I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan tahun tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan pada 1998 menjadi minus persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5 persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu persen dan tingkat kemiskinan masih mencapai persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai persen dan tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat

2 2 pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi sebesar persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar persen. Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja yang signifikan dalam perekonomian. Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen, seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4 persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010 (%) No Negara B. Modal thd Infrastruktur Pertumbuhan Pengangguran Pengeluaran Ranking Ekonomi 1. Malaysia Singapura Vietnam Indonesia Thailand ,9 1,0 6. China 10, ,4 4,1 Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011 Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah

3 3 adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi mencapai 56.7 persen. Peranan investasi terhadap pembentukan PDB baru mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada peningkatam konsumsi masyarakat * 2010 ** Konsumsi Rumah tangga Investasi Konsumsi Pemerintah Ekspor Impor Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan di sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor

4 4 antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kawasan Indonesia barat, karena rendahnya pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42. Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah, mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian. Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun (Rp Miliar) KETERANGAN * A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan DN Perpajakan Tax Ratio (% thd PDB) PNBP II. Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat II. Transfer ke Daerah C.Surplus/(Defisit) Anggaran % thd PDB D. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Keterangan:*Data APBN-P 2010

5 5 Selama kurun waktu APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin (sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen). Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur. APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran

6 6 pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian Pembentukan Modal Domestik Bruto Total Belanja Pemerintah Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio masih rendah dimana dalam kurun waktu rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.

7 7 Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negaranegara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah. Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak. Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp triliun. Sementara penerimaan negara yang

8 8 ditargetkan hanya sebesar Rp triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ miliar atau ekuivalen dengan Rp triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp triliun, dimana Rp triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah. Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi

9 9 Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN. Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan

10 10 pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian. Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah. Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini

11 11 tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen. Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran. Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun Dalam dokumen RPJMN dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,

12 12 yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment) Perumusan Masalah Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode , rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar persen, belanja barang sebesar persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar persen, subsidi sebesar persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun porsi belanja modal hanya sebesar persen.

13 13 Belanja Hibah; 0,08 Bantuan Sosial; 8,98 Belanja Lain-lain; 4,81 Belanja Pegawai; 18,89 Belanja Barang; 12,20 Subsidi ; 27,81 Pembayaran Bunga Utang ; 14,77 Belanja Modal; 12,52 Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.

14 14 Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun (Rp triliun) Jenis Subsidi Real. Real. Real. Real Real. APBNP Subsidi Energi , Subsidi BBM , Subsidi Listrik , Subsidi Non-Energi , Subsidi Pangan , Subsidi Pupuk , Subsidi Benih , PSO Kredit Program , Subsidi Minyak Goreng Subsidi Kedele Subsidi Pajak , Subsidi Lainnya , Jumlah Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011 The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40 persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89 persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3 persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana

15 15 pendapatannya hanya sebesar Rp per kapita per bulan, kecil kemungkinan dapat memiliki kendaraan bermotor. Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar fiscal space yang tersedia, akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah. Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan ruang gerak fiskal selama tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen. Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat, seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk

16 16 Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya ,9 18,5 17,5 17,5 15,52 13,16 12,64 12,49 4,38 5,37 4,87 5, APBN-P 2011 APBN Belanja Negara Belanja Mengikat Ruang Fiskal Sumber: Kementerian Keuangan,2011 Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun , penyerapan anggaran pada triwulan I sebesar persen, triwulan II sebesar persen, triwulan III sebesar persen serta triwulan IV sebesar persen. Bila ditelusuri lebih jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV. Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah per- DIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang

17 17 karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya. % 60,00 52,96 50,00 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 40,00 30,00 20,00 10,00 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11, Rata-rata Triwulan I 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11,13 Triwulan II 12,89 18,77 20,85 20,88 22,51 21,36 21,40 Triwulan III 26,79 25,15 23,81 26,79 23,96 23,29 24,46 Triwulan IV 52,96 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 Sumber: Kementerian Keuangan, Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Inefesiensi juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6 tahun terakhir ( ) penyerapannnya hanya 87 persen saja. Artinya terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per tahun. Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan.

18 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk 1. Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Membuat simulasi alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia Kegunaan Penelitian 1. Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan di Indonesia Hipotesis Penelitian 1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. 2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.

19 Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan Indonesia Kebaruan Penelitian Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain adalah : 1. Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun. Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya. 2. Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi

20 20 pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal. 3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia. 2. penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan sesuai perubahan rezim pemerintahan. 3. penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus. 4. Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengeluaran Pemerintah memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi dari penerimaan negara

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Selasa, 20 Mei 2014 INDEF 1 Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA KEBIJAKAN FISKAL oleh: Rachmat Efendi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip III Kepabeanan Dan Cukai Tahun 2015 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami Kebijakan Fiskal yang

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan Artikel Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan Enam puluh tujuh tahun Indonesia telah merdeka. Usia untuk sebuah bangsa yang semakin matang tersebut, tidak seharusnya menyurutkan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah terwujudnya masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin

Lebih terperinci

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014 PERAN APBN-P 2014 TERHADAP PERCEPATAN INFRASTRUKTUR DISKUSI INDEF 20 MEI 2014 Kondisi Infrastruktur di Indonesia (1) Perkembangan Infrastruktur di Indonesia relatif lambat Infrastruktur Indonesia menempati

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan ekonomi suatu negara. Sebagai negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

RINGKASAN APBN TAHUN 2017 RINGKASAN APBN TAHUN 2017 1. Pendahuluan Tahun 2017 merupakan tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mewujudkan sembilan agenda priroritas (Nawacita)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau

I. PENDAHULUAN. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal ditetapkan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009. 1 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal dan implementasi perencanaan pembangunan setiap tahun. Strategi dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perekonomian tiga sektor, campur tangan pemerintah tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAANN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJAA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGAR RAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel...

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Keynote Speech APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Disampaikan oleh: Menteri Keuangan Republik Indonesia Yth. Pimpinan Badan Anggaran DPR-RI, Yth. Wakil Menteri Keuangan dan Para Pejabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara I. Pendahuluan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Keterbukaan Indonesia terhadap modal asing baik

Lebih terperinci

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL Oleh: Anthony Budiawan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Disampaikan pada Seminar Nasional Menyikapi Polemik Utang Pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Umum Enam puluh tiga tahun merdeka memberikan pengajaran kepada bangsa Indonesia bahwa perjalanan sebuah bangsa adalah sebuah perjalanan yang penuh perjuangan dan kerja keras. Proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Abstrak Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, rata-rata alokasi belanja non mandatory spending terhadap total belanja negara sebesar 43,7% dan dari alokasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan penerimaan pajak merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013, APBN-P mencapai

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 Yusuf Wibisono Direktur Eksekutif IDEAS Makalah disampaikan pada Public Expose - Dompet Dhuafa, Jakarta, 10 Februari 2016 Reformasi Anggaran Langkah terpenting

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

Proyeksi pertumbuhan

Proyeksi pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis finansial global yang bermula dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2007, dalam waktu yang relatif singkat berubah menjadi krisis ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17 besar perekonomian dunia

Lebih terperinci

RUANG FISKAL DALAM APBN

RUANG FISKAL DALAM APBN RUANG FISKAL DALAM APBN Ruang fiskal secara umum merupakan ketersediaan ruang dalam anggaran yang memampukan Pemerintah menyediakan dana untuk tujuan tertentu tanpa menciptakan permasalahan dalam kesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Investasi merupakan modal penting bagi negara-negara berkembang, karena memiliki peranan yang besar dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia agar dapat berdiri sejajar dengan negara maju

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Bali

Pemerintah Provinsi Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah yang memiliki fungsi sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci