4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perairan Waduk Djuanda Kondisi perairan Waduk Djuanda pada awal penelitian (Desember 29) berada pada tinggi muka air rata-rata 99,17 mdpl. Tinggi muka air tersebut relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tinggi muka air pada tahun sebelumnya yang hanya mencapai 8,1 mdpl pada tahun 26 dan 96 mdpl pada tahun 27 (Gambar 3). Kenaikan rata-rata tinggi muka air tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya curah hujan yang terjadi pada tahun 28 dan 29. Secara keseluruhan kondisi air pada saat penelitian Desember-Februari 21 merupakan kondisi air tinggi. Hasil pengukuran kondisi lingkungan di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Tinggi muka air (m dpl) Des Th.29 Th.27 Th.28 Th.26 Gambar 3 Tinggi muka air rata-rata Waduk Djuanda tahun (PJT II 29). Pengamatan kondisi kualitas perairan Waduk Djuanda dilakukan terhadap beberapa parameter físika (suhu, kedalaman, kecerahan, dan turbiditas), kimia (ph, DO, TN, TP dan NH 4 ), dan biologi (komposisi dan kelimpahan plankton, serta kandungan klorofil-a). Hasil pengukuran parameter físika, kimia, dan biologi perairan disajikan pada Tabel 2. 27

2 Tabel 2 Nilai rata-rata kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda periode Desember 29-Februari 21. Parameter Stasiun Penelitian Perairan ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Parameter Fisika 1. Suhu ( o C ) 29,7 ± 1,2 29,7 ±,9 29,3 ±,8 3,3 ±1,1 2. Konduktivitas (ms/cm),28 ±,2,26 ±,6,26 ±,1,25 ±,1 3. Turbiditas (NTU) 1,3 ± 7,8 3,53 ±,68 3,71 ± 2,58 6, ± 1,67 4. Kecerahan (cm) 67 ± ± ± 7 59 ± 9 5. Kedalaman (m) 3,3 ± 1,1 5 ± 2,5 6,6 ± 3,5 2,4 ±,5 Parameter Kimia 1. ph 7,49 ±,62 7,34 ±,52 7,63 ±,53 7,72 ±,43 2. DO (mg/l) 7,39 ± 2,42 6,62 ± 1,24 6,11 ± 2,56 7,23 ± 1,69 3. NH 4 (mg/l),871 ±,548,24 ±,179,22 ±,276,17 ±,72 4. TN (mg/l) 1,78 ±,767,74 ±,373 1,243 ± 1,384,629 ±, TP (mg/l),85 ±,43,7 ±,56,91 ±,59,56 ±,38 Parameter Biologi 1. Kelimpahan fito. (sel/l) ± ± ± ± Kelimpahan zoo. (ind./l) ± ±16, ± ± Klorofil-a (mg/m 3 ) 43,68± ,89±13,46 19,98±8,91 29,81±9,11 Berdasarkan Tabel 2 suhu perairan di Waduk Djuanda tidak menunjukkan adanya variasi yang besar antarlokasi penelitian (Anova: P>,5). Suhu berkisar antara 27,8-31,1 o C. Suhu perairan relatif lebih tinggi pada Stasiun 4 yang disebabkan oleh waktu pengukuran selama penelitian dilakukan pada siang hari, yaitu berkisar antara pukul WIB. Suhu perairan dengan fluktuasi yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan suhu sebesar 29,7±1,2 o C. Fluktuasi yang terjadi juga disebabkan oleh perubahan waktu pengukuran yang tidak tetap mengikuti waktu pelaksanaan penelitian. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, kisaran suhu perairan hasil pengukuran selama penelitian relatif tidak berbeda. Nastiti et al. (21) melaporkan bahwa kisaran suhu permukaan hasil penelitiannya sebesar o C. Nurnaningsih (24) melaporkan kisaran suhu pada Bulan Mei-Oktober 23 pada empat lokasi di perairan Waduk Djuanda berkisar antara 28,8-29,47 o C. 28

3 Konduktivitas merupakan ukuran terhadap kandungan ion-ion yang berada di suatu badan air. Hasil pengukuran nilai konduktivitas rata-rata di Waduk Djuanda selama penelitian berkisar antara,245-,31 ms/cm. Berdasarkan grafik perkembangan hasil pengukuran konduktivitas selama penelitian tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti (Gambar 4). Peningkatan terjadi di Stasiun 1 pada Bulan Januari, peningkatan konduktivitas diduga disebabkan oleh tingginya intensitas hujan pada Bulan Januari. Masuknya partikel dan mineral yang terbawa air hujan menuju ke perairan waduk dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kanduangan ion-ion tertentu, sehingga nilai konduktivitas tinggi. Kecerahan dan turbiditas hasil pengukuran di Waduk Djuanda menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian. Nilai kecerahan yang rendah diikuti oleh tingginya tingkat turbiditas perairan. Kecerahan terendah dan turbiditas yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan Stasiun 4, masing-masing untuk kecerahan sebesar 67±11 cm dan 59±9 cm, sedangkan untuk nilai turbiditas masing-masing sebesar 1,3±7,8 NTU dan 6,±1,67 NTU. Nilai kecerahan masih relatif sama dengan hasil penelitian pada tahun 24 dengan nilai kisaran kecerahan cm (Nurnaningsih 24). Nilai turbiditas hasil penelitian sebelumnya mencapai 2-19 NTU (Nastiti et al. 21). Stasiun 1 dan Stasiun 4 merupakan lokasi yang mendapat pengaruh langsung dari aliran air yang masuk ke Waduk Djuanda. Stasiun 1 di daerah Bojong merupakan daerah yang pertama mendapat pengaruh masuknya air yang berasal dari aliran air yang keluar dari Waduk Cirata. Stasiun 4 di Daerah Cilalawi merupakan daerah budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dan merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari aliran air yang masuk ke perairan waduk melalui Sungai Cilalawi yang terletak di bagian ujung dari lokasi penelitian tersebut. Aliran air akan membawa partikel ke perairan, sedangkan kegiatan budidaya ikan KJA akan mempengaruhi kualitas perairan dari berbagai aktivitas yang terjadi seperti dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan yang dipelihara atau dari berbagai aktivitas para pelaku usaha tersebut. 29

4 Konduktivitas (ms/cm) Turbid (NTU) Nilai,5,4,3,2 Nilai ,1 5, 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb Kecerahan (cm) Suhu ( o C) Nilai 1 75 Nilai Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb Kedalaman (m) Nilai Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 4 Perkembangan parameter físika perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 29-Februari 21. Kedalaman perairan yang diukur merupakan kedalaman saat dilakukannya penangkapan ikan selama penelitian. Kedalaman daerah penelitian berkisar antara 2-13 m. Kedalaman tersebut merupakan wilayah yang meliputi zona litoral dan zona limnetik Waduk Djuanda. Kedalaman erat kaitannya dengan sifat biologi ikan bandeng yang mencari makan di zona litoral dan zona limnetik untuk 3

5 memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Menurut Kartamihardja (27), zona litoral waduk meliputi daerah pinggir waduk yang dangkal dimana intensitas cahaya matahari dapat menembus sampai dasar perairan dengan luas 14-37% dari total luas perairan. Zona limnetik perairan waduk memiliki tingkat kecerahan antara 1-15 cm dengan demikian penetrasi cahaya masih efektif sampai kedalaman 2,5-5 m. Luas zona limnetik ini mencapai 63-86% dari luas total perairan. Nilai ph perairan Waduk Djuanda secara general tidak mengalami fluktuasi, baik berdasarkan stasiun penelitian maupun waktu pengukuran. Kisaran nilai ph berada pada nilai 6,46-8,54. Penurunan ph terjadi pada pengukuran ke-3 pada 14 Januari 21 (Gambar 5). Berdasarkan pemantauan di lapangan Waduk Djuanda sedang mengalami peristiwa umbalan, yaitu naiknya massa air lapisan bawah yang banyak mengandung bahan organik ke permukaan perairan. Degradasi organik yang terjadi dapat menyebabkan penurunan ph dan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan. Peristiwa umbalan hampir terjadi setiap tahun dan biasanya dimulai pada awal musim penghujan dimana suhu permukaan saat itu lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu lapisan air di bawahnya. Bila dilihat dari hasil pengukuran suhu juga nampak jelas pada saat itu terjadi penurunan suhu di perairan waduk dan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan. Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter utama yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota air termasuk ikan. Konsentrasi DO hasil pengukuran berbeda-beda pada setiap stasiun penelitian dan waktu pengukuran. Nilai rata-rata DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 4 masing-masing sebesar 7,39±2,42 mg/l dan 7,23±1,69 mg/l, sedangkan terendah dijumpai pada Stasiun 3 yaitu sebesar 6,11±2,56 mg/l. Fluktuasi hasil pengukuran DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 3. Stasiun 1 merupakan daerah yang pertama kali mendapat pengaruh masuknya air dari outlet Waduk Cirata. Air yang keluar dari waduk ini memiliki kualitas yang rendah. Waduk Cirata mendapat beban masukan organik yang cukup besar dari kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA), yaitu mencapai ton/tahun (Nastiti et al. 21). Stasiun 3 merupakan zona genangan utama yang berada dekat dengan DAM atau 31

6 pengeluaran Waduk Djuanda, diduga akumulasi organik dan senyawa lainnya terjadi di daerah ini. Menurut informasi penduduk setempat peristiwa umbalan umumnya terjadi pertama kali pada wilayah tersebut. Saat terjadi umbalan pada pertengahan Januari 21 kandungan DO pada Stasiun 1 dan 3 adalah sangat rendah yaitu masing-masing 3,16 mg/l dan,65 mg/l. TN (mg/l) TP (mg/l) 5,2 Nilai Nilai,15,1,5 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb, 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb NH 4 (mg/l) ph Nilai 2, 1,6 1,2,8 Nilai ,4 2, 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb DO (mg/l) Klorofil-a (mg/m 3 ) Nilai Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb Nilai Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 5 Perkembangan parameter kimia perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 29-Februari

7 Hasil pengukuran NH 4 (amonium) pada setiap stasiun penelitian bervariasi berkisar antara,19-1,724 mg/l. Nilai rata-rata NH 4 tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan terendah pada Stasiun 4. Nilai NH 4 tertinggi terjadi saat terjadinya umbalan pada pertengahan Januari 21. Hasil pengukuran tertinggi terjadi pada Stasiun 1 dan Stasiun 3 yaitu masing-masing sebesar 1,724 mg/l dan,816 mg/l. Tingginya nilai NH 4 yang terjadi pada lokasi ini diduga akibat lepasnya senyawasenyawa organik dari dasar perairan akibat proses dekomposisi organik yang naik ke atas permukaan akibat terjadinya umbalan. Menurut Krismono dan Krismono (23) penurunan kualitas air akibat terjadinya umbalan ditandai dengan air yang jernih berubah menjadi hijau tua kemudian menjadi kecoklat-coklatan dan hitam disertai bau busuk. Amonium bersifat toksik bagi hewan air khususnya ikan, walaupun daya racunnya lebih rendah dari amoniak (NH 3 ), namun untuk nilai tertentu dapat menyebabkan kematian dan daya racunnya semakin tinggi dengan meningkatnya ph air dan suhu (Swann 1997). Kandungan nutrien perairan waduk berdasarkan konsentrasi total nitrogen (TN) dan total fosfor (TP) bervariasi berkisar antara,143-4,25 mg/l dan,13-,19 mg/l. Konsentrasi rata-rata TN tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 (1,78±,767 mg/l) dan terendah di Stasiun 4 (,629±,186 mg/l). Konsentrasi rata-rata TP tertinggi dijumpai pada Stasiun 3 (,91±,59 mg/l) dan terendah di Stasiun 4 (,56±,38 mg/l). Tingginya nilai rata-rata TN pada Stasiun 1 terkait erat dengan masukan beban unsur nitrogen (N) yang diterima dari aliran air yang keluar dari outlet Waduk Cirata. Tingginya nilai rata-rata TP pada Stasiun 3 disebabkan oleh lepasnya unsur fosfor (P) dari fitoplankton yang mati dan mengalami proses dekomposisi. Menurut Wetzel (21) senyawaan unsur P di dalam perairan sebagian besar dalam bentuk partikel yang terikat pada plankton dan seston, dan senyawa tersebut dapat lepas kembali ke kolom perairan akibat proses dekomposisi pada kondisi anerobik. Unsur N dan P secara umum merupakan unsur hara yang sangat esensial bagi fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton diperairan dan dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan. Berdasarkan kandungan TN dan TP maka Waduk Djuanda 33

8 sudah tergolong dalam perairan yang eutrofik. Menurut Ryding dan Rast (1989) perairan eutrofik dicirikan dengan kandungan total nitrogen berkisar antara,393-6,1 mg/l dan kandungan total fosfor berkisar antara,16-,386 mg/l. Kandungan klorofil-a di perairan Waduk Djuanda berkisar antara 7,9-78,52 mg/m 3. Nilai rata-rata kandungan klorofil-a tertinggi terdapat di Stasiun 1 (43,68±17,6 mg/m 3 ) dan terendah pada Stasiun 3 (19,98±8,91 mg/m 3 ). Kandungan klorofil-a terkait dengan kelimpahan fitoplankton yang ada diperairan waduk. Tingginya klorofil-a diperairan merupakan respon dari kesuburan perairan waduk yang mengalami eutrofikasi. Hasil pengukuran klorofil-a selama penelitian relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Mei- Desember 1998 yaitu berkisar antara 12,5±2,6-24,2±8,24 mg/m 3 (Kartamihardja & Krismono 23). Hasil analisis komponen utama (PCA: Principal Components Analysis) terhadap variabel lingkungan memperlihatkan bahwa semua variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utama masing masing 6,59 dan 4,33. Kontribusi yang diberikan terhadap pembentukan sumbu utama sebesar 5,68% dan 33,33% dengan kontribusi ragam total sebesar 84,1%. Hasil analisis PCA dapat menjelaskan hubungan yang terjadi terhadap seluruh variabel penelitian pada sumbu utama dengan tingkat kepercayaan sebesar 84,1% (Gambar 6). Representasi antara sumbu utama memperlihatkan adanya korelasi yang cukup tinggi antara beberapa parameter lingkungan dengan populasi ikan bandeng. Beberapa parameter lingkungan yang memiliki korelasi tinggi dengan populasi ikan dijelaskan dengan matrik korelasi (Lampiran 2) adalah DO (,93), suhu (,66), turbiditas (,83), kecerahan (-,98) klorofil-a (,74) dan zooplankton (,84). Parameter lainnya yang memiliki korelasi namun tidak terlalu nyata adalah NH 4 (,52). Berdasarkan jarak Euclidean dalam analisis kelompok (Cluster Analysis) terhadap variabel penciri dari masing-masing stasiun penelitian memperlihatkan hubungan kedekatan atara Stasiun 1 dengan Stasiun 4 dan Stasiun 2 dengan Stasiun 3 (Gambar 7). 34

9 PCA case scores SD 1.8 TP Fito TN Cond. NH4 ST.1 ST.3.7 Axis 2 ST.2.4 Klorofil Turb. Zoo DO Ikan bandeng -1.1 ph Axis 1 ST.4 Suhu Gambar 6 Grafik analisis komponen utama antara varibel lingkungan ikan bandeng dan sebaran lokasi penelitian di Waduk Djuanda. UPGMA 1,2 1,8,6,4,2 Euclidean - Data log(1) transformed ST.3 ST.2 ST.4 ST.1 Gambar 7 Hasil analisis kluster yang memperlihatkan kedekatan antara stasiun penelitian berdasarkan variabel lingkungan, populasi ikan, dan kelimpahan plankton di Waduk Djuanda. 35

10 Kelimpahan Plankton Plankton yang didapat selama penelitian ada 37 jenis yang terdiri dari 27 jenis fitoplankton dan 1 jenis zooplankton. Fitoplankton yang ditemukan terdiri dari 5 kelas, yaitu Chlorophyceae (8 jenis), Cyanophyceae (8 jenis), Bacillariophyceae (7 jenis), Dinophyceae (3 jenis), dan Euglenophyceae (1 jenis). Zooplanton yang didapatkan terdiri dari 3 kelas, yaitu Cladocera (3 jenis), Rotatoria (5 jenis), dan Copepoda (2 jenis). Kelimpahan plankton per jenis pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Jenis fitoplankton yang ditemukan di setiap stasiun penelitian adalah Chlorella sp. dan Ulothrix sp. (Chlorophyceae), Anabaena sp., Lyngbya sp., Merismopedia sp., Microcystis sp., Oscillatoria sp., Aphanocapsa sp., dan Oocystis sp. (Cyanopyceae), Gyrosigma sp., Melosira sp., Navicula sp., Nitzschia sp., Synedra sp. dan Fragillaria sp. (Bacillariophyceae), Ceratium sp., Peridinium sp. dan Glenodinium sp. (Dinophyceae), serta Euglena sp. (Euglenophyceae). Jenis zooplankton yang ditemukan di setiap stasiun penelitian adalah Brachionus sp. (Rotatoria), Bosmina sp. (Cladocera), Cyclops sp., dan Nauplius sp. (Copepoda). Kelimpahan fitoplankton berfluktuatif pada setiap lokasi penelitian dengan kelimpahan rata-rata berkisar antara sel/l. Kelimpahan total rata-rata fitoplankton tertinggi dijumpai pada Stasiun 2 sebesar sel/l dan terendah di Stasiun 4 sebesar sel/l. Fluktuasi kelimpahan fitoplankton memiliki korelasi dengan kandungan klorofil-a di perairan. Meningkatnya kelimpahan fitopankton akan diikuti dengan meningkatnya kandungan klorofil-a dalam perairan. Rata-rata kandungan klorofil-a hasil pengukuran berkisar antara 19,98±8,91-43,68±17,6 mg/m 3. Kelimpahan zooplankton juga berfluktuasi, dengan kelimpahan berkisar antara ind./l. Kelimpahan rata-rata tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 sebesar ind./l dan terendah pada Stasiun 3 sebesar ind/l. Perkembangan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun penelitian disajikan pada Gambar 8. 36

11 3. Fitoplankton (sel/l) 2 Zooplankton (ind./l) Kelimpahan (x1 3 ) Kelimpahan (x1 3 ) Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb 26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 8 Kelimpahan fitoplankton (sel/l) dan zooplankton (ind./l) di perairan Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. Kelompok fitoplankton yang mendominasi di Waduk Djuanda adalah Cyanophyceae (47,17%) sedangkan untuk zooplankton kelompok yang mendominasi adalah Rotatoria (52,12%). Presentase komposisi kelompok fitoplankton dan zooplankton di Waduk Djuanda disajikan pada Gambar 9. Fitoplankton dari kelas Cyanophyceae mendominasi pada Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4, sedangkan Chlorophyceae mendominasi pada Stasiun 2. Menurut Kartamihardja dan Krismono (23); Umar et al. (24) dan Kartamihardja (27), kelompok fitoplakton penyusun utama di Waduk Djuanda terdiri dari Cyanophycae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae. Cynaophyceae mendominasi akibat tingginya konsentrasi unsur hara di perairan waduk. Stasiun 1 dan Stasiun 3 memiliki kandungan rata-rata TN dan TP lebih tinggi dari stasiun penelitian lainnya, kelimpahan Cyanophyceae yang ada juga tinggi. Kelompok zooplankton yang mendominasi di perairan Waduk Djuanda adalah Rotatoria (52,1%) kemudian Copepoda (39,81%), dan Cladocera (8,8%). Kelompok Rotatoria dominan pada Stasiun 1, 3, dan 4, sedangkan Copepoda dominan di Stasiun 2. Kelimpahan zooplankton di Waduk Djuanda cenderung mengikuti peningkatan kelimpahan fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan pemanfaatan fitoplankton sebagai makanan dari zooplankton. Berdasarkan penelitian Kartamihardja (27), laju grazing zooplankton terhadap fitoplankton di zona limnetik Waduk Djuanda berkisar antara 22,54-35,29 sel/individu/4jam. 37

12 a. Zooplankton (%) b. Fitoplankton (%),25 9,45 6,72 39,81 36,41 52,12 8,8 47,17 Chlorophyceae Dinophyceae c. Cyanophyceae Euglenophyceae Bacillariophyceae Rotatoria Cladocera Copepoda Fitoplankton % 1 Chlorophyceae Bacillariophyceae Euglenophyceae 8 Cyanophyceae Dinophyceae ST.1 d. 1 8 % ST.2 ST.3 ST.4 Zooplankton Rotatoria Cladocera Copepoda ST.1 Gambar 9 38 ST.2 ST.3 ST.4 Komposisi kelimpahan fitoplankton (%) dan zooplankton (%) di perairan Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. a. Komposisi fitoplankton total. b. Komposisi zooplankton total. c. Komposisi fitoplankton pada setiap stasiun penelitian. d. Komposisi zooplankton pada setiap stasiun penelitian.

13 Distribusi Kelompok Ukuran Ikan Bandeng Ikan bandeng yang tertangkap selama penelitian pada Desember 29- Februari 21 mempunyai panjang total antara cm, dengan berat tubuh berkisar antara gram. Selang ukuran panjang total yang terbentuk berdasarkan perhitungan interval kelas sebanyak 12 kelas ukuran. Distribusi kelompok ukuran ikan bandeng yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 1. Frek. (%) N = ST Nilai Tengah Kelas Panjang (cm) Frek. (%) N = ST Nilai Tengah Kelas Panjang (cm) Frek. (% ) N = ST.3 Fr e k. ( % ) N= S T Nilai Tengah Kelas Panjang (c m) Nila i Te ng a h K ela s Pa n ja n g ( c m) Frekuensi (%) N = 193 Total Sebaran Nilai Tengah Kelas Panjang (cm) Gambar 1 Distribusi sebaran kelas ukuran panjang total ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari

14 Pada Stasiun 1 terdapat sembilan kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 23 cm. Pada Stasiun 2 terdapat tujuh kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 25 cm. Pada Stasiun 3 terdapat sembilan kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 25 cm. Pada Stasiun 4 terdapat duabelas kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 13 cm. Secara keseluruhan distribusi kelas ukuran panjang ikan bandeng yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran, yaitu kelompok ukuran bandeng kecil (13-17 cm) dan kelompok ukuran bandeng besar (25-33 cm). Kelompok ukuran bandeng kecil dan besar terdapat pada Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4. Sedangkan pada Stasiun 2 hanya terdapat satu kelompok ukuran, yaitu kelompok ukuran bandeng besar. Perbedaan ini terkait dengan selang waktu penebaran yang berbeda di lokasi-lokasi tersebut. Penebaran awal dilakukan pada Bulan Oktober di beberapa lokasi yang termasuk dalam tiga zona yaitu zona riverine, zona transisi dan zona genangan utama. Penebaran selanjutnya kurang lebih dengan jarak waktu satu bulan baru dilaksanakan di lokasi Stasiun 4. Kelas ukuran yang kecil banyak dijumpai pada Stasiun 4, sedangkan kelas ukuran panjang yang relatif besar banyak dijumpai pada Stasiun 1, Stasiun 2 dan Stasiun 3. Ukuran kelas panjang meningkat seiring dengan pertambahan waktu. Presentase ikan bandeng ukuran besar banyak tertangkap pada akhir penelitian. Hal tersebut tampak jelas pada grafik yang disajikan pada Gambar 11 dan 12. Ikan bandeng yang ditebar menyebar sesuai dengan daya adaptasi terhadap ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan. Ikan berukuran kecil banyak dijumpai pada Stasiun 1 dan Stasiun 4. Stasiun 1 dan Stasiun 4 memiliki zona litoral yang luas dan mendapat masukan organik sehingga perairannya relatif subur. Kondisi perairan yang subur dan adanya tanaman air sangat mendukung kehidupan ikan berukuran kecil, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator dan daerah untuk mencari makan. Ikan bandeng berukuran besar banyak dijumpai pada Stasiun 2 dan Stasiun 3. Ikan bandeng berukuran besar menyenangi daerah yang berarus dan memiliki kemampuan renang yang tinggi. Menurut Bagarinao (1994) ikan bandeng dewasa (5-15 cm, 4-14 kg, 3-15 tahun) adalah perenang cepat dan 4

15 PT (cm) ST PT (cm) ST Periode Sampling (1 hari) Periode Sampling (1 hari) PT (cm) PT (cm) ST ST Periode Sampling (1 hari) Periode Sampling (1 hari) Gambar 11 Sebaran ukuran panjang total minimum, panjang total maksimum dan panjang total rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. memiliki kemampuan renang yang kuat di laut terbuka. Stasiun 2 dan Stasiun 3 merupakan daerah perairan terbuka merupakan alur daerah aliran Sungai Citarum. Setelah dibendung menjadi Waduk Djuanda daerah ini merupakan daerah aliran air waduk menuju ke saluran pengeluaran waduk di DAM utama. Setelah mencapai ukuran yang besar ikan bandeng akan menuju ke lokasi tersebut. Hal ini didukung dengan hasil tangkapan nelayan yang banyak mendapatkan hasil tangkapan ikan bandeng berukuran besar di sekitar lokasi Stasiun 2 dan Stasiun 3. Pengelompokkan ukuran panjang dengan metode Bhattacharya (Sparre & Venema 1999) diketahui ada dua kelompok ukuran ikan bandeng pada periode bulan Desember 29-Februari 21. Kelompok pertama dengan nilai tengah ukuran panjang 14,9±1,4 cm dengan populasi dugaan sebanyak 246 ekor dan 41

16 kelompok ukuran kedua adalah 24,8±2,9 cm dengan populasi dugaan sebanyak 824 ekor (Tabel 3). B (g) B (g) B (g) ST Periode Sampling (1 hari) ST Periode Sampling (1 hari) Gambar 12 Sebaran berat minimum, berat maksimum dan berat rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari B (g) ST Periode Sampling (1 hari) ST Periode Sampling (1 hari) Tabel 3 Nilai tengah ukuran panjang total dan dugaan populasi ikan bandeng yang terbentuk dari analisis Bhattacarya di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. Stasiun Penelitian Nilai tengah ukuran panjang (cm) Populasi (N) SI (Indeks pemisahan) r 2 ST.1 17,2 ± 3, ,9 ± 2, ,7,987 ST. 2 25,5 ± 2, ,993 ST.3 19,3 ± 3,4 6-26,1 ± 2, ,11,987 ST.4 13,9 ± 1, ± 2,1 46 3,58,98 Total 14,9 ± 1, ,87 24,8 ± 2, ,68,99 42

17 Pada Stasiun 1, kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 17,2±3,9 cm dan 23,9±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 132 dan 325 ekor. Stasiun 2 kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari satu kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 25,5±2,2 cm dengan dugaan populasi sebanyak 193 ekor. Stasiun 3 memiliki kelompok ukuran panjang yang terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 19,3±3,4 cm dan 26,1±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 6 dan 156 ekor. Stasiun 4 kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 13,9±1,1 cm dan 29±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 158 dan 46 ekor (Gambar 13) ST. 1 ST. 2 ST. 3 ST. 4 Total Gambar 13 Pengelompokan ukuran panjang total ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Bandeng Analisis isi saluran pencernaan makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda pada periode Desember 29-Februari 21, menunjukkan bahwa makanan utamanya adalah plankton, terdiri dari fitoplankton (35,2-56,42%) dan 43

18 zooplankton (12,22-42,8%). Makanan lainnya yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan tersebut dimasukan dalam kelompok lain-lain (1,92-22%) yang terdiri dari detritus, serasah tumbuhan, cacing dan insekta (Gambar 14). Berdasarkan kriteria dari Nikolsky (1963) diketahui bahwa makanan utama ikan bandeng adalah fitoplankton sedangkan makanan pelengkap adalah zooplankton dan kelompok lainnya. Pada pada bulan September 28 hingga Januari 29, juga diketahui bahwa makanan utama ikan bandeng adalah fitoplankton (5,16-77,76 %) dan zooplankton (2,2-48,72 %) (Tjahjo & Purnamaningtyas 29). IP (%) 1 Fitoplankton Zooplankton Lain-lain ,28 37,8 1,92 42,8 35,2 22, 56,42 26,1 17,57 52,79 12,22 34,99 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 14 Presentase kelompok makanan utama ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. Makanan ikan bandeng dari kelompok fitoplankton terdiri dari beberapa kelas yaitu kelas Chlorophyceae (8,33-11,76%), terdiri dari jenis Actinastrum sp., Ankistrodesmus sp., Chlorella sp., Coelastrum sp., Crucigenia sp., Pediastrum sp., Scenedesmus sp., Staurastrum sp., dan Ulothrix sp. Cyanophyceae (1,5-31,12%), terdiri dari jenis Anabaena sp., Aphanocapsa sp., Lyngbya sp., Merismopedia sp., Microcystis sp., Oocystis sp., dan Oscillatoria sp. Bacillariophyceae (1,66-27,31%), terdiri dari jenis Cymbella sp., Fragillaria sp., Gyrosigma sp., Melosira sp., Navicula sp., Nitzschia sp., Pinnularia sp., Synedra sp., dan Surirella sp. Dinophyceae (1,21-29,21%) terdiri dari jenis Ceratium sp., Glenodinium sp., dan Peridinium sp. Euglenophyceae (,3-,41%) terdiri dari jenis Euglena sp. dan Trachelomonas sp. Makanan dari kelompok zooplankton 44

19 terdiri dari Rotatoria (4,54-6,63%), terdiri dari jenis Brachionus sp., Keratella sp., Polyarthra sp., dan Trichocerca sp. Cladocera (3,21-1,47%) terdiri dari jenis Bosmina sp., Daphnia sp., dan Moina sp. Copepoda (3,33-27,79%), terdiri dari jenis Cyclops sp. dan Nauplius sp. (Tabel 4). Tabel 4 Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. No Jenis Makanan ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 A. Fitoplankton 51,28 35,2 56,42 52,79 1 Chlorophyceae 1,4 11,76 1,42 8,33 2 Cyanophyceae 31,12 18,21 1,5 1,25 3 Bacillariophyceae 1,66 3,61 27,31 4,94 4 Dinophyceae 8,6 1,21 8,64 29,21 5 Euglenophyceae,4,41,3,5 B. Zooplankton 37,8 42,8 26,1 12,22 1 Rotatoria 6,38 4,54 6,63 5,68 2 Cladocera 5,41 1,47 5,65 3,21 3 Copepoda 26,1 27,79 13,73 3,33 C. Lain-lain 1,92 22, 17,57 34,99 1 Serasah tumbuhan 3,94 4,94 4,91 8,75 2 Insekta,8,,,12 3 Cacing,, 1,66 2,76 4 Detritus 6,9 17,6 11,1 23,37 Jumlah sampel ikan Makanan utama ikan bandeng pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan Stasiun 4 adalah fitoplankton, dengan masing-masing nilai indeks bagian terbesar (IP) sebesar 51,28%, 56,42% dan 52,79%. Pada Stasiun 2 makanan ikan bandeng didominasi dari kelompok zooplankton yaitu sebesar 42,8% sedangkan makanan dari kelompok fitoplankton hanya sebesar 35,2%. Zooplankton menjadi makanan utama ikan bandeng pada Stasiun 2 diduga terkait dengan ukuran ikan bandeng yang sudah besar yang banyak tertangkap di lokasi ini. Menurut Gordon dan Hong (1986); Garcia (199), jenis makanan ikan bandeng bervariasi tergantung dari stadia hidup dan habitatnya, dimana ikan bandeng dewasa makanan utamanya terdiri dari organisme benthik dan planktonik yang terdiri dari gastropoda, lamellibranchia, foraminifera, alga filamen, diatoms, copepoda, 45

20 nematoda, dan detritus. Kelompok makanan lain yang terdiri dari detritus, serasah tumbuhan, cacing, dan insekta di Stasiun 2 ini juga cukup besar bila dibandingkan dengan stasiun lainnya dengan indeks bagian terbesar 22,%. Makanan ikan bandeng dari fitoplankton pada setiap stasiun penelitian didominasi oleh kelas Cyanophyceae yaitu sebesar 1,5-31,12%. Jenis fitoplankton dari Cyanophyceae yang bersifat merugikan seperti Anabaena sp., Aphanocapsa sp., dan Microcystis sp. mampu dimanfaatkan oleh ikan bandeng sebagai makanan dengan nilai indeks bagian terbesar cukup tinggi mencapai 26,95%. Hasil pengamatan saluran pencernaan juga memperlihatkan adanya Aphanocapsa sp. dan Microcystis sp. di dalam lambung ikan dan usus ikan. Pada usus ikan bandeng jenis fitoplankton tersebut masih dapat teridentifikasi namun sudah menunjukkan adanya aktivitas pencernaan. Menurut Nurnaningsih (24) ikan bandeng yang tertangkap pada periode Mei-Oktober 23 memakan fitoplankton dari kelas Cynophyceae yang terdiri dari jenis Microcystis sp., Anabaena sp., Oscillatoria sp., Lyngba sp., dan Merismophedia sp. Analisis kebiasaan makanan ikan bandeng berdasarkan kelompok kelas ukuran panjang dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makanan dan kebiasaan makan yang terjadi pada setiap kelas ukuran ikan (Gambar 15). Kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng dibagi menjadi tiga kelas ukuran yaitu kelas ukuran panjang pertama cm, kelas ukuran panjang kedua cm dan kelas ukuran panjang ketiga cm. Kelas ukuran panjang pertama ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian makanan utamanya adalah dari kelompok fitoplankton (52,56-63,16%). Kelas ukuran panjang kedua makanan utamanya untuk Stasiun 1, 2 dan 3 adalah fitoplankton (45,99-54,1%) sedangkan pada Stasiun 4 makanan utamanya adalah dari kelompok lain-lain (53,2%). Kelas ukuran panjang ketiga makanan utama pada Stasiun 1 dan 2 adalah zooplankton (33,92-41,63%), sedangkan pada Stasiun 3 dan 4 makanan utamanya adalah fitoplankton (43,1-55,94%). Hasil analisis kebiasaan makanan ikan bandeng berdasarkan kelompok kelas ukuran panjang dapat dilihat pada Lampiran 4. 46

21 IP (%) Fitoplankton Zooplankton Lain-lain ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Kelas ukuran panjang (cm) Gambar 15 Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan utama berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29- Februari 21. Hasil pengelompokkan kelas ukuran panjang tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan kelompok makanan yang dimakan oleh ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian. Perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan dan lebih dikarenakan oleh kondisi habitat dan faktor ketersediaan makanan yang ada. Nurnaningsih (24) melaporkan bahwa ikan bandeng dari tiga kelompok ukuran dengan nilai tengah kelas ukuran 13,5 cm, 22,3 cm dan 3 cm kelompok fitoplankton yang menjadi makanannya memiliki komposisi yang relatif sama, perbedaan yang ada hanya dari jumlah jenisnya saja. Kelompok makanan fitoplankton dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, dan Dinophyceae selalu terdapat pada saluran pencernaan ikan bandeng disemua kelas ukuran panjang (Gambar 16). Dominasi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae terjadi pada kelas ukuran panjang pertama dan kedua terutama di Stasiun 1 dan 2. Dominasi makanan dari kelas Dinophyceae terjadi pada kelas ukuran panjang pertama (Stasiun 1 dan 4) dan kelas ukuran panjang ketiga pada Stasiun 4. 47

22 IP(%) 1 8 Fitoplankton Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenophyceae ST.1 ST.2 ST.3 ST4 Kelas ukuran panjang (cm) 1 IP (%) 8 Zooplankton Rotatoria Cladocera Copepoda ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Kelas ukuran panjang 1 IP (%) 8 Lain-lain Seresah tumbuhan Cacing Insecta Detritus ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 16 Kelas ukuran panjang Indeks bagian terbesar (IP:%) jenis makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29- Februari 21 Dominasi makanan dari kelas Bacillariophyceae terjadi di Stasiun 3 pada kelas ukuran panjang pertama dan kedua. Ada kesesuaian terhadap keberadaan kelompok makanan berdasarkan kelas ukuran panjang dengan komposisi kelimpahan plankton yang tersedia. Dinamika kebiasaan makan ikan bandeng yang terjadi diduga dipengaruhi oleh perkembangan umur/ukuran ikan bandeng, 48

23 ketersediaan makanan alami dan kualitas perairan Waduk Djuanda. Menurut Kumagai et al. (1985) ikan bandeng mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat baik terhadap perubahan habitat dan makanan. Kelompok makanan zooplankton dari kelas Cladocera, Copepoda, dan Rotatoria selalu terdapat pada saluran pencernaan ikan bandeng disemua kelas ukuran panjang. Copepoda dan Cladocera merupakan kelompok makanan yang mendominasi pada ukuran ikan bandeng relatif besar/dewasa. Kelompok makanan tersebut banyak terdapat pada kelas ukuran panjang kedua dan ketiga pada seluruh stasiun penelitian. Rotatoria adalah kelompok makanan yang umumnya banyak ditemukan pada kelas ukuran panjang pertama atau ukuran ikan bandeng muda/kecil. Kesesuaian Jenis Makanan Ikan Bandeng dengan Ketersediaan Jenis Makanan Sumberdaya makanan yang tersedia diperairan merupakan faktor penentu keberadaan suatu organisme perairan. Kesesuaian jenis makanan yang dimakan dengan ketersediaan jenis makanan yang ada dapat diketahui dengan menghitung luas relung makanan (Krebs 1989). Luas relung makanan yang besar menunjukkan organisme tersebut banyak memanfaatkan jenis makanan yang tersedia, dan sebaliknya bila nilainya rendah maka hanya sedikit jenis makanan yang dimanfaatkan oleh organisme tersebut. Menurut Macpherson (1981), jenis ikan yang mempunyai luas relung yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi ketersedian pakan, serta mempunyai daya reproduksi secara individual yang besar. Hasil analisis rata-rata luas relung makanan tiap kelompok ukuran kelas panjang ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda berkisar antara,3-,68 (Gambar 17). Luas relung tertinggi terjadi pada kelas ukuran panjang pertama di Stasiun 1 (,52), kelas ukuran panjang kedua di Stasiun 4 (,41) dan pada kelas ukuran panjang ketiga di Stasiun 2 dan Stasiun 3 (,47 dan,68). Secara keseluruhan luas relung makanan tertinggi terdapat pada Stasiun 4 49

24 (,6) dan terendah pada Stasiun 3 (,43), sedangkan pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 luas relung makanannya masing-masing sebesar,45. Kelas ukuran panjang (cm) 1, Total,8,6,4,45,45,43,6,2, ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Gambar 17 Nilai rata-rata luas relung makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21 Ikan bandeng di Stasiun 4 memiliki luas relung terbesar. Hal ini menunjukkan ikan bandeng di lokasi ini memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan ketersediaan jenis makanan yang ada. Kondisi lingkungan yang optimum diduga berpengaruh terhadap kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan ketersediaan jenis makanan yang ada di perairan. Jumlah dan jenis makanan yang terdapat pada Stasiun 4 juga cukup banyak, terdapat 34 jenis plankton dari 37 jenis yang terdapat di perairan Waduk Djuanda. Variasi pemanfaatan makanan dari kelompok makanan lain-lain juga tinggi. Ikan bandeng di Stasiun 3 memiliki luas relung makanan terendah. Stasiun 3 merupakan zona genangan utama yang luas. Kelimpahan makanan dari fitoplankton dan zooplankton menunjukkan kelimpahan yang terendah dibandingkan dengan kelimpahan di stasiun lainnya. Kondisi lingkungan hasil pengukuran juga menunjukkan fluktuasi yang kurang optimum. Faktor-faktor tersebut diduga berpengaruh terhadap kemampuan ikan bandeng di lokasi ini dalam memanfaatkan ketersediaan makanan yang ada. Pemanfaatan sumberdaya makanan yang terjadi pada masing-masing kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (ANOVA: P>,5) antara lokasi penelitian maupun antara kelas 5

25 ukuran panjang ikan bandeng (Lampiran 5). Masing-masing kelas ukuran panjang ikan bandeng memiliki kemampuan yang sama dalam memanfaatkan ketersediaan makanan yang terdapat di perairan. Perbedaan nilai luas relung makanan yang terjadi sesuai dengan kelimpahan dan variasi makanan yang ada di perairan. Seperti dalam penjelasan sebelumnya ikan bandeng memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap ketersediaan makanan. Makanan yang dimakannya terkait dengan ketersediaan sumberdaya makanan yang ada di lokasi tersebut. Pemilihan makanan yang tersedia oleh ikan bandeng dapat diketahui berdasarkan pendekatan perhitungan indeks pilihan dari Ivlev dalam Effendie (1997) dan Jobling et al. (21). Hasil perhitungan menunjukkan adanya pemilihan jenis makanan tertentu oleh ikan bandeng. Pemilihan makanan ikan bandeng yang terjadi mengikuti komposisi dan kelimpahan plankton yang ada di perairan Waduk Djuanda. Proporsi perbandingan antara jenis makanan yang memiliki nilai indeks pilihan positif dan negatif sebanding (Lampiran 6 dan Lampiran 7). Adanya pemilihan makanan terhadap beberapa jenis makanan yang ada lebih menekankan terhadap kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan jenis makanan yang tersedia dan melimpah di perairan tersebut. Pemilihan makanan oleh ikan bandeng yang terjadi dijelaskan dengan nilai pemilihan makanan dari kelompok fitoplakton,39-,93 dan dari kelompok zooplankton,41-,99. Menurut Lazaro (1987) dalam Lückstädt dan Reiti (22) pemilihan makanan dibatasi pada nilai lebih besar dari,3 (dipilih) atau kurang dari -,3 (tidak dipilih). Jenis-jenis fitoplankton tersebut antara lain Anabaena sp., Aphanocapsa sp., Microcystis sp., Oocystis sp., Fragillaria sp., Peridinium sp., Oscillatoria sp., Gyrosigma sp., Navicula sp., Synedra sp., Ceratium sp., dan Euglena sp. Jenis fitoplankton yang selalu ada pada setiap stasiun penelitian adalah Microcystis sp. dan Peridinium sp. Jenis-jenis zooplankton yang banyak dipilih adalah Keratella sp., Trichocerca sp., Brachionus sp., Bosmina sp., Daphnia sp., dan Cyclops sp. Jenis zooplankton yang selalu ada pada setiap stasiun penelitian adalah Bosmina sp. dan Cyclops sp. Ketersediaan sumberdaya makanan dengan makanan yang dimakan oleh ikan bandeng pada setiap kelas ukuran dapat diketahui tingkat pemanfaatan makanan secara bersama yang terjadi antar kelompok ukuran tersebut. 51

26 Pendekatan untuk mengukur tingkat pemanfaatan makanan bersama didekati dengan analisis tumpang tindih relung makanan, indeks Morisita (Krebs 1989). Nilai tumpang tindih relung makanan yang terjadi antara tiga kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda berkisar antara,6-,978 (Tabel 5). Nilai tumpang tindih relung makanan yang terbentuk menunjukkan tingkat pemanfaatan makanan bersama yang besar pada masing-masing kelompok ukuran panjang ikan bandeng. Artinya semua kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng memiliki tingkat pemanfaatan makanan yang sama terhadap jenis makanan yang tersedia. Hal tersebut juga diperkuat dengan nilai luas relung makanan yang terjadi pada masing-masing kelompok kelas ukuran panjang yang relatif sama. Adanya pemilihan jenis makanan yang terjadi lebih dikarenakan pada pemanfaatan makanan yang sesuai dengan ketersediaan suatu jenis makanan tertentu yang melimpah di perairan tersebut. Hasil penelitian Nurnaningsih (24) menunjukkan adanya tingkat pemanfaatan makanan bersama yang cukup tinggi pada tiga kelompok ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda dengan nilai,44-,65 pada periode Mei-Oktober 23. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Kumagai et al. (1985); Gordon dan Hong (1986) dan Garcia (199), yang menyatakan bahwa ikan bandeng pada seluruh stadia hidupnya merupakan ikan planktivora dan aktivitas makannya adalah pada siang hari. Tabel 5 Tingkat kesamaan pemanfaatan kelompok jenis makanan berdasarkan indeks tumpang tindih relung makanan pada kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember-Februari 21. Stasiun Ukuran Panjang Penelitian (cm) Stasiun I 11-18,828, , Stasiun , Stasiun ,881, , Stasiun ,6, ,

27 Pertumbuhan Ikan Bandeng Pertumbuhan adalah suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan berat tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan ikan bandeng yang terjadi merupakan indikasi bahwa ikan tersebut mampu beradaptasi pada lingkungan yang baru dan mampu memanfaatkan ketersediaan sumberdaya makanan yang ada. Hasil perhitungan laju pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan pertumbuhan panjang spesifik (SGR%) berkisar antara,26-1,1%/hari dengan laju pertambahan panjang harian mencapai,2-2,1 mm/hari. Pertumbuhan ikan bandeng tertinggi terjadi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 1,1%/hari dengan pertambahan panjang harian 2,1 mm/hari. Laju pertumbuhan spesifik ikan bandeng terendah terjadi pada Stasiun 2, yaitu sebesar,26%/hari dengan pertambahan panjang harian,2 mm/hari. Pertambahan panjang total rata-rata ikan bandeng yang tertangkap di Waduk Djuanda dengan alat tangkap eksperimental gillnet disajikan pada Gambar 18. PT (cm) ST.1 ST.2 ST.4 Total ST.3 27 Des 4 Jan 13 Jan 23 Jan 2 Feb 14 Feb 22 Feb Periode Sampling Gambar 18 Pertambahan panjang total rata-rata ikan bandeng yang tertangkap di Waduk Djuanda dengan alat tangkap eksperimental gillnet Desember 29-Februari 21. Pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Djuanda cukup tinggi mengingat secara biologi dan ekologi ikan bandeng umumnya hidup didaerah estuari dengan kisaran salinitas yang luas. Walaupun ikan bandeng memiliki kemampuan untuk 53

28 hidup pada kisaran salinitas yang luas dan dapat hidup pada perairan tawar, namun informasi mengenai pertumbuhan dan kehidupannya di ekosistem perairan tawar akibat kegiatan introduksi belum banyak dilaporkan. Pertumbuhan ikan bandeng yang dilaporkan umumnya dari kegiatan pemeliharaan dalam kegiatan budidaya. Kurniati (23) melaporkan ikan bandeng yang dipelihara di keramba jaring apung di Teluk Awarange Sulawesi Selatan dalam 12 hari, laju pertumbuhan hariannya mencapai 1,75%/hari. Ikan bandeng yang dikultur bersama dengan Gracilariopsis bailinae di kolam dengan kisaran salinitas 17-3 ppt, laju pertumbuhan hariannya mencapai 4,8±,33%/hari (Alcantara et al. 1999). Pertumbuhan benih ikan bandeng yang dibantut pada umur 2-4 hari pada salinitas 39 ppt, laju pertumbuhan spesifik hariannya mencapai,3-,5%/hari (Zainudin et al. 23). Pertumbuhan ikan bandeng di alam berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan laju pertumbuhan juvenil bandeng di laguna Naburut Philipina adalah 7-9 mm/minggu, (Kumagai et al.1985). dengan sifat pertumbuhan allometrik positif Laju pertumbuhan larva berdasarkan data distribusi frekuensi panjang hasil tangkapan larva bandeng di Pulau Panay, Philipina adalah sebesar,5 mm/hari (Garcia 199). Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Analisis hubungan panjang berat, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis memperlihatkan adanya hubungan antara panjang dan berat ikan bandeng dengan korelasi yang sangat besar dengan nilai koefisien korelasi (r) mencapai,95,98 (Gambar 19). Pola pertumbuhan yang terjadi menunjukkan pola pertumbuhan yang sama pada setiap lokasi penelitian dengan pola pertumbuhan isometrik (b=3, pada uji tα =,5). Pola pertumbuhan isometrik menunjukkan pertumbuhan panjang ikan bandeng sesuai dengan pertumbuhan bobotnya (Lampiran 8). Nilai b yang diperoleh sebagai konstanta pertumbuhan berkisar antara 2,86-3,67. Nilai b tertinggi terdapat pada Stasiun 4 dan terendah pada Stasiun 3. 54

29 Tabel 6 Hubungan panjang berat, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari 21. Stasiun Persamaan Hubungan Panjang Berat Pola Pertumbuhan (uji t dengan (α =,5) Faktor Kondisi (K t ) ST.1 W =,12L 2,918 Isometrik,86 r =,96; n = 465 SE b =,42 ST.2 W =,9L 2,955 Isometrik,629 r =,96; n = 195 SE b =,65 ST.3 W =,118L Isometrik,775 r =,95; n = 158 SE b =,79 ST.4 W =,63L 3.67 Isometrik 1,66 r =,98; n = 281 SE b =,39 R 2 = Gambar 19 Hubungan panjang berat ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 29-Februari

30 Faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda berkisar antara,629-1,66. Faktor kondisi tertinggi dijumpai pada ikan bandeng di Stasiun 4 dan terendah di Stasiun 2. Tingginya nilai faktor kondisi ikan di Stasiun 4 menunjukkan ikan bandeng yang terdapat dilokasi ini tubuhnya lebih gemuk, atau menandakan ketersediaan makanan di lokasi ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan. Faktor kondisi merupakan cerminan dari kemontokan tubuh ikan dan nilainya bervariasi tergantung dari makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendie 1979). Menurut Casselman (1987) penentuan faktor kondisi sangat efektif digunakan untuk menganalisis tiga macam populasi yang berbeda yaitu (i) berdasarkan perbedaan habitat hubungannya dengan kondisi makanan, kelimpahan dan iklim, (ii) perbedaan waktu dan durasi kematangan gonad dan (iii) menganalisis peningkatan atau penurunan aktifitas makan pada satu waktu tertentu atau kemungkinan perubahan populasi berdasarkan ketersediaan suplai makanan. Parameter Pertumbuhan Hasil analisis kelompok ukuran digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap parameter pertumbuhan. Pendekatan yang digunakan dengan analisis plot von Bartalanffy dengan program ELEFAN I dalam perangkat program FiSAT. Pendugaan parameter L pada semua lokasi didapatkan nilai dugaan pada ukuran 34,7 cm. Koefisien pertumbuhan terlihat berbeda pada semua stasiun penelitian (Gambar 2 dan 21). Koefisien pertumbuhan (K) pada Stasiun 1 sebesar,43/tahun, pada Stasiun 2 sebesar 1,6/tahun pada Stasiun 3 sebesar,57/tahun dan pada Stasiun 4 sebesar 5,1/tahun. Koefisien pertumbuhan keseluruhan ikan bandeng di perairan Waduk Djuanda pada Desember 29-Februari 21 sebesar 4,2/tahun dengan panjang L sebesar 34,7 cm. Koefisien pertumbuhan ikan bandeng pada periode ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada periode September 28-Januari 29 koefisien pertumbuhan (K) sebesar 3,381/tahun dengan panjang asimtutnya (L ) mencapai 45 cm (Tjahjo & Purnamaningtyas 29). 56

31 ST. 1 K =,43 L = 34,7 ST. 2 K = 1,6 L = 34,7 ST. 3 K =,57 L = 34,7 ST. 4 K = 5,1 L = 34,7 Total K = 4,2 L = 34,7 Gambar 2 Parameter pertumbuhan dan pola pertumbuhan ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda Desember 29- Februari 21. Pendugaan parameter pertumbuhan di setiap stasiun penelitian memberikan pengertian dan pemahaman akan pola pertumbuhan ikan di setiap lokasi penelitian. Namun dalam konteks pengelolaan kawasan, pola pertumbuhan dibuat secara integrative dengan menggabungkan semua populasi dari setiap stasiun. Hasil analisis von Bartalanffy dengan pendekatan analisis data panjang pada tiap kelompok umur, diperoleh hasil yang merepresentasikan pertumbuhan 57

32 ikan bandeng di Waduk Djuanda. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan populasi akan mendekati L sebesar 34,7 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 4,2/tahun. Pertumbuhan akan mencapai posisi L pada umur relative diatas,5 tahun. Pertumbuhan ikan bandeng akan mengalami perlambatan setelah,4 tahun. Pola pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Djuanda pada Desember 29-Februari 21 menurut plot von Bartalanffy disajikan pada Gambar 22. ST.1 PT (cm) PT (cm ) PT (cm) PT (cm ) ST.1 ST.3 ST.3 PT (cm) PT (cm) PT (cm ) PT (cm) ST.2 ST.2 ST.4 Pola pertumbuhan total Gambar 21 Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan sebaran frekuensi panjang di Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian DesemberFebruari

33 ST.1 ST.2 ST.3 PT (cm) ST.4 Total 4 L = 34,7 cm 35 3 K ST.4 : 5,1 25 K t : 4,2 K ST.2 : 1, K ST.3 :,57 5 K ST.1 :,43,,1,2,3,4,5,6,7,8,9 1, Umur ikan bandeng (tahun) Gambar 22 Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan nilai koefisien pertumbuhan (K) di Waduk Djuanda pada Desember 29- Februari 21. Pertumbuhan ikan bandeng tertinggi terdapat pada Stasiun 4 dengan nilai koefisien pertumbuhan K sebesar 5,1/tahun dengan laju pertambahan panjang sebesar 1,1%/hari. Berdasarkan sebaran ukuran panjang, ikan bandeng pada Stasiun 4 terdapat pada semua kelompok ukuran. Kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupan ikan bandeng menjadi faktor penting dalam kehidupan ikan tersebut di daerah ini. Stasiun 4 merupakan lokasi yang mendapat pengaruh dari aktivitas kegiatan budidaya ikan di KJA. Diduga sisa pelet dan kotoran ikan menjadi masukan organik yang mendukung kesuburan perairan. Adanya aliran masuk dari Sungai Cilalawi juga menambah masukan bahan makanan ke daerah ini. Hasil pengukuran kondisi kualitas perairan di Stasiun 4 menunjukkan hasil yang lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Konsentrasi DO, suhu dan ph perairan tidak terlalu berfluktuatif, yaitu masingmasing berkisar antara 7,15-8,26 mg/l, 28,4-31,7 o C dan 7,15-8,26. Kandungan NH 4 yang tidak terlalu tinggi yaitu,71-,295 mg/l dan tingkat kecerahan yang masih mendukung produktivitas perairan dengan kisaran cm. Kondisi 59

PEMANFAATAN MAKANAN DAN PERTUMBUHAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) YANG DIINTRODUKSI DI WADUK IR.H. DJUANDA, JAWA BARAT

PEMANFAATAN MAKANAN DAN PERTUMBUHAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) YANG DIINTRODUKSI DI WADUK IR.H. DJUANDA, JAWA BARAT Triyanto, LIMNOTEK et al., / LIMNOTEK (2014) 21 2014 (1) : 64 21 (1) 73 : 64 73 PEMANFAATAN MAKANAN DAN PERTUMBUHAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) YANG DIINTRODUKSI DI WADUK IR.H. DJUANDA, JAWA BARAT Triyanto

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate) Selama 40 hari masa pemeliharaan nilem terjadi peningkatan bobot dari 2,24 ± 0,65 g menjadi 6,31 ± 3,23 g. Laju

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata

Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata Heti Herawati Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Abstrak Pengembangan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk Djuanda, Jatiluhur Jawa Barat pada bulan Desember 2009-Februari 2010. Pengambilan sampel ikan, plankton, dan data kualitas

Lebih terperinci

KELIMPAHAN DAN KOMPOSISI FITOPLANKTON SECARA DIURNAL DI WADUK IR. H. JUANDA, JATILUHUR

KELIMPAHAN DAN KOMPOSISI FITOPLANKTON SECARA DIURNAL DI WADUK IR. H. JUANDA, JATILUHUR Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton secara Diural di Waduk IR. H. Juanda, Jatiluhur (Rudi, A. & Y. Nugraha) KELIMPAHAN DAN KOMPOSISI FITOPLANKTON SECARA DIURNAL DI WADUK IR. H. JUANDA, JATILUHUR Aswar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penelitian Tahap I 4.1.1.1. Percobaan 1: 4.1.1.1.a. Komposisi Perifiton Selama penelitian ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem LAMPIRAN 32 Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem Sumber Keragaman JK DB KT F-hit Sig. Perlakuan 5,662 2 2,831 1,469 0,302

Lebih terperinci

IMPLIKASI PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PEMANFAATAN PLANKTON DI WADUK IR. H. DJUANDA, JAWA BARAT TRIYANTO

IMPLIKASI PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PEMANFAATAN PLANKTON DI WADUK IR. H. DJUANDA, JAWA BARAT TRIYANTO IMPLIKASI PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PEMANFAATAN PLANKTON DI WADUK IR. H. DJUANDA, JAWA BARAT TRIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

Universitas Indonesia Library >> UI - Tesis (Membership)

Universitas Indonesia Library >> UI - Tesis (Membership) Universitas Indonesia Library >> UI - Tesis (Membership) Studi tentang pemeliharaan ikan di waduk Cirata : peran Ikan Mola dalam mengurangi Blooming Fitoplankton di Perairan Waduk Cirata = Study of fish

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT DEDEN IBNU AQIL PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Parameter fisik-kimia dalam penelitian ini digunakan sebagai data penunjang, yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Parameter fisik-kimia dalam penelitian ini digunakan sebagai data penunjang, yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter fisik-kimia dalam penelitian ini digunakan sebagai data penunjang, yang terdiri atas ph, DO (Dissolved Oxygen atau Oksigen Terlarut), kejernihan dan temperatur air.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Lampiran 1. Jenis-jenis Organisme Makanan Ikan Keperas

Lampiran 1. Jenis-jenis Organisme Makanan Ikan Keperas Lampiran 1. Jenisjenis Organisme Makanan Ikan Keperas Kelas Family Genus Fitoplankton Bacillariophyceae Cymbellaceae Cymbella Coscinodiscaceae Coscinodiscus Thalassiosira Fragilariaceae Diatoma Fragilaria

Lebih terperinci

PENGAMATAN JENIS-JENIS PLANKTON DI PERAIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN

PENGAMATAN JENIS-JENIS PLANKTON DI PERAIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN PENGAMATAN JENIS-JENIS PLANKTON DI PERAIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN Syamsul Bahri 1) 1) Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregristasi I tanggal: 19 Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Mulur Sukoharjo merupakan objek wisata alam yang terletak di provinsi Jawa Tengah.Tepatnya berada di daerah Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kelurahan

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) Rukmini Fakultas Perikanan dan Kelautan UNLAM Banjarbaru Email rukmini_bp@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Objek dan Lokasi Penelitian 1. Profil Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah jenis zooplankton yang ada di estuari Cipatireman pantai Sindangkerta Kecamatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT Deden Ibnu Aqil 1, Lily Surayya Eka Putri 1 dan Lukman 2 1 Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS DAN POLA DISTRIBUSI VERTIKAL FITOPLANKTON DI RANU KLAKAH DESA TEGALRANDU KABUPATEN LUMAJANG

STRUKTUR KOMUNITAS DAN POLA DISTRIBUSI VERTIKAL FITOPLANKTON DI RANU KLAKAH DESA TEGALRANDU KABUPATEN LUMAJANG STRUKTUR KOMUNITAS DAN POLA DISTRIBUSI VERTIKAL FITOPLANKTON DI RANU KLAKAH DESA TEGALRANDU KABUPATEN LUMAJANG Melia Dwi Wulandriyani, Agus Dharmawan, dan Hawa Tuarita Universitas Negeri Malang E- mail:

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT Deden Ibnu Aqil 1, Lily Surayya Eka Putri 1 dan Lukman 2 1 Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao) UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp. ABSTRAK

PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao) UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp. ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014 ISSN: 2302-3600 PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao) UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp. Arif Wibowo *, Henni Wijayanti

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai September 2014 di Laboratorium UPT Kolam Pembenihan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah

Lebih terperinci

Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat.

Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Oleh Dian Ekawati, Sri Astuty dan Yayat Dhahiyat Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28 29 C (Tabel 3).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 1 /Juni 2016 (93-102) Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Ega Cahyadi Rahman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perairan sangat penting bagi semua makhluk hidup, sebab air merupakan media bagi

I. PENDAHULUAN. perairan sangat penting bagi semua makhluk hidup, sebab air merupakan media bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi sebagian besar ditutupi oleh badan perairaan (Nontji, 2008). Ekosistem perairan sangat penting bagi semua makhluk hidup, sebab air merupakan media bagi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA Analisis Kadar Nitrat dan... Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta (Kusumaningtyas, D.I.) ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON PADA ZONA LITORAL DI RANU PAKIS KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI. Oleh Abdur Rasit NIM

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON PADA ZONA LITORAL DI RANU PAKIS KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI. Oleh Abdur Rasit NIM STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON PADA ZONA LITORAL DI RANU PAKIS KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI Oleh Abdur Rasit NIM. 081810401030 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER

Lebih terperinci