Bab III Studi Stratigrafi Sekuen

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Studi Stratigrafi Sekuen"

Transkripsi

1 Bab III Studi Stratigrafi Sekuen 3.1 Prinsip Dasar Konsep Stratigrafi Sekuen Beberapa konsep pengertian dasar yang berkaitan dalam analisa stratigrafi sekuen pada daerah yang dipelajari adalah sebagai berikut: Konsep dasar dari sekuen stratigrafi adalah sederhana. Suatu sekuen pengendapan berisikan sedimen-sedimen yang diendapkan saat satu siklus fluktuasi permukaan laut. Dimulai dari muka air yang rendah, kemudian menjadi tinggi lalu kembali ke rendah. Satu siklus bisa berlangsung dari beberapa ratus tahun hingga jutaan tahun dan menghasilkan bermacam-macam sedimen, seperti antara lain beach sands, submarine channel dan endapan levee, chaotic flows atau slumps dan serpih laut dalam. Tipe endapan juga bervariasi, dari yang bertahap (gradually), yang tibatiba atau mungkin seragam dan tersebar luas di cekungan. Setiap sekuen batuan dihasilkan oleh satu siklus yang dibatasi oleh ketidakselarasan di bawah dan di atas, adakalanya ketidakselarasan berhubungan dengan keselarasan kesebandingannya. Komposisi dan ketebalan dari sekuen batuan dikendalikan oleh ruang yang tersedia untuk sedimen di paparan, banyaknya sedimen dan iklim. Ruang yang tersedia di paparan merupakan fungsi dari pengangkatan dan pembebanan (subsidence) tektonik dan turun naiknya muka air laut di paparan. (Neil, J., Rach, D., and Vail, P., 1993) Komponen dari sekuen pengendapan disebut system tracts, yang terbagi menjadi tiga mengikuti muka air laut relatif pada saat pengendapan. Lowstand pada saat muka air laut relatif turun (rendah), transgressive ketika garis pantai bergerak ke arah darat, dan highstand pada saat muka air laut relatif tinggi. (Gambar 3.1) Lowstand system tract dibentuk pada saat muka air laut relatif turun hingga pada saat awal muka air laut naik secara perlahan. Fase dari lowstand tersebut terjadi pada sequence boundary dimana muka air laut relatif turun hingga shelf break. Sequence boundary adalah batas dari sekuen pengendapan berupa 12

2 ketidakselarasan (unconformity) dan kesebandingan korelatif conformity-nya. Bentuk pergerakan muka pantai yang tiba-tiba ke arah laut sebagai respon dari penurunan muka air laut relatif disebut sebagai forced regression (Posamentier, dkk 1992). Model system tract dari berbagai sumber dijabarkan sebagai berikut: Lowstand system tract dibagi menjadi tiga urutan unit, yaitu basin floor fan, slope fan, lowstand wedge. Basin floor fan merupakan tahap awal dari lowstand system tract yang terbentuk pada saat penurunan muka air laut secara cepat dan berkaitan dengan erosi dan penorehan lembah di paparan laut. Pada penampang seismik endapan basin floor fan dicirikan dengan pola mounded. Slope fan terbentuk pada saat muka air laut turun secara maksimum, kenampakan pada penampang seismik dicirikan dengan downlap dan bentuk mounded ke arah slope. Lowstand wedge yang diendapkan pada saat penurunan akhir dari muka air laut hingga awal dari kenaikan muka air laut. Kenampakan pada penampang seismik dicirikan oleh onlap dan downlap. Akhir dari fase lowstand di batasi oleh transgressive surface yang menandai perubahan dari pola progradasi menjadi retrogradasi. Transgressive system tract terbentuk pada saat penaikan muka air laut relatif yang berangsur secara cepat hingga mencapai titik maksimum dari kenaikan muka air laut. Awal dari transgressive system tract ditandai oleh transgressive surface yaitu marine flooding surface yang pertama, sedangkan batas atasnya adalah maximum flooding surface yaitu maksimum onlap dari endapan laut ke arah daratan pada tepi cekungan. Maximum flooding surface juga merupkan atas dari endapan transgressive system tract ke endapan highstand system tract. Batas maksimum endapan transgressive berasosiasi dengan condensed section yang terdiri dari endapan-endapan pelagis dan hemipelagis. Selain itu endapan transgressive system tract juga berasosiasi dengan pengisian dari suatu topografi kolam atau berupa incised valley fill. Pada penampang seismik endapan transgressive system tract dicirikan oleh onlap dan downlap surface dan pola pengendapan retrogradasi. 13

3 Highstand system tract terbentuk pada kondisi ini muka air laut cenderung stabil hingga turun secara perlahan. Bagian bawah highstand sytem tract dibatasi oleh maximum flooding surface dan bagian atasnya dibatasi oleh sequence boundary. Kenampakan pada penampang seismik dicirikan oleh downlap dan pola agradasi hingga progradasi. Gambar 3.1. Komponen System Tract (modifikasi dari Van Wagoner dkk, 1990) Setiap system tracts memperlihatkan respon karakter log, pola seismik signature, jejak paleontologi. Pendekatan analisa stratigrafi sekuen yang dilakukan di studi ini adalah menggabungkan log, data fosil dan pola refleksi seismik untuk menjabarkan pola perlapisan batuan dan lingkungan pengendapan (Gambar 3.2) Gamma ray dan log SP log diharapkan terbaca rendah di batupasir dan tinggi pada serpih. Sebaliknya log resistivity membaca tinggi untuk batupasir mengandung hidrokarbon dan rendah pada serpih. 14

4 Gambar 3.2 Sekuen Pengendapan, Respon Pola Log dan Refleksi Seismik (Neil, J, Rach, D dan Vail, P,, 1993) Perlapisan semu yang diinterpretasi pada penampang seismik disebut pola strata (stratal pattern) ditentukan dengan memgikuti refleksi seismik ke pemberhentiannya. Seismik stratigrafi adalah suatu penafsiran stratigrafi dari data seismik dengan asumsi bahwa rekaman gelombang pada penampang seismik refleksi merupakan rekaman kronostratigrafi sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu korelasi ke suatu daerah yang tidak memiliki informasi umur (Vail dan Mitchum, 1977). Perubahan pola refleksi seismik mencerminkan adanya perubahan kondisi lingkungan pengendapan. Analisa fasies seismik adalah deskripsi dan interpretasi geologi dari parameter refleksi, dalam hal ini digunakan interpretasi karakter fasies seismik dari Vail, 1977 yang dimodifikasi oleh Brown dan Fisher. Dalam analisa sekuen seismik stratigrafi diidentifikasi antara lain batas-batas sekuen erosional truncation, toplap onlap, downlap dan concordance, 15

5 juga pola konfigurasi internal berupa parallel, divergen, prograding, chaotic dan lain-lain. Fungsi fosil dijabarkan dari kelimpahan dan keanekaragaman serta kemunculan pertama dan akhir. Distribusi dari fauna tergantung sekali dari lingkungannya. Pola kehadiran fossil dalam batuan mencerminkan perubahan lingkungan seiring dengan waktu geologi. Jika perubahannya singkat dan tersebar luas, dapat digunakan sebagai datum korelasi. Selain umur dari fosil, pola kelimpahan dan keanekaragaman dari fauna akan menghasilkan penafsiran dari suatu lingkungan pengendapan ke lingkungan lainnya dari waktu ke waktu, sehingga menjadi alat yang efektif pada aplikasi dari analisa dengan pendekatan sekuen stratigrafi. (Armentrout, J. 1991). 16

6 3.2 Lingkungan Pengendapan Formasi Pulau Balang Analisa data biostratigrafi dilakukan terutama dari data fosil foraminifera dan laporan mikropaleontologi sumur Wailawi-2. Penafsiran umur dilakukan dengan menggunakan zonasi kisaran umur dari foraminifera dari Blow. 1969, sedangkan lingkungan pengendapan merujuk pada diagram penyebaran foraminifera untuk cekungan Kutai (Kadar, A.P. dkk, 1996) dan model distribusi asosiasi foraminifera delta (Suleiman, A., dkk 1998., yang dimodifikasi dari Van Gorsel, 1982) Dari pengamatan langsung dibawah mikroskop pada kedalaman 2300 hingga 5680 feet dapat ditentukan bahwa interval yang diteliti berumur akhir Miosen Awal yang setara dengan N6 hingga N7-N8 berdasarkan dijumpainya akhir kehadiran Globigerinita unicavus pada kedalaman 4250 kaki dan Globigerinoides diminutus pada kedalaman 3120 kaki. Dengan adanya kedua fosil penunjuk tersebut maka lapisan batuan dari sumur Wailawi -2 dapat dibagi menjadi tiga zona kisaran umur yaitu N6 dari kedalaman kaki, N6-N7 dari kedalaman dan N7-N8 dari kedalaman kaki. Lingkungan yang berkembang pada penampang sedimentologi yang di teliti meliputi Batial, Neritik Luar hingga Neritik Tepi dan Litoral dalam lingkungan berair payau (brackish). Pada bagian bawah perlapisan batuan zona kisaran umur N6 di kedalaman kaki berkembang lingkungan pengendapan dari batimetri Batial yang dicirikan oleh asosiasi Sphaeroidina bulloides, Pullenia wuellerstorfi dan Cyclammina sp berserta jenis fauna foraminifer large agglutinated lainnya, kemudian secara perlahan berangsur mendangkal hingga Neritik Tengah dan Neritik Tepi yang ditandai perubahan dari asosiasi Uvigerina sp, Gyroidina sp, Bolivina sp, Cibicides sp, plangton dan foram besar ke asosiasi yang didominasi foram besar seperti Operculinella sp dan foram bentonik kecil seperti Pseudorotalia sp, Ammonia sp dan Elphidium sp. Selanjutnya dari kedalaman kaki dijumpai asosiasi yang dicirikan oleh kehadiran foraminifera agglutinated kecil seperti Trochammina sp, Haplophragmoides sp dan Ammonia beccarii yang menunjukkan lingkungan air payau seperti halnya pada lingkungan 17

7 delta. Endapan delta tersebut kemudian ditutupi batugamping yang cukup tebal dengan kandungan fosil foram besar yang menunjukkan lingkungan pengendapan dari batimetri Neritik Tepi. Dari kedalaman 4980 kaki hingga 4200 kaki di zona N6 terjadi perulangan lingkungan pengendapan antara litoral dan neritik memperlihatkan kecenderungan semakin mendalam hingga Neritik Tengah. Pada kisaran umur N6-N7 lingkungan pengendapan yang berkembang didominasi perulangan naik turun muka laut relatif dalam zona Neritik Tepi yang dicerminkan oleh tinggi rendah kelimpahan dari asosiasi foraminifera besar seperti Lepidocyclina sp, Operculina sp, Miogypsina sp, Austrotrillina sp, Flosculinella dan bentonik kecil seperti Pseudorotalia sp, Quinqueloculina sp, yang kadang ditambah dengan sedikit kehadiran Bolivina sp dan foraminifera plangton. Hanya saja di bagian bawah zona N6-N7 ini pada kedalaman kaki dijumpai asosiasi foraminifera dari jenis agglutinated yang hidup pada lingkungan air payau (brackish), begitu juga di kedalaman terdapat asosiasi campuran foraminifera neritik tepi dengan air payau. Tidak berbeda dengan zona N6-N7, pada zona N7-N8 juga didominasi asosiasi Operculina sp, Lepidocyclina sp dan Pseudorotalia sp. Hanya saja keanekaragaman dan kelimpahan fauna di zona ini cenderung lebih sedikit, sehingga membawa penafsiran ke arah lingkungan yang lebih dangkal pada zona batimetri Neritik Tepi. Fenomena yang agak berbeda dijumpai pada kedalaman kaki, disini terdapat foraminifera dari jenis large agglutinated seperti contohnya Cyclammina cancellata yang biasa terdapat pada lingkungan laut dalam bercampur dengan asosiasi foraminifera yang umum hidup pada neritik tepi. Foraminifera agglutinated tersebut hadir dalam preservasi jarang, dengan warna yang kusam. Penafsiran dalam report mikropaleontologi oleh Vico Indonesia disebutkan fosilfosil tersebut sebagai fosil rombakan, sedangkan alternatif penafsiran lain adalah kemungkinan dari adanya endapan storm dari lingkungan yang didominasi gelombang laut pada saat itu. 18

8 Kecenderungan perulangan lingkungan pengendapan Neritik Tepi ke Neritik Tengah dari kisaran umur N6 hingga awal kisaran umur N6-N7 yang kemudian berhenti dan terkonsentrasi pada batuan serpih dengan karakter gamma ray yang lebih tinggi dengan kandungan fosil foraminifera yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi dan kelimpahan melimpah membawa penafsiran interval condensed section pada kedalaman kaki. Berdasarkan penafsiran lingkungan pengendapan dan pola puncak-puncak kelimpahan dan keanekaragaman dari fosil foraminifera yang dijumpai dapat diidentifikasi tidak kurang dari sembilan kandidat flooding surface. Adanya perubahan jenis asosiasi fauna yang tidak berangsur (secara tiba-tiba) di beberapa tempat seperti perubahan dari asosiasi yang didominasi fauna laut berubah menjadi asosiasi yang didominasi fauna brackish atau bahkan menjadi tidak adanya asosiasi () ditafsirkan sebagai kemungkinan adanya faunal break yang dapat diidentifikasi sebagai kandidat dari batas sekuen. Kemungkinan dari batas sekuen ini kemudian diintegrasikan dengan data litofasies, log facies dan seismik.. Penampang hasil penafsiran data paleontologi untuk pemodelan sekuen stratigrafi daerah penelitian dapat dilihat pada gambar 3.3, sedangkan diagram penyebaran (distribution chart) kandungan fosil foraminifera dilampirkan sebagai lampiran

9 rwk LAF rwk LAF rwk LAF Unit Stratigrafi Umur Zonasi Blow 1969 Lingkungan Pengendapan Neritik Neritik Neritik Litoral Batial Dalam Tengah Luar Sedimentologi Profil Litologi FSL Faunal Break RSL N7 N8 N7-N8 miliollids common FSL marine + fauna brackish 11/320 cds FSL Gs. diminutus 9/220 cds marine + fauna brackish marine + fauna brackish RSL Faunal Break FSL marine + fauna brackish FORMASI PULAU FORMASI PULAU BALANG MIOSEN AWAL Miosen Awal N6 N7 N6-N7 Bolivina (c) 10/125 cds tdk ada data tdk ada data campuran fauna brackish dan marine (laut dangkal) marine + fauna brackish 15/220 cds small benthic (c) tdk ada data 12/166 cds marine + fauna brackish hi energy Bolivina, Robulus, Cassidulina 16/380 cds Planktons marine + fauna brackish RSL RSL Faunal Break FSL G. unicavus RSL FSL Faunal Break N5 N6 N5-N6 Trochammina, Haplophragmoides Milliammina Ammonia fauna brackish RSL RSL Faunal Break marine + fauna brackish FSL FORMASI PAMALUAN FORMASI PAMALUAN cds FSL: Falling Sea Level RSL: Rising Sea Level Gambar 3.3 Penampang Lingkungan Pengendapan & Umur Formasi Pulau Balang 20

10 3.3 Seismik Stratigrafi Analisa dan penafsiran seismik stratigrafi dalam studi ini dilakukan pada penampang seismik K8088 yang merupakan data seismik 2D yang telah dimigrasi. Seismik K8088 dipilih karena selain merupakan yang cukup baik dan mewakili juga karena seismik ini dapat diikat dengan tiga data sumur yaitu dari Wailawi-2, Wailawi-3 dan Wailawi-1. Pengamatan pada seismik K8088 yang dibantu dengan data litologi tiga sumur yang telah diikatkan di dalam penampang menunjukkan terdapat 5 paket sekuen yang dicirikan oleh variasi pola pola refleksi internal. Selanjutnya paket sekuen tersebut disebut secara berurutan dari bawah (tua) ke atas (muda) sebagai paket Seismik Sekuen-1, Seismik Sekuen-2, Seismik Sekuen-3, Seismik Sekuen-4 dan Seismik Sekuen-5 (Gambar 3.4 & 3.5). Pembahasan fasies seismik dari kelima paket sekuen ini dipercaya akan dapat menggambarkan sekuen stratigrafi system tract bawah permukaan daerah studi. Pembahasan kelima paket sekuen akan meliputi batas-batas sekuen dan konfigurasi internal serta penafsiran fasies yang diintegrasikan dengan data sedimentologi dari penampang sumur. Gambar 3.4. Lima Paket Seismik Sekuen Pada Seismik K

11 Penjabarannya adalah sebagai berikut: Seismik Sekuen-1 Seismik sekuen-1 dibatasi pada baik bagian atas maupun bawah oleh terminasi concordance dengan konfigurasi internal berupa divergen. Di bagian bawa paket terdapat bentuk-bentuk gundukan (mounded). Sedangkan di bagian atas dicirikan dengan terdapatnya amplitudo refleksi yang tinggi. Konfigurasi concordanceconcordance/divergen yang dalam perlapisan yang didominasi batuan serpih batupasir dengan bentukan mounded di bagian bawah ini ditafsirkan sebagai lingkungan delta front - paparan luar yang berangsur ke bagian cekungan yang relatif lebih dalam. Bentukan mounded di bagian bawah dapat diartikan sebagai endapan debris dalam laut, sedangkan amplitudo yang tinggi menutupi paket sekuen -1 ini jelas adalah lapisan batugamping yang kemungkinan berbentuk platform. Batugamping platform yang relatif menipis dan serpih yang menebal ke arah timur menunjukkan arah laut atau ke arah cekungan. Seismik Sekuen-2 Seismik sekuen-2 dicirikan oleh konfigurasi batas atas yang concordance dan batas bawah concordance hingga downlap diatas reflektor dengan ampitudo tinggi pada puncak paket sekuen-1 dengan konfigurasi internal shingled yang berangsur menjadi onlap-concordance /shingled ke arah timur. Konfigurasi yang berasosiasi dengan perselingan lapisan batupasir, batulanau dan serpih yang berangsur menjadi dominan serpih dan batulanau ke arah timur dan secara vertikal ke atas ditafsirkan sebagai fasies dari daerah pasang surut paparan tepi yang landai yang berangsur ke paparan tengah ke arah timur. Karakter onlap yang ada dapat ditafsirkan terjadi sebagai akibat proses transgresif pada paket sekuen-2 ini. Seismik Sekuen-3 Seismik sekuen-3 memperlihatkan batas atas berupa toplap dan batas bawah downlap dengan konfigurasi internal oblique clinoform yang selanjutnya menjadi concordance-concordance/subparalel di bagian timur. 22

12 Bentuk oblique clinoform yang berangsur berkembang menjadi subparallel ditafsirkan sebagai bentuk dari progadasi suatu prodelta ke arah paparan. Konfigurasi internal parallel subparalel mencirikan lingkungan pengendapan paparan dengan energi yang tenang dengan kecepatan pengendapan yang konstan, pada umumnya berasosiasi dengan bentuk eksternal sheet/wedge dan semakin berkembang ke arah cekungan dengan terbentuknya progradasi. Batas atas berupa toplap membawa penafsiran ke arah adanya proses erosional dari endapan yang relatif terletak di atas terhadap endapan di bawahnya, maka disimpulkan ada bagian atas paket sekuen 2 yang mengalami erosi yang kemungkinan berhubungan dengan batas sekuen ketidakselarasan diatasnya.. Seismik Sekuen-4 Di bagian barat, batas atas dari Seismik sekuen-4 merupakan toplap dan bagian bawah berupa downlap, sedangkan konfigurasi internalnya merupakan bentuk sigmoid. Konfigurasi tersebut berangsur berubah menjadi toplapconcordance/parallel di bagian timur. Perlapisan batuan pada paket sekuen-4 ini terdiri dari perulangan serpih dan batupasir yang mengasar ke atas. Bentuk sigmoid dari sekuen ini ditafsirkan sebagai endapan paparan tepi yang berprogadasi. Perubahan di bagaian timur menjadi concordance/parallel menunjukkan bahwa endapan berprogadasi dari paparan tepi ke paparan tengah hingga luar. Jika suplai sedimen konstan maka di bagian timur yang merupakan daerah paparan tengah luar, endapan kemungkinan mengalami proses agradasi. Penyebaran batas toplap yang berkembang luas di bagian atas ditafsirkan bahwa bagian atas tererosi dengan kuat. Seismik Sekuen-5 Seismik Sekuen-5 merupkan paket paling atas pada penampang yang diteliti. Konfigurasi yang berkembang berupa concordance-concordance/parallel dengan indikasi-indikasi clinoforms yang cukup jelas di antara reflektor. Penafsiran dari kenampakan konfigurasi yang didominasi batupasir yang cukup tebal menunjukkan bahwa terdapat pergerakan progadasi, dari endapan batupasir endapan pantai yang terus maju ke arah cekungan serta mengerosi endapan di 23

13 bawahnya dan membentuk batas sekuen ketidak-selarasan. Endapan delta front menutupi paket sekuen-4 ini pada yang ditunjukan oleh penyebaran batubara tipis yang luas di atas endapan laut dangkal. Gambar 3.5 Penafsiran Seismik Facies Dalam Paket Seismik Sekuen. 24

14 3.4 Stratigrafi Sekuen Daerah Penelitian Pembahasan analisa stratigrafi sekuen dari data log sumur meliputi pemodelan dan korelasi yang keduanya saling berkaitan mengisi satu dengan sama lainnya, baik dalam analisa dan penafsiran. Sebagai dasar penafsiran data log digunakan acuan dari Sedimentary environments from wireline logs, Serra, O Ada lima pola bentuk dasar log gamma ray yang dapat mencirikan suatu proses pengendapan dan pola pengisian sedimen yaitu: bentuk silinder, bentuk lonceng, bentuk corong, bentuk simetris dan bentuk kecenderungan tak beraturan (irregular trend). Dari model stratigrafi sekuen yang memperlihatkan turun naiknya muka air laut (falling sea level dan rising sea level) kemudian dikorelasikan terhadap penampang sumur lainnya. Sebagai hasil korelasi didapatkan pola penumpukan sedimen berupa pola progradasi, agradasi dan retrogradasi yang mencerminkan juga proses transgresi dan regresi yang berlangsung serta system tract yang berkembang pada level stratigrafi Miosen Awal dari formasi Pulau Balang di daerah penelitian Model Stratigrafi Sekuen Untuk model sekuen stratigrafi di daerah penelitian dipilih model berdasarkan sumur Wailawi-2 mengingat sumur ini memiliki kelengkapan data yang lebih dibandingkan sumur lainya, terutama keberadaan data mikropaleontologi selain log, mudlog (cuttings) dan side wall core. Dari integrasi data kurva log listrik (gamma ray, resistivity dan sonic), deskripsi mudlog (cuttings) dan side wall core serta penafsiran data lingkungan pengendapan dari data mikropaleontologi, maka dibuat profil sedimentologi dari sumur Wailawi-2 lengkap dengan penafsiran fasies pengendapan batuan sedimen dan kandidat marker stratigrafi sekuen. Fasies Pengendapan Batuan Sedimen Hasil analisa unit genetik fasies pengendapan dari profil sedimentologi di sumur Wailawi-2 adalah sebagai berikut: Fasies Serpih Laut Dalam 25

15 Fasies Serpih Laut Dalam dijumpai pada interval kaki. Batuan sedimen pada interval ini memperlihatkan batuan serpih abu-abu yang lunak dengan pola kurva gamma ray dengan nilai yang tinggi, mengandung fosil dari lingkungan batial hingga neritik luar (semakin mendangkal ke atas). Interval ini ditafsirkan sebagai unit endapan serpih pelagik laut dalam dengan lingkungan pengendapan dari paparan luar hingga paparan tengah.. Fasies Batuan Sedimen Turbidit Paparan Fasies Batuan Sedimen Turbidit Paparan dijumpai pada Interval kaki, memperlihatkan perlapisan batulempung abu-abu terang hingga gelap yang diselingi batupasir karbonatan halus dengan pola kurva log yang cenderung kontak yang tegas (sharp contact) dan perulangan batupasir berbutir sedang sangat halus yang menghalus ke atas, mengandung karbonat, laminasi karbon, mengandung fosil laut neritik yang bercampur dengan fosil brackish dengan preservasi yang buruk dan jarang, dengan pola kurva log gamma ray yang bentuk lonceng yang serrated. Interval ini ditafsirkan sebagai endapan klastik turbidit di lingkungan laut dangkal di lereng dalam paparan tepi hingga paparan tengah. Fasies Batuan Sedimen Prodelta Fasies Batuan Sedimen Prodelta dijumpai pada interval kaki, dicirikan oleh perlapisan batulempung hingga batulanau berwarna abu-abu hingga coklat yang mengkasar keatas, karbonatan, karbonan, mengandung fosil dari lingkungan neritik, kurva log memperlihatkan gamma ray tinggi hingga sedang dengan pola cenderung semakin rendah ke atas. Bedasarkan asosiasi fasies pengendapan di bagian atas berupa endapan delta dan bagian bawah berupa endapan paparan maka fasies pada interval ini ditafsirkan sebagai unit endapan serpih prodelta hingga paparan marine. Fasies Batuan Sedimen Delta Front Fasies Batuan Sedimen Delta Front dijumpai pada interval kaki, fasies ini dicirikan oleh cuttings dan pola log pada interval ini memperlihatkan 26

16 perulangan batupasir dengan pola yang cenderung mengkasar ke atas berselingan dengan batupasir yang menghalus ke atas di bagian atasnya, yang disisipi batulempung. Batupasir di bagian bawah berwarna putih hingga abu terang agak karbonatan, mengandung laminasi karbon dengan fosil-fosil brackish dominan dan sedikit marginal marine. Interval bagian bawah ini ditafsirkan sebagai batupasir yang diendapkan dalam lingkungan delta front. Fasies Batupasir Distributary Mouth Bar Fasies Batupasir Distributary Mouth Bar dijumpai pada interval kedalaman kaki. Batupasir pada interval ini dicirikan berbutir halus hingga sedang dengan pola mengkasar ke atas, sedikit mengandung karbonatan dan material karbon. Fasies Batupasir Distributary Channel Fasies Batupasir Distributary Channel dijumpai pada beberapa interval kedalaman. Pada interval kedalaman kaki, fasies ini dicirikan oleh batupasir berbutir kasar hingga halus, terpilah sedang, tidak mengandung fosil (), ditutup dengan lapisan lempung diatasnya yang mengandung fosil brackish. Batupasir di bagian atas interval ini ditafsirkan sebagai endapan distributary channel dari suatu sistem pengendapan delta. Interval kaki, pada interval ini kurva log gamma ray memperlihatkan kecenderungan meninggi ke atas, dalam perselingan batupasir tipis, batulanau dan batulempung yang menghalus ke atas. Batupasir paling bawah dari interval ini cenderung memperlihatkan kontak yang tajam dengan lapisan batulempung marine di bawahnya, menghalus ke atas dan barrel shape dan seratted, batupasir tersebut sedikit mengandung fosil fauna brackish hingga sehingga membawa penafsiran pada tepi channel pada sistem delta. Selanjutnya perselingan batuan sedimen diatas nya memperlihatkan ciri yang sedikit kalkareus hingga kalkareus, mengandung karbon dan laminasi 27

17 karbon dengan susunan batupasir dominan di bagian bawah, batulanau dominan di bagian tengah dan batulempung di bagian atas ditafsirkan sebagai proses transgresif, kecenderungan ini juga didukung dengan penafsiran data paleontologi perulangan turun naik muka air laut yang semakin mendalam ke atas dari brackish hingga neritik tengah Interval ini memperlihatkan siklus perubahan fasies dari delta ke paparan dan dari paparan tepi ke paparan tengah. Ditafsirkan unit genetik yang berkembang secara berurutan dari bawah ke atas adalah distributary channel delta, endapan tidal, offshore bar, endapan wave tidal dominated dan endapan marine mud paparan tepi - paparan tengah.. Batas kontak tegas antara batupasir channel dari sistem delta dengan lapisan marine pada interval dibawahnya yang merupakan suatu perubahan lingkungan yang tiba-tiba diidentifikasi sebagai batas sekuen ketidakselarasan. Interval kaki, merupakan perlapisan dua tubuh batupasir yang dengan pola menghalus ke atas (bell shaped pada kurva log gamma ray) yang disisipi batulempung dan batubara. Batupasir di bagian bawah berbutir sedang hingga halus yang menghalus ke atas, mengandung bercak karbon, non kalkareus, sedikit glaukonitan di bagian atasnya. Batupasir di bagian atas dipisahkan oleh batulempung tipis dan lapisan tipis batupasir yang mengandung amber dengan sisipan batubara. Seperti batupasir di bagian bawah, batupasir di bagian atas juga mempunyai karakter yang sama hanya saja batupasir ini kemudian ditumpangi oleh batupasir tipis dengan sisipan tipis batugamping dan berangsur menghalus ke atas menjadi batulanau dan batulempung. Batupasir pada interval ini mengandung fosil dari lingkungan brackish dan marginal marine, serta ditafsirkan sebagai endapan distributary channel pada sistem tidal dominated delta. Perbedaan yang menyolok antara lingkungan batupasir bagian bawah interval ini dengan batupasir offshore bar yang mempunyai kandungan glaukonit melimpah yang ditumpanginya membawa penafsiran adanya batas sekuen (SB). Interval kaki, pada bagian bawah interval ini diendapkan batupasir halus dengan ciri bentuk barrel shape pada kurva log gamma ray, 28

18 yang mengandung amber melimpah dan mempunyai sisipan batubara. Batupasir yang juga mengandung fosil fauna brackish, terletak di atas endapan paparan laut offshore mud dari interval di bawahnya, sehingga kontak yang tajam disini ditafsirkan sebagai bidang erosional yang berasosiasi dengan batas sekuen ketidakselarasan (SB). Fasies Batugamping Platform Fasies Batugamping Platform dijumpai pada interval kedalaman kaki, memperlihatkan kurva gamma ray rendah dari batugamping berwarna putih hingga krem, keras, mikrokristalin yang ditutupi oleh lapisan batulempung yang mengandung fosil laut neritik tepi. Batugamping pada interval ini ditafsirkan merupakan produk laut dangkal karena adanya perpindahan sistem delta yang tidak berkembang lagi di tempat tersebut pada saat itu. Penyebarannya yang luas membawa penafsiran pada Batugamping Platform. Batas bawah fasies batugamping ini terletak di atas batulempung delta front hingga paparan marine. Fasies Batuan Sedimen Offshore Fasies Batuan Sedimen Offshore dijumpai pada beberapa interval kedalaman. Pada interval kaki, memperlihatkan lapisan serpih batulanau yang cukup tebal dengan kecenderungan mengkasar ke atas, hingga ditumpangi oleh batupasir dengan kontak smooth abrupt. Batulanau berwarna abu terang hingga abu-abu, sedikit karbonatan, mengandung karbon dan fragmen fosil. Sementara batupasir di atasnya berbutir halus hingga sedang, mengandung glaukonit yang melimpah. Data paleontologi menunjukkan sedimen diendapkan pada lingkungan neritik tepi dengan kondisi pada saat muka air laut relatif mulai turun atau semakin mendangkal. Unit genetik pada interval ini ditafsirkan sebagai endapan offshore marine mud dan batupasir offshore bar. 29

19 Pada interval kaki, secara umum memperlihatkan siklus perulangan klastik halus yang cukup tebal antara batulempung dan batulanau yang mengkasar ke atas, dengan bentuk bentuk kurva log gamma ray funnel shape. Lapisan batuan tersebut mengandung fosil dari lingkungan neritik tepi, sehingga ditafsirkan genetik unit dari interval ini adalah endapan offshore mud laut terbuka di paparan tepi hingga tengah. Bedasarkan pola kelimpahan fauna dan karakter log gamma ray yang tinggi diidentifikasi dua batas flooding surface pada interval ini. Fasies Batuan Sedimen Shoreface Fasies Batuan Sedimen Shoreface dijumpai pada kedalaman kaki, fasies ini dicirikan siklus perselingan batupasir dan batulempung dengan pola kurva gamma ray berbentuk funnel yang mengasar dan menebal ke atas. Bagian atas dari batupasir umumnya ditutupi batugamping atau batupasir karbonatan. Kandungan fosil diinterval ini menunjukkan lingkungan neritik tepi. Dengan ciri-ciri yang ada ditafsirkan bahwa unit genetik di interval ini berupa endapan paparan hingga muka pantai (shoreface). Fasies Batuan Sedimen Pantai (Coastal Deposits) Fasies Batuan Sedimen Pantai (Coastal Deposits) dijumpai pada interval kaki, memperlihatkan dua pola kurva log yang blocky, yang berisikan tubuh lapisan batupasir yang cukup tebal. Kedua tubuh lapisan batupasir tersebut dipisahkan oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping tipis dan batubara yang memiliki gamma ray tinggi. Pengamatan pada mudlog menunjukkan bahawa pada dasar batupasir di bagian bawah terdapat lapisan tipis batubara, sedangkan di bagian atas atas dari laporan interpretasi dipmeter disebutkan terdapat struktur sedimen planar, low angle cross bed - hummocky. Batupasir lainnya di bagian atas dideskripsikan berwarna abu-abu terang abu-abu, berbutir halus hingga sedang, bersih, lepas, mengandung kuarsa, terpilah sedang-baik dan juga memiliki struktur sedimen hummocky. Kandungan fosil interval ini hampir sama terdiri atas foraminifera dari lingkungan neritik tepi antara lain Pseudorotalia, Quinqueloculina, 30

20 Operculina dan Lepidocyclina, hanya saja kelimpahan menjadi sedikit lebih berkurang pada interval lapisan batulempung dan sispan batubara. Karakter pada interval ini memberikan penafsiran unit genetik bahwa secara vertikal merupakan endapan pantai (coastal deposit) yang bergerak ke arah daratan sehingga terjadi perubahan facies dari endapan pantai ke laguna lalu menjadi endapan barrier bar, sebagai cerminan dari proses transgresif. Lapisan batubara di bagian bawah ditafsirkan dapat menjadi bukti titik nol dari garis pantai yang merupakan bidang keselarasan sebagai batas sekuen (SB) terhadap unit endapan laut di bawahnya. Fasies Batuan Sedimen Rawa Interval , terdiri atas batuan sedimen yang terdiri dari batulempung dan batulanau yang dicirikan oleh adanya lapisan batubara dengan pola kurva log gamma ray yang rendah. Kandungan fosil di interval ini terdiri atas fauna brackish atau kosong (). Batas antara endapan rawa dengan endapan paparan pada tempat batubara berada ditafsikan sebagai batas sekuen ketidakselarasan (SB). Model memperlihatkan asosiasi endapan klastik dan karbonat dari dari fasies yang berkembang yaitu endapan pelagik laut dalam batial hingga paparan luar, endapan turbidit lereng paparan, endapan delta, endapan karbonat, endapan offshore, endapan shoreface, endapan laguna, endapan pantai coastal dan endapan rawa (swampy). Sejumlah sepuluh marker flooding surface, lima kandidat maksimum flooding surface dan lima kandidat sequence boundary dapat didentifikasi dari model yang dihasilkan. Penampang model sekuen stratigrafi yang dihasilkan dan digunakan untuk korelasi digambarkan sebagai berikut (Gambar 3.6). Sedangkan penampang model sekuen stratigrafi yang telah dilengkapi dengan pembagian system tract hasil analisa sekuen stratigrafi berdasarkan korelasi dapat dijumpai sebagai lampiran-1. 31

21 Gambar 3.6 Model sekuen stratigrafi daerah studi 32

22 3.4.2 Korelasi Stratigrafi Sekuen Analisa stratigrafi sekuen dilakukan dengan mengkorelasikan enam data sumur (Wailawi-1, Wailawi-2, Wailawi-3, Wailawi-4, Wailawi-5 dan South Wailawi-1) yang ada dalam blok lapangan migas Wailawi. Seperti juga model sekuen stratigrafi dari sumur Wailawi 2, kecuali data biostratigrafi, obyek yang diamati antara lain terdiri atas kurva log listrik (gamma ray, resistivity dan sonic), deskripsi mudlog (cuttings) dan side wall core. Analisa sekuen dilakukan dengan mengkorelasikan profil sedimentologi yang dibuat berdasarkan integrasi data mudlog dan kurva log listrik, setelah sebelumnya juga mempertimbangkan karakter dari paket sekuen seismik fasies dan penafsirannya. Ekspresi dari log mencerminkan kecenderungan energi pengendapan dan pola pengisian sedimen. Ada tiga bentuk pola penumpukan yang umum dikenal dalam sistem pengendapan di tepi cekungan yaitu progradasi, agradasi dan retrogradasi. Pengamatan pola-pola tersebut membawa kepada penafsiran perubahan muka air laut, kontrol pengendapan dan stratigrafi sekuen. Dari hasil korelasi dapat dikenali lima unit sekuen pengendapan yang kemudian dinamakan sebagai Sekuen-1, Sekuen-2, Sekuen-3, Sekuen-4 dan Sekuen-5. Kelima paket sekuen itu terdiri atas tiga urutan pola sistem tract yang sama yaitu dari atas ke bawah, lowstand, transgressive dan highstand yang masing masing interval dibatasi oleh batas sekuen (SB) di bagian atas dan bawahnya. Di dalam penulisan ini orientasi yang relatif bagian barat diwakili oleh sumur Wailawi-5, Wailawi-2 dan Wailawi-3, sedangkan bagian timur diwakili sumur Wailawi-4, Wailawi-1 dan South Wailawi-1. Penampang korelasi yang menghubungkan masing-masing sekuen dan system tract dapat di lihat pada gambar 3.7 dan lampiran-02. Sedangkan penjabaran dari masing-masing sekuen adalah sebagai berikut: 33

23 Gambar 3.7 Penampang Korelasi Sekuen Stratigrafi 34

24 Sekuen-1 Sekuen-1 terbentuk setelah akhir suatu satu sekuen penuh yang telah dimulai di bawah level terbawah dari interval yang diamati, yaitu puncak dari formasi Pamaluan berupa penurunan muka air laut relatif dari highstand system tract. Sekuen-1 sendiri terdiri atas tiga system tract yaitu lowstand (LST-1), transgressive (TST-1) dan highstand (HST-1). Endapan dalam sekuen ini dicirikan oleh paket sedimen yang cenderung menebal ke arah timur dengan pola divergen, perubahan litologi yang cenderung mengalami perubahan dari klastik kasar menjadi klastik halus atau dari batupasir menjadi batupasir lempungan dan batulanau atau batulempung. Karakter ini memberikan penafsiran bagian barat merupakan area proximal (arah daratan) dengan energi yang relatif lebih besar dan bagian timur merupakan area distal (arah laut atau pusat cekungan) dengan energi yang relatif lebih tenang. Endapan lowstand system tract LST-1 unit Sekuen-1 Batas bawah pengendapan sedimen pada LST-1 ini berupa kontak antara endapan turbidit laut paparan (dangkal) dengan batu serpih pelagik paparan tengah luar. Endapan LST-1 di bagian barat terdiri atas turbidit laut dangkal, endapan prodelta paparan, dan endapan delta yang terbagi menjadi delta front dan distributary mouth bar dan distributary channel. Di bagian timur endapan turbidit laut dangkal masih dapat dijumpai, endapan prodelta menjadi endapan paparan yang didominasi batulempung atau serpih, endapan delta berubah fasies di bagian timur. Secara vertikal endapan delta tersebut memperlihatkan pola penumpukan progradasi. Endapan transgressive system tract TST-1 unit Sekuen-1 Sistem transgresif TST-1 dimulai dari transgressive surface di atas endapan distributary channel di bagian barat dan batuan kesebandingannya batupasir mengkasar ke atas yang ditafsirkan sebagai distributary mouth bar dan delta front di bagian timur. Proses transgresi merubah endapan delta menjadi marine shelf mud hingga akhirnya menjadi batugamping kristalin yang cukup tebal di bagian barat dan menipis di bagian timur, perubahan ini kemunginan disebabkan oleh 35

25 perpindahan lobe delta (switching lobe). Batas atas lapisan batugamping ditafsirkan sebagai maximum flooding surface (MFS-1) Endapan highstand system tract HST-1 unit Sekuen-1 HST-1 ditandai dengan endapan marine mud paparan tepi sebagai fase tenang sebelum kemudian ditumpangi batas sekuen ketidakselarasan dari bidang bawah LST-2. Sekuen-2 Sekuen-2 terdiri atas lowstand system tract LST-2, transgressive system tract TST-2 dan highstand system tract HST-2. Endapan lowstand system tract LST-2 unit Sekuen-2 Dimulai saat batupasir yang mempunyai kontak tegas, yang dapat diidentifikasi dengan jelas di bagian barat dan tengah menumpang di atas endapan marine mud paparan tepi. Batas bawah batupasir yang ditafsirkan sebagai endapan channel dari sistem delta merupakan bidang batas sekuen ketidakselarasan dari SB-1 yang menerus menjadi correlative conformity di bagian timur. Di bagian timur ke arah distal kemenerusan batupasir tersebut masih dapat ditelusuri namun dalam fasies yang berbeda yang relatif lebih marine. Endapan transgressive system tract TST-2 unit Sekuen-2 Transgresisive surface dari interval ini di identifikasi terletak di atas batupasir distributary channel dari endapan delta dari LST-2. Daerah bagian barat di Wailawi-2 dan Wailawi 3, TST-2 dicirikan batuan klastik berupa perselingan batupasir, batulanau dan lempung yang berangsur menghalus ke atas menjadi perselingan batulanau dan lempung dan diakhiri dengan batulempung tipis dengan karakter nilai kurva gamma ray yang tinggi. Penafsiran secara unit genetik memperlihatkan adanya siklus perulangan dari lingkungan yang berenergi tinggi ke rendah, dari lingkungan pasang surut hingga ke paparan tengah, ada kecenderungan bahwa lingkungan semakin mendalam secara vertikal ke atas. Dari penampang sedimentologi yang ditafsirkan berdasarkan log dan cuttings, secara 36

26 lateral di bagian tengah dari Wailawi-3 ke arah timur hingga South Wailawi-1 memperlihatkan perubahan besar butir dari klastika halus menjadi sangat halus dan lempungan dan penebalan lapisan serpih, yang ditafsirkan perubahan fasies dari lingkungan paparan tepi hingga paparan tengah dan dari paparan tengah hingga paparan luar. Endapan serpih tipis di puncak TST-1 diidentifikasi sebagai condensed section yang diyakini sebagai maximum flooding surface MFS-2. Pola penumpukan pada TST-2 memperlihatkan pola retrogradasi yang mencerminkan adanya proses transgresi Endapan highstand system tract HST-2 unit Sekuen-2 HST-1 ditandai dengan endapan marine mud paparan tengah yang perlahan turun hingga paparan tepi dan ditandai pola mengkasar ke atas terutama di bagian barat. Batupasir dan perlapisan batupasir dan batulempung yang ditafsirkan sebagai offshore bar berkembang di bagian barat, sedangkan di bagian timur serpih paparan diendapkan saat highstand ini. Sekuen-3 Sekuen-3 sendiri terdiri atas tiga system tract yaitu lowstand (LST-3), transgressive (TST-3) dan highstand (HST-3). Endapan lowstand system tract LST-3 unit Sekuen-3 Lowstand system tract LST3 ditandai oleh endapan dengan pola menghalus ke atas di bagian barat dan pola mengkasar ke atas di bagian timur. Perbedaan ini ditafsirkan karena perbedaan fasies secara lateral antara barat dan timur, sedangkan proses yang berlangsung adalah sama yaitu muka air laut turun (falling sea level). Di bagian barat berkembang endapan batupasir distributary channel dari sistem delta yang disisipi lapisan-lapisan karbonat tipis, sehingga ditafsirkan sebagai pengaruh air laut pada sistem tidal-wave dominated delta. Adanya perbedaan fasies yang tiba-tiba antara LST3 dan HST-2 dibawahnya ditafsirkan sebagai batas sekuen ketidak selarasan SB-2 yang menerus sebagai bidang yang selaras di bagian timur. Di bagian timur LST-1 berkembang lapisan batulempung yang mengkasar ke atas berubah menjadi batulanau. 37

27 Endapan transgressive system tract TST-3 unit Sekuen-3 Transgressive system tract TST3 dimulai dari lapisan tipis batubara dibawah batupasir yang diidentifikasi di bagian barat sebagai transgressive surface. Hampir di seluruh area di dominasi pola-pola mengkasar ke atas dari batuan klastika halus batulempung ke batulanau yang merupakan endapan paparan laut, kecuali di daerah baratdaya (sumur Wailawi-5) yang memperkihatkan pola barrel shape yang semakin menipis yang ditafsirkan sebagai fasies yang berbeda berupa endapan channel dari sistem delta. Pola penumpukan agradasi diidentifikasi pada system tract TST-3. Batas puncak sistem transgresif ditandai oleh pola kelimpahan dari fosil yang berangsur melimpah ke atas, menunjukkan muka air laut naik hingga batas maksimum sebagai maximum flooding surface MSF-3. Endapan highstand system tract HST-3 unit Sekuen-3 Pengendapan dalam highstand system tract HST-3 berlangsung dalam kondisi energi yang rendah dan tenang, hal ini dicerminkan dari endapan yang dihasilkan relatif di dominasi oleh batuan sedimen klasik halus batulempung karbonatan. dengan pola cenderung mengkasar ke atas. Sekuen-4 Sekuen-4 sendiri terdiri atas tiga system tract yaitu lowstand (LST-4), transgressive (TST-4) dan highstand (HST-4). Endapan lowstand system tract LST-4 unit Sekuen-4 Perulangan endapan channel dari sistem delta di atas endapan marine juga menjadi batas sekuen dari lowstand system tract LST-4, bidang pemisahnya menandai batas sekuen SB3. Batas sekuen ketidakselarasan juga diperlihatkan refleksi seismik yang menunjukkan batas pemancungan (truncation) pada seismik K8088 yang diamati (lihat gambar 3.4). Batas kontak tegas dan pola barrel shape pada endapan delta pada LST-4 di bagian barat yang secara lateral berubah menjadi batas berangsur dengan pola mengkasar ke atas di bagian timur dan tebal tubuh batupasir yang menipis ke arah distal ditafsirkan sebagai perubahan facies dari distributary channel ke distributary mouth bar. Adanya lapisan-lapisan tipis 38

28 karbonat dan lapisan-lapisan tipis batubara di tubuh batupasir membawa penafsiran pada pengaruh laut seperti pada sistem tipe tidal wave dominated delta. Endapan LST-4 ini menjadi penting pada penulisan ini dikarenakan pada batupasir dalam system tract inilah terbukti menghasilkan minyak yang belum dieksploitasi (proven pada kedalaman 3249 kaki di sumur Wailawi-3). Lingkungan pengendapan dari batupasir LST-4 tersebut dibahas secara khusus pada sub-bab 3.5. Endapan transgressive system tract TST-4 unit Sekuen-4 Endapan transgressive system tract TST-4 terdiri atas pola-pola mengkasar ke atas dari batulempung ke batupasir tipis dengan pola penumpukan agradasi. Pengendapan pada TS4 ini ditafsirkan berlangsung pada paparan tepi di bagian barat hingga paparan tengah di bagian paling timur (South Wailawi-1), endapanendapan yang dihasilkan berupa shoreface hingga offshore bar. Endapan highstand system tract HST-4 unit Sekuen-4 Di bagian barat, endapan highstand system tract HST-4 ditandai oleh batas erosional diatasnya yang menggerus sebagian dari perlapisan batuannya. Batas pemancungan tersebut teramati juga pada penafsiran seismik batas atas paket sekuen 4, yang kemudian diidentifikasi sebagai SB4. Pola penumpukan pada system tract ini berupa pola agradasi. Sekuen-5 Sekuen-5 merupakan sekuen paling atas dari objek yang diamati, terdiri atas lowstand system tract LST-5 dan transgressive system tract TST-5 dan highstand system tract HST-5. Endapan lowstand system tract LST-5 unit Sekuen-5 Endapan lowstand pada LST-5, berupa endapan batupasir cukup tebal dengan pola blocky yang tersebar luas di semua tempat dari barat hingga ke timur. Bagian bawahnya berupa bidang ketidakselarasan yang merupakan batas sekuen (SB4). Berdasarkan model sekuen stratigrafi yang dibuat pada sumur Wailawi-2, 39

29 batupasir tersebut ditafsirkan sebagai unit genetik endapan pantai (coastal deposit). Korelasi dan penafsiran penampang seismik memperlihatkan bahwa endapan pantai ini bergerak maju jauh ke arah laut selama LST-5 berlangsung. Di atas endapan pantai terdapat endapan laguna yang menandai fase kenaikan muka air laut dari TST-5. Endapan transgressive system tract TST-5 unit Sekuen-5 Kenaikan muka air laut pada transgressive system tract TST-5 hingga kenaikan maksimum (MFS-5) menghasilkan perubahan facies secara vertikal, berurutan dari bawah ke atas yaitu endapan pantai, endapan laguna, endapan batupasir barrier bar dan endapan serpih marine. Pola penumpukan yang dihasilkan adalah pola retrogradasi. Endapan highstand system tract HST-5 unit Sekuen-5 Endapan highstand system tract HST-5 terletak di atas batas MFS-5 berupa endapan laut neritik tepi dengan pola mengkasar ke atas, dari batulempung di bagian bawah berangsur menjadi perselingan dengan lapisan batupasir. Batas atas dari HST-5 adalah kontak dengan lapisan batubara yang diidentifikasi dari cutting berupa blocky coal dan memperlihatkan gamma ray rendah yang ditafsirkan terbentuk pada lingkungan berair tawar - payau. Batas tersebut diidentifikasi sebagai batas sekuen (SB5), yang merupakan batas akhir sekuen yang diamati. 40

30 3.5 Implikasi Hidrokarbon Sejak awal tujuan studi stratigrafi sekuen pada daerah penelitian ini difokuskan pada keberadaan minyak dan gas bumi. Beberapa implikasi yang berkaitan dengan hal tersebut dijabarkan pada pembahasan berikut ini Lingkungan Pengendapan Reservoir di LST-4 Zona hidrokarbon minyak yang menjadi perhatian dalam penulisan ini terletak di kedalaman 3249 kaki dalam sumur Wailawi-3. RFT memperlihatkan bahwa batupasir di kedalamanan tersebut terbukti (proven) mengandung hidrokarbon minyak dan belum dieksplotasi hingga penulisan ini dibuat. Secara sekuen stratigrafi batupasir tersebut terletak pada lowstand system tract LST-4 dari Sekuen 4. Rekonstruksi paleogeografi pada penulisan ini dimaksudkan menafsirkan posisi dan kedudukan suatu endapan purba, dalam hal ini endapan purba yang menjadi perhatian adalah batupasir yang mengandung hidrokarbon minyak Paleogeografi pada saat batupasir tersebut diendapkan menjadi penting untuk menggambarkan penyebaran dari batupasir yang akan berkaitan dengan perhitungan volume cadangan hidrokarbon yang dikandungnya. Rekonstruksi akan menggunakan model dari fasies yang ditafsirkan dari genetik batupasir yang dapat di korelasikan (correlatable) pada masing-masing sumur. Berdasarkan penafsiran batupasir pada lowstand system tract LST-4 dari Sekuen 4 ditafsirkan sebagai endapan merupakan batupasir distributary channel yang berkembang menyebar hingga distributary mouth bar di daerah delta front. Model Colleman & Wright, 1975 dalam O. Serra, 1985 memperlihatkan model yang menggambarkan pola distribusi dari batupasir dari wave dominated delta yang dicirikan dengan karakter kondisi energi gelombang sedang, lereng yang landai, channel dan mouth bar bergabung serta langsung berhubungan dengan offshore (gambar 3.8). Digambarkan posisi endapan channel dan mouth bar bertemu dan tidak berkembang menyebar karena tertahan oleh gelombang. 41

31 Arah dari garis pantai dan arah distributary channel ditafsirkan mengacu pada peta paleogeografi regional daerah cekungan Kutai bagian selatan pada saat Miosen Awal (Nuay dan Astarita, 1985), yang memperlihatkan arah utara selatan untuk garis pantai dan arah delta yang relatif mengalir dari barat menuju ke timur (Gambar 3.9) Gambar 3.8. Penyebaran Batupasir Pada Modern Delta Tipe Wave Dominated Delta (Colleman & Wright, 1975) Lokasi Penelitian Gambar 3.9. Peta Paleogeografi Regional Daerah Penelitian Saat Miosen Tengah (Nuay dan Astarita, 1985) 42

32 Berdasarkan data paleogeografi regional dan model dari distribusi endapan klastik pada tipe wave dominated delta yang menjadi acuan serta genetik unit fasies pengendapan pada tiap sumur dan pola ketebalan batupasir maka peta paleogeografi daerah Wailawi yang menggambarkan penyebaran batupasir reservoir dalam systemtract LST-4 dari Sekuen 4 digambarkan arah channel yang memotong garis pantai, pola penyebaran endapan batupasir mouth bar tertahan di depan channel sehingga menberikan pola melengkung yang relatif searah dengan garis pantai. (Gambar 3.10) mN Garis pantai Channel mN + Brackish Distributary Mouth Bar Delta Front mN + + Neritik Tepi Neritik Tepi - Tengah mE mE mE Gambar Sketsa Rekonstruksi Paleogeografi LST-4 Sekuen-4 43

33 Sebagai implikasi dari penggambaran model sketsa paleogeografi di daerah penelitian, disimpulkan bahwa selayaknya penggambaran pola distribusi reservoir di daerah Wailawi digambarkan berarah relatif barat-timur atau baratlaut tenggara untuk endapan channel dan utara- selatan atau baratdaya timur laut untuk endapan mouth bar, barrier bar dan offshore bar mengikuti pola garis pantai dari paleogeografi saat itu, ketika sedimen tiap sekuen diendapkan Potensi Hidrokarbon Dari studi sekuen stratigrafi di daerah Wailawi ini, adanya kenampakan stratigrafi berupa pemancungan paket sekuen pengendapan pada saat lowstand oleh sekuen yang lebih muda terhadap sekuen yang relatif lebih tua di bagian barat daerah penelitian, menunjukkan adanya potensi hidrokarbon yang mungkin terperangkap secara stratigrafi terutama di daerah sebelah barat lapangan Wailawi. 44

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR V.1 Analisis Sekuen dari Korelasi Sumur Analisis stratigrafi sekuen pada penelitian ini dilakukan dengan analisis data sumur yang dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN IV.1. Metode Analisis Pada penelitian kali ini data yang digunakan berupa data batuan inti Sumur RST-1887, Sumur RST-3686, dan Sumur RST-3697. Sumur

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek dari penelitian ini berupa studi stratigrafi sekuen dalam formasi Pulau Balang di lapangan Wailawi, Cekungan Kutai Bagian Selatan Kalimantan Timur.

Lebih terperinci

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen BAB V Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen ANALISA STRATIGRAFI SEKUEN Korelasi adalah langkah yang sangat penting dalam suatu pekerjaan geologi bawah permukaan sebab semua visualisasi baik dalam bentuk penampang

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI S K R I P S I... I HALAMAN PENGESAHAN... II KATA PENGANTAR...... III HALAMAN PERSEMBAHAN... V SARI......... VI DAFTAR ISI... VII DAFTAR GAMBAR.... IX BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang.........

Lebih terperinci

BAB V SEKUEN STRATIGRAFI

BAB V SEKUEN STRATIGRAFI BAB V SEKUEN STRATIGRAFI Sekuen adalah urutan lapisan yang relatif selaras dan berhubungan secara genetik dibatasi oleh ketidakselarasan dan keselarasan yang setara dengannya (Mitchum dkk., 1977 op.cit.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah.

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR Pemodelan reservoir berguna untuk memberikan informasi geologi dalam kaitannya dengan data-data produksi. Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan cekungan Tersier terbesar dan terdalam di Indonesia bagian barat, dengan luas area 60.000 km 2 dan ketebalan penampang mencapai 14 km. Cekungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN IJIN PENGGUNAAN DATA... iv KATA PENGANTAR.... v SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

STUDI STRATIGRAFI SEKUEN DALAM FORMASI PULAU BALANG DI LAPANGAN WAILAWI, CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR

STUDI STRATIGRAFI SEKUEN DALAM FORMASI PULAU BALANG DI LAPANGAN WAILAWI, CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR STUDI STRATIGRAFI SEKUEN DALAM FORMASI PULAU BALANG DI LAPANGAN WAILAWI, CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

2.2.2 Log Sumur Batuan Inti (Core) Log Dipmeter Log Formation Micro Imager (FMI)

2.2.2 Log Sumur Batuan Inti (Core) Log Dipmeter Log Formation Micro Imager (FMI) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv ABSTRAK...vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR TABEL...xvi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi Selain dari data-data di atas, data lain yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah review biostratigrafi sumur Asri-2 (PT. Core Laboratories), review laporan evaluasi batuan induk (PT. Robertson

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy Indonesia yang secara umum terletak di wilayah South Mahakam, sebelah tenggara dan selatan dari Kota

Lebih terperinci

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Reservoir batupasir Duri B2 merupakan bagian dari Formasi Duri dalam Kelompok Sihapas yang diperkirakan diendapkan pada Miosen Awal. Di bagian utara lapangan RantauBais,

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xvi BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xvi BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI SARI......... i ABSTRACT...... ii KATA PENGANTAR.... iii DAFTAR ISI.... vi DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xvi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2 Ruang Lingkup

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011 SIKUEN STRATIGRAFI DAN ESTIMASI CADANGAN GAS LAPISAN PS-11 BERDASARKAN DATA WIRELINE LOG, SEISMIK DAN CUTTING, FORMASI EKUIVALEN TALANG AKAR LAPANGAN SETA CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA SKRIPSI Oleh: SATYA

Lebih terperinci

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang Korelasi tahap awal dilakukan pada setiap sumur di daerah penelitian yang meliputi interval Formasi Daram-Waripi Bawah. Korelasi pada tahap ini sangat penting untuk

Lebih terperinci

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal) BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI 4.1 Tektonostratigrafi 4.1.1 Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal) Berdasarkan penampang seismik yang sudah didatarkan pada horizon

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang digunakan, serta tahap tahap penelitian yang meliputi: tahap persiapan, tahap penelitian dan pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR BAB IV PEMODELAN RESERVOAR Daerah penelitian, Lapangan Yapin, merupakan lapangan yang sudah dikembangkan. Salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam pengembangan lapangan adalah mendefinisikan geometri

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. III.1. Biostratigrafi

BAB III TEORI DASAR. III.1. Biostratigrafi BAB III TEORI DASAR III.1. Biostratigrafi Biostratigrafi merupakan cabang dari ilmu stratigrafi yang berkaitan dengan studi paleontologi pada batuan sedimen. Berbagai macam fosil dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Cekungan Sumatra Selatan, lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra Selatan termasuk

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR III.1. Analisis Biostratigrafi Pada penelitian ini, analisis biostratigrafi dilakukan oleh PT Geoservices berdasarkan data yang diambil dari sumur PL-01

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN.... iii IJIN PENGGUNAAN DATA.... iv KATA PENGANTAR.... v SARI........ vii ABSTRACT....... viii DAFTAR ISI............ ix DAFTAR

Lebih terperinci

Sejarah Dan Lokasi Lapangan IBNU-SINA

Sejarah Dan Lokasi Lapangan IBNU-SINA Bab III. Geologi Daerah Penelitian BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Sejarah Dan Lokasi Lapangan IBNU-SINA Lapangan SINA ditemukan pada tahun 1986 dan IBNU ditemukan pada tahun 1992. Letak lapangan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor BAB IV ANALISA FASIES PENGENDAPAN 4.1 Data Sampel Intibor Data utama yang digunakan dalam penfasiran lingkungan pengendapan dan analisa fasies ialah data intibor (Foto 4.1), data intibor merupakan data

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pendahuluan Analisis tektonostratigrafi dan pola sedimentasi interval Formasi Talang Akar dan Baturaja dilakukan dengan mengintegrasikan data geologi dan data geofisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur Neogen yang menyusun cekungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di utara lepas pantai Sumatra Tenggara, Indonesia bagian barat. Kegiatan eksplorasi pada Cekungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan ekonomis di Indonesia dan telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C 4.1. Analisis Litofasies dan Fasies Sedimentasi 4.1.1. Analisis Litofasies berdasarkan Data Batuan inti Litofasies adalah suatu tubuh batuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR

BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR Karakterisasi reservoir merupakan suatu proses untuk mengetahui sifat suatu batuan. Untuk mendapatkan karakteristik suatu reservoir secara lebih baik maka diperlukan beberapa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada BAB V INTERPRETASI DATA V.1. Penentuan Litologi Langkah awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan litologi batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada dibawah

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah OCO terdapat pada Sub-Cekungan Jatibarang yang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon di Indonesia. Formasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia semakin banyak ditemukan minyak dan gas yang terdapat pada reservoir karbonat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Penemuan hidrokarbon dalam

Lebih terperinci

Bab II Kerangka Geologi

Bab II Kerangka Geologi Bab II Kerangka Geologi II.1 Tatanan Tektonik Tiga konfigurasi struktural dapat ditentukan dari utara ke selatan (Gambar II.1) yaitu Paparan Utara, Dalaman Tengah dan Pengangkatan Selatan (Satyana, 2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO II.1 GEOLOGI CEKUNGAN KUTAI Cekungan Kutai adalah salah satu cekungan di Kalimantan Timur, Indonesia. Cekungan ini memiliki area sekitar 60.000km 2 dan berisi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1 Stratigrafi dan Fasies Lapangan Bekasap Secara garis besar karakter fasies pengendapan di Formasi Bekasap, Bangko dan Menggala memperlihatkan lingkungan shallow water of

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Pembuktian Metode penalaran logika yang digunakan adalah metode deduksi yaitu penentuan batas sekuen, maximum flooding surface (MFS), system-tract, paket parasekuen,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR 3.1. Litofasies Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari litologi, struktur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah Cepu (Gambar 1. 1). Penelitian meliputi definisi Formasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada kajian pustaka dibahas tentang geologi regional dan konsep serta pemahaman mengenai stratigrafi sekuen dan aspek reservoir. Geologi regional meliputi struktur dan stratigrafi

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan Terbang ditemukan pertama kali di tahun 1971 dan mulai berproduksi di tahun 1976. Sebagian besar produksi lapangan ini menghasilkan minyak jenis

Lebih terperinci

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies pengaruh laut. Litofasies Sf, di bagian atas asosiasi, mengindikasikan adanya pengaruh arus pasang surut. Suksesi vertikal menghalus ke atas dan perubahan litofasies dari Sp dan Spb menjadi Sf. mengindikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Lapangan Minas merupakan lapangan yang cukup tua dan merupakan salah satu lapangan minyak yang paling banyak memberikan kontribusi dalam sejarah produksi minyak di

Lebih terperinci

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG 4.2 Latar belakang Studi Ngrayong telah lama mengundang perdebatan bagi para geolog yang pernah bekerja di Cekungan Jawa Timur. Perbedaan tersebut adalah mengenai lingkungan

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metodologi Penelitian Metodologi penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduksi dengan mengacu pada konsep-konsep dasar analisis geologi struktur yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Lintasan Dan Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam cakupan peta 1212 terdiri dari 44 lintasan yang terbentang sepanjang 2290 km, seperti yang terlihat pada peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Pra-Interpretasi Pada BAB ini akan dijelaskan tahapan dan hasil interpretasi data seismik 3D land dan off-shore yang telah dilakukan pada data lapangan SOE. Adapun

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat 41 Bab IV Analisis Data IV.1 Data Gaya Berat Peta gaya berat yang digabungkan dengn penampang-penampang seismik di daerah penelitian (Gambar IV.1) menunjukkan kecenderungan topografi batuan dasar pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Data seismik dan log sumur merupakan bagian dari data yang diambil di bawah permukaan dan tentunya membawa informasi cukup banyak mengenai kondisi geologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci