ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT"

Transkripsi

1 ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 1 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) SYAHRU ROMADHON G DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 27

2 ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 1 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) OLEH : SYAHRU ROMADHON G Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 27

3 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Analisis Tingkat Serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Berdasarkan Faktor Iklim (Studi Kasus : 1 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) Nama : Syahru Romadhon NIM : G Menyetujui : Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP Tanggal Lulus :

4 ABSTRAK SYAHRU ROMADHON. Analisis Tingkat Serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Berdasarkan Faktor Iklim (Studi Kasus : 1 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di wilayah Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 27 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Wereng Batang Coklat (WBC) merupakan salah satu hama yang sangat penting pada tanaman padi, terutama di wilayah Asia Pasifik yang serangannya sporadis dan sangat merusak pertanaman padi. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan sel tanaman. Iklim dan cuaca telah diketahui pengaruhnya terhadap kehidupan dari serangga sejak dua setengah abad yang lalu, tetapi penelitian mengenai hal itu baru dilakukan 8 tahun kemudian. Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga, termasuk WBC. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa setiap kabupaten endemik WBC memiliki fluktuasi faktor iklim yang mempengaruhi luas serangan yang berbeda-beda tiap bulannya tergantung pada stadia WBC. Kabupaten Cirebon, Indramayu, Karawang dan Subang merupakan kabupaten yang terserang WBC paling sering dan paling luas. Setiap kabupaten endemik juga memiliki koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi berdasarkan faktor iklimnya. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh relatif kecil disebabkan oleh faktor data luas serangan WBC yang hanya menyerang pada bulan-bulan tertentu. Setiap stadia (fase) hidup WBC mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda-beda pada tiap kabupaten. Jika dikelompokkan berdasarkan curah hujan dan ketinggiannya, di dataran rendah (-1 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim hujan, sedangkan di dataran tinggi (>3 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim kemarau. Dari hasil analisis diketahui faktor iklim yang paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan berturut-turut adalah curah hujan musim hujan, suhu maksimum, curah hujan musim kemarau, kelembaban udara, suhu rata-rata dan suhu minimum. Fase WBC yang paling dipengaruhi faktor iklim secara umum adalah telur dan imago. Kabupaten endemik yang faktor iklimnya berperan paling besar terhadap luas serangan menurut analisis regresi linier berganda adalah kabupaten Sukabumi yang keeratannya mencapai 26.6% pada waktu tunda dua bulan (stadia telur). Hal ini dapat disebabkan faktor lain, khususnya tata cara pengolahan pertanian termasuk teknik pengendalian WBC di kabupaten ini tidak seketat pengendalian di kabupatenkabupaten di wilayah Pantura yang luas serangannya lebih besar, sehingga pengaruh faktor iklim lebih kuat.

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1986 sebagai anak keenam dari enam bersaudara, anak dari pasangan Bapak Sukaryanto dan Ibu Daryati.. Pada tahun 23 penulis menyelesaikan studi di SMUN 35 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis berhasil masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Berkaitan dengan salah satu mata kuliah wajib mahasiswa Program Studi Meteorologi, penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian Jakarta dari bulan Juli-Agustus 26.

6 KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas kehendak-nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi) ini. Untuk itulah, penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu. Terutama untuk : 1. Kedua orangtua, bapak dan ibu yang telah memberikan kasih sayang dan doa tulus yang tiada hentinya untuk penulis, serta seluruh keluarga yang telah mendukung apa yang dilakukan oleh penulis. 2. Bapak Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono, MS sebagai pembimbing skripsi atas bantuan, konsultasi, saran, bimbingan dan nasehat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi, dan juga sebagai pembimbing akademik selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 3. Bapak Ir.Impron, M.Agr,Sc dan bapak Dr.Ir.Imam Santosa, MS yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi. 4. Bapak I Putu Santikayasa,S.Si,M.Sc atas bimbingannya dalam menyelesaikan laporan Praktek Lapang, serta seluruh dosen pengajar di Departemen GFM atas ilmu-ilmu yang telah diberikan selama ini. 5. Bapak Dedi Saefuddin beserta staf UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat di Bandung dan juga BMG Darmaga untuk penyediaan data-data yang dibutuhkan penulis. 6. Ateu Eva Nurhayati, teman setia selama penelitian. Terima kasih untuk kebersamaan dalam mencari data, canda tawa serta saling bertukar pikiran. 7. My second family di Wisma Aulia : Mamah Qq, Om Kolay, Papa Latief untuk semua bantuan, dukungan, cerita-cerita dan candatawa. Bapak dan ibu Marmo serta teman-teman lainnya di Wisma Aulia terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya. 8. Kakak-kakak kelas: K Ferly untuk konsultasi jarak jauhnya, A Erwin untuk saransarannya, K Linda untuk buku hamanya, K Away untuk pinjaman laptopnya selama seminar dan sidang, K Ipit, K Nita dan K Lupi untuk cerita-ceritanya, Paman Samba untuk cerita dan candaannya, serta kakak-kakak lainnya yang telah memberikan bantuan. 9. Teman-teman seangkatan GFM 4, terima kasih untuk segala kebersamaan, cerita-cerita dalam suka dan duka selama empat tahun ini. Ayo tetap semangat!!! 1. Staf administrasi Departemen GFM: Mas Azis, Pa Toro, Bu Inda, Pa Djun, Pa Pono, Pa Udin, Mba Wanti dan Mba Icha, terimakasih untuk segala bantuannya. 11. Staf di dekanat FMIPA IPB : Bu Fitri, Pa Sudin, Pa Maman dan yang lainnya. Terima kasih untuk bantuannya. 12. Pa Aris Pramudia dan teman-reman di lab Agromet, serta terima kasih juga untuk semua orang yang telah memberikan bantuan baik moril dan imateriil namun penulis tidak dapat sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini, saran dan masukannya sangat dihargai. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi orang lain. Terima Kasih. Bogor, Agustus 27 Penulis

7 i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman iii iv vi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asumsi Tujuan... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Unsur-unsur Iklim yang Berpengaruh pada Serangga dan Wereng Batang Coklat.. 3 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode... 5 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat Uji Koefisien dalam Penentuan Peubah Suhu yang Signifikan Terhadap Luas Serangan AnalisisPerbandingan Hubungan Faktor Iklim dengan Luas Serangan WBC Berdasarkan Ketinggian V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 28

8 iii DAFTAR TABEL No. Hal. Tabel 1. Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat... 5 Tabel 2. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Bekasi... 6 Tabel 3. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Bekasi... 6 Tabel 4. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Cianjur... 8 Tabel 5. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Cianjur... 8 Tabel 6. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Cirebon... 1 Tabel 7. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Cirebon... 1 Tabel 8. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Garut Tabel 9. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Garut Tabel 1. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Indramayu Tabel 11. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Indramayu Tabel 12. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Karawang Tabel 13. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Karawang Tabel 14. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Majalengka Tabel 15. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Majalengka Tabel 16. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Subang Tabel 17. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Subang Tabel 18. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Sukabumi Tabel 19. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Sukabumi Tabel 2. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Tasikmalaya Tabel 21. Nilai R 2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Tasikmalaya Tabel 22. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda antara Luas Serangan dan Lima Faktor Iklim yang Berperan Terhadap Luas Serangan Tabel 23. Hasil Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan Tabel 24. Hasil Regresi Stepwise Untuk Memilih Peubah Suhu yang Signifikan... 24

9 iv DAFTAR GAMBAR No. Hal. Gambar 1. Padi hopperburn akibat serangan WBC... 2 Gambar 2. Telur WBC... 2 Gambar 3. Nimfa WBC... 3 Gambar 4. Imago makroptera dan brakhiptera WBC... 3 Gambar 5. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik)... 7 Gambar 6. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik)... 7 Gambar 7. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Bekasi (kuadratik)... 7 Gambar 8. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Bekasi (kuadratik)... 7 Gambar 9. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Bekasi (linier)... 7 Gambar 1. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)... 8 Gambar 11. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)... 9 Gambar 12. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata9 di Kabupaten Cianjur (kuadratik)... 9 Gambar 13. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cianjur (kuadratik)... 9 Gambar 14. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cianjur (linier)... 9 Gambar 15. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik)... 1 Gambar 16. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik)... 1 Gambar 17. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cirebon (kuadratik)... 1 Gambar 18. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Gambar 19. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cirebon (linier) Gambar 2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Garut (kuadratik) Gambar 21. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Garut (kuadratik) Gambar 22. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Garut (kuadratik) Gambar 23. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Garut (kuadratik) Gambar 24. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Garut (linier) Gambar 25. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Gambar 26. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Gambar 27. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Gambar 28. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Gambar 29. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Indramayu (linier) Gambar 3. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Karawang (kuadratik)... 15

10 Gambar 31. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Karawang (kuadratik) Gambar 32. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Karawang (kuadratik) Gambar 33. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Karawang (kuadratik) Gambar 34. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Karawang (linier) Gambar 35. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Gambar 36. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Gambar 37. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Gambar 38. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Gambar 39. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Majalengka (linier) Gambar 4. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Subang (kuadratik) Gambar 41. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Subang (kuadratik) Gambar 42. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Subang (kuadratik) Gambar 43. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Subang (kuadratik) Gambar 44. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Subang (linier) Gambar 45. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)... 2 Gambar 46. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)... 2 Gambar 47. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)... 2 Gambar 48. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)... 2 Gambar 49. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Sukabumi (linier) Gambar 5. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Gambar 51. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Gambar 52. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Gambar 53. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Gambar 54. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Tasikmalaya (linier) v

11 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Hal. Lampiran 1. Peta Sebaran Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC dan Faktor Iklim di 1 Kabupaten Endemik WBC... 3 Lampiran 3. Hasil Output Minitab 14 Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan Lampiran 4. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Linier Berganda Lampiran 5. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Stepwise... 49

12 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesesuaian iklim dan potensi lahan bagi berbagai jenis tanaman pangan merupakan aspek yang sangat penting yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan produksi dan produktivitas tanaman pangan yang tinggi. Aspek lain yang juga berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman pertanian adalah serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pertumbuhan dan perkembangan populasi OPT dipengaruhi oleh interaksi antara OPT itu sendiri, tanaman, sistem budidaya tanaman, musuh alam, faktor cuaca/iklim, serta faktor lingkungan fisik lainnya. Hal ini menyebabkan fluktuasi luas serangan OPT pada tanaman pangan bervariasi menurut musim. Penyimpangan iklim ekstrim menyebabkan bencana alam baik berupa banjir maupun kekeringan khususnya pada tanaman pangan, namun secara tidak langsung juga dapat menimbulkan serangan OPT (Deptan, 23). OPT pangan merupakan salah satu kendala utama dalam setiap usaha tani yang dilakukan oleh petani. Kerugian akibat serangan OPT dapat menurunkan hasil secara kuantitas dan kualitas. Pada beberapa daerah endemik, serangan OPT dapat mengakibatkan kerugian besar bahkan puso. Demikian pula pada ekosistem tanaman pangan terdapat kompleks OPT dan musuh alaminya sebagai bagian atau elemen dari ekosistem. Oleh karena itu, pengetahuan dan pengenalan kompleks OPT dan musuh alami dalam suatu ekosistem pertanian penting sebagai dasar untuk menyusun strategi dan teknik pengendaliannya (Deptan, 1992). Salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia adalah wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) untuk selanjutnya disebut WBC. Hama ini menimbulkan kerusakan yang luas dan hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam dan merupakan OPT yang sangat ganas dan sering terjadi ledakan serangan yang mengakibatkan kerugian ekonomi sangat tinggi jika terjadi puso. Kerusakan pada pertanaman dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, yaitu dengan menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati. Sedangkan secara tidak langsung karena hama ini dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Subroto et al., 1992). Serangan hama WBC di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1931, merusak pertanaman padi di Darmaga, Bogor, kemudian di Mojokerto (Jawa Timur) pada tahun 1939 dan Yogyakarta pada tahun 194 Serangan hebat di pulau Jawa terjadi pada tahun 1969/197 dan di Sumatera Utara pada tahun 1972/1973. Luas serangan WBC meliputi seluruh wilayah Indonesia, kecuali Maluku dan Papua (Subroto et al., 1992). Dalam usaha pengendalian WBC, sistem peringatan dini (early warning system) adalah sangat diperlukan, karena melalui sistem ini persiapan dalam gerakan untuk antisipasi ledakan (outbreaks) serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Sistem peringatan dini ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam pada daerah endemik WBC, sehingga dapat mengurangi potensi kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat serangan WBC. 1.2 Asumsi Fase WBC yang menyerang padi adalah fase nimfa dan imago. Seluruh daerah kajian memiliki faktor suhu udara yang sesuai bagi kehidupan WBC, sehingga dapat menimbulkan ketidakkonsistenan pengaruh suhu pada persamaan-persamaan regresi yang dihasilkan. Luas serangan WBC berbanding lurus dengan luas areal sawah yang ada di kabupaten tersebut. 1.3 Tujuan Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di wilayah Jawa Barat. 1

13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Wereng batang coklat (WBC) merupakan salah satu hama yang sangat penting pada tanaman padi, terutama di wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia yang serangannya sporadis dan sangat merusak pertanaman padi. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan WBC dengan menghisap cairan sel tanaman (Sogawa, 1971). Di Pulau Jawa, WBC menyerang hampir semua daerah pertanaman padi dari dataran rendah hingga dataran tinggi, namun lebih banyak dijumpai di dataran rendah. Penyebarannya terpusat di beberapa daerah tertentu yang dikenal dengan sebutan daerah endemik. Contoh daerah endemik untuk WBC di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Subang dan beberapa kabupaten lainnya Bioekologi Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal) termasuk ke dalam ordo Homoptera, sub ordo Auchenorrhyncha dan famili Delphacidae. Hama ini memiliki sinonim nama latin lain, yaitu Calligypona oryzae dan Delphacodes oryzae. Menurut Sogawa (1971), WBC merupakan hama yang aktif pada siang hari (diurnal) dan kemampuan reproduksinya tinggi jika keseimbangannya lingkungan hidupnya terganggu, baik oleh penanaman varietas yang peka, perubahan iklim (curah hujan) maupun salah aplikasi insektisida sehingga menyebabkan kekebalan (resurjensi) wereng batang coklat Gejala Serangan Pada umumnya serangan WBC terjadi pada tanaman padi yang telah dewasa tetapi belum memasuki masa panen, namun terkadang juga menyerang persemaian padi. Tanaman yang masih muda yang masih terserang warna daunnya menjadi kuning, pertumbuhannya terhambat, sehingga tanaman akan menjadi kerdil. Serangan yang hebat akan mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati karena perkembangan akarnya terhambat. WBC juga mengeluarkan sekresi berupa kotoran embun madu yang biasanya akan ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga daun padi akan berwarna hitam yang gejalanya disebut hopperburn. Apabila banyak terlihat kotoran putih bekas pergantian kulit nimfa, maka hal tersebut menunjukkan bahwa populasi WBC telah tinggi (Pracaya, 1991). Selain mematikan pertanaman padi dengan menghisap cairan selnya, WBC juga diketahui merupakan vektor pembawa penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa, sehingga harus benar-benar diperhatikan penanggulangannya begitu terjadi gejala serangan WBC (Subroto et al., 1992). Gambar 1. Padi hopperburn akibat serangan WBC (Sumber : Morfologi Telur WBC mempunyai telur berwarna putih kecoklatan berbentuk lonjong dengan ukuran 1.3 mm x.33 mm yang biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi. Peletakan telurnya secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Telur akan menetas menjadi nimfa instar pertama setelah sekitar 6-9 hari. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan telur sekitar 39 butir (Sogawa, 1971). Gambar 2. Telur WBC (Sumber : 2

14 Nimfa WBC yang baru menetas sebelum menjadi dewasa (imago) akan melewati sekitar lima tahapan ganti kulit (instar) nimfa yang dibedakan menurut ukuran bentuk tubuh dan bakal sayapnya. Periode setiap instar nimfa berkisar antara 2-4 hari, sehingga WBC rata-rata menghabiskan hari pada seluruh fase nimfa ini (Sogawa, 1971). Gambar 3. Nimfa WBC (Sumber : Imago Serangga dewasa WBC mempunyai dua bentuk, yaitu yang bersayap normal dapat terbang (makroptera) serta yang bersayap pendek tidak dapat terbang (brakhiptera). WBC makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera. Dalam Natawigena (199), pada kepadatan populasi tinggi atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera. Gambar 4. Imago makroptera dan brakhiptera WBC (Sumber : Siklus Hidup Siklus hidup satu generasi WBC di daerah tropis rata-rata berkisar antara hari, dengan seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk imago brakhiptera lebih dahulu bertelur daripada bentuk makroptera. Berdasarkan umur padi dan umur imago WBC dalam setiap generasi, maka selama satu musim tanam dapat timbul 2-8 imago WBC (Hidayat, 2). WBC sangat aktif sepanjang tahun pada iklim tropika, tetapi mereka tidak dapat bertahan pada musim dingin pada iklim temperate. Hama ini juga mampu bermigrasi pada jarak yang jauh dan membentuk koloni kembali di wilayah temperate tiap tahun pada bulan juni atau Juli. Pada bulan September, banyak WBC yang kembali lagi ke wilayah tropika saat angin mendukung Teknik Pengendalian WBC sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Hal ini disebabkan WBC mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Untuk mengatasi dengan aman, dilakukan pengendalian secara terpadu sehingga memberi peranan penting pada musuh alami sebagai komponen yang tidak dapat ditinggalkan. Usaha pengendaliannya telah banyak dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan tidak dapat dilakukan terus menerus, sehingga perlu dicari cara pengendalian lain, seperti penggunaan musuh alami (Deptan, 23). 2.2 Unsur-unsur Iklim yang Berpengaruh pada Serangga dan Wereng Batang Coklat Iklim dan cuaca telah diketahui pengaruhnya terhadap kehidupan dari serangga sejak dua setengah abad yang lalu, tetapi penelitian mengenai hal itu baru dilakukan 8 tahun kemudian. Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga (Koesmaryono, 1987) Suhu Udara Seperti halnya jenis hewan lain, serangga memiliki batasan suhu untuk dapat beraktivitas dengan normal. Serangga tergolong sebagai hewan berdarah dingin 3

15 (poikilotermal), maka setiap jenis serangga memerlukan suhu lingkungan yang berbeda. Perubahan temperatur diurnal sangat mempengaruhi aktivitas dari ordo Homoptera, dan juga beberapa spesies ulat dari ordo Lepidoptera (Pedgley, 1982). Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya tergantung pada tiap spesies serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang lebar (eury-thermal) dan ada pula yang hanya mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang sempit (stenothermal). Namun Sunjaya (197) menyebutkan bahwa serangga mempunyai suhu optimum sekitar 26 C. Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembangan stadia telur dan nimfanya adalah pada suhu 25-3 C, menurut Hirano (1942, dalam Subroto et al., 1992) untuk perkembangan embrio WBC akan terhenti pada suhu lingkungan kurang dari 1 C. Sedangkan Suenega (1963, dalam Subroto et al., 1992) menyebutkan bahwa WBC makroptera jantan memiliki kisaran suhu 9-3 C untuk berperilaku normal, sedangkan WBC makroptera betina antara 1-32 C. Akhirnya Subroto et al. (1992) menyimpulkan bahwa suhu paling sesuai untuk pemunculan WBC dewasa di lapangan adalah pada suhu 28-3 C di siang hari Kelembaban Udara Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium (tingkatan kehidupan) pada masing-masing perkembangan. Pada serangga, kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-1% (Sunjaya, 197). Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan WBC. WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 7-85%. Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari (Hino et al., 197 dalam Alissa, 199) Curah Hujan Peranan hujan cukup besar pengaruhnya dalam bidang ekologi serangga, terutama pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Sunjaya (197) menyatakan bahwa periodisitas timbulnya suatu hama erat hubungannya dengan periodisitas curah hujan tahunan dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik langsung dapat menghanyutkan serangga-serangga yang berukuran kecil, sedangkan secara tidak langsung curah hujan dapat mempengaruhi kelembaban udara. Sebagian kecil peneliti mengatakan bahwa ledakan populasi WBC lebih banyak terjadi pada musim hujan, tetapi mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC (Hidayat, 2) Cahaya dan Radiasi Reaksi serangga terhadap cahaya erat hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, bila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya (Sunjaya, 197). Penyinaran yang kuat dan berlangsung secara kontinu serta dalam waktu yang cukup lama menyebabkan pertumbuhan serangga terhenti, pembiakan terhenti, bahkan dapat mati. Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda antara serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dengan yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya (Uvarov, 1931 dalam Koesmaryono, 1985) Angin dan Gerak Udara Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga. Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya saja pada serangga yang bertubuh ringan 4

16 walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi karena adanya gerak udara, baik gerak udara vertikal (pengaruh konveksi) maupun gerak udara horizontal (pengaruh angin musim dan angin pasat) (Sunjaya, 197) Pengaruh Topografi Terhadap Penyebaran Serangga Topografi suatu wilayah menggambarkan situasi alam atau keadaan setempat dimana sifatnya dapat menghambat, menghalangi, menyebarkan atau memencarkan suatu hama dari satu daerah ke daerah lainnya. Keadaan topografi antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya tidak akan sama. Laut adalah penghalang fisiografis yang utama karena laut memisahkan flora dan fauna di berbagai benua serta mengisolasi pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Selain laut, topografi yang berupa gunung, sungai, bukit, padang pasir, padang rumput, serta zona penghalang iklim lainnya merupakan barrier topografi bagi penyebaran serangga (Sunjaya, 197). III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 27 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Dengan wilayah kajian di daerah endemik WBC Provinsi Jawa Barat. Tabel 1. Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat No Kabupaten Ketinggian Tempat Rata-rata 1. Subang 1 mdpl 2. Karawang 15 mdpl 3. Bekasi 2 mdpl 4. Indramayu 2 mdpl 5. Cirebon 3 mdpl 6. Majalengka 7 mdpl 7. Sukabumi 15 mdpl 8. Tasikmalaya 3 mdpl 9. Garut 4 mdpl 1. Cianjur 9 mdpl 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data iklim bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun (21-26) yaitu data curah hujan (CH), data suhu maksimum (T maks), data suhu minimum (T min), data suhu rata-rata (T rata), dan data kelembaban udara (RH). (Sumber : BMG Darmaga) 2. Data Luas Serangan WBC bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun (21-26). (Sumber : UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat). Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office 27 (Word dan Excel) dan Minitab Metode Metode yang digunakan dalam analisis data adalah dengan metode regresi linier sederhana untuk tiap curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis sebelumnya. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Metode regresi lainnya tidak digunakan karena kurang mewakili pola sebaran data di setiap kabupaten endemik secara umum setelah dilakukan uji kesesuaian model regresi.. Persamaan umum regresi linier sederhana : y = a + bx... (1) Persamaan umum regresi kuadratik sederhana : 2 y = a + b1 x1 + b2 x2... (2) Persamaan umum regresi linier berganda: y = a + b x + b x + b x + b x + b... (3) x5 Dimana y = Luas Serangan WBC x = Unsur iklim a, b = Konstanta Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan 5 faktor iklim secara bersama-sama terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. 5

17 Sedangkan untuk mengetahui faktor iklim yang paling berperan digunakan analisis untuk 5 faktor iklim yang memiliki pengaruh terhadap bioekologi WBC [suhu maksimum (T maks), suhu minimum (T min), suhu rata-rata (T rata) dan, kelembaban udara (RH)], sehingga didapat persamaan regresi kuadratik yang menyatakan hubungan tiap faktor iklim dengan luas serangan WBC pada berbagai waktu tunda (timelag). Khusus untuk faktor curah hujan, analisis regresi linier sederhana yang digunakan dan dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April-September adalah musim kemarau, dan bulan Oktober-Maret adalah musim hujan. Satu siklus hidup WBC berkisar antara hari atau diasumsikan kurang lebih dua bulan, maka terdapat dua waktu tunda yang masing-masing menggambarkan perkembangan hidup WBC sejak fase telur, nimfa, imago, dan akhirnya mati. Pada analisis tanpa lag, berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan saat itu atau ketika WBC berada pada fase imago yang aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda satu bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan dengan WBC sedang berada pada fase nimfa. Sedangkan analisis yang dilakukan pada waktu tunda dua bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan saat WBC berada pada fase telur. Pada analisis regresi linier berganda dapat terjadi gejala multikolinieritas (antara peubah-peubah bebas terjadi korelasi yang kuat), terutama antara tiga faktor suhu (maksimum, minimum dan rata-rata) sehingga dilakukan uji koefisien dengan metode regresi stepwise untuk memilih peubah suhu yang memiliki korelasi yang lebih besar dengan peubah luas serangan dan menghilangkan peubah suhu lain karena peubah suhu tersebut yang memiliki korelasi lebih besar dianggap sudah mewakili. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Wilayah Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat Daerah endemik WBC adalah suatu daerah yang selalu diserang oleh WBC pada setiap musim tanamnya, sehingga diperlukan upaya untuk meminimalisasi kerugian yang diakibatkannya. Serangan WBC di provinsi Jawa Barat cenderung selalu terjadi di daerah dataran rendah yang dekat dengan wilayah pesisir pantai (Peta selengkapnya di Lampiran 1) Kabupaten Bekasi Tabel 2. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Bekasi Tahun Luasan Admin (Ha) Luasan (Ha) Luasan Terserang WBC (Ha) Persentase (%) Berdasarkan Tabel 2 diatas diketahui bahwa tingkat penggunaan lahan di kabupaten Bekasi yang digunakan untuk sawah cukup dominan, yaitu rata-rata 4% dari luas wilayah keseluruhan. Luasan sawah terserang WBC yang paling parah di kabupaten Bekasi terjadi pada tahun 23 yang mencapai 6166 ha atau lebih dari 1% wilayah persawahan. Tabel 3. Nilai R 2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Bekasi Persentase Terserang WBC (%) (Sumber: Badan Pusat Statistik, 26) No Faktor Iklim Tanpa lag Lag 1 Lag 2 1. Suhu maksimum 8.% 4.% 3.9% (T max) 2. Suhu minimum 3.5% 2.9% 3.2% (T min) 3. Suhu rata-rata 7.7% 3.9% 3.8% (T rata) 4. Kelembaban udara 7.1% 4.1% 3.6% (RH) 5. Curah Hujan Musim.1% 1.9%.3% Kemarau (CHMK) 6. Curah Hujan Musim 7.6% 1.4%.1% Hujan (CHMH) 7. Semua faktor iklim diatas 6.4% 5.6% 4.7% 6

18 Dari hasil analisis regresi pada Tabel 3 diketahui bahwa untuk faktor suhu maksimum saat terjadi serangan (tanpa lag) diperoleh nilai R 2 yang terbesar dibanding pada waktu tunda lain, yaitu sebesar 8. % dengan persamaan LS= Tmax+ 4.27Tmax 2 yang berarti suhu maksimum memiliki peranan yang lebih besar terhadap aktivitas imago WBC yang menyukai suhu yang cukup tinggi daripada saat fase nimfa (lag 1) ataupun telur (lag 2) yang memiliki nilai R 2 yang lebih kecil. Untuk faktor suhu minimum dan suhu rata-rata juga diperoleh hasil yang sama, yaitu saat terjadi serangan (tanpa lag) masing-masing mempunyai nilai R 2 sebesar 3.5% dengan persamaan LS = Tmin+ 4.22Tmin 2 dan 7.7% dengan persamaan LS = Trata+ 7.3Trata 2. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh suhu di kabupaten Bekasi paling berperan saat terjadi serangan (saat WBC pada fase imago) dibandingkan fase WBC lainnya. 3 T max (oc) Gambar 5. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag) Gambar 7. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Bekasi (kuadratik) Hubungan paling erat antara faktor RH dengan luas serangan WBC diperoleh saat terjadi serangan (tanpa lag ), yaitu saat WBC berada pada fase imago dengan nilai R 2 sebesar 7.1% yang memenuhi persamaan LS = RH RH Gambar 8. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Bekasi (kuadratik) Faktor curah hujan yang memiliki pengaruh paling besar dalam kehidupan WBC di kabupaten Bekasi, yaitu pada waktu musim hujan saat WBC sudah menjadi imago (tanpa lag ) dengan nilai R 2 sebesar 7.6% dengan persamaan LS = CH Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag) T rata (oc) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) RH (%) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (tanpa lag) T min (oc) Gambar 6. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik) CH MH (mm) Gambar 9. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Bekasi (linier) 7

19 Tahun Jika dilakukan analisis regresi linier berganda antara luas serangan WBC di kabupaten Bekasi dengan semua faktor iklim yang dianalisis sebelumnya maka diperoleh hubungan paling erat saat terjadi serangan (tanpa lag) atau pada saat WBC berada pada fase imago dengan nilai R 2 sebesar 6.4% yang memenuhi persamaan LS = Tmax +282 Tmin-531Trata- 1.31RH-.82CH. Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di kabupaten Bekasi yaitu suhu maksimum (T max) saat terjadinya serangan (tanpa lag) Kabupaten Cianjur Tabel 4. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Cianjur. Luasan Admin (Ha) Luasan (Ha) Luasan Terserang WBC (Ha) Persentase (%) Persentase Terserang WBC (%) (Sumber: Badan Pusat Statistik, 26) Tingkat penggunaan lahan untuk persawahan padi di kabupaten Cianjur tidak terlalu besar, hanya berkisar 15-16% dari luas wilayah keseluruhan. Walaupun termasuk daerah endemik WBC, serangan WBC tidak terlalu luas di kabupaten Cianjur. Salah satu faktornya disebabkan wilayah sawah yang terbatas bagi WBC untuk mencari makan. Luas serangan yang tertinggi terjadi pada tahun 23 yang meliputi 41 ha sawah atau sekitar.6% dari total luas sawah di kabupaten Cianjur, untuk selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 5. Nilai R 2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Cianjur No Faktor Iklim Tanpa Lag 1 Lag 2 lag 1. Suhu maksimum.2% 3.2% 6.4% (T max) 2. Suhu minimum 2.2% 1.8% 4.4% (T min) 3. Suhu rata-rata 3.6% 1.9% 1.5% (T rata) 4. Kelembaban udara.7% 1.% 1.3% (RH) 5. Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK).2% 4.9% 5.5% 6. Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) 7. Semua faktor iklim diatas.9%..%.% 4.4% 8.2% 13.2% Di kabupaten Cianjur, faktor suhu maksimum dan minimum pada waktu tunda dua bulan memiliki hubungan yang paling erat dibandingkan waktu tunda lainnya dengan nilai R 2 sebesar 6.4% dengan persamaan LS = Tmax-.999Tmax 2, dan 4.4% dengan persamaan LS = Tmin+ 3.4 Tmin 2 saat WBC sedang berada pada fase telur. Pada analisis tanpa lag dan lag 1 menunjukkan bahwa suhu maksimum dan minimum tidak banyak mempengaruhi luas serangan, hal ini dapat diakibatkan suhu maksimum (suhu pada siang hari) dan suhu minimum (suhu pada dini hari) yang rendah di kabupaten Cianjur kurang mendukung bagi aktivitas imago WBC Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 2) T max (oc) Gambar 1. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)

20 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 2) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 2) T min (oc) RH (%) Gambar 11. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik) Untuk faktor suhu rata-rata terjadi sebaliknya, hubungan paling erat justru diperoleh pada analisis tanpa lag dengan nilai R 2 sebesar 3.6% dengan persamaan LS = Trata+ 7.91Trata 2, sedangkan saat lag 2 memiliki nilai R 2 yang paling kecil. Hal ini dapat diakibatkan suhu rata-rata sepanjang hari di kabupaten Cianjur lebih cocok bagi aktivitas imago WBC daripada fase WBC lainnya. Gambar 13. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cianjur Kejadian serangan WBC di kabupaten Cianjur cenderung lebih dipengaruhi curah hujan pada musim kemarau saat WBC berada pada fase telur (lag 2) dibandingkan pada musim hujan yang biasanya banyak terjadi serangan dengan nilai R 2 mencapai 5.5% dan memenuhi persamaan LS = CH. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MK (Lag 2) 9 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag) CH MK (mm) T rata (oc) Gambar 12. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cianjur (kuadratik) Pada analisis antara luas serangan dan kelembaban udara diperoleh hubungan terbaik saat dilakukan analisis pada lag 2 dengan nilai R 2 sebesar 1.3% dan persamaan LS = RH+.195RH 2. Saat itu WBC berada pada fase telur yang membutuhkan kelembaban tinggi agar dapat menetas Gambar 14. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cianjur (linier) Menurut hasil analisis regresi linier berganda, hubungan terbaik antara luas serangan dan faktor iklim di kabupaten Cianjur diperoleh jika dilakukan analisis pada waktu tunda dua bulan saat WBC sedang berada pada fase telur yang memiliki nilai R 2 mencapai 13.2% dan memenuhi persamaan LS = Tmax Tmin Trata -.371RH-.94CH. Berdasarkan hasil analisis, maka faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan di kabupaten Cianjur adalah suhu maksimum saat fase telur WBC (lag 2). 9

21 Tahun Kabupaten Cirebon Tabel 6. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Cirebon Luasan Admin (Ha) Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah endemik WBC terbesar di Jawa Barat, salah satu sebabnya yaitu tingkat penggunaan lahannya banyak didominasi persawahan seperti tersaji di Tabel 6 yang mencapai lebih dari separuh luas wilayah keseluruhan. Serangan WBC terparah yang melanda kabupaten Cirebon terjadi pada tahun 25 yang menyerang ha atau 23.8% lebih sawah yang terserang. Tabel 7. Nilai R 2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Cirebon No Faktor Iklim Tanpa lag Lag 1 Lag 2 1. Suhu maksimum 4.3% 2.2% 3.7% (T max) 2. Suhu minimum (T min) 3. Suhu rata-rata (T rata) 4. Kelembaban udara (RH) Luasan (Ha) 5. Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) 6. Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) 7. Semua faktor iklim diatas Luasan Terserang WBC (Ha) Persentase (%) 3.% 4.3% 3.1%.5%.6% 2.2% 13.9% 11.7% 14.%.8% 1.%.1% 1.6% 2.1% 5.4% 1.8% 11.5% 13.4% Persentase Terserang WBC (%) (Sumber: Badan Pusat Statistik, 26) Tmin- 4.48Tmin 2. Sedangkan untuk faktor suhu rata-rata mempunyai hubungan terbaik jika dianalisis saat waktu tunda dua bulan yang mempunyai nilai R 2 sebesar 2.2%. dan persamaan LS = T rata T rata 2. Gambar 15. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik) 3 T max (oc) Gambar 16. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 1) 24 T min (oc) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 2) T rata (oc) Tabel 7 menyajikan hasil analisis regresi antara luas serangan dan faktor iklim di kabupaten Cirebon. Suhu maksimum paling berperan dalam mempengaruhi luas serangan saat terjadi serangan (tanpa lag) ketika WBC sudah berada pada fase imago dengan nilai R 2 sebesar 4.3% dan persamaan LS = Tmax+ 22.6Tmax 2. Sedangkan faktor suhu minimum memiliki hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan analisis pada lag 1, yaitu saat WBC berada pada fase nimfa dengan nilai R 2 sebesar 4.3% dan memenuhi persamaan LS = Gambar 17. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Kelembaban udara adalah faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan dibandingkan faktor iklim lain yang dianalisis, hal ini dikarenakan kondisi kelembaban yang cocok bagi perkembangan WBC, terutama saat fase telur (lag 2) yang mempunyai koefisien determinasi tertinggi sebesar 14.% dan persamaan LS = RH+.58RH 2. Untuk analisis tanpa lag 1

22 (imago) dan pada lag 1 (nimfa), peranan kelembaban udara juga terlihat dominan yang ditandai dengan koefisien determinasi yang cukup tinggi. Gambar 18. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Curah hujan di kabupaten Cirebon lebih mempengaruhi luas serangan pada saat musim hujan ketika WBC berada pada fase telur (lag 2) dengan hasil koefisien determinasi sebesar 5.4% dan memenuhi persamaan LS = CH. Sedangkan analisis yang dilakukan saat musim kemarau menghasilkan nilai R 2 yang tidak terlalu tinggi pada semua waktu tunda yang berarti curah hujan saat musim kemarau di kabupaten Cirebon tidak berperan besar dengan aktivitas WBC Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 2) RH (%) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 2) CH MH (mm) Gambar 19. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cirebon (linier) Analisis regresi linier berganda yang dilakukan untuk semua faktor iklim yang dianalisis terhadap luas serangan di kabupaten Cirebon memiliki hubungan terbaik pada waktu tunda dua bulan (lag 2) dengan nilai R 2 sebesar 13.4% dan memenuhi persamaan LS = Tmax Tmin Trata RH -.2 CH Kabupaten Garut Tabel 8. Perbandingan Luas dan Luas Terserang WBC Tahun di Kabupaten Garut Tahun Luasan Admin (Ha) Luasan (Ha) Luasan Terserang WBC (Ha) Persentase (%) Penggunaan lahan untuk sawah di kabupaten Garut rata-rata 16% dari total wilayah keseluruhan seperti tersaji pada Tabel 8. Luas sawah yang terserang WBC di kabupaten Garut tidak tinggi, serangan terluas terjadi pada tahun 23 yaitu 48 ha atau hampir 1% dari wilayah persawahan di kabupaten Garut. Tabel 9. Nilai R 2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Garut No Faktor Iklim Tanpa lag Lag 1 Lag 2 1. Suhu maksimum 7.% 6.6% 6.4% (T max) 2. Suhu minimum 6.4% 8.1% 7.% (T min) 3. Suhu rata-rata 7.6% 8.5% 7.5% (T rata) 4. Kelembaban udara 7.9% 4.8% 4.8% (RH) 5. Curah Hujan Musim 4.7% 9.7% 18.3% Kemarau (CHMK) 6. Curah Hujan Musim.3%.2% 4.7% Hujan (CHMH) 6. Semua faktor iklim diatas 9.8% 9.9% 6.4% Persentase Terserang WBC (%) (Sumber: Badan Pusat Statistik, 26) Di kabupaten Garut, faktor suhu maksimum yang mempunyai nilai R 2 terbesar adalah saat dilakukan analisis tanpa lag, jadi suhu maksimum secara langsung mempengaruhi luas serangan saat WBC sudah dewasa, yaitu sebesar 7.% dan persamaan LS = Tmax-.279Tmax 2. Untuk faktor suhu minimum dan suhu rata-rata, hubungan terbaik diperoleh pada waktu tunda satu bulan saat WBC berada pada fase nimfa dengan nilai R 2 sebesar 8.1% dengan persamaan LS = Tmin+.593Tmin 2, dan 8.5% dengan persamaan persamaan LS = Trata+ 1.84Trata 2. Hal ini menunjukkan bahwa suhu minimum dan suhu rata-rata di kabupaten Garut cukup cocok bagi 11

23 perkembangan nimfa WBC agar dapat menjadi imago. mencapai 18.3% dan persamaan LS = CH. 6 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) 6 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) T max (oc) RH (%) 85 9 Gambar 2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Garut (kuadratik) Gambar 23. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Garut (kuadratik) 6 5 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 1) 6 5 Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MK (Lag 2) T min (oc) CH MK (mm) Gambar 21. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Garut (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 1) T rata (oc) Gambar 22. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Garut (kuadratik) Faktor kelembaban udara di kabupaten Garut memiliki pengaruh yang kuat pada saat terjadi serangan atau analisis tanpa lag dimana WBC sudah menjadi imago. Nilai R 2 saat itu sebesar 7.9% dan persamaan LS = RH -.9 RH 2, paling tinggi dibanding waktu tunda satu dan dua bulan yang hanya 4.8%. Curah hujan saat musim kemarau di kabupaten Garut paling berperan terhadap aktivitas WBC saat fase telur (analisis pada lag 2), dengan koefisien determinasi Gambar 24. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Garut (linier) Dari hasil analisis regresi linier berganda untuk semua faktor iklim, maka diperoleh hubungan terbaik pada waktu tunda satu bulan (lag 1) saat nimfa WBC dengan nilai R 2 sebesar 9.9% dan persamaan LS = Tmax - 3.9Tmin Trata-.488RH+.494CH. Nilai R 2 saat dilakukan analisis tanpa lag tidak berbeda jauh dengan lag 1, yaitu sebesar 9.8%. Hal ini berarti semua faktor iklim yang dianalisis di kabupaten Garut berperan cukup besar pada dua fase WBC, yaitu fase nimfa dan imago. Faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan di kabupaten Garut dari hasil analisis regresi kuadratik sederhana adalah suhu rata-rata, sedangkan curah hujan saat musim kemarau merupakan faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi luas serangan menurut hasil analisis regresi linier yang keeratannya mencapai 18.3%. 12

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT

ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) SYAHRU ROMADHON G24103044 DEPARTEMEN GEOFISIKA

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan

Lebih terperinci

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat 1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total

II. TINJAUAN PUSTAKA. Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stall) Wereng batang coklat (WBC) dapat menyebabkan kerusakan dan kematian total pada tanaman padi (hopperburn) sebagai akibat dari hilangnya

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX 1.1 UNTUK MENGANALISIS POTENSI PENYEBARAN PENGGEREK BATANG PADI KUNING ( SCIRPOPHAGA INCERTULAS

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX 1.1 UNTUK MENGANALISIS POTENSI PENYEBARAN PENGGEREK BATANG PADI KUNING ( SCIRPOPHAGA INCERTULAS PEMANFAATAN MODEL CLIMEX 1.1 UNTUK MENGANALISIS POTENSI PENYEBARAN PENGGEREK BATANG PADI KUNING (SCIRPOPHAGA INCERTULAS) DAN WERENG BATANG COKLAT (NILAPARVATA LUGENS) (Studi Kasus Kabupaten Klaten, Jawa

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali. 4.5. Iklim 4.5.1. Tipe Iklim Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis karena dilewati garis khatulistiwa. Iklim tropis tersebut bersifat panas dan menyebabkan munculnya dua musim, yaitu musim

Lebih terperinci

INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT

INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT INTERAKSI POPULASI WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens Stål. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) DENGAN KEPIK PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis Reuter. (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA PADI VARIETAS CIHERANG ZULFIRMAN

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT (Studi kasus : Kabupaten Karawang) FEBRI KURNIA SARI

ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT (Studi kasus : Kabupaten Karawang) FEBRI KURNIA SARI ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT (Studi kasus : Kabupaten Karawang) FEBRI KURNIA SARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi

I. PENDAHULUAN. Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi Lampung pada sektor tanaman pangan. Produksi komoditas padi di Provinsi Lampung

Lebih terperinci

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Organisme Pengangganggu an (OPT) utama yang menyerang padi ada 9 jenis, yaitu : Tikus, Penggerek Batang, Wereng Batang Coklat,

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT (Nilaparvata lugens Stal.) TERHADAP FAKTOR IKLIM MENGGUNAKAN PEMODELAN CLIMEX 3.0 (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) AMRI SAJAROH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari unsurunsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan sebagainya dalam rentang

Lebih terperinci

5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan 5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Organisme Pengangganggu Tanaman (OPT) utama yang menyerang padi ada 9 jenis, yaitu : Tikus, Penggerek Batang, Wereng Batang

Lebih terperinci

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal. Oleh : Budi Budiman

Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal. Oleh : Budi Budiman Mengenal Hama Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal Oleh : Budi Budiman Nak, kemungkinan hasil panen padi kita tahun ini berkurang!, sebagian besar padi di desa kita terserang hama wereng. Itulah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Memasuki musim hujan tahun ini, para petani mulai sibuk mempersiapkan lahan untuk segera mengolah

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

H. Sudarsono: Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis) di Provinsi Lampung 53

H. Sudarsono: Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis) di Provinsi Lampung 53 H. Sudarsono: Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis) di Provinsi Lampung 53 Tabel 1. Ciri morfologis tiga fase transformasi dari populasi belalang kembara Afrika (Locusta migratoria migratoriodes)

Lebih terperinci

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI Oleh: NURFITRI YULIANAH A44103045 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NURFITRI YULIANAH. Tungau pada Tanaman

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA. (Mangifera indica L.) SKRIPSI.

STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA. (Mangifera indica L.) SKRIPSI. STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA (Mangifera indica L.) SKRIPSI Oleh : NI KADEK NITA KARLINA ASTRIYANI NIM : 0805105020 KONSENTRASI PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål adalah serangga yang termasuk dalam Ordo Hemiptera, Subordo Auchenorrhyncha, Superfamili Fulgoroidea, Famili Delphacidae

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang. Letak Kabupaten Majalengka secara geografis di bagian Timur Provinsi Jawa Barat yaitu Sebelah Barat antara 108 0 03-108 0 19 Bujur Timur, Sebelah Timur 108 0 12-108 0 25 Bujur Timur, Sebelah Utara antara

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI Oleh: Edi Suwardiwijaya Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Jl. Raya Kaliasin. Tromol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Rismunandar, 1993). Indonesia memiliki beragam jenis beras dengan warna nya

BAB I PENDAHULUAN. (Rismunandar, 1993). Indonesia memiliki beragam jenis beras dengan warna nya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi atau beras merupakan komoditas strategis dan sumber pangan utama untuk rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1960 sampai sekarang selalu berupaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting bagi penduduk Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa kedelai merupakan sumber

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 KATA PENGANTAR Kejadian El Nino Tahun 2015

Lebih terperinci

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT TANGGAP FUNGSIONAL PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis REUTER (HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) RITA OKTARINA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Serangga Hama Berdasarkan hasil identifikasi serangga hama dilokasi Agroekosistem berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies Scripophaga

Lebih terperinci

Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd pertemuan sayap depan. Panjang badan serangga jantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena

BAB I PENDAHULUAN. Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena di dalam Al Qur an telah dijelaskan proses penciptaan alam semesta termasuk makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI Oleh : M Mundir BPKK Nglegok I LATAR BELAKANG Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua organisme yang menggangu pertumbuhan tanaman pokok

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4.1. PENDAHULUAN 4.1.1. Latar Belakang DBD termasuk salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagai patogen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, dan salah satu kebutuhan primernya tersebut adalah makanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas ha. Sekitar

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas ha. Sekitar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas 1.221.544 ha. Sekitar 463.649,09 ha adalah areal potensial untuk pertanian, tetapi baru seluas 293.079 ha yang dimanfaatkan.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 16 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1.Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Lokasi Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak pada batas koordinat 107 o 31-107 o 54 BT dan di antara 6 o

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i DAFTAR LAMPIRAN ii I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Keaslian Penelitian 5 C. Tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aplikasi Insektisida terhadap Populasi WBC dan Musuh Alaminya di Lapangan Nilaparvata lugens Populasi wereng batang cokelat (WBC) selama penelitian dipengaruhi oleh interaksi antara

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini antara lain pengamatan selintas dan pengamatan Utama 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hama tanaman merupakan salah satu kendala yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah wereng batang cokelat (Nilapavarta

Lebih terperinci

Hama penghisap daun Aphis craccivora

Hama penghisap daun Aphis craccivora Hama Kacang tanah Hama penghisap daun Aphis craccivora Bioekologi Kecil, lunak, hitam. Sebagian besar tdk bersayap, bila populasi meningkat, sebagian bersayap bening. Imago yg bersayap pindah ke tanaman

Lebih terperinci

KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA

KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik dan non-organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata)

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata) Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi karena mampu menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. WBC memang hama laten yang

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

commit to users I. PENDAHULUAN

commit to users I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bertambahnya jumlah dan tingkat kesejahteraan penduduk, maka kebutuhan akan hasil tanaman padi ( Oryza sativa L.) yang berkualitas juga semakin banyak. Masyarakat

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

DINAMIKA WERENG COKLAT TANAMAN PADI DI WILAYAH INDONESIA

DINAMIKA WERENG COKLAT TANAMAN PADI DI WILAYAH INDONESIA DINAMIKA WERENG COKLAT TANAMAN PADI DI WILAYAH INDONESIA Sri Hartati Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan Jl. A. Yani Km. 34 Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail : tatiekmanis@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi padi dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi padi dipengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman serealia penting dan digunakan sebagai makanan pokok oleh bangsa Indonesia. Itulah sebabnya produksi padi sangat perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah) Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang Utara (LU) dan 98-100 Bujur Timur (BT), merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci