BAB V. IMPLIKASI PENTING. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. IMPLIKASI PENTING. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni"

Transkripsi

1 BAB V. IMPLIKASI PENTING A. Pendahuluan Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan, dikompilasi dan disintesis. Bab ini coba menarik beberapa implikasi penting dan relevan dilihat dari sisi kebijakan itu sendiri, aspek praktis-operasional, corak dan kualitas diskursus dan posisi metodologis dibalik kegiatan penelitian kualitatif ini. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni Sintesis terhadap hasil kompilasi kerangka pikir, baik atas teks perundangan maupun hasil wawancara dan polling sebagaimana telah dijabarkan secara rinci dan panjang lebar pada Bab IV, sampai pada pembuktian awal dan sekaligus menjawab salah satu pertanyaan penelitian ini, bahwa kebijakan usaha kehutanan yang ada sejauh ini dilahirkan dengan kerangka pemikiran the forest first sebagaimana dimaksud Sfeir-Younis (1991) 1 dan kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil dalam pendekatan Gluck (1987). Sekedar untuk pendalaman, sintesis berikut coba menguatkan pembuktian awal ini. Dari peta diskursus dan kontestasi para pihak (Bab IV), dapat dibangkitkan tiga kemungkinan kualifikasi kebijakan: (1) kebijakan (P) lahir dilandasi aliran pemikiran baik the forest first (FF) maupun the forest second (FS) meminjamn pendekatan Sfeir-Younis (1991); asumsinya kualitas diskursus para pihak pemangku kepentingan memang menguatkan kedua aliran ini, (2) kebijakan lahir lebih kental dengan aliran the forest first, sekalipun asumsinya, kedua macam aliran ini memiliki kekuatan yang relatif sama dalam diskursus para pihak pemangku kepentingan, namun aliran the forest second akhirnya sebagai pihak yang kalah dalam kontestasi dan 1 Senada pula dengan pendekatan Kaivo-Oja (tt) dan McCreely (tt) yang keduanya komplain terhadap diksursus kelestarian yang sangat bio-centris steril dari human being lihat Bab I

2 174 diskursus, (3) sama seperti poin kedua, namum penyebabnya lebih karena dalam diskursus tidak muncul secara kuat aliran the forest second. Ketiga kemungkinan ini dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 21. Gambar 21. Tiga kemungkinan kualifikasi kebijakan Hasil kompilasi peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam penelitian ini juga memperlihatkan pola, dimana pemerintah (G) dan praktisi bisnis (B) begitu kental menggunakan aliran FF. Dalam hal ini pemerintah telah memosisikan hukum atau aturan itu sebagai alat pemaksa (driving force instrument); sementara praktisi bisnis melihat hal itu dan memosisikan pemerintah tak lebih sebagai grand regulator. Hanya akademisi (A) dan masyarakat sipil/lsm (L) yang mengusung isu-isu di luar hutan, yakni terkait sosial-ekonomi-politik dan hukum. Sementara dalam sintesis sebelumnya pun telah disinggung, bahwa pemerintah begitu dominan dan lalu disusul praktisi bisnis; sementara para akademisi dan masyarakat sipil/lsm cenderung kurang diperhitungkan, terutama pada awal-awal usaha kehutanan mengalami booming kayu ( an). Pola ini secara skematis, tampak pada Gambar 22.

3 175 G Hukum alat pemaksa (driving force instrument) Forest First (FF) B Grand regulator A,L Sosial, Ekonomi, Politik, Hukum Forest Second (FS) Gambar 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus Bila ketiga peluang kualifikasi kebijakan yang ada (Gambar 21) dan pola aliran pemikiran yang mengemuka dalam diskursus (Gambar 22) kita coba tumpang-tindihkan (superimpose), maka segmen kualitas kebijakan yang ada jatuh pada opsi kedua, yakni teks kebijakan dilandasi secara kuat oleh aliran pemikiran the forest first (FF), karena aliran kedua (FS) sekalipun muncul dalam diskursus (terutama pasca 1998) masih terlalu lemah untuk memenangi kontestasi. Kemungkinannya karena ia muncul sebatas symbol dan diskursusnya sendiri lepas dari makna sebagaimana saat peta diskursus itu coba ditapis dengan pendekatan Bolman and Deal (1985) dan Alvesson dan Karreman (2000). Apa yang salah dengan aliran pemikiran FF? Kembali ke Sfeir-Younis (1991), maka jawabannya adalah ketidaklengkapan (incompleteness) faktor yang ditimbang dan masuk dalam (teks) kebijakan usaha kehutanan, terutama karena sifat aliran ini yang disebut sebagai monolitik bio-centris yang menganggap hal-hal di luar hutan sebagai eksogen. Dalam analisis Sfeir- Younis (1991) konsep monolitik bio-centris ini menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan menggenapi pengetahuan ini: pengadopsian aliran pemirikiran FF menjadi penyebab atau setidaknya secara fenomenologis memperlihatkan keterkaitan yang erat dengan kinerja usaha kehutanan yang memprihatinkan dan diklaim keseluruhan para pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai rusak dan tidak lestari.

4 176 Akumulasi pengetahuan di atas memberikan implikasi bahwa meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran menjadi sebuah kebutuhan bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Dalam bahasa sederhana dapat dibangun argumen: bila kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dilandasi aliran FF dan ini dihadapkan dengan fakta empiris kegagalan kinerja usaha kehutanan dalam mengusung mandat konstitusional sebagaimana tercantun dalam Pasal 33 UUD 45, maka aliran pemikiran apapun yang menjadi landasan proses konstruksi kebijakan itu perlu diubah. Dari akumulasi pengetahuan dan bangunan situasi masalah yang ada sejauh ini, maka arah perubahan ini setidaknya perlu mencakup dua hal pokok, yakni terkait hal-hak praktis operasional dan teoretis. Hal pertama lebih banyak berkaitan dengan perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses. Hal kedua lebih berkaitan dengan perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan merubah aliran pemikiran. Namun, berbagai perbaikan ini hampir mustahil dapat dilakukan efektif, terutama bila abai atas sejumlah isyarat, bahwa corak diskursus yang ada dan sekaligus corak aliran pemikiran disebaliknya justru merupakan produk dari dominasi dan hegemoni kekuasaan dalam pengertian Gramsci, selama ini. Dengan mengkalkulasi isyarat ini, maka mengurai dan me lepas hegemoni manjadi syarat pemungkin untuk melakukan pelurusan kerangka pikir dan lainnya. C. Tataran Praktis-Operasional: benahi substansi dan proses Hal-hal praktis-operasional dari sisi substansi dan proses dapat dibangkitkan antara lain dari narasi kebijakan yang dirinci per hirarki perundangan sebagaimana ringkasan dan sintesisnya tercantum dalam Tabel 17 dan Tabel 18 pada Bab IV. Merujuk pada hirarki itu dapat diamati, masalah substansinya sesungguhnya su ada dimana? Betulkah pada tingkatan UU tidak ada masalah, melainkan di tingkat PP?. Atau masalahnya justru sudah ada dimulai di tingkat UU. Menjawab pertanyaan ini adalah menarik ulang argumen yang menyertai ringkasan narasi kebijakan (Tabel 19 dan Tabel 20). Disebutkan, bahwa kecenderungannya untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif

5 177 prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen, biofisik hutan. Artinya, semakin ke hilir fokus dan orientasi pengaturan semakin menempatkan bio-fisik hutan sebagai faktor utama. Ini jelas ciri dari aliran pemikiran FF. Kecenderungan ini menegaskan, bahwa di tingkat UU fokus dan orientasi pengaturan masih cukup lebar, setidaknya relatif masih menjangkau hal-hal diluar biofosik hutan, misalnya bicara kesejahteraan, keadilan dan pemerataan saat memosisikan hutan alam produksi dan memaknai kelestarian hutan. Namun, baik di hulu maupun di hilir keduanya sama-sama masih mengundang kemungkinan situasi masalah, terutama di tataran rumusan dan implementasi. Di hulu, di tingkat UU, fokus dan orientasi relatif terbuka, sehingga sangat mungkin melahirkan multi tafsir dengan rentang yang cukup lebar. Penyimpangan tafsir sangat mungkin terjadi, tergantung kepada seberapa luas dan serius para pemangku kepentingan berpartisipasi dalam mengkonstruksi aturan atau kebijakan dimaksud. Penyimpangan tafsir juga sangat mungkin disebabkan karena kualitas diskursus dari para pemangku kepentingan. Pengalaman praktis dan latar pengetahuan para pemangku kepentingan sangat berperan dalam menentukan kualitas diskursus. Dalam bahasa IDS (2006) hal ini semua pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas jaringan aktor, ruang kebijakan dan sekaligus kepedulian politik. Ketersediaan formula dan mekanisme proses perumusan kebijakan yang dapat memastikan perumusan kebijakan melibatkan para pemangku kepentingan sehingga terjadi proses interaksi, negosiasi, debat dan kontestasi ide antar para pemangku, akan sangat menentukan seberapa jauh suatu tafsir menjadi kepedulian dan bahkan aksi bersama (collective concern and actions). Ditingkat hilir, PP dan seterusnya, dimana substansi aturan cenderung semakin terlalu rinci, terlalu teknis, dan administratif prosedural sangat memungkinkan juga melahirkan sejumlah situasi masalah. Setidaknya peluang mereduksi maksud dan tujuan dibuatnya aturan. Penyimpangan tafsir ditingkat ini pun seringkali berakhir tidak saja dengan peningkatan biaya transaksi tetapi juga dengan beragam moral hazard yang akhirnya melahirkan ekonomi biaya tinggi. Penyimpangan tafsir di tingkat ini juga sering menimbulkan

6 178 inefisiensi dan ketidakefektifan administrasi. Analisis terhadap dokumen renstra Ditjen BPK Kemenhut dan juga studi yang dilakukan DKN (2008) menunjukkan bahwa ada lebih dari seratus peraturan-perundangan diduga telah berakibat pada ekonomi biaya tinggi, hambatan atas pemahaman dalam implementasi perundangan itu, dan minimnya efisiensi dan efektivitas administrasi usaha kehutanan. Sehingga, yang terjadi kemudian, banyak proses yang harus dilakukan yang secara fungsional tidak lagi relevan dan bermanfaat. Berikut, sekedar contoh ril yang terjadi di lapangan, dicuplik dan diolah ulang dari studi yang dilaksanakan APHI Komda Kalimantan Tengah 2, terkait isu pengawasan dan pembinaan yang dialami para pemegang unit usaha (20 HPH data tahun 2009 dan 2010) sebagaimana diilustrasikan intisarinya pada Tabel 29. Tabel 29. Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: ) Rentang Rataan Rentang dan Rataan jumlah Aktor Pengawas Frekuensi pengawasan/th pengawasan per tahun pengawas dan lama pengawasan per HPH/th Kemenhut+UPT 0 17 kali 2,85 kali 58 ; (orang/hph/th) Pemerintah Provinsi 0 18 kali 6,7 kali 98; (hari/hph/th) Kabupaten/Kota 0 21 kali 6,4 kali Non-kehutanan 0 4 kali 1,0 kali Biaya pengawasan per HPH/th dengan asumsi IDR 700 ribu/hok, maka: Skenario tinggi 172 orang x 270 hari x IDR IDR 32,51 M /th Skenario rendah 6 orang x 15 hari x IDR IDR 63 juta /th Skenario rataan 58 orang x 98 hari x IDR IDR 3,98 M/Th Data dan informasi pada Tabel 29 menunjukkan, bahwa dari 20 HPH, data 2009 dan 2010, diperoleh gambaran biaya yang dikeluarkan oleh pemegang unit usaha (HPH) pertahun sebesar IDR 32,5 M (tertinggi) dan IDR 60 juta (terendah) dan rata-rata HPH mengeluarkan tidak kurang dari IDR 3,98 M setiap tahunnya untuk keiatan pengawasan ini. Yang menarik, selain besaran angkanya, adalah bergesernya fungsi dan tujuan aturan dari pengawasan itu menjadi bagian dari dan memperbesar biaya transaksi yang mendongkrak 2 APHI (2010) Pemeriksaan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah. APHI Komda Kalimantan a Tengah.

7 179 ekonomi biaya tinggi. Ini dimungkinkan, antara lain karena substansi aturan yang semakin detail, teknikal dan administratif itu yang di tataran implementasi bisa bergeser seperti itu. Angka ini tentu, belum memperhitungkan "kontribusi" HPH yang resmi yang sering diklaim relatif kecil terhadap PDB. Begitulah salah satu fenomena empiris dari kinerja kebijakan usaha kehutanan itu, bahkan sampai saat ini. Sampai disini diperoleh pengetahuan, bahwa dari tataran praktis operasional pembenahan kebijakan usaha kehutanan perlu didekati dari dua sisi baik dari substansi maupun proses. Dari sisi substansi perubahan perlu diarahkan agar substansi kebijakan menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Melihat bangunan dan situasi masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Dari sisi proses, maka pembaruan perlu ditekankan pada keterbukaan proses pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui mekanisme semacam public hearing, termasuk melakukan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party) atas kriteria dan indikator penilaian kinerja, program dan kegiatan. Dengan pemahaman, bahwa pelaksanaan kebijakan juga sangat ditentukan oleh informasi dan interpretasi para pemangku kepentingan atas substansi kebijakan itu (Birkland, 2001, IDS, 2006), maka berbagai arah perubahan ini selayaknya perlu dukungan perbaikan pula dari sisi kualitas diskursus. Persoalannya, kembali bahwa kualitas diskursus ini terindikasi kuat merupakan produk dari proses hegemoni kekuasaan. Maka, pembenahannya

8 180 praktis memerlukan ikhtiar untuk mengurai dan melepas hegemoni kekuasaan ini. D. Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan dan politik ekonomi Dari peta diskursus dan gambaran kontestasi para pihak sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV, dapat dipahami secara kualitatif seberapa dalam kualitas diskursus yang dapat diidentifikasi. Dari kecenderungan aliran pemikiran yang melandasi teks kebijakan dan kontestasi persepsi dari para pemangku kepentingan, yang keduanya cenderung mengkristal kepada aliran FF, maka kualitas diskursus, terutama yang memenangi kontestasi waktu itu, dapat dipahami tidak terlalu jauh dari hutan sebagai faktor utama. Maka ruang kebijakan dan jejaring aktor serta kepedulian politik para pemangku kepentingan hanya berputar diseputar hutan dalam pengertian yang sempit bio-centris, monolitik. Melihat siapa aktor yang paling menentukan dibalik proses kebijakan yang ada, maka pemerintah teridentifikasi kuat sebagai yang dominan dan diklaim para pihak sebagai grand regulator. Dari pengetahuan ini, i semakin dapat dibayangkan betapa kualitas diskursus menjadi sangat terhegemoni oleh pandangan-pandangan sepihak dan cenderung mendikte dari pemerintah 3. Dari sisi inilah, dengan kualitas diskursus yang ada, sumberdaya hutan dengan bahasa dan orientasi bio-centris yang kental, masuk agenda politik ekonomi (orang-orang) pemerintah. Kecenderungan ini dapat diamati, misalnya dari deskripsi historis terkait usaha kehutanan Indonesia, sebagaimana disarikan dalam Lampiran 8. Intisari sejarah kehutanan tersebut menunjukkan setidaknya tiga hal, diskursus yang berkembang, aktor pemangku kepentingan yang sesungguhnya terlibat dan sangat menentukan kebijakan kehutanan, serta lintasan (pathways) politik ekonomi dalam usaha kehutanan. Ketiga hal ini, tidak lain hal yang ditanyakan IDS (2006). Dalam diskursus tampak bahwa hutan sejak awal (1819 saat penetapan pemangkuan hutan kayu) diposisikan sebagai komoditi ekonomi dan sekaligus alat politik. Dalam kurun yang sama, semangatnya 3 Untuk ujisilang hal ini, lihat dan dalami setidaknya masing-masing satu PP, SK Menteri, FA, dan SK HPH, selami mulai dari pemilihan teks, penggunaan kalimat, rasa bahasa dan penetapan unsur-unsur hak dan kewajiban dalam usaha kehutanan. Akan tampak, bahwa pemangku usaha, masyarakat sipil dan akademisi nyaris tidak memiliki ruang dan peran menentukan dalam kebijakan, terutama dalam kurun sebelum 1998.

9 181 tampak jelas dan konsisten, yakni eksploitatif, bahkan sampai saat ini. Secara ekonomi, kehutanan menjadi sumber keuangan negara setidaknya sejak 1938 saat Djatibedrifj dilebur menjadi dienstvak melalui produksi kayu dengan pembentukan afdeling baru untuk tujuan ekplorasi hutan. Secara politik, tampak jelas, bahwa diskursusnya adalah memosisikan pendapatan negara dari hutan bagi kepentingan peperangan dan perjuangan ( ), menuntaskan revolusi ( ) dan mengisi kemerdekaan (1960an). Dengan demikian, lintasan kebijakan usaha kehutanan tidak terlepas dari lintasan historis perjuangan politik dan kemerdekaan (Lampiran 8). Selama kurun itu, tampak jelas bahwa kebijakan kehutanan lebih sebagai aturan atau hukum yang lebih difungsikan oleh kekuasaan sebagai alat pemaksa, meminjam istilah Gramsci, dalam nuansa law enforcement. Dari sisi aktor, yang paling berpengaruh tampak jelas dari lintasan sejarah ini adalah pemerintah, baik pemerintahan penjajah, orde perjuangan, orde lama, bahkan orde baru, termasuk orde reformasi. Dalam kekuatan pengaruh itu, penataan hutan menjadi semacam regim pemanfaatan dalam bangunan logika pemerintah, bukan merupakan kesepakatan sebagai sebuah bangsa; dan tidak sedikit yang tidak sepakat dengan regim yang ada, tapi terindikasi kebanyakan akhrinya kompromi dan permisif sebagai sesuatu yang sudah terlanjur. Terlanjur jadi wujud HPH, jadi Taman Nasional dan lain-lain. Inilah situasi yang menguatkan, bahwa kekuasaan telah memproduksi, menempatkan dan menggiring satu regim kebenaran agar diikuti masyarakat kebanyakan. Ini sejalan dengan pemikiran Foucault. Dalam perjalanannya, karena lintasan historisnya tidak lepas dari sejarah bangsa ini, maka kehutanan dan usaha kehutanan tidak luput dari kepentingan politik-ekonomi para penguasa dan pemerintah dari waktu ke waktu. Saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan Jepang (8 Maret 1942), pengelolaan dan organisasi kehutanan berganti nama menjadi ringyoo tyuoo zimusyo, dengan kebijakan kehutanan yang pokok waktu itu ekploitasi hutan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan. Lalu, memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua (19 Desember 1949) telah memosisikan hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan, sehingga

10 182 pemerintah saat itu mengeluarkan PP 59/1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar hampir 700 ribu m3 (kayu pertukangan) dan 5,7 juta sm (kayu bakar). Dalam lintasan ini, terminologi kelestarian hutan dan usaha kehutanan hampir sama sekali tidak diusung dalam diskursus, kecuali pada kurun 1960an, dimana untuk mengantisipasi kerusakan hutan saat itu diagendakan pembinaan hutan berupa reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Sementara kelestarian saat itu baru dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga kegiatannya lebih banyak berupa perlindungan dan pengawetan alam dan ekspedisi. Intisari sekuen lintasan ini secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Sekalipun tidak secara gamblang dapat dilihat, sekuen dari lintasan historis ini menggambarkan pula corak dan sekaligus kualitas diskursus. Sulit untuk membantah, bahwa warna diskursus yang ada dalam kurun itu sangat kental FF, bahkan orientasinya pun sangat timber primacy. Seperti apapun kualitas diskursus ini sangat dipengaruhi setidaknya oleh latar pengetahuan dan pengalaman para pihak yang berpartisipasi dalam diskursus, yang dari sekuen historis yang ada tampak lebih didominasi oleh komponen pemangku pemerintah. Artinya, latar pengetahuan dan pengalaman pemerintah menjadi pertanyaan penting, seperti apa persisnya dan seberapa jauh; lalu adakah hal- hal yang bersifat kontestasi inovasi yang muncul dalam diskursus yang ada? U ntuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelusuri paling tidak diskursus yang terjadi di dunia riset, pendidikan dan keorganisasian kehuta nan saat ini, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga Lembaga Pembidangan/Eselonisasi Pendidikan ik Fahutan IPB*) Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi SDH dan Ekowisata, Silvikultur Riset Balitbang Kemenhut**) Administrasi, Konservasi dan Rehabilitasi, Peningkatan Produktivitas, Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Perubahan Iklim & Kebijakan Organisasi BUK Administrasi, Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kemenhut**) Kawasan, Usaha Hutan Alam, Usaha Hutan Tanaman, Pengolahan dan Pemasaran Hasil hutan Sumber: *) Panduan Program Sarjana 2010; IPB **) Kepmenhut P 40/2010

11 183 Tabel 30 mengindikasikan bahwa unsur pembidangan sebagai bagian diskursus, tampak tidak memuat aspek sosial, ekonomi dan hukum secara memadai. Telaah lebih lanjut pada tingkatan di bawah pembidangan tersebut menghasilkan gambaran serupa dan kalau pun ada maka lawasnya sangat kecil, yakni di eselon paling bawah (riset dan keorganisasian) dan di tingkat mata ajaran (pendidikan). Indikasi ini memberikan gambaran lawas pengetahuan dan sekaligus alasan, kecilnya peluang membicarakan atau mengusung soal sosial, ekonomi dan hukum kedalam ruang diskursus dan sekaligus ke dalam ruang kebijakan (policy space). Dengan demikian, tingkat kebenaran argumen yang terbangun dalam diskursus pun akan cenderung mengerucut kebanyakan pada kebenaran pada tataran teknis dan hukum, dan belum merupakan kebenaran substansial yang, dalam pendekatan Dunn (2000), juga memerlukan dukungan kebenaran ekonomis dan pengakuan atau penerimaan sosial (social acceptability). Apakah situasi ini mewakili penilaian bahwa kini dan saat itu pemerintah didominasi orang-orang atau rimbawan yang tekno-centris, selain bio-centris? Jawabannya iya, setidaknya menurut Kartodihardjo (2006). Berangkat dari pembahasan pengelompokkan cara berpikir epistemologi dan ontologi ia menarik dua garis silang yang saling berpotongan, sumbu vertikal untuk kelompok epistemologi dan yang horisontal untuk ontologi, sehingga menghasilkan empat kuadran (Gambar 23). Constructivism Reductionism IV: Doa I: Transfer Teknologi III. Kelestarian Ekologi II Pengelolaan Ekosistem Holism Positivism Gambar 23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris (Sumber: Kartidihardjo 2006)

12 184 Dijelaskan, bahwa kerangka pikir rimbawan berada pada kuadran I (diarsir) dengan label transfer teknologi untuk menunjukkan, bahwa: (a) kuadran ini memang kuadran tekno-sentrik, yang mewakili (b) orang yang pemikirannya didasarkan pandangan epistemik positivistik-reduksionis, dimana (c) dalam pengembangan teknologi orang ini masih bertumpu pada paket teknologi hasil pengembangan pakar dengan cara pikir linear, yang umumnya (d) menekankan keharusan berbuat sesuatu, sesuai pedoman, standar, dan sebaliknya tidak mengendalikan perilaku 4 pihak-pihak melalui pendekatan insentif-disinsentif, sehingga (e) ilmu dan teknologi dianggap netral dan sulit menerima fakta bahwa transfer teknologi mengandung unsur politik disebaliknya. Karakteristik pemikiran seperti ini senada dengan aliran pemikiran FF yang disebut Sfeir-Younis (1991) yang memosisikan hutan sebagai faktor utama (bio-centris) seolah steril dari hal lain sehingga diposisikan sebagai eksogenus. Hal ini senada pula dengan bahasan Kaivo-Oja (tt) t) dan McCleery (tt) pada saat diamatinya bahwa kebanyakan orang mendefinisikan kelestarian hutan yang dalam kalkulasinya hanya seputar biocentris, lepas dari unsur human being dan tidak mengenal apa yang mereka sebut sebagai self-sustaining. Uraian di atas dapat merupakan akumulasi pengetahuan, yang menekankan menuntun dan menentukan dalam hal apa dan kearah mana perbaikan kualitas diskursus perlu dilakukan. Aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, misalnya, dapat merupakan sasaran awal pembaruan itu, dengan keyakinan bahwa kualitas pendidikan, riset dan organisasi teknis yang baik dan berkualitas, pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas pengetahuan para pemangku kepentingan dan publik secara umum. Saat yang sama, kualitas diskursus diharapkan akan relatif lebih baik. Namun, saat disadari bahwa apapun corak dan kualitas diskursus serta aliran pemikiran yang tampak, adalah produk kekuasaan, maka berbagai upaya perbaikan dan pembaruan tersebut hampir mustahil dilakukan sejauh 4 Di tingkat ini, sangat mungkin untuk muncul fenomena abai (ignorance) atas realitas perilaku para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan.

13 185 tidak mengurai dan membongkar hegemoni kekuasaan yang telah berlangsung selama ini. E. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian Sebagaimana telah diantisipasi diawal dan dijelaskan di muka, bahwa riset ini tidak steril dari kelemahan. Dalam pengamatan penulis, di tataran metodologis, penelitian ini setidaknya mengandung tiga hal baru yang bisa jadi titik lemah. Pertama, bagi penulis melaksanakan riset kualitatif ini merupakan hal baru, sekaligus pengalaman pertama kali, termasuk dalam penggunaan pendekatan analisis diskursus, terlebih dalam memilih dan memastikan teori dan pendekatan sosial yang digunakan sebagai landasan. Sejauh ini analisis diskursus yang telah digunakan berada pada wilayah Foucault, karena riset ini coba mendeteksi juga hubungan diskursus dengan relasi kekuasaan melalui proses produksi pengetahuan sebagai suatu regim kebenaran untuk digiring menjadi kebenaran khalayak. Disisi lain, saat yang sama, analisis diskursus ini juga masuk wilayah van Dijk, karena yang dianalisis bukan sekedar teks, tapi juga coba mendeteksi bagaimana teks diproduksi. Disamping itu, analisis diskursus ini juga berada di wilayah pendekatan Fairclough, karena coba menghubungkan teks dengan konteks yang lebih luas, yakni usaha kehutanan. Tipologi ini menegaskan bahwa pengertian diskursus itu sendiri dalam penelitian ini mencakup sebagaimana yang dimaksud Arts and Buizzer (2009) yakni, teks, komunikasi, frame dan praktek sosial. Harus diakui secara jujur, perlu ikhtiar yang ekstra lebih untuk shifting dari kebiasaan berpikir riset kuantitatif ke riset kualitatif ini. Kedua, analisis diskursus dengan fokus kebijakan usaha kehutanan Indonesia, terlebih dengan konteks hutan alam produksi di luar Jawa, juga merupakan hal baru atau setidaknya penulis sejauh ini belum menemukan hasil riset sejenis yang relevan dan dapat dijadi rujukan. Ketiga, yang diteliti berupa aliran kerangka pikir dibalik diskursus yang dibangkitkan dari dokumen peraturan perundangan terpilih terkait kebijakan usaha kehutanan dan perspesi para pihak yang berkepentingan untuk isu yang sama yang dijaring dari wawancara mendalam dan on-line polling.

14 186 Beberapa riset kualitatif dengan pendekatan analisis diskursus sejauh ini dan beberapa dijadikan rujukan riset ini, dilakukan di luar Indonesia dan umumnya untuk non kehutanan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, seks, dan linguistik-kepustakaan. Adapun untuk kehutanan, lebih banyak pada area non-usaha kehutanan, seperti konservasi, perlindungan, keh utanan secara umum dan lawasnya biasanya lintas negara dan atau dalam kerangka membahas isu kehutanan global. Untuk sumberdaya alam lain dan isu lingkungan dijumpai pula riset serupa dengan fokus perikanan untuk mengantisipasi kepunahan jenis-jenis ikan tertentu (Lihat Tabel 6). Pengalaman pertama kali untuk melakukan hal-hal baru, tentu berimplikasi pada ketidak-mungkinan untuk terbebas dari kelemahan. Beberapa kelemahan dalam riset ini yang mungkin dijumpai dalam pengamatan penulis, antara lain berkaitan dengan penetapan lawas: lawas usaha kehutanan nasional bisa jadi terlalu luas, sehingga perlu kasus yang jauh lebih spesifik; atau sebaliknya lawas usaha kehutanan itu sendiri terlalu sempit untuk menjangkau persoalan sesungguhnya dari pengelolaan hutan secara umum. u Kemungkinan kelemahan lain adalah ketepatan pilihan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam yang dikalkulasi sebagai aktor penentu-berpengaruh. Terlebih bila ditakar oleh IDS (2006) dimana keluasan jejaring seorang aktor akan turut menentukan keluasan, keragaman dan kedalaman pengetahuan dan pengalamannya yang keseluruhannya dapat berimplikasi pada ruang kebijakan yang dapat dibangunnya dalam diskursus. Penulis tetap melihat ini sebagai titik lemah, sekalipun dalam riset hal ini telah diantisipasi dengan internet polling untuk menjangkau dan memperkaya perspektif dan keragaman nara-sumber serta sekaligus menjaga hasil riset ini tetap ta valid. Berbagai titik lemah ini bagi penulis akhirnya justru dirasakan jadi kekuatan, k setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan baik dari sisi metodologis, metoda yang digunakan, subjek dan objek penelitian dan termasuk sejumlah pengetahuan yang dapat dihimpun dan diakumulasi dari riset ini. Hal ini dilatari keyakinan, bahwa riset apapun, termasuk riset kualitaif dengan

15 187 pendekatan diskursus ini tidak berhenti disini dan perlu terus berlanjut dengan semangat continuously improvement. Sejalan dengan keyakinan itu, penulis memosisikan hasil riset ini sebagai bukan hal final dan lebih sebagai pendahuluan bagi riset-riset lanjutan. Untuk itu penulis juga menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam keyakinan itu pula, penulis berharap hasil riset ini dengan segala kelemahannya tadi tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualtitatif dengan pendekatan diskursus; sementara hasilnya diharapkan dapat menjadi tawaran bagi kerangka dan agenda pembaruan kebijakan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan justifikasi untuk melepas hegemoni kekuasaan. Implikasi lain yang juga penting dari hasil riset ini adalah terkait objektivitas dan netralitas penulis. Bila hasil riset ini dirasakan dan terkesan tidak objektif dan tidak netral, maka itu sesungguhnya sebagai bagian dari konsekwensi logis dari keputusan penulis mengambil jenis riset kualitatif. Riset jenis ini menegaskan bahwa objektivitas itu intersubjektif, sehingga realitas itu tidaklah tunggal. Disamping itu, dalam riset ini peneliti memang dituntut untuk tidak berjarak dan bahkan harus berlebur dengan subjek dan objek yang diteliti 5. F. Ringkasan Peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa teks kebijakan usaha kehutanan lebih dilandasi oleh aliran pemikiran the forest first (FF) yang kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, karena beberapa sebab. Salah satunya, sifat aliran pemikiran ini yang begitu dominan menimbang hutan sebagai faktor utama yang menguatkan bahwa aliran pemikiran ini monolitik bio-centris antara lain menganggap hal-hal di luar sistem alami hutan dianggap sebagai eksogen. Beberapa rujukan menyebutkan, bahwa penggunaan aliran pemikiran ini menyebabkan kehancuran hutan yang 5 Lihat misalnya Casebeer and Marja (1997) diunduh 14 Juni 2009.

16 188 bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian ini. Hal ini memberikan beberapa implikasi penting, setidaknya terhadap upaya dan orientasi pembaruan kebijakan, termasuk hal-hal praktis operasional terkait substansi dan proses perumusan kebijakan, dan kualitas diskursus. Hasil yang sama juga berimplikasi atas metodologi riset ini. Dari sisi kebijakan, bagaimanapun meluruskan dan menata ulang kerangka ataua aliran pemikiran perlu jadi agenda pembaruan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan dalam pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui public hearing, dan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party). Arah perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Untuk itu maka perbaikan perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pen didikan, riset dan organisasi kehutanan. Sasaran akhirnya perlu ditekankan kepada membuka lebar dan memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan dan saat yang sama memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka m ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi.

17 189 Berbagai implikasi perlunya pembaruan di atas hampir dapat dipastikan tidak akan efektif, manakala berbagai diskursus yang terjadi dan aliran pemikiran disebaliknya tidak lain merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan begitu, agar efektif, maka mengurai dan melepas hegemoni dimaksud menjadi keniscayaan. Beberapa kelemahan riset yang teridentifikasi bagi penulis justru dirasakan jadi kekuatan; setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan. Diyakini, riset ini akan terus berlanjut dengan semangat continuously improvement. Dengan keyakinan itu, riset ini diharapkan tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualitatif dengan pendekatan diskursus disatu sisi; dan disisi lain menjadi tawaran yang baik bagi bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan.

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan

Lebih terperinci

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN A. Latar Belakang Dua puluh tahun lalu, Sfeir-Younis (1991) telah menganalisis panjang lebar aspek ekonomi kelestarian pembangunan kehutanan yang didalamnya dicakup aspek

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Bagian ini akan menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran penelitian terhadap pengembangan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi

Lebih terperinci

KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS. Azis Khan

KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS. Azis Khan KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS Azis Khan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bergulirnya periode reformasi memberikan dorongan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Salah

Lebih terperinci

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan

Lebih terperinci

Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Iskandar Saharudin Memo Kebijakan #3, 2014 PENGANTAR. RANCANGAN Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) saat ini sedang dibahas oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR

BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR A. Pendahuluan Dari gambaran kinerja usaha kehutanan sejauh ini, antara lain sebagaimana telah dijabarkan pada Bab 3, diperoleh pengetahuan, bahwa usaha

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya

Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya INTERNATIONAL CONFERENCE OF INDONESIAN FORESTRY RESEARCHERS (INAFOR) Invited Paper Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo Dekan Fakultas Kehutanan, Institut

Lebih terperinci

Standar Audit SA 220. Pengendalian Mutu untuk Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 220. Pengendalian Mutu untuk Audit atas Laporan Keuangan SA 0 Pengendalian Mutu untuk Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb //0 :0: AM STANDAR AUDIT 0 Pengendalian mutu untuk audit atas laporan keuangan (Berlaku efektif untuk audit atas laporan keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

Petugas Back Office PIK, (7) Petugas Front Office PIK, (8) Petugas Via Media PIK, dan (9) Petugas Database Informasi PIK diisi oleh Subbagian Layanan

Petugas Back Office PIK, (7) Petugas Front Office PIK, (8) Petugas Via Media PIK, dan (9) Petugas Database Informasi PIK diisi oleh Subbagian Layanan BAB V PENUTUP Penelitian ini bermula dari hadirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menuntut segenap badan publik di Indonesia untuk membuka lebar-lebar pintu akses atas informasi

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA Oleh: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Dep. Pekerjaan Umum

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private good) dari petani hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

1 KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2017 a.n Kepala Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kepala Bidang Sinkronisasi Kebijakan

1 KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2017 a.n Kepala Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kepala Bidang Sinkronisasi Kebijakan ( REVISI I ) KATA PENGANTAR Rencana Strategis Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan (PASKA) 205 209 merupakan turunan dari Rencana Strategis (Renstra) Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN AWAL. SRAP dan Peluang Pendekatan Jurisdiksi. Outline. Latar dan Tujuan Satgas REDD+ Sekilas 11 SRAP Peluang Jurisdiksi: Kasus Kaltim

TINJAUAN AWAL. SRAP dan Peluang Pendekatan Jurisdiksi. Outline. Latar dan Tujuan Satgas REDD+ Sekilas 11 SRAP Peluang Jurisdiksi: Kasus Kaltim SRAP dan Peluang Pendekatan Jurisdiksi TINJAUAN AWAL TK ISP Bogor, 21 Juni 2013 Outline Komentar atas TOR Latar dan Tujuan Satgas REDD+ Sekilas 11 SRAP Peluang Jurisdiksi: Kasus Kaltim 1 Komentar atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia

A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia 1 Dalam presentasi ini, akan dijelaskan mengenai landasan dan analisa hukum dari perlindungan serta pemanfaatan lahan gambut di

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran gerakan perempuan yang ada di Yogyakarta telah dimulai sejak rejim orde baru berkuasa. Dalam tesis ini didapatkan temuan bahwa perjalanan gerakan perempuan bukanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam kehidupan dan kehadirannya sangat terkait erat dengan dunia pendidikan adalah Matematika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Pendidikan Nasional adalah upaya mencerdasakan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berahlak mulia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

Kerangka Kerja RPPI Politik dan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kerangka Kerja RPPI Politik dan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Latar Belakang 29/05/2015 Kerangka Kerja RPPI Politik dan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Lukas Rumboko Ir. Ismatul Hakim, M.Sc Pendamping Prof. Dr. Chairil A. Siregar Pusat Litbang Perubahan

Lebih terperinci

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem agroforestry, yang dibangun

Lebih terperinci

Standar Audit SA 300. Perencanaan Suatu Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 300. Perencanaan Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA 00 Perencanaan Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb //0 ::0 AM STANDAR AUDIT 00 PERENCANAAN SUATU AUDIT ATAS LAPORAN KEUANGAN (Berlaku efektif untuk audit atas laporan keuangan untuk periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberlanjutan pembangunan didekati dengan tiga nilai utama (Todaro dan Smith,

BAB I PENDAHULUAN. Keberlanjutan pembangunan didekati dengan tiga nilai utama (Todaro dan Smith, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberlanjutan pembangunan didekati dengan tiga nilai utama (Todaro dan Smith, 2009) yaitu sustainance, self esteem, and freedom. Pembangunan harus terencana dan berkelanjutan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. 1 Craigh (2005)

Bab I PENDAHULUAN. 1 Craigh (2005) Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam dekade ini telah mendorong pertumbuhan ketersediaan informasi yang sangat besar, dalam sisi kuantitas dan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. telah disajikan dalam bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. telah disajikan dalam bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasar deskripsi, pembahasan, dan model konseptual yang telah disajikan dalam bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan berikut ini. Pertama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009 KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009 Tema: Perumahan dan Permukiman Indonesia: Masa Lalu, Kini dan Ke Depan I. LATAR BELAKANG Sarasehan ini merupakan

Lebih terperinci

MENUJU TEBO SEJAHTERA (MTS): AMAN, HARMONIS DAN MERATA

MENUJU TEBO SEJAHTERA (MTS): AMAN, HARMONIS DAN MERATA 5.1. Visi Pembangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tindakan mereka sendiri. Penulis melakukan penelitian studi komparatif sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA. Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A

PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA. Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A DAFTAR ISI Pengantar: Lomba Debat Nasional Indonesia 1. Lembar Penilaian hal.4 a. Isi hal. 4 b. Gaya hal.5 c. Strategi hal.5

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Perubahan fokus REDD+ dari pengurangan emisi ke arah program penguatan

BAB V KESIMPULAN. Perubahan fokus REDD+ dari pengurangan emisi ke arah program penguatan BAB V KESIMPULAN Perubahan fokus REDD+ dari pengurangan emisi ke arah program penguatan ekonomi membawa implikasi yang beragam di tingkat lokal, di Buntoi. Secara umum program-program REDD+ yang berbau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk di kota-kota besar memiliki konsekuensi logis terhadap naiknya angka kebutuhan ruang, terutama ruang untuk bermukim. Menurut Sujarto (1995),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan media massa dalam menyuguhkan informasi yang akurat dan faktual semakin dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Kebutuhan tersebut diiringi dengan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencapaian tujuan pendidikan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Persoalan identitas, baik itu yang bersifat kolektif atau personal, telah menjadi isu penting dalam perdebatan yang dimunculkan oleh teori posmodern. Ideologi-ideologi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah memasuki fase yang lebih menantang dimana harga minyak dunia

BAB I PENDAHULUAN. telah memasuki fase yang lebih menantang dimana harga minyak dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri retail Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sedang dan telah memasuki fase yang lebih menantang dimana harga minyak dunia menjadi lebih fluktuatif dan biaya-biaya

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari)

ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari) ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari) Oleh : SULISTYA EKAWATI. HARIADI KARTODIHARDJO, DODIK

Lebih terperinci

BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN

BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisa data berupa analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan (teknik penelitian) analisis wacana, teks

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

Policy Brief Launching Arsitektur Kabinet : Meretas Jalan Pemerintahan Baru

Policy Brief Launching Arsitektur Kabinet : Meretas Jalan Pemerintahan Baru Policy Brief Launching Arsitektur Kabinet 2014-2019 : Meretas Jalan Pemerintahan Baru Konstitusi mengamanatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 UUD 1945). Dalam menjalankan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang berhubungan dengan empat keterampilan. Keterampilan merupakan salah satu unsur kompetensi yang harus dimiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

Rencana Strategis (RENSTRA)

Rencana Strategis (RENSTRA) Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2014 Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan

Kesimpulan. Bab Sembilan Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi BAB IV KESIMPULAN Pemahaman masyarakat global terhadap istilah globalisasi dewasa ini didominasi oleh definisi-definisi yang merujuk pada pengertian globalisasi dari atas. Globalisasi dari atas merupakan

Lebih terperinci