2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan"

Transkripsi

1 10 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan. Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep tunggal yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional dan (3) wilayah perencanaan/ pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif politis dan wilayah perencanaan fungsional. Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang di identifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perincinya yang menonjol di wilayah tersebut. Berbeda dengan konsep wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Pengertian wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponenkomponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem, dan selanjutnya setiap

2 11 subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi (Richardson 1969 dalam Rustiadi et al. 2009). Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/ bagian tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/ bagian lainnya, dan seterusnya. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/ kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi, secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya. Sistem pewilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem pewilayahan administratif, juga dikenal berbagai pewilayahan-pewilayahan perencanaan/ pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita DAS, Free Trade Zone, dan lain-lain. Dari sudut pandang yang lain, pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu pewilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan. Pewilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas permukaan bumi (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) tidak lain merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk memotret kehidupan nyata yang beragam secara spasial. Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/ pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial. 2.2 Hirarki Wilayah Secara teori, hirarki wilayah ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekenomiannya. Secara historik, pertumbuhan suatu

3 12 pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusatpusat wilayah mempunyai hirarki spesifik yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made resources/ infrastructure). Di samping itu, kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran) aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang ada di suatu wilayah. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi serta operasional dapat diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi, PDRB, jumlah jenis organisasi atau lembaga formal maupun non formal. Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktifitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi. Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat hirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh pusat berhirarki tinggi (Rustiadi et al. 2007). Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau daerah belakang (hinterland) suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kualitas dan kuantitas relatif paling lengkap dibandingkan dengan wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki wilayah yang lebih tinggi. Pusat wilayah ini biasanya berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah lain. Wilayah hinterland ini biasanya berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Struktur wilayah nodal sangat efisien khususnya dalam mendukung pengembangan ekonomi dan sistem transportasi. Mekanisme pasar bebas secara alami cenderung membentuk struktur wilayah nodal.

4 13 Suatu pusat yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari orde yang lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani pusatpusat yang berorde lebih rendah. Selain itu, jumlah jenis dan sarana pelayanan yang ada pada suatu pusat pada umumnya berkorelasi erat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat-pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Beberapa teknik dan metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hirarki pusat-pusat wilayah adalah dengan metode skalogram, metode sosiogram dan metode biseksi (bisection) (Rustiadi et al. 2007; Budiharsono 2005). Dengan menggunakan metode tersebut semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat dalam sebuah format matriks. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas pelayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2006). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat maka akan semakin tinggi hirarki pusat tersebut (Budiharsono 2005). 2.3 Pembangunan Wilayah Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan. Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari perencanaan. Perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada

5 14 data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktifitas. Perencanaan mencakup aspek-aspek yang bersifat fisik maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan. Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/ daerah tertentu. Perencanaan ditujukan untuk memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya. Pembangunan wilayah, meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif. 2.4 Indikator-indikator Pembangunan Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang paling populer. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan serta kerusakan sumbedaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahanpermasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya pertambahan output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya (Rustiadi et al. 2009) Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat

6 15 tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/ program/ kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/ unit kerja. Menurut Rustiadi et al. (2007), dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 3) Indikator Kinerja Pembanguna n Wilayah Indikator Berdasarkan Tujuan Pembangunan Indikator Berdasarkan Kapasitas Sumberdaya Pembangunan Indikator Berdasarkan Proses Pembangunan Growth (Produktifitas, Efisiensi, dan Pertumbuhan) Equity (Pemerataan, Keadilan dan Keberimbangan) Sustainability (Keberlanjutan) Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Sumberdaya Buatan Sumberdaya Sosial Input Implementasi/Proses Output Outcome Benefit Impact Sumber: Rustiadi et al. (2007) Gambar 3 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi

7 16 dan pertumbuhan (growth); (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity) dan (3) keberlanjutan (sustainability). Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumberdaya-sumberdaya pembangunan, sehingga kapasitas sumberdaya pembangunan sering menjadi indikator yang penting dalam pembangunan. Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau penyediaan barang dan jasa maupun tidak. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, sumberdaya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan sumberdaya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumberdaya yang paling umum adalah dengan memilah sumberdaya atas sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Pendekatan lain dalam klasifikasi sumberdaya adalah dengan memilah atas: (1) sumberdaya alam (natural resources), (2) sumberdaya manusia (human resources), (3) sumberdaya fisik buatan (man-made resources), mencakup prasaran dan sarana wilayah dan (4) sumberdaya sosial. Masingmasing sumberdaya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbedabeda (Rustiadi et al. 2009) Input Implementasi/Proses Output Outcome Benefit Impact Sumber: Rustiadi et al. (2007) Gambar 4 Struktur proses pembangunan

8 17 Tabel 4 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokkannya Basis/Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Ratio 1. Produktivitas, (3) IRR Efisiensi dan (4) BEP Pertumbuhan c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/Kompetitif (Growth) (1) LQ (2) Shift and Share d. Produksi-produksi Utama (tingkat produksi, produktivitas, dll) (1) Migas (2) Produksi Padi/Beras (3) Karet Tujuan Pembangunan (4) Kelapa Sawit 2. e. 3. Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan (Eqiuty) Tujuan Pembangunan 4. Keberlanjutan a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial Sumberdaya a. Pendapatan wilayah (1) Gini Ratio (2) Struktural (Vertikal) b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan (1) Good-Service Ratio (2) % Konsumsi Makanan (3) Garis Kemiskinan (Pendapatan setara beras, dll) d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy, index Williamson) (2) Sentral Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance 1. Sumberdaya Manusia a. Knowledge b. Skill (Keterampilan) c. Competency d. Etos kerja/sosial e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) 2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi) b. Dampak 3. Sumberdaya Buatan/Sarana Prasarana dan a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas Terhadap Fasilitas 4. Sumberdaya Sosial (Social Capital) 1. Input 2. Proses/Implementasi Proses Pembangunan 3. Output 4. Outcome 5. Benefit 6. Impact Sumber: Rustiadiet al. (2007) a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya (norm) b. Organisasi Sosial (network) c. Rasa Percaya (trust) a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS) b. Input Antara

9 18 Pembangunan adalah suatu proses, yang kadangkala kinerja pembangunan tetap perlu dievaluasi meskipun prosesnya masih pada tahap dini atau belum memperlihatkan hasil yang dapat ditunjukkan. Sampai tahap ini, penilaian kinerja proses pembangunan setidaknya dapat dilihat input-inputnya. Keragaan dari input setidaknya akan menentukan keragaan pembangunan pada tahap-tahap selanjutnya. Di sisi lain, evaluasi atau kinerja pembangunan seringkali hanya dilakukan pada pencapaian-pencapaian jangka pendek yang tidak bersifat esensial atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaat-manfaat jangka panjang atau bahkan merugikan akibat dampak-dampak yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki. Proses pembangunan sebagai bagian dari aliran proses digambarkan oleh Rustiadi et al. (2007) seperti ditunjukkan pada Gambar 3, yang dimulai dari tahap input, implementasi, output, outcome, benefit dan impact. Masing-masing pencapaian tahap output, outcome, benefit dan impact dapat mempengaruhi kembali pada faktor input. Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompokkelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan terlihat pada Tabel 4 diatas. 2.5 Sektor Unggulan Di Indonesia, pembangunan ekonomi secara umum dibagi ke dalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak mencukupi, maka perlu ada penetapan prioritas pengembangan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan (Suripto 2003), yang diharapkan dapat mendorong (menjadi push factor) bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan 2006). Oleh sebab itu, identifikasi dan penentuan sektor unggulan menjadi sangat penting bagi setiap daerah dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Namun demikian, tidak ada ketentuan yang baku mengenai definisi sektor unggulan tersebut. Suripto (2003) mendefinisikan sektor unggulan sebagai sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan. Keunggulan-keunggulan tersebut selanjutnya dijadikan indikator dalam menentukan sektor unggulan itu sendiri dan tidak lepas dari tujuan pembangunan secara umum yaitu pertumbuhan ekonomi dengan tidak mengabaikan distribusi pendapatan dan tantangan di era globalisasi. Indikator tersebut diantaranya adalah: (1) memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB; (2) merupakan sektor basis; (3) mengalami pertumbuhan yang tinggi dan (4) memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Menurut Widodo (2006), pembangunan ekonomi akan optimal bila didasarkan pada keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan komparatif suatu sektor bagi suatu daerah adalah bahwa sektor tersebut lebih unggul secara relatif dengan sektor lain di daerahnya. Pengertian unggul disini adalah dalam bentuk perbandingan, bukan dalam bentuk

10 19 nilai tambah. Sedangkan keunggulan kompetitif menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah (Tarigan 2006). Berdasarkan indikator tersebut di atas, penentuan sektor unggulan dapat di dasarkan pada kriteria sebagai berikut (Suripto 2003): 1 Share terhadap PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika memberikan kontribusi minimal 10%, sedangkan subsektor minimal 2,5%. 2 Nilai LQ: sektor/ subsektor dikatakan unggul jika mempunyai LQ>1. 3 Pertumbuhan PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika mengalami rata-rata pertumbuhan minimal 5% per tahun dan terus mengalami pertumbuhan positif setidaknya pada 3 tahun, atau mengalami kenaikan pada dua tahun terakhir secara berturut-turut. 4 Selisih antara pertumbuhan share sektor/ subsektor terhadap PDRB wilayah kajian dan wilayah yang lebih besar bernilai positif. Alat analisis yang umum digunakan untuk menentukan potensi relatif perekonomian suatu wilayah diantaranya adalah metode location quotient (LQ) dan metode analisis shift share (SSA). Menurut Bendavid-Val (1991) bahwa location quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor ekonomi wilayah tertentu. Pengertian relatif di sini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai tambah (value added). Selain itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah yakni mengetahui kapasitas ekspor suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang dan jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara operasional, LQ di definisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah: (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Analisis shift share (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Analisis shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi dalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Selain itu, hasil analisis shift share juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas di suatu subwilayah dan membandingkannya dengan kinerjaanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) komponen

11 20 pergeseran proporsional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/ aktivitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/ aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidak-unggulan suatu sektor/ aktivitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. 2.6 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar wilayah. Menurut Chaniago et al. (2000) bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan antar sektor atau wilayah, maka kesenjangan/ disparitas pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ ketidaksimetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah ini sangat tergantung pada perkembangan struktur (sektor-sektor) ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi baik darat, laut maupun udara, telekomunikasi, air bersih, penerangan, dll) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan keterampilan) serta penguatan kelembagaan. Dalam tingkat yang tinggi, kesenjangan tersebut dapat mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. Sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan regional merupakan fenomena universal. Semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, kesenjangan pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Dalam banyak negara, pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana serta terpusat, pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah (Rustiadi et al. 2007). Skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada

12 21 pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi serta sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit di atasi. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/ kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/ kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan (Rustiadi et al. 2009). Sebaliknya, kemiskinan di wilayah belakang/ perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi lemah akibat timbulnya berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota ini dapat terlihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami overurbanization yang dicirikan dengan berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan sepertinya munculnya daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan, kriminalitas dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan perkembangan perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah untuk diatasi. Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, juga pada gilirannya meniadakan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional. Dengan demikian, jelas bahwa kesenjangan antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari pembangunan seperti yang telah diungkapkan oleh Anwar (2005), yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).

13 Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Disparitas atau kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum dalam kegiatan ekonomi suatu daerah yang pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya disparitas ini dapat membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah, sehingga berimplikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah. Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif: distribusi perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi ukuran pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (Todaro 1994:234). Melihat kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau daerah bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok masyarakat miskin pada daerah bersangkutan atau adanya segelintir kelompok kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya miskin. Berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah, sehingga yang dipersoalkan bukan antar kelompok kaya dan miskin, tetapi perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang (Sjafrizal 2008). Ukuran kesenjangan pembangunan wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur perbedaan. Istilah Williamson index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks ini cukup lazim digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2007; Susanti et al. 2007). Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antara kelompok. Williamson mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi 2007): V w = (Y i Y) 2 P i Y Dimana : V w = Indeks kesenjangan Williamson (I w ) Yi= PDRB per kapita wilayah ke-i Ý = Rata-rata PDRB per kapita seluruh wilayah Pi= fi/n, fi adalah jumlah penduduk wilayah ke-i dan n adalah jumlah penduduk seluruh wilayah

14 23 Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar wilayah semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya; sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan antar wilayah yang baik. Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika semua Yi =Ýmaka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya kesenjangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah, sedangkan semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar wilayah. 2.8 Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah. Faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000) dalam Rustiadi dan Pribadi (2003) faktor-faktor utama tersebut adalah sebagai berikut: Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik. Faktor Sejarah Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Faktor Kebijakan Kesenjangan antar wilayah juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah.kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar

15 24 daerah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Menurut Nurzaman (2002), diduga sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah. Faktor Administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. Faktor Sosial Masyarakat-masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah diantaranya adalah sebagai berikut : Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti : lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju; Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Di Indonesia, faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi antar provinsi atau wilayah diantaranya adalah sebagai berikut (Tambunan 2003): Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan atau disparitas

16 25 pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentarsi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/ gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas, mempengaruhi mobilitas atau re alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik. Perbedaan Sumberdaya Alam antar Provinsi Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam. Perbedaan Kondisi Demografis antar Wilayah Kesenjangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaab kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi. Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi Kurang lancarnya perdagangan antara daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan kesenjangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.

17 26 Hampir sama dengan apa yang dikemukakan diatas, menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah adalah: 1) perbedaan karekteristik limpahan sumberdaya alam (resources endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan 6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karekteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang; dan 4) Wilayah tidak berkembang. Namun dalam literatur ekonomi pembangunan yang relatif baru telah mulai dibahas bagaimana terjadinya mekanisme ekonomi yang menciptakan kesenjangan; Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) Sering pula disebut dengan Teori Pertumbuhan Endogen (Endogenous Growth Theory) dipelopori oleh Paul M. Romer 1986 dan Robert Lucas 1988 yang awalnya merasa tidak puas dengan Model Solow karena dinilai tidak cukup untuk menjelaskan long-run growth yang menyatakan kesenjangan antara negaranegara/ wilayah maju dengan negara-negara/ wilayah terbelakang bisa tetap berlangsung karena adanya akumulasi ilmu pengetahuan yang mendorong terjadinya inovasi. Dimana lahirnya inovasi ini bersifat meningkatkan pengembalian (increasing return) yang mengoreksi menurunnya keuntungan produksi dari pemilik modal (marginal product of capital) disamping mengenai suku bunga dan perubahan populasi adalah faktor endogen. Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) Teori ini dipelopori oleh Fujita, Venables, Sachs, Krugman (1991) yang menjelaskan mekanisme pemusatan (aglomerasi) investasi, industri dan tenaga kerja (penduduk) melalui proses tegangan antara daya centripetal (yang mendorong pemusatan) dan centrifugal (yang mendorong penyebaran). Daya centripetal difasilitasi oleh ukuran pasar domestic (economies of scale dan linkages), pasar kerja (spesialisasi) dan eksternalitas positif. Sementara daya centrifugal difasilitasi oleh faktor produksi tak bergerak (sumberdaya alam, kesuburan tanah), harga tanah (land rent) dan eksternalitas negatif (polusi, kemacetan). Industri akan cendrung mendekat ke pusat-pusat aglomerasi untuk meminimalkan biaya transport, mengeksploitasi keuntunga skala, mendapatkan keuntungan berdekatan dengan industri penyuplai (backward linkages) dan pemakai (forward linkages) dan berbagi informasi dan inovasi dengan industri serumpun (klaster). Kesemuanya ini akan menghasilkan keuntungan aglomerasi yang mendorong pemusatan, namun demikian pemusatan yang berlebihan akan meningkatkan biaya aglomerasi (agglomeration diseconomies) berupa naiknya harga tanah, memburuknya kualitas lingkungan dan meningkatnya kemacetan yang akan meningkatkan biaya transportasi.

18 27 Apabila kerugian semakin membesar maka industri akan terdorong untuk menyebar ke lokasi lain. Tetapi apabila keuntungan aglomerasi masih jauh lebih besar, industri masih akan terdorong untuk berlokasi ke pusat-pusat aglomerasi (kota-kota utama). Sedangkan industri yang tidak mengikuti pola ini adalah industri yang berbasis faktor-faktor tak bergerak (immobile) seperti; pertambangan, pertanian dan pariwisata. 2.9 Urgensi Pembangunan antar Wilayah Secara Berimbang Meskipun kesenjangan antar wilayah merupakan suatu hal wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Kesenjangan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di semua tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat. Menurut Rustiadi et al. (2007) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena beberapa alasan, yaitu: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) untuk mengoptimalkan dan mengkonvesi sumberdaya; (4) untuk mengingkatkan lapangan kerja; (5) untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) untuk mendorong desentralisasi; (7) untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik disintegrative; dan (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional. Untuk itu dibutuhkkan pemecahan secara kebijakan terhadap permasalahan kesenjangan antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Keberimbangan antar wilayah menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh Upaya Penanggulangan Kesenjangan Pembangunan Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi kesenjangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan. Kebijakan yang dimaksud disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan disparitas pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Sjafrizal 2008): Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam yang cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidaklancaran proses perdagangan dan mobilitas

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pewilayahan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pewilayahan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pewilayahan Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Sebagian ahli mendefinisikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan Istilah pembangunan dan pengembangan banyak digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya development. Namun berbagai kalangan cenderung untuk menggunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Wilayah Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memiliki konsep yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Ciwidey yang meliputi Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju perekonomian suatu negara, semakin kuat sector industri modern

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju perekonomian suatu negara, semakin kuat sector industri modern BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara akan mengalami perubahan struktur perekonomian. Semakin maju perekonomian suatu negara, semakin kuat sector industri modern menggeser sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 32 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil lokasi di seluruh kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Pembangunan 7 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur merata materiil

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Perekonomian Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung mengambarkan tingkat. keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung mengambarkan tingkat. keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Sosiaf'Elipiiomi Masyara^l Lingfiungan %iimufi di%pta (Peli^nbaru - BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sasaran pokok dalam kebijaksanaan pembangunan adalah mewujudkan perubahan struktural dibidang ekonomis-sosiologis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris dengan berbagai produk unggulan di setiap daerah, maka pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan di Indonesia harus berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN 2008-2011 INCOME DISPARITY ANALYSIS AMONG DISTRICTS IN ACEH PROVINCE USING INDEX

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR BASIS DAN NON BASIS EKONOMI KOTA TOMOHON TAHUN

ANALISIS SEKTOR BASIS DAN NON BASIS EKONOMI KOTA TOMOHON TAHUN ANALISIS SEKTOR BASIS DAN NON BASIS EKONOMI KOTA TOMOHON TAHUN 2011-2015 Irawaty Maslowan Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115, Indonesia Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesenjangan Antar Daerah Menurul Cornelis Lay dalam Lia (1995), keterbelakangan dan kesenjangan daerah ini dapat dibagi atas empat pemikiran utama yaitu keseimbangan regional

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN 2004 2007 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Ekonomi Jurusan Studi Pembangunan Pada Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN ARIS SUBAGIYO Halama n 1 & PUSAT PERTUMBUHAN PELAYANAN Halama n Penentuan Pusat Pertumbuhan & Pusat Pelayanan 4 ciri pusat pertumbuhan : Adanya hubungan internal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah : 1. Faktor Geografis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pertumbuhan Ekonomi a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan produk nasional (GNP) karena ada peningkatan kuantitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time series) antara tahun 2009 hingga tahun 2013. Data tersebut terdiri dari:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah Secara yuridis menurut Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum, seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum, seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi nasional sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional yaitu memajukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai

Lebih terperinci

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. A Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci