BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rute oral telah menjadi rute utama penghantaran obat untuk pengobatan berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami hambatan karena lipofilisitas obat yang tinggi. Hampir 40% dari calon obat baru menunjukkan kelarutan yang rendah dalam air, yang mengarah ke bioavailabilitas yang rendah, tingginya variabilitas intra- dan inter-subjek, serta kurangnya proporsionalitas dosis (Mofawy, 2009). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat lipofil yaitu dibuat dalam bentuk formulasi dengan basis lipid, dengan penggabungan komponen lipofilik seperti minyak menjadi pembawa inert, dispersi surfaktan, emulsi, liposom, self-emulsifying formulations, self-nanoemulsifying dan self-microemulsifying. SNEDDS adalah metode penghantaran obat melalui pembuatan campuran isotropik minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang secara cepat membentuk nanoemulsi minyak dalam air dengan agitasi ringan (Suresh & Sharma, 2011). SNEDDS dengan segera akan membentuk nanoemulsi ketika mengalami kontak dengan cairan dalam saluran cerna (Mofawy, 2009). Komponen utama SNEDDS berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukkan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka, dan ko-surfaktan untuk membantu surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS dapat diberikan secara oral dalam kapsul gelatin lunak atau keras karena bersifat anhidrat, membentuk nanoemulsi dengan ukuran tetesan antara 20 dan 200 nm segera setelah dilarutkan. Bila dibandingkan dengan 1

2 2 emulsi, SNEDDS secara fisik lebih stabil dan memberikan peningkatan disolusi dan absorpsi (Wang dkk., 2009). Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonstreoidal (NSAID). Ketoprofen merupakan obat anti-rematik yang dikenal memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik (Sherikar dkk., 2010). Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Ketoprofen termasuk dalam kategori Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II yaitu sangat permeabel terhadap membran biologis namun menunjukkan kelarutan rendah di dalam air (Shohin dkk., 2011; Keshavarao dkk., 2011), sehingga menjadi kendala dalam absorpsi ketoprofen karena efek terapi yang ditimbulkan juga kecil. Oleh karena itu, ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS untuk meningkatkan disolusinya. Dalam penelitian ini, dilakukan formulasi self nano-emulsifying drug delivery system ketoprofen dengan menggunakan asam oleat sebagai fase minyak, Tween 80 dan Tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai kosurfaktan dan dilakukan uji difusi untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap absorpsinya dan uji disolusi obat ketoprofen untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap kecepatan disolusinya.

3 3 B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh kombinasi surfaktan Tween 20 dan Tween 80 terhadap jumlah ketoprofen terdifusi dan kecepatan difusinya melalui membran usus pada formula SNEDDS ketoprofen secara in vitro? 2. Apakah formula SNEDDS ketoprofen optimum mampu meningkatkan kecepatan disolusi ketoprofen di cairan lambung buatan secara in vitro? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi surfaktan Tween 20 dan Tween 80 terhadap jumlah ketoprofen terdifusi dan kecepatan difusinya melalui membran usus pada formula SNEDDS ketoprofen secara in vitro. 2. Untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap kecepatan disolusi ketoprofen di cairan lambung buatan secara in vitro. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam formulasi ketoprofen yang dapat meningkatkan disolusi ketoprofen sehingga dapat membantu meningkatkan efektivitas penggunaan ketoprofen.

4 4 E. Tinjauan Pustaka 1. Ketoprofen Gambar 1. Struktus kimia ketoprofen Nama kimia ketoprofen adalah asam 2-(3-benzoilfenil) propionat dengan bobot molekul 254,3. Ketoprofen mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter, praktis tidak larut dalam air (Depkes., 1995). Ketoprofen memiliki permeabilitas yang tinggi, dapat terionisasi, namun memiliki kelarutan dalam air yang rendah (0,13 mg ml -1 pada 25 C), sehingga menjadi masalah pada formulasi, membatasi aplikasi terapeutik dan memperlama fase absorpsinya (Khaleel dkk., 2011; Costa dkk., 2006). Ketoprofen memiliki nilai log P sebesar 3,12 dan pka sebesar 4,45 pada suhu 25 o C. Kelarutan ketoprofen meningkat seiring dengan meningkatnya ph media (Shohin dkk., 2012). Nilai A 1% 1 cm untuk analisis secara spektrofotometri ketoprofen dalam larutan alkali pada panjang gelombang maksimum 262 nm adalah 647 sedangkan pada larutan asam pada panjang gelombang maksimum 260 nm adalah sebesar 665 (Moffat dkk., 2011). Dosis tunggal tertinggi yang dianjurkan untuk ketoprofen dalam bentuk sediaan oral padat immediate-release adalah 100 mg dan untuk bentuk sediaan extended-release 200 mg. Dosis maksimum tidak boleh melebihi 300 mg/hari. Kadar plasma tertinggi pada penggunaan peroral ketoprofen diperoleh setelah 1-2

5 5 jam penggunaan. Nilai bioavailabilitas absolut ketoprofen adalah 90% (Shohin dkk., 2011). Ketoprofen adalah NSAID setipe ibuprofen dengan sifat analgesik dan antipiretik. Ketoprofen digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dismenore, dan untuk mengurangi rasa sakit moderat. Ketoprofen memiliki efek farmakologis serupa dengan NSAID lainnya, dan ini dianggap berhubungan dengan penghambatan sintesis prostaglandin (Shohin dik., 2012). Prostaglandin memiliki peran penting dalam menjaga dan memperbaiki integritas mukosal gastrointestinal. Oleh karenanya, gangguan pada sintesis prostaglandin dapat mempengaruhi sistem pertahanan dan perbaikan mukosal. Ketoprofen merupakan obat asam lemah, dalam suasana asam di lambung akan tetap berada pada bentuk tak terionkan. Pada kondisi tersebut, ketoprofen akan berpindah melewati membran lipid dari sel epithelial, yang kemungkinan mengiritasi lambung saat obat dalam bentuk tak terionkan tersebut terjebak dalam sel (Halter dkk., 2001). 2. Self Nano Emulsfying Drug Delivery System (SNEDDS) Berbagai macam strategi telah diterapkan untuk mengatasi masalah obatobat dengan kelarutan yang rendah termasuk penggabungan obat yang sukar larut dalam air dengan minyak, dispersi surfaktan, emulsi, mikroemulsi, nanoemulsi, self emulsifying, self nanoemulsifying (SNEDDS) dan liposom. SNEDDS merupakan campuran isotropik yang mengkombinasikan minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang secara cepat dan mudah membentuk nanoemulsi minyak dalam air saat kontak dengan cairan dalam saluran cerna dan membentuk nanoemulsi dengan ukuran droplet nm (Suresh & Sharma, 2011).

6 6 SNEDDS mampu meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dan meningkatkan permeabilitas membrane karena adanya lipid dan surfaktan. Ukuran-ukuran globul yang kecil juga memperbesar luas permukaannya untuk pelepasan obat dan absorpsi. Selain itu, SNEDDS memiliki keuntungan lain yaitu stabilitas yang tinggi, efisiensi penjerapan obat 100%, dosis dan frekuensi dosis yang lebih kecil, dan potensi untuk memberikan perlindungan kepada obat terhadap degradasi dalam usus. SNEDDS lebih disukai dalam sistem nanoemulsi dalam air karena lebih stabil dan volume yang lebih kecil sehingga dimungkinkan untuk diisi dalam kapsul gelatin lunak maupun keras. SNEDDS juga mengandung konsentrasi surfaktan yang lebih kecil dibandingkan dengan SMEDDS, sehingga mengurangi risiko surfaktan yang menyebabkan iritasi lambung dan toksisitas (Gupta dkk., 2011). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam formulasi SNEDDS adalah sifat fisikokimia obat, minyak, surfaktan, ko-surfaktan, perbandingan masingmasing komponen, ph dan suhu. Komponen utama SNEDDS adalah: a. Minyak Fase minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS karena menentukan spontanitas emulsifikasi, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat. Biasanya minyak yang digunakan untuk SNEDDS merupakan minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal. Selain mampu melarutkan obat, minyak harus mampu menghasilkan ukuran tetesan yang kecil agar dapat terbentuk nanoemulsi (Wulandari, 2013). Minyak dengan banyak komponen rantai hidrokarbon seperti minyak nabati atau trigliserida rantai panjang susah teremulsi dibandingkan trigliserida rantai menengah, monogliserida rantai menengah atau

7 7 ester asam lemak (Anton & Vandamme, 2009). Salah satu minyak yang sering digunakan dalam formulasi SNEDDS adalah asam oleat. Gambar 2. Struktur kimia asam oleat Secara struktur kimia, asam oleat (gambar 2) memiliki rumus struktur CH3(CH2)7CHCH(CH2)7COOH. Asam oleat larut dalam benzen, kloroform, dan etanol, praktis tidak larut dalam air. Asam oleat merupakan golongan asam lemak yang berfungsi sebagai agen pengemulsi, penetration enhancer untuk membantu meningkatkan absorpsi untuk obat-obat yang sukar larut dalam air, dan dapat digunakan sebagai pembawa dalam kapsul gelatin lunak. Asam oleat memiliki berat molekul 282,47 dan viskositas 26 mpa. (Rowe dkk., 2009) b. Surfaktan Konsentrasi surfaktan berperan dalam pembentukkan tetesan berukuran nanometer (Dixit & Nagarsenker, 2008). Surfaktan nonionik lebih sering digunakan daripada surfaktan ionik mengingat sifatnya yang kurang terpengaruh oleh ph, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan melalui rute oral (Patel dkk., 2011). Secara umum, surfaktan untuk SNEDDS harus sangat hidrofilik dengan HLB berkisar antara Struktur rantai alkil surfaktan memiliki efek dalam penetrasi minyak ke lapisan surfaktan yang memungkinkan pembentukkan nanoemulsi (Rao & Shao, 2008). Surfaktan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kombinasi Tween 80 dan Tween 20.

8 8 HO O y O z O R HO O x O O O HO w w + x + y + z = 20; R = C 17 H 33 Gambar 3. Struktur kimia Tween 80 Nama kimia dari Tween 80 (gambar 3) adalah polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat dan memiliki rumus molekul C64H124O26. Berat molekulnya sebesar Tween 80 memiliki nilai HLB 15,0 yang sesuai untuk sediaan SNEDDS. Tween 80 dapat larut di dalam etanol dan air. Memiliki nilai tegangan permukaan 42,5 mn/m dan viskositas 425 mpa (Rowe dkk., 2009). Gambar 4. Struktur kimia Tween 20 Tween 20 (gambar 4) memiliki nama kimia polyoxyethylene 20 sorbitan monolaurat dengan rumus kimia C58H114O26 dan bobot molekul Tween 20 larut di air dan di etanol, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur, berwarna kuning dan berupa cairan berminyak pada suhu 25 o C. Tween 20 memiliki nilai HLB 16,7 dan viskositas 400 mpa (Rowe dkk., 2009). Tween 20 dan Tween 80 digunakan sebagai agen pendispersi, agen pengelmusi, surfaktan nonionik, pelarut, agen pensuspensi, dan pembasah. Tween

9 9 merupakan surfaktan nonionik hidrofilik yang secara luas digunakan sebagai emulgator dalam sediaan farmasetik emulsi minyak dalam air. Tween stabil dalam elektrolit serta asam dan basa lemah. Tween 20 dan Tween 80 dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and nonirritant (Rowe dkk., 2009). Tween 80 dan Tween 20 diketahui mampu meningkatkan absorpsi mukosal dan serosal obat pada usus tikus (Lo, 2003). c. Ko-surfaktan. Ko-surfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan pada nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan merupakan senyawa ampifilik yang memiliki afinitas terhadap fase air dan minyak. Ko-surfaktan yang dipakai dalam penelitian ini adalah propilen glikol (gambar 5). Gambar 5. Struktur kimia propilen glikol Propilen glikol memiliki nama kimia 1,2-propanediol dengan struktur kimia C3H8O2 dan bobot molekul 76,09. Biasanya berfungsi sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, humectant, plasticizer, pelarut, penstabil, dan kosolven larut air (Rowe dkk., 2009). Penggunaan propilen glikol bersama-sama dengan asam oleat diketahui dapat membantu dalam mempertinggi laju penetrasi bermacam-macam senyawa (Barry, 1988).

10 10 3. Difusi Membran Proses absorpsi menentukan efek sistemik suatu obat yang diberikan per oral. Absorpsi dapat terjadi dengan berbagai mekanisme yaitu, difusi pasif, transpor aktif, difusi terfasilitasi dan pinositosis. Absorpsi obat secara difusi pasif terjadi pada seluruh bagian saluran cerna termasuk gastrointestinal. Sebagian besar obat setelah pemberian peroral mengalami absorpsi optimum pada bagian usus halus (Shargel & Yu, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dan tingkat absorpsi usus antara lain sifat fisika kimia obat seperti kelarutan, ukuran molekul, pka kemampuan agregasi, luas permukaan, dan hidrofobisitas; faktor fisiologis seperti ph dan motilitas usus, aliran darah, dan permeabilitas; faktor formulasi berupa bentuk sediaan, pelepasan obat, dan pengaruh enhancer; dan faktor biokimia. Dinding usus halus adalah bentuk penghalang utama yang mengontrol masuknya nutrisi dan senyawa asing (misalnya obat) ke dalam darah (Deferme dkk., 2008). Usus halus merupakan tempat absorpsi yang paling penting dari sistem pencernaan, terutama bila ditinjau dari luas permukaannya. Permukaan epitel usus halus lebih luas karena adanya mikrovili, makrovili dan lipatan submukosa (Shargel & Yu, 1999). Permukaan usus halus merupakan satu lapisan yang terdiri dari sel epitel kolumnar dan juga mengandung sel-sel yang memproduksi mucus, limfosit dan sel microfold. Keberadaan tight junctions pada usus halus menyebabkan ruang interseluler berkurang menjadi 0,8 nm (pada jejunum) dan 0,3 nm (pada kolon), sehingga hanya molekul kecil, hidrofilik, dan polar yang bisa melewati epitel monolayer usus melalui jalur paraseluler. Namun jalur paraseluler umumnya menghasilkan penyerapan yang rendah karena ruang yang diberikan terbatas,

11 11 sedangkan untuk obat yang lebih mudah larut dalam lemak (lipofilik), molekul berukuran besar, dan molekul bermuatan tinggi akan lebih mudah melewati membran sel dengan menyeberangi epitel monolayer melalui jalur transelular secara pasif (Deferme dkk., 2008). 4. Uji In vitro Side by Side diffusion (Ussing Chamber) Studi permeabilitas in vitro merupakan pendekatan yang relevan untuk mengevaluasi efek peningkatan absorpsi. Keunggulan metode in vitro dibandingkan metode in vivo antara lain pengujian yang lebih cepat, penggunaan hewan uji lebih sedikit dan prosedur analisis yang lebih sederhana (Bravo-Osuna dkk., 2007). Salah satu metode yang digunakan dalam uji in vitro yaitu metode side by side diffusion. Ussing chamber banyak digunakan untuk mempelajari transpor ion melewati berbagai tipe membran. Uji difusi melewati membran mempresentasikan kemampuan obat berpindah oleh adanya gradien konsentrasi (Sari, 2012). Skema transpor obat menggunakan Ussing chamber tipe horizontal terlihat pada gambar 6. Gambar 6. Skema kerja Ussing chamber tipe horizontal (dimodifikasi dari Sari, 2012) Tipe membran yang digunakan pada uji difusi yaitu membran usus tikus. Kompartemen pada Ussing chamber tipe horizontal yang terbagi menjadi 2 yaitu

12 12 kompartemen mukosal (donor) dan kompartemen serosal (akseptor) dengan membran usus tikus yang terisolasi terletak diantaranya. Usus tikus dapat bertahan selam 6 jam dengan kecepatan aliran gas O2 100 gelembung permenit. Pengujian terhadap daya absorpsi obat dengan isolasi usus tikus adalah sebagai studi pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi level first pass metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus. Keunggulan dan keterbatasan uji difusi dengan menggunakan metode side by side (Ussing chamber) disampaikan pada tabel I (Deferme dkk., 2008). Tabel I. Keunggulan dan keterbatasan metode side by side diffusion Keunggulan Model skrining yang baik Korelasi yang baik dengan data permeabilitas in vivo Memungkinkan untuk mengevaluasi semua saluran GI Mengevaluasi mekanisme transpor Mengevaluasi enhancer Menggambarkan daerah serap dengan baik Proses oksigenasi yang baik 5. Kuantifikasi Hasil Difusi Keterbatasan Viabilitas jaringan Ketersediaan jaringan (manusia) Terdapat lapisan otot melingkar Kesulitan pada proses pengadukan Untuk obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif peranan membran usus dalam transfer obat hanya sebagai membran difusi. Tenaga pendorong pada difusi pasif yaitu perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum Fick I, molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Shargel & Yu, 1999). J = dm S.dt (1)

13 13 J atau fluks menggambarkan jumlah obat tiap satu satuan luas, tiap satu satuan waktu. Besarnya fluks berbanding lurus dengan gradien kadar dc/dx dan koefisien difusi obat dalam membran, D. J = -D dc dx (2) Tanda negatif pada persamaan 2 menggambarkan bahwa proses difusi berlangsung dari kompartemen dengan kadar obat yang tinggi ke rendah. Dua persamaan di atas dapat digabung menjadi sebuah persamaan baru, yaitu: dm S.dt = D dc dx (3) Jika dc = C2 C1 dan dx = h, maka: J = dm (C2-C1) = D S.dt h (4) Besarnya C1 dan C2 tidak dapat dihitung secara langsung, karena merupakan kadar obat yang ada di dalam membran. Namun demikian, besarnya C1 dan C2 dapat diperhitungkan dari besarnya Cd (kadar obat dalam donor) dan Ca (kadar obat dalam akseptor). C1 = Cd x K (5) C2 = Ca x K (6) Jika persamaan tersebut disubstitusikan ke persamaan (4), dengan K adalah koefisien partisi, maka diperoleh persamaan: J = dm K (Ca-Cd) = D S.dt h (7) Proses difusi dalam tubuh ke saluran sistemik selalu dalam kondisi sink dimana kadar obat dalam akseptor (pembuluh darah) selalu jauh lebih kecil

14 14 dibanding kadar obat dalam donor (Ca < 0,1 Cd), sehingga Ca dapat diabaikan (Ca = 0). Jika permeabilitas, P = DK/h, maka: J = dm S.dt = P.Cd dm = (P.Cd.S) dt (8) Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi dari M0 ke Mt untuk dm dan dari tlag ke t untuk dt dengan M0 = 0. Mt = (P.Cd.S)(t - tlag) (9) Diperoleh sebuah persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan jumlah obat yang tertranspor (Mt) dengan slope (P.Cd.S) dan intersep (tlag.p.cd.s). Persamaan ini mengasumsikan bahwa kadar di dalam kompartemen donor (Cd) konstan dan tanpa memperhitungkan volume kompartemen donor (Vd). Jika asumsi Cd konstan ditolak, dapat menggunakan persamaan jumlah obat sama dengan kadar dikalikan volume, maka: J = dm S.dt = P.Cd J= Vd.dCd =P.Cd 1 S.dt Cd P.S dcd = ( ) dt (10) Vd Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi dari t0 sampai t baik untuk dcd maupun dt dengan t0 = 0. ln Cd(t) - ln Cd(0) = ( P.S Vd ) t (11) Didapatkan persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan logaritma natural kadar obat di dalam kompartemen donor (ln Cd(t)) dengan slope (P.S/Vd) dan intersep ln Cd(0) (Wahyudi, 2013). 6. Disolusi dan Kinetika Disolusi Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Uji disolusi in vitro memberikan hubungan yang erat

15 15 antara kontrol kualitas dan jaminan kualitas produk yaitu dengan menilai perubahan yang terjadi pada bagian produksi, proses manufaktur atau formulasi dalam hubungannya dengan bioavailabilitas. Selain itu, juga dapat untuk mengetahui karakteristik biofarmasetikanya. Uji disolusi in vitro dalam bidang pengembangan obat bertujuan untuk mengevaluasi formulasi terbaik untuk menjamin kualitas produk dan juga untuk memahami risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan perjalanan obat melewati saluran pencernaan yang spesifik. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam melakukan uji disolusi secara in vitro antara lain ukuran dan bentuk wadah, jumlah dan sifat pengadukan, suhu, medium disolusi, serta macam dan tipe alat yang digunakan. USP apparatus tipe II (paddle) merupakan alat uji disolusi yang ditetapkan dalam USP sebagai alat uji disolusi tablet atau kapsul. Metode paddle terdiri dari suatu alat dayung dilapisi khusus yang berfungsi untuk memperkecil turbulensi yang disebabkan pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan kecepatan yang terkendali. Kapsul diletakkan dalam labu disolusi dan beralas bulat untuk memperkecil turbulensi. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan (Shargel & Yu, 1999). Interpretasi kuantitatif dari hasil yang diperoleh dari uji disolusi dengan penggunaan persamaan matematis dapat dengan mudah menjelaskan parameter pelepasan obat dari sediaan. Persamaan yang umum digunakan yaitu kinetika orde nol dan orde satu (Costa & Lobo, 2001). Pada kinetika orde nol, pelepasan obat dari sediaan terjadi secara perlahan. Persamaan yang menjelaskan kinetika orde nol secara fraksional sebagai berikut:

16 16 Ft = K 0 t (12) Ft merupakan fraksi obat yang dilarutkan dalam waktu t dan Ko konstante disolusi orde nol, dan persamaan berikut menjelaskan kinetika orde nol: Q t = Q 0 + K 0 t (13) Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah obat awal, dan K0 adalah konstante disolusi orde nol. Grafik fraksi disolusi obat berbentuk linear terhadap waktu jika kondisi yang ditetapkan telah terpenuhi. Kinetika orde nol ini dapat digunakan untuk menggambarkan disolusi obat pada beberapa jenis sediaan termodifikasi seperti transdermal, tablet matriks dengan obat kelarutan rendah, bentuk salut, sistem osmosis dan lain-lain. Sediaan tersebut melepaskan obat dengan jumlah yang sama tiap unit waktu dan metode ini ideal untuk menggambarkan efek farmakologis obat yang diperpanjang (Costa & Lobo, 2001). Kinetika orde satu dapat digunakan untuk menggambarkan proses absorpsi dan eliminasi beberapa obat, meskipun sulit untuk membuat konsep mekanisme ini secara teoritis, dengan cara ini grafik logaritma desimal dari jumlah obat terdisolusi terhadap waktu akan linear. Kinetika orde satu, disolusi obat sebanding dengan jumlah obat yang tersisa pada sediaan. Dengan kata lain, jumlah obat yang terdisolusi per satuan waktu semakin berkurang. Kinetika orde satu dapat digambarkan dengan persamaan berikut (Costa & Lobo, 2001): logq t = logq 0 + K 0t 2,303 (14) Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah obat awal, dan K1 adalah konstante disolusi orde satu.

17 17 Parameter lain yang dapat menerangkan profil disolusi yaitu dissolution efficiency (DE) atau metode Khan yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Costa & Lobo, 2001): DE = t 0 y dt y 100 t x 100% (15) dengan y adalah % obat terlarut pada waktu t Dissolution efficiency (DE) merupakan salah satu cara untuk menganalisis hasil disolusi. DE merupakan parameter paling sesuai dalam uji disolusi secara invitro karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode linearisasi kecepatan disolusi diantaranya memberikan gambaran pelepasan obat dari waktu ke waktu sehingga menggambarkan seluruh proses pelepasan serta dapat menggambarkan hubungan antara in vitro dan in vivo yakni menggambarkan efektivitas absorpsi obat di tubuh (Arimurni, 2013). Dissolution efficiency dari sediaan farmasetis didefinisikan sebagai area under the dissolution curve hingga waktu tertentu (t) (Costa & Lobo, 2001). Perhitungan luas di bawah kurva dilakukan dengan metode trapezoid. Beberapa peneliti menyarankan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100 % zat terlarut. Salah satu cara menentukan kinetika orde disolusi adalah dengan membandingkan parameter orde tersebut. Beberapa program komputer dapat dengan mudah menganalisis kinetika orde disolusi seperti DDsolver, yang merupakan program add-in yang dapat ditambahkan dalam piranti lunak Microsoft Excel yang digunakan untuk modeling dan perbandingan data disolusi obat. Program ini mampu menilai kesamaan antara profil disolusi dengan pendekatan model-dependent seperti model orde nol dan model orde satu. DDSolver

18 18 menyertakan data statistik untuk evaluasi goodness of fit dari model, termasuk diantaranya adjusted coefficient of determination (R 2 adjusted) dan Akaike Information Criterion (AIC) dengan persamaan sebagai berikut (Zhang dkk., 2010). R 2 adjusted = 1 n 1 n p (1 R2 ) (16) dimana n adalah jumlah data, p adalah jumlah parameter dalam model. AIC = n ln(wss) + 2 p (17) dimana n adalah jumlah data, WSS adalah weighted sum of square dan p adalah jumlah parameter dalam model. AIC dan R 2 adjusted digunakan untuk memilih model mana yang paling sesuai. Ketika membandingkan dua model dengan jumlah parameter yang berbeda, model dengan nilai AIC yang lebih rendah dapat dianggap sebagai model yang lebih baik sementara model dengan R 2 adjusted yang lebih tinggi dianggap sebagai model yang lebih baik (Zhang dkk., 2010). 7. Simplex Lattice Design Pada berbagai penelitian, perubahan satu atau lebih variabel proses dalam pengamatan efek dapat merubah variabel respon. Desain penelitian bertujuan untuk meningkatkan efisiensi prosedur dalam rencana penelitian yang berisi data yang dapat dianalisis, sehingga diperoleh hasil yang valid dan kesimpulan yang objektif. Beberapa keuntungan ketika mengggunakan desain penelitian antara lain seperti, penafsiran faktor dan interaksi lebih efektif, dapat memprediksi efek yang diinginkan ketika tidak terjadi interaksi sehingga memberikan efisiensi yang maksimal, namun jika ada interaksi maka perlu untuk mengungkapkan dan mengidentifikasi interaksi tersebut (Patel dkk., 2010).

19 19 Metode simplex lattice design (SLD) adalah cara optimasi formula pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan. Jumlah total nilai fraksi masingmasing komponen adalah satu. Pengukuran respon dapat dihubungkan dengan model matematika yang cocok untuk masing-masing desain. Ada beberapa model yaitu model linear, quadratic dan special cubic (Bolton, 1997). a. Linear model y = β1x1+ β2x2+ β3x3 (18) b. Quadratic model y = β1x1+ β2x2+ β3x3+ β12x1x2+ β13x1x3+ β23x2x3 (19) c. Special cubic y = β1x1+β2x2+β3x3+β12x1x2+β13x1x3+β23x2x3+β123 X1X2X3 (20) Y = respon X 1, X 2, X 3 = fraksi dari tiap komponen b 1, b 2, b 3 = koefisien interaksi dari X 1, X 2, X 3 b 12, b 13, b 23 = koefisien interaksi dari X 1-X 2, X 1-X 3, X 2-X 3 b 123 = koefisien interaksi dari X 1-X 2-X 3 Desain dan interpretasi multi faktor eksperimen kombinasi proporsi dengan metode simplex lattice desain (SLD) dapat menggunakan bantuan piranti lunak yakni Design Expert versi Piranti lunak ini menawarkan berbagai macam desain diantaranya faktorial, faktorial fraksional, dan desain gabungan. Piranti lunak ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu, 1) dapat digunakan untuk kedua variabel proses dan variabel campuran, 2) menghasilkan desain optimal untuk desain standar yang tidak applicable dan dapat meningkatkan desain yang sudah ada (Buxton, 2007).

20 20 8. WinSAAM Pada Metode pendekatan berbasis kompartemen memandang transpor obat melalui membran usus sebagai serangkaian proses perpindahan obat dari fase donor (kondisi in vitro) menuju membran usus, selanjutnya obat dari membran mengalami perpindahan menuju fase akseptor (kondisi in vitro) atau ke dalam darah (kondisi in vivo). Untuk memudahkan penggambaran proses transpor obat dalam sistem kompartemen, dapat digunakan piranti lunak WinSAAM (Maharini, 2013). WinSAAM merupakan pemodelan sistem biologi yang berbasis Windows dengan menggunakan model matematis. Keunggulan WinSAAM antara lain mudah dioperasikan, untuk sistem linear dan nonlinear dikerjakan dengan perintah umum, fitting data dilakukan secara otomatis tanpa perlu menerjemahkan model konstruksi, secara otomatis menentukan parameter linier atau nonlinier sesuai model konstruksi, fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet memungkinkan output hasil pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke Excel atau sistem spreadsheet lainnya (Linares dkk., 2010). F. Landasan Teori Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi golongan non-steroidal yang biasa digunakan untuk pengobatan osteoartritis dan rematoid artritis. Meskipun ketoprofen memiliki permeabilitas yang baik namun memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air sehingga hal ini dapat menjadi masalah pada efektivitas terapinya. Untuk itu sebagai alternatif mengatasi permasalahan tersebut, ketoprofen diformulasi menjadi bentuk SNEDDS.

21 21 SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukkan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka, dan ko-surfaktan untuk membantu surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS secara cepat membentuk nanoemulsi dalam cairan gastro intestinal. Nanoemulsi yang dihasilkan memiliki droplet berukuran nm, sehingga dapat membantu meningkatkan disolusi ketoprofen, dan meningkatkan efektivitas absorpsi ketoprofen. Minyak dalam SNEDDS digunakan sebagai pembawa obat. Asam oleat adalah minyak yang paling sering digunakan. Asam oleat dalam sediaan obat dapat membantu meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air. Tween 80 dan Tween 20 sering digunakan sebagai surfaktan untuk preparasi sediaan emulsi minyak dalam air serta stabil dalam asam maupun basa lemah. Tween 80 dan Tween 20 juga memiliki kemampuan meningkatkan permeabilitas membran. Kosurfaktan yang digunakan yaitu propilen gikol untuk membantu kerja surfaktan. Selain itu, kombinasi propilen glikol dan asam oleat diketahui mampu meningkatkan absorpsi berbagai senyawa obat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan optimasi terhadap Tween 20 dan Tween 80 untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan difusi serta disolusi ketoprofen secara in vitro. G. Hipotesis 1. Penggunaan kombinasi asam oleat, Tween 80, Tween 20 dan propilen glikol pada SNEDDS ketoprofen dapat meningkatkan jumlah dan kecepatan difusi ketoprofen melalui membran usus secara in vitro.

22 22 2. Formulasi ketoprofen menjadi bentuk SNEDDS pada SNEDDS ketoprofen optimum dapat meningkatkan disolusi ketoprofen dalam cairan lambung buatan secara in vitro.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi kelompok non-steroid yang poten.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi kelompok non-steroid yang poten. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi kelompok non-steroid yang poten. Ketoprofen secara luas digunakan untuk pengobatan akut dan jangka panjang rheumatoid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi kelompok nonstreoidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat antiinflamasi, NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs), memiliki mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) sehingga tidak terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonstreoidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis karena lebih efektif dibandingkan dengan aspirin, indometasin,

Lebih terperinci

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin Kurkumin merupakan senyawa polifenol yang diekstrak dari rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.). Kurkumin dilaporkan memiliki efek farmakologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) terdiri dari minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam pengembangan formulasi obat dan kontrol kualitas. Hal ini tidak hanya dapat digunakan sebagai alat utama

Lebih terperinci

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat. I. Pembahasan Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat merupakan obat antiinflamasi non steroid yang digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis,

Lebih terperinci

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Contoh difusi : a. Difusi gas b. Difusi air Hukum I Ficks : Q = - D dc/dx Ket : D Q dc/dx = Koofisien

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonsteroidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pterostilben (3,5-dimetoksi-4 -hidroksistilben) adalah komponen stilben yang secara alami terdapat dalam buah blueberries, kulit buah berbagai varietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN Hingga saat ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam meningkatkan mutu suatu obat. Tablet adalah sediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketoprofen (asam 2-(3-benzoilfenil) propanoat) merupakan obat anti inflamasi NSAID (Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs) golongan propanoat yang biasa digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. iridoid, lignan, dan polisakarida (Chan-Blan-co et al., 2006). Senyawa flavon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. iridoid, lignan, dan polisakarida (Chan-Blan-co et al., 2006). Senyawa flavon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengkudu banyak dimanfaatkan sebagai agen hipotensif, antibakteri, antituberkulosis, antiinflamasi, dan antioksidan. Mengkudu mengandung berbagai komponen antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat OAINS dari turunan asam propionat yang memiliki khasiat sebagai antipiretik, antiinflamasi dan analgesik pada terapi rheumatoid arthritis

Lebih terperinci

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi BAB 1 PENDAHULUAN Sampai saat ini, sediaan farmasi yang paling banyak digunakan adalah sediaan tablet, yang merupakan sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkular,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat dengan memperpanjang waktu tinggal di lambung memiliki beberapa keuntungan, diantaranya untuk obat-obat yang memiliki absorpsi rendah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan senyawa obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik, analgetik, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Mengapung Verapamil HCl Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih lima formula untuk dibandingkan kualitasnya, seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam BAB 1 PENDAHULUAN Klorfeniramin maleat merupakan obat antihistamin H 1 Reseptor yang dapat menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos, serta bekerja dengan mengobati

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi jernih yang terbentuk dari fasa lipofilik, surfaktan, kosurfaktan dan air. Dispersi mikroemulsi ke dalam air bersuhu rendah akan menyebabkan

Lebih terperinci

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terutama dalam bidang industri farmasi memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan berbagai macam sediaan obat. Dengan didukung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA DESKRIPSI MATA KULIAH Bab ini menguraikan secara singkat tentang ilmu farmakokinetik dasar yang meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan perkembangan dunia dewasa ini, industri farmasi mengalami kemajuan yang pesat.

Lebih terperinci

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu BAB 1 PENDAHULUAN Terbutalin sulfat merupakan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit asma bronkial. Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan peradangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di masyarakat kita, banyak ditemukan penyakit kelainan muskuloskeletal

Lebih terperinci

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Al Syahril Samsi, S.Farm., M.Si., Apt 1 Faktor yang Mempengaruhi Liberation (Pelepasan), disolution (Pelarutan) dan absorbtion(absorbsi/difusi)lda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi non steroid derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme ibuprofen adalah menghambat isoenzim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi nonsteroidal turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas kerja menghambat enzim siklooksigenase

Lebih terperinci

menyebabkan timbulnya faktor lupa meminum obat yang akhirnya dapat menyebabkan kegagalan dalam efektivitas pengobatan. Permasalahan ini dapat diatasi

menyebabkan timbulnya faktor lupa meminum obat yang akhirnya dapat menyebabkan kegagalan dalam efektivitas pengobatan. Permasalahan ini dapat diatasi BAB 1 PENDAHULUAN Pada saat ini, semakin banyak manusia yang terkena penyakit reumatik, baik orang dewasa maupun anak muda. Upaya manusia untuk mengatasi hal tersebut dengan cara farmakoterapi, fisioterapi

Lebih terperinci

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini, rasa sakit karena nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya baik dengan upaya farmakoterapi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. diambil akarnya dan kebanyakan hanya dibudidayakan di Pegunungan Dieng

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. diambil akarnya dan kebanyakan hanya dibudidayakan di Pegunungan Dieng BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Purwoceng merupakan tumbuhan yang sudah banyak dikenal masyarakat karena dipercaya memiliki khasiat sebagai afrodisiak. Purwoceng termasuk ke dalam kategori tumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka digilib.uns.ac.id 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Salam (Syzygium polyanthum (Wight)Walp.) a. Klasifikasi dan deskripsi salam Klasifikasi tumbuhan salam menurut Van Steenis (2003) adalah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN ARTI SINGKATAN. RINGKASAN... ABSTRACT... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Penelitian.. B. Perumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Hasil Evaluasi Sediaan a. Hasil pengamatan organoleptis Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan krim berwarna putih dan berbau khas, gel tidak berwarna atau transparan

Lebih terperinci

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. BAB 1 PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab salah satu gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya

Lebih terperinci

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, penyakit saluran cerna merupakan penyakit yang sangat sering dialami oleh banyak orang karena aktivitas dan rutinitas masingmasing orang, yang membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara berurutan dan bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jinten hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan sebagai antihipertensi,

Lebih terperinci

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan obat-obatan, menyebabkan perlunya pengembangan obat baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam peningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, terutama di bidang

Lebih terperinci

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu, BAB 1 PENDAHULUAN Dalam sistem penghantaran suatu obat di dalam tubuh, salah satu faktor yang penting adalah bentuk sediaan. Penggunaan suatu bentuk sediaan bertujuan untuk mengoptimalkan penyampaian obat

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI 1 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika Unsoed @Dhadhang_WK 10/ 3/2012 Faktor sifat fisiko-kimia zat aktif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang disintesis oleh tanaman, alga, dan bakteri fotosintesis sebagai sumber warna kuning, oranye, dan merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di bidang farmasi begitu pesat, termasuk pengembangan berbagai

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa

Lebih terperinci

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL Cl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90S : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: INDA LUTFATUL AMALIYA K 100040058 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUAMMADIYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Rosmawati, 2016), Penentuan formula tablet floating propranolol HCl menggunakan metode simple lattice design

Lebih terperinci

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum BAB 1 PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, teknologi farmasi telah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai metode baru dalam industri farmasi yang memiliki tujuan akhir untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril merupakan golongan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor yang banyak digunakan sebagai pilihan untuk pengobatan gagal jantung dan hipertensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi dalam bidang kefarmasian saat ini telah cukup maju atau dapat dikatakan mengalami modernisasi. Hal ini berkenaan dengan derajat kualitas obat

Lebih terperinci

parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan obat-obatan, menyebabkan perlunya pengembangan obat baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi kelainan musculoskeletal, seperti artritis rheumatoid, yang umumnya hanya meringankan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Obat anti-inflamasi non steroid (AINS) banyak dimanfaatkan pada pengobatan kelainan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C 29 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap bahan baku vitamin C meliputi pemerian, kelarutan, identifikasi dan penetapan kadar. Uji kelarutan dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2 PLA hasil sintesis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2 PLA hasil sintesis 3 ke dalam 50 ml bufer fosfat ph 7.2. Campuran tersebut disaring dan filtratnya diencerkan sebanyak 10 kali. Setelah itu, filtrat dibaca absorbansnya dengan spektrofotometer UV/Vis pada panjang gelombang

Lebih terperinci

Difusi dan disolusi. Arif budiman

Difusi dan disolusi. Arif budiman Difusi dan disolusi Arif budiman PERTUKARAN GAS DI ALVEOLI Termasuk difusi pasif Subtansi bergerak karena adanya gradien konsentrasi menuju konsentrasi yang lebih rendah. O berpindah dari alveoli (konsentrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk yang memiliki gaya hidup beragam dan cenderung kurang memperhatikan pola makan dan aktivitas yang sehat. Akibatnya,

Lebih terperinci

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dunia farmasi saat ini berkembang dengan pesatnya yang memberikan dampak berkembangnya metode dalam meningkatkan mutu suatu obat. Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran

Lebih terperinci

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009). BAB 1 PENDAHULUAN Tablet merupakan bentuk sediaan yang paling popular di masyarakat karena bentuk sediaan tablet memiliki banyak keuntungan, misalnya: massa tablet dapat dibuat dengan menggunakan mesin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pendahuluan Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pelarut lain yang digunakan adalah etanol dan minyak. Selain digunakan secara oral, larutan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. Obat ini dapat menyebabkan masalah gastrointestinal

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: RARAS RUSMININGSIH K 100 040 059 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang farmasi semakin pesat, khususnya dalam pengembangan berbagai macam rancangan sediaan obat. Rancangan sediaan obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vitamin C telah digunakan dalam kosmesetika berupa produk dermatologis karena telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan pada kulit, antara lain sebagai pemutih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 4.1.1 Pemeriksaan bahan baku Hasil pemeriksan bahan baku ibuprofen, Xanthan Gum,Na CMC, sesuai dengan

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril adalah senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) yang banyak digunakan untuk pasien yang mengalami gagal jantung

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Penelitian ini diawali dengan pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan bahan baku yang akan digunakan dalam formulasi mikroemulsi ini dimaksudkan untuk standardisasi agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang berasal dari bahan alam. Tanaman merupakan salah satu sumber obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang berasal dari bahan alam. Tanaman merupakan salah satu sumber obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar masyarakat Indonesia telah lama menggunakan obat herbal yang berasal dari bahan alam. Tanaman merupakan salah satu sumber obat-obatan herbal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. per oral sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya berkorelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. per oral sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya berkorelasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemberian obat dengan cara per oral adalah rute yang paling umum dan nyaman digunakan oleh pasien. Namun demikian, ketersediaan hayati obat secara per oral

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Hasil Formulasi Nanopartikel Polimer PLGA Sebagai Pembawa Deksametason Natrium Fosfat.

Gambar 4.1 Hasil Formulasi Nanopartikel Polimer PLGA Sebagai Pembawa Deksametason Natrium Fosfat. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organoleptis Nanopartikel Polimer PLGA Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati warna, bau, dan bentuk nanopartikel PLGA pembawa deksametason natrium fosfat. Uji organoleptis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dapat diberikan melalui kulit untuk mendapatkan efek pada tempat pemakaian, jaringan di dekat tempat pemakaian, ataupun efek sistemik. Meskipun terdapat banyak

Lebih terperinci

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan dalam meningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, utamanya di bidang sediaan

Lebih terperinci

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, sintesis obat dengan tingkat kelarutan rendah terus meningkat. Beberapa obat yang kelarutannya rendah seperti ibuprofen, piroxicam, carbamazepine, furosemid

Lebih terperinci