KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS. Azis Khan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS. Azis Khan"

Transkripsi

1 KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS Azis Khan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011 Azis Khan E

3 ABSTRACT AZIS KHAN. The Mindset behind Indonesian Forest Business Policy: A Discourse Analysis. Under supervision of HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO, and DUDUNG DARUSMAN By using a discourse analysis, this qualitative research was aimed to better understand the flow of mindset adopted by far in forest utilization policy making processes, especially in the context of natural production forest in the outer island. The discourse drawn from both legal texts available and from the results of indepth interviews as well as internet on-line polling, strongly indicated that the flow of mindset adopted dominantly by far was so called the forest first. This was shown by its characteristic, primarily putting the natural forest to be the first and main factor implying that forest are conceived as ecosystems that function on ways depending mainly on their nature and putting such human related aspects as social, politics and economic to be exogenous. As a result, any significant deviation resulted in great and serious damages some of which were irreversible. To avoid such a terrible consequence, some improvement and re-orientation in policy making processes are needed in terms of its quality of both substance and process. In line with this, the quality of the discourse needs also to be improved mainly for the purpose to increase people knowledge and experiences, as well as policy space and actor networks. Above all, as all findings are considered to be product and hegemony of power under both Foucault and Gramsci ideas, it is then necessary to collectively realize, break and end the power hegemony first, before executing all reforms identified in this research. To do so, all forest practitioners and foresters have to be out of their usual box. Key words: discourse analysis, minds frame, sustainability, forestry utilization policy.

4 RINGKASAN AZIS KHAN. Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus. Dibimbing HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO dan DUDUNG DARUSMAN Riset kualitatif dengan pendekaatan analisis diskursus ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan khususnya di hutan alam produksi di luar Jawa untuk dapat memahami aliran pemikiran di sebaliknya. Sejumlah produk perundangan terkait usaha kehutanan setingkat UU, PP dan beberapa turunanya telah ditetapkan untuk kemudian dilakukan analisis diskursus, mencakup analisis isi dan narasi. Analisis yang sama juga dilakukan atas hasil dari serangkaian wawancara mendalam dan hasil internet on-line polling. Hasil riset antara lain menunjukkan, bahwa peta diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first (FF) yang memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama, lepas dari aspek sosial ekonomi politik karena diposisikan sebagai faktor eksogen. Lepasnya aspek sosial ekonomi politik dari aliran pemikiran itu menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Ini tampak dari teks kebijakan yang cenderung berkonsentrasi pada sistem alami hutan, dan lepas dari sistem atau persoalan manusia yang (akan) menjalankannya. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. Antara lain, ditunjukkan semakin meningkatnya biaya transaksi dan ekonomi biaya tinggi di lapangan yang berujung pada meningkatnya tekanan atas sumberdaya hutan. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF. Ini terutama diperlihatkan komponen kalangan pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang kalah dalam kontestasi ide, terindikasi karena proses konstruksi kebijakan dan kualitas diskursus yang lemah. Kekalahan ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai. Aliran pemikiran usaha kehutanan menjadi situasi masalah yang penting tapi luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya kualitas diskursus sebagai akibat rendahnya pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat. Disarankan untuk segera melakukan reorientasi pembaruan kebijakan, termasuk atas hal-hal praktis operasional. Pembaruan perlu lebih diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi

5 substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. Dalam bahasa IDS (2006), diperlukan upaya untuk membuka lebar ruang kebijakan (policy space). Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan kejelasan tujuan yang ingin dicapai, perilaku siapa yang diharapkan harus berubah, sebabakibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan yang ingin dicapai, masalah yang ingin dijawab dan solusi yang ditawarkan. Proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan. Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, dengan sasaran akhir ditekankan kepada memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai. Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan dalam menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain serupa di masa datang perlu dilakukan dengan semangat continuously improvement. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling. Di atas itu semua, dengan menempatkan hasil riset ini pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan dan Gramsci tentang dominasi dan hegemoni kekuasaan, maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk dari hegemoni kekuasaan. Hal tersebut perlu menjadi kesadaran kolektif. Oleh karena itu, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari kotak pemikirannnya yang biasa. Kata kunci: analisis diskursus, kerangka pikir, kelestarian, kebijakan usaha kehutanan.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS AZIS KHAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Djuara P Lubis Dr Ir Iman Santoso

9

10 PRAKATA Bersyukur pada kuasanya, bahwa kegiatan riset dan penulisan disertasi ini akhirnya dapat dirampungkan, setelah mengalami beberapa kali penundaan yang terpaksa sengaja diambil, lebih karena dorongan dan dilema opportunity lost di luar sana. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa penundaan akan berimplikasi pada percepatan penyelesaian masa sekolah doktoral penulis mendekati pagar maksimalnya. Disertasi ini memuat hasil riset kualitatif melalui pendekaan diskursus, yang coba menghimpun pengetahuan empiris terkait kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di luar Jawa. Akumulasi pengetahuan ini menguatkan penulis untuk menawarkan kesimpulan, bahwa memang ada persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan yang terindikasi merupakan produk hegemoni kekuasaan selama ini. Apapun capaian kinerja usaha kehutanan sejauh ini menjadi bagian yang tidak lepas dari persoalan ini. Tawaran kesimpulan itu tidak berhenti disini, karena proses menghegemoni kerangka pikir itu ternyata juga tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun yang relatif lama, setidaknya dalam penggalan sebelum dan setelah Dari tawaran kesimpulan inilah dalam disertasi ini pula penulis menawarkan sejumlah rekomendasi yang menurut ukuran penulis cukup operasional dengan latar konsepsi dan argumentasi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Perhatian, kesabaran dan pengertian yang penuh dari ketiga pembimbing, yakni Prof Hariadi Kartodihardjo, Dr Sudarsono Soedomo dan Prof Dudung Darusman, merupakan kemewahan yang luar biasa dalam bantu proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada mereka penulis berterimakasih dan berutang budi, sehinga terimakasih saja rasanya sangat jauh dari cukup. Kemewahan juga diperoleh dari dan karenanya penulis berterimakasih kepada para penguji luar komisi, Dr Soeryo Adiwibowo, Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Djuara P Lubis dan Dr Iman Santoso yang telah turut memperkaya dan menggenapkan keyakinan penulis atas substansi disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan pula kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada istri dan anak-anak, Eti, Ziza, Afid dan Isal special big thanks to you all for your best supports ever! Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat dan memiliki kontribusi dalam proses pembaruan kebijakan usaha kehutanan khususnya dan pembangunan kehutanan umumnya. Layaknya hasil riset, disertasi ini dengan segala keterbatasannnya di sana sini, tetap terbuka untuk masukan konstruktif dari siapapun. Bogor, Desember 2011 Azis Khan

11 RIWAYAT HIDUP Lahir di Lampung 12 Agustus 1960 dari pasangan Dailami Sutan Nasir (alm) dan Widaningsih, penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara. Menyelesaikan Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB pada Lalu, atas dukungan Bank Dunia menyelesaikan Master bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Department of Forestry and Natural Resources, School of Agriculture, Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat pada Pendidikan doktoral pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana IPB ditempuh mulai Agustus 2006 atas biaya sendiri. Setelah mengundurkan diri dan keluar dengan hormat sebagai peneliti pada Pusat Litbang Sosek Departemen Kehutanan pada 1999, selanjutnya bekerja sebagai konsultan sumberdaya alam dan lingkungan pada Natural Resource Management Program yang didanai USAID Jakarta sampai Terakhir (2005) tercatat sebagai konsultan lepas untuk isu-isu terkait kebijakan, ekonomi dan tata kelola lingkup pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada Bank Dunia, antara lain bertanggung jawab mengkoordinasikan Analyzing Pathway to Sustainability in Indonesia (APSI) Project, sebuah riset kolaborasi antara AUSAID, CSIRO, ANU (Australia) dengan Bappenas dan sektoral teknis terkait (Indonesia). Sebagai konsultan lepas, bekerja juga dengan beberapa lembaga dan konsultan kehutanan dan sumberdaya alam yang berbasis di luar, seperti AGRECO GEIE (Belgia), ITAD (Inggris) dan NEDWORC (Belanda), ENVIRO (Singapore), serta URS (Australia). Kerja serupa juga dijalin dengan ornop lingkungan Indonesia (WWF Indonesia, The Nature Concervancy, Latin dan Kehati). Menikah dengan Dr Eti Rohaeti pada 1987 dikaruniai Nur Aziza Azis S.Komp (alumni IPB), Haidar Rafid Azis (Mahasiswa Unpad) dan Faishal Tahsiin Azis (Siswa SMP N 4 Bogor).

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR... xix DAFTAR LAMPIRAN... xxi I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Konteks Penelitian... 6 C. Fokus: Pertanyaan Penelitian... 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9 E. Outline Disertasi F. Ringkasan II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI A. Pendahuluan B. Kebijakan dan Analisis Diskursus Kebijakan: Definisi dan Pengertian Bentuk Analisis Kebijakan Diskursus dan Narasi Kebijakan Diskursus dan Bahasa Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir C. Diskursus Kelestarian Akar Diskursus Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari Kondisi Pemungkin Bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik D. Metodologi Kerangka Pendekatan Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara dan online polling Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus E. Limitasi dan Validasi F. Ringkasan III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA A. Pendahuluan B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia Kondisi Hutan Alam Pembalakan/Penebangan Liar Multidimensi Konflik Deforestasi HPH/IUPHHK HA Produksi Kontribusi Kehutanan pada Perekonomian C. Kesenjangan Tujuan dan Kenyataan xv

13 1. Tujuan dan Orientasi Usaha Kehutanan Capaian Kinerja: Tidak Lestari, Tidak Menyejahterakan, Tidak Adil Kesenjangan: Masalah Kebijakan D. Kebijakan Usaha Kehutanan Kebijakan Usaha Kehutanan sebelum Kebijakan Usaha Kehutanan setelah Tonggak Kunci Kebijakan dan implementasi E. Ringkasan IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR A. Pendahuluan B. Ikhtisar Kebijakan Substansi Proses Fenomena: Sintesis Kencenderungan C. Peta Kerangka Pikir Keseimbangan Dimensi Organisasi Kuadran Alvesson-Karreman The Forest First vs The Forest Second D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir Posisi Atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa Pandangan Atas Usaha Kehutanan Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan Makna lepas dari Diskursus Tidak mengubah Perilaku Teks lepas dari Interaksi Sosial Perubahan Orientasi tidak nyata F. Ringkasan V. IMPLIKASI PENTING A. Pendahuluan B. Kebijakan: Perlu Pelurusan Kerangka Pikir B. Tataran Praktis Operasional: Substansi dan Proses C. Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan, dan politik ekonomi D. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian E. Ringkasan VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan B. Kesimpulan C. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvi

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Bahan Empiris yang Digunakan dalam Analisis Tipologi Peserta Internet On-line Polling Tipologi para Narasumber yang diwawancarai Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) Peta Jalan (Road Map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara Luas dan Sebaran Hutan Produksi 2009 (dirinci per Provinsi) Dugaan Tingkat Illegal Logging di beberapa Negara di Dunia Frekwensi Konflik Kehutanan per Provinsi ( ) Besar dan Laju Deforestasi dari Tujuh Pulau Utama Indonesia Jumlah IUPHHK Aktif (sampai Mei 2010) Jumlah dan Rataan Investasi IUPHHK Produksi Kayu berdasar Sumber Pasokan (%) Volume dan Nilai Ekspor Produk Kayu Olahan (2008) Volume dan Nilai Impor Produk Kayu (2008) Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja Domain Substansi yang diatur UU 5/67 dan UU 41/ Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (sebelum 1998) Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (setelah 1998) Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha xvii

15 22. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan Bolman dan Deal (1984) Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan Alvesson Kareman (2000) Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: ) Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga xviii

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Proses Pembuatan Kebijakan Model Linear (Sutton, 1999) Kerangka Pendekatan Prosedur Analisis Diskursus Proses konstruksi Kebijakan (Brikland, 2001) Kondisi Hutan Alam Produksi Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal Frekwensi Konflik per Tahun ( ) Perkembangan Unit dan Luas Konsesi IUPHHK HA dalam Dua Dekade Terakhir ( ) Sebaran IUPHHK Aktif (per May 2010) Jatah Tebang Tahunan Produksi Kayu Bulat Nasional dari HA dan HT ( ) Persen Kontribusi Kehutanan terhadap PDB Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadran Alvesson-Karreman (2000) Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan Paradoks kelestarian sebagai barang publik Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro-Program Tiga kemungkinan kualifikasi kebijakan xix

17 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris xx

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sintesis Kerangka Teoretik Kelestarian SDH Panduan Wawancara Screen-shot On-line Polling Kebijakan Usaha Kehutanan Kata Kunci dalam Dimensi Organisasi (Bolman and Deal) Relasi Narasi, Diskursus dan Kecenderungan Kerangka Pikir Contoh Analisis Isi Kasus UUPK 5/ Contoh Hasil Analisis Narasi Representasi Mana Kelestarian Lintasan Sejarah terkait Usaha Kehutanan Indonesia Analisis Narasi menurut hirarki perundangan (UU, PP dan lainnya) Karakteristik Usaha Kehutanan Hutan Alam Produksi (sebelum dan sesudah 1998) Intisari Makna Kelestarian Kompilasi dan Sintesis Hasil Wawancara Kompilasi dan Síntesis Hasil Internet On-line Polling Gambaran Keseimbangan Hak dan Kewajiban Para Pemegang Hak Usaha Kehutanan Contoh Transkrip Wawancara xxi

19 I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN A. Latar Belakang Dua puluh tahun lalu, Sfeir-Younis (1991) telah menganalisis panjang lebar aspek ekonomi kelestarian pembangunan kehutanan yang didalamnya dicakup aspek usaha kehutanan. Ia menyinggung dua pendekatan pokok sebagai kerangka pemikiran atau paradigma yang berbeda dibalik rancangan program dan kebijakan pembangunan kehutanan 1. Pendekatan pertama, paradigma the forest first, yang dianggapnya sebagai paling tradisional, menempatkan sistem alami hutan sebagai faktor utama. Hutan dipahami sebagai ekosistem yang fungsinya tergantung terutama kepada sifat alaminya, kondisi lingkungan, dan sifatsifat dari hubungan-hubungan sistem alam yang terlibat. Untuk mencapai kelestarian, praktek-praktek pengelolaan, tingkat laju pemanfaatan, dan upaya konservasi harus didefinisikan secara khusus, kedalam aturan kerja (working rules). Setiap penyimpangan dari sifat-sifat itu (yakni: hukum alam) menyebabkan berbagai kerusakan hutan yang hebat. Beberapa dari kerusakan itu bahkan tidak dapat balik (irreversible). Pencapaian kelestarian dalam pendekatan ini direduksi menjadi sekedar mengikuti serangkaian aturan kerja terkait sifat-sifat dan cakupan pemanfaatan dan konservasi hutan. Aturan kerja ini didefinisikan sebatas pengetahuan ilmiah tertentu berbasis sumberdaya hutan, termasuk kapasitasnya untuk tumbuh kembali, laju pertumbutuhan dan laju pembusukan dari berbagai pohon dan vegetasi, interaksi dari spesies tanaman yang terlibat, dan sejenisnya. Karenanya, kelestarian pembangunan kehutanan akan tergantung kepada kemampuan masyarakat dalam mematuhi berbagai aturan kerja itu. Aturan-aturan kerja itu melekat dalam resep-resep kebijakan yang secara khusus diterjemahkan kedalam aturan pengelolaan optimal, atau laju maksimum pemanfaatan sumberdaya hutan, misal berupa jatah tebang tahunan maksimum yang dibolehkan 1 Diakui Sfeir-Younis (1991) ada sekitar 600an kegiatan sektor dalam perekonomian termasuk di dalamnya 80an proyek- proyek pembangunan kehutanan yang berhasil dianalisis kinerjanya.

20 2 (annual allowable cut), kelestarian hasil (sustainable yield), dan sebagainya. Perdebatan tentang kelestarian karenanya disebutkan hanya berputar di seputar legitimasi berbagai aturan kerja itu, yang sering dikaitkan dengan kualitas informasi (ilmiah atau tidak), data tentang sumberdaya (akurat atau tidak), dan cara mencapai aturan kerja itu (efisien atau tidak). Dengan pendekatan demikian, pembangunan kehutanan dinilai bersifat monolitik: setiap aspek lain dari proses pembangunan kehutanan adalah eksogen (exogenous). Hal ini merepresentasikan hal negatif, berupa gangguan atas berjalannya hukum alam 2. Masyarakat tercakup bagian dari gangguan itu. Penerjemahan pendekatan ini kedalam pembangunan ekonomi berupa pembuatan bagian-bagian (departemen) kehutanan yang kuat, dilengkapi perangkat dengan baik, dengan tenaga terlatih (tahu aturan-aturan kerja itu), dan siap menegakkan aturan kerja itu (kadangkadang menggunakan kekuatan militer). Di banyak negara berkembang, departemen-departemen kehutanan tradisional secara harfiah bahkan berfungsi sebagai militer: melindungi hutan (menghindari penyimpangan aturan kerja), menyiapkan instrument pemanenan hutan menurut aturan kerja itu (rancangan konsesi), melakukan penelitian dan survey sumberdaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang legitimasi aturan kerja dan tanpa kecuali melaksanakan program dan proyek pembangunan. Dari pandangan kelembagaan, berbagai bagian (departemen) ini merupakan grand regulators dari sistem, dan arbitrase tentang alam, pemanfaatan dan konservasi hutan hanya terjadi melalui mekanisme internal yang melekat pada bagian-bagian (departemen) itu. Pasar, harga dan insentif secara umum diposisikan sebagai eksternal (exogenous) terhadap sistem. Titik terlemah dalam pendekatan ini disebut kurangnya pengetahuan. Jadi, masalah muncul saat legitimasi dari aturan kerja yang diadvokasi, tentang kelestarian misalnya, dipertanyakan. Sementara, 2 Hal ini dilatari keyakinan Sfeir-Younis (1991), bahwa dalam paradigma ini kelestarian tergantung seberapa dekat hukum alam diikuti/dipatuhi dalam eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

21 3 begitu banyak ekosistem hutan yang kompleks dimana tidak ada konsensus tentang bagaimana mencapai kelestarian. Dibutuhkan jauh lebih banyak lagi aturan kerja dan penelitian sebelum berbagai aturan kerja dibuat untuk melestarikan pembangunan kehutanan. Pendekatan kedua, paradigma the forest second, secara eksplisit mengenali peran yang dimainkan manusia dan sistem sosial ekonomi, sebagai bentuk lain dari modal, dalam mencapai kelestarian. Ini semua yang diposisikan eksogen oleh paradigma pertama. Dalam paradigma kedua ini sistem politik dan sosial ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang hakiki (intrinsic) dan penting bagi pembangunan kehutanan lestari. Disebutkan, bahwa berdasar pengalaman, tidak mungkin mencapai kelestarian dalam pembangunan kehutanan tanpa partisipasi nyata dari komunitas dan masyarakat pada umumnya. Ini berlaku tidak hanya kepada pengelolaan dan pemanfaatan hutan, tetapi juga kepada semua bagian suatu program kehutanan. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai diluar (exogen) dari berbagai anggapan pembangunan kehutanan, kini menjadi penting untuk diterjemahkan dan diimplementasikan dalam paradigma kedua. Dalam pendekatan kedua ini, modal manusia (human capital) dinilai sebagai objek dan modal alam (natural capital) sebagai subjek dari pembangunan kehutanan. Ini semacam penekanan, bahwa praktis tidaklah mungkin memahami apapun kegiatan kehutanan sekarang tanpa partisipasi semua para pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries). Disebutkan, bahwa kelestarian bukan lagi sekedar penciptaan keseimbangan diantara alam dan lawas hutan (yakni modal alam) dimaksud. Pencapaian pembangunan hutan lestari mensyaratkan keseimbangan semua bentuk modal yang terlibat dalam proses: fisik, finansial, manusia, alam, kelembagaan dan bahkan budaya. Dalam pendekatan ini pula, ditunjukkan setidaknya ada dua tatanan aturan kerja untuk dioptimalkan: berkaitan dengan sistem alam dan sistem manusia. Tatanan aturan kerja terkait sistem manusia dinilai baru bagi para ahli ilmu alam dan (pembangunan kehutanan) karenanya memerlukan ahli

22 4 ilmu sosial. Menjadi dilema penting adalah hadirnya satu mekanisme yang dapat memecahkan konflik (bila ada) antara dua tatanan aturan kerja tadi. Konflik yang terkenal adalah bahwa saat orang memanen lebih banyak pohon dari yang seharusnya diatur oleh aturan kerja dari paradigma pertama. Banyak alasan mengapa konflik ini muncul, antara lain dicontohkan karena insentif pasar, perambahan (encroachment) dan konflik pemanfaatan lahan serta property rights. Untuk memecahkan konflik ini diusulkan beberapa mekanisme: (a) kembali kepada paradigma pertama dan biarkan negara sebagai grand regulator pendekatan penegakan hukum; (b) gunakan mekanisme pasar yang diasumsikan mencerminkan kekuatan preferensi dan daya beli individu, dan (c) terima mekanisme kelembagaan berdasarkan hak-hak yang ada dan aturan kerja berbasis komunitas. Semua mekanisme yang disebutkan di atas bermasalah dengan berbagai keterbatasan yang serius. Pengalaman pembangunan sejauh ini dinilai cukup baik dan menyeluruh untuk merefleksikan secara serius berbagai keterbatasan kelembagaan dari paradigma kedua. Penempatan pasar sebagai mekanisme kelembagaan untuk memecahkan konflik antara dua tatanan aturan kerja terbukti tidak efisien dan, dalam banyak kasus, tidak diterima secara sosial. Sementara, kumpulan preferensi dan daya beli individu jarang menghasilkan aturan kerja yang secara sosial optimal. Hal ini dikaitkan dengan contoh yang dikenal sebagai tragedy of the common, dimana diakhir persaingan individu menghancurkan sumberdaya alam bersama karena berbagai sinyal pasar tidak mengindikasikan pereferensi sosial 3. Solusinya kemudian, disarankan untuk (a) memanfaatkan pasar sebagai mekanisme mengatasi konflik, sementara saat yang sama menetapkan hak-hak private atas hutan; dan bila mekanisme pasar tidak diterima, maka alternatifnya (b) penciptaan satu mekanisme konsensus yang dapat menghasilkan aturan kerja yang 3 Disebutkan, bahwa para ekonom sering merujuk kepada fenomena ini sebagai eksternalitas atau kegagalan pasar yang dalam kasus sumberdaya alam milik bersama tidaklah selalu dapat diperlakukan dalam cara yang memuaskan.

23 5 optimal: memberi masyarakat kekuatan untuk memutuskan aturan kerja yang mana yang paling diterima. Sampai disini, analisis Sfeir-Younis (1991) menegaskan, bahwa masing-masing kerangka pemikiran memiliki keterbatasan dan kendala yang pada dasarnya melahirkan tantangan baru untuk pembangunan kehutanan kedepan. Tanpa mendikotomikan secara kaku, kerangka pemikiran pertama digambarkan bila dianut, akan berakhir dengan kerusakan hutan yang hebat dan bahkan tidak dapat balik (irreversible), terutama bila upaya penegakan aturan kerjanya lemah. Gambaran ini sekaligus membuka rujukan, bahwa kerangka pemikiran kedua menjadi pilihan walau tetap dengan keterbatasan yang penuh tantangan. Bahwa kecenderungan manusia lebih menganut kerangka pemikiran pertama, the forest first, daripada the forest second menjadi perhatian dan keprihatinan Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt) 4. Dengan keprihatinan itu, keduanya menekankan perlunya menyeimbangkan keseluruhan bentuk modal dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam mencapai dan bahkan dalam mendefinisikan kelestarian hutan yang tidak lain adalah esensi dari kerangka pemikiran kedua, the forest second, yang ditawarkan Sfeir-Younis. Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menegaskan hal senada, bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar kotak kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Gluck (1987) bahkan lebih tegas lagi, bahwa sejarah kehutanan diwarnai serangkaian kesemberonoan penanganan hutan, sehingga melahirkan empat doktrin yang secara ideologis identik dengan the forest first yang dipandang tidak lagi cocok dengan kekinian dunia kehutanan 5. Akumulasi pengetahuan di atas bila dikaitkan dengan kinerja pembangunan kehutanan Indonesia sampai saat ini mengundang 4 Dalam bahasa mereka aliran pemikiran the forest second lebih menekankan perlu masuknya dimensi kemanusiaan bahkan sampai tingat global pada pendefinisian kelestarian. Lihat diskursus kelestarian pada Bab 3. 5 Keempat doktrin itu disebut: timber primacy, sustainable yield, long term, dan absolute standard

24 6 pertanyaan, kebijakan pembangunan kehutanan Indonesia sejauh ini menggunakan atau menganut aliran kerangka pemikiran yang mana dan seperti apa? Lalu, apa implikasinya bagi pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan kedepan? Apakah, dengan demikian, persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan? kebijakan usaha an fokus.. B. Konteks Penelitian Hutan alam produksi Indonesia di Luar Jawa telah dikelola, diusahakan dan dieksploitasi, cukup lama, bahkan sejak zaman penjajahan. Periode dapat merupakan kurun eksploitasi komersial secara besarbesaran. Dalam kurun itu, hutan alam produksi di Luar Jawa diusahakan dalam bentuk entitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), terutama setelah keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang kemudian disusul dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 22/1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan IHH). Kedua produk perundangan ini merupakan tonggak awal dari sejarah eksploitasi hutan, khususnya pada periode kemerdekaan. Alasan utama keluarnya kebijakan usaha kehutanan waktu itu lebih karena kebutuhan modal yang begitu besar untuk mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan nasional dan hutan dipandang sebagai sumberdaya alam yang relatif mudah cair (liquid). Investasi di sektor kehutanan mengarus deras dalam kurun ini, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU- PMA) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Arus investasi ini diikuti pula dengan semakin bergairahnya arus investasi di dalam negeri menyusul diterbitkannya Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri (UU-PMDN) UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya, pada 1970 diterbitkan pula dua peraturan pemerintah yang tergolong penentu kinerja usaha kehutanan selanjutnya, yakni PP No. 21/1970 tentang HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan PP No. 33/1970 tentang Perencanaan Hutan.

25 7 Usaha kehutanan melalui HPH mengalami booming pada awal 1980an. Tercatat ada sekitar 600an unit HPH beroperasi dengan luas rataan dari puluhan ribu hektar sampai jutaan hektar per unit usaha. Pada periode inilah para pemegang HPH memperoleh hasil finansial yang nyata, terutama melalui ekspor kayu bulat. Sementara, pemerintah memperoleh pendapatan, terutama dari iuran (HPH dan HPHH), Dana Jaminan Reboisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan bertumbuhnya berbagai industri kehutanan dalam negeri berbasis kayu dari hulu (log) hingga ke hilir (pengolahan kayu). Pada periode ini pula sektor kehutanan menjadi tulang punggung pemerintah dalam penyediaan dana bagi pembangunan. Pada periode inilah sektor kehutanan mencapai peringkat kedua terbesar kontribusinya dalam perekononomian nasional, setelah minyak dan gas. Dalam periode-periode selanjutnya berbagai capaian di atas mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun baik dalam hal jumlah unit dan luasan HPH maupun skala kontribusi dan peran sektor kehutanan pada perekonomian nasional. Dalam periode lanjutan ini, termasuk dalam era otonomi daerah, berbagai penurunan tersebut bertalitemali dengan fenomena deforestasi dan degradasi hutan alam. Hal ini berimplikasi luas, termasuk atas merosotnya lebih lanjut peran sosialekonomi dan lingkungan dari sumberdaya hutan dan akhirnya berujung pada penilaian tidak lestarinya hutan alam itu sendiri. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun ini seolah lepas dari adanya sejumlah proses pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk diterbitkannya UU No. 41/1999 (dan turunannya) sebagai pengganti UUPK No. 5/1967. Implikasi ketidak-lestarian hutan alam di atas mengundang beberapa pertanyaan terutama seputar apa, mengapa dan bagaimana sampai hutan alam produksi akhirnya berada pada jalur tidak lestari. Tiga pertanyaan ini penting mengingat landasan penetapan kebijakan usaha kehutanan baik di tingkat UU maupun produk turunannya, khususnya berupa PP, yang justru menempatkan kelestarian sebagai syarat dan bahkan pembatas (constraint) dalam memosisikan hutan alam sebagaimana selalu tercantum dalam diktum konsideran di hampir

26 8 berbagai produk UU dan turunannya itu. Bila dikaitkan dengan hasil analisis Sfeir-Younis (1991) sebagaimana dijabarkan pada latar belakang, maka pertanyaan ini mengerucut pada pertanyaan kritis: apakah fenomena ketidak-lestarian di atas adalah bukti bahwa kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dibangun menggunakan aliran kerangka pemikiran the forest first? Lalu, apa makna dan implikasinya bagi pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan? Apakah persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan kebijakan usaha kehutanan? C. Fokus: Pertanyaan Penelitian Pertanyaan kritis di atas ditarik sebagai pertimbangan awal penelitian ini untuk berfokus pada kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di Luar Jawa. Dalam bahasa sederhana, mempertanyakan aliran kerangka pemikiran dibalik sebuah kebijakan pada dasarnya identik dengan mempertanyakan diskursus seperti apa yang sesungguhnya telah berkembang baik dalam bentuk teks perundangan maupun percakapan dan interaksi sosial para pihak pemangku kepentingan kehutanan di sebalik proses konstruksi kebijakan itu. Meminjam salah satu ide Foucault dalam Arts and Buizer (2009) maka memahami diskursus identik dengan memahami relasi kekuasaan dan bahkan dinamika proses-proses politik. Dalam bahasa Springate-Baginski dan Soussan (2002) pertanyaan sederhana di atas pada dasarnya adalah upaya untuk memahami (a) proses bagaimana kebijakan dikembangkan dan diterapkan, (b) tujuan-tujuan dan motif dibalik kebijakan seberapa ia masuk dalam mendekati usaha kehutanan dan/atau fokus pada kelestarian, (c) pengaruh kebijakan atas pencapaian tujuan usaha kehutanan lestari, dan (d) ruang intervensi dalam memengaruhi proses konstruksi maupun implementasi kebijakan. Dalam rumusan Sutton (1999) dan Arts and Buizer (2009) serangkaian upaya memahami berbagai hal di atas tergolong dalam telaah

27 9 kebijakan dengan pendekatan teori antropologi 6. Pendekataan demikian fokus pada narasi kebijakan (policy narrative) dan diskursus (discource), terkait fenomena yang sedang (hangat) dibicarakan yang seringkali justru menjadi hambatan dalam melakukan agenda pembaruan kebijakan. Dengan berfokus pada pendekatan analisis diskursus sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan penelitian yang coba ingin dijawab penelitian ini adalah: (a) dapatkah fenomena ketidak lestarian usaha kehutanan menguatkan penilaian bahwa aliran kerangka pikir di balik kebijakan usaha kehutanan sejauh ini adalah memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama atau the forest first? (b) Seperti apa wujud atau peta diskursus yang menguatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan apa implikasinya? Adakah kecenderungan pergeseran atau bahkan perubahan aliran kerangka pikir? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan uraian mengenai konteks, fokus dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan untuk memahami aliran kerangka pemikiran di sebaliknya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (a) mengindentifikasi dan menetapkan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dari bahan empiris yang ada, (b) melakukan analisis diskursus yang mencakup isi (content analysis) dan narasi (narrative) serta analisis kesenjangan (gap analysis) atas berbagai kebijakan itu, (c) membaca, memetakan, dan menarik alur kerangka pikir baik dari teks perundangan maupun teks yang dibangkitkan dari komunikasi, kerangka pemahaman, maupun praktek sosial, yang diduga berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, dan (d) melakukan sintesis kerangka teoritik dan konsep kelestarian hutan dan usaha kehutanan sebagai penakar kunci dalam melakukan keseluruhan analisis. 6 Pendekatan teoritis lain dalam rumusan Sutton (1999) adalah pendekatan sosiologi politik, pendekatan hubungan internasional dan pendekatan manajemen. Sementara Arts and Buizer (2009) menegaskan bahwa teori diskursus itu merupakan cabang dari analisis kebijakan.

28 10 Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat (a) sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya pembaruan aliran kerangka pikir agar pemahaman pengetahuan berfokus tidak saja pada teks peraturan perundangan, tetapi juga pada komunikasi dan interaksi sosial dimana kebijakan itu direspon dan diimplementasikan, (b) menambah jumlah dan memperkaya khasanah penelitian kebijakan usaha kehutanan, khususnya dengan menggunakan analisis diskursus sebagai pendekatan, dan (c) memosisikan pentingnya perbaikan kerangka pikir yang mendasari diskursus yang berkembang di balik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan. E. Outline Disertasi Penulisan disertasi ini disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Setelah mengemukakan konteks dan latar belakang, menetapkan fokus atau pertanyaan penelitian, menjelaskan maksud dan tujuan serta menggambarkan kemanfaatan penelitian kualitatif ini (BAB I), dilanjut dengan menjabarkan konsep dan teori yang digunakan; mencakup kebijakan, analisis kebijakan, diskursus, hubungan diskursus dengan narasi kebijakan, hubungan diskursus dengan bahasa, hubungan diskursus dengan kerangka pikir dan dilanjut kemudian dengan diskursus kelestarian; yang dari berbagai konsep dan teori ini ditetapkan metodologi penelitian yang mencakup kerangka pendekatan, bahan empiris yang digunakan, dan penetapan prosedur analisis diskursus (BAB II). Potret atau snapshot situasi kondisi dan kinerja usaha kehutanan dan kesenjangannya dengan kenyataan serta informasi kebijakan usaha kehutanan itu sendiri disajikan pada BAB III. Selanjutnya disajikan kecenderungan kerangka pikir yang disintesa dari diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan; kerangka pemikiran ini kemudian dipetakan, sebelum membahas kontestasi persepsi para pihak yang dibangkitkan dari hasil wawancara mendalam dan internet online polling, sebelum akhirnya menakar kualitas kebijakan usaha kehutanan (BAB IV). Dari hasil tersebut dibahas berbagai implikasi pembaruan baik

29 11 dari sisi kebijakan, praktis-operasional, kualitas diskursus dan metodologis (BAB V). Intisari hasil, kesimpulan dan rekomendasi ditawarkan pada BAB VI. Untuk memudahkan penulisan intisari ini, di setiap Bab telah disiapkan pula ringkasan. F. Ringkasan Dua kerangka pemikiran yang pernah melandasi berbagai kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan dunia disebutkan Sfeir-Younis (1991), sebagai the forest first (FF) dan the forest second (FS). Dari telaahnya, FF telah menyebabkan kerusakan hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible), terlebih saat aturan kerja yang sangat bio-centris tidak berhasil ditegakkan. Sementara, ada fakta empiris menunjukkan bahwa kinerja usaha kehutanan kita, Indonesia, sejauh ini sangat rendah ditandai antara lain dengan merosotnya peran ekonomi, sosial dan lingkungan sumberdaya hutan alam produksi menyusul berbagai kerusakan hutan dan lahan dengan laju dan magnitude yang relatif tinggi. Mengaitkan dua pengetahuan empiris ini telah mengundang pertanyaan: apakah kebijakan usaha kehutanan kita selama ini dilandasi sepenuhnya dengan aliran FF?. Pertanyaan itu menjadi fokus atau pertanyaan penelitian ini. Pertanyaan itu identik dengan mempertanyakan diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan, khususnya hutan alam produksi di Luar Jawa. Diskursus dimaksud mencakup baik yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan maupun hasil percakapan dan interaksi sosial para pemangku kepentingan usaha kehutanan. Melalui analisis diskursus itu pertanyaan penelitian ini coba dijawab. Dengan tujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan, melalui penelitian ini diharapkan dapat dipahami aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan itu yang sekaligus menjawab pertanyan penelitian di atas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain

30 12 sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya bagi ihktiar pelurusan kerangka pikir.

31 II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI A. Pendahuluan Diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengonstruksi realitas sosial dalam sebuah konteks tertentu dalam hal ini kebijakan usaha kehutanan lestari. Pada saat situasi hutan dipandang tidak lestari yang indikasinya begitu kuat muncul dalam diskursus seputar deforestasi dan degradasi hutan, maka pertaruhan mengarah pada substansi dan proses konstruksi kebijakan serta interaksi sosial yang telah terjadi, sekaligus aliran pemikiran yang dominan disebaliknya. Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan serta tali temalinya dengan kualitas kebijakan dan kinerja usaha kehutanan itu sendiri coba dipahami dan dianalisis dalam penelitian ini dengan berpegang pada konsep dan teori sebagaimana dijabarkan dalam beberapa sub-bab berikut ini. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengeksplorasi diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi di Luar Jawa. Esensi penelitian ini, antara lain menggali dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan usaha kehutanan yang telah ada (ex-post). Kecenderungan diskursus para pemangku kepentingan usaha kehutanan dieksplorasi melalui pendekatan analisis kebijakan, khususnya pendekatan antropologi yang fokus pada narasi kebijakan dan diskursus. Dari serangkaian kecenderungan narasi kebijakan dan diskursus dapat sekaligus diamati kecenderungan aliran pemikiran para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses konstruksi kebijakan. B. Kebijakan dan Analisis Diskursus 1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian Dalam IDS (2002) digambarkan betapa kata kebijakan yang dikenal begitu saja secara luas ternyata tidak mudah untuk dikenali. Layaknya atas keberadaan seekor gajah, kita tahu saat melihatnya dan tidaklah mudah bagaimana kemudian mendefinisikannya. Digambarkan pula, dengan sederet testimoni, bahwa seorang pembuat kebijakan sekalipun tidak serta merta

32 14 menjadi kemudian mudah untuk memahami dan mendefinisikan kata kebijakan. Observasi IDS (2002) ini berkaitan secara kuat dan lekat dengan sebuah perkembangan kerangka kerja terkait proses kebijakan. Kerja observasi ini antara lain menemukan adanya hubungan teori antara ilmu pengetahuan (science), keahlian (expertise) dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan jaringan aktor. Hal disebut terakhir ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan adalah proses jalin-menjalinnya dan interkoneksi berbagai hal tadi. Ini setara dengan landasan Sfeir-Younis (1991) saat menawarkan kerangka pemikiran keduanya the forest second. Dalam pemahaman Dunn (2000) analisis kebijakan dipandang sebagai aktivitas intelektual menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini dicapai melalui analisis sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program. Penekanan pada unsur tentang dan dalam mengandung pengertian terkait penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan sendiri dipahami Dunn (2000) sebagai kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel) ketimbang kepastian. Dalam pemahaman demikian probabilitas statistik, misalnya, diposisikan Dunn sebagai pendukung dalam menegakan klaim pengetahuan yang plausibel. Masih menurut Dunn (2000), analisis kebijakan mengombinasikan dan meneransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin (sosial, politik, dll), dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. Tujuan analisis kebijakan melebar melampaui produksi fakta, yakni memproduksi juga informasi mengenai nilai dan serangkaian tindakan yang dipilih. Dengan begitu, analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan. Sebagai ilmu terapan, analisis kebijakan diposisikan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan terkait nilai, fakta dan tindakan tadi. Nilai, berkaitan dengan pertanyaan apakah pencapaiannya merupakan tolok ukur utama dalam melihat apakah masalah telah teratasi. Fakta, apakah keberadaannya dapat mengatasi dan meningkatkan pencapaian nilai-nilai.

33 15 Sementara tindakan, apakah penerapannya menghasilkan pencapaian nilainilai. Untuk menghasilkan itu semua, Dunn (2000) mengenalkan tiga pendekatan, yakni: empiris, valuatif dan normatif yang dapat digunakan salah satu, dua atau seluruhnya. Pendekatan empiris, fokus pada penjelasan sebabakibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pertanyaannya bersifat faktual (= apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskripsi. Pendekatan valuatif menekankan pada penentuan bobot kebijakan. Pertanyaannya berkaitan dengan nilai (= Berapa?) dan tipe informasi yang diperoleh bersifat valuasi. Pendekatan normatif fokus pada rekomendasi serangkaian tindakan di masa depan yang dapat menyelesasikan masalah publik. Pertanyaanya, tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskripsi (resep pengobatan). [see THH 671- PSL*.*] 2. Bentuk Analisis Kebijakan Bentuk-bentuk analisis kebijakan dikelompokkan Dunn (2000) kedalam tiga kelompok besar: retrospektif (Ex-post), prospektif (Ex-ante) dan integratif. Restropektif fokus pada apa yang terjadi dan perbedaan (gap) apa yang dibuat. Prospektif lebih kepada apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan. Integratif merupakan kombinasi keduanya yang fokus pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan dieksekusi. Selain itu, Dunn (2000) meyakini analisis retrospektif mengutamakan hasil-hasil aksi, yang dapat menawarkan kerangka baru dalam memahami proses pembuatan kebijakan, memberi tantangan perumusan masalah, membalik berbagai mitos sosial dan bahkan membentuk opini publik. Sementara itu, Sutton (1999) mengenalkan analisis proses kebijakan dengan sebuah argumen kunci. Dikatakan, bahwa pembuatan kebijakan model linier sekalipun banyak digunakan, tidaklah cukup. Model linear diakui berciri analisis pilihan yang objektif dan adanya pemisahan antara kebijakan dengan implementasi. Sebaliknya, kebijakan dan implementasinya

34 16 merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu, masih menurut Sutton (1999) merupakan hal terbaik atas pemahaman kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan, analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan (management of change) dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan. Model linear disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream, common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu (Gambar 1). Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear (Sutton, 1999) Dibalik model linier ini Sutton (1999) beranggapan bahwa para pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses, dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan lainnya, bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali tidak dialamatkan kepada (kualitas) kebijakan itu sendiri, melainkan kepada kegagalan dalam pelaksanaannya (Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999).

35 17 Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam pengamatan Sutton (1999) ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya, bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini Sutton (1999), bahwa antropologi seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Selanjutnya, Sutton (1999) merinci bahwa dengan pendekatan antropologi, diskursus pembangunan menjadi tema penting. Disitu diskursus diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah, membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain. Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusidiskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe (1986 dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997) melepas cara-cara dimana kebijakan (mengalami) depolitisasi dan derasionalisasi, serta menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai keputusan yang dibuatnya. 3. Diskursus dan Narasi Kebijakan Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton (1999) menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalahmasalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana

36 18 berbagai alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright (1997), yakni siapa yang memiliki kekuatan untuk menentukan : kerja diskursus-diskursus dominan melalui penyusunan kerangka acuan (TOR) dengan tidak membolehkan atau mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo (1997 dalam Sutton, 1999), yakni diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan. Sutton (1999) juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulian/interest tertentu untuk mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer (2009) yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaimklaim paham diskursif-kelembagaan. Menurut Arts dan Buizer (2009) berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta.

37 19 Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer (2009), yakni (1) diskursus sebagai komunikasi, (2) diskursus sebagai teks, (3) diskursus sebagai kerangka atau frame dan (4) diskursus sebagai praktek-praktek sosial. Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan Arts dan Buizer (2009) dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi. Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial. Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi. 4. Diskursus dan Bahasa Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton (1999). Hal ini disebut analisis diskursus tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda, yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato sebagaimana juga disebutkan Hawitt (2009). Dari sini berkembang pemahaman Sutton (1999) terkait pemberian label atas kelompok-kelompok (the labelling of groups), pengerangkaan isu yang akan diatasi (the framing issue to be tackled), pembuatan solusi-solusi kebijakan (agar) tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan (making policy solutions seem obvious and unquestionable), dan mende-politisasi berbagai keputusan kebijakan (depoliticising policy decisions). Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan yang membuat secara berulang label-label kelompok sasaran, seperti miskin pedesaan, petani atau miskin lahan yang disebut secara berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan (Wood 1985 dalam Anthrope dan Gasper 1996 dalam Sutton, 1995). Pelabelan semacam itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan

38 20 mereka, rentang kepedulian yang mereka wakili dan keragaman pengalaman mereka. Terkait pengkerangkaan, Gasper (1996 dalam Sutton, 1999) menyarankan bahwa bingkai digunakan untuk mengaitkan cara pendefinisian masalah-masalah kebijakan, yang menganalisis secara khusus pertimbangan apa yang dicakup dan tidak dicakup. Hajer ( dalam Apthorpe dan Gasper 1996 dalam Sutton, 1999) menyarankan bahwa pengkerangkaan bekerja untuk membedakan beberapa aspek dari sebuah situasi daripada yang lainnya. Dalam hal ini Apthrope dan Gasper (1996 dalam Sutton, 1999) menegaskan, bahwa analisis diskursus kebijakan harus menguji pengkerangkaan masalah yang akan ditangani dan hubungannya dengan penyiapan jawaban-jawaban yang ditawarkan. Dalam hal pembuatan solusi kebijakan, Apthrope (1996 dalam Sutton, 1999) menarik aspek penting lain dari penggunaan bahasa dalam pembuatan kebijakan. Ia menganalisis berbagai dokumen kebijakan tertulis dan menekankan cara kebijakan di tuliskan terkait kegiatan pemecahan masalah agar diperoleh sejumlah langkah pemecahan yang jelas. Digambarkan dimana dokumen menata secara jelas apa-apa yang yang tak terelakan harus dilakukan, apa-apa sebagai alasan dan tidak dapat dinegosiasikan atau untuk ditawar-tawar. Kebijakan yang mengklaim untuk dicontoh dalam beberapa cara terwakili dalam bahasa yang dipilih terutama untuk menarik dan membujuk salah satunya. Hal ini biasanya tidak mengundang atau menerima bantahan, terutama ketika sikap moral tertinggi yang diambil, melainkan oleh setiap trik dan kiasan, yang cirinya bersifat tidak dapat dibantah (Apthorpe dan Gasper 1996 dalam Sutton, 1999) 5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir Dalam pengamatan Hawitt (2009) policy-discourse-ina-plus ak.doc, sebagaimana juga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) ada banyak aliran dari analisis diskursus yang mencakup beragam pendekatan metodologis. Menurutnya, beberapa analis yang meneliti bidang-bidang kebijakan publik telah mengembangkan mode-mode pelaksanaan analisis diskursus yang diinspirasi

39 21 oleh ide-ide Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, sebagai sebuah jalan untuk memahami berbagai dinamika proses-proses politik. Ia lalu secara ringkas melacak berbagai pendekatan yang berbeda yang telah dilakukan para analisis kebijakan publik yang terinspirasi Foucault, menata sifat-sifat bahwa berbagai pendekatan itu memiliki poin-point penting dan perbedaan secara umum. Selain itu ia juga mengeksplor atau menggali berbagai implikasi dari penerapan analisis diskursus atas proyek-proyek penelitian dalam bidang studi kebijakan pedesaan, untuk menggambarkan bagaimana berbagai pandangan baru dapat diperoleh melalui sebuah pendekatan analisis diskursus. Sutton (1999) memastikan bahwa analisis diskursus diposisikan penting dalam pendekatan antropologi, sosiologi dan politik. Disebutkan, analisis diskursus merupakan upaya untuk memahami, memecah dan mendekonstruksi diskursus sehingga perspektif yang diangkat kedalam proses pembangunan dapat dipahami. Analisis diskursus bantu mencari pendekatan alternatif dalam penyelesaian masalah kebijakan. Apthorpe (1986 dalam Sutton, 1999) misalnya, menyebutkan selalu saja ada alternatif pilihan lain, dimana beberapa diantaranya mungkin tetap dipertimbangkan lagi, bahkan dari beberapa hal lain yang telah ditolak sebelumnya karena alasan tertentu. Jadi mendekonstruksi diskursus untuk tujuan yang konstruktif. Ada juga upaya ambisius untuk menganalisis evolusi historis diskursus, sebagaimana dikatakan Escobar (1995 dalam Sutton, 1999) antara lain dengan menguraikan struktur sosial mereka, dan mencurahkan berbagai ide yang mereka wakili. Lebih lanjut Sutton (1999) mengerangka pengertian analisis diskursus kedalam dua keadaan. Pertama, saat yang dimaksudkan adalah cara berpikir dan cara berargumentasi yang melibatkan aktivitas politik penamaan dan pengkelasan, maka analisis diskursus coba mengeksplisitkan nilai-nilai dan idelologi-ideologi yang muncul secara implisit dalam diskursus. Kedua, bila yang dirujuk adalah dialog, bahasa, dan percakapan, maka analisis diskursus berhubungan dengan analisis bahasa yang digunakan dalam pembuatan kebijakan; misalnya penggunaan pelabelan dalam berbagai diskusi kebijakan,

40 22 seperti telah disebutkan di atas, yakni petani, miskin desa, atau miskin tanah. Sementara Hawitt (2009) menjelaskan secara historis, bahwa tradisi analisis diskursus telah ber-evolusi yang bersandar pada berbagai teori sosial, seperti Laclau, Mouffe, Bourdieu dan Foucault. Menurutnya, dan juga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) gagasan Foucault tentang diskursus telah digunakan oleh para analis dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya ia menjelaskan, bawa Analisis Diskursus Kritis (CDA) yang dikembangkan oleh Fairclough (1995) dan lainnya (misalnya van Dijk, 1997) dalam tradisi analisis diskursus linguistik, diskursus dipahami dari teks dan komunikasi/berbicara, dengan pemahaman bahwa diskursus dibentuk oleh praktek-praktek dan interaksi sosial. C. Diskursus Kelestarian 1. Akar Diskursus Konsep dan istilah kelestarian berangkat dari berkembangnya diskursus pembangunan berkelanjutan (PB) sebagaimana dicatat oleh Kaivo-oja et al (Tanpa Tahun sustainability-advanced-analyisis.pdf). Akar dari diskursus PB sebagai isu yang dikenali secara mendunia adalah pengembangan hasil dari konferensi pertama PBB tentang Manusia dan Lingkungan di Stockholm pada 1972 dan dari beberapa studi-studi awal yang begitu berpengaruh (lihat misalnya Carlson 1962, SCEP 1970, Meadows et al 1972). Konsep PB itu sendiri pertama kali menjadi terkenal dalam dokumen World Conservation Strategy yang diterbitkan the World Conservation Union pada 1980 (IUCN 1980). PB dibahas dan dielaborasi secara menyeluruh oleh Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB pada 1987 dalam sebuah laporan yang disebut Our Common Future (WCED, 1987). Tisdel dan Roy (1996PR-GOVERNANCE-SFM.PDF) dalam menjelaskan hubungan tata-kelola dan property rights (PR) menegaskan bahwa kedua hal yang dijelaskan itu saling terkait erat (closely intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam pemahaman mereka, para ekonom telah cukup lama menyadari pentingnya kedua hal itu

41 23 untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kesejahteraan ekonomi. Dalam ilustrasinya Tisdel et al (1996) menekankan bahwa Adam Smith jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud (PR dan tata-kelola) merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara. Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan dari capaian pembangunan itu. Tisdel et al (1996) mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel, kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property rights (pada gilirannya) akan berlaku; tanpa (perlu) secara khusus menelaah pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi. Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al (tt), telah disepakati dan mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan PBB (UN, 1993) di Rio de Janeiro pada PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (WCED, 1987). Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan

42 24 sosial dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham. Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas bagi mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik dalam generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi (intergenerational equity). Kaivo-oja et al (tt) lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama, yakni (1) Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi yang tidak seimbang, terutama di negara berkembang; (2) Menghentikan pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam urusan manusia dan kemanusiaan, (3) Mengamankan bagi generasi mendatang kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih sebagaimana kita nikmati, (4) PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara secara sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik dan cultural bebas dan inovatif. Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan modal alam dalam kondisi (terus) meningkat, menurut Kaivo-oja et al (tt) tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya, sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan dasar bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya, berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, (kehidupan) manusia merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global yang berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan meruntuhkan sistem pendukung kehidupan bahkan dalam kasus terburuknya menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan

43 25 sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis (Malaska, 1971, 1972). 2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) Kaivo-oja et al (tt) menganggap pengembangan PB sebagai sebuah arah perubahan dan ini penting untuk dapat memonitor bila sebuah arah pembangunan yang tepat telah ditemukan dan dipelihara. Dari banyak pustaka ia menghimpun sejumlah pendekatan PB, seperti beberapa yang paling penting dikemukakan berikut ini. Pendekatan Hick. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa teori pertumbuhan neoklasik telah menyatu dalam kendala-kendala sumberdaya alam dalam doktrin ekonomi (Hicks 1946, Page 1977, Solow 1974 dan Hartwick 1977). Menurut pendekatan ini ide tentang kemajuan atau keberhasilan dinyatakan sebagai konsumsi barang (dan sumberdaya alam) yang tidak menurun dari waktu ke waktu (non-declining consumption). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai sebuah penajaman metafor dari PB, menggantikan konsep PB yang dikendala oleh pertumbuhan (Cassier 1946, 1985). Akibatnya dari kepedulian pokoknya ini PB dinyatakan lebih sebagai efisiensi antar-generasi daripada kesempatan yang setara (equal opportunity). Menurut pendekatan ini, konsumsi yang tidak-menurun menurut waktu mungkin saja terjadi, bahkan untuk sebuah kasus perekonomian yang hanya memanfaatkan sumberdaya tak dapat pulih (misal minyak) dalam prosesproses ekonominya. Hartwick (1977) memperlihatkan bahwa sejauh sediaan modal (stock of capital) tidak menurun menurut waktu, konsumsi yang tidakmenurun adalah mungkin. Dalam term teori, sediaan modal dapat dibuat konstan dengan menginvestasikan ulang semua hasil dari ekstraksi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih kedalam modal buatan manusia (Hotelling 1931, Kasanen 1982). Mengikuti aturan ini, karena sediaan minyak (salah satu modal alam) berkurang, maka sediaan modal-manusia dibangun untuk menggantikannya. Hasil ini sangat penting untuk membangun ide baru dari ekonomi PB. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yang kuat tentang dimungkinkannya substitusi antara modal alam dan modal manusia.

44 26 Pendekatan London. Ini pendekatan berbeda yang menurut Kaivo-oja et al (tt) dikerangka untuk memecahkan masalah keterbatasan manfaat dari substitusi ke kelestarian antara modal alam (Kn) dan modal buatan manusia (Km) (Pearce et al 1990, Klaases and Opschor 1991, Pearce and Turner 1990). Menurut aliran ini beberapa substitusi adalah mungkin antara beberapa elemen dari Kn dan Km, sementara berbagai elemen lainnya dari Kn memberikan hanya jasa-jasa yang tidak dapat disubstitusi bagi perekonomian. Sebagai contoh, ada beberapa spesies tertentu yang harus dilindungi (Turner 1993). Pertanyaan strategis yang penting disini adalah: berapa banyak Kn harus dilindungi? Tiga kemungkinannya: (1) keseluruhannya pada level yang ada, (2) level itu konsisten dengan memelihara elemen-elemen kritis dari Kn, atau (3) jumlah tertentu di antaranya. Problem penting dari pendekatan ini adalah keharusan berasumsi bahwa kita dapat mengukur nilai dari Kn kapan saja. Dalam prakteknya, sulit juga untuk mengukur elemen-elemen berbeda dari Kn dalam satuan fisik dan moneter. Dengan bantuan analisis aliran materi, beberapa aspek dari Kn telah dianalisis. Van Pelt (1993) telah mengidentifikasi masalah lain terkait konsep sediaan modal alam yang tetap. Ada beberapa pertanyaan terkait agregasi spasial: diantara area geografis mana kita harus pertahankan sediaan konstan? Satu solusinya adalah bekerja dengan data agregasi yang tidak begitu banyak dan lakukan analisis beragam elemen Kn secara terpisah. Namun masalah lain muncul saat tingkat perubahan intrinsik alam diperhitungkan. Pengaruh manusia harus diukur atas tingkat alami perubahan. Alam berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya dalam beberapa kasus berbagai laju perubahan ini penting bagi kehidupan yang terus menerus, karena hidup beradaptasi dan bergantung pada alam. Dengan menganggap bahwa persoalan agregasi dari modal alam dapat dipecahkan sedemikian rupa, pendekatan ini mengusulkan aturan bagaimana mencegah deplesi modal alam dibawah beberapa poin dari tingkat tetap yang disyaratkan. Aturan ini berdasarkan pada diskonto nilai moneter dari dampak atau dukungan lingkungan, apakah bersifat biaya, atau manfaat. Dengan begitu, keseluruhan PB direduksi menjadi sekedar ekonomi dan perekonomian; kelestariannya sendiri tetap tak terpecahkan.

45 27 Pearce dan Aktinson (1995) terus mencoba mengembangkan berbagai indikator dan ukuran PB. Definisi yang diterima begitu luas, dalam pengakuan Pearce dan Atkinson (Kaivo-oja et al, tt) adalah pembangunan ekonomi dan sosial per kapita dari waktu ke waktu. Masalahnya, apakah hal itu diukur secara sempit (misal PDB per kapita) atau secara luas (dalam bentuk kesejahteraan ekonomi seperti IPM, kesehatan dan pendidikan dsb). Saat ini kebanyakan peneliti akan lebih suka memilih kriteria yang lebih luas sebagai ukuran yang dianggap relevan. Dalam hal ini Pearce dan Atkinson menambahkan hal penting lain untuk kelestarian, yakni bahwa modal suatu negara seharusnya tidak menurun/berkurang dari waktu ke waktu. Konsep modal yang digunakan mereka sangat luas, termasuk modal fisik, modal manusia dan modal alam. Keluasan konsep modal ini, menurut Pearce dan Atkinson (1995) pernah dikenalkan Orio Giarini, yang disebutnya sebagai warisan, dalam sebuah laporan kepada Club of Rome pada Aturan terkait apa yang disebut Pearce dan Atkinson sebagai sediaan modal alam yang tetap, memiliki dua varian: aturan terkait kuat dan lemahnya kelestarian. Lemahnya kelestarian terjadi saat sediaan modal total fisik, manusia, dan alam tidak berkurang dari waktu ke waktu. Sebuah perekonomian adalah lestari saat tabungannya melebihi depresiasi dari modal alam dan modal manusianya. Dalam varian ini, pembangunan lestari bahkan bila satu komponen (misal modal alam) menurun, yang membuat sediaan modal total tidak berkurang. Agar ini menjadi kriteria yang berguna, maka penting bahwa elemen yang berbeda dari sediaan modal dapat saling menggantikan. Misalnya, bila sebuah kehilangan satu ekosistem tertentu mampu dikompensasi oleh sebuah peningkatan dalam pengetahuan manusia. Artinya, berbagai kehilangan ekonomi dan lingkungan terkait ekosistem tadi lebih dari sekedar setimpal oleh manfaat dalam (peningkatan) modal manusia, sejauh stabilitas dan kelenturan sistem secara keseluruhan tidak tertekan dalam proses substitusi. Varian kedua, kelestarian yang kuat, mengupayakan modal lingkungan (atau modal alam) sebagai tempat khusus. PB dicapai, dalam pengertian yang kuat, bila secara khusus sediaan modal lingkungan negara tidak menurun.

46 28 Pearce dan Atkinson (1995) mengemukakan bahwa seseorang mungkin saja memodifikasi ketentuan ini. Beberapa bagian dari sediaan modal agaknya menjadi begitu penting, yakni menyediakan jasa-jasa lingkungan yang tak ternilai dan tidak tergantikan bagi kegiatan ekonomi. Bila diistilahkan sebagai modal alam yang kritis, lalu versi modifikasi dari versi PB yang kuat mengharuskan bahwa pembangunan tidak mengakibatkan sediaan modal alam yang kritis menurun menurut waktu. Pearce dan Atkinson menilai pandangannya atas kelestarian dengan data beberapa negara, dan memaparkan bahwa Finlandia adalah sebuah perekonomian yang lestari dalam pemahaman yang lemah, tidak kuat (Pearce dan Atkinson 1995) 3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari MacCleery 1 [sustainability-forest-definition.doc] menegaskan bahwa banyak usaha yang telah dan sedang ditempuh untuk mendefinisikan kelestarian hutan atau pengelolaan hutan lestari. Ia yakin, bahwa pengelolaan hutan lestari merupakan sub-set dari PB. Menurutnya, ada setidaknya lima hal penting dalam upaya pendefinisian baik kelestarian (ekosistem) hutan, maupun pengelolaan hutan lestari: (1) perlu contoh nyata penerapannya, (2) perlu memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan, (3) perlu pendekatanpendekatan yang berorientasi kemanusiaan, (4) perlu pertimbangan skala ekonomi dan sosial, dan (5) paham akan self sustaining. Dalam refleksinya MacCleery merinci posisi pentingnya kelima poin dimaksud sebagaimana disarikan berikut ini. Definisi kelestarian dan aksioma ekosistem itu dibincangkan lebih di tataran akademis, daripada aplikasinya di dunia nyata. Sebaliknya, definisi perlu disertai dengan teladan-teladan yang nyata sehingga dapat dirasakan bahwa sebuah ekosistem (hutan) memenuhi atau menyimpang dari ide kelestarian. Sebagai misal, akankah sebuah ekosistem hutan di suatu tempat yang ditebang secara berlebih dan dibakar pada akhir abad 19, tetapi kemudian pulih, disebut lestari berdasar sebuah definisi tertentu? Apakah 1 Doug MacCleery saat melakukan refleksi atas artikel Dave Iverson dan Zane Cornett A Definition of Sustainability for Ecosystem Management. ( - tulisan lepas, diakses 8 November 2010)

47 29 ekosistem (hutan), karenanya, memiliki integritas? Lalu, bagaimana dengan hutan-hutan di Skandinavia yang telah dikelola manusia setidaknya selama enam ratus tahun yang lalu? Tentu saja, kegiatan manusia telah menghabiskan keseluruhan atau kebanyakan suksesi hutan dan telah membuang berbagai sifat spesies dari hutan alam sebuah kehilangan komponen kekompleksan ekosistem hutan. Namun, dari pandangan lain, berbagai hutan itu telah memperoleh kembali aspek-aspek kompleksitas ekosistemnya yang sebelumnya hilang tadi, sebagaimana dibuktikan oleh pulihnya populasi banyak spesies hidupan liar dan berkembangnya komponen-komponen hutan yang matang. Dalam banyak pandangan, hutan-hutan semacam itu tampak lestari bagi tujuan pengelolaan yang mereka lakukan saat ini, dan juga memiliki kapasitas untuk dikelola untuk tujuan-tujuan lainnya di masa depan, bila memang diperlukan. Pertanyaan MacCleery kemudian, bagaimana ini semua dipertimbangkan dalam sebuah definisi kelestarian hutan? Banyak upaya pendefinisian kelestarian berfokus sebagian besar pada konsep-konsep dan kriteria biologis. Diskursus kesehatan ekosistem dan keanekaan hayati biasanya dituangkan dalam jargon para ahli biologi, ahli lingkungan dan para profesional sumberdaya alam. Yang biasanya tidak terekspresikan adalah sekumpulan nilai sosial dan budaya penting yang justru mereka jadikan dasar. Manusia kadang lupa bahwa ekosistem (hutan) itu bebas nilai mereka ada apa adanya. Kelestarian hutan dan kesehatan ekosistem keseluruhannya merupakan konstruksi manusia. Adalah manusia yang mendefinisikannya dan menganggapnya bernilai itu. Sementara alam menyediakan konteks biologi dan fisik, adalah manusia yang kemudian memutuskan apa yang harus dicari agar lestari dan dengan biaya berapa. Namun, tidak semua manusia memberikan nilai yang sama baik kepada hutan maupun keanekaan hayati. Lihat saja posisi Amerika dan negara maju lainnya yang hari ini mempertanyakan kondisi hutan hujan tropis di negara berkembang seperti Brazil dimana hutan-hutan itu berada. Saat ini muncul sebuah diskursus intelektual yang menghebat yang sedang berlangsung antara mereka yang mengadvokasi apa yang disebutnya pendekatan-pendekatan biocentric kepada para pengambil keputusan, sebagai lawan atas

48 30 pendekatan-pendekatan anthropogenic. Sebagai sebuah polemik ini menarik, karena menurut MacCleery dalam banyak hal ini serupa dengan diskursus pilosofis yang terjadi pada abad pertengahan, tentang berapa malaikat dapat menari di atas sebuah peniti atau lencana. Artinya, harus ada kekuatan untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian atau terpisah dari dunia nyata. Sebuah pendefinisian kelestarian hutan perlu menimbang ini semua. Terkait pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, ada satu pendapat Renh sebagai alternatif. Melalui bukunya, ia sebetulnya menjawab Our Common Future yang disiapkan World Commission on Environment dan Development pada 1987 (biasanya disebut Brundtland Report ) yang mendefinisikan PB sebagai memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pencermatan MacCleery, Renh setidaknya mendaftar tiga definisi kelestarian, yakni (1) pembangunan dengan pertumbuhan yang tidak melewati jauh kapasitas daya dukung lingkungan, (2) sebuah kondisi kesejahteraan per kapita lintas generasi yang tidak menurun, (3) jumlah konsumsi yang dapat berlanjut tanpa batas, tanpa merusak sediaan alam termasuk sediaan modal alam. Dalam pandangan MacCleery ketiga usulan Renh ini, mencerminkan keterkaitan dengan kemanusiaan yang lebih kuat, daripada definisi yang ditawarkan Brundtland Report. Bagi MacCleery yang penting dalam upaya pendefinisian kelestarian adalah bagaimana mempertemukan sisi alam dan sisi kemanusiaan dalam sebuah rumusan persamaan. Hari-hari ini sering ditunjukkan bahwa ekosistem (hutan) harus dipelajari pada skala atau tingkatan yang berbeda dari tingkat situs, ke bentang darat, ke tingkat regional, nasional dan global. Namun, bagi MacCleery yang perlu juga menjadi diskursus adalah fakta bahwa saat ini berbagai perekonomian dan masyarakat manusia berkait juga dengan berbagai skala. Berbagai keterkaitan itu memiliki beragam konsekwensi lingkungan yang juga harus dipertimbangkan dalam menilai kelestarian hutan. MacCleery lalu mencontohkan kebijakan pengurangan pemanenan kayu di Pacific Barat Laut

49 31 untuk melindungi populasi burung hantu (spotted owl) yang pada akhirnya tidak menghilangkan dampak dari pemanenan kayu. Kebijakan ini hanyalah memindahkan burung itu ke ekosistem lain. Sementara, kebijakan ini juga menyebabkan meningkatnya harga konsumer untuk produk-produk kayu dan meningkatnya konsumsi barang pengganti kayu, seperti rangka baja, yang membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksinya daripada kayu, sehingga mengeluarkan lebih banyak CO2 ke atmosfir. Kita dengar banyak retorika akhir-akhir ini tentang perlunya berpikir secara holistik bahwa segala sesuatu itu terkoneksi. Dengungnya adalah think globally act locally. Dalam pemahaman MacCleery dengungan ini menerap secara bersamaan baik kepada aliran dagang dan ekonomi maupun kepada ekosistem alam. Namun yang kita lihat adalah banyak orang bertindak secara lokal dan mengabaikan hal-hal yang sifatnya global. Banyak dari retorika saat ini terkait pengelolaan ekosistem pada hutan alam tertelan akibat ide ini. Kita sebenarnya mengabaikan implikasi-implikasi atas lingkungan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam. Itu tentu bukanlah pengelolaan ekosistem (hutan) yang seharusnya. Kecuali dan sampai konsep tentang kelestarian benar-benar meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan global dan nasional ini, maka apapun definisi kelestarian pastilah terbatas dan sempit. Seringnya penggunaan kata self-organizing dalam merujuk ke ekosistem, disengaja ataupun tidak telah meningkatkan keseluruhan rentang berbagai citra dan konsep kelestarian. Misalnya pandangan Clemential atas alam sebagai superorganism, yakni ide tentang bagaimana alam mencapai satu keseimbangan bentuk tetapnya, yang imbang dengan klimaks kelompok tanaman (self-sustaining dan self-replicating), menjadi tujuan akhir dan norma dari nature s grand design. Dalam dosis tertentu, bahkan ekosistem yang begitu rusak sekalipun akan memiliki beberapa dimensi yang dapat disebut sebagai self-organization. Pertanyaan MacCreely lalu, bagaimana seseorang menentukan kapan sesuatu telah menjadi tidak lestari? Lagi, ini kembali ke berbagai tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan terkait tentang apa yang ingin dilestarikan dari waktu ke waktu. Apakah motivasi kita mencerahkan kepedulian sendiri (self-interest), atau satu perasaan bahwa

50 32 semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hadir, kita lah yang menentukan apa yang akan kita cari agar lestari (self sustaining). Untuk mendefinisikan kelestarian secara abstrak agaknya hampir mustahil. Satu dekade lebih lalu Marion Clawson bertanya, Hutan untuk siapa dan untuk apa?. Berbagai pertanyaan yang sama seperti itu juga penting dalam mendefinisikan kelestarian. Sebelum seseorang dapat mendefinisikan, maka ia haruslah bertanya, Kelestarian, untuk siapa dan untuk apa? Begitu pertanyaan itu diangkat, maka tugas menjadi lebih bisa dikelola (manageable), meskipun masih tetap rumit. McCleery curiga bahwa sementara berbagai pertanyaan itu masih relevan hari ini, jawaban kita sekarang mungkin berbeda dengan jawaban saat Clawson pertama kali bertanya. Dan memang belum atau tidak ada konsensus pula untuk itu. Apa mungkin untuk mengembangkan berbagai strategi rasional untuk kelestarian hutan yang melampaui banyak dekade, atau bahkan abad, ketika konsep-konsep kemanusiaan tentang apa yang ingin dilestarikan begitu bersifat ilusi? Kapan pertumbuhan populasi perkotaan begitu terpisah dari pengetahuan tentang apa yang melestarikan mereka secara ekonomi, dan akibat-akibat lingkungan dari pilihan konsumsi mereka? Dan kapan pula dunia ini begitu rumit? Terkait berbagai pertanyaan ini, MacCleery sampai pada tiga poin kesimpulan: Pertama, memahami masa lalu dan memahami bagaimana sampai pada hari ini. Kini begitu banyak pikiran kolektif yang tidak beres pada saat memahami sejarah manusia dan alam dari ekosistem dan peran dalam melestarikan komunitas manusia. Kedua, kuasai data dan informasi yang lebih baik, melalui riset dan inventarisasi hutan, untuk menilai dimana kita hari ini dan untuk membantu kita mengerti akan implikasi-implikasi biologi dan sosial dari berbagai pendekatan alternatif kepada kelestarian hutan pada beragam tingkatan. Ketiga, fleksibel tentang masa depan dengan tetap merespon informasi baru sering disebut sebagai adaptive management dengan paradigma pengelolaan ekosistem. Namun, harus diwaspadi, yang paling rawan disini adalah merubah ide manusia tentang nilai dan tujuan kelestarian apa yang

51 33 dilestarikan. Mengkonstruksi konsensus sosial global tentang nilai/tujuan ini merupakan satu tantangan besar tersendiri. Sementara itu Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menggiring kelestarian hutan pada pemahaman beberapa poin penting, yakni (a) rasional bukan sekedar efisiensi ekonomi, menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan pada saat fokus pada tegakan dan pohon; (c) memerhatikan betul sediaan dan aset sumberdaya hutan (d) siap atas hal-hal tak terduga dan mengupayakan pencegahan dalam pengelolaan hutan; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Secara ringkas poin-poin ini menegaskan bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar kotak kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Dalam pandangan Coase (1960) efisiensi ekonomi adalah efisiensi dari sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas, dimana eksternalitas dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost). Maka menurutnya, proses tawar menawar yang berlangsung dalam kondisi demikian akan menuju pada hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan awal dari property rights. Artinya, proses internalisasi eksternalitas perlu aturan langsung, misal berupa pajak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan optimal, belum mencakup sifat intrinsik atau karakterik inherent SDH dan kesempurnaan property rights. Karakteristik inherent dalam pandangan Schmid (1987) mencakup: penggunaan yang tidak kompatibel (incompatible use), skala ekonomi (economies of scale), dampak bersama (joint-impacts), biaya transaksi (transaction costs), kelebihan (surpluses), dan fluktuasi pasokan-permintaan (fluctuating supply and demand) - sifat situasional, persoalan fisik dan biologi yang melekat pada barang, bervariasi akibat perubahan teknologi. Dengan kata lain ia menekankan perlunya menimbang situasi dari sisi atribut barang yang berpengaruh signifikan ia menyebutnya sebagai sumber

52 34 interdependensi. Dalam kalkulasinya, biaya transaksi tinggi, cenderung tidak lestari. Dengan begitu, pengendalian sumber interdependensi penting untuk menekan biaya transaksi, sekaligus mencapai kelestarian. Sejalan dengan Coase (1960), Libecap (1999) menguatkan bahwa masyarakat dan tatanannya perlu property rights untuk mengontrol akses dan aliran manfaat sumberdaya, terutama untuk menghindari hilangnya sumberdaya tersebut. Menurutnya, tanpa property rights sumberdaya akan terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek. Dengan begitu, property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, karena di dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya. 4. Kondisi Pemungkin bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik Dari mulai uraian akar diskursus kelestarian sampai konsep kelestarian sebagaimana diuraikan di atas secara teoretik dapat dikerangka sebuah kondisi pemungkin bagi kelestarian sumberdaya hutan. Kondisi ini dapat dikerangka kedalam (1) penetapan tujuan, (2) pemosisian para pihak, termasuk (3) kejelasan siapa berbuat apa, (4) apa yang diatur, bagaimana hal tersebut masing-masing diatur, (5) bagaimana kinerja ditetapkan, serta (6) bagaimana kinerja dicapai. Sebagai sub-set dari PB, menurut MacCleery (tt), kelestarian sumberdaya hutan memikul tujuan ganda: (1) ekonomi pembangunan, khususnya memerangi kemiskinan, (2) lingkungan, terutama menghentikan pengurasan sumberdaya alam dan lingkungan, (3) keadilan-kesejahteraan lintas generasi, dengan memastikan berlangsungnya (4) proses-proses interaksi tiga dimensi: sosial-ekonomi-lingkungan. Tujuan ganda di atas menegaskan pengutamaan orientasi kepentingan publik atas nama pembangunan hutan dan kehutanan yang sekaligus menuntut pembagian peran, fungsi dan tugas bahkan posisi para pihak pemangku kepentingan. Hal ini menjadi titik berangkat bagaimana bangunan hubungan para pihak dikonstruksi. Orientasi kepentingan publik yang begitu dominan,

53 35 menuntut peran pemerintah untuk lebih konsentrasi sebagai regulator bagi komponen pemangku kepentingan hutan lainnya, memastikan hubungan antar komponen pemangku kepentingan dan hubungan mereka dengan sumber daya hutan itu sendiri dengan melibatkan keseluruhan para pihak pemangku kepentingan potential (potential benefeciaries). Lalu, bagaimana wujud agenda yang berkaitan dengan penghentian kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta keadilan-kesejahteraan lintas generasi ditetapkan, menjadi kondisi pemungkin yang juga penting bagi pencapaian kelestarian. Tuntutan pembagian peran, fungsi dan bahkan posisi para pemangku kepentingan pada hakekatnya adalah gambaran pentingnya upaya pemenuhan dua hal sekaligus, yakni (1) kejelasan dan ketegasan property rights, dan (2) dipertimbangkannya karakteristik inherent SDH dalam menata orientasi kepentingan publik dan menekan biaya transaksi. Bila dicermati, kedua hal ini pun merupakan upaya untuk mencapai efisiensi dan sekaligus keadilan antar generasi, dua dimensi kemana sejatinya kelestarian harus diletakkan. Uraian bagaimana kelestarian dan pencapaiannya harus dimaknai baik secara filosofis maupun operasional, sebagaimana dijabarkan di atas, pada dasarnya mengerucut pada perlunya para pihak pemangku kepentingan memastikan kerangka pemikiran sebagaimana telah ditawarkan Sfeir-Younis (1991) antara the forest first atau the forest second. Rincian sintesis teoretik ini selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1. D. Metodologi 1. Kerangka Pendekatan Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) Dunn (2000) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif). Dengan adopsi ini, hasil analisis juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan perumusan masalah (normatif).

54 36 Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton (1999), bahwa pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan sebaliknya merupakan kekacau-balauan (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini, penelitian ini menganggap bahwa (1) para pembuat kebijakan mendekati isu tidak selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, (2) tidak selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga (3) bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke (1995, dalam Sutton, 1999). Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multikonsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai kekacau-balauan atau ketidak-linieran sebagaimana telah disarankan Sutton (1999). Keyakinan Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton (1999) yakin, bahwa antropologi seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Grilo (1997 dalam Sutton, 1999), sampai pada posisi bahwa diskursus (itu) mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan. Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan

55 37 Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pilihan ini lebih berlatar pertimbangan pragmatis dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan, termasuk berpartisipasi secara intens dan praktis dalam beberapa proses konstruksi kebijakan kehutanan 2. Pertimbangan substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting dalam mempelajari kerangka pikir dari klaim-klaim capaian usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang. Fokus pada kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Penelitian ini sejalan dengan kerja Arts and Buizer (2009) yang menganalisis kebijakan kehutanan global sejak 1980an. Menurutnya, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu diskursus baru yang muncul di tataran global dalam tiga dekade terakhir, selain diskursus keanekaragaman hayati dan tata-kelola swasta. Namun, tidak seperti mereka, penelitian ini lebih banyak pada pilihan diskursus sebagai teks (texts). Disebut lebih banyak, karena dalam beberapa hal analisis diskursus juga berlaku pula pada komunikasi empiris, kerangka (frame) dan praktek sosial, mengingat teks itu sendiri pada hakekatnya ditarik dari penjelasan Arts and Buizer (2009) tidak kepas dari sebuah konteks tertentu, yang dapat saja bersumber dari proses komunikasi empiris yang terjadi (communications), kerangka keyakinan (frame) maupun praktek-praktek sosial yang berkembang (social practices). Dengan komunikasi empiris demikian, analisis diskursus dalam penelitian ini pada dasarnya merujuk pula pendekatan analisis diskursus kritis yang diusung Fairclough dan juga van Dijk sebagaimana disebut Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). Dalam praktek sosial yang sama, selain kerangka pikir, coba dipahami pula relasi kekuasaan dibalik diskursus, yang tidak lain, merupakan ide-ide Foucault tentang diskursus dengan kekuasaan sebagaimana dimaksud Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009) dan juga 2 Antara lain berkontribusi melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dalam penyiapan naskah akademik dalam rangka pembuatan draft naskah tandingan bagi draft UU Kehutanan, yang kini menjadi UU 41/1999 tentang Kehutanan; berkontribusi aktif dalam pembahasan terkait kebijakan levy and grant dan land grant college dengan para Staf Ahli Menteri Kehutanan; dan juga dalam pembahasan LOI bidang kehutanan, terkait lelang HPH, provisi sumberdaya hutan, dan dana jaminan kinerja (performance bonds).

56 38 Mills (1997). Selain relasi kekuasaan Foucault, dari diskursus yang sama coba dipelajari pula sejauh mana hadirnya dominasi atau bahkan hegemoni dalam pemikiran Gramsci sebagaimana dimaksud Rosengarten (www. Marxist.com) 3 Dalam penelitian ini kerangka teoretik kelestarian sebagaimana telah diuraikan di atas dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1 digunakan sebagai alat bantu dalam menakar dan memahami diskursus yang telah terjadi terkait arah, tujuan dan orientasi kelestarian hutan dan kebijakan usaha kehutanan. Gambar 2 menujukkan kerangka pendekatan ini secara skematis. Gambar 2 Kerangka Pendekatan 2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara, dan On-Line Pooling Bahan empiris untuk penelitian ini terdiri dari dokumen tertulis, dokumen hasil wawancara mendalam dan hasil on-line polling sebagai pengayaan dan sekaligus verifikasi. Dokumen tertulis, terdiri dari peraturan perundangan, peraturan turunannya dan beberapa dokumen terkait lainnya yang keseluruhannya mengatur dan atau memiliki keterkaitan substantive dan 3 Disebutkan Rosengerten, bahwa beragam tafsir atas teori hegemoni Gramsci. Namun, teori itu merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX yang diangkat Gramsci ( ). Gramsci dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori ini dibangun atas anggapan pentingnya pikiran atau ide, karena kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik tidaklah cukup. Gramsci memosisikan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas kelompok lainnya. Agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni. Dengan begitu, hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekomomi dengan kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976 dalam (lihat juga ).

57 39 historis dengan kebijakan usaha kehutanan, termasuk di dalamnya sejumlah dokumen surat perjanjian kehutanan (forestry agreement) dan dokumen surat keputusan pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan IUPHHK-HA. Dokumen tertulis lainnya mencakup dokumen yang bukan merupakan peraturan perundangan, namun mengandung diskursus penting dan unsur historis yang relevan dengan dan memengaruhi isu kebijakan usaha kehutanan. Bahan empiris ini diperoleh dari berbagai sumber, terutama dari jajaran Kementerian Kehutanan, dan dipilah dalam kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan Empiris yang digunakan dalam analisis Bahan Empiris Sebelum 1998 Sesudah 1998 Dokumen Peraturan Perundangan UU No. 5/67; PP 22/67; PP 21/70 (jo PP 18/75) Forestry Agreement (FA); SK HPH UU 41/99 PP 6/99; PP 34/2002 jo PP 6/2007 jo PP 3/2008, SK IUPHHK Hasil wawancara berupa pandangan langsung para informan atau narasumber kunci yang mewakili kelompok-kelompok utama para pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan, yakni kelompok birokrat, akademisi, praktisi usaha kehutanan, dan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam wawancara diangkat sejumlah pertanyaan kritis yang disintesa dari hasil telaah dokumentasi tertulis yang dituangkan dalam beberapa pointer pertanyaan terbuka 4 untuk menggali pandangan umum terkait relasi atas hutan alam, usaha kehutanan, kelestarian dan kebijakan usaha kehutanan. Wawancara pendahuluan dilaksanakan dalam Agustus-September 2010 di Jakarta, Sarolangun (Jambi), Pontianak, Sintang dan Putussibau (Kalimantan Barat). Wawancara pendahuluan fokus pada menghimpun masukan awal yang menguatkan penentuan kunci kebijakan (key policy milestone) terutama dari birokrat, praktisi usaha kehutanan dan beberapa konfirmasi dari masyarakat sipil yang ditemui. Wawancara lanjutan/mendalam dilaksanakan dalam kurun Februari-Mei 2011 di Jakarta, Bogor, Sarolangun (Jambi), dan Samarinda 4 Untuk beberapa kasus, pertanyaan diselipkan dalam perbincangan lain yang topiknya memiliki keterkaitan dan relevansi yang erat, misal pada saat dilakukan FLEGT-SP assessment sewaktu peneliti bekerja sebagai konsultan paruh waktu pada AGRECO G.E.I.E, Brussel; atau saat melakukan beberapa diskusi terfokus sewaktu peneliti menjadi research coordinator pada APSI Project, yang merupakan riset kolaborasi antara CSIRO-AUSAID-WB-Bappenas.

58 40 (Kalimantan Timur) dengan menghimpun pandangan langsung dari para pemangku kepentingan 5 dengan dipandu pertanyaan sesuai kelompok isu: Hutan Alam Produksi Luar Jawa, Usaha Kehutanan, Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam produksi, dan Kebijakan Usaha Kehutanan (Lampiran 2). Hasil on-line polling 6 yang dilaksanakan via jaringan internet diperlakukan sebagai upaya menguatkan dan memperkaya argumen empiris sekaligus verifikasi untuk mengonfirmasi kebenaran, koherensi dan konsistensi terkait upaya implementasi kebijakan usaha kehutanan. On-line polling dilaksanakan dengan memanfaatkan Google-Form 7 yang dilangsungkan dan ditebar di empat mailing-list sekaligus 8 selama sebulan penuh, dimulai 1 April 2011 dan ditutup 30 April 2011 jam Daftar pertanyaan on-line polling merupakan versi singkat dari daftar pertanyaan yang digunakan dalam wawancara mendalam dengan kelompok isu yang sama. Screen shot dari format on-line polling dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut adalah tipologi para peserta on-line polling (Tabel 2) dan narasumber wawancara mendalam (Tabel 3) Tabel 2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling Kelompok Stakeholders % Pengalaman (Th) % Domisili (2) % Masyarakat Sipil/NGO 38, ,76 Medan 9,52 Birokrat 19, ,29 Bandarlampung 4,76 Akademisi 9, ,33 Jakarta 9,52 Praktisi Usaha Kehutanan 9, ,10 Bogor 33,33 Campuran (1) 14,28 31 dan lebih 9,52 Yogyakarta 4,76 Samarinda 4,76 Pangkalan Bun 9,52 Seattle, WA 4,76 Hongkong 4,76 Landskrona,Swedia 4,76 Baton Rouge, LA 4,76 Catatan: (1) mengindikasikan diri lebih dari satu komponen stakeholders (2) saat pengisian polling Kyoto, JP 4,76 5 Karena alasan ketidak sesuaian waktu untuk temua muka, beberapa wawancara dilakukan via skype, yahoo-messenger, dan adapula via . Daftar narasumber disajikan pada bagian lain. 6 Berupa informasi dan bukti fisik yang digali secara provokatif pro-active dari responden lain, termasuk yang di daerah/lapangan 7 Thanks to Google: 8 Komunitas rimbawan (rimbawan-interaktif@yahoogroups.com ), komunitas tenurial hutan (forestlandtenure@yahoogroups.com), kelompok kerja keuangan kehutanan dan pencucian uang (iwgffmembers@yahoogroups.com), serta komunitas alumni kehutanan IPB (alumni-fahutan@yahoogroups.com). Pemilihan keempat mailing list ini lebih didasarkan pada pengamatan dan keyakinan peneliti, bahwa keempatnya merupakan kolam pengetahuan dan pengalaman baik dari sisi empiris, praktis, historis, maupun akademis terkait isu kehutanan umumnya, dan usaha kehutanan khususnya.

59 41 Tabel 3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai Komponen Stakeholders Posisi saat diwawancarai Catatan Birokrat Mantan Menteri Kehutanan Era sebelum dan setelah 1998, masing-masing satu orang Staf Ahli Menteri Kehutanan Mantan Ditjen BPK, Dephut Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Staf Ahli Menteri Kehutanan Mantan Staf Ahli Menteri Masyarakat Sipil/NGO Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Bidang Hubungan antar Lembaga Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Staf Khusus Menteri Kehutanan Peneliti Senior Bidang Kebijakan Kehutanan, Litbang Dephut Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi, Dephut Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Hutan Wil II, Ditjen Planologi, Dephut Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan; Ditjen BUK Kasi Sarpras KHM pada Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, Jambi Direktur Eksekutif (Executive Director) Specialist Dosen Fakultas Kehutanan (Jawa dan Luar Jawa) Manager Camp di Unit Management Manager Perencanaan di Unit Management Direktur Eksekutif Deputi Direktur Eksekutif Catatan: Contoh Transkrip Wawancara dapat dilihat pada Lampiran Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus Bidang lain Mantan Ditjen Planologi, Dephut Mantan Sekjen Dephut Mantan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi NGO nasional (2) dan NGO Internasional Indonesia Program (1) Pada Donor International Project Dua orang Profesor, satu orang mantan dosen bergelar Master UM di Kalimantan Timur - anggota APHI UM di Kalimantan Timur (1) dan Kalimantan Barat (1) - keduanya anggota APHI Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Dari bahan empiris yang telah terhimpun (Tabel 1) ditetapkan sejumlah bahan tertulis, terutama produk peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum usaha kehutanan, sebagai kunci kebijakan (key policy milestone) atau sebagai representasi output dari proses kebijakan usaha kehutanan saat itu (ex-post)

60 42 masing-masing untuk sebelum dan setelah Sedangkan data dan informasi terkait dengan kondisi, situasi dan kinerja usaha kehutanan dirangkum, disintesa dan diposisikan sebagai representasi output dari implementasi kunci kebijakan itu dan kebijakan turunannya dan atau penopangnya. Terhadap keseluruhan dokumen kunci kebijakan dilakukan telaah dokumen. Sebagai upaya klarifikasi atas hasil dan proses telaah dokumen ini dilakukan pula wawancara mendalam dengan para pihak pemangku kepentingan. Selain wawancara mendalam, untuk penguatan dan pengayaan argumen empiris, dilakukan pula online polling melalui internet. Sementara itu terhadap data dan informasi usaha kehutanan dilakukan pula sintesis untuk memotret (snapshot) sejauh mana kinerja usaha kehutanan selama kedua periode. Potret atau snapshot ini digunakan antara lain dalam menakar seberapa senjang (gap) antara realitas yang terpotret dengan tatanan kebijakan usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen kunci kebijakan. Aspek kelestarian, termasuk di dalamnya pemosisian hutan alam produksi digunakan sebagai penapis dalam menakar kesenjangan dimaksud. Secara skematik tahapan ini sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Gambar 3. Prosedur Analisis Diskursus

61 43 Analisis diskursus berupa analisis isi dan narasi dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar 9 disusul dengan analisis isi dan narasi. Analisis isi merujuk pada Holsti (1969) berupa penarikan inferensia atau simpul atau pokok-pokok pikiran. Dalam analisis isi ini, dilakukan pengkodean (coding) dan kategorisasi untuk masing-masing setiap paragraph dari bahan hasil ihtisar, khususnya untuk teks dokumen kebijakan, kedalam empat dimensi Bolman and Deal (1991) 10. Hasil akhir pengkodean dapat memberikan gambaran, bahwa dari sisi dimensi keorganisasian, kebijakan usaha kehutanan ada di dimensi mana: rational, human, politics, atau symbolic. Dalam pengkodean digunakan kata kunci yang diadopsi dari Bolman and Deal (1991) sebagaimana tercantum pada Lampiran 4. Hasil pengkodean sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Contoh hasil analisis isi dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis narasi merujuk Bernard (2000) dan Denzin (1989), yakni mencari dan menetapkan pola-pola pokok dalam narasi. Menurut Graffin (1993 dalam Liang dan Lin, 2008) narasi adalah sebuah bangunan analisis yang menghimpun berbagai kejadian atau fenomena yang dirangkum kedalam deskripsi singkat. Kerangka teoretik kelestarian digunakan sebagai takaran utama dalam melakukan berbagai analisis ini. Contoh hasil analisis narasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dari hasil analisis isi dan narasi di atas dilakukan pula transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-kuantitatif, termasuk dalam 9 Dalam membaca, menyarikan dan mensintesa bahan-bahan empiris, peneliti juga menggunakan antara lain Sistim Ikhtisar Dokumen Bahasa Indonesia (SIDoBI) ver 2009 yang merupakan on-line static sofware yang telah dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Indonesia. Untuk pengkodean dan pengkategorian bahan-bahan empiris, terutama hanya beberapa yang berbahasa inggris, digunakan software N-Vivo Ver 2002 buatan QSR International Pty Ltd, Melbourne, Australia. 10 Keempat dimensi itu adalah rasional (rational), kemanusiaan (human), politik (political), dan simbolik (symbolic). Dijelaskan, bahwa dalam dimensi rasional, organisasi digerakan oleh berbagai strategi, dan peran manajemen adalah mensejajarkan berbagai strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Dalam dimensi manusia, isu sentralnya bagaimana menggabungkan berbagai kebutuhan manusia dengan rasionalitas keorganisasian. Dari dimensi politik, kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya terpaksa membalikkan politik organisasi. Simbol memainkan peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam domain rasional, poin kehidupan itu adalah pilihan. Namun, hidup dalam berbagai organisasi antara lain hanyalah terkait pengambilan keputusan (March/Olsen 1976 dalam Bolman and Deal, 1984). Pembuatan keputusan sering sebagai arena untuk berbagai aksi simbolik. Dengan keempat dimensi ini Bolman and Deal (1984) memastikan ciri sebuah organisasi dalam menjalankan dan menegakan aturan main: seperti apa keseimbangannya dan kira-kira lebih cenderung ke dimensi yang mana.

62 44 bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik fenomena atau pokokpokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Diadopsi pula kuadran Alvesson and Karreman (2000) yang dalam penelitian ini dinamai frame B. Alvesson and Karreman (2000) menggunakan dua dimensi (absis dan ordinat) dengan empat kuadran 11. Untuk melihat kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya, khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) melalui pendekatan Birkland (2001) yang menekankan aspek proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri (Gambar 4). Dengan ketiga arus ini Birkland (2001) mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan (Tabel 4). Dengan berbagai pertanyaan ini hasil analisis diskursus yang sama selain dipetakan kerangka pikirnya ditelaah lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Dari hasil telaah ini ditarik sejumlah rekomendasi terkait langkah dan agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Gambar 4 Proses konstruksi kebijakan (Birkland, 2001) 11 Dimensi pertama (absis) menggambarkan hubungan antara diskursus dengan makna yang merentang dari kondisi rontok (collapsed) di ekstrim kiri dinamai pula sebagai titik discourse determination, sampai tak ada hubungan sama sekali (unrelated) di ekstreem kanan, titik ini dinamai discourse autonomy. Diantara dua ekstrim ini terdapat dua titik lain segaris yang posisinya proporsional, yakni terkait erat (tightly coupled) di bagian kiri dan terkait longgar (loosely coupled) dikanannya. Dimensi kedua (ordinat) menggambarkan lawas diskursus yang merentang dari diskursus mikro (micro discourse) di ekstrim atas dikenal dengan sebutan kepedulian-jangka pendek (close-range interest) dengan konteks situasional dan lokal (local situational contexts) sampai diskursus mega (mega discourse) di ekstrim bawah disebut sebagai kepedulian jangka-panjang (long-run interest) dengan konteks sistem-makro (macro-system contexts). Diantara kedua ekstrim ini ada dua titik segaris lain yang letaknya proporsional, yakni grand dan meso discourse.

63 45 Tabel 4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) Komponen Tujuan kebijakan Model sebab-akibat Instrumen kebijakan Sasaran kebijakan Implementasi kebijakan Penjelasan (Pertanyaan yang perlu diangkat) Apa tujuan kebijakan: menghilangkan masalah? Sekedar mengurangi, tidak menghilangkan? Atau mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih buruk? Seperti apa model ini? Apakah kita tahu bila yang dilakukan X, akan dihasilkan Y? Bagaimana kita tahu ini, bagaimana bisa tahu? Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa dijalankan? Apakah instumen itu cukup mendorong? Apakah instrumen berupa insentif, persuasif atau sekedar informasi? Perlu upaya peningkatan kapasitas? Perilaku siapa yang diharapkan berubah? Adakah sasaran langsung dan tak langsung? Apakah pilihan rancangan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi sasaran? Bagaimana kebijakan dilaksanakan? Siapa yang akan menata sistem implementasinya? Apakah akan top-down atau bottom up? Mengapa? E. Limitasi dan Validasi Harus diakui secara jujur, bahwa riset kualitatif sekaligus dengan pendekatan diskursus ini adalah baru bagi peneliti yang sejauh ini lebih banyak bergerak dan bekerja dengan pendekatan yang lebih banyak positivistik-normatif. Lompatan perubahan dalam aliran berpikir ini dan sekaligus dalam cara mendefinisikan dan mendekati persoalan memang menjadi sangat berat. Dengan kondisi demikian, peneliti menyadari penuh bahwa riset ini tidak steril dari berbagai keterbatasan (limitation). Beberapa keterbatasan ini mencakup antara lain tapi mungkin tidak terbatas pada hal-hal (a) cakupan isu yang menjadi entry riset ini, yang begitu luas, sehingga sekalipun metodologinya dapat dibangun memadai, namun saat (b) penentuan metoda analisisnya mendapat kesulitan yang tidak ringan; sehingga sebagai jalan keluar, (c) beberapa metoda yang dirujuk tidak sepenuhnya diikuti secara kaku, mengingat pelaksanaannya pun akhirnya harus kompromi dengan ketersediaan, reliabilitas dan kelengkapan, validitas bahan-bahan empiris resmi yang ontentik dan tentu saja waktu yang tersedia. Namun, dengan berbagai keterbatasan di atas penulis telah berupaya untuk tidak tidak mengorbankan validitas hasil riset kualitatif ini. Bahwa tingkat

64 46 validitas masih belum optimal, dapat diterima, karena proses validasi memang belum dilakukan optimal. Misalnya, beberapa temuan awal tidak semua dikonfirmasi langsung dan konfirmasi ulang yang dilakukan beberapa tidak kembali kepada informan yang sama, tetapi kepada informan dari kelompok dan kualifikasi yang sama. Secara keseluruhan, validasi juga dilakukan terhadap hasil polling dengan pemetaan satu-satu sesuai kelompok para pemangku kepentingan yang teridentifikasi. Proses validasi ini tentu tidak sekuat bila metodanya diikuti secara kaku, misal dengan menggunakan koefisien Cohen s Kaffa, yakni satu atribut statistik untuk ukuran kualitatif 12. Dengan keterbatasan itu pula, peneliti memosisikan hasil riset kualitatif ini bukan hal final, tetapi analog dengan sebuah sketsa lukisan di sebuah kanvas yang cukup besar yang sudah mulai tampak gambar besarnya, namun perlu penyempurnaan di tingkat mikro. Harapannya, tentu para peneliti berikutnya di masa datang dapat masuk dengan topik di tingkat mikro untuk menggenapkan sketsa dimaksud. Sebagai gambaran, berikut peta jalan (road map) awal yang mungkin dapat ditempuh dengan beberapa topik penelitian lanjutan untuk menggenapi sketsa makro di atas. (Tabel 5). Tabel 5. Peta Jalan (Road-map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Topik Riset Opsi Metoda Harapan atas hasil riset ini Kelestarian Konfirmasi sekaligus Diskursus dan atau Posisi Hutan Alam penguatan secara detail Diskursus analisi kritis kehadiran dominasi dan Kebijakan Usaha Kehutanan dan atau teori hegemoni hegemoni kekuasaan Sebagai gambaran, dalam Tabel 6 dapat dilihat beberapa riset kualitatif dengan pendekatan antara lain dengan berbagai analisis diskursus seputar kehutanan dan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah dilaksanakan di manca-negara yang beberapa diantaranya diacu dalam riset ini. 12 Smeeton (1985) dalam diunduh 6 Maret 2010.

65 47 Tabel 6. Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Reda (2004) Discourse Analysis on the Ethiopian Government s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet, Sweden Analisis Diskursus dengan berbagai rujukan, termasuk Michel Dianalisis diskursus dibalik kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi pemerintah Etiopia dalam memerangi proses penggurunan. White (2002) A Discourse Analysis of Stakeholders s understanding of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Rova (2001) When Regulation Fails: Vendace Fishery in the Gulf of Bothnia. Marine Policy Vol. 25: Arts and Buizer (2009) Forests, discourse, institutions: A discursiveinstitutional analysis of global forest governance. Forest Policy and Economics. Vol. 11 (2009): Blaikie dan Sussan (2001) Understanding Policy Processes: Livelihood- Policy Relationships in South Asia. Working Paper 2. Departemen for International Development, UK. Hewitt (2009) Discourse Analysis and Public Policy Research. Paper Series No. 24. Center for Rural Economy Discussion. Newcastle University, Foucault Analisis diskursus konstruktivitist Analisis Diskursus Analisis Diskursif- Kelembagaan Analisis kebijakan dan analisis proses kebijakan Analisis Diskursus sebagai instrumen dari analisis kebijakan Dianalisis pemahaman akan pengetahuan ilmiah yang diekspresikan dalam diskursus formal kebijakan pemulihan ikan salmon di Pasific Barat Laut Dianalisis hubungan tiga hal sekaligus: karakteristik sumberdaya, kondisi sosial para pihak pemangku kepentingan dengan ikan vendace (Coregonus albula L) di Teluk Bothnia untuk memperoleh gambaran penataan kelembagaan yang diperlukan. 13 Dianalisis bagaimana dan seberapa jauh proses-proses tatakelola dapat dipahami lebih baik melalui analisis diskursus dan antar-muka dari ilmu pengetahuankebijakan. Berfokus hanya pada diskursus, tapi dilakukan dari perspektif kelembagaan. Memahami proses kebijakan, analisis proses kebijakan dan memahami caracara dimana pengaruh berbagai kebijakan pembangunan di Asia Selatan atas mata pencaharian si miskin. Lebih merupakan tinjauan atas pendekatan-pendekatan analisis kebijakan. Riset ini coba melacak berbagai perbedaan pendekatan dalam analisis diskursus yang telah dilakukan para analis kebijakan yang terinspirasi Foucault, seting dari sifat pendekatan pendekatan serta hal terpenting dari perbedaan itu dan menarik implikasi dari penerapan analisis diskursus pada proyek-proyek riset kebijakan pedesaan. 13 Telaah konseptual penulis atas makalah ini dapat di lihat pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Volume XIV No. 1 April 2008

66 48 Tabel 6. (Lanjutan) Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Guzman (tanpa tahun) Focusing on Forest Not the Trees: A Critical Review of Knowledge and Learning Concepts. Griffit Business School, Griffith University. Australia. Analisis diskursus kritis Wittmer and Birner (2005) Between Conservation, Ecopopulism, and Developmentalism: Discourse in Biodiversity in Thailand and Indonesia. CGIAR Systemwide Program on Collective Action and Property Rights, IFRI, Washington DC, USA Philips et al (2004) Discourse and Institution. Academy of Management Review 2004 Vol.29 No. 4: Diskursus analisis terkait konsep sistem nilai, story line dan koalisi Analisis Diskursus Telaah kritis atas pengetahuan dan konsep pembelajaran. Yang ditelaah adalah aspek penting dari asumsi pilosofis yang menonjol seputar isu kekuasaan dan sifat ilmu pengetahuan. Hutan dan kayu, digunakan sekedar analogi dalam telaah. Riset ini mengkaji peran diskursus dalam kaitan konflik seputar kegiatan konservasi di negara-negara tropis. Riset fokus pada pertanyaan kunci apakah dan seberapa jauh komunitas lokal dibolehkan hidup dan memanfaatkan sumberdaya di dalam areal yang dilindungi. Kasus: Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi (Indonesia) dan Kehutanan Masyarakat di Areal dilindungi (Thailand) Menelaah proses kelembagaan melalui diskursus dan kebahasaaan dengan pertimbangan bahwa bahasa penting bagi proses pelembagaan; pelembagaan terjadi karena aktor berinteraksi dan dapat menerima definisi bersama tentang realitas yang semuanya berlangsung melalui proses-proses berbahasa dalam mendefinisikan dan mengkonstruksi realitas. F. Ringkasan Merujuk pada sekumpulan konsep dan teori seputar kebijakan, analisis kebijakan, diskursus dan diskursus kelestarian hutan lestari, kerangka metodologi penelitian ini dirumuskan. Dari konsep dan diskursus kelestarian, telah pula disintesis kerangka teoretik kelestarian, termasuk di dalamya pemosisian hutan alam sebagai instrumen penakar dalam keseluruhan analisis diskursus yang dilakukan. Peneliti mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada untuk menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif) dan sekaligus menawarkan kerangka pembaruan termasuk aliran pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan. Asumsinya, pembuatan kebijakan terutama implementasinya tidaklah linear,

67 49 dan sebaliknya merupakan kekacau-balauan (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Dengan asumsi tersebut, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-konsep dan multidisiplin yang dianggap tepat untuk mengurai kondisi chaotic. Diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-masalah yang rumit; berhubungan dengan cara berpikir, dengan nilai-nilai dan dengan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu. Diskursus juga merupakan upaya mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan. Analisis diskursus dalam penelitian ini berciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pertimbangannya lebih ke pragmatisme dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan; substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting terkait kerangka pikir dari klaim-klaim capaian usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang, sekaligus untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I. Memilih kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Analisis diskursus dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar disusul dengan analisis isi dan narasi. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dilakukan transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafiskuantitatif, termasuk dalam bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik dari fenomena atau pokok-pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya dilihat melalui pendekatan proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri. Ketiga arus ini

68 50 mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan. Hasilnya digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Untuk hal ini secara khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) Disadari sepenuhnya, bahwa riset ini merupakan hal baru bagi peneliti dan karenanya tidak mungkin steril dari berbagai keterbatasan. Namun begitu, peneliti telah berupaya untuk tetap menjaga validitas hasil riset dimaksud dan memosisikan hasil riset ini sebagai temuan pendahuluan. Peneliti menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan riset ini disertai gambaran perkembangan riset serupa di mancanegara.

69 BAB III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA A. Pendahuluan Hutan alam di Indonesia secara historis telah mengalami setidaknya empat periode penguasaan, dari mulai penguasaan oleh para raja-raja, penguasaan oleh penjajah Belanda, penjajah Jepang, dan penguasaan pada masa kemerdekaan (Lampiran 8). Masing-masing periode penguasaan memperlihatkan pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda (Dephut, 1986 SKI). Berbagai pendekatan dan orientasi itu menyiratkan keragaman dalam kerangka berpikir dan orientasi pengelolaan, dari mulai pengelolaan dengan basis kelestarian hasil, eksploitasi untuk alasan modal perang dan membiayai revolusi, sampai kepada menjalankan mandat keramat yang tertuang pada Pasal 33 UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam masa (paska) kemerdekaan diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64/1957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I (Provinsi). Pemberlakuan PP ini, dapat dianggap sebagai awal mula kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan di Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa. Melalui PP ini pula secara legal-formal usaha kehutanan di luar Jawa dimulai, ditandai dengan pelimpahan kewenangan pengurusan sumberdaya hutan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Apakah PP ini dapat dianggap pula sebagai tonggak kunci kebijakan yang memengaruhi keseluruhan kelanjutan kebijakan usaha kehutanan, menjadi salah satu poin bahasan di akhir bab ini. Selain itu, dalam bab ini pula diurai gambaran perkembangan kondisi hutan alam dan dinamika dan kinerja usaha kehutanan serta coba dilihat apa yang menjadi masalah kebijakan dibalik kemungkinan kesenjangan antara tujuan kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dengan realitas kinerja usaha kehutanan itu sendiri.

70 52 B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia 1. Kondisi Hutan Alam Setelah lebih dari lima dekade pengusahaan pada paska kemerdekaan 1, Hutan Alam Indonesia saat ini menghadapi situasi yang luar biasa suram. Secara kualitatif, situasi ini setidaknya dapat dilihat dari semakin menyusutnya luas kawasan hutan alam produksi dari tahun ke tahun. Data 2005 menunjukkan, bahwa dari 35,26 juta ha luas kawasan hutan alam produksi yang tersisa di Luar Jawa, areal yang masih tersisa dan berhutan hanya tinggal 20,62 juta ha; selebihnya berupa areal tidak berhutan (12,64 juta ha) dan belum terdata (1,99 juta ha) (Dephut, 2006a). Untuk kawasan hutan yang lebih luas lagi, digambarkan bahwa di dalam kawasan hutan dengan luas total sebesar 133,6 juta ha, tutupan hutan atau areal berhutan mencapai 85,96 juta ha (64%) dan areal yang tidak berhutan sebesar 39,1 juta ha (29%) dan sisanya 8,52 juta ha (7%) tidak terdefinisi karena data tidak lengkap (Dephut, 2006a). Tutupan hutan ini oleh banyak pihak telah dijadikan indikator untuk menilai fungsi hutan. Dalam hal ini kawasan hutan tanpa tutupan hutan yang nyata yang menurut Dephut (2006a) luasnya mencapai 29% dari kawasan hutan tetap tidak memperlihatkan kinerja terkait fungsi ekonomi sosial dan lingkungan sebagaimana yang diharapkan layaknya dari lahan berhutan. Hal ini di lapangan sering menjadi peluang pembenaran untuk melakukan realokasi wilayah-wilayah tak berhutan kepada penggunaan lain yang dianggap lebih produktif, misalnya perkebunan atau wana-tani (agroforestry). Berbagai alternatif pemanfaatan ini bahkan dipandang telah memperluas tekanan dan ancaman atas hutan alam. Situasi ini jelas akan menambah unsur ketidakpastian akan usaha kehutanan. Keadaan ini diperparah oleh rendahnya kinerja realisasi penataan batas hutan alam yang oleh Hermosilla dan Chip Fay (2006) sampai awal 2005 diklaim 1 Dihitung dari sejak dikeluarkannya PP 64/1957

71 53 hanya sekitar 12 juta ha (10%); artinya seluas 108 juta ha (90%) kawasan hutan alam belum di tata batas dan dibiarkan tidak pasti 2. Sementara itu, dalam Renstra (Dephut, 2006b) diperoleh gambaran kondisi yang relatif lebih lengkap. Disebutkan, bahwa luas kawasan hutan alam produksi setelah proses paduserasi TGHK- RTRWP adalah 71,68 juta ha. Dari luasan ini, seluas 41,15 juta ha keadaannya baik; sementara sisanya (16,45 juta ha) kondisinya rusak. Dari luasan 41,45 juta ha yang kondisinya baik itu, seluas 28,27 juta ha diusahakan melalui IUPHHK-HA dan sisanya (12,98 juta ha) menjadi sumberdaya akses terbuka (open access), tidak ada pengelolanya. Sementara itu, dari luasan 16,45 juta ha yang rusak, seluas 9,31 juta ha diusahakan melalu IUPHHK HT dan sisanya (7,14 juta ha) menjadi sumberdaya akses terbuka, tak berpengelola. Dengan begitu, maka dari luasan 71,68 juta ha hutan alam produksi di Luar Jawa, 28,1 % atau seluas 20,12 juta ha dalam kondisi open access. Dan yang menarik perhatian adalah adanya luasan hutan produksi yang kondisinya baik tapi tidak berpengelola, dengan luas mencapai 12,98 juta ha (Gambar 5) Ada pengelola Rusak 9,31 juta ha (IUPHHK-HT) 7,14 juta ha (open access) 28,27 ha (IUPHHK-HA) 12,98 juta ha (open access) Baik Tak ada pengelola Gambar 5. Kondisi Hutan Alam Produksi 2005 (Sumber: Dephut, 2006b) Data 2009 menunjukkan, total luas hutan alam produksi Luar Jawa sebesar 80,02 juta ha. Dari luasan ini seluas 35,33 juta ha (44,15%) merupakan hutan produksi (HP) sisanya 22 juta ha (27,50%) merupakan hutan produksi terbatas (HPT) dan 22,68 juta ha lainnya (28,34%) merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) (Kemenhut, 2 Hal ini dianggap Hermosila dan Chip Fay (2006) bahwa kawasan hutan negara secara resmi dan de jure saat ini (2006) hanyalah 12 juta Ha, bukan 120 juta ha sebagaimana dipercaya banyak pihak selama ini.

72 ). Dari total luasan HP ini tampak bahwa Kalimantan masih mendominasi luas hutan alam (Tabel 7) Tabel 7. Luas dan Sebaran Hutan Produksi 2009 (dirinci per Provinsi) PROVINSI HPT HP HPK Total HP Aceh 37, , ,580 Sumatera Utara 879,270 1,035,690 52,760 1,967,720 Sumatera Barat 246, , , ,578 Riau 1,971,553 1,866,132 4,770,085 8,607,770 Kepulauan Riau Jambi 340, ,490-1,312,190 Sumatera Selatan 217,370 1,826, ,445 2,475,808 Bengkulu 189,075 34, ,040 Bangka Belitung - 466, ,090 Lampung 33, , ,090 Bali 6,719 1,907-8,626 Nusa Tenggara Barat 286, , ,309 Nusa Tenggara Timur 197, , , ,440 Kalimantan Barat 2,445,985 2,265, ,350 5,226,135 Kalimantan Tengah 3,400,000 6,068,000 4,302,581 13,770,581 Kalimantan Selatan 126, , ,424 1,040,272 Kalimantan Timur 4,612,965 5,121,688-9,734,653 Sulawesi Utara 552, ,108 34, ,493 Gorontalo Sulawesi Tengah 1,476, , ,856 2,228,761 Sulawesi Tenggara 419, , ,123 1,264,798 Sulawesi Selatan 494, ,024 22, ,846 Sulawesi Barat 361,775 65,001 79, ,511 Maluku 1,653,625 1,053,171 2,304,932 5,011,728 Maluku Utara Papua 2,054,110 10,585,210 9,262,130 21,901,450 Papua Barat INDONESIA (minus Jawa) 22,003,777 35,330,307 22,682,385 80,016,469 Sumber: Kemenhut (2010). Statistik Ditjen BPK Jakarta (data diolah) Kondisi di atas tentu tidak lepas dan berkaitan erat antara lain dengan berbagai situasi masalah yang terjadi di hutan alam produksi di Luar Jawa, terutama terkait pembalakan liar dan multidimensi konflik serta laju dan besaran deforestasi. Tiga situasi masalah ini hampir menjadi hal klise pada tataran diskursus yang berkembang terkait hutan alam produksi Luar Jawa,

73 55 karena kecenderungannya adalah semakin banyak dibincang, tapi tidak memperlihatkan arah perbaikan yang memadai dari waktu ke waktu 3 2. Pembalakan/Penebangan Liar Pembalakan atau penebangan liar atau lebih dikenal juga dengan istilah illegal logging berkait erat dengan deforestasi, kerusakan dan bahkan kehilangan sumberdaya hutan. Sekalipun diakui banyak pihak sangat sulit untuk menentukan secara pasti, beberapa dugaan terkait besar kegiatan penebangan liar bermunculan dengan kisaran antara 40%-95%. Laporan UNEP pada 2007 menduga bahwa 73% sampai 88% dari kayu yang ditebang di Indonesia berasal dari sumber illegal (BGA, 2010). Sementara dugaan lain menunjukkan angka ini lebih rendah, namun tetap mengejutkan, yakni 40% sampai 55% (HRW, 2009). Dudley et al (1995) dan EIA (2001) dalam Seikh PA (2008) bahkan menduga 95% kayu yang diekspor Indonesia pada awal 1990an diperoleh secara illegal, sementara di pertengahan 1990an hampir 80% pemegang konsesi hutan disebutkan gagal mematuhi aturan; akibatnya diprediksi bahwa antara 70-80% produksi dan impor merupakan kayu illegal. Seikh PA (2008) memberikan ilustrasi dugaan illegal logging di beberapa negara di dunia seperti ditunjukkan Tabel 8 berikut. Data resmi dari pemerintah tidak cukup kuat memberikan klarifikasi atas kecenderungan angka-angka prediksi di atas. Untuk 2008 diperoleh data resmi pemerintah terkait illegal logging sebesar 14,6 ribu m3 (Dephut, 2008). Namun,tidak disebutkan besaran itu dalam hektar. Demikian pula data 2003, kegiatan illegal logging hanya disebutkan dalam satuan kasus, yakni untuk 2003 terjadi 293 kasus (Dephut, 2005-RPJP), tanpa ada penjelasan sebaran dan luasan masing-masing kasus. 3 Dari pengamatan empiris peneliti dalam berbagai kesempatan menghadiri seminar, lokakarya, diskusi terfokus di berbagai tempat dalam dan luar negeri dengan beragam isu dan topik yang berkaitan dengan hutan alam pada umumnya, baik selama maupun sebelum masa studi.

74 56 Tabel 8. Dugaan Tingkat Illegal Logging di Beberapa Negara di Dunia Wilayah/Negara Deskripsi Dugaan Sumber Malaysia Sepertiga lebih dari ekspor kehutanan pada Dudley eta an adalah ilegal Kamboja 90% dari pembalakan diduga illegal Auer et al 2003 Laos, Kamboja, Hampir semua kayu ekspor pada awal Dudley at al 1995 Thailand dan Filipina 1990an illegal. Perkiraan lain antara 40% - 45% INDONESIA 95% ekspor kayu diperoleh secara illegal Dudley et al 1995 pada awal 1990an. Pada pertengahan 1990an hampir 84% pemegang konsesi HPH tidak patuh pada hukum dan aturan; diduga 70%-80% produksi hasil hutan dan impor illegal Myanmar Lebih dari separuh ekspor hasi hutan negara tidak jelas (undeclared: i.e illegal) World Resource Institute, 1998 Papua Nugini Beberapa melaporkan penyuapan dan Glastra, 1999 kehilangan moneter akibat illegal logging Filipina 16 juta ha hutan telah berkurang menjadi 70 rb ha, terutama akibat illegal logging Environmental Investigation Agency, 2001 Bolivia Deforestasi illegal setidaknya 4 kali atau Contreras-Hermosilla, 1997 mungkin 8 kali deforestasi legal Brazil 80% pembalakan di Amazon illegal, dugaan Dudley et al, 1995 lain berkisar 20-90%, namun umumnya setuju bahwa kejadiannya merata di Amazon Brazil Rusia Sekitar 20% pembalakan hutan di Rusia Greenpeace, 2000 melanggar hukum. Rusia memiliki 20%-50% produksi hasil hutan dan impor illegal Tanzania Sekitar 500 ribu ha ditebang secara illegal Glastra, 1999 setiap tahun Kamerun Sekitar sepertiga kayu yang diolah untuk Glastra, 1999 pasar setempat diperoleh secara illegal. Liberia Kira-kira 80% pembalakan kayu adalah Glastra, 1999 illegal Ghana Sebanyak sepertiga dari kayu yang dipanen pada 1990an adalah illegal. Diduga 34%- 60% pembalakan kayu adalah illegal Auer et al, 2003 Sumber: Seikh PA (2008). Namun, studi yang dilakukan Chatham House pada menunjukkan bahwa pada 2007 tercatat sekitar kasus illegal logging di Indonesia dengan volume kayu illegal mencapai 1,5 juta m3 yang keseluruhan diperkirakan bernilai antara USD 30 juta USD 110 juta. Data mentah terkait jumlah kasus illegal logging ini diperoleh Chatham House dari kerja Kepolisian RI dalam kurun Data yang sama diperolehnya dari Dephut hanya 467 kasus untuk tahun yang sama, tanpa 4 Brack, D. Sam Lawson, and MacFaul Larry Illegal Logging and Related Trade: 2008 Assessment of The Global Response (Pilot Study). Energy, Environment and Development Program. Chatham House. UK.

75 57 ada penjelasan dan informasi terkait besaran kubikasi yang setara kayunya (round wood equivalent, RWE) serta perkiraan total nilai moneternya. Kegiatan illegal logging terindikasi pula bertali temali erat dengan korupsi dan salah urus (mismanagement) pengelolaan sumberdaya hutan sebagaimana ditelaah HRW (2009) 5. Disebutkan bahwa dengan menggunakan metodologi standar industri telah berhasil diduga bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar USD 2 M per tahun dalam kurun antara 2003 dan 2006 akibat illegal logging, korupsi dan salah urus sumberdaya hutan. Jumlah tersebut mencakup pajak dan royalty yang tidak terhimpun dari kayu illegal, kehilangan pendapatan dari besarnya subsidi semu atas industri perkayuan (termasuk di dalamnya dasar penetapan pajak dari harga kayu dan nilai tukar yang dibuat rendah), serta kehilangan akibat praktek menghindari pajak yang dilakukan para ekportir nakal yang dikenal sebagai transfer pricing. HRW mengilustrasikan rincian kerugian ini secara lebih tegas dalam Gambar 6. Gambar 6 Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia (Sumber: HRW, 2009). Kerugian finansial dari akibat tali temalinya illegal logging dan korupsi serta kejahatan kehutanan lainnya telah pula dianalisis untuk tingkat dunia oleh Kelompok Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan 5 HRW Wild Money : The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia s Forestry Sector. Human Rights Watch. New York, NY USA.

76 58 Kishor, N and Tapani Oksanen (2009) 6. Disebutkan bahwa illegal logging dan beragam kejahatan kehutanan lainnya umum terjadi di banyak bagian lain di dunia dan umumnya melibatkan pemain baik dari negara-negara produsen maupun konsumen. Bank Dunia memerkirakan nilai pasar dari kerugian tahunan akibat illegal logging mencapai sebesar USD 10 M. Menurutnya, angka ini lebih dari 8 kali angka resmi dana bantuan pembangunan internasional yang dialirkan untuk program pembangunan hutan lestari. Disimpulkan, bahwa dibalik ini semua adalah korupsi; dan korupsi telah mendorong terjadinya berbagai kegiatan illegal, khusunya illegal logging skala besar, seperti ditunjukkan Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa dibanding negara lainnya, Indonesia berada pada posisi paling tinggi baik untuk tingkat korupsi, maupun jumlah angka kayu bulat yang dicurigai illegal. Gambar 7. Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal (Sumber: Kishor, N and Tapani Oksanen, 2009) 6 Kishor, N and Tapani Oksanen Combating Illegal Logging and Corruption in the Forestry Sector: Strengthening Forest Law Enforcement and Governance. Enviroment Matters 2006 Annual Review July 2005-June 2006 (FY 06). The World Bank Group.

77 59 3. Multidimensi Konflik Hutan alam produksi di Luar Jawa juga diwarnai gejala dan fenomena multidimensi konflik. Itu setidaknya digambarkan oleh FWI/GFW (2002) dan Wulan et al (2004) 7 sebagaimana diuraikan di bawah ini. FWI/GFW (2002) berhasil memetakan sebaran konflik berdasarkan survey. Digambarkan, bahwa penyebab umum konflik antara lain terkait konsesi HPH, penebangan liar, penetapan kawasan lindung dan taman nasional, pembangunan hutan tanaman dan perkebunan sawit. Ditambahkan, bahwa konflik terjadi lebih sering karena akibat beda pandangan terkait hak atas lahan (land rights issues), pelanggaran atas kontrak perjanjian, dan ketidak jelasan batas kawasan. Diperlihatkan, bahwa konflik menyebar terjadi di keseluruhan pulau utama di Indonesia. Sementara, Wulan et al (2004) memotret profil konflik ini berdasar survey media dalam kurun Disebutkan, bahwa dari 359 konflik, lebih dari seperempat (27 %) diantaranya terjadi di areal HPH. Dari 359 konflik, 273 (76,04%) diantaranya terjadi di Luar Jawa. Adapun penyebab konflik teridentifikasi setidaknya lima hal: perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan (akses), dan alih fungsi kawasan. Seperti halnya hasil FWI/GFW (2002), Wulan et al (2004) juga menunjukkan bahwa konflik juga menyebar terjadi di hampir keseluruhan pulau utama (Tabel 9). Sedangkan kecenderungan jumlah atau frekuensi konflik dari tahun ke tahun berfluktuasi, dimana konflik terbanyak terjadi pada 2000 sebanyak 153 kasus. (Gambar 8) Beberapa kebijakan pemerintah terkait langsung dengan keberpihakannya atas kepentingan masyarakat, seperti hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan cadangan pangan, bina desa hutan (BDH) dan pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) yang telah berjalan sejauh ini dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Khan (1996) menunjukkan bahwa program BDH yang kini telah mengalami berbagai perubahan (ditingkat aturan) itu, misalnya, masih tetap sulit diimplementasikan, 7 Wulan et al (2004) Analisis Konflik Sektor Kehutanan Center for International Forestry Research. Bogor.

78 60 Tabel 9. Frekuensi Konflik Kehutanan per Provinsi ( ) No. Provinsi Frekwensi Konflik Persentase (%) 1 Nangroe Aceh Darusasalam 10 2,79 2 Sumatera Utara 36 10,03 3 Sumatera Selatan 12 3,34 4 Riau 19 5,29 5 Jambi 16 4,46 6 Kalimantan Timur ,36 7 Kalimantan Tengah 10 2,79 8 Jawa Barat 25 6,96 9 Jawa Tengah 47 13,09 10 Jawa Timur 14 3,90 11 Provinsi lain 61 16,99 Total Jawa 86 23,96 Total Luar Jawa ,04 TOTAL INDONESIA ,00 Sumber: Wulan et al (2004) data diolah ulang, urutan dimodifikasi Frekuensi Konflik per Tahun Jun Tahun Frekuensi Konflik Gambar 8 Frekwensi Konflik Pertahun ( ) (Sumber: Wulan et al, 2004 data diolah ulang) antara lain karena program ini bagi pemegang HPH maupun HTI (waktu itu) pada akhirnya dan dalam jangka pendek lebih merupakan beban biaya tambahan (disinsentive) yang tidak ada kaitan langsung baik dengan upaya peningkatan efisiensi ataupun kapasitas produksi HPH/HTI yang bersangkutan. Keadaan ini menguatkan dugaan, bahwa program semacam ini kurang memperhitungkan dan mengantisipasi kedudukan dan karakter HPH/HTI sebagai institusi bisnis yang berorientasi pada perilaku memaksimalkan keuntungan.

79 61 4. Deforestasi Sementara itu, kebijakam konsesi melalui sistem HPH selama efektif lebih dari tiga dekade terakhir telah menyebabkan juga kehilangan dan kerusakan sumberdaya hutan yang sangat menyedihkan. World Bank (2006c) mencatat bahwa hampir 30% luas hutan produksi kondisinya rusak (deforested) dan laju kerusakan hutan tertinggi terjadi pada hutan alam produksi yang dikelola HPH/IUPHHK. Maka bermunculan berbagai versi angka laju deforestasi hutan Indonesia dengan rentang 700 ribu ha/tahun sampai 3 jutaan ha pertahun. Menurut Gautam et al (2000), merujuk pada hasil beberapa riset saat itu, tingkat kerusakan hutan telah mencapai rata-rata 1,5 juta ha per tahun. Pada 2008, Indonesia bahkan telah masuk Buku Rekor Dunia Guiness dalam hal kerusakan hutan. Disebutkan, dari 44 negara yang secara kolektif menguasai 90% hutan dunia, Indonesia meraih tingkat laju deforestasi tercepat di dunia dengan angka 1,8 juta ha per tahun antara Greenpeace (2007) 8 menyebutkan, bahwa rekor ini berimplikasi menjadikan Indonesia juga sebagai pencemar gas rumah kaca ketiga di dunia, setelah Amerika dan Cina, dengan besaran 25% emisi gas rumah kaca akibat penggundulan hutan. Seikh PA (2008) memberikan gambaran pula bahwa deforestasi menyumbang seperlima dari emisi gas rumah kaca dunia. Sementara sebuah studi yang disponsori pemerintah Indonesia sendiri memerkirakan bahwa kerusakan hutan Indonesia berkontribusi hampir 80% atas emisi gas rumah kaca nasional. Level itu dinilainya sangat kritis dan menempatkan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga dunia. Namun, data resmi Dephut yang tertuang antara lain dalam Statistik Kehutanan 2007 (Dephut, 2008) mengonfirmasi lain terkait tingginya laju deforestasi ini. Dalam kurun lima tahun ( ) tercatat jumlah deforestasi dari tujuh pulau utama di Indonesia mencapi luasan 5,45 juta ha, dengan laju rata-rata per tahun seluas 1,1 juta ha (Tabel 10) diunduh 3 Juni 2007

80 62 Tabel 10. Besar dan Laju Deforestasi dari Tujuh Pulau Utama Indonesia Deforestasi (Ha/th) Pulau 2000/ / / / /2005 Total Rataan Sumatera 259, , , , ,700 1,345, ,100 Kalimantan 212, , , , ,700 1,230, ,020 Sulawesi 154, , ,800 41, , ,300 73,260 Maluku 20,000 41, ,400 10,600 10, ,900 42,980 Papua 147, , , , , , ,680 Jawa 118, , ,400 71,700 37, , ,560 Bali-NT 107,200 99,600 84,300 28,100 40, ,800 71,960 INDONESIA 1,018, ,300 1,906, , ,500 5,447,800 1,089,560 Sumber: Dephut (2008) Statistik Kehutanan Indonesia Jakarta (diolah) Berapapun besarnya, deforestasi diakui berdampak merugikan, bahkan dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menghilangkan peradaban manusia, bila kondisinya dibiarkan terus berlanjut. Berbagai kejadian bencana alam yang berulang secara rutin dalam dua dekade terakhir ini seolah telah membuat manusia begitu terbiasa dan akrab dengan banjir, longsor dan kekeringan serta kebakaran hutan. Sebut saja banjir bandang yang datang berulang berbagai wilayah di Sumatera (Walhi, 2003), banjir di Gorontalo dan berbagai wilayah di Sulawesi (Walhi 2006) dan banjir di Kutai Barat, di Samarinda dan wilayah lain di Kalimantan (Kompas 2005) 9 ; tentu dengan besaran, sebaran, dan frekuensi, serta jumlah korban yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Keseluruhan kejadian bencana lingkungan ini memiliki kaitan logisfungsional dengan menyusutnya peran, fungsi dan keberadaan hutan alam akibat deforestasi. Kekhawatiran terkait akan terjadinya peningkatan tekanan lingkungan di Indonesia sebagaimana pernah diungkap Diamond (2005) sebetulnya sudah (cukup lama) terbukti. Selain deforestasi, terjadi pula kerusakan dan kehilangan atau perubahan peruntukan kawasan hutan yang dimungkinkan karena kegiatan seperti tukar menukar kawasan hutan untuk pemanfaatan lain, mutasi kawasan hutan produksi kepada fungsi lain, dan bahkan konversi hutan alam kepada penggunaan lain, terutama pertanian dan perkebunan. Berbagai perubahan ini memang secara resmi telah diatur dan difasilitasi 9 Bahkan pada saat penulisan akhir disertasi bagian ini dilakukan, diberitakan berbagai media cetak dan elektronik nasional bahwa sedang terjadi banjir dan longsor di banyak wilayah di Jawa dan Nusa Tenggara.

81 63 oleh pemerintah, Cq Kementerian Kehutanan. Sampai 2002, misalnya, tercatat seluas 4,46 juta ha kawasan hutan alam produksi telah berubah peruntukannya menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada 2007 luasan ini meningkat menjadi 4,74 juta ha, keseluruhannya melalui keputusan pelepasan oleh menteri (Dephut, 2008). Gautam et al (2000) sampai pada simpulan bahwa penyebab utama penggundulan hutan di Indonesia adalah kepentingan komersialisasi hutan sekala besar yang berujung tidak saja pada ketidak-lestarian tetapi juga ketidak adilan manfaat yang begitu lebar. Demikian pula kesimpulan Kato (2005), yang menyebutkan bahwa penyebab deforestasi mencakup penebangan berlebih, kebakaran hutan, transmigrasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. 5. HPH/IUPHHK HA Selain terjadi pada kondisi luas hutan alam, fluktuasi dengan trend menurun juga tampak pada jumlah unit dan luas konsesi HPH/IUPHHK HA. Data series 20 tahun terakhir (1990/ ) menunjukkan fluktuasi menurun seperti ditunjukkan Gambar 9. Tampak bahwa jumlah HPH pada 1990 masih sekitar 557 unit dengan luas konsesi total 68,88 juta ha, dan menurun cukup nyata menjadi 263 unit dengan luas konsesi total sebesar 21,88 juta ha pada Data lain Dephut (2010) menggambarkan jumlah unit konsesi IUPHHK baik yang aktif maupun tidak aktif sebagaimana dirinci pada Tabel 11. Ilustrasi yang sama ditunjukkan pada Gambar 10. Tampak bahwa pada 2010 dari jumlah unit konsesi IUPHHK sebesar 304 unit dengan mencakup luasan sebesar 25,05 juta ha jumlah yang aktif hanya 263 unit dengan luas sebesar 21,88 juta ha. Selain penurunan unit dan luasan konsesi di atas, situasi masalah juga muncul dari rendahnya kinerja pengelolaan hutan lestari, seperti ditunjukkan Dephut (2006). Disebutkan, bahwa pada 2003 lebih dari 50 %

82 64 Perkembangan IUPHHK - Dua Dekade terakhir (Unit) (a) / / / / / / / / / / / Jumlah (Unit) * Tahun Perkembangan IUPHHK - Dua Dekade terakhir (Luas) (b) Luas Juta Ha) / / / / / / / / / / / * Tahun Gambar 9. Perkembangan Unit (a) dan Luas (b) Konsesi IUPHHK dalam Dua Dekade Terakhir ( ) (Sumber: Dephut IUPHHK Aktif (sampai May 2010). Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi, Ditjen BPK. Jakarta; Dephut (2000) Statistik Pengusahaan Hutan 1999/2000. Ditjen Pengusahaan Hutan, Dephut. Jakarta) Tabel 11. Jumlah IUPHHK Aktif (sampai Mei 2010) Provinsi AKTIF TIDAK AKTIF TOTAL Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Sumatera , , ,473,985 Kalimantan ,017, , ,619,989 Sulawesi 19 1,291, , ,629,920 Maluku 27 1,538, , ,584,095 Papua 42 7,362, ,383, ,745,908 INDONESIA ,878, ,175, ,053,897 Sumber: Dephut IUPHHK Aktif (sampai May 2010). Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi, Ditjen BPK. Jakarta;

83 65 IUPHHK AKTIF PER MAY 2010 (Unit) Papua 42 Sumatera 14 IUPHHK AKTIF PER MAY 2010 (Ha) Papua 7,362,448 Sumatera 668,169 Maluku 27 Kalimantan 11,017,773 Sulawesi 19 Kalimantan 161 Maluku 1,538,029 Sulawesi 1,291,760 Gambar 10. Sebaran IUPHHK Aktif (per May 2010) unit konsesi IUPHHK memiliki kinerja pengelolaan hutan yang buruk, dan kecenderungan buruk ini akan terus meningkat untuk waktu mendatang. Pada 2004 jumlah unit konsesi yang berkinerja buruk mencapai 60% dan hanya 11 % yang baik, sisanya (29%) masuk kinerja sedang. Namun, data terbaru (2009) mengungkapkan, bahwa sesuai dengan perolehan sertifikasi PHAPL mandatory, tercatat bahwa IUPHHK pemegang sertifikat PHAPL dengan predikat baik dan masih berlaku waktu itu hanya sekitar 17,07% sedangkan yang memperoleh sertifikat dengan predikat sedang yang masih berlaku mencapai 56,10% Dari sertifikat yang masih berlaku ini, tidak ada satu unit IUPHHK HA pun yang mendapat sertifikat dengan predikat sangat baik (Dephut, 2010). Sampai 2009, nilai investasi berupa total aset dari IUPHHK berdasarkan laporan keuangan yang masuk ke Kemenhut tercatat mencapai angka Rp. 68,9 T dengan rataan sebesar Rp. 13,8 T per tahun dalam kurun (Tabel 12). Angka ini akan jauh lebih besar, seandainya semua unit IUPHHK-HA menyampaikan laporan keuangannya. 6. Produksi Sejalan dengan penurunan jumlah dan luas HPH/IUPHHK-HA, fluktuasi menurun juga terjadi pada produksi hasil hutan kayu, terutama

84 66 Tabel 12. Jumlah dan Rataan Investasi IUPHHK Th Jumlah Nilai Nilai IUPHHK Total Aset Perolehan Buku yang Lapor (Rp jt) (Rp jt) (Rp jt) (unit) ,799,093 3,580,397 15,106, ,261,655 2,747,301 14,779, ,735,561 3,955,352 17,307, ,773,625 2,778,354 9,533, ,357,074 3,144,373 12,157,399 Rataan 7,385,402 3,241,155 13,776,926 TOTAL 36,927,008 16,205,776 68,884,632 Sumber: Kemenhut (2010) data diolah kayu bulat. Pada 1990 an produksi tahunan kayu bulat masih sekitar 10 jutaan m3 per tahun dan menurun menjadi sekitar 5,7 jutaan m3 pada Penurunan ini juga disebabkan oleh diterapkannya kebijakan pengurangan produksi kayu bulat tahunan dari hutan alam secara bertahap dan perlahan (soft landing). Melalui kebijakan ini produksi kayu hutan alam pada 2003 mengalami pengurangan sekitar 20% dari angka produksi tahun sebelumnya (KepMenhut 19/2003). Selanjutnya pada 2004 penurunan ditetapkan sekitar 17 % dari angka produksi tahun 2003 (KepMenhut No. 156/2003). Untuk 2005 penurunan ini hanya sekitar 5% saja dari angka produksi 2004 (SK Ditjen BPK No. 195/2004). Data 2008 menunjukkan adanya kenaikan kembali jatah potensi tebangan tahunan, mulai 2006, 2007 dan 2008 berturut menjadi sebesar 8,16 juta m3, 9,10 juta m3 dan 9,10 juta m3 (Dephut, 2009). Data kenaikan ini juga menunjukkan, bahwa Kalimantan dan Papua merupakan dua wilayah dengan jatah tebang paling besar terutama pada 2007 dan 2008 (Gambar 11).

85 67 Jatah Tebang Tahunan ,000,000 5,000,000 JTT (m3) 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 - Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Nusa Tenggara Wilayah Papua Gambar 11 Jatah Tebang Tahunan Sumber: Dephut 2009 data diolah Data 2008 juga menunjukkan bahwa produksi kayu bulat dari HPH/IUPHK HA hanya mencapai 4,61 juta m3. Sedangkan produksi kayu bulat dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar 2,76 juta m3, lebih dari setengah hasil produksi IUPHHK HA. (Dephut 2009). Dengan mempertimbangkan tingkat konsumsi kayu bulat dan produksi resmi (belum memperhitungkan produk yang tidak dilaporkan dan penyelundupan) maka terdapat kesenjangan yang luar biasa antara kemampuan pasok dan angka permintaan. Misalnya, angka konsumsi kayu, termasuk bubur kertas pada 2004 mencapai total 50,5 juta m3, sementara tingkat produksi resmi untuk tahun yang sama total hanya sebesar 13,5 juta m3. Jadi, ada sekitar 37 juta m3 kayu yang tidak dilaporkan dan atau diduga diselundupkan (Dephut 2006). World Bank (2006c) mencatat kesenjangan seperti ini telah berlangsung relatif lama, setidaknya dalam periode Melihat struktur sumber pasokan kayu bulat, kesenjangan ini diduga akan terus berlangsung, bila penurunan potensi hutan alam tidak diimbangi dengan peningkatan hutan tanaman dan sumber lainnya. Data 2005 menunjukkan, bahwa sumber utama pasokan 54.1 % berasal dari HTI, dan 38 % dari hutan alam (RKT HPH dan IPK) serta lainnya dari Perhutani (6.8 %) dan dari izin syah lainnya/isl (1.13%) (Dephut, 2006). Dephut (2010) memberikan gambaran sumber pasokan ini lengkap untuk kurun (Tabel 13)

86 68 Tabel 13. Produksi Kayu berdasar sumber pasokan (%) Tahun Hutan Alam Hutan Tanaman HPH IPK/ISL Perhutani HTI Sumber Lain Total ,64 50,48 0,07 30,97 4,85 100, ,92 13,08 0,08 64,46 3,46 100, ,00 13,66 0,15 63,99 2,20 100, ,47 8,65 0,30 69,73 6,84 100, ,16 19,29 0,25 55,22 11,07 100,00 Dephut (2010) juga memberikan ilustrasi besar produksi kayu antara hutan alam (HA) dengan hutan tanaman untuk kurun waktu yang sama (Gambar 12) Produksi Kayu Bulat Nasional Tahun 2007 HA HT Total Produksi (juta m3) Gambar 12. Produksi Kayu Bulat Nasional dari HA dan HT ( ) Dari gambar di atas tampak bahwa produksi kayu bulat nasional yang berasal dari sumber HA tampak menurun dari sekitar 20an juta m3 (2005) menjadi sekitar 12 jutaan m3 (2009). Sebaliknya terjadi fluktuasi dengan kecenderungan menaik pada produksi kayu bulat yang berasal dari HT, menyebabkan untuk kurun itu produksi kayu total pun berfluktuasi meningkat. Khusus untuk HA, kesenjangan di atas juga terjadi bersamaan dengan menurunnya jumlah dan luasan HPH/IUPHHK yang cukup nyata, seperti telah di gambarkan di atas, dimana tampak menyusut lebih dari setengahnya dalam kurun dua dekade terakhir (1989/ ). Pada awalnya (1990an) jumlah konsesi hutan alam ini mencapai total hampir 600 unit yang beroperasi pada luasan hutan alam produksi sekitar 60 juta

87 69 ha. Saat ini (2010) jumlah unit dan luasan konsesi ini menyusut menjadi sekitar 200an unit dengan luas hanya sekitar 20 an juta ha saja. Dengan penyusutan unit dan luasan konsesi ini, di lapangan terjadi peningkatan luasan areal hutan produksi ini yang terlantar tidak dalam wilayah kelola HPH/IUPHHK dan bahkan cenderung menjadi sumberdaya tanpa pemilik (no body s property) dengan akses terbuka. Sementara itu, volume ekspor dan pemasukan devisa diperoleh dari produk kayu olahan yang diekspor ke berbagai negara seperti: Jepang, Australia, Hongkong, Cina dan Korea Selatan. Volume dan nilai ekspor ini pada 2008 mencapai total USD 3,10 M (Tabel 14). Tabel 14. Volume dan Nilai Ekspor Produk Kayu Olahan (2008) Produk Volume (Kg) Nilai (USD) Kayu gergajian 50,910,120 55,202,968 Kayu Lapis 1,668,337,181 1,533,456,775 Bubur Kertas/Pulp 2,615,776,379 1,422,446,611 Lembaran Veneer 11,532,700 30,112,943 Papan partikel 4,243,936 1,140,930 Papan serat 180,029,160 56,144,786 Total 4,530,829,476 3,098,505,013 Sumber: Dephut (2009) data diolah Selain mengekspor produk kayu olahan, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat dan kayu olahan antara lain dari Cina, Malaysia, Jepang, Selandia Baru, Jerman, Amerika Serikat, Brazil dan Swedia. Pada 2008, volume dan nilai impor ini mencapai nilai USD 1,47 M. (Tabel 15). Tabel 15. Volume dan Nilai Impor Produk Kayu (2008) Produk Volume (Kg) Nilai (USD) Kayu bulat 57,882,756 18,120,503 Kayu gergajian 192,882, ,369,826 Kayu Lapis 53,039,416 28,032,870 Bubur Kertas/Pulp 892,958,546 1,156,307,565 Lembaran Veneer 21,185,651 31,991,961 Papan partikel 230,718,805 63,972,943 Papan serat 102,228,370 43,553,955 Total 1,550,895,991 1,469,349,623 Sumber: Dephut (2009) data diolah

88 70 Dari data ekspor-impor produk kayu 2008 di atas, tampak bahwa neraca perdagangan kayu masih positif, hanya saja nilai impor hampir setengah (47,42%) dari nilai ekspor. Dari macam komoditi kayu, tampak bahwa nilai impor terbesar adalah bubur kertas yang mencapai nilai USD 1.16 M atau 78,70% dari nilai total impor. Tidak ada informasi lebih lanjut, negara mana yang mencerap nilai impor sebesar ini. 7. Kontribusi Kehutanan pada Perekonomian Ekonomi makro nasional antara tercatat tumbuh rata-rata 7% per tahun. Pada pertumbuhan itu sektor kehutanan memberi andil cukup besar melalui ekspor dan investasi. Pada 1995, misalnya, nilai ekspor sektor ini mencapai USD 16 M dengan jumlah HPH waktu itu 487 unit (Dephut 2006b). Kurang dari 10 tahun kemudian, pada 2003, andil ini mulai menurun. Pada 2003 perolehan devisa sektor kehutanan turun menjadi hanya USD 6,6 M. Angka ini hanyalah 13,7% dari nilai keseluruhan ekspor non-migas saat itu. Angka devisa dimaksud berasal dari kayu lapis, kayu gergajian dan kayu olahan total USD 2,8 M; kertas dan bubur kertas (USD 2,4 M), mebel (1,1 M) dan sisanya (USD 0,3 M) berasal dari kayu olahan lain. (Dephut, 2006b). Kecenderungan menurun juga ditunjukkan oleh persen kontribusi sektor kehutanan terhadap besar PDB dalam kurun (BPS, 2007), dimana rata-rata persen kontribusi hanya berkisar di bawah 2% dan bahkan di bawah 1% 10 (Gambar 13) 10 Hal ini diakui pula oleh Kemenhut, misalnya dalam Press Release Pusinfo Kemenhut 25 April Disebutkan, bahwa sejak 2005 subsektor kehutanan hanya menyumbang 1% terhadap PDB, dan bahkan pada 2009 menurun, hanya sebesar 0,8%. Kecilnya kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB ini disebabkan karena hanya dihitung dari komoditi primer, yaitu kayu bulat, rotan, jasa kehutanan, dll.

89 71 % Kontribusi Kehutanan terhadap PDB 2 Kontribusi (%) Tahun Gambar 13 Persen Kontribusi Kehutanan terhadap PDB Ada hal yang kurang menggembirakan dibalik berapapun kontribusi sektor kehutanan di atas. Sekalipun tumbuh dan memberikan kontribusi yang relatif besar pada pertumbuhan ekonomi nasional, tapi kemudian kecenderungannya terus menurun, namun masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan tetap miskin. CIFOR (2004) menyebutkan bahwa penduduk miskin di dalam dan di sekitar hutan mencapai 10,2 jutaan orang. Disebutkan, bahwa hal tersebut dimungkinkan, karena pemerintah belum membuka dan memberikan akses masyarakat setempat kepada pemanfaatan hutan produksi, akses kepada sumberdaya keuangan/modal dan hukum. Namun begitu, pemerintah sebetulnya telah menyiapkan dan melaksanakan sejumlah program yang berorientasi kemasyarakatan, seperti PMDH dan program peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan alam produksi. Program PMDH pada 2003 dilaksanakan di 267 desa yang menyerap sekitar KK. Sementara kegiatan peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi yang telah dilaksanakan meliputi 27 provinsi. Sayangnya, seperti telah dikemukakan juga di atas, beberapa kebijakan pemerintah semacam ini yang telah berjalan sejauh ini dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya antara lain karena sulit diimplementasikan dan pada akhirnya dalam jangka pendek lebih merupakan beban biaya tambahan (disinsentive) yang tidak ada kaitan langsung baik dengan upaya peningkatan efisiensi ataupun kapasitas produksi para pemegang konsesi usaha kehutanan.

90 72 C. Kesenjangan Tujuan dan Kenyataan 1. Tujuan dan Orientasi Usaha Kehutanan Dari semula, sebagaimana telah pula digariskan dalam UU5/67 beserta UU penopangnya terkait penanam modal (PMA dan PMDN) dan berbagai regulasi turunannya, semangat dan orientasi usaha kehutanan lebih kepada upaya memperoleh dana cair untuk membiayai pembangunan dan melanjutkan revolusi. Pasal 5, 20, dan 33 UUD 45 menjadi landasan konstitusional kegiatan usaha kehutanan sebagai perwujudan: usaha bersama atas azas kekeluargaan, dikuasai negara, dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 11 Itu sebabnya, usaha kehutanan diorientasikan untuk tujuan pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat dengan berdasar pada berbagai azas tadi, termasuk azas kelestarian hutan dan azas perusahaan. Latar perlunya UU ini bahkan lebih heroik, yakni untuk menjamin kepentingan rakyat dan negara dan untuk menyelesaikan Revolusi Nasional. Ini adalah penegasan, bahwa mengatur hutan penting untuk rakyat dan untuk menuntaskan revolusi. Dengan orientasi demikian, sumberdaya hutan telah diposisikan UU ini sebagai sumber kekayaan alam, karunia Tuhan, dipandang bermanfaat serbaguna, dan mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, bahkan menjadi salah satu unsur basis pertahanan nasional, sehingga harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari. Begitulah pandangan yang terbangun saat itu dalam hal memosisikan sumberdaya alam, khususnya hutan alam sebagai faktor utama. Selanjutnya disebutkan pula, bahwa untuk mencapai tujuan seperti dikemukakan di atas, usaha kehutanan dilakukan negara dan dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah berdasar UU yang berlaku. Diatur lebih jauh, bahwa pemerintah dapat melakukan usaha kehutanan itu 11 Dalam amandemen ke empat UUD ini, ditambahkan dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip: kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta keseimbangan ekonomi nasional.

91 73 bersama pihak lain, termasuk memberikan hak pengusahaan hutan kepada perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta. Dalam UU 41/99 tentang Kehutanan pengganti UUPK 5/67 usaha kehutanan diatur dalam konteks yang lebih luas, yakni pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Usaha kehutanan lebih lanjut diatur dan mengerucut dalam kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan, sebagai rujukan hukum usaha kehutanan, bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari. Dalam UU ini, pemanfaatan hutan terbuka untuk semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti pada Taman Nasional. Dengan begitu, tampak bahwa usaha kehutanan berada pada rejim pemanfaatan hutan alam produksi. Selain terbuka untuk semua kawasan hutan, UU ini juga mengatur bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat mencakup bentuk pemanfaatan yang lebih luas di banding aturan serupa yang telah digariskan dalam UUPK 5/67. Dalam UU 41/99 pemanfaatan hutan produksi (alam) dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Diatur pula, bahwa pemanfaatan hutan produksi ini dilaksanakan masing-masing melalui pemberian izin usaha pemanfaatan: kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu. Selain itu diatur pula izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu 12 Selanjutnya, izin pemanfaatan kawasan, pemungutan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi; sementara, izin pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD. 12 Pasal 28 UU 41/99 tentang Kehutanan

92 74 Untuk maksud pemberdayaan ekonomi setempat, pelaksanaannya diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Untuk memenuhi dan bahkan menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, UU ini mengatur bahwa izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang teknis pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Sejalan dengan hal ini, UU 41/99 menggariskan pula bahwa para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Sampai disini tampak ada sedikit pergeseran orientasi usaha kehutanan, setidaknya secara teks legal, untuk tujuan yang kurang lebih sama. Pergeseran tampak antara lain pada pemosisian usaha kehutanan sebagai manifestasi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan alam yang adalah bagian unsur pengelolaan hutan. Pergeseran lainnya adalah terbukanya macam pemanfaatan dan penggunaan kawasan pada apapun kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti Taman Nasional. Pergeseran yang juga tampak adalah keberpihakan kepada masyarakat dalam bentuk kewajiban para pemanfaat sumberdaya hutan ini bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Dengan pergeseran orientasi demikian, sumberdaya hutan alam melalui UU 41/99 diposisikan masih sebagai karunia dan bahkan amanah Tuhan, yang disadari dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Hutan juga diposisikan sebagai kekayaan yang dikuasai Negara, yang diklaim memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia. Dengan pemosisian seperti itu, UU ini menggariskan bahwa hutan wajib disyukuri, dan karenanya wajib diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Inilah gambaran bagaimana teks legal perundangan menempatkan hutan sebagai hal yang utama. Hal lain, melalui UU ini juga muncul pengakuan, bahwa hutan, dengan berbagai posisi legalnya tadi, diakui cenderung menurun kondisinya. Dengan begitu UU ini menggariskan bahwa keberadaan hutan

93 75 demikian harus dipertahankan secara optimal:...dijaga daya dukungnya secara lestari, diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Selanjutnya dengan kerangka itu pula, UU ini menggariskan bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Disini, menampun menjadi kata kunci, bahwa hal-hal diluar hutan masih diposisikan sebagai eksogen (exogenous). Dengan berbagai pergeseran ini pula, UU 41/99 secara tegas menyebutkan bahwa UU 5/67 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) perlu diganti, karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan. Pergeseran ini masih menyisakan pertanyaan, apakah perubahan ini dilandasi dan atau berimplikasi pada perubahan aliran kerangka pikir. Bila dicermati teks legalnya, dimana tidak cukup gambaran adanya/terjadinya keterlibatan para pihak pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries), keterlibatan modal bentuk lain selain hutan alam, dan masih diposisikannya hutan alam sebagai hal pokok, maka pergeseran itu sesungguhnya belum mencerminkan perubahan kerangka pikir. Dan dengan alasan yang sama kerangka pikir yang ada masih sangat kental sebagai aliran the forest first. 2. Capaian Kinerja: Tidak Lestari, Tidak Menyejahterakan, Tidak Adil Dari serangkaian kondisi dan situasi hutan produksi alam sebagaimana telah di gambarkan di atas (Sub Bab B dan C), diperoleh pengetahuan bahwa ada sejumlah kecenderungan. Pertama, banyak hal yang terindikasi menurun; dari mulai kualitas produksi dan luas hutan produksi, jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun jumlah unit usahanya sampai pada angka perolehan devisa dan secara agregat kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional. Sampai disini, dapat

94 76 dikatakan peran ekonomi sumberdaya hutan alam menurun. Kedua, berbagai perolehan di sektor ini baik pada saat booming di awal usaha kehutanan (1970an) maupun saat ini (2010) dalam kecenderungannya yang terus menerus menurun, peran sosial sektor kehutanan atas upaya pengentasan kemiskinan tampak tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan, antara lain oleh masih tingginya angka kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan serta semakin berkurangnya daya serap tenaga kerja sektor ini sejalan dengan berbagai kecenderungan penurunan tadi. Disisi lain, berbagai penurunan itu sendiri bisa dipastikan justru menambah jumlah angka pengangguran yang ada. Dengan begitu semakin beralasan, bila muncul penilaian bahwa peran sosial ekonomi sumberdaya hutan alam tidak nyata, terlebih saat dikaitkan dengan konteks sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, tujuan usaha kehutanan untuk menjalankan mandat konstitusional (Pasal 33 UUD 45) dapat dikatakan tidak berhasil. Ketiga, sementara dari sisi lingkungan, gambaran menurunnya kondisi fisik botanis hutan yang tercermin dari berbagai penurunan jumlah luasan dan kualitas hutan alam sebagaimana disinggung di atas dapat dikatakan berujung pada menurunnya peran lingkungan dari sektor ini. Hal ini dikaitkan, misalnya, dengan fenomena ketidakseimbangan alam, antara lain berupa keadaan iklim yang semakin tidak menentu. Keadaan ini dapat dipahami dari situasi anomali lingkungan, dimana iklim yang tidak menentu tadi, sering memperlihatkan fenomena banjir di musim hujan dan kekeringan serta kekurangan air di musim panas. Saat banjir, tak jarang pula disertai erosi tinggi dan pendangkalan sungai bahkan sampai longsor. Periode banjirpun secara alami menjadi lebih sering. Sebaliknya, saat musim kering dimana kekurangan air melanda, di beberapa tempat sering pula terjadi kebakaran hutan. Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan hampir seluruh Kalimantan, merupakan tempat-tempat langganan kebakaran hutan yang pernah terjadi hampir setiap tahun di sana. Keempat, bila berbagai kecenderungan kondisi di atas dipahami secara pragmatis sebagai representasi sebuah capaian kinerja usaha kehutanan dalam hal kesejahteraan, maka dapat pula ditarik pengetahuan bahwa

95 77 secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal dalam menjalankan mandat keramatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 45:...bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekurang berhasilan ini dapat dianggap sebagai indikasi bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan. Bahwa sektor kehutanan pernah memiliki posisi yang baik dalam hal perolehan devisa negara dan kontribusinya atas perekonomian nasional; dan itu berlangsung di tengah tetap miskinnya masyarakat, terutama mereka yang berada di dalam dan di sekitar hutan mengindikasikan, bahwa ada persoalan ketimpangan dalam hal distribusi manfaat dari hutan alam. Artinya, kinerja usaha kehutanan yang dicapai sejauh ini, selain tidak lestari dan tidak mensejahterakan, juga tidak adil. 3. Kesenjangan: Masalah Kebijakan Sementara, baik UU 5/67 maupun penggantinya, UU 41/99, menetapkan tujuan usaha kehutanan sebagai upaya mencapai tujuan pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat dengan berdasar pada berbagai azas, termasuk azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas perusahaan (UU 5/67); agar diperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari (UU 41/99). Dari kedua versi UU kehutanan ini kemakmuran rakyat dan kesejahteraan seluruh masyarakat menjadi kata kunci pertama dari setting tujuan kebijakan usaha kehutanan yang telah ditetapkan. Kelestarian hutan dan adil dan lestari menjadi kata kunci kedua yang merupakan predikat yang dikerangka harus melekat pada setting tujuan kebijakan usaha kehutanan itu. Bila berbagai kecenderungan capaian kinerja usaha kehutanan sebagaimana digambarkan diatas ditakar oleh kedua kata kunci terkait setting tujuan kebijakan usaha kehutanan dimaksud, maka tampak adanya kesenjangan (gap) antara tujuan kebijakan yang telah digariskan dalam

96 78 perundangan dengan capaian kinerja usaha kehutanan. Kesenjangan ini secara kualitiatif disarikan dalam Tabel 16 berikut. Tabel 16. Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja Setting Tujuan Kebijakan Pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat; Azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas perusahaan (UU 5/67) Manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari (UU 41/99). Kata kunci I : kemakmuran rakyat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Kata kunci II: Kelestarian hutan dan adil dan lestari Realitas Kinerja Usaha Kehutanan Kualitas produk, produksi dan luas hutan produksi, jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun jumlah unit usahanya, perolehan devisa dan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional terus menurun. Peran sosial sektor kehutanan atas upaya pengentasan kemiskinan tidak signifikan; angka kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan tetap tinggi, daya serap tenaga kerja kurang. Secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 UUD 45. Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil. Ini mengundang pertanyaan terkait bagaimana kesenjangan ini bisa terjadi, bahkan dalam kurun yang begitu lama, atau setidaknya dalam lima dekade. Pertanyaan ini berkaitan setidaknya dengan dua hal terkait masalah kebijakan usaha kehutanan: kegagalan kebijakan itu sendiri dalam mencapai tujuan kebijakan dan bagaimana cara atau kerangka pikir para pihak yang berperan dalam merumuskan kebijakan. Hal pertama lebih berkaitan dengan kualitas kebijakan usaha kehututanan dan hal kedua lebih kepada dinamika diskursus para pihak yang berperan dalam proses konstrruksi kebijakan yang telah berkembang dan mengkristal kedalam teks peraturan perundangan yang mengatur usaha kehutanan. Dengan demikian, menarik pengetahuan tentang dua aspek ini dari bahan empiris yang ada, terutama dari dokumen kebijakan usaha kehutanan, diharapkan dapat sekaligus menjawab pertanyaan mengapa kesenjagan itu hadir untuk waktu yang begitu lama, dan bahkan sampai hari ini.

97 79 D. Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Kebijakan Usaha Kehutanan Sebelum Kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa, ditandai dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 64/1957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I (provinsi). Pada Bab 2 Pasal 10 PP 64/1957 ini, diatur bahwa pemerintah di tingkat provinsi memberikan ijin pemanfaatan kayu dalam bentuk: (a) konsesi hutan sampai luasan ha dengan jangka konsesi 20 tahun, (b) persil tebangan sampai luasan ha selama lima tahun, dan (c) ijin tebang kayu dan dan pemungutan non kayu sampai batas tertentu selama dua tahun. Dengan kewenangan ini Pemerintah Provinsi lalu memungut pajak dan royalti atas hasil panen kayu dan hasil lainnya berdasarkan luas tebangan dan volume pemungutan. Sekalipun tidak disebutkan besarannya dalam PP ini secara pasti, sebagian besar dari pungutan itu disetor ke Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Setidaknya sampai 1960an pelaksanaan PP tersebut relatif masih belum menimbulkan akibat atau kerusakan berarti pada lahan dan sumberdaya hutan. Kemungkinannya, karena jumlah dan luas areal yang diberikan melalui tiga macam konsesi di atas masih kecil, relatif atas luas hutan yang ada dan tersedia waktu itu, yang sebagian terbesar kondisinya masih perawan (virgin forests). Dengan kata lain, pemberian konsesi saat itu tergolong belum begitu berdampak negatif, termasuk terhadap kehidupan keseharian masyarakat sekitar hutan. Demikian pula, keberadaan konsesi belum secara nyata memperlihatkan konflik yang serius dengan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran konsesi itu justru lebih membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Meski tergolong banyak kewenangan telah dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi melalui PP ini, beberapa kewenangan lain, seperti pengalokasian hutan, 13 Pada masa paska kemerdekaan, khususnya setelah 1950an.

98 80 penetapan hutan, dan perencanaan kehutanan tetap berada pada Pemerintah Pusat. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 tentang Kehutanan, desentralisasi urusan kehutanan sebagaimana telah diatur dalam PP 64/1957 relatif dipersempit. Saat bersamaan, kewenangan Pemerintah Pusat semakin diperlebar, menandai kembalinya sentralisasai urusan kehutanan. Pada periode inilah sektor kehutanan, dipacu usahanya dan dijadikan andalan bagi pembangunan ekonomi nasional. Peran sentralisasi Pemerintah Pusat semakin menguat, setelah dikeluarkannya paket kebijakan peningkatan investasi dengan pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) serta penerbitan PP 21/70 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, PP 22/1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan PP 33/70 tentang Perencanan Hutan. Dengan serangkaian aturan ini pemerintah memberikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 14 secara besar-besaran pada kawasan hutan alam produksi dengan total alokasi, waktu itu, mencapai lebih dari 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa inilah eksploitasi dan komersialisasi hutan alam produksi dilakukan besar-besaran. Tujuan utama usaha kehutanan waktu itu adalah, memacu perolehan devisa sekaligus untuk mengatasi kondisi ekonomi nasional yang saat itu dipandang begitu memprihatinkan. Upaya resentralisasi semakin menguat, karena pemerintah pusat mengendalikan hampir keseluruhan kebijakan usaha kehutanan melalui berbagai isntrumen peraturan-perundangan dan perencanaan. Kebijakan pemberian konsesi HPH secara besar-besaran dianggap telah mampu membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa dan pembangunan industri kehutanan. Namun, tingkat ekstraksi hutan dan 14 Secara detail operasional pemberian HPH diatur melalui SK Mentan No. 57/1967 tentang Syarat-syarat dan Cara Penyelesaian Permohonan HPH dan SK Menhut No. 254/1968 tentang Pelimpahan Wewenang Penandatanganan Surat Keputusan Pemberian HPH kepada Direktur Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian

99 81 akumulasinya yang terjadi waktu itu telah merubah bentang alam secara nyata, dimana hutan alam yang semula perawan belantara banyak berubah wujud menjadi hutan sekunder. Angka-angka dan data terkait deforestasi dan kerusakan hutan dan berbagai penurunan kondisi hutan alam sebagaimana telah diuraikan di atas mengonfirmasikan hal ini. Kondisi di atas dikuatkan Gautam et al (2000) yang menekankan bahwa hutan menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin utama ekspor kayu tropis dunia. Namun, capaian dalam pertumbuhan ekonomi ini harus ditebus oleh kerusakan lingkungan akibat kerusakan hutan alam yang cepat dan terus menerus. 2. Kebijakan Usaha Kehutanan Setelah 1998 Resentralisasi urusan dan usaha kehutanan sebagaimana digambarkan di atas terus berlangsung, sampai UUPK 5/67 kemudian digantikan UU 41/1999 tentang Kehutanan dan diberlakukannya UU 22/99 tentang Pemerintah Daerah bersamaan dengan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dua undang-undang yang disebut terakhir ini kemudian diganti berturut turut dengan UU 32/2004 dan UU 33/2004. Dalam UU 41/1999 ini, istilah Hak Penguasahaan Hutan (HPH) berganti nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) 15. Adapun aturan turunannya adalah PP 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi yang masih tetap merujuk UU5/67, yang diubah dengan PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP 34/2002 ini telah merujuk UU 41/99, tapi kemudian diganti dengan PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. PP ini pun akhirnya diganti dengan PP 3/2008 tentang 15 Bersamaan dengan penggatian istilah HPH, diganti pula beberapa istilah. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) berganti menjadi IUPHHK-HT, Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) menjadi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK).

100 82 Perubahan PP 6/2007. Dengan UU dan serangkaian produk peraturan turunannya inilah usaha kehutanan selanjutnya diatur. Dengan berbagai perubahan itu, pergerseran kebijakan tampak antara lain pada ditempatkannya keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup. Namun, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian dengan upaya untuk memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH. Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Latar kebijakan usaha kehutanan juga tidak begitu bergeser, kecuali adanya pengakuan bahwa hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan karenanya diperlukan prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan. Hal ini diperlukan untuk menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai pergeseran yang muncul pada periode ini dapat dikaitkan sebagai simbol era reformasi kehutanan. Kegiatan usaha kehutanan sendiri mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan ini antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK. Pergeseran kebijakan usaha kehutanan pada periode ini juga dipengaruhi kebijakan seputar diserahkannya sebagian urusan kehutanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberlakuan PP

101 daerah. 17 Di lapangan, berbagai pergeseran ini ditandai pula dengan 83 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah. Dengan PP ini maka PP 64/1957 sepanjang menyangkut ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam PP 62/1998 dinyatakan tidak berlaku lagi 16. UU 41/99 mengelaborasi penyerahan kewenangan ini dengan menegaskan bahwa pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan ini ditujukan bagi upaya meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi menurunnya banyak hal, terutama jumlah unit dan luasan IUPHHK HA atau HPH sebagaimana telah diilustrasikan di atas. Adapun, dari sisi domain pengaturan, besar pergeseran sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Domain Substansi yang diatur UU 5/67 dan UU 41/99 UU 5/1967 UU 41/1999 Ketentuan umum Ketentuan umum Status dan Fungsi Hutan Pengurusan Hutan Pengurusan Hutan Perencanaan Hutan Perencanaan Kehutanan Pengusahaan Hutan Pengelolaan Hutan Perlindungan Hutan LitbangDiklatLuh Pengawasan (kehutanan) Penyerahan Kewenangan Masyarakat Hukum Adat Peran serta masyarakat Gugatan Perwakilan Penyelesaian sengketa kehutanan Ketentuan pidana Ketentuan Pidana Ganti rugi dan sanksi administratif Ketentuan Peralihan Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup Ketentuan Penutup 16 Pasal 20 PP 62/ Pasal 66 UU 41/99

102 84 Adapun skema pengaturan pengusahaan hutan alam menurut kedua UU Kehutanan ini, sebagaimana tampak pada Tabel 18. Tabel 18. Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan Aspek UU 5/67 UU 41/99 Tujuan memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat Memperoleh manfaat optimal, bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari Azas Kelestarian hutan, perusahaan Keadilan, pemerataan, lestari, dan Instrumen Pelaksanaan Para pihak terkait Rencana karya/bagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Dilakukan Negara, dilaksanakan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasar Undang-undang yang berlaku; pemerintah dapat bersama pihak lain: Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan; Warganegara Indonesia, Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan; Pemerintah, perusahaan negara-swasta, badan hukum Indonesia 3. Tonggak Kunci Kebijakan dan Implementasi kepastian usaha Izin usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan; pemanenan dan pengolahan hasil hutan Dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti dan rimba pada TN; Dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dilaksanakan masingmasing melalui pemberian izin usaha. Para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya Pemerintah pusat-daerah, perusahaan negara-swasta, koperasi. Memahami berbagai pergeseran di atas, pada dasarnya adalah memahami aspek historis kebijakan usaha kehutanan, untuk menarik pengetahuan sejauh mana kebijakan itu dikerangka dan bagaimana pendekatan kelestarian dalam usaha kehutanan itu dimaknai dan dioperasionalkan dan mendapat penyesuaian dari tataran konsepsi teoretik kedalam tataran praktis dalam kebijakan. Ini adalah akumulasi dari serangkaian kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam memosisikan sumberdaya hutan alam produksi. Dengan kerangka demikian maka kedua UU kehutanan sebagaimana telah disinggung di atas dan UU terkait lainnya yang dinilai sebagai penopang bagi berjalannya kedua UU kehutanan ini dapat dianggap sebagai tonggak kunci kebijakan. Salah satu pertimbangannya adalah, karena keseluruhan UU itu dapat merupakan sumber informasi awal dan sekaligus kunci masuk untuk mengetahui dan sekaligus

103 85 memahami, bagaimana kemudian hutan diposisikan dan usaha kehutanan diatur yang dari kedua hal itu, dapat ditarik pengetahuan bagaimana sesungguhnya kerangka pikir dibalik historis pergeseran kebijakan itu. Sementara peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan setingkat PP dan Keputusan Menteri sebagai penjabaran masing-masing UU Kehutanan itu dalam penelitian ini ditempatkan sebagai upaya implementasi dari usaha kehutanan yang telah digariskan dalam UU di atasnya. Dalam hal ini, data dan informasi terkait kondisi dan situasi hutan alam produksi di Luar Jawa maupun dinamika usaha kehutanan yang telah terjadi diposisikan sebagai output dan sekaligus outcome dari kebijakan usaha kehutanan selama ini. Berbagai kecenderungan penurunan kondisi dan kualitas sumberdaya hutan alam dinilai sebagai dampak. Untuk tujuan penyederhanaan dan untuk memudahkan analisis, tonggak kunci kebijakan ini dipilah dalam penggalan kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab awal. E. Ringkasan Dalam empat kurun penguasaan dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan termasuk otonomi daerah, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan. Sekalipun keseluruhannya sama-sama berpijak pada landasan konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD Dalam kurun empat periode ini, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan perhatian dunia internasional. Fluktuasi yang menurun itu, ditandai antara lain oleh besarnya penyusutan luas kawasan dan potensi hutan alam, maraknya pembalakan liar, multidimensi konflik dan meningkatnya angka deforestasi dan

104 86 degradasi hutan alam. Akibat tingginya laju deforestasi hutan alam tropis Indonesia tercatat sebagai perusak hutan alam tropis terbesar pada Guinnes Book World of Record dan bersamaan dengan itu sekaligus tercatat sebagai emiter gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara itu, kinerja usaha kehutanan juga ditandai oleh fluktuasi menurun, terutama terkait jumlah luasan dan unit HPH/IUPHHKHA. Keadaan ini diikuti pula oleh penurunan produksi kayu bulat, sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan pasok dan permintaan. Kesenjangan ini dipenuhi antara lain dari impor kayu yang nilainya mencapai hampir setengah (47.42% pada 2008) dari nilai ekspor kayu Indonesia. Sejalan dengan penurunan ini, kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian pun menurun sampai kurang dari 1%. Kontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan pun relatif kecil. Selain dalam peran sosial ekonomi, penurunan juga terjadi dalam hal peran lingkungan dari hutan alam ditandai dengan fenomena ketidakseimbangan alam, antara lain berupa anomali keadaan iklim yang semakin tidak menentu disertai banjir, kekeringan, longsor dan bencana alam lainnya yang semakin sering terjadi dengan periode yang tidak menentu. Berbagai kecenderungan kondisi menurun di atas menunjukkan bahwa secara sosial ekonomi dan lingkungan kinerja usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal, khususnya dalam menjalankan mandat konstitutional tadi. Dengan alasan yang sama, usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan dan juga tidak adil. Artinya, kinerja usaha kehutanan masih belum berhasil menjalankan mandat konstitusionalnya. Gambaran kinerja tersebut mengerucut antara lain dan terutama pada persoalan kebijakan, yakni adanya kesenjangan antara tujuan kebijakan dengan kinerja usaha kehutanan sebagaimana digambarkan diatas. Hal ini berkaitan setidaknya dengan dua hal: kerangka pikir dibalik kebijakan itu dikonstruksi dan sekaligus kualitas kebijakan itu sendiri baik sebelum dan setelah 1998.

105 87 Dari berbagai pergeseran kebijakan yang ada sebagaimana telah dijabarkan diatas terakumulasi sejumlah pengetahuan, bahwa (a) pemerintah sebagai pihak paling dominan dalam mengkerangka kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam memosisikan sumber daya hutan yang (b) masih ditempatkan sebagai hal utama, (c) keterlibatan masyarakat telah cukup disinggung dalam pergeseran itu, tapi tidak cukup operasional, bagaimana hal itu dapat menjamin partisipasi sesungguhnya para pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries) turut ambil bagian dalam banyak hal terkait usaha kehutanan, dan (c) tidak disinggung bagaimana keterlibatan modal bentuk lain diseimbangkan dengan modal alam, yakni sumberdaya hutan alam, dalam mencapai tujuan usaha kehutanan yang adil, lestari dan menyejahterakan sesuai mandat konstitusi yang melandasinya. Akumulasi pengetahuan demikian mengisyaratkan bahwa aliran kerangka pemikiran dibalik kebijakan usaha kehutanan cenderung masih diseputar the forest first.

106 88 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank [AK]

107 BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR A. Pendahuluan Dari gambaran kinerja usaha kehutanan sejauh ini, antara lain sebagaimana telah dijabarkan pada Bab 3, diperoleh pengetahuan, bahwa usaha kehutanan memperlihatkan pasang surut dengan kecenderungan menukik menurun karena berbagai sebab (FWI/GFW, 2002). Namun begitu, orientasi dan semangat ekploitasi atas hutan alam relatif tetap, bahkan tampak semakin menguat (Dephut 2007, Dephut 2009). Dalam mengiringi dinamika pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Undangundang telah menetapkan pembagian kawasan hutan untuk dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu fungsi produksi, lindung dan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional. (Dephut 2009; hal 1) Fokus utama kebijakan kehutanan di luar Jawa pada tahap awal pembangunan nasional adalah pengumpulan devisa melalui ekspor kayu bulat (Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai MS Kaban, Dephut 2007, hal 25) Sinyal berbagai kerusakan hutan akibat deforestasi dan degradasi hutan alam yang mencapai rentang angka 1 2 juta ha per tahun untuk berbagai periode (Worldbank 2006a, Dephut, 2008; Anonimous, 2008) itu tampak tidak membuat kecenderungan eksploitatif ini berubah, relatif terhadap visi dan orientasi pemerintah dalam pemanfaatan hutan alam produksi (Dephut, 2007, Dephut 2009) dan terhadap beberapa pandangan praktisi dan pengamat usaha kehutanan. Berangkat dari situasi ini dan dengan mencermati berbagai isi, substansi dan narasi berbagai peraturan perundangan terkait usaha kehutanan, dalam Bab ini coba digali beberapa kecenderungan diskursus dibalik kebijakan usaha kehutanan. Dari berbagai kecenderungan ini coba dipahami kecenderungan kerangka pikir yang melatari kebijakan usaha kehutanan itu selama ini. Dari kecenderungan inilah selanjutnya dipelajari dan ditarik keterkaitan dengan kinerja usaha kehutanan yang memperihatinkan di satu sisi, dengan semangat dan orientasi usaha yang masih terus eksploitatif di

108 90 sisi lain, yang sesungguhnya mencerminkan semacam kualifikasi kecenderungan kerangka pikir. Seperti apa kecenderungan itu dan bagaimana serta sejauh mana pandangan para pihak atas situasi yang sama yang digali baik melalui hasil wawancara maupun online polling memberikan semacam konfirmasi atas kualifikasi dimaksud. Betulkah telah terjadi kekeliruan atau bahkan stagnasi kerangka pikir selama ini, khususnya dalam mengkonstruksi kebijakan usaha kehutanan? Seperti apa kekeliruan itu? Lalu apa implikasinya dari semua itu? B. Ikhtisar Kebijakan Contoh lengkap intisari hasil atau ikhtisar isi dan narasi dokumen empiris tertulis yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Dari ikhtisar ini dirangkum perbandingan antara tingkat perundangan, terutama UU dan PP, dari empat aspek narasi utama: (a) pemosisian hutan alam, (b) pemaknaan kelestarian, (c) pelaksana usaha kehutanan, dan (d) syarat/hak dan kewajiban, sebagaimana hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari ikhtisar ini pula dikonstruksi karakteristik usaha kehutanan sebagaimana disajikan pada Lampiran 10. Sementara, initisari makna kelestarian yang terekpresikan dalam ikhtisar disajikan pada Lampiran 11. Substansi kebijakan usaha kehutanan sebagai rangkaian diskursus, serta perkiraan proses bagaimana kebijakan di konstruksi dipahami melalui keseluruhan hasil ikhtisar ini dan sintesisnya. 1. Substansi Sebelum UU No. 5/67 tentang UUPK secara tekstual menggariskan landasan usaha kehutanan dengan serangkaian argumen pembuka yang menekankan bahwa: (a) hutan alam sebagai anugerah Tuhan YME, yang diposisikan sebagai (b) sumber kekayaan alam dengan manfaat serba guna, antara lain sebagai basis pertahanan nasional, dan (c) multi-manfaat itu mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, sehingga (d) hutan alam harus dilindungi serta (e) dimanfaatkan secara lestari. Ini diperkuat sebelumnya dengan diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing

109 91 (PMA), disusul kemudian dengan keluarnya UU No. 6/68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tiga serangkai instrumen UU ini dikenal sebagai tonggak kunci kebijakan, dimulainya usaha besar-besaran di bidang pengusahaan hutan alam produksi Indonesia di luar Jawa. Kegiatan usaha kehutanan sendiri dalam UUPK 5/67 ini secara khusus diatur pada Bab IV, Pasal Kelestarian di tingkat UU dimaknai sebagai cara atau instrumen terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan, dan penggunaan hutan. Selain itu kelestarian juga dimaknai sebagai dasar/azas mencapai tujuan usaha kehutanan, bersanding dengan azas perusahaan (baca: dimensi ekonomi). Argumen pembuka semacam itu pun muncul dalam perundangan turunannya, yakni dalam PP 22/67 dan PP 21/70 dalam uraian frase yang mirip-mirip, antara lain keyakinan akan hutan alam yang memiliki potensi ekonomi yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari atas nama pembangunan nasional dan menyelesaikan revolusi untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Di tingkat PP ini kelestarian ditempatkan sebagai koridor atau pembatas dalam pemanfaatan. Pada PP 21/70, misalnya, kelestarian mengerucut pada aturan (a) keharusan bahwa pemanfaatan hutan disertai dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, dan (b) keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan. Pada PP 22/67 hal ini relatif lebih tegas, misal dari sisi pendekatannya yang tersurat jelas dimulai pada argumen pembuka PP ini....pengurusan hutan yang bertujuan mencapai manfaat sebesarbesarnya dan serba guna serta lestari memerlukan biaya yang tidak sedikit...biaya tersebut tidak dapat seluruhnya dibebankan pada APBN... melainkan harus... dihasilkan oleh hutan itu sendiri...; demi kelancaran pengusahaan hutan...; perlu diadakan...pungutan atas pengusahaan dan hasil hutan...; pungutan tersebut perlu ditetapkan penggunaannya untuk kepentingan pembiayaan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas (PP 22/67, konsideran a-e, Hal 1).

110 92 Teks kutipan di atas menegaskan bahwa kelestarian didekati dari disiapkannya mekanisme pungutan resmi 1 dimana ada bagian dari jumlah pungutan itu yang harus dikembalikan ke hutan untuk dialokasikan sebagai biaya pembangunan rehabilitasi kehutanan, yang kemudian ditutup dengan teks: rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas. Teks ini memperlihatkan sebuah kelonggaran, terutama dari sisi konsistensi pada tataran pelaksanaan dan penegakan aturan main itu. Dari ikhtisar isi dan narasi atas puluhan dokumen SK HPH 2 dalam periode ini antara lain tampak bahwa keseluruhan dokumen SK HPH memiliki struktur dan urutan teks konsideran dan diktum serta isi lampiran yang relatif sama; didasari pula dengan pertimbangan kunci yang sama, yakni bahwa wilayah hutan yang dimohon untuk diusahakan tidak termasuk hutan lindung dan tidak pula masuk suaka alam atau wilayah untuk penggunaan lain. Perbedaan hanya mencakup nama dan status unit usaha, lokasi hutan yang akan diusahakan, dan tanggal-bulan-tahun pemberian hak dan nomor SK. Dari keseluruhan isi dokumen ini tampak, bahwa hutan alam yang dimohon diposisikan sebagai areal yang dapat diusahakan secara ekonomis sebagai landasan teknis-ekonomis pemeringan izin HPH. Semantara kelestarian diposisikan lebih fokus pada keharusan adanya pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diameter tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan adanya kewajiban perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hutan berupa usaha-usaha mencegah penurunan nilai hutan 3 dan langkah-langkah untuk meningkatkan nilai hutan 4. 1 Dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa macam pungutan adalah Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH, License Fee) yang besarnya menurut luas konsesi dan Iuran Hasil Hutan (IHH, royalties) yang besarnya berdasar kubikasi hasil hutan yang dipungut. (Pasal 2 dan 3 PP 22/67) 2 Dari 84 dokumen FA yang terkumpul ( ) setelah diriskan dengan SK HPHnya hanya diperoleh 13 unit HPH mulai tahun 1970 sampai Mencakup (i) pengamanan tegakan sisa saat penebangan, penyaradan dan pengangkutan untuk menghindari kerusakan tegakan sisa dan erosi melalui penomoran pohon yang akan ditebang dan pohon inti, (ii) penebangan hanya pada pohon ber dia m 50 cm dengan arah rebah yang tepat, (iii) dilarang menebang pada daerah mata air (rad 200 m) dan kiri-kanan sungai ( m). 4 Melaksanakan reboisasi dan permudaan hutan, sesuai ketentuan yang ditetapkan dan sesuai RKPH yang syah.

111 93 Selanjutnya, kaitan antara SK HPH dengan kontrak kehutanan (Forestry Agreement, FA) diatur dalam Pasal 16 FA 5. Disebutkan bahwa FA merupakan dasar pengajuan hak usaha, guna mendapatkan fasilitas penanaman modal oleh perusahaan, sebagai syarat memperoleh SK HPH. Berbagai persyaratan dalam FA tetap berlaku, kecuali dikatakan lain dalam SK HPH. Dengan terbitnya SK HPH, FA yang bersangkutan menjadi lampiran yang tak dapat dipisahkan dari SK HPH. Pembatalan SK HPH secara otomatis menyebabkan tidak berlakunya berbagai persyaratan yang tertuang dalam FA. Dalam FA hutan alam ditempatkan sebagai sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai pasal 33 UUD 45. Tidak dijumpai secara spesifik makna dan ketentuan kelestarian. Namun secara implisit makna kelestarian tertuang dalam Pasal 4 FA, yang disebutkan merupakan kemufakatan antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsip-prinsip dasar kehutanan 6. Matriks yang menggambarkan secara ringkas perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis/administrasi dapat dilihat pada Lampiran 9 (a). Intisarinya dapat dilihat pada Tabel 19. Matriks di atas memberikan sejumlah makna. Antara lain, kecenderungannya yang tampak adalah bahwa untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Kecenderungan ini menguatkan isyarat, bahwa dominasi aktor pemerintah atas aktor atau para pemangku kepentingan lainnya sulit dibantah. Hal ini tampak terutama dari ketidakseimbangan antara uraian hak dan kewajiban yang dialami para pemegang unit usaha. Selain itu, sulit pula dihindari kesan adanya latar distrust, khususnya dari komponen pemerintah, yang mengundang dugaan lebih lebar adanya ruang politik ekonomi. Ujungnya, atas nama pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat 5 Selain dokumen HPH, dianalisis pula belasan dokumen FA dari masing-masing SK HPH yang sama 6 Ini mencakup pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik pemerintah dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh perusahaan, wewenang departemen meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial. Ini dapat jadi contoh teori Foucault terkait diskursus dan relasi kekuasaan sebagaimana dimaksud Mills (1997) Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009).

112 94 Tabel 19. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (sebelum 1998) Aspek narasi UU No. 5/1967 Kehutanan Pemosisian Hutan Garis besar Alam Panduan Filosofis Kelestarian Pelaksana(an) Usaha Kehutanan [Potensi ekonomi, penopang tujuan pembangunan nasional, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tak ada konstrain] Dimaknai beragam: cara, dasar, azas [Cara untuk peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; azas atau dasar mencapai tujuan usaha kehutanan] Negara cq Pemerintah [Pemerintah (pusat, daerah) dan pihak lain - usaha bersama di bidang Kehutanan] [Perusahaan negara, daerah dan swasta berhak, sejauh berbadan hukum Indonesia] PP 21/70 PP 18/75 PP 6/99 *) Relatif lebih rinci - memuat syarat dan target [Potensi ekonomi, plus upaya maksimasi dengan konstrain kelestarian] Selain azas dan dasar dimaknai pula sebagai syarat-kewajiban dan kegiatan [Syarat-kewajiban pemanfaatan hutan;kegiatan perencanaan, penataan, pengelolaan hutan, pengukuran dan pengujian kayu oleh ahlinya] Badan hukum Indonesia [diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri Pertanian] Tidak tersurat, karena lebih terkait pergeseran kepemilikan konsesi ke nasional [Tidak tersurat] [Tidak ada representasi makna kelestarian secara khusus]. Perusahaan milik negara dan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas [penyimpangan yang perlu, ditetapkan presiden] Relatif lebih rinci lagi syarat, target, tujuan yang mengerucut ke pengelolaan hutan berkelanjutan [Potensi ekonomi plus syarat dan target lebih rinci untuk tujuan yang lebih mengerucut, plus pertimbangan lintas generasi] Selain cara dan azas/dasar dimaknai pula sebagai batasan, tujuan dan syarat [Batasan pengelolaan dan pembangunan kehutananan berkelanjutan; tujuan dalam pengusahaan hutan dan penerapan dana jaminan kinerja syarat kelayakan bagi KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH] BUMN, BUMD, swasta [Stratifikasi luas: lelang, permohonan, pelimpahan melalui Gubernur]

113 95 Tabel 19. (Lanjutan) Aspek narasi UU No. 5/1967 Kehutanan Hak dan Tidak ada uraian kewajiban hak; pemegang hak wajib meningggikan, produksi hasil hutan [diselenggarakan atas azas kelestarian hutan dan azas perusahaan] PP 21/70 PP 18/75 PP 6/99 *) Hampir tidak ada uraian hak; poin kewajiban begitu mendominasi [tidak kurang dari 10 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang hak, beberapa diantaranya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha kehutanan] Tidak ada uraian hak dan kewajiban [PP ini yang hanya merubah satu pasal terkait kriteria pemegang] Kewajiban lebih dominan dari hak [Hak terbatas, untuk jangka waktu tertentu pula, dengan kemungkinan perpanjangan] [Ada tidak kurang dari 11 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang izin] luas; namun apa yang dilakukan dan terjadi di tataran operasional kemudian adalah penggerusan sumberdaya untuk kesejahteraan segelintir: mereka yang memiliki akses politik, kekuasaan dan ekonomi lebih besar! Setelah Dalam periode ini, kebijakan usaha kehutanan lebih lanjut diatur melalui UU 41/99 tentang Kehutanan, sebagai pengganti UUPK 5/67 yang dengan tegas dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntuan perkembagan keadaan saat itu. Namun, jauh sebelum penggantian UU ini, terlebih dahulu terjadi penggantian PP 21/70 melalui penerbitan PP 6/99 dengan tetap merujuk UU5/67. Kurang dari setahun setelah penggantian PP 21/70 menjadi PP 6/99, baru kemudian keluar UU 41/99. Lalu, PP 6/99 ini disempurnakan, diganti dengan PP 34/2002 dengan merujuk pada UU 41/99 sampai kemudian diganti dengan PP 6/2007 yang akhirnya diganti dengan PP 3/2008. PP 6/99 sebagai turunan UU 5/67, UU 41/99 dan turunannya, yakni PP-PP diatas merupakan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan pada periode ini 7. 7 Masih dalam periode ini, UU 41/99 sebetulnya mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/99 tentang Kehutanan yang ditetapkan kemudian melalui UU 14/2004 tentang Penetapan Perppu 1/2004 menjadi UU. Sekalipun kedua produk perundangan ini juga menjadi bagian dari tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini, materinya tidak banyak dibahas dalam analisis ini, terutama karena perubahannya terfokus hanya pada perbaikan kepastian usaha pertambangan di kawasan hutan, untuk usaha-usaha pertambangan yang izinnya keluar sebelum pemberlakuan UU 41/99.

114 96 Perubahan PP 21/70 (jo PP 18/75) menjadi PP 6/99 dengan tetap merujuk pada UU 5/67 lebih ditekankan pada keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup, dimana kelestarian dimaknai sebagai batasan bagi dua hal sekaligus: pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang. Frase terakhir ini memperlihatkan pembaruan dalam PP 6/99 dimana kriteria kemakmuran sudah ditempatkan pada horison lintas generasi. Argumen pembuka pada UU 41/99 relatif tidak jauh berbeda dengan argumen pembuka pada UUPK 5/67, kecuali adanya tambahan berupa pengakuan bahwa (a) hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan (b) perlu prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan; serta (c) perlunya menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai teks argumen pembuka tambahan ini menjadi ciri era reformasi kehutanan waktu itu. Kegiatan usaha kehutanan sendiri secara khusus diatur dan mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan dimaksud antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK 8. Setelah serangkaian teks pengakuan bahwa kondisi hutan alam mengalami penurunan, artinya setelah dua dekade lebih usaha kehutanan dilakukan saat itu, hutan masih tetap dipandang sebagai pontesi ekonomi yang perlu terus 8 antara lain wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat wajib mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang diatur dalam peraturan pemerintah wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Hak usaha pemanfaatan hasil hutan dimaksud mencakup penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran yang dalam pelaksanaannya tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

115 97 dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan pembangunan, sebagaimana tampak pada kutipan berikut.... hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa... merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara... memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;...hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya... keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;... pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional ; (UU 41/99 konsideran a-c) Amanat UU No. 41/99, khususnya Bab V, VII dan XV, selanjutnya dijabarkan antara lain dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini sekaligus merupakan pengganti PP 6/99. Dalam PP 34/2002 pemosisian hutan alam tidak dideskripsikan, karena konsideran awal merujuk langsung pada keempat pasal pada UU 41/99 sebagai dasar lahirnya PP ini. Sementara kelestarian dimaknai dan diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Lebih lanjut, hal ini secara operasional diatur melalui Keputusan Menteri 9. Dalam periode ini, perubahan kebijakan usaha kehutanan terus bergulir. PP 34/2002 lebih lanjut diganti dengan PP 6/2007. Kalau sebelumnya, kelestarian diposisikan sebagai batasan terkait teknis pelaksanaan pemanfaatan hutan, dalam PP 6/2007 kelestarian menjadi dasar dalam 9 Keputusan Menteri dimaksud adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan pengganti KepMenhut 619/93 dengan subjek sama. Disebutkan dengan tegas pada konsideran bahwa PHAPL, bersifat wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan. Kriteria dan indikator dimaksud mencakup empat kriteria dan 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi (6), dan sosial (5).

116 98 melakukan deregulasi dan debirokratisasi usaha kehutanan yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan investasi usaha kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan ekonomi nasional. Pertimbangan normatif atas perubahan ini, antara lain adalah karena PP sebelumnya, yakni PP 34/2002, dianggap belum mampu memfasilitasi langkah ke arah berbagai perubahan ini semua, sehingga perlu diganti. Lebih lanjut, kelestarian kemudian mengerucut maknanya menjadi sebagai cara dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). KPHP sendiri diposisikan sebagai entitas rancang bangun unit pengelolaan hutan, melalui pengelompokkan SDH sesuai tipe, fungsi dan potensi ekosistemnya. Saat bersamaan, kelestarian juga dimaknai sebagai cara sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan yang dipilah kedalam berbagai bentuk usaha pemanfaatan: kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan hasil hutan kayu, makna kelestarian lebih mengerucut lagi pada upaya menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungan dimana unit usaha dilakukan. Pada Lampiran 9 (b) dapat dilihat matriks yang menggambarkan secara rinci perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis untuk kurun setelah Ringkasannya, dapat dilihat pada Tabel 20. Seperti halnya kurun sebelum 1998, dalam kurun ini tampak kecenderungan serupa, yakni untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Artinya, bahwa dari sisi substansi kecenderungan lawas dan kedalaman pangaturan tidak berubah. Implikasinya pun tampak tidak jauh berbeda, baik terkait dominasi pemerintah maupun latar distrust. Magnitude praktek politik ekonomi bahkan tampak semakin marak, karena prakteknya menyebar ke daerah, menyusul euforia reformasi dan masa transisi serta implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Tekanan atas sumberdaya

117 99 Tabel 20. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (setelah 1998) Aspek narasi UU No. 41/1999 Kehutanan Pemosisian Hutan Garis besar dengan Alam uraian relatif lebih rinci Panduan Filosofis Kelestarian Pelaksana(an)Usaha Kehutanan [Karunia, amanah dan anugerah Tuhan; ber manfaat serbaguna; dikuasai negara; wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi sekarang dan mendatang; ada pengakuan kondisinya sudah cenderung menurun dan harus dipertahankan] Dimaknai sebagai cara, tujuan, batasan dan kewajiban [Cara menjaga daya dukung, multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungan, dan mempertahankan keberadaan hutan alam; tujuan, khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam; batasan bagii kepastian usaha; kewajiban bagi para pemegang ijin - menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya] Melalui pemberian izin [Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, atau BUMD] PP 34/2002 PP 6/2007 Tidak ada uraian ini [Merujuk langsung pada UU 41/99 khususnya pelaksanaan Bab V, VII dan XV undang-undang tersebut] Lebih dimaknai sebagai kewajiban [Wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri (Kep Menhut 4795/2002) Pemberian izin melalui penawaran-pelelangan [IUPHHK HA, dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, dan Tidak ada uraian ini [Merujuk langsung UU 41/99-4 pasal, yakni Pasal 22, 39, 66, dan 80) yang mendasari lahirnya PP 34/2002] Selain cara dan tujuan, dimaknai pula sebagai azas. [Azas melaksanakan deregulasidebirokratisasi; cara dan prinsip pemanfaatan hutan (kawasan, jasa lingkungan, kayu, non kayu, pemungutan) dan pengelolaan KPH; tujuan dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan] Pemberian izin atas pemohon [pemberian dilakukan dengan menyeleksi para pemohon izin dan status kawasan hutan yang dimohon; diberikan Menteri

118 100 Tabel 20. (Lanjutan) Aspek narasi UU No. 41/1999 Kehutanan PP 34/2002 PP 6/2007 Hak dan kewajiban Tidak ada uraian hak, dominan butir-butir kewajiban [Ada setidaknya 4 butir kewajiban pokok terkait kerjasama dengan masyarakat setempat, menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan, membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja serta menyediakan dana investasi pelestarian hutan] BUMN atau BUMD; diberikan Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur]. Hak lebih kecil dibanding kewajiban [Berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya] [Ada sekitar 18 butir kewajiban]. berdasarkan rekomendasi gubernur dan pertimbangan bupati/walikota; dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN; atau BUMD. Kewajiban jauh lebih dominan dibanding hak [Berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usaha sesuai dengan izin] [Ada sekitar 40 butir kewajiban] hutan pun semakin meningkat, misal atas nama peningkatan investasi di daerah dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) 10. Khusus dikaitkan dengan setting uraian hak dan kewajiban dalam kurun sebelum dan setelah 1998, sebagaimana tampak pada Tabel 21, dapat diamati bahwa macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: hak memanfaatkan. Kemungkinan tafsirnya yang relatif kuat adalah stigma bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan. Sementara, tampak pula bahwa butir kewajiban menjadi relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran 10 Pengakuan beberapa para pihak pemangku kepentingan di daerah terkait fenomena konversi dan pinjam pakai kawasan hutan alam untuk penggunaan lain, termasuk sawit dan tambang beberapa FGD di Jambi, Riau, Kaltim dan Kalbar dalam kurun

119 101 pemikiran the forest first, sehingga aliran pemikiran ini masih sangat kental dan dominan dalam kurun dimaksud. Sampai disini dengan menggunakan teori kekuasaan Foucault, dapat ditangkap satu pola, bahwa penetapan berbagai kewajiban itu dan sekaligus pilihan aliran itu merupakan produk dari kekuasaan yang menghasilkan dan menghegemoni pengembangan berbagai pengetahuan terkait yang menjadi sebuah regime kebenaran. Tabel 21. Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha Item s/d keatas Makna (SK HPH) (SK IUPHHK-HA) Hak 1 (3) 1 (2) Macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: memanfaatkan. Hal ini dapat ditafsir bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan Kewajiban 9 19 Kewajiban relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran pemikiran the forest first. Catatan: Rincian hak dan kewajiban ini dapat dilihat pada Lampiran Proses Dari sisi proses, analisis atas keseluruhan dokumen peraturan perundangan sebelum 1998 yang tersedia memperlihatkan indikasi bahwa tidak dengan jelas adanya interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main atau kebijakan usaha kehutanan. Bahkan siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi terindikasi tidak tegas. Sekalipun, dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Dalam hal ini teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dan mendikte dalam proses penentuannya sulit dihindari. Dengan demikian, sintesis ini relatif sulit untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan

120 102 transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini, selain hanya oleh kelompok pemerintah. Sekalipun, dalam paragraf akhir di bagian penjelasan umum PP 21/70 dikemukakan, bahwa kepentingan yang ditimbang kuat hanya sebatas pemerintah dan pelaku usaha:... Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian, hak Pengusahaan Hutan, ketentuan persyaratan dan kewajibankewajiban yang dipandang penting baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak Pengusaha perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (Penjelasan Umum, PP 21/70) Relatif berbeda dengan kurun sebelum 1998, proses perumusan kebijakan usaha kehutanan dalam periode setelah 1998 menunjukkan sejumlah butir perbedaan yang dapat dianggap sebagai upaya perubahan. Kelahiran UU 41/99 ditandai dan bahkan dipicu dengan meningkatnya secara menyolok berbagai inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk usaha kehutanan di dalamnya. Situasi demikian muncul menyusul pergantian kepemimpinan nasional pada 1998, dimana banyak kelompok pemangku kepentingan mengusung serangkaian diskursus terkait arah dan substansi perubahan (baca: reformasi) yang perlu dilakukan, khususnya dalam sektor kehutanan. Dalam catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) tuntutan perubahan tersebut menyangkut penyediaan berbagai prakondisi pemungkin yang dianggapnya belum selesai. Ini mencakup antara lain pengukuhan hutan dalam rangka mewujudkan kepemilikan hutan yang legitimate, masalah birokrasi, dan kemampuan pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, masalah peraturan perundangan, masalah ukuran kinerja, evaluasi dan kontrol pelaksanaan usaha kehutanan. Adapun tuntutan pembaruan secara umum waktu itu, dan bahkan cenderung telah menjadi semacam tuntutan publik, tertuju pada dua sasaran pokok: redistribusi manfaat sumberdaya hutan dan meniadakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sektor kehutanan. Catatan terkait rangkaian diskursus para permangku kepentingan ini selanjutnya dapat dilihat antara lain dalam Dephutbun (1999), Kartodihardjo (1999) dan Awang (1999).

121 103 Kurang dari setahun sebelum UU 41/99 lahir, pemerintah (Dephutbun waktu itu) melakukan pembaharuan mendasar dengan menggantikan PP 21/70 dengan PP 6/99 pada 27 Januari 1999 untuk subjek yang sama. Inti perubahan, sebagaimana juga sudah disinggung di atas, mencakup antara lain relokasi besaran luas dan kepemilikan konsesi dan cara perolehan hak (melalui lelang) yang tampaknya untuk menjawab adanya klaim telah terjadinya praktek konglomerasi atau pemusatan luas areal konsesi hanya kepada segelintir orang saat itu. Perubahan ini disambut antusias oleh berbagai kalangan (masyarakat sipil, praktisi, ornop dan akademisi) (Dephutbun, 1999). Berbagai diskursus pun terus bergulir sampai kemudian lahir UU 41/99 pada 30 September Namun, topik-topik diskursus berkisar pada pembangunan kehutanan secara umum dengan kecenderungan utama pada tuntutan realokasi dan redistribusi manfaat hutan serta memperluas akses masyarakat (adat) atas hutan. Oleh karena itu, UU ini lahir melalui proses yang tergolong alot dengan jangka waktu relatif lama, dan melibatkan banyak kelompok pemangku kepentingan. Suatu situasi yang tidak dijumpai atau tidak terindikasi secara tegas pada proses historis perumusan UU Kehutanan 5/67. Para pemangku kepentingan di atas antara lain mengelompok dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan (KRPKP) dan Koalisi untuk Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (KUDETA). KRPKP sendiri pembentukannya diprakarsai Menhutbun (waktu itu) melalui Kepmenhutbun No. 521/1998 pada 29 Juni Anggota KRPKP meliputi perwakilanperwakilan dari Dephutbun, perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi. Menurut catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) dalam proses pembentukan KRPKP, salah seorang perwakilan LSM tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota KRPKP 11. Berbagai forum ini dengan dukungan para akademisi, berproses aktif antara lain dengan turut mengawal proses pembaruan kehutanan, termasuk perumusan usulan rancangan UU ini. Para pemangku kepentingan dalam FKKM bahkan turut menyiapkan naskah 11 Dari wawancara dengan narasumber yang relevan, tidak diperoleh alasan yang memadai, selain kekhawatiran adanya kooptasi oleh pemerintah, mengingat prakarsa dan legalitas KRPKP melalui Kepmehut.

122 104 akademik 12 dan bahkan UU Kehutanan tandingan. Munculnya UU Kehutanan tandingan merupakan indikasi tidak semua kepentingan para pihak pada akhirnya diakomodasi dalam UU 41/99. Artinya, berbagai diskursus yang mengemuka memang berpengaruh dalam proses konstruksi UU baru itu, namun tidak terejawantahkan dalam hasil akhir. Gambaran historiskronologis ini dapat dijadikan semacam konfirmasi, bahwa teks-teks perundangan pada periode ini, sebetulnya mencerminkan adanya proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pemangku kepentingan. Namun hasil akhir teks dan narasi menunjukkan bahwa tidak semua hasil transaksi masuk dalam dokumen akhir produk kebijakan. Beberapa pemangku kepentingan non-pemerintah menamai situasi ini sebagai fenomena black box yang dinilai kental dengan agenda politik ekonomi sektor kehutanan. Dalam proses selanjutnya hal ini mengurangi tingkat kepercayaan publik, setidaknya para pihak pemangku kepentingan yang turut berproses saat itu, kepada pemerintah dalam proses konstruksi kebijakan. Singkatnya, proses kelahiran UU 41/99 ini relatif lebih kaya dari sisi para pihak yang terlibat dan diskursus yang mengemuka yang turut mengkonstruksi kondisi akhir UU ini, relatif terhadap proses perumusan UU 5/67. Berbeda dengan proses pembentukan UU 5/67, pembentukan UU 41/99 memperlihatkan perubahan yang relative signifikan baik dari sisi proses maupun substansi seperti telah dijabarkan di atas. Sekalipun, sebagaimana disayangkan banyak pihak, hal ini diwarnai fenomena black-box sebagaimana telah dikemukakan di atas. Fenomena black box, khususnya, dan situasi proses konstruksi kebijakan dalam kedua periode umumnya, tampak konsisten dengan hasil analisis narasi terkait relasi kekuasaan yang menghegemoni sebuah regime kebenaran yang menggiring begitu kuat kepada ciri-ciri aliran the forest first. Sampai disini, kembali, bahwa aliran itu dan keseluruhan diskursus di permukaanya merupakan produk dari hegemoni kekuasaan pemerintah. 12 Jauh sebelum ini, Dephut tanpa diketahui publik secara luas, pernah menyiapkan naskah akademik dan draft penyempurnaan UU 5/67, setidaknya melalui penerbitan Kepmenhut 213/1990 disusul kemudian dengan Kepmenhut 66/1991 dan Kepmenhut 4/93 dari wawancara awal dengan beberapa tokoh terkait dalam Kepmenhut ini, tidak cukup informasi seberapa jauh naskah akademik dan naskah penyempurnaan masuk dalam proses pembaruan di periode ini, setidaknya dalam RPKP.

123 Fenomena: Sintesis Kecenderungan Sebelum Berbagai argumen pembuka pada UU Kehutanan 5/67 menjadi titik berangkat legalitas dan landasan falsafah kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi Indonesia yang dimulai (lagi) 13 pada Dibalik serangkaian teks argumen pembuka itu tersirat sebuah kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, yang begitu yakin dan percaya, bahwa hutan itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya merupakan anugerah, dan karena pertimbangan kepentingan pembangunan termasuk menyelesaikan revolusi pantas untuk dimanfaatkan dan dikelola, dengan tetap dilindungi agar lestari. Namun, sampai disini, belum jelas betul bagaimana interaksi dan sekaligus transaksi para pihak sehingga sampai pada keyakinan ini. Dapat dipahami, bila sampai disini pun makna lestari dan macam pendekatannya belum begitu tegas, termasuk untuk mewujudkannya. Padahal, secara tekstual kelestarian dikonstruksi sebagai instrumen kontrol. Namun ditengah situasi ambigu ini, yang tampak relatif jelas dan tegas adalah bagaimana hutan telah diposisikan begitu sentral. Dari teks konsideran PP 22/67 sebagaimana dikutip di bagian awal bab ini, frase dalam arti luas dalam alokasi pungutan mengundang dugaan bahwa alokasi penggunaan hasil pungutan bisa digunakan bukan hanya untuk kembali ke kehutanan sebagaimana teksnya, namun menjadi terbuka untuk penggunaan lain, termasuk mungkin yang sifatnya menyimpang. Misalnya melalui politik-ekonomi atas nama: atas nama rehabilitasi hutan untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu 14. Dengan begitu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan bahwa alokasi itu sungguh-sungguh untuk membangun kembali hutan dan kehutanan. Dugaan ini pernah terbukti terjadi, misalnya pada saat Dana Reboisasi dialokasikan untuk tujuan lain nonkehutanan melalui penerbitan Kepres 42/1994, antara lain untuk membantu industri pesawat terbang IPTN (sekitar IDR 400 milyar) yang produknya lalu 13 Sisipan lagi sekedar menunjukkan, bahwa usaha kehutanan berupa pemberian konsesi HPH sudah berjalan jauh sebelumnya mencapai luas 1.3 juta ha di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan nilai devisa dari ekspor saat itu mencapai USD 775 ribu pada 1963 sebagaimana ditunjukkan Dephutbun (2007). 14 Beberapa sumber yang tidak berkenan dicantumkan identitasnya menyinggung soal penarikan dana DR sebesar IDR 40 T dalam tempo singkat, atas nama gerakan menanam pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan, yang menurutnya justru untuk kepentingan politik terkait pemilu periode tertentu.

124 106 diimbal beli dengan beras ketan dari Thailand. Dengan Kepres yang sama, DR juga dimanfaatkan untuk keperluan SEA Games (sekitar IDR 35 miliar) dan perusahaan pupuk tablet urea (sekitar IDR 80 miliar) 15. Penyimpangan ini, menjadi contoh bukti empiris adanya upaya legalisasi intervensi atas arah dan orientasi pelaksanaan kebijakan usaha kehutanan, khususnya dalam upaya rehabilitasi hutan, yang dilakukan dan bahkan disiapkan pemerintah sendiri. Antara lain kedalam fenomena semacam ini istilah politik-ekonomi penulis maksudkan. Dari atribut pengetahuan, tampak bahwa dibalik narasi kebijakan di atas, kelestarian hanya didekati dari disiapkannya sejumlah alokasi dana yang dipungut dari dan dikembalikan ke hutan dengan (disadari atau tidak oleh perumus kebijakan) disertai celah (loop hole) yang menjadi titik lemah bagi keterlaksanaan aturan ini secara konsisten. Sekalipun masuk akal secara keilmuan, pendekatan ini relatif tidak lengkap, terutama bila merujuk macam kebenaran/rasionalitas menurut Dunn (2000). Dengan rujukan itu, maka pendekatan ini pada dasarnya baru memenuhi sebatas kebenaran hukum, yakni menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen pengendali pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, pendekatan ini belum memiliki rasionalitas substantive yang cukup yang idealnya harus mencakup dari mulai (Dunn, 2000) macam kebenaran teknis (pilihan efektifitas), ekonomis (pilihan efisiensi) dan sosial (daya terima sosial). Dari batasan pengetahuan seperti itu, sebagai sebuah aturan main, pendekatan yang dikembangkan tampak tidak lengkap, terutama karena tidak didukung oleh penyiapan sejumlah prakondisi pemungkin, misal terkait jurisdiksi, representasi dan bahkan interdependensi antar dan pemosisian para pihak yang terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan. Kondisi demikian dapat merupakan representasi dari situasi tidak terjadinya interaksi atau bahkan transaksi antar para pihak saat berbagai ketentuan ini dikonstruksi kedalam teks-teks aturan. Corak hasil sintesis semacam inipun berlaku identik untuk narasi kebijakan lainnya, terutama bila diamati kecenderungannya yang serupa diakses 18 Feb 2009; diakses 24 Maret 2009

125 107 sebagaimana tercantum baik pada PP 21/70 atau bahkan pada UU 5/67 sebagaimana telah disinggung di atas. Dari sisi historis atau proses, atau setidaknya secara sekuen, terbitnya PP 22/67 pun mengundang pertanyaan, karena ia keluar sekitar tiga tahun lebih dulu sebelum PP 21/70 yang khusus mengkerangka HPH dan HPHH itu sendiri. Dalam diktum menimbang, teks dalam PP 21/70 memang merujuk pada PP 22/67. Teks ini memungkinkan untuk ditafsir, bahwa kerangka aturan main terkait HPH dan HPHH lebih didorong karena telah adanya lebih dulu aturan struktur pungutan HPH dan hasil hutan, sekalipun dalam PP 22/67 tidak ada mandat untuk mengkerangka lebih lanjut struktur HPH dan HPHH. Namun, dalam konteks kebijakan usaha kehutanan urgensi terbitnya PP 22/67 pun menggantung, karena tidak ada rujukan substantive yang relevan dan menjelaskan pentingnya PP ini, selain cantolan legal, yakni beberapa pasal pada UUD 45, sejumlah TAP MPRS-1966 dan 1967, UUPK 5/67 serta PP 18/65 tentang Pemerintahan Daerah. PP 22/67 tidak pula ada kaitan dengan PP 64/57. Sehingga pertanyaannya, argumen apa dan siapa serta diskursus seperti apa atau setidaknya kejadian-kejadian apa yang telah berlangsung sehingga mendorong diperlukannya semacam respon kebijakan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk PP 22/67; selain memang serangkaian teks argumen pembuka yang sudah tersurat dalam konsideran PP ini. Pertanyaan ini akhirnya berkembang kepada bagaimana proses dan mekanisme kebijakan ini disusun dan siapa saja para pihak yang telah turut berproses selain birokrat pemerintahan saat itu 16. Hal ini menunjukkan, bahwa jawaban atas ketiga pertanyaan awal IDS (2006) tidak tersedia. Sampai disini, diperoleh pengetahuan, bahwa salah satu karakteristik produk perundangan terkait kebijakan kehutanan, selain tidak tampak adanya interaksi dan transaksi para pihak pemangku kepentingan, para pihak yang terlibat dan kekuatan politik di belakangnnya pun tidak teridentifikasi secara tegas; selain, bahwa komponen birokrasi pemerintah yang tampak begitu mendominasi. 16 Dari wawancara dengan beberapa mantan birokrat yang aktif dimasanya, tidak tergali informasi yang cukup untuk dapat menjawab pertanyaan ini.

126 108 Kutipan terkait Penjelasan Umum PP 21/70 di atas mengisyaratkan seolah adanya proses interaksi berupa kemufakatan terkait ketentuan persyaratan dan kewajiban-kewajiban dimaksud antara pemerintah dengan pihak pengusaha. Setidaknya ada proses komunikasi, negosiasi dan tawar menawar kepentingan dalam bentuk rangkaian diskursus antar kedua pihak yang turut mengkonstruksi aturan main itu. Namun, sejauh ini tidak dijumpai dokumen yang mendukung hal tersebut. Terlebih untuk memotret diskursus dari kelompok masyarakat lainnya (akademisi, masyarakat adat, dan ornop). Demikian pula dalam Dephut (2007) terutama pada awal-awal 1960an-1980 tidak dijumpai satu potongan narasipun yang mengindikasikan adanya rangkaian diskursus dan interaksi yang melibatkan keseluruhan para pemangku kepentingan terkait dengan usaha kehutanan, selain dari sisi pemerintah. Dengan begitu, inisiatif dan dorongan mengusahakan hutan alam produksi dapat dianggap datang lebih banyak dari pemerintah dan dalam perspektif mayoritas pemerintah sendiri. Demikian pula konsep dan pendekatan kelestarian serta pemosisian hutan alam di dalamnya. Kondisi empiris demikian dapat ditafsir, bahwa detail aturan main yang ada lebih mencerminkan kebutuhan dari sisi pemerintah untuk menyiapkan aturan, belum merupakan harmonisasi dan kristalisasi kebutuhan aktor lain, termasuk para pelaku dan pelaksana kebijakan; atau kebutuhan objektif menjawab masalah usaha kehutanan itu sendiri. Karakteristik ini semakin menegaskan bahwa aliran pemikiran dibalik kebijakan usaha kehuatan masih di seputar the forest first dalam pandangan Sfeir-Younis (1991). Penyempurnaan PP 21/70 melalui penerbitan PP 18/75 pun tidak merubah secara signifikan arah kebijakan usaha kehutanan dan juga pemaknaan atas kelestarian dan pemosisian hutan alam dalam kebijakan itu sendiri. Ini dimungkinkan, mengingat fokus perubahan hanya pada satu pasal terkait penegasan bahwa modal asing sekedar pelengkap modal nasional dan sejalan dengan itu memberikan peran lebih besar kepada perusahaan nasional untuk mengusahakan HPH, karena dipandang telah mampu. Namun, tidak dijumpai diskursus yang mengaitkan relevansi perubahan ini dengan hal yang lebih mendasar bagi tatanan usaha kehutanan lestari, misal gambaran apakah

127 109 penegasan entitas menjadi lebih nasional, terkait dengan penataan hak kepemilikan (property rights) sebagai kondisi pemungkin bagi pencapaian kelestarian. Sampai disini, terakumulasi pengetahuan bahwa pemerintah, memicu sendiri argumen bahwa hutan memiliki potensi ekonomi, diperlukan untuk menopang tujuan pembangunan nasional termasuk menuntaskan revolusi, untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pula memosisikan kelestarian sebagai cara/azas/landasan/dasar/tujuan terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan bagi kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan. Semua ini dimungkinkan, karena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi dengan pihak lain, selain pemerintah. Merujuk pada konsep policy as an argument yang dikemukakan Sutton (1999) maka fenomena demikian memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak, pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tanpa ada yang (berani) mengkritiknya, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta dan idelologi atau bahkan teori - antar para pihak pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh peran ilmuwan kehutanan memiliki kontribusi dalam proses. Merujuk kembali kepada macam kebenaran/rasional Dunn (2000) maka macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini adalah kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, yakni karena yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. Sejalan dengan konsep kebijakan sebagai argumen di atas, kebenaran itu sendiri belum didukung kebenaran lainnya seperti teknis, ekonomis dan terutama penerimaan sosial. Lalu, yang kemudian menonjol adalah posisi politik pemerintah dalam upaya mengatur dan mengawasi pihak yang diawasi (pemegang konsesi) alias command and control bahkan sampai di tingkat unit usaha. Masyarakat lain, khususnya masyarakat adat yang ada di dalam dan di sekitar hutan sekedar diikutsertakan. Sementara hal mendasar dari

128 110 kelestarian tidak cukup gamblang dan lengkap diatur, selain bahwa ia diposisikan sebagai bagian instrumen pengelolaan yang diwajibkan dalam kegiatan usaha kehutanan. Dari sisi proses dengan menimbang kebijakan sebagai argumen aktor atau policy network yang turut mengkerangka kebijakan menjadi kurang teridentifikasi secara lengkap, selain hanya komponen pemerintah yang begitu dominan mengatur dan melakukan kontrol di seputar hutan, dalam artian yang sangat teknis silvikultur. Sementara, praktisi usaha kehutanan selaku pihak yang dikontrol, posisi politisnya diposisikan sebagai pihak yang lemah atau subordinat. Dengan posisi demikian, semakin tegas bahwa substansi dan narasi kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini merupakan hegemoni atau monopoli hasil konstruksi aktor pemerintah. Himpunan pengetahuan diatas menjadi penting terlebih bila dikaitkan dengan masih hadirnya sejumlah isu kontemporer, antara lain, mengapa pemerintah pada saat itu belum mempertimbangkan dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, khususnya dalam hal hak dan aksesnya. Telah disebutkan di atas, bahwa pengaturan interdependensi antara pemegang konsesi dengan masyarakat yang lebih memosisikan masyarakat sebagai pihak pinggiran: sepanjang diakui masih ada, dan hanya berhak memungut hasil hutan bukan kayu, itupun ditakar hanya untuk keperluan sendiri dan sejauh tidak mengganggu kegiatan usaha HPH 17. Pengetahuan yang satu ini menegaskan bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada telah berhasil menggiring diskursus bahwa, begitulah rupa pemahaman hutan dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam perkembangannya, masih dalam periode ini (sebelum 1998), muncul indikasi perubahan dalam bangunan interdependensi yang memengaruhi seolah ada peta policy network tadi. Ini tampak, terutama saat munculnya konglomerasi yang menurut (Brown, 1999) dimungkinkan karena hadirnya sinergi politik antara pemerintah dan pengusaha. Sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, bahwa pada penggalan periode ini pengaruh 17 Tercantum dengan jelas pada hampir keseluruhan dokumen FA dan SK HPH

129 111 dunia usaha cukup kuat memengaruhi proses perumusan kebijakan usaha kehutanan yang telah menjadi hegemoni pemerintah. Hal ini mendapat semacam konfirmasi langsung dari salah seorang Menteri Kehutanan di era ini 18 :...bukan apa-apa dik, tekanan politik waktu itu sudah sangat membebani birokrasi...bayangkan saja...kalau posisi direktur saja presiden yang harus menentukan...karena kepentingan bisnis dibaliknya... (Wawancara, Lebak Bulus, 21 Mei 2011). Fenomena konglomerasi di atas ditandai juga terutama dengan adanya kebijakan peningkatan kapasitas industri dalam negeri melalui integrasi vertikal industri perkayuan menyusul larangan ekspor log pada 1985 (Brown, 1999). Fenomena ini memang memperlihatkan adanya peningkatan posisi politis praktisi dunia usaha kehutanan dalam memengaruhi kebijakan industri kehutanan. Namun, perbaikan posisi politis ini, tidak kondusif dan sebaliknya justru membuat semakin lemahnya kebijakan usaha kehutanan lestari. Sebagai misal, bisa diingat kebijakan terkait integrasi vertikal diwajibkannya para pemegang konsesi HPH memiliki unit industri. Dalam pelaksanaannya, melalui integrasi vertikal, kayu dihargai begitu murah disatu sisi dan disisi lain ia harus dipanen lebih banyak dan lebih cepat, sesuai target pemenuhan industri perkayuan. Dengan begitu, perbaikan posisi politis para praktisi usaha kehutanan dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, kurang untuk mengatakan tidak memiliki kontribusi pada perbaikan arah dan substansi kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam penyelesaian halhal mendasar yang menjadi isu kontemporer sebagaimana juga di singgung di atas, seperti soal hak kepemilikan, akses mayarakat di dalam dan di sekitar hutan; terlebih soal pelurusan klaim hutan dikusasai negara yang dalam prakteknya cenderung dipersempit menjadi dikuasai pemerintah. Terkait makna kelestarian sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 FA, sebagaimana dikutip di atas, pendekatannya sudah masuk ditataran teknis dimana urut-urutan terkait hal-hal apa yang harus, yang boleh dan tidak boleh dilakukan relatif jelas. Namun, ciri-ciri bahwa itu semua dibangun dengan 18 Konfirmasi ini menguatkan hadirnya dominasi dan sekaligus hegemoni dalam pengertian Gramsci sebagaimana dimaksud Eriyanto (2005) dalam diskursus usaha kehutanan selama ini.

130 112 kerangka pikir administratif di baliknya, sulit dihilangkan. Dari atribut pengetahuan, dibalik narasi ini, masih tampak jelas ada kekurang lengkapan terkait rasionalitas aturan main. Aturan main yang ada, baru sampai pada kebenaran hukum, belum didukung oleh kebenaran lainnya seperti ekonomi, kebenaran sosial dan bahkan kebenaran teknik. Kembali, bahwa kondisi ini, konsisten dengan situasi tidak teridentifikasinya, terutama dari teks yang dianalisis, proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pihak pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan saat aturan dikonstruksi. Dengan begitu, tampak bahwa aturan main terkait kelestarian disini lebih bersifat daftar larangan, keharusan, dan cara serta upaya penegasan kembali wewenang pemerintah untuk terus melakukan kontrol di tingkat unit usaha command and control within administrative domain. Dengan karakteristik narasi kebijakan semacam ini, tampak bahwa pemaknaan kelestarian di tingkat FA dari sisi atribut pengetahuan, tidak jauh berbeda, yakni hanya sebatas kebenaran hukum tanpa ada sedikitpun tanda-tanda adanya macam kebenaran lainnya sebagaimana dimaksud Dunn (2000). Dengan karakteristik itu pula, interaksi yang ada lebih menggambarkan pengaturan sebagai sekedar instruksi dari pemerintah atas pemegang unit usaha daripada proses transaksi antar keduanya. Keseluruhan hal ini menunjukkan pula, bahwa aliran the forest first tampak begitu dominan dan itu merupakan produk dari relasi kekuasaan dalam pemahaman Foucault sebagaimana dijelaskan Arts and Buizer (2009) dan Hawitt (2009). Setelah Ditempatkannya istilah kemakmuran dalam horison lintas generasi dapat dianggap sebagai poin pembaruan pada PP 6/99 dan merupakan suatu terminologi yang tidak secara tegas dan tersurat digunakan dalam PP sejenis yang lama dan telah ada sebelumnya. Namun, melalui PP ini, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian. Dalam hal ini makna kelestarian lebih mengerucut sebagai instrumen tidak saja dalam pemanfaatan hutan, tapi mencakup pula upaya memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH (performance

131 113 bonds). Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Hal terakhir ini merupakan respon atas tuntutan sebagian kelompok masyarakat untuk memecah konglomerasi yang terjadi sebelumnya di satu sisi; dan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam di sisi lainnya, sejalan dengan terjadinya gerakan reformasi di segala bidang saat itu. Gerakan reformasi itu sendiri muncul, menyusul pergantian kepemimpinan nasional kala itu. Sekalipun mengalami sedikit perubahan, teks argumen pembuka pada UU 41/99 tetap memberikan isyarat bahwa kecenderungan kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, dibalik narasi kebijakan yang ada, relatif tidak berubah: hutan sebagai sentra yang mengindikasikan kentalnya aliran pemikiran the forest first. Sekalipun mengakui kondisi hutan menurun, mereka tetap yakin dan percaya, bahwa hutan (yang tersisa) itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya masih dipandang pantas untuk (terus) dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, dengan tetap dijaga daya dukungnya secara lestari. Kerangka pikir demikian muncul, apalagi kalau bukan karena pertimbangan kepentingan (melanjutkan) pembangunan, dengan memosisikan kelestarian sebagai instrumen pembatas. Pada saat yang sama pemerintah sebenarnya menegaskan kembali, perihal penguasaan hutan oleh negara dengan wewenang pemerintah 19 untuk memastikan pencapaian kelestarian. Terkait hal ini, perubahan tampak pula pada pemaknaan kelestarian. Disini kelestarian sebagai pembatas, didekati dari diberlakukannya sejumlah ketentuan dan kewajiban bagi pemegang hak seperti diuraikan di atas, ditambah pula kewajiban lain: membayar iuran izin usaha, provisi sumberdya hutan, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja. Adapun pengertian operasional terkait kelestarian ini lebih lanjut dirujuk pada peraturan pemerintah tersendiri. 19 Tentunya penguasaan dan wewenang untuk (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (Pasal 4 ayat 2 UU 41/99).

132 114 Sampai disini, keseluruhan teks dan narasi kebijakan yang dianalisis terkait proses penataan aturan main kelestarian di atas tidak mencerminkan adanya interaksi yang intens antar para aktor pemangku kepentingan dalam usaha kehutanan. Terlebih transaksi antar para pihak dimaksud. Bahkan para pihak yang berinterkasi pun, tidak cukup tegas, selain bahwa pemerintah begitu dominan mengkonstruksi aturan main bagi unit usaha. Dengan begitu, maka apapun aturan main terkait usaha kehutanan lestari yang tertuang dalam teks dan narasi yang ada, lebih merupakan perspektif pemerintah yang tampaknya steril dari proses transaksi dan negosiasi dengan para pemangku kepentingan lainnya. Sementara, dari substansi pengaturan, aturan main kelestarian yang ada tampak masih bersifat begitu administratif dengan memosisikan hutan sebagai sentra. Terlebih dari narasi itu tidak diperoleh gambaran seberapa jauh keterlaksanaan, efektivitas dan efisiensi dari aturan main itu di tingkat implementasi. Telah disinggung di muka, bahwa melalui PP 34/2002 kelestarian diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang secara teknis diatur tersendiri dalam keputusan menteri. Namun, seperti fenomena lainnya sebagaimana telah digambarkan di atas, teks-teks dan narasi kebijakan yang ada tidak memperlihatkan gambaran adanya interaksi dan transaksi yang cukup intens antara para aktor pemangku kepentingan dalam proses mengkonstruksi aturan main. Sementara, aktor utama yang terlibat dalam interaksi, tetap masih pemerintah yang begitu dominan mengatur pemegang unit usaha. Dengan memahami lebih jauh jenis dan deskripsi masing-masing indikator kelestarian, maka sulit dihindari munculnya pandangan bahwa indikatorindikator itu sangat teknis, cenderung administratif, prosedural, lebih bersifat disinsentif, dan mempersempit bahkan menutup ruang kreativitas unit usaha pemegang konsesi, justru dalam mewujudkan PHAPL dengan cara dan pendekatannya sendiri. Keharusan pemenuhan kriteria dan indikator kelestarian ini semakin berat, manakala PHAPL ini bersifat wajib (mandatory) disatu sisi, dan disisi lain kapasitas dan kapabilitas pemerintah untuk

133 115 menegakkan penerapan PHAPL ini relatif kurang memadai 20. Situasi empiris ini semakin menegaskan setidaknya tiga hal: (a) di atas nama perubahan, pemerintah tetap dominan dalam menata aturan main, termasuk membangun pendekatan kelestarian, sehingga (b) teks dan narasi kebijakan tetap bukanlah wujud dari pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak, dan oleh karena itu bisa ditafsir, bahwa (c) kebenaran yang terkandung dalam substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Dengan begitu, pemerintah pada hakekatnya menempatkan kelestarian itu sebagai eksternal bagi pemegang unit usaha, seolah hanya pemerintah yang lebih tahu dan lebih berkepentingan dengan kelestarian itu. Dalam kondisi demikian, maka keharusan (mandatory) penilaian kinerja PHAPL dengan memanfaatkan jasa penilaian pihak ketiga (Lihat daftar perundangan di catatan kaki No. 20) semakin meningkatkan disinsentif bagi unit usaha, karena jelas-jelas akan menambah komponen dan besar biaya operasional, tanpa ada gambaran akan berpengaruh atas tingkat keuntungan usaha. Disamping itu, ketimpangan yang lebar antara hak dan kewajiban pemegang unit usaha dalam menjalankan usahanya, menjadi faktor disinsentif lainnya: hak hanya atas komoditas kayu, sementara kewajibannya, selain terkait operasional usaha kehutanan, mencakup pula hampir keseluruhan komponen pengelolaan wilayah konsesi secara lestari (Lampiran 14). Situasi demikian juga terungkap Ismanto (2010) dalam penelitiannya. Situasi itu tidak sejalan dengan semangat perubahan paradigmatik yang sedang diangkat saat itu. Secara keseluruhan, dari sisi substansi, perubahan signifikan setidaknya secara tekstual terjadi pula pada paradigma pengelolaan yang tidak lagi berorientasi kayu tapi lebih pada hutan sebagai ekosistem dengan membuka ruang usaha dan ruang keterlibatan masyarakat dan masyarakat tempatan secara lebih luas dalam usaha kehutanan. Sayangnya, dalam penelitian 20 Dicerminkan antara lain dari keluarnya Kepmenhut 208/2003 dan 299/2003, disusul kemudian dengan Kepmenhut 128/2005, 303/2005 dan Permenhut P.65/2006 keseluruhannya terkait pelaksanaan penilaian dan sertifikasi PHAPL Mandatory, dimana pemerintah memercayakan kepada pihak ketiga (LPI mampu menurut akreditasi pemerintah) untuk melakukan penilaian kinerja PHAPL, sebagaimana diatur dalam Kepmenhut 4795/2002.

134 116 Ismanto (2010) diketahui bahwa perubahan paradigmatik itu tidak secara nyata terjadi. Namun, karena teks dan narasi yang ada tidak juga memberikan cukup indikasi terkait proses interaksi dan transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main, sebagaimana dapat dijumpai pada perubahan PP 34/2002 menjadi PP 6/2007, maka berbagai argumen perubahan ini lebih cenderung sebagai perspektif pemerintah yang masih tetap dominan. Diskursus dan klaim perubahan substansi aturan terus berlanjut dalam periode ini. PP 34/2002 mengalami perombakan sekitar 38 pasal melalui pemberlakuan PP 3/2008. Adapun motivasi perubahan terutama untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dengan fokus merubah ketentuan pengaturan tata hutan, rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. Hal yang disebut terakhir ini menegaskan, bahwa ketentuan usaha kehutanan, termasuk aspek yang diubah melalui PP 3/2008 ini. Setidaknya, macam atau lapangan izin usaha menjadi lebih banyak, termasuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemanfaatan kayu yang berlatar restorasi. Namun, dalam diskursus berkembang pandangan, bahwa arah perubahan demikian lebih dilatari oleh keinginan memecah kebuntuan terkait akses usaha tambang di hutan lindung; khususnya terkait perizinan kuasa pertambangan sebelum pemberlakuan UU 41/ Bagaimana sampai rumusan akhirnya menjadi seperti yang tertuang dalam teks dan narasi yang ada, kembali bahwa kecenderungannya lebih kepada dominasi perspektif pemerintah, karena tidak tergambar proses interaksi dan transaksi setidaknya antar pemerintah dengan unit usaha dalam mengkonstruksi aturan main dimaksud. Dalam arah perubahan tersebut, pemaknaan kelestarian sendiri tidak beranjak banyak dan justru cenderung semakin menukik pada hal-hal teknikal, mekanistis-instrumentatif dan administratif. Instrumentatif, karena bila merujuk Swiercz and Ross (2003) itu adalah identik dengan bias yang menggambarkan bahwa unit usaha diposisikan sekedar instrumen untuk mencapai tujuan utama dari manajemen, yakni mengontrol pihak lain dan lingkungan untuk meraih manfaat. Dengan rujukan yang sama, maka 21 Dari serangkaian diskusi dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Jakarta

135 117 fenomena pemerintah yang masih tetap begitu dominan sebagai pengontrol dan peran gandanya sebagaimana muncul dalam sintesa-sintesa di atas sebelumnya, yakni sebagai grand regulator sekaligus eksekutor identik dengan bias executive centric. Demikian pula akibatnya dominasi perspektif pemerintah dalam mengkonstruksi poin-poin aturan main masih sangat kuat. Artinya, di tingkat PP esensi kebijakan sebagai ruang kontestasi, tarik-menarik, kompromi dan negosisasi kepentingan para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan masih belum terwujud. Dengan kata lain, masih sulit untuk mengelak dari penilaian bahwa orientasi dan substansi aturan belum merupakan kristalisasi kesepakatan dan ketidak sepakatan dalam mensinergikan kebutuhan, menata tujuan dan mengatasi masalah usaha kehutanan secara bersama antar para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan. Ironisnya, situasi itu terjadi justru pada periode dimana keterbukaan dan keberanian para pihak pemangku kepentingan untuk menyampaikan aspirasi perubahan mulai menyeruak, menyusul gerakan reformasi pasca momentum pergantian kepemimpinan orde baru saat itu (1998). Pengetahuan ini dapat membantu memahami dan memperkuat penjelasan atas klaim bahwa perubahan tekstual dan narasi memang terjadi, tapi tidak menyentuh hal-hal fundamental, terlebih saat teks dan narasi kebijakan terkait kelestarian coba ditapis dengan kerangka teoritis kelestarian; bahwa apa yang tampak sebagai perubahan itu tetap tidak menjawab atau bahkan menyinggung isu-isu kontemporer terkait hak dan akses masyarakat (property rights), informasi terkait karakteristik SDH (sumber interdependencies), termasuk pandangan atas status hutan alam sebagai aset (paradigma usaha kehutanan). Kelestarian, karenanya, masih tetap diposisikan sebagai hal yang datang dari aturan pemerintah sehingga bersifat eksternal bagi pelaku usaha kehutanan dan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dimungkinkan, karena proses konstruksi aturan main tidak melalui proses interaksi dan transaksi yang cukup di satu sisi; dan disisi lain, diskursus yang terjadi tidak sepenuhnya memengaruhi proses konstruksi dimaksud sebagaimana layaknya. Situasi dimana diskursus tidak memengaruhi proses konstruksi kebijakan dapat

136 118 mengundang pertanyaan, apakah ini pengecualian dari pendapat Talja (1997) yang memahami diskursus sebagai tatanan kerangka pikir yang mengkonstruksi realitas sosial. Pemahaman lain atas situasi itu adalah, apapun wujud kelestarian yang dikonstruksi, keberadaannya masih cukup jauh dari konsep self-sustaining sebagaimana dimaksudkan Mac Cleery (tt) maupun Kaivo-Oja et al (tt). Selanjutnya, fenomena keterkaitan antara narasi, diskursus dan kecenderungan kerangka pikir untuk periode sebelum dan setelah 1998 secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 5. Kembali kepada pada Talja (1997) dimana diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengkonstruksi realitas sosial dalam sebuah konteks tertentu, maka berbagai kecenderungan diskursus yang mengemuka sebagaimana digambarkan diatas pada hakekatnya adalah kecenderungan kerangka pikir dari para pihak yang terlibat dalam diskursus. Kecenderungan ini dapat kemudian dipetakan. Seperti apa wujud peta kerangka pikir ini tergantung pada pendekatan yang digunakan. C. Peta Kerangka Pikir 1. Keseimbangan Dimensi Organisasi Dengan mengacu pada pendekatan Bolman dan Deal (1984) berbagai kecenderungan kerangka pikir sebagaimana diilustrasikan di atas, sesungguhnya memperlihatkan peta keseimbangan dimensi organisasi usaha kehutanan. Dengan pendekatan ini, dimensi keorganisasian kehutanan lebih dialamatkan kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang mengurusi kehutanan dalam kedua periode 22, antara lain dan terutama karena alasan ia sebagai pemain dominan berperan ganda: sebagai grand regulator dan juga sebagai wasit dan sekaligus eksekutor dalam usaha kehutanan. Dengan menggunakan kata kunci yang telah dikembangkan dalam pendekatan ini (Lampiran 4) diperoleh gambaran keseimbangan dimensi 22 Instusi untuk kedua periode: Departemen Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, kembali Departemen Kehutanan

137 119 organisasi baik untuk priode sebelum dan setelah 1998, sebagaimana dirinci dalam Tabel 22. Tabel 22. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Bolman dan Deal (1984) Pendekatan Dimensi Catatan Bolman and Deal (1984) Sebaran kata kunci baik untuk periode sebelum dan sesudah 1998 (Lampiran 4) memperlihatkan kecenderungan kerangka lebih ke dimensi simbolik untuk kedua periodik. Organisasi dimaksud lebih tertuju kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang mengurusi kehutanan (lihat catatan kaki 21) Makna dimensi ini menegaskan beberapa hal terkait organisasi: Tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai; Peran manajemen menyeimbangkan strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal kurang; Organisasi lebih memosisikan diri (secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil. Tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. Tidak merespon secara seksama kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan. Dalam keseimbangan yang lebih pada dimensi simbolik, baik untuk periode sebelum dan setelah 1998, organisasi kehutanan pada dasarnya memperlihatkan beberapa makna, antara lain sebagaimana dikemukakan di bawah ini. Pertama, sebagai organisasi, departemen yang mengurus kehutanan, sebagaimana juga tercermin dari narasi kebijakan yang ada, tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai, sekalipun seolah ada peran manajemen untuk menyeimbangkan strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Kedua, dari narasi kebijakan yang sama tampak bahwa departemen tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. Ketiga,

138 120 departemen tidak merespon secara seksama persoalan kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan dan seolah lepas dari politik organisasinya. Keempat, departemen lebih suka memosisikan diri (bahkan secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang dengan karakteristik yang ada misal kuatnya kesan resistensi, maka berbagai langkah pengambilan keputusan tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil. Salah seorang Menteri Kehutanan di era setelah 1998 ini kurang lebih berujar hal senada: Ya itu juga persoalan...bahwa semua yang muncul sekarang saya kira erat kaitannya dengan adanya kekeliruan cara pikir. Gejalanya, pembangunan kehutanan tidak pernah fokus, ganti menteri ganti kebijakan... ada anggapan kalau jadi menteri tidak merubah, tidak buat aturan, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Sehingga, istilahnya, tidak gatal pun digaruk. Padahal menurut saya tidak begitu. (Wawancara, Bogor, Mei 2011) Pandangan di atas memperoleh dukungan politis dari Ketua Mahkamah Konstitusi Machfud MD yang jauh sebelumnya juga berpandangan kurang lebih senada: "Saya melihat munculnya UU yang kadang kala tumpang tindih itu karena menteri-menteri genit. Artinya, kalau menjadi menteri harus membuat UU meski UU sudah ada, ingin diubah. Pokoknya biar ada tandanya dia jadi menteri itu buat UU. Itu sebabnya Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR jadi menumpuk. Karena setiap menteri usulkan UU ini, tanpa jelas urgensinya. Apa naskah akademiknya, bahwa itu perlu" (DetikNews, 23 Februari 2010: Ketua MK: UU Tumpang Tindih karena Para Menteri Kegenitan. Diakses 14 Mei 2010) Kuadran Alvesson-Karreman Dengan menggunakan pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kerangka pikir sebagaimana dibahas di atas memperlihatkan longgarnya hubungan diskursus (loosely coupled) dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Hal ini dicirikan dari lebarnya kesenjangan antara 23 Masih dalam kesempatan dan berita yang sama, Ketua MK memberi contoh, UU yang tumpang tindih akibat ulah para menteri, seperti UU Kehutanan, yang sudah diatur oleh UU Sumber Daya Alam dan di UU Agraria. UU (Kehutanan) itu dikeluarkan tanpa studi kelayakan yang jelas.

139 121 narasi kebijakan dan pengetahuan disebaliknya yang merepresentasikan makna kelestarian (Lampiran 11) dengan kerangka teoretik kelestarian (Lampiran 1). Dengan kata lain, dengan merujuk Birkland (2001) ada kesenjangan antara teks kebijakan usaha kehutanan dengan interaksi sosial bagaimana teks ini direspon dan diimplementasikan para pihak. Secara ringkas tampak pula bahwa, kerangka pikir dibalik narasi kebijakan yang ada justru luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Di samping itu, dari unsur ukuran atau lawasnya, diskursus yang terjadi tergolong diskursus meso, antara lain dicirikan orientasi praktisnya yang cenderung mendekati kepentingan jangka pendek dan teknikal (close-range interest), misalnya diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha (Tabel 23). Tabel 23. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Alvesson dan Karreman (2000) Pendekatan Uraian Catatan Alvesson and Karreman (2000). Longgar (loosely coupled), hubungan diskursus dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Lawas diskursus tergolong diskursus meso; antara lain karena orientasi praktisnya cenderung jangka pendek (close-range interest), Narasi kebijakan luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha Berdasarkan dua dimensi ini, peta kerangka pikir kedua periode terletak pada radian II A (Gambar 14) Berdasarkan dua dimensi ini, yakni hubungan diskursus dan makna serta lawas diskursus itu sendiri, maka transformasi peta kerangka pikir untuk kedua periode ini berada pada posisi kuadaran dua, kurang lebih sebagaimana ditunjukkan lingkaran A pada Gambar 14.

140 122 I II A I II Gambar 14. Kerangka Pikir Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadaran Alvesson-Karreman (2000) 3. The Forest First vs The Forest Second Selain dengan dua pendekatan di atas, kerangka pemikiran di balik teks kebijakan usaha kehutanan juga dilihat dari pandangan Sfeir-Younis (1991). Dengan pendekatan ini, beberapa sintesis dan bahasan di atas sudah sampai pada penilian bahwa aliran pemikiran the forest first begitu dominan, dimana teks mengindikasikan secara kuat bahwa fisik-botanis dan ekosistem hutan alam menjadi sentra perhatian dan sekaligus sebagai ruang kebijakan (policy space). Hal ini dapat diamati baik dari perspektif dan pemosisian hutan alam, pemaknaan kelestarian maupun kerangka hak dan kewajiban para pemegang unit usaha sebagaimana telah dijabarkan di atas. Akumulasi pengetahuan diatas semakin menguatkan pemaknaan bahwa aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan yang ada yang cenderung pada aliran the forest first dapat diposisikan sebagian bagian dari kompleksitas usaha kehutanan selama ini. Terlebih bila dikaitkan dengan kinerja usaha kehutanan sebagaimana telah dibahas dalam bab terdahulu. Dengan memaknai seperti itu, maka salah satu opsi penyelesaian masalah usaha kehutanan perlu coba didekati dari pelurusan aliran kerangka pikir. Dalam hal ini perlu

141 123 diupayakan pergeseran dari aliran the forest first ke the forest second, dimana perhatian dan orientasi tidak sekedar pada fisik-botanis-ekosistem hutan saja, tetapi seimbang dengan situasi kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan. Bagaimana ini dapat dilakukan, perlu masuk pada soal perbaikan proses konstruksi kebijakan yang benar-benar ditopang unsur governance yang baik. D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir Persepsi para pihak telah dijaring melalui dua pendekatan, yakni wawancara mendalam dan internet on-line polling. Sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, penjaringan perspesi didekati dengan empat kelompok pertanyaan seputar (a) Hutan Alam Produksi di Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi, dan (d) Kebijakan Usaha Kehutanan. Khusus untuk internet on-line polling, selain keempat kelompok ini ditambahkan pula kelompok untuk mengetahui identitas singkat para peserta polling. Seperti apa dan seberapa jauh persepsi para pihak pemangku kepentingan ini 24 mengonfirmasikan, menegasikan dan menambah-kurangkan berbagai kecenderungan dan pemetaan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada rincian hasil dan sintesis pada Lampiran 12 (Wawancara) dan Lampiran 13 (Polling). Kedua lampiran ini sekaligus merupakan bagian dari wujud interaksi sosial sebagaimana dimaksud Birkland (2001). Secara ringkas peta posisi dan persepsi para pihak ini dijelaskan di bawah ini. 1. Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa Diskursus seputar hutan alam produksi luar Jawa lebih memperlihatkan refleksi atas situasi, kondisi, faktor penyebab dan alternatif solusi. Dari kelompok birokrat teridentifikasi antara lain bahwa hutan tidak termanfaatkan dan tidak terkelola secara optimal; tidak ada konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan; pemanfaatan yang tidak terkontrol (uncontrolled use), undervalued, 24 Yang diwawancarai dan mengisi internet on-line polling dalam penelitian ini sebagaimana dimaksud kan pada Tabel 2 dan 3.

142 124 penghamburan (wasting assets) dan masih kentalnya masalah ketidakpastian kawasan. Adapun penyebabnya teridentifikasi kelompok ini, antara lain kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain (nonkehutanan) dengan kehutanan. Kehutanan bahkan dinilai telah menyudutkan sektor kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan (bagi sektor lain). Muncul opsi solusi dari kelompok ini, antaralain perlunya moratorium (usaha kehutanan) secara ketat, penataan ulang pengeoloaan mulai di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. Dengan refleksi demikian kelompok ini masih melihat hutan alam memiliki keunggulan dalam banyak hal, terutama dari sisi sifat khas, manfaat multi fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu yang tidak dapat begitu saja tergantikan hutan tanaman. Dengan begitu, diyakini hutan alam dapat tetap dimanfaatkan, tanpa perlu didikotomikan dengan hutan tanaman, karena dianggap dapat berjalan seiring. Ditekankan, hutan tanaman lebih sebagai jalan keluar antara lain dalam mengurangi tekanan atas hutan alam. Pembenahan kebijakan perlu terutama untuk memastikan bisa bersinerginya kebijakan kehutanan dengan sektor lain, terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Saat dikaitkan dengan fenomena masih jalannya beberapa pelaku usaha ditengah sulitnya situasi usaha kehutanan, kelompok ini berkeyakinan bahwa hal itu lebih karena korsa rimbawan disebut berkait erat dengan profesionalisme, integritas, konsistensi dan keterbukaan; lalu institusi dan manajemen usaha kehutanan dikaitkan dengan efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipatif dan inovasi yang keseluruhannya diakui dapat mengatasi kesulitan dimaksud. Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain yang oleh kelompok ini disebut sebagai faktor dibalik upaya mengatasi situasi itu saat korsa rimbawan dan persoalan-persoalan institusi dan manajemen usaha kehutanan dimaksud tidak tersedia secara memadai.

143 125 Dalam refleksinya, kelompok akademisi lebih tertuju pada kondisi, tidak muncul unsur penyebab dan dampak. Disebutkan, bahwa kondisi hutan alam produksi di luar Jawa porak poranda, tidak ada penataan dan bahkan tidak ada konsep besar dan menyeluruh (grand design) tentang pembangunan kehutanan. Konsep usaha kehutanan (yang ada) pun tidak jelas. Tidak ada perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang lengkap, menyeluruh dengan target yang jelas dan tegas. Perencanaan yang ada, bukanlah rencana pengelolaan, bahkan bukan pula rencana usaha kehutanan itu senciri. Sejauh ini yang terjadi merupakan kekerasan atas sumberdaya hutan, bahkan sumberdaya alam. Bagi kelompok ini hutan alam maupun hutan tanaman bukan isu penting. Diyakini, isunya justru pada penataan makro menyeluruh bagi keduanya; keduanya ada masalah; hutan tanaman pun hingga kini tidak dikelola secara baik sehingga cenderung gagal. Sementara revitalisasi hutan alam seiring membangun hutan tanaman, seharusnya menjadi solusinya. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini lebih melihat pemerintah dan pelaku usaha itu sendiri sebagai sebab. Pemerintah dinilai kurang mampu dalam menyeimbangkan tari-menarik kepentingan. Pelaku usaha dianggap berlaku curang dan manipulatif dalam mengatasi kesulitan itu. Upaya pelaku usaha untuk merasionalisasi usahanya dalam perencanaan usahanya (busines plan) terkendala ketepatan dan kualitas data dan informasi yang tersedia. Dengan berbagai situasi-kondisi seperti ini, semangat memanfaatkan HA masih tetap relatif tinggi, seolah mengubur realita situasikondisi fisik-botanis fungsi dan manfaat hutan alam yang disadarinya sudah menurun dengan nyata. Manfaat dan pemanfaatan hutan alam produksi dengan peluang yang dianggap masih besar menjadi kecenderungan reflek kelompok praktisi bisnis. Manfaat kayu menjadi bagian yang dianggap logis dengan tetap merujuk pada kemungkinan manfaat lain, termasuk restorasi ekosistem. Itu disadari sekalipun disebut adanya fenomena lapangan yang menyimpang, seperti hadirnya fenomena land-banking alias spekulasi lahan dibalik motif memperoleh izin usaha, kondisi-potensi yang tidak sehebat dulu, berbagai ketidakpastian yang menghebat, termasuk yang bersumber dari banyaknya

144 126 aturan dan ketidak konsistenan dalam aturan dan manajemen dengan perubahan yang sangat cepat. Harapan atas masa depan Indonesia lebih tertuju pada tidak adanya pembiaran atas hutan alam, terlebih konversi legal, sehingga hutan tanaman diyakini sebagai jawaban, selain penghentian sementara pemanenan hutan alam (moratorium pemanenan). Dibalik keyakinan ini ada kepercayaan bahwa hutan alam memiliki banyak keunggulan yang tidak dapat ditemui pada hutan tanaman. Untuk itu, diperlukan sejumlah prakondisi pemungkin, antara lain konsistensi pemerintah dalam mengkonstruksi dan implementasi kebijakan. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini memberikan gambaran bahwa ketelanjuran menjadi faktor penentu usaha kehutanan bisa tetap jalan, selain masih kuatnya dukungan modal, plus komitmen terhadap buyer untuk terus memasok bahan baku; sehingga sekalipun kembang kempis dan margin keuntungan tipis, sekedar bertahan hidup usaha kehutanan jalan terus. Namun, dipertanyakan oleh kelompok ini, seberapa lama kondisi semacam ini bisa bertahan ( ditanyakan angka 30 tahun?). Dijawab pula, bahwa kembali peran pemerintah yang dinilainya tidak memiliki konsistensi yang memadai dalam mengkonstruksi dan mengimplementasikan kebijakan usaha kehutanan. Reflek kelompok masyarakat sipil lebih tertuju pada kondisi realitas lapangan dengan meyakini, bahwa dengan dominan produk kayu, hutan alam produksi di luar Jawa kondisinya saat ini paling rusak di antara hutan lainnya. Reflek lainnya, disebut antara lain bahwa hutan alam produksi belum terkelola dengan baik. Hal ini dikaitkan antara lain dengan banyaknya wilayah yang open akses, sehingga hutan alam menurun dalam banyak hal, termasuk kondisi-potensi. Dengan begitu, kelompok ini menilai, bahwa penurunan illegal logging diyakini lebih karena tidak adanya lagi kayu di hutan untuk ditebas dan bukan karena membaiknya kondisi atau kinerja penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal logging. Namun, seperti kelompok lainnya, kelompok ini masih memosisikan hutan alam sebagai andalan. Kehadiran hutan tanaman tak lebih sebagai pembenar dari ketidak mampuan memilah sumber bahan baku kayu dari HA. Hutan tanaman terutama untuk

145 127 tujuan bahan baku bubur kayu dan kertas diwaspadai akan mengancam peningkatan konversi hutan alam baik yang legal maupun ilegal. Alasanya, agar hutan alam dan hutan tanaman bisa jalan seiring. Kelompok ini mempertanyakan pengertian kata sulit saat digambarkan adanya pelaku usaha yang tetap jalan ditengah kesulitan usaha kehutanan. Menurut mereka sulit dapat berarti benar-benar merugi atau sekedar pengurangan tingkat keuntungan dengan kata lain dalam kondisi sesulit apapun, masih tetap untung. Berbagai kemungkinan pengertian ini juga dikaitkan fakta bahwa tantangan usaha kehutanan telah mengalami perubahan yang sebelumnya longgar menjadi ketat yang sebelumnya terbiasa boros lalu harus berhemat yang berimplikasi pada pengurangan keuntungan yang disepadankan dengan terminologi sulit. Bagi kelompok ini adanya fenomena pelaku usaha yang tetap jalan walau dalam kondisi sulit terkait beberapa kemungkinan dari mulai kemampuan antisipatif, adaptif, berkomitmen sampai berlaku curang. Diskursus para pihak terkait hutan alam produksi di Luar Jawa sebagaimana diuraikan di atas, secara ringkas ditunjukkan dalam matriks berikut (Tabel 24). Tabel 24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi Reflek atas HA Prod. Luar Jawa Situasi-Kondisi, Dampak, Solusi Masa Depan Indonesia: HA vs HT HA tetap unggul HT sebagai jalan keluar; tidak perlu dikotomi Akademisi Kondisi, Solusi HA vs HT bukan isu Keduanya perlu penataan makro menyeluruh Praktisi Bisnis Situasi-Kondisi HA unggul Jangan ada pembiaran HA HT adalah jawabnya Maspil/NGO Kondisi HA tetap andalan HT ancaman berupa konversi (legal) HA Usaha kehutanan sulit, tetap jalan. Faktor apa? Korsa rimbawan Institusi dan manajemen bisnis Komitmen pelaku usaha Pemerintah tidak mampu menyeimbangkan tarik menarik kepentingan Pelaku usaha curang dan manipulatif Semangat memanfaatkan HA masih cukup tinggi Pelaku usaha masih untung Punya komitmen untuk tetap lanjut Mempertanyakan kata sulit ; merugi atau sekedar keuntungan yang berkurang Sulit karena tantangan yang telah berubah

146 128 Matriks di atas menunjukkan, bahwa keseluruhan para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan reflek atas hutan alam yang hampir serupa, keseluruhannya menyoal situasi dan kondisi hutan alam itu. Dibanding dua kelompok yang lain, kelompok birokrat dan akademisi menyoal pula kemungkinan solusi atas situasi dan kondisi itu. Sementara hanya kelompok birokrat yang mengaitkan situasi dan kondisi itu dengan beragam dampak. Hampir semua kelompok masih mengunggulkan dan mengandalkan HA untuk terus diusahakan dengan alasan jangan ada pembiaran atas HA dan HT adalah jawabannya (Praktisi Bisnis). HT juga dianggap sebagai jalan keluar, sehingga tidak perlu dikotomi HA vs HT (Birokrat). Namun ada juga yang memosisikan HT sebagai ancaman terjadinya praktek konversi legal (Masyarakat Sipil/NGO). Berbeda dengan tiga kelompok lainnya, kelompok akademisi melihat HA dan HT bukan lah isunya, karena keduanya sama-sama memerlukan penataan makro yang menyeluruh. Terkait terus jalannya usaha kehutanan dalam situasi sulit, kecuali kelompok masyarakat sipil, keseluruhan kelompok mengaitkannya dengan kemampuan, korsa, komitmen dan semangat individu pelaku usaha dan hanya kelompok birokrat yang juga menyoal institusi dan manajemen usaha. Tampak bahwa pada saat melihat dan memosisikan hutan alam produksi di luar Jawa, hampir keseluruhan kelompok tidak menyinggung secara tegas dimensi kemanusiaan atau aspek sosial politik dan ekonomi, termasuk saat merefleksikan situasi dan kondisi hutan alam. Hal ini memberikan implikasi, bahwa diskursus yang berkembang menegaskan orientasi kerangka pikir yang masih mengutanakan perhatian pada aspek sumberdaya hutan sebatas ekosistem (the forest first) Dari matriks yang sama (Tabel 24) pula, posisi para pihak atas HA Produksi Luar Jawa dapat dipetakan kedalam kuadaran di bawah ini (Gambar 15) dimana absis menggambarkan rentang kondisi hutan alam (baik vs rusak) dan ordinat menggambarkan rentang kelanjutan atas pengelolaan/ pemanfaatan/eksploitasi HA (berlanjut vs tidak berlanjut). Gambar tersebut menunjukkan bahwa diskursus seputar hutan alam produksi di luar Jawa juga mengerucut pada kuadran yang diarsir. Ini

147 129 semacam konfirmasi empiris baik atas kondisi hutan alam produksi di Luar Jawa, maupun kemungkinan langkah lanjut atas usaha kehutanan. Posisi ini menjelaskan pula alasan tidak berubahnya semangat eksploitatif atas HA sekalipun dalam kesadaran semua pihak pula, bahwa kondisinya rusak sebagaimana terindikasi dari realitas kinerja kehutanan (Bab III) maupun beberapa narasi kebijakan sebagaimana dikemukakan di awal Bab IV ini. Usaha HA- Lanjut Rusak Baik Usaha HA-tidak lanjut Gambar 15. Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan 2. Pandangan atas Usaha Kehutanan Diskursus yang muncul terkait usaha kehutanan dalam kelompok birokrat memosisikan fenomena ekonomi biaya tinggi (EBT) sebagai bukan faktor penting bagi jalannya kegiatan usaha kehutanan, sejauh pelaku usaha mampu melakukan efisiensi, inovasi, antisipasi dan atau diversifikasi dengan praktek usaha lain yang dengan mengeksekusi berbagai (salah satu, beberapa atau semuanya) cara itu keuntungan usaha kehutanan masih signifikan. Diskursus lain, masih dalam kelompok ini, adalah bahwa EBT bukan faktor, karena si pelaku usaha terbiasa mengambil jalan pintas dengan berani membayar lebih dari seharusnya oknum petugas. Ini dipandang sebagai cerminan upaya kompensasi dari buruknya kualitas komunikasi antara pelaku usaha dengan si petugas tadi. Selain unsur komunikasi dengan petugas, EBT juga disebutsebut bersumber dari hadirnya klaim-klaim dari masyarakat adat. EBT bukan faktor juga dikaitkan dengan adanya fenomena spekulan tanah, gejala

148 130 land-banking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. Saat dikaitkan dengan fakta rontoknya banyak HPH, kelompok ini memandang baik pemerintah maupun pelaku usaha sebagai faktor, dimana diakui pemerintah begitu dominan. Disamping itu distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam, serta kondisi (potensi) sumberdayanya yang sudah menurun dianggap juga sebagai faktor lain. Dari sisi pemerintah kelompok ini lebih melihat dari ketidakpastian kawasan dan usaha yang terus meningkat, karena alasan pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang jelas, terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, ketidak harmonisan hubungan pusat-daerah dalam konstruksi dan implementasi kebijakan yang tidak menimbang secara memadai faktor manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal logging, termasuk isu yang mengemuka dalam diskursus kelompok ini. Masih dari sisi pemerintah, kelompok ini menyorot pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus dalam kelompok ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha para pelaku usaha antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. Disebutkan, logika dan perencanaan bisnis pelaku usaha cenderung terpaku pada kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak berubah. Saat ditanya apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil, kelompok ini hampir keseluruhannya menilai tidak berhasil, bahkan beberapa terangterangan mengatakan gagal, walau disampaikan secara malu-malu dengan dibungkus istilah fifty-fifty, kurang berhasil, tidak cukup berhasil, saya tidak bisa pastikan itu atau dengan sekedar balik bertanya ukuran keberhasilan itu apa?. Takaran yang digunakan pun macam-macam, namun share kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak

149 131 disebut, yang kemudian minta dikompensasikan angka kerusakan lingkungan dan hutan itu sendiri, sehingga secara keseluruhan dipertanyakan dampaknya atas kesejahteraan sosial. Dalam arus pemikiran semacam itu muncul pragmatisme, bahwa apapun capaian itu merupakan konsekwensi logis dari usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga apapun dampak kerusakan dianggapnya sebagai sebuah pilihan yang terpaksa. Fifty-fifty lah. Pragmatis saja, deforestasi itu konsekwensi logis dari adanya usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga deforestasi seolah jadi sebuah pilihan yang terpaksa...yang penting bagaimana merehabilitasi dan memanfaatkan lahan terdeforestasi, termasuk memberi kesempatan bagi kebutuhan lain (pangan, masyarakat) tentu dengan bersinergi dengan para pihak pemangku kepentingan lainnya; perlu sinergi antar sektor. (Sekjen Dephut era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011). Dalam diskursusnya, kelompok ini mengidentifikasi sejumlah hal yang dinilai sebagai akar masalah. Hal ini mencakup mulai dari profesionalisme rimbawan yang tidak lagi jadi panglima, terutama dalam manajemen hutan. Lalu, ketidakpastian hukum dan usaha, termasuk perlindungannya, semangat ekstraktif, dulu-dulu adanya subsidi legal berupa tax holiday, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar. Hal disebut terakhir ini lalu dikaitkan dengan ketiadaan common values, tidak disiapkannya semacam champion perubahan, hingga ketiadaan leadership. Kesalahan dalam menetapkan masalah, desentralisasi yang belum selesai, kelembagaan pemerintah masih sangat lemah juga dinilai sebagai akar masalah, selain juga penegakan hukum dan kultur terhadap implementasi regulasi yang tidak penuh. Lalu, kepentingan politik yang sudah sangat membebani birokrat dan berbagai kendala non teknis seperti kepastian kawasan dalam usaha kehutanan dan bagi masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dulu ada di areal konsesi usaha, yang kemudian mengundang beragam konflik. Diakui kelompok ini bahwa terhadap banyak hal-hal non teknis ini, pemerintah tidak sama sekali menyentuhnya di lapangan dan bahkan penyelesainnya sering diserahkan pada pelaku usaha. Kelompok ini lall menawarkan beragam opsi solusi, mulai dari penegakan hukum untuk keluar dari berbagai ketidakpastian, sampai

150 132 menjadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. Diskursus dalam kelompok akademisi memosisikan EBT sebagai faktor yang oleh para pelaku usaha umumnya direspon dengan perilaku manipulatif. Diskursus selanjutnya mengerucut pada faktor penyebab munculnya EBT yang harus diperhatikan kemudian. Misalnya, tidak terantisipasinya tarik menarik kepentingan dan masih adanya inkonsistensi kebijakan dan lemahnya upaya penegakan hukum, sehingga diperlukan keberanian pemerintah untuk melakukan penataan yang lebih mendasar. Melihat fakta banyaknya HPH yang rontok, kelompok ini melihat faktor pemerintah lebih dominan. Disebutkan, pemerintah reaktif, tidak antisipatif, dan tidak memiliki perencananaan serta strategi pengelolaan yang menyeluruh. Hal ini dinilainya karena ketiadaan konsep makro pembangunan hutan, yang diduga melahirkan banyak kebijakan yang tidak tepat bagi pelaku usaha yang akhirnya meningkatkan ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam banyak hal. Ketiadaan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan kebijakan tadi secara disiplin diposisikan kelompok ini sebagai faktor rontoknya HPH dari sisi pelaku usaha. Dengan penilaian demikian, kelompok ini melihat bahwa ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini lebih disebabkan kondisi kehutanan yang dinilainya semrawut, kualitas hutan yang terus menurun, sehingga hutan tidak lagi menarik dan bahkan dianggapnya menghambat pembangunan sektor lain. Dari sisi perolehan devisa, kelompok ini menilai usaha kehutanan berhasil, walau diakuinya ada bocor. Namun penilaian ini dianggap gagal, terutama saat ditimbang dengan hal keadilan sosial-ekonomi masyarakat. Diluar itu semua, masih dalam kelompok ini, muncul sanggahan bahwa soalnya bukan berhasil atau tidak berhasil, tapi lebih kepada praktek pengelolaan yang disebutnya masih primitif. Ini dikaitkan antara lain dengan tidak adanya jaminan jangka panjang dalam usaha kehutanan, sebagai akibat dari ketidaan perencanaan yang holistik. Dalam kepercayaan kelompok ini, akar masalahnya adalah ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, dimana Sekjen dipandang kurang berperan, sementara peran dan fungsi BiroCan yang lebih

151 133 pada perencanaan administratif organisasi Kemenhut, bukan perencanaan kehutanan. Sebagai regulatory agent yang sering sekaligus mempersonifikasi negara, menguasai kawasan hutan oleh Dephut disinggung kelompok ini juga sebagai akar masalah. Dapat dipahami, kalau kemudian diskursus dalam kelompok ini akhirnya menawarkan solusi dari mulai adanya konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi sampai revitalisasi desentralisasi. Bagi kalangan praktisi bisnis, EBT merupakan beragam pungutan liar dan sejenisnya. Kalangan ini memosisikan EBT bukan sebagai faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan karena sudah diantisipasi kedalam struktur biaya perusahaan, baik dalam rangka efisiensi maupun diversifikasi. Alasannya, sejauh masih diperoleh margin keuntungan yang signifikan, atau sekalipun merugi, masih dapat jaminan pasokan bahan baku kayu, terutama bagi pelaku usaha yang terintegrasi dengan industri perkayuan. Terkait fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini menilai pemerintah dan pelaku usaha sebagai faktor. Pemerintah diposisikan secara tegas lebih dominan, antara lain disebut karena tidak mampu menjamin kepastian usaha, misalnya terkait penatagunaan lahan yang sering berubah mendadak tanpa kompromi atas nama RTRWP-TGHK. Dan diakui korbannya adalah HPH. Pemerintah juga dinilai terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak pelaku usaha, meningkatkan biaya transaksi dengan kandungan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga diposisikan sebagai pihak yang tidak konsisten dan tidak memiliki visi kehutanan kedepan, sehingga cenderung tidak fokus dan tampak berkeinginan untuk memuaskan semua pihak. Dari sisi pelaku usaha sebagai faktor, antara lain disebut sifat dasar pelaku usaha yang secara pragmatis tetap memaksimalkan keuntungan dengan orientasi jangka pendek. Ditegaskan, pelaku usaha sendiri sangat pasif, dan benar-benar tidak lebih dari sekedar operator. Selain karena faktor pemerintah dan pelaku usaha, diskursus dalam kelompok ini juga menguatkan, bahwa potensi HA sendiri sudah menurun, sehingga skala ekonomi usaha pun menurun. Oleh kalangan ini, usaha kehutanan sejauh ini dinilai tidak berhasil dan bahkan penilaian gagal cukup mendominasi. Alasannya mulai dari kondisi

152 134 fisik-botanis serta potensi hutan alam yang anjlok, konflik multidimensi yang tidak berkesudahan, serta share atas PDB yang disebutnya selalu lebih kecil dari 2%. Rontok dan bergugurannya jumlah unit dan luasan HPH juga masuk pertimbangan kelompok ini sebagai indikator kegagalan usaha kehutanan selama ini. Khusus terkait konflik multidimensi, kekecewaan dialamatkan kelompok ini ke Dephut, yang disebutnya membiarkan pelaku usaha menghadapi sendiri menyelesaikan konflik yang sebetulnya bukan urusan pelaku usaha. Rendahnya penegakan hukum, ketidak-jelasan kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan, ketiadaan enabling conditions, khususnya perundangan yang tidak membebani telah diangkat sebagai akar masalah dalam diskursus di kelompok ini. Akar masalah lainnya, antara lain minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, terutama dari sisi penyederhanaan prosedur dan regulasi bahkan sebaliknya terlalu banyak yang diatur, termasuk hal-hal yang sebetulnya menjadi domain pelaku usaha itu sendiri, sehingga mempersempit ruang gerak si pelaku usaha; sementara sifat aturannya sendiri dinilai mengundang masalah dan meningkatkan biaya transaksi, tidak konsisten dan cenderung membebani, misal dengan beragam pungutan atau penciptaan PNBP baru. Sehingga, di lapangan kalaupun banyak permintaan izin baru, lebih dikarenakan kegiatan spekulasi tanah (land politics). Dalam diskursus diangkat pula bahwa ada faktor ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Sedangkan satu-satunya opsi solusi yang ditawarkan kelompok ini adalah melakukan deregulasi. Kelompok masyarakat sipil meyakini EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, karana ia ada dari dulu. Bukan faktor, sejauh pelaku usaha memiliki etos kerja dan etika bisnis dengan kompensasi mencari harga tinggi di pasar, dan atau melakukan berbagai aksi negatif, seperti menebang di luar blok tebangan, dan atau menebang di areal yang belum waktunya. Bukan faktor, karena EBT juga sudah diantisipasi di dalam stuktur biaya yang ada yang kadang besarannya dikompromikan dengan buyers saat menetapkan harga penjualan. Melihat fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini melihat baik pelaku usaha maupun pemerintah sebagai faktor. Untuk pelaku usaha disebutkan kurang pandai mengelola situasi dan

153 135 perubaannya sekaligus, sehingga tidak mampu beradaptasi serta cenderung memandang bahwa iklim usaha sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga lari ke bisnis lain non kehutanan. Untuk sisi pemerintah disebutkan bahwa sebagai land-owner memang memfasilitasi perubahan peruntukan lahan yang berdampak pada pengurangan areal konsesi. Pemerintah juga memperketat penegakan hukum, namun pengawasannya lemah dan dinilai jutsru tidak benar-benar melakukan pengelolaan hutan dengan baik. Potensi HA sendiri disinggung sudah menurun. Kesejahterakan masyarakat, kecilnya kontribusi atas perekonomian, dan kerusakan hutan menjadi alasan kelompok ini dalam menilai ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini. Diakui, bahwa perbaikan usaha kehutanan berjalan paralel dengan usaha perusakannya, sehingga (kehancuran?) tinggal soal waktu saja. Diskursus dalam kelompok ini kemudian mengharuskan adanya keberanian otoritas kehutanan untuk bertindak secara revolusi(oner), tidak lagi evolusi... keburu habis semua, kilahnya!. Sementara, distribusi manfaat, tata-kelola yang semakin menyuburkan KKN, lemahnya penegakan hukum, dan kerangka kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi usaha kehutanan dianggap kelompok ini sebagai akar masalah. Akar masalah lainnya, antara lain disebut minimnya akses masyarakat dan kekurangmampuannya bersaing dalam usaha kehutanan serta orientasi yang masih kuat ke ekonomi (perolehan devisa), dan penghargaan masyarakat atas sektor kehutanan yang begitu rendah. Demikian pula, dari sisi pelaku usaha, ketiadaan etika bisnis pun diangkat sebagai akar masalah. Solusi yang diajukan kelompok ini adalah melakukan re-orientasi dan pembenahan tata kelola. Secara ringkas posisi para pihak dalam memandang usaha kehutanan sebagaimana tampak pada matriks dalam Tabel 25. Intisari dari matriks di atas adalah bahwa kecuali kelompok praktisi bisnis dan masyarakat sipil, para pemangku kepentingn tidak melihat EBT sebagai faktor dengan berbagai alasan. Sementara keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan ini melihat pemerintah tetap sebagai pihak yang paling dominan sebagai regulator. Semua kelompok pula setuju bahwa kinerja usaha

154 136 Tabel 25. Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi Akademisi Praktisi Bisnis Maspil/NGO Ekonomi Biaya Tinggi (EBT) EBT bukan faktor, respon positif dan negatif EBT Faktor, respon negatif EBT Faktor, respon positif EBT bukan faktor, respon positif dan negatif Faktor rontoknya HPH Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Pemerintah (dom) dan pelaku usaha Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Kinerja Usaha Kehutanan Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat) Tidak berhasil (kondisi kebijakan semrawut, share kehutanan, kerusakan lingkungan, kesejahteraan) Tidak berhasil (potensi hutan alam, konflik multidimensi, share kehutanan, rontok dan bergugurannya (HPH) Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat) Akar Masalah Profesionalisme rimbawan tidak lagi panglima, ketidakpastian hukum, semangat ekstraktif, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar, ketiadaan common values, tidak ada champion perubahan, ketiadaan leadership, salah menetapkan masalah, dan desentralisasi belum selesai. Opsi solusi: penegakan hukum, jadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, personifikasi negara oleh pemerintah. Opsi solusi :ada konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi, revitalisasi desentralisasi. Penegakan hukum rendah, kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan tidak jelas, ketiadaan enabling conditions, minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Opsi solusi: deregulasi. Distribusi manfaat, tata-kelola, penegakan hukum, kebijakan pemerintah tidak kondusif, minimnya akses masyarakat, orientasi ekonomi (devisa), penghargaan atas sektor kehutanan. Opsi solusi: reorientasi pembenahan tata kelola. kehutanan sejauh ini jauh dari berhasil. Pada saat mengangkat akar masalah dan alternatif solusi, semua kelompok lebih fokus pada persoalan kapasitas pelaku usaha dan kapasitas pemerintah, kualitas dan kinerja tata kelola dan minimnya akses masyarakat serta orientasi eksploitasi yang keseluruhannya berangkat dari dan berujung pada sumberdaya hutannya. Demikian pula saat

155 137 menawarkan opsi solusi hampir keseruhan berangkat dari hutan sebagai sentral, tidak disinggung misalnya soal pasar, harga, dan macam insentif atau keseimbangan beragam bentuk modal dalam usaha kehutanan. Kondisi demikian semakin menegaskan bahwa diskursus para pemangku kepentingan masih diseputar sumberdaya hutan dan menempatkan hutan sebagai titik sentral yang mengindikasikan bahwa aliran kerangka pemikiran masih diseputar the forest first. Intisari ini secara skematis, sebagaimana tampak pada Gambar 16. Gambar 16. Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan Gambar 16 memperlihatkan, bahwa dalam memandang kinerja usaha kehutanan pemerintah (G) berada pada situasi benturan kepentingan; sementara bisnis (B) tampak paling paham masalah dan alternatif solusi, tetapi juga tidak lepas dari benturan kepentingan. Akademisi (A) paham tentang masalah dan punya opsi solusi tapi masih ditataran makro-ideologis; sementara masyarakat sipil/lsm (L) sama-sama memahami masalah dan solusi, namun sama-sama lebih banyak ditataran ideologis dan lebih mengarah kepada isu-isu advokasi terkait akses mayarakat atas sumberdaya hutan. Matriks di atas juga menegaskan, bahwa para pihak, kecuali praktisi bisnis, sama-sama melihat EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, dan kalaupun ada, fenomena rontoknya HPH itu lebih disebabkan oleh pemerintah secara dominan, sebagaimana juga tercermin dalam daftar

156 138 akar masalah. Hal ini memberikan isyarat bahwa para pihak memosisikan diri pada keyakinan bahwa usaha kehutanan dapat terus berjalan sekalipun semua pihak pula menilai bahwa kinerja usaha kehutanan sejauh ini tidak berhasil (untuk tidak mengatakan gagal). Posisi ini bila ditempatkan dalam bentuk kuadran, maka kontestasi mengerucut dan berada pada wilayah yang diarsir (Gambar 17.) Usaha Kehutanan - Lanjut Usaha Kehutanan tidak berhasil Usaha Kehutanan berhasil Usaha Kehutanan-tidak lanjut Gambar 17. Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan 3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari Hampir keseluruhan diskursus dalam kelompok birokrat menempatkan pelestarian HA sebagai masuk akal dari sisi bisnis. Kelestarian dipahami sebagai menjalankan dengan benar dan konsisten sistem silvikultur yang ada. Kelestarian itu instrumen untuk menjawab persoalan distribusi. Kelestarian dipandang perlu komitmen dan orientasi untuk kelestarian. Dipertanyakan pula, pelaku usaha mana yang kegiatan usahanya tidak ingin langgeng. Makna kelestarian juga dikerucutkan sebagai upaya melaksanakan program rehabilitasi yang disayangkannya tidak begitu diminati masyarakat, karena jenis tanamannya yang lambat tumbuh. Di tengah arus pemikiran seperti itu muncul pula pandangan bahwa masuk akal tidak selalu berarti akan dilakukan. Hal terakhir ini dikaitkan dengan pandangan bahwa kelestarian itu tidak menarik, sehingga tidak ada komitmen; sementara dalam pelaksanaannya (pun) dipandang sering tidak ada pengawasan dan monitoring, tidak profesional. Hal ini diduga karena berpikir jangka pendek, tidak punya

157 139 idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang, jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga si pelaku berperilaku hit and run. Terlebih, iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha kehutanan. Namun, kelompok ini pun melihat kelestarian sebagai kebutuhan semua pihak dan karenanya harus jadi pijakan bersama. Realisasinya dinilai lain dan malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias berpikir primitif. Dalam arus pemikiran seperti ini, muncul pandangan bahwa kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja. Kalangan ini mengusung beragam makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu (keadaan dimana) semua fungsi hutan itu tetap dari waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten (oleh para pihak pemangku kepentingan). Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan memenuhi amanat Pasal 33 UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan. Dalam penilaian kelompok ini kinerja usaha kehutanan sejauh ini mengerucut kedalam tiga hal: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju bahwa tidak lestari. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal disebutkan bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti tidak sepenuhnya setuju, penilaian ini relatif, tidak ada jawaban pasti, antara setuju dan tidak setuju, fifty-fifty lah. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah

158 140 konsekwensi, sehingga tidak lestari menjadi pilihan yang terpaksa. Argumen lain, fakta empiris menunjukkan bahwa usaha kehutanan sampai sekarang tetap jalan, namun tidak bisa dipastikan apakah ini indikasi kelestarian. Lestari tidak lestari ini relatif, karena sekalipun banyak HA rusak, tapi tidak begitu saja dinilai sebagai tidak lestari. Pertimbangannya, banyak pula HT, termasuk HTI yang bertumbuh dan luasannya meningkat atau dengan menimbang keberadaan HL dan konservasi, yakin HA kita masih lestari. Adapun argumen yang mengatakan tidak setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari bersandar pada pertimbangan bahwa dari sisi potensi tingkat panen kita selama ini masih di bawah skala lestari. Deforestasipun tidak bisa dijadikan indikasi ketidaklestarian, karena ratenya sekarang sudah mengecil. Bila alasan potensinya, per ha nya menurun, kita punya Silin yang dengan TPTJ mampu meningkatkan produktivitas 10 kali lipat, jadi isunya bukan lestari-tidak lestari. Kalau alasan lestari dikaitkan dengan angka deforestasi, angka itu sekarang jauh menurun...data FAO 2010 menyebutkan deforestasi kita tinggal 500 ha/tahun, jadi sudah kecil, tidak bisa jadi alasan tidak lestari...sementara dari sisi potensi, dari standing stock kita punya potensi sekitar 25 juta m3/tahun; dan jatah tebang kita ditetapkan sekitar 9 jt m3/th. Jadi isunya bukan soal kelestarian, itu kan (level) konservatif banget... Katakanlah isu soal potensi, kita punya Silin, yang dengan TPTJ mampu meningkatkan 10 x produktivitas hutan biasa. (Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional era setelah 1998; Wawancara, 2 Mei 2011). Kalangan akademisi, menilai kelestarian dari sisi bisnis masuk akal bagi sebagian pengusaha, yang orientasinya jangka panjang dan multi-manfaat. Namun bagi sebagian besar pengusaha lainnya (dianggap tidak masuk akal, sehingga) tidak melaksanakan, termasuk dalam menyiapkan perencanaan tapak. Ini menjadi alasan kuat bagi kelompok ini, bahwa pendekatan atur dan awasi (command and control) dinilai masih relevan dan perlu. Tidak masuk akal manakala pertimbangannya adalah sifat bisnis yang berorientasi untung besar dengan pengorbanan kecil dalam waktu secepatnya. Muncul pula pandangan bahwa kelestarian itu adalah investasi jadi bukan saja masuk akal, tapi memang sesuatu yang harus dilakukan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian dinilai kelompok ini lebih karena tidak ada

159 141 komitmen dan profesionalisme serta sifat dasar sebagai saudagar; sementara dari sisi pemerintah tidak ada pengawalan dan kebijakan yang yang tepat. Kelompok ini juga meyakini bahwa kelestarian adalah kebutuhan semua pihak dan bukan sekedar instrumen beroleh pasar dan atau insentif harga, tapi mementingkan pula fungsi dan manfaat lain dari hutan. Pandangan lain meyakini kelestarian sebagai kebutuhan akademisi, karena merekalah yang selalu bicara soal kelestarian, untuk mengukuhkan dan aktualisasi posisi akademisnya. Penekanan dari kelompok ini adalah bahwa kelestarian bukan kebetuhan Kemenhut, karena fakta tidak ada pengawalan untuk menjamin pencapaian kelestarian itu di lapangan dan di tataran implementasi. Kelompok ini memaknai kelestarian sebagai kelestarian hasil dan kelestarian usaha dengan perspektif jangka panjang, progresif, terus menerus dan menguntungkan baik secara ekonomi maupun finansial. Oleh karena itu untuk mewujudkannya kalangan ini memandang perlu adanya dukungan akan kemantapan kawasan, tidak ada penebangan berlebih dan (ada) penanaman kembali. Kelompok ini menilai, bahwa HA produksi tidak lestari, karena fakta menunjukkan demikian. Pertimbangan lainnya, karena data laju dan besaran kerusakan hutan dan lahan serta adanya kencenderungan penurunan luas dan kemampuan HA untuk mendukung kehidupan manusia yang populasi dan kompleksitas persoalannya terus meningkat. Bagai kalangan praktisi bisnis, pelestarian HA produksi dipandang masuk akal, sejauh pencapaiannya tidak mengurangi penerimaan atau keuntungan dan memang dapat diwujudkan sendiri dan tidak sekedar melaksanakan ketentuan dan regulasi pemerintah. Dalam argumen lain disebutkan, pemerintah tak perlu banyak mengatur secara detail dan rinci; tidak (perlu) banyak faktor yang ditentukan oleh pemerintah, agar capaian kinerja sepenuhnya dalam kontrol pelaku usaha. Tidak masuk akal, manakala pencapapaian kelestarian mencakup urusan untuk tidak ribut dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa pelaku usaha banyak mengalami tekanan, termasuk dari pemerintah yang begitu saja menyerahkan persoalan kepada pelaku usaha, misal dalam penyelesaian konflik. Layanan

160 142 pemerintah sendiri dinilai minim untuk mengatakan tidak ada. Untuk beberapa kasus pemerintah justru minta dilayani, seperti terjadi di Pemda. Sementara ditegaskan pula bahwa tidak ada itu kelestarian hutan (SFM), karena yang ada baru kelestarian bisnis. Pandangan lain di kelompok ini menyebutkan, bahwa kelestarian itu mahal, terutama saat pelaku usaha tidak mampu menekan perambahan di areal konsesinya dan tidak ada jaminan dari pemerintah untuk tidak terjadi perambahan. Kelestarian itu sendiri dipahami sebagai sekedar memaksimalkan compliance sekedar melaksanakan apa yang pemerintah atur. Pelaku usaha cenderung menjauh dari kelestarian dan bertindak dalam kerangka keuntungan jangka pendek, karena aturan (pemerintah) yang berubah terus. Dalam pandangan kelompok ini, melestarikan HA merupakan kebutuhan semua pihak, minimal secara teori, karenanya perlu dukungan semua pihak pula. Namun faktanya semua pihak pula tidak peduli, termasuk perusahaan yang hanya memenuhi (compliance) kelestarian menurut ketentuan atau regulasi pemerintah. Dengan begitu diskursus di kalangan ini juga menyebutkan kelestarian itu bukan kebutuhan siapa-siapa. Menyadari bagaimana kelestarian (banyak) diatur pemerintah, kalangan ini melihat bahwa kelestarian itu seolah milik pemerintah, pelaku usaha dan lainnya tinggal melakukan apa yang telah digariskan. Namun muncul pula pandangan dikalangan ini, bahwa kelestarian (sebenarnya) kebutuhan pelaku usaha, karenanya pemerintah sesungguhnya tidak perlu banyak mengatur. Dalam diskursusnya kalangan ini lebih pragmatis-realistis dalam memaknai kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu adalah (keadaan dimana) usaha jalan terus, mampu memasok kebutuhan bahan baku (kayu) terus menerus tanpa jeda, dengan tetap memerhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya. Nilai hutannya sendiri sebagai arus manfaat, berlanjut dan meningkat secara progresif. Kelompok ini pun seluruhnya berpandangan setuju bahwa HA kita tidak lestari. Alasannya, luas dan produktivitas HA produksi menurun drastis oleh berbagai sebab empiris (konversi ke kebun dan tambang dan pinjam pakai kawasan), selain bahwa jumlah dan luasan konsesi HPH telah jauh berkurang serta fakta lain terkait tingginya angka kerusakan

161 143 hutan dan lahan. Alasan lain, karena fakta bahwa semua pihak tidak peduli dengan kelestarian, termasuk perusahaan yang (terpaksa) hanya sekedar memenuhi kelestarian menurut aturan pemerintah. Kalangan masyarakat sipil menegaskan bahwa yang masuk akal itu kelestarian usaha. Kelestarian hutan (SFM) dianggapnya masih utopis. Namun ini tidak sejalan dengan pandangan lain yang juga muncul dalam diskursus di kalangan ini, bahwa bagi pelaku usaha yang punya dan menjalankan etika usaha, kelestarian usaha berarti harus pula melestarikan hutannya. Disitulah pelestarian HA dipandang masuk akal, karena kelestarian bagaimanapun adalah menjalankan banyak faktor, yang antara lain disebut sebagai faktor kunci, yakni melestarikan hutan. Terkait fenomena banyak pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian, sekalipun dipandang masuk akal, kelompok ini sampai pada penilaiana bahwa hal itu disebabkan karena ketidakmampuan dalam mensiasati, orientasi dan komitmennya rendah, atau memang tujuannya sekedar hit and run, atau ada opsi lain yang lebih menarik. Usaha kehutanan baru sebatas kayu dan hanya kayu yang dihargai, hutannya tidak dihargai sebagai asset; kelestarian, karenanya tidak masuk hitungan. Sementara ditegaskan oleh kelompok ini, bahwa performance bond tidak dapat diandalkan, karena pemerintah terlalu banyak mengatur (tapi) dengan kontrol lemah sehingga mengundang banyak ketidakpastian dan perilaku menyimpang. Diskursus di kalangan ini sampai pada penilaian bahwa kelestarian itu kebutuhan semua pihak, utamanya generasi mendatang, sehingga disebut juga sebagai kebutuhan negara, sebagai pelaksanaan mandat Pasal 33 UUD 45, antara lain agar manfaat SDA bisa lestari lintas generasi. Dengan pemahaman seperti itu diajukan syarat bahwa kebijakan yang ada tidak membebani atau meningkatkan ruang dan biaya transaksi. Adapun kelestarian sendiri dimaknai dalam perspektif jangka panjang, lintas generasi, dimana ketiga pilar fungsi hutan, tidak hilang, tetap terjaga, dan kualitasnya tidak menurun. Hampir keseluruhan narasumber di kelompok ini setuju bahwa sejauh ini HA produksi bukan saja tidak lestari, tetapi kondisinya rusak parah, indikasinya dari

162 144 deforestasi yang terus meningkat dan hilangnya hampir keseluruhan fungsi hutan baik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Peta diskursus para pihak terkait makna kelestarian tersebut diatas secara ringkas disajikan pada matriks Tabel 26. Tabel 26. Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi Akademisi Praktisi Bisnis Maspil/NGO Kelestarian masuk akal Masuk akal Masuk akal bagi sebagian pelaku usaha Masuk akal Kelestaria n usaha masuk akal; SFM masih utopis Mengapa tidak dilakukan Tidak menarik, tidak ada komitmen, iklim usaha tidak mendukung Tidak ada komitmen dan profesionalisme dari pelaku usaha Pemerintah kurang mengawal Pelaku usaha banyak tekanan termasuk dari pemerintah, layannan pemerintah minim, Tidak ada kelestarian SFM, yang ada baru kelestarian usaha, kelestarian itu mahal, sekedar compliance apa yang diatur pemerintah Pelaku usaha kurang siasat, kurang orientasi, kurang komitmen, memang tujuannya sekedar hit and run Pemerintah terlalu banyak ngatur dengan kontrol lemah Kelestarian kebutuhan siapa Kebutuhan semua pihak, harus jadi pijakan bersama Kebutuhan semua pihak, terutama akademisi Kebutuhan semua pihak, setidaknya secara teori, perlu dukungan semua pihak pula Faktanya, bukan kebutuhan siapasiapa, karena semua pihak tidak peduli, termasuk pelaku usaha Kebutuhan semua pihak, terutama generasi mendatang; jadi kebutuhan negara sesuai mandat Pasal 33 UUD 45 Makna kelestarian Semua fungsi hutan tetap dari waktu ke waktu secara progresif, dengan perspektif keuntungan jangka panjang Sebagai values yang harus dipegang konsisten Kelestarian hasil dan usaha jangka panjang dan progresif, terus menerus menguntungkan Usaha jalan terus tanpa jeda, tetap memerhatikan aspek lingkungan, sosial dan budaya. Nilai hutan berlanjut, meningkat secara progresif. Tiga pilar fungsi hutan tidak hilang, tetap terjaga, kualitas tidak menurun, dalam jangka panjang dan lintas generasi HA kita tidak lestari Setuju karena faktanya, Ragu-ragu, karena relatif, Tidak setuju, karena tingkat panen masih di bawah skala lestari Setuju, karena faktanya Setuju, karena luas dan potensi telah jauh menurun Setuju, karena kerusakan hutan makin parah

163 145 Tabel di atas secara ringkas menunjukkan, bahwa keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan melihat bahwa melestarikan hutan alam adalah masuk akal untuk bisnis dan dibutuhkan siapa saja, sekalipun ada yang mereduksi pemaknaannya lebih pragmatis menjadi sekedar kelestarian usaha (Masyarakat Sipil/NGO). Kuatnya indikasi bahwa sekalipun kelestarian masuk akal tapi banyak yang tidak melakukan, hampir keseluruhan kelompok melihat dari sisi pelaku usaha dan pemerintah sebagai faktor dalam memosisikan hutan alam; tidak disinggung, misalnya faktor terkait pasar, harga dan insentif yang relevan. Gambaran para pemangku demikian juga mengindikasikan, bahwa diskursus dan aliran pemikiran masih cenderung di seputar ekosistem hutan dan menempatkan hutan sebagai hal utama. Bila dikaitkan dengan fakta empiris, bahwa hutan alam produksi tidak lestari, maka tampak adanya paradoks yang memosisikan kelestarian dan ikhtiar melestarikan hutan alam sebagai barang publik: tidak jelas siapa pemliknya dan siapa penanggung-jawabnya, namun semua pihak memerlukannya. Posisi paradoks ini dapat dilustrasikan sebagaimana tampak pada Gambar 18. Gambar 18. Paradoks kelestarian sebagai barang publik Gambar 18. memperlihatkan relasi kontestasi antara pemerintah (G) dengan praktisi bisnis (B) terkait klaim dan makna kelestarian baik dari sisi hukum, teori, dan praktek: kelestarian masuk akal, dan diperlukan semua pihak. Dalam kontestasi itu, fakta empiris tidak lestarinya hutan alam produksi bagi praktisi bisnis diyakini lebih karena persoalan terkait iklim usaha, komitmen, profesionalisme dan intervensi pemerintah. Akademisi (A) dan

164 146 masyarakat sipil/lsm (L) melakukan interaksi masing-masing searah kepada keduanya (B dan G). 4. Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan Kelompok Birokrat menekankan pentingnya sebuah kebijakan dari sisi proses dan substansi kebijakan. Dari sisi proses disebut beberapa poin penting antara lain komunikasi, terbuka, dibangun berdasar common value, mekanisme pengambilan keputusan tegas, melibatkan sebanyak mungkin para pemangku kepentingan, membangun kesepakatan publik untuk kesejahteraan publik, menangkap suara publik dan para pakar terutama yang berpengalaman dan memiliki kredibilitas yang baik, penegakannya tegas dan adil. Dari sisi substansi hal penting yang diangkat adalah fokus, tidak kaku, berangkat dari masalah yang ingin dijawab, memastikan pemantapan kawasan, membuka peluang sistem usaha baru (tak hanya kayu), diakui multi sektor, maksudtujuan jelas, konsisten, berdasar pada kerangka yang jelas, tidak reaktifkasuistis, menjawab persoalan dari mulai tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional, namun tidak juga sekedar menjawab persoalan, tetapi juga antisipatif, penuh idealisme, berdasar pada hal-hal ilmiah dan mulai dengan pilot, sebelum digeneralisasi. Saat dihadapkan pada analogi resep vs diagnosa 25, kelompok ini berpandangan beragam. Disebutkan bahwa kondisi yang ada mengindikasikan secara kuat, bahwa diagnosa keliru-resep tidak disebut; diagnosa keliru-resep salah; diagnosa tepat-resep salah; resep tepat, karena diagnosa tepat. Masih dengan analogi itu, kelompok ini yakin bahwa situasi kebijakan usaha kehutanan saat ini identik dengan fakta bahwa (proses) pengobatan tidak kontinyu, sekedar percobaan, penyakitnya sendiri komplikasi. Sementara diakui, bahwa pelaku diagnosa (semakin) banyak, hampir setiap orang melakukan diagnosa berdasar kepentingan masing-masing, hasil diagnosa banyak, sehingga bagaimana resep dibuat menjadi tidak jelas. Analogi lainnya adalah, (terlepas dari ada tidaknya diagnosa) resep dokter berganti terus, tidak jelas mana yang pasti. 25 Untuk lebih jelasnya, lihat poin 4.2 pada panduan wawancara pada Lampiran 2.

165 147 Dari penilaian kelompok ini, hampir semua pihak memiliki pengaruh atas proses perumusan atau perubahan kebijakan. Disebutkan, yang paling berpengaruh antara lain: masyarakat terpapar dampak kebijakan, DPR, pemerintah, NGO, pengusaha, forester. Namun ini semua (pihak yang paling berpengaruh) menjadi tidak jelas saat ada black-box. Adapun masalah yang banyak memengaruhi (proses perumusan/perubahan kebijakan) adalah masalah pemerintah sendiri, masalah pengusaha, dan (masalah) bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Diluar itu semua, disebutkan bahwa yang paling berpengaruh itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar!....pihak yang paling dominan memengaruhi, tidak bisa merujuk hanya pada kelompok pemangku kepentingan tertentu, tapi lebih kepada mereka yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya swasta besar (Staf Khusus Menteri Kehutanan era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011) Semua nara sumber dalam kelompok ini melihat ada persoalan cara pikir dalam proses perumusan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Namun indikator yang digunakan bermacam-macam. Ada yang mengaitkan dengan tidak terbuka, kurang mampu mengaitkan peran hutan dengan pembangunan nasional, kurang antisipatif, cenderung otoriter, sepihak, top down, pandangan lebih jangka pendek, tidak memiliki perspektif jangka panjang, tidak fokus, ego rimbawan, terjebak di hal-hal teknikal dan cenderung apolitik, lurus-lurus saja. Persoalan cara pikir lain, antara lain disebut keterjebakan hanya sekedar menjalankan aturan, walau sadar aturanya itu sendiri tidak tepat atau bahkan keliru sementara, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan (pengaturan), karena tidak ada aturan ( di atas) nya. Persoalan lainnya disebutkan pula, pemerintah pembawaannya mau mengatur, yang diatur bahkan hal-hal teknis. Ada pula yang mengaitkan persoalan cara pikir ini dengan desentralisasi yang belum tuntas, sehingga banyak pihak (di daerah) yang ragu melangkah dalam menjalankan peraturan.

166 148 Atau ada pula yang mengaitkan dengan soal tupoksi 26 disebutnya memengaruhi cara berpikir. institusi yang... Ada, karena ada Tupoksi. Tupoksi itulah yang memengaruhi cara pikir. Sementara mekanisme sendiri kita punya Biro Hukum, yang bisa jadi ada conflicting saat bicara substansi. Untuk substansi A bisa saja biro hukum mengartikan dan mendeskripsikan B, sehingga formulasi substansi kebijakan awal tidak tercapai. Soal black-box bisa saja ada, tapi bukan tanggung jawab dan bukan kapasitas saya untuk masuk kesana. (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kemenhut, era setelah 1998; Wawancara 2 Mei 2011) Perbaikan kebijakan menurut kelompok ini, sekecil apapun ada, walau masih banyak kelemahan, dan tidak signifikan. Adanya perubahan ditunjukkan, terutama dalam hal niat, cara pikir, orientasi dan landasan akademik-ilmiah yang lemah. Perbaikan juga tampak setidaknya pada adanya usaha untuk mendefinisikan dan memastikan tujuan, yang dulu tidak ada. Dari sisi proses kelompok ini melihat telah melibatkan cukup banyak para pihak pemangku kepentingan. Dari isu yang muncul, isu masyarakat dan lingkungan pun sudah cukup kuat, lebih karena spirit yang melatari waktu itu hutan lestari, rakyat sejahtera. Dari sisi substansi, perubahan ke arah perbaikan dinilai ada, terkait pembenahan governance, fokus dan proritas. Diakui pula, perubahan kerangka pikir juga terjadi, (terindikasi dari) banyak generasi baru yang masuk dengan pengetahuan barunya. Dicontohkan, muncul banyak ide penetapan jatah tebang, prinsip-prinsip standard atas pelaksanaan REDD+ 27 dan lain-lain; diakui itu semua menunjukkan digunakannya ilmu dalam konstruksi kebijakan. Pengakuan lain, ada pula perubahan kerangka pikir, terkait gagasan untuk segera bergeser ke HT, atau bahkan hutan campuran; sementara untuk komoditi juga mengalami pergeseran, tak hanya kayu; lalu pengaturan kawasan kini tidak dapat bertahan seperti dulu, karena harus menimbang ada sektor lain. Sementara pandangan lain di kelompok ini menunjukkan, bahwa kurun setelah 1998 lebih banyak konsolidasi manajemen kehutanan lalu softlanding dan penurunan kuota jatah tebangan. 26 Kepanjangan dari Tugas Pokok dan Fungsi. Fenomena keraguan ini diperoleh, antara lain pada saat diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 20 Juli 2011 dan APHI Komda Jambi 21 Juli Sebuah inisiatif global yang menguat dalam kurun tiga tahun terakhir ini terkait upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan tingkat deforestasi dan kerusakan hutan.

167 149 Dalam mengindentifikasi hal terpenting dari kebijakan kelompok akademisi tidak banyak menyinggung proses. Dari sisi substansi disebutkan bahwa hal terpenting adalah: berangkat dari konsep yang jelas, sehingga masalah yang ingin dijawab pun jelas, fokus pada keseimbangan tarik-menarik kepentingan antar para pihak pemangku kepentingan, (fokus) perhatian (hendaknya) tidak sekedar pada aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, tetapi pada aspek penting mencapai tiga pilar kelestarian dan identitas budaya. Sementara terkait analogi resep vs diagnosa, kelompok ini meyakini diagnosa dan resep salah, alasannya karena tidak ada konsep; sehingga resep dan diagnosa bisa terjadi masing-masing ataupun bersamaan. Pandangan lain, diagnosa lemah, dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas (SDM dan teknologi), dan kekurang seriusan. Atau resep keliru, dimungkinkan karena kepentingan politik yang dominan, sehingga keliru pula di tingkat implementasi. Kalangan ini melihat pemerintah atau penguasa dan pengusaha dinilai paling memengaruhi proses perumusan atau perubahan kebijakan, terutama sebelum masa reformasi. Selain kedua pihak ini, diakui pula bahwa masyarakat sipil seperti akhir-akhir ini, turut memengaruhi, namun masih semu. Dalam diskursus muncul pula pemikiran, bahwa pemerintah identik dengan politikus yang lebih menyuarakan kepentingan politik baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Pelaku usaha identik dengan menyuarakan kepentingan ekonomi. Sementara kepentingan akan lingkungan dan sosial lebih disuarakan secara dominan oleh masyarakat sipil/lsm. Sementara akademisi diposisikan sebagai pihak yang diperlukan oleh keseluruhan para pihak ini, sehingga diyakini idealnya tidak mengusung kepentingan praktis tertentu. Keseluruhan narasumber di kelompok ini melihat bahwa ada persoalan kerangka pikir di balik proses perumusan dan perubahan kebijakan. Indikasinya antara lain, cenderung dominan positivistik, tanpa menimbang realitas secara memadai, tidak mengakar ke pengetahuan lokal, memandang hutan sekedar sumberdaya input produksi, memprioritaskan kepentingan ekonomi, hutan adalah sumberdaya dapat diperbaharui baik secara alam

168 150 maupun manusia, sehingga tidak perlu khawatikan. Dengan keyakinan demikian, kelompok ini memandang tidak ada perubahan baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir di baliknya, karena esensinya sama saja. Yang merasa ada perubahan menunjukkan bahwa sebelum 1998 orientasi dan keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan relatif kurang, lebih banyak pada pelaku usaha dan industri kehutanan. Setelah 1998 kondisinya terbalik, namun tidak melemahkan keragaan dunia usaha dan industri kehutanan. Perubahan lain dinilai kelompok ini dari spririt dan orientasi kepada masyarakat, pemisahan urusan admin dengan teknis melalui KPH, dan hutan dipandang sebagai multifungsi. Seperti halnya kelompok akademisi, kelompok praktisi bisnis tidak banyak menyoal proses dalam melihat hal terpenting dari kebijakan. Kelompok ini memandang bahwa substansi kebijakan hendaknya mampu mengakomodasi kepentingan secara keseluruhan, mengutamakan kemandirian pelaku usaha, memberlakukan pendekatan dan kontrol berbasis hasil/dampak (outcomebased), berorientasi ke penyempurnaan besar dan alokasi pungutan resmi, tidak membebani dan bahkan bila perlu membebaskan pelaku usaha, mengatur yang memang perlu diatur, aturan tidak terlalu teknis. Lalu kelompok ini berharap pula agar (para pihak, khususnya pembuat kebijakan) belajar dari pengalaman, dan lebih menegaskan target yang ingin dicapai. Menanggapi analogi resep vs diagnosa, kelompok ini menilai baik resep maupun diagnosa keliru. Diakui, diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, sementara dari situ resep dibangun. Resep dibuat tanpa diagnosa, sehingga sering hal yang diatur bukan yang diperlukan, karena aturan (sudah) terlalu detail, sehingga apa yang tertulis dan apa yang berjalan berbeda. Penilaian lain, diagnosa keliru, sehingga resep apapun tidak manjur. Diyakini kelompok ini, bahwa pemerintah cukup dominan memengaruhi proses perumusan dan perubahan kebijakan, tapi tidak disertai pengawasan yang memadai, sehingga pelaku usaha merasa tidak pernah diajak dalam proses selain saat sosialisasi, itupun aturannya sudah jadi. Dan hal demikian diakuinya terus berlangsung hingga kini, sehingga pemerintah dinilai tidak pernah belajar dari pengalaman. Kalaupun ada pihak lain yang dilibatkan, ia

169 151 tidak memiliki pengaruh langsung pada perbaikan substansi aturan, sehingga tetap saja mengundang banyak peluang terjadinya moral hazard. Pandangan lain, pemerintah kini lebih pro perusahaan tambang dan abai atas pelaku usaha kehutanan; dulu, an, terutama zamannya Bob Hasan mereka mendengar pelaku usaha kehutanan, bahkan didikte perusahaan kehutanan....aturan terakhir Kemenhut justru terlihat pro perusahaan tambang. Usulan pengusaha hutan tidak didengar sama sekali. Begitu juga saran dari masyarakat dan akademisi. Dulu ( an) mereka mendengar suara pengusaha. Bahkan didikte pengusaha. Terutama jamannya Bob Hasan. Sebetulnya suara siapapun asal itu upaya konsisten mencapai kelestarian hutan -- ya itu yg harus dipilih...bukan karena kepentingan sesaat... (Praktisi Usaha Kehutanan, Deputy Direktur Ekskutif APHI, Wawancara 6 Juni 2011) Keseluruhan narasumber di kelompok ini menilai ada persoalan cara pikir. Disebutkan beberapa indikasi, antara lain rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah, profitabilitas sering dianggap lebih penting dibanding kompetensi, apa yang harus diatur hanyalah untuk aturan itu sendiri, dan aturan itu sendiri akhirnya, tidak konsisten. Indikasi lain, ada kerangka pikir yang datang dari luar, sehingga banyak aturan yang tidak perlu tapi dipaksakan, karena datang dari luar. Disebutkan sebagai contoh adalah IHMB 28. Kelompok ini secara dominan melihat bahwa tidak ada perbaikan kebijakan usaha kehutanan, baik perbaikan substansi maupun persoalan kerangka pikir. Bahkan muncul penilaian, bahwa (kekacauan substansi) semakin menjadi-jadi, makin parah, dan terpuruk; antara lain karena makin tidak jelas dan multitafsir, termasuk tafsir antara pusat-daerah, akibatnya mengundang lebih banyak pihak lain untuk turut mengurusi kayu yang ujungujungnya membebani biaya operasional usaha dan mendongkrak pos biaya entertainment di lapangan. Satu-satunya pandangan dari kelompok ini yang menilai ada perubahan pun (diujung) melengkapinya dengan label tidak tampak jelas hasil dan dampak perbaikan, mungkin karena tidak ada perubahan dalam cara berpikir, termasuk penilaian yang inkonsisten. 28 Yang dimaksud adalah kebijakan inventarisasi hutan menyeluruh berkala IHMB

170 152 Dalam melihat kebijakan, kelompok masyarakat sipil tidak menyinggung proses sama sekali. Dari sisi substansi disebutkan, bahwa hal penting dari kebijakan antara lain mampu menciptakan kondisi yang bermanfaat untuk semua pihak, jangka waktu panjang, memberi akses ke masyarakat, antisipatif atas kondisi lapangan, mampu menyelesaikan persoalan, dapat dijalankan, tidak bertele-tele, jelas kepentingan dan urgensinya, dan memiliki fungsi kontrol. Selain itu, perlu didukung upaya penegakan dan monitoring implementasinya. Terhadap analogi resep vs diagnosa kelompok ini berpandangan beragam: diagnosa benar-resep salah; diagnosa salah-resep jadinya asal-asalan. Ditegaskan bahwa salah resep, karena tidak mampu mendiagnosa. Diakui kalaupun diagnosa benar, resep dibuat menyimpang atau bahkan bertolak belakang. Jadi menurut kelompok ini, ada kesengajaan disitu. (Karena) diagnosa salah, resep salah, aturan yang keluar sering sekedar menjawab symptom. Dengan penilaian demikian, kelompok ini berpandangan, bahwa yang keliru pikirannya, yakni hanya dari perspektif pengusaha dengan orientasi keuntungan jangka pendek. Siapapun pihak yang merumuskan kebijakan, sebaiknya tidak didominasi oleh pemikiran dan orientasi demikian. Pihak yang paling pengaruh dalam perumusan/perubahan kebijakan menurut kelompok ini adalah pihak yang tingkat kepentingannya lebih menonjol, mereka bergerak lebih dominan, baik bersamaan maupun sendirisendiri. Namun sering pula, mereka yang memiliki kepentingan yang sama tidak sejalan. Yang terjadi kemudian, pemerintah lebih dominan, karena langkah atau eksekusi akhir ada di mereka. Sebelum reformasi, dominasi ini bersiombiosa dengan dunia usaha, sehingga tejadi kolaborasi penguasapengusaha. Diakui, masyarakat tidak dilihat dan akademisi cenderung hanya dijadikan sekedar legitimasi. Untuk beberapa kasus, dominansi ini bergeser. Saat isunya adalah pelepasan lahan, besaran jatah tebang, sistem silvikultur, pengusaha tampak lebih dominan. Untuk isu timber legality dan illegal logging, masuk pula masyarakat madani dan program kerjasama (donor) internasional turut berpengaruh.

171 153 Diakui pula oleh kelompok ini, bahwa ada persoalan cara pikir dalam kebijakan usaha kehutanan. Disebutkan, bahwa kebijakan harus (selalu) dari pemerintah, proses dan transparansi sering dianggap tidak penting, yang penting buat dulu aturan, urusan mengakomodasi lainnya belakangan dalam sosialisasi. Indikasi lain, tahu persoalan tahu obatnya, tapi tidak melakukan tindakan, dan tindakan yang dilakukan adalah hal lain karena alasan konflik kepentingan (akan merugikan yang bersangkutan sendiri). Pandangan pragmatis dari kelompok ini lebih merujuk pada kekakacau-balauan kehutanan sekarang ini yang merupakan signal dari kekacau balauan pikiran. Kelompok ini melihat tidak ada perbaikan baik dalam cara pikir maupun kualitas kebijakan. Disebutkan keduanya tidak banyak berubah; sekalipun proses agak berkembang melibatkan lebih banyak pihak, ada konsultasi publik yang relatif lama, namun sayang masih diwarnai fenomena black box, sehingga banyak pihak merasa tidak terwakili. Ditunjukkan pula, dari aspek pengelolaan saja, UU 5/67 dan 41/99 tidak jauh berbeda, yakni pengelolaan domain pemerintah dan konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Sementara cara pikir tetap saja, tidak berubah sama sekali. Diakuinya, sebelum 1998 apa yang baik menurut Bob Hasan, jadilah kebijakan. Setelah 1998, masyarakat madani lebih vocal, karema banyak donor ikut campur, sehingga isu nya pun tergantung apa yang dibawa si donor. Hampir tidak ada. Tidak jauh-jauh dari aspek pengeloaan saja, UU 5/67 dengan 41/99 tidak jauh berbeda, pengelolaan domain pemerintah, konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Tidak merubah apa-apa, sama saja pola HPH. Sementara pengawasan tetap saja lemah. (Direktur Eksekutif sebuah LSM; Wawancara 3 Mei 2011) Selanjutnya, peta diskursus kebijakan usaha kehutanan di kalangan para pihak secara ringkas disajikan sebagaimana matriks pada Tabel 27.

172 154 Tabel 27. Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi Akademisi Hal ter-penting dari kebijakan Proses dan substansi Proses: Komunikasi, terbuka, berdasar common values, mekanisme tegas, partisipatif Substansi: Fokus, tidak kaku, berangkat dari dan antisipatif atas masalah, maksud dan tujuan serta solusi yang jelas Substansi: Berangkat dari konsep yang jelas, fokus pada keseimbang-an kepentingan Analogi Resep vs Diagnosa Resep tidak disebut diagnosa keliru Diagnosa keliruresep salah Diagnosa tepatresep salah Diagnosa tepatresep tepat Pelaku diagnosa banyak, bingung membuat resep, penyakitnya komplikasi Diagnosa dan resep salah, karena ketiadaan konsep; Pihak & Masalah paling berpengaruh dalam kebijakan Kelompokkelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar. Masalah pemerintah, bagaimana mencapai kemakmuran rakyat Pemerintah dan pengusaha, lalu masyarakat sipil. Masalah politik dan ekonomi Ada persoalan cara pikir dalam konstruksi kebijakan Ada. Kurang terbuka, tidak antisipatif, otoriter, sepihak, top down, jangka pendek, sekedar menjalankan aturan, Ada; terindikasi dominannya positivistik, minim realitas, tidak mengakar pada pengetahuan lokal, melihat hutan semata input produksi Perbaikan kebijakan Sekecil apapun ada, hanya masih banyak kelemaha n dan tidak signifikan Tidak ada perbaikan, baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir Praktisi Bisnis Maspil/NGO Substansi: Akomodasi keseluruhan kepentingan, utamakan kemandirian pelaku usaha, atur yang perlu diatur, tidak mengatur terlalu teknis Substansi: Mencipatkan akses/kondisi bermanfaat untuk semua pihak, tidak cepat berubah, antisipatif atas kondisi lapangan dan memiliki fungsi kontrol Keduanya keliru Diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, Resep dibuat tanpa diagnosa Diagnosa keluru, shg resep apapun tidak manjur Diagnosa benar, resep salah Diagnosa salah, resep asal-asalan Diagnosa benar, resep dibuat menyimpang Pemerintah, namun pengawasan kurang Masalah tidak teridentifikasi Pemerintah dan pihak yang tingkat kepentingannya paling menonjol; Dominasi bergeser menurut isu Masalah ekonomi lebih menonjol Ada. Rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga harus diatur pemerintah, profitabilitas lebih penting daripada kompetensi; aturan sendiri tidak konsisten Ada. Kebijakan harus selalu dari pemerintah, proses dan transparansi tidak penting, tau persoalan tau obat, tapi tidak bertindak. Kacau-balaunya hutan saat ini cermin dari kekacaubalauan pikiran Tidak ada. Malah semaki menjadi parah dan terpuruk; Tidak ada, pengelola an domian pemerinta h dan pelaku usaha sebatas pemanfaa tan

173 155 Tabel diatas memperlihatkan, bahwa aspek terpenting dari kebijakan dilihat sedikit berbeda. Kecuali kelompok birokrat (G), keseluruhan kelompok lain hanya melihat substansi sebagai hal terpenting dari sebuah kebijakan. Hanya kelompok birokrat yang mementingkan pula proses, selain substansi. Dari sisi substansi hampir keseluruhan mengaitkan perlunya menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan para pihak. Beberapa yang lain menekankan perlunya berangkat dari antisipasi masalah (G), konsep yang jelas (akademisi, A), kemandirian pelaku usaha dan tidak teknikal (praktisi bisnis, B) dan menciptakan akses manfaat (masyarakat sipil, L). Hampir keseluruhan kelompok memberikan ilustrasi bahwa pada dasarnya yang terjadi sejauh ini proses pembuatan/pembaruan kebijakan lebih didasarkan pada diagnosa dan resep yang keliru. Sementara itu, pihak dan masalah yang dianggap paling dominan oleh hampir keseluruhan kelompok adalah pemerintah dan masalahnya pun masalah pemerintah. Dan hal ini diakui pula oleh kelompok birokrat yang notabene kesehariannya adalah anasir pemerintah. Ada pula yang scara khusus menyebutkan bahwa pihak yang dominan adalah para pihak yang memiliki akses dan power yang besar, termasuk swasta besar (Birokrat) atau pihak yang kepentingannya paling menonjol (Masyarakat Sipil/NGO). Hampir keseluruhan kelompok, termasuk birokrat, melihat bahwa ada persoalan cara pikir dalam pembuatan/pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Ini terkait antara lain dengan persoalan proses pembuatan kebijakan yang sepihak, top down, jangka pendek dan sekedar menjalankan aturan dari para pembuat kebijakan (Birokrat) atau tidak mengakar pada pengetahuan lokal dan menempatkan hutan sebagai sekedar input produksi (Akademisi) atau anggapan bahwa pelaku usaha tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah (Praktisi bisnis). Hal lain disinggung pula antara lain bahwa kebijakan itu harus dari pemerintah, sementara proses dan transparansi tidak penting. Isyarat yang kuat dari tabel di atas adalah, bahwa hampir keseluruhan kelompok para

174 156 pemangku kepentingan menilai bahwa sejauh ini tidak ada perubahan cara pikir berarti dalam proses pembuatan/perubahan kebijakan. Dari keseluruhan diskursus yang berkembang tampak bahwa cara pikir yang tidak berkembang itu dapat dibaca sebagai semacam konfirmasi, bahwa para pihak, memosisikan pemerintah sebagai yang dominan, tanpa disinggung sama sekali bagaimana pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan potensial lainnya atau soal keseimbangan semua bentuk modal dalam usaha kehutanan. Di atas itu semua, kontestasi ini menunjukkan, bahwa di tengah diskursus yang berkembang berbagai pengetahuan dan pengalaman praktis para pihak tampaknya tidak hadir dan digunakan secara penuh dalam praktek keseharian the absence of knowledge in practice. Kontestasi ini secara skematik sebagaimana tampak pada Gambar 19. Gambar 19. Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan Dengan demikian, terindikasi kuat, bahwa selain soal fenomena ketidak hadiran secara penuh pengetahuan yang dimiliki para pihak di tataran praktis, diskursus yang ada juga masih berorientasi kuat atas sumberdaya hutan sebagai hal sentral. Artinya, aliran kerangka pemikiran masih kental pada the forest first.

175 157 E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Makna lepas dari Diskursus Di atas terakumulasi pengetahuan bagaimana beragam peta kerangka pikir baik yang dibangkitkan dari hasil telaah isi dan narasi kebijakan usaha kehutanan maupun dari penjaringan persepsi melalui wawancara mendalam dan internet online polling. Beragam peta tersebut pada dasarnya sekaligus memberikan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan yang ada. Dalam pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kualitas itu berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus yang terakumulasi dalam teks kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan klaim-klaim atau pengakuan yang merepresentasikan kelestarian usaha kehutanan. Lawas diskursus yang berkembang sebatas kelas mezo, memperlihatkan kekurang-sungguhan dan ketidak-konsistenan antara apa yang menjadi tujuan kebijakan (niat) dengan apa yang akhirnya tertuang dalam teks dalam mengkerangka (framing) usaha kehutanan di satu sisi dengan penyiapan instrumen dan strategi pencapaian kelestarian disisi lain. Lepasnya makna dari diskursus juga teridentifikasi dari persepsi dan sekaligus posisi para pihak atas empat hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni: (a) hutan alam produksi Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian hutan dan pengelolaan hutan alam lestari, serta (d) Kebijakan usaha kehutanan. Persepsi dan posisi atas hutan alam hampir keseluruhan komponen para pihak menunjukkan setuju bahwa kondisinya rusak parah dengan beragam argumen dan ilustrasi empiris di baliknya. Namun, kondisi ini tidak sama sekali menghentikan semangat mereka untuk tetap melanjutkan memanfaatkan hutan alam sebagaimana sebelumnya (Gambar 17) dan dengan tetap mengandalkan kelestarian sebagai constraint. Situasi ini identik dengan dan dapat dianggap sebagai konfirmasi atas situasi yang dijadikan pembuka Bab ini. Konfirmasi ini dapat dipahami sebagai penegas, bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada bukanlah wujud dari sebuah interaksi sosial, dimana pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak,

176 158 berlangsung. Dengan kata lain, ini adalah situasi yang bantu menggambarkan adanya gap antara teks dan interaksi sosialnya. Hal demikian dapat ditafsir bahwa kebenaran yang terkandung dalam tekstual substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Lepasnya makna dari diksursus juga dapat dijumpai pada saat para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada catatan kaki No. 24 memosisikan dan memaknai kelestarian. Di sini bahkan dapat dipahami bahwa lawas diskursus terkait kelestarian merentang dari dimensi mega kelestarian ditempatkan sebagai mandat pencapaian Pasal 33 UUD 45 ke dimensi mikro kelestarian sebagai hal-hal teknikal dan administratif-prosedural yang harus dipenuhi pemegang unit usaha dan akhirnya mengerucut pada dimensi meso, dimana kelestarian tak lebih sebagai daftar keharusan di tingkat unit managemen yang bagi pemegang konsesi usaha, eksternal sifatnya: sekedar menjalankan keharusan atau aturan yang telah ditetapkan pemerintah (compliance based). Seberapapun lawas diskursus yang mengemuka, para pihak pemangku kepentingan, kecuali beberapa narasumber di komponen pemerintah, semuanya setuju bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi Luar Jawa tidaklah lestari. Poin ini menjadi hal ironis lainnya, manakala dikaitkan dengan pandangan para pihak ini untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan di hutan alam (Gambar 15 dan 17). Poin inipun menguatkan lepasnya makna diskursus, seperti juga dijumpai pada persepsi dan posisi para pihak atas kebijakan usaha kehutanan (Tabel 27). Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi atau menyederhanakan persoalan yang tergambar berat ini, uraian terakhir di atas, dalam bahasa sederhana dapat disebutkan bahwa para pihak pemangku kepentingan sekalipun mengakui tiga hal tidak perform (kondisi hutan alam, kinerja usaha kehutanan, dan kualitas kebijakan) namun semangatnya masih kuat untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan hutan alam produksi di luar Jawa dengan alasan dan bahkan jargon yang kurang lebih tidak berubah: pembangunan ekonomi, sesuai mandat Pasal 33 UUD 45.

177 159 Kembali ke persepsi dan posisi para pihak atas kelestarian, sebetulnya ada yang lepas atau setidaknya kurang lengkap dari persepsi dan penarikan posisi para pihak atas kelestarian, yakni persoalan opportunity cost. Dengan mengasumsikan secara ekstrim, bahwa pemerintah lepas 100 % dan tidak campur tangan atas pengelolaan dan pengurusan hutan alam dan keseluruhan pengelolaan hutan alam produksi di Luar Jawa di berikan kepada pihak swasta, maka menjadi pertanyaan menarik seberapa jauh hutan alam ini akan lestari. Dengan asumsi demikian, maka swasta sebagai pelaku usaha tetap akan memaksimalkan keuntungannya dengan merujuk terutama pada tingkat bunga bank komersial sebagai patokan. Dengan asumsi tidak ada values (tata nilai, norma) lain, maka si pengusaha secara matematis akan mengambil keputusan dalam keadaan dimana total laju penebangan lestari (Δv/v ) dengan perubahan harga hasil tebangan (Δp/p) per tahun lebih besar dari bunga bank komersial (r) 29. Keadaan ini akan tetap jadi pegangan para pelaku usaha sekalipun berada pada kondisi ketidak pastian, sejauh koefisien ketidakpastian itu (sebut saja δ) tidak mengganggu laju keuntungannya dan in total tidak lebih kecil dari tingkat bunga bank komersial tadi. 30 Dengan frame ini maka kebijakan penetapan laju pertumbuhan hutan alam pertahun (MAI) sebesar 1 m3 per ha per tahun oleh pemerintah sebagai dasar penetapan jatah tebang tahunan akan menjauh dari capaian kelestarian, karena laju tebangan (dalam masa konsesi misal 40 tahun) hanya sebesar 2.5% jauh lebih kecil dari tingkat bunga bank saat itu (15-18%) atau bahkan dengan tingkat bunga bank komersial yang berlaku sekarang (5-6%). Kondisi ini bisa jadi alasan kuat, mengapa kelestarian sekalipun diakui masuk akal, tapi tidak dilakukan oleh beberapa unit usaha. Hal ini sekaligus menjadi penegas, bahwa usaha kehutanan hutan alam produksi di Luar Jawa tidak mungkin lestari. Inilah salah satu gambaran yang lebih konkret terkait kualitas kebijakan usaha kehutanan sekaligus pemahaman terkait argumen makna lepas dari diskursus. Apakah ini sebuah jawaban bahwa kebijakan usaha kehutanan salama ini dinilai tidak berhasil mengubah perilaku ke arah kelestarian? 29 Dalam notasi matematis hal ini dituliskan sebagai (Δv/v+Δp/p) > r..(01) 30 Dalam notasi matematis: δ(δv/v+δp/p) > r..(02)

178 Tidak mengubah Perilaku Kualitas kebijakan juga terindikasi kuat tidak mampu mengubah perilaku menuju ke kelestarian usaha, lebih karena persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan itu dibuat. Ini ditelaah Kartodihardjo (1998). Menurutnya, kebijakan usaha kehutanan hutan alam produksi di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian konsep dan asumsi yang digunakan sebagai landasannya. Dalam pengamatannya atas sejumlah isi peraturan perundangan usaha kehutanan (sampai 1998), diperoleh gambaran kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan, yakni meletakkan hutan (natural capital) sebagai faktor utama. Dengan begitu, hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami dan tergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Pelestarian hutan dalam pemikiran demikian tergantung dari keseimbangan sistem alami di dalam hutan itu sendiri. Ruang kebijakan (policy space) bagi pelestarian hutan disebutnya berada dalam lingkungan internal hutan yang dianalisis. Dengan demikian, pemanfaatan dan pelestarain hutan memerlukan banyak jenis peraturan kerja (biasanya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis) karena adanya perbedaan tipe ekosistem hutan dan banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pengelola hutan. Pandangan Kartodihardjo (1998) ini menegaskan, begitulah kerangka pikir dibalik kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan. Karena kerangka pikir itulah mengapa pemerintah begitu banyak membuat aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan di tataran adminstratif dan teknikal. Pandangan ini juga turut menjelaskan mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut ke dimensi meso. Merujuk pada kerangka pikir demikian, keberhasilan pelestarian hutan, karenanya sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghasilkan peraturan kerja yang tepat dan kemampuan para pengelola hutan untuk dapat mengerti dan melaksanakannya. Dalam pendekatan ini perdebatan mengenai upaya pelestarian hutan selalu diseputar peraturan kerja yang tidak benar akibat dari permasalahan penerapan keilmuan atau keabsahan data yang digunakan (Kartodihardjo, 1998). Dengan pandangan ini, ia melihat, bahwa

179 161 pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan hutan dianggap sebagai faktor eksogen. Selanjutnya, dalam kalkulasi Kartodihardjo, 1998) kerangka pemikiran sebagaimana digambarkan di atas mendorong upaya menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap, sumber-daya manusia (human capital) yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini, dapat dipahami kalau kegiatan pengamanan hutan dilakukan pemerintah dengan pendekatan seperti militer sebagaimana fenomena kehadiran Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC). Pandangan ini adalah gambaran lain dari adanya hegemoni atau dominasi pemerintah dalam penetapan kebijakan usaha kehutanan. Sehingga negara dikatakan sebagai grand regulators dimana pemanfaatan dan konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturanperaturan yang banyak jumlahnya. Mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap Kartodihardjo (1998) dan Sfeir-Younis (1991) sebagai faktor eksogen. Hal disebut terakhir ini adalah jawaban, mengapa opportunity cost tidak masuk pertimbangan dalam proses konstruksi kebijakan. Dalam keyakinan Kartodihardjo (1998) kebijakan yang dibangun dengan landasan dan kerangka pemikiran demikian tidak memungkinkan mampu merubah perilaku para pemangku kepentingan, khususnya para pelaku usaha agar beperilaku menuju ke usaha kehutanan lestari. Hal ini dikuatkan temuannya bahwa (a) peraturan perundangan yang ada telah mereduksi kebijakan pengelolaan hutan menjadi sekedar pengaturan manajemen pengusahaan hutan, (b) keberadaan karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi, (c) nilai opportunity cost dari modal yang digunakan dalam usaha kehutanan tidak diperhitungkan dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, melainkan cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap (fixed) yaitu asumsi riap kayu

180 162 di hutan, luas dan rotasi tebang, serta faktor eksploitasi dan faktor keamanan, sehingga perilaku pelaku usaha dalam pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor moneter tidak diakomodasikan, (d) banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan adminis-trasi pelaksanaan pekerjaan telah menyebabkan peraturan perundangan usaha kehutanan hutan tak lebih sebagai penjabaran implementasi teknologi daripada implementasi institusi; (e) kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah untuk mendukung akurasi peraturan kerja; sementara pemerintah berkewajiban melaksanakan pengawasan agar pemegang HPH mematuhi peraturan; padahal kegiatan usaha kehutanan, khususnya perlindungan hutan, menjadi sangat tergantung pada kemampuan pengawasan yang dilakukan pemerintah, dan kenyataannya kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pengawasan sangat terbatas. Terkait keyakinannya itu, Kartodihardjo (1998) menunjukkan capaian kinerja usaha kehutanan yang rendah dicirikan dari prosentase capaian kinerja dan banyaknya peringatan yang diberikan Departemen Kehutanan saat itu, sebagaimana digambarkan tabel berikut ini. Tabel 28. Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan Tahun Kinerja (%) Peringatan (unit HPH) Baik Sedang Kurang I II III 1989/1990 4,2 39,5 56, / ,7 56,0 23, / ,5 57,8 23, / ,2 61,6 19, /1994 4,0 61,9 34, / ,55 71,11 18, / ,35 69,19 9, Sumber: Kartodihardjo (1998) dimodifikasi 3. Teks lepas dari interaksi sosial Renstra Dephut Dengan mempelajari Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK, kini BUK) Departemen Kehutanan , diperoleh pula gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan 31 Penelitian terpisah pada 2010, dimana penulis turut terlibat langsung dalam keseluruhan kegiatan penelitian ini. Hasilnya telah dituangkan dalam jurnal pada Pusat Litbang Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

181 163 dalam periode ini. Dalam RENSTRA dicakup informasi, antara lain terkait kondisi yang diharapkan, permasalahan, serta kinerja kelembagaan lingkup bina produksi kehutanan. Hasil evaluasi internal Ditjen BUK dan UPTnya didaerah memperlihatkan bahwa nilai rata-rata kinerja capaian program lingkup BPK sebesar 7,46 dalam skala 0-9 dimana 0 adalah tidak berhasil dan 9 berhasil. Capaian kinerja untuk keseluruhan PRO program lingkup Ditjen BPK sebagaimana disajikan dalam Gambar 20. Nilai Capaian Program Pro Env Program Pro Poor Pro Job Pro Growth Skor Gambar 20. Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro Program Capaian hasil tersebut di atas tidak terlepas dengan persoalan kinerja RENSTRA sebagai produk kebijakan. Seberapa jauh capaian kinerja produk kebijakan ini ditunjukkan oleh hasil evaluasi eksternal yang fokus pada masalah kehutanan yang terjadi dalam kurun renstra, khususnya , dan Masalah kehutanan mencakup berbagai peraturan perundangan terkait isu kawasan hutan, perencanaan, silvikultur, produksi, peredaran hasil hutan, industri, pungutan dan iuran, serta pasokan. Analisis isi atas berbagai perundangan dalam kurun ini memperlihatkan sejumlah situasi masalah dalam hal implementasinya di lapangan. Implementasi ini terindikasi masalah hukum dan inefisiensi serta ekonomi biaya tinggi. Sintesa atas situasi masalah itu menunjukkan bahwa: (1) Pola pikir hutan alam digunakan dalam mengatur hutan tanaman ditunjukkan antara lain banyaknya persyaratan hutan alam diterapkan pada hutan tanaman. Misalnya pemberian tanda pada tunggak di hutan alam harus diterapkan juga pada hutan tanaman yang secara teknis harus bebas tunggak agar dapat ditanami kembali; (2) Pola pikir hutan di Jawa

182 164 diterapkan untuk mengatur hutan di Luar Jawa, padahal alas titel pemilikan lahan di luar Jawa berbeda dengan alas titel pemilikan lahan di Jawa. Akibatnya, hutan rakyat di luar Jawa tidak dapat diakui sebagai hutan rakyat; (3) Ketiadaan visi, sehingga sifat aturan menjadi reaktif dan tidak antisipatif. Misalnya kewajiban melampirkan bukti tanda terima laporan realisasi produksi sebagai syarat pengesahan RKT sebagai respon terhadap ketidaksiapan pejabat menjawab pertanyaan mengenai jumlah produksi yang diajukan oleh pihak lain; (4) Kedudukan suatu prosedur sering tidak tegas contoh adalah RKT. Di satu sisi RKT dikatakan bukan sebagai ijin, tetapi di sisi yang lain RKT perlu disahkan oleh pejabat; tanpa RKT sah, pekerjaan di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa menghadapi konsekuensi yang berat. Masalah lain, konflik dengan peraturan lainnya terutama peraturan yang lebih tinggi, kesulitan mengimplementasikan, sehingga menimbulkan biaya, menimbulkan keterlambatan, hingga kemungkinan tersangkut masalah hukum. Implementasi peraturan karenanya berjalan sering dengan manipulasi. Akibatnya, birokrasi pemerintah menjadi kurang nyaman dan aman dalam bekerja; sebaliknya dunia usaha merasakan hambatan dan akhirnya inefisiensi yang luar biasa. Sementara itu, keterkaitan antara peraturan dengan pengelolaan hutan lestari yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat menjadi kurang terperhatikan. Dari evaluasi masalah selama kurun 2010, diperoleh beberapa pokok temuan, antara lain bahwa empat syarat keberlanjutan, yakni keuntungan dan distribusinya, kepastian areal dan usaha, serta penegakan hukum: (a) belum mendukung usaha kehutanan, (b) kebijakan pengusahaan hutan cenderung membebani dan tidak menyelesaikan masalah, (c) HPH/IUPHHK berkinerja buruk dan kurang modal, (d) proses pengawasan lebih pada aspek pelaksanaan, bukan outcome-based, (e) urusan pelayanan publik relatif tidak berubah, dan (f) situasi governance belum mendukung. Selama periode renstra ada berbagai kebijakan yang diturunkan menjadi sejumlah peraturan baru maupun revisi peraturan lama dalam lingkup program Ditjen BPK. Berbagai peraturan ini diharapkan lembaga ini dapat menjadi jalan keluar atas masalah-masalah pokok dalam pelaksanaan usaha

183 165 kehutanan. Hasil analisis isi atas berbagai peraturan ini memperlihatkan beberapa memenuhi harapan tersebut dan beberapa yang lain belum memberikan sesuai yang diharapkan. Dengan pendekatan Birkland (2001) khususnya terkait syarat kebijakan dan implementasinya (Tabel 4), sintesa atas hasil analisis ini sampai pada pengetahuan tentang faktor penentu efektivitas pelaksanaan peraturan usaha kehutanan, antara lain: (a) Kejelasan tujuan adanya suatu peraturan seperti mencapai sesuatu kondisi atau target tertentu, misalnya pengelolaan hutan lestari; membuka kesempatan usaha baru; memenuhi syarat administrasi, misalnya adanya mandat peraturan yang lebih tinggi; (b) Sikap dan perilaku siapa yang diharapkan berubah agar tujuan kebijakan dapat dicapai. Hal ini penting dalam penyelesaian masalah. Secara umum hal ini ditentukan oleh pertimbangan manfaat dan korbanan, informasi tentang peraturan dan interpretasi atas peraturan tersebut, serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, (c) Memahami sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu. Misalnya apabila banyak usaha kehutanan melanggar peraturan (Y), apa penyebabnya (X). Bagaimana dapat dipastikan bahwa apabila X dihilangkan atau diminimumkan, maka Y akan berkurang. Apa asumsi dan syarat-syarat agar perlakuan terhadap X menentukan perubahan terhadap Y; (d) apa instrumen kebijakan yang akan dipilih dan diterapkan agar peraturan layak dijalankan: ukuran kinerja, prosedur, standar, jangka waktu ijin, tarif, hak dan kewajiban, insentif, denda, pengembangan kapasitas dan lain-lain.; (e) Siapa dan bagaimana program dan kegiatan untuk memecahkan masalah-masalah yang menentukan dapat tidaknya peraturan dijalankan, termasuk kesiapan prasyarat berjalannya peraturan, baik berupa bahan-bahan maupun kegiatan atau pelayanan unit kerja atau lembaga tertentu. Berdasarkan faktor-faktor penentu itu, dapat ditunjukkan bahwa (a) dari sisi faktor eksternal untuk mencapai kinerjanya, Ditjen BPK memiliki ketergantungan atas capaian kinerja unit kerja lain di dalam lingkup Departemen Kehutanan selain Ditjen BPK dan capaian kinerja unit kerja atau lembaga lain di luar Departemen Kehutanan. Ketergantungan ini merupakan titik kritis pelaksanaan dan pencapaian kinerja kebijakan usaha kehutanan.

184 166 Selain itu (b) proses pembuatan peraturan, termasuk proses pembuatan teksnya masih lemah dalam menentukan hubungan antara tujuan peraturan, masalah dan solusi, meskipun semua peraturan yang ada telah sejalan dengan koridor hukum yang ada. Ini dimungkinkan antara lain karena belum terbukanya proses pembuatan peraturan. Keterbukaan tersebut penting dilakukan mengingat isi peraturan seringkali diubah hanya karena kurangnya pemahaman mengenai kondisi di lapangan maupun persoalan administrasi, akibat pembahasan yang kurang komprehensif. Lalu (c) monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan program dan kegiatan setiap bidang (Sub Direktorat Jenderal) belum diikuti oleh ukuran kinerja, monitoring maupun pengendalian secara tepat, efisien dan efektif, termasuk bagi pelaksana kebijakan (misal Dinas Kehutanan, UPT) maupun pelaku usaha kehutanan (misal swasta, koperasi); dan (d) interaksi sosial - pelaksanaan kebijakan yang tertuang di dalam peraturan juga sangat tergantung pada informasi dan interpretasi peraturan tersebut oleh pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan serta interaksinya. Khusus terkait interaksi sosial disebut terakhir di atas, hasil evaluasi eksternal sampai pada peniliaian bahwa teks kebijakan usaha kehutanan masih lepas dari interaksi sosialnya. Hal ini diperkuat oleh hasil evaluasi internalnya sendiri yang menunjukkan (a) lebih berfokus pada lingkup tertentu seputar aspek administratif yang cenderung membatasi substansi program dan kegiatan; sehingga kinerja program cenderung tidak ada kaitan dengan outcome yang diharapkan pihak lain; (b) substansi program lebih didasarkan pada masalah yang dirumuskan pembuat kebijakan (Ditjen BPK) yang umumnya terkait masalah-masalah administrasi dan konsistensi hukum dan bukan masalah-masalah yang dihadapi pelaksana kebijakan (misal Dinas, UPT) maupun pelaku usaha kehutanan (misal swasta, koperasi); dan (c) kuatnya orientasi pada kepentingan administratif telah mempersempit hubungan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan, terutama dalam penetapan instrumen agar suatu peraturan dapat secara efektif dijalankan.

185 Perubahan orientasi tidak nyata Dengan menggunakan pendekatan struktur-perilaku-kinerja, Ismanto (2010) antara lain menelaah perubahan insitusi pengelolaan hutan alam, terutama usaha kehutanan. Struktur yang diamati adalah adalah sejumlah aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam dalam kurun 10 tahun, Perubahan UU 5/67 tentang Pokok-pokok Kehutanan menjadi UU 41/99 tentang Kehutanan menjadi titik berangkat penelitiannya. Dalam tafsirnya, perubahan di tingkat UU ini merupakan wujud perubahan institusi, termasuk re-orientasi pengelolaan hutan alam produksi. Namun perubahan ini dianggap tidak berhasil memperbaiki situasi, seperti kontribusi sektor kehutanan atas PDRB yang terus menurun sejak 1993 dan laju deforestasi yang positif terus meningkat. Ismanto (2010) memberikan gambaran hasil penelitiannya, antara lain bahwa visi perubahan di tingkat UU, khususnya dalam hal orientasi dari hasil kayu ke multi hasil belum terlaksana dan bahkan cenderung tidak nyata. Ia menyayangkan karena hal itu terjadi justru ditengah-tengah gencarnya pemberian berbagai izin pemanfaatan hutan alam. Menurutnya, perubahan tidak nyata karena tidak ada aturan yang mengarahkan pada tindakan optimasi. Dalam keyakinan Ismanto (2010) UU merupakan entitas membangun organisasi dan domain kebijakan sebagai organisasi makro pada domain publik. Sementara di tingkat pengelolaan provinsi dan kabupaten disebut sebagai organisasi makro dan meso pada domain publik. Lalu, pengelolaan di tingkat unit merupakan organisasi mikro pada domain quasi publik. Dalam hirarki demikian, pemanfaat (authorized user) merupakan organisasi mikro pada domain privat. Dalam pengamatan Ismanto (2010) beragam tingkatan peraturan ini campur baur, sehingga struktur, hirarkhi dan kebijakan cenderung mengambangkan prakondisi penting dari usaha kehutanan, yakni kelengkapan regime kepemilikan dan status tegakan hutan alam sebagai asset. Dalam hal ini ia lalu merujuk pada logika pengurusan hutan menurut UU: mulai dengan penetapan status kepemilikan, fungsi pokok, unit pengelolaan-

186 168 pemanfaatan serta perizinan. Dalam pengamatannya, pemerintah lepas dari dan tidak menggunakan logika ini. Ditunjukkan, bahwa peraturan yang lahir lebih awal adalah seputar perijinan pemanfaatan. Ini menjadi rujukan bagi peraturan lain yang terbit kemudian. Hal ini menurutnya, mengabaikan kebutuhan pengaturan syarat perlu dan telah menimbulkan bias yang terus melebar, termasuk mengabaikan hutan hak, dan menyebabkan orientasi lebih pada urusan mikro. Selain logika diatas, disebutkan pula bahwa UU pun secara umum menyiapkan institusi yang efektif, dimana ketidak jelasan status kepemilikan dan asset, misalnya, dapat diperjelas dengan aturan pelaksanaan. Namun dalam telaahnya, aturan pelaksanaan ini secara keseluruhan membuat institusi menjadi tidak efektif. Dicontohkan pula bahwa ketidak jelasan hak dan asset menyebabkan batas antara pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna tidak dapat dipisahkan, sehingga de facto di lapangan telah terjadi kekosongan institusi pengelolaan hutan. Masih dari sisi pemerintah, Ismanto (2010) juga melihat bahwa pemerintah tidak cukup menguasai informasi, sehingga terjadi situasi ketidak seimbangan penguasaan informasi (asimetric information) dengan para pelaku usaha. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada pemegang IUPHHK yang sebetulnya berstatus hanya sebagai pengguna dengan sejumlah kewajiban pengelolaan hutan. Akhirnya disebutkan, bahwa pemerintah dengan demikian bertindak tidak saja sebagai regulator dan wasit, tetapi sekaligus juga sebagai pemain. Dengan status seperti itu, aturan-aturan lahir banyak menimbulkan konflik dan biaya transaksi yang tinggi, illegal dan merugikan. Dalam situasi yang kompleks seperti itu, pemerintah ternyata tidak cukup informasi untuk menjalankan kewenangannya, sehingga kinerja pemerintah dalam penegakan aturan lemah. F. Ringkasan Berbagai argumen pembuka pada teks kedua UU Kehutanan dan masingmasing peraturan turunannya semakin memperjelas, bahwa kerangka pikir yang menjadi landasan dibalik kebijakan usaha kehutanan adalah

187 169 memosisikan hutan alam sebagai isu sentral. Artinya, hutan alam dipandang sebagai suatu ekosistem multimanfaat, sehingga pengusahaannya secara lestari harus dilaksanakan dengan dikerangka agar tetap menjaga keseimbangan sistem alami hutan alam itu. Dengan begitu, ruang kebijakan (policy space) bagi usaha kehutanan lestari pun berada sebatas pada lingkup internal hutan alam itu (bio-centris). Latar aliran pemikiran seperti telah ini mendorong pemanfaatan dan usaha kehutanan lestari memerlukan banyak jenis peraturan kerja yang sangat teknikal karena alasan perbedaan kondisi dari satu ekosistem hutan ke ekosistem lainnya; selain juga karena relatif banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha. Namun dalam pelaksanaan, aturannya itu sendiri diposisikan seragam one size fit all. Dengan kerangka berpikir seperti di atas dapat dipahami mengapa pemerintah begitu sering membuat (termasuk merubah, menyempurnakan) banyak aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan lebih di tataran administratif dan teknikal sebagaimana berkembang dalam diskursus di atas. Hal ini tampak misalnya pada bagaimana kelestarian dimaknai dan diposisikan. Lalu, dapat dipahami pula mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut kepada dimensi meso dalam pendekatan Alvesson-Karreman (2000). Keseluruhan argumen dalam kerangka pikir ini dapat juga diposisikan sebagai penjelas mengapa spirit eksploitatif atas hutan alam dari waktu ke watu dalam kurun lima dekade dengan empat periode penguasaan ini konsisten dan menguat. Dari sisi proses tidak teridentifikasi dengan jelas wujud interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main usaha kehutanan. Siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi tidak terindikasi secara tegas. Dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dalam proses

188 170 penentuan itu sulit dihindari. Relatif sulit pula untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini. Sampai disini, relatif sulit untuk dapat menjawab secara gamblang tiga pertanyaan yang diusung IDS (2006). Fenomena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi di atas memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak. Pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta dan idelologi atau bahkan teori antar para pihak pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh ilmuwan (kehutanan) diberi peran dalam proses. Maka, macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini baru sebatas kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, dan yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. Reflek para pihak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini atas hutan alam, mencerminkan kerangka pikir yang kurang lebih sama. Hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan, termasuk yang senada dengan fenomena di atas. Lebih dari itu diskusrus yang berkembang memosisikan juga hutan alam produksi layak untuk terus diusahakan. Reflek para pemangku kepentingan tersebut di atas menguat, bersamaan dengan kesadaran mereka juga bahwa hutan alam produksi saat ini telah rusak dengan beragam ilustrasi kualitatif. Bukan itu saja, hampir keseluruhan para pihak juga menyadari bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi sejauh ini disadari tidak berhasil, hutannya tidak lestari. Para pihak juga mengakui bahwa tidak ada perubahan kebijakan dalam dua kurun (sebelum dan sesudah 1998) kearah yang lebih baik. Mereka berpandangan, kebijakan kehutanan dalam periode itu dinilai sama saja, tidak ada perubahan atau perbaikan berarti.

189 171 Para pemangku kepentingan pun memperlihatkan kerangka pikir yang unik. Di satu sisi hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan dan karenanya memandang layak untuk terus diusahakan; disisi lain mereka mengakui juga tiga hal: hutan alam produksi Luar Jawa kondisinya sudah rusak parah, kinerja usaha kehutanan lestari tidak baik, hutan alamnya sendiri diakui tidak lagi lestari. Ini menjadi pengetahuan bagaimana diskursus lepas dari makna. Pengetahuan ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan para pihak tidak hadir dalam tataran praktis, termasuk saat mengkonstruksikan kebijakan. Khusus dalam menilai kebijakan usaha kehutanan, para pemangku kepentingan melihat bahwa yang terpenting dari kebijakan adalah adanya proses diagnosa atas realitas objektif lapangan sebelum kebijakan dikonstruksi atau dieksekusi. Maka, kesenjangan antara teks aturan dimana kebijakan ditetapkan dan interaksi sosial bagaimana kebijakan itu di respon dan diimplementasikan, dapat dipersempit atau dihilangkan. Selain bahwa masih adanya kesenjangan antara teks aturan dengan interaksi sosialnya, kualitas kebijakan juga berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus, dan sejauh ini tidak mampu mendorong perubahan perilaku, termasuk perilaku para pihak menuju ke kelestarian. Corak keseluruhan diskursus, baik yang dibangkitkan dari teks perundangan maupun yang berkontestasi dalam wawancara dalam polling, memperlihatkan beberapa situasi. Kentalnya relasi kuasa yang dilakukan komponen pemerintah untuk memproduksi pengetahuan yang mendominasi pemakanaan atas keseluruhan aspek usaha kehutanan, khususnya melalui pendekatan regulasi. Saat yang sama, komponen pemerintah memproduksi dan menetapkan regim kebenaran, yang dari ciri-cirinya kental berasosiasi dengan aliran the forest first. Aliran inilah yang oleh komponen pemerintah melalui proses dominasi dan hegemoni (dalam pendekatan Gramsci) digiring agar khalayak mengikutinya. Diskursus dengan corak ini sekaligus menjawab tiga pertanyaan kunci IDS (2006) terkait bagaimana diskursus telah berkembang dan diproduksi, siapa sesunggunya aktor yang paling berpengaruh dalam konstruksi atau memproduksi kebijakan, dan bagaimana

190 172 lintasan politik-ekonomi saat kebijakan diproduksi. Dengan demikian, diskursus usaha kehutanan di kalangan para pihak dan apapun corak aliran pemikiran disebaliknya adalah produk dari relasi kuasa dan sekaligus hegemoni kekuasaan yang terjadi selama ini.

191 BAB V. IMPLIKASI PENTING A. Pendahuluan Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan, dikompilasi dan disintesis. Bab ini coba menarik beberapa implikasi penting dan relevan dilihat dari sisi kebijakan itu sendiri, aspek praktis-operasional, corak dan kualitas diskursus dan posisi metodologis dibalik kegiatan penelitian kualitatif ini. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni Sintesis terhadap hasil kompilasi kerangka pikir, baik atas teks perundangan maupun hasil wawancara dan polling sebagaimana telah dijabarkan secara rinci dan panjang lebar pada Bab IV, sampai pada pembuktian awal dan sekaligus menjawab salah satu pertanyaan penelitian ini, bahwa kebijakan usaha kehutanan yang ada sejauh ini dilahirkan dengan kerangka pemikiran the forest first sebagaimana dimaksud Sfeir-Younis (1991) 1 dan kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil dalam pendekatan Gluck (1987). Sekedar untuk pendalaman, sintesis berikut coba menguatkan pembuktian awal ini. Dari peta diskursus dan kontestasi para pihak (Bab IV), dapat dibangkitkan tiga kemungkinan kualifikasi kebijakan: (1) kebijakan (P) lahir dilandasi aliran pemikiran baik the forest first (FF) maupun the forest second (FS) meminjamn pendekatan Sfeir-Younis (1991); asumsinya kualitas diskursus para pihak pemangku kepentingan memang menguatkan kedua aliran ini, (2) kebijakan lahir lebih kental dengan aliran the forest first, sekalipun asumsinya, kedua macam aliran ini memiliki kekuatan yang relatif sama dalam diskursus para pihak pemangku kepentingan, namun aliran the forest second akhirnya sebagai pihak yang kalah dalam kontestasi dan 1 Senada pula dengan pendekatan Kaivo-Oja (tt) dan McCreely (tt) yang keduanya komplain terhadap diksursus kelestarian yang sangat bio-centris steril dari human being lihat Bab I

192 174 diskursus, (3) sama seperti poin kedua, namum penyebabnya lebih karena dalam diskursus tidak muncul secara kuat aliran the forest second. Ketiga kemungkinan ini dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 21. Gambar 21. Tiga kemungkinan kualifikasi kebijakan Hasil kompilasi peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam penelitian ini juga memperlihatkan pola, dimana pemerintah (G) dan praktisi bisnis (B) begitu kental menggunakan aliran FF. Dalam hal ini pemerintah telah memosisikan hukum atau aturan itu sebagai alat pemaksa (driving force instrument); sementara praktisi bisnis melihat hal itu dan memosisikan pemerintah tak lebih sebagai grand regulator. Hanya akademisi (A) dan masyarakat sipil/lsm (L) yang mengusung isu-isu di luar hutan, yakni terkait sosial-ekonomi-politik dan hukum. Sementara dalam sintesis sebelumnya pun telah disinggung, bahwa pemerintah begitu dominan dan lalu disusul praktisi bisnis; sementara para akademisi dan masyarakat sipil/lsm cenderung kurang diperhitungkan, terutama pada awal-awal usaha kehutanan mengalami booming kayu ( an). Pola ini secara skematis, tampak pada Gambar 22.

193 175 G Hukum alat pemaksa (driving force instrument) Forest First (FF) B Grand regulator A,L Sosial, Ekonomi, Politik, Hukum Forest Second (FS) Gambar 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus Bila ketiga peluang kualifikasi kebijakan yang ada (Gambar 21) dan pola aliran pemikiran yang mengemuka dalam diskursus (Gambar 22) kita coba tumpang-tindihkan (superimpose), maka segmen kualitas kebijakan yang ada jatuh pada opsi kedua, yakni teks kebijakan dilandasi secara kuat oleh aliran pemikiran the forest first (FF), karena aliran kedua (FS) sekalipun muncul dalam diskursus (terutama pasca 1998) masih terlalu lemah untuk memenangi kontestasi. Kemungkinannya karena ia muncul sebatas symbol dan diskursusnya sendiri lepas dari makna sebagaimana saat peta diskursus itu coba ditapis dengan pendekatan Bolman and Deal (1985) dan Alvesson dan Karreman (2000). Apa yang salah dengan aliran pemikiran FF? Kembali ke Sfeir-Younis (1991), maka jawabannya adalah ketidaklengkapan (incompleteness) faktor yang ditimbang dan masuk dalam (teks) kebijakan usaha kehutanan, terutama karena sifat aliran ini yang disebut sebagai monolitik bio-centris yang menganggap hal-hal di luar hutan sebagai eksogen. Dalam analisis Sfeir- Younis (1991) konsep monolitik bio-centris ini menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan menggenapi pengetahuan ini: pengadopsian aliran pemirikiran FF menjadi penyebab atau setidaknya secara fenomenologis memperlihatkan keterkaitan yang erat dengan kinerja usaha kehutanan yang memprihatinkan dan diklaim keseluruhan para pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai rusak dan tidak lestari.

194 176 Akumulasi pengetahuan di atas memberikan implikasi bahwa meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran menjadi sebuah kebutuhan bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Dalam bahasa sederhana dapat dibangun argumen: bila kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dilandasi aliran FF dan ini dihadapkan dengan fakta empiris kegagalan kinerja usaha kehutanan dalam mengusung mandat konstitusional sebagaimana tercantun dalam Pasal 33 UUD 45, maka aliran pemikiran apapun yang menjadi landasan proses konstruksi kebijakan itu perlu diubah. Dari akumulasi pengetahuan dan bangunan situasi masalah yang ada sejauh ini, maka arah perubahan ini setidaknya perlu mencakup dua hal pokok, yakni terkait hal-hak praktis operasional dan teoretis. Hal pertama lebih banyak berkaitan dengan perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses. Hal kedua lebih berkaitan dengan perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan merubah aliran pemikiran. Namun, berbagai perbaikan ini hampir mustahil dapat dilakukan efektif, terutama bila abai atas sejumlah isyarat, bahwa corak diskursus yang ada dan sekaligus corak aliran pemikiran disebaliknya justru merupakan produk dari dominasi dan hegemoni kekuasaan dalam pengertian Gramsci, selama ini. Dengan mengkalkulasi isyarat ini, maka mengurai dan melepas hegemoni manjadi syarat pemungkin untuk melakukan pelurusan kerangka pikir dan lainnya. C. Tataran Praktis-Operasional: benahi substansi dan proses Hal-hal praktis-operasional dari sisi substansi dan proses dapat dibangkitkan antara lain dari narasi kebijakan yang dirinci per hirarki perundangan sebagaimana ringkasan dan sintesisnya tercantum dalam Tabel 17 dan Tabel 18 pada Bab IV. Merujuk pada hirarki itu dapat diamati, masalah substansinya sesungguhnya ada dimana? Betulkah pada tingkatan UU tidak ada masalah, melainkan di tingkat PP?. Atau masalahnya justru sudah ada dimulai di tingkat UU. Menjawab pertanyaan ini adalah menarik ulang argumen yang menyertai ringkasan narasi kebijakan (Tabel 19 dan Tabel 20). Disebutkan, bahwa kecenderungannya untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif

195 177 prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen, biofisik hutan. Artinya, semakin ke hilir fokus dan orientasi pengaturan semakin menempatkan bio-fisik hutan sebagai faktor utama. Ini jelas ciri dari aliran pemikiran FF. Kecenderungan ini menegaskan, bahwa di tingkat UU fokus dan orientasi pengaturan masih cukup lebar, setidaknya relatif masih menjangkau hal-hal diluar biofosik hutan, misalnya bicara kesejahteraan, keadilan dan pemerataan saat memosisikan hutan alam produksi dan memaknai kelestarian hutan. Namun, baik di hulu maupun di hilir keduanya sama-sama masih mengundang kemungkinan situasi masalah, terutama di tataran rumusan dan implementasi. Di hulu, di tingkat UU, fokus dan orientasi relatif terbuka, sehingga sangat mungkin melahirkan multi tafsir dengan rentang yang cukup lebar. Penyimpangan tafsir sangat mungkin terjadi, tergantung kepada seberapa luas dan serius para pemangku kepentingan berpartisipasi dalam mengkonstruksi aturan atau kebijakan dimaksud. Penyimpangan tafsir juga sangat mungkin disebabkan karena kualitas diskursus dari para pemangku kepentingan. Pengalaman praktis dan latar pengetahuan para pemangku kepentingan sangat berperan dalam menentukan kualitas diskursus. Dalam bahasa IDS (2006) hal ini semua pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas jaringan aktor, ruang kebijakan dan sekaligus kepedulian politik. Ketersediaan formula dan mekanisme proses perumusan kebijakan yang dapat memastikan perumusan kebijakan melibatkan para pemangku kepentingan sehingga terjadi proses interaksi, negosiasi, debat dan kontestasi ide antar para pemangku, akan sangat menentukan seberapa jauh suatu tafsir menjadi kepedulian dan bahkan aksi bersama (collective concern and actions). Ditingkat hilir, PP dan seterusnya, dimana substansi aturan cenderung semakin terlalu rinci, terlalu teknis, dan administratif prosedural sangat memungkinkan juga melahirkan sejumlah situasi masalah. Setidaknya peluang mereduksi maksud dan tujuan dibuatnya aturan. Penyimpangan tafsir ditingkat ini pun seringkali berakhir tidak saja dengan peningkatan biaya transaksi tetapi juga dengan beragam moral hazard yang akhirnya melahirkan ekonomi biaya tinggi. Penyimpangan tafsir di tingkat ini juga sering menimbulkan

196 178 inefisiensi dan ketidakefektifan administrasi. Analisis terhadap dokumen renstra Ditjen BPK Kemenhut dan juga studi yang dilakukan DKN (2008) menunjukkan bahwa ada lebih dari seratus peraturan-perundangan diduga telah berakibat pada ekonomi biaya tinggi, hambatan atas pemahaman dalam implementasi perundangan itu, dan minimnya efisiensi dan efektivitas administrasi usaha kehutanan. Sehingga, yang terjadi kemudian, banyak proses yang harus dilakukan yang secara fungsional tidak lagi relevan dan bermanfaat. Berikut, sekedar contoh ril yang terjadi di lapangan, dicuplik dan diolah ulang dari studi yang dilaksanakan APHI Komda Kalimantan Tengah 2, terkait isu pengawasan dan pembinaan yang dialami para pemegang unit usaha (20 HPH data tahun 2009 dan 2010) sebagaimana diilustrasikan intisarinya pada Tabel 29. Tabel 29. Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: ) Aktor Pengawas Rentang Frekuensi pengawasan/th Rataan pengawasan per tahun Kemenhut+UPT 0 17 kali 2,85 kali Pemerintah Provinsi 0 18 kali 6,7 kali Kabupaten/Kota 0 21 kali 6,4 kali Non-kehutanan 0 4 kali 1,0 kali Rentang dan Rataan jumlah pengawas dan lama pengawasan per HPH/th 58 ; (orang/hph/th) 98; (hari/hph/th) Biaya pengawasan per HPH/th dengan asumsi IDR 700 ribu/hok, maka: Skenario tinggi 172 orang x 270 hari x IDR IDR 32,51 M /th Skenario rendah 6 orang x 15 hari x IDR IDR 63 juta /th Skenario rataan 58 orang x 98 hari x IDR IDR 3,98 M/Th Data dan informasi pada Tabel 29 menunjukkan, bahwa dari 20 HPH, data 2009 dan 2010, diperoleh gambaran biaya yang dikeluarkan oleh pemegang unit usaha (HPH) pertahun sebesar IDR 32,5 M (tertinggi) dan IDR 60 juta (terendah) dan rata-rata HPH mengeluarkan tidak kurang dari IDR 3,98 M setiap tahunnya untuk keiatan pengawasan ini. Yang menarik, selain besaran angkanya, adalah bergesernya fungsi dan tujuan aturan dari pengawasan itu menjadi bagian dari dan memperbesar biaya transaksi yang mendongkrak 2 APHI (2010) Pemeriksaan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah. APHI Komda Kalimantan Tengah.

197 179 ekonomi biaya tinggi. Ini dimungkinkan, antara lain karena substansi aturan yang semakin detail, teknikal dan administratif itu yang di tataran implementasi bisa bergeser seperti itu. Angka ini tentu, belum memperhitungkan "kontribusi" HPH yang resmi yang sering diklaim relatif kecil terhadap PDB. Begitulah salah satu fenomena empiris dari kinerja kebijakan usaha kehutanan itu, bahkan sampai saat ini. Sampai disini diperoleh pengetahuan, bahwa dari tataran praktis operasional pembenahan kebijakan usaha kehutanan perlu didekati dari dua sisi baik dari substansi maupun proses. Dari sisi substansi perubahan perlu diarahkan agar substansi kebijakan menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Melihat bangunan dan situasi masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Dari sisi proses, maka pembaruan perlu ditekankan pada keterbukaan proses pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui mekanisme semacam public hearing, termasuk melakukan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party) atas kriteria dan indikator penilaian kinerja, program dan kegiatan. Dengan pemahaman, bahwa pelaksanaan kebijakan juga sangat ditentukan oleh informasi dan interpretasi para pemangku kepentingan atas substansi kebijakan itu (Birkland, 2001, IDS, 2006), maka berbagai arah perubahan ini selayaknya perlu dukungan perbaikan pula dari sisi kualitas diskursus. Persoalannya, kembali bahwa kualitas diskursus ini terindikasi kuat merupakan produk dari proses hegemoni kekuasaan. Maka, pembenahannya

198 180 praktis memerlukan ikhtiar untuk mengurai dan melepas hegemoni kekuasaan ini. D. Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan dan politik ekonomi Dari peta diskursus dan gambaran kontestasi para pihak sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV, dapat dipahami secara kualitatif seberapa dalam kualitas diskursus yang dapat diidentifikasi. Dari kecenderungan aliran pemikiran yang melandasi teks kebijakan dan kontestasi persepsi dari para pemangku kepentingan, yang keduanya cenderung mengkristal kepada aliran FF, maka kualitas diskursus, terutama yang memenangi kontestasi waktu itu, dapat dipahami tidak terlalu jauh dari hutan sebagai faktor utama. Maka ruang kebijakan dan jejaring aktor serta kepedulian politik para pemangku kepentingan hanya berputar diseputar hutan dalam pengertian yang sempit bio-centris, monolitik. Melihat siapa aktor yang paling menentukan dibalik proses kebijakan yang ada, maka pemerintah teridentifikasi kuat sebagai yang dominan dan diklaim para pihak sebagai grand regulator. Dari pengetahuan ini, semakin dapat dibayangkan betapa kualitas diskursus menjadi sangat terhegemoni oleh pandangan-pandangan sepihak dan cenderung mendikte dari pemerintah 3. Dari sisi inilah, dengan kualitas diskursus yang ada, sumberdaya hutan dengan bahasa dan orientasi bio-centris yang kental, masuk agenda politik ekonomi (orang-orang) pemerintah. Kecenderungan ini dapat diamati, misalnya dari deskripsi historis terkait usaha kehutanan Indonesia, sebagaimana disarikan dalam Lampiran 8. Intisari sejarah kehutanan tersebut menunjukkan setidaknya tiga hal, diskursus yang berkembang, aktor pemangku kepentingan yang sesungguhnya terlibat dan sangat menentukan kebijakan kehutanan, serta lintasan (pathways) politik ekonomi dalam usaha kehutanan. Ketiga hal ini, tidak lain hal yang ditanyakan IDS (2006). Dalam diskursus tampak bahwa hutan sejak awal (1819 saat penetapan pemangkuan hutan kayu) diposisikan sebagai komoditi ekonomi dan sekaligus alat politik. Dalam kurun yang sama, semangatnya 3 Untuk ujisilang hal ini, lihat dan dalami setidaknya masing-masing satu PP, SK Menteri, FA, dan SK HPH, selami mulai dari pemilihan teks, penggunaan kalimat, rasa bahasa dan penetapan unsur-unsur hak dan kewajiban dalam usaha kehutanan. Akan tampak, bahwa pemangku usaha, masyarakat sipil dan akademisi nyaris tidak memiliki ruang dan peran menentukan dalam kebijakan, terutama dalam kurun sebelum 1998.

199 181 tampak jelas dan konsisten, yakni eksploitatif, bahkan sampai saat ini. Secara ekonomi, kehutanan menjadi sumber keuangan negara setidaknya sejak 1938 saat Djatibedrifj dilebur menjadi dienstvak melalui produksi kayu dengan pembentukan afdeling baru untuk tujuan ekplorasi hutan. Secara politik, tampak jelas, bahwa diskursusnya adalah memosisikan pendapatan negara dari hutan bagi kepentingan peperangan dan perjuangan ( ), menuntaskan revolusi ( ) dan mengisi kemerdekaan (1960an). Dengan demikian, lintasan kebijakan usaha kehutanan tidak terlepas dari lintasan historis perjuangan politik dan kemerdekaan (Lampiran 8). Selama kurun itu, tampak jelas bahwa kebijakan kehutanan lebih sebagai aturan atau hukum yang lebih difungsikan oleh kekuasaan sebagai alat pemaksa, meminjam istilah Gramsci, dalam nuansa law enforcement. Dari sisi aktor, yang paling berpengaruh tampak jelas dari lintasan sejarah ini adalah pemerintah, baik pemerintahan penjajah, orde perjuangan, orde lama, bahkan orde baru, termasuk orde reformasi. Dalam kekuatan pengaruh itu, penataan hutan menjadi semacam regim pemanfaatan dalam bangunan logika pemerintah, bukan merupakan kesepakatan sebagai sebuah bangsa; dan tidak sedikit yang tidak sepakat dengan regim yang ada, tapi terindikasi kebanyakan akhrinya kompromi dan permisif sebagai sesuatu yang sudah terlanjur. Terlanjur jadi wujud HPH, jadi Taman Nasional dan lain-lain. Inilah situasi yang menguatkan, bahwa kekuasaan telah memproduksi, menempatkan dan menggiring satu regim kebenaran agar diikuti masyarakat kebanyakan. Ini sejalan dengan pemikiran Foucault. Dalam perjalanannya, karena lintasan historisnya tidak lepas dari sejarah bangsa ini, maka kehutanan dan usaha kehutanan tidak luput dari kepentingan politik-ekonomi para penguasa dan pemerintah dari waktu ke waktu. Saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan Jepang (8 Maret 1942), pengelolaan dan organisasi kehutanan berganti nama menjadi ringyoo tyuoo zimusyo, dengan kebijakan kehutanan yang pokok waktu itu ekploitasi hutan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan. Lalu, memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua (19 Desember 1949) telah memosisikan hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan, sehingga

200 182 pemerintah saat itu mengeluarkan PP 59/1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar hampir 700 ribu m3 (kayu pertukangan) dan 5,7 juta sm (kayu bakar). Dalam lintasan ini, terminologi kelestarian hutan dan usaha kehutanan hampir sama sekali tidak diusung dalam diskursus, kecuali pada kurun 1960an, dimana untuk mengantisipasi kerusakan hutan saat itu diagendakan pembinaan hutan berupa reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Sementara kelestarian saat itu baru dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga kegiatannya lebih banyak berupa perlindungan dan pengawetan alam dan ekspedisi. Intisari sekuen lintasan ini secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Sekalipun tidak secara gamblang dapat dilihat, sekuen dari lintasan historis ini menggambarkan pula corak dan sekaligus kualitas diskursus. Sulit untuk membantah, bahwa warna diskursus yang ada dalam kurun itu sangat kental FF, bahkan orientasinya pun sangat timber primacy. Seperti apapun kualitas diskursus ini sangat dipengaruhi setidaknya oleh latar pengetahuan dan pengalaman para pihak yang berpartisipasi dalam diskursus, yang dari sekuen historis yang ada tampak lebih didominasi oleh komponen pemangku pemerintah. Artinya, latar pengetahuan dan pengalaman pemerintah menjadi pertanyaan penting, seperti apa persisnya dan seberapa jauh; lalu adakah halhal yang bersifat kontestasi inovasi yang muncul dalam diskursus yang ada? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelusuri paling tidak diskursus yang terjadi di dunia riset, pendidikan dan keorganisasian kehutanan saat ini, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga Lembaga Pembidangan/Eselonisasi Pendidikan Fahutan IPB*) Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi SDH dan Ekowisata, Silvikultur Riset Balitbang Kemenhut**) Administrasi, Konservasi dan Rehabilitasi, Peningkatan Produktivitas, Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Perubahan Iklim & Kebijakan Organisasi BUK Administrasi, Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kemenhut**) Kawasan, Usaha Hutan Alam, Usaha Hutan Tanaman, Pengolahan dan Pemasaran Hasil hutan Sumber: *) Panduan Program Sarjana 2010; IPB **) Kepmenhut P 40/2010

201 183 Tabel 30 mengindikasikan bahwa unsur pembidangan sebagai bagian diskursus, tampak tidak memuat aspek sosial, ekonomi dan hukum secara memadai. Telaah lebih lanjut pada tingkatan di bawah pembidangan tersebut menghasilkan gambaran serupa dan kalau pun ada maka lawasnya sangat kecil, yakni di eselon paling bawah (riset dan keorganisasian) dan di tingkat mata ajaran (pendidikan). Indikasi ini memberikan gambaran lawas pengetahuan dan sekaligus alasan, kecilnya peluang membicarakan atau mengusung soal sosial, ekonomi dan hukum kedalam ruang diskursus dan sekaligus ke dalam ruang kebijakan (policy space). Dengan demikian, tingkat kebenaran argumen yang terbangun dalam diskursus pun akan cenderung mengerucut kebanyakan pada kebenaran pada tataran teknis dan hukum, dan belum merupakan kebenaran substansial yang, dalam pendekatan Dunn (2000), juga memerlukan dukungan kebenaran ekonomis dan pengakuan atau penerimaan sosial (social acceptability). Apakah situasi ini mewakili penilaian bahwa kini dan saat itu pemerintah didominasi orang-orang atau rimbawan yang tekno-centris, selain bio-centris? Jawabannya iya, setidaknya menurut Kartodihardjo (2006). Berangkat dari pembahasan pengelompokkan cara berpikir epistemologi dan ontologi ia menarik dua garis silang yang saling berpotongan, sumbu vertikal untuk kelompok epistemologi dan yang horisontal untuk ontologi, sehingga menghasilkan empat kuadran (Gambar 23). Constructivism Reductionism IV: Doa I: Transfer Teknologi III. Kelestarian Ekologi II Pengelolaan Ekosistem Holism Positivism Gambar 23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris (Sumber: Kartidihardjo 2006)

202 184 Dijelaskan, bahwa kerangka pikir rimbawan berada pada kuadran I (diarsir) dengan label transfer teknologi untuk menunjukkan, bahwa: (a) kuadran ini memang kuadran tekno-sentrik, yang mewakili (b) orang yang pemikirannya didasarkan pandangan epistemik positivistik-reduksionis, dimana (c) dalam pengembangan teknologi orang ini masih bertumpu pada paket teknologi hasil pengembangan pakar dengan cara pikir linear, yang umumnya (d) menekankan keharusan berbuat sesuatu, sesuai pedoman, standar, dan sebaliknya tidak mengendalikan perilaku 4 pihak-pihak melalui pendekatan insentif-disinsentif, sehingga (e) ilmu dan teknologi dianggap netral dan sulit menerima fakta bahwa transfer teknologi mengandung unsur politik disebaliknya. Karakteristik pemikiran seperti ini senada dengan aliran pemikiran FF yang disebut Sfeir-Younis (1991) yang memosisikan hutan sebagai faktor utama (bio-centris) seolah steril dari hal lain sehingga diposisikan sebagai eksogenus. Hal ini senada pula dengan bahasan Kaivo-Oja (tt) dan McCleery (tt) pada saat diamatinya bahwa kebanyakan orang mendefinisikan kelestarian hutan yang dalam kalkulasinya hanya seputar biocentris, lepas dari unsur human being dan tidak mengenal apa yang mereka sebut sebagai self-sustaining. Uraian di atas dapat merupakan akumulasi pengetahuan, yang menekankan menuntun dan menentukan dalam hal apa dan kearah mana perbaikan kualitas diskursus perlu dilakukan. Aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, misalnya, dapat merupakan sasaran awal pembaruan itu, dengan keyakinan bahwa kualitas pendidikan, riset dan organisasi teknis yang baik dan berkualitas, pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas pengetahuan para pemangku kepentingan dan publik secara umum. Saat yang sama, kualitas diskursus diharapkan akan relatif lebih baik. Namun, saat disadari bahwa apapun corak dan kualitas diskursus serta aliran pemikiran yang tampak, adalah produk kekuasaan, maka berbagai upaya perbaikan dan pembaruan tersebut hampir mustahil dilakukan sejauh 4 Di tingkat ini, sangat mungkin untuk muncul fenomena abai (ignorance) atas realitas perilaku para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan.

203 185 tidak mengurai dan membongkar hegemoni kekuasaan yang telah berlangsung selama ini. E. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian Sebagaimana telah diantisipasi diawal dan dijelaskan di muka, bahwa riset ini tidak steril dari kelemahan. Dalam pengamatan penulis, di tataran metodologis, penelitian ini setidaknya mengandung tiga hal baru yang bisa jadi titik lemah. Pertama, bagi penulis melaksanakan riset kualitatif ini merupakan hal baru, sekaligus pengalaman pertama kali, termasuk dalam penggunaan pendekatan analisis diskursus, terlebih dalam memilih dan memastikan teori dan pendekatan sosial yang digunakan sebagai landasan. Sejauh ini analisis diskursus yang telah digunakan berada pada wilayah Foucault, karena riset ini coba mendeteksi juga hubungan diskursus dengan relasi kekuasaan melalui proses produksi pengetahuan sebagai suatu regim kebenaran untuk digiring menjadi kebenaran khalayak. Disisi lain, saat yang sama, analisis diskursus ini juga masuk wilayah van Dijk, karena yang dianalisis bukan sekedar teks, tapi juga coba mendeteksi bagaimana teks diproduksi. Disamping itu, analisis diskursus ini juga berada di wilayah pendekatan Fairclough, karena coba menghubungkan teks dengan konteks yang lebih luas, yakni usaha kehutanan. Tipologi ini menegaskan bahwa pengertian diskursus itu sendiri dalam penelitian ini mencakup sebagaimana yang dimaksud Arts and Buizzer (2009) yakni, teks, komunikasi, frame dan praktek sosial. Harus diakui secara jujur, perlu ikhtiar yang ekstra lebih untuk shifting dari kebiasaan berpikir riset kuantitatif ke riset kualitatif ini. Kedua, analisis diskursus dengan fokus kebijakan usaha kehutanan Indonesia, terlebih dengan konteks hutan alam produksi di luar Jawa, juga merupakan hal baru atau setidaknya penulis sejauh ini belum menemukan hasil riset sejenis yang relevan dan dapat dijadi rujukan. Ketiga, yang diteliti berupa aliran kerangka pikir dibalik diskursus yang dibangkitkan dari dokumen peraturan perundangan terpilih terkait kebijakan usaha kehutanan dan perspesi para pihak yang berkepentingan untuk isu yang sama yang dijaring dari wawancara mendalam dan on-line polling.

204 186 Beberapa riset kualitatif dengan pendekatan analisis diskursus sejauh ini dan beberapa dijadikan rujukan riset ini, dilakukan di luar Indonesia dan umumnya untuk non kehutanan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, seks, dan linguistik-kepustakaan. Adapun untuk kehutanan, lebih banyak pada area non-usaha kehutanan, seperti konservasi, perlindungan, kehutanan secara umum dan lawasnya biasanya lintas negara dan atau dalam kerangka membahas isu kehutanan global. Untuk sumberdaya alam lain dan isu lingkungan dijumpai pula riset serupa dengan fokus perikanan untuk mengantisipasi kepunahan jenis-jenis ikan tertentu (Lihat Tabel 6). Pengalaman pertama kali untuk melakukan hal-hal baru, tentu berimplikasi pada ketidak-mungkinan untuk terbebas dari kelemahan. Beberapa kelemahan dalam riset ini yang mungkin dijumpai dalam pengamatan penulis, antara lain berkaitan dengan penetapan lawas: lawas usaha kehutanan nasional bisa jadi terlalu luas, sehingga perlu kasus yang jauh lebih spesifik; atau sebaliknya lawas usaha kehutanan itu sendiri terlalu sempit untuk menjangkau persoalan sesungguhnya dari pengelolaan hutan secara umum. Kemungkinan kelemahan lain adalah ketepatan pilihan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam yang dikalkulasi sebagai aktor penentu-berpengaruh. Terlebih bila ditakar oleh IDS (2006) dimana keluasan jejaring seorang aktor akan turut menentukan keluasan, keragaman dan kedalaman pengetahuan dan pengalamannya yang keseluruhannya dapat berimplikasi pada ruang kebijakan yang dapat dibangunnya dalam diskursus. Penulis tetap melihat ini sebagai titik lemah, sekalipun dalam riset hal ini telah diantisipasi dengan internet polling untuk menjangkau dan memperkaya perspektif dan keragaman nara-sumber serta sekaligus menjaga hasil riset ini tetap valid. Berbagai titik lemah ini bagi penulis akhirnya justru dirasakan jadi kekuatan, setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan baik dari sisi metodologis, metoda yang digunakan, subjek dan objek penelitian dan termasuk sejumlah pengetahuan yang dapat dihimpun dan diakumulasi dari riset ini. Hal ini dilatari keyakinan, bahwa riset apapun, termasuk riset kualitaif dengan

205 187 pendekatan diskursus ini tidak berhenti disini dan perlu terus berlanjut dengan semangat continuously improvement. Sejalan dengan keyakinan itu, penulis memosisikan hasil riset ini sebagai bukan hal final dan lebih sebagai pendahuluan bagi riset-riset lanjutan. Untuk itu penulis juga menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam keyakinan itu pula, penulis berharap hasil riset ini dengan segala kelemahannya tadi tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualtitatif dengan pendekatan diskursus; sementara hasilnya diharapkan dapat menjadi tawaran bagi kerangka dan agenda pembaruan kebijakan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan justifikasi untuk melepas hegemoni kekuasaan. Implikasi lain yang juga penting dari hasil riset ini adalah terkait objektivitas dan netralitas penulis. Bila hasil riset ini dirasakan dan terkesan tidak objektif dan tidak netral, maka itu sesungguhnya sebagai bagian dari konsekwensi logis dari keputusan penulis mengambil jenis riset kualitatif. Riset jenis ini menegaskan bahwa objektivitas itu intersubjektif, sehingga realitas itu tidaklah tunggal. Disamping itu, dalam riset ini peneliti memang dituntut untuk tidak berjarak dan bahkan harus berlebur dengan subjek dan objek yang diteliti 5. F. Ringkasan Peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa teks kebijakan usaha kehutanan lebih dilandasi oleh aliran pemikiran the forest first (FF) yang kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, karena beberapa sebab. Salah satunya, sifat aliran pemikiran ini yang begitu dominan menimbang hutan sebagai faktor utama yang menguatkan bahwa aliran pemikiran ini monolitik bio-centris antara lain menganggap hal-hal di luar sistem alami hutan dianggap sebagai eksogen. Beberapa rujukan menyebutkan, bahwa penggunaan aliran pemikiran ini menyebabkan kehancuran hutan yang 5 Lihat misalnya Casebeer and Marja (1997) diunduh 14 Juni 2009.

206 188 bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian ini. Hal ini memberikan beberapa implikasi penting, setidaknya terhadap upaya dan orientasi pembaruan kebijakan, termasuk hal-hal praktis operasional terkait substansi dan proses perumusan kebijakan, dan kualitas diskursus. Hasil yang sama juga berimplikasi atas metodologi riset ini. Dari sisi kebijakan, bagaimanapun meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran perlu jadi agenda pembaruan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan dalam pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui public hearing, dan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party). Arah perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Untuk itu maka perbaikan perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan organisasi kehutanan. Sasaran akhirnya perlu ditekankan kepada membuka lebar dan memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan dan saat yang sama memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi.

207 189 Berbagai implikasi perlunya pembaruan di atas hampir dapat dipastikan tidak akan efektif, manakala berbagai diskursus yang terjadi dan aliran pemikiran disebaliknya tidak lain merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan begitu, agar efektif, maka mengurai dan melepas hegemoni dimaksud menjadi keniscayaan. Beberapa kelemahan riset yang teridentifikasi bagi penulis justru dirasakan jadi kekuatan; setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan. Diyakini, riset ini akan terus berlanjut dengan semangat continuously improvement. Dengan keyakinan itu, riset ini diharapkan tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualitatif dengan pendekatan diskursus disatu sisi; dan disisi lain menjadi tawaran yang baik bagi bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan.

208 190 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank [AK]

209 BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan pokok tersebut. 1. Dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan. Sekalipun, keseluruhannya sama-sama berpijak pada landasan konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD Dalam kurun itu pula, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan telah menjadi perhatian dunia internasional. 2. Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa secara sosial ekonomi dan lingkungan dipandang kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 UUD 45. Usaha kehutanan itu bahkan di klaim tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil. 3. Sekalipun seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan, peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada dan dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang stagnan dalam kurun itu, bahkan sampai saat ini. Tidak tampak ada perubahan kerangka pikir yang berarti dalam kurun yang sama, bahkan terindikasi lebih tidak menentu. 4. Dari unsur-unsur bagaimana hutan alam diposisikan, kelestarian dimaknai, usaha kehutanan ditetapkan, dan kebijakan untuk semua itu dikonstruksi, tampak bahwa aliran pemikiran yang stagnan itu memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik (a) memosisikan sistem alami hutan alam sebagai faktor utama, dan karenanya (b) kelestarian hutan dimaknai lebih sebagai daftar kewajiban dan atau aturan kerja yang harus dijalankan, (c) ikhtiar pencapaian kelestarian

210 192 direduksi sebatas menjalankan silvikultur, (d) hasil hutan kayu menjadi orientasi pokok kebijakan usaha kehutanan, dan (e) substansi kebijakan didominasi perspektif dan bangunan logika pemerintah yang cenderung teknikal, administratif prosedural, jangka pendek, dan lawas menukik pada unit manajemen, (f) proses konstruksi kebijakan dimonopoli pemerintah, tidak tampak ada proses interaksi para pemangku kepentingan lain yang bersifat transaksi, negosiasi, dan kontestasi ide-pemikiran-pengalaman praktis. 5. Ciri dan karakteristik aliran diatas merupakan juga ciri aliran pemikiran the forest first (FF) yang dimaksud Sfeir-Younis (1991), dimana sistem alami hutan diposisikan sebagai faktor utama, sehingga pengelolaan hutan dan usaha kehutanan bersifat monolitik, yakni hal-hal diluar sistem alami hutan dianggap sebagai faktor eksogen; dengan ciri yang juga lebih beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang, maka aliran itu pun identik dengan doktrin yang diprihatinkan Gluck (1987) sebagai doktrin usang; 6. Lepasnya aspek sosial politik dari aliran pemikiran itu, terutama dalam mendefinisikan kelestarian hutan telah dipermasalahkan pula oleh Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt); mereka menyebut aliran demikian sangat terpusat pada aspek biologi (bio-centris) yang steril dari unsur sosial kemanusia an (human being) dan jauh dari konsep kemandirian (self-sustaining) 7. Kalaupun teks peraturan-perundangan memperlihatkan menyebut dan memasukan aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi, maka dengan menggunakan pendekataan Bolman and Deal (1984) dapat diperlihatkan bahwa itu semua hanya sekedar symbol yang penyebabnya dipertegas dalam pendekatan Alvessoon dan Karreman (2000) sebagai lepasnya makna dari diskursus. 8. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa. Para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama. Ini diperlihatkan terutama dari komponen pemerintah dan praktisi bisnis; hanya komponen akademisi dan masyarakat sipil/lsm yang mengusung pula isu-isu sosial-politik kedalam diskursusnya; menimbang dan mengusung isu-isu ini dalam pendekatan Sfeir-Younis (1991)

211 193 disebut sebagai aliran pemikiran the forest second (FS), yang sekaligus merupakan opsi penting dalam menyoal aliran pemikiran the forest first (FF). 9. Bagaimanapun, diskursus yang diusung kalangan komponen akademisi dan masyarakat sipil ini dapat merupakan representasi dari ruang publik dalam kurun dimana berbagai peraturan perundangan itu dikonstruksi. Bila hal ini dilacak dari substansi peraturan perundangan usaha kehutanan yang ada, yang notabene dilandasi aliran pemikiran berciri the forest first, maka dapat dikatakan bahwa komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang kalah dalam kontestasi ide kalau proses kontestasi itu ada! 10. Kekalahan komponen akademisi dan masyarakat sipil dimungkinkan setidaknya oleh dua hal: proses konstruksi kebijakan yang tertutup dan statebased sifatnya dan kualitas diskursus yang lemah. Meminjam pemikiran IDS (2006) rendahnya kualitas diskursus ini mencerminkan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor para pembuat kebijakan, sehingga tidak terkontestasikannya secara memadai keseluruhan kepentingan dan politik kedalam ruang transaksi dan negosiasi dalam proses konstruksi kebijakan. 11. Berbagai temuan pokok di atas menegaskan, bahwa aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan. Situasi masalah aliran pemikiran sangat mungkin disebabkan karena rendahnya kualitas diskursus. Rendahnya kualitas diskursus sangat ditentukan setidaknya dua hal terkait pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat. 12. Tingkat pengetahuan dan pengalaman masyarakat, dapat dilihat dari sempit dan terbatasnya kosa-kata dan perbendaharaan isu yang diusung dalam diskursus. Dari perbendaharaan isu dan kosa kata yang ada dan digunakan dalam dunia pendidikan, riset, dan keorganisasian (Fahutan IPB, Litbang Kemenhut dan Ditjen BUK) terindikasi kuat bahwa kesempatan membincang aspek-aspek sosial ekonomi politik dalam kaitan usaha kehutanan dan hutan secara umum kecil sekali. 13. Fenomena di atas berimplikasi kepada kenyataan bahwa tingkat kebenaran yang mengemuka dalam diskursus lebih didominasi oleh kebenaran teknikal dan hukum, padahal kebenaran yang plausible menurut Dunn (2000) perlu juga dukungan kebenaran dari sisi ekonomi, politik dan penerimaan sosial.

212 194 Fenomena ini telah menyebabkan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan dalam tataran praktis (the absence of knowledge in practice) manakala kebijakan dikonstruksi. 14. Persoalan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatannya dalam tataran praktis merupakan persoalan besar, karena berkaitan erat dengan persoalan kompetensi kepepimpinan (leadership competence) 15. Di atas itu semua (top of the top) dan manakala keseluruhan butir-butir temuan pokok diatas, ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, dimana diskursus adalah proses siklik memproduksi pengetahuan dan regime kebenaran untuk tujuan melanggengkan kekuasaan (Mills, 1997), maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang berkembang merupakan produk kekuasaan dan sekaligus proses dominasi dan hegemoni kekuasaan dalam pemahaman Gramsci. Maka, dengan akumulasi pengetahuan ini, aliran pemikiran yang tejadi yang terindikasi kuat the forest first dan sekaligus kualitas diskursus dan pengetahuan para pemangku kepentingan yang minim sejauh ini, tidak lain adalah produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya pun adalah produk kekuasaan. 16. Temuan sebagaimana dideskripsikan dalam butir 15 itu pada dasarnya menegaskan bahwa berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan sebagaimana telah teridentifikasi dalam butir-butir temuan pokok diatas hampir mustahil dapat dijalankan efektif, tanpa diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Sebagai salah satu implikasi penting dari penegasan ini antara lain adalah bahwa praktisi usaha kehutanan dan rimbawan harus segera keluar dari kotak pemikirannnya yang biasa. B. Kesimpulan 1. Peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first; peta diskursus yang sama juga identik

213 195 dengan empat doktrin yang dianggap usang antara lain beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang. 2. Lepasnya aspek sosial politik ekonomi dari aliran pemikiran itu memosisikan dan menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan Indonesia sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. 3. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF, terutama yang diperlihatkan komponen pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil yang mengusung diskursus FS tergolong pihak yang kalah dalam kontestasi ide. 4. Proses konstruksi kebijakan dan kualitas diskursus yang lemah terindikasi sebagai penyebab kekalahan ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai. 5. Aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya kualitas diskursus sebagai akibat minimnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan betanggung gugat. 6. Keseluruhan butir kesimpulan di atas, bila ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk kekuasaan. Dalam pemahaman Gramsci hal itu juga merupakan proses dominasi dan hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk kekuasaan. 7. Maka, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar

214 196 untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari kotak pemikirannnya yang biasa. C. Saran 1. Perlu agenda pembaruan dan atau perubahan kebijakan yang diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. 2. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai, siapa yang diharapkan harus berubah perilaku, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir. 3. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Artinya, proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan. 4. Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, dengan sasaran akhir ditekankan kepada memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai. 5. Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan karena menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain yang serupa di masa datang perlu dilakukan dengan semangat continuously improvement. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling.

215 Di atas itu semua (top of the top), perlu agenda konkret mengurai sekaligus melepas dulu hegemoni kekuasaan.

216 DAFTAR PUSTAKA Anonimous Deforestation in Indonesia referred in the Guinness Book in: (diakses 2 Mei 2008). Andiko Merambah Belukar Kebijakan, Catatan Perjalanan UUK. Tulisan lepas/blog diakses 15 Feb 2009) Arts, Bass and Marleen Buizer Forests, Discourse, Institutions: A Discursive-Institutional Analysis of Global Forest Governance. Forest Policy and Economics, 11 (2009) Atje, Raymond and Kurnya Roesad Who Should Own Indonesia s Forests? Exploring The Links Between Economic Incentives, Property Rights And Sustainable Forest Management. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Working Paper Series: WPE 076. CSIS Jakarta. Alvesson, M., & Karreman, D. (2000). Varieties of discourse: On the study of organizations through discourse analysis. Human Relations, 53(9), Audenhove, Leo Van Expert Interviews and Interview Techniques for Policy Analysis. SMIT Studies on Media, Information and Telecommunication IBBT Interdisciplinary Institute on Broadband Technology. Vrije Universitet, Brussel. Awang, San Afri Inkonsistensi Undang-undang Kehutanan. Jurnal Manajemen Hutan Edisi Khusus. Bigraf Publishing. Yogyakarta. Bernard, H.R Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks. (In White, 2002). Birkland, Thomas An Introduction to the Policy Process: Theories, concepts and models of Public Policy Making. M.E. Sharpe. New York. Bishop TJ (Ed.) Valuing Forests: A Review of Methods and Applications in Developing Countries. IIED, London. Bolman and Deal Reframing Organizations. In White A Discourse Analysis of Stakeholders Understandings of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Blakcburg, Virginia. USA. Brown, David W Addicted to Rent: Corporate and Spatial Distribution of Forest Resources in Indonesia: Implications for Forest Sustainability and

217 200 Government Policy. DFID/Indonesia-UK Tropical Forest Management Program, Report # PFM/EC/99/06. Jakarta. Canon, Jim Participatory Economic Valuation of Natural of Natural Resources in the Togean Island. USAID-NRM/EPIQ Program. Jakarta. Caves R, American Indudtry: Structure Conduct Performance. 6 th Ed. Foundation of Modern Economics Series. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Coase, Ronald. H The Firm, the Market and The Law. The University of Chicago Press. Chicago and London. Coase, Ronald. H The Problem of Social Costs. The Journal of Law and Economics 3 (October 1960): The University of Chicago Press. Chicago. Costanza, R Visions, Values, Valuation, and the Need for an Ecological Economics. Bio Science Volume 51 # 6, June Denzin, N. K Interpretive Biography. Thousand Oaks Sage Publications. In Liang, [DEPHUT] Departemen Kehutanan Sejarah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Nuansa dan Harapan Reformasi Kehutanan dan Perkebunan: Perjalanan 250 Hari Menuju Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan dan Berkeadilan. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006a. Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun (Penyempurnaan). Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006b. Kajian Kebijakan Prioritas: Operasionalisasi dan Implementasinya dalam Program dan Kegiatan Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai M.S. Kaban. Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Eksekutif Data Strategis Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta.

218 201 [DEPHUT] Departemen Kehutanan Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Departemen Kehuanan. Jakarta. Diamond, J Collapse: How Societes Choose to Fail or Survive. Penguin Books. London. Dunn, William Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi 2 Bahasa Indonesia. Gadjahmada University Press. Eriyanto Analisis Wacana: Pengantar analisis Teks Media. LKIS. Yogyakarta. Ellsworth, Lynn (2002). A Place in the World: Tenure Security and Community Livelihood, a Literature Review. Forest Trends, Washington, DC. Ford Foundation, New York. FWI/GFW The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch Gautam. Madhur. Uma Lela, Hariadi Kartodihardjo. Azis Khan. Erwinsyah. Saeed Rana Indonesia: The Challenges of World Bank Involvemen in Forests. Evaluation Country Case Study Series. World Bank Operations Evaluation Department. The World Bank. Washington, DC. Gluck, Peter Social Values in Forestry. Ambio. Vol. 16. No. 2/3, Forestry (1987). Pp Gray, John A (2002) Forest Concession Policies and Revenue System: Country Experience and Policy Changes for Sustainable Tropical Forestry. World Bank Technical Paper No. 522-Forest Series. The World Bank, Washington DC. Hawitt, Sally Discourse Analysis and Public Policy Research. Discussion Paper Series No Center for Rural Economy. Newcastle University. Hermosilla, Arnoldo Contreras and Chip Fay Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Forest Trend. Hinrich, A and Azis Khan Support to Informal Consultations in Indonesia on Voluntary Partnership Agreement. The EC, Jakarta. [HRW] Human Resource Watch Wild Money : The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia s Forestry Sector. Human Rights Watch. New York, NY USA.

219 202 Holsti, O. R Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. In Liang, Neng and Shu Lin Erroneous Learning from the West? A Narrative Analysis of Chinese MBA Cases Published in 1992, 1999 and Management International Review. Gabier Verlag Ismanto, Agus Djoko Pengaruh Perubahan Institusi terhadap Respon Pemerintah dan Perusahaan, dan Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Insitute of Development Studies (IDS). (2006). Understanding Policy Processes. A Review of IDS Research on the Environment. The University of Sussex. Brighton BN1 9RE, UK. International Institute for Environment and Development (IIED). 1995). The Hidden Harvest: The value of Wild Resources in Agricultural Systems, IIED, London. ITTO SFM Tropics: Status Of Tropical Forest Management. International Timber Trade Organization. Tokyo, Japan. Jones, Pip Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Dari Introducing Social Theory. Alih Bahasa Achmad Fedyani Saifuddin. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kaivo-oja, Jari. Jyrki Luukkanen, and Pentti Malaska. Tanpa Tahun. Advanced Sustainability Analysis (White paper, unpublished). Sustainabilityadvanced-analysis.pdf Kartodihardjo, H Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Produksi melalui Kebijakan Penataan Kelembagaan. Desertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartodihardjo, H Belenggu IMF dan World Bank. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Kartodihardjo, H Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi Tiga Kasus. Jurnal Manajemen Hutan Volume XII No. 3. September-Desember Kartodihardjo, H Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan: Telaah Lanjut Implementasi Kebijakan Usaha Kehutanan. Ideas, Bogor. Kompas Sejumlah Wilayah di Kalimantan Banjir html (diakses 12 Nov 2007)

220 203 Liang, Neng and Shu Lin Erroneous Learning from the West? A Narrative Analysis of Chinese MBA Cases Published in 1992, 1999 and Management International Review. Gabier Verlag Libecap, Gary D Contracting for Property Rights. Kar Eller Center and Department of Economics University of Arizona. Tucson, Arizona. MacCleery, Doug. Tanpa Tahun. A Definition of Sustainability for Ecosystem Management. (White Paper, Unpublihsed). htm?zi=1 Meyer, Neil (ed). (No Year). Property Rights: A Primer. College of Agricultural and Life Sciences. University of Idaho. Mills, Sara Discourse. One of The New Critical Idiom Series. Routledge- Taylor and Francis Group. London and New York. North, Douglas C Institutions, Institutionals Change and Economic Performance. Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge University Press. Phillips, Nelson. Thomas B Lawrence and Cynthia Hardy Discourse and Institutions. Academy of Management Review 2004, Vol. 29, No. 4, Reda, Aster Asgedom Discourse Analysis on the Ethiopian Government s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet. Sweden. Resosudarmo, Budy P. (ed) The Politics and and Economics of Indonesia s Natural Resources. Institue of Southeast Asian Studies. Singapore. Ruitenbeek, Jack and Cynthia Cartier Rational Exploitations: Economic Criteria and Indicators for Sustaianble Managemant of Tropical Forests. CIFOR. Bogor. Schmid, A. Allan (1987). Property, Power and Public Choice. An Inquiry into Law and Economics. 2 nd Ed. Sfeir-Younis, A The Economics of Sustainability in Forestry Development. Proceeding 2 Discussion Area Sector A-B. The 10 th World Forestry Congress. Paris, France. Sheikh, Pervaze A Illegal Logging: Background and Issues. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. USA

221 204 Shore, Cris and Susan Wright Anthropology of Policy. Critical Perspective on Governance and Power. European Association of Social Anthropologists. Routledge. London and New York. Springate-Baginski, O. and Soussan, J. (2002) A Methodology for Policy Process Analysis: Policy-Livelihood Relationships in South Asia -Working Paper 9, SEI, York Strausz, Roland Delegation of Monitoring in a Principal-agent relationship. Review of Economic Studies 64: Sutton, Rebeca The Policy Process: An Overview. Overseas Development Institute. Portland House. Stag Place. London. Swiercz, P.M. and Ross, K.T Rational, Human, Political, and Symbolic Text in Harvard Business School Cases: A Study of Structure and Content, Journal of Management Education, 0, 2003, pp Talja Analyzing Qualitative Interview Data: The Discourse Analytic Method. University of Tampere, Finland (White Paper). Tisdell, Clem and Kartik Roy Governance, Property Rights and Sustaianble Resource Use: Analysis with Indian Ocean Rim Examples. Department of Economics, The University of Queensland. Brisbane Walhi Tragedi Bohorok: Bencana Kemanusiaan. http: walhi.or.id/kampanye/ bencana/banjir (diakses 14 November 2009) Walhi Banjir Landa Konawe Sulawesi Tenggara: Puuhan Rumah Hanyut dan Ambruk. http: walhi.or.id/kampanye/ bencana/banjir (diakses 14 November 2009) White, Andy. Xiufang Sun. Kerstin Canby cs China and the Global Market for Forest Proudcts. Forest Trend, CIFOR, Rights and Resources Institute, and Center for Chinese Agricultural Policy. Washington DC. White, Dave D A Discourse Analysis of Stakeholders Understandings of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Blakcburg, Virginia. USA. World Bank The Economic of Long Term Management of Indonesia s Natural Forests. The World Bank, Jakarta. World Bank. 2006a. Sustaining Indonesia Forests: Strategy for The World Bank, The World Bank Office, Jakarta. Jakarta.

222 205 World Bank. 2006b. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmen-tal Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia. The World Bank Office, Jakarta. Jakarta. Wulan, Yuliana Cahya, Yurdi Yasmi, Christian Purba dan Eva Wollenberg Analisis Konflik Sektor Kehutanan Center for International Forestry Research. Bogor.

223 207 Lampiran 1. Sintesis Kerangka Teoretik Kelestarian SDH Perspektif Deskripsi Sintesis Teoretik Pembangunan berkelanjutan (PB) Tata-kelola dan property rights (PR) Kelangkaan/ keterbatasan Aliran posisi kelestarian PB sebagai akar diskursus Kelestarian sub-set dari PB Etos/jiwa PB: kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (WCED, 1987). Dua hal yang saling terkait erat (intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan SDA yang berkelanjutan (Tisdel dan Roy, 1996) Manusia berevolusi dengan alam menuju kelestarian melalui pengembangan kearifan, pengetahuan; atau bersaing dengan alam meruntuhkan kehidupan atau bahkan menghilangkan peradaban (Malaska, 1971, 1972 dalam Kaivo-oja,tt) Kuat modal lingkungan tidak menurun dari waktu ke waktu Prinsip/etos/jiwa PB adalah spirit atau nafas kelestarian hutan menjamin kesempatan yang sama dalam dan antar generasi, melalui: Memerangi kemiskinan Menghentikan pengurasan SDA dan lingkungan Proses tiga dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan Menjadi kesadaran para ekonom, bahwa tata kelola dan PR penting dalam memastikan kelestarian hutan dan kesejahteraan ekonomi Akumuluasi pengetahuan menjadi tantangan tersendiri harus menjadi fokus kelestarian Persoalan etika dan sosial budaya lebih utama daripada persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis Pembangunan tidak menyebabkan sediaan modal alam yang kritis menurun dari waktu ke waktu. Modal alam dipahami sebagai jasa-jasa lingkungan yang tidak ternilai dan tidak tergantikan dengan kegiatan/nilai ekonomi Makna kelestarian Lemah sediaanmodal total (fisik, manusia dan alam) tidak menurun dari waktu ke waktu (Pearce dan Atkinson, 1995 dalam Kaivo-oja, tt) Banyak usaha, telah dan sedang ditempuh, menarik makna, dan mendefinisikan kelestarian hutan dan pengelolaan hutan lestari; konsep kemanusiaan dan realitas lapangan penting (MacCleery, tt) Sebuah perekonomian dinilai lestari bila tabungan melebihi depresiasi dari total modal alam dan modal manusia. Bila satu komponen modal menurun, masih tetap lestari, sejauh sediaan modal dapat saling menggantikan, sehingga berimplikasi pada adanya peningkatan pengetahuan manusia; Ada lima hal penting dalam pendefinisian kelestarian hutan dan pengelolaan hutan lestari nyata - ada contoh penerapannya memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan pendekatan-pendekatan berorientasi kemanusiaan menimbang skala ekonomi dan sosial, dan self sustaining.

224 208 Kelestarian harus diletakkan dalam dimensidimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar kotak kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. (Ruitenbeeck dan Cartier, 1998) Kelestarian mengandung makna efisiensi ekonomi, khususnya dari sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas (Coase, 1960) Karakteristik inherent atau atribut barang, penting bagi pencapaian kelestarian (Schmid, 1987) Perlu property rights untuk mengontrol akses dan aliran manfaat sumberdaya - menghindari hilangnya sumberdaya. (Coase, 1960; Libecap (1999) Memaknai kelestarian secara (a) rasional bukan sekedar efisiensi ekonomi, tapi menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan; (c) memerhatikan betul sediaan dan aset sumberdaya hutan, (d) siap atas hal-hal tak terduga dan mengupayakan pencegahannya; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Biaya transaksi (transaction cost) penting berpengaruh dalam mengatasi eksternalitas; eksternalitas dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost) saat mana tawar menawar memungkinkan untuk menuju hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan awal property rights; proses internalisasi eksternalitas perlu aturan langsung, berupa pajak. Sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan optimal belum mencakup sifat intrinsik atau karakteristik inherent SDH dan kesempurnaan property rights. Karakteristik inherent atau atribut barang sering disebut sumber independensi, terdiri dari incompatible use, economies of scale, joint-impacts, transaction costs, surpluses, dan fluctuating supply and demand Property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, di dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya. Tanpa property rights sumberdaya akan terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek.

225 209 Lampiran 2. Panduan Wawancara PANDUAN WAWANCARA KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN HUTAN ALAM PRODUKSI LUAR JAWA FORM Q4U GENERAL 1. Seputar Hutan Alam Produksi di Luar Jawa 1. Apa reflek anda, begitu mendengar Hutan Alam Produksi Luar Jawa? 2. Masa depan (hutan) Indonesia adalah hutan tanaman, hutan alam produksi di luar Jawa tidak lagi dapat diharapkan. Setuju? Pertimbangannya? 3. Fakta menunjukkan bahwa dalam situasi relatif sulit seperti saat ini sebagaimana diakui beberapa pelaku usaha, masih ada pengelola hutan alam produksi yang mampu bertahan. Faktor apa yg menentukan? 2. Seputar Usaha Kehutanan hutan alam produksi di Luar Jawa 1. Usaha kehutanan faktanya menanggung beban ekonomi biaya tinggi. Usaha kehutanan tersebut ada yg bertahan dan ada yg tidak. Ekonomi biaya tinggi bukan faktor penentunya? 2. Dengan telah bangkrutnya usaha ratusan IUUPHHK-HA dari 600an unit (1980an) menjadi hanya tinggal seratusan saja (2011) hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari sisi pemerintah atau sisi pengusaha? 3. Melihat realitasnya, apakah usaha kehutanan sejauh ini, dipandang berhasil? Alasannya? 4. Kalau tidak, akar masalahnya? Apa opsi solusinya 3. Seputar Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi 1. Apakah pelestarian hutan alam produksi tidak masuk akal dari pandangan bisnis? 2. Apabila masuk akal, mengapa sebagian besar tidak melakukannya? 3. Lalu, kebutuhan siapa kelestarian hutan alam produksi itu sesungguhnya? 4. Menurut anda sendiri, apa makna kelestarian sesungguhnya? 5. Setuju dengan penilaian bahwa hutan alam produksi LJ tidak lestari? 4. Seputar Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Apa hal terpenting dari kebijakan usaha kehutanan? 2. Apabila kebijakan adalah resep dokter dan persoalan usaha kehutanan adalah gejala penyakit; yang terjadi sejauh ini, apakah diagnosa penyakitnya yang keliru atau resepnya yang keliru? Alasannya? 3. Pembuatan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dipengaruhi oleh pelaku usaha, masyarakat sipil/lsm, akademisi, atau pemerintah sendiri? Diskursus apa yang diusungnya secara dominan? 4. Apakah ada persoalan cara pikir dari pihak-pihak yang berperan membuat dan mengubah kebijakan tersebut? Bisa disebutkan beberapa contoh? 5. Bila periode kebijakan usaha kehutanan dipenggal menjadi sebelum dan sesudah 1998, apakah sudah ada perbaikan kebijakan secara berarti? Dalam hal apa?

226 210 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank [AK]

227 Lampiran 3. Screen-shot On-line Polling Kebijakan Usaha Kehutanan 211

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN A. Latar Belakang Dua puluh tahun lalu, Sfeir-Younis (1991) telah menganalisis panjang lebar aspek ekonomi kelestarian pembangunan kehutanan yang didalamnya dicakup aspek

Lebih terperinci

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan

Lebih terperinci

BAB V. IMPLIKASI PENTING. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni

BAB V. IMPLIKASI PENTING. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni BAB V. IMPLIKASI PENTING A. Pendahuluan Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan, dikompilasi dan disintesis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private good) dari petani hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB 2013

50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB 2013 KACAMATA KUDA PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA BERUJUNG HIPNOTIS ILMU PENGETAHUAN 1 Oleh : Mutiono 2 Sejak dulu hingga kini, pengelolaan hutan di Indonesia terus mengalami dinamika. Berbagai pemikiran dan

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem agroforestry, yang dibangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh: FIERDA FINANCYANA L2D 001 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian Bandung Berkebun di usia pergerakannya yang masih relatif singkat tidak terlepas dari kemampuannya dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan INDONESIA VISI 2050 Latar belakang Anggota Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) dan Indonesia Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia) mengorganisir Indonesia Visi 2050 proyek

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN

BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN A. Alasan Perlunya Perubahan Sudah menjadi kecenderungan umum, bahwa hukum akan selalu terlambat dari perkembangan masyarakat. Demikian pula dengan kemampuan

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH Merza Gamal SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar

Lebih terperinci

Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan Kuliah 4 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan 1 Pengantar Hubungan antara komponen-komponen informasi yang relevan dengan kebijakan dan metode-metode analisis kebijakan memberikan landasan untuk membedakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial. Ketiga aspek

Lebih terperinci

Prosedur dan Daftar Periksa Kajian Sejawat Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi

Prosedur dan Daftar Periksa Kajian Sejawat Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi ID Dokumen BAHASA INDONESIA Prosedur dan Daftar Periksa Kajian Sejawat Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi Kelompok Pakar Sejawat, Skema Lisensi Penilai (ALS) HCV Resource Network (HCVRN) Prosedur

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN. mengeksplorasi faktor-faktor consequence (akibat) dari diterapkannya salah satu

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN. mengeksplorasi faktor-faktor consequence (akibat) dari diterapkannya salah satu BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penelitian ini mencoba melakukan pengujian secara simultan atas aspek power sebagai faktor antecedent (pemicu) penerapan suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana Dengan adanya kesepakatan internasional untuk mengurangi risiko bencana (disaster risk reduction), maka sejak beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan memiliki arti penting bagi negara. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mencerminkan potensi ekonomi yang besar dan strategis bagi pembangunan nasional. Kekayaan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pelanggan merupakan kunci keberhasilan bisnis. Oleh sebab itu, perusahaan melakukan berbagai cara untuk membuat pelanggan meningkat dan tetap setia, namun

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penggunaan hutan dan beragamnya alih fungsi hutan di Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya otonomi daerah (Otoda), telah memberikan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini membawa konsekuensi logis kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Peran Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan sangatlah strategis, di mana fungsi sumber daya manusia itu menjadi suatu kunci dalam

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 KARYA TULIS KEBUTUHAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) MENUJU KEMANDIRIAN KPH Oleh : Nurdin Sulistiyono, S.Hut, MSi NIP. 132 259 567 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 DAFTAR

Lebih terperinci

Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan. Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014

Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan. Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014 Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014 Kawasan Hutan Kws Htn Negara UU No 41/1999: Kawasan hutan = kawasan hutan tetap/ps1(3) = hutan

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia perguruan tinggi di Indonesia, maka sangatlah logis apabila. maupun jurnal intemasional. Hal ini merupakan salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN. dunia perguruan tinggi di Indonesia, maka sangatlah logis apabila. maupun jurnal intemasional. Hal ini merupakan salah satu upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan Perguruan Tinggi di Indonesia sudah semakin pesat. Berdasarkan data statistik terbaru yang dikeluarkan oleh Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak membedakan antara analisis

Lebih terperinci

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth Memprioritaskan Investasi: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Oktober 2013 Kata Sambutan Dr Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, M.A Wakil Menteri Kementerian Perencanaan

Lebih terperinci

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN Press Release PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN Ada dua prestasi Indonesia yang diakui masyarakat dunia. Pertama, salah satu negara dengan praktik korupsi terbesar.

Lebih terperinci

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya BAB V PENUTUP Kehadiran social media sebagai media komunikasi telah memberikan warna baru dalam dinamika praktik komunikasi korporat. Proses komunikasi yang bersifat egaliter, langsung, dan dialogis mendorong

Lebih terperinci

Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution

Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution TUGAS SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Dosen : Dr. Ir. Arif Imam Suroso, M.Sc Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution Oleh : Shelly Atriani Iskandar P056121981.50 KELAS R50 PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era perkembangan ekonomi seperti saat ini, saat gelombang ekonomi mengakibatkan krisis di berbagai area kehidupan, masyarakat membutuhkan adanya sumber modal

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009 KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009 Tema: Perumahan dan Permukiman Indonesia: Masa Lalu, Kini dan Ke Depan I. LATAR BELAKANG Sarasehan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti.

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti. No. 02, 2013 CATATANKEBIJAKAN Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan (Program: Working Toward Including Forestry Revenues in the Indonesia EITI

Lebih terperinci

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia Nelayan (Koleksi Bank Dunia ) Foto: Curt Carnemark 4 Berinvestasi untuk Indonesia yang Lebih Berkelanjutan 1.1 Karakteristik Utama Tantangan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya

Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya INTERNATIONAL CONFERENCE OF INDONESIAN FORESTRY RESEARCHERS (INAFOR) Invited Paper Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo Dekan Fakultas Kehutanan, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam setiap organisasi, karena di samping sumber daya manusia sebagai salah satu unsur kekuatan daya saing

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Permintaan Aplikasi Hibah (Request for Applications) Knowledge Sector Initiative. Untuk. Judul Kegiatan: Skema Hibah Pengetahuan Lokal

Permintaan Aplikasi Hibah (Request for Applications) Knowledge Sector Initiative. Untuk. Judul Kegiatan: Skema Hibah Pengetahuan Lokal Permintaan Aplikasi Hibah (Request for Applications) Untuk Knowledge Sector Initiative Judul Kegiatan: Skema Hibah Pengetahuan Lokal Nomor Permintaan Aplikasi: 01/KSI/SG-S/Des/2014 Tanggal Mulai dan Penutupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diduga menjadi faktor penting penyebab kerusakan lingkungan (Gumilar, 2012). Pertambahan jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci