KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT DEDI HUTAPEA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT DEDI HUTAPEA"

Transkripsi

1 KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT DEDI HUTAPEA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Dedi Hutapea NRP A

3 ABSTRACT DEDI HUTAPEA. Study on the impact of climate variability on rice pest distribution and status shift in the Northern Coast of West Java. Supervised by ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI and I WAYAN WINASA. Every degree of earth temperature increasing will cause the life cycle of most insect pests to be speeded up. This equates to shorter time from egg hatching to full grown adult, thus creating larger pest populations. In the end, this will affect the distribution pattern and magnitude of pest invasion in the field. Brown plant hopper (BPH) and rice stem borer (RSB) are the two main types of rice pest that always gets attention from farmers due to the high damage caused by both pests. This study was aimed to analyze the impacts of climate variability on the distribution and pest status shifts of rice pests. An index of pest infestation was calculated to assest the status shift of a pest and a multiple regression technique was used to investigated the effect of climate variables on the magnitude of the pests (BPH and RSB) infestation. There was an increasing in earth temperature but a decreasing in precipitation in three districts of the Northern Coast of West Java during the period of Contrary to the above two variables, the relative humidity was indicating a stable fluctuation over the period. Not all of the studied pests (Rats, BPH, RSB, and Leaffolder) indicated shifts in their status but only Rats and BPH did as the climate changed. Among the three climate variables, only the minimum temperature had a consistent effect on the infestation area of BPH and RSB. The infestation areas of BPH and RSB were increasing as the minimum temperature increased. The relative humidity had a similar but less consistent effect as the temperature effect on the pests infestation areas. The effect of precipitation on the pests infestation areas was not appearing to be significant in this study. Key words: climate variability, brown plant hopper, rice stem borer, pest distribution, rice pest status shifts.

4 RINGKASAN DEDI HUTAPEA. Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat. Dibimbing oleh ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI, dan I WAYAN WINASA. Perubahan nilai varian dari unsur-unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu merupakan salah satu fenomena terjadinya keragaman iklim. Perubahan tersebut dapat berupa kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat (WBC) dan penggerek batang padi (PBP) di Pantai Utara Jawa Barat. Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: 1) survei petani tentang tingkat serangan OPT padi, dan 2) pengumpulan data sekunder tentang luas serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban udara). Survei petani dilaksanakan di tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban udara selama periode dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim hujan/mh dan musim kemarau/mk). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan MK meliputi bulan April- September. Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks serangan (IS) per periode ( , , dan 2010) terhadap data tingkat serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. Nilai indeks serangan hama: 0 < IS h 3, mempunyai arti bahwa jika nilai IS h mendekati angka 0 maka status serangan hama adalah minor, sedangkan jika nilai IS h mendekati angka 3 maka status serangan hama adalah mayor. Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), Y, dengan peubah iklim, X, dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, Z, dimodelkan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Koefisien-koefisien dalam model diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan analisis ragam. Rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) selama periode mengalami peningkatan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim hujan meningkat sebesar 3.4 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 4.2 o C. Suhu maksimum pada musim hujan meningkat sebesar 2.5 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 2.6 o C. Suhu rata-rata pada musim hujan meningkat sebesar 3.3 o C sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 3.7 o C. Sebaliknya, rata-rata curah hujan bulanan selama periode dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Sementara itu,

5 tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Distribusi serangan hama WBC dan PBP pada setiap musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten. Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam berikutnya meningkat. Pada kondisi iklim normal, kejadian serangan WBC dan PBP umumnya lebih tinggi pada musim hujan. Sebaliknya pada kondisi iklim ektrim (La Nina), luas serangan WBC dan PBP lebih tinggi pada musim kemarau. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor sedangkan status serangan PBP mengalami penurunan. Status serangan tikus berfluktuasi sedangkan status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor. Dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model, hanya peubah suhu minimum dan kerentanan varietas yang menunjukkan pengaruh nyata dan konsisten. Kedua peubah ini memiliki korelasi positif terhadap luas serangan WBC dan PBP yang ditunjukkan dengan tanda positif pada nilai koefisiennya. Kelembaban udara yang relatif stabil berpengaruh nyata hanya pada musim hujan pada serangan WBC dan musim kemarau pada serangan PBP. Curah hujan belum terlihat pengaruhnya terhadap luas serangan WBC dan PBP. Kata kunci: Keragaman iklim, wereng batang cokelat, penggerek batang padi, distribusi hama, perubahan status hama.

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT DEDI HUTAPEA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Proteksi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr

9 Judul Tesis Nama Mahasiswa NRP : Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat : Dedi Hutapea : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si Ketua Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S Anggota Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S Anggota Diketahui Koordinator Mayor Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 12 Agustus 2011 Tanggal lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, kasih dan karunia-nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian ini dibiayai oleh I-MHERE B2C IPB Nomor : 11/ /SPP/I-MHERE/2010 Tanggal : 4 Januari 2010 dari komisi pembimbing. Keberhasilan yang penulis peroleh tidak terlepas dari bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan rasa hormat kepada Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif sejak penyusunan proposal sampai selesainya penyusunan tesis. Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan saran-saran pada perbaikan tesis. Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman mahasiswa Mayor Entomologi 2008: Lufthi Rusniarsyah, SP, Mia Nuratni Yanti Rachman, S.P, M.Si, Yani Maharani, S.P, M.Si, Petronella Nenotek, S.P, M.Si, Rika Ludji, S.P, M.Si, Yohanes Umbu Rebu,S.P, M.Si, Aser Kocu, S.P, Gatot Budi Santoso, S.P, dan Ir. Betty Sahetapy, M.S. Teman-teman Persekutuan Alumni Kristen Bogor, khususnya: Dr. Ir. Surya Abadi Sembiring, M.Si, Liston Siringoringo, S.P, M.Si, Danner Sagala, S.P, M.Si, Bartho Sihombing, S.Si, M.Si, Pamona Sinaga, S.Hut, Jose Bonatua Hasibuan, S.Si, Novansi, S.P, dan Benny Sinaga, S.TP. Temanteman Paduan Suara Gita Swara Pascasarjana: khususnya Adrien Jems Akiles Unitly, S.Si, M.Si, Cerria Inara, S.Pi, M.Si, Ir. Alfred Dima, M.Si, dan Ir. Adelayda Lumingkewas,M.Si, atas kerjasama yang baik, bantuan intelektual, spiritual dan teknisnya selama penelitian.

11 Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada beberapa instansi yang menjadi sumber data, antara lain Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH) - Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Balai Besar Peramalan OPT Jatisari, Karawang, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I Jawa Barat. Selanjutnya pada kesempatan ini, secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sangat dalam kepada Ayahanda T. Hutapea dan Ibunda O. br Marbun yang selalu melimpahkan kasih dan sayang, memberikan dukungan dan arahan serta doa yang tulus ikhlas demi keberhasilan penulis. Juga kepada Abang dan Adik-adikku tercinta: Leonard Hutapea, Triandri Hutapea, Edika Sari Rebeka Sinaga, Naomi Lamtio Hutapea, Purna Doli Hutapea, dan Asina Marulam Hutapea, serta Lentina Ria Siregar atas dukungan dan doanya. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perlindungan tanaman pangan di masa mendatang. Bogor, Agustus 2011 Dedi Hutapea

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara pada tanggal 13 Desember 1980 dari ayah T. Hutapea dan ibu R. Purba (Almh). Penulis merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh mulai tahun 1999 saat penulis lulus dari SMU Negeri I Tarutung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk USU melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Tahun 2004 penulis memperoleh gelar sarjana pertanian dan bekerja di PT. SMART Tbk sebagai supervisor pada tahun 2005 sampai Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke Program Magister pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

13 DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim... 5 Iklim dan Kehidupan Serangga... 6 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangga... 8 Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal)... 9 Bioekologi Penggerek Batang Padi Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Survei Tingkat Serangan Hama Pengumpulan Data Sekunder Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP Pergeseran Status Hama Tanaman Padi Model Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 45

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Distribusi rata-rata luas serangan hama WBC dan PBP musim hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Peluang suhu minimum terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan dan kemarau Peluang kelembaban udara terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan Peluang suhu minimum terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau Peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim hujan periode Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim kemarau periode Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina periode Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan WBC pada musim hujan (a) dan kemarau (b) di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode Hubungan antara kelembaban udara dan luas serangan WBC pada musim hujan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan PBP pada musim kemarau di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim hujan terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim kemarau terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP musim hujan terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas Rata-rata luas serangan WBC dan PBP serta rata-rata luas tanam padi sawah musim tanam /2010 pada tiga kabupaten Pantura Jawa Barat Dominasi varietas unggul padi yang ditanam di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat dan ketahanannya terhadap hama Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim hujan Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau

17 13 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim hujan Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau

18 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari setengah produksi padi Indonesia dihasilkan di Pulau Jawa. Selama periode , total produksi padi Indonesia sebesar 55-60% (25,938,623 ton) dihasilkan di Pulau Jawa dan Jawa Barat merupakan provinsi terbesar penghasil padi dengan produksi sebesar 21-23% (9,556,334 ton) dari total produksi padi nasional (BPS 2011). Kabupaten-kabupaten yang berada di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, seperti: Karawang, Subang, dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi tertinggi dan merupakan sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2011). Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia karena selain berfungsi sebagai makanan pokok, padi juga merupakan sumber pencaharian. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi komoditas pangan penting ini senantiasa mendapat prioritas yang tinggi dari pemerintah baik dalam hal anggaran maupun sarana dan prasarana produksi. Akan tetapi, upaya peningkatan produksi padi sering terganggu oleh faktor-faktor ekternal alam yang salah satunya adalah terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan pola musim hujan dan musim kemarau yang mengakibatkan meledaknya populasi hama dan penyakit pada tanaman padi. Pemanasan global mengakibatkan keragaman iklim makin besar yang salah satunya ditandai dengan terjadinya peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (El Nino dan La Nina). Untuk wilayah tropis, dampak yang dirasakan adalah berubahnya jumlah dan pola curah hujan sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran awal musim dan periode tanam (Susanti et al. 2009a). Perubahan pola curah hujan dan musim yang cenderung tidak menentu dapat mempengaruhi pola tanam padi yang sangat bergantung pada ketersediaan air (Las et al. 2009a). Hal ini menyebabkan kurangnya realisasi penanaman padi dan waktu tanam menjadi tidak serempak pada suatu hamparan akibat kekurangan air. Implikasinya adalah tingginya keragaman stadia tanaman di lapangan sehingga tanaman rentan terhadap serangan berbagai hama dan penyakit (Las 2008).

19 2 Perubahan curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan fluktuasi serangan hama dan penyakit yang memungkinkan terjadinya ledakan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Musolin et al. (2010) mengatakan bahwa perubahan iklim dengan adanya peningkatan suhu dapat menyebabkan siklus hidup serangga menjadi lebih singkat. Suhu dapat mempengaruhi laju reproduksi dan kelangsungan hidup (survival) serangga sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kelimpahan dan distribusinya. Hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI) menunjukkan bahwa adanya peningkatan suhu antara 25 o C sampai dengan 40 o C dapat meningkatkan kelimpahan populasi wereng batang cokelat (WBC) (Nilaparvata lugens Stal) di lapangan dengan suhu optimal 30 o C (Heong et al. 1995). Selain kelimpahan dan distribusi, perubahan iklim juga dapat mengubah status hama dari hama minor (minor pest) menjadi hama utama (major pest), karena adanya peningkatan interaksi antara serangga dengan tanaman inang sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan menjadi semakin besar (Lastuvka 2009). Lebih lanjut Ganaha et al. (2007) mengemukakan bahwa serangga herbivora dapat berubah statusnya menjadi hama ketika beberapa faktor lingkungan mengubah preferensi serangga tersebut. Salah satu di antaranya adalah perubahan durasi waktu musim hujan dan musim kemarau yang salah satunya menjadi lebih lama. Dengan demikian terjadi keragaman stadia tanaman di lapangan sehingga menyebabkan tersediannya pakan yang cukup bagi hama. Berdasarkan laporan Wiyono (2007), di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah telah terjadi pergeseran status beberapa jenis hama dan penyakit padi. Misalnya, hama penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens) yang sebelumnya merupakan hama minor, dibandingkan dengan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), saat itu sudah menjadi hama penting. Penyakit bacterial leaf blight (Xanthomonas oryzae pv.oryzae) atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit kresek yang sebelumnya tidak menjadi masalah saat itu, sudah menjadi penyakit yang merugikan. Ini menunjukkan adanya indikasi kuat tentang kaitan antara keragaman iklim seperti perubahan curah hujan dan peningkatan suhu

20 3 dengan peningkatan status dan distribusi hama dan penyakit pada beberapa jenis OPT. Saat ini, data empirik tentang korelasi antara fenomena keragaman iklim dengan perubahan distribusi dan pergeseran status hama dan penyakit tanaman padi di Indonesia belum terdokumentasi dengan baik. Oleh karena itu, kajian tentang dampak keragaman iklim ini perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat dan penggerek batang padi di Pantai Utara Jawa Barat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat analisis untuk meramalkan intensitas serangan hama wereng batang cokelat dan penggerek batang padi sehingga dapat dilakukan persiapan pengendalian lebih awal terhadap potensi serangan kedua hama tersebut di Pantai Utara Jawa Barat.

21 TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari unsurunsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap tahunnya (Meehl et al. 2000). Hal tersebut merupakan proses internal natural atau variasi natural, atau akibat adanya campur tangan manusia pada sistem iklim. Keragaman iklim dapat bersifat intra-seasonal (periode lebih pendek dari tiga bulan) maupun inter-annual (periode dua tahun atau lebih) (IPPC 2002). Keragaman iklim inter-annual antara lain adalah ENSO (El Nino and Southern Oscillation) atau yang lebih dikenal dengan fenomena El Nino dan La Nina (Pulhin et al. 2008). Kejadian El Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dari normal khususnya pada musim kemarau. Sebaliknya kejadian La Nina seringkali berasosiasi dengan kejadian banjir karena terjadinya peningkatan curah hujan jauh dari normal. Oleh karena itu, apabila sifat dari fenomena ini tidak dipahami baik dari segi waktu pembentukannya, intensitas, serta lama berlangsungnya, dapat menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Kejadian El Nino tahun misalnya, telah menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan sebesar 33% pada musim kemarau dibandingkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir (Boer 2002). Besar kecilnya dampak keragaman iklim pada suatu sistem tergantung pada sensitivitas, kemampuan adaptif dan kerentanan dari sistem tersebut terhadap keragaman iklim. Dampak tersebut dapat bersifat langsung, misalnya: berubahnya hasil tanaman sebagai respon terhadap perubahan kondisi iklim rata-rata dan keragaman suhu, atau tidak langsung, misalnya: kerusakan yang diakibatkan oleh meningkatnya frekuensi kejadian banjir pada daerah pantai akibat meningkatnya permukaan air laut. Kemampuan adaptif merupakan kemampuan dari sistem

22 6 tersebut menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman iklim sehingga potensi kerusakan akibat keragaman iklim dapat berkurang (IPCC 2001 dalam Boer et al. 2003). Pada ekosistem pertanian, keragaman iklim menyebabkan terjadinya perubahan biodiversitas serangga hama sebagai akibat dari peningkatan suhu, perubahan curah hujan dan peningkatan frekuensi serta intensitas dari beberapa kejadian iklim ekstrim sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi kejadian hama dan penyakit (IPPC 2002). La Nina dapat menyebabkan kondisi iklim mikro terutama kelembaban nisbi menjadi lebih menguntungkan bagi perkembangan wereng batang cokelat. Selain itu, keragaman iklim dapat menimbulkan intensitas kejadian hama dan penyakit menjadi lebih tinggi sebagai akibat dari kurangnya efektivitas pestisida pada saat aplikasi (Budianto 2003; Rosenzweig & Hillel 2008 ). Iklim dan Kehidupan Serangga Serangga seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya curah hujan, temperatur, kelembaban relatif udara dan fotoperiodisitas. Besarnya pengaruh ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994; Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Suhu Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan serangga, seperti siklus hidup, dan kelangsungan hidup serangga. Kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga berhubungan erat dengan karakteristik tempat suatu spesies hidup. Oleh karena itu, dalam hal adaptasi lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya, suhu akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al. 2008). Tjasyono (2004) mengemukakan bahwa serangga dapat tahan terhadap

23 7 kesenjangan suhu yang besar, misalnya beberapa larva nyamuk, kutu air, dan kumbang air dapat berada di dalam air secara normal pada suhu o C. Lebih lanjut Leather dan Awmack (1998) menjelaskan bahwa respon serangga pada suhu rendah maupun suhu tinggi tidak sama untuk semua spesies serangga. Suhu untuk perkembangan awal serangga biasanya lebih rendah dibandingkan dengan suhu untuk reproduksi. Baco (1984) merangkum hasil penelitian Suenaga (1963) mengenai perkembangan siklus hidup hama wereng cokelat bahwa kisaran suhu untuk aktivitas normal imago wereng batang cokelat adalah o C pada betina makroptera dan 9-30 o C pada jantan makroptera. Kisaran suhu untuk aktivitas normal instar IV dan V wereng batang cokelat adalah pada suhu o C. Sementara itu, menurut Khan et al. (1991) siklus hidup larva instar IV penggerek batang padi pada suhu tinggi (29-35 o C) dapat dengan cepat berubah menjadi larva stadia V pada kondisi lingkungan dan makanan yang cukup. Laju perkembangan pupa Chilo suppressalis meningkat secara linear dari kisaran suhu o C, tetapi akan menurun jika suhu melebihi 35 o C. Pada kondisi tersebut pupa akan mengalami kematian atau menghasilkan ngengat yang bentuk fisiknya berubah. Kelembaban Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara berbeda untuk setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran toleransi ini tidak jelas seperti pada suhu. Namun bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik maksimum, antara % (Andrewartha & Birch 1974). Kelembaban udara dapat meningkatkan fekunditas dan fertilitas serangga. Sebagai contoh, hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada wereng batang cokelat di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan tertekan perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada kelembaban 80% (Mochida et al. 1986). Selanjutnya, Leather dan Awmack

24 8 (1998) menjelaskan bahwa laju oviposisi ngengat Helicoverpa armigera akan meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban dan persentase telur yang menetas lebih tinggi pada kondisi kelembaban rendah. Akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh pada kualitas generasi berikutnya, hanya pada jumlah telur yang menetas. Hujan Hujan mempunyai arti penting dalam kehidupan serangga, dan dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan serangga. Dampak secara langsung misalnya, hujan deras dapat mencuci kutudaun dari tanaman inangnya, sedangkan dampak secara tidak langsung, dapat meningkatkan kelembaban udara sehingga mendukung pertumbuhan populasi hama (Dale 1994). Kelimpahan populasi serangga sangat berpengaruh pada variasi musim hujan. Kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan kematian pada serangga, tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama tersebut akan menurun akibat tercuci oleh hujan (Speight et al. 1999; Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986). Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangga Selama dekade belakangan ini, keragaman dan perubahan iklim telah menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Dampak yang paling besar pengaruhnya adalah pada ekosistem pertanian yang menyebabkan terjadinya perubahan populasi dan status hama dan penyakit akibat peningkatan suhu dan perubahan curah hujan (Holzkamper et al. 2011). Lebih lanjut Moraal et al. (2011) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis data perkembangan hama tahun , diketahui bahwa hampir semua populasi hama hutan menunjukkan perubahan sebagai akibat dari perubahan dalam pengelolaan hutan, pergeseran komposisi hutan, perubahan iklim dan kedatangan hama baru. Perubahan iklim menurut Patterson et al. (1999) dapat mempengaruhi distribusi dan derajat infestasi serangga hama melalui dampak secara langsung pada siklus hidup serangga dan secara tidak langsung melalui pengaruh iklim pada tanaman inang, predator, parasitoid dan patogen serangga. Dampak terhadap

25 9 siklus hidup serangga termasuk di antaranya: lama hidup, fekunditas, diapause, penyebaran, kematian dan adaptasi genetik. Lebih lanjut Hulle et al. (2010) menyebutkan bahwa dampak secara langsung pemanasan global terhadap serangga adalah terjadinya perubahan fisiologi serangga sehingga dapat mempengaruhi interaksi antar spesies. Selain itu, dampak secara tidak langsung yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan habitat serangga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chen dan McCarl (2001) diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi dan migrasi hama merupakan pengaruh dari menurunnya efektivitas pestisida sebagai dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat berupa peningkatan suhu dan durasi curah hujan yang tidak menentu. Disamping itu, Cannon (1998) menjelaskan bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah populasinya seiring dengan meningkatnya suhu melalui sejumlah proses yang saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga. Sebagai contoh, suhu merupakan faktor utama yang menentukan dalam penyebaran hama kutudaun (aphid). Peningkatan suhu sebesar 2 o C di Inggris dapat menyebabkan peningkatan populasi sebesar ekor/individu aphid dalam satu siklus hidup sehingga berpotensi dalam meningkatkan ukuran populasi (Cannon 1998; Hulle et al. 2010). Disamping dapat meningkatkan jumlah populasi hama, sebagian besar ledakan populasi serangga hama disebabkan oleh adanya perubahan iklim dan peningkatan konsentrasi CO 2 di atmosfer (Gray 2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat meningkatkan fragmentasi habitat dan menyebabkan kepunahan organisme dalam skala kecil maupun besar (Cormont et al. 2011). Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal) Wereng batang cokelat (WBC) termasuk ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhynca, dan famili Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi sebagai tanaman inang utama dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama WBC mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi dengan varietas tahan. Menurut Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe strategi-r dengan ciri: 1) populasi hama dapat menemukan habitatnya dengan cepat, 2) berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber

26 10 makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi, dan 4) hama ini mempunyai potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Telur WBC biasanya diletakkan secara berkelompok dalam jaringan tanaman, terutama pada pelepah daun. Jumlah dan letak telur sangat bervariasi. Apabila kepadatan populasi tinggi, telur dapat ditemukan pada bagian atas tanaman (Baco 1984). Satu kelompok terdiri atas 3-21 butir telur. Bentuknya lonjong agak melngkung berdiameter mm dengan panjang antara mm. satu ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu rumpun, tetapi pada beberapa rumpun dengan berpindah-pindah (Baehaki 1987). Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar antara 7-11 hari, stadia nimfa antara hari. Pra-oviposisi 3-4 hari baik untuk brakhiptera maupun makroptera (Dale 1994; Pathak & Khan 1994). Telur menetas antara 7-11 hari dengan ratarata 9 hari (Baehaki 1987). Nimfa dan serangga dewasa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi di atas permukaan air. tetapi apabila populasi sangat tinggi dapat ditemukan juga pada daun bendera dan pangkal malai (Subroto et al. 1992). Pada umumnya persentase telur pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut diduga karena tingginya faktor mortalitas terutama parasit dan predatornya (Subroto et al. 1992). Nilaparvata lugens mempunyai 5 instar pada stadia nimfanya. Masing-masing instar ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang tubuhnya (Baco 1984). Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimfa dan makanannya serupa dengan induknya. Nimfa WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa adalah 12.8 hari (Baco 1984). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimfa beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. Nimfa dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai sayap depan dan

27 11 sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter (Baehaki 1987). Adanya dua bentuk sayap pada imago WBC menunjukkan bahwa WBC brakhiptera berfungsi untuk berkembang biak di tempat asal perkembangbiakannya (breeding site) dan tetap tinggal di tempat itu. Fungsi wereng makroptera adalah untuk migrasi ke tempat yang jauh dari tempat perkembangbiakan semula, mencari tempat baru, dan pada generasi pertama akan membentuk wereng brakhiptera. Munculnya betina makroptera pada setiap kombinasi populasi terjadi pada generasi kedua pada saat kepadatan cukup tinggi dan rusaknya tanaman. Imago makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak daripada tanaman sehat (Baehaki & Widiarta 2009). Dinamika Populasi Wereng Batang Cokelat Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak (random). Setelah mengalami perkembangan populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok, atau mengikuti distribusi binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta (2009) di Sukamandi menunjukkan bahwa, populasi WBC yang datang pertama kali ke pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu pasang wereng makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng dewasa ekor dan pada generasi kedua mencapai 3,700 ekor. Cepatnya perkembangan populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang mencapai telur/betina pada generasi ketiga. Setelah telur menetas, WBC berkembang biak secara eksponensial untuk satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif, tergantung pada saat migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3 minggu setelah tanam, maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama (G1) dan kedua (G2) berturut-turut muncul pada umur 5-6 minggu setelah tanam dan minggu setelah tanam. Apabila migrasi terjadi setelah tanaman berumur 5-6 minggu setelah tanam, puncak generasi nimfa hanya

28 12 dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam. Pada keadaan lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan tanaman padi yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan populasi mencapai ekor per rumpun, tanaman akan segera mati kekeringan (hopper burn) (Ditlin 1986). Bioekologi Penggerek Batang Padi Spesies penggerek batang padi yang paling dominan dan selalu muncul pada setiap musim tanam di Pantai Utara Jawa Barat adalah penggerek batang padi kuning dan putih. Kedua spesies hama tersebut berkembang secara terus-menerus sepanjang tahun. Dominasi kedua spesies hama tersebut sering berubah-ubah, misalnya tahun 1995 di kawasan Pantai Utara Jawa Barat populasi penggerek batang padi putih rendah sekali, sedangkan populasi penggerek batang padi kuning meningkat 30%. Sejak saat itu penggerek batang padi kuning lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90%. Gejala kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh penggerek batang padi kuning hampir sama dengan yang disebabkan oleh penggerek batang padi putih (Suharto & Usyati 2009). Penggerek Batang Padi Kuning Telur yang dihasilkan imago betina diletakkan berkelompok berkisar antara butir/kelompok, ditutupi rambut halus berwarna cokelat kekuningan. Telur diletakkan pada malam hari antara pukul selama 3-5 malam sejak malam pertama (Dale 1994). Telur diletakkan pada daun, pelepah daun dan kadang-kadang pada pangkal batang (Pathak & Khan 1994). Keperidian satu ekor betina adalah butir tiap betina, stadium telur antara 6-7 hari. Pada saat telur menetas, larva keluar melalui 2-3 lubang yang dibuat pada bagian bawah telur menembus permukaan daun (Kanno 1984). Larva yang baru muncul (instar 1) biasanya bergerak menuju bagian ujung daun dan menggantung dengan benang halus atau membuat tabung kecil, terayun oleh angin dan jatuh ke bagian tanaman lain atau permukaan air (Balitpa 2009b). Larvanya berwarna putih kekuningan sampai kehijauan dengan panjang maksimum 25 mm. Stadium larva antara hari, dan terdiri atas 5-7 instar (Dale 1994). Selama hidupnya larva dapat berpindah dari satu tunas ke tunas lainnya dengan cara membuat gulungan ujung daun, menjatuhkan diri ke

29 13 permukaan air dan memencar ke rumpun yang lain. Larva instar akhir tinggal di dalam batang sampai stadium pupa (Balitpa 2009b). Sebelum menjadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang dekat permukaan air atau tanah, yang ditutupi membran tipis untuk jalan keluar setelah menjadi imago. Pupa berwarna kekuning-kuningan atau agak putih. Kokon berupa selaput benang berwarna putih dengan panjang mm. Lama stadium pupa antara 6-23 hari (Pathak & Khan 1994). Ngengat jantan mempunyai bintik-bintik gelap pada sayap depan, sedangkan ngengat betina berwarna kuning dengan bintik hitam di bagian tengah sayap depan. Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm. Ngengat aktif pada malam hari dan tertarik cahaya, imago dapat terbang dengan jangkauan mencapai 6-10 km. Lama hidup ngengat antara 5-10 hari dengan siklus hidup hari (Khan et al. 1991; Balitpa 2009b). Karakteristik penggerek batang padi kuning adalah kelompok telur diletakkan pada daun bagian ujung, hanya seekor larva dalam satu tunas, pupa berada di dalam pangkal tunas di bawah permukaan tanah, tanaman inang utama adalah padi dan tanaman padi liar. Perubahan kepadatan populasi penggerek batang padi kuning di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), varietas padi yang ditanam, dan musuh alami yaitu parasitoid, predator, dan patogen (Dale 1994; Balitpa 2009b). Penggerek Batang Padi Putih Telur yang diletakkan penggerek batang padi putih berkisar antara butir/kelompok, diletakkan dipermukaan atas daun atau pelepah, mirip telur penggerek batang padi kuning. Kelompok telur ditutupi rambut halus, berwarna cokelat kekuning-kuningan, stadium telur 4-9 hari. Larvanya mirip dengan penggerek batang padi kuning, panjang maksimal 21 mm, berwarna putih kekuningan. Larva yang sudah berkembang penuh pada saat menjelang musim hujan berakhir dan setelah panen akan mengalami diapause pada batang padi tua dan tunggul padi. Lamanya diapause tergantung pada lamanya musim kemarau. Setelah turun hujan mencapai 10 mm dan saat tanah lembab, larva yang berdiapause akan menjadi pupa dan selanjutnya menjadi ngengat. Stadium larva hari, saat diapause dapat berlangsung 3 bulan (Dale 1994).

30 14 Imago keluar dari pupa dalam periode waktu yang relatif bersamaan dan meletakkan telur di persemaian. Imago berwarna putih dengan panjang betina 13 mm dan jantan 11 mm, imago tertarik cahaya. Imago aktif di lapangan selama musim hujan. Tiga dari lima generasi dihasilkan selama musim tanam padi dan tergantung pada durasi penanaman, jenis varietas, waktu panen dan penanaman padi. Generasi pertama dari menyebabkan kerusakan pada persemaian dan tanaman yang baru ditransplanting. Generasi kedua dan tiga menyebabkan kerusakan pada fase vegetatif dan generatif (Dale 1994). Karakteristik penggerek batang padi putih antara lain: kelompok telur, larva, dan pupa mirip penggerek batang padi kuning. Larva mampu berdiapause selama musim kemarau di dalam pangkal batang. Masa terbang ngengat pada awal musim hujan terjadi hampir bersamaan. Dinamika populasi penggerek batang padi putih sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama faktor iklim (curah hujan), irigasi, dan musuh alami (Balitpa 2009b). Hama ini hidup pada dataran rendah hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut. Serangannya tidak terjadi pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, karena larva tidak dapat hidup pada kondisi basah ekstrim (Dale 1994). Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi Perkembangan populasi penggerek batang padi mengalami perubahan dengan adanya perubahan pola tanam padi. Perubahan pola tanam padi erat kaitannya dengan faktor iklim, khususnya curah hujan. Selain faktor iklim, faktorfaktor yang dapat memicu terjadinya peningkatan populasi penggerek batang adalah terjadinya perubahan biologi hama, dari yang tadinya berdiapause menjadi tidak berdiapause (Balitpa 2009b). Disamping itu, ledakan penggerek batang padi juga berhubungan dengan komposisi musuh alami di ekosistem padi misalnya parasitoid (Rauf 2000). Lebih lanjut Khan et al. (1991) menjelaskan bahwa perkembangan populasi penggerek batang padi dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas tanaman dan kesuburan tanah. Ngengat penggerek batang padi lebih menyukai tanaman muda untuk meletakkan telur daripada tanaman tua. Tanaman padi yang dipupuk dengan nitrogen dosis tinggi ditemukan telur penggerek batang lebih banyak dan perkembangan larva menjadi lebih baik daripada tanaman yang tidak dipupuk.

31 15 Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan Penerapan pengelolaan hama secara terpadu mencakup upaya secara preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi dan pengalaman status organisme pengganggu tumbuhan (OPT) waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, pengaturan jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen hayati dan teknik budidaya lainnya untuk menciptakan tanaman sehat. Upaya responsif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status OPT dan faktor yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya manfaat dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini antara lain seperti penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, atraktan dan pestisida kimia (Baehaki & Widiarta 2009). Untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas diperlukan informasi ekologis, terutama tentang perkembangan populasi atau serangan OPT dan musuh alaminya, perkembangan tanaman inang, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan OPT. Informasi tersebut artinya merupakan pemahaman terhadap agroekosistem yang akan dikelola dengan melakukan analisis terhadap data historis dan ekologis atau analisis ekosistem. Hasil analisis ekosistem tersebut dapat disusun dalam suatu model prediksi kejadian serangan OPT atau model peramalan OPT, yang selanjutnya hasil aplikasi model peramalan berupa informasi peramalan OPT pada suatu daerah atau lokasi dapat dijadikan input dalam merencanakan agroekosistem atau merencanakan usahatani.

32 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) survei petani tentang tingkat serangan OPT padi dan (2) pengumpulan data sekunder tentang luas serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan peubah iklim. Survei petani dilaksanakan pada bulan April 2010 di tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu, sedangkan pengumpulan data sekunder pada bulan Mei-Agustus Survei Tingkat Serangan Hama Survei tingkat serangan hama padi selama tiga periode, yaitu 1990-an, 2000-an, dan 2010, dilakukan dengan mewawancarai petani secara langsung di lahan sawahnya. Pada setiap kabupaten studi, survei dilakukan dengan metode pengambilan contoh dua tahap. Pada tahap pertama, lima kecamatan dipilih berdasarkan tingkat kejadian serangan hama tertinggi. Pada tahap kedua, lima petani pada setiap kecamatan terpilih dipilih secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan kemudahan ditemui di lahan sawahnya. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara tersebut meliputi tingkat serangan (ringan, sedang, dan berat) dari 4 jenis hama yang sering menyerang padi di daerah tersebut, yaitu tikus, WBC, PBP, dan hama putih palsu (HPP). Pengumpulan Data Sekunder Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah luas serangan hama WBC dan PBP, varietas padi yang ditanam petani, luas tanam padi sawah dan tiga peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban) untuk periode Data luas serangan WBC dan PBP diperoleh dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH)-Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat dan Balai Besar Peramalan OPT Jatisari, Karawang. Data varietas dan luas tanam padi sawah diperoleh dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. Data curah hujan, suhu (minimum, maksimum, dan rata-rata), dan kelembaban diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I Jawa Barat.

33 18 Analisis Data Keragaman Iklim Selama Periode Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban selama periode dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim hujan/mh dan musim kemarau/mk). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan MK meliputi bulan April-September. Data iklim per musim tanam ini kemudian disajikan dalam bentuk grafik garis menggunakan program Microsoft Excel Pergeseran Status Hama Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks serangan (IS) per periode (1990-an, 2000-an, dan 2010) terhadap data tingkat serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. IS masing-masing jenis hama (IS h ) merupakan nilai rata-rata terboboti dari data tingkat serangan (ringan, sedang, dan berat) yang didefinisikan sebagai berikut: dengan q i adalah skor tingkat serangan hama i (1 = ringan, 2 = sedang, dan 3 = berat), n i jumlah petani yang memberikan tingkat serangan q dari hama i, dan N jumlah seluruh petani responden. Nilai indeks serangan hama: 0 < IS h 3, mempunyai arti bahwa jika nilai IS h mendekati angka 0 maka status serangan hama adalah minor, sedangkan jika nilai IS h mendekati angka 3 maka status serangan hama adalah mayor. Model Distribusi Serangan WBC dan PBP Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), (Y), dengan peubah iklim, (X), dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, (Z), dimodelkan dengan persamaan berikut: Y = α + β 1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 Z+ ε (1) dimana Y adalah proporsi luas serangan hama per musim tanam terhadap luas tanam, X 1 rata-rata suhu udara minimum per musim tanam, X 2 total curah hujan per musim tanam, X 3 rata-rata kelembaban udara per musim tanam, Z tingkat ketahanan varietas terhadap serangan hama, α konstanta, β 1,..., β 4 koefisien

34 19 pengaruh masing-masing peubah iklim dan varietas terhadap serangan hama, dan ε pengaruh faktor lain terhadap serangan hama yang tidak masuk dalam model (galat). Tingkat ketahanan varietas diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata terboboti dari skor ketahanan varietas terhadap hama (1 = rentan, 2 = agak rentan, 3 = agak tahan, dan 4 = tahan) dari semua jenis varietas yang di tanam. Koefisienkoefisien dalam model (α, β 1, β 2, β 3, dan β 4 ) diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan analisis ragam. Selain itu, koefisien determinasi (R 2 ) dihitung untuk melihat kesesuaian model dengan data yang teramati. Semua pendugaan dan pengujian di atas dilakukan menggunakan program MINITAB versi Pendugaan Nilai Peubah Iklim yang Berpengaruh Nyata Pendugaan nilai kritis dari setiap peubah yang berpengaruh nyata dilakukan melalui pendekatan nilai peluang. Nilai peluang masing-masing peubah ditentukan dengan menggunakan metode plot peluang (probability plot) sehingga diperoleh nilai kritis yang paling menentukan faktor Y pada selang kepercayaan 95%. Bentuk fungsi peluang dari masing-masing peubah diuji dengan uji statistik AD (Anderson-Darling) dengan hipotesis awal (H 0 ) sebagai berikut: data memiliki sebaran normal. Uji signifikansi sebaran data dilakukan dengan uji P. Jika nilai P lebih kecil dari nilai alpha pada taraf 5%, maka H 0 ditolak. Semua pengujian di atas dilakukan menggunakan program MINITAB versi 15.0.

35 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban Selama periode rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) mengalami peningkatan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim hujan meningkat sebesar 3.4 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 4.2 o C. Suhu maksimum pada musim hujan meningkat sebesar 2.5 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 2.6 o C. Suhu rata-rata pada musim hujan meningkat sebesar 3.3 o C sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 3.7 o C. Sebaliknya, rata-rata curah hujan bulanan selama periode dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Sementara itu, tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Keragaman iklim musiman yang terjadi selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini seperti peningkatan suhu, penurunan curah hujan dengan tingkat kelembaban udara relatif stabil (Gambar 1, 2 dan 3) mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim jangka pendek. Tmin Tmax Tav Suhu ( o C) Tahun Gambar 1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan ratarata (Tav) pada musim hujan periode

36 22 Tmin Tmax Tav Suhu ( o C) Tahun Gambar 2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan ratarata (Tav) pada musim kemarau periode Curah hujan (mm) CH RH b Kelembaban udara (%) Curah hujan (mm) a Kelembaban udara (%) Tahun Gambar 3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode

37 23 Peningkatan suhu udara (maksimum, minimum dan rata-rata), penurunan curah hujan dan kelembaban udara yang relatif stabil di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat telah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan populasi hama tanaman padi. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan luas serangan hama tanaman padi di daerah tersebut khususnya WBC. Peningkatan luas serangan WBC dan fluktuasi serangan PBP selama periode dipengaruhi oleh keragaman iklim. Keragaman iklim tidak hanya mempengaruhi dinamika populasi hama, namun juga mempengaruhi keberadaan musuh alami sehingga pengaturan populasi hama menjadi kurang (Gutierrez 2000). Akibatnya, terjadi peningkatan luas serangan hama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi padi. Walaupun demikian, suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara bukan merupakan satu-satunya penyebab meluas dan meningkatnya serangan hama tersebut. Namun beberapa faktor lain yang mempengaruhi di antaranya adalah pola tanam yang tidak serentak, penanaman varietas rentan, dan aplikasi pestisida yang tidak tepat (Untung & Trisyono 2010). Terjadinya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan serta stabilnya kelembaban udara merupakan kondisi yang menguntungkan bagi hama tanaman padi (WBC dan PBP) karena dapat memicu peningkatan populasinya di lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon (1998) bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah populasinya seiring dengan meningkatnya suhu udara melalui sejumlah proses yang saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga.

38 24 Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP Berdasarkan data musiman luas serangan WBC dan PBP periode , diketahui bahwa distribusi serangan kedua jenis hama ini pada setiap musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten. Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam berikutnya meningkat. Luas serangan WBC tertinggi terjadi pada musim tanam 1998 mencapai 14,960 ha (15.9% dari total luas tanam padi musim tanam 1998). Serangan pada tahun 2008 menurun dengan luas serangan sebesar 17 ha (0.02% dari total luas tanam padi musim tanam 2008), dan pada musim tanam 2009/2010 meningkat menjadi 2, ha (2.5% dari total luas tanam padi musim tanam 2009/2010). Luas serangan hama PBP tertinggi juga terjadi pada musim tanam 1998 dengan luas serangan mencapai 6,235 ha (6.6% dari total luas tanam padi musim tanam 1998), sedangkan serangan terendah terjadi pada musim tanam 1997 dengan luas serangan sebesar 211 ha (0.25% dari total luas tanam padi musim tanam 1997) (Lampiran 5). Kejadian serangan WBC dan PBP selama musim tanam erat hubungannya dengan keragaman iklim yang terjadi selama periode tersebut. Ini dapat dilihat pada musim tanam 1998 yang merupakan puncak serangan WBC dan PBP sebagai dampak dari kejadian iklim ekstrim La Nina. Kejadian serangan WBC dan PBP pada tahun normal lebih banyak daripada kejadian serangan tahun La Nina, tetapi luas serangan pada tahun La Nina jauh lebih besar daripada luas serangan tahun normal (Gambar 4 dan Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa kejadian iklim ekstrim dapat meningkatkan terjadinya ledakan hama. La Nina yang menyebabkan adanya hujan di musim kemarau dapat meningkatkan potensi indeks penanaman padi di lapangan. Peningkatan luas areal penanaman padi menurut Untung dan Trisyono (2010), dapat meningkatkan ketersediaan inang bagi hama, meningkatkan jangkauan persebaran hama dan meningkatkan keragaman jenis hama karena perubahan habitat alami. Disamping itu, kondisi iklim yang lembab pada kemarau basah menyebabkan hama mudah berkembang biak (Susanti et al. 2009b). La Nina mempengaruhi kondisi iklim mikro areal persawahan, terutama kelembaban udara sehingga menjadi lebih menguntungkan bagi perkembangan WBC (Isichaikul et al. 1994).

39 25 Informasi kejadian El Nino dan La Nina yang diunduh dari tanggal 11 Maret 2011, menunjukkan bahwa telah terjadi El Nino kuat pada tahun 1991, 1997, dan 2009, sedangkan La Nina sedang terjadi pada tahun 1998, 1999, 2007, dan 2010 (Gambar 4). Berdasarkan data tersebut, distribusi serangan WBC dan PBP pada saat La Nina lebih besar dibandingkan pada saat El Nino dan iklim normal (Tabel 1). Peningkatan serangan hama tanaman padi akibat keragaman iklim terutama La Nina terkait dengan dua faktor utama, yaitu: a) ketidakserempakan tanam dalam satu hamparan, yang mempengaruhi perkembangan hama melalui ketersediaan inang, dan b) faktorfaktor fisik yang mendukung perkembangan hama terutama suhu dan kelembaban udara (Budianto 2003). Tabel 1 Distribusi rata-rata luas serangan WBC dan PBP musim hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina. Luas serangan (ha) Luas Persentase Serangan (%) Tahun WBC PBP Tanam (ha) WBC PBP Musim Hujan Normal EL Nino La Nina Musim Kemarau Normal EL Nino La Nina Keterangan: Tahun Normal: 1990, 1992, 1993, 1995, 1996, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008 Tahun El Nino: 1991, 1994, 1997, 2002, 2009 Tahun La Nina: 1998, 1999, 2007 Adanya ketidakteraturan musim akibat fenomena El Nino dan La Nina selama periode , mempengaruhi pola tanam padi di Pantai Utara Jawa Barat. Ketidakteraturan musim ini telah menyebabkan pergeseran waktu tanam padi. Awal tanam bisa menjadi maju atau mundur sehingga pola tanam menjadi tidak serentak. Akibatnya, dalam hamparan luas terdapat tanaman padi dalam berbagai tingkatan umur, dari persemaian sampai dengan masa panen. Dengan demikian stadia tanaman yang berbeda di lapangan memberikan kesempatan kepada hama untuk bertelur pada stadia tanaman yang sesuai baginya, sehingga menyebabkan terjadinya eksplosi hama (Baehaki & Widiarta 2009).

40 Luas serangan W B C (% ) Luas serangan PB P (% ) b La Nina sedang 4 3 El Nino kuat El Nino sedang La Nina lemah El Nino kuat La Nina lemah El Nino sedang El Nino lemah La Nina sedang El Nino kuat a / / / / / / / / / / /01 01 M usim tanam 01/ / / / / / / / /10 Gambar 4 Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina periode Keterangan: * = luas serangan WBC sebesar 15.9% (14,960 ha). *

41 27 Pergeseran Status Hama Tanaman Padi Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat, diketahui bahwa telah terjadi pergeseran status serangan beberapa jenis hama tanaman padi di daerah tersebut. Pergeseran status serangan hama itu ditentukan berdasarkan intensitas serangan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai indeks serangan hama (IS h ) pada periode sebesar 2.28, periode sebesar 2.58, dan periode 2010 sebesar Sebaliknya, PBP tidak mengalami peningkatan status serangan. Hal ini terlihat dari nilai IS h yang cenderung menurun selama tiga dekade pengamatan, yaitu: periode sebesar 2.24, periode sebesar 2.03, dan periode 2010 sebesar Sementara itu, status serangan tikus berfluktuasi sesuai dengan nilai IS h periode sebesar 1.85, periode sebesar 1.99, dan periode 2010 sebesar Status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor (Gambar 5). 3.0 Tikus PBP WBC HPP Indeks serangan hama Periode Gambar 5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, diketahui bahwa pergeseran status serangan hama WBC dan PBP memiliki pola yang sama dengan data aktual hasil pengamatan petugas pengamat OPT di lapangan (Gambar 4). Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan status serangan

42 28 WBC dan penurunan status serangan PBP. Peningkatan status serangan WBC tersebut dipengaruhi oleh penanaman padi yang intensif dan keberadaan varietas peka di lapangan serta stadia tanaman yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Natanegara dan Sawada (1992) bahwa serangan WBC meningkat akibat tersediannya tanaman inang yang rentan dan beragamnya stadia tanaman inang di lapangan. Lebih lanjut Baehaki (2009) menyebutkan bahwa kejadian iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina dapat menyebabkan perbedaan waktu tanam. Selain itu, WBC diketahui mampu berkembang dengan baik pada musim hujan atau musim kemarau asal ada stimulan berupa curah hujan yang tinggi (Susanti et al. 2009b). Penurunan status serangan PBP selama periode diduga karena populasi hama ini rendah di lapangan. Menurunnya populasi PBP di lapangan dipengaruhi oleh adanya peningkatan populasi musuh alami (khususnya parasitoid telur) yang dapat membatasi populasi PBP di lapangan (Rauf 2000; Kusdiaman & Kurniawaty 2007). Lebih lanjut Suharto dan Usyati (2009) menjelaskan bahwa pengendalian mekanis dengan mengambil kelempok telur dan penangkapan ngengat dengan menggunakan lampu perangkap secara massal yang dilakukan petani dapat mengurangi populasi PBP. Penggunaan insektisida sistemik oleh petani berbentuk granular seperti karbofuran, bensultap, bisultap, karbosulfan, dimehipo, atau fipronil dapat mengendalikan PBP (Balitpa 2006). Selain itu, adanya keragaman iklim seperti halnya El Nino dan La Nina menyebabkan sebagian besar larva yang berdiapause menjadi tertekan akibat frekuensi kekeringan makin sering terjadi (Boer 2007 dalam Suharto & Usyati 2009). Pergeseran status serangan hama tanaman padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: jumlah individu hama, faktor sosio-ekonomi (misalnya meningkatnya harga gabah padi dan input teknologi dalam budidaya padi) dan toleransi biologi dari tanaman yang terserang hama (Cammel & Knight 1992). Selain itu, pergeseran status hama juga terjadi karena adanya perubahan perilaku (behavior), fisiologi, siklus hidup dan keberadaan musuh alami hama di lapangan sebagai dampak dari keragaman iklim sehingga mendorong peningkatan populasi hama (Huang et al. 2010).

43 29 Perubahan status hama juga dapat disebabkan oleh keberadaan tanaman inang dan praktek budidaya yang dilakukan oleh petani. Tindakan yang dilakukan petani seperti aplikasi pestisida yang tidak tepat (dosis, sasaran, konsentrasi, jenis dan waktu aplikasi) cenderung mengurangi aktivitas musuh alami di lapangan (Thomson et al. 2010). Selain itu, terjadinya perubahan ekosistem dapat menyebabkan populasi hama pada beberapa generasi berikutnya menjadi berubah (Untung & Trisyono 2010). Kombinasi dari semua faktor tersebut diyakini merupakan penyebab utama yang memicu pergeseran status hama WBC dan PBP di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat. Model Distribusi Serangan WBC Model Distribusi Serangan WBC dan PBP Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah hujan, dan kelembaban udara) dan varietas terhadap distribusi serangan WBC menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah bebas yang berpengaruh nyata pada model musim hujan adalah suhu minimum, kelembaban udara dan varietas, sedangkan pada model musim kemarau hanya suhu minimum dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan mampu menjelaskan peubah terikat (luas serangan WBC) sebesar 55.7% sementara pada model musim kemarau sebesar 60.2% (Tabel 2). Tabel 2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas Koefisien SE koefisien t P R 2 Musim hujan Konstanta Tmin CH % RH Var Musim kemarau Konstanta Tmin CH % RH Var

44 30 Analisis ragam model serangan WBC pada musim hujan berbeda nyata pada taraf 5% (F = 4.41 dan P = 0.016) (Lampiran 1). Hasil ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh gabungan dari suhu minimum (T-min), curah hujan (CH), kelembaban udara (RH) dan varietas (Var) dalam model dapat menjelaskan keragaman distribusi serangan WBC. Sementara itu analisis ragam model distribusi serangan WBC pada musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1% ( F= 5.67 dan P= 0.006) (Lampiran 2). Hasil ini juga menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh gabungan dari T-min, CH, RH dan Var dalam model dapat menjelaskan keragaman distribusi serangan WBC. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diketahui bahwa keempat peubah penjelas yang digunakan dalam model luas serangan WBC tidak saling berkorelasi, sesuai dengan nilai variance inflation factor (VIF) masing-masing peubah lebih kecil dari 10 (Lampiran 1 dan 2). Hubungan antara peubah penjelas dan peubah yang dijelaskan dalam model untuk musim hujan dan kemarau dinyatakan dengan persamaan matematis sebagai berikut: ln (WBC) = Tmin CH RH Var (Musim hujan) ln (WBC)= Tmin CH RH Var (Musim kemarau) Kedua persamaan di atas merupakan persamaan eksponensial, yang berarti bahwa besaran nilai logaritma natural (ln) luas serangan WBC tiap musim akan meningkat pada kondisi lingkungan yang tanpa batas. Lingkungan tanpa batas dapat diartikan sebagai tersediannya tanaman inang bagi WBC dalam jumlah yang cukup sehingga selalu mencukupi untuk perkembangbiakan WBC pada keadaan suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara yang mendukung pertumbuhan WBC. Dengan menggunakan persamaan WBC pada musim hujan, jika diasumsikan terjadi peningkatan satu satuan suhu minimum ( o C) saja dengan mengabaikan parameter lainnya (parameter lain bernilai 0 (nol)) akan menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan WBC sebesar 2.3 ha. Peningkatan luas serangan tersebut berbeda nyata pada taraf 5% sesuai dengan nila uji-t = dan nilai-p sebesar

45 31 Kombinasi antara peubah T-min, CH, RH dan Var dalam model diyakini dapat meningkatkan luas serangan WBC pada setiap musim tanam. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Mochida et al. (1986) bahwa parameter iklim khususnya curah hujan, suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan, distribusi dan reproduksi hama tanaman padi. Keragaman dari ketiga faktor iklim ini seperti peningkatan suhu udara, penurunan curah hujan dan tingkat kelembaban udara yang relatif stabil, dapat mempengaruhi perkembangan dan dinamika populasi WBC (Dyck et al. 1979). Selain dapat mempengaruhi siklus hidup serangga, peningkatan suhu udara juga dapat mempengaruhi perilaku makan serangga sehingga menjadi lebih aktif (Awmack et al. 2004; Huang et al. 2010). Dengan demikian dapat meningkatkan frekuensi terjadinya ledakan populasi hama. Selain peubah suhu minimum, peubah kelembaban udara (RH) juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap distribusi serangan WBC pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau pengaruhnya belum jelas terlihat. Pada musim kemarau serangan WBC timbul pada daerah yang memiliki pengairan yang cukup dari irigasi teknis. Hal ini sesuai dengan kajian Baehaki (2009) bahwa pada musim kemarau serangan WBC terdapat pada daerah yang memiliki pengairan yang cukup dari irigasi teknis dan masih terdapat curah hujan. Kelembaban udara merupakan faktor lingkungan yang penting dalam keberlangsungan hidup serangga, terutama dalam hal pergantian kulit (molting). Pada saat molting, kebutuhan akan kelembaban udara yang sangat tinggi diperlukan untuk mengimbangi kehilangan air dari dalam tubuh serangga. Hal ini terlihat bahwa pada saat molting, exuviae WBC mengumpul pada pangkal batang padi dekat permukaan air (Isichaikul & Ichikawa 1993). Di lapangan, nimfa WBC sering ditemukan berada pada pangkal batang padi kira-kira 5 cm di atas permukaan air. Ini menunjukkan bahwa nimfa WBC lebih menyukai kondisi lingkungan lembab dibandingkan kondisi lingkungan kering (Isichaikul et al. 1994). Imago WBC lebih menyukai kondisi yang lembab dan sawah irigasi dengan kondisi air yang tergenang (Dale 1994). Peubah suhu minimum memiliki tanda positif pada koefisiennya untuk kedua musim tanam. Secara statistik, suhu minimum pada musim hujan berbeda

46 32 nyata pada taraf 5%, sedangkan musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi peningkatan suhu minimum, baik pada musim hujan maupun kemarau akan menyebabkan peningkatan luas serangan WBC. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa suhu minimum dan luas serangan WBC memiliki pola yang sama pada kedua musim. Pada Gambar 6b dengan jelas terlihat bahwa ketika terjadi peningkatan suhu minimum, maka luas serangan WBC juga mengalami peningkatan. Suhu minimum yang pada umumnya terjadi saat malam hari hingga sebelum matahari terbit (antara pukul ), sangat sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan populasi hama ini. Imago brakhiptera WBC berkembang dengan baik pada suhu minimum, khususnya pada saat pagi hari (Pathak & Khan 1994). Suhu minimum (19-25 o C) sangat sesuai bagi siklus hidup dan fekunditas WBC (Mochida & Okada 1979). Lebih lanjut Baehaki (1985) merangkum hasil penelitian Okubo (1973), bahwa aktivitas imago makroptera terbang pada saat matahari terbit dan matahari terbenam, yaitu pada saat terbentuk suhu udara minimum. Luas serangan WBC (%) Luas serangan WBC (%) * WBC Tmin b a Suhu minimum ( o C) Suhu minimum ( o C) 0 19 Musim tanam Gambar 6 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan WBC pada musim hujan (a) dan kemarau (b) di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode (Keterangan: * luas serangan = 15.9 % ).

47 33 Faktor iklim, khususnya suhu udara memiliki pengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan populasi hama, seperti: siklus hidupnya menjadi lebih singkat sehingga dapat menyebabkan peningkatan populasi dengan demikian tingkat kerusakan yang ditimbulkannya menjadi semakin besar (Bale et al. 2002). Suhu antara o C memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola oviposisi dan jumlah telur yang diletakkan imago betina hama. Jumlah hari yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus hidup hama tergantung pada suhu minimum (Cammel & Knight 1992). Siklus hidup WBC akan meningkat seiring dengan adanya peningkatan suhu udara (Dyck et al. 1991). Aktivitas penerbangan imago WBC berlangsung pada keadaan suhu yang rendah yaitu pada suhu 17 o C, dengan kelembaban tinggi dan keadaan angin yang lemah (Subroto et al. 1992). Tingkat kelembaban udara pada musim hujan responsif terhadap luas serangan WBC dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%, sedangkan pada musim kemarau tidak responsif dan tidak berbeda pada taraf nyata 5%. Tanda koefisien positif peubah kelembaban udara pada musim hujan berarti bahwa dengan meningkatnya kelembaban udara dapat menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan WBC. Rata-rata kelembaban udara selama periode berkisar antara 75-86% (Gambar 7). Kelembaban udara diatas 70% merupakan prasyarat bagi perkembangan nimfa WBC (Isichaikul et al. 1994). 4 WBC RH 86 Luas serangan WBC (%) Kelembaban udara (%) Musim Tanam Gambar 7 Hubungan antara kelembaban udara dan luas serangan WBC pada musim hujan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode

48 34 Komposisi varietas padi yang ditanam oleh petani memiliki respon positif terhadap perkembangan luas serangan WBC, baik pada musim hujan maupun kemarau. Ini mengindikasikan bahwa semakin besar persentase varietas rentan yang ditanam petani, maka luas serangan WBC akan semakin besar pula. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa komposisi varietas pada kedua musim berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Hal ini berarti bahwa penggunaan varietas tahan dan mengurangi penanaman varietas peka merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya peningkatan dan penyebaran serangan WBC di lapangan (Susanti et al. 2009b). Terjadinya peningkatan luas serangan WBC dipicu oleh penanaman varietas rentan secara rutin oleh petani tanpa adanya pergiliran varietas. Beberapa jenis varietas padi dominan yang ditanam petani selama periode umumnya relatif homogen karena hampir setiap musim tanam digunakan. Alasan petani menanam varietas tersebut karena produksinya tinggi, rasa nasi enak dan pulen. Berdasarkan data pengamatan di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat, diketahui bahwa ada sekitar 13 varietas yang tergolong tahan WBC, di antaranya: IR 64, Ciherang, Cisadane, Way Apo Buru, Memberamo, Widas, Fatmawati, Cibogo, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya muncul, Dodokan, dan Lusi (Lampiran 6). Namun, perlu diketahui juga bahwa di antara varietas tersebut ada beberapa varietas di antaranya yang rentan terhadap biotipe WBC tertentu, misalnya: Cisadane, meskipun tahan WBC biotipe 2, namun agak rentan terhadap biotipe 1 dan rentan terhadap biotipe 3. Berdasarkan pengujian varietas yang dilakukan Baehaki (2009) mengenai ketahanan varietas terhadap WBC biotipe 3 di Jawa Barat (Indramayu, Subang, Ciamis, dan Pandeglang) diperoleh hasil bahwa varietas IR-64 masih tahan terhadap WBC biotipe 3. Cisadane dan IR-42 yang memiliki gen ketahanan terhadap biotipe 2 telah patah ketahanannya. Model Distribusi Serangan PBP Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah hujan, dan kelembaban udara) dan varietas dengan distribusi serangan PBP menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah bebas pada model distribusi PBP musim hujan tidak berpengaruh nyata, sedangkan pada model musim kemarau peubah bebas yang berpengaruh nyata

49 35 adalah suhu minimum, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan hanya mampu menjelaskan peubah terikat (luas serangan PBP) sebesar 6% sementara pada model musim kemarau sebesar 64.2% (Tabel 3). Analisis ragam model distribusi serangan PBP pada musim hujan tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% (F= 0.23 dan P= 0.920) (Lampiran 3). Hal ini berarti bahwa model yang dibangun belum dapat untuk menjelaskan pengaruh gabungan dari suhu minimum (T-min), curah hujan (CH), kelembaban udara (RH) dan varietas (Var) dengan keragaman distribusi serangan PBP. Sementara itu, analisis ragam model distribusi serangan PBP pada musim kemarau berbeda sangat nyata pada taraf 1% (F= 6.72 dan P= 0.003) (Lampiran 4). Hasil ini juga menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah cukup baik sehingga pengaruh dari T-min, CH, RH dan Var dalam model secara bersama-sama dapat menjelaskan pengaruh keragaman distribusi serangan PBP. Tabel 3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. Peubah bebas Koefisien SE koefisien t P R 2 Musim hujan Konstanta Tmin CH % RH Var Musim kemarau Konstanta T-min CH % RH Var Berdasarkan dari hasil analisis regresi berganda, diketahui bahwa keseluruhan peubah penjelas yang digunakan dalam model analisis luas serangan PBP tidak saling berkorelasi, hal ini dapat ditinjau dari nilai variance inflation factor (VIF) masing-masing peubah lebih kecil dari 10 (Lampiran 3 dan 4). Model matematika luas serangan PBP adalah sebagai berikut:

50 36 ln (PBP) = Tmin CH RH Var (Musim hujan) ln (PBP)= Tmin CH RH Var (Musim kemarau) Kedua persamaan di atas merupakan persamaan eksponensial, yang berarti bahwa besaran nilai dari logaritma natural (ln) luas serangan PBP pada tiap musim tanam akan meningkat pada kondisi lingkungan yang tanpa batas. Lingkungan tanpa batas dapat diartikan sebagai tersediannya tanaman inang bagi PBP dalam jumlah yang cukup sehingga selalu mencukupi untuk perkembangbiakan hama PBP dengan keadaan suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara yang mendukung perkembangan PBP. Dengan menggunakan persamaan PBP pada musim kemarau, jika diasumsikan terjadi peningkatan satu satuan suhu minimum ( o C) saja dengan mengabaikan parameter lainnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan luas serangan PBP sebesar 1.45 ha. Peningkatan tersebut berbeda sangat nyata pada taraf 1% sesuai dengan nilai uji-t = dan nilai-p sebesar Nilai koefisien keseluruhan peubah dalam model musim hujan memiliki tanda positif, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luas serangan PBP. Ini diduga karena banyaknya pencilan data yang disebabkan oleh banyaknya pengaruh faktor lain selain faktor iklim dan varietas yang mempengaruhi besarnya luas serangan PBP. Natanegara dan Sawada (1991) menjelaskan bahwa dinamika perkembangan serangan PBP (luas dan intensitas) yang merupakan akibat dari tinggi rendahnya populasi, berbeda antara musim hujan dengan musim kemarau. Ini merupakan salah satu bukti bahwa perkembangan PBP pada musim hujan berbeda dengan pada musim kemarau. Secara umum, luas serangan PBP lebih tinggi pada musim hujan (56%) dibandingkan dengan musim kemarau (33%) (Rothschild 1971). Di Jawa Barat, rata-rata tingkat keparahan serangan PBP lebih tinggi pada musim hujan (37.90%) dibandingkan pada musim tanam berikutnya (Suharto & Usyati 2005; Natanegara & Sawada 1991).

51 37 Pada musim kemarau, peubah suhu minimum responsif terhadap luas serangan PBP dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Ini berarti bahwa semakin tinggi suhu minimum, maka luas serangan PBP akan meningkat (Gambar 8). Suhu minimum merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah generasi PBP. Suhu untuk penetasan telur Chilo suppressalis berkisar antara o C, sedangkan Scirpophaga incertulas antara o C (Khan et al. 1991). Menurut Wigenasantana (1982), suhu untuk penetasan telur S. incertulas antara o C pada kelembaban udara 85%. Telur PBP menetas paling banyak di pagi hari ketika terjadi suhu minimum (Hendarsih 1990 dalam Natanegara & Sawada 1991). Larva S. incertulas berkembang pada suhu minimum antara o C (Khan et al. 1991; Dale 1994). Suhu untuk perkembangan pupa S. incertulas o C (Dale 1994). Luas serangan PBP (%) PBP Musim tanam Tmin Gambar 8 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan PBP pada musim kemarau di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode Suhu antara o C merupakan suhu optimum dalam aktivitas penerbangan C. supressalis (Wigenasantana 1982; Kanno 1984). Imago C. supressalis aktif pada malam hari, antara pukul 7-9 malam dan kopulasi umumnya terjadi pada jam tersebut (Dale 1994). Periode perkembangan telur, larva dan pupa penggerek batang padi (Chilo polychrysa Meyrick, C. suppressalis Walker, C. partellus Swinhoe, S. incertulas Walker, S. innotata Walker dan Sesamia inferens Walker) meningkat secara bertahap sesuai dengan peningkatan suhu dalam skala laboratorium (Rahman & Khalequzzaman 2008). Lebih lanjut Kanno (1984) menjelaskan bahwa persentase kopulasi imago C. supressalis akan meningkat pada kisaran suhu 8-20 o C. Persentase keberhasilan kopulasi tertinggi terjadi pada suhu o C dan suhu optimum untuk kopulasi 20 o C Suhu minimum ( o C)

52 38 Kelembaban udara pada musim kemarau memiliki respon positif terhadap luas serangan PBP, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf 5%, akan tetapi berbeda nyata pada taraf 7%. Ini membuktikan bahwa kelembaban udara memiliki peranan penting dalam aktivitas biologis PBP. Secara fisiologi, kelembaban udara dapat mempengaruhi kandungan air di dalam tubuh hama. Penurunan dan peningkatan kandungan air dalam tubuh PBP dapat menimbulkan risiko kematian larva dan telur PBP (Huang et al. 2010). Kelembaban udara tinggi mengakibatkan tingginya laju mortalitas larva dan telur PBP (Dale 1994). Peubah varietas responsif terhadap luas serangan PBP dan berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini berarti bahwa peningkatan intensitas penanaman varietas IR64, Ciherang, Cisadane, Way Apo Buru, Membramo, Widas, Fatmawati, Cibogo, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya Muncul, Dodokan dan Lusi dapat meningkatkan luas serangan PBP. Penanaman varietas rentan secara terusmenerus dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan menanam varietas tahan (Litsinger 1994). Lebih lanjut Natanegara dan Sawada (1991) menegaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat varietas yang tahan atau peka terhadap PBP, namun beberapa kasus di lapangan membuktikan bahwa varietas IR 64 merupakan varietas yang paling luas diserang PBP dibandingkan dengan varietas lain. Hasil studi ekosistem di Jatisari, dimana dalam satu hamparan yang sama ditanam dua varietas yang berbeda, yaitu IR64 dan Cisadane diketahui bahwa secara umum intensitas serangan akhir (beluk) pada IR64 cenderung selalu lebih besar dibandingkan dengan Cisadane. Selain faktor varietas, musuh alami PBP baik predator maupun parasitoid (terutama parasitoid telur) diketahui juga cukup berperan dalam mempengaruhi perkembangan populasi PBP di lapangan. Nilai Peubah Iklim yang Berkontribusi pada Serangan WBC dan PBP 1. WBC Berdasarkan hasil pendugaan nilai suhu minimum yang mendukung keadaan serangan WBC dengan metode plot peluang, diketahui bahwa suhu minimum rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 22.4 o C, 22.5 o C dan 22.7 o C, sedangkan pada musim kemarau berturut-turut sebesar 22.2 o C, 22.5 o C,

53 39 dan 22.6 o C. Peluang suhu minimum terendah (peluang kejadian 5%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 19.7 o C, 20.5 o C dan 21.6 o C, pada musim kemarau berturut-turut sebesar 18.9 o C, 20.5 o C, dan 20.3 o C. Peluang suhu minimum tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 24.0 o C, 23.8 o C dan 23.8 o C, sedangkan pada musim kemarau berturutturut sebesar 24.3 o C, 23.8 o C, dan 24.9 o C. Bentuk fungsi peluang yang diperoleh adalah distribusi normal dan Weibull (Lampiran 7, 8, 9, 10, 11, dan 12) sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji-p dari masing-masing kriteria serangan lebih besar dari nilai alpha 0.05 (Tabel 4). Tabel 4 Peluang suhu minimum terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan dan kemarau. Suhu Minimum ( o C) Kriteria Plot Serangan Rerata Batas Batas Peluang (50%) Bawah (5%) Atas (95%) AD P Musim Hujan Ringan Weibull Sedang Weibull Berat Normal Musim Kemarau Ringan Weibull Sedang Normal Berat Normal Nilai peluang suhu minimum ini merupakan nilai yang diperoleh dari data pengamatan lapangan yang sangat menentukan keadaan serangan WBC selama periode di Pantura Jawa Barat. Di daerah tropis, WBC berkembang optimum pada suhu antara o C (Subroto et al. 1992; Dale 1994). Periode oviposisi imago betina WBC terjadi pada suhu antara o C (Pathak & Khan 1994). Kisaran suhu untuk perkembangan telur WBC berkisar antara o C, dan untuk perkembangan stadia nimfa WBC antara o C. Kisaran suhu untuk perkembangan dan perilaku normal WBC jantan makroptera antara o C, sedangkan untuk imago betina WBC pada suhu o C (Subroto et al. 1992). Heong et al. (1995) mengatakan meningkatkan kebugaran imago betina WBC. bahwa suhu udara antara o C dapat

54 40 Pendugaan nilai kelembaban udara yang mendukung keadaan serangan WBC dengan metode plot peluang, diperoleh bahwa pada umumnya kelembaban udara (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 83%, 83%, dan 84%. Sementara itu, peluang kelembaban udara terendah (peluang kejadian 5%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan berturut-turut sebesar 76%, 77% dan 78%. Selanjutnya, peluang kelembaban udara tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim hujan berturutturut sebesar 86%, 87% dan 87% (Tabel 5). Tabel 5 Peluang kelembaban udara terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan. Kelembaban udara (%) Kriteria Plot Serangan Rerata Batas Batas Peluang (50%) Bawah (5%) Atas (95%) AD P Ringan Weibull Sedang Weibull Berat Weibull Nilai peluang kelembaban udara ini merupakan nilai yang diperoleh berdasarkan data pengamatan lapangan yang mempengaruhi serangan WBC selama periode di Pantura Jawa Barat. Sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji-p, diketahui bahwa bentuk fungsi peluang kelembaban udara terhadap luas serangan WBC pada musim hujan adalah Weibull (Lampiran 13, 14, dan 15). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kelembaban udara secara kontiniu menyebabkan peningkatan luas serangan WBC. Perkembangan nimfa WBC di pertanaman padi terjadi pada kondisi yang sangat lembab, yaitu diatas 80% dengan suhu sebesar 25 o C (Isichaikul et al. 1994). Kelembaban udara antara 70-85% merupakan kondisi yang optimum bagi perkembangan siklus hidup WBC di daerah tropis (Dyck et al. 1979). Selain itu, kelembaban udara sebesar 98% dapat memperpanjang masa hidup imago WBC selama hari dibandingkan pada kelembaban udara dibawah 77% (Ichikawa & Isichaikul 1994). Dengan demikian, kelembaban udara memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan WBC karena mempengaruhi seluruh stadia pertumbuhannya.

55 41 2. PBP Berdasarkan hasil pendugaan nilai suhu minimum yang mendukung serangan PBP dengan metode plot peluang pada data serangan musim kemarau, diketahui bahwa suhu minimum rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat berturut-turut sebesar 22.0 o C, 22.1 o C, dan 21.8 o C. Peluang suhu minimum terendah (peluang kejadian 5% ) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 18.6 o C, 18.8 o C, dan 19.1 o C. Peluang suhu minimum tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 24.3 o C, 24.2 o C, dan 24.5 o C (Tabel 6). Tabel 6 Peluang suhu minimum terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. Suhu Minimum ( o C) Kriteria Plot Serangan Rerata Batas Batas Peluang (50%) Bawah (5%) Atas (95%) AD P Ringan Weibull Sedang Weibull Berat Normal Nilai peluang suhu minimum ini merupakan nilai peluang berdasarkan data pengamatan lapangan. Bentuk sebaran fungsi peluang suhu minimum musim kemarau adalah normal dan Weibull, sesuai dengan nilai uji statistik AD dan uji P (Tabel 6). Menurut Dale (1994), suhu optimum untuk perkembangan telur PBP antara o C dengan kelembaban udara antara 85-90%. Lebih lanjut Pathak dan Khan (1994) menjelaskan bahwa larva PBP lebih toleran terhadap suhu minimum dibandingkan dengan suhu maksimum dan mampu bertahan hidup 1-3 hari. Kombinasi suhu antara o C dengan kelembaban udara 90%, merupakan kondisi ideal bagi S. incertulas untuk melakukan oviposisi dan penetasan telur (Mochida et al. 1986). Berdasarkan hasil pendugaan nilai kelembaban udara yang mendukung serangan PBP dengan metode plot peluang pada data serangan musim kemarau, diketahui bahwa kelembaban udara rata-rata (peluang kejadian 50%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau berturut-turut sebesar 78%, 78%, dan 79%. Peluang kelembaban udara terendah (peluang

56 42 kejadian 5% terlampaui) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 72%, 73% dan 74%. Selanjutnya, peluang kelembaban udara tertinggi (peluang kejadian 95%) dimana terjadi serangan ringan, sedang dan berat musim kemarau berturut-turut sebesar 84%, 83% dan 83% (Tabel 7). Tabel 7 Peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. Kelembaban udara (%) Kriteria Plot Serangan Rerata Batas Batas Peluang (50%) Bawah (5%) Atas (95%) AD P Ringan Normal Sedang Normal Berat Normal Bentuk sebaran fungsi peluang kelembaban udara terhadap luas serangan PBP memiliki sebaran normal sesuai dengan uji normalitas AD dan P. Hal ini mengindikasikan bahwa kelembaban udara merupakan salah satu pemicu terjadinya peningkatan serangan PBP. Keberhasilan kopulasi C. supressalis sangat ditentukan oleh kelembaban udara. Persentase keberhasilan kopulasi dan lama kopulasi C. supressalis akan meningkat secara bertahap dengan meningkatnya kelembaban udara (Kanno 1984).

57 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) selama periode mengalami peningkatan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim hujan meningkat sebesar 3.4 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 4.2 o C. Suhu maksimum pada musim hujan meningkat sebesar 2.5 o C, sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 2.6 o C. Suhu rata-rata pada musim hujan meningkat sebesar 3.3 o C sedangkan pada musim kemarau meningkat sebesar 3.7 o C. Sebaliknya, rata-rata curah hujan bulanan selama periode dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Pada kondisi iklim normal, kejadian serangan WBC dan PBP umumnya lebih tinggi pada musim hujan. Sebaliknya pada kondisi iklim ektrim (La Nina), luas serangan WBC dan PBP lebih tinggi pada musim kemarau. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor sedangkan status serangan PBP menurun dari serangan mayor menjadi minor. Status serangan tikus berfluktuasi sedangkan status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor. Dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model, hanya peubah suhu minimum dan kerentanan varietas yang menunjukkan pengaruh nyata dan konsisten. Kedua peubah ini memiliki korelasi positif terhadap luas serangan WBC dan PBP yang ditunjukkan dengan tanda positif pada nilai koefisiennya. Kelembaban udara yang relatif stabil berpengaruh nyata hanya pada musim hujan pada serangan WBC dan musim kemarau pada serangan PBP. Curah hujan belum terlihat pengaruhnya terhadap luas serangan WBC dan PBP.

58 44 Saran Untuk analisis yang lebih dalam tentang dampak keragaman iklim terhadap perkembangan luas serangan hama WBC dan PBP, perlu dilengkapi data seperti data populasi WBC dan PBP, data iklim harian seperti curah hujan harian. Data historis faktor iklim dan luas serangan yang digunakan juga sebaiknya dalam jangka waktu yang lebih panjang (>20 tahun) agar peramalan hama WBC dan PBP dapat dilakukan lebih akurat.

59 DAFTAR PUSTAKA Andrewatha HG, Birch LC The Distribution and Abundance of Animal. 6 th impression. The University of Chicago Press, London. 782p. Awmack CS, Harrington R, Lindroth RL Aphid individual performance may not predict population responses to elevated CO 2 or O 3. Global Change Biology 10: Baco D Biologi wereng cokelat Nilaparvata lugens Stal dan wereng punggung putih Sogatella furcifera Howarth serta interaksi antara keduanya pada tanaman padi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Baehaki SE Studi perkembangan populasi wereng cokelat (Nilaparvata lugens Stal) asal imigran dan pemencarannya di pertanaman [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Baehaki SE Dinamika populasi wereng coklat Nilaparvata lugens Stal. Di dalam Soejitno J et al., editor. Wereng Coklat. Edisi Khusus No. 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. hal Baehaki SE Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam perspektif praktek pertanian yang baik (good agricultural practices). Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): Baehaki SE, Widiarta IN Hama wereng dan cara pengendaliannya pada tanaman padi. Di dalam: Darajat AA et al., editor. Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm Bale JS, Masters GJ, Hodkinson ID, Awmack C, Bezeemer MT, Brown V, Butterfield J, Buse A, Coulson JC, Farrar J, Good GEJ, Harrington R, Hartly S, Jones TH, Lindroth LR, Press Malcom C, Symrnioudis I, Watt A, Whittaker JB Herbivory in global climate change research: direct effects of rising temperature on insect herbivores. Global Change Biology 8:1-16. [BALITPA] Balai Besar Penelitian Padi Penggerek batang padi. Informasi ringkas teknologi padi. [13 Februari 2010]. [BALITPA] Balai Besar Penelitian Padi. 2009a. Wereng Cokelat. bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php. [16 Februari2010]. [BALITPA] Balai Besar Penelitian Padi. 2009b. Penggerek batang padi. e&id=207:-penggerek-batang-padi-&catid=60:hamapadi&itemid=98&lang=in. [13 Februari 2010].

60 46 Boer R Analisis resiko iklim untuk produksi pertanian. Kumpulan Makalah Bidang Klimatologi. Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi Sumatera- Kalimantan dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan. Bogor 1-13 Juli Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas MIPA IPB. hlm Boer R, Baharsjah JS, Las I, Pawitan H Analisis kerentanan dan adaptasi terhadap keragaman dan perubahan iklim. Di dalam: Ginting AN, et al., editor. Anomali dan Perubahan Iklimsebagai Peluang untuk Meningkatkan Hasil Perikanan dan Ketahanan Pangan. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian IV; Bogor, 9-10 September Bogor: PERHIMPI. hlm [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi tanaman padi seluruh provinsi tahun Agustus 2011]. Budianto J Pengelolaan sumberdaya iklim untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Di dalam: Ginting AN, et al., editor. Anomali dan Perubahan Iklim sebagai Peluang untuk Meningkatkan Hasil Perikanan dan Ketahanan Pangan. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian IV; Bogor, 9-10 September Bogor: PERHIMPI. hlm Cammell ME, Knight JD Effects of climatic change on the population dynamics of crop pests. Di dalam: Begon M, et al., editor. Advances in Ecological Research. Volume 22: The Ecological Consequences of Global Climate Change. Academic Press, London. hlm Cannon RJC The implications of predicted climate change for insect pests in the UK, with emphasis on non-indegenous species. Global Change Biology 4: Chen CC, McCarl BA An investigation of the relationship between pesticide usage and climate change. Climatic Change 50: Cormont A, Malinowska AH, Kostenko O, Radchuk V, Hemerik L, WallisDeVries MF, Verboom J Effect of local weather on butterfly flight behaviour, movement, and colonization: significance for dispersal under climate change. Biodivers. Conserv. 20: Dale D Insect pest of the rice plant. Their biology and ecology. Di dalam: Heinrichs EA, Eastern W, editor. Biology and Management of Rice Insects. IRRI. New Delhi. hlm [DITLIN] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Pengendalian Hama Terpadu Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi. Tim Pengendalian Hama Wereng Cokelat. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Produksi padi sawah menurut kabupaten dan kota tahun di Jawa Barat. Agustus 2011] Dyck VA, Misra BC, Alum S, Chen CN, Hsieh CY, Rejesus RS Ecology of the brown planthopper in the tropics. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philippines. hal

61 47 Ganaha T, Sato S, Uechi N, Harris KM, Kawamura F, Yukawa J Shift from non-pest to pest status in Rhopalomyia foliorum (Diptera: Cecidomyiidae), a species that induces leaf galls on Artemisia princeps (Asteraceae) cultivated as an edible plant in Okinawa, Japan. Appl. Entomol. Zool 42(3): Gray RD The relationship between climate and outbreak characteristics of the spruce budworm in eastern Canada. Climatic Change 87: Gutierrez AP Crop ecosystem responses to climatic change: pests and population dynamics. Di dalam: Reddy KR, Hodges HF., editor. Climate Change and Global Crop Productivity. CAB International. hlm Gutierrez AP, Ponti L, d Oultremont T, Ellis CK Climate change effects on poikilotherm tritrophic interactions. Climatic Change 87 (Suppl 1): S167- S192. Heong KL, Song YH, Pimsamarn, Zhang R, Bae SD Global warming and rice arthropod communities. Di dalam: Peng et al., editor. Climate Change and Rice. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. hlm Holzkamper A, Calanca P, Fuhrer J Analyzing climate effects on agriculture in time and space. Procedia Environmental Sciences 3: Huang SH, Cheng CH, Wu WJ Possible impacts of climate change on rice insect pests and management tactics in taiwan: mini review. Crop, Enviro. & Bioinformatics 7: Hulle M, Coeur d Acier A, Bankhead-Dronnet S, Harrington R Aphids in the face of global changes. Comptes Rendus Biologies 333: [IPPC] Intergovernmental Panel on Climate Change Climate change and biodiversity. IPCC Technical Paper V. hlm 4-7. Isichaikul S, Ichikawa T Relative humidity as an environmental factor determining the microhabitat of the nymphs of the rice brown planthopper, Nilaparvata lugens (stal) (Homoptera: Delphacidae). Res. Popul. Ecol. 35: Ichikawa T, Isichaikul S Influence of relative humidity and liquid water on the tolerance to starvation in the adults of the rice brown planthopper Nilaparvata lugens (Stal) (Homoptera: Delphacidae). Proc. Assoc. Pl. Protec. Shikoku 29: Isichaikul S, Fujimura K, Ichikawa T Humid microenvironment prequisite for survival and growth of nymph of rice brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae). Res. Popul. Ecol 36: Kanno H Studies on the mechanism of mating initiation in the rice stem borer moth Chilo supressalis Walker (Lepidoptera: Pyralidae). Bull. Hokuriku Narl. Agric. 26:1-66. Khan ZR, Litsinger JA, Barrion AT, Villanueva FFD, Fernandez NJ, Taylor LD World bibliography of rice stem borers Phillipines; IRRI.

62 48 Koesmaryono Y Biologi kutudaun gandum Rophalosiphum padi Linnaeus (Homoptera: Aphididae) di dua habitat dengan iklim yang berbeda [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Kusdiaman D, Kurniawaty N Kajian pengendalian penggerek batang padi dengan monitoring lampu perangkap dan pelepasan parasitoid telur. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hal Las I Menyiasati fenomena anomali iklim bagi pemantapan produksi padi nasional pada era revolusi hijau lestari. Pengemb. Inov. Pert. 1(2): Las I, Surmaini E, Ruskandar A. 2009a. Antisipasi perubahan iklim: inovasi teknologi dan arah penelitian padi di Indonesia. Di dalam: Suprihatno B et al., editor. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan Buku 1. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008; Subang, Juli Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm Lastuvka Z Climate change and it s possible influence on the occurrence and importance of insect pests. Plant Protect. Sci. 45 (Special Issue): S53-S62. Leather SR, Awmack CS The effects of qualitative changes of individuals in the population dynamics of insects. Di dalam: Dempster JP, McLean IFG., editor. Insect Populations in Theory and in Practice. Symphosium of the Royal Entomological Society 19 th. University of Newcastle; September London: Kluwer Academic Publisher. hlm Litsinger JA Cultural, mechanical, and physical control of rice insects. Di dalam: Heinrichs EA., editor. Biology and Management of Rice Insects. Wiley Eastern Limited, India. hlm Meehl GA, Zwiers F, Evans J, Knutson T, Mearns L, Whetton P Trends in extreme weather and climate events: Issues related to modeling extremes in projections of future climate change. Bull. Amer. Met. Soc 81(3): Mochida O, Joshi RC, Litsinger JA Climatic factors affecting the occurrence of insect pests. Di dalam: Pollard LM et al., editor. Weather and Rice. Proceedings of the international workshop on The Impact of Weather Parameters on Growth and Yield of Rice; Phillipines, 7-10 Apr Manila: IRRI. Mochida O, Okada T Taxonomy and biology of Nilaparvata lugens (Homoptera; Delphacidae). Di dalam: Brady NC, editor. Brown planthopper: Threat to Rice Production in Asia. International Rice Research Institute Manila, Philippines. hal Moraal LG, Gerard AJM, Jagers op Akkerhuis Changing patterns in insect pests on trees in The Netherlands since 1946 in relation to human induced habitat changes and climate factors, an analysis of historical data. Forest Ecology and Management 261:50-61.

63 49 Musolin DL, Tougou D, Fujisaki K Too hot to handle? Phenological and life-history responses to simulated climate change of the southern green stink bug Nezara viridula (Heteroptera: Pentatomidae). Global Change Biology 16: Natanegara F, Sawada H Pengamatan, peramalan dan pengendalian hama penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata Wlk) di Jalur Pantura. Di dalam: Sawada H et al., editor. Laporan Surveillance Organisme Pengganggu Tanaman Padi di Jalur Pantura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. hlm Pathak MD, Khan ZR Insect Pests of Rice. International Rice Research Institute. Manila, Philippines. hlm Patterson DT, Westbrook JK, Joyce RJV, Lingren PD, Rogasik J Weed, insects and disease. Climatic Change 43: Pulhin MJ, Peras RJJ, Cruz RVO, Lasco RD, Pulhin FB, Tapia MA Climate variability and extremes in the Pantabangan - Carranglan watershed of the Philippines: an assessment of vulnerability. Di dalam: Leary N, et al., editor. Climate Change and Vulnerability. Earthscan Publisher, USA. Rahman MT, Khalequzzaman M Temperature requirements for the development and survival of rice stemborers in laboratory conditions. Insect Science 11(1): Rauf A Parasitisasi telur penggerek batang padi putih, Scirpophaga innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), saat terjadi ledakan di Karawang pada awal 1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1):1-10. Rosenzweig C, D Hillel Climate Variability and the Global Harvest Impacts of El Niño and Other Oscillations on Agroecosystems. Oxford University Press, New York. 274p. Rothschild GHL The biology and ecology of rice-stem borers in Sarawak (Malaysian Borneo). Department of Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. Journal of Applied Ecology 8: Solikhin Fenomena dan terminasi diapause penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5(2): Speight MR, Hunter MD, Watt AD Ecology of Insects: Concepts and Aplications. Blackwell Science. London. 350 p. Subroto GSW, Ira, Sukar, Dianto MS, Sawada H Gambaran umum kerusakan tanaman padi karena serangan wereng batang cokelat. Di dalam: Sawada H et al., editor. Laporan Akhir Wereng Batang Cokelat. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. hlm 1-11 Suharto H, Usyati N The stem borer infestation on rice cultivars at three planting times. Indonesian Journal of Agricultural Sciences 6(2): Suharto H, Usyati N Pengendalian hama penggerek batang padi. Di dalam: Darajat AA et al., editor. Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.hlm

64 50 Susanti E, Ramadhani F, Runtunuwu E, Amien I. 2009a. Dampak perubahan iklim terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) serta strategi antisipasi dan adaptasi. [20 Okt2009]. Susanti E, Ramadhani F, June T, Amien LI. 2009b. Pemanfaatan informasi iklim untuk pengembangan sistem peringatan dini luas serangan hama WBC pada pertanaman padi. Jurnal Tanah dan Iklim 30: Thomson LJ, Macfadyen S, Hoffman AA Review: predicting the effects of climate change on natural enemies of agricultural pests. Biological Control 52: Tjasyono BHK Klimatologi. InsitutTeknologi Bandung. Bandung. Untung K, Mahrub E, Sudjono S, Ananda K, Rasdiman, Trisyono A Studi populasi, distribusi dan migrasi wereng cokelat dan musuh alaminya. Di dalam: Sujitno J, et al., editor. Penelitian Wereng Cokelat 1987/1988 Edisi Khusus No 2. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm Untung K, Trisyono A Y Wereng batang cokelat mengancam swasembada beras. Laporan Monitoring Dan Evaluasi Proyek Akhir LPPM UGM. ancam_swasembada_beras.pdf. hlm 1-8 Wigenasantana MS Perubahan populasi penggerek batang padi kuning (Tryporyza insertulas Walker, Lepidotera: Pyralidae) dan hubungannya dengan kehilangan hasil padi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wiyono S Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Seminar Sehari tentang Keanekaragaman Hayati ditengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. Jakarta; 28 Juni Jakarta: KEHATI.

65 52 LAMPIRAN

66 53 Lampiran 1 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim hujan terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. The regression equation is WBC = Tmin CH RH Var Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant Tmin CH RH Var S = R-Sq = 55.7% R-Sq(adj) = 43.1% PRESS = R-Sq(pred) = 26.78% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS Tmin CH RH Var Durbin-Watson statistic = Lack of fit test Possible curvature in variable RH (P-Value = ) Overall lack of fit test is significant at P = Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U WBC

67 54 Lampiran 2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim kemarau terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. The regression equation is WBC = Tmin CH RH Var Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant Tmin CH RH Var S = R-Sq = 60.2% R-Sq(adj) = 49.6% PRESS = R-Sq(pred) = 21.96% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS Tmin CH RH Var Durbin-Watson statistic = No evidence of lack of fit (P >= 0.1). Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U WBC

68 55 Lampiran 3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP musim hujan terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas. The regression equation is PBP = Tmin CH RH Var Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant Tmin CH RH Var S = R-Sq = 6.0% R-Sq(adj) = 0.0% PRESS = R-Sq(pred) = 0.00% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS Tmin CH RH Var Unusual Observations Obs Tmin PBP Fit SE Fit Residual St Resid X R Durbin-Watson statistic = No evidence of lack of fit (P >= 0.1). Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U pbp

69 56 Lampiran 4 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas The regression equation is PBP = Tmin CH RH Var Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant Tmin CH RH Var S = R-Sq = 64.2% R-Sq(adj) = 54.6% PRESS = R-Sq(pred) = 41.90% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS Tmin CH RH Var Unusual Observations Obs Tmin PBP Fit SE Fit Residual St Resid R X Durbin-Watson statistic = No evidence of lack of fit (P >= 0.1). Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PBP

70 57 Lampiran 5 Rata-rata luas serangan WBC dan PBP serta rata-rata luas tanam padi sawah musim tanam /2010 pada tiga kabupaten Pantura Jawa Barat. Musim tanam Luas serangan OPT Luas serangan OPT (ha) Luas tanam Musim (ha) (ha) tanam WBC PBP WBC PBP Luas tanam (ha) / / / / / / / / / / / / / / / / / / / /

71 58 Lampiran 6 Dominasi varietas unggul padi yang ditanam di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat dan ketahanannya terhadap hama Varietas Potensi hasil (ton/ha) Tahun dilepas Ketahanan terhadap Hama IR Tahan wereng cokelat biotipe 1, 2 dan agak tahan wereng cokelat biotipe 3 Ciherang Tahan terhadap wereng cokelat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3 Cisadane Tahan wereng cokelat biotipe 1 dan 2 Rentan terhadap wereng cokelat biotipe 3 Way Apo Buru Tahan wereng cokelat biotipe 2 dan rentan biotipe 3 Memberamo Tahan wereng cokelat biotipe 1,2 dan agak tahan wereng cokelat biotipe 3 Widas Tahan wereng cokelat biotipe 1, 2 dan rentan biotipe 3 Fatmawati Agak tahan terhadap wereng cokelat biotipe 2 dan 3 Cibogo Tahan wereng cokelat biotipe 2, agak tahan wereng cokelat biotipe 3 Cisantana Agak tahan terhadap wereng cokelat biotipe 2 dan 3 Cigeulis Tahan terhadap wereng cokelat biotipe 2 dan rentan biotipe 3 Cilamaya Tahan wereng cokelat biotipe 1 dan 2, muncul rentan biotipe 3 Dodokan Tahan wereng cokelat biotipe 1 dan 2 Lusi Agak tahan terhadap wereng cokelat biotipe 1 dan 2

72 Percen t 59 Lampiran 7 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan. P robability P lot of Tmin W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 47 AD P -Value T min

73 Percen t 60 Lampiran 8 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan. P robability P lot of Tmin W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 27 AD P -Value T min

74 Percen t 61 Lampiran 9 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim hujan. P robability P lot of Tmin No rmal - 95% CI M ean S tdev N 16 AD P -Value T min

75 Percen t 62 Lampiran 10 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau. Probability Plot of Tmin Weibull - 95% CI Shape Scale N 43 AD P-Value Tmin

76 Percen t 63 Lampiran 11 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau. P robability P lot of Tmin W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 27 AD P -Value T min

77 Percen t 64 Lampiran 12 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau. Probability Plot of Tmin Normal - 95% CI Mean StDev N 19 AD P-Value Tmin

78 Percen t 65 Lampiran 13 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan. P robability P lot of R H W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 47 AD P -Value RH

79 Percen t 66 Lampiran 14 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan. P robability P lot of R H W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 27 AD P -Value RH

80 Percen t 67 Lampiran 15 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC dengan kriteria serangan berat pada musim hujan. P robability P lot of R H W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 16 AD P -Value T min

81 Percen t 68 Lampiran 16 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau. Probability Plot of Tmin Weibull - 95% CI Shape Scale N 51 AD P-Value Tmin

82 Percen t 69 Lampiran 17 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau. P robability P lot of Tmin W eib u ll - 95% CI S hape S cale N 43 AD P -Value T min

83 Percen t 70 Lampiran 18 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau. P robability P lot of Tmin No rmal - 95% CI M ean S tdev N 23 AD P -Value T min

84 Percen t 71 Lampiran 19 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau. P robability P lot of R H No rmal - 95% CI M ean S tdev N 51 AD P -Value T min

85 Percen t 72 Lampiran 20 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau. P robability P lot of R H No rmal - 95% CI M ean S tdev N 43 AD P -Value RH

86 Percen t 73 Lampiran 21 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan kriteria serangan berat pada musim kemarau. P robability P lot of R H No rmal - 95% CI M ean S tdev N 23 AD P -Value RH

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari unsurunsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan sebagainya dalam rentang

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat 1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total

II. TINJAUAN PUSTAKA. Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stall) Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total pada tanaman padi (hopperburn) sebagai akibat dari hilangnya

Lebih terperinci

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Memasuki musim hujan tahun ini, para petani mulai sibuk mempersiapkan lahan untuk segera mengolah

Lebih terperinci

commit to users I. PENDAHULUAN

commit to users I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bertambahnya jumlah dan tingkat kesejahteraan penduduk, maka kebutuhan akan hasil tanaman padi ( Oryza sativa L.) yang berkualitas juga semakin banyak. Masyarakat

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI Oleh: Edi Suwardiwijaya Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Jl. Raya Kaliasin. Tromol

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) SYAHRU ROMADHON G24103044 DEPARTEMEN GEOFISIKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik dan non-organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål adalah serangga yang termasuk dalam Ordo Hemiptera, Subordo Auchenorrhyncha, Superfamili Fulgoroidea, Famili Delphacidae

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI Arifin Kartohardjono Balai Besar Penelitian Tanaman padi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT

INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens Stål. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) DENGAN KEPIK PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis Reuter. (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA PADI VARIETAS CIHERANG ZULFIRMAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi.

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas strategis yang selalu mendapatkan prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Upaya meningkatkan produksi padi terutama ditujukan untuk

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT TANGGAP FUNGSIONAL PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis REUTER (HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) RITA OKTARINA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi

I. PENDAHULUAN. Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi Lampung pada sektor tanaman pangan. Produksi komoditas padi di Provinsi Lampung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia. Saat ini, lebih dari 8% hasil produksi pertanian pangan di kabupaten Klaten adalah beras. Budidaya padi dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 1 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) SYAHRU ROMADHON G241344 DEPARTEMEN GEOFISIKA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aplikasi Insektisida terhadap Populasi WBC dan Musuh Alaminya di Lapangan Nilaparvata lugens Populasi wereng batang cokelat (WBC) selama penelitian dipengaruhi oleh interaksi antara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Populasi Rhopalosiphum maidis Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kutu daun R. maidis mulai menyerang tanaman jagung dan membentuk koloni sejak tanaman berumur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata)

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata) Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi karena mampu menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. WBC memang hama laten yang

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI Oleh : Mia Nuratni Yanti Rachman A44101051 PROGRAM STUDI HAMA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas

Lebih terperinci

Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal. Oleh : Budi Budiman

Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal. Oleh : Budi Budiman Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal Oleh : Budi Budiman Nak, kemungkinan hasil panen padi kita tahun ini berkurang!, sebagian besar padi di desa kita terserang hama wereng. Itulah

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, padi adalah komoditas strategis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Hingga saat ini padi atau beras

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA

ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera: Scolytidae) PADA PERTANAMAN KOPI DI KABUPATEN TAPANULI UTARA SKRIPSI OLEH : Darwin Silitonga 100301161 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI

PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI I. PENDAHULUAN Kabupaten Bantul mencanangkan sasaran : (1). Padi, luas tanam 32.879 ha, luas panen 31.060 ha, produktivitas 65,43 ku/ha GKG, produksi 203.174 ton, ( 2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggerek batang padi adalah salah satu hama utama pada tanaman padi. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.

Lebih terperinci

Permasalahan OPT di Agroekosistem

Permasalahan OPT di Agroekosistem Permasalahan OPT di Agroekosistem Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Konsekuensi Penyederhaan Lingkungan Proses penyederhanaan lingkungan menjadi monokultur pertanian memberi dampak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT (Nilaparvata lugens Stal.) TERHADAP FAKTOR IKLIM MENGGUNAKAN PEMODELAN CLIMEX 3.0 (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) AMRI SAJAROH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan Nilai keperidian imago WBC N. lugens brakhiptera dan makroptera biotipe 3 generasi induk yang dipaparkan pada perlakuan

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem Peran Varietas Tahan dalam PHT Dr. Akhmad Rizali Stabilitas Agroekosistem Berbeda dengan ekosistem alami, kebanyakan sistem produksi tanaman secara ekologis tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan bergantung

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal) DEVIED APRIYANTO SOFYAN

ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal) DEVIED APRIYANTO SOFYAN ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal) DEVIED APRIYANTO SOFYAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA

HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Yurista Sulistyawati BPTP Balitbangtan NTB Disampaikan dalam Workshop Pendampingan UPSUS Pajale, 18 April 2017 PENDAHULUAN Provinsi NTB: Luas panen padi

Lebih terperinci

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI Oleh : M Mundir BPKK Nglegok I LATAR BELAKANG Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua organisme yang menggangu pertumbuhan tanaman pokok

Lebih terperinci

TEKNIK PENDUKUNG DITEMUKANNYA PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SEBAGAI INANG ALTERNATIF BAGI HAMA PENGGEREK BATANG PADI PUTIH (SCIRPOPHAGA INNOTATA)

TEKNIK PENDUKUNG DITEMUKANNYA PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SEBAGAI INANG ALTERNATIF BAGI HAMA PENGGEREK BATANG PADI PUTIH (SCIRPOPHAGA INNOTATA) Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001 TEKNIK PENDUKUNG DITEMUKANNYA PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SEBAGAI INANG ALTERNATIF BAGI HAMA PENGGEREK BATANG PADI PUTIH (SCIRPOPHAGA INNOTATA) ZAINUDIN DAN

Lebih terperinci

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System) Sistem Populasi Hama Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Sistem Kehidupan (Life System) Populasi hama berinteraksi dengan ekosistem disekitarnya Konsep sistem kehidupan (Clark et al.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTENSITAS SERANGAN DENGAN ESTIMASI KEHILANGAN HASIL AKIBAT SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI

HUBUNGAN INTENSITAS SERANGAN DENGAN ESTIMASI KEHILANGAN HASIL AKIBAT SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI HUBUNGAN INTENSITAS SERANGAN DENGAN ESTIMASI KEHILANGAN HASIL AKIBAT SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera: Scolytidae) DI KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI OLEH: RAHUTDIN

Lebih terperinci

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Organisme Pengangganggu an (OPT) utama yang menyerang padi ada 9 jenis, yaitu : Tikus, Penggerek Batang, Wereng Batang Coklat,

Lebih terperinci

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemerosotan ini menjadikan Indonesia yang pernah menjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Desa Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dari bulan Mei hingga November 2012. B. Bahan

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resistensi Tanaman Terhadap Serangan Hama Ketahanan/resistensi tanaman terhadap hama/penyakit adalah sekelompok faktor yang pada hakekatnya telah terkandung dalam tanaman

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8.1 Pendahuluan Padi merupakan makanan utama sekaligus mempunyai nilai politis yang tinggi bagi orang Indonesia, yang menyediakan pendapatan secara musiman dan tenaga kerja

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Serangga Hama Berdasarkan hasil identifikasi serangga hama dilokasi Agroekosistem berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies Scripophaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN. Abdul Fattah 1) dan Hamka 2)

TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN. Abdul Fattah 1) dan Hamka 2) TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN Abdul Fattah 1) dan Hamka 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2) Balai Proteksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hama tanaman merupakan salah satu kendala yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah wereng batang cokelat (Nilapavarta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia terutama terhadap pertumbuhan nasional dan sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Sebagai negara

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4.1. PENDAHULUAN 4.1.1. Latar Belakang DBD termasuk salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagai patogen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, dan salah satu kebutuhan primernya tersebut adalah makanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Padi 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Syarat Tumbuh Padi merupakan tanaman ordo Graminales, family Graminae, genus Oryza, dan spesies Oryza spp.. Padi dapat tumbuh pada ketinggian 650 sampai 1500 m dpl dengan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGENDALIAN TERPADU HAMA PENGGEREK BATANG PADI DI KELURAHAN PENATIH, KECAMATAN DENPASAR TIMUR, KOTA DENPASAR

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGENDALIAN TERPADU HAMA PENGGEREK BATANG PADI DI KELURAHAN PENATIH, KECAMATAN DENPASAR TIMUR, KOTA DENPASAR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGENDALIAN TERPADU HAMA PENGGEREK BATANG PADI DI KELURAHAN PENATIH, KECAMATAN DENPASAR TIMUR, KOTA DENPASAR Oleh : I Nyoman Wijaya Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

AGROTEKNOLOGI TANAMAN LEGUM (AGR62) TEKNOLOGI PENGELOLAAN JASAD PENGGANGGU DALAM BUDIDAYA KEDELAI (LANJUTAN)

AGROTEKNOLOGI TANAMAN LEGUM (AGR62) TEKNOLOGI PENGELOLAAN JASAD PENGGANGGU DALAM BUDIDAYA KEDELAI (LANJUTAN) AGROTEKNOLOGI TANAMAN LEGUM (AGR62) TEKNOLOGI PENGELOLAAN JASAD PENGGANGGU DALAM BUDIDAYA KEDELAI (LANJUTAN) HAMA Hama utama tanaman kedelai adalah: 1. Perusak bibit 2. Perusak daun 3. Perusak polong 4.

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT)

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) OVERVIEW : PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) Oleh Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian Univ. Brawijaya Apakah PHT itu itu?? Hakekat PHT PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas ha. Sekitar

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas ha. Sekitar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas 1.221.544 ha. Sekitar 463.649,09 ha adalah areal potensial untuk pertanian, tetapi baru seluas 293.079 ha yang dimanfaatkan.

Lebih terperinci