DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI"

Transkripsi

1 DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul: DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis pada perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2012 Enny Sri Hartati A vi

3 ABSTRACT ENNY SRI HARTATI. The Impact of Government Spending Composition on Economic Growth, Employment Opportunity, and Poverty Rate (RINA OKTAVIANI as Chairperson, DIDIK J. RACHBINI and MUHAMMAD FIRDAUS as the Members of the Advisory Committee) The Indonesian government spending composition after the 1997 crisis has been dominated by recurrent spending. This condition had caused the fiscal space to occupy 4-5 percent of Gross Domestic Product (GDP) during The lack of fiscal space had resulted in limited role of fiscal policy to stimulate the economy. Furthermore, the economy has grown at the rate of 5.7 percent in yearly average; unemployment rate at 9.49 percent per year; and the average populations of poor people has reached 33.5 million people. The shifting of government spending composition is necessary, especially to raise the portion of capital spending. By using simultaneous equations model, the simulation result indicate that effective capital spending improvement should focus on infrastructure funding. A simulation of shifting government spending composition through the increasing capital spending in the amount of Rp 20 trillion only increase economic growth by about 0.33 percent, reduce unemployment by about 0.83 percent and poverty by about 0.02 percent. Meanwhile, if the increasing capital spending becomes more efficient, the economy will grow by about 1.37 percent, while unemployment and poverty will decrease by about 3.33 percent and 0.21 percent, respectively. To increase the affect of government spending on economic growth, employment and poverty alleviation, the composition of government spending should be fundamentally changed, specifically to increase the share in capital spending and the efficiency of capital spending utilization. Keywords: government spending, fiscal space, budget composition, economic growth.

4 RINGKASAN ENNY SRI HARTATI. Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua Komisi Pembimbing, DIDIK J. RACHBINI dan MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang. Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama , belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat. Tingginya beban belanja rutin tersebut berakibat belanja modal hanya mendapatkan porsi sekitar 12.5 persen, sehingga sangat terbatas untuk dapat membiayai pembangunan infrastruktur. Proporsi belanja modal tersebut jelas tidak ideal, apalagi jika dibandingkan dengan proporsi belanja modal negara-negara lain. Malaysia mempunyai porsi belanja modal mencapai 31 persen, Thailand 20.2 persen, dan Vietnam 28.4 persen. Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal hanya berkisar 4-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rendahnya ruang viii

5 fiskal berakibat pada terbatasnya peran kebijakan fiskal untuk menstimulus perekonomian. Hasilnya pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 5.7 persen dengan tingkat pengangguran 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin masih 33.5 juta orang. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang akan mendorong kinerja perekonomian. Hasil simulasi dengan menggunakan model persamaan simultan menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun demikian, peningkatan belanja modal akan lebih efektif jika disertai dengan efisiensi alokasi belanja modal. Peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Namun jika peningkatan belanja modal disertai peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen. Salah satu catatan penting dari hasil studi ini adalah bahwa belanja pemerintah mempunyai dampak yang rendah terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0.05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01 persen. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Pada tahun 2010 alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi ekonomi hanya 11.6 persen, sementara untuk pelayanan umum sebesar 63.8 persen. Peningkatkan peran stimulus fiskal dapat dioptimalkan dengan perubahan komposisi belanja dan kebijakan anggaran pemerintah. Kebijakan anggaran utamanya harus memenuhi tiga fungsi, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBN harus mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, yaitu pertumbuhan yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan (pro Job dan pro Poor). Untuk itu diperlukan peningkatan belanja modal dan porsi belanja untuk fungsi ekonomi.

6 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor x

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2. Dr. Arif Budimanta Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI)

8

9 DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

10 Judul Desertasi : Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Enny Sri Hartati : A : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani,MS Ketua Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini, M.Sc Anggota Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota Mengetahui : 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, 3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 30 Januari 2012 Tanggal Pengesahan : x

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli 1971 sebagai putri kedua dari Bapak M. Setyobudi dan Ibu Sri Suharni. Pendidikan dasar penulis selesaikan di kabupaten Sragen, yaitu di SDN Celep III ( ). Selanjutnya SMP dan SMA di kabupaten Karanganyar, yaitu SMPN I Mojogedang ( ) dan SMAN I Karanganyar ( ). Pada tahun 1989 penulis melanjutkan studi S1 pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus tahun Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan S2 di jurusan Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun Tahun 2005 penulis melanjutkan S3 di jurusan yang sama yaitu Ilmu EKonomi Pertanian. Saat ini penulis menjadi direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Jakarta, dan sebagai staf pengajar tidak tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta.

12 KATA PENGANTAR Alhamdullilahiirobbilalamin, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan ridhonya yang telah memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Desertasi dengan judul Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini,MSc dan Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan desertasi ini. Ucapan terimakasih juga saya tujukan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) serta seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat. 2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, sebagai dosen penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan desertasi ini. 3. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan (Bappenas) dan Dr. Arif Budimanta, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan pertanyaan dan masukan yang bersifat teoritis dan implementatif sehingga semakin mempertajam analisis serta sangat berguna dalam menyempurnakan naskah desertasi ini. 4. Dewan Pendiri, Komisaris dan Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Jakarta, lembaga riset sebagai kawah

13 candradimuka bagi penulis, yang telah memberi kesempatan dan mendorong penulis untuk menempuh program Doktor. 5. Rekan-rekan peneliti dan seluruh staf INDEF, terutama Mas Erani, Eko, Tauhid, Eisha, Heri, Pak Sugiyono, Abra, Imad, Herta, Edy, Edo,Udin, Trisia, Lia, Pipin, dan Perta yang telah memberi banyak masukkan, kritikan dan bantuan terhadap penyelesaian penyusunan desertasi ini. 6. Dr. Rasidin yang telah dengan sabar menemani diskusi dan membantu pengolahan data desertasi ini 7. Rekan-rekan program doktor EPN Elys, Bu Dewi, mbak Aida, mbak Niken, Pak Maryadi, Pak Eka, Pak Alla, Pak Dudi, Pak Ibrahim, Pak Roni, terimakasih atas segala kebersamaan dan dukungannya. 8. Seluruh staf sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, terutama mbak Yani, mbak Ruby, mbak Kokom, pak Husin yang dengan kesabaran dan ketulusannya selalu membantu dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan desertasi ini. 9. Terakhir kepada yang tercinta Bapak/Ibu, kakak, adik-adik, keponakan serta keluarga besarku yang dengan penuh cinta kasih selalu memberikan semangat dan do a yang tiada hentinya di sepanjang kehidupan penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu penulisan desertasi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga bantuan Bapak/Ibu menjadikan desertasi ini sebagai dokumentasi ilmu yang bermanfaat yang akan membawa amal kebaikan di dunia dan akherat. Saya yakin, penulisan desertasi ini ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karenanya saya berharap ada peneliti yang berminat untuk membuat penelitian yang lebih komprehensif dan sempurna di masa yang akan datang. Terakhir, saya berharap semoga penulisan desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya dapat berkontribusi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Amin. Bogor, Februari 2012 Enny Sri Hartati x

14 DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel.... xv Daftar Gambar xix Daftar Lampiran xxi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan Penelitian Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Peran Pemerintah dalam Perekonomian Peran Kebijakan Fiskal Komponen Kebijakan Fiskal Penerimaan Pemerintah Pengeluaran Pemerintah Keseimbangan Fiskal Desentralisasi Fiskal Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja dan Kemiskinan Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Penelitian Terdahulu

15 2.7.1 Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri Penelitian Studi Kasus di Indonesia Kerangka Pemikiran Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN Model Persamaan Simultan Spesifikasi Model Identifikasi dan Pendugaan Model Evaluasi Model Kesesuaian Model Validasi Model Simulasi Model Jenis dan Sumber Data IV. KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura Komposisi Belanja Pemerintah China Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Beberapa Negara V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Periode Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1969/ / Realisasi Penerimaan Negara Realisasi Belanja Negara Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Subsidi Belanja Pembayaran Bunga Utang Belanja Pembangunan Belanja Transfer Daerah xii

16 Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Kinerja Perekonomian Periode Setelah Krisis Ekonomi, Tahun Realisasi Penerimaan Negara Realisasi Belanja Negara Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Subsidi Pembayaran Bunga Utang Belanja Modal Komposisi Belanja Pusat dan Daerah Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Kinerja Perekonomian VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN Hasil Spesifikasi Model Hasil Pendugaan Model Blok Pendapatan Nasional Blok Fiskal Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pembayaraan Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum Belanja Dana Bagi Hasil Blok Kinerja Perekonomian Validasi Model Simulasi Kebijakan xiii

17 Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat Dampak Efisiensi Belanja Modal Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Alternatif Pilihan Kebijakan VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran-saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 209 xiv

18 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara, Tahun Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun Perkembangan Subsidi, Tahun Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja Pemerintah Jenis dan Sumber Data dalam Persamaan Simultan Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut Klasifikasi Ekonomi Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara Indonesia dan Thailand, Tahun Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDB Thailand Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor Produk Domenstik Bruto Malaysia, Tahun Total Pengeluaran Pemerintah Singapura Menurut Sektor, Tahun Alokasi Anggaran Singapura Menurut Klasifikasi Ekonomi Produk Domenstik Bruto Singapura, Tahun Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi Pendapatan Perkapita Negara ASEAN Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Perkapita antar Negara ASEAN Elastisitas Kemiskinan tehadap Pertumbuhan Ekonomi. 103

19 20. Konversi APBN dalam I-Account Komposisi Penerimaan Negara Pada Masa Orde Baru, Tahun 1969/ / Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Sebelum Krisis, Tahun 1969/ / Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, Tahun Perkembangan Subsidi, Tahun Perkembangan Difisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumahtangga Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Hasil Estimasi Perilaku Investasi Total Biaya Transaksi Mulai Usaha Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah Hasil Estimasi Perilaku Ekspor Hasil Estimasi Perilaku Impor Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM 172 xvi

20 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Dana Bagi Hasil Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan xvii

21 Halaman ini sengaja dikosongkan xviii

22 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan pembentukan Modal Domestik Bruto Rata-rata proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun Tingkat Penyerapan Anggaran K/L Per Quartal, Tahun Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian Jalur Efek Black Grant dan Jalur Efek Spesific Grant Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Perubahan Budget Line Karena adanya Pengeluaran Pemerintah Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kerangka Alur Pemikiran Penelitian Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi Belanja Pemerintah Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun Perkembangan Sektor Tradeable, Non Tradeable dan PDB Thailand Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun Pertumbuhan GDP China, Tahun Perbandingan Tingkat Kemiskinan antar Negara, Tahun

23 19. Tingkat Pengangguran Beberapa Negara, Tahun Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Orde Baru Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I Pelita III Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita IV Pelita VI Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis Tahun Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan daerah Periode Paska Krisis Tahun Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun Komposisi Penggunaan Belanja Barang Tahun Komposisi Penggunaan Belanja Modal tahun Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang Tahun Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun xx

24 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Penerimaan dan Belanja Negara, 1969/ Komposisi Belanja Daerah dan Pembiayaan APBN, 1969/ Data Utama untuk Model Simultan Hasil Pendugaan Persamaan Simultan

25 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan tahun tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan pada 1998 menjadi minus persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5 persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu persen dan tingkat kemiskinan masih mencapai persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai persen dan tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat

26 2 pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi sebesar persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar persen. Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja yang signifikan dalam perekonomian. Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen, seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4 persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010 (%) No Negara B. Modal thd Infrastruktur Pertumbuhan Pengangguran Pengeluaran Ranking Ekonomi 1. Malaysia Singapura Vietnam Indonesia Thailand ,9 1,0 6. China 10, ,4 4,1 Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011 Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah

27 3 adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi mencapai 56.7 persen. Peranan investasi terhadap pembentukan PDB baru mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada peningkatam konsumsi masyarakat * 2010 ** Konsumsi Rumah tangga Investasi Konsumsi Pemerintah Ekspor Impor Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan di sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor

28 4 antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kawasan Indonesia barat, karena rendahnya pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42. Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah, mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian. Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun (Rp Miliar) KETERANGAN * A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan DN Perpajakan Tax Ratio (% thd PDB) PNBP II. Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat II. Transfer ke Daerah C.Surplus/(Defisit) Anggaran % thd PDB D. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Keterangan:*Data APBN-P 2010

29 5 Selama kurun waktu APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin (sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen). Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur. APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran

30 6 pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian Pembentukan Modal Domestik Bruto Total Belanja Pemerintah Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio masih rendah dimana dalam kurun waktu rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.

31 7 Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negaranegara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah. Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak. Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp triliun. Sementara penerimaan negara yang

32 8 ditargetkan hanya sebesar Rp triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ miliar atau ekuivalen dengan Rp triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp triliun, dimana Rp triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah. Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi

33 9 Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN. Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan

34 10 pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian. Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah. Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini

35 11 tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen. Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran. Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun Dalam dokumen RPJMN dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,

36 12 yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment) Perumusan Masalah Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode , rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar persen, belanja barang sebesar persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar persen, subsidi sebesar persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun porsi belanja modal hanya sebesar persen.

37 13 Belanja Hibah; 0,08 Bantuan Sosial; 8,98 Belanja Lain-lain; 4,81 Belanja Pegawai; 18,89 Belanja Barang; 12,20 Subsidi ; 27,81 Pembayaran Bunga Utang ; 14,77 Belanja Modal; 12,52 Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.

38 14 Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun (Rp triliun) Jenis Subsidi Real. Real. Real. Real Real. APBNP Subsidi Energi , Subsidi BBM , Subsidi Listrik , Subsidi Non-Energi , Subsidi Pangan , Subsidi Pupuk , Subsidi Benih , PSO Kredit Program , Subsidi Minyak Goreng Subsidi Kedele Subsidi Pajak , Subsidi Lainnya , Jumlah Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011 The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40 persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89 persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3 persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana

39 15 pendapatannya hanya sebesar Rp per kapita per bulan, kecil kemungkinan dapat memiliki kendaraan bermotor. Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar fiscal space yang tersedia, akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah. Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan ruang gerak fiskal selama tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen. Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat, seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk

40 16 Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya ,9 18,5 17,5 17,5 15,52 13,16 12,64 12,49 4,38 5,37 4,87 5, APBN-P 2011 APBN Belanja Negara Belanja Mengikat Ruang Fiskal Sumber: Kementerian Keuangan,2011 Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun , penyerapan anggaran pada triwulan I sebesar persen, triwulan II sebesar persen, triwulan III sebesar persen serta triwulan IV sebesar persen. Bila ditelusuri lebih jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV. Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah per- DIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang

41 17 karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya. % 60,00 52,96 50,00 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 40,00 30,00 20,00 10,00 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11, Rata-rata Triwulan I 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11,13 Triwulan II 12,89 18,77 20,85 20,88 22,51 21,36 21,40 Triwulan III 26,79 25,15 23,81 26,79 23,96 23,29 24,46 Triwulan IV 52,96 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 Sumber: Kementerian Keuangan, Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Inefesiensi juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6 tahun terakhir ( ) penyerapannnya hanya 87 persen saja. Artinya terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per tahun. Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan.

42 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk 1. Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Membuat simulasi alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia Kegunaan Penelitian 1. Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan di Indonesia Hipotesis Penelitian 1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. 2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.

43 Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan Indonesia Kebaruan Penelitian Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain adalah : 1. Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun. Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya. 2. Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi

44 20 pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal. 3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia. 2. penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan sesuai perubahan rezim pemerintahan. 3. penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus. 4. Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).

45 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Pemerintah Dalam Perekonomian Salah satu peranan pemerintah dalam perekonomian tercermin dalam kebijakan fiskal. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Penyusunan APBN memiliki tujuan sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam melaksanakan kegiatan kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, anggaran pendapatan dan belanja negara harus dirumuskan sedemikian rupa yang mencakup perkiraan periodik dari semua pengeluaran dan sumber penerimaan. Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki enam (6) fungsi yaitu: 1. Fungsi otorisasi, dimana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan

46 22 2. Fungsi perencanaan, dimana APBN menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. APBN disusun untuk merencanakan target penerimaan dan pengeluaran keuangan negara. 3. Fungsi pengawasan, dimana APBN menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi stabilisasi memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian, utamanya untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi. APBN diharapkan dapat berfungsi menjaga kestabilan arus uang dan arus barang sehingga dapat mencegah terjadinya inflasi yang tinggi maupun deflasi yang akan mengakibatkan kelesuan perekonomian (resesi). 5. Fungsi alokasi dimana anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi alokasi terutama berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods). APBN ditentukan besarnya anggaran pengeluaran masing-masing bidang, ini berarti di APBN sektor pembangunan, departemen dan lembaga telah ditentukan dengan jelas. Sehingga melalui APBN kita dapat mengetahui sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

47 23 6. Fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan, pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Pendapatan negara yang dihimpun dari berbagai sumber akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di berbagai sektor pembangunan dan di berbagai departemen. Penggunaan dana harus dapat didistribusikan untuk berbagai sektor pembangunan secara optimal. Sedangkan asas penyusunan APBN dikenal dengan tiga azas yaitu: pertama, azas anggaran seimbang. Semua pengeluaran didasarkan pada penerimaan. Pada akhirnya terdapat kesamaan jumlah antara pengeluaran dan penerimaan, dengan kata lain APBN seimbang adalah jumlah pendapatan negara yang diperkirakan diterima akan dapat menutupi semua pengeluaran yang direncanakan (pengeluaran = penerimaan). Kedua, azas anggaran surplus. Jumlah penerimaan yang direncanakan pemerintah melebihi dari pengeluaran (Pengeluaran < Penerimaan). Penetapan anggaran seperti ini dilakukan pada negara yang memiliki masa kenaikan (prosperity). Ketiga, azas anggaran defisit. Anggaran yang ditetapkan oleh suatu negara apabila jumlah pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara (pengeluaran > penerimaan negara). Anggaran defisit dapat digunakan secara sadar untuk mendorong negara keluar dari resesi seperti anjuran Keynes Peran Kebijakan Fiskal Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi

48 24 swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output (Y) dalam keseimbangan makro: Y = C + I + G + (X-M). (2.1) Menurut Keynes dalam perekonomian yang mengalami krisis dan depresi, permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level). Keseimbangan makro perekonomian terbuka, dalam Model Mundell- Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis r = r*. Konsumsi tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (2.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (2.2) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS. Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e)..(2.2) Keseimbangan pasar uang, permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:

49 25 M/P = L(r*,Y)... (2.3) Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming, dijelaskan melalui dua persamaan: Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e)...(2.4) M/P = L(r*,Y)...(2.5) Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M), tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y) dan nilai tukar (e). Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah horizontal atau cenderung landai. Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku, diasumsikan upah tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak sempurna (0<p<1), akibatnya pekerja tidak melakukan penyesuaian terhadap perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro Keynesian disajikan pada Gambar 6. Kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A) dengan tingkat employment pada N 1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat besar,

50 26 sehingga peningkatan G dapat meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS 1 ke IS 2 ). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P 1 dan suku bunga r 1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM 1, menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect. Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output, agregate demand (AD) meningkat (AD 1 ke AD 2 ). Peningkatan AD akan berdampak memperketat pasar uang, sehingga akan berakibat meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas. Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama, peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh buruh dengan tuntutan kenaikan upah dari W 1 ke W 2 dan menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke kiri, yaitu ke P e 2.g(N), tetapi pergeseran kurva penawaran lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja meningkat dari N 1 ke N 2. Peningkatan P terus berlangsung sampai ekses demand dapat dihilangkan, yaitu pada P 2 Y 3. Penggunaan tenaga kerja atau employment meningkat ke N 2 dan upah meningkat ke W 2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja pada keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal, maka upah riil akan meningkat. Keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana output akhir adalah sebesar Y 3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, artinya terjadi growth. Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga (r), penurunan investasi (I), peningkatan upah nominal (W).

51 27 r LM 2 r 3 r 2 r 1 A B LM 1 IS 1 IS 2 0 Y 1 Y 3 Y 2 Y P AS P 2 B P 1 A AD 2 AD 1 Y 0 Y 1 Y 3 Y 2 Y Y 3 Y 1 A B Y=Y(N) w 2 W 0 N 1 N 2 B 1 P 2 e.g(n) P 1 e.g(n) N w 1 A W 2 D =P 2.f W 1 D =P 1.f 0 N 1 N 2 N Sumber: Mankiw, 2003 Gambar 6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian

52 Komponen Kebijakan Fiskal Penerimaan Pemerintah Sumber penerimaan pemerintah adalah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambanan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002). Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan nilai (PPn) mempunyai efek atau transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James dan Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak, intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan instrumen PPh dan PPn. Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees (1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang, ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T berbentuk:

53 29 n i 2 q i xi swx 1 T( swx ) (2.6) Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan: n x ( s) ( s) ds i i swx1 ( s) ( s) ds z G. (2.7) dimana, z G : pengenaan pajak pemerintah. Dengan teknologi linear memungkinkan untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1. Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel riil dan x i (s), i =1,, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan x n (S) ditentukan dari identitas U(s) = U(x 1 (s),...,x n (s)). Persyaratan orde pertama untuk self selection diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa dalam dalam notasi u U 2 l s 2 s Ull s atau. Pendekatan orde pertama Hamiltonian untuk maksimisasi dapat ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai: u s U s x x1 1 H U n swx1 xi ( s) i 2 xu 1 s x 1. (2.8) Untuk memilih x k (s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa x x n k U U xk xn Syarat perlu untuk optimalitas adalah:..(2.9) 1 U U xk xn x s 1 U x1xk U x1xn U U xk xn 0, k 2,..., n (2.10) Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:

54 30 U U xk xn 1 k t 1. (2.11) Substitusi persamaan (2.11) ke dalam (2.10), dan setelah disusun ulang, pajak optimal (t k ) dapat ditulis sebagai: t k x U 1 xk s U d log U dx 1 xk xn, k 2,..., n 1 (2.12) U xk d log Hasil dari (2.12) menyatakan dua fakta. Pertama jika U xn, 0 dx 1 untuk semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (t k ) untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976). Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai. Konsekuensi kedua dari (2.12) adalah anggapan semua variabel lainnya konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi

55 31 paling tinggi pada barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan tinggi Pengeluaran Pemerintah Struktur pengeluaran/belanja pemerintah menurut I-Account APBN meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2) dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyesuaaian. Pendekatan untuk melihat keterkaitan antara belanja negara dan pendanaannya adalah melalui apa yang dikenal dengan Government's (public sector's) financial balance, yang persamaannya ditulis sebagai berikut: (T- Cg - Ig) = Bgp + H + Bgf (2.13) dimana: T Cg Ig Bgp H Bgf = penerimaan pajak (tax revenue) = konsumsi pemerintah (government consumption) = investasi pemerintah (government investment) = pinjaman pemerintah dari sektor swasta (government borrowing from private sector) = perubahan stok dari pencetakan uang (stock change in highpowered money) = pinjaman pemerintah dari luar negeri (government borrowing from foreigners) Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan persamaan menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan belanja atau expenditure, maka dapat juga dibiayai melalui peningkatan penerimaan pajak tanpa mempengaruhi defisit fiskal. Tingkat belanja pemerintah yang memadai ditentukan oleh penerimaan dan defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran

56 32 pemerintah tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan maka akan menyebabkan defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari sumber pendanaan untuk menutup defisit melalui: (1) pinjaman dari sektor swasta, (2) mencetak uang (money creation) dan (3) pinjaman dari luar negeri. Selain itu, masih ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan simpanan devisa (dapat menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara (privatisasi), dan (3) akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit umumnya dilakukan dengan kombinasi antara berbagai sumber pendanaan tersebut. Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah tersebut melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis: (T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X).....(2.14) dimana: T Cg Ig Sp Ip M X = penerimaan pajak (tax revenue) = konsumsi pemerintah (government consumption) = investasi pemerintah (government investment) = tabungan swasta (private saving) = investasi swasta(private investment) = Impor = Ekspor (M - X) menggambarkan external current account defisit. Melalui pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah saving-investment gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit. Selanjutnya bila pendekatan pertama (2.13) dan kedua (2.14 digabungkan, diperoleh persamaan sebagai berikut. Sp - Ip = Bgp + H- Bpf.....(2.15)

57 33 dimana: M - X = Bgf + Bpf (2.16) Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri. Persamaan (2.15) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan persamaan (2.16) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber dari foreign saving Keseimbangan Fiskal Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit anggaran luar negeri adalah pengeluaran mata uang asing dikurangi penerimaannya. Defisit total pemerintah dalam neraca anggaran dengan memperhitungkan defisit anggaran luar negeri dan domestik dirumuskan (Subagjo, 2005): D = (GD+FG) - (RD+RF) KG... (2.17) KG = K-KP.. (2.18) K = RE + CA.... (2.19) dimana: CA D FG = current account dalam neraca pembayaran = neraca anggaran (defisit/surplus) = pengeluaran pemerintah luar negeri

58 34 GD K KG KP RD RE RF = pengeluaran pemerintah domestik = arus kapital total = arus kapital pemerintah = arus kapital swasta = penerimaan pemerintah domestik = cadangan devisa = penerimaan pemerintah luar negeri Pada persamaan (2.19) diasumsikan bahwa bank sentral akan meningkatkan kredit neto kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto. Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran. Secara agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik (r), tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan pemerintah (R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut: D = d(r,r*,b,r). (2.20) Komponen fiskal antara lain meliputi variabel-variabel pengeluaran, penerimaan pajak, defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar negeri) sebagai sumber pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif pembiayaan melalui pencetakan uang tidak diperhitungkan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan mengenai posisi independent bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak bisa mencetak uang untuk menutup gap dalam anggarannya.

59 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al., 1998 dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu: (1) internalisasi spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan (equalization) fiskal antar yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama (Oates, 1999), yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat (unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus (specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia diistilahkan Dana Alokasi Umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah.

60 36 Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan pada Gambar 7 dan 8. Posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan (grant) ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi masing-masing adalah G 1 dan H 1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 7 akan bergeser dari AB menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G 2 dan H 2. Konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang G maupun H meningkat, menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu I 2 dimana I 2 > I 1. Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik (specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya produksi barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah daerah kini berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G 2. Berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G. Bantuan spesifik juga meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F' yang terletak pada indifference curve I 2 dimana I 2 > I 1. Dampak spesifik grant tidak dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut. Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang H, tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti

61 37 tampak dalam Gambar 7, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi H. Secara teoretis disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect, sedangkan specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution effect dan price effect. Barang H Barang H C A I 1 I 2 A I 1 I 2 H 2 H 1 E F H 1 H 2 E F D 0 G 1 G 2 B D Barang G 0 G 1 G' 2 B Barang G Sumber: Oates, 1999 Gambar 7. Jalur Efek Block Grant dan Jalur Efek Specific Grant 2.4. Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kemiskinan Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan

62 38 itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu negara dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat dalam jumlah yang banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan standar hidup yang mana berdampak pula bagi penurunan tingkat pengangguran dalam jangka panjang. Todaro (1997) secara spesifik menyebutkan ada tiga faktor utama pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Sementara Harrod-Domard berusaha memadukan pandangan kaum Klasik yang dianggap terlalu menekankan pada sisi penawaran (Supply Side) dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Menurut Harrod-Domard investasi memainkan peran ganda, disatu sisi investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity), disisi lain akan menciptakan permintaan (demand creating) dalam perekonomian. Oleh kerena itu, H-D menyatakan bahwa investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Aspek yang dikembangkan adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori Keynes, pengeluaran investsi (I) mempengaruhi permintaan agregat (D) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Menurut H-D, pengeluaran investasi tidak hanya berpengaruh terhadap permintaan agregat (melalui proses multiplier), tetapi juga terhadap penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Secara

63 39 sederhana kaitan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam versi model H-D dapat dinyatakan misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu dari pendapatan nasional (Y). S=sY...(2.21) Sementara itu, Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili oleh K. I= K...(2.22) Namun demikian, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, maka : K/Y = k atau K/ Y = k Akhirnya K = k Y...(2.23) Mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut : S = I...(2.24) Dari persamaan (2.21) telah diketahui bahwa S = sy dan dari persamaan (2.22) dan (2.23), dapat diketahui bahwasanya I = K = k Y. Dengan demikian, `identitas' tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (2.24) adalah sebagai berikut: S=sY=k Y= k=1...(2.25) atau bisa diringkas menjadi sy = k Y...(2.26) Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.26) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dengan k, maka akan didapat :

64 40 Y/Y= s/k...(2.27) dimana : Y/Y = pertumbuhan ekonomi s = tingkat tabungan nasional k = ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Y = output nasional atan GNP K = stock kapital I = investasi Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ( Y/Y) ditentukan secara bersama-samna oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio modal output nasional (k), dan memiliki makna secara ekonomi bahwa agar suatu perekonomian dapat tumbuh, maka perekonomian harus menabung dan menginvestasikan proporsi tertentu dari GNP-nya. Semakin banyak suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan, semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000; Perkin, et al, 2001). Pertumbuhan ekonomi mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah penurunan kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu situasi di mana pendapatan tahunan individu masyarakat tidak dapat memenuhi standar pengeluaran minimum yang dibutuhkan individu untuk dapat hidup layak. Secara absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolut berada di bawah garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan. Kemiskinan dapat dihitung berdasarkan ukuran kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh

65 41 lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/ pengeluaran penduduk, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Sementara untuk mengukur kemiskinan absolut, Bank Dunia menggunakan dua ukuran kemiskinan absolut, yaitu dengan kriteria US$ 1 perkapita per hari dan US$ 2, perkapita per hari. Jika menggunakan ukuran US$ 1 perkapita per hari diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut. Sedangkan jika menggunakan US$ 2 perkapita per hari, maka lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Indonesia menggunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS, dimana BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Seseorang dikatakan miskin apabila kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari atau setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan dan kebutuhan non makanan minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas dengan besaran yang berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.

66 42 Kemiskinan tidak hanya dihitung dari pertumbuhan pendapatan yang berada diatas garis kemiskinan secara nominal. Variabel inflasi juga harus menjadi pertimbangan, karena laju inflasi akan mengurangi daya beli pendapatan masyarakat. Jika terjadi pertumbuhan pendapatan lambat sementara laju inflasi relatif tinggi, maka akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satusatunya variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain seperti laju inflasi, juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Mekanisme transmisi dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan, tidak semata-mata langsung terjadi. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi baru merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Namun masih diperlukan syarat kecukupan (sufficient condition), yaitu bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana orang miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Disamping kemiskinan, pertumbuhan ekonomi juga harus berdampak pada pengurangan pengangguran atau penciptaan lapangan kerja. Pengertian pengangguran adalah tidak hanya penduduk yang tidak bekerja, tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discouraged workers) atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja (Putong, 2003).

67 43 Penelitian Arthur Okun dalam Putong (2003) mengatakan apabila GNP tumbuh sebesar 2,5 persen diatas tren yang telah dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen. Jadi rasio pertumbuhan ekonomi dan penurunan pengangguran adalah 1 persen dibandingkan 2,5 persen atau sebesar 0,4 persen. Artinya, jika tingkat pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen, maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu agar bisa tumbuh sebesar 5 persen diatas rata-rata tren pertumbuhannya Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001): Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang: y = c(y-t (y) ) + i (r) + g (2.28) dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang: M = l (r) + k (y).. (2.29) P o dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari satu atau 0 < c, t < 1, slope investasi dan permintaan uang i < 0 dan l < 0, serta slope transaksi permintaan uang k > 0 (tanda [ ] menunjukkan nilai tertentu). Dengan menurunkan persamaan (2.28), diperoleh: dy = c (dy t dy) + i dr + dg = c (1-t )dy + i dr + dg.. (2.30) M Menurunkan persamaan (2.29) dengan konstan, akan diperoleh: P

68 44 0 = l dr + k dy k' dr = - dy l dengan mensubstitusikan ke persamaan (2.30) diperoleh: 1 (2.31) dy dg i' k' 1 c'(1 t') l' i' k' Karena c (1 t ) kurang dari satu dan positif maka multiplier tersebut l' i' k' bernilai positif., = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari l' i' k' peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM, dan l' merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi: dy 1 dg c'(1 t') 1 1 dg MPC (2.32) Artinya, perubahan pengeluaran pemerintah (g) meskipun kecil akan menghasilkan perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect tersebut. Efek perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang horizontal. Berdasarkan persamaan (2.32), output atau pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut : AS AD C I G NX (2.33) Pada persamaan (2.33), masing-masing komponen pembentuk output berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Pada penelitian ini, perubahan terhadap pengeluaran pemerintah ( G) dapat dilihat berdasarkan struktur anggaran pada APBN. Pada Gambar 8 terlihat jika terjadi peningkatan salah satu variabel AD misalnya pengeluaran pemerintah dan variabel yang lain dianggap tetap, maka Aggregate Demand bergeser ke kanan atas yang

69 45 menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari (Y 1 ) ke (Y 2 ) dan tingkat harga umum menjadi naik dari (P 1 ) ke (P 2 ). Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sukirno (2000) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah adalah bagian dari kebijakan fiskal, yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah untuk menstabilkan harga, output perekonomian, mendorong kesempatan kerja, serta memacu pertumbuhan ekonomi. Secara teori dampak pengeluaran pemerintah jika dihubungkan dengan konsep budget line dapat diilustrasikan sebagai berikut (Sukirno, 2000): Dari Gambar 9. terlihat bahwa pada awalnya dengan anggaran tertentu area konsumsi berada pada pilihan yang dibatasi oleh budget line AB. Adanya pengeluaran pemerintah untuk barang sosial, misalnya subsidi obat untuk

70 46 meningkatkan akses terhadap kesehatan membuat budget line bergeser ke kanan (AC). Artinya pengeluaran pemerintah dapat memperluas pilihan masyarakat. Jika peningkatan pengeluaran pemerintah digunakan untuk fasilitas publik yang mendorong perekonomian seperti jalan, jembatan, kilang minyak, pelabuhan, dan infrastruktur fisik lainnya maka akan menaikkan aggregat demand yang memicu investasi sehingga pada akhirnya meningkatkan produksi (pertumbuhan ekonomi) dan penyerapan tenaga kerja. A Barang Lain 0 B C Barang Sosial Sumber: Sukirno, 2000 Gambar 9. Perubahan Budget Line Karena Adanya Pengeluaran Pemerintah Dari berbagai studi empiris pengeluaran pemerintah terbukti dapat memperbaiki kegagalan pasar. Menurut Mangkoesoebroto (1993) perkembangan teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Rostow dan Musgrave, (2) Hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah, dan (3) Teori Peacock & Wiseman tentang pembayaran pajak.

71 47 Rostow dan Musgrave mengembangkan model pembangunan yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa aktivitas pembangunan ekonomi pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan pensiun, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan lain-lain (Mangkoesoebroto,1993). Wagner mengemukakan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP (Gross National Product). Teori ini didasarkan pada pengamatan di negara-negara Eropa, USA, dan Jepang pada abad ke-19 (Mangkoesoebroto, 1993). Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu Hukum Wagner: Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam Gambar 11 di mana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993). Teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah

72 48 (Mangkoesoebroto, 1993). Teori ini sering disebut The Displacement Effect, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993). Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Sumber: Mangkoesoebroto, 1993 Gambar 10. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

73 49 Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat, oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti tangga seperti yang terlihat pada Gambar Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Kenaikan pendapatan nasional dan tingkat harga umum akan mendorong kenaikan terhadap kesempatan kerja. Pertama, jika pendapatan nasional meningkat berarti produksi nasional meningkat. Kenaikan produksi nasional akan mendorong penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan faktor produksi lainnya. Artinya pertumbuhan mendorong pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Disisi lain, kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan kenaikan tingkat harga umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini menyebabkan upah riil (W/P) di pasar tenaga kerja menjadi turun. Penurunan tingkat upah riil akan menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. Perusahaan akan menggunakan tenaga kerja tambahan selama produk marginal tenaga kerja (marginal product of labour, MPL) melebihi biaya tambahan karena menggunakan tenaga kerja tambahan (MPL > W/P). Kemiringan kurva MPL yang negatif mencerminkan permintaan tenaga kerja, dimana perusahaan akan

74 50 mempekerjakan tenaga kerja tambahan jika tingkat upah riil mengalami penurunan. Secara ringkas bagaimana upah riil mempengaruhi permintaan tenaga kerja disajikan pada Gambar 11. Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 11. Dampak Pertumbuhan terhadap Kesempatan Kerja Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan penyediaan lapangan kerja yang layak untuk seluruh masyarakat. Alokasi APBN harus dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja. Ketika ekonomi pasar gagal untuk mengalokasikan sumberdaya secara efisien, pengeluaran pemerintah dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut. Menurut Rao (1998) kegagalan pasar dapat disebabkan oleh: (1) Tidak semua barang dan jasa diperdagangkan, ada barang publik yang mempunyai karakteristik non excludable dan non rivalry, (2) beberapa jenis barang mempunyai karakteristik increasing return to scale.

75 51 Masyarakat dapat memeroleh harga lebih rendah dan output lebih tinggi jika pemerintah berperan sebagai produsen atau memberikan subsidi untuk menutup biaya, (3) adanya eksternalitas, sehingga dampak sosial kurang diperhitungkan, dan (4) adanya informasi asimetri antara produsen dan konsumen merupakan suatu keniscayaan dalam ekonomi, oleh karena itu intervensi pemerintah diperlukan untuk meminimasi asimetri yang terjadi. Hubungan antara Pendapatan Nasional (GDP) dan pengangguran dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun diambil dari nama Arthur Okun, nama ekonom yang pertama kali mempelajari hubungan antara pendapatan nasional dan pengangguran. Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil. Hal itu dapat dijelaskan melalui fakta bahwa ketika GDP riil meningkat para pekerja membantu dalam proses memproduksi barang sedangkan para penganggur tidak. Oleh karena itu, peningkatan dalam tingkat pengangguran akan menyebabkan GDP riil turun. Formula hukum Okun adalah bahwa perubahan persentase dalam GDP riil = 3% - 2 x perubahan dalam tingkat pengangguran. Berdasarkan formula tersebut, jika tingkat pengangguran tetap sama, maka GDP riil tumbuh sekitar 3 persen. Pertumbuhan produksi barang serta jasa yang normal ini merupakan hasil dari pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi. Selain itu, untuk setiap poin persentase kenaikan tingkat pengangguran, pertumbuhan GDP riil biasanya turun sekitar 2 persen (Mankiw, 2003). Dalam Siregar (2005), Hukum Okun juga menyatakan bahwa laju pengangguran berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal, atau :

76 52 ut = -q(gt gt n ) + et.. (2.34) dimana : ut = laju pengangguran gt = laju pertumbuhan ekonomi gtn= laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal q = konstanta positif e = faktorfaktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Studi empiris yang dilakukan oleh Hassan (2009) di Bangladesh menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan upah pekerja memainkan peran penting dalam mengurangi kemiskinan. Diantara kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Bangladesh, pengeluaran pemerintah pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pembangunan pertanian secara signifikan berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan Penelitian Terdahulu Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri Shenggen et al. (1999) melakukan studi mengenai hubungan antara belanja pemerintah, pertumbuhan, dan kemiskinan di pedesaan India. Studi tersebut menggunakan data dari tahun 1970 sampai 1993 dan menggunakan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek dari berbagai jenis belanja pemerintah terhadap kemiskinan pedesaan dan pertumbuhan produktifitas di India. Hasil studi menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk peningkatan produktifitas (seperti penelitian pertanian dan ekstensifikasi pertanian), infrastruktur desa (seperti jalan dan pendidikan), dan pembangunan pedesaan yang secara langsung tertuju pada masyarakat miskin desa, semuanya berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan desa.

77 53 Studi tentang belanja pemerintah, tenaga kerja dan kemiskinan di Bangladesh dilakukan oleh Gazi Mainul (2008). Studi ini menekankan pada hubungan antara belanja publik dengan pengurangan kemiskinan. Kesimpulan studi menunjukkan terdapat hubungan antara kedua hal tersebut dan sekaligus mejawab melalui saluran mana belanja publik tersebut dapat mengurangi kemiskinan, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi yang terarah, menghasilkan tenaga kerja dan menaikkan upah nasional. Dengan menggunakan data nasional dari tahun , studi tersebut menemukan bahwa sebagian besar belanja pemerintah seperti pembangunan pertanian dan pedesaan, pendidikan, dan kesehatan, secara langsung dapat mengurangi tingkat kemiskinan nasional. Mehmood dan Sadiq (2010) melakukan studi mengenai hubungan antara belanja pemerintah dan kemiskinan, menggunakan analisis kointegrasi. Analasis menggunakan data tahunan Pakistan antara tahun 1976 dan Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiskinan berkurang akibat peningkatan penghematan belanja publik dan peningkatan pengiriman uang. Belanja pemerintah dapat menstimulasi perekonomian dalam jangka panjang melalui permintaan agregat. Dalam penelitian tersebut telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara kemiskinan dan pengeluaran pemerintah bersama dengan pengiriman uang dan modal manusia. Belanja pemerintah dan kemiskinan memiliki hubungan yang terbalik. Belanja pemerintah memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang tetapi sayangnya dalam kasus negara-negara berkembang seperi Pakistan, keseimbangan anggaran hanya dapat dicapai melalui pembatasan belanja pemerintah yang memiliki efek negatif terhadap produktifitas dan efisiensi dalam sistem ekonomi.

78 54 Kweka dan Morissey (2000), meneliti tentang pengaruh pengeluaran sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi di Tanzania periode dengan menggunakan data runtun waktu (time series) selama 32 tahun. Metode analisis yang digunakan yaitu metode Error Correction Model (ECM) dan pendekatan kointegrasi Johansen serta Engel-Granger. Kweka dan Morissey menggunakan empat variabel bebas, yaitu investasi swasta yang menggunakan data pembentukan swasta, pengeluaran pemerintah yang produktif atau investasi fisik yang diproksikan dengan data pengeluaran pembangunan atau modal total pemerintah, pengeluaran konsumsi pemerintah yang merupakan jumlah pengeluaran pemerintah yang bersifat konsumsi dikurangi pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan, dan pengeluaran modal manusia yang merupakan pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Kesimpulan penelitian Kweka dan Morissey adalah disatu sisi peningkatan pengeluaran produktif (investasi fisik) mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang negatif ini diperkirakan karena adanya ketidakefisienan investasi publik yang terjadi di Tanzania pada periode penelitian. Namun di sisi lain, pengeluaran konsumsi pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pada waktu tertentu berpengaruh pula terhadap konsumsi swasta. Gupta et al. (2005) menemukan bahwa kondisi anggaran yang kuat secara umum berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Komposisi investasi publik juga berpengaruh dimana: negara dengan pengeluaran yang terkonsentrasi pada pembayaran gaji cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih rendah, sedangkan negara yang

79 55 mengalokasikan pada barang dan jasa non gaji/rutin dan barang modal menikmati ekspansi output yang lebih cepat. Gupta et al. (2005) mengukur hubungan antara komposisi pengeluaran, penyesuaian fiskal dan pertumbuhan diestimasi dengan regresi tingkat PDB riil per kapita terhadap beberapa variable regressor, termasuk variable fiskal dan variable control lainnya. Model yang ada diestimasi dengan panel data menggunakan least-squares dummy variable (LSDV). Gupta et al. (2005) menyadari bahwa masalah umum dalam literatur mengenai kebijakan fiskal adalah keberadaan endogeneity atau reverse causality. Hal ini dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi itu sendiri mempengaruhi variable fiskal (variable dependen mempengaruhi variable independen). Contoh ketika pertumbuhan ekonomi melambat, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB meningkat jika tingkat pengeluaran nominal tetap. Untuk mengatasi ini, model dapat diestimasi dengan munggunakan estimator GMM. Estimasi GMM mengontrol endogeneity dengan menggunakan nilai lagged value dari tingkat endogen dan variable instrumental. Paternostro, Rajaram, dan Tiongson (2007) memahami bahwa pengeluaran publik memiliki dampak terhadap pertumbuhan dan distribusi yang kompleks dan sulit dihitung. Namun komposisi pengeluaran publik telah menjadi instrumen utama yang dicari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menyadari efek dari pengeluaran publik terhadap pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan (pro-poor, pro-job, pro-growth). Rekomendasi kebijakan perlu disesuaikan dan didasarkan pada analisis empiris yang memperhitungkan lag dan lead dari efek terhadap ekuitas dan pertumbuhan maupun kemiskinan.

80 56 Hoffer (2010) melihat peran pengeluaran pemerintah terhadap kesempatan kerja dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Hoffer dalam kondisi perlambatan ekonomi, investasi publik (public investment) memiliki intensitas penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding pemotongan pajak. Syaratnya, peningkatan investasi publik harus disertai dengan perbaikan kelembagaan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tidak menurun. Penyediaan infrastruktur dan layanan publik yang berkualitas merupakan kunci untuk mengurangi ketidaksetaraan, meningkatkan tenaga kerja, serta memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan (Hoffer, 2010). Kondisi ini akan lebih baik lagi jika didukung dengan pendidikan yang berkualitas, pelayanan kesehatan yang memadai, perumahan yang terjangkau, serta pelayanan publik yang dapat diakses secara bebas. Adanya sarana dan prasarana publik tersebut akan mengurangi kebutuhan tabungan individu dan meningkatkan proporsi pendapatan masyarakat. Dampaknya tentu saja pertumbuhan ekonomi akan meningkat mengingat proprsi pendapatan masyarakat akan lebih banyak yang dibelanjakan daripada ditabung. Pemikiran Jackson (2010) senada dengan Hoffer (2010) namun dengan sedikit tambahan, yaitu mengizinkan bagi pemerintah untuk membuat atau menambah defisit anggarannya sepanjang penambahan tersebut dibelanjakan bagi infrastruktur publik. Menurut Jackson, infrastruktur publik yang baik dan pelayanan publik yang efektif adalah kunci untuk mendorong produktivitas sektor swasta, khususnya yang bergerak di bidang industri strategis. Belanja publik untuk infrastrukturt yang meningkat akan mendorong produktivitas ekonomi yang pada akhirnya mampu menciptakan lapangan kerja.

81 Penelitian Studi Kasus di Indonesia Sihotang (2003), meneliti dampak kebijakan fiskal terhadap pendapatan nasional di Indonesia periode Peneliti menggunakan model persamaan simultan dengan metode pendugaan parameter yang digunakan yaitu metode Two Stage Least Square (TSLS). Persamaan simultan terdiri dari 14 persamaan termasuk persamaan identitas, yaitu pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi, ekspor, impor, pendapatan nasional,pendapatan disposibel, permintaan uang, penawaran uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, tingkat pengangguran, laju inflasi, tingkat suku bunga, dan tingkat upah. Selain mengestimasi persamaan-persamaan tersebut, Sihotang juga melakukan analisis simulasi kebijakan fiskal yaitu dengan mengkombinasikan berbagai variabel fiskal dengan menggunakan data tahun dimana persentase perubahan variabel fiskal tersebut disesuaikan dengan rata-rata persentase perubahannya dari tahun Kesimpulannya bahwa secara umum variabel-variabel kebijakan fiskal kurang berpengaruh terhadap pendapatan nasional, konsumsi, investasi, ekspor, impor, permintaan uang, penawaran uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, upah, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pendapatan disposibel. Kebijakan fiskal hanya memiliki dampak kecil terhadap pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sutriono (2006), meneliti tentang hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode Metode yang digunakan adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Variabel yang digunakan yaitu PDB, total pengeluaran pemerintah riil,

82 58 realisasi pengeluaran rutin riil dan realisasi pengeluaran pembangunan riil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara perubahan (peningkatan atau penurunan) total pengeluaran pemerintah dengan perubahan (peningkatan atau penurunan) PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi perubahan PDB karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara perubahan pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausal positif dan signifikan terhadap perubahan PDB. Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur, dan transportasi serta pendidikan terhadap PDB dan pengaruh positif perubahan PDB terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan tersebut efektif mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Hal ini berarti pertumbuhan dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang mungkin hanya terjadi pada sektor moderen yang hanya padat modal. Balisacan et al. (2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki catatan yang mengesankan mengenai pertumbuhan

83 59 ekonomi dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan kuat untuk tingkat agregat. Panel data yang dibangun dari 285 Kota/Kabupaten menyatakan perbedaan yang besar pada perubahan dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi subnasional, dan parameter-parameter spesifik lokal. Hasil dari analisis ekonometrika menunjukkan bahwa selain pertumbuhan ekonomi, ada faktor lain yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat miskin, diantaranya adalah infrastruktur, sumberdaya manusia, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi. Studi tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia juga dilakukan oleh Suryahadi et al. (2006). Studi ini menekankan pada dampak lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan diperdalam dengan membedakan pertumbuhan dan kemiskinan ke dalam komposisi sektoral dan lokasi. Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sektor kecuali pertanian perkotaan. Selain itu pertumbuhan pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan, yang merupakan kontributor terbesar kemiskinan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah dengan menekankan pada pertanian di perdesaan dan jasa di perkotaan. Suryadarma dan Suryahadi (2007) melakukan studi mengenai

84 60 pengaruh pertumbuhan pada sektor swasta terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia untuk melihat dampak pertumbuhan di sektor publik dan swasta terhadap kemiskinan. Pertumbuhan belanja modal swasta digunakan sebagai proksi dari sektor swasta dan pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah sebagai indikator sektor publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan di kedua sektor tersebut secara signifikan mengurangi kemiskinan, selain itu juga menghasilkan elastisitas yang relatif sama. Oleh karena itu, pertumbuhan pengeluaran baik di sektor publik maupun swasta akan mengurangi kemiskinan dua kali lebih cepat daripada hanya berharap dari pengeluaran publik saja. Implikasinya, sangat penting bagi pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha dalam negeri sehingga sektor swasta dapat berkembang dan pada akhirnya mempercepat pengurangan kemiskinan Kerangka Pemikiran Penelitian Deduksi dari uraian pada tinjauan teori dan studi sejenis sebelumnya menunjukkan terdapat keterkaitan dan pengaruh yang erat antara perubahan komposisi belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam hal ini, mekanisme transmisi dampak perubahan komposisi belanja Pemerintah adalah melalui perubahan keseimbangan Produk Domestik Bruto atau Pendapatan Nasional. Secara umum peruntukan belanja Pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu belanja pemerintah pusat dan belanja transfer untuk pemerintah daerah. Belanja pemerintah pusat terdiri dari (1) Belanja Pegawai, (2) Belanja

85 61 Subsidi, (3) Belanja Pembayaran Bunga Utang, (4) Belanja Modal, (5) Belanja Barang, dan (6) Belanja Lainnya. Sementara itu belanja transfer ke daerah terdiri 3 jenis, yaitu belanja dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Selama tahun kebijakan komposisi belanja pemerintah didominasi oleh belanja rutin dan rendahnya porsi belanja modal. Akibatnya alokasi belanja untuk infrastruktur sangat terbatas dan selanjutnya peran stimulus fiskal pemerintah terutama dalam mendorong Investasi Swasta dan Ekspor menjadi tidak optimal. Hasilnya Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah disertai pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Bertolak dari dasar pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini ditarik hipotesis bahwa jika terdapat perubahan komposisi belanja pemerintah dalam bentuk peningkatan porsi belanja modal, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat, diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hipotesis ini berdasarkan asumsi bahwa kenaikan belanja modal akan efektif untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan adanya infrastruktur yang memadai akan mendorong peningkatan investasi swasta dan selanjutnya mendorong peningkatan produksi dan pendapatan nasional yang pada gilirannya juga akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan kinerja ekspor. Peningkatan kinerja makroekonomi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Kerangka pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian tersebut dapat dilihat dalam bagan alur pemikiran yang disajikan pada Gambar 12.

86 62 Alokasi Belanja Pemerintah DAERAH (DAU, DAK, DBH) PUSAT Belanja Pegawaii Subsidi Pembyrn Bunga Utang Belamja Modal Belanja Barang Belanja Lainnya Komposisi Belanja Pusat selama didominasi Belanja Rutin Stimulus Fiskal Tidak Optimal Pertumbuhan Rendah Pengangguran tinggi Kemiskinan tinggi Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah Keseimbangan Internal Konsumsi Investasi Ekspor Impor Keseimbangan Eksternal Perumbuhan Ekonomi Pengangguran Kemiskinan Gambar 12. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian

87 63

88

89 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Model Persamaan Simultan Penelitian ini menganalisis perilaku kebijakan fiskal, khususnya komposisi belanja Pemerintah. Permasalahan yang dihadapi adalah format kebijakan fiskal di Indonesia terus mengalami berbagai perubahan. Diantaranya adalah perubahan tahun penganggaran, yaitu terjadi perubahan siklus anggaran yang semula menggunakan tahun fiskal (bulan Maret-April), mulai tahun 2000 berubah menjadi menggunakan tahun kelender (bulan Januari sampai Desember). Perubahan kebijakan ini tentunya mempengaruhi ketersediaan data runtun waktu (time-series). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun Dengan demikian data belanja pemerintah sebelum tahun 2000 menggunakan data tahun fiskal. Sejalan dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak dari komposisi belanja pemerintah, maka pilihan alat analasisnya yang digunakan adalah metode ekonometrika persamaan simultan. Persamaan simultan dipilih karena variabel kebijakan fiskal dan variabel makro ekonomi memiliki hubungan saling mempengaruhi. Dimana variabel bebas di dalam satu atau lebih persamaan juga menjadi variabel bebas di persamaan lain. Artinya satu variabel bisa memiliki dua peran yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Model persamaan simultan digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antar variabel terkait, yaitu antara variabel fiskal dengan variabel non fiskal maupun dengan variabel makro ekonomi. Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam Gambar 13.

90

91 Blok Fiskal Blok Pendapatan Nasional TREV PN S BPGW CONS RTA X RMG S RDOM PNP B RNM GS HB H POI L IMP M LIB OR DE BT BBRG SBBM SNBM BUTG BMDL BTU S BTO T CONG INVT INVG EXPO IMPO INFL SBI SBI3 EXR R IHE DEFI BDBH IHM GIW GPOP I BDAK BDAU YD BTD R PDBI Blok Kinerja PUNEM NPOV WAG : Variabel eksogen : Variabel endogen 64 Gambar 13. Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi Belanja Pemerintah

92

93 Spesifikasi Model Pada penelitian ini, perumusan model ekonometrika yang dibangun didasarkan pada kerangka teori ekonomi dan fakta empiris yang menunjukkan keterkaitan antara kebijakan fiskal yang dimanifistasikan dalam komposisi belanja pemerintah dengan kinerja perekonomian, terutama pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan tingkat kemiskinan. Dengan menganalisis struktur APBN dari sisi penerimaan dan pengeluaran, maka dampak dari kebijakan komposisi belanja pemerintah dapat dilihat secara simultan dari peubah-peubah yang mempengaruhinya. Model persamaan yang dibangun pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut : A. Blok Pendapatan Nasional 1. Pendapatan Nasional PDBI t = CONS t + CGOV t + INVG t + INVT t + (EXPO- IMPO) t dimana : PDBI t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) CONS t = Konsumsi Rumah Tangga (Rp Miliar) CGOV t = Konsumsi Pemerintah (Rp Miliar) INVG t = Investasi Pemerintah (Rp Miliar) INVT t = Investasi Swasta (Rp Miliar) EXPOt = Ekspor (Rp Miliar) IMPO t = Impor (Rp Miliar) (3.1) 2. Konsumsi Rumah Tangga CONS t = a 0 + a 1 YD t + a 2 YLCONS t-1 + e t... (3.2) Hipotesis = a 1 > 0 ; 0 <a 2 <1 dimana : CONS t = Konsumsi Rumah Tangga (Rp Miliar) YD t LCONS t-1 = Pendapatan disposabel (Rp Miliar) = Konsumsi Rumah Tangga tahun Sebelumnya (Rp Miliar) 3. Pendapatan Disposabel YD t = Y t - RTAX t + (SNBM t + SBBM t )... (3.3) dimana : YD t = Pendapatan disposabel (Rp Miliar)

94 66 PDBI t RTAX t SNBM t SBBM t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) = Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) = Subsidi BBM (Rp Miliar) = Subsidi Non BBM (Rp Miliar) 4. Konsumsi Pemerintah CGOV t = b 0 + b 1 RDOM t + b 2 DK t + b 3 LCGOV t-1 + e t. (3.4) Hipotesis = b 1, b 2, b 3 > 0 ; 0 < b 3 <1 dimana : CGOV t = Konsumsi Pemerintah (Rp Miliar) RDOM t = Penerimaan Domestik (Rp Miliar) DK t = Dummy Krisis LCGOV t-1 = Konsumsi Pemerintah tahun sebelumnya (Rp Miliar) 5. Investasi Swasta INVT t = c 0 + c 1 PDBI + c 2 SBINV t + c 3L INVT t-1 + e t... (3.5) Hipotesis = c 1,c 3 > 0 ; c 2 < 0 ; 0 < c 3 <1 dimana : INVT t = Investasi (Rp Miliar) PDBI t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) SBINVt t = Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (%) LINVT t-1 = Investasi pada tahun sebelumnya (Rp Miliar) 6. Investasi Pemerintah INVG t = d 0 + d 1 SBI3 t + d 2 BMDL t + d 3 DK t + d 4 LINVG t-1 + e t Hipotesis = d 2,d 4 > 0 ; d 1,d 3 < 0 ; 0 < d 3 <1 dimana : INVG t = Investasi Pemerintah (Rp Miliar) SBI3 t = Tingkat Suku Bunga SBI 3 bulan (%) BMDL t = Belanja Modal (Rp Miliar) DK t = Dummy Krisis LINVG t-1 = Total Investasi pada tahun sebelumnya (Rp Miliar) 7. Ekspor EXPO t = e 0 + e 1 EXRR t + e 2 IHE t + e 3 INVT t + e 4 GIWL t + e t Hipotesis = e 2, e 3, e 4 > 0 ; e 1 < 0 ; 0 < e 3 <1 dimana : EXPOt = Ekspor (Rp juta) EXRR t = Nilai Tukar Riil (Rp/US$) IHE t = Indeks Harga Ekspor INVT t = Total Investasi (Rp Miliar) GIWL t = Pertumbuhan Ekonomi Dunia (% ) (3.6) (3.7) 8. Impor IMPO t = f 0 + f 1 IHMt + f 2 PDBIt + f 3 LIMPO t-1 + e t (3.8) Hipotesis = f 1, f 3 > 0 ; f 1 < 0 ; 0 < f 3 <1

95 67 dimana : IMPOt = Impor (Rp Miliar) IHM t = Indeks Harga Impor PDBI t = Pendapatan Domestik Bruto (Rp Miliar ) LIMPO t-1 = Impor pada tahun sebelumnya (Rp Miliar) B. Blok Fiskal Penerimaan Negara 9. Total Penerimaan Negara TREV t = RDOM t + HBH t (3.9) dimana : TREV t RDOM t HBH t = Total penerimaan negara (Rp Miliar) = Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) = Penerimaan dari hibah (Rp Miliar) 10. Penerimaan Dalam Negeri RDOM t = RTAX t + PNBP t (3.10) dimana : RDOM t RTAX t PNBP t = Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) = Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) = Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar) 11. Penerimaan Negara dari Pajak RTAX t = g 0 + g 1 GPDBIt + g 2 BTOT t + g 3 LRTAX t-1 + e t (3.11) Hipotesis = g 1, g 2, g 3 > 0 ; 0 < g 3 <1 dimana : RTAX t = Penerimaan negara dari Pajak (Rp Miliar) GPDBI t = Pertumbuhan Ekonomi (%) BTOT t = Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) RTAX t-1 = Penerimaan dari Pajak tahun sebelumnya(rp Miliar) Belanja Pemerintah 12. Belanja Pemerintah BTOT t = BTUS t + BTDR t (3.12) dimana : BTOT t = Total belanja pemerintah (Rp Miliar) BTUS t = Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) BTDR t = Belanja transfer daerah (Rp Miliar)

96 Belanja Pemerintah Pusat BTUS t = BPGW t + BBRG t + BMDL t + BUTG t + SNBM t + SBBM t + BLAIN t (3.13) dimana : BTUS t BPGWt BBRG t BMDL t BUTG t SNBM t SBBM t BLAIN t = Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) = Belanja Pegawai (Rp Miliar) = Belanja Barang (Rp Miliar) = Belanja Modal (Rp Miliar) = Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) = Subsidi Non BBM (Rp Miliar) = Subsidi BBM (Rp Miliar) = Belanja lain-lain (Rp Miliar) 14. Belanja Pegawai BPGW t = h 0 + h 1 PNS t + h 2 INFL t + h 3 RTAX t + h 4 DO t + h 5 LBPGW t-1 + e t Hipotesis = h 1, h 2, h 3, h 4 > 0 ; 0 < h 3 <1 dimana : BPGWt = Belanja Pegawai (Rp Miliar) PNS t = Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) INFL t = Tingkat Inflasi (%) RTAX t = Penerimaan Pajak (Rp Miliar) DO t = Dummy otonomi daerah LBPGW t-1 = Belanja Pegawai tahun sebelumnya (Rp Miliar) (3.14) 15. Belanja Barang BBRG t = i 0 + i 1 INVG t + i 2 TREV t + i 3 LBBRG t-1 + e t (3.15) Hipotesis = i 1, i 2, i 3 > 0 ; 0 < i 3 <1 dimana : BBRGt = Belanja Barang (Rp Miliar) INVG t = Investasi Pemerintah (Rp Miliar) TREV t = Total penerimaan negara (Rp Miliar) LBBRG t-1 = Belanja Barang tahun sebelumnya (Rp Miliar) 16. Belanja Modal BMDL t = j 0 + j 1 RDOM t + j 2 DSPA t + j 3 LBMDL t-1 + e t (3.16) Hipotesis = j 1, j 2, j 3 > 0 ; 0 < j 3 <1 dimana : BMDL t = Belanja Modal (Rp Miliar) RDOM t = Total Penerimaan Dalam Negeri (RP Miliar) DSPA t = Dummy Perubahan Struktur APBN LBMDL t-1 = Belanja Modal Tahun Sebelumnya (Rp juta) 17. Pembayaran Bunga Utang BUTG t = k 0 + k 1 DFIS t +k 2 LIBOR3 t +k 3 DEBT t + k 4 LBUTG t-1 + e t Hipotesis = k 1, k 2, k 3, k 4 > 0 ; 0 < k 3 <1 (3.17)

97 69 dimana : BUTGt = Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) DFIS t = Defisit Anggaran (Rp Miliar) LIBOR3 t = Suku bunga Dunia Riil (%) DEBT t = Stok Utang Baru Pemerintah (RP Miliar) LBUTG t-1 = Pembayaran Bunga Utang Tahun Sebelumnya (Rp Miliar) 18. Belanja Subsidi Non BBM SNBM t = l 0 + l 1 PUNEM t + l 2 NPOV t-1 + l 3 LSNBM t-1 + e t (3.18) Hipotesis = l 1, l 2, l 3 > 0 ; 0 < l 3 <1 dimana : SNBM t = Belanja Subsidi Non BBM (Rp Miliar) PUNEM t = Tingkat Pengangguran (juta orang) NPOV t-1 LSNBM t-1 = Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) = Belanja Subsidi Non BBM tahun sebelumnya (Rp Miliar) 19. Belanja Subsidi BBM SBBM t = m 0 + m 1 POIL t + m 2 IMPM t + m 3 LSBBM t-1 + e t (3.19) Hipotesis = m 1, m 2, m 3 > 0 ; 0 < m 3 <1 dimana : SBBM t = Belanja Subsidi BBM (Rp Miliar) POIL t = Harga Minyak Mentah Dunia (Rp) IMPM t = Impor Migas (US$) LSBBM t-1 = Belanja Subsidi BBM tahun sebelumnya (Rp Miliar) 20. Belanja Transfer Daerah BTDR t = BDAK t + BDAU t + BDBH t + BDOP t (3.20) dimana : BTDR t BDAU t BDAK t BDBH t BDOP t = Belanja transfer daerah (Rp Miliar) = Belanja Dana Alokasi Umum (Rp Miliar) = Belanja Dana Alokasi Khusus (Rp Miliar) = Belanja Dana Bagi Hasil (Rp Miliar) = Belanja Dana Otsus dan Penyesuaian (Rp Miliar) 21. Dana Alokasi Khusus BDAK t = n 0 + l 1 RDOM t + l 2 PNPOV t + l 3 LBDAK t-1 + e t (3.21) Hipotesis = l 1, l 2, l 3 > 0 ; 0 < l 3 <1 dimana : BDAK t = Belanja Dana alokasi khusus (Rp Miliar) RDOM t = Penerimaan Dalam Negeri (Rp Miliar) PNPOV t = Tingkat Kemiskinan (%) LBDAK t-1 = Dana alokasi khusus tahun sebelumnya (Rp Miliar)

98 Dana Alokasi Umum BDAU t = o 0 + o 1 RDOM t + o 2 PDBI t + o 3 GPOPI t + o 4 LDAU t-1 + e t Hipotesis = o 1, o 2, o 3, o 4 > 0 ; 0 < o 3 <1 dimana : BDAU t = Belanja Dana Alokasi Umum (Rp Miliar) RDOM t = Penerimaan Dalam Negeri (Rp Miliar) PDBI t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar GPOPI t = Pertumbuhan Penduduk Indonesia (%) LBDAU t-1 (3.22) = Belanja Dana Alokasi Umum Tahun Sebelumnya (Rp Miliar) 23. Belanja Dana Bagi Hasil BDBH t = p 0 + p 1 RMGS t + p 2 RNMGS t + p 3 GPDBI t + p 4 LBDBH t-1 +e t Hipotesis = p 1, p 2, p 3, p 4 > 0 ; 0 < p 3 <1 (3.23) dimana : BDBH t = Belanja Dana Bagi Hasil (Rp Miliar) RMGS t = Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) RNMGS t = Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar) GPDBI t = Pertumbuhan Ekonomi (%) LBDBH t-1 = Belanja Dana Bagi Hasil Tahun Sebelumnya (Rp Miliar) C. Blok Kinerja Perekonomian 24. Pertumbuhan Ekonomi (Identitas) GPDBI t = (PDBI t LPDBI t-1 )/LPDBI t-1 * 100 (3.24) dimana : GPDBI t = Pertumbuhan ekonomi (%) PDBI t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) PDBI t-1 = Produk Domestik Bruto tahun sebelumnya (Rp Miliar) 25. Tingkat Pengagguran PUNEM t = q 0 + q 1 WAGE t + q 2 TOTI t + q 3 LPUNEM t-1 + e t (3.25) Hipotesis = q 1, q 3 > 0 ; q 2 < 0 ; 0 < q 3 <1 dimana : PUNEM t = Tingkat Pengangguran (%) WAGE t = Tingkat Upah Riil (Rp Miliar) TOTI t = Total Investasi (Rp Miliar) LPUNEM t-1 = Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya (orang) 26. Tingkat Kemiskinan NPOV t = r 0 + r 1 GPDBI t + r 2 TSUB t + r 3 PUNEM t + r 4 INFL t + r 5 LNPOV t-1 + e t Hipotesis = r 3, r 4, r 5 > 0 ; r 1, r 2 < 0 ; 0 < r 3 <1 (3.26)

99 71 dimana : NPOV t = Jumlah Penduduk Miskin (juta orang) GPDBI t = Pertumbuhan ekonomi (%) TSUB t = Total Subsidi (Rp Miliar) PUNEM t = Tingkat Pengangguran (%) INFL t = Tingkat Inflasi (%) LNPOV t-1 = Jumlah penduduk Miskin tahun sebelumnya (%) 3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Pada model persamaan simultan, identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: ( K M ) > ( G 1 ) dimana: K = total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined M = jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K-M) > (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (over identified) (K-M) = (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) (K-M)<(G-1) = maka persamaan dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified) Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan ini

100 72 tidak teridentifikasi. Karena itu dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut, atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Tabel 4. Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja Pemerintah Persamaan K M G Keterangan 1. Konsumsi Rumahtangga Overidentified 2. Konsumsi Pemerintah Overidentified 3. Total Investasi Overidentified 4. Investasi Pemerintah Overidentified 5. Ekspor Overidentified 6. Impor Overidentified 7. Penerimaan Total Overidentified 8. Belanja Pegawai Overidentified 9. Belanja Barang Overidentified 10. Belanja Modal Overidentified 11. Pembayaran Bunga Utang Overidentified 12. Subsidi Non BBM Overidentified 13. Subsidi BBM Overidentified 14. Belanja DAK Overidentified 15. Belanja DAU Overidentified 16. Belanja DBH Overidentified 17. Tingkat Pengangguran Overidentified 18. Tingkat Kemiskinan Overidentified

101 Evaluasi Model Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk melakukan evalusi model ekonometrika, yaitu pengujian berdasarkan kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonomi (Intriligator, Bodkin dan Hsiao, 1996). Evaluasi model berdasarkan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian sebelum dilakukan estimasi model, perlu disusun hipotesis agar dapat dibandingkan dengan hasil estimasi, sehingga dapat diketahui apakah hasil estimasi tersebut telah sesuai secara ekonomi. Lebih lanjut Koutsoyiannis (1977) menyatakan untuk evaluasi model berdasarkan kriteria statistika dapat dilakukan dengan cara melihat besarnya nilai koefisien determinasi (R 2 ), uji t dan uji F. Pada kriteria ekonometrika dilakukan dengan uji pelanggaran OLS antara lain uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas Kesesuaian Model Kesesuaian model (Goodness of Fit) dihitung dengan nilai koefisien determinasi R 2. Koefisien determinasi R 2 bertujuan untuk mengukur keragaman peubah tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh peubah tidak bebas. Semakin tinggi nilai R 2 maka semakin baik model karena semakin besar keragaman peubah tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh peubah bebas. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut (Koutsoyiannis, 1977) : 2 JKR R 1 JKT dimana : JKR JKT JKG JKG JKT = Jumlah Kuadrat Regresi = Jumlah Kuadrat Total = Jumlah Kuadrat Galat

102 Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah Root Means Square Error (RMSE), Root Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut: RMSE = RMSPE = U = dimana: 1 n n t 1 1 n n t 1 1 n s a 2 Y t Yt 1 n Y s t n t 1 Y a t Y Y s t a t 1 n n s 2 Yt t 1 n t 1 2 a 2 t Y Y a t 2 s Y t a Y t n = nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi = nilai aktual variabel observasi = jumlah periode observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara

103 75 1 dan 0. Jika U=0 maka pendugaan model sempurna, jika U=1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R 2 ). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil s dan makin besar nilai R 2, maka pendugaan model semakin baik Simulasi Model Pada dasarnya tujuan dilakukan simulasi model adalah (1) menguji dan mengevaluasi model, (2) mengevaluasi kebijakan-kebijakan pada masa lampau, dan (3) membuat peramalan untuk masa yang akan datang (Pindyck dan Rubinfield, 1998). Melalui analisis simulasi dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model dapat diketahui. Namun demikian, pada penelitian ini, simulasi yang dilakukan hanya untuk mengevaluasi kebijakan di masa lalu, tidak digunakan untuk peramalan dimasa yang akan datang. Simulasi ditujukan untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah (APBN) terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan. Dalam penelitian ini, simulasi kebijakan dipilih dalam periode Pemilihan jangka waktu untuk melakukan simulasi dikarenakan selama periode tersebut sudah tidak ada lagi perubahan dalam struktur APBN Indonesia. Demikian juga semua data variabel diluar anggaran yang digunakan adalah data aktual dengan metode perhitungan yang sama sehingga diharapkan data selama periode tersebut terjamin tingkat validitasnya. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu dengan cara menaikkan belanja modal. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian bahwa jika belanja modal mengalami

104 76 peningkatan maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penurunan tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Alasan peningkatan belanja modal dalam simulasi ini dikarenakan berdasarkan tinjauan teori maupun hasil penelitian sebelumnya, belanja modal mempunyai pengaruh sangat besar dalam memberikan dorongan atau stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi. Simulasi kebijakan dilakukan dengan meningkatkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Kenaikkan Rp 20 triliun didasarkan pada rata-rata defisit APBN selama tahun rata-rata sekitar Rp 24 triliun. Sesuai dengan teori, kebijakan defisit anggaran, idealnya adalah agar terjadi peningkatan peran stimulus fiskal dalam perekonomian. Untuk itu, dalam skenario kebijakan ini diasumsikan jika besarnya defisit anggaran digunakan untuk membiayai infrastruktur melalui belanja modal. Dengan adanya kenaikan belanja modal, tentu saja akan menggeser belanja pemerintah yang lain. Beberapa simulasi perubahan komposisi anggaran yang akan dibuat adalah sebagai berikut : 1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. 2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 10% dari 0.29 menjadi 0.39.

105 77 3. Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini keseluruhan data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari berbagai publikasi resmi dari lembaga pemerintah Indonesia maupun publikasi resmi lembaga internasional. Data untuk menyusun persamaan simultan adalah data runtun waktu (time series) selama 40 tahun, yaitu dari tahun 1970 sampai Untuk menghindari nilai nominal dengan nilai riil karena terdapat perbedaan waktu yang cukup panjang, maka semua data menggunakan tahun dasar tahun Demikian juga dengan beberapa indikator moneter, data yang digunakan telah menggunakan nilai riil, yaitu data yang telah memperhitungkan tingkat inflasi. Adapun data Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah data realisasi APBN yang bersumber dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa kendala dalam penggunaan data APBN, karena terjadi perubahan penggunaan tahun anggaran. Data APBN tahun 1970 sampai dengan tahun 2000 menggunakan tahun anggaran April-Maret. Sementara sejak tahun 2001 menggunakan tahun kalender yang dimulai dari Januari Desember. Dalam penelitian ini, perbedaan tahun anggaran tersebut diasumsikan sama. Secara detail jenis data dan sumber data yang digunakan dalam model simultan diuraikan dalam Tabel 5.

106 78 Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Dalam Persamaan Simultan No Variabel Keterangan Satuan Sumber Data 1 PDBI t Produk Domestik Bruto Rp Miliar Biro Pusat Statistik 2 CONS t Total konsumsi Rp Miliar Biro Pusat Statistik 3 CGOV t Konsumsi pemerintah Rp Miliar Biro Pusat Statistik 4 INVT t Total investasi Rp Miliar Biro Pusat Statistik 5 INVG t Total Investasi Pemerintah Rp Miliar Biro Pusat Statistik 6 EXPOt Ekspor Rp Miliar Biro Pusat Statistik 7 IMPO t Impor Rp Miliar Biro Pusat Statistik 8 YD t Pendapatan disposabel Rp Miliar Biro Pusat Statistik 9 SBINVt t Tingkat Suku Bunga Investasi Riil % Bank Indonesia 10 SBI3 t Tingkat suku bunga SBI 3 bulan % Bank Indonesia 11 EXRR t Nilai Tukar Riil Rp/$US Bank Indonesia 12 IHE t Indeks Harga Ekspor Biro Pusat Statistik 13 GIWL t Pertumbuhan Ekonomi Dunia % World Bank 14 IHM t Indeks Harga Impor Biro Pusat Statistik 15 TREV t Total penerimaan negara Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 16 RDOM t Penerimaan dalam negeri Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 17 HBH t Penerimaan dari hibah Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 18 RTAX t Penerimaan negara dari pajak Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 19 PNBP t Penerimaan negara bukan pajak Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 20 BTOT t Total Belanja Pemerintah Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 21 BTUS t Belanja pemerintah pusat Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 22 BTDR t Belanja transfer daerah Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 23 BPGWt Belanja Pegawai Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 24 BBRG t Belanja Barang Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 25 BMDL t Belanja Modal Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 26 BUTG t Pembayaran Bunga Utang Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 27 SNBM t Subsidi Non BBM Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 28 SBBM t Subsidi BBM Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 29 PLAIN t Belanja lain-lain Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 30 PNS t Jumlah Pegawai Negeri Sipil Ribu orang Biro Pusat Statistik 31 INFL t Tingkat Inflasi % Biro Pusat Statistik 32 GPDBI t Pertumbuhan Ekonomi % Biro Pusat Statistik 34 DFIS t Defisit Anggaran Rp Miliar LKPP, Kemenkeu 35 SBWR t Suku bunga Dunia Riil (Sibor 3 % World Bank bulan) 36 PUNEM t Tingkat Pengangguran juta orang Biro Pusat Statistik 37 POIL t Harga Minyak Mentah Dunia Rp Kementerian ESDM 38 IMPM t Impor Migas US$ Biro Pusat Statistik

107 IV. KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA Fungsi utama anggaran pemerintah dalam perekonomian suatu negara adalah fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi stabilisasi anggaran bisa dilakukan oleh negara dalam kondisi krisis ekonomi dan bisa juga dilakukan tidak dalam krisis ekonomi seperti untuk fine tuning perekonomian. Fine tuning perekonomian dilakukan oleh pemerintah untuk menggerakkan perekonomian sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian suatu negara ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan seluruh warga negara. Penyusunan anggaran harus diarahkan untuk menciptakan kesejahtaraan seluruh warga negara. Komposisi anggaran belanja pemerintah harus benar-benar produktif menciptakan stimulus perekonomian. Fungsi stimulus belanja pemerintah akan tercermin dalam kontribusinya terhadap kinerja perekonomian. Idealnya, semakin besar anggaran belanja pemerintah maka daya stimulus terhadap perekonomian akan semakin besar. Kontribusi belanja pemerintah tidak hanya dilihat dari besar kecilnya atau naik turunnya alokasi anggaran tiap tahun. Efektifitas belanja pemerintah dilihat dari dampaknya terhadap kinerja seluruh variabel makro ekonomi. Untuk melihat efektifitas belanja pemerintah diperlukan ukuran yang obyektif, diantaranya dengan melakukan perbandingan dengan belanja pemerintah negara lain. Perbandingan tidak dilihat dari besaran volume belanja namun dilihat dari proporsi dan komposisinya serta dihubungkan dengan kinerja perekonomiannya. Perbandingan komposisi belanja antar negara sekaligus dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi apakah komposisi belanja pemerintah

108 80 Indonesia sudah proporsional dan cukup efektif menstimulus perekonomian. Dalam melakukan perbandingan, maka dipilih negara-negara yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Selain persamaan karakteristik, juga diambil negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi untuk dijadikan acuan. Berikut beberapa komposisi belanja pemerintah negara-negara ASEAN + China serta kinerja perekonomian masing-masing negara Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand Thailand dikenal sebagai salah satu negara ASEAN yang sekarang sedang meningkat perekonomiannya, bahkan banyak yang memprediksikan Thailand berpotensi menjadi macan ASEAN. Thailand telah berhasil keluar dari krisis ekonomi tahun 1998, padahal Thailand adalah negara pertama yang terkena dampak krisis ekonomi terparah. Tetapi memasuki tahun 2000 Thailand berhasil menjadi leader dalam hal negara penghasil komoditi pertanian terbesar di ASEAN. Beberapa komoditi hasil pertanian tropika lebih terkenal dengan nama Thailand seperti Durian Montong, Jambu Bangkok, dan Beras Thailand. Thailand sebagai negara berkembang tentunya memiliki karakteristik perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Salah satu sektor yang berhasil dikembangkan oleh Thailand adalah sektor pertanian. Terbukti hampir setiap tahun Indonesia mengimpor berbagai komoditas pangan dari Thailand, terutama beras. Thailand yang dulu tertinggal oleh Indonesia saat ini melesat dengan program unggulannya yaitu sektor pertanian. Padahal potensi sektor pertanian Indonesia tidak kalah dari Thailand, bahkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang lebih kaya dan melimpah. Permasalahannya adalah Thailand mampu mengolah dan mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki secara optimal dan produktif.

109 81 Tabel 6. Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut Klasifikasi Ekonomi (juta baht) Changes Over FY 2010 FY 2011 GFS Classification the FY 2010 Amount (%) Amount (%) Amount (%) Budget appropriation Expenses Compensation of employees Wages and Salaries Social Contributions Use of goods and services Interest payments Domestic Interest Foreign interest Subsidies To Public Corporations To non- Financial public corporations To Financial public corporations To Private Enterprises Grants To international organizations To other government unit Current Capital Social benefits Other expenses Current Capital Acquisition of nonfinancial assets Purchase of equity Principal repayment Account Balance Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011 Perkembangan ekonomi Thailand tentunya tidak terlepas dari peran alokasi belanja pemerintah dalam menstimulus perekonomiannya. Tabel 6 memperlihatkan komposisi alokasi belanja pemerintah Thailand tahun 2011

110 82 paling besar adalah belanja pegawai yaitu sekitar 30 persen atau sekitar sepertiga dari total alokasi anggaran belanja pemerintah. Hal ini tidak berbeda jauh dengan Indonesia di mana salah satu alokasi yang paling besar dalam anggaran pembiayaan negara adalah belanja pegawai sebesar 21.9 persen dari total seluruh anggaran belanja pemerintah. Hal yang membedakan dengan Indonesia adalah alokasi per jenis belanja. Jika alokasi belanja pemerintah Indonesia terbesar kedua setelah gaji pegawai adalah untuk subsidi, maka subsidi di Thailand sangat kecil, yaitu hanya sebesar 1.4 persen pada tahun 2010 dan 3.6 persen pada tahun Stimulus yang dilakukan Pemerintah Thailand melalui alokasi belanja dalam bentuk grants yaitu 16.2 persen pada 2010 dan 15.9 persen pada Selain dilihat dari per jenis belanja, komposisi belanja pemerintah Thailand juga dapat dilihat dari sisi fungsi. Tabel 7 menunjukkan perbandingan komposisi belanja pemerintah Indonesia dan Thailand dimana terdapat perbedaan yang mencolok antara porsi belanja untuk fungsi ekonomi. Besarnya alokasi belanja untuk fungsi ekonomi inilah yang menyebabkan fungsi stimulus fiskal di Thailand lebih optimal dibandingkan Indonesia. Tabel 7. Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara Indonesia dan Thailand Tahun 2011 (%) Alokasi Budget Indonesia Thailand Pelayanan Umum Pertahanan Ketertiban dan Kemanan Ekonomi Lingkungan Hidup Perumahan & Fasilitas Umum Kesehatan Pariwisata, Budaya, & Agama Pendidikan Perlindungan Sosial Sumber: Kementerian Keuangan dan Bureau of The Budget of Thailand

111 83 Efektifitas stimulus fiskal di Thailand terlihat jelas pada alokasi pada sektor pertanian yang masuk ke dalam alokasi fungsi ekonomi. Alokasi fungsi ekonomi untuk sektor pertanian di Indonesia sebesar 1.2 persen dari total 11.6 persen untuk fungsi ekonomi. Hal ini berbeda jauh dengan Thailand di mana dari fungsi ekonomi besarnya anggaran mencapai 20 persen dari total anggaran tahun Sedangkan anggaran untuk sektor pertanian sebesar 7.2 persen dari total anggaran pemerintah Thailand. Oleh karena itu, sektor pertanian di Indonesia kalah jauh dibandingkan sektor pertanian Thailand. Tabel 8 menunjukkan alokasi anggaran yang cukup proporsional di Thailand, sehingga menghasilkan kinerja sektor pertanian yang sangat bagus. Tabel 8. Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi (Juta Baht) No Economic Affairs FY 2010 FY General Economic, commercial and Labour Affairs Agriculture, Forestry, Fishery, and Hunting Fuel and Energy Mining, Manufacturing, and Contruction Transport Communication Other Industries Economic Affairs not elsewhere Classified Total Economic Affairs Percentage of the Total Budget Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011 Tabel 9 menunjukkan telah terjadi transformasi struktural dalam perekonomian Thailand, di mana terjadi pergeseran dari sektor sektor pertanian beralih ke sektor manufaktur. Pada tahun 2010 sektor manufaktur menyumbang 40 persen dari total PDB Thailand sedangkan sektor pertanian hanya 8.3 persen

112 84 dari total PDB. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi Thailand selama 10 tahun terakhir cukup tinggi, rata-rata di atas 5 persen, terkecuali tahun 2009 ketika terjadi krisis ekonomi. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Thailand mampu mencapai 7.81 persen. Tabel 9. Kontribusi Sektoral terhadap PDB Thailand, Tahun (%) Sektor Agriculture Mining Manufacturing Electricity, gas, and water Construction Trade Transport and communications Finance Public administration Others Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011 Thailand menyadari bahwa sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki nilai tambah tinggi. Oleh karenanya kebijakan ekonomi Thailand sangat mendukung untuk terjadinya industrialisasi. Sumbangan sektor manufaktur Thailand terhadap PDB mencapai 40.8 persen, yang didukung dengan berbagai program pemerintah untuk mendorong industri manufaktur antara lain melalui pembangunan infrastruktur dan pembiayaan. Anggaran yang dialokasikan langsung untuk sektor industri manufaktur relatif kecil, yaitu hanya sekitar 0.55 persen. Namun dukungan pemerintah diberikan melalui alokasi anggaran yang cukup besar terhadap pembangunan infrastruktur ekonomi yang mendukung terjadinya industrialisasi. Industri hilir berkembang pesat di Thailand, termasuk

113 85 industri yang berbasis tehnologi, seperti industri elektronika, komputer serta komponennya. Output industri elektronika Thailand diekspor ke berbagai negara, termasuk yang membanjiri pasar Indonesia. Hal lain yang menarik dari perekonomian Thailand adalah jika pada krisis ekonomi tahun 1998 Thailand merupakan negara menjadi pemicu krisis, namun justru Thailand negara pertama yang lepas dari krisis ekonomi. Krisis baht telah memberikan pelajaran yang sangat berguna bagi Thailand untuk melakukan efisiensi dan pembenahan. Gambar 14 menunjukkan pada tahun 2003 perekonomian Thailand sudah mampu tumbuh 7.14 persen. Walaupun selama terjadi penurunan, bahkan puncaknya pada saat krisis global 2009 Thailand tumbuh minus 3.33 persen, namun pada tahun 2010 Thailand mampu bangkit tumbuh 7.8 persen. 10 Pertumbuhan GDP Thailand (%) ,17 5,32 7,14 6,34 4,60 5,09 5,04 2,48 7, (2,33) -4 Sumber: World Bank, 2011 Gambar 14. Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun Dukungan pertumbuhan sektor tradeable membuat konfigurasi perekonomian Thailand berbeda dengan Indonesia, meskipun ekonomi kedua negara ini sama-sama berbasis sumber daya alam. Hal ini terlihat dari Gambar 15

114 86 di mana perkembangan PDB Thailand sangat dipengaruhi oleh kinerja 3 sektor yang memproduksi barang-barang tradeable dan jasa, yaitu industri manufaktur, perhotelan, dan transportasi. Sumber: Worldbank, 2010 Gambar 15. Perkembangan Sektor Tradeable, Non-tradeable dan PDB Thailand 4.2. Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia Seperti negara berkembang pada umumnya pos untuk gaji pegawai di Malaysia menempati pos paling besar. Proporsi untuk gaji pegawai mencapai 28 persen dari total pengeluaran negara. Walaupun porsi untuk gaji pegawai menempati urutan pertama, besarnya porsi untuk gaji pegawai sebenarnya telah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 30.6 persen dari total pengeluaran negara. Hal yang menarik dari postur anggaran di Malaysia adalah penurunan persentase untuk pos subsidi antara tahun 2010 dan Tabel 10 menunjukkan

115 87 pada tahun 2010 pemerintah Malaysia mengalokasikan subsidi sebesar 16.4 persen dari belanja pemerintah, tetapi pada 2011 turun menjadi 14.6 persen atau turun 1.8 persen. Padahal sebagaimana di negara berkembang pada umumnya pos subsidi merupakan pos yang paling sensitif dan mengandung risiko dan biaya politik yang sangat besar. Peningkatan subsidi pada tahun 2010 sama seperti yang terjadi di Indonesia yaitu disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Malaysia mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia tersebut dan tetap mempertahankan harga eceran bahan bakar minyak untuk masyarakatnya. Tetapi untuk tahun 2011 subsidi tersebut dikurangi dengan asumsi harga minyak dunia tidak akan mengalami kenaikan seperti pada tahun Tabel 10. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis Details RM million Share (%) Emoluments Debt service charges Grants to state goverments Pensions and service Supplies and Services Subsidies grants to statutory bodies Refunds and write-off Others total % of GDP Sumber: Ministry of Finance Malaysia Jika dilihat pengeluaran negara secara sektoral maka sektor pengembangan ekonomi menempati urutan pertama dengan 57.6 persen dari total anggaran negara. Anggaran ini naik dari tahun sebelumnya sebesar 50.2 persen. Walaupun anggaran untuk pengembangan ekonomi mengalami peningkatan sebesar 7.4

116 88 persen, anggaran untuk sektor pertanian dan pengembangan perdesaan mengalami pengurangan yang cukup signifikan. Anggaran untuk sektor pertanian terus mengalami penurunan dari tahun Tahun 2009 anggaran untuk sektor pertanian sebesar 11,1 persen dari total anggaran kemudian pada tahun 2010 berkurang menjadi 5.8 persen dan turun lagi pada tahun 2011 menjadi hanya 1.7 persen. Pada tahun 2010 anggaran sebesar 5,8 persen dari total anggaran belanja pemerintah digunakan untuk mengintensifkan modernisasi dan komesialisasi sektor pertanian dengan mengadopsi sistem pertanian modern dan mengadopsi aplikasi terbaik dengan melakukan value-added untuk setiap komoditas hasil pertanian. Dengan adanya modernisasi sektor pertanian pada tahun 2010 diharapkan sektor pertanian menjadi lebih produktif sehingga anggaran pengembangan sektor pertanian bisa dikurangi pada tahun 2011 menjadi hanya 1.7 persen saja. Tabel 11. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor, Tahun RM million Share (%) Details Economic services of which: Agriculture and rural development Trade and industry Transport Social Services of which: Education and training Health Housing Security General Administration Total % of GDP Sumber: Ministry of Finance Malaysia

117 89 Hal yang sebaliknya ditunjukkan Tabel 11, dimana proporsi untuk sektor perdagangan mengalami peningkatan yang cukup besar dari 8.7 persen pada tahun 2010 menjadi 19.6 persen pada tahun 2011, atau meningkat 10.9 persen. Hal ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan sektor pertanian pada tahun Setelah pemerintah mengadopsi sistem dan metode pertanian modern maka fokus utama dari pengembangan ekonomi dari hasil komoditas pertanian adalah mendistribusikannya ke dalam pasar. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia menaikkan anggaran untuk sektor perdagangan menjadi 19.6 persen guna mendukung hasil komoditas pertanian yang dihasilkan. Anggaran untuk sektor jasa sosial mengalami penurunan pada tahun 2011 yaitu hanya sekitar 31.6 persen, padahal pada tahun 2010 anggaran untuk jasa sosial ini mencapai 39.2 persen. Sektor jasa sosial ini terdiri dari tiga sub sektor utama yaitu sektor pendidikan dan pelatihan, sub sektor kesehatan, dan sub sektor perumahan. Sub sektor pendidikan hampir sama persis dengan Indonesia di mana proporsi untuk sektor pendidikan lebih dari 20 persen dari total anggaran belanja pemerintah dan hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Sub sektor yang mengalami perubahan signifikan adalah sub sektor kesehatan dan perumahan. Sub sektor kesehatan mengalami penurunan yang paling besar yaitu sebesar 2.2 persen dari yang tadinya 6.7 pada tahun 2010 menjadi 4.5 pada tahun Penurunan ini sebenarnya cukup masuk akal karena anggaran sebesar 6.7 persen pada tahun 2010 dipergunakan untuk membangun rumah sakit, pembelian peralatan rumah sakit, pelatihan tenaga medis, pembelian obat dan peralatan kesehatan, dan perawatan bangunan rumah sakit dan klinik. Oleh karena itu, pada tahun 2011

118 90 pembangunan rumah sakit sudah selesai dan anggaran tahun 2011 sudah tidak ada lagi untuk pembangunan rumah sakit. Program perumahan Rakyat (PPR) pada tahun 2010 dipergunakan untuk membangun rumah terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan. Selain program PPR, program perumahan juga digunakan untuk rehabilitas beberapa projek perumahan yang ditinggalkan. Program pembangunan PPR ini diproyeksikan akan selesai pada akhir tahun 2010 sehingga anggaran perumahan untuk anggaran tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Anggaran untuk sektor keamanan mengalami peningkatan dari 7.2 persen pada tahun 2010 menjadi 8.9 persen pada tahun Anggaran sektor kemanan ini terdiri dari dua sub sektor yaitu sub sektor pertahanan dan sub sektor keamanan dalam negeri. Porsi untuk sub sektor pertahanan jauh lebih besar dari sub sektor keamanan dalam negeri. Prosi untuk sub sektor pertahanan negara mencapai 69 persen dari porsi untuk sektor kemanan dan sub sektor keamanan dalam negeri hanya 31 persen dari total anggaran untuk sektor kemanan. Hal ini memperlihatkan keseriusan pemerintah Malaysia dalam menciptakan perlindungan dari bahaya luar negeri. Sedangkan untuk keamanan dalam negeri selama ini dirasa tenang sehingga tidak ada anggaran besar yang harus dikeluarkan. Anggaran untuk sektor administrasi umum juga mengalami penurunan sebesar 1.4 persen, dari 3.3 persen pada tahun 2010 menjadi 1.9 persen pada tahun Anggaran pada tahun 2010 dipergunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dari sistem sektor publik. Program yang diprioritaskan adalah sistem komputerisasi di seluruh departemen pemerintah yaitu pembuatan aplikasi baru

119 91 dan pengembangan aplikasi lama untuk e-government. Selain itu, anggaran pada tahun 2010 juga digunakan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung, renovasi, dan perawatan gedung dan fasilitas pemerintah serta pelatihan tenaga peradilan. Pada tahun 2011 diproyeksikan pengadaan tanah dan pembangunan gedung baru sudah tidak ada oleh karena itu anggaran untuk sektor administrasi umum mengalami penurunan. Jika alokasi anggaran di atas dibandingkan dengan GDP tahun 2010 berdasarkan sektor ekonomi maka terlihat bahwa ada tiga sektor ekonomi yang paling besar memberikan share terhadap GDP yaitu, manufaktur (26.9 persen), finance (16.7 persen), dan perdagangan (15.6 persen) sebagaimana ditunjukkan Tabel 12. Tabel 12. Produk Domestik Bruto Malaysia, Tahun (Juta RM) Details GDP by industrial origin at market prices Agriculture Mining Manufacturing Electricity, gas, and water Construction Trade Transport and communications Finance a Public administration Others b Less: Imputed bank service charges Plus: Taxes on imports Net factor income from abroad (24.956) (19.742) (23.522) (36.360) (24.565) (42.721) GNI Sumber : world bank, 2011

120 92 Sektor perdagangan memberikan kontribusi 15.6 persen terhadap PDB, dan anggaran pemerintah untuk sektor perdagangan dan industri adalah 8.7 persen dari total anggaran pemerintah Malaysia. Hal ini mununjukkan produktivitas pemerintah dalam meningkatkan sektor perdagangan di mana hanya 8.7 persen anggaran bisa menaikkan 15.6 persen dari total PDB Malaysia. 4.3 Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura Perekonomian singapura telah mencapai kondisi matang dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Singapura masuk pada kategori negara-negara yang berpenghasilan tinggi. Jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia jauh lebih tertinggal. Potensi sumber daya Singapura tidak melimpah seperti Indonesia, namun perekonomian Singapura maju pesat dengan mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Kemajuan perekonomian Singapura didukung kemajuan teknologi dan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah Singapura berperan sebagai regulator dan penyedia layanan publik secara optimal. Kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi di Singapura merupakan daya tarik utama bagi investor. Dukungan Pemerintah Singapura terhadap iklim usaha yang kondusif terlihat dalam komposisi belanja pemerintah. Struktur anggaran belanja pemerintah Singapura cukup sederhana, hanya terbagi ke dalam 4 fungsi utama yaitu Social Development, Security and External Relation, Economic Development, dan Government Administration. Dari struktur ini terlihat jelas posisi dan peranan pemerintah, yaitu pemerintah sebagai regulator dan pelayan kepentingan publik, termasuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sementara jalannya roda perekonomian lebih banyak dilakukan oleh swasta. Melalui kebijakan seperti ini Singapura telah masuk ke dalam jajaran negara maju.

121 93 Dalam menyusun belanja pemerintah, sejak awal komposisi pengalokasian anggaran masing-masing bidang sudah jelas antara belanja yang bersifat untuk kepentingan operasional atau rutin (operating) dengan anggaran yang digunakan untuk pembangunan (development). Tabel 13 menunjukkan bahwa setiap kegiatan dan program jelas output dan sasarannya, termasuk pengalokasian anggarannya. Porsi anggaran belanja yang bersifat operasional cukup besar mengingat perekonomian Singapura berbasis pada penyediaan sektor jasa. Tabel 13. Total Pengeluaran Pemerintah Singapura menurut Sektor Tahun 2011 (S$ juta) Sector/ Ministry Operating Development Total $ % $ % $ % Social Development Education Health Nasional Development Community Development Youth and sport The Environment and Water Resources Information, Comunications and the Art Security & External Relations Defence Home Affairs Foreign Affairs Economic Development Transport Trade and Industriy Manpower Information, Comunications and the Arts Government Administration Finance Organs of State Prime Ministers Office Law TOTAL EXPENDITURE Sumber: Statistics Singapore, 2011

122 94 Jika dilihat dari klasifikasi anggaran menurut ekonomi, Tabel 14 menunjukkan porsi terbesar belanja pemerintah Singapura adalah untuk membiayai belanja operasional, yaitu persen. Sementara belanja pemerintah yang bersifat bansos/bantuan sosial (grant) dan pengeluaran modal relatif kecil. Hal ini bisa dipahami karena keberadaan Singapura sebagai negara yang sudah maju di mana penyediaan infrastruktur sudah relatif lengkap. Tabel 14. Alokasi Anggaran Singapura menurut Klasifikasi Ekonomi, Tahun 2011 Uraian Jumlah ( $) % Main Estimates Outlays Operating Expenditure a. Expenditure on Manpower b. Other Operating Expenditure c. Grants, Subventions & Capital Injections to Organisations Other Consolidated Fundoutlays Development estimatesoutlays TOTAL Sumber: Statistics Singapore, 2011 Jika dilihat kontribusi sektoral terhadap GDP Singapura, Tabel 15 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 subsektor yang paling memberikan kontribusi besar adalah manufaktur (27.6 persen), finance (23.8 persen), dan perdagangan (18.5 persen). Alokasi anggaran pemerintah untuk subsektor perdagangan dan industri Singapura hanya 6.7 persen atau sekitar 3.1 miliar dollar Singapura tetapi dari anggaran sebesar itu Singapura dapat menghasilkan 18.5 persen share terhadap PDB negara tersebut, atau sekitar 50 miliar dollar Singapura.

123 95 Tabel 15. Produk Domestik Bruto Singapura, Tahun (juta dollar) At Constant Prices i GDP by industrial origin at 2005 market prices Agriculture d Mining Manufacturing Electricity, gas, and water Construction Trade e Transport and communications f Finance g Public administration Taxes on products Sumber : World bank, 2011 Selain itu, kekuatan ekonomi Singapura dapat dikatakan sudah mapan dan kuat. Ini terbukti dari cepatnya recovery yang dialami Singapura setelah krisis ekonomi global tahun 2009 sebagai ditunjukkan Gambar 16. Setelah sempat terperosok pada pertumbuhan yang negatif, pada tahun 2010 Singapura tumbuh positif 14.5 persen. Indonesia cukup aman dari dampak krisis global tahun 2009 tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 tidak begitu besar. 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0-2,0 Pertumbuhan GDP Singapura (%) 14,5 8,7 8,8 1, , Sumber: World Bank, 2011 Gambar 16. Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun

124 Komposisi Belanja Pemerintah China China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia tentunya memiliki permasalahan perekonomian yang tidak sederhana. Jumlah penduduk yang sangat banyak tersebut menjadi permasalahan pemerintahan China dalam upaya melakukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Luasnya wilayah China dan besarnya jumlah penduduk di China mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan di beberapa wilayah. Tetapi bila dibandingkan dengan Indonesia, kemajuan China jauh melebihi kemajuan Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini neraca perdagangan Indonesia dengan China selalu mengalami defisit sehingga China lebih banyak mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia. Tabel 16 memperlihatkan alokasi belanja pemerintah China berdasarkan fungsi alokasi. Alokasi belanja pemerintah untuk sektor pertanian cukup tinggi di mana alokasinya mencapai 7.9 persen dan hal ini sangat jauh dengan Indonesia di mana alokasi belanja APBN tahun 2011 untuk sektor pertanian hanya 1.2 persen. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika perkembangan sektor pertanian China sangat pesat dan hasil pertaniannya membanjiri pasar di Indonesia. Pemerintah China sangat concern terhadap sektor pertanian di negaranya sehingga pertumbuhan sektor pertanian di China sangat tinggi. Hal lain yang cukup menarik adalah alokasi anggaran untuk pendidikan di China tidak sebesar di Indonesia. Anggaran pendidikan Indonesia wajib mencapai 20 persen dari total APBN tetapi di China hanya sebesar 4.5 persen. Tetapi dengan anggaran pendidikan yang relatif lebih kecil, pendidikan di China lebih berkualitas dan bisa disejajarkan dengan negara maju. Banyak mahasiswa yang berasal dari ASEAN termasuk Indonesia yang belajar di China. Ini membuktikan

125 97 bahwa dengan anggaran yang tidak terlalu besar tersebut China mampu membangun peradaban yang jauh lebih baik daripada Indonesia yang anggarannya jauh lebih besar. China jauh lebih produktif dalam memanfaatkan anggaran. Tabel 16. Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi Description Amount % Agriculture, fisheries, others Social security Social services Health care Education Public housing Transportation Environmental protection Culture Science and Technology Military spending Public security Debt servicing Others Total Sumber: The government's budget statement Hang Seng Bank, 2009 Tabel 16 menunjukkan anggaran untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga tidak terlalu besar, yaitu hanya sekitar 3.3 persen dari total anggaran pemerintah. Tetapi dengan anggaran yang relatif kecil tersebut China sudah mampu menduplikasi berbagai produk yang dibuat oleh negara-negara maju. Bahkan banyak sekali produk teknologi China yang membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini yang harus menjadi perhatian dan pembelajaran pemerintah Indonesia supaya bisa meniru apa yang bisa dilakukan China. Besar kecilnya anggaran belanja pemerintah tidak berpengaruh signifikan jika produktivitas dan

126 98 keseriusan pemerintah tidak ada. Anggaran yang besar belum tentu mampu meningkatkan kemampuan bangsa Indonesia untuk bersaing pada level internasional. Sangat banyak kemungkinan yang menyebabkan hal ini, tetapi korupsi dan kebocoran anggaran ditenggarai sebagai penyebab utama dari kegagalan pemerintah memanfaatkan anggaran APBN yang tersedia. Dengan alokasi anggaran Pemerintah China untuk sektor ekonomi yang relatif lebih besar, China menghasilkan pertumbuhan GDP yang sangat tinggi. Gambar 17 menunjukkan pertumbuhan ekonomi China rata-rata diatas 9 persen setiap tahunnya, jauh melebihi pertumbuhan GDP Indonesia. Dengan demikian alokasi anggaran Pemerintah China dapat disimpulkan lebih produktif dibanding Indonesia. selalu Keseriusan pemerintah China dalam menumbuhkan ekonominya patut dicontoh oleh pemerintah Indonesia. Bahkan sektor manufaktur menyumbang 40 persen dari total PDB China yang mencapai miliar CNY Pertumbuhan GDP China (%) 30, ,3 9,1 10,0 10,1 12,7 14,2 9,6 9,2 10, Sumber: World Bank, 2011 Gambar 17. Pertumbuhan GDP China, Tahun

127 Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Beberapa Negara Perbaikan kinerja perekonomian suatu negara akan berdampak pada kemakmuran masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, seharusnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Indikator kesejahteraan antara lain ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan perkapita, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang menurun. Tabel 17 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara telah berdampak signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan perkapitanya. Malaysia pada tahun 2008 memiliki angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4.81 persen menghasilakn pendapatan perkapita sebesar US$ Diantara negara ASEAN pendapatan perkapita Indonesia yang paling rendah. PDB per kapita Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 2000 memang menunjukkan peningkatan dari US$397 pada 1980 menjadi US$1 083 pada Namun, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, terlihat bahwa pendapatan per kapita Indonesia merupakan yang terendah, masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand seperti yang terlihat pada Tabel 17. Padahal, sebelum krisis ekonomi Indonesia mempunyai angka pertumbuhan rata-rata diatas 7 persen. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki angka pertumbuhan penduduk yang cukup besar. Tabel 17. Pendapatan Per Kapita Negara ASEAN, Tahun (US$) Country Indonesia Malaysia Singapore Thailand Sumber: World Development Indicators, The World Bank, 2010

128 100 Sementara itu, Tabel 18 menunjukkan pertumbuhan rata-rata PDB riil per kapita beberapa negara ASEAN antar periode waktu selama periode Pendapatan per kapita Indonesia dan Malaysia mengalami pertumbuhan tertinggi pada periode Thailand mengalami rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita tertinggi pada , sementara Singapura pada Namun secara rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita Indonesia mengalami pertumbuhan terendah diantara negara-negara ASEAN. Rendahnya pendapatan perkapita Indonesia sekaligus menunjukkan rendahnya produktifitas perekonomian domestik. Pendapatan perkapita merupakan ukuran yang relatif obyektif untuk membandingkan prestasi kenerja perekonomian antara negara. Tabel 18. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita antar Negara ASEAN (%) Periode Indonesia Malaysia Singapore Thailand Sumber: World Development Indicators, The World Bank, 2010 Ketertinggalan Indonesia tidak hanya dari sisi pendapatan per kapita, namun juga dalam hal tingkat kemiskinan dan pengangguran. Kondisi ini tentunya kontras dengan posisi perekonomian Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara. Gambar 18 menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia justru paling buruk diantara negara-negara di Asia Tenggara. Berdasarkan data publikasi Asian Development Bank (ADB) pada 2010, dengan menggunakan garis biaya hidup

129 101 US$1.25 per hari masih terdapat 29 persen penduduk Indonesia hidup di bawah standar tersebut. Negara yang ditampilkan dalam Gambar 18 hanya negara yang memiliki tingkat kemiskinan diatas 10 persen. Posisi kemiskinan di Indonesia masih lebih buruk dibandingkan Myanmar, Kamboja, Philipina, dan Vietnam. Sumber: Asian Development Bank, 2010 Gambar 18. Perbandingan Tingkat Kemiskinan antar Negara, Tahun 2010 Ironi lainnya terlihat dari data tingkat pengangguran, di mana dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi, sebesar 8.1 persen pada Sementara itu, Thailand yang pada tahun 2009 mengalami penjalaran krisis global masih dapat menjaga tingkat penganggurannya pada level 1.5 persen. Singapura sebagai negara yang pada 2009 mengalami dampak krisis global yang sangat parah masih dapat menjaga tingkat pengangguran sebesar 4.1 persen. Namun, Indonesia yang berhasil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi positif pada 2009 justru tidak

130 102 mampu berbuat banyak untuk menekan tingkat pengangguran. Gambar 19 menunjukkan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi diantara negara ASEAN. 8,1 7,5 4,3 4,0 3,7 4,1 2,4 1,5 China India Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand Viet Nam Sumber: Asean Development Bank, 2010 Gambar 19. Tingkat Pengangguran Beberapa Negara Tahun 2009 Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia menjadi sebuah paradok. Indonesia yang merupakan negara terbesar di ASEAN justru paling tertinggal tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ini menuntut dilakukannya berbagai perbaikan, utamanya melihat peran negara dalam mengelola perekonomian yang fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai. Salah satunya terkait dengan kemampuan pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Semakin banyak penduduk miskin yang keluar dari kemiskinan berarti semakin berkualitas pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula sebaliknya,

131 103 semakin sedikit tingkat kemiskinan yang dapat diturunkan, semakin tidak berkualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Wan dan Sebastian (2011) meneliti tentang kemiskinan di Asia Pasifik dengan menggunakan garis kemiskinan US$1.25 per hari dan US$2 per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negaranegara lain (Tabel 19). Dengan garis kemiskinan US$1.25 per hari nilai elastisitas kemiskinan Indonesia sebesar artinya jika pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen, ceteris paribus. Jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 per hari maka setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0.34 persen. Tabel 19. Elastisitas Kemiskinan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara Garis Kemiskinan US$1,25 Per Hari US$2 Per Hari China Indonesia Malaysia Philipina Thailand Viet Nam Sumber: Wan dan Sebastian, 2011 Kualitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan di beberapa negara lain justru lebih baik dibanding Indonesia. Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan Wan dan Sebastian (2011) dengan garis kemiskinan US$2 per hari, setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi Malaysia mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 2.59 persen. Demikian pula Thailand, di mana setiap 1

132 104 persen pertumbuhan ekonominya mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1.28 persen, ceteris paribus. Baik dihitung dengan US$1.25 maupun US$2 per hari, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menurunkan tingkat kemiskinan masih kalah dibandingkan Viet Nam maupun Philipina, apalagi terhadap Malaysia, Thailand dan China. Kualitas pertumbuhan ekonomi beberapa negara tersebut tidak lepas dari efektifitas alokasi anggaran negara dan keberpihakan kebijakan ekonomi pada sektor yang memiliki dampak besar dalam pengurangan tingkat kemiskinan.

133 V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Komposisi APBN menunjukkan arah, kebijakan dan politik anggaran yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Idealnya komposisi APBN disusun berdasarkan permasalahan dan tujuan prioritas pembangunan yang sedang dihadapi. Dengan demikian kebijakan anggaran mampu berperan optimal dalam menstimulus perekonomian. Struktur APBN Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak tahun Sebelum tahun 2001, struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk scrontro yaitu sisi pendapatan negara diletakkan berdampingan dengan sisi belanja negara. Bentuk ini dikenal dengan istilah T-Account. Mulai tahun anggaran 2001 struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk staffel, yaitu komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom. Komponen pendapatan di bagian atas, sedangkan komponen bagian belanja ditempatkan di bawahnya. Selain itu juga terdapat komponen pembiayaan sehingga dengan format ini dapat terlihat adanya surplus atau defisit anggaran, serta sumber pembiayaannya dari dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk ini dikenal dengan istilah I-Account. Dalam format baru tersebut juga dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara sehingga sesuai dengan struktur dan format Goverment Finance Statistics (GFS). Dengan demikian struktur dan format APBN telah disesuaikan dan

134 106 mengarah kepada standar internasional dalam statistik keuangan Pemerintah. Demikian juga periode tahun anggaran disesuaikan yang semula menggunakan tahun anggaran (April-Maret) menjadi tahun kalender (Januari Desember). Selain perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, mulai APBN tahun anggaran 2005 dilakukan perubahan format APBN yaitu perubahan substansial terhadap format belanja negara khususnya format anggaran belanja pemerintah pusat. Perubahan tersebut intinya mencakup 2 (dua) hal yaitu : 1. Penerapan sistem penganggran secara terpadu (unified budget), melalui penyatuan anggaran rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. 2. Reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja. Penerapan sistem penganggaran secara terpadu pertama kali digunakan pada APBN tahun anggran Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara secara terpadu yaitu: (1) dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, karena pos belanja ke daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi, (3) semua pengeluaran negara yang selama ini mengandung nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.

135 107 Tabel 20. Konversi APBN dalam I-Account Format Lama A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran Bunga Utang d. Subsidi e. Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan Sumber : Sekretariat Jendral DPR RI, 2010 Format Baru A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan Perubahan format anggaran belanja negara yang mendasar dimaksud untuk mencapai 2 (dua) sasaran. Pertama, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara, melalui : (1) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara, dan (2) meningkatkan antara keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi atau yang disebut anggaran berbasis kinerja (performance based budget). Kedua, untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.

136 108 Perubahan struktur anggaran diharapkan mampu mengoptimalkan peran kebijakan fiskal dalam memberikan stimulus perekonomian, terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai perkembangan komposisi APBN Indonesia antar periode waktu, yaitu periode sebelum krisis ekonomi 1997 dan periode setelah krisis ekonomi Disamping profil belanja pemerintah, juga akan diulas kinerja perekonomian dalam periode waktu yang sama. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran dan perbandingan antara kebijakan komposisi belanja pemerintah dengan kinerja pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan antara periode sebelum krisis ekonomi dan periode setelah krisis ekonomi Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 1969/ /1997 Pada periode sebelum krisis ekonomi 1997, dimulai sejak periode pemerintahan orde baru. Pada masa pemerintahan orde baru kebijakan pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Panjang (RPJM/RPJP). Target pencapaian RPJM dan RPJP dilaksanakan secara periodik melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pembangunan Jangka Panjang Pertama, dimulai dari Pelita I sampai dengan Pelita V, dimana Pelita I (1969/ /1974), Pelita II (1974/ /1979) Pelita III (1979/ /1984), Pelita IV (1984/ /1989), Pelita V (1989/ /1995). Pembangunan Jangka Panjang kedua mustinya dimulai dari Pelita VI (1995/ /1997). Namun, Pelita VI belum tuntas dilaksanakan, karena terjadinya krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan

137 109 pergantian rezim pemerintahan yang diikuti perubahan kebijakan pembangunan ekonomi. Dokumen RPJM yang dijadikan acuan perencanaan dan pentahapan pembangunan dalam setiap Pelita. Pada masa orde baru masing-masing Pelita memiliki prioritas pembangunan yang akan dicapai melalui tahapan perencanaan pembangunan selama 5 tahun. Pelita I menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian serta stabilisasi ekonomi dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang. Prioritas Pelita II menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Sasaran yang hendak dicapai adalah peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana) melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Fokus Pelita III adalah pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Kebijakan yang diambil pada masa ini melalui program Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti stabilisasi dan pemerataan. Pada masa itu dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Selanjutnya pada pelita IV, menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Kebijakan ini diiringi dengan peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor migas dan mendorong ekspor non-migas. Selanjutnya pada Pelita V, pemerintah lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan

138 110 meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Periodisasi kebijakan pembangunan ekonomi pada masa orde baru tersebut seharusnya diiring dengan kebijakan fiskal pemerintah, yang tercermin dalam kebijakan anggaran pemerintah. Prioritas pembangunan pada masing-masing periode tersebut seharusnya terealisasi dalam dokumen Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan APBN merupakan acuan bagi pelaksanaan program-program pemerintah dalam mewujudkan sasaran dan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan Realisasi Penerimaan Negara Pada periode Pelita I, porsi terbesar penerimaan pemerintah berasal dari pajak, yaitu sebesar Rp 513 miliar atau sekitar 60 persen. Kontributor utama adalah pajak dalam negeri yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN- BM. Sedangkan proporsi pajak perdagangan internasional sebesar persen atau sekitar Rp miliar, terbesar berasal dari pajak bea masuk sebesar Rp85,14 miliar. Pada Pelita II, terjadi pergeseran penerimaan negara, dimana penerimaan dari pajak turun persen atau Rp2.9 triliun. Penerimaan bukan pajak meningkat menjadi persen. Peningkatan penerimaan bukan pajak bersumber dari pendapatan migas yang mencapai Rp 1.6 triliun. Perkembangan realisasi penerimaan Pemerintah selama periode orde baru atau sebelum krisis ditunjukkan dalam Gambar 20.

139 111 Pada Pelita III penerimaan masih didominasi oleh penerimaan bukan pajak sekitar persen yang berasal dari Penerimaan Migas. Pada periode ini terjadi momentum booming oil, dimana harga minyak dunia tinggi dan posisi Indonesia sebagai negara eksportir migas sehingga mendongkrak penerimaan pemerintah. Penerimaan dari sektor migas mencapai Rp7.8 triliun atau meningkat hampir 7 kali lipat dari periode Pelita II. Tingginya penerimaan migas masih berlanjut sampai awal pelita IV. Namun secara keseluruhan, pada pelita IV penerimaan pajak dan bukan pajak cenderung berimbang. Penerimaan dari pajak sekitar persen dan persen berasal dari penerimaan bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak selain bersumber dari penerimaan migas, juga bersumber dari laba BUMN yang meningkat hampir 4 kali lipat dari pelita III , , , , , , , , , ,00 - Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Penerimaan Perpajakan Penerimaan Bukan Pajak Sumber : Nota Keuangan RI, Periode 1969/ /1997 Gambar 20. Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Sebelum Krisis Pada Pelita V, terjadi pergeseran sumber penerimaan negara, dimana penerimaan kembali didominasi oleh penerimaan pajak sebesar persen, karena turunnya penerimaan migas. Penerimaan negara bukan pajak yang

140 112 bersumber dari laba BUMN meningkat hampir 3 kali lipat dibandingkan pelita dari periode sebelumnya. Sementara itu, proporsi penerimaan pajak dalam negeri terhadap total penerimaan negara meningkat dari pelita IV. Kontributor terbesar penerimaan pajak dalam negeri adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 10,2 triliun (39,31 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp 9,6 triliun (36,94 persen). Sedangkan penerimaan dari Bea Masuk mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi Rp 2,8 triliun pada Pelita V. Tabel 21. Komposisi Penerimaan Negara pada Masa Sebelum Krisis, Tahun 1969/ /1997 (%) Penerimaan Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan Perpajakan a. Penerimaan Pajak DN i. Pajak Penghasilan (PPh) ii. PPN dan PPn-BM iii. PBB dan BPHTB iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internsonal i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Pada periode Pelita VI, penerimaan negara mencapai Rp triliun, dimana persen bersumber dari pajak. Proporsi penerimaan migas semakin menurun. Kontributor terbesar penerimaan pajak bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp triliun (45.27 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp triliun (36.09 persen). Sedangkan proporsi pajak

141 113 perdagangan internasional mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu sebesar 4.13 persen (Rp3.07 triliun). Penerimaan negara dari Bea Masuk hanya mengalami peningkatan kecil, dari Rp 2.8 triliun pada Pelita V menjadi Rp 2.9 triliun pada Pelita VI Realisasi Belanja Negara Komposisi belanja Pemerintah selama periode sebelum krisis ditunjukkan Gambar 21. Pada Pelita I, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan relatif seimbang dengan belanja rutin. Proporsi pengeluaran rutin sekitar 683 persen dan pengeluaran pembangunan sebesar 31.7 persen. Belanja pembangunan dalam Pelita II rata-rata sebesar Rp 1.83 triliun dan belanja rutin sebesar Rp 1.49 triliun. Pada Pelita III belanja pembangunan meningkat mencapai Rp 7.03 triliun (47.47 persen) sedangkan belanja rutin sebesar Rp 6.35 triliun (52.53 persen). Pada pelita IV, belanja pembangunan mulai mengalami penurunan dibandingkan Pelita III Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Belanja Rutin Belanja Pembangunan Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis

142 114 Belanja pembangunan dalam Pelita III mencapai Rp 10,25 triliun (40 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (60 persen). Pada pelita V, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan sedikit meningkat dibandingkan proporsi pada pelita IV. Belanja pembangunan mencapai Rp triliun (41 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (59 persen). Pada Pelita VI proporsi anggaran untuk belanja pembangunan menurun cukup signifikan. Belanja pembangunan pada Pelita VI hanya mencapai Rp 31.8 triliun (37 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (63 persen). Komposisi detail belanja Pemerintah ditunjukkan Tabel Belanja Pegawai Pengeluaran anggaran rutin terbesar pada pelita I adalah untuk belanja pegawai sebesar 29.7 persen. Proporsi ini semakin meningkat pada Pelita II, belanja pegawai menjadi persen. Seiring dengan peningkatan penerimaan dari Migas, total belanja pemerintah meningkat cukup signifikan, sehingga proporsi belanja pegawai menurun menjadi sekitar persen. Penurunan proporsi ini tidak berarti terjadi penurunan belanja pegawai, namun lebih disebabkan oleh peningkatan belanja subsidi BBM yang meningkat karena tingginya harga minyak dunia. Selanjutnya sejak Pelita IV, proporsi untuk belanja pegawai kembali relatif stabil sekitar 45 persen Belanja Barang Pengeluaran pemerintah untuk belanja barang pada Pelita I dan Pelita II relatif cukup tinggi yaitu sebesar 33.4 persen dan persen. Belanja barang terutama dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan operasional dan

143 115 pemeliharaan peralatan. Seiring dengan meningkatnya investasi pemerintah pada barang-barang modal maka belanja pemeliharaan juga meningkat. Disamping itu, dengan adanya inflasi yang cukup tinggi pada pelita I dan II menyebabkan belanja peralatan juga meningkat. Namun karena meningkatnya belanja subsidi BBM maupun subsidi Non BBM pada pelita III dan Pelita IV, maka porsi belanja barang menurun cukup drastis. Padahal belanja barang penting untuk mendukung kegiatan operasional birokrasi. Belanja barang dapat dialokasikan dengan pembelian peralatan-peralatan yang mengikuti perkembangan tehnologi. Dengan tehnologi yang modern, maka fungsi pelayanan dari pemerintah akan lebih cepat, mudah, murah dan efisien. Tabel 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Sebelum Krisis, Tahun 1969/ /1997 (%) Jenis Belanja Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI 1. Belanja Pegawai Belanja Barang Bunga Utang i. Dalam negeri ii. Luar Negeri Subsidi i. BBM ii. Non-BBM Lainnya Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ / Belanja Subsidi Porsi belanja subsidi pada Pelita I hanya untuk subsidi non BBM, yaitu subsidi pangan sebesar 1.7 persen. Pada pelita II mulai muncul subsidi BBM sebesar Rp miliar. Subsidi beras dan gandum mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 1980/1981 yaitu sebesar Rp miliar. Tingginya subsidi

144 116 pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan meningkatnya impor beras karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Seiring tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak 1983/1984, alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Namun disisi lain terjadi peningkatan pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Pelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.

145 117 Pelita IV beban subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup drastis, dari Rp 1.3 triliun (24.81 persen) pada Pelita III menjadi Rp 288 miliar (3.05 persen) pada Pelita IV. Penurunan proporsi ini selain karena terjadi penurunan subsidi BBM akibat penurunan harga rninyak mentah dunia, juga lebih disebabkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pembayaran bunga utang. Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh Laba Bersih Minyak (LBM) sebesar Rp miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifikasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Pelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah pada rakhir pelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tahun mengalami penurunan. Dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan

146 118 subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/ Belanja Pembayaran Bunga Utang Pada Pelita I pembayaran untuk bunga utang masih relatif sangat kecil hanya sekitar 2.5 persen. Pada Pelita II. pemerintah sudah mulai mengeluarkan anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 91.5 miliar. Komposisi belanja antara pengeluaran rutin dan pembangunan sampai Pelita III relatif proporsional. Namun seiiring berakhirnya era boom oil. Indonesia mulai tergantung pada pembiayaan yang bersumber utang luar negeri. Alhasil pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok meningkat. Sebagai konsekuensinya porsi anggaran pembayaran bunga utang meningkat cukup tajam. Sementara pada pelita IV. peningkatan belanja rutin disebabkan terjadi peningkatan beban bunga utang mencapai puncaknya yaitu meningkat hampir 5 kali lipat. dari Rp 582 miliar (10.97persen) pada Pelita III menjadi Rp 2.8 triliun (30persen) pada Pelita IV Belanja Pembangunan Pada periode ini ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Kesehatan/Puskesmas sebesar Rp miliar, Inpres Pasar Rp 520 juta. dan Inpres Penghijauan/Reboisasi Rp 15.3 miliar. Pada III ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp 37.6 miliar. Selain itu, anggaran pembangunan berupa Inpres SD juga mengalami peningkatan signifikan menjadi Rp miliar. Pada pelita IV, peningkatan signifikan pada belanja pembangunan terjadi pada karena Inpres Penunjang Jalan yakni sebesar Rp 120 miliar. Pada Pelita VI tidak ada lagi alokasi anggaran

147 119 berupa Inpres Penunjang Jalan, dan digantikan dengan Inpres Desa Tertinggal sebesar Rp triliun. Pada periode ini memasuki permulaan krisis, dimana beban pemerintah untuk membayar bunga utang serta pokok utang mencapai puncaknya. Ditambah lagi kondisi defisit neraca pembayaran yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan mata uang dolar, yang pada periode selanjutnya akan membawa pada situasi sulit Belanja Transfer Daerah Selama orde baru komposisi didominasi belanja pemerintah pusat dan yang langsung ke daerah relatif kecil. Namun mayoritas anggaran yang di daerah berupa anggaran pembangunan. Komposisi anggaran belanja daerah antara lain terdiri dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur melalui Inpres. Pada Pelita I, anggaran belanja belanja daerah baru mencapai Rp miliar atau persen. Namun demikian, hampir seluruh belanja ke daerah dialokasikan untuk belanja pembangunan dalam bentuk anggaran program dan proyek berupa dana bagi hasil dari Ipeda/PBB; Dana Alokasi Umum yang terdiri dari Inpres Desa/Inpres Kabupaten/Dati II dan Inpres Propinsi/Dati I; Dana Alokasi Khusus berupa Inpres SD. Pada Pelita II, anggaran belanja daerah meningkat cukup signikan menjadi Rp635 miliar atau persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja untuk daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus yang ditujukan untuk Inpres Kesehatan/Puskesmas dan Inpres Penghijauan/Reboisasi. Pada pelita III, secara nominal anggaran belanja daerah meningkat menjadi Rp2.1 triliun, namun secara proporsi turun menjadi persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat untuk pembayaran bunga utang luar negeri yang mencapai Rp miliar serta untuk

148 120 Subsidi BBM sebesar Rp 1.3 triliun. Padahal pada Pelita II, subsidi untuk BBM baru mencapai Rp 51 miliar Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Belanja Pusat 515, , , , , ,6 Belanja Daerah 67,28 635, , , , ,5 Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis 1997 Pada Pelita IV, anggaran belanja daerah sebesar Rp4 triliun atau persen. Demikian juga pada Pelita V, untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp 8.7 triliun (19.28 persen). Selanjutnya pada Pelita VI, terjadi peningkatan yang cukup besar pada belanja daerah melalui belanja pembangunan Inpres Penunjang Jalan mencapai 8 kali lipat sebesar Rp 832 miliar. Selain itu, pada pelita V sudah tidak ada lagi alokasi anggaran untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Selama orde baru, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan anggaran berimbang, pada kenyataannya besarnya penerimaan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan belanja pemerintah. Tabel 23 menunjukkan kekurangan sumber pembiayaan yang ditutup dengan utang. Selama Pelita I sampai dengan Pelita III, kekurangan pembiayaan untuk belanja pemerintah atau defisit anggaran

149 121 masih cukup rendah. Pada Pelita I defisit anggaran baru mencapai Rp miliar dan ditutup dengan utang luar negeri. Namun seiring dengan membengkaknya belanja rutin pemerintah, mulai pelita III defisit anggaran semakin meningkat menjadi 1 triliun yang diikuti peningkatan penarikan utang baru. Peningkatan utang baru terbesar terjadi pada pelita IV, terutama ketika era oil boom telah berakhir. Kondisi ini sangat ironis, disaat penerimaan negara meningkat cukup besar karena peningkatan penerimaan dari migas, disisi lain utang luar negeri justru meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan belanja belanja rutin akibat besarnya beban subsidi. Jadi akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia, maka pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM untuk menekan harga minyak di dalam negeri tidak naik. Tabel 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Uraian Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Disamping menimbulkan beban subsidi, kenaikkan harga minyak dunia juga memicu terjadinya inflasi. Sebagai akibat tingginya harga minyak, penerimaan negara dari ekspor migas meningkat secara signifikan. Hal ini berdampak pada peningkatan belanja pemerintah, terutama porsi belanja rutin pemerintah untuk gaji pegawai. Peningkatan gaji ini yang mendorong terjadinya

150 122 inflasi akibat mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan porsi belanja rutin ini yang selanjutnya menciptakan peningkatan defisit anggaran dan ketergantungan pada utang luar negeri. Pada periode selanjutnya beban pembayaran bunga mendominasi komposisi belanja rutin pemerintah. Ironisnya Gambar 23 menunjukkan bahwa mulai Pelita V Indonesia sudah mengalami net negatif transfer untuk penarikan utang luar negeri baru. Artinya besarnya penarikan utang baru lebih besar dari beban pembayaran total bunga dan cicilan pokok. Hasilnya walaupun kebijakan anggaran defisit, namun tidak ada sumber pembiayaan tambahan untuk meningkatkan belanja pemerintah dalam menstimulus perekonomian , , , , ,00 - (5.000,00) Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI (10.000,00) (15.000,00) Total Bunga & Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer (miliar Rp) Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Bunga & Cicilan Pokok , Penarikan Pinjaman LN , Net Transfer Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997

151 Kinerja Perekonomian Pertumbuhan ekonomi selama Pelita I sampai II cukup tinggi, dimana ratarata 7 persen pertahun, tabungan pemerintah meningkat, penerimaan devisa meningkat terutama berasal dari sektor migas. Gambar 24 mengilustrasikan bahwa pada pertengahan era 1970-an perekonomian Indonesia mengalami gangguan harga minyak dunia turun dan kuota produksi minyak juga turun. Akibatnya ekspor neto turun 38 persen dan ekspor nonmigas turun 30 persen, sedangkan impor nonmigas meningkat. Neraca berjalan defisit US$ 2.7 miliar pada tahun 1981 dan US$6.7 miliar pada tahun 1982, sehingga pertumbuhan ekonomi hanya 2.24 persen pada tahun Implikasinya terjadi penghematan angaran belanja pada tahun , disertai peningkatan pinjaman luar negeri dan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun Juga dilakukan penjadwalan ulang proyek pemerintah dan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 1984 serta pengurangan subsidi pupuk/pestisida. Keberhasilan dalam Pelita I yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4 persen setahun. Hal ini terjait dengan alokasi belanja pemerintah untuk mendorong berdirinya industri pupuk, semen, dan tekstil. Disamping itu juga dialokasikan belanja untuk perbaikan infrastruktur jalan raya dan banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik dan disertai semakin meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan. Pada Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata penduduk 7 persen. Alokasi belanja banyak diperuntukkan perbaikan irigasi, jalan dan jembatan. Pelita III program untuk mendukung terciptanya swa-sembada pangan gencar dilaksanakan. Alhasil pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25.8 ton dan mencapai swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO

152 124 (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985, dan merupakan prestasi besar bagi Indonesia Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I Pelita III Namun prestasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama pelita I sampai pelita III tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang signifikan. Gambar 24 menunjukkan jumlah penduduk miskin tetap tinggi dengan tingkat pengurangan yang relatif lambat, rata-rata pertahun hanya berkurang 1.5 persen. Pertumbuhan ekonomi hanya berdampak kecil terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Pada awal Pelita I jumlah penduduk miskin sekitar 25.8 persen, namun pada 1980 justru meningkat menjadi 28.7 persen. Upaya penurunan tingkat pengangguran lebih ironis lagi. Pada Pelita I dan II tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan, jika pada awal pelita I tahun 1970 tingkat pengangguran sebesar 3.8

153 125 persen, maka pada tahun 1973 meningkat menjadi 10.4 persen, dan baru tahun 1980 tingkat pengangguran turun hingga 1.7 persen. Namun selama tahun pengangguran sangat tinggi, rata-rata sebesar persen 8.4 persen. Pada tahun 1979/1980 tingkat pengangguran baru mengalami penurunan yang cukup berarti. Gambar 25 menunjukkan menginjak Pelita IV, pemerintah menerapkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, dampaknya pada Pelita V perekonomian Indonesia tumbuh 6.7 persen/tahun. Selama PJP I pertumbuhan ekonomi sebesar 6.7 persen per tahun, pendapatan perkapita naik dari US$70 pada tahun 1969 meningkat menjadi US$770 pada tahun Sebagai dampaknya, penduduk miskin pada pelita IV berkurang hingga persen. Namun pada pelita V jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi 19.7 persen. Demikian juga tingkat pengangguran, selama pelita IV sampai pelita V justru terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 tingkat pengangguran mencapai 7.2 persen. 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita IV Pelita VI

154 126 Secara umum dapat disimpulkan, selama periode sebelum krisis ekonomi keberhasilan program swasembada pangan telah berdampak signifikan pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin menurun drastis sampai dengan tahun 1992/1993. Namun disisi lain angka penganguran justru meningkat, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Kondisi ini dapat diartikan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa belanja pemerintah tidak mampu menstimulus kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja baru Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun Realisasi Penerimaan Negara Pada periode setelah krisis ekonomi, sumber penerimaan negara terbesar berasal dari penerimaan perpajakan. Gambar 26 menunjukkan pada tahun 2005, realisasi penerimaan dari pajak sebesar Rp347 triliun dengan tax ratio sebesar 12.7 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak sebesar Rp146.9 triliun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2008 penerimaan pajak mencapai Rp6 587 triliun, lalu pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak mengalami fluktuasi dari tahun 2005 sampai tahun Penerimaan perpajakan masih ditopang oleh penerimaan pajak dalam negeri, terutama dari pajak penghasilan nonmigas yang pada tahun 2005 sebesar Rp triliun dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2009 mencapai Rp267.6 triliun. Jika dilihat dari tax ratio, penerimaan dari pajak masih

155 127 tergolong sangat rendah. Seyongganya Pemerintah mampu mendorong reformasi administrasi perpajakan serta langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan sehingga tax ratio dapat meningkat menjadi sekitar 14 persen P. Perpajakan P. Bukan Pajak P. Perpajakan P. Bukan Pajak Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun Penerimaan pajak masih didominasi oleh pajak penghasilan dan pajak PPn sebagaimana terlihat dalam Gambar 27. Pajak perdagangan internasional terutama dalam bentuk bea masuk mengalami peningkatan pada tahun 2005 hingga tahun 2008, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor akibat krisis keuangan global. Sementara penerimaan pajak ketiga berasal dari cukai, khususnya cukai dari industri hasil tembakau.

156 ,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50, PPh PPn Cukai PBB & BPHTB Bea Masuk Pajak Lainnya Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis, Tahun Realisasi Belanja Negara Dalam kurun waktu pasca krisis ( ), anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan

157 129 gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah lembaga non-struktural. Selama enam tahun terakhir ( ), sebagian besar dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun Alokasi belanja terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, (%) Jenis Belanja Subsidi Belanja Pegawai Pemb. Bunga Utang Belanja Barang Belanja Modal Belanja Lain-Lain Belanja Pusat Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun Selanjutnya, belanja barang ternyata juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat, bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada

158 130 periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010 menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN Belanja Pegawai Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu sekitar persen pada APBN tahun Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun Belanja Barang Dalam periode , anggaran belanja barang secara nominal terus mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga

159 131 terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4 persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai persen pada APBN tahun Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya. Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan peningkatan belanja barang Belanja Subsidi Dalam rentang waktu , realisasi anggaran belanja subsidi mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun (33.43 persen) pada tahun 2005, menjadi Rp138.1 (21.96 persen) triliun pada tahun Disamping itu, persentase belanja subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40 persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi, dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM. Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya yaitu (1) meningkatnya harga minyak mentah dunia, (2) fluktuasi nilai tukar rupiah, (3) meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi industri otomotif, (4) ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan nasional.

160 132 Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3 triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun Realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp40.7 triliun pada tahun Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun (Triliun Rupiah) Uraian Subsidi Energi Subsidi BBM Subsidi Listrik Subsidi Non- Energi Subsidi Pangan Subsidi Pupuk Subsidi Benih PSO Kredit Program Minyak Goreng Subsidi Kedele Subsidi Pajak Subsidi Lainnya Jumlah Sumber: Kementerian Keuangan

161 133 Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp51 triliun pada tahun Dengan mempertimbangkan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar masyarakat Pembayaran Bunga Utang Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu secara nominal terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata 12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada tahun Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri. Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit anggaran yang sangat bergantung dari utang. Dalam periode , defisit APBN berada pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun (0.5 persen terhadap PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahuntahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun (1.3 persen terhadap PDB), yang

162 134 bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami penurunan menjadi Rp4.1 triliun (0.1 persen terhadap PDB). Penurunan defisit anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), serta lonjakan penerimaan perpajakan yang jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun (1.6 persen dari PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009 dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia Belanja Modal Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar persen pada APBN tahun Proporsi tersebut masih sangat kecil jika

163 135 dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan domestic conectivity Komposisi Belanja Pusat dan Daerah Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( ), anggaran belanja pemerintah daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada tahun 2005 ada sekitar 389 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 524 daerah. Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7 triliun pada APBN Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang

164 136 mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian Belanja Pemerintah Pusat Belanja Daerah Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Paska Krisis, Tahun Periode Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tandatanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin

165 137 dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar persen. Terakhir Dana Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom, dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010

166 138 defisit anggaran mencapai Rp112 triliun dan Rp133 triliun. Pada periode sebelumnya defisit anggaran paling besar hanya mencapai Rp40 triliun. Tabel 26. Perkembangan Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi (Rp Miliar) Uraian Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Uraian Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Sementara itu, sejak tahun 2001 sumber pembiayaan defisit anggaran terjadi pergeseran yang signifikan. Gambar 29 menunjukkan sebelum krisis sumber pembiayaan defisit didominasi oleh utang luar negeri beralih bersumber dari utang dalam negeri. Perubahan kebijakan ini didorong oleh terjadinya fluktuasi nilai tukar yang cukup tinggi sehingga berdampak pada peningkatan stok utang dan besarnya beban cicilan dan bunga utang. Sumber pembiayaan dalam negeri dipilih, disamping untuk mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri, juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Permasalahannya, karena besarnya

167 139 kebutuhan pendanaan pemerintah untuk menutup defisit anggaran menyebabkan suku bunga obligasi dan Surat Utang Negara menjadi sangat tinggi. Pada akhirnya perubahan kebijakan sumber pembiayaan defisit ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan beban pembayaran bunga utang (50.000) ( ) Total Bunga & Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Gambar 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun Kinerja perekonomian Pasca krisis ekonomi 1997, kinerja perekonomian yang tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum krisis mencapai 7-8 persen, pada tahun 1998 pertumbuhan mengalami minus sekiatar 13 persen. Gambar 30 menunjukkan, selama pertumbuhan hanya mencapai sekitar 4 persen. Pada tahun pertumbuhan mengalami kenaikkan mencapai sekitar 5

168 140 persen. Pada tahun , pertumbuhan ekonomi relatif menuju pemulihan, yaitu mencapai 6 persen. Namun pada tahun 2009, ketika terjadi krisis keuangan global pertumbuhan ekonomi kembali turun menjadi 4,59 persen. Ironisnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berhasil menciptakan lapangan kerja yang memadai. Terbukti tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 dan 2006 tingkat pengangguran terbuka justru meningkat mencapai 11.2 persen dan 10.3 persen. Demikian jumlah penduduk miskin hanya mengalami berkurang rata-rata sebesar 4.1 persen. Artinya prosentase pengurangan jumlah penduduk miskin ini lebih kecil dari rata-rata tingkat pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00-5,00-10, ,00-20,00 Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi (Persen)

169 VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN 6.1. Hasil Spesifikasi Model Model yang dibangun dalam penelitian Dampak Komposisi Belanja Pemerintah ini diestimasi dengan menggunakan metode two stages squares (2- SLS). Dari spesifikasi model maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil pendugaan ekonomi model penelitian ini cukup baik juga sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R 2 ). Dari 18 persamaan perilaku yang diestimasi, sebagian besar persamaan mempunyai nilai R 2 berkisar antara sampai Hanya terdapat tiga (3) persamaan yang mempunyai R 2 kurang dari 0.8 yaitu persamaan Tingkat Pengangguran (0.7717), Jumlah Penduduk Miskin (0.7255), dan Investasi Pemerintah (0.5590). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variables) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen. Dari indikator statistik diketahui bawah variasi variabel penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic). Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Dalam studi ini taraf α yang digunakan α = 0.01, α = 0.05 dan α = Berdasarkan hasil uji statistik

170 142 durbin-w (dw), terdapat beberapa persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena model dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan model dalam penelitian terdapat 26 persamaan, yang terdiri delanpan (8) persamaan identitas dan 16 persamaan perilaku atau persamaan struktural. Adapun persamaan identititas dalam penelitian ini terdiri : 1. PDBI t = CONS t + INVT t + INVG t + CGOV t + (EXPO- IMPO) t (3.1) 2. YD t = Y t - RTAX t + (SNBM t + SBBM t ) (3.3) 3. TREVt = RDOMt + HBHt (3.9) 4. RDOMt = RTAXt + PNBPt (3.10) 5. BTOTt = BTUSt + BTDRt (3.12) 6. BTUSt = BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt (3.13) 7. BTDRt = BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt (3.20) 8. GPDBIt = (PDBIt PDBIt-1)/PDBIt-1 * 100 (3.24) Sementara persamaan perilaku dalam penelitian ini terdiri dari 18 persamaan berikut : 1. CON S t = a 0 + a 1 YD t + a 2 LCONS t-1 + e t (3.2)

171 CGOV t = b 0 + b 1 RDOM t + b 2 DK t + b 3 LCGOV t-1 + e t (3.4) 3. INVT t = c 0 + c 1 PDBI + c 2 SBINV t + c 3 LINVT t-1 + e t (3.5) 4. INVG t = d 0 + d 1 SBI3 t + d 2 BMDL t + d 3 DK t + d 4 LINVT t-1 + e t 5. EXPO t = e 0 + e 1 EXRR t + e 2 IHE t + e 3 INVT t + e 4 GIWL t + e 5 EXPO t-1 + e t (3.6) (3.7) 6. IMPO t = f 0 + f 1 IHMt + f 2 PDBIt + f 3 LIMPO t-1 + e t (3.8) 7. RTAX t = g 0 + g 1 GDBIt + g 2 BTOT t + g 3 LRTAX t-1 + e t (3.11) 8. BPGW t = h 0 + h 1 PNS t + h 2 INFL t + h 3 RTAX t + h 4 DO t + h 5 LBPGW t-1 + e t (3.14) 9. BBRG t = i 0 + i 1 INVG t + i 2 TREV t + i 3 LBBRG t-1 + e t (3.15) 10. BMDL t = j 0 + j 1 RDOM t + j 2 DSPA t + j 3 LBMDL t-1 + e t (3.16) 11. BUTG t = k 0 + k 1 DFIS t +k 2 LIBOR3 t +k 3 DEBT t + k 4 LBUTG t-1 + e t (3.17) 12. SNBM t = l 0 + l 1 PUNEM t + l 2 NPOV t-1 + l 3 LSNBM t-1 + e t (3.18) 13. SBBMt = m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + j3lsbbmt-1 + (3.19) et 14. BDAK t = n 0 + l 1 RDOM t + l 2 PNPOV t + l 3 LBDAK t-1 + e t (3.21) 15. BDAUt = o 0 + o 1 RDOMt + o 2 PDBIt + o 3 LGPOPIt + o 4 DAUt-1 + et 16. BDBHt = p 0 + p 1 RMGSt + p 2 RNMGSt + p 3 GPDBIt+ p 4 LBDBHt-1 +et (3.22) (3.23) 17. PUNEMt = q 0 + q 1 WAGEt + q 2 TOTIt + q 3 LPUNEMt-1 + et (3.25) 18. NPOVt = r 0 + r 1 GPDBI t + r 2 TSUB t + r 3 PUNEM t + r 4 INFL t + r 5 LNPOV t-1 + e t (3.26) dimana : PDBI t = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) CONS t = Total konsumsi (Rp Miliar) CGOV t = Konsumsi pemerintah (Rp Miliar) INVT t = Total investasi (Rp Miliar) INVG t = Total Investasi Pemerintah (Rp Miliar) TOTI t = Total Investasi (Rp Miliar)

172 144 EXPOt = Ekspor (Rp Miliar) IMPO t = Impor (Rp Miliar) YD t = Pendapatan disposabel (Rp Miliar) DK t = Dummy Krisis SBINVt t = Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (persen) SBI3 t = Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (persen) EXRR t = Nilai Tukar Riil ($ US/Rp) IHE t = Indeks Harga Ekspor GIWL t = Pertumbuhan Ekonomi Dunia (persen ) IHM t = Indeks Harga Impor TREV t = Total penerimaan negara (Rp Miliar) RDOM t = Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) HBH t = Penerimaan dari hibah (Rp Miliar) RTAX t = Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) PNBP t = Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar) BTOT t = Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) BTUS t = Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) BTDR t = Belanja transfer daerah (Rp Miliar) BPGWt = Belanja Pegawai (Rp Miliar) BBRG t = Belanja Barang (Rp Miliar) BMDL t = Belanja Modal (Rp Miliar) BUTG t = Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) SNBM t = Subsidi Non BBM (Rp Miliar) SBBM t = Subsidi BBM (Rp Miliar) BLAIN t = Belanja lain-lain (Rp Miliar) PNS t = Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) INFL t = Tingkat Inflasi (persen) GPDBI t = Pertumbuhan Ekonomi (persen) DO t = Dummy otonomi daerah DSPA t = Dummy perubahan struktur APBN DFIS t = Defisit Anggaran (Rp Miliar) LIBOR3 t = Suku bunga Dunia Riil (persen) DEBT t = Stok Utang Pemerintah (RP Miliar) PUNEM t = Tingkat Pengangguran (juta orang) NPOV t-1 = Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) POIL t = Harga Minyak Mentah Dunia (Rp) IMPM t = Impor Migas (US$) RMGS t = Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) RNMGS t = Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar) 6.2. Hasil Pendugaan Model Blok Pendapatan Nasional Blok pendapatan nasional merupakan blok yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam menciptakan pendapatan nasional. Seperti diketahui bahwa

173 145 perhitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari sektor Konsumsi, Investasi, Pemerintah dan Sektor Luar Negeri. Dengan demikian dalam model persamaan pendapatan nasional merupakan persamaan identitas, bukan persamaan perilaku. Masing-masing variabel yang membentuk pendapatan nasional mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antar variabel pada blok pendapatan nasional maka akan dilakukan pendugaan terhadap perilaku masingmasing variabel. Dalam blok pendapatan nasional terdapat enam (6) persamaan perilaku yaitu persamaan Konsumsi Rumah Tangga (CONS), Konsumsi Pemerintah (CONG), Investasi Swasta (INVT), Investasi Pemerintah (INVG), Ekspor (EXPO), dan Impor (IMPO). Hasil dari pendugaan model diketahui bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh variabel lag atau konsumsi tahun sebelumnya dan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Hasil pendugaan perilaku konsumsi rumah tangga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa respon konsumsi rumah tangga terhadap perubahan pendapatan disposable cukup elastis dalam jangka panjang. Pengaruh variabel lag yang signifikan menunjukkan pola konsumsi masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak banyak berpengaruh terhadap pola dan distribusi pendapatan disposable masyarakat.

174 146 Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini (Gini Coefficient) Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan bahwa kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1 ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada level 0.36 dan Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat. Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Variable Intercept Intercept Yd <.0001 a Disposable Income LCONS <.0001 a Lag Konsumsi Swasta Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan melalui Pajak Penghasilan (PPh) masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun

175 147 juga harus dibebankan Pada Pajak Pertambahan nilai (PPn) untuk barang-barang mewah. Sementara mekanisme subsidi harus ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, baik melalui subsidi input maupun subsidi output. Subsidi input dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas pembiayaan maupun peralatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga para pelaku UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memperoleh peningkatan pendapatan. Konsumsi rumahtangga merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan pendapatan nasional di Indonesia. Porsi konsumsi rumah tangga rata-rata menyumbang hampir 60 persen terhadap total pendapatan nasional. Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Besarnya porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi ini ibarat pedang bermata dua. Satu sisi besarnya konsumsi, melalui efek pengganda (multiplier effect), akan berdampak positif mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Disisi lain, besarnya konsumsi menunjukkan tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Tentu saja kondisi ini akan mempengaruhi besaran pembentukan modal tetap yang akan diinvestasikan dalam perekonomian. Sementara itu hasil pendugaan untuk perilaku konsumsi pemerintah (CONG) menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah dipengaruhi secara positif oleh penerimaan domestik, pengaruh krisis ekonomi dan konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Namun variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah adalah variabel lag nya atau konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pola belanja pemerintah tidak mengalami banyak perubahan hanya berdasarkan pola historis tahun

176 148 sebelumnya. Sementara itu penerimaan domestik hanya memiliki elastisitas yang relatif kecil terhadap besarnya konsumsi pemerintah. Dalam jangka pendek elastisitas penerimaan domestik terhadap konsumsi pemerintah hanya 0.04 dan dalam jangka panjang sebesar Artinya penerimaan domestik tidak signifikan mempengaruhi konsumsi pemerintah. Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi pemerintah adalah konsumsi pemerintah tahun sebelumnya. Koefisien parameter lag konsumsi pemerintah adalah sebesar Dengan demikian berarti pola dan perilaku konsumsi pemerintah lebih banyak merujuk pada pola tahun sebelumnya. Atau dengan kata lain, faktor yang menentukan besarnya konsumsi pemerintah adalah menggunakan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Hal ini juga bisa dilihat bahwa hampir tidak pernah ada perubahan yang signifikan dalam pola konsumsi pemerintah. Pola konsumsi pemerintah tercermin dalam komposisi belanja rutin, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja pembayaran utang, dan belanja lain-lain. Hampir tiap tahun komposisi belanja rutin tidak ada perubahan yang signifikan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pemerintah adalah pengaruh krisis ekonomi. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi konsumsi pemerintah mengalami perubahan yang signifikan, antara lain disebabkan oleh peningkatan inflasi, suku bunga dan fluktuasi nilai tukar. Inflasi telah menyebabkan hargaharga meningkat tajam sehingga menambah beban pengeluaran konsumsi pemerintah. Inflasi telah mendorong kenaikan porsi belanja rutin pemerintah, utamanya yaitu belanja pegawai, belanja barang dan subsidi. Sementara

177 149 kenaikkan suku bunga dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah. Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable RDOM a Penerimaan dalam Negeri dk b Dummy Krisis LCONG <.0001 a Lag Cons Pemerintah Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05 Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi. Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap

178 150 investasi hanya sebesar dan Artinya investasi swasta di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga riil. Kondisi ini dapat juga dipengaruhi oleh adanya rigiditas perubahan suku bunga. Tingkat suku bunga investasi di Indonesia relatif sangat rigid atau kaku untuk berubah. Kekakuan ini antara lain disebabkan pengaruh struktur perbankan di Indonesia yang cenderung oligopoli atau terjadi kartel. Pangsa pasar perbankan hanya didominasi oleh beberapa bank besar saja. Rendahnya pengaruh perubahan suku bunga riil terhadap investasi juga menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain diluar suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap investasi. Variabel lain yang menentukan minat investasi diluar faktor suku bunga, diantaranya seperti faktor iklim investasi, cost of doing bussines dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Swasta Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable SBINV Suku Bunga Investasi PDBI a Produk Domestik Bruto LINVT <.0001 a Lag Investasi Swasta Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Rendahnya minat investasi swasta di Indonesia disebabkan adalah iklim investasi yang tidak kondusif, seperti berbelitnya proses perijinan dan lamanya birokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain iklim investasi di Indonesia masih kurang menarik. Hal ini ditunjukkan oleh peringkat daya tarik investasi Indonesia masih berada para peringkat ke 129. Rendahnya peringkat daya tarik

179 151 Indonesia untuk berinvestasi bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki potensi untuk berinvestasi. Potensi sumber daya (resource base) Indonesia sangat berlimpah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Investor kurang tertarik berinvestasi di Indonesia karena lamanya proses perijinan untuk mulai berinvestasi (45 hari) dan banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha sebagaimana ditunjukkan Tabel 30. Tabel 30. Biaya Transaksi Perijinan Mulai Usaha NEGARA Peringkat Daya Saing Jumlah Hari Mulai Bisnis Jumlah Prosedur Mulai Bisnis Biaya (% thd Pendapatan/ kapita) Singapura ,7 Malaysia ,4 Thailand ,2 Brunei ,8 Vietnam ,6 INDONESIA ,9 Filipina ,2 Kamboja ,7 Laos ,6 Sumber : World Bank, 2011 Kondisi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh perilaku investasi pemerintah. Tabel 31 menunjukkan hasil pendugaan terhadap Investasi Pemerintah, dimana Investasi pemerintah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga SBI, krisis ekonomi dan belanja modal. Tingkat suku bunga SBI dan krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif sementara belanja modal mempunyai hubungan yang positif terhadap investasi pemerintah. Jika terjadi kenaikkan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi Pemerintah sekitar Rp581 miliar. Demikian juga krisis ekonomi telah berdampak pada berkurangnya investasi pemerintah. Dengan adanya krisis pengeluaran

180 152 pemerintah yang bersifat rutin meningkat sehingga porsi pengeluaran untuk investasi jadi semakin berkurang. Faktor lain yang menentukan besarnya Investasi Pemerintah adalah belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan untuk investasi. Sayangnya, belanja modal yang menjadi investasi pemerintah relatif sangat kecil. Jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp1 miliar maka investasi pemerintah hanya naik sebesar Rp 0,29 miliar. Artinya dari besarnya belanja modal pemerintah, hanya sekitar 30 persen yang berbentuk investasi pemerintah. Hal ini sekaligus mengindikasikan terjadinya inefisiensi, kebocoran atau ketidak efektifan dari belanja modal pemerintah. Ketidakefektifan belanja modal bisa jadi dipengaruhi oleh pola penyerapan anggaran yang buruk, dimana rata-rata penyerapan anggaran terkonsentrasi pada triwulan III dan bahkan akhir triwulan IV. Dengan singkatnya waktu penyerapan anggaran, niscaya akan berdampak pada kualitas penyerapan anggaran. Belanja modal yang yang dialokasikan dengan waktu kurang dari 6 bulan, tentu tidak akan menghasilkan pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari investasi pemerintah. Rendahnya porsi belanja modal dan singkatnya waktu penyerapan anggaran berakibat pada alokasi belanja modal tidak sepenuhnya diperuntukkan pada pembangunan infrastruktur baru. Pembangunan infrastruktur hanya berupa perbaikan dari infrastruktur yang telah ada dan hanya bersifat tambal sulam. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, dimana dengan proporsi belanja modal yang sangat kecil masih menghadapi kualitas alokasi anggaran yang tidak tepat.

181 153 Permasalahan ini akan berimplikasi pada efektifitas peranan belanja modal yang seharusnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hasil pendugaan persamaan ini hanya memiliki derajat kepercayaan sebesar 57.9 persen, namun mempunyai tingkat kesalahan yang relatif kecil, yaitu kurang dari 1 persen. Artinya secara statistik pendugaan ini signifikan, namun masih ada variabel lain yang mempengaruhi perilaku investasi pemerintah diluar faktor suku bunga dan belanja modal. Tabel 31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah Parameter Elastisitas Variable Pr > t Estimate Variable E SR Intercept Intercept E LR SBI c SBI3 BMDL b Belanja Modal dk b Dummy Krisis LINVG a Lag Invesasi Pemerintah Uji F =11.67 Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05 dan Hasil pendugaan pada persamaan ekspor menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai tukar rupiah. Elastisitas nilai tukar riil terhadap ekspor Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya ketika nilai tukar riil mengalami depresiasi 1 persen, maka dalam jangka pendek ekspor hanya meningkat sebesar 0.01 persen. Tingkat respon yang rendah antara ekspor dengan nilai tukar riil ini disebabkan karena besarnya bahan baku impor pada struktur produk-produk ekspor Indonesia. Jadi ketika rupiah mengalami depresiasi, tidak secara otomatis akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dari sisi harga.

182 154 Disamping itu, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas primer yang memiliki permintaan inelastis terhadap perubahan harga. Tabel 32 menunjukkan disamping dipengaruhi nilai tukar riil, kinerja ekspor juga dipengaruhi secara positif oleh indeks harga ekspor, investasi swasta dan permintaan dunia. Namun ketiga variabel ini juga mempunyai tingkat respon yang inelastis terhadap perubahan. Indeks harga ekspor hanya mempunyai elastisitas sebesar 0.19 dan permintaan dunia sebesar Sementara investasi swasta relatif cukup mempunyai dampak terhadap kinerja ekspor dengan elastisitas sebesar Variabel lag tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor dikarenakan kinerja ekspor sangat dinamis tergantung pada kondisi perekonomian global. Tabel 32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor Variable Parameter Estimate Elastisitas E SR E LR Pr > t Intercept Intercept Variable EXRR Nilai Tukar Riil IHE <.0001 a Indeks Harga Export INVT <.0001 a Investasi Swasta GIWL c Pertumb. Ekonomi Dunia Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan Sementara itu hasil pendugaan dari persamaan impor pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap impor. Setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar Rp1 miliar berpengaruh pada peningkatan impor sebesar 0.21 miliar. Atau dalam jangka pendek setiap terjadi kenaikkan pendapatan nasional 1 persen maka akan terjadi peningkatan impor sebesar 0.64 persen. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi penurunan

183 155 pendapatan nasional, penurunan permintaan impor juga tidak terlalu signifikan. Dalam jangka panjang hubungan pendapatan nasional dengan permintaan impor cukup elastis, yaitu sebesar Demikian juga indeks harga impor mempunyai hubungan yang sangat tidak elastis terhadap permintaan impor. Setiap terjadi kenaikan indeks harga impor 1 persen hanya berdampak penurunan permintaan impor sebesar 0.08 dalam jangka pendek dan 0.22 dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat tinggi, sehingga perubahan harga tidak akan berdampak signifikan terhadap perilaku impor. Hal ini disebabkan permintaan impor Indonesia tidak hanya terbatas pada barang konsumsi, namun juga permintaan terhadap impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal. Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Impor Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept IHM c IHM Variable PDBI a Produk Domestik Bruto LIMPO <.0001 a Lag Import Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan Blok Fiskal Pada blok fiskal akan dianalisis mengenai perilaku penerimaan pemerintah dan perilaku belanja pemerintah. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka porsi analisis untuk belanja pemerintah akan lebih detail per jenis belanja. Sementara perilaku penerimaan pemerintah hanya akan dianalisis dari perilaku total penerimaan yang bersumber dari pajak. Seperti diketahui kontributor terbesar

184 156 dari penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karenanya dalam model simultan ini, hanya perilaku penerimaan pajak yang akan diestimasi. Hasil pendugaan model perilaku Pajak pada Tabel 34 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan ekonomi. Namun, kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan penerimaan pajak relatif masih sangat kecil, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka penerimaan pajak hanya meningkat sebesar 0.03 persen dalam jangka pendek dan 0.04 dalam jangka panjang. Respon ini sekaligus menunjukkan masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, dimana tax ratio Indonesia baru mencapai 12.5 persen terhadap GDP. Sementara total belanja pemerintah berpengaruh relatif lebih elastis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Setiap kenaikkan 1 persen total belanja pemerintah, berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sebesar 0.94 persen dalam jangka pendek dan 1.07 persen dalam jangka panjang. Artinya total belanja pemerintah relatif mampu mendorong peningkatan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami karena kontributor utama penerimaan pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan dan pertambahan nilai. Sementara komponen terbesar total belanja pemerintah adalah untuk belanja pegawai, sehingga ketika terjadi peningkatan belanja pemerintah akan diikuti dengan penerimaan pajak. Tabel 34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable GPDBI c Pertumbuhan Ekonomi BTOT <.0001 a Total Belanja LRTAX b Lag Perimaan dari Pajak Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, dan 0.10

185 157 Sisi blok fiskal yang lain ada blok belanja pemerintah yang akan dianalisis secara detail per jenis belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun belanja transfer daerah. Belanja Pemerintah pusat terdiri dari enam (6) persamaan, yaitu Belanja Pegawai (BPGW), Belanja Barang (BBRG), Belanja Modal (BMDL), Pembayaran Bunga Utang (BTUG), dan Belanja Subsidi BBM (SBBM), dan Belanja Subsidi Non BBM (SNBM). Sementara pendugaan terhadap belanja transfer daerah terdiri 3 persamaan yaitu belanja Dana Alokasi Umum (BDAU), Belanja Dana Alokasi Khusus (BDAK), dan Belanja Dana Bagi Hasil (BDBH) Belanja Pegawai Belanja pegawai merupakan jenis belanja rutin dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, baik untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS) maupun untuk gaji Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI). Gambar 32 menunjukkan komposisi dari alokasi belanja pegawai selama tahun Komponen terbesar belanja pegawai adalah untuk pembayaran uang pensiun dan uang tunggu. Komposisi belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk PNS dan TNI/POLRI hampir sama, dimana kebutuhan untuk pembayaran gaji PNS mencapai sekitar Rp31 triliun dan untuk TNI/POLRI sekitar Rp28 triliun. Diluar untuk gaji dan tunjangan, komponen belanja pegawai juga dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pejabat negara sekitar 568 miliar dan untuk honorarium, lembur dan vakasi sekitar Rp5.6 triliun. Alokasi belanja pegawai dalam APBN merupakan belanja rutin dan mengambil porsi terbesar dalam komposisi belanja pemerintah pusat. Tingginya beban belanja pegwai terkait dengan luasnya wilayah teritorial Indonesia, sehingga memerlukan jumlah aparatur pemerintahan yang cukup besar.

186 158 Lainnya Tunjangan Kesehatan Veteran Belanja Asuransi Kesehatan Belanja Pensiunan dan Uang Tunggu Tunjangan Khusus & Belanja Pegawai Honorarium, Lembur, Vakasi Gaji dan Tunjangan Non Gaji dan Tunjangan Pejabat Negara Gaji dan Tunjangan TNI/POLRI Gaji dan Tunjangan PNS Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun Hasil pendugaan dari persamaan belanja pegawai pada Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah PNS, penerimaan pajak dan kebijakan pemekaran wilayah mempunyai pengaruh yang positif terhadap besarnya belanja pegawai. Kebijakan pemekaran wilayah sejak tahun 2001 mempunyai hubungan dan dampak signifikan terhadap besarnya belanja pegawai. Akibat kebijakan pemekaran wilayah ini, terjadi peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang signifikan dan berujung pada meningkatnya gaji pegawai. Hasil dari pendugaan model, akibat kebijakan pemekaran wilayah ini berdampak pada peningkatan belanja pegawai sekitar Rp 9.4 triliun. Peningkatan belanja pegawai disamping disebabkan oleh peningkatan jumlah PNS, juga disebabkan oleh inflasi dan penerimaan pajak. Untuk mengimbangi laju inflasi, pemerintah telah melakukan kenaikan gaji berkala

187 159 untuk PNS. Sumbangan inflasi terhadap peningkatan belanja pegawai sebesar 0.02 persen dalam jangka pendek. Penerimaan pajak mempunyai elastisitas sedikit lebih besar daripada inflasi yaitu 0.20 persen. Secara umum variabel yang paling signifikan terhadap besarnya belanja pegawai adalah belanja pegawai tahun sebelumnya. Komposisi belanja pegawai juga hanya mengikuti pola dari tahuntahun sebelumnya. Artinya struktur besarnya gaji pokok, tunjangan, honorarium dan sebagainya sudah ditentukan polanya. Terbukti walaupun terjadi kenaikkan gaji berkala dari gaji PNSdan TNI/Polri namun jumlah dan besarnya sudah ditentukan secara fixed dengan formula yang ada. Jadi perubahan besarnya gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri tidak serta merta mengikuti perkembangan inflasi maupun besarnya penerimaan negara dari pajak. Kenaikkan besarnya gaji pegawai lebih ditentukan keputusan politik dari pemerintah. Tabel 35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept PNS c Jumlah PNS INFL Tingkat Inflasi Variable RTAX b Penerimaan Pajak DO b Dummy Otonomi Daerah LBPGW <.0001 a Lag Belanja Pegawai Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, dan Belanja Barang Belanja barang adalah alokasi anggaran untuk membiayai keperluan operasional birokrasi, baik dalam bentuk pembelian barang maupun jasa. Komponen terbesar belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang

188 160 operasional, seperti Alat Tulis Kantor (ATK), peralatan serta untuk keperluan perjalanan dinas. Dari gambar 30 dapat dilihat, alokasi belanja barang terbesar adalah untuk belanja barang operasional, yaitu selama rata-rata sebesar Rp21 triliun dan untuk belanja barang non operasional sekitar Rp14 triliun. Komposisi antara belanja barang operasional dan non operasional ini hampir setara, sehingga besar kemungkinan terjadinya peluang tumpang tindih atau doble anggaran. Komponen yang cukup besar berikutnya adalah belanja perjalanan dinas yang mencapai 12.5 triliun, yang meliputi perjalanan dinas di dalam dan ke luar negeri. Porsi perjalanan dinas menyedot alokasi anggaran cukup besar jika dibandingkan dengan total belanja yang dibutuhkan untuk belanja barang operasional maupun non operasional. Porsi perjalanan dinas mencapai 12.5 persen, hampir sama dengan porsi belanja non operasional 14.9 persen. Perjalanan dinas yang berkontribusi besar adalah perjalanan dinas ke luar negeri. Belanja Barang BLU Perjalanan Belanja Jasa Barang Non Operasional Barang Operasional Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun

189 161 Hasil estimasi terhadap persamaan belanja barang Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel investasi Pemerintah, total penerimaan negara dan variabel lag belanja barang memiliki hubungan dengan arah positif terhadap belanja barang. Idealnya besarnya belanja barang sejalan dengan besarnya investasi pemerinatah. Karena belanja barang digunakan untuk menunjang kebutuhan operasional mapun non operasional dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Belanja barang dan investasi pemerintah mempunyai hubungan yang inelastis. Setiap kenaikan investasi pemerintah sebesar 1 persen hanya berpengaruh pada peningkatan belanja barang sebesar 0.03 persen. Artinya penentuan besarnya kebutuhan belanja barang tidak ditentukan oleh volume kegiatan pemerintah. Padahal setiap investasi pemerintah mustinya harus dibarengi dengan biaya operasional seperti biaya pemeliharaan dari aset-aset pemerintah. Namun hubungan belanja barang dan investasi pemerintah ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Belanja barang juga tidak dipengaruhi cukup elastis oleh total penerimaan negara. Elastisitas jangka pendek penerimaan negara terhadap belanja barang hanya sebesar Namun dalam jangka panjang total penerimaan negara mempunyai hubungan yang sangat elastis terhadap belanja barang, yaitu Faktor yang paling signifikan mempengaruhi belanja barang adalah variabel lag belanja barang itu sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa pola belanja pemerintah hanya mengikuti pola belanja yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir tidak ada perubahan dari komposisi belanja barang dari tahun ke tahun. Faktor fundamental, seperti kegiatan pemerintah yang di proksi dari Investasi Pemerintah, yang seharusnya berpengaruh paling signifikan

190 162 terhadap belanja barang justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik. Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable INVG Investasi Pemerintah TREV a Total Penerimaan LBBRG <.0001a Lag Belanja Barang Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf Belanja Modal Belanja modal memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian. Belanja modal dapat digunakan untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur yang memadai maka akan mendorong terjadinya peningkatan investasi dan peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan Investasi juga akan berdampak pada peningkatan kinerja ekspor dan dapat mengurangi permintaan impor. Dengan adanya peningkatan belanja modal maka peranan stimulus fiskal dalam perekonomian akan lebih optimal. Penggunaan belanja modal terbesar adalah untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan. Ketiga infrastruktur ini memang sangat besar peranannya dalam menunjang kinerja sektor riil. Disamping itu pembangunan infrastruktur, belanja modal juga dipergunakan untuk pembelian peralatan dan mesin untuk kebutuhan jangka panjang atau bersifat investasi. Sementara peralatan untuk keperluan operasional dialokasikan dari belanja barang. Namun data selama tahun , belanja modal juga dipergunakan untuk pembangunan gedung dengan porsi yang masih cukup signifikan, yaitu mencapai Rp14 triliun. Sementara untuk

191 163 pembangunan infrastruktur jalan hanya sekitar Rp28 triliun, serta peralatan dan mesin sebesar Rp21 triliun. BLU, Bergulir & lainnya Fisik Lainnya Pemeliharaan Jalan, irigasi, Jaringan Gedung Peralatan & Mesin Tanah Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun Hasil estimasi pada persamaan belanja modal Tabel 37 menunjukkan penerimaan dalam negeri mempunyai hubungan yang positif namun hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap besarnya belanja modal. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp1 miliar yang dialokasikan untuk belanja modal hanya sebesar Rp 0.03 miliar. Karenanya, elastisitas penerimaan domestik terhadap belanja modal hanya sebesar 0.22 dalam jangka pendek dan 0.55 dalam jangka panjang. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya proporsi belanja modal pada struktur belanja pemerintah. Padahal belanja modal semestinya merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri. Karena dengan adanya peningkatan belanja modal, maka akan meningkatkan investasi, ekspor dan juga konsumsi. Peningkatan sektor-sektor

192 164 tersebut yang pada akhirnya menjadi sumber penerimaan negara baik melalui mekanisme pajak maupun non pajak. Dalam model ini juga ditunjukkan adanya pengaruh perubahan struktur anggaran terhadap belanja modal. Sebelum tahun 2001, komponen belanja modal merupakan belanja pembangunan. Dalam komponen belanja pembangunan juga termasuk dalam belanja pembangunan yang diperuntukkan untuk daerah. Sementara setelah tahun 2001, komponen belanja modal hanya merupakan komponen belanja pemerintah pusat. Tabel 37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable RDOM a Penerimaan Dalam Negeri DSPA Dummy Perubahan Anggaran LBMDL a Lag Belanja Modal Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf Belanja Pembayaran Bunga Utang Komponen belanja pembayaran bunga utang terbesar adalah untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan bunga utang dalam negeri. Data selama menunjukkan beban bunga utang dalam negeri jangka panjang ratarata mencapai Rp 27 triliun. Sementara beban pembayaran utang luar negeri jangka panjang telah mencapai Rp 55 triliun. Disamping pembayaran beban bunga utang jangka panjang, belanja bunga juga harus dialokasikan untuk pembayaran imbalan dan discount terhadap Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Utang Negara (SUN). Dalam tiga tahun terakhir jumlah SBSN

193 165 maupun SUN telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran imbal jasa SUN dan SBSN. Pembayaran Denda Imbalan SBSN DN Loss on Bound Redemption Buy Back SUN LN Discount SUN DN Imbalan SBSN LN Imbalan SBSN DN Bunga Utang LN-Jangka Panjang Bunga Utang DN-Jangka Panjang Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun Hasil pendugaan dari persamaan belanja pemerintah untuk pembayaran bunga utang Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi besarnya beban pembayaran bunga utang adalah besarnya akumulasi atau stok utang pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya penambahan utang baru pemerintah secara terus menerus. Elastisitas stok utang pemerintah terhadap beban pembayaran bunga utang adalah sebesar 0.64 dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang elastisitasnya lebih rendah yaitu Hal ini dikarenakan dalam jangka panjang stok utang pemerintah tentu mengalami penurunan akibat pembayaran cicilan pokok utang.

194 166 Besarnya pengaruh akumulasi utang terhadap beban pembayaran bunga disebabkan oleh kebijakan defisit fiskal yang selalu ditutup dengan utang baru. Hasil pendugaan, defisit fiskal mempunyai hubungan yang positif terhadap beban pembayaran bunga dengan taraf kepercayaan = 10%. Dengan demikian kebijakan defisit anggaran yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada peningkatan beban anggaran itu sendiri pada tahun berikutnya. Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang Parameter Variable Estimate Elastisitas E SR E LR Pr > t Variable Intercept Intercept DFIS c Defisit Fiskal LIBOR LIBOR3 DEBT <.0001 a Stok Utang Pemerintah LBUTG <.0001 a Lag Belanja Pemby. Utang Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan Hal yang menarik dari pendugaan perilaku persamaan pembayaran bunga ini adalah bahwa suku bunga internasional mempunyai hubungan yang tidak signifikan secara statistik. Suku bunga internasional yang di proxy dari suku bunga LIBOR 3 bulan merupakan variabel yang menentukan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Jika hasil pendugaan besarnya tingkat bunga secara statistik tidak signifikan artinya bahwa beban terbesar beban pembayaran bunga utang bukan terletak pada besar kecilnya tingkat suku bunga, namun namun pada besarnya akumulasi utang pemerintah. Tingkat suku bunga yang rendah sering menjadi justifikasi atau pembenaran pemerintah untuk selalu menambah utang baru. Walaupun dengan suku bunga yang rendah, namun jika

195 167 stok utang pemerintah terus bertambah maka beban pembayaran bunga akan sangat besar. Elastisitas suku bunga riil terhadap beban pembayaran utang pemerintah juga relatif tidak elastis. Hal ini disebabkan hampir semua utang Pemerintah adalah utang jangka panjang dimana beban tingkat suku bunga sudah ditentukan secara tertentu pada awal perjanjian. Artinya perubahan tingkat suku bunga pada utang pemerintah relatif kecil. Oleh sebab itu, kedepan faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan besar kecilnya utang baru adalah tidak hanya memperhatikan rendahnya tingkat bunga namun juga posisi stok atau akumulasi utang pemerintah. Pemerintah selalu menggunakan indikator untuk mengukur tingkat aman dari utang pemerintah adalah rasio utang terhadap GDP dan rasio utang terhadap ekspor. Likuiditas perekonomian seharusnya dilihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hanya dilihat dari rasio stok utang terhadap GDP, dimana pada tahun 2010 rasio utang Indonesia masih dalam level 41.9 persen memang masih berada pada level batas aman. Namun pembayaran bunga dan pokok utang ini kini sudah menjadi beban berat dalam APBN. Tabel 39 menunjukkan bahwa rasio beban bunga dan pokok terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 17.5 persen dan terhadap penerimaan pajak sebesar 24 persen. Artinya bahwa sekitar 24 persen dari hasil penerimaan pajak dari masyarakat habis untuk membayar bunga utang pemerintah. Apalagi jika dilihat dari posisi akumulasi utang pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri sudah mencapai persen. Besarnya akumulasi utang ini berpotensi menimbulkan jebakan utang (debt trap).

196 168 Tabel 39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia (Rp Miliar) No Uraian A Pendapatan Nasional (GDP) B Penerimaan Dalam Negeri C Penerimaan Pajak D Total Belanja Pusat E Pembayaran Bunga Utang F Pembayaran Bunga + Pokok ,577 57, ,681 G Stok Utang Pemerintah (%) Rasio E terhadap B Rasio E terhadap C Rasio E terhadap D Rasio F terhadap B Rasio F terhadap C Rasio F terhadap D Rasio G terhadap A Rasio G terhadap B Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Berbagai Tahun Belanja Subsidi Non BBM Kebijakan belanja subsidi Non BBM terbesar adalah untuk subsidi listrik, selebihnya dengan porsi yang relatif kecil diperuntukkan untuk subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih dan lainnya. Subsidi non BBM ini idealnya adalah ditujukan untuk program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguaran. Subsidi non BBM semestinya tidak hanya ditujukan untuk program-program peningkatan konsumsi masyarakat seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dan Beras untuk masyarakat miskin (Raskin). Subsidi Non BBM akan lebih baik kalau dialokasikan untuk kegiatan yang meningkatkan produktifitas, seperti subsidi benih, peralatan pertanian ataupun subsidi pupuk. Dengan demikian akan dapat meningkatkan produktifitas di sektor

197 169 pertanian dan dengan sendirinya akan berkontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Subsidi juga dapat diberikan pada pemotongan pajak untuk usaha kecil dan menengah agar masyarakat miskin dapat meningkatkan usaha produktif, sehingga akan meningkatkan investasi. Subsidi Lainnya Subsidi PSO Subsidi Pajak Subsidi Pupuk Subsidi Benih Subsidi Listrik Subsidi Pangan Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun Hasil pendugaan dari persamaan belanja subsidi non BBM pada Tabel 40 menunjukkan bahwa belanja subsidi Non BBM dipengaruhi secara positif oleh jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Besarnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran mempunyai hubungan positif terhadap besarnya belanja subsidi non BBM. Hal ini ditunjukan dengan koefisien parameter, dimana setiap kenaikkan 1 juta penduduk miskin, memerlukan tambahan alokasi belanja subsidi non bbm sebesar Rp170 miliar atau elastisitasnya sebesar Sayangnya belanja non subsidi BBm ini diberikan dalam bentuk Bantuan langsung tunai (BLT) yang hanya berpengaruh pada peningkatan konsumsi masyarakat. Juga

198 170 ketika jumlah pengangguran meningkat 1 persen, maka belanja subsidi non BBM naik sebesar Rp 343 miliar atau elastisitasnya sebesar Dalam jangka panjang, baik tingkat pengangguran maupun tingkat kemiskinan mempunyai hubungan yang sangat elastis (Tabel 38). Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable PUNEM Tingkat Pengangguran LNPOV Lag Juml. Penduduk Miskin LSNBM <.0001 a Lag Belanja Sub Non BBM Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf Belanja Subsidi BBM Belanja subsidi BBM memakan porsi terbesar dari besarnya subsidi yang diberikan pemerintah, terutama untuk subsdi premium, minyak tanah dan minyak solar (Tabel 3). Data 2008 menunjukkan penurunan besarnya subsidi untuk minyak tanah karena adanya program konversi terhadap gas elpiji. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa subsidi premium tidak tepat sasaran, karena penerimanya lebih banyak golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Besarnya subsidi BBM selalu menimbulkan kontroversi, hal ini dikarenakan BBM merupakan bahan bakar yang terkait langsung dengan kegiatan produksi maupun konsumsi masyarakat. Kenaikkan harga BBM pasti akan disertai dengan kenaikkan harga barang-barang dan akhirnya akan berdampak pada tingkat inflasi. Secara teoritis, sebanrnya inflasi tidak selalu berakibat negatif terhadap perekonomian. Kenaikan harga juga diperlukan untuk merangsang terjadinya peningkatan aggregat supply. Jika kenaikkan harga ini dapat dikendalikan maka

199 171 kenaikkan aggregat supply justru akan diikuti oleh kenaikkan permintaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Subsidi Elpiji Subsidi Minyak Tanah Subsidi Minyak Solar Subsidi Premium Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Gambar 36. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun Hasil estimasi dari persamaan belanja subsidi BBM pada Tabel 41 menunjukkan besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan besarnya impor migas. Faktor utama besarnya subsidi BBM, sebenarnya bukan terletak pada perubahan harga minyak dunia, namun lebih dikarenakan kebutuhan impor migas yang cukup besar. Dalam model ini harga minyak mentah dunia telah dikonversi dalam mata uang rupiah, sehingga dapat langsung dihubungkan dengan kebutuhan besarnya subsidi. Hasil estimasi menunjukkan setiap terjadi kenaikkan 1 persen harga minyak mentah dunia, menyebabkan kenaikkan kebutuhan belanja subsidi BBM sebesar 0.02 persen. Namun jika terjadi kenaikan impor migas, terutama BBM, akan meningkatkan belanja subsidi sebesar persen. Artinya, besarnya kebutuhan belanja subsidi BBM sebanrnya bukan disebabkan oleh kenaikkan harga minyak mentah dunia, tapi

200 172 karena besarnya kebutuhan impor migas untuk memenuhi tingginya permintaan BBM di dalam negeri. Sebagian besar kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri berasal dari impor. Bahkan Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. Padahal pada tahun 1980-an Indonesia masih menjadi negara net eksportir BBM. Peningkatan kebutuhan konsumsi terhadap BBM dalam negeri telah menyebabkan hubungan yang sangat erat antara besarnya kebutuhan impor dengan besarnya subsidi BBM. Setiap kenaikkan Rp1 miliar impor BBM telah berdampak pada peningkatan subsidi BBM sekiatar Rp1.34 miliar. Tabel 41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable POILR Harga Minyak Mentah Riil IMPM <.0001a Impor Migas LSBBM Lag Belanja Subsidi BBM Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a pada taraf 0.01 Permintaan terbesar konsumsi BBM adalah untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat, terutama kebutuhan premium. Ketiadaan transportasi publik yang memadai menyebabkan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat ini menyebabkan daya tampung ruas jalan menjadi tidak memadai. Akibatnya hampir di semua kota besar terjadi kemacetan, sehingga mengakibatkan pemborosan penggunaan BBM dan semakin meningkatnya kebutuhan BBM. Sementara pemerintah belum mempunyai grand strategi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Oleh karenanya setiap terjadi kenaikkan harga minyak dunia, pasti akan menimbulkan polemik

201 Belanja Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana transfer daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK diperuntukkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Kegiatan khusus daerah yang menjadi prioritas nasional utamanya adalah program pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Dengan demikian, semestinya besarnya alokasi DAK dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hasil pendugaan Belanja Dana Alokasi Khusus pada Tabel 42 menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat kemiskinan tidak mempunyai pengaruh yang cukup elastis (hanya 0.29 persen) dalam menentukan besarnya DAK. Namun pengaruh tingkat kemiskinan terhadap DAK cukup besar, dimana setiap kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan mengakibatkan belanja DAK meningkat sebesar Rp 4.09 triliun. Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Parameter Elastisitas Variabel Pr > t Estimate E SR E LR Intercept Intercept Variable RDOM <.0001 a Penerimaan dalam Negeri PNPOV Tingkat Kemiskinan LBDAK <.0001 a Lag Belanja Daerah DAK Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Namun hubungan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol atau tingkat kesalahan dari pendugaan ini cukup besar. Sementara penerimaan dalam negeri juga memiliki hubungan yang positif dengan belanja DAK, dengan

202 174 pengaruh yang tidak terlalu besar. Namun, secara statistik hubungan antara penerimaan dalam negeri dan belanja DAK mempunyai hubungan yang signifikan denagan tingkat = 0.01 dan ditunjukkan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil dibawah 1 persen Belanja Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk menjalankan tugas pelayanan pemerintahan di tingkat daerah. Oleh sebab itu, salah satu formulasi penentuan besarnya DAU adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah daerah. Hasil estimasi dari persamaan belanja DAU seperti dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya belanja DAU. Setiap kenaikan 1 juta jumlah penduduk berpengaruh pada peningkatan dana DAU sebesar Rp240 miliar. Atau peningkatan 1 persen jumlah penduduk berdampak pada peningkatan DAU sebesar 0.03 persen. Namun korelasi antara jumlah penduduk dan DAU ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Sementara jumlah penerimaan dalam negeri dan pendapatan domestik bruto juga berpengaruh positif. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1 miliar maka yang akan dialokasikan pada peningkatan belanja DAU sebesar Rp0.11 miliar. Atau setiap peningkatan 1 persen penerimaan domestik dialokasikan untuk belanja DAU sebesar 0.58 persen. Namun hubungan ketiga variabel tersebut dengan belanja DAU secara statistik tidak signifikan dengan tingkat kesalahan kesalahan pendugaan yang masih cukup besar. Variabel yang signifikan hanyalah besarnya belanja DAU pada tahun sebelumnya. Bisa jadi

203 175 penentuan formula besarnya DAU hanya mengikuti pada pola tahun-tahun sebelumnya saja. Tabel 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Dana Alokasi Umum Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable RDOM <.0001 a Penerimaan dalam Negeri PDBI Produk Domestik Bruto GPOPI Pertumbuhan Penduduk LBDAU <.0001 a Lag Belanja Daerah DAU Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf Belanja Dana Bagi Hasil Belanja Bagi hasil merupakan dana transfer daerah yang ditujukan untuk memenuhi asas keadilan dan pemerataan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui sumber daya alam baik yang berbentuk migas maupun non migas dihasilkan oleh daerah. Untuk itu harus adanya pembagian yang proporsional terhadap hasil sumber daya tersebut antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil pendugaan untuk persamaan Belanja Dana Bagi Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerimaan migas mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap belanja dana bagi hasil. Hal ini dikarenakan belanja bagi hasil sebagian besar berasal dari penerimaan migas. Setiap kenaikan Rp1 miliar penerimaan non migas yang dialokasikan untuk belanja bagi hasil sebesar Rp0,1 miliar atau elastisitasnya sebesar Sementara peningkatan penerimaan migas Rp1 miliar hanya berpengaruh terhadap besarnya dana bagi hasil sebesar Rp0.88 miliar atau elastisitas jangka pendeknya sebesar Disamping penerimaan, pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh signifikan, setiap

204 176 peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan belanja dana bagi hasil sebesar Rp78 miliar atau sebesar 0.03 persen. Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer daerah Dana Bagi Hasil Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable RNMGS <.0001 a Penerimaan Non Migas RMGS <.0001 a Penerimaan Migas GPDBI Pertumbuhan Ekonomi LBDBH <.0001 a Lag Belanja DBH Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf Blok Kinerja Perekonomian Pada blok kinerja perekonomian digunakan untuk mengukur perilaku dari indikator kinerja perekonomian, utamanya adalah pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskianan. Namun demikian, karena persamaan pertumbuhan ekonomi merupakan persamaan identitas bukan persamaan perilaku maka yang dapat diestimasi hanya persamaan tingkat kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Untuk melihat tingkat kesempatan kerja akan di proxy dengan perilaku tingkat pengangguran. Hasil estimasi dari persamaan tingkat pengangguran diketahui bahwa tingkat pengangguran sangat dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata tingkat upah riil. Jika tingkat upah riil naik sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran akan naik sebesar 0.42 persen. Sedangkan total investasi berpengaruh negatif dan secara statistik cukup signifikan terhadap tingkat pengangguran. Namun secara ekonomi, total investasi hanya berpengaruh kecil terhadap pengurangan pengangguran. Setiap kenaikkan 1 persen investasi total,

205 177 maka tingkat pengangguran akan turun sangat kecil sekali seperti yang ditunjukkan Tabel 45. Tabel 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Intercept Intercept Variable WAGE a Tingkat Upah TOTI -6.38E E E a Total Investasi LPUNEM <.0001 a Lag Tingk. Pengangguran Uji F = Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Relatif kecilnya pengaruh tingkat Investasi terhadap pengangguran ini disebabkan karena pertumbuhan tingkat investasi yang rendah dan pertumbuhan investasi terbesar berada pada sektor-setor non tradable. Sektor-sektor non tradabe seperti sektor jasa dan pengangkutan merupakan sektor yang relatif padat modal, sehingga tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara sektorsektor pertanian dan industri cenderung pertumbuhannya menurun dan menyerap investasi yang relatif rendah. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kenaikan tingkat upah riil dengan tingkat pengangguran disebabkan karena kondisi faktor pasar tenaga kerja yang mengalami over supply tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat pengangguran terbuka yang cukup besar. Disamping pengangguran terbuka, jumlah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh atau tingkat pengangguran terselubung mencapai 33 persen. Di tengah rendahnya tingkat Investasi kondisi pasar tenaga kerja yang seperti ini akan cenderung membuat upah riil cenderung tidak berubah atau rigid. Disisi lain tingginya tingkat inflasi membuat tuntutan pekerja terhadap kenaikkan upah menjadi suatu keniscayaan. Tuntutan kenaikkan

206 178 upah inilah yang mendorong meningkatnya biaya produksi dan selanjutnya cenderung berdampak pada menurunnya ekspansi penyerapan tenaga kerja. Tabel 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia Uraian PENDUDUK 15 THN KEATAS ANGKATAN KERJA (AK) Tingkat Partisipasi AK (%) a. Bekerja Tingkat kesempatan Kerja(%) i. Pekerja Penuh Penyerapan Kerja Penuh(%) ii. Pekerja Tidak Penuh Pengang. Terselubung (%) b. Pengangguran Terbuka Tingkat pengang.terbuka (%) BUKAN ANGKATAN KERJA a. Sekolah b. Mengurus Rumahtangga c. Lainnya Sumber : Sakernas, BPS Sementara itu hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif antara besarnya pertumbuhan ekonomi dan total subsidi pemerintah. Elastisitas jangka pendek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 0.01 dan dalam jangka panjang sebesar Artinya setiap kenaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 0.01 persen dalam jangka pendek dan 0.05 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak pro poor dan pro job. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu memperluas lapangan kerja sehingga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.

207 179 Demikian juga total subsidi pemerintah, elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang sangat kecil sekali seperti ditunjukkan Tabel 47. Artinya peningkatan belanja subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap upaya penurunan kemiskinan (pro poor). Hal ini dikarenakan upaya penangulangan kemiskinan oleh pemerintah hanya bersifat adhoc seperti BLT dan Raskin yang tidak berdampak pada pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan adanya tambahan Rp100 ribu per bulan maka sebagian penduduk miskin sudah bergeser dari garis kemiskinan Rp 233 ribu. Namun jika dilihat dari hasil pendugaan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, maka dapat tarik kesimpulan bahwa program BLT juga belum berpengaruh besar terhadap pergeseran penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Rendahnya pengaruh kebijakan subsidi terhadap pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa program subsidi yang seharusnya ditujukan untuk asas pemerataan dan keadilan bagi penduduk miskin tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan proporsi belanja subsidi terbesar adalah subsidi energi atau subsidi BBM. Dimana subsidi BBM sebagian besar yang menikmati adalah penduduk golongan menengah keatas. Sementara subsidi non BBM yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin porsinya relatif kecil. Faktor lain yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin adalah tingkat inflasi. Walaupun tingkat elastisitasnya jangka pendek maupun jangka pendek tidak cukup elastis, namun inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga-harga secara umum yang meningkat tajam membuat daya beli masyarakat menurun dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, tingkat pengangguran juga mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk. Pengangguran

208 180 yang meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Namun hubungan antara pengangguran dan jumlah penduduk miskin secara statististik tidak berbeda nyata dengan nol. Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin Variable Parameter Estimate E SR Elastisitas E LR Pr > t Variable Intercept Intercept GPDBI Pertumbuhan Ekonomi TSUB -5.23E E Total Subsidi PUNEM Tingkat Pengangguran INFL b Tingkat Inflasi LNPOV <.0001 a Lag Jumlah Penduduk Miskin Uji F =21.74 Prop F = <.0001 R2 = DW= Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi model yang digunakan adalah Root Means Percent Square Error (RMSPE) yaitu untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theil s Inequality Coefficient (U), bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil s, maka pendugaan model semakin baik (Pindyck and Rubinfield, 1991).

209 181 Tabel 48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah Variabel Keterangan N Obs Mean Actual Mean Predicted Mean Abs % Error RMSE % Error U CONS Konsumsi Rumah Tangga CONG Konsumsi Pemerintah INVT Investasi Swasta INVG Investasi Pemerintah EXPO Export IMPO Import BPGW Belanja Pegawai BBRG Belanja Barang BMDL Belanja Modal BUTG Belanja Peby. Bunga Utang SNBM Belanja Subsidi Non BBM SBBM Belanja Subsidi BBM BDAK Belanja Daerah DAK BDAU Belanja Daerah DAU BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil RTAX Penerimaan Pajak PUNEM Tingkat Pengangguran NPOV Jumlah Penduduk Miskin RDOM Penerimaan dalam Negeri PDBI Produk Domestik Bruto BTUS Total Belanja Pusat BTDR BTDR TOTB Total Belanja Pemerintah Dari 23 persamaan yang divalidasi terdapat 16 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 10 persen, 3 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 20 persen dan hanya satu persamaan yang RMSE 59 persen, yaitu persamaan belanja subsidi non BBM. Beberapa variabel yang memiliki RSMPE cukup besar ini tidak dapat dihindarkan karena beberapa variabel dalam model tersebut berbentuk persamaan identitas. Faktor lainnya adalah simulasi hanya dilakukan untuk data 6 tahun terakhir, sementara pendugaannya dilakukan untuk data selam 40 tahun, dimana struktur belanja pemerintah mengalami beberapa kali perubahan. Pemilihan 6

210 182 tahun terakhir dalam simulasi dengan pertimbangan struktur APBN mulai tahun 2006 sudah tidak mengalami perubahan lagi. Semua klasifikasi data sudah sama dan dengan sistem perhitungan data pada variabel makro ekonomi juga sama. Sedangkan dilihat dari nilai Theil s Inequality Coefficient (U), model ini dapat dijadikan sebagai sebuah evaluasi model untuk melihat alternatif kebijakan, karena rata-rata nilai U-Theil berada di bahwa Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi maupun alternatif kebijakan. Dalam kajian ini model tidak digunakan untuk meramalkan, melainkan hanya untuk melihat bagaimana dampak perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap kinerja perekonomian khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Hasil dari validasi model diringkas dalam Tabel Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Simulasi berangkat dari hipotesis bahwa jika proporsi belanja modal dinaikkan maka akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Terdapat 3 skenario yang akan dilakukan dalam simulasi kebijakan terkait dengan perubahan komposisi belanja pemerintah. Pada dasarnya, simulasi yang akan dilakukan adalah untuk melihat dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah. Skenario yang dilakukan adalah jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Pertimbangan kenaikan belanja modal

211 183 sebesar Rp 20 triliun adalah berdasarkan rata-rata besarnya defisit anggaran selama tahun adalah sekitar Rp 20 triliun. Idealnya kebijakan defisit anggaran adalah untuk tujuan stimulus fiskal, yaitu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendorong kinerja perekonomian. Stimulus fiskal yang efektif untuk memacu perekonomian adalah belanja modal terutama untuk pembangunan infrastruktur. Simulasi dilakukan dengan tahun dasar atau base line data antara tahun , dimana selama 6 tahun terakhir diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi aktual rata-rata sebesar 5.79 persen, dengan tingkat pengangguran sebesar 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 35 juta orang. Dari 3 simulasi akan diketahui komposisi belanja yang paling besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Adapun 3 simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. 2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 1 persen dari 0.29 menjadi Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.

212 Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Simulasi pertama, perubahan komposisi belanja pemerintah pusat dilakukan melalui pergeseran dari belanja pegawai, belanja subsidi BBM, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang dimana masing-masing dikurangi sebesar Rp5 trliun. Dengan demikian terdapat penghematan belanja pemerintah pusat sebesar Rp 20 triliun dan dialokasikan untuk peningkatan belanja modal. Dalam skenario pertama ini diasumsikan belum ada perubahan dari pola belanja pemerintah. Dampak dari pergeseran ini berdampak pada pengurangan belanja pegawai sebesar 4.23 persen, belanja barang turun 9.43 persen, belanja subsidi BBM turun 4.07 persen dan belanja pembayaran bunga utang turun 6.46 persen. Pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, penurunan belanja pegawai. Penurunan belanja pegawai dapat dilakukan melalui beberapa langkah : (1) melakukan relokasi dan resdistribusi PNS penempatan PNS. Seperti diketahui, setiap terjadi kebijakan pemekaran wilayah maka akan diikuti dengan penerimaan PNS baru. Kebutuhan PNS untuk daerah pemekaran sebenarnya dapat dilakukan dengan menggeser penempatan PNS dari tempat asal daerah pemekaran atau menggeser PNS dari tempat yang kurang produktif. Demikian juga ketika terjadi pembentukan lembaga negara baru atau badan baru tidak serta merta diikuti dengan rekruitmen PNS baru, dan (2) moratorium Pegawai Negeri Sipil, penghentian sementara untuk penerimaan PNS baru baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selama tahun terjadi peningkatan PNS yang sangat drastis. Dari Tabel 49 dapat dilihat pada tahun 2007 jumlah PNS mengalami peningkatan

213 185 sebesar 9.18 persen. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah PNS naik sebesar 10.8 persen. Tabel 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun Tahun Jumlah % Pertumbuhan , , , , , , ,63 Sumber : Badan Kepegawaian Negara, 2010 Kedua, Pengurangan subsidi BBM. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi alokasi subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Hasil pendugaan sebelumnya menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Selama tahun rata-rata porsi subsidi BBM mencapai sekitar Rp 129 triliun. Hasil pembahasan di bab sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, karena yang menikmati adalah lebih banyak golongan menegah keatas. Disisi lain, BBM merupakan sumber energi utama. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM cukup besar, tidak hanya untuk kebutuhan transportasi tapi juga untuk kepentingan produksi. Apalagi sumber energi utama lainnya seperti listrik juga masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakunya. Dengan demikian jika subsidi BBM dikurangi, dikhawatirkan akan mempunyai efek ganda

214 186 (multiplier effect) sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Kekhawatiran tersebut dijawab dengan hasil hasil penelitian Ikhsan (2005), menyebutkan bahwa elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 50 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi secara langsung sebesar 2.8 persen. Jika diperhitungkan dampak tidak langsung, dimana kenaikkan BBM juga akan mendorong kenaikan harga input lain, maka dapat dihitung dengan dikalikan proporsi biaya produksi yang berasal dari non- BBM, maka diperoleh dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi antara 2.6 persen-2.7 persen. Jadi, dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi bervariasi antarai 3.8 persen persen. Tampak jelas bahwa karena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya non BBM, maka kenaikkan harga BBM sebenarnya akan berkontribusi besar terhadap inflasi. Alasan paling fundamental pengurangan subsidi BBM ini adalah karena subsidi BBM tidak tepat sasaran. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen. Sementara 25 kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen. Disamping itu, BBM bersubsidi terbesar adalah untuk Premium yaitu sebesar 60 persen, sisanya untuk minyak solar 34 persen dan minyak tanah 6 persen. Gambar 37 menunjukkan penggunaan premium terbesar adalah untuk transportasi darat sebesar 89 persen, khususnya untuk mobil pribadi sebesar 53 persen dan Motor sebesar 40 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi terbesar adalah untuk kendaraan pribadi yaitu hampir mencapai 93

215 187 persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah menciptakan transportasi massa (publict transport) yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM. Perikanan 3% Umum 3% Usaha Kecil Rumah Tangga Transportasi Air Transportasi 1% 6% 1% 89% Mobil Mobil Motor 4% 53% 40% 0% 50% 100% 0% 50% 100% Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011 Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011 Ketiga pengurangan belanja barang. Komposisi belanja barang terdiri dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24 persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk

I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Selasa, 20 Mei 2014 INDEF 1 Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA KEBIJAKAN FISKAL oleh: Rachmat Efendi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip III Kepabeanan Dan Cukai Tahun 2015 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami Kebijakan Fiskal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan ekonomi suatu negara. Sebagai negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 Pendahuluan Akibat dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia SEMINAR NASIONAL Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia ENNY SRI HARTATI Auditorium Kampus Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Rabu, 24 September 2014 INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999-2006 MUHAMMAD ILHAM RIYADH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Keynote Speech APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Disampaikan oleh: Menteri Keuangan Republik Indonesia Yth. Pimpinan Badan Anggaran DPR-RI, Yth. Wakil Menteri Keuangan dan Para Pejabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang sangat penting dalam perekonomian setiap negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Krisis ekonomi yang terjadi

Lebih terperinci

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan Artikel Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan Enam puluh tujuh tahun Indonesia telah merdeka. Usia untuk sebuah bangsa yang semakin matang tersebut, tidak seharusnya menyurutkan

Lebih terperinci

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 Yusuf Wibisono Direktur Eksekutif IDEAS Makalah disampaikan pada Public Expose - Dompet Dhuafa, Jakarta, 10 Februari 2016 Reformasi Anggaran Langkah terpenting

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL Oleh: Anthony Budiawan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Disampaikan pada Seminar Nasional Menyikapi Polemik Utang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengeluaran Pemerintah memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi dari penerimaan negara

Lebih terperinci

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

RINGKASAN APBN TAHUN 2017 RINGKASAN APBN TAHUN 2017 1. Pendahuluan Tahun 2017 merupakan tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mewujudkan sembilan agenda priroritas (Nawacita)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Abstrak Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, rata-rata alokasi belanja non mandatory spending terhadap total belanja negara sebesar 43,7% dan dari alokasi

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAANN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJAA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGAR RAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah terwujudnya masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan

Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan Prospek pertumbuhan global masih tetap lemah dan pasar keuangan tetap bergejolak Akan tetapi, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016 Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan 2016 Aviliani 10 Maret 2016 SISTEM PEREKONOMIAN Aliran Barang dan Jasa Gross Domestic Bruto Ekonomi Global Kondisi Global Perekonomian Global masih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau

I. PENDAHULUAN. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

Subsidi BBM pada APBN. Komposisi Subsidi pada APBN 55% 50% 44% 44% 43% 35% 33% 33% APBN APBN LKPP LKPP LKPP APBN. Perkembangan Subsidi BBM ( )

Subsidi BBM pada APBN. Komposisi Subsidi pada APBN 55% 50% 44% 44% 43% 35% 33% 33% APBN APBN LKPP LKPP LKPP APBN. Perkembangan Subsidi BBM ( ) Subsidi BBM pada Komposisi Subsidi pada Subsidi BBM selalu menjadi issue yang menarik perhatian jika dikaitkan dengan total beban subsidi pada. Hal tersebut dikarenakan subsidi BBM memberikan kontribusi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014 PERAN APBN-P 2014 TERHADAP PERCEPATAN INFRASTRUKTUR DISKUSI INDEF 20 MEI 2014 Kondisi Infrastruktur di Indonesia (1) Perkembangan Infrastruktur di Indonesia relatif lambat Infrastruktur Indonesia menempati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

Konsolidasi Fiskal dan Komitmen Indonesia pada G20 1

Konsolidasi Fiskal dan Komitmen Indonesia pada G20 1 I. Pendahuluan Konsolidasi Fiskal dan Komitmen Indonesia pada G20 1 Kebijakan konsolidasi fiskal dipandang sangat mendesak untuk mengatasi krisis keuangan global. Para pemimpin pemerintahan negara anggota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah atau bahkan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian dunia saat ini dihadapkan pada suatu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (suprime mortgage)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Investasi merupakan modal penting bagi negara-negara berkembang, karena memiliki peranan yang besar dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memajukan kesejahteraan umum, itulah salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri Judul : Pengaruh Kurs dan Impor Terhadap Produk Domestik Bruto Melalui Utang Luar Negeri di Indonesia Tahun 1996-2015 Nama : Nur Hamimah Nim : 1306105143 ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat

Lebih terperinci

PENTINGNYA MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK

PENTINGNYA MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK PENTINGNYA MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK Oleh : Dr. Arif Budimanta Anggota DPR RI, A-341, FPDI Perjuangan Ketua Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR RI Disampaikan Pada Seminar Nasional Optimalisasi Penerimaan

Lebih terperinci

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia agar dapat berdiri sejajar dengan negara maju

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN 67 BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN 2010-2012 Untuk memperoleh gambaran tentang pengelolaan keuangan Negara dalam APBN Indonesia, maka akan diuraikan sejumlah poin pembahasan menyangkut

Lebih terperinci

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Penetapan KUPA Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Kompleks Kepatihan Danurejan Yogyakarta (0274)

Lebih terperinci