BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara berurutan dan bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat trauma. Sebagai akibat dari trauma atau pun perangsangan, sel yang terkena ini akan mengaktifkan suatu sistem yang cukup rumit. Sistem dalam sel ini akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, faktor Hageman, enzim lisozim, prostaglandin, dan leukotrien (Wilmana, 1995). Inflamasi dapat terjadi secara lokal, sistemik, akut, dan kronik. Respon inflamasi lokal ditandai dengan bengkak, panas, sakit, dan kemerahan. Pada abad ke-2, Galen menambahkan pertanda inflamasi yang kelima yaitu, kehilangan fungsi alat tubuh yang mengalami inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Respon inflamasi tersebut bisa diobati dengan pemberian obat-obat antiinflamasi. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi menjadi dua golongan, yaitu obat inflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja kedua jenis obat tersebut terutama bekerja menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007). Obat golongan antiinflamasi steroidal misalnya prednison dan obat antiinflamasi non steroid (AINS) misalnya ketoprofen (Furst dan Ulrich, 2002). 1

2 2 Ketoprofen merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug) turunan asam propionat yang memiliki khasiat analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik (Shohin dkk., 2012). Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, yaitu zat yang menyebabkan inflamasi (Kay dkk., 2000). Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Selain memiliki efek sebagai anti-inflamasi, ketoprofen juga diketahui memiliki efek analgesik dan antipiretik (Rençber dkk., 2009). Terapi secara oral menggunakan ketoprofen sangat efektif dilakukan, tetapi ketoprofen dapat menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan berupa peradangan, pendarahan, ulserasi, dan perforasi (Shohin dkk., 2012). Ketoprofen merupakan salah satu obat yang digolongkan kategori kelas II dalam Biopharmaceutical Classification System, yaitu golongan obat yang mempunyai permeabilitas yang baik, akan tetapi kelarutannya sangat rendah dalam air (Keshavarao dkk., 2011). Ketoprofen memiliki sifat fisiko-kimia sebagai berikut: lipofilik, bobot molekul 254,3 g/mol, titik leleh 94,5 o C, dan praktis tidak larut dalam air dengan nilai kelarutan dalam air 0,010 mg/ml (Rencber dkk., 2010). Berbagai cara formulasi dilakukan untuk mengatasi permasalahan kelarutan tersebut, salah satunya adalah memformulasikannya dalam bentuk SNEDDS (Keshavarao dkk., 2011). Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah sistem penghantaran obat yang mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying)

3 3 saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan. Hasil pencampuran sediaan SNEDDS dalam cairan lambung setelah dikonsumsi oleh pasien akan membentuk nanoemulsi. Bentuk nanoemulsi dipilih karena dalam nanoemulsi terdapat kandungan minyak yang dapat membawa ketoprofen yang sukar larut dalam air (Han dkk., 2011). Hasil studi secara in vivo menunjukkan motilitas lambung dan usus pada saluran percernaan memberikan agitasi yang cukup untuk self-emulsification (Rao dan Shao, 2008). Proses self-emulsifying terjadi secara spontan karena energi bebas yang diperlukan untuk membentuk nanoemulsi sangat rendah (Date dkk., 2010). Formulasi SNEDDS menjadi pilihan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam formulasi obat karena lebih mudah diproduksi pada skala yang lebih besar dan hemat biaya. Hal ini karena SNEDDS menawarkan larutan lipid yang stabil tanpa perlu proses emulsifikasi dengan energi tinggi (Date dkk., 2010). Keunggulan sediaan SNEDDS adalah kemampuan membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam saluran cerna dan ukuran tetesan yang dihasilkan berukuran nanometer (Makadia dkk., 2013). Ukuran tetesan nanoemulsi yang sangat kecil memungkinkan penyerapan obat menjadi lebih efisien. (Kumar dkk., 2011). Peningkatan kelarutan obat lewat formulasi SNEDDS memungkinkan adanya pengurangan dosis sehingga dapat mengurangi efek samping yang terkait dengan dosis. (Nielsen dkk., 2008). Berbagai macam obat yang memiliki masalah kelarutan dilaporkan telah berhasil diformulasi dalam bentuk sediaan SNEDDS, antara lain carvedilol (Mahmoud dkk., 2009), flutamid (Jeevana dan Sreelakshmi, 2011), fenofibrate (Patel dan Vavia, 2007), dan valsatran (Beg dkk., 2012).

4 4 Pada penelitian ini, akan dilakukan pengujian secara in vivo dari formula nanoemulsi minyak dalam air (O/W) ketoprofen dengan metode SNEDDS menggunakan campuran minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang sudah dilakukan oleh Surya (2014). Nanoemulsi yang terbentuk akan diverifikasi formulanya melalui uji transmitan dan waktu emusifikasi. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antiinflamasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sediaan dalam bentuk SNEDDS dalam memberikan efek antiinflamasi pada tikus dibandingkan sediaan tanpa ketoprofen dalam suspensi. B. Rumusan Masalah 1. Berapa nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai ko-surfaktan? 2. Apakah efek antiinflamasi ketoprofen dalam formulasi sediaan SNEDDS lebih baik dibandingkan ketoprofen dalam sediaan suspensi? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui nilai ED50 dari formula SNEDDS ketoprofen. 2. Membandingkan efek antiinflamasi antara ketoprofen dalam sediaan SNEDDS terhadap ketoprofen dalam sediaan suspensi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terbaru mengenai daya antiinflamasi dari SNEDDS dengan bahan aktif ketoprofen melalui pengujian secara in vivo.

5 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Ketoprofen O CH 3 OH O Gambar 1. Struktur Kimia Ketoprofen Ketoprofen mempunyai nama resmi asam 2-(3-benzoilfenil) propionate. Obat tersebut merupakan derivat asam propionat (gambar 1). Ketoprofen memiliki berat molekul (BM) 254,3 g/mol berwarna putih atau hampir putih, serbuk hablur, dan hampir tidak berbau. Ketoprofen mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan larutan alkali, namun tidak mudah larut dalam air. Titik lebur obat tersebut berkisar antara o C (Depkes RI., 1995). Ketoprofen bersifat asam lemah dengan nilai pka 4,39 (Grozdanis dkk., 2008). Kelarutan obat ini dipengaruhi oleh faktor ph dimana semakin tinggi ph maka kelarutan obat tersebut akan semakin meningkat (Sheng dkk., 2006). Ketoprofen termasuk dalam obat antiradang non-steroid dengan daya analgesik dan antipiretik yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Aktivitas antiinflamasi ketoprofen melalui mekanisme penghambatan terhadap aktivitas enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2), yaitu enzim yang terlibat dalam sintesis prostaglandin melalui jalur asam arakidonat. Hal ini menyebabkan penurunan kadar prostaglandin yang memediasi nyeri, demam dan peradangan (Kay dkk., 2000).

6 6 Ketoprofen diklasifikasikan sebagai analgesik sedang yang digunakan untuk penyakit artritis, osteoartritis, nyeri pada saat haid (dismenore), serta mengurangi nyeri sedang (Shohin dkk., 2012). Selain memberikan banyak aktivitas terapeutik, ketoprofen juga memberikan efek samping yang tidak diinginkan, seperti kehilangan darah, luka pada usus atau lambung dan anemia (Gabriel dkk., 1991). Efek samping lain yang timbul bisa berupa asma, urtikaria (Shohin dkk., 2012), dan iritasi saluran cerna (Rencber dkk., 2010). Dosis pemakaian ketoprofen adalah 50 mg empat kali sehari atau 75 mg tiga kali sehari (Parfitt, 1999). Dosis tertinggi ketoprofen yang direkomendasikan untuk penggunaan oral immediate release adalah 100 mg dan 200 mg untuk sediaan lepas lambat (FDA, 2010). Permeabilitas ketoprofen pada usus manusia cukup tinggi sekitar 8,7 x 10-6 cm/s (Sheng dkk., 2006). Kadar puncak dalam darah terjadi pada rentang waktu 0,5 2 jam setelah pemberian, setelah itu konsentrasi akan berkurang dengan cepat. Ketoprofen dieliminasi dari tubuh melalui ginjal dengan kinetika orde 1 (k = 0,35/jam) dengan waktu paro eliminasi (t1/2) antara 1,5 jam - 2 jam (Patil dkk., 2005). Ketoprofen digolongkan sebagai obat dengan Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II. Ketoprofen merupakan obat yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air yaitu sekitar kelarutan 0,253 mg/ml (Shohin dkk., 2012). Kelarutan ketoprofen yang rendah air akan menyebabkan waktu tinggal ketoprofen semakin lama dalam lambung, sehingga dapat memperparah efek samping yang timbul. Menurut Pol dkk. (2013), kristal NSAID yang sukar larut

7 7 dalam cairan lambung akan kontak dengan dinding lambung dalam waktu yang lama sehingga meningkatkan resiko iritasi lambung. 2. Inflamasi Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004). Penyebab dari inflamasi sendiri antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008). Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002). Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda: a. Fase akut, terjadi vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. b. Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit.

8 8 c. Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis (Wilmana, 2007). Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah: a. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008). b. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007). c. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).

9 9 d. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008). e. Fungsiolaesa Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007). Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. (Wilmana, 2007). Mekanisme inflamasi yang terjadi di dalam tubuh bermula pada membran sel atau jaringan yang mengalami sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam tubuh dari membran sel menghasilkan asam arakidonat yang nantinya akan melalui dua jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan lipoksigenase. Pada jalur siklooksigenase, akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada jalur lipoksigenase terbentuk asam hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua enzim siklooksigenase mulai mensintesis pembentukan modulator peradangan

10 10 seperti halnya enzim COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin jahat yang menyebabkan radang (Dannhardt dan Laufer, 2000). Gambar 2. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranannya dalam inflamasi. (Sumber: Robbins, 2004) 3. Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) Beberapa tahun terakhir, perkembangan formulasi sediaan farmasi telah terfokus pada sistem mikroemulsi berbasis lipid (lipid-microemulsion) terutama pada Self-emulsifying Drug Delivery System (SEDDS), Self-microemulsifying Drug Delivery System (SMEDDS), dan Self-nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) untuk meningkatkan bioavailabilitas oral obat-obat yang sukar larut air (Balakrishnan dkk., 2009b; Cui dkk., 2009; Woo dkk., 2008). SNEDDS mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan obat yang membentuk nanoemulsi minyak dalam air bila berada dalam fase air dengan ukuran

11 11 tetesan nanoemulsi yang terbentuk yaitu kurang dari 100 nm (Date dan Nagarsenker, 2007). SNEDDS akan membentuk nanoemulsi o/w secara spontan (self-emulsifying) saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan (Nazzal dkk., 2002). SNEDDS akan membentuk nanoemulsi ketika kontak dengan cairan dalam saluran cerna. Kemudian terjadi agitasi untuk proses self-emulsifying dalam GIT dibantu oleh gerakan pada lambung dan usus (Itoh dkk., 2002; Nazzal dkk., 2002). Nanoemulsi yang terbentuk memiliki ukuran tetesan kurang dari 100 nm dan meningkatkan kelarutan obat yang tidak larut air sehingga dapat membantu absorpsi obat pada saluran cerna (Han dkk., 2011). Ukuran nanoemulsi yang sangat kecil memungkinkan obat dapat melewati membran sepanjang GIT dengan cepat dan meminimalisasi iritasi akibat adanya kontak antara kristal obat dengan dinding GIT (Makadia dkk., 2013). Keunggulan sistem SNEDDS dibandingkan sistem pengiriman berbasis lipid lainnya antara lain factor stabilitas yang sangat baik, kapasitas melarutnya tinggi, dan sangat memungkinkan untuk diproduksi dalam skala yang lebih besar (Date dkk., 2010). Beberapa keuntungan formula SNEDDS, di antaranya melindungi obat yang sensitif, meningkatkan biovailabilitas obat oral sehingga memungkinkan pengurangan dosis, muatan obat tinggi, mudah disimpan karena memiliki kestabilan termodinamika yang baik, serta adanya minyak dapat mempercepat obat melewati saluran gastrointestinal sehingga meminimalisasi iritasi yang sering terjadi selama kontak antara zat obat dan dinding usus (Gursoy dan Benita, 2004).

12 12 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS antara lain: (1) sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan dan kosurfaktan (co-emulsifier); (2) perbandingan komponen, khususnya perbandingan minyak surfaktan; (3) suhu dan ph fase air di mana nanoemulsifikasi akan terjadi; dan (4) sifat fisikokimia obat, seperti hidrofilisitas/lipofilisitas, pka dan polaritas. Komponen-komponen yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS yaitu: a. Minyak Minyak merupakan campuran trigliserida yang mengandung asam lemak dari berbagai rantai dan derajat ketidakjenuhan. Trigliserida diklasifikasikan menjadi rantai pendek (<5 karbon), menengah (6-12 karbon), atau rantai panjang (> 12 karbon) (Debnath, 2011). Pemilihan fase minyak merupakan hal yang penting dan sangat mempengaruhi keberhasilan formulasi SNEDDS. Sifat fisiko kimia minyak meliputi volume molekul, viskositas dan polaritas sangat menentukan dalam spontanitas proses nanoemulsifikasi, ukuran tetesan partikel, kelarutan obat, serta nasib obat dan nanoemulsi dalam jaringan biologis (Anton dkk., 2008). Untuk mencapai loading drug yang maksimal dalam formulasi SNEDDS, maka dipilih minyak yang memiliki potensi melarutkan obat lebih banyak serta menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet yang kecil (Date dkk., 2010). Minyak dengan rantai hidrokarbon yang panjang misalnya minyak kedelai lebih sulit membentuk nanoemulsi dibandingkan minyak dengan hidrokarbon rantai sedang dan rantai pendek, seperti monogliserida rantai sedang dan ester asam lemak (etil oleat) (Anton, 2009; Sadurní, 2005). Pada penelitian ini fase minyak yang dipakai adalah asam oleat.

13 13 Asam oleat dengan nama IUPAC: cis-9-octadecenoic acid (singkatan lipid 18:1 cis-9) adalah asam lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid) yang memiliki bobot molekul 282,47 g/mol, berwarna kuning pucat atau kuningkecoklatan, dan dapat diperoleh dari sumber nabati atau hewani (NIST, 2014). Gambar 3. Struktur Kimia Asam Oleat Asam oleat juga merupakan penyusun lipid bilayer stratum korneum pada kulit manusia (Williams, 2003). Asam oleat memiliki titik leleh 13 C dan titik didih 300 C (Sciencelab, 2014). Asam oleat bisa bertindak sebagai agen pengemulsi, sehingga dapat memperbaiki bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut dalam air pada formulasi tablet (Kibbe, 2000). Asam oleat banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS karena kemampuan self-emulsifying yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar (Kurakula dan Miryala, 2013). Kurakula dan Miryala (2013) melakukan penelitian dengan menggunakan asam oleat, tween 80 dan Brij 30 untuk memformulasikan SNEDDS atorvastatin, dengan hasil emulsification time detik dan rerata ukuran tetesan nm. b. Surfaktan Surfaktan adalah suatu senyawa kimia yang dapat mengaktifkan permukaan suatu zat lain yang awalnya tidak dapat berinteraksi. Surfaktan memiliki karakter yang unik karena dapat berinteraksi dengan senyawa yang polar dan juga non polar

14 14 dikarenakan struktur surfaktan yang memiliki gugus polar dan non polar yang seimbang. Surfaktan non ionik mempunyai karakteristik yang spesifik yaitu Hidrophilic-Lipophilic Balance (HLB). Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah memiliki sifat hidrofobik dan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam minyak, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi bersifat hidrofilik dan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam media air. Hidrophilic-Lipophilic Balance merupakan ukuran untuk menunjukkan keseimbangan antara gugus hidrofil dan lipofil. Nilai HLB untuk emulsi air dalam minyak berkisar antara 3-6 sedangkan HLB untuk emulsi minyak dalam air berkisar 8-18 (Ansel, 1999). Karakteristik surfaktan yaitu HLB, viskositas dan afinitas, serta konsentrasi surfaktan memiliki pengaruh besar pada proses pembentukan dan ukuran tetesan nanoemulsi (Sadurní dkk., 2005; Wang dkk., 2009). Pemilihan surfaktan harus mempertimbangkan faktor keamanan karena terdapat surfaktan yang dapat menyebabkan iritasi pada mukosa lambung (Cuiné dkk., 2007). Namun sifat tersebut dapat berkurang setelah terjadi interaksi dengan fase minyak (Jumaa dan Müller, 2000). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SNEDDS dapat digunakan secara tunggal maupun kombinasi agar menghasilkan nanoemulsi dengan karakteristik yang diinginkan serta meminimalkan efek merugikan akibat penggunaan surfaktan (Date dkk., 2010). Surfaktan terpilih dalam pembuatan formula harus acceptable pada rute administrasi yang ditentukan dan harus sesuai dengan regulasi yang berlaku (Makadia dkk., 2013). Penambahan surfaktan dapat mengurangi tegangan antar muka sehingga dapat menghasilkan tetesan nanoemulsi yang stabil (Costa dkk.,

15 ). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SEDDS adalah surfaktan non ionik dengan nilai HLB tinggi yang dapat membantu pembentukan tetesan emulsi o/w dengan cepat dalam media berair (Bharathi dkk., 2013). Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah tween 20. Tween 20 atau dengan nama lain Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate adalah ester dari polioksietilen sorbitan yang memiliki HLB 16,7 dan bobot molekul sekitar 1225 g/mol (Sigma, 2014). Tween 20 memiliki LD50 untuk tikus sebesar 36,7 ml/kg dan untuk mencit lebih dari 33 g/kg (Cayman, 2012). Kassem dkk. (2010), dalam penelitiannya pernah memformulasikan SNEDDS clotrimazole dengan komposisi 10% asam oleat sebagai fase minyak, 60% tween 20 sebagai surfaktan, serta 15% PEG 200 dan 15% n-butanol sebagai ko-surfaktan. Komposisi formulasi tersebut menghasilkan ukuran tetesan nanoemulsi sebesar 81 nm. O O w O O O x OH HO O z O y OH w+x+y+z=20 Gambar 4. Struktur Kimia Tween 20 c. Kosurfaktan Kosurfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan pada nanoemulsi (Biradar dkk., 2009; Makadia dkk., 2013). Surfaktan tidak cukup menurunkan tegangan antar muka minyak-air untuk menghasilkan nanoemulsi sehingga memerlukan kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan

16 16 permukaan hingga mendekati nol. Kosurfaktan menembus ke dalam monolayer surfaktan dan memberikan fluiditas tambahan sehingga mengganggu fase kristal cair yang terbentuk ketika lapisan surfaktan yang terlalu kaku. Metode turbidimetri dapat digunakan untuk menilai efektivitas ko-surfaktan meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi (Chennamsetty dkk., 2005). Kosurfaktan amfiphilic seperti propilen glikol, PEG dan eter glikol sering digunakan dalam SNEDDS untuk meningkatkan drug loading dan mempercepat waktu emulsifikasi (Date dkk., 2010). Propilen glikol digunakan dalam penelitian ini sebagai kosurfaktan. Propilen glikol merupakan cairan kental tidak berwarna dan transparan yang umum digunakan sebagai ko-solven (Rowe dkk., 2009). Propilen glikol memiliki HLB 3,4 dan diklasifikasikan sebagai (GRAS) oleh FDA Amerika Serikat sehingga dapat digunakan untuk bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan juga kosmetik (FDA, 2014; Ansel, 2011). LD50 akut propilen glikol pada mencit adalah mg/kg dan mg/kg pada tikus (Sciencelab, 2014). Menurut WHO, asupan propilen glikol yang aman adalah sebesar 25 mg/kg BB (U.S HHS, 1997). Elnaggar dkk. (2009), dalam penelitiannya melakukan formulasi SNEDDS tamoksifen dengan komposisi tamoksifen sitrat (1,6%), Maisine 35-1 (16,4%), Caproyl 90 (32,8%), Cremophor RH40 (32,8%) dan propilen glikol (16,4%). Formulasi tersebut menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran tetesan sebesar 150 nm. OH CH 3 OH Gambar 5. Struktur Kimia Propilen glikol

17 17 d. Fase air Ukuran tetesan dan stabilitas nanoemulsi dipengaruhi oleh sifat fase air dimana SNEDDS akan diaplikasikan. Faktor ph dan kadar ion fase air sangat penting untuk diperhatikan saat membuat SNEDDS. Lingkungan fisiologis sepanjang saluran pencernaan memiliki rentang ph yang bervariasi mulai dari ph 1.2 (lambung) hingga lebih dari 7,4 (ph darah dan usus). Hal ini akan mempengaruhi perilaku SNEDDS pada obat yang kelarutannya bergantung pada ph (Date dan Nagarsenker, 2007). Adanya ion di lingkungan fisiologis dapat memberi pengaruh yang cukup besar terhadap sifat nanoemulsi (ukuran tetesan dan stabilitas fisik) yang dihasilkan (Morais dkk., 2006). e. Obat Berbagai sifat fisikokimia obat antara lain log P, pka, struktur dan berat molekul, ionisasi dan jumlah obat memberi pengaruh yang cukup besar pada formulasi SNEDDS. Date dan Nagarsenker (2007), melaporkan adanya peningkatan wilayah nanoemulsifikasi SNEDDS cefpodoxime proxetil ketika berada pada ph yang lebih rendah. Penambahan jumlah obat dalam SNEDDS dapat menyebabkan peningkatan ukuran droplet dibandingkan SNEDDS tanpa obat (Wang dkk., 2009). Obat-obat yang memiliki permukaan aktif, seperti simvastatin menunjukkan sifat yang berbeda seiring peningkatan jumlah obat dalam formula SNEDDS (Dixit dan Nagarsenker, 2008). Ketoprofen digunakan sebagai bahan obat dalam penelitian ini.

18 18 F. Landasan Teori Ketoprofen merupakan suatu obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Namun karena ketoprofen memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air. Ketoprofen praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter. Kelarutan ketoprofen dalam etanol 1 : 5 sedangkan dalam air 1 : (Depkes RI, 1995; Tettey-Amlalo, 2005). Hal ini menjadi masalah dalam memformulasikan ketoprofen untuk aplikasi per oral. Selain itu, ketoprofen juga memiliki kelemahan yaitu adanya potensi mengiritasi lambung. Metode SNEDDS dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dengan melewati tahapan disolusi obat (Gupta dkk., 2011). Bagiana (2014) melakukan penelitian tentang formulasi SNEDDS pada GVT-0. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa SNEDDS GVT-0 pada dosis 40 mg/kgbb memberikan presentase daya antiinflamasi (DAI) yang lebih baik dibandingkan dengan suspensi GVT-0 pada dosis yang sama. GVT-0 dalam sediaan SNEDDS terbukti dapat meningkatkan efektivitas senyawa tersebut dalam meningkatkan daya antiinflamasi (DAI). Penelitian lain dilakukan oleh Sahumena (2014) tentang uji aktivitas antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan komposisi formula menggunakan asam oleat, propilen glikol, tween 20 dan tween 80. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa formulasi SNEDDS untuk obat ketoprofen bisa meningkatkan aktivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi. Nilai ED50 kelompok tikus yang diberi SNEDDS ketoprofen tidak dapat dikalkulasi secara tepat namun diperkirakan di bawah 2,25 mg/kgbb karena efek daya antiinflamasi (DAI) dosis terendah dalam percobaan tersebut yaitu 2,25 mg/kgbb sudah lebih

19 19 dari 50% (Sahumena, 2014). Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara formulasi SNEDDS terhadap aktivitas farmakologis, yakni berupa peningkatan efek terapeutik. Peningkatan efek terapeutik ini berasal dari peningkatan peristiwa absorpsi obat pada saluran cerna. Pembentukan droplet emulsi yang berukuran nano membuat SNEDDS lebih terserap efektif dibandingkan dengan sediaan emulsi biasa. Droplet emulsi yang berukuran nano membuat luas permukaan obat untuk kontak dengan lumen usus menjadi lebih luas dan penyerapan obat berlangsung lebih efektif. Hal tersebut membuat sistem SNEDDS dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta dkk., 2011). Formulasi nanoemulsi ketoprofen dengan menggunakan metode SNEDDS diharapkan dapat meningkatkan efektivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi dan menurunkan dosis ketoprofen untuk efek terapeutik yang sama sehingga bisa menurunkan risiko efek samping obat berupa iritasi saluran cerna.

20 20 G. Hipotesis Berdasarkan uraian landasan teori tersebut, dapat dirumuskan hipotesis bahwa: 1. Nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai ko-surfaktan adalah sebesar 2,25 mg/kgbb. 2. Pemberian ketoprofen dalam bentuk sediaan SNEDDS pada kelompok tikus perlakuan dapat memberikan efek antiinflamasi lebih baik dibandingkan dengan kelompok suspensi ketoprofen.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonstreoidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) sehingga tidak terbentuk

Lebih terperinci

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin Kurkumin merupakan senyawa polifenol yang diekstrak dari rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.). Kurkumin dilaporkan memiliki efek farmakologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. iridoid, lignan, dan polisakarida (Chan-Blan-co et al., 2006). Senyawa flavon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. iridoid, lignan, dan polisakarida (Chan-Blan-co et al., 2006). Senyawa flavon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengkudu banyak dimanfaatkan sebagai agen hipotensif, antibakteri, antituberkulosis, antiinflamasi, dan antioksidan. Mengkudu mengandung berbagai komponen antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis karena lebih efektif dibandingkan dengan aspirin, indometasin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada periode perkembangan obat telah banyak diberikan perhatian untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur kimia, sifat-sifat kimia fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonsteroidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) terdiri dari minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben yang secara alami terdapat dalam buah blueberries, kulit buah berbagai varietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat merupakan obat antiinflamasi non steroid yang digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis,

Lebih terperinci

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Hal ini, menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi kelompok nonstreoidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti inflamasi NSAID (Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs) golongan propanoat yang biasa digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Inflamasi merupakan bentuk respon pertahanan terhadap terjadinya cedera karena kerusakan jaringan. Inflamasi tidak hanya dialami oleh orang tua, tetapi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Prevalensi penyakit terkait inflamasi di Indonesia, seperti rematik (radang sendi) tergolong cukup tinggi, yakni sekitar 32,2% (Nainggolan, 2009). Inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Radang (Inflamasi) adalah suatu mekanisme proteksi dari dalam tubuh terhadap gangguan luar atau infeksi (Wibowo & Gofir, 2001). Pada keadaan inflamasi jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Terjadinya Inflamasi Inflamasi adalah salah suatu respon terhadap cedera jaringan ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan homeostasis tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. diambil akarnya dan kebanyakan hanya dibudidayakan di Pegunungan Dieng

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. diambil akarnya dan kebanyakan hanya dibudidayakan di Pegunungan Dieng BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Purwoceng merupakan tumbuhan yang sudah banyak dikenal masyarakat karena dipercaya memiliki khasiat sebagai afrodisiak. Purwoceng termasuk ke dalam kategori tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid, BAB 1 PENDAHULUAN Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jinten hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan sebagai antihipertensi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan senyawa obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik, analgetik, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tan dan Rahardja, 2007). Rasa nyeri merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PEDAULUA 1.1 Latar Belakang Masalah yeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, subjektif dan manifestasi dari kerusakan jaringan atau gejala akan terjadinya kerusakan jaringan (Dipiro et

Lebih terperinci

turunan oksikam adalah piroksikam (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Piroksikam mempunyai aktivitas analgesik, antirematik dan antiradang kuat.

turunan oksikam adalah piroksikam (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Piroksikam mempunyai aktivitas analgesik, antirematik dan antiradang kuat. BAB 1 PENDAHULUAN Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi bagi tubuh yang timbul apabila jaringan mengalami kerusakan. Rasa nyeri sering disertai oleh respon emosional dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat OAINS dari turunan asam propionat yang memiliki khasiat sebagai antipiretik, antiinflamasi dan analgesik pada terapi rheumatoid arthritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antaranya tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Penggunaan tumbuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. antaranya tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Penggunaan tumbuhan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia dengan kekayaan alamnya memiliki berbagai jenis tumbuhan, di antaranya tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Penggunaan tumbuhan untuk mengobati berbagai

Lebih terperinci

mengakibatkan reaksi radang yang ditandai dengan adanya kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dolor (nyeri) dan functio laesa (gangguan

mengakibatkan reaksi radang yang ditandai dengan adanya kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dolor (nyeri) dan functio laesa (gangguan BAB 1 PEDAHULUA Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Kemajuan di setiap aspek kehidupan menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki gaya hidup beragam dan cenderung kurang memperhatikan pola makan dan aktivitas yang sehat. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan buah yang sering digunakan sebagai obat tradisional, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan buah yang sering digunakan sebagai obat tradisional, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) atau dikenal dengan Noni merupakan buah yang sering digunakan sebagai obat tradisional, salah satunya untuk terapi penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, perkembangan modifikasi molekul obat di dunia kefarmasian telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh obat atau senyawa baru yang lebih

Lebih terperinci

gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabakan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu

gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabakan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu BAB 1 PENDAHULUAN Pada periode perkembangan bahan obat organik telah banyak diberikan perhatian untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur kimia, sifat-sifat kimia fisika dan aktivitas biologis

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka SNEDDS Self-nanoemulsifying Drug Delivery Systems atau SNEDDS dapat didefinisikan sebagai campuran

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka SNEDDS Self-nanoemulsifying Drug Delivery Systems atau SNEDDS dapat didefinisikan sebagai campuran BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. SNEDDS Self-nanoemulsifying Drug Delivery Systems atau SNEDDS dapat didefinisikan sebagai campuran isotropik dari minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan zat

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

Dalam penelitian ini, akan diuji aktivitas antiinflamasi senyawa turunan benzoiltiourea sebagai berikut:

Dalam penelitian ini, akan diuji aktivitas antiinflamasi senyawa turunan benzoiltiourea sebagai berikut: BAB 1 PEDAULUA intesis merupakan uji nyata dengan menggunakan dan mengendalikan reaksi organik. intesis dapat pula dimanfaatkan untuk membuat zat yang belum diketahui sebelumnya tetapi diramalkan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi non steroid derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme ibuprofen adalah menghambat isoenzim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang disintesis oleh tanaman, alga, dan bakteri fotosintesis sebagai sumber warna kuning, oranye, dan merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat dengan memperpanjang waktu tinggal di lambung memiliki beberapa keuntungan, diantaranya untuk obat-obat yang memiliki absorpsi rendah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman saat ini, dimana kehidupan masyarakat semakin dimudahkan dengan perkembangan teknologi, secara tidak langsung mempengaruhi gaya hidup yang serba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring berkembangnya kemajuan di Indonesia saat ini, menyebabkan berbagai macam dampak yang mempengaruhi kehidupan dan tingkah laku yang kemudian akan mengarah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak digunakan untuk terapi arthritis rheumatoid dan osteoarthritis kronis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak digunakan untuk terapi arthritis rheumatoid dan osteoarthritis kronis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi kelompok nonstreoid yang banyak digunakan untuk terapi arthritis rheumatoid dan osteoarthritis kronis (Główka dkk., 2011). Penggunaan

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ibuprofen merupakan salah satu obat yang sukar larut dalam air dan menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik (Bushra dan Aslam, 2010; Mansouri,

Lebih terperinci

pada penderita tukak lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan (Martindale, 1982). Pada penelitian ini digunakan piroksikam sebagai

pada penderita tukak lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan (Martindale, 1982). Pada penelitian ini digunakan piroksikam sebagai BAB 1 PENDAHULUAN Kemajuan penelitian beberapa tahun terakhir dalam bidang farmasi maupun kedokteran telah banyak menghasilkan obat baru dengan efek terapi yang lebih baik dan efek samping yang minimal.

Lebih terperinci

(Houglum et al, 2005). Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan

(Houglum et al, 2005). Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan BAB 1 PENDAHULUAN intesis merupakan uji nyata dengan menggunakan dan mengendalikan reaksi organik. intesis dapat dimanfaatkan untuk membuat zat yang belum diketahui sebelumnya tetapi diramalkan akan mempunyai

Lebih terperinci

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terutama dalam bidang industri farmasi memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan berbagai macam sediaan obat. Dengan didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Analgetika, didefinisikan menurut Purwanto dan Susilowati (2000) adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif untuk mengurangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyaknya permasalahan yang ada pada masyarakat modern menjadi salah satu penyebab timbulnya keluhan sakit kepala atau nyeri. Rasa sakit atau nyeri adalah perasaan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rute oral telah menjadi rute utama penghantaran obat untuk pengobatan berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami hambatan karena lipofilisitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

Piroksikam merupakan salah satu derivat oksikam, dan merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang berkhasiat sebagai antiinflamasi,

Piroksikam merupakan salah satu derivat oksikam, dan merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit di dunia menyebabkan semakin perlunya pengembangan obat baru, di mana obat baru tersebut bertujuan untuk mengurangi rasa

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Struktur molekul asam salisilat dan turunannya (Gringauz, 1997 ). O C OH CH 3

Gambar 1.1. Struktur molekul asam salisilat dan turunannya (Gringauz, 1997 ). O C OH CH 3 BAB 1 PENDAHULUAN Radang dan demam merupakan salah satu kendala yang menganggu aktivitas manusia. Radang atau inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap berbagai stimulus yang merugikan berupa stimulus kimia,

Lebih terperinci

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pendahuluan Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pelarut lain yang digunakan adalah etanol dan minyak. Selain digunakan secara oral, larutan juga

Lebih terperinci

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu, BAB 1 PENDAHULUAN Dalam sistem penghantaran suatu obat di dalam tubuh, salah satu faktor yang penting adalah bentuk sediaan. Penggunaan suatu bentuk sediaan bertujuan untuk mengoptimalkan penyampaian obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Nyeri, demam dan radang merupakan gejala penyakit yang sering dialami manusia. Adanya rasa nyeri merupakan pertanda dimana terjadi kerusakan jaringan yang

Lebih terperinci

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN Hingga saat ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam meningkatkan mutu suatu obat. Tablet adalah sediaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Penelitian.. B. Perumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP) sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan perasaan bahwa dia pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri adalah mekanisme protektif untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Udema (Inflamasi) Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan. Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis,

Lebih terperinci

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Al Syahril Samsi, S.Farm., M.Si., Apt 1 Faktor yang Mempengaruhi Liberation (Pelepasan), disolution (Pelarutan) dan absorbtion(absorbsi/difusi)lda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pengobatanpun mengalami perkembangan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah dan macam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka digilib.uns.ac.id 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Salam (Syzygium polyanthum (Wight)Walp.) a. Klasifikasi dan deskripsi salam Klasifikasi tumbuhan salam menurut Van Steenis (2003) adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi pulpa dapat disebabkan oleh iritasi mekanis. 1 Preparasi kavitas yang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan kemajuan zaman, penyakit dan infeksi yang menyerang pada manusia semakin berkembang dan menjadi salah satu ancaman terbesar dalam kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah suatu respon dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau infeksi yang dilakukan oleh pembuluh darah dan jaringan ikat. Tanda-tanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hiperkolesterolemia merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya

BAB I PENDAHULUAN. Hiperkolesterolemia merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hiperkolesterolemia merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya hidup seperti diet tinggi kolesterol atau asam lemak jenuh tinggi dan kurangnya olahraga.

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di masyarakat kita, banyak ditemukan penyakit kelainan muskuloskeletal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Inflamasi terjadi di dalam tubuh dimediasi oleh berbagai macam mekanisme molekular. Salah satunya yang sangat popular adalah karena produksi nitrit oksida (NO) yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Struktur asam asetilsalisilat (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Gambar 1.1. Struktur asam asetilsalisilat (Departemen Kesehatan RI, 1995). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Analgesik (obat penghilang rasa nyeri) merupakan suatu senyawa yang dalam dosis terapetik dapat meringankan atau menekan rasa nyeri yang timbul tanpa memiliki kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache,

Lebih terperinci

Menurut Hansch, penambahan gugus 4-tersier-butilbenzoil dapat mempengaruhi sifat lipofilisitas, elektronik dan sterik suatu senyawa.

Menurut Hansch, penambahan gugus 4-tersier-butilbenzoil dapat mempengaruhi sifat lipofilisitas, elektronik dan sterik suatu senyawa. BAB 1 PEDAHULUA Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Perkembangan ini terjadi di segala bidang, termasuk bidang farmasi. Hal ini tampak dengan munculnya berbagai produk obat yang digunakan

Lebih terperinci

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini, rasa sakit karena nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya baik dengan upaya farmakoterapi,

Lebih terperinci

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam BAB 1 PENDAHULUAN Klorfeniramin maleat merupakan obat antihistamin H 1 Reseptor yang dapat menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos, serta bekerja dengan mengobati

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Orientasi formula mikroemulsi dilakukan untuk mendapatkan formula yang dapat membentuk mikroemulsi dan juga baik dilihat dari stabilitasnya. Pemilihan emulgator utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan perkembangan dunia dewasa ini, industri farmasi mengalami kemajuan yang pesat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi nonsteroidal turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas kerja menghambat enzim siklooksigenase

Lebih terperinci

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan obat-obatan, menyebabkan perlunya pengembangan obat baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. BAB 1 PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab salah satu gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya

Lebih terperinci