis wilayah pengembangan terhadap Kabupaten Ciamis Data yang digunakan dalam Shift Share Analisis Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah Jenis data yang digunakan dalam analisis Skalogram Sort hirarki Skalogram Data dan penghitungan yang digunakan dalam analisis indeks Entropy Data dan penghitungan yang digunakan dalam analisis indeks Williamson Data dan penghitungan yang digunakan dalam Spatial Mean Method Hasil regresi berganda 123

17 11 1 PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan (Sumodiningrat 2001:13). Hal senada diungkapkan oleh Todaro (1994:15) bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial dan institusi nasional, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan pemberantasan kemiskinan. Pada mulanya upaya pembangunan negara sedang berkembang diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau yang lebih populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang mulai menyadari bahwa pertumbuhan (growth) tidak identik dengan pembangunan (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahril dalam Kuncoro 2003). Hal ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) meski tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara 1986:12; Meier 1989:7 dalam Rahman 2009). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan memiliki dimensi lebih dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan (Myrdal 1968), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan yang dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi. (Meier 1989 dalam Rahman 2009) lebih khusus mengatakan pembangunan ekonomi dengan kata lain tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan. Definisi dari pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah suatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat dalam kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan dalam pengamatan empiris di berbagai negara berkembang hanya dinikmati oleh sebagian penduduk. Keadaan ini disebut sebagai adanya masalah dalam pembangunan. Tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan, baik kesenjangan antar golongan penduduk, antarsektor, maupun antar daerah. Ketiga masalah tersebut saling berkaitan.

18 2 Pelaku pembangunan yang tidak memiliki sumber daya dan tidak mempunyai akses dalam pembangunan akan menganggur, karena menganggur maka tidak memiliki pendapatan yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan adalah kondisi kesenjangan yang paling buruk. Kebijaksanaan pembangunan yang sistematis diperlukan untuk memperkecil kesenjangan. Berdasarkan pengalaman empiris, strategi pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan terbukti tidak mampu memecahkan masalah justru sebaliknya acapkali mempertajam kesenjangan, keterbelakangan, dan ketertinggalan. Kesenjangan atau disparitas pembangunan regional cukup banyak terjadi di negara-negara berkembang. Hasil observasi menunjukkan bahwa secara umum kesenjangan regional di negara-negara yang kurang maju lebih lebar dari pada yang terjadi di negara-negara maju (Williamson 1975:159). Negara-negara yang maju telah membentuk strategi-strategi untuk memulai pembangunan wilayahwilayah tertinggal yang ada. Inggris telah menerapkan instrumen seperti subsidi, kelonggaran pajak, dan sistem pengendalian kesempatan kerja untuk diarahkan menuju kepada aktifitas-aktifitas kepada wilayah-wilayah yang tertahan potensinya. Belgia, Denmark, Irlandia dan Belanda telah mencari penyokong pembangunan regional dengan cara desentralisasi administratif dan memberi lebih banyak otoritas kepada pemerintahan lokal dan membuat otoritas regional terpisah. Untuk mengatasi kesenjangan regional di India, pemerintah India melakukan social equity, yaitu pemerataan pelayanan dan fasilitas sosial (Mathur dalam Lo dan Kamal 1978:131 dalam Rahman 2009). Studi-studi empiris diatas memperlihatkan bahwa negara-negara dengan perencanaan terpusat telah berusaha untuk membangun hirarki permukiman penduduk dengan sistem produksi. Struktur ini dirancang untuk memungkinkan pertumbuhan pusat-pusat perkotaan yang terkontrol melalui kebijakan-kebijakan yang dengan sengaja mempromosikan investasi pada pusat-pusat yang diharapkan untuk pertumbuhan dan pembatasan investasi di wilayah lain. Pendekatan yang sama telah digunakan untuk membatasi ekspansi kota-kota kecil yang luas dan untuk mendorong pembangunan kota-kota kecil dan menengah. Sementara di Indonesia sendiri, walaupun beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kesenjangan wilayah di Indonesia tidaklah terlalu besar apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai karakteristik yang sama (Hill 1998:23 dalam Rahman 2009), tetapi beberapa gejolak di daerah membuktikan bahwa kesenjangan itu ada. Terdapat wilayah yang merasa bahwa perkembangan mereka jauh tertinggal dari wilayah lainnya terutama dari Pulau Jawa (Nurzaman 2002: 88). Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Ciamis tahun 2009, untuk mengurangi kesenjangan maka arah pembangunan ditetapkan dengan tema: Peningkatan Kualitas Pembangunan Menuju Tercapainya Visi dan IPM Kabupaten Ciamis. Visinya adalah: Dengan Iman dan Taqwa Ciamis MANTAP Sejahtera Tahun Visi pembangunan ekonomi sebelumnya yang berbasis agribisnis dan pariwisata tetap dilanjutkan melalui penguatan dan pemantapan sektor tersebut, sehingga menjadi motor penggerak perekonomian daerah dan masyarakat. Kata MANTAP juga merupakan kepanjangan dari kata Maju, Aman, Nyaman, Tangguh, Amanah dan Produktif, sebuah cita-cita mewujudkan

19 Kabupaten Ciamis menjadi daerah yang maju dalam setiap aspek kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila terciptanya rasa aman, lingkungan hidup yang nyaman dan lestari, serta sumber daya manusia yang amanah, produktif dan berdaya saing, sehingga mencapai ketangguhan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Adapun makna Sejahtera merupakan suatu kondisi masyarakat yang ditandai oleh kehidupan beragama yang mantap, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan perumahan yang layak, lingkungan yang sehat, memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai serta memiliki rasa aman dan tentram. Sedangkan Agribisnis pada visi sebelumnya mengandung makna suatu paradigma yang lebih komprehensif terhadap pembangunan pertanian secara sistemik yang mengintegrasikan 5 (lima) sub sistem, meliputi infrastruktur/ sarana dan prasarana produksi pertanian, budidaya pertanian, pengolahan hasil pertanian, pemasaran produk pertanian dan kebijakan pemerintah (supporting system). Pertanian dalam arti luas meliputi tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Pariwisata mengandung makna segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Priangan sendiri meliputi: Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Tujuan akhir dari visi yang dimaksud adalah terwujudnya masyarakat Kabupaten Ciamis yang sejahtera lahir dan batin yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, terbentuknya kehidupan masyarakat yang relijius dan Islami, terwujudnya keamanan, ketenteraman dan keadilan. Prioritas pembangunan Kabupaten Ciamis dirumuskan dengan memperhatikan isu strategis dan ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan common goals: Peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, untuk menciptakan sumberdaya manusia Kabupaten Ciamis yang unggul dan berdaya saing Ketahanan pangan, difokuskan pada komoditas beras, jagung, kedelai dan ketersediaan protein hewani Pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur wilayah dan perdesaan; difokuskan pada jaringan jalan, sarana transportasi, sarana kelautan dan perikanan, jembatan dan sarana pemerintahan. Peningkatan daya beli masyarakat, melalui penciptaan lapangan kerja serta menyiapkan tenaga kerja terampil dan berjiwa enterpreneur untuk kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Peningkatan kinerja aparatur, difokuskan pada penerapan insentif berbasis kinerja dan peningkatan pelayanan publik. Penanganan pengelolaan bencana, difokuskan pada sistem kelola penanganan bencana. Pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, difokuskan pada pelestarian dan peningkatan luas dan fungsi kawasan lindung di Kabupaten Ciamis. Di masa sekarang dan yang akan datang di Kabupaten Ciamis diperlukan adanya perubahan paradigma pembangunan yaitu paradigma pembangunan yang 3

20 4 diarahkan kepada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi, sehingga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah, sektor dan golongan. Pendekatan pembangunan sentralistik selama ini cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi serta mengabaikan pemerataan. Sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2007) bahwa diperlukan pendekatan perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: (i) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (ii) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, (iii) menciptakan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan) dan disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam dan ketersediaan prasarana wilayah. Harapannya mampu mengatasi permasalahan kesenjangan antar wilayah yang ada di Kabupaten Ciamis dalam tingkat kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Semua potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat wilayah tersebut dalam mendukung aktifitas perekonomian. 1.2 Masalah Pembangunan Wilayah Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, tanggal 16 Juni 1964 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis yang secara resmi dikukuhkan dengan surat keputusan DPRD Kabupaten Ciamis pada tanggal 17 Mei 1972 terlihat wilayah berdasarkan peta pada Gambar 2. Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010 tercatat jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 657 jiwa/ Km² dengan luas wilayah Km². Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 350 Desa/ Kelurahan, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Kabupaten Ciamis dibagi dalam pewilayahan pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan pewilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah. Berdasarkan Perda Kabupaten Ciamis no. 3 tahun 2007 maka Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 Wilayah Pengembangan (WP); WP Utara terdiri dari 20 Kecamatan; Panumbangan, Panawangan, Sukamantri, Panjalu, Jatinagara, Cipaku, Lumbung, Kawali, Cihaurbeuti, Sadananya, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Cijeunjing, Cikoneng, Sukadana,

21 5 Tambaksari, Cisaga, Rajadesa dan Rancah dengan pusatnya Kecamatan Ciamis WP Tengah terdiri dari 9 Kecamatan; Lakbok, Mangunjaya, Purwadadi, Banjarsari, Padaherang, Cimaragas, Cidolog, Langkaplancar dan Pamarican dengan pusatnya Kecamatan Banjarsari WP Selatan terdiri dari 7 Kecamatan; Kalipucang, Pangandaran, Cigugur, Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang dengan pusatnya Kecamatan Pangandaran Gambar 1 Peta orientasi Kabupaten Ciamis di Provinsi Jawa Barat 2010 Secara umum untuk struktur perekonomian Kabupaten Ciamis masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor jasa. Sektor pertanian yang meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan pertumbuhannya lambat di bawah rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ciamis. Namun demikian, sektor pertanian masih dominan dengan persentase distribusi terhadap PDRB masih terbesar, yaitu mencapai 30,55 %. Angka ini menunjukan bahwa sektor pertanian paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi Kabupaten Ciamis. Di samping itu penanganan masalah kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya masih cukup besar dan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan.

22 6 Gambar 2 Peta administrasi wilayah Kabupaten Ciamis Jumlah penduduk miskin Kabupaten Ciamis pada tahun 2010 sebanyak jiwa atau 20,15% dari jumlah penduduk. Sementara itu perkembangan jumlah pengangguran menurun dari 12,19% pada tahun 2009 menjadi 11,95% pada Tahun Kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Ciamis yang dihitung melalui Purchasing Power Parity (PPP) pada Tahun 2009 sebesar Rp ,000 per kapita per tahun, dan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2010 sebesar 71,37. Berikut ini data mengenai kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil serta kecamatan dengan wilayah terbesar tetapi kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Ciamis:

23 7 Tabel 1 Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil Kecamatan Luas Wilayah (KM2) JumlahPddk (Jiwa) KepadatanPddk (Jiwa/KM2) DistribusiPddk (%) Ciamis (U) ,73 Sindangkasih (U) ,99 Baregbeg (U) ,87 Cihaurbeuti (U) ,23 Cikoneng (U) ,06 Kawali (U) ,51 Lumbung (U) ,87 Panumbangan (U) ,85 U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis2010 Tabel 2 Kecamatan dengan wilayah terbesar dan kepadatan penduduk terendah Kecamatan Luas Wilayah (KM2) JumlahPddk (Jiwa) KepadatanPddk (Jiwa/KM2) DistribusiPddk (%) Langkaplancar (T) ,04 Kalipucang (S) ,33 Padaherang (T) ,89 Cimerak (S) ,89 Pamarican (T) ,25 Parigi (S) ,63 Cigugur (S) ,34 Cijulang (S) ,60 Sidamulih (S) ,76 U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis 2010 Terlihat dalam Tabel 1 bahwa di dalam WP Utara terdapat 8 besar kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dibanding luas wilayahnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Tabel 2 yang memperlihatkan kecamatankecamatan dengan luas wilayah terbesar yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang rendah terutama untuk WP Tengah. Oleh karena jumlah penduduk yang tidak merata terutama dibandingkan dengan luas wilayahnya maka diperlukan suatu cara penanganan yang baik terutama di dalam pengembangan wilayah. Belum lagi permasalahan Tata Ruang, yang seharusnya setiap kecamatan sudah memiliki Rencana Tata Ruang. Selain terbatasnya aparatur bidang Tata Ruang (LKPJ 2009) yang memungkinkan timbulnya kecemburuan sosial dan ketidakpercayaan/ kesulitan dalam mengurus berbagai hal terutama masalah perizinan. Akhir-akhir ini muncul wacana bahwa Wilayah Pengembangan (WP) Selatan khususnya Kecamatan Pangandaran akan memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis. Selanjutnya ingin membentuk wilayah/ kabupaten baru, hal ini berhembus sejak tahun 2004 setelah Banjar resmi memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis kemudian menjadi Kotamadya pada tahun Berkaitan dengan identifikasi dan permasalahan diatas maka ada hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan headline media masa dengan topik Daerah Induk Bangkrut Akibat Pemekaran (Pemekaran Bikin Boros,

24 8 Republika Juli 2011) dan Kabupaten Ciamis masuk didalamnya. Memang hal tersebut mengakibatkan beban tersendiri untuk Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk dapat menunjukkan perubahan khususnya dalam hal pemerataan pembangunan oleh karena sudah terekspos oleh media. Untuk sektor perekonomian, indikasi perekonomian diukur menggunakan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang dilihat adalah kondisi yang akan datang, maka perlu ditinjau dari target perekonomian wilayah dan laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Kabupaten Ciamis dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat dan Nasional berdasarkan lapangan usaha tahun disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Laju pertumbuhan PDRB (ADHK) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan nasional berdasarkan lapangan usaha tahun Kab. Ciamis Jawa Barat Nasional Sumber; BPS Kab.Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Pusat Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan permasalahan yang ada maka masalah penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut : 1 Sektor apa saja yang menjadi unggulan dari tiap-tiap kecamatan dalam Wilayah Pengembangan (WP) di Kabupaten Ciamis yang hasilnya kemungkinan terdapat perbedaan cukup jauh dengan wilayah lainnya sehingga mendorong terjadinya kesenjangan antar wilayah. 2 Melihat aktifitas masyarakatnya sangat beragam di samping potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya berbeda-beda maka dianggap perlu untuk meneliti bagaimana struktur perkembangan/ hirarki wilayah pada masing-masing kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis. 3 Apabila memang dilihat ada kesenjangan antar wilayah maka kiranya perlu untuk dapat meneliti seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis. 4 Dengan melihat tiga persoalan penelitian diatas tersebut maka sangat penting untuk mengetahui yang menjadi faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis.

25 9 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan melihat pertumbuhan wilayah dengan: 1 Menentukan sektor unggulan apa saja yang ada pada kecamatan-kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis 2 Melihat tingkat perkembangan kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis berdasarkan keragaman aktifitas dan potensi sumberdaya yang ada Menangani kesenjangan yang ada dengan: 1 Mengetahui seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan dalam WP yang ada di Kabupaten Ciamis 2 Menganalisa faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan di Kabupaten Ciamis 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna dalam memberikan masukan dan informasi sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam Perumusan Perencanaan Pembangunan dan Strategi Pengembangan Wilayah untuk kesejahteraan masyarakatnya.

26 10 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan. Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep tunggal yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional dan (3) wilayah perencanaan/ pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif politis dan wilayah perencanaan fungsional. Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang di identifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perincinya yang menonjol di wilayah tersebut. Berbeda dengan konsep wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Pengertian wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponenkomponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem, dan selanjutnya setiap

27 11 subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi (Richardson 1969 dalam Rustiadi et al. 2009). Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/ bagian tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/ bagian lainnya, dan seterusnya. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/ kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi, secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya. Sistem pewilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem pewilayahan administratif, juga dikenal berbagai pewilayahan-pewilayahan perencanaan/ pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita DAS, Free Trade Zone, dan lain-lain. Dari sudut pandang yang lain, pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu pewilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan. Pewilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas permukaan bumi (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) tidak lain merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk memotret kehidupan nyata yang beragam secara spasial. Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/ pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial. 2.2 Hirarki Wilayah Secara teori, hirarki wilayah ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekenomiannya. Secara historik, pertumbuhan suatu

28 12 pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusatpusat wilayah mempunyai hirarki spesifik yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made resources/ infrastructure). Di samping itu, kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran) aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang ada di suatu wilayah. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi serta operasional dapat diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi, PDRB, jumlah jenis organisasi atau lembaga formal maupun non formal. Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktifitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi. Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat hirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh pusat berhirarki tinggi (Rustiadi et al. 2007). Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau daerah belakang (hinterland) suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kualitas dan kuantitas relatif paling lengkap dibandingkan dengan wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki wilayah yang lebih tinggi. Pusat wilayah ini biasanya berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah lain. Wilayah hinterland ini biasanya berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Struktur wilayah nodal sangat efisien khususnya dalam mendukung pengembangan ekonomi dan sistem transportasi. Mekanisme pasar bebas secara alami cenderung membentuk struktur wilayah nodal.

29 13 Suatu pusat yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari orde yang lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani pusatpusat yang berorde lebih rendah. Selain itu, jumlah jenis dan sarana pelayanan yang ada pada suatu pusat pada umumnya berkorelasi erat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat-pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Beberapa teknik dan metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hirarki pusat-pusat wilayah adalah dengan metode skalogram, metode sosiogram dan metode biseksi (bisection) (Rustiadi et al. 2007; Budiharsono 2005). Dengan menggunakan metode tersebut semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat dalam sebuah format matriks. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas pelayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2006). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat maka akan semakin tinggi hirarki pusat tersebut (Budiharsono 2005). 2.3 Pembangunan Wilayah Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan. Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari perencanaan. Perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada

30 14 data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktifitas. Perencanaan mencakup aspek-aspek yang bersifat fisik maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan. Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/ daerah tertentu. Perencanaan ditujukan untuk memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya. Pembangunan wilayah, meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif. 2.4 Indikator-indikator Pembangunan Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang paling populer. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan serta kerusakan sumbedaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahanpermasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya pertambahan output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya (Rustiadi et al. 2009) Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat

31 15 tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/ program/ kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/ unit kerja. Menurut Rustiadi et al. (2007), dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 3) Indikator Kinerja Pembanguna n Wilayah Indikator Berdasarkan Tujuan Pembangunan Indikator Berdasarkan Kapasitas Sumberdaya Pembangunan Indikator Berdasarkan Proses Pembangunan Growth (Produktifitas, Efisiensi, dan Pertumbuhan) Equity (Pemerataan, Keadilan dan Keberimbangan) Sustainability (Keberlanjutan) Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Sumberdaya Buatan Sumberdaya Sosial Input Implementasi/Proses Output Outcome Benefit Impact Sumber: Rustiadi et al. (2007) Gambar 3 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi

32 16 dan pertumbuhan (growth); (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity) dan (3) keberlanjutan (sustainability). Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumberdaya-sumberdaya pembangunan, sehingga kapasitas sumberdaya pembangunan sering menjadi indikator yang penting dalam pembangunan. Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau penyediaan barang dan jasa maupun tidak. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, sumberdaya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan sumberdaya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumberdaya yang paling umum adalah dengan memilah sumberdaya atas sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Pendekatan lain dalam klasifikasi sumberdaya adalah dengan memilah atas: (1) sumberdaya alam (natural resources), (2) sumberdaya manusia (human resources), (3) sumberdaya fisik buatan (man-made resources), mencakup prasaran dan sarana wilayah dan (4) sumberdaya sosial. Masingmasing sumberdaya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbedabeda (Rustiadi et al. 2009) Input Implementasi/Proses Output Outcome Benefit Impact Sumber: Rustiadi et al. (2007) Gambar 4 Struktur proses pembangunan

33 17 Tabel 4 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokkannya Basis/Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Ratio 1. Produktivitas, (3) IRR Efisiensi dan (4) BEP Pertumbuhan c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/Kompetitif (Growth) (1) LQ (2) Shift and Share d. Produksi-produksi Utama (tingkat produksi, produktivitas, dll) (1) Migas (2) Produksi Padi/Beras (3) Karet Tujuan Pembangunan (4) Kelapa Sawit 2. e. 3. Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan (Eqiuty) Tujuan Pembangunan 4. Keberlanjutan a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial Sumberdaya a. Pendapatan wilayah (1) Gini Ratio (2) Struktural (Vertikal) b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan (1) Good-Service Ratio (2) % Konsumsi Makanan (3) Garis Kemiskinan (Pendapatan setara beras, dll) d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy, index Williamson) (2) Sentral Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance 1. Sumberdaya Manusia a. Knowledge b. Skill (Keterampilan) c. Competency d. Etos kerja/sosial e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) 2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi) b. Dampak 3. Sumberdaya Buatan/Sarana Prasarana dan a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas Terhadap Fasilitas 4. Sumberdaya Sosial (Social Capital) 1. Input 2. Proses/Implementasi Proses Pembangunan 3. Output 4. Outcome 5. Benefit 6. Impact Sumber: Rustiadiet al. (2007) a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya (norm) b. Organisasi Sosial (network) c. Rasa Percaya (trust) a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS) b. Input Antara

34 18 Pembangunan adalah suatu proses, yang kadangkala kinerja pembangunan tetap perlu dievaluasi meskipun prosesnya masih pada tahap dini atau belum memperlihatkan hasil yang dapat ditunjukkan. Sampai tahap ini, penilaian kinerja proses pembangunan setidaknya dapat dilihat input-inputnya. Keragaan dari input setidaknya akan menentukan keragaan pembangunan pada tahap-tahap selanjutnya. Di sisi lain, evaluasi atau kinerja pembangunan seringkali hanya dilakukan pada pencapaian-pencapaian jangka pendek yang tidak bersifat esensial atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaat-manfaat jangka panjang atau bahkan merugikan akibat dampak-dampak yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki. Proses pembangunan sebagai bagian dari aliran proses digambarkan oleh Rustiadi et al. (2007) seperti ditunjukkan pada Gambar 3, yang dimulai dari tahap input, implementasi, output, outcome, benefit dan impact. Masing-masing pencapaian tahap output, outcome, benefit dan impact dapat mempengaruhi kembali pada faktor input. Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompokkelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan terlihat pada Tabel 4 diatas. 2.5 Sektor Unggulan Di Indonesia, pembangunan ekonomi secara umum dibagi ke dalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak mencukupi, maka perlu ada penetapan prioritas pengembangan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan (Suripto 2003), yang diharapkan dapat mendorong (menjadi push factor) bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan 2006). Oleh sebab itu, identifikasi dan penentuan sektor unggulan menjadi sangat penting bagi setiap daerah dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Namun demikian, tidak ada ketentuan yang baku mengenai definisi sektor unggulan tersebut. Suripto (2003) mendefinisikan sektor unggulan sebagai sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan. Keunggulan-keunggulan tersebut selanjutnya dijadikan indikator dalam menentukan sektor unggulan itu sendiri dan tidak lepas dari tujuan pembangunan secara umum yaitu pertumbuhan ekonomi dengan tidak mengabaikan distribusi pendapatan dan tantangan di era globalisasi. Indikator tersebut diantaranya adalah: (1) memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB; (2) merupakan sektor basis; (3) mengalami pertumbuhan yang tinggi dan (4) memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Menurut Widodo (2006), pembangunan ekonomi akan optimal bila didasarkan pada keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan komparatif suatu sektor bagi suatu daerah adalah bahwa sektor tersebut lebih unggul secara relatif dengan sektor lain di daerahnya. Pengertian unggul disini adalah dalam bentuk perbandingan, bukan dalam bentuk

35 19 nilai tambah. Sedangkan keunggulan kompetitif menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah (Tarigan 2006). Berdasarkan indikator tersebut di atas, penentuan sektor unggulan dapat di dasarkan pada kriteria sebagai berikut (Suripto 2003): 1 Share terhadap PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika memberikan kontribusi minimal 10%, sedangkan subsektor minimal 2,5%. 2 Nilai LQ: sektor/ subsektor dikatakan unggul jika mempunyai LQ>1. 3 Pertumbuhan PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika mengalami rata-rata pertumbuhan minimal 5% per tahun dan terus mengalami pertumbuhan positif setidaknya pada 3 tahun, atau mengalami kenaikan pada dua tahun terakhir secara berturut-turut. 4 Selisih antara pertumbuhan share sektor/ subsektor terhadap PDRB wilayah kajian dan wilayah yang lebih besar bernilai positif. Alat analisis yang umum digunakan untuk menentukan potensi relatif perekonomian suatu wilayah diantaranya adalah metode location quotient (LQ) dan metode analisis shift share (SSA). Menurut Bendavid-Val (1991) bahwa location quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor ekonomi wilayah tertentu. Pengertian relatif di sini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai tambah (value added). Selain itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah yakni mengetahui kapasitas ekspor suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang dan jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara operasional, LQ di definisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah: (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Analisis shift share (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Analisis shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi dalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Selain itu, hasil analisis shift share juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas di suatu subwilayah dan membandingkannya dengan kinerjaanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) komponen

36 20 pergeseran proporsional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/ aktivitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/ aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidak-unggulan suatu sektor/ aktivitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. 2.6 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar wilayah. Menurut Chaniago et al. (2000) bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan antar sektor atau wilayah, maka kesenjangan/ disparitas pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ ketidaksimetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah ini sangat tergantung pada perkembangan struktur (sektor-sektor) ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi baik darat, laut maupun udara, telekomunikasi, air bersih, penerangan, dll) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan keterampilan) serta penguatan kelembagaan. Dalam tingkat yang tinggi, kesenjangan tersebut dapat mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. Sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan regional merupakan fenomena universal. Semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, kesenjangan pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Dalam banyak negara, pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana serta terpusat, pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah (Rustiadi et al. 2007). Skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada

37 21 pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi serta sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit di atasi. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/ kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/ kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan (Rustiadi et al. 2009). Sebaliknya, kemiskinan di wilayah belakang/ perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi lemah akibat timbulnya berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota ini dapat terlihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami overurbanization yang dicirikan dengan berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan sepertinya munculnya daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan, kriminalitas dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan perkembangan perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah untuk diatasi. Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, juga pada gilirannya meniadakan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional. Dengan demikian, jelas bahwa kesenjangan antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari pembangunan seperti yang telah diungkapkan oleh Anwar (2005), yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).

38 Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Disparitas atau kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum dalam kegiatan ekonomi suatu daerah yang pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya disparitas ini dapat membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah, sehingga berimplikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah. Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif: distribusi perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi ukuran pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (Todaro 1994:234). Melihat kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau daerah bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok masyarakat miskin pada daerah bersangkutan atau adanya segelintir kelompok kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya miskin. Berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah, sehingga yang dipersoalkan bukan antar kelompok kaya dan miskin, tetapi perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang (Sjafrizal 2008). Ukuran kesenjangan pembangunan wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur perbedaan. Istilah Williamson index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks ini cukup lazim digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2007; Susanti et al. 2007). Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antara kelompok. Williamson mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi 2007): V w = (Y i Y) 2 P i Y Dimana : V w = Indeks kesenjangan Williamson (I w ) Yi= PDRB per kapita wilayah ke-i Ý = Rata-rata PDRB per kapita seluruh wilayah Pi= fi/n, fi adalah jumlah penduduk wilayah ke-i dan n adalah jumlah penduduk seluruh wilayah

39 23 Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar wilayah semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya; sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan antar wilayah yang baik. Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika semua Yi =Ýmaka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya kesenjangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah, sedangkan semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar wilayah. 2.8 Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah. Faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000) dalam Rustiadi dan Pribadi (2003) faktor-faktor utama tersebut adalah sebagai berikut: Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik. Faktor Sejarah Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Faktor Kebijakan Kesenjangan antar wilayah juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah.kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar

40 24 daerah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Menurut Nurzaman (2002), diduga sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah. Faktor Administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. Faktor Sosial Masyarakat-masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah diantaranya adalah sebagai berikut : Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti : lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju; Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Di Indonesia, faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi antar provinsi atau wilayah diantaranya adalah sebagai berikut (Tambunan 2003): Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan atau disparitas

41 25 pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentarsi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/ gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas, mempengaruhi mobilitas atau re alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik. Perbedaan Sumberdaya Alam antar Provinsi Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam. Perbedaan Kondisi Demografis antar Wilayah Kesenjangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaab kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi. Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi Kurang lancarnya perdagangan antara daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan kesenjangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.

42 26 Hampir sama dengan apa yang dikemukakan diatas, menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah adalah: 1) perbedaan karekteristik limpahan sumberdaya alam (resources endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan 6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karekteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang; dan 4) Wilayah tidak berkembang. Namun dalam literatur ekonomi pembangunan yang relatif baru telah mulai dibahas bagaimana terjadinya mekanisme ekonomi yang menciptakan kesenjangan; Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) Sering pula disebut dengan Teori Pertumbuhan Endogen (Endogenous Growth Theory) dipelopori oleh Paul M. Romer 1986 dan Robert Lucas 1988 yang awalnya merasa tidak puas dengan Model Solow karena dinilai tidak cukup untuk menjelaskan long-run growth yang menyatakan kesenjangan antara negaranegara/ wilayah maju dengan negara-negara/ wilayah terbelakang bisa tetap berlangsung karena adanya akumulasi ilmu pengetahuan yang mendorong terjadinya inovasi. Dimana lahirnya inovasi ini bersifat meningkatkan pengembalian (increasing return) yang mengoreksi menurunnya keuntungan produksi dari pemilik modal (marginal product of capital) disamping mengenai suku bunga dan perubahan populasi adalah faktor endogen. Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) Teori ini dipelopori oleh Fujita, Venables, Sachs, Krugman (1991) yang menjelaskan mekanisme pemusatan (aglomerasi) investasi, industri dan tenaga kerja (penduduk) melalui proses tegangan antara daya centripetal (yang mendorong pemusatan) dan centrifugal (yang mendorong penyebaran). Daya centripetal difasilitasi oleh ukuran pasar domestic (economies of scale dan linkages), pasar kerja (spesialisasi) dan eksternalitas positif. Sementara daya centrifugal difasilitasi oleh faktor produksi tak bergerak (sumberdaya alam, kesuburan tanah), harga tanah (land rent) dan eksternalitas negatif (polusi, kemacetan). Industri akan cendrung mendekat ke pusat-pusat aglomerasi untuk meminimalkan biaya transport, mengeksploitasi keuntunga skala, mendapatkan keuntungan berdekatan dengan industri penyuplai (backward linkages) dan pemakai (forward linkages) dan berbagi informasi dan inovasi dengan industri serumpun (klaster). Kesemuanya ini akan menghasilkan keuntungan aglomerasi yang mendorong pemusatan, namun demikian pemusatan yang berlebihan akan meningkatkan biaya aglomerasi (agglomeration diseconomies) berupa naiknya harga tanah, memburuknya kualitas lingkungan dan meningkatnya kemacetan yang akan meningkatkan biaya transportasi.

43 27 Apabila kerugian semakin membesar maka industri akan terdorong untuk menyebar ke lokasi lain. Tetapi apabila keuntungan aglomerasi masih jauh lebih besar, industri masih akan terdorong untuk berlokasi ke pusat-pusat aglomerasi (kota-kota utama). Sedangkan industri yang tidak mengikuti pola ini adalah industri yang berbasis faktor-faktor tak bergerak (immobile) seperti; pertambangan, pertanian dan pariwisata. 2.9 Urgensi Pembangunan antar Wilayah Secara Berimbang Meskipun kesenjangan antar wilayah merupakan suatu hal wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Kesenjangan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di semua tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat. Menurut Rustiadi et al. (2007) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena beberapa alasan, yaitu: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) untuk mengoptimalkan dan mengkonvesi sumberdaya; (4) untuk mengingkatkan lapangan kerja; (5) untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) untuk mendorong desentralisasi; (7) untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik disintegrative; dan (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional. Untuk itu dibutuhkkan pemecahan secara kebijakan terhadap permasalahan kesenjangan antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Keberimbangan antar wilayah menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh Upaya Penanggulangan Kesenjangan Pembangunan Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi kesenjangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan. Kebijakan yang dimaksud disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan disparitas pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Sjafrizal 2008): Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam yang cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidaklancaran proses perdagangan dan mobilitas

44 28 faktor produksi antar daerah juga turut mendorong terjadinya kesenjangan wilayah tersebut. Oleh karena itu kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut adalah dengan memperlancar mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah, diantaranya melalui penyebaran pembangunan sarana dan prasarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah. Prasarana tersebut meliputi fasilitas jalan, terminal dan pelabuhan laut guna mendorong proses perdagangan antar daerah. Selain itu, jaringan dan fasilitas telekomunikasi juga sangat penting untuk dikembangkan agar tidak ada daerah yang terisolir dan tidak dapat berkomunikasi dengan daerah lainnya. Bila hal tersebut dapat dilakukan, maka kesenjangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi karena usaha perdagangan dan mobilitas faktor produksi, khususnya investasi akan dapat lebih diperlancar. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan Dua tujuan utama transmigrasi yaitu pertama mengurangi kepadatan penduduk yang terdapat di pulau Jawa yang telah memicu peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Kedua, mendorong proses pembangunan di wilayah terbelakang dan menjadi tujuan transmigrasi, sehingga lahan yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan karena keterbatasan tenaga kerja dapat diatasi. Dengan digerakannya kegiatan pertanian melalui pemanfaatan tenaga transmigran tersebut, maka tujuan transmigrasi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi pada daerah terbelakang akan dapat dilaksanakan sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dikurangi. Pengembangan Pusat Pertumbuhan (growth poles) Secara Tersebar Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah, karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan masih mempertahankan tingkat efisiensi usaha yang sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan antar wilayah akan dapat dikurangi. Pelaksanaan Otonomi Daerah Dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Adanya wewenang tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan lebih dapat digerakkan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan kesenjangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi. Menurut Rustiadi et al. (2007), beberapa upaya mengatasi masalah kesenjangan dan membangun keterkaitan antar wilayah dapat dilakukan secara simultan antara lain dengan mendorong pemerataan investasi, pemerataan permintaan (demand) dan pemerataan tabungan. Untuk itu, investasi harus terjadi pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan, sehingga infrastruktur

45 29 wilayah bisa berkembang. Setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa menciptakan demand untuk masing-masing produk. Sedangkan tabungan diperlukan untuk bisa memacu investasi, karena apabila jumlah tabungan suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat. Lebih lanjut Rustiadi et al. (2007) menjelaskan bahwa kesenjangan antar wilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang memperhatikan dimensi spasial, yaitu tahap pertama dengan: (1) redistribusi aset (tanah, kapital, finansial dll); (2) pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan; (3) kebijakan insentif lapangan kerja yang membatasi masalah migrasi penduduk dari desa ke kota; (4) kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate policy) yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif dan (5) pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal. Tahap kedua meliputi: (1) pembangunan regional berbasis kepada pemanfaatan sumberdaya wilayah/ kawasan berdasarkan keunggulan komparatif masingmasing wilayah; (2) kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan; (3) investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun trust fund di daerah-daerah untuk dapat membiayai pembangunan dua kapital tersebut dan (4) industrialisasi berbasis wilayah perdesaan/ pertanian (melalui pembangunan sistem mikropolitan), seperti industri pengolahan makanan dan pakan, industri pengolahan pertanian lain dan industri peralatan dan input-input pertanian serta barang konsumsi lain. Secara berangsurangsur tersebut akan mengurangi kesenjangan antar wilayah/ kawasan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh. Dalam konteks nasional, strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain: (1) membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia; (2) percepatan pembangunan wilayahwilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti Kawasan Andalan (Kadal) dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi; (3) program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti Kawasan Sentra Produksi (KSP), pengembangan kawasan perbatasan, pengembangan kawasan tertinggal dan proyek pengembangan ekonomi lokal dan (4) program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti pewilayahan komoditas unggulan, pengembangan sentra industri kecil, pengembangan masyarakat pesisir (PEMP), dan lain-lain (Rustiadi dan Hadi 2004). Programprogram tersebut sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada saat menjelang dan awal era reformasi.

46 Paradigma Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Paradigma pembangunan, selama beberapa dekade terakhir terus mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Berbagai pergeseran paradigma akibat adanya distrosi berupa kesalahan di dalam menerapkan model-model pembangunan yang ada selama ini adalah sebagai berikut (Rustiadi et al. (2007): Pergeseran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang (trade off) ke keharusan mencapai tujuan pembangunan tersebut secara berimbang. Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan regional dan lokal. Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi pendekatan pembangunan yang mendorong pertisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian). Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: (i) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (ii) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, (iii) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan) dan (iv) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun (Rustiadi et al. 2007). Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin besar, beban dan ketergantungan pada hutang luar negeri yang senakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan pelaksanaan pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan. Dalam perspektif kewilayahan (regional) di Indonesia, kesadaran akan perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan juga lahir akibat terjadinya ketidakadilan yang begitu menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya kesenjangan pembangunan wilayah/ ruang berupa dikotomi perdesaan (rural) versus perkotaan (urban), Kawasan Timur Indonesia (KTI) versus Kawasan Barat Indonesia (KBI), Jawa dan luar Jawa adalah bukti ketidakseimbangan pembangunan. Kesenjangan tersebut semakin besar seiring dengan semakin besarnya proses kebocoran wilayah (regional leakage). Bahkan telah terakumulasi menjadi persoalan-persoalan yang semakin kompleks, seperti kongesti, sanitasi buruk, pemukiman kumuh serta penyakit-penyakit sosial di wilayah perkotaan. Paradigma baru saat ini meyakini bahwa pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan (growth), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini dapat mengacu kepada dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (the second fundamental of welfare economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa

47 31 sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development). Isu pembangunan wilayah atau daerah yang berimbang menurut Murty 2000 dalam Rustiadi et al. (2007) tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayah/ daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan sruktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah/ daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah/ daerah yang jelas-jelas beragam sehingga memberikan keuntungan/ manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah (all regions) Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Studi tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah mulai banyak dilakukan setelah Williamson pada tahun 1965 melakukan studi tingkat kesenjangan di berbagai negara (yang dinyatakan dengan PDB - Produk Domestik Bruto) yang berbeda. Williamson menilai tingkat kesenjangan dengan memperkenalkan indeks Williamson yaitu suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan per kapita nasional. Indeks Williamson ini sebenarnya merupakan suatu modifikasi dari standar deviasi. Dengan demikian makin tinggi indeks Williamson (V w ), berarti kesenjangan senakin besar, bagitu pula sebaliknya jika indeks semakin rendah berarti kesenjangan semakin kecil. Dari hasil penelitiannya, Williamson berkesimpulan bahwa pada waktu tingkat perkembangan ekonomi suatu negara masih rendah, tingkat kesenjangannya pun (V w ) rendah. Nilai V w ini terus meningkat bagi negara-negara yang lebih tinggi perkembangan ekonominya. Sampai pada suatu saat tercapai titik balik, dimana tingkat perkembangan ekonomi suatu negara makin tinggi, nilai V w nya makin rendah. Bagi negara-negara yang telah maju, ternyata nilai V w rendah. Dari hasil penelitian Williamson tersebut dapat disimpukan bahwa pada waktu negara sedang tumbuh dapat terjadi divergensi (kesenjangan membesar) dalam pengembangannya dan kemudian akan terjadi konvergensi (kesenjangan mengecil) apabila perkembangan negara tersebut sudah lebih tinggi lagi (Nurzaman 2002). Memperkuat kesimpulannya, lebih lanjut Williamson melakukan penelitian secara runut waktu (time series) di Amerika Serikat dari tahun 1840 sampai tahun Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata pada tahun 1948, pada waktu ekonomi Amerika Serikat belum berkembang nilai V w Amerika Serikat masih rendah, yaitu sebesar 0,279 dan mencapai puncaknya pada tahun 1932 sebesar 0,410, lalu menurun terus, dan pada tahun 1961 setelah ekonomi Amerika Serikat berkembang penuh, nilai V w nya sebesar 0,192 yang boleh dikatakan bahwa perkembangan telah merata di seluruh negara bagian.

48 32 Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada waktu suatu negara masih berkembang, nilai V w nya rendah, kemudian naik sejalan dengan perkembangan ekonomi, dan kemudian menurun lagi sejalan dengan perkembangan ekonomi yang lebih tinggi, sampai boleh dikatakan merata pada waktu ekonomi sudah benar-benar berkembang. Hasil penelitian terhadap negara-negara yang sudah maju seperti Kanada, Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya pernurunan nilai V w yang cukup signifikan, sedangkan pada negara-negara yang ekonominya masih dalam tahap perkembangan seperti Italia (pengamatan sampai tahun 1960) dan Brazil (pengamatan sampai tahun 1959), menunjukkan nilai V w yang terus naik (Williamson dalam Nurzaman 2002). Fujita dan Hu (2001) yang meneliti disparitas wilayah di Cina (wilayah pesisir dan pedalaman) tahun dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil menunjukkan bahwa pada periode tahun 1980-an tingkat disparitas di Cina mengalami penurunan. Namun setelah tahun 1990-an, tingkat disparitas tersebut meningkat secara nyata. Penurunan tingkat disparitas tersebut diakibatkan oleh meningkatnya pembangunan wilayah di kawasan pesisir Cina yang semula relatif tertinggal dari kawasan pedalaman Cina. Akan tetapi setelah tahun 1990-an perkembangan wilayah pesisir Cina semakin pesat berkembang dan jauh meninggalkan wilayah pedalamannya. Akibatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah wilayah pesisir dan pedalaman di Cina menjadi meningkat. Hal tersebut ditunjukkan Fujita dan Hu dari hasil dekomposisi ketimpangan dengan menggunakan indeks theil, dimana pada tahun 1980-an sumber ketimpangan utama berasal dari ketimpangan dalam wilayah pesisir dan pedalaman, sedangkan setelah tahun 1990-an sumber utama ketimpangannya berubah menjadi ketimpangan antar wilayah pesisir dan pedalaman. Penelitian lain tentang disparitas di Cina juga dilakukan oleh Lee (2000), yang menguji perubahan sumber utama ketimpangan di Cina dengan menggunakan data PDRB sektor industri dan pertanian per kapita dan konsumsi rumah tangga per kapita tahun 1982 dan Pada penelitian tersebut, Lee menunjukkan bahwa sumber yang dominan dari seluruh ketimpangan wilayah sudah bergeser dari ketimpangan antar provinsi menjadi ketimpangan dalam provinsi, dari ketimpanan kota-desa menjadi antar desa dan juga dari ketimpangan dalam kawasan pesisir menjadi antara kawasan pesisir dan kawasan pedalaman. Dalam kasus konsumsi, ketimpangan antar provinsi, ketimpangan kota-desa dan ketimpangan dalam kawasan pesisir adalah faktor-faktor utama dari seluruh ketimpangan wilayah. Di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar provinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975 (Tambuan 2003), disusul kemudian antara lain oleh Hughes dan Islami (1981), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan Khan (1986), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995), Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998), Sjafrizal (1997, 2000) dan Booth (2000). Walaupun data yang digunakan sama, yaitu PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antar studi. Misalnya Sjafrizal dalam Tambunan (2003) menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dan Indonesia Kawasan

49 33 Timur (IKT) dan perbedaan dalam kesenjangan antar provinsi antara kedua kawasan tersebut dengan indeks Williamson yang disebut wighted coefficient of variation (WCV). Dengan menggunakan data PDRB tanpa migas untuk periode , hasil studinya tahun 1977 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar provinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 hingga 0,392 dengan tendensi yang terus menurun sejak 1990.Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara 0,396 hingga 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB. Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode , hasil studinya tahun 2000 menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar provinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk negara berkembang. Negara berkembang lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brazil, Kolombia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata negara berkembang. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Akan tetapi pada tahun 1998 tingkat kesenjangan sedikit mengalami penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605. Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dimana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi krisis yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurng maju pada umunya adalah daerah-daerah pertanian, seperti Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapat keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Pada tingkat yang lebih disagregat, Tajudin et al. (2001) menganalisis ketimpangan regional dengan menggunakan data kabupaten/ kota tahun Dari hasil analisis tersebut mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/ kota yang memiliki PDRB per kapita sangat tinggi dan menjadikan daerah tersebut sebagai daerah kantong (enclave) dikarenakan diantaranya oleh keberadaan migas dan sumberdaya alam lainnya. Menurut mereka dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Hal yang menarik dari studi mereka adalah jika outlayers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisis, ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi menjadi sangat rendah. Selain itu, Tajudin et al. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yaitu ketimpangan antar individu di dalam provinsi dan kesenjangan antar provinsi dengan indeks Theil dan L. Hasilnya juga menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu adanya migas dan daerah kantong memperparah kesenjangan regional mencapai 60% hingga 70%.

50 34 Studi lain yang menggunakan indeks Theil adalah Akita dan Alisjahbana (2002) dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupaten/ kota untuk periode Mereka melakukan analisis dekomposisi ketimpangan regional dalam tiga komponen, yaitu antar wilayah (Sumatra, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya), antar provinsi dan di dalam provinsi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997, ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7%, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun Hasil analisis dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh suatu kenaikan ketimpangan di dalam provinsi. Pada tahun 1997, komponen ketimpangan di dalam provinsi menyumbang 50% dari ketimpangan regional di Indonesia. Penyebaran dari efek krisis ekonomi yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita tahun 1995, ternyata tidak merata lintas provinsi dan kabupaten/ kota. Pada tahun 1998 kesenjangan pendapatan regional menurun ke tingkat tahun Berbeda dengan periode , sekitar 75% dari penurunan tersebut diakibatkan oleh adanya suatu perubahan dalam kesenjangan antar provinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang peranan yang dominan. Selain dari studi diatas, masih banyak penelitian tentang kesenjangan atau disparitas antar wilayah yang dianalisis dengan indeks Williamson dan indeks Theil, namun pada umumnya penelitian tersebut masih dalam tingkat wilayah pada tingkat yang lebih rendah (mikro), seperti antar kabupaten/ kota, antar wilayah pengembangan atau antar kecamatan dalam wilayah kabupaten masih relatif sedikit. Padahal kajian-kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut sangat diperlukan dalam memformulasikan kebijakan bagi pemerintah daerah agar tidak terjadi dampak negatif dari kesenjangan yang terjadi atau setidaknya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu, kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah pada tingkat mikro (wilayah pengembangan atau kecamatan) juga perlu mendapat perhatian. Achsani (2003) mengemukakan bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat tajam di Indonesian khususnya pulau Jawa Bali yang hanya mencakup 7,2% wilayah Indonesia ternyata dihuni oleh 64% penduduk dan menyumbang sekitar 60% PDB Indonesia. Sebaliknya Papua yang mencakup 22% wilayah Indonesia tetapi hanya dihuni 0,8% penduduk dan menyumbang sekitar 2,1% PDB Indonesia. Nugroho (2004) mengenai Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat (Studi Kabupaten Karawang Subang Garut Ciamis), Adifa (2007) mengenai Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor, Rahman (2009) mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Kabupaten Sambas, Gumilar (2009) mengenai Kajian Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Sebagai Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Lokal (Studi Kabupaten Garut), Pravitasari (2009) mengenai Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah, Yudha (2011) mengenai Kualitas Sumberdaya Manusia, Pelayanan Publik dan Kesenjangan Pembangunan Wilayah Kabupaten Lebak-Banten, Baransano (2011) mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat.

51 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian Kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal yang tejadi di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hanya saja yang terjadi di negara maju tidak begitu mengkhawatirkan, karena tingkat kesenjangan pembangunannya tidak terlalu lebar. Berbeda dengan negara berkembang, kesenjangan pembangunan antar wilayah cukup nyata dan kompleks. Kondisi kesenjangan tersebut diperparah dengan adanya kebijakan sentralistik sektoral dan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata. Menurut Hadi (2001) pemerataan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan persamaan pambangunan (equality) tetapi lebih ke arah adanya keseimbangan yang proportional antara kemajuan satu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi, tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah memicu disparitas pertumbuhan yang amat lebar antar wilayah di Indonesia. Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan ke depan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (seperti masalah kependudukan, sosial, ekonomi, politik dan lingkungan) dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai suatu bangsa yang utuh. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi faktor biofisik/ karakteristik (sumberdaya alam), sumberdaya buatan (ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi), sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah, dan kebijakan pemerintah daerah. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut, maka akan dapat membantu dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan daerah khususnya dalam mengurangi tingkat kesenjangan serta dalam rangka mewujudkan pembangunan wilayah yang merata dan berimbang. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun kerangka pikir penelitian seperti terlihat pada Gambar 5.

52 36 Kondisi Existing Kab.Ciamis : Biofisik wilayah beragam PDRB per kapita tidak merata Kebijakan pembangunan kurang bijaksana Sarana dan prasarana sosialekonomi tidak merata Paradigma Pembangunan masa lalu: Mengutamakan pertumbuhan ekonomi tinggi Sentralistik Sektoral Terjadinya Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah/ Kecamatan Implikasi Masalah sosial politik Masalah Kependudukan (migrasi/urbanisasi) Menimbulkan potensi konflik Struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah Disintegrasi bangsa stabilitas nasional Teori: Endogenus Geografi Diperlukan Analisis KesenjanganPembangunan Antar Wilayah/ Kecamatan untuk Mengetahui Faktor Penyebab Kesenjangan Sektor Unggulan Kecamatan dalam Wilayah Pengembangan Tingkat KesenjanganPemba ngunan Antar Wilayah/ Kecamatan Tingkat Perkembangan / Hirarki Wilayah/ Kecamatan Faktor Kebijakan Pembangunan Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah/ Kecamatan Gambar 5 Kerangka Pemikiran 3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan, kerangka teori dan kerangka pemikiran diatas maka didapat hipotesisnya adalah: Diduga keunggulan komparatif (LQ) dan keunggulan kompetitif (SSA) terdapat pada WP Utara khususnya pada Kecamatan Ciamis yaitu pada sektor perdagangan dan jasa dilihat dari aspek: penerimaan pendapatan, ketersediaan infrastruktur (sarana dan prasarana), penyebaran anggaran pembangunan pada

53 37 masing-masing SKPD dan intensitas interaksi spasial (arus barang, orang dan informasi). Dimana WP Tengah diduga hanya memiliki sedikit sektor-sektor unggulan. Diduga pada masing-masing WP terutama WP Utara khusunya Kecamatan Ciamis memiliki tingkat perkembangan lebih baik dari pada WP Tengah ataupun WP Selatan oleh karena memiliki sarana dan prasarana yang lebih memadai. Besarnya tingkat kesenjangan diduga WP Utara memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi dari WP Tengah dan WP Selatan oleh karena jumlah kecamatan yang ada pada WP Utara terlalu banyak dan faktor geografis yang sulit terjangkau. Diduga faktor penyebab kesenjangan adalah masalah pembangunan yang kurang merata khususnya pada infrastruktur, kesempatan bekerja atau usaha sehingga kelancaran arus barang atau transportasi terganggu dan pendapatan masyarakat tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari hingga pada pengalokasian anggaran infrastruktur pada masing-masing SKPD terutama masing-masing kecamatan tidak sesuai kebutuhan. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ciamis yang memiliki luas wilayah sekitar Ha, letaknya ujung timur bagian selatan (tenggara) propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 343 Desa, 7 Kelurahan, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Kabupaten Ciamis dibagi dalam pewilayahan pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan pewilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Pengembangan (WP), yaitu: WP Utara Kecamatan Ciamis, WP Tengah Kecamatan Banjarsari dan WP Selatan Kecamatan Pangandaran. Penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan, dari bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Maret Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik BPS, Bappeda, Dinas Tata Ruang dan dokumen perencanaan yang dikeluarkan

54 38 oleh Pemda Kabupaten Ciamis dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik penelitian. Selain itu juga digunakan peta administrasi wilayah Kabupaten Ciamis, peta penggunaan lahan, peta jaringan jalan. Adapun rincian dari tujuan, metode, data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5 Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian Tujuan Metode Analisis Variabel/Parameter Data dan Sumber Data Menentukan sektor unggulan per wilayah pengembangan Menentukan tingkat perkembangan wilayah Menghitung tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah Menentukan faktor penyebab kesenjangan pembangunan antar wilayah LQ dan Shift Share Analysis (SSA) Analisis Skalogram, Indeks Entropi dan Tipologi Klassen Indeks Williamson dan Spatial Mean Method Analisis Regresi Berganda PDRB per sektor t0-t1 Jumlah sarana dan prasarana wilayah, PDRB Kecamatan, PDRB per kapita kecamatan, laju pertumbuhan ekonomi kecamatan PDRB Kecamatan, Jumlah penduduk per kecamatan Indeks Williamson, PDRB/ Kapita, Penduduk, Sarana dan Prasarana; sosial, ekonomi dan perdagangan CiamisDalam Angka Tahun 2011 (BPS, Bappeda Kab. Ciamis) Podes Tahun 2008, Ciamis Dalam Angka Tahun 2011 (BPS, Bappeda, Din Capilduk, Tata Ruang Kab. Ciamis) PDRB per kecamatan, Ciamis Dalam Angka Tahun 2011 (BPS, Bappeda, Din Capilduk Kab. Ciamis) Analisis Indeks Williamson, Podes, CiamisDalamAngka(BPS, BappedaKab. Ciamis,Kemkimpraswil) 3.5 MetodeAnalisis Identifikasi Sektor Unggulan per Wilayah Pengembangan Untuk mengetahui sektor unggulan masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Ciamis dilakukan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Location Quotient (LQ) Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Metode analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data PDRB kecamatan dengan 9 sektor (pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; jasa-jasa) di Kabupaten Ciamis. Data yang digunakan bersumber dari Bappeda Kabupaten Ciamis tahun Metode LQ dirumuskan sebagai berikut: LQ ij = X ij X j X.. X i.

55 39 Dimana : LQ ij = Indeks Kuosien lokasi kecamatan i untuk sektor j X ij = PDRB sektor j di kecamatan i. X i = PDRB total di kecamatan i. X j X.. = PDRB total sektor j di Kabupaten Ciamis = PDRB total seluruh sektor di Kabupaten Ciamis. Kriteria penelitian dalam penentuan ukuran derajat basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ 1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten Ciamis. Shift Share Analysis (SSA) Shift share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Dari hasil analisis SSA akan diperoleh gambaran kinerja aktivitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu (Panuju dan Rustiadi 2005): Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/ aktivitas total dalam wilayah. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/ aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/ aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan analisis SSA adalah sebagai berikut: SSA = X..(t1) X..(t0) 1 + X i(t1) X i(t0) X..(t1) X..(t0) + X ij (t1) X i(t1) X ij (t0) a b c X i(t0)

56 40 Dimana: a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift X..= Nilai total aktivitas dalam total wilayah X.i= Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Xij= Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal Metode analisis SSA pada penelitian ini menggunakan data PDRB kecamatan atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan sembilan sektor di semua kecamatan di Kabupaten Ciamis. Data yang digunakan bersumber dari Bappeda Kabupaten Ciamis tahun 2006 dan Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut, sektor yang memiliki nilai LQ>1 (sektor yang memiliki keunggulan komparatif) dan sektor yang memiliki nilai differential shift lebih besar dari 0 (sektor yang memiliki keunggulan kompetitif). Ditambah sektor yang memiliki nilai proportional shift lebih besar dari 0 ditetapkan sebagai sektor unggulan Analisis Perkembangan Wilayah Metode Skalogram Metode ini digunakan untuk menghitung jumlah sarana dan jenis sarana dan pasarana pelayanan yang ada pada suatu pusat aktifitas 40ocial ekonomi. Sarana dan prasaran akan dihitung dalam penelitian ini mencakup fasilitas; perekonomian, pendidikan, kesehatan, penerangan, informasi, ibadah keagamaan yang tersebar pada 36 kecamatan. Dimana jumlah sarana dan jumlah jenis sarana tersebut selalu berkolerasi dengan jumlah penduduk. Dengan pendekatan analisis ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa semakin banyak/ tinggi tingkat penyediaan fasilitas pada suatu lokasi/ wilayah maka wilayah tersebut semakin berkembang dan sebaliknya semakin sedikit jumlah sarana dan prasarana pelayanan/ penyedia pelayanan maka lokasi/ wilayah tersebut dikategorikan terbelakang. Metode Analisis Skalogram dapat diformulasikan (Rustiadi et al. 2003) sebagai berikut: Dimana; I ik Ī ik IP i = n j n Ī ik. fk Ī ik = I ik I k min SD k =indeks perkembangan ke-k diwilayah i = nilai indeks perkembangan ke-k yang terkoreksi (terstandarisasi) wilayah ke-i I k min = nilai indeks perkembangan ke-k terkecil (minimum) SD k IP I = standar deviasi perkembangan ke-k = indeks perkembangan wilayah ke-i

57 41 Indeks Entropy Indeks Entropi juga digunakan untuk melihat hirarki wilayah yaitu mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor yang dominan (yang berkembang) pada wilayah tersebut. Data yang dianalisis adalah data PDRB per kecamatan terhadap PDRB kabupaten Tahun Analisis entropy merupakan model salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: 1) memahami perkembangan suatu wilayah; 2) memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan dan 4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain (Saefulhakim 2006). Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti wilayah tersebut semakin berkembang atau semakin maju (S= tingkat perkembangan). Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut: Dimana: S = n n i=1 j =i S adalah tingkat perkembangan P ij log P ij P ij adalah proporsi kegiatan I (sektor, komoditas) di wilayah I yang dihitung dari persamaan P ij = X ij /ΣX ij Sedangkan Indeks Entropi (IE) diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya, yang dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut: IE = S S max Dimana S adalah nilai entropi total dan Smax adalah nilai entropi maksimum, dengan nilai IE antara 0 dan 1, jika IE = 1, berarti tingkat keragaman (diversifikasi) suatu komponen aktivitas merata/ berkembang, begitu pula sebaliknya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian antar kecamatan di Kabupaten Ciamis, data yang dipakai PDRB ADHK kabupaten dan masing-masing WP dari tahun sehingga dapat dibandingkan perkembangan perekonomian antar kecamatan tersebut. Jika IE semakin tinggi maka tingkat perkembangan wilayah semakin meningkat atau semakin maju. Tipologi Klassen Alat analisis Tipologi Klassen (Klassen Typology) dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masingmasing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua

58 42 indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah seperti yang diutarakan oleh Sjafrizal (2008). Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah ralatif tertinggal (low growth and low income). Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kecamatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Daerah cepat-maju dan cepat tumbuh (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran daerah kecamatan dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah kabupaten (g) dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah kecamatan yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah kabupaten (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi<g dan gki>gk. Daerah berkembang cepat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk daerah kecamatan yang memiliki pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah kabupaten (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah kecamatan tersebut (gki) lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi>g dan gki<gk. Dearah relatif tertinggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah kecamatan yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) dan pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB (g) dan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi<g dan gki<gk. Keempat klasifikasi daerah kuadran tersebut ditunjukkan pada Gambar 6. Di atas Rata-Rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Di Bawah Rata-Rata PDRB per Kapita Di Atas Di Bawah Rata-rata Rata Rata Kuadran I Daerah Maju gi > g, gki > gk Kuadran III Daerah Berkembang Cepat gi > g, gki < gk Kuadran II Daerah Maju Tapi Tertekan gi < g, gki > gk Kuadran IV Daerah Relatif Terbelakang gi < g, gki < gk Gambar 6 Klasifikasi Tipologi Klassen pendekatan daerah

59 43 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun dan rata-rata PDRB per kapita tahun 2010 tiap kecamatan di Kabupaten Ciamis Analisis Tingkat Kesenjangan Untuk melihat tingkat kesenjangan wilayah digunakan indeks Williamson dan Spatial Mean Method. Indeks Williamson Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi 2007): Dimana : V w = (Y i Y) 2 P i Y V w = Indeks kesenjangan Williamson Y i = PDRB per kapita WP ke-i Ý = Rata-rata PDRB per kapita WP Pi= fi/n, dimana fi jumlah penduduk WP ke-i dan n adalah total penduduk kabupaten Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Yi= Ý maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya kesenjangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar kecamatan di suatu kabupaten. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah PDRB ADHK dan jumlah penduduk tengah tahun tiap kecamatan tahun , sehingga dihasilkan perkembangan indeks kesenjangan Williamson dari tahun Spatial Mean Method Merupakan sepasang koordinat spasial yang menyatakan posisi pusat dari sebaran fenomena tiap wilayah. Nilai koordinat spatial mean/ mean centre (Xc, Yc) merupakan rataan nilai koordinat fenomena yang diukur pada sumbu X dan Y sehingga koordinat mean centre sangat sensitif terhadap nilai ekstrim (Smith 1995). Dalam penentuan koordinat mean centre, sebaiknya dipertimbangkan apakah posisi-posisi pencilan dari sebaran fenomena diikutsertakan dalam perhitungan atau tidak. Data yang dimasukkan dalam analisis adalah data koordinat fasilitas fisik di daerah dan variabel yang mempengaruhinya diformulasikan sebagai berikut: Xm= n i=1 n i=1 Ƶi.Xc Ƶi Ym= n i=1 n i=1 Ƶi.Yc Ƶi

60 44 Dimana: Xm=koordinat sumbu X berdasarkan variabel yang mempengaruhinya Ym=koordinat sumbu Y berdasarkan variabel yang mempengaruhinya Xc= koordinat mean centre pada sumbu X Yc= koordinat mean centre pada sumbu Y Zi= variabel yang mempengaruhi kesenjangan Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Karena kesenjangan antar wilayah dapat dilihat dari indeks perkembangan, tingkat perkembangan ekonomi dan produktivitas suatu wilayah, maka uji regresi dilakukan antara indeks Williamson antar (WP) sebagai variabel tujuan (dependent) terhadap variabel (independent), yaitu: PDRB per kapita, rasio penduduk dengan luas, rasio sekolah, rasio puskesmas, rasio pasar. Adapun persamaan umumnya adalah sebagai berikut : Y=f(X 1,X 2,X 3.X k.) Dimana: Dimana: Y = variabel tidak bebas/ respon (dependent) X i = variabel bebas (independent) Sedangkan model regresi berganda dapat diturunkan menjadi : Y i = β 0 + β 1 X 1i + β 2 X 2i + + β i X 7i + ε Y i = Indeks Williamson WP ke i X 1 = PDRB per kapita WP ke i X 2 = rasio penduduk dengan luas wilayah WP ke i X 3 = rasio sekolah SD dengan penduduk WP ke i X 4 = rasio sekolah SMP dengan penduduk WP ke i X 5 = rasio sekolah SMA dengan penduduk WP ke i X 6 = rasio puskesmas dengan penduduk WP ke i X 7 = rasio pasar dengan penduduk WP ke i β i = koefisien fungsi regresi ε = variabel pengganggu (residual) Y adalah variabel tidak bebas yang nilainya tergantung dari k variabel bebas x 1,.,x k. Untuk variabel bebasnya (Xi); x1i: PDRB per kapita, x2i: jumlah penduduk dengan luas wilayah, x3i: mengenai sarana sekolah SD, x4i: mengenai sarana sekolah SMP,x5i: mengenai sarana sekolah SMA,x6i: mengenai sarana puskesmas, x7i: mengenai sarana pasar,. Di asumsikan bahwa nilai variabel bebas diketahui dan nilai β 0, β 1, β k, belum diketahui. Untuk menghasilkan model yang dapat digunakan sebagai penduga yang baik maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yaitu: (1) residual (ε) berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 (E (ε i ) = 0); (2) tidak ada korelasi antar residual; (3) varian dari variabel pengganggu ε i adalah sama (E(ε i 2 )=σ 2 ) (Nachrowi & Usman 2006; Widarjono 2007). Secara garis besar, alur penelitian dapat dijelaskan dalam kerangka penelitian seperti terlihat pada Gambar 7.

61 1 Wilayah Kabupaten CIAMIS Kondisi / Potensi Wilayah: SDA, SDM, SD Buatan, Sosial- Ekonomi Wilayah Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah Data-data Statistik (PODES, Kab. Ciamis Dlm Angka, Suseda, RTRW,PDRB Kecamatan) Dokumen Rencana dan Kebijakan Pembangunan Identifikasi Sektor Unggulan per WP (LQ, Shift Share Analysis) Analisis Tingkat Kesenjangan(Indeks Williamson, Spatial Mean Method) Analisis Tingkat Perkembangan (Skalogram, Indeks Entropi, Tipologi Klassen) Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah Karakteristik / Tipologi Wilayah Tingkat Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Tingkat Perkembangan / Hirarki Wilayah Deskripsi Kebijakan Analisis Penyebab Kesenjangan (Regresi Berganda) Gambar 7 Kerangka analisis penelitian 45

62 46 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Ciamis Posisi geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada sampai dengan Bujur Timur dan sampai dengan 7 o Lintang Selatan. Wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah Timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah, dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia. Luas Wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai ha. Wilayah selatan Kabupaten Ciamis yang dapat dilihat pada Gambar 8 berbatasan langsung dengan garis pantai Samudera Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 KM. Dengan adanya garis pantai tersebut, maka Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas ha. Gambar 8 Peta wilayah Kabupaten Ciamis

63 Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 343 Desa, 7 Kelurahan, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Pengembangan sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis No. 3 tahun 2007, yaitu: Wilayah Pengembangan (WP) Utara dengan pusat utama Kecamatan Ciamis dan pusat pembantu Kecamatan Kawali yang terdiri dari 4 Sub Wilayah Pengembangan: Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara I dengan pusat SWP Panjalu mencakup 4 Kecamatan; Panumbangan, Panawangan, Sukamantri dan Panjalu Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara II dengan pusat SWP Kawali mencakup 4 Kecamatan; Jatinagara, Cipaku, Lumbung dan Kawali Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara III dengan pusat SWP Cikoneng mencakup 7 Kecamatan; Cihaurbeuti, Sadananya, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Cijeungjing dan Cikoneng Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara IV dengan pusat SWP Rancah mencakup 5 Kecamatan; Sukadana, Tambaksari, Cisaga, Rajadesa dan Rancah Wilayah Pengembangan (WP) Tengah dengan pusat utama Kecamatan Banjarsari dan pusat pembantu Kecamatan Padaherang yang terdiri dari 2 Sub Wilayah Pengembangan: Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Tengah I dengan pusat SWP Padaherang mencakup 5 Kecamatan; Lakbok, Mangunjaya, Purwadadi, Banjarsari dan Padaherang Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Tengah II dengan pusat SWP Pamarican mencakup 4 Kecamatan; Cimaragas, Cilodong, Langkaplancar dan Pamarican Wilayah Pengembangan (WP) Selatan dengan pusat utama Kecamatan Pangandaran dan pusat pembantu Kecamatan Cijulang yang terdiri dari 3 Sub Wilayah Pengembangan: Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Selatan I dengan pusat SWP Kalipucang mencakup 2 Kecamatan; Kalipucang dan Pangandaran Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Selatan II dengan pusat SWP Parigi mencakup 3 Kecamatan; Cigugur, Sidamulin dan Parigi Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Selatan III dengan pusat SWP Cijulang mencakup 2 Kecamatan; Cimerak dan Cijulang Penjelasan Wilayah Pengembangan (WP) berdasarkan peta dapat dilihat pada Gambar 9. 47

64 48 Gambar 9 Peta Wilayah Pengembangan Kabupaten Ciamis 4.2 Kondisi Demografi Berdasarkan hasil pengolahan data kependudukan yang dilakukan oleh Dinas Capilduk Kab.Ciamis, penduduk Kabupaten Ciamis pada akhir bulan Desember 2010 tercatat sebanyak orang. Dibandingkan dengan tahun 2009, jumlah penduduk tersebut mengalami kenaikan sebesar 6,9 persen. Dari segi komposisi jumlah penduduk, laki-laki sebanyak orang dan perempuan sebanyak orang, dengan demikian maka jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan hal ini pun jelas tergambar dari nilai sex ratio sebesar 100,36. Luas wilayah Kabupaten Ciamis adalah km 2 dengan jumlah penduduk sebesar orang menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk dari 657 orang per km2 pada tahun 2009 menjadi 704 orang per km 2

65 49 pada Tahun Dari segi penyebarannya, 5,79 persen penduduk Kabupaten Ciamis bertempat tinggal di Kecamatan Ciamis sehingga menyebabkan kepadatan tertinggi (3.374 orang per kilometer persegi). Hal ini dapat dimengerti karena Kecamatan Ciamis merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian. Kepadatan cukup tinggi juga dialami oleh Kecamatan Cikoneng, Cihaurbeuti, Kawali serta kecamatan pemekaran yaitu Sindangkasih, Baregbeg dan Lumbung dapat dilihat pada Gambar 10 sedangkan luas wilayah dan kepadatan penduduknya dapat dilihat pada Tabel 6. Kepadatan penduduk juga tampak dari rata-rata anggota keluarga yang mencapai 3,20 sehingga secara umum setiap keluarga memiliki 3 sampai dengan 4 orang anggota keluarga. Selain jumlah kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk, jarak dan jumlah usia produktif (angkatan kerja) juga dapat mempengaruhi laju pertumbuhan pembangunan dan perkembangan suatu wilayah. Data jarak dari ibukota Kabupaten Ciamis ke kecamatan dijelaskan dalam Tabel 7. Gambar 10 Peta Kepadatan Penduduk di Kabupaten Ciamis

66 50 Apabila dilihat dari pertumbuhannya, kepadatan yang relatif tinggi cenderung memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pula. Laju pertumbuhan yang tinggi juga terjadi pada kecamatan-kecamatan yang merupakan pusat dari wilayah pengembangan khususnya pada WP Utara (Kecamatan Ciamis) dan WP Tengah (Kecamatan Banjarsari). WP Utara 1 Utara 2 Utara 3 Utara 4 Tabel 6 Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kabupaten Ciamis Kecamatan Luas Wilayah Km2 Jumlah Penduduk Jiwa Kepadatan Penduduk Jiwa/ Km2 Distribusi Penduduk % Panumbangan 59, ,73 Panawangan 80, ,24 Sukamantri 33, ,5 Panjalu 81, ,93 Jatinagara 35, ,59 Cipaku 65, ,97 Lumbung 23, ,9 Kawali 34, ,49 Cihaurbeuti 36, ,14 Sadananya 43, ,18 Sindangkasih 30, ,94 Ciamis 29, ,79 Baregbeg 20, ,55 Cijeunjing 58, ,09 Cikoneng 34, ,23 Sukadana 58, ,45 Tambaksari 64, ,37 Cisaga 60, ,31 Rajadesa 58, ,26 Rancah 73, ,52 Total WP Utara 980, ,2 56,17 Tengah 1 Tengah 2 Lakbok 55, ,47 Mangunjaya 63, ,96 Purwadadi 43, ,,43 Banjarsari 163, ,73 Padaherang 89, ,26 Cimaragas 27, ,99 Cidolog 59, Langkaplancar 177, ,92 Pamarican 104, ,24 Total WP Tengah 781, ,6 28,2 Selatan 1 Selatan 2 Kalipucang 136, ,37 Pangandaran 60, ,25 Cigugur 97, ,32 Sidamulih 77, ,69 Parigi 98, ,62 Selatan Cimerak 118, ,77 3 Cijulang 93, ,61 Total WP Selatan 682, ,63 Kab. Ciamis 2.444, Sumber; Bappeda, Kab. Ciamis Dalam Angka 2011 Tabel 8 menggambarkan perbandingan usia penduduk tidak produktif (usia 0-14 & 65+ tahun) dibanding usia produktif (usia tahun) yang menunjukkan angka beban tanggungan. Angka beban tanggungan pada Tahun 2010 sebesar 47,35 % ternyata lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 45,66 persen. Komposisi penduduk menurut usia, nampaknya perlu dicermati karena penduduk kelompok usia 5-9 tahun, tahun dan usia tahun cukup banyak.

67 51 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010 mencapai orang. Dari jumlah tersebut yang paling banyak adalah golongan IV sebanyak orang diikuti oleh golongan III dan II. Berdasarkan strata pendidikannya, proporsi PNS terbanyak adalah kelompok Diploma II. Jumlah pencari kerja yang terdaftar selama Tahun 2010 di Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Ciamis sebanyak orang, terdiri dari laki-laki dan orang perempuan. Tabel 7 Jarak Kecamatan ke Ibukota Kabupaten (Km) WP Kecamatan Jarak Panumbangan 31 Panawangan 45 Sukamantri 50 Panjalu 43 Jatinagara 30 Cipaku 20 Lumbung 52 Kawali 30 Cihaurbeuti 24 Utara Sadananya 21 Sindangkasih 17 Ciamis 2 Baregbeg 7 Cijeunjing 5 Cikoneng 15 Sukadana 35 Tambaksari 60 Cisaga 15 Rajadesa 44 Rancah 34 Lakbok 44 Mangunjaya 61 Purwadadi 62 Banjarsari 48 Tengah Padaherang 60 Cimaragas 18 Cidolog 21 Langkaplancar 43 Pamarican 32 Kalipucang 75 Pangandaran 90 Cigugur 150 Selatan Sidamulih 102 Parigi 115 Cimerak 140 Cijulang 127 Sumber; Bappeda, Kab. Ciamis Dalam Angka 2011 Keadaan ini apabila dibandingkan dengan Tahun 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Berdasarkan pendidikannya, pencari kerja tersebut terdiri dari tamatan sarjana sebanyak orang laki-laki dan orang perempuan, DI-DIII sebanyak orang laki-laki dan orang perempuan, SLTA sebanyak orang laki-laki dan orang perempuan, SLTP sebanyak 57 orang laki-laki dan 79 orang perempuan, serta sisanya SD ke bawah sebanyak 76 orang laki-laki dan 67 orang perempuan.

68 52 Selama Tahun 2010, sebanyak 845 orang pencari kerja telah dapat ditempatkan/ mengisi lowongan kerja di sektor Industri, 31 orang di sektor perdagangan dan 400 orang di sektor jasa-jasa. Namun demikian, secara komulatif pencari kerja yang belum ditempatkan sampai akhir Desember 2010 masih sangat banyak. Jumlah Penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja sebanyak orang, penganguran sebanyak dengan jumlah angkatan kerja sebanyak untuk tahun Tabel 8 Jumlah usia tidak produktif, usia produktif dan beban tanggungan WP Kecamatan Usia Tidak Produktif Usia Produktif Angka Beban (0-14 & 65+) (15-64) Tanggungan Panumbangan ,80 Panawangan ,98 Sukamantri ,40 Panjalu ,23 Jatinagara ,59 Cipaku ,03 Lumbung ,89 Kawali ,88 Cihaurbeuti ,41 Utara Sadananya Sindangkasih ,97 Ciamis ,65 Baregbeg ,69 Cijeunjing ,67 Cikoneng ,24 Sukadana ,98 Tambaksari ,14 Cisaga ,58 Rajadesa ,88 Rancah ,88 Lakbok ,57 Mangunjaya ,95 Purwadadi ,35 Banjarsari ,28 Tengah Padaherang ,15 Cimaragas ,88 Cidolog ,23 Langkaplancar ,69 Pamarican ,77 Kalipucang ,63 Pangandaran ,70 Cigugur ,86 Selatan Sidamulih ,63 Parigi ,69 Cimerak ,51 Cijulang ,68 Kab. Ciamis ,35 Sumber: Bappeda, Kab. Ciamis Dalam Angka 2011 Sehingga dapat diketahui pula tingkat pengganguran di Kabuapten Ciamis selama tiga tahun mengalami penurunan dimana pada tahun 2008 tingkat penganggurannya sebesar 6,31 persen menurun menjadi 6,00 persen dan tahun 2010 lebih baik lagi menjadi 5,12 persen. Pada Tahun 2010 dari Kabupaten Ciamis telah diberangkatkan transmigrasi umum sebanyak 25 KK atau sebanyak 86 jiwa. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya yaitu 33 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 126 jiwa.

69 Karakteristik Biofisik Wilayah Kondisi biofosik wilayah Kabupaten Ciamis terlihat perbedaan karakteristik alam antar wilayah. Data dan peta penggunaan tanah dapat kita lihat pada Tabel 9 dan Gambar 11 akan menunjukan luas lahan yang beragam penggunaannya antara wilayah pengembangan dan antara wilayah kecamatan WP Utara Tengah Selatan Kecamatan Tabel 9 Data penggunaan lahan (Km 2 ) Pekarangan, Halaman, Bangunan Tegal, Ladang, Kebun Padang Rumput, Gembalaan Jalan, Sal. Air, Kuburan Panumbangan Panawangan Sukamantri ,5 Panjalu Jatinagara ,59 Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya 396, ,1 63 Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng ,1 Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah , Lakbok Mangunjaya Purwadadi 1.091, Banjarsari Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Kab. Ciamis , , , ,19 Sumber; Bappeda, Kab. Ciamis Dalam Angka 2011

70 54 Gambar 11 Peta penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis 4.4 Kondisi Sarana dan Prasarana Dinamika perekonomian mendorong pada peningkatan mobilitas penduduk dan barang antar daerah. Oleh karena itu, sarana transportasi seperti jalan, kendaraan dan penunjang angkutan serta didukung oleh sarana komunikasi seperti pos dan telepon dapat memperlancar kegiatan perekonomian. Termasuk sarana pendidikan, kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) serta perdagangan sebagai aktifitas ekonomi secara langsung.

71 Jalan Panjang jalan di seluruh wilayah Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010 mencapai 4,75 9,154 ribu km. Berdasarkan kondisi dan panjang jalan seperti terlihat pada Tabel 10, digambarkan bahwa kondisi baik sepanjang km, kondisi sedang km, rusak 1.110,298 km dan rusak berat sepanjang 1.231,109 km sedangkan menurut jenis permukaan jalan sebagian besar telah diaspal, hanya sebagian jalan yang dikelola desa masih ada yang belum di aspal. Berdasarkan kewenangan pengelolaannya, jalan tersebut dibagi dalam 4 kategori yaitu jalan nasional sepanjang 97,928 km, jalan propinsi sepanjang 59,440 km, jalan kabupaten km dan sisanya sepanjang 3.820,670 km merupakan jalan desa. Catatan Kepolisian Resort Kabupaten Ciamis pada 2010 menunjukkan bahwa terdapat mobil penumpang, mobil barang, 697 mobil bus dan sepeda motor. Tercatat pada tahun 2010 kasus pelanggaran sebanyak 9662 kasus. Sementara itu kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi selama tahun 2010 sebanyak 272 kejadian meningkat dari tahun sebelumnya, dengan koban meninggal sebanyak 49 orang, luka berat 2 orang dan luka ringan 446 orang serta kerugian material diperkirakan mencapai 515,9 juta rupiah. Sarana transportasi lain bagi masyarakat Kabupaten Ciamis adalah kereta api melalui stasiun Ciamis. Pada tahun 2010 jumlah penumpang kereta api mencapai orang dengan nilai penjualan karcis sebesar Rp ,75 juta. Tabel 10 Kondisi dan panjang jalan yang ada di Kabupaten Ciamis Uraian Panjang (Km) Jalan Nasional 109, , , ,580 97,928 Baik 33,350 79,750 41, ,580 36,114 Sedang 71,960 29,560 65, ,879 Rusak ,30 Rusak Berat ,635 Jalan Provinsi 110, , , ,050 59,440 Baik 38,600 20,260 18,260 56,670 30,735 Sedang 55,670 88,290 77,090 31,878 19,635 Rusak 15,780 1,500 9,000 21,502 9,080 Rusak Berat 0 0 5, Jalan 762, , , , ,300 Kabupaten Baik 123, , , , ,114 Sedang 132, , , , ,384 Rusak 238, , , , ,874 Rusak Berat 268, , , , ,928 Jalan Desa 3.820, , , , ,670 Baik 620, , , , ,268 Sedang 920, , , ,812 Rusak 1.098, , , ,004 Rusak Berat 1.182, , , ,546 Jumlah Jalan Keseluruhan 4.082, , , , ,338 Baik 814, , , , ,221 Sedang 1.180, , , , ,710 Rusak 1.356, , , , ,298 Rusak Berat 1.450, , , ,19 Sumber:Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, Energi dan Mineral, Dinas Cipta Karya, Kebersihan dan Tata Ruang Kab. Ciamis 2011

72 Pendidikan Di Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010, terdapat 378 Taman Kanak-kanak Negeri dan Swasta, SD, 139 SLTP, 32 SMU dan 53 SMK serta 4 Akademi/ Perguruan Tinggi seperti terlihat pada Tabel 11. Selain itu, terdapat pula sekolah dalam naungan Departemen Agama yaitu Madrasah Diniyah sebanyak unit, Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 215 unit, Madrasah Tsanawiyah sebanyak 128 unit dan Madrasah Aliyah sebanyak 46 unit. Terdapat perubahan kuantitas Sekolah Menengah Kejuruan dari 46 unit pada Tahun 2009 menjadi 53 unit pada tahun Begitu pula hal nya jumlah murid terutama murid sekolah kejuruan dari siswa menjadi siswa pada tahun 2010 termasuk kebutuhan pendidikan yang dibutuhkan seperti terlihat pada Gambar 12. Selanjutnya untuk pembinaan mental terdapat 655 pondok pesantren yang tersebar di seluruh kecamatan. Pondok pesantren terbanyak berada di Kecamatan Rancah yaitu sebanyak 41 Pondok Pesantren dengan jumlah santri sebanyak orang yang diasuh oleh 50 orang kyai. Gambar 12 Peta Kebutuhan Pendidikan Kabupaten Ciamis

73 57 WP Utara Tengah Selatan Tabel 11 Sarana Pendidikan di Kabupatem Ciamis Kecamatan Sekolah TK Negeri/ Swasta Sekolah SD Neberi/ Swasta Sekolah SMP Negeri/ Swasta Sekolah SMU/K Negeri/ Swasta Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Kab. Ciamis Sumber; Dinas Pendidikan Kab. Ciamis Kesehatan Ketersediaan sarana dan pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat penting. Sebagai upaya nyata tahun 2010 telah tersedia Puskesmas sebanyak 52 buah, Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak 119 buah, dan Puskesmas Keliling sebanyak 50 buah. Tenaga kesehatan yang tersedia yaitu 88 tenaga medis/ dokter, 585 perawat, 575 bidan, 52 tenaga farmasi, 62 ahli gizi, 57 teknisi medis, 70 sanitasi dan 48 tenaga kesmas. Jumlah keseluruhan tenaga kesehatan tahun 2010 sebanyak orang, hal tersebut berarti terdapat penambahan tenaga kesehatan sebanyak 12 orang dari tahun sebelumnya seperti yang dijelaskan pada Tabel 12. Selain sarana dan prasarana kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, pihak swasta pun turut mendukung pada pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu terdapatnya rumah sakit swasta, balai pengobatan, praktek dokter dan praktek bidan. Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis melayani pengobatan/ perawatan baik yang rawat jalan maupun rawat inap. Di samping itu RSUD menerima rujukan

74 58 dari Puskesmas/ dokter (rujukan dari bawah) bagi pasien yang tidak bisa diatasi di Puskemas/ dokter dan memberi rujukan keluar (rujukan ke atas) untuk pasien yang tidak bisa di atasi di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis. Upaya Pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM sejak dini diantaranya melalui kegiatan imunisasi. Tabel 12 Rumah Sakit, Puskesmas dan Pengobatan di Kabupaten Ciamis WP Kecamatan Rumah Sakit Puskesmas Balai Praktek Pengobatan Dokter/ Bidan Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya Utara Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Total Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Tengah Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Total Kalipucang Pangandaran Cigugur Selatan Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Total Kab. Ciamis Sumber; Dinas Kesehatan Kab. Ciamis (Kabupaten Ciamis Dalam Angka 2011) Kegiatan tersebut telah dilaksanakan di seluruh kecamatan. Imunisasi BCG kepada anak, DPT1+HB1 kepada anak, DPT3+HB anak, Polio 4 kepada anak, Campak kepada anak, Hepatitis BO (0<7hari) sebanyak anak dan TT2 Ibu Hamil kepada orang ibu hamil, TT 2 Catin kepada 153 orang. Kemudian untuk akseptor KB baru dapat

75 59 dilayani di 52 Puskesmas, 4 Rumah Sakit, 17 Rumah bersalin, 135 Pustu serta didukung dengan 77 Petugas KB. Pada tahun 2010 terdapat orang akseptor baru lebih tinggi dari yang ditargetkan. Adapun akseptor dengan jenis kontrasepsi yang terbanyak diminati adalah suntik kemudian pil dan IUD. Untuk membina keluarga, telah dibentuk kelompok binaan berdasarkan tingkatan kelompok umur, yaitu: Balita (BKB), Remaja (BKR) dan Lansia (BKL). Pada tahun 2010 terjadi kenaikan jumlah kelompok kegiatan dibanding tahun 2009, yaitu BKB dari 390 kelompok naik menjadi 394 kelompok, sedangkan BKR tahun 2010 naik dari 180 kelompok menjadi 190 kelompok dan BKL naik dari 219 kelompok menjadi 233 kelompok. Jumlah keluarga berdasarkan tahapan keluarga pada tahun 2010 sedikit mengalami pergeseran dibanding tahun 2009 Jumlah Pra Sejahtera pada Tahun 2010 sebanyak mengalami kenaikan dibanding tahun 2009 yang berjumlah keluarga. Namun di KS I terjadi penurunan dari KK pada tahun 2009 menjadi KK pada tahun Keagamaan Untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa SDM di Kabupaten Ciamis senantiasa dilakukan pembinaan akhlak. Upaya pembinaan akhlak tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peranan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, seperti Ulama, Mubaligh, Khotib dan Penyuluh Agama. Pada tahun 2010, di Kabupaten Ciamis terdapat Ulama, Mubaligh, Khatib, Penyuluh Agama 56 orang dan 303 Penyuluh Agama Honorer dari jumlah tersebut mengalami penurunan dari Tahun sebelumnya. Selain itu untuk sarana tempat beribadatnya terdapat pula buah mesjid, buah langgar, buah mushola dan 16 buah gereja terlihat pada Tabel 13. Kehidupan beragama di Kabupaten Ciamis terlihat dari pelaksanaan ibadah haji dan pernikahan. Jumlah pemberangkatan haji Tahun 2010 sebanyak orang. Adapun jumlah Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk yang tercatat di Departemen Agama adalah Nikah yang bayar dan 136 pernikahan yang gratis, 848 Talak, 252 perceraian dan hanya 7 pasangan yang rujuk Perdagangan Perdagangan merupakan penggerak ekonomi kedua setelah pertanian di Kabupaten Ciamis. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis jumlah perusahaan perdagangan menurut status permodalannya adalah sebanyak 21 perusahaan besar (PB), 60 Perusahaan Menengah (PM), Perusahaan Kecil (PK) serta Pasar terlihat pada Tabel 14, terjadi peningkatan jumlah perusahaan dari tahun sebelumnya sehingga dapat menampung lebih banyak pegawai untuk peningkatan perekonomian masyarakat di Kabupaten Ciamis. Sebagai sarana perdagangan Pemda Ciamis mengelola 9 pasar yang tersebar di beberapa kecamatan. Pasar Pemda tersebut memiliki kios dengan pedagang, Kios terbanyak terdapat di pasar manis Ciamis sebanyak unit, disusul pasar wisata Pangandaran sebanyak 940 unit. Selain pasar Pemda juga terdapat pasar desa sebanyak 83 pasar Desa sebagai tempat berjualan bagi pedagang, terjadi peningkatan jumlah pasar desa dari tahun sebelumnya sehingga mampu menjaring lebih banyak orang untuk bekerja.

76 60 Tabel 13 Rumah ibadah di Kabupaten Ciamis WP Kecamatan Masjid Langgar Musholla Gereja Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Utara Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Tengah Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Selatan Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Kab. Ciamis Sumber: Kementrian Agama Kantor Kabupaten Ciamis Ekonomi Wilayah Situasi perekonomian Kabupaten Ciamis dapat terlihat dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDRB Kabupaten Ciamis pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku sebesar 15,8 triliun rupiah atau naik 9,24 persen dibanding tahun 2008 dan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 (tanpa pengaruh inflasi) sebesar 7,429 triliun rupiah seperti terlihat pada Tabel 15 atau naik dibanding tahun sebelumnya 7,07 triliun rupiah. Berdasarkan kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Ciamis tahun 2009 atas dasar harga konstan terungkap bahwa kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan masih dominan yaitu sebesar 30,36 persen, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 26,03 persen dan sektor jasa menyumbang 16,35 persen serta sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 8,34 persen. Namun demikian besarnya kontribusi sektor-sektor tersebut pada tahun 2009 apabila kita bandingkan dengan tahun 2008 ternyata mengalami pergeseran. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan ternyata

77 61 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008, sedangkan untuk sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mengalami peningkatan. Tabel 14 Fasilitas ekonomi Kabupaten Ciamis WP Kecamatan Perusahaan Perusahaan Perusahaan Besar Menengah Kecil Pasar Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Utara Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Total WP Utara Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Tengah Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Total WP Tengah Kalipucang Pangandaran Cigugur Selatan Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Total WP Selatan Kab. Ciamis Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kab. Ciamis 4.5 Arah Kebijakan Pembangunan Visi Pembangunan Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi obyektif dan potensi yang dimiliki dengan mempertimbangkan kesinambungan pembangunan sesuai dengan tahapan pembangunan jangka panjang daerah, maka Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Ciamis tahun adalah sebagai berikut:

78 62 Dengan Iman dan Taqwa Ciamis MANTAP Sejahtera Tahun 2014 Pengertian Iman dan Taqwa mengandung makna, bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT harus melandasi dan menjiwai para pihak dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kabupaten Ciamis. Tabel 15 PDRB Wilayah Pengembangan dan kecamatan serta kontribusinya WP Kecamatan PDRB (juta Kontribusi rupiah) % Peringkat Panumbangan ,175 2,99 9 Panawangan ,981 2,75 15 Sukamantri ,733 1,12 35 Panjalu ,368 1,91 25 Jatinagara ,599 1,37 32 Cipaku ,854 2,68 16 Lumbung ,558 1,11 34 Kawali ,533 2,63 17 Cihaurbeuti ,244 2,31 12 Utara Sadananya ,660 1,6 31 Sindangkasih ,420 2,68 18 Ciamis ,621 9,54 1 Baregbeg ,780 2,71 7 Cijeunjing ,117 2,89 11 Cikoneng , Sukadana ,737 1,4 33 Tambaksari ,697 1,8 29 Cisaga ,517 1,96 23 Rajadesa ,508 3,29 8 Rancah ,998 3,46 6 Total WP Utara ,032 53,2 Lakbok ,388 2,93 13 Mangunjaya ,884 2,05 27 Purwadadi ,995 2,38 22 Banjarsari ,497 7,5 2 Tengah Padaherang ,601 5,13 3 Cimaragas ,058 0,99 36 Cidolog ,749 1,61 28 Langkaplancar ,301 2,4 19 Pamarican ,412 3,7 5 Total WP Tengah ,885 28,69 Kalipucang ,099 2,21 21 Pangandaran ,126 5,03 4 Cigugur ,955 1,45 30 Selatan Sidamulih ,201 1,9 24 Parigi ,571 3,2 10 Cimerak ,590 2,1 26 Cijulang ,906 2,22 20 Total WP Selatan ,448 18,11 Kab. Ciamis , Sumber: Bappeda Kab. Ciamis 2011 Sedangkan kata MANTAP mengandung makna, bahwa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Ciamis akan dilakukan penguatan dan pemantapan hasil pembangunan yang telah dicapai pada periode sebelumnya. Visi Kabupaten Ciamis Tahun yang memberikan prioritas terhadap pembangunan ekonomi yang berbasis agribisnis dan pariwisata, tetap dilanjutkan melalui penguatan dan pemantapan sektor tersebut, sehingga menjadi motor penggerak perekonomian daerah dan masyarakat.

79 63 Kata MANTAP juga merupakan kepanjangan dari kata Maju, Aman, Nyaman, Tangguh, Amanah dan Produktif, sebuah cita-cita mewujudkan Kabupaten Ciamis menjadi daerah yang maju dalam setiap aspek kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila terciptanya rasa aman, lingkungan hidup yang nyaman dan lestari, serta sumber daya manusia yang amanah, produktif dan berdaya saing, sehingga mencapai ketangguhan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Adapun makna Sejahtera merupakan suatu kondisi masyarakat yang ditandai oleh kehidupan beragama yang mantap, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan perumahan yang layak, lingkungan yang sehat, memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai serta memiliki rasa aman dan tentram Misi Pembangunan Daerah Dalam rangka mewujudkan visi tersebut di atas, maka misi pembangunan daerah Kabupaten Ciamis tahun ditetapkan sebagai berikut: Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan tuntunan Allah dan Utusan-Nya Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah Mewujudkan perekonomian daerah dan masyarakat yang tangguh dan berdaya saing berbasis potensi unggulan lokal Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan desa. Meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, lingkungan hidup dan penataan ruang guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur wilayah dan perdesaan. Adapun tujuan dan sasaran setiap Misi tersebut adalah sebagai berikut: Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan tuntunan Allah dan Utusan-Nya Tujuan: Meningkatnya pemahaman keimanan yang didasari dengan ilmu pengetahuan yang benar Meningkatnya pemahaman dan pengamalan secara benar dan baik Sasaran: Meningkatnya pengetahuan mengenai keimanan secara lurus terhindar dari noda-noda syirik Meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama dalam bentuk ibadah secara benar dan baik Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing Tujuan: Meningkatnya kapasitas SDM yang memiliki keunggulan dan kompetensidalam meningkatkan kualitas hidup Sasaran: Meningkatnya kualitas dan kesempatan pendidikan Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Keluarga Berencana (KB) Meningkatnya perlindungan masyarakat dan kesejahteraan sosial.

80 64 Meningkatnya kualitas pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan dan kerukunan hidup antar dan inter umat beragama Terpeliharanya nilai-nilai budaya dalam masyarakat Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah Tujuan: Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Sasaran: Meningkatnya kapasitas Pemerintahan Daerah untuk terciptanya pelayanan publik yang berkualitas Tersedianya sarana, prasarana dan aparatur yang memadai Terciptanya supremasi hukum dan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) Meningkatnya kemampuan dan kualitas pengelolaan anggaran Teciptanya basis data daerah yang akurat, relefan dan lengkap Terciptanya sinergitas pembangunan daerah Terciptanya sinergitas pembangunan kewilayahan Meningkatkan daya beli, mewujudkan perekonomian daerah dan masyarakat yang tangguh dan berdaya saing berbasis potensi unggulan lokal Tujuan: Pendapatan dan ketahanan pangan masyarakat Sasaran: Meningkatnya kualitas, kuantitas, pengelolaan dan pemasaran produk unggulan daerah. Meningkatnya peran koperasi dan UKM dalam pengembangan perekonomian rakyat Terjaminnya Ketersediaan, mutu, distribusi dan konsumsi pangan masyarakat Meningkatnya pertumbuhan investasi Terwujudnya sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi unggulan lokal Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan desa Tujuan: Mewujudkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dan desa Sasaran: Meningkatnya kesetaraan Gender, peran pemuda dan prestasi olah raga. Menurunnya Tingkat kemiskinan dan pengangguran. Berkurangnya kesenjangan pembangunan antar desa (desa tertinggal, desa perbatasan, desa sekitar hutan dan perkebunan) Meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, lingkungan hidup dan penataan ruang guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan: Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan Sasaran: Terjaminnya ketersediaan Sumberdaya alam dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Terwujudnya penataan ruang sesuai dengan daya dukung lingkungan Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan serta bencana. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur wilayah dan perdesaan.

81 65 Tujuan: Meningkatkan ketersediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi dan sosial budaya Sasaran: Meningkatnya ketersediaan dan kualitas infrastruktur transportasi untuk mendukung kelancaran pergerakan orang, barang dan jasa. Meningkatnya cakupan pelayanan infrastruktur energi dan kelistrikan serta telekomunikasi Meningkatnya cakupan pelayanan air bersih dan sanitasi lingkungan Meningkatnya ketersediaan dan kualitas irigasi untuk menunjang ketahanan pangan Meningkatnya kenyaman wisatawan Terciptanya sinergitas pembangunan infrastruktur wilayah dan perdesaan Terlaksananya percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan Meningkatnya penataan permukiman dan ruang 4.6 Alokasi dan Distribusi Anggaran Pembangunan Sumber Sumber utama penerimaan daerah Kabupaten Ciamis untuk pembiayaan pembangunan daerah tahun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu sumber penerimaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan yang bersumber dari pemerintah yang lebih tinggi berupa dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD merupakan hal yang sangat penting peranannya baik untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah maupun pemberian pelayanan kepada publik. Sumber Pendapatan Daerah Kabupaten Ciamis Tahun struktur pengelompokkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebagai berikut: Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Laba Perusahaan Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah DanaPerimbangan yang terdiri dari: Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Lain-lain pendapatan daerah yang sah sesuai Permendagri 59 Tahun 2007, merupakan pos untuk penerimaan yang bersifat tidak operasional tetapi tergantung dengan kebijakan pemerintah pusat seperti bantuan yang diluncurkan baik untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan maupun penanggulangan bencana alam dan bencana sosial, yang meliputi:

82 66 Pendapatan Hibah Dana Darurat Dana Bagi hasil Pajak dari Provinsi & Pemerintah Daerah Lainnya Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Bantuan Keuangan dari Propinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya Pengelolaan Pendapatan Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Alokasi Sasaran Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten Ciamis Tahun untuk setiap komponen pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lainlain pendapatan daerah yang sah seperti Tabel 16. Tabel 16 Sasaran pendapatan daerah Pemerintah Kabupaten Ciamis dari tahun (dalam milyar rupiah) No. Uraian Tahun PAD 46,56 49,69 52,53 55,37 58,21 61,06 2 Dana 1.019, , , , , ,38 Perimbangan 3* Lain-lain Pendapatan Daerah Yang 174,01 175,00 176,00 177,00 178,00 180,00 Sah Jumlah 1.240, , , , , ,36 Sumber: Dinas PPKAD Kabupaten Ciamis, 2009 (RPJMD Kab. Ciamis) *Keterangan : Asumsi untuk lain-lain pendapatan daerah yang sah ; penerimaan pendapatan yang bersumber dari pemerintah pusat yang diarahkan diasumsikan tetap kecuali potensi kenaikan dari bagi hasil pajak dan bukan pajak diasumsikan kenaikan 3 % Distribusi Belanja Daerah disusun dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan. Ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran serta menjamin efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran kedalam program/ kegiatan. Kebijakan Belanja Daerah diupayakan dengan pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif. Kebijakan tersebut antara lain: Penggunaan indeks relevansi anggaran dalam penentuan anggaran belanja dengan memperhatikan belanja tidak langsung dan belanja langsung. Penentuan prioritas belanja langsung dihitung berdasarkan fungsi sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kabupaten Ciamis, serta anggaran belanja yang direncanakan oleh SKPD sebagai pengguna anggaran Peningkatan efektivitas belanja bantuan keuangan kepada desa, dengan pola Bantuan Keuangan Kepada Pemerintahan Desa yang alokasi dan pengaturannya mengacu kepada peraturan yang berlaku Pengalokasian belanja tidak langsung difokuskan pada belanja pegawai dengan memperhatikan formasi pegawai baru, kenaikan gaji pegawai dan tunjangan kesejahteraan bagi PNS serta belanja untuk mendukung operasional SKPD

83 67 yang efektif dan efisien sehingga mampu menyelenggarakan organisasi dengan baik dan melaksanakan fasilitasi kegiatan pembangunan secara maksimal Dalam kurun waktu tahun , struktur APBD Kabupaten Ciamis terdiri dari dua bagian yaitu Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung dengan rincian seperti dalam Tabel 17. Tabel 17 Rencana belanja daerah pemerintah Kabupaten Ciamis tahun (dalam milyaran rupiah) Uraian Tahun Belanja Tidak Langsung 972, , , , , ,62 Belanja Langsung 285,83 347,87 399,57 501,23 578,14 695,74 Jumlah 1.258, , , , , ,36 Sumber: Dinas PPKAD Kabupaten Ciamis, 2009 (RPJMD Kab. Ciamis) Kebijakan pembiayaan mencakup pada penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan, disisi penerimaan kebijakan yang ditempuh adalah melalui: Optimalisasi sisa lebih Perhitungan Anggaran Tahun lalu untuk memfasilitasi apabila terjadi defisit Pembentukan dana cadangan untuk membiayai kegiatan yang memerlukan dana cukup besar sehingga memerlukan pengalokasian dalam APBD lebih dari satu tahun anggaran Penerimaan dana pinjaman untuk pembiayaan pembangunan daerah yang tidak dapat ditanggulangi dari pendapatan daerah Kebijakan pengeluaran pembiayaan diarahkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang sangat urgen, yaitu: Penggunaan Dana Cadangan dialokasikan untuk menutupi kebutuhan dana yang tidak mungkin dibebankan dalam 1 tahun anggaran mengingat jumlahnya sangat besar misalnya untuk mendanai kegiatan pemilihan Kepala Daerah Penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum serta dalam rangka peningkatan kinerja BUMD Pembayaran hutang pokok yang jatuh tempo yang jumlahnya relatif besar. Rencana pembiayaan Tahun dijelaskan pada Tabel 18. Tabel 18 Rencana pembiayaan pemerintah Kabupaten Ciamis tahun (dalam milyaran rupiah) No Uraian Tahun Penerimaan 25, * Pengeluaran 6, Netto 18, Sumber: Dinas PPKAD Kabupaten Ciamis, 2009 (RPJMD Kab. Ciamis) *Keterangan : Untuk pengeluaran pembiayaan diasumsikan tetap dengan pertimbangan hanya untuk pembayaran pokok utang, penyertaan modal serta pembayaran dana pihak ketiga

84 68 5 HASIL PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor Unggulan Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi wilayahnya (Rustiadi et al. 2007). Di Indonesia sektor tersebut secara umum dibagi ke dalam sembilan sektor dan setiap sektor dibagi lagi kedalam sub sektor. Untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara serentak diperlukan investasi yang sangat besar. Di era otonomi daerah, terbatasnya dana pembangunan mangharuskan adanya penetapan prioritas pengembangan dan biasnya sektor yang menjadi prioritas tersebut adalah sektor unggulan (Surpito 2003). Oleh sebab itu, penentuan atau identifikasi sektor-sektor unggulan daerah dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah menjadi sangat perting, karena sektor ungulan (leader sector) merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi penggerak utama (prime mover) perekonomian suatu wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan yang dimiliki daerah, maka diharapkan mendapat efek positif bagi kemajuan aktifitas perekonomian daerah. Untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan merupakan sektor unggulan bagi sutu daerah atau tidaknya, dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) Sektor Unggulan Komparatif (LQ) Untuk melihat dengan skala yang lebih besar dan oleh karena Kabupaten Ciamis letaknya berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah maka dapat dihitung LQ (Sektor Unggulan) kabupaten dan kota se Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai pembandingnya dengan persamaan LQ cj = (X cj /X c ) / (X btj /X bt ). Pada LQ Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dihitung berdasarkan PDRB kabupaten dan kota tahun 2010, dengan harga konstan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 19. Terdapat 26 wilayah; 17 Kabupaten dan 9 Kota di provinsi Jawa Barat dan 35 wilayah; 29 Kabupaten dan 6 Kota di provinsi Jawa Tengah. Untuk sektor Pertanian LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang dan Kota Banjar (Jawa Barat) serta Kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Pertanian terdapat pada Kabupaten Blora (Jawa Tengah) sebesar 3,62. Sektor Pertambangan dan Penggalian LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Sukabumi, Majalengka, Indramayu, Subang dan Karawang (Jawa Barat) serta Kabupaten; Kebumen, Magelang, Blora, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Pertambangan dan Penggalian terdapat pada Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) sebesar 14,08.

85 Tabel 19 Nilai LQ Kabupaten Ciamis Terhadap Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun 2010 KECAMATAN P PP IP LGA BK PHR PK KPJ J Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal P: Pertanian, PP: Pertambangan/ Penggalian, IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik Gas & Air Bersih, BK: Bangunan/ Konstruksi, PHR: Pedagangan Hotel & Restoran, PK: Pengangkutan Komunikasi, KPJ: Keuangan Persewaan & Jasa Prshn, J: Jasa-jasa Sumber : BPS Pusat (Data Diolah) 69

86 70 Sektor Industri Pengolahan LQ > 1 terdapat pada Kabupaten; Bogor, Bandung, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Bandung Barat dan Kota; Bekasi, Depok, Cimahi (Jawa Barat) serta Kabupaten; Cilacap, Karanganyar, Kudus, Kendal (Jawa Tengah). Nilai LQ> 1 sektor Industri Pengolahan terdapat pada Kabupaten Bekasi (Jawa Barat) sebesar 2,07. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Bogor, Bandung, Cirebon, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Bandung Barat dan Kota; Bogor, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi (Jawa Barat) serta Kota; Magelang, Surakarta, Salatiga, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Listrik, Gas dan Air Minum terdapat pada Kabupaten Bandung Barat (Jawa Barat) sebesar 3,94. Sektor Bangunan/ Konstruksi LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Bogor, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka dan Kota; Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya, Banjar (Jawa Barat) serta Kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Purworejo, Magelang, Klaten, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Temanggung, Batang, Pekalongan, Tegal, dan Kota; Magelang, Surakarta, Salatiga, Semarang, Pekalongan, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Bangunan/ Konstruksi terdapat pada Kota Semarang (Jawa Tengah) sebesar 3,6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Cianjur, Garut, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Sumedang, Subang, Purwakarta, Karawang dan Kota; Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Tasikmalaya, Banjar (Jawa Barat) serta Kabupaten; Cilacap, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Kudus, Pemalang, Tegal, dan Kota; Surakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran terdapat pada Kota Sukabumi (Jawa Barat) sebesar 2,01. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Sukabumi, Cianjur, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Bandung Barat dan Kota; Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Tasikmalaya, Banjar (Jawa Barat) serta Kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Wonogiri, Rembang, Jepara, Temanggung dan Kota; Magelang, Surakarta, Salatiga, Semarang,Pekalongan, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar sektor Pengangkutan dan Komunikasi terdapat pada Kota Magelang (Jawa Tengah) sebesar 3,82. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan LQ> 1 terdapat pada Kabupten; Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Subang, Purwakarta dan Kota; Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Tasikmalaya, Banjar (Jawa Barat) serta Kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Blora, Pati, Jepara, Demak, Temanggung, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Kota; Magelang, Surakarta, Salatiga, Pekalongan, Tegal (Jawa Tengah). Nilai LQ terbesar terdapat pada Kota Bogor (Jawa Barat) sebesar 3,96. Sektor Jasa-jasa LQ> 1 terdapat pada Kabupaten; Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka dan Kota; Sukabumi, Bandung, Cirebon, Depok, Tasikmalaya, Banjar (Jawa Barat) sertakabupaten; Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Batang,

87 71 Pekalongan, Pemalang dan Kota; Magelang, Surakarta, Salatiga, Semarang, Pekalongan, Tegal. Nilai LQ terbesar sektor Jasa-jasa terdapat pada KotaMagelang(Jawa Tengah) sebesar 4,65. Sektor unggulan Kabupaten Ciamis terdapat hampir di semua sektor kecuali sektor Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan serta Listrik, Gas dan Air Minum. Dan sektor Jasa memiliki sektor unggulan yang cukup tinggi sebesar 2,03. Untuk melihat LQ>1 kecamatan di Kabupaten Ciamis relatif terhadap kecamatan-kecamatan di wilayah Jawa-Barat dan Jawa Tengah melalui perkalian berantai antara LQ kecamatan i untuk sektor j dengan referensi kabupaten Ciamis dengan LQ kabupaten Ciamis untuk sektor j dengan wilayah referensi Jawa Barat dan Jawa Tengah: LQ icj = (X ij /X i ) / (X btj /X bt ) dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai LQ kecamatan di Kabupaten Ciamis terhadap kecamatan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah 2010 Kecamatan P PP IP LGA BK PHR PK KPJ J Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang P: Pertanian, PP: Pertambangan/ Penggalian, IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik Gas & Air Bersih, BK: Bangunan/ Konstruksi, PHR: Pedagangan Hotel & Restoran, PK: Pengangkutan Komunikasi, KPJ: Keuangan Persewaan & Jasa Prshn, J: Jasa-jasa Sumber : BPS Kab. Ciamis (Data diolah) Terlihat bahwa pada sektor Pertanian hampir seluruh kecamatan di kabupaten Ciamis memiliki nilai LQ> 1 relatif terhadap kecamatan-kecamatan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah dan sektor ini memiliki sektor yang dapat

88 72 diperdagangkan (tradable) di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah oleh karena potensi pasarnya yang besar. Sektor lain yang memiliki nilai LQ> 1 adalah sektor Jasa dimana terlihat seluruh kecamatan di kabupaten Ciamis merupakan sektor unggulan relatif terhadap kecamatan-kecamatan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah Penghitungan LQ dalam penelitian ini menggunakan data PDRB harga konstan tahun 2010 per kecamatan berdasarkan sektor-sektor perekonomian tahun (ADHK 2000) dijelaskan pada lampiran 1 nantinya, sedangkan hasil perhitungannya ditunjukan pada Tabel 21 dan 22. Secara keseluruhan berdasarkan penghitungan, kontribusi pada Sektor Pertambangan dan Penggalian di Wilayah Pengembangan (WP) Selatan adalah yang paling besar dengan nilai LQ: 2,23. Penjelasan mengenai nilai LQ per WP terlihat pada Tabel 21. Tabel 21 Nilai LQ per WP di Kabupaten Ciamis tahun 2010 WP Kabupaten Ciamis P PP IP LGA BK PHR PK KPJ J WP Utara WP Tengah WP Selatan P: Pertanian, PP: Pertambangan/ Penggalian, IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik Gas & Air Bersih, BK: Bangunan/ Konstruksi, PHR: Pedagangan Hotel & Restoran, PK: Pengangkutan Komunikasi, KPJ: Keuangan Persewaan & Jasa Prshn, J: Jasa-jasa Sumber : Bappeda Kab. Ciamis (Data diolah) Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 21 terlihat bahwa untuk WP Utara sektor-sektor yang memiliki nilai LQ> 1 adalah sektor: Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Minum; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan serta sektor Jasa. Untuk WP Tengah sektor-sektor yang memiliki nilai LQ> 1 adalah sektor: Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Bangunan/ Konstruksi serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran. Pada WP Selatan sektor-sektor yang memiliki nilai LQ> 1 adalah sektor: Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Listrik, Gas dan Air Minum; Perdagangana, Hotel dan Restauran serta sektor Jasa. Sektor unggulan yang hanya dimiliki oleh satu WP adalah sektor: Industri Pengolahan; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan (WP Utara) serta sektor Bangunan/ Konstruksi (WP Tengah). Penjelasan sektor-sektor apa dan dimana saja pada setiap kecamatan yang memiliki nilai LQ> 1 dapat dilihat pada Tabel 22 Berdasarkan hasil analisis penghitungan masing-masing Kecamatan (Tabel 22) terlihat bahwa sektor yang memiliki nilai LQ> 1 pada WP Utara (Tabel 21) adalah Sektor Industri Pengolahan terlihat pada Kecamatan: Panawangan, Jatinagara, Cihaurbeuti, Sindangkasih, Baregbeg, Cijeunjing, Cikoneng, Rajadesa dan Rancah. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum hanya terlihat pada Kecamatan Ciamis saja dengan nilai LQ: 7,46.

89 73 Tabel 22 Nilai LQ Kecamatan di Kabupaten Ciamis Tahun 2010 KECAMATAN P PP IP LGA BK PHR PK KPJ J Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang P: Pertanian, PP: Pertambangan/ Penggalian, IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik Gas & Air Bersih, BK: Bangunan/ Konstruksi, PHR: Pedagangan Hotel & Restoran, PK: Pengangkutan Komunikasi, KPJ: Keuangan Persewaan & Jasa Prshn, J: Jasa-jasa Sumber : BPS Kab. Ciamis (Data diolah) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi terlihat pada Kecamatan: Panumbangan, Sukamantri, Panjalu, Kawali, Sadananya, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg dan Cikoneng. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan terlihat pada Kecamatan: Panumbangan, Sukamantri, Panjalu, Cipaku, Kawali, Cihaurbeuti, Sadananya, Sindangkasih, Ciamis dan Baregbeg. Sektor Jasa terlihat pada Kecamatan: Panumbangan, Panawangan, Sukamantri, Cipaku, Lumbung, Kawali, Sadananya, Sindangkasih, Sukadana dan Rancah. Untuk WP Tengah yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor Pertanian terlihat pada Kecamatan: Lakbok, Purwadadi, Padaherang, Cimaragas, Cidolog, Langkaplancar dan Pamarican. Sektor Pertambangan dan Penggalian terlihat pada Kecamatan: Purwadadi, Banjarsari dan Padaherang. Sektor Bangunan/ Konstruksi terlihat pada Kecamatan: Lakbok, Mangunjaya, Purwadadi, Banjarsari, Padaherang, Langkaplancar dan Pamarican. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran terlihat pada Kecamatan: Lakbok, Mangunjaya, Bajarsari dan Padaherang.

90 74 Untuk WP Selatan yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor Pertanian terlihat pada Kecamatan: Kalipucang, Cigugur, Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang. Sektor Pertambangan dan Penggalian terlihat pada Kecamatan: Kalipucang, Sidamulih dan Parigi. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum hanya terlihat pada Kecamatan Pangandaran saja dengan nilai LQ: 5,73. Sektor Perdagangana, Hotel dan Restauran terlihat pada Kecamatan: Kalipucang, Pangandaran, Sidamulih dan Parigi. Sektor Jasa terlihat pada Kecamatan: Kalipucang, Sidamulih, Parigi dan Cimerak Sektor Unggulan Kompetitif (SSA) Analisis shift share beruna untuk mengindentifikasi sumber atau komponen pertumbuhan berbagai indikator kegiatan ekonomi pada dua titik waktu di wilayah tersebut. Wilayah yang dimaksud bisa berupa provinsi dalam cakupan agregat nasional atau wilayah kabupaten/ kota dalam cakupan wilayah agregat provinsi dan seterusnya. Teknik ini berkembang pada tahun 1960-an dan hingga saat ini masih digunakan secara luas dalam ilmu wilayah (Permodelan Pengembangan Wilayah; Rustiadi et al. 2011) Hasil analisis ini akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor di wilayah dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah tumbuh lebih cepat atau lambat. Sektor-sektor yang tumbuh lebih cepat di wilayah/ kecamatan yang bersangkutan dari pada pertumbuhan tingkat wilayah yang lebih luas/ kabupaten, mengindikasikan bahwa sektor tersebut merupakan sektor unggulan atau sektor yang memiliki keunggulan kompetitif. Analisis ini dapat memperkuat indikasi sektor unggulan dari hasil analisis LQ yang menunjukan keunggulan komparatif. Dalam penelitian ini, analisis shift share dilakukan pada sektor-sektor PDRB kecamatan di Kabupaten Ciamis pada dua titik tahun, yaitu pada tahun 2006 dan Hal ini bertujuan melihat konsistensi keunggulan kompetitif suatu sektor selama kurun waktu tersebut dalam suatu wilayah kecamatan, yang kemudian dipadukan dengan keunggulan komparatifnya pada wilayah kecamatan dan kesemuanya dilihat antar Wilayah Pengembangan (WP) di Kabupaten Ciamis pada tahun ditunjukan pada Tabel 23, 24, 25 dan 26. Hasil tabel tersebut menunjukan bahwa laju pertumbuhan ekonomi/ komponen share Kabupaten Ciamis dalan kurun waktu sebesar 0,2214 atau 22,14%. Sektor-sektor yang mempunyai laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi (SSA>1) tidak ada hanya saja nilainya positif. Berikut penjelasan mengenai nilai SSA WP Utara Tabel 23 Nilai SSA WP Utara di Kabupaten Ciamis tahun Lapangan Usaha Komponen Differentiel Proportional Shift Share Shift SSA Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Pershn Jasa-jasa Sumber: BPS Kab. Ciamis (Diolah)

91 75 Pada WP Utara (Tabel 23) dalam kurun waktu tersebut, sektor-sektor yang mempunyai nilai differential shift positif (DS+) adalah sektor: Listrik, Gas dan Air Minum; Bangunan/ Konstruksi; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan serta sektor Jasa. Sementara untuk ke empat sektor yang lain: Pertanian; Pertambangan; Industri Pengolahan serta Perdagangan, Hotel dan Restauran yang memiliki nilai negatif dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Tabel 24 Nilai SSA WP Tengah di Kabupaten Ciamis tahun Lapangan Usaha Komponen Proportional Differential Share Shift Shift SSA Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Pershn Jasa-jasa Sumber : BPS Kab. Ciamis (Diolah) Pada WP Tengah (Tabel 24) dalam kurun waktu tersebut, sektor-sektor yang mempunyai tingkat kompetitif yang masih dapat dikembangkan (DS+) adalah sektor; Pertanian, Pertambangan, Industri Pengolahan, Perdagangan Hotel Restoran dan Pengangkutan Komunikasi. Tabel 25 Nilai SSA WP Selatan di Kabupaten Ciamis tahun Lapangan Usaha Komponen Differential Proportional Shift Share Shift SSA Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Pershn Jasa-jasa Sumber : BPS Kab. Ciamis (Diolah) Pada WP Selatan (Tabel 25) dalam kurun waktu tersebut, sektor-sektor yang mempunyai tingkat kompetitif yang masih dapat dikembangkan atau DS+ adalah sektor; Pertambangan, Pengangkutan Komunikasi dan Keuangan Persewaan Jasa Perusahaan. Lebih lanjut mengenai penghitungannya akan dijelaskan pada lampiran 2. Berdasarkan perincian Tabel 26, maka terlihat dengan lebih jelas lagi mengenai kecamatan mana saja yang aktifitasnya memiliki nilai DS+. Pada sektor

92 76 pertanian yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Panawangan, Jatinagara, Kawali, Cijeunjing, Sukadana, Tambaksari, Lakbok, Purwadadi, Banjarsari, Padaherang, Codilog, Pangandaran, dan Cimerak.Sektor pertambangan dan penggalian yang nilai DS+ hanya terdapat pada kecamatan; Mangunjaya dan Parigi. Sektor industri pengolahan yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Sukamantri, Panjalu, Cipaku, Lumbung, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Tambaksari, Cisaga, Purwadadi, Padaherang, Cidolog, Langkaplancar, Pamarican, Kalipucang, Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang. Sektor listrik, gas dan air minum yang nilai DS+ hanya ada pada kecamatan Ciamis saja. Sektor bangunan/ konstruksi yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Sukamantri, Cihaurbeuti, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Cijeunjing, Rancah, Pangandaran, Cigugur, Sidamulih dan Parigi. Tabel 26 Nilai Differential Shift Kecamatan di Kabupaten Ciamis Tahun KECAMATAN P PP IP LGA BK PHR PK KPJ J Panumbangan Panawangan Sukamantri Panjalu Jatinagara Cipaku Lumbung Kawali Cihaurbeuti Sadananya Sindangkasih Ciamis Baregbeg Cijeunjing Cikoneng Sukadana Tambaksari Cisaga Rajadesa Rancah Lakbok Mangunjaya Purwadadi Banjarsari Padaherang Cimaragas Cidolog Langkaplancar Pamarican Kalipucang Pangandaran Cigugur Sidamulih Parigi Cimerak Cijulang Propotional Shift Regional Share 0.21 P: Pertanian, PP: Pertambangan/ Penggalian, IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik Gas & Air Bersih, BK: Bangunan/ Konstruksi, PHR: Pedagangan Hotel & Restoran, PK: Pengangkutan Komunikasi, KPJ: Keuangan Persewaan & Jasa Prshn, J: Jasa-jasa Sumber : BPS Kab. Ciamis (Data diolah)

93 77 Sektor perdagangan, hotel dan restaurant yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Panjalu, Cihaurbeuti, Sindangkasih, Ciamis, Cikoneng, Lakbok, Banjarsari, Cimaragas, Pangandaran dan Cigugur. Sektor pengangkutan dan komunikasi yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Panumbangan, Lumbung, Ciamis, Cikoneng, Rancah, Mangunjaya, Banjarsari, Cidolog, Langkaplancar, Pamarican, Kalipucang, Pangandaran, Cigugur, Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Panumbangan, Sukamantri, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Mangunjaya, Cigugur, Sidamulih, Parigi dan Cijulang. Dan sektor jasayang memiliki nilai DS+ terdapat pada kecamatan; Panumbangan, Panawangan, Sukamantri, Jatinagara, Cipaku, Lumbung, Sadananya, Sindangkasih, Ciamis, Baregbeg, Cijeunjing, Tambaksari, Rajadesa, Rancah, Mangunjaya, Purwadadi, Cidolog, Langkaplancar, Pamarican, Kalipucang dan Sidamulih. Kita dapat mengembangkan lagi hasil penghitungan dari SSA, yaitu pemetaan sektor-sektor wilayah ke dalam 4 kelompok: 1. Rising Star (RS) yaitu sektor-sektor yang memiliki nilai Proportional Shift (PS) > 0 dan Differential Shift (DS) > 0; 2. Losing Opportunity (LO) yaitu sektor yang memiliki nilai PS > 0 tetapi DS< 0; 3. Falling Star (FS) yaitu sektor yang memiliki nilai PS < 0 dan DS > 0; 4. Retreat (R) yaitu sektor yang memiliki nilai PS < 0 dan DS < 0. Kriteria 1 (rising star) menjadi yang ideal untuk melengkapi atau di padukan dengan LQ > 1 (LQ Kabupaten Ciamis). Sektor-sektor yang mempunyai nilai (PS) > 0 dan (DS) > 0 atau RS pada WP Utara dalah sektor; Listrik Gas dan Air Bersih, Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan serta Jasa. Pada WP Tengah adalah sektor; Industri pengolahan, Perdagangan Hotel dan Restoran, Pada WP Selatan hanya sektor Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan saja. Kemudian untuk mengklasifikasi/ kategorikan antara LQ dan SSA terdapat 4 klasifikasi/ kategori. Namun yang ideal untuk LQ>1 dan RS masuk klasifikasi/ kategori I terlihat pada Gambar 13. IP LGA PHR KPJ Sindangkasih, Baregbeg, Padaherang, Langkaplancar, Pamarican dan Sidamulih Ciamis J Panjalu, Lakbok, Banjarsari dan Pangandaran Panumbangan, Panawangan, Sukamantri, Cipaku, Lumbung, Sadananya, Sindangkasih, Baregbeg, Cijeunjing, Rancah, Langkaplancar, Pamarican, Kalipucang dan Sidamulih Panumbangan, Sukamantri, Sindangksih, Ciamis, Baregbeg, Mangunjaya dan Parigi IP: Industri Pengolahan, LGA: Listrik, Gas dan Air Bersih,PHR: Perdagangan, Hotel dan Restauran, KPJ: Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa: Jasa-jasa Sumber: BPS Kab Ciamis (Hasil Analisis) Gambar 13 Klasifikasi/ Kategori LQ>1 dan RS

94 78 Secara umum pada setiap sektor dan kecamatan, kategori I (LQ>1 dan RS) hanya ada 5 sektor dan hanya di kecamatan Ciamis saja yang memiliki sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Sektor Jasa adalah yang paling banyak yaitu 14 kecamatan; WP Utara 10 kecamatan, WP Tengah 2 kecamatan dan WP Selatan 2 kecamatan. Sebagai pembanding untuk Shift Share Analisis antara Kabupaten Ciamis dan provinsi Jawa Barat maupun Jawa Tengah, akan dihitung berdasarkan PDRB tahun 2006 dan tahun 2010 wilayah Kabupaten dan Kota provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan harga konstan tahun Berikut hasil agregat antara penghitungan Kabupaten Ciamis dengan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada Tabel 27 terlihat bahwa nilai RS Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat memiliki 3 sektor:listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran serta Jasa-jasa. Mengenai RS Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah dijelaskan pada lampiran 4. Tabel 27 Nilai SSA Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah Tahun Lapangan Usaha Komponen Share Proportional Shift Differential Shift SSA Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Pershn Jasa-jasa Sumber: BPS Kab. Ciamis dan BPS Pusat (Diolah) 5.2 Identifikasi Tingkat Perkembangan Wilayah Hirarki Wilayah Hasil penghitungan Skalogram dijelaskan dengan menggunakan data Potensi Desa (Podes) tahun 2008 yang dicirikan oleh penyediaan jumlah sarana dan prasarana, jumlah jenis hingga pada jumlah unit dan ditambah jumlah penduduk masing-masing kecamatan. (Tabel Lampiran Skalogram Berbobot). Terlihat bahwa Kecamatan Pangandaran yang berada di WP Selatan masuk dalam kategori/ hirarki 1 dengan jumlah jenis fasilitas sebanyak 22 dan nilai IPK (Indeks Perkembangan Kecamatan) sebesar 171,63 akan dijelaskan pada lampiran 5. Kecamatan Ciamis (WP Utara) yang merupakan pusat pemerintahan memiliki kategori/ hirarki 2 dengan jumlah jenis fasilitas 23 dan nilai IPK 37,52 termasuk Kecamatan Banjar (WP Selatan) masuk dalam hirarki 2 dengan jumlah jenis fasilitas 23 dan nilai IPK 31,90. Untuk WP Utara yang termasuk hirarki 2 adalah Kecamatan Cijeunjing dengan jumlah jenis fasilitas 24 dan nilai IPK 50,18, Kecamatan Kawali dengan jumlah jenis fasilitas 22 dan nilai IPK 48,78 dan Kecamatan Baregbeg dengan jumlah jenis fasilitas 22 dan nilai IPK 43,66 yang penjelasannya terlihat pada Tabel 28.

95 79 Tabel 28 Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di Kabupaten Ciamis tahun 2008 WP Kecamatan Tahun 2008 IPK Hirarki Utara Panumbangan III Panawangan III Sukamantri II Panjalu II Jatinagara II Cipaku II Lumbung II Kawali II Cihaurbeuti II Sadananya II Sindangkasih II Ciamis II Baregbeg II Cijeungjing II Cikoneng II Sukadana II Tambaksari II Cisaga II Rajadesa II Rancah II Tengah Lakbok II Mangunjaya II Purwadadi II Banjarsari II Padaherang II Cimaragas II Cidolog II Langkaplancar II Pamarican II Selatan Kalipucang II Pangandaran I Cigugur II Sidamulih II Parigi II Cimerak II Cijulang II Rataan Standar Deviasi (St Dev) Sumber: Hasil Analisis Data Podes 2008 Tabel 29 Jumlah tingkat hirarki kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis tahun 2008 Hirarki WP 2008 Jmlh Kcmtn % I Utara Tengah Selatan Jumah II Utara Tengah Selatan Jumah III Utara Tengah Selatan Jumah Total Jumlah Sumber: Hasil Analisis %= berarti prosentasi terhadap jumlah total kecamatan di Kabupaten Ciamis

96 80 Jumlah hirarki wilayah pada tingkat kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis pada tahun 2008 menurut ketersediaan sarana dan prasarana serta aksesibilitas ke fasilitas pelayanan umum berdasarkan hasil analisis dengan metode skalogram ditunjukan pada Tabel 29. Tabel diatas menunjukan bahwa kecamatan yang berhirarki I hanya terdapat pada WP Selatan dengan prosentase 2,78 dari total kecamatan. Hal ini menunjukan bahwa kecamatan tersebut memiliki keunggulan dalam hal sektor Perdagangan, hotel dan restoran; sektor Pengangkutan dan komunikasi serta sektor Jasa-jasa (dapat dilihat pada lampiran 6). Berikut penjelasan berdasarkan Gambar 14 mengenai wilayah atau kecamatan mana saja yang masuk dalam kategori hirarki wilayah. Gambar 14 Peta penyebaran kecamatan menurut hirarki wilayah di Kabupaten Ciamis Indeks Keragaman/ Perkembangan Struktur Ekonomi Analisis entropi model merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti struktur ekonomi wilayah tersebut semakin berkembang atau semakin maju.

97 81 Tabel 30 Nilai Entropi Kabupaten Ciamis tahun WP Tahun Utara Tengah Selatan Kabupaten Ciamis Sumber: BPS Kab. Ciamis (Diolah) Berdasarkan perhitungan (PDRB ADHK tahun 2000) maka nilai entropi tingkat diversifikasi/ keragaman struktur ekonomi Kabupaten Ciamis pada periode adalah 0,801 0,806 Berdasarkan perhitungan maka nilai entropi tingkat diversifikasi/ keragaman struktur ekonomi WP Utara pada periode adalah 0,841 0,844 Berdasarkan perhitungan maka nilai entropi tingkat diversifikasi/ keragaman struktur ekonomi WP Tengah pada periode adalah 0,713 0,721 Berdasarkan perhitungan maka nilai entropi tingkat diversifikasi/ keragaman struktur ekonomi WP Selatan pada periode adalah 0,711 0,721 Dapat dilihat bahwa nilai Indeks Entropi (IE) Kabupaten Ciamis pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 nilainya terus meningkat namun nilainya masih mendekati 1 yang berarti bahwa telah terjadi diversifikasi sektor-sektor menuju penyebaran antar sektor makin berimbang di Kabupaten Ciamis lihat pada Tabel 30. Namun demikian WP Selatan memiliki nilai IE yang semakin pesat prosentase pertumbuhannya bila dilihat dari Sedangkan hasil penghitungannya akan dijelaskan pada lampiran Tipologi Perkembangan Wilayah Alat analisis Tipologi Klassen (Klassen Typology) dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masingmasing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah seperti yang diutarakan oleh Sjafrizal (2008). PDRB per Kapita Di Atas Ratarata Di Bawah Rata Rata Hasil analisis tabel 33 Di atas Rata-Rata Kuadran I Daerah Maju Kawali, Ciamis, Cikoneng (U), Banjarsari,Padaherang (T), Pangandaran (S) Kuadran III Daerah Berkembang Panawangan (U), Lakbok (T) Laju Pertumbuhan Ekonomi Di Bawah Rata-Rata Kuadran II Daerah Maju Tapi Tertekan Baregbeg, Tambaksari (U), Mangunjaya, Cimaragas (T), Cigugur, Sidamulih, Parigi, Cijulang (S) Kuadran IV Daerah Relatif Terbelakang Panumbangan, Sukamantri, Panjalu, Jatinagara, Cipaku, Lumbung, Cihaurbeuti, Sadananya, Sindangkasih, Cisaga, Cijeunjung, Sukadana, Rajadesa, Rancah (U), Cidolog, Purwadadi, Langkaplancar, Pamarican (T), Kalipucang, Cimerak (S) Gambar 15 Pengelompokan pertumbuhan ekonomi kecamatan berdasarkan tipologi Klassen

98 82 Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income) dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Berdasarkan Tabel 31 bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis tahun adalah sebesar 4,99 dan rata-rata PDRB per kapita sebesar Maka berdasarkan tabel tersebut dapat kita klasifikasikan mengenai daerah maju, maju tapi tertekan, berkembang dan daerah relatif terbelakang. Hasilnya terlihat pada Gambar 15. Tabel 31 Rata-rata Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Perkapita Kab. Ciamis Tahun WP Kecamatan Rata-rata LPE Rata-rata PDRB per (%) Kapita Panumbangan ,643,169 Panawangan ,085,762 Sukamantri ,479,496 Panjalu ,074,068 Jatinagara ,941,287 Cipaku ,204,801 Lumbung ,010,262 Kawali ,875,855 Cihaurbeuti ,374,748 Sadananya ,401,630 Utara Sindangkasih ,162,167 Ciamis ,619,017 Baregbeg ,037,613 Cijeunjing ,456,541 Cikoneng ,781,035 Sukadana ,296,920 Tambaksari ,964,287 Cisaga ,944,035 Rajadesa ,666,997 Rancah ,628,710 Lakbok ,039,425 Mangunjaya ,848,925 Purwadadi ,510,656 Banjarsari ,943,154 Tengah Padaherang ,152,363 Cimaragas ,822,312 Cidolog ,208,553 Langkaplancar ,722,500 Pamarican ,065,827 Kalipucang ,454,946 Pangandaran ,198,309 Cigugur ,002,575 Selatan Sidamulih ,023,424 Parigi ,661,404 Cimerak ,457,066 Cijulang ,576,982 Kabupaten Ciamis ,667,124 Sumber: BPS Kabupaten Ciamis 2011 (Data diolah) LPE: Laju Pertumbuhan Ekonomi

99 Identifikasi Tingkat Kesenjangan Indeks Kesenjangan Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika dihasilkan sama dengan nol berarti tidak adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah, sedang indeks lebih besar dari nol menunjukan adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar wilayah dalam suatu wilayah yang lebih luas. Analisis ini menggunakan data PDRB dan jumlah penduduk tengah tahun tiap kecamatan di Kabupaten Ciamis pada tahun terlihat pada lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis tersebut dari tahun terlihat mengalami peningkatan yaitu 0,24 pada tahun 2006 kemudian menjadi 0,27 pada tahun Akan tetapi pada tahun 2007 meningkat tajam menjadi 0,28 terutama WP Selatan 0,41 dan tahun 2008 turun menjadi 0,25 hingga kemudian naik kembali hingga tahun 2010 menjadi 0,27. Berarti tingkat kesenjangan yang semakin besar baik dalam perincian setiap WP maupun Kabupaten yang tersirat pada Tabel 32 serta Gambar 16. Tabel 32 Indeks Williamson wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun WP Vw Utara Tengah Selatan Kabupaten Sumber: BPS Kab. Ciamis2011 (Diolah) WP Utara WP Tengah WP Selatan Kabupaten Vw (Indeks Williamson) Gambar 16 Diagram indeks Williamson

100 84 Bila dilihat dari wilayah pengembangan (WP) di Kabupaten Ciamis dalam kurun waktu yang sama terlihat bahwa tingkat kesenjangan tertinggi ada pada WP Utara diikuti WP Selatan baru kemudian WP Tengah Pergeseran Lokasi Pemusatan Wilayah Dengan menggunakan software Arc GIS maka peta dalam bentuk SHP kita bisa melihat dan menentukan polygon masing-masing kecamatan serta menentukan titik tengah (mean centre) Xć dan Yć dari kecamatan tersebut yang dilihat pada Gambar 17. Untuk mean centre Kabupaten Ciamis berada pada Kecamatan Cidolog dengan kordinat X c = 22, dan Y c = 89, Berikut mean centre dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Ciamis yang dijelaskan pada Tabel 33. Tabel 33 Mean Centre Kecamatan di Kabupaten Ciamis No Nama Kecamatan Centroid Xć Yć 1 Panumbangan 10, , Panawangan 18, , Sukamantri 13, , Panjalu 13, , Jatinagara 20, , Cipaku 17, , Lumbung 16, , Kawali 16, , Cihaurbeuti 9, , Sadananya 14, , Sindangkasih 10, , Ciamis 16, , Baregbeg 17, , Cijeunjing 20, , Cikoneng 13, , Sukadana 22, , Tambaksari 27, , Cisaga 26, , Rajadesa 22, , Rancah 24, , Lakbok 33, , Mangunjaya 35, , Purwadadi 33, , Banjarsari 28, , Padaherang 35, , Cimaragas 22, , Cidolog 21, , Langkaplancar 22, , Pamarican 26, , Kalipucang 36, , Pangandaran 32, , Cigugur 20, , Sidamulih 30, , Parigi 25, , Cimerak 18, , Cijulang 21, , Sumber: Dinas Tata Ruang Kab. Ciamis (Diolah) Berdasarkan hasil penghitungan atas dasar mean centre (Xć dan Yć) dan variabel yang yang dipakai adalah Penduduk (Z 1 ) dan PDRB (Z 2 ) dari tahun hasil (X m dan Y m ) dapat dilihat pada Tabel 34 dan lampiran 9.

101 85 Gambar 17 Peta Centroid kecamatan di Kabupaten Ciamis Tabel 34 Nilai kordinat X m dan Y m Penduduk dan PDRB Kabupaten Ciamis tahun Tahun WP Titik Kordinat Penduduk (Xm) Penduduk (Ym) PDRB (Xm) PDRB (Ym) Utara 17, , , , Tengah 29, , , , Selatan 27, , , , Kab. Ciamis 22, , , , Utara 17, , , , Tengah 29, , , , Selatan 27, , , , Kab. Ciamis 22, , , , Utara 17, , , , Tengah 29, , , , Selatan 26, , , , Kab. Ciamis 22, , , , Utara 17, , , , Tengah 29, , , , Selatan 26, , , , Kab. Ciamis 22, , , , Utara 17, , , , Tengah 29, , , , Selatan 27, , , , Kab. Ciamis 22, , , , Sumber: Bappeda Kab. Ciamis (Diolah)

102 86 Pada masing-masing nilai X m dan Y m baik untuk Penduduk maupun PDRB Kabupaten Ciamis dari tahun relatif tetap yaitu rata-rata X m = ,64 dany m = ,74 untuk Penduduk serta X m = ,02 dany m = ,88 untuk PDRB berada pada Kecamatan Cimaragas (WP Tengah)yang berarti ke arah utara. Berikut perinciannya: Spatial Mean tahun 2006, untuk Penduduk nilai X m = ,72 dan Y m = ,34 serta untuk PDRB nilai X m = ,71 dan Y m = ,88 Spatial Meantahun 2007, untuk Penduduk nilai X m = ,50 dan Y m = ,41 serta untuk PDRB nilai X m = ,93 dan Y m = ,38 Spatial Mean tahun 2008, untuk Penduduk nilai X m = ,75 dan Y m = ,46serta untuk PDRB nilai X m = ,67 dan Y m = ,96 Spatial Mean tahun 2009, untuk Penduduk nilai X m = ,51 dan Y m = ,03 serta untuk PDRB nilai X m = ,87 dan Y m = ,73 Spatial Meantahun 2010, untuk Penduduk nilai X m = ,73 dan Y m = ,45 serta untuk PDRB nilai X m = ,92 dan Y m = ,45 Untuk melihat letak titik kordinat tersebut lebih jelas dapat kita lihat melalui Gambar 18. Gambar 18 Titik kordinat X m dan Y m pada peta di Kabupaten Ciamis

103 87 Pada WP Utara, centroid WP Utara Kabupaten Ciamis berada pada Kecamatan Cipaku dengan kordinat X c = 18, dan Y c = 100, Kordinat X m dan Y m Penduduk dan PDRB tahun rata-rata juga berada pada Kecamatan Cipaku akan tetapi arah pergerakannya ke arah Barat Daya, seperti terlihat pada Gambar 19. Gambar 19 Titik kordinat X m dan Y m WP Utara pada peta di Kabupaten Ciamis Pada WP Tengah,untuk centroid WP Tengah Kabupaten Ciamis berada pada Kecamatan Banjarsari dengan kordinat X c = 29, dan Y c = 85, Kordinat X m dan Y m Penduduk dan PDRB tahun rata-rata berada pada Kecamatan Banjarsariakan tetapi arah pergerakannya ke arah Utara, seperti terlihat pada Gambar 20. Gambar 20 Titik kordinat X m dan Y m WP Tengah pada peta di Kabupaten Ciamis

104 88 Pada WP Selatan,untuk centroid WP Selatan Kabupaten Ciamis berada pada Kecamatan Cijulang dengan kordinat X c = 22, dan Y c = 75, Kordinat X m dan Y m Penduduk dan PDRB tahun rata-rata berada pada Kecamatan Parigi akan tetapi arahnya ke arah Timur Laut, seperti terlihat pada Gambar 21. Gambar 21 Titik kordinat X m dan Y m WP Selatan pada peta di Kabupaten Ciamis 5.4 Faktor Penyebab Kesenjangan Menurut Iriawan dan Astuti (2006) dalam Rahman (2009), analisis regresi dalam berbagai penelitian sangan berguna untuk mengukur kekuatan hubungan antara variable respon/ penjelas (dependent) dengan variabel penduga (independent). Mengetahui pengaruh suatu atau beberapa variabel penduga terhadap variabel penjelas dan memprediksi pengaruh suatu variabel atau beberapa variabel penduga terhadap variabel penjelas. Dalam pemodelan ekonometrika, terdapat beberapa faktor yang dianggap menjadi sumber kesenjangan. Penjelasan untuk variabel penjelas (Y) adalah Indeks Williamson dengan perincian data mulai tahun (WP; Utara, Tengah dan Selatan). Untuk variabel penduganya/ peubah bebas (X) sebanyak 7 peubah bebas kesenjangan; PDRB per Kapita (X 1i ), Rasio jumlah Penduduk dengan luas wilayah (X 2i ), Rasio bangunan SD dengan penduduk (X 3i ), Rasio bangunan SMP dengan penduduk (X 4i ),Rasio bangunan SMA dengan penduduk (X 5i ),Rasio Puskesmas dengan penduduk (X 6i ),Rasio Pasar dengan penduduk (X 7i ) dengan model regresi sebagai berikut: Y i = β 1 X 1i + β 2 X 2i + β 3 X 3i + β 4 X 4i + β 5 X 5i + β 6 X 6i + β 7 X 7i + ε i. Tabel 35 merupakan penjelasan variabel-variabel persamaan regresi diatas.

Sekapur Sirih. Ciamis, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. Ir. Gandjar Rachman

Sekapur Sirih. Ciamis, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. Ir. Gandjar Rachman Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Sensus Penduduk dan Perumahan Tahun 2010

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

5 HASIL PEMBAHASAN. 5.1 Identifikasi Sektor Unggulan

5 HASIL PEMBAHASAN. 5.1 Identifikasi Sektor Unggulan 68 5 HASIL PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor Unggulan Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi wilayahnya (Rustiadi et al. 2007).

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN. Indonesia dan memiliki luas sebesar 2.556,75 km 2 dan memiliki penduduk sebanyak

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN. Indonesia dan memiliki luas sebesar 2.556,75 km 2 dan memiliki penduduk sebanyak BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN A. Profil Wilayah Kabupaten Ciamis 1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia dan memiliki luas sebesar

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

-1- BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

-1- BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH -1- BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang :

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 46 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Ciamis Posisi geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108 20 sampai dengan 108 40 Bujur Timur dan 7 40 20 sampai dengan 7 o 41 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SUMIRIN TEGUH HARYONO

SUMIRIN TEGUH HARYONO EVALUASI DAMPAK PROGRAM PENGEMBANGAN AGROPOLITAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU KABUPATEN PEMALANG) SUMIRIN TEGUH HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN BRILLIANT FAISAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan negara lain.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perbaikan kualitas segenap bidang kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS JURNAL PENELITIAN LUMBUNG, Vol. 15, No. 2, Juli 2016 KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT Latifa Hanum 1) ABSTRACTS Based on UU No.38/2003,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN ) Alfiana Mauliddiyah. Abstract

ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN ) Alfiana Mauliddiyah. Abstract ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN 22-212) Alfiana Mauliddiyah Abstract The Purpose of economic development in Batu city basically are to realize the prosperous

Lebih terperinci

bahwa penataan daerah pemilihan pada kabupaten induk dan pembentukan daerah pemilihan pada kabupaten pemekaran dalam penataan keanggotaan

bahwa penataan daerah pemilihan pada kabupaten induk dan pembentukan daerah pemilihan pada kabupaten pemekaran dalam penataan keanggotaan KOMIS! PEtfllLlllAN utiluh KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR : 61 1/Kpts/KPU/TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR: 104/Kpts/KPU/TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN DAERAH

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PAKAN DI KABUPATEN CIAMIS

PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PAKAN DI KABUPATEN CIAMIS Jurnal Pengelolaan Alam dan Lingkungan Vol. 5 No. 1 (Juli 2015): 42-50 PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PAKAN DI KABUPATEN CIAMIS Maize Cluster Development Planning As

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memiliki konsep yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Di samping mengandalkan pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional pada suatu wilayah yang telah disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik senantiasa melaksanakan perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan 10 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN UNIT PELAKSANA TEKNIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru yang mana pembangunan dilaksanakan secara sentralistik yang berarti pembangunan

Lebih terperinci

Dinas Bina Marga Sumber Daya Air Energi dan Sumberdaya Mineral. Sekretariat. Bidang Bina Marga. Bidang PSDA Bidang Geologi Sumber Daya Mineral

Dinas Bina Marga Sumber Daya Air Energi dan Sumberdaya Mineral. Sekretariat. Bidang Bina Marga. Bidang PSDA Bidang Geologi Sumber Daya Mineral Dinas Bina Marga Sumber Daya Air Energi dan Sumberdaya Mineral Sekretariat Bidang Bina Marga Bidang PSDA Bidang Geologi Sumber Daya Mineral Bidang Energi & Ketenagalistrikan UPTD : 1. UPTD Wilayah Ciamis

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO 2001-2008: IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H 14094014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kearah yang lebih baik dalam berbagai hal baik struktur ekonomi, sikap, mental, politik dan lain-lain. Dari

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan mempunyai tujuan yaitu berusaha mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur. Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

ekonomi semakin signifikan diketahui. Scoring dapat dilakukan melalui serangkaian metode dan alat analisis tertentu dengan didasarkan pada teori/

ekonomi semakin signifikan diketahui. Scoring dapat dilakukan melalui serangkaian metode dan alat analisis tertentu dengan didasarkan pada teori/ BAB V PENUTUP Proses pembangunan nasional yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi secara spasial diterjemahkan sebagai Growth Pole yang melahirkan kebijakan pengembangan wilayah melalui pembangunan pusat-pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya dan penyediaan lapangan pekerjaan, juga menginginkan adanya

Lebih terperinci

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA ANALISIS SEKTOR BASIS DAN KONDISI PEREKONOMIAN KABUPATEN DEMAK TAHUN 2006-2012 Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci