BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas tentang postpurchase dissonance, terlebih dahulu perlu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas tentang postpurchase dissonance, terlebih dahulu perlu"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Postpurchase Dissonance A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance Sebelum membahas tentang postpurchase dissonance, terlebih dahulu perlu dipahami tentang cognitive dissonance. Teori cognitive dissonance ini dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun Festinger (Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000) mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut: Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a person perceives that two cognitions (thoughts), both of which he believes to be true, do not fit together Hal ini berarti bahwa cognitive dissonance ialah keadaan psikologis yang dihasilkan ketika seseorang merasakan bahwa kedua pengertian yang dipercayai sebagai kebenaran, tidak sesuai satu sama lain. Sebagai contohnya, ketika konsumen membuat suatu komitmen sudah membayar atau memesan suatu produk, khususnya yang harganya mahal seperti sebuah mobil atau laptop. Mereka mungkin mulai merasakan cognitive dissonance ketika mereka berpikir keunikan, kualitas positif dari merek produk yang tidak mereka pilih.

2 Festinger (Loundon & Bitta, 1993) menyatakan bahwa ada dua prinsip cognitive dissonance yaitu (1) dissonance itu membuat tidak nyaman dan akan memotivasi seseorang untuk menguranginya; dan (2) seseorang yang mengalami dissonance akan menghindari situasi yang menghasilkan lebih banyak dissonance. Dissonance (ketidaknyamanan) dapat ditimbulkan oleh tiga hal. Pertama, hal yang diterima logika tidak berjalan konsisten, contohnya: semua permen memiliki rasa manis, namun permen yang dibeli tersebut rasanya pahit. Kedua, ketika pengalaman seseorang tidak konsisten, baik antara sikapnya dengan perilakunya; atau di antara kedua perilakunya. Ketiga, ketidaknyamanan (dissonance) dapat terjadi ketika pengharapan tidak tercapai. Di saat cognitive dissonance terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah yang dinamakan dengan postpurchase dissonance (Schiffman dan Kanuk, 2004). Postpurchase dissonance (ketidaknyamanan pasca pembelian) merupakan bentuk cognitive disssonance yang berhubungan dengan ilmu pemasaran. Assael (1992) menyatakan bahwa postpurchase dissonance merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan presepsi ketika konsumen merasa terjadi konflik informasi setelah pembuatan keputusan dan mencoba untuk mengubah informasi untuk menyesuaikan dengan perilaku sebelumnya. Ketidaknyamanan pasca pembelian ini terjadi ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah merek dari berbagai merek dalam kategori produk yang sama.

3 Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian (postpurchase) suatu produk oleh konsumen. Tahap ini sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencari penguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan. Hoyers & MacInnis (2010) menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah adanya suatu perasaan cemas terhadap keputusan yang benar yang telah dibuat dan konsumen akan berusaha untuk menguranginya, khususnya ketika motivasi, kemampuan, dan kesempatan yang ada tinggi. Salah satu cara mengurangi dissonance tersebut ialah mencari informasi tambahan dari sumber-sumber seperti ahli dan majalah. Di bawah ini, Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membuat suatu diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan fenomena yang disebut postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen meragukan kebijakan pembelian (wisdom of purchase) yang telah dilakukan. Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint behaviors sedangkan kepuasan (satisfaction) dapat memberikan peningkatan dan pengulangan pembelian kembali dari konsumen.

4 Berdasarkan diagram yang ada dibawah ini, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang. Skema II.1 Alur Postpurchase Dissonance dalam Pembelian A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000) mengemukakan 3 dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu:

5 1. Emotional Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance. 2. Wisdom of purchase Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dia lakukan. Apabila individu merasa bahwa keputusan pembelian yang dia lakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance. 3. Concern over deal Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri atas terhadap produk yang dibeli. Individu

6 yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar diri individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance. A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu : 1. The degree of commitment or irrevocability of the decision Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.

7 2. The importance of the decision to the consumer Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut. 3. The difficulty of choosing among alternatives Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.. 4. The individual s tendency to experience anxiety Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena

8 itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance. Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) dalam penelitiannya mengenai disonansi yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) adalah: (1). Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk yang tadinya ditolak oleh konsumen; (2). Munculnya faktor negatif dari produk alternatif yang menjadi pilihan utama; (3). Banyaknya alternatif produk yang muncul; (4). Kekacauan kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan; (5). Keterlibatan kognitif pada produk; (6). Bujukan dan pujian; (7). Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat membeli; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk. B. Harga (Price) B.1. Konsep dan Pengertian Harga (price) Konsep harga (price) merupakan konsep merupakan satu-satunya konsep unsur bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya. Berdasarkan sudut pandang konsumen, harga

9 seringkali digunakan sebagai indikator nilai bagaimana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa (Tjiptono, 2004). Monroe (dalam Tjiptono, 2004) menyatakan harga (price) adalah pengorbanan ekonomis yang dilakukan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa. Selain itu harga menjadi salah satu faktor penting konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak. Tjiptono (2004) menyatakan bahwa harga memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli, yaitu peranan alokasi dan peranan informasi. 1. Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki 2. Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam mendidik konsumen mengenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi di mana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor

10 produk atau manfaatnya secara objektif. Presepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi. B.2. Persepsi Harga (Price Perception) Di dalam jurnalnya yang berjudul Price, Product Information, and Purchase Intention: An Empirical Study, Chang & Wildt (1994) menyebutkan bahwa persepsi harga dapat didefenisikan sebagai representasi perseptual konsumen atau persepsi subjektif terhadap harga objektif dari suatu produk. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa persepsi harga (sebagai contoh: persepsi konsumen terhadap suatu harga) dibentuk berdasarkan pada harga aktual (objektif) dan harga referensi dari konsumen (Winer, 1986). Penelitian terdahulunya juga mengindikasikan bahwa persepsi kualitas itu dipengaruhi oleh harga dan atribut instrinsik dari produk (Monroe dan Krishnan 1985; Olson dan Jacoby 1972). Winer (dalam Chang & Wildt, 1994) berpendapat bahwa ketika membuat keputusan pembelian, konsumen seringkali membandingkan harga objektif dengan harga referensi internal, yang merupakan keseluruhan level harga atau kisaran persepsi konsumen pada kategori produk. Di dalam Chang & Wildt (1994), Teori asimiliasi/kontras Sherif dan teori level-adaptasi Helson telah digunakan dalam menggambarkan bagaimana harga objektif dan harga referensi berinteraksi untuk mempengaruhi evaluasi terhadap produk. Semakin tinggi harga referensi akan

11 menginduksi konsumen untuk mempersepsikan harga objektif semakin rendah dan begitu juga sebaliknya (Lichtenstein dan Braden 1989; Urbany, Bearden, dan Weilbaker 1988, dalam Chang & Wildt 1994). Hasil penelitian akhir Chang & Wildt (1994) menghasilkan dukungan bahwa persepsi harga sebagai representasi perseptual dari harga objektif dalam hubungannya dengan harga referensi seperti yang dinyatakan oleh Monroe dan Chapman (1987) dan Zaithmal (1988). Berdasarkan dua variabel harga tersebut, harga objektif menunjukkan pengaruh yang lebih besar dalam mempersepsikan harga, dan pengaruhnya positif, begitu juga sebaliknya dengan harga referensi. Di dalam kasus lain, informasi harga mungkin tidak akan dievaluasi dengan seksama karena konsumen telah memiliki sebentuk citra harga tertentu bagi setiap toko yang ingin mereka masuki dan konsumen seringkali menganggap tidak perlu lagi memperbandingkan harga di outlet tersebut dengan harga di outlet lainnya (Paul & Olson, 2002). Paul & Olson (2002) menyatakan bahwa konsumen seringkali tidak berhatihati dalam menyimpan data harga diingatannya bahkan untuk produk-produk yang mereka beli sekalipun; Alasan utamanya mengapa hal ini terjadi karena konsumen tidak mau melakukann sejumlah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan, menyimpan, dan merevisi harga berbagai macam produk yang mereka beli. Untuk sebagian pembelian, di luar yang menggunakan kupon diskon dan tawar-menawar,

12 konsumen hanya tinggal membayar berapa saja harga yang ditetapkan atau melupakan rencana pembeliannya. Oleh karena itu, jika mereka memilih untuk membeli, harga tersebut tidak dapat mereka kontrol dan tidak banyak gunanya bagi mereka untuk menyimpan dengan hati-hati informasi harga jika dampaknya tidak berarti banyak bagi penghematan uang. Ringkasnya biaya aktivitas kognitif, biaya upaya perilaku, dan biaya waktu yang ikut terlibat dalam menyimpan informasi harga dan berbelanja dengan seksama sering sekali tidak sesuai dengan besarnya uang yang dapat dihemat. B.3. Konsep yang Berhubungan Dengan Persepsi Harga Dalam penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Lichtenstein, Nancy M. Ridgway, dan Richard G. Netemeyer (dalam Budiadi, 2009) telah diidentifikasikan 7 (tujuh) konsep yang berhubungan dengan interpretasi dan presepsi harga (pricerelated construct). Dari tujuh konsep yang berhubungan dengan presepsi harga tersebut, lima diantaranya mempengaruhi secara negatif probabilitas pembelian dengan semakin tingginya harga, dan disebut sebagai peran negatif. Kelima konsep yang memiliki peran negatif tersebut, yaitu Price Consciousness, Value Consciousness, Coupon Proneness, Sale Proneness, dan Price Mavenism. Dua dari tujuh konsep sisanya memiliki pengaruh terhadap probabilitas pembelian secara positif dengan semakin

13 tingginya harga, dan disebut sebagai peran positif. Dua konsep yang memiliki peran positif tersebut yaitu Price Schema dan Prestige Sensitivity. Sedangkan lima faktor yang merupakan reaksi/perilaku konsumen dalam menanggapi harga dan promosi harga, adalah Price Search, Generic Product Purchase, Price Recall, Sale Responsiveness dan Coupon Redemption. Berikut penjelasannya: a. Kesadaran harga (price consciousness) Maksud kesadaran harga disini adalah kesadaran konsumen akan pentingnya harga yang rendah dalam membeli produk. Semakin rendah harga semakin dipilih sesuai dengan preferensi terhadap harga rendah. Hal ini dapat melihat sejauh mana pertimbangan konsumen terhadap pentingnya pertimbangan harga yang rendah di atas pertimbangan-pertimbangan lainnya. b. Kesadaran nilai fisik produk (value consciousness) Kesadaran nilai fisik produk adalah kesadaran konsumen akan pentingnya nilai produk yang diukur dari harga terhadap wujud/fisiknya. Semakin rendah nilai produk tersebut, sehingga lebih dipilih. c. Potongan harga (sale proneness) Konsep ini berkaitan dengan persepsi konsumen mengenai produk-produk yang ditawarkan dalam potongan harga. Potongan harga dianggap

14 menguntungkan karena harganya lebih rendah dari harga semestinya. Sejalan dengan hal ini, maka harga rendah dari harga semestinya dan harga rendahlah yang dipilih. Hasilnya, dapat dilihat sejauh mana preferensi konsumen terhadap produk-produk yang dijual dengan potongan harga, yang ditunjukkan oleh persepsi konsumen terhadap pentingnya pertimbangan potongan harga. d. Harga-kualitas (price quality scheme) Hubungan harga-kualitas berkaitan dengan anggapan bahwa harga produk sebanding dengan kualitasnya. Semakin tinggi harga semakin dipilih. Karena dianggap mencerminkan kualitas yang bagus. Semakin rendah harga semakin kurang dipilih karena dianggap semakin menurun kualitasnya. e. Harga-Prestis (Prestige sensitivity) Hubungan harga-prestis berkaitan dengan anggapan bahwa produk yang dibeli menunjukkan status atau gengsi. Semakin tinggi harga semakin dipilih, karena dianggap semakin memerikan prestige. Semakin rendah harga semakin kurang dipilih karena dianggap semakin berkurang nilai prestisnya. C. Perilaku Konsumen Perempuan Perubahan dalam peran gender bagi perempuan adalah hal dramatis, meningkatnya partisipasi dalam tantangan dunia pekerjaan, meningkatnya kekuatan

15 kekayaan dan pembelian, dan meningkatnya partisipasi dalam gaya hidup yang aktif. Kelly (1991) juga menyatakan peran perempuan tradisional (sebagai istri, ibu, dan wanita muda) telah berubah setelah semakin maraknya perkembangan pusat-pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan yang begitu banyaknya membuat perempuan seringkali dihadapkan dengan banyak pilihan. South& Spitze (1994) menyatakan bahwa berbelanja adalah tipe tugas perempuan (female typed-task). Proses pembelian oleh perempuan dilakukan karena tiga motif utama yaitu: berinteraksi dengan keluarga, faktor manfaat, dan proses pembelian sebagai suatu kesenangan (Lunt dan Livingstone, 1992). Penguatan dari lingkungan juga seringkali mengidentikkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk sering melakukan pembelian barang. Misalnya, sering kali perempuan dianggap sebagai ratunya belanja, adanya dukungan sosial baik dari suami, teman, atau diri sendiri yang menguatkan bahwa perempuan identik dengan belanja, belanja merupakan cara melepaskan stres. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Huddleston & Minahan (2012) bahwa bagi konsumen perempuan belanja bukanlah sekedar melakukan pembelian melainkan juga tentang kesenangan, kreativitas, berfoya-foya dan kebebasan. Stereotip yang dibentuk oleh lingkungan juga membedakan perilaku pembelian pada perempuan. Perempuan lebih mungkin mendapat stereotip terhadap

16 merek dari produk-produk fashion daripada produk dengan image mobil (Elliot, 1993). Peran gender perempuan secara umum biasanya adalah merawat, memelihara kesehatan suami dan anak dan tinggal di rumah menghabiskan sebagian besar waktunya (DeGenova, 2008). Hal ini juga mempengaruhi perilaku membeli perempuan tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga terhadap orang lain dalam hal ini keluarganya. Perempuan juga cenderung membeli barang-barang simbolis dan mampu mengeskpresikan dirinya, yang berkaitan dengan penampilan dan emosional untuk diri sendiri maupun orang lain (Hoyer & MacInnis, 2010). Dari segi emosional, perempuan mempunyai kecenderungan menunjukkan lebih banyak emosi-emosi negatif seperti rasa takut, nervous, dan cemas selama proses pembelian daripada emosi-emosi positif (Dube & Morgan, 1996). Pemrosesan informasi dalam otak perempuan juga mendukung perilaku membeli yang perempuan lakukan. Dalam struktur otaknya, otak perempuan lebih aktif pada peripheral vision (Lahey, 2007). Hal ini menyebabkan perempuan berpikir terlebih dahulu secara lebih mendalam baru kemudian bertindak. Pemrosesan informasi untuk menghasilkan suatu respon menjadi lebih lama dan lebih mendetail. Wanita lebih mungkin terlibat lebih dalam suatu rincian produk, menyeluruh, memeriksa pesan dari produk lebih cermat, dan membuat perpanjangan waktu dalam membuat keputusan berdasarkan atribut-atribut produk yang hendak dipilih.

17 Meyers-Levy (1989) dalam jurnal A Hemispheric Interpretation menemukan bahwa dalam segi kognitif perempuan menggunakan kedua belahan otak mereka untuk sebagian besar tugas sehingga informasi yang ditangkap juga seringkali tidak dipahami secara keseluruhan karena adanya pembagian fokus perhatian terhadap tugas-tugas lainnya. D. Harga (Price) sebagai Pemicu Munculnya Postpurchase Dissonance pada Konsumen Perempuan Proses pembelian produk merupakan proses yang mempunyai beberapa tahapan sampai akhirnya seseorang mengambil keputusan pembelian. Hoyers dan MacInnis (2010) menyatakan bahwa faktor harga (price) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh kritis terhadap pengenalan, penggunaan, dan pengambilan keputusan pembelian. Chang & Wildt (1994) mengatakan persepsi terhadap harga (price) terbentuk berdasarkan harga aktual (objektif) dan harga referensi dari konsumen. Harga referensi ( reference price) merupakan suatu standar internal yang dibandingkan dengan harga produk yang ditemukan (Lindsey-Mullikin, 2003). Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Olson dan Jacoby (dalam Chang & Wildt,1994) juga mengindikasikan bahwa persepsi kualitas produk dipengaruhi juga oleh faktor harga dan atribut-atribut dalam suatu produk. Sawyer dan Dickson (1984) dan Zeithmal

18 (1988) menemukan bahwa faktor harga tidak berhubungan dengan persepsi terhadap nilai (value perception) melainkan secara jelas terbukti bahwa adanya hubungan kuat antara faktor harga dan persepsi kualitas (price-perceived quality). Zeithmal (1988) menemukan bahwa hubungan antara harga dan persepsi kualitas tersebut diperantarakan oleh persepsi harga (perceived price). Jacoby dan Olson (1977) menunjukkan bahwa konsumen menyamakan antara harga actual produk (actual price) dengan suatu bentuk persepsi harga (price perception). Persepsi harga inilah yang kemudian mempengaruhi terbentuknya persepsi kualitas (quality perception). Harga aktual (objektif) produk yang ditemukan konsumen akan lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan harga referensi yang dibuat oleh konsumen. Reaksi konsumen terhadap harga yang tak terduga adalah hal yang menarik untuk diteliti karena potensi harga-harga yang tidak terduga oleh konsumen mempunyai pengaruh terhadap bagaimana persepsi konsumen terhadap nilai produk dan intensi pembelian untuk di masa mendatang. Festinger (1957) mencetuskan teori cognitive dissonance, menyediakan suatu kerangka berpikir yang berguna untuk mengevaluasi keadaan-keadaan dimana konsumen menemukan bahwa harga produk yang sudah dibayarkannya ternyata berbeda dari harga referensi. Mengingat kembali kepada teori awalnya, yaitu cognitive dissonance theory yang dikemukakan oleh Festinger (1957) bahwa

19 seseorang mencari cara untuk menyeimbangkan antara struktur kognitf dengan informasi baru yang ia terima sehingga konsisten dengan belief yang sebelumnya sudah terbentuk seimbang. Di saat informasi baru diproses dan ternyata sesuai dengan belief awal, maka muncullah dissonance. Ketika dissonance terjadi pada situasi pembelian baik produk maupun jasa hal ini disebut dengan Postpurchase Dissonance. Postpurchase Dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive dissonance, dimana seseorang mengalami ketidaknyamanan psikologis berupa kecemasan atau keraguan pasca pembelian karena ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan kenyataan produk (Schiffman dan Kanuk, 2000). Berdasarkan konsep tentang harga referensi (price reference) dapat diketahui bahwa konsumen mengevaluasi harga secara komparatif (Monroe, 2003). Harga referensi dibentuk berdasarkan memori terhadap pengalaman-pengalaman pembelian sebelumnya, persepsi terhadap stimulus yang ada (kontekstual), gabungan dari pengalaman yang berhubungan (temporal), dan informasi dari orang lain (Van Raaij, 1991). Adatation-level theory menyatakan bahwa persepsi harga konsumen berdasarkan harga actual dan harga referensi. Hal ini menunjukkan bahwa harga referensi yang dibuat konsumen tergantung dari bagaimana kisaran harga-harga berbagai produk. Kisaran harga dipengaruhi oleh harga tertinggi dan harga terendah yang titik akhirnya mempengaruhi terjadinya judgement of prices konsumen (Monroe, 2003).

20 Berdasarkan assimilation-contrast theory kita mengetahui bahwa ketika dihadapkan dengan sebuah harga yang baru, harga baru akan dapat juga diterima dan menjadi bagian dari penerimaan harga tersebut atau malah ditolak. Ketika konsumen dihadapkan dengan sebuah harga diluar kisaran level kesesuaian yang ia miliki atau level of acceptanceterhadap harganya maka konsumen tersebut akan mengalami postpurchase dissonance. Ketika level kesenjangan antara harga actual dan harga referensi cukup jauh, individu akan mencoba untuk mengurangi dissonance yang ada tersebut. Hoyers & MacInnis (2010) menyatakan bahwa postpurchase dissonance dapat terjadi pada siapa saja baik dengan status sosial, usia, maupun gender yang berbeda, baik itu pria dan perempuan tapi pembedanya mungkin dari segi intensitas dan pengalaman yang dirasakan. Penelitian Huddleston & Minahan (2012)menunjukkan fakta bahwa konsumen perempuan di seluruh dunia mengendalikan sebagian besar pengeluaran konsumen (sekitar $20 trilyun), baik untuk eletronik, perumahan, furnitur rumah, perjalanan wisata, layanan finansial, atau automobile. Konsumen perempuan merupakan komunitas yang paling banyak melakukan proses pembelian. Konsumen perempuan sebagai suatu kelompok gender yang lebihbesar secara kuantitas melakukan proses pembelian juga sangat berpengaruh dalam membuat keputusan akhir pembelian. Berdasarkan survey marketeers(2011), 75% keputusan akhir pembelian dilakukan oleh konsumen perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa

21 konsumen perempuan menjadi lebih besar kemungkinannya mengalami ketidaksesuaian setelah pembelian karena intensitas pembelian dan pengalamannya juga lebih banyak. Faktor harga (price) sebagai salah satu bentuk evaluasi setelah pembelian juga mempunyai peranan bagi konsumen perempuan (Hoyers & MacInnis, 2010). Konsumen perempuan berusaha untuk membeli produk-produk yang secara normal sesuai dengang kapasitas keuangannya (Thrassou, Kone & Panayidou (2008). Hal iini dilakukan untuk menghindari kemungkinan kerugian. Oleh karena itu, konsumen perempuan cenderung membandingkan harga dari satu toko ke toko lain dan berusaha untuk melakukan penawaran harga produk. Hal ini terjadi karena perempuan mempunyai kecenderungan untuk membeli produk-produk dengan harga-harga yang lebih rendah (Black, 2005; Black, 2007; Lai, Wu & Lin, 2008). Oleh karena itu, konsumen perempuan mempunyai pertimbangan besar dalam menentukan harga produk yang akan dibeli. Di saat reference price tidak sesuai dengan actual price maka konsumen perempuan akan mengalami postpurchase dissonance.

22 Kerangka Teoritis Pembelian Persepsi Harga (Price Perception) Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan: FAKTOR PRICE Konsumen perempuan Paling banyak melakukan pembelian di berbagai produk Pembuat keputusan akhir dalam pembelian Terbiasa melakukan budgeting price Cenderung membeli Di Konsumen produk dengan Perempuan hargaharga yang lebih rendah Berusaha menawar produk hinga titik Postpurchase Dissonance Dimensi : Emotional Wisdom of Purchase Concern over deal

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Postpurchase Dissonance A. 1. Pengertian Postpurchase Dissonance Cornwell (2007) menjelaskan bahwa konsep postpurchase dissonance adalahkonsep cognitive dissonance yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. POSTPURCHASE DISSONANCE A.1 Definisi Postpurchase Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan konsumsi. Konsumsi, dari bahasa

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan konsumsi. Konsumsi, dari bahasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidak pernah lepas dari salah satu kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan konsumsi. Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari atau kebutuhan primer, kebutuhan sekunder seperti televisi serta

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari atau kebutuhan primer, kebutuhan sekunder seperti televisi serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan membeli. Kegiatan membeli tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan primer,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Postpurchase dissonance adalah suatu tahap dari postpurchase consumer

BAB II LANDASAN TEORI. Postpurchase dissonance adalah suatu tahap dari postpurchase consumer BAB II LANDASAN TEORI II. A. Postpurchase Dissonance II. A. 1. Pengertian Postpurchase Dissonance Postpurchase dissonance adalah suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang dapat dialami oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen Pemilik Mobil Toyota Avanza dilakukan oleh Edwin Japarianto, staf pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan perilaku konsumsi, konsumen harus mampu untuk mengambil keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat dewasa ini. mengakibatkan tingkat konsumsi yang cukup tinggi di kalangan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat dewasa ini. mengakibatkan tingkat konsumsi yang cukup tinggi di kalangan masyarakat BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat dewasa ini mengakibatkan tingkat konsumsi yang cukup tinggi di kalangan masyarakat Indonesia. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka 7 BAB 2 Tinjauan Pustaka Bab ini akan menjelaskan mengenai teori-teori yang akan berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah impulsive buying

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya mulai dari hal yang kecil dan besar. Manusia juga sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya mulai dari hal yang kecil dan besar. Manusia juga sekaligus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial dan makhluk individual. Manusia dikatakan makhluk sosial karena manusia pasti memerlukan orang lain dalam kehidupannya

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Assael, H. (1992). Consumer Behavior and Marketing Action (4 th Boston: Kent Publishing Company.

DAFTAR PUSTAKA. Assael, H. (1992). Consumer Behavior and Marketing Action (4 th Boston: Kent Publishing Company. 284 DAFTAR PUSTAKA Assael, H. (1992). Consumer Behavior and Marketing Action (4 th Boston: Kent Publishing Company. Edition). Black, G.S. (2007). Consumer Demographics and Geographics: Determinants of

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengambilan keputusan membeli merupakan suatu proses pemecahan masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Pengambilan keputusan membeli merupakan suatu proses pemecahan masalah BAB II LANDASAN TEORI A. TIPE PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMBELI 1. Pengertian Pengambilan Keputusan Membeli Pengambilan keputusan membeli merupakan suatu proses pemecahan masalah (John Dewey dalam Engel, Blackwell

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen Pemilik Mobil Toyota Avanza dilakukan oleh Edwin Japarianto, staf pengajar

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Japarianto (2006) dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif

BAB II URAIAN TEORITIS. Japarianto (2006) dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan disonansi kognitif dilakukan oleh Edwin Japarianto (2006) dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN. Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari

BAB II LANDASAN TEORI A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN. Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari BAB II LANDASAN TEORI A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN 6. Pengertian Disonansi Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari pendekatan terhadap tingkah laku yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. toko dapat memicu munculnya needs atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari

BAB I PENDAHULUAN. toko dapat memicu munculnya needs atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap konsumen rata-rata membuat ratusan keputusan setiap harinya. Hal ini termasuk tidak hanya keputusan mengenai produk atau merk yang akan mereka beli dan kuantitasnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Jurnal penelitian dengan judul Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen Pemilik Mobil Toyota Avanza dilakukan oleh Edwin Japarianto(2006), staf pengajar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk BAB II LANDASAN TEORI A. Proses Pengambilan Keputusan Membeli Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk melakukan pemilihan produk atau jasa. Evaluasi dan pemilihan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. Gaya Hidup 1. Pengertian Gaya Hidup Menurut Kotler yang diterjemahkan oleh Bob Sabran (2009:210) mengatakan: Gaya hidup secara luas didefinisikan sebagai pola hidup seseorang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang penting dari kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang penting dari kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman modern seperti sekarang ini, sarana komunikasi telah menjadi bagian yang penting dari kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan

Lebih terperinci

2.1 Motif Pembelian Penggunaan internet di masa sekarang semakin hari semakin meningkat di Indonesia, kebutuhan akan internet semakin dirasa penting

2.1 Motif Pembelian Penggunaan internet di masa sekarang semakin hari semakin meningkat di Indonesia, kebutuhan akan internet semakin dirasa penting 2.1 Motif Pembelian Penggunaan internet di masa sekarang semakin hari semakin meningkat di Indonesia, kebutuhan akan internet semakin dirasa penting karena mampu memenuhi kebutuhan akan informasi. Dengan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang perilaku berpindah merek telah dilakukan oleh Purwanto Waluyo dan Pamungkas dan Agus Pamungkas (2003) dengan judul Analisis Perilaku Brand

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini sedang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini sedang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini sedang berkembang dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam publikasi hasil survei yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. penjualan dan periklanan. Tjiptono (2007 : 37) memberikan definisi pemasaran

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. penjualan dan periklanan. Tjiptono (2007 : 37) memberikan definisi pemasaran BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pengertian pemasaran mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar penjualan dan periklanan. Tjiptono (2007 :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Konsumen 2.1.1 Pengertian Perilaku Konsumen Perilaku konsumen merupakan studi tentang cara individu, kelompok, dan organisasi menyeleksi, membeli, menggunakan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Persepsi Konsumen Persepsi adalah suatu proses memilih, mengatur dan menginterpretasikan informasi mengenai suatu produk barang atau jasa oleh konsumen. Persepsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1.1 Pengertian Keputusan Pembelian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1.1 Pengertian Keputusan Pembelian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Keputusan Pembelian 1.1 Pengertian Keputusan Pembelian Menurut Kotler dan Armstrong (2012), perilaku pembelian konsumen mengacu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan

BAB II LANDASAN TEORI. maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pemasaran Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan penjelasan. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Grand Theory of Marketing Gambar. 2.1 Grand teori, Keller dan Griffin Menurut Kotler (2010), pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemasaran adalah fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemasaran adalah fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2009:6) : Pemasaran adalah fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyerahkan nilai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada mulanya belanja merupakan suatu konsep yang menunjukan sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-hari dengan cara menukarkan sejumlah uang untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Riteler berusaha menciptakan keunggulan kompetitif untuk bersaing di tengah kompetisi yang ketat pada sektor ritel. Pengembangan produk dan pelayanan kepada konsumen,

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Menurut Phillip Kotler (2002:9): Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di

II. LANDASAN TEORI. Menurut Phillip Kotler (2002:9): Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di II. LANDASAN TEORI A. Strategi Pemasaran 1. Pengertian Manajemen Pemasaran Menurut Phillip Kotler (2002:9): Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hubungan pelanggan yang menguntungkan. Dua sasaran pemasaran adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hubungan pelanggan yang menguntungkan. Dua sasaran pemasaran adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Definisi Pemasaran Menurut Kotler & Amstrong (2008:5) pemasaran adalah proses mengelola hubungan pelanggan yang menguntungkan. Dua sasaran pemasaran adalah

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu 1. Baros (2007) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh atribut produk terhadap terbentuknya citra merek (Brand Image) di PT. Radio Kidung Indah Selaras

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan pada pencapaian profit. Fokus utama kegiatan pemasaran adalah mengidentifikasikan peluang

Lebih terperinci

10 c. Persepsi sikap terhadap penggunaan (attitude) d. Persepsi minat perilaku (behavioral intention to use) Persepsi pengguna terhadap manfaat teknol

10 c. Persepsi sikap terhadap penggunaan (attitude) d. Persepsi minat perilaku (behavioral intention to use) Persepsi pengguna terhadap manfaat teknol BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Penerimaan Teknologi Technology Acceptance Model (TAM) merupakan salah satu model yang dibangun untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan dari perwujudan, pemberian harga, promosi dan distribusi dari barang barang,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak. keputusan tersebut (Hoyer dan MacInnis, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak. keputusan tersebut (Hoyer dan MacInnis, 2010). BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesalan Pasca Pembelian Meskipun proses pembelian telah selesai, konsumen masih sering mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak selalu merasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Citra Merek Citra menurut Kotler dan Keller (2009) adalah sejumlah keyakinan, ide, dan kesan yang dipegang oleh seseorang tentang sebuah objek. Citra merek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Definisi Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif adalah sebagai bagian dari aktivitas atau kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. latar Belakang Masalah. dan teknologi yang sangat terasa adalah terjadinya perubahan yang sangat cepat di

BAB I PENGANTAR. A. latar Belakang Masalah. dan teknologi yang sangat terasa adalah terjadinya perubahan yang sangat cepat di BAB I PENGANTAR A. latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi sekarang ini dampak perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat terasa adalah terjadinya perubahan yang sangat cepat di segala aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Pengertian Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah sikap atau sifat dari individu, kelompok dan organisasi dalam memilih, menilai, dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pengertian pemasaran mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar penjualan dan periklanan. Tjiptono (2002) memberikan definisi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian produk menurut Kotler & Armstrong (2001, p346) adalah segala

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian produk menurut Kotler & Armstrong (2001, p346) adalah segala BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1 Produk Pengertian produk menurut Kotler & Armstrong (2001, p346) adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. teknologi, dan perubahan gaya hidup manusia modern, maka jenis dan tingkat

LANDASAN TEORI. teknologi, dan perubahan gaya hidup manusia modern, maka jenis dan tingkat II. LANDASAN TEORI 2.1 Arti dan Pentingnya Pemasaran Kegiatan pemasaran adalah kegiatan penawaran suatu produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. penjualan adalah aspek pemasaran (Kotler, 2009:10) mengemukakan pengertian

BAB II LANDASAN TEORI. penjualan adalah aspek pemasaran (Kotler, 2009:10) mengemukakan pengertian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Pemasaran Salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan penjualan adalah aspek pemasaran (Kotler, 2009:10) mengemukakan pengertian pemasaran

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. Halaman. Lampiran 1 Pedoman Wawancara. Lampiran 2 Verbatim Wawancara. Lampiran 3 Rekonstruksi Data. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN. Halaman. Lampiran 1 Pedoman Wawancara. Lampiran 2 Verbatim Wawancara. Lampiran 3 Rekonstruksi Data. Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Verbatim Wawancara Lampiran 3 Rekonstruksi Data LAMPIRAN 1 PEDOMAN WAWANCARA PEDOMAN WAWANCARA I. Identitas Informan: 1. Nama : 2. Jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dalam kehidupan sehari-hari ada sebuah proses dimana saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication

BAB I PENDAHULUAN. sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belanja adalah aktivitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Salah satu alternatif belanja yang sudah mengikuti gaya hidup sekarang adalah belanja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 1 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Keputusan pembelian Kotler (2008) mengatakan keputusan pembelian merupakan tahap dari proses keputusan pembeli yaitu ketika konsumen benar-benar membeli produk. Dimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. kritis dan komparatif terhadap teori dan hasil penelitian yang relevan, dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. kritis dan komparatif terhadap teori dan hasil penelitian yang relevan, dalam II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS Pembahasan pada Bab II ini terdiri dari tinjauan pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka pikir, dan hipotesis penelitian. Sebelum membuat analisis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Membeli 1. Pengertian Perilaku Membeli Perilaku adalah semua respon (reaksi, tanggapan, jawaban; balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme (Chaplin, 1999). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern seperti sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern seperti sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman modern seperti sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi bagian yang penting dari kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan transportasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. produk pelumas mesin kendaraan bermotor merek Mesran SAE. Pihak produsen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. produk pelumas mesin kendaraan bermotor merek Mesran SAE. Pihak produsen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan dalam penelitian ini yaitu menurunnya loyalitas konsumen produk pelumas mesin kendaraan bermotor merek Mesran SAE. Pihak produsen harus berusaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi Ada beberapa pengertian persepsi menurut para ahli, yaitu: Persepsi menurut Pride dan Ferrel dalam Fadila dan Lestari (2013:45), persepsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsumen 2.2 Kepuasan Konsumen

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsumen 2.2 Kepuasan Konsumen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pada masa modern ini, kegiatan berbelanja sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Kegiatan berbelanja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dalam sebuah keluarga.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran Banyak cara yang dilakukan perusahaan untuk dapat mencapai tujuan organisasinya. Salah satunya adalah merancang strategi pemasaran yang efektif. Pemasaran merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah Proses pengambilan keputusan dan aktivitas masing-masing individu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah Proses pengambilan keputusan dan aktivitas masing-masing individu yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen 2..1 Defenisi perilaku konsumen Ada beberapa definisi dari perilaku konsumen yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya: The American Assosiation dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rerangka Teori dan Penurunan Hipotesis 1. Rerangka Teori a. Perpindahan Merek Menurut Kotler dan Keller (2008) merek (brand) adalah sebuah nama, tanda, simbol, desain atau kombinasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri dikarenakan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri dikarenakan pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Loyalitas Pelanggan Secara harfiah loyal berarti setia, sedangkan loyalitas dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan. Kesetiaan ini timbul tanpa adanya paksaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumen Menurut American Marketing Association (Peter dan Olson, 2013:6), perilaku konsumen sebagai dinamika interaksi antara pengaruh

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pengertian Konsumsi dan Konsumen Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie. Pengertian konsumsi secara tersirat dikemukakan oleh Holbrook

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh perusahaan dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh perusahaan dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen Menurut Kotler dan Keller (2009:213) Perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Loyalitas Merek. Menurut (Griffin, 2005; dalam Mamang, 2014) menyatakan Loyalty is

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Loyalitas Merek. Menurut (Griffin, 2005; dalam Mamang, 2014) menyatakan Loyalty is BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Loyalitas Merek 1. Pengertian Loyalitas Merek Menurut (Griffin, 2005; dalam Mamang, 2014) menyatakan Loyalty is difined as non random purchase expressed over by some decision

Lebih terperinci

Pasar Konsumen dan Perilaku Konsumen.

Pasar Konsumen dan Perilaku Konsumen. Pasar Konsumen dan Perilaku Konsumen. A. Model Perilaku Konsumen. Sebuah perusahaan yang memahami bagaimana pelanggan /konsumen akan bereaksi terhadap berbagai bentuk produk, harga, iklan, maka perusahaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI A. Landasan Teori 1. Perpindahan Merek (Brand Switching) Perpindahan merek (brand switching) adalah pola pembelian yang dikarakteristikkan dengan perubahan atau pergantian dari satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persepsi yang baru dari seseorang. Inovasi adalah produk atau jasa yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persepsi yang baru dari seseorang. Inovasi adalah produk atau jasa yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Inovasi Produk Menurut Kotler dan Keller (2009) inovasi adalah produk, jasa, ide, dan persepsi yang baru dari seseorang. Inovasi adalah produk atau jasa yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa (Kotler dan Amstrong, 2007).

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa (Kotler dan Amstrong, 2007). BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Harga Produk Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa, atau jumlah nilai yang konsumen pertukarkan untuk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsumen dan Perilaku Konsumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, mendefinisikan bahwa konsumen adalah setiap

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penjualan Pribadi (Personal Selling) Menurut Kotler (2010: 29), pemasaran adalah suatu proses sosial-manajerial yang membuat seorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dibenak setiap orang (M. Hanafi, 2006:1 ). Risiko mencakup

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dibenak setiap orang (M. Hanafi, 2006:1 ). Risiko mencakup BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Persepsi Risiko Risiko merupakan suatu kejadian yang dikonotasikan negative dibenak setiap orang (M. Hanafi, 2006:1 ). Risiko mencakup

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. Proses dalam pembelian produk susu untuk batita (1-3 tahun) dapat

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. Proses dalam pembelian produk susu untuk batita (1-3 tahun) dapat BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Perilaku Konsumen Proses dalam pembelian produk susu untuk batita (1-3 tahun) dapat diprediksi dengan mengetahui bagaimana perilaku konsumen

Lebih terperinci

PASAR KONSUMEN. dan Perilaku Pembelian Konsumen

PASAR KONSUMEN. dan Perilaku Pembelian Konsumen PASAR KONSUMEN dan Perilaku Pembelian Konsumen Topik Pembahasan Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen Bagaimana karakteristik pembeli Bagaimana proses pengambilan keputusan pembelian

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Penelitian Nasution (2009) berjudul Pengaruh Nilai Pelanggan (Customer Value) terhadap Loyalitas pada PT. Pelita Fajar Utama Medan. Variabel yang diteliti

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan

KERANGKA PEMIKIRAN. dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Perilaku Konsumen Menurut Engel et al. (1994), perilaku konsumen adalah suatu tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengkonsumsi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempersiapkan diri menghadapi terjadinya perubahan-perubahan besar

BAB 1 PENDAHULUAN. mempersiapkan diri menghadapi terjadinya perubahan-perubahan besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi terjadinya perubahan-perubahan besar pada berbagai aspek kehidupan, khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan faktor penting dalam siklus yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan konsumen. Dalam salah satu perusahaan, pemasaran merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II. LANDASAN TEORI

BAB II. LANDASAN TEORI 9 BAB II. LANDASAN TEORI 2.1 Pemasaran 2.1.1 Pengertian Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2011) pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Definisi Konsumen Konsumen adalah seseorang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan dan penggunaan dari suatu produk dalam rangka memenuhi tujuan penggunaan, kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Kegiatan pemasaran merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan berpengaruh dalam naik turunnya perusahaan, khususnya penyampaian informasi dari perusahaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemasaran Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan penjelasan. Dalam banyak perusahaan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Konsumen 2.1.1 Definisi Perilaku konsumen adalah kegiatan kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang barang dan jasa, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju perkembangan teknologi, semakin marak pula

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju perkembangan teknologi, semakin marak pula BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin maju perkembangan teknologi, semakin marak pula keanekaragaman produk yang dihasilkan. Produk dengan jenis, kemasan, manfaat, rasa, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memiliki pelanggan yang loyal adalah tujuan akhir dari semua bisnis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memiliki pelanggan yang loyal adalah tujuan akhir dari semua bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memiliki pelanggan yang loyal adalah tujuan akhir dari semua bisnis yang ada, tetapi kebanyakan perusahaan tidak menyadarinya. Demi tercapainya tujuan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa ini merupakan waktu bagi individu mengalami perubahan yang besar. Perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat secara nyata barang atau jasa yang mereka inginkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat secara nyata barang atau jasa yang mereka inginkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Pengelola bisnis dewasa ini sebaiknya senantiasa memfokuskan perancangan strateginya pada bagaimana melayani dan mempertahankan pelanggan. Persaingan bisnis saat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan konsumen. Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan konsumen. Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan sebuah faktor sangat penting yang harus dilakukan perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan konsumen. Pemasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia sebagai Homo economicus, tidak akan pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Pada pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini, merujuk pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang memiliki keterkaitan dalam membahas variabel-variabel

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI RELATIONSHIP MARKETING SEBAGAI STRATEGI MEMPERTAHANKAN LOYALITAS PELANGGAN

IMPLEMENTASI RELATIONSHIP MARKETING SEBAGAI STRATEGI MEMPERTAHANKAN LOYALITAS PELANGGAN IMPLEMENTASI RELATIONSHIP MARKETING SEBAGAI STRATEGI MEMPERTAHANKAN LOYALITAS PELANGGAN Indri Hastuti Listyawati Akademi Manajemen Administrasi (AMA) YPK Yogyakarta ABSTRAK Strategi mempertahankan kesetiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat persaingan menjadi kuat dan saling berkompetisi dengan perusahaan lain

BAB I PENDAHULUAN. membuat persaingan menjadi kuat dan saling berkompetisi dengan perusahaan lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi di Indonesia telah berkembang ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan bisnis, dimana semakin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Merek 2.1.1 Pengertian Citra Merek Citra merek dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat suatu merek dari produk tertentu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dewasa ini banyak perusahaan yang menyatakan bahwa tujuan perusahaan mereka adalah untuk memuaskan pelanggan. Dengan moto yang bermacam-macam, seperti

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini menganalisis tentang preferensi konsumen terhadap paket wisata Kusuma Agrowisata. Kerangka pemikiran teoritis disusun berdasarkan penelusuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan dan keinginan pasar (marketdriven).

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan dan keinginan pasar (marketdriven). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan dapat bertahan hidup di pasar dan memenangkan persaingan adalah perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan dan keinginan pasar (marketdriven). Perusahaan

Lebih terperinci