NASKAH PUBLIKASI. Program Studi Peternakan. Oleh : Setyo Adi Nugroho H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NASKAH PUBLIKASI. Program Studi Peternakan. Oleh : Setyo Adi Nugroho H"

Transkripsi

1 NASKAH PUBLIKASI EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR Program Studi Peternakan Oleh : Setyo Adi Nugroho H FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

2 EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR Setyo Adi Nugroho H ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sistem perkandangan dan manajemen pemerahan pada peternakan sapi perah rakyat dalam meningkatkan kejadian mastitis. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak Subur Makmur, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Penelitian dilaksanakan pada November 2015 sampai Maret Materi yang digunakan berupa 15 ekor sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) penderita mastitis dan 42 ekor sapi perah PFH tidak penderita mastitis. Peubah penelitian ini meliputi tingkat kebersihan kandang, bentuk kandang, kemiringan lantai kandang, tingkat kesempurnaan pemerahan, umur ternak, kepadatan ternak dan jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei lapangan, dimana penentuan lokasi dan objek penelitian menggunakan metode purposive sampling yang selanjutnya data akan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan diagram lingkaran untuk membandingkan data yang diperoleh antara sapi penderita mastitis dan tidak penderita mastitis. berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara sistemperkandangan dan manajemen pemerahan pada ternak yang terserang mastitis dengan ternak yang tidak terserang mastitis. Manajemen yang masih kurang baik menyebabkan sapi perah dengan mudah terinfeksi oleh bakteri penyebab radang ambing serta jumlah ternak yang tinggi dalam kandang mempermudah bakteri penyebab mastitis untuk menginfeksi puting. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu manajemen perkandangan, pemerahan dan kepadatan ternak yang buruk memberikan dampak dalam meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah. Kata Kunci : Sapi Perah, Mastitis, Kandang, Pemerahan

3 EVALUATION SHED SYSTEM AND MILKING MANAGEMENT OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED ON THE LEVEL OF MASTITIS IN THE SUBUR MAKMUR FARMERS LIVESTOCK GROUP Setyo Adi Nugroho H ABSTRACT The purpose of this study was to evaluate shed system and milking management on dairy farming folk in increasing the incidence of mastitis. This research was conducted at the Subur Makmur Farmers Livestock Group, Banyuanyar, Ampel District, Boyolali. Research was conducted in November 2015 to March The materials used were 15 cows Friesian Holstein Crossbreed mastitis detected and 42 cows undetected ones. The parameters of the study include the level of cleanliness of the shed, shed shape, the slope of the shed floor, a degree of perfection milking, cattle age, density and distance shed enclosure with a waste disposal site. The study was conducted using the method of field survey, where the determination of the location and the object of research using purposive sampling method that further data will be analyzed descriptively with the help of the pie chart to compare the data obtained between cow mastitis patients and patients with mastitis. Based on the results of descriptive analysis is known that there is a very clear distinction between shed system, milking managemen incattle infected with mastitis and cattle that were not attacked. Management is still not good cause dairy cows easily infected by bacteria that cause inflammation of the udder and the high number of animals in cages, enables mastitis-causing bacteria to infect the nipples. The conclusion of this analysis, management perkandangan, milking and livestock densities bad have a significant impact in increasing the incidence of mastitis in dairy cows. Key words: Dairy Cattle, Mastitis, Shed, Milking

4 PENDAHULUAN Kabupaten Boyolali merupakan salah satu penyokong produksi dan pemenuh kebutuhan akan susu di daerah Jawa Tengah. Kelompok Tani Ternak Subur Makmur merupakan salah satu kelompok tani ternak pemenuh kebutuhan susu di Kabupaten Boyolali dan sekitarnya. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan akan susu juga akan semakin meningkat. Namun jumlah produksi susu yang ada tidak mampu mengikuti jumlah permintaan yang diinginkan, hal ini dikarenakan selain sebagian besar peternakan adalah peternakan rakyat seperti halnya pada KTT Subur Makmur. Manajemen yang buruk pada KTT Subur Makmur serta adanya gangguan kesehatan menjadi hambatan untuk dapat meningkatkan produksi susu sapi yang ada. Roosena (2010), tidak mencukupinya susu di Indonesia bukan hanya berdasar kuantitasnya namun juga kualitas susu yang ada. Salah satu penghambat peningkatan produksi susu adalah penyakit yang dapat secara langsung maupun tidak langsung menurunkan produksi (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Penyakit radang ambing atau yang dikenal dengan mastitis, menjadi masalah utama dalam usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan, baik peternakan rakyat, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto, 1999; Fehlings dan Deneke, 2000). Mastitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada ambing dimana hal tersebut disebabkan oleh mikroorganisme dan dapat menular pada ternak yang sehat (Safangat et al.,2013; Winarso, 2008). Sudarwanto dan Sudarnika (2008) juga menjelaskan bahwa mastitis memiliki sifat kompleks dengan variasi penyebab, derajat keparahan, lama penyakit dan akibat penyakit yang beragam. Subronto (2007) menjelaskan bakteri utama penyebab mastitis antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberi. Penyebab mastitis mikotik ini dari golongan kapang patogenik (Aspergillus spp., Alternaria spp., Aerobasidium spp., Epicocum spp., Geotrichum spp., Penicillium spp., Phoma spp. dan Pichia spp.) dan golongan khamir patogenik (Rhodoturulla spp., Trichosporon spp. dan Saccharomyces commit to spp.) user (Farnsworth dan Sorensen, 1972

5 dalam Ahmad 2011) namun umumnya kasus mastitis yang dominan adalah khamir khususnya Candida sp. dan Cryptococcus sp. (Stanojevic and Kranjajic, 2009 dalam Ahmad, 2011) Sesuai dengan Supar (1997) bahwa agen penyebab mastitis paling banyak disebabkan oleh mikrobia dari kelompok bakteri dibandingkan ragi atau kapang. Menurut Sudono et al. (2003) mastitis yang sering menyerang sapi perah ada 2 macam yaitu mastitis klinis dan subklinis. Tanda dari mastitis klinis dapat dilihat secara kasat mata seperti susu yang abnormal adanya lendir dan penggumpalan pada susu atau encer, puting yang terinfeksi terasa panas, bengkak dan sensitive bila disentuh saat pemerahan, adanya benjolan atau pengerasan pada ambing ketika diraba juga menjadi indikator dari mastitis klinis (Setiadi, 1997). Sedangkan mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan fisik pada ambing dan susu yang dihasilkan, tetapi menyebabkan penurunan produksi susu (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008), tanda keabnormalan susu tidak terlihat kecuali dengan alat bantu atau metode deteksi mastitis (Sudono et al., 2003). Hasil penelitian di Kabupaten Boyolali tahun 1984, mastitis subklinis menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 19% per hari, sedangkan mastitis klinis sebesar 36% per hari (Hutabarat et al., 1985 a,b ). Subronto (2008) menambahkan bahwa faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan seperti sanitasi kandang, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, cara pemerahan air susu juga turut mempengaruhi terjadinya radang ambing. Begitu merugikannya mastitis bagi peternak karena susu yang terindikasi mastitis tidak dapat dijual maupun dikonsumsi, mengingat penghasilan utama dari peternak sapi perah adalah susu sapi. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian mastitis pada sapi perah serta sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang baik, sehingga pada nantinya diperoleh suatu hasil yang dapat dipergunakan untuk menangani radang ambing yang akhirnya mampu memperbaiki produksi susu dan meningkatkan kualitas susu pada peternakan sapi perah rakyat.

6 HIPOTESIS Sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang baik mampu menurunkan tingkat kejadian mastitis pada peternakan sapi perah rakyat.

7 MATERI METODE Waktu dantempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai Maret 2016 di Kelompok Tani Ternak Subur Makmur, Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Materi Penelitian Materi yang digunakan adalah 57 ekor sapi perah PFH yang mana 15 diantaranya menderita mastitis sedang 42 ekor sapi lainnya tidak menderita mastitis. Alat yang digunakan untuk mendeteksi mastitis adalah Californian Mastitis Test (CMT). Serta quisioner digunakan untuk mendapatkan data primer. Metode Penelitian Penelitian ini dipersiapkan dengan melakukan survei ke kandang-kandang tiap peternak sapi perah yang kemudian disusul dengan menanyakan kondisi peternakan yang ada seperti umur ternak, riwayat penyakit dan kondisi reproduksi ternak guna menentukan lokasi penelitian yang sesuai sebagai objek penelitian. Pemilihan lokasi dan sapi perah yang terserang mastitis menggunakan metode purposive sampling. Lokasi Kelurahan Banyuanyar Kecamatan Ampel dipilih karena Kecamatan ini merupakan salah satu pusat penghasil susu untuk Kabupaten Boyolali, sedang Kabupaten Boyolali memegang peran penting sebagai pusat pemenuh kebutuhan susu untuk Jawa Tengah. Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan menggunakan reagen CMT sedangkan mastitis klinis dapat diamati secara fisik (Sutarti et al., 2003). CMT merupakan salah satu screening test untuk mastitis subklinis yang bisa digunakan di luar tubuh sapi. Seekor sapi menderita mastitis apabila dalam salah satu kuartir ambingnya terdiagnosis mastitis. Pengujian CMT dilakukan pada pemerahan pagi hari dengan cara mengambil 2 3 pancaran pertama yang ditempatkan pada paddle lalu dihomogenkan dengan reagen (Aziz et al., 2013). Ada tidaknya gumpalan akan menunjukkan kejadian mastitis.

8 Peubah Penelitian Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi tingkat kebersihan lantai kandang, bentuk kandang, kemiringan lantai kandang, tingkat kesempurnaan pemerahan, umur ternak, kepadatan kandang, jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah. 1. Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Penilaian terhadap tingkat kebersihan lantai dilakukan dengan mengelompokkan menjadi 5 kondisi. Keterangan (1) Sangat kotor (lantai basah, ada banyak feses dan urine), (2) Kotor (lantai basah, ada banyak feses), (3) Cukup bersih (lantai basah, ada sedikit feses kering), (4) Bersih (lantai basah, tidak ada feses dan urine), (5) Sangat bersih (lantai kering, tidak ada feses dan urine) (Aziz et al., 2013). 2. Bentuk Kandang Bentuk kandang akan dinilai dengan mengkategorikan kandang tersebut baik atau buruk. Penilaian bentuk kandang dilakukan dengan melihat kondisi kandang (dinding, lantai, atap), model atap kandang, bahan lantai, arah menghadap kandang (Liptan, 2000). 3. Kemiringan Lantai Kandang Penilaian terhadap kemiringan lantai dilakukan dengan melihat bentuk lantai serta melihat aliran air yang sengaja diberikan pada lantai kandang. Kemudian dikategorikan berdasar tingkat kemiringannya yaitu (1) kurang miring (<4 o ), (2) baik/cukup (4-5 o ), (3) terlalu miring (>5 o ) (Safangat et al., 2013). 4. Tingkat Kesempurnaan Pemerahan Penilaian terhatap tingkat kesempurnaan pemerahan dilakukan dengan mengamati proses pemerahan mulai dari persiapan sampai dengan selesai pemerahan. Pemerahan dikatakan sempurna jika setiap tahap pemerahan dilakukan dengan baik seperti membersihkan tangan sebelum memerah, membersihkan puting dan ambing, pemandian ternak sebelum diperah, pemakaian pelumas sebelum pemerahan, pembuangan 3-5 pancaran pertama, pengunaan alat

9 pemerahan yang bersih, pemerahan sampai tuntas dan teats dipping (Sutarti et al., 2003). 5. Umur Ternak Penilaian terhadap umur ternak dilakukan dengan memberikan pertanyaan melalui quisioner yang ditujukan kepada peternak sapi perah (Sutarti et al., 2003). 6. Kepadatan Kandang Penilaian terhadap kepadatan kandang dilakukan dengan membandingkan kebutuhan luasan per ekor ternak sapi perah dengan keadaan luasan per ekor ternak yang ada di peternakan sapi perah (Sutarti et al., 2003). 7. Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah Penilaian jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah dilakukan dengan memberikan keterangan (1) jarak kurang dari 5 meter, (2) jarak 6-10 meter, (3) jarak meter dan (4) jarak lebih dari 15 meter (Djarijah, 1996). Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus pada sapi perah yang ada di KTT Subur Makmur dengan penentuan sampel mengunakan metode purposive sampling (Surjowardojo et al., 2008). Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif (Surjowardojo et al., 2008). Menurut Sugiyono (2009), analisis deskriptif merupakan suatu metode penelitian dengan cara mengumpulkan data-data dengan membandingkan data antar rancangan penelitian, kemudian disusun dan dianalisis.

10 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Perkandangan Peradangan pada ambing hampir selalu merupakan radang mastitis yang dapat bersifat klinis maupun subklinis. Hal ini dapat diketahui baik berdasarkan peningkatan jumlah sel dalam air susu (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008), perubahan fisik maupun kandungan dalam susu dan disertai atau tidak dengan perubahan patologis dari kelenjar susu itu sendiri (Subronto, 2008). Penyebab utama radang pada sapi adalah bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Str. dysgalactiae, Str. uberi (Subronto, 2007, 2008; Wahyuni et al., 2001 dalam Zalizar, 2012) namun tidak jarang bakteri Streptococcus zooepidermicus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas aeruginosa (Subronto, 2008). Sistem perkandangan seperti kebersihan lantai dan lingkungan kandang, pengelolaan jumlah ternak yang masuk dalam kandang serta pengelolaan limbah jarang diperhatikan. Lingkungan dan kandang yang kotor, selalu basah dan lembab menjadi lokasi atau lingkungan yang ideal untuk berkembangnya bagi bakteri penyebab mastitis (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014 dalam Sejati, 2016), selanjutnya bakteri tersebut siap mengancam ternak perah yang ada didalam kandang. Pengamatan terhadap tingkat kebersihan lantai kandang, kondisi kandang, umur ternak, kepadatan kandang dan jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah dirasa harus diperhatikan dengan baik agar diperoleh informasi terhadap tingkat kejadian mastitis yang ada. Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Berdasarkan hasil analisis tingkat kebersihan lantai kandang ternak mastitis dan tidak mastitis dengan bantuan diagram lingkaran menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan 10 kandang ternak terjangkit mastitis yang diamati, 5 kandang menunjukkan kondisi kebersihan lantai kandang yang sangat kotor, 3 kandang dengan kondisi lantai yang kotor dan 2 kandang dengan kondisi kandang yang cukup bersih. Dibandingkan commit dengan to user 10 kandang ternak tidak terjangkit

11 mastitis yang diamati, 2 kandang menunjukkan kondisi kebersihan lantai yang cukup bersih, 4 kandang dengan kondisi kebersihan lantai yang bersih dan 4 kandang dengan kondisi kebersihan lantai yang sangat bersih (Gambar 1). Mastitis Tidak Mastitis Sangat Kotor Sangat Kotor 20% 30% 50% Kotor Cukup Bersih Bersih 40% 20% 40% Kotor Cukup Bersih Bersih Sangat Bersih Sangat Bersih Gambar 1. Diagram Perbandingan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebersihan lantai kandang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah. Seperti yang disampaikan oleh Subronto (2008) bahwa sanitasi kandang termasuk dalam faktor yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing dan Sutarti et al. (2003) menyatakan bahwa kebersihan lingkungan kandang berasosiasi positif dan sangat signifikan terhadap kejadian mastitis. Seringkali lantai kandang yang tidak hanya berisikan feses, urine serta tumpahan air minum juga ditemukan ceceran sisa pakan baik hijauan atau konsentrat yang tumpah ketika diberikan atau karena tingkah laku ternak ketika makan menjadi faktor penyebab terjadinya radang. Kejadian ini dikuatkan dengan argumen Subronto (2008) yang mengatakan bahwa pakan yang mengandung estrogen misal bangsa clover dan jagung ataupun konsentrat yang berjamur terbukti memudahkan terjadinya radang. Tindakan seperti pembersihan lantai kandang setiap harinya mampu mengurangi kemungkinan kejadian mastitis. Sesuai dengan Sutarti et al. (2003), dengan seringnya lantai kandang, lingkungan kandang yang dibersihkan maka kejadian mastitis akan semakin kecil.

12 Bentuk Kandang Berdasarkan hasil analisis bentuk kandang ternak mastitis dan tidak mastitis dengan bantuan diagram lingkaran, menyatakan bahwa dari 10 kandang ternak yang terserang mastitis, 4 kandang diantaranya dalam kondisi buruk dan 6 kandang dalam kondisi yang baik. Sedangkan pada 10 kandang dari ternak tidak mastitis, hanya 1 kandang yang dalam kondisi buruk dan 9 kandang lainnya dalam kondisi baik (Gambar 2). Hasil diatas dapat dikatakan bahwa bentuk kandang juga ikut mempengaruhi dalam timbulnya peradangan pada ambing. Bentuk kandang yang buruk memungkinkan untuk menyediakan lingkungan yang ideal bagi bakteri penyebab radang ambing. Bentuk kandang yang buruk memungkinkan cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam kandang dalam jumlah yang cukup sehingga membuat kandang dalam kondisi yang selalu lembab. Kondisi kandang yang seperti ini harus dihindari karena akan mempermudah bakteri dalam menginfeksi ambing (Subronto, 2008). Mastitis Tidak Mastitis 10% 60% 40% Buruk Baik 90% Buruk Baik Gambar 2. Diagram Perbandingan Bentuk Kandang Kondisi kandang dari sapi perah pada perternakan rakyat sebagian besar menyatu dengan bangunan tempat tinggal peternak. Beratapkan dengan bahan genting dan bermodel shade. Lantai kandang terbuat dengan bahan beton dan karpet bahan karet dengan kondisi yang tidak sepenuhnya baik atau terdapat lubang pada lantai. Kurangnya ventilasi udara akibat dari kandang yang menyatu dengan bangunan tempat tinggal peternak commit to serta user kondisi lantai kandang yang rusak

13 meningkatkan kejadian mastitis. Kejadian mastitis dalam kondisi seperti ini diperkuat pendapat Liptan (2000) yang menjelaskan, kandang pada peternakan rakyat umumnya menggunakan bangunan yang sudah ada, misal bekas dapur atau bangunan lain. Liptan (2000) berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan persyaratan kandang yang baik antara lain: memberikan kenyamanan bagi ternak dan pemilik, mudah dibersihkan, memiliki ventilasi yang cukup untuk pergantian udara dan cahaya, kandang tidak menjadi satu dengan rumah tinggal dan berjarak ± 10 meter dari rumah, tersedia tempat penampungan kotoran dan limbah sisa pakan, kandang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya serta bangunan kandang menghadap ke arah timur dan membujur dari utara ke selatan. Kemiringan Lantai Kandang Mastitis Tidak Mastitis Kurang miring(<4⁰) 10% Kurang miring(<4⁰) 50% 50% Baik/Cukup (4-5⁰) Baik/Cukup (4-5⁰) Terlalu miring(>5⁰) 90% Terlalu miring(>5⁰) Gambar 3. Diagram Perbandingan Kemiringan Lantai Kandang Berdasarkan perbandingan kemiringan lantai kandang ternak mastitis dan tidak mastitis diketahui bahwa 5 kandang dari ternak mastitis mempunyai lantai dengan kemiringan <4 o dan 5 kandang yang sudah mempunyai kemiringan 4-5 o. Sedangkan kandang ternak tidak terkena mastitis 9 kandang mempunyai kemiringan lantai yang baik 4-5 o dan 1 kandang dengan kemiringan lantai <4 o (Gambar 3). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kemiringan lantai kandang termasuk dalam faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi radang ambing. Data menunjukkan bahwa lantai kandang yang kurang miring akan meningkatkan kejadian mastitis pada sapi perah, oleh karenanya dalam pembuatan lantai kandang perlu adanya perencanaan yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Safangat et al. (2013) bahwa lantai kandang bukan dibuat dengan bahan seadanya

14 dan dibuat kemiringan yang cukup agar air dapat mengalir dengan lancar. Lantai yang kurang miring setidaknya akan meninggalkan 30% air yang diguyurkan ketika pembersihan lantai kandang. Air yang tertinggal ini selain di akibatkan lantai yang kurang miring juga dapat diakibatkan karena kondisi lantai kandang yang tidak rata atau berlubang, sehingga akan memungkinkan semakin banyak air yang tergenang pada lantai. Pernyataan ini diperkuat oleh Subronto (2008), kemiringan lantai yang kurang menyebabkan air mudah tertahan di lantai, hal ini mempermudah kemungkinan kontak langsung antara bakteri yang berada di lantai dengan ambing yang sehat. Genangan air pada lantai yang kurang miring juga memungkinkan lantai menjadi licin sehingga ternak menjadi malas untuk bangun dan mudah untuk terpeselet (Subronto, 2008). Selain itu adanya genangan membuat kotoran ternak tidak dapat terbuang dengan lancar dan tertinggal pada lantai, hal ini akan menjadi sumber penyakit bagi ternak (Safangat et al., 2013). Akibatnya sanitasi kandang menjadi kurang baik dan menyebabkan prevalensi mastitis menjadi meningkat (Budiarto, 2010). Umur Ternak Data hasil analisis menyatakan bahwa 20% dari total sampel ternak yang terserang mastitis berada pada usia yang masih muda dan 80% sisanya berada dalam usia yang terbilang sudah tua. Sedangkan pada ternak yang tidak terserang mastitis, 20% ternak termasuk dalam usia tua dan 80% ternak sisanya dalam usia muda (Gambar 5). Berdasarkan data diatas, umur ternak ikut mempengaruhi dalam terjadinya infeksi radang ambing, hal ini sesuai dengan Elbably et al. (2013) yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya mastitis subklinis antara lain adalah umur ternak. Umur ternak yang tua akan terserang mastitis dengan kemungkinan 1,45 kali lebih besar dibanding ternak yang muda (Sutarti et al., 2003).

15 Mastitis Tidak Mastitis 20% Muda (<5 Th) 20% Muda (<5 Th) 80% Tua ( 5 Th) 80% Tua( 5 Th) Gambar 5. Diagram Perbandingan Umur Ternak Faktor umur juga ikut mempengaruhi mudah atau tidaknya seekor sapi terserang oleh radang ambing. Pada dasarnya didalam air susu sudah terdapat sel darah putih dengan kisaran pada pancaran pertama dan sel darah putih pada susu biasa. Namun karena selalu diperah dan bertambahnya umur, kadar sel antibodi didalam susu menjadi sangat kecil sehingga tidak lagi efektif untuk melawan infeksi yang terjadi (Subronto, 2008). Selain itu, semakin bertambahnya usia ternak maka ukuran lubang puting juga akan bertambah ukurannya walaupun hal tersebut juga ikut dipengaruhi oleh faktor genetik. Dipaparkan oleh Prasetyo et al. (2013) bahwa ukuran diameter lubang puting mempengaruhi tingkat kejadian mastitis sebesar 32.97%. Semakin bertambah tua usia ternak maka semakin kendur pula sphincter putingnya. Karena sphincter berfungsi sebagai penghambat infeksi kuman, maka kemungkinan terjadinya infeksi pada sapi yang berusia tua akan semakin besar. Hal ini disebabkan semakin tinggi produksi susu sapi maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan sphincter untuk kembali menutup (Subronto, 2008). Kepadatan Kandang Berdasarkan data yang didapatkan, kepadatan kandang ternak yang terserang mastitis berkisar 2,2 2,5 m 2 / ekor sebanyak 30% dan 2,5 2,8 m 2 / ekor sebanyak 70%. Sedangkan ternak yang tidak terserang mastitis berkepadatan 2,8 3 m 2 / ekor sebanyak 40% dan 3 3,3 m 2 / ekor sebanyak 60% (Gambar 6). Kepadatan kandang pada kandang ternak mastitis terbilang tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan kandang commit to pada user ternak yang tidak mastitis. Sudono

16 et al. (2003) menyatakan bahwa setiap sapi membutuhkan luas 2,8 m². Kandang yang teserang mastitis dirasa sangat padat bila melihat luasan kebutuhan dari seekor ternak menurut Sudono et al. (2003) yang artinya jarak antar ternak semakin sempit. Dengan jumlah ternak yang tinggi dan jarak antara sapi dalam satu kandang semakin pendek mengakibatkan penularan dan kejadian mastitis juga semakin besar (Sutarti et al., 2003 dan Subronto, 2008). Ruang gerak ternak yang sedikit meningkatkan kontak fisik antara ternak yang sehat dengan ternak yang terserang mastitis, namun hal ini kurang diperhatikan oleh para peternak. Mastitis Tidak Mastitis 2,2-2,5m²/ekor 2,2-2,5m²/ekor 30% 2,5-2,8m²/ekor 40% 2,5-2,8m²/ekor 70% 2,8-3m²/ekor 60% 2,8-3m²/ekor 3-3,3 m²/ekor 3-3,3 m²/ekor Gambar 6. Diagram Perbandingan Kepadatan Kandang Penularan mastitis akibat kepadatan kandang tidak hanya terjadi akibat bakteri, protozoa, jamur (Subronto, 2008) saja namun dapat juga terjadi karena kandang yang sempit menyebabkan ternak saling bertabrakan (Sutarti et al., 2003), akibatnya mastitis traumatik dapat terjadi karena ambing tertendang atau terinjak oleh ternak sekandang atau karena terjatuh (Resang, 1984 dalam Sutarti et al., 2003). Subronto (2008) menambahkan, bakteri penyebab mastitis mampu menjalar dari kulit, rambut, ambing, puting dan lesi pada ambing atau puting yang bertindak sebagai penyebar dari perempatan satu pada ternak yang sama atau ternak yang lain. Prihanto (2009), kandang sapi laktasi dengan luas ± 3,2 m²/ekor akan membuat ternak merasa nyaman didalam kandang sehingga ternak dapat berproduksi secara maksimal.

17 Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa 2 kandang sapi yang terserang mastitis memiliki jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah 6-10 meter dan 8 kandang dengan jarak <5 meter. Sedangkan kandang ternak yang tidak terserang mastitis 3 kandang berjarak <5 meter, 6 kandang berjarak 6-10 meter dan 1 kandang berjarak >15 meter dari tempat pembuangan limbah (Gambar 7). Tempat pembuangan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian radang pada ambing. Tidak adanya lokasi tempat pembuangan limbah yang baik akan menyebabkan lingkungan kandang menjadi kotor karena limbah kotoran berserakan disekitar kandang. Disamping itu, akan banyak menimbulkan pencemaran lingkungan kandang, hal tersebut akan menyebabkan bakteri tumbuh dengan subur dan memungkinkan untuk bermigrasi ke kandang, sehingga setiap saat akan mengancam terjadinya mastitis (Sutarti et al., 2003). Data mengenai jarak kandang dengan tempat pembuangan limbah antara ternak yang terserang mastitis dan tidak mastitis, menunjukkan jarak yang sama yaitu <5 meter namun dalam tingkat kebersihan kandang dan lantai kandang dari ternak yang terserang mastitis didapatkan kondisi yang kotor, kondisi ini memungkinkan ternak semakin mudah terserang mastitis. Mastitis Tidak Mastitis 10% 20% <5 meter 6-10 meter 30% <5 meter 6-10 meter 80% meter >15 meter 60% meter >15 meter Gambar 7. Diagram Perbandingan Jarak Kandang Dengan Tempat Pembuangan Limbah Data dari kandang ternak yang tidak mastitis menunjukkan hasil yang lebih baik dari kandang ternak yang terserang commit mastitis to user mengenai jarak kandang dengan

18 tempat pembuangan limbah. Diperkuat oleh hasil penelitian Sutarti et al. (2003), ternak dengan kandang yang memiliki tempat pembuangan limbah yang baik akan memiliki resiko terserang mastitis 0,56 kali lebih kecil dibandingkan dengan yang buruk. Djarijah (1996) mengatakan bahwa jarak antara kandang dengan kolam penampungan feses yang baik adalah lebih dari 10 m. Oleh karenanya jika semakin jauh tempat pembuangan limbah dengan kandang akan memberikan pengaruh yang besar dalam memperkecil timbulnya radang mastitis. Manajemen Pemerahan Kejadian penyakit mastitis dalam suatu peternakan sapi perah baik industri besar maupun peternakan rakyat memang tidak dapat dihindarkan. Mengingat air susu merupakan makanan (substrat) yang serasi untuk pertumbuhan beberapa jenis bakteri (Subronto, 2008). Manajemen pemerahan yang tidak higienis (Subronto, 2007) menyebabkan mewabahnya penyakit mastitis pada sapi perah yang ada. Cara hidup dan keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya infeksi kelenjar susu setiap saat (Subronto, 2008). Umumnya dalam peternakan sapi perah rakyat, kebersihan dari ternak dan peternak kurang menjadi sorotan, tanpa disadari perilaku seperti ini menjadi faktor meningkatnya kejadian mastitis pada ternak. Tingkat Kesempurnaan Pemerahan Berdasarkan perbandingan tingkat kesempurnaan pemerahan didapatkan bahwa pada ternak yang terserang mastitis 9 peternak melakukan pemerahan yang kurang sempurna dan hanya 1 peternak saja yang memerah dengan sempurna. Sedangkan pada ternak yang tidak terserang mastitis, 1 peternak melakukan pemerahan yang tidak sempurna dan 9 peternak lainnya melakukan pemerahan dengan sempurna (Gambar 4). Proses pemerahan dikatakan sempurna ketika peternak sudah melakukan tahapan proses pemerahan yang baik seperti membersihkan tangan sebelum memerah, membersihkan puting dan ambing, pemandian ternak sebelum diperah, pemakaian pelumas sebelum pemerahan, pembuangan 3-5 pancaran pertama, pengunaan alat pemerahan yang bersih,

19 pemerahan sampai tuntas dan teats dipping. Satu proses pemerahan dikatakan tidak sempurna apabila salah satu tahapan tersebut ada yang terlewat. Mastitis Tidak Mastitis 10% Sempurna 10% Sempurna 90% Tidak Sempurna 90% Tidak Sempurna Gambar 4. Diagram Perbandingan Tingkat Kesempurnaan Pemerahan Karena pengertian mengenai pemerahan yang kurang, banyak peternak rakyat yang tidak memperhatikan hal tersebut. Penggunaan kain bekas yang tidak bersih dan digunakan untuk semua sapi waktu pemerahan banyak dilakukan di desa-desa. Pemakaian lap untuk membersihkan ambing merupakan sumber penularan mastitis, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi baru akan lebih banyak. Perihal tersebut sudah dijelaskan oleh Subronto (2008) bahwa kuman penyebab mastitis dapat ditularkan pada puting yang sehat melalui tangan pemerah, mesin, lap, lantai kandang, baju pemerah, kulit dan bulu sapi, ember susu dan sebagainya yang tercemar bakteri penyebab mastitis atau melalui ambing yang terinfeksi. Seringkali ditemukan bahwa kebersihan tangan pemerah tidak diperhatikan sehingga proses perluasan infeksi tidak dapat dihindarkan. Pembersihan puting dan ambing dan pemandian ternak sangatlah diperlukan untuk mencegah terjadinya invasi bakteri secara berlebihan. Selaras dengan Sutarti et al. (2003) yang menjelaskan dalam penelitiannya bahwa sapi yang ambingnya dibersihkan setelah pemerahan memiliki kesempatan 0,32 kali lebih kecil terserang mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Dikuatkan oleh Subronto (2008) yang menyatakan, kulit dan bulu sapi merupakan media atau tempat sementara bagi kuman-kuman serta tidak jarang mikroorganisme patogen sudah lama berada dibawah puting dan akan menginvasi

20 ketika lubang puting terbuka, oleh karena itu memandikan ternak mempunyai pengaruh yang besar dalam pencucian kuman secara langsung. Menurut Subronto (2008) lebih dari 50 % peternak tidak melakukan teats dipping saat selesai pemerahan, peternak tidak sadar kalau masuknya mikroorganisme ke dalam saluran puting terjadi pada waktu selesai pemerahan. Khan dan Khan (2006) juga sangat menyarankan penggunaan teats dipping setelah pemerahan. Karena ketika ternak telah memasuki periode kering, penggunaan teats dipping untuk mengontrol mastitis tidak akan berhasil. Pemakaian desinfektan sangat diperlukan untuk pencegahan infeksi baru setelah pemerahan, sehingga apabila tidak dilakukan desinfeksi, resiko terjadinya mastitis akan meningkat.

21 SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini yaitu sistem perkandangan dan manajemen pemerahan yang buruk pada peternakan sapi perah rakyat akan meningkatkan tingkat kejadian mastitis. Hal ini ditunjukkan dengan lantai kandang yang kotor karena terdapat banyak kotoran ternak, bentuk kandang yang buruk karena kurangnya ventilasi, lantai kandang yang kurang miring dan berakibat tergenangnya air ketika pembersihan kandang, banyaknya ternak berusia tua yang terserang mastitis, sempitnya ruang gerak ternak karena kepadatan kandang yang tinggi, lingkungan kandang yang kotor karena tempat pembuangan limbah yang berdekatan bahkan menyatu dengan kandang serta proses pemerahan yang tidak sempurna karena kurang diperhatikannya kebersihan ternak, pemerah dan pemberian teats dipping ketika setelah dilakukan pemerahan menjadikan kejadian mastitis semakin meningkat.

22 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R.Z Mastitis mikotik di Indonesia. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Hal Aziz, A.S., P. Puguhwardojo dan Sarwiyono Hubungan bahan dan tingkat kebersihan lantai kandang terhadap kejadian mastitis melalui uji California Mastitis Test (CMT) di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ternak Tropika. 14 (2): Budiarsana, I.G.M. dan E. Juarini Analisis biaya produksi pada usaha sapi perah rakyat: study kasus didaerah Bogor dan Sukabumi. Dalam Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas Balai Penelititan Ternak. Bogor. Hal Budiarto Path analisis mastitis pada sapi perah koperasi di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Veterinaria Medika. Univesitas Airlangga. Surabaya. 3: Dewi, A.K Isolasi, identifikasi dan uji sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap Amoxilin dari sampel susu kambing peranakan etawa (PE) penderita mastitis di wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. 31 (2): Djarijah, A.S Pengembangan persusuan dan dampak bagi pengembangan operasi dan peternak. Penebar Swadaya. Jakarta Elbably, M.A., H.H. Emeash and N.M Asmaa Risk factors associated with mastitis occurrence in dairy herds in Benisuef, Egypt. World s Veterinary Journal. Beni-Suef University. Egypt. 3: Fajrin, F., Sarwiyono dan P. Surjowardojo Hubungan level mastitis terhadap produksi dan kualitas susu pada sapi perah. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Hal Fehlings, K. and J. Deneke Mastitis problematik in Betrieben mit Oekologischer Rinderhaltung. Tieraerztl Praxia (G). 28: Handayani, K.S. dan M. Purwanti Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan Pertanian. 5: Hastiono, S Mastitis mikotik, radang kelenjar susu oleh cendawan pada ternak perah. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Bogor. 1 (4): Hansen, S Influence of environmental and pulsation factors on teat skin condition and teat tissue with regard to mastitis. Tierärztliche Hochschule. Hannover. Hidayah, R Tampilan Produksi commit to Dan user Kualitas Fisik Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Pasca Pengobatan Antibiotik Di Kelompok Tani Ternak 26

23 27 Subur Makmur Boyolali. Skripsi. Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hutabarat, T.P.N., S. Witono dan D.H.A, Unruh a. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 1. Pengaruh faktor lingkungan dan sanitasi pemerahan terhadap mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode Hal Hutabarat, T.P.N., S. Witono dan D.H.A, Unruh b. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 2. Penurunan produksi susu akibat mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode Hal Khan, M.Z. and A. Khan Basic facts of mastitis in dairy animals: a review. Pakistan Veterinary Journal. 26 (4): Lembar Informasi Pertanian Sanitasi Kandang Sapi Perah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Ungaran. Hal Muljadi, N.A. dan A. Saleh Faktor produksi susu sapi perah rakyat di Garut dan Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Hal Prasetyo, B.W., Sarwiyono dan P. Surjowardojo Hubungan antara diameter lubang puting terhadap tingkat kejadian mastitis. Jurnal Ternak Tropika. Universitas Brawijaya. Malang. 14: Prihanto Manajemen Pemeliharaan Induk Laktasi Di Peternakan Sapi Perah CV. Mawar Mekar Farm Kabupaten Karanganyar. Tugas Akhir. Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Putro, D.A.N., A. Setiadi dan M. Handayani Analisis potensi pengembangan agribisnis sapi perah di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Animal Agricultural Journal. 2 (2): Roosena, Y Kandungan protein susu sapi perah Friesian Holstein akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katu (Sauropus androgynus (L) Merr) yang berbeda. Jurusan Peternakan Fakultar Pertanian. Universiras Mulawarman. Samarinda. Safangat, A., Sarwiyono dan P. Surjowardojo Pengaruh penggunaan jus daun kelor (Moringa oleifera) untuk teat dipping terhadap kejadian mastitis subklinis sapi perah Friesien Holstein laktasi. Fakultas Peternakan. Universitas Bawijaya. Malang. Hal Sejati, W Kualitas Kimia Susu Sapi Peranakan Friesian Holstein Sebelum dan Sesudah Pengobatan Mastitis. Skripsi. Program Strata-1 Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Setiadi, Y Deteksi mastitis subklinis pada sapi perah dengan aullendorfer mastitis probe (AMP) test. commit Lokakarya to user Fungsional Non Penelitian. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Hal

24 28 Subronto Ilmu Penyakit Ternak II (Mammalia). Cetakan ke-3 (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Subronto Ilmu Penyakit Ternak I-a (Mammalia). Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. Sudarwanto, M Milkchecker, suatu alat alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinik. Media Veteriner. 4: Sudarwanto, M Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinik. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudarwanto, M. dan Sudarnika, E Hubungan antara ph susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklinik. Media Peternakan edisi Agustus Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31 (2): Sudono, A., R.F. Rosdiana dan B.S. Setiawan Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Sugiyono Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Supar Mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia: masalah dan pendekatannya. Balai Penelitian Veteriner. 6 (2): Supar dan T. Ariyanti Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah. Dalam: Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor. Hal Surjowardojo, P., Suyadi, L. Hakim dan Aulani am Ekspresi produksi susu pada sapi perah mastitis. Jurnal Ternak Tropika. 9 (2): Surjowardoyo, P Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan produksi susu sapi perah friesian holstein. Jurnal Ternak Tropika. 12: Sutarti, E., S. Budiharta, B. Sumiarto Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Sain Veteriner. 21: Suwito, W., A.E.T.H. Wahyuni, W.S. Nugroho dan B. Sumiarto Isolasi dan identifikasi bakteri mastitis klinis pada kambing peranakan ettawah. Jurnal Sain Veteriner. 31: Taufik, E., G. Hildebrandt, J.N. Kleer, T.I. Wirjantoro, K. Kreasukon and F.H. Pasaribu Contaminan level of Staphylococcus spp. in raw goat milk and associated risk factors. Media Peternakan. 31 (3):

25 29 Tuasikal, B.J., S. Estuningsih, F.H. Pasaribu dan I.W.T. Wibawan Orientasi dosis iradiasi Streptococcus agalactiae untuk bahan vaksin mastitis subklinis pada sapi perah. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 8 (2): Utama, I.W., N.S. Rejeki, I M. Sukada dan I W.T. Wibawan Isolat Streptococcus agalactiae asal sapi penderita mastitis subklinis : I. Ekspresi fenotip isolat in vitro. Media Veteriner. 4: 1 8. Winarso, D Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan. Jurnal Sain Veteriner. Universitas Brawijaya. Malang. 26 (2): Zalizar, L Kualitas fisik Garlic Oil dan potensinya sebagai anti mikroba Streptococcus agalactiae penyebab mastitis pada sapi perah. Jurnal Gamma. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. 7(2):

EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR

EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR EVALUASI SISTEM PERKANDANGAN DAN MANAJEMEN PEMERAHAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUBUR MAKMUR Skripsi Untuk memenuhi sebagian pernyaratan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Busungbiu Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng memiliki letak geografis antara 114-115 Bujur Timur dan 8 03-9 23 Lintang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu, air dan peralatan berasal dari tujuh peternak dari Kawasan Usaha Peternakan Rakyat (Kunak), yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel susu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Perah Sapi-sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu terdapat warna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. PENDAHULUAN Latar Belakang Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Seseorang pada umur produktif, susu dapat membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu saluran ke bagian luar yang disebut puting. Pada puting ini akan mengeluarkan susu sewaktu diperah.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar LAMPIRAN 47 Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar KUISIONER PETERNAK SAPI PERAH Wilayah Kabupaten : Kecamatan : Tanggal Wawancara : Nama Enumerator : I.Identitas Peternak 1. Nama Pemilik : 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari kelompok peternakan yakni Budiarso, 2001 Tingkat cemaran rata-rata Coliform yang mengkontaminasi susu

Lebih terperinci

THE EFFECT OF USE MORINGA LEAF JUICE FOR TEAT DIPPING ON INCIDENCE OF SUBCLINICAL MASTITIS OF DAIRY CATTLE LACTATION FH

THE EFFECT OF USE MORINGA LEAF JUICE FOR TEAT DIPPING ON INCIDENCE OF SUBCLINICAL MASTITIS OF DAIRY CATTLE LACTATION FH THE EFFECT OF USE MORINGA LEAF JUICE FOR TEAT DIPPING ON INCIDENCE OF SUBCLINICAL MASTITIS OF DAIRY CATTLE LACTATION FH Ahmad Safangat 1, Sarwiyono 2 and Puguh Surjowardojo 2 1) Undergraduate Student at

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DIAMETER LUBANG PUTING TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS

HUBUNGAN ANTARA DIAMETER LUBANG PUTING TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS HUBUNGAN ANTARA DIAMETER LUBANG PUTING TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS Prasetyo, B.W., Sarwiyono, P. Surjowardojo Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang diduga memiliki khasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyuwangi secara astronomis terletak di antara 113 53 00 114 38 00 Bujur Timur dan 7 43 00 8 46 00 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi yang mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

A. Wibowo, T.H. Suprayogi dan Sudjatmogo* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

A. Wibowo, T.H. Suprayogi dan Sudjatmogo* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj TAMPILAN TOTAL PLATE COUNT DAN Staphylococcus aureus PADA SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN AKIBAT DIPPING DENGAN IODOSFOR PADA BERBAGAI KONSENTRASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

EVALUASI KONDISI PERKANDANGAN DAN TATALAKSANA PEMERAHAN PADA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KPSBU LEMBANG

EVALUASI KONDISI PERKANDANGAN DAN TATALAKSANA PEMERAHAN PADA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KPSBU LEMBANG EVALUASI KONDISI PERKANDANGAN DAN TATALAKSANA PEMERAHAN PADA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KPSBU LEMBANG EVALUATION OF HOUSING CONDITION AND MILKING PROCEDURES ON DAIRY FARMER GROUP IN KPSBU LEMBANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Patogen dalam Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar

Lebih terperinci

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA MASALAH DAN SUPAR Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 52, Bogor 16114 PENDAHULUAN Mastitis pada sapi perah merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH TEAT DIPPING SARI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less) TERHADAP KUALITAS SUSU BERDASARKAN CALIFORNIA MASTITIS TEST DAN UJI REDUKTASE

PENGARUH TEAT DIPPING SARI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less) TERHADAP KUALITAS SUSU BERDASARKAN CALIFORNIA MASTITIS TEST DAN UJI REDUKTASE PENGARUH TEAT DIPPING SARI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less) TERHADAP KUALITAS SUSU BERDASARKAN CALIFORNIA MASTITIS TEST DAN UJI REDUKTASE Iftitah Lisholihah 1, Sarwiyono 2, dan Puguh Surjowardojo 2

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SALEP DAUN SIRIH DAN MENIRAN TERHADAP PENURUNAN JUMLAH BAKTERI PADA SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUB KLINIS

EFEKTIVITAS SALEP DAUN SIRIH DAN MENIRAN TERHADAP PENURUNAN JUMLAH BAKTERI PADA SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUB KLINIS EFEKTIVITAS SALEP DAUN SIRIH DAN MENIRAN TERHADAP PENURUNAN JUMLAH BAKTERI PADA SAPI PERAH PENDERITA MASTITIS SUB KLINIS Lili Zalizar Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang lilizalizarthahir@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Produksi Susu Produksi susu yang fluktuatif selama sapi laktasi hal ini disebabkan kemampuan sel-sel epitel kelenjar ambing yang memproduksi susu sudah menurun bahkan beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat pemerintahan kota

Lebih terperinci

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di HUBUNGAN HIGIENE DAN SANITASI PEMERAHAN SUSU SAPI DENGAN Total plate count PADA SUSU SAPI DI PETERNAKAN SAPI PERAH DESA MANGGIS KABUPATEN BOYOLALI Dewik wijiastutik *) Alumnus FKM UNDIP, **) Dosen Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG Riski Ary Fauzi, Sarwiyono, and Endang Setyowati Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sapi Perah Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey dan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1 LAMPIRAN 25 26 Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB-1 No Kuartir IPB-1 Breed (jumlah sel somatis/ml) 1 Kanan depan 1+ 400 000 2 kanan belakang - 440 000

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Total Bakteri; ph; Susu; Sapi Friesian Holstein. ABTRACT

ABSTRAK. Kata Kunci : Total Bakteri; ph; Susu; Sapi Friesian Holstein. ABTRACT On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj TOTAL BAKTERI DAN PH SUSU SEGAR SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH DAN PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL MULYOREJO TENGARAN- SEMARANG

Lebih terperinci

EKSPRESI PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH MASTITIS ABSTRAK

EKSPRESI PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH MASTITIS ABSTRAK EKSPRESI PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH MASTITIS Puguh Surjowardojo 1, Suyadi 1, Luqman Hakim 1 dan Aulani am 2 1 Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang 2 Fakultas MIPA Universitas Brawijaya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah merupakan sapi yang dapat menghasilkan susu yang dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas susu sapi perah dipengaruhi

Lebih terperinci

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah TEKNIK PEMERAHAN DAN PENANGANAN SUSU SAPIPERAH G. Suheri Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor PENDAHULUAN Perkembangan dalam pemeliharaan sapi perah pada akhir-akhir ini cukup pesat dibandingkan tahun-tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengkaji hubungan higiene dan sanitasi berbagai lingkungan peternakan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengkaji hubungan higiene dan sanitasi berbagai lingkungan peternakan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang penilaian higiene dan sanitasi tempat peternakan sapi dan tempat pemerahan susu sapi segar, jumlah bakteri Coliform

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkandangan merupakan segala aspek fisik yang berkaitan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkandangan merupakan segala aspek fisik yang berkaitan dengan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Perkandangan Perkandangan merupakan segala aspek fisik yang berkaitan dengan kandang dan sarana maupun prasarana yang bersifat sebagai penunjang kelengkapan dalam

Lebih terperinci

THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST ABSTRACT

THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST ABSTRACT THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST Yuanita Putri Yuliana 1, Sarwiyono 2 and Puguh Surjowardojo 2 1 Student Faculty of Animal Husbandry,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas Susu Peternakan Rakyat di Boyolali melalui Program Penyuluhan dan Pendampingan Peternak Sapi Perah

Peningkatan Kualitas Susu Peternakan Rakyat di Boyolali melalui Program Penyuluhan dan Pendampingan Peternak Sapi Perah November 2016, Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat ISSN 2460-8572, EISSN 2461-095X Peningkatan Kualitas Susu Peternakan Rakyat di Boyolali melalui Program Penyuluhan dan Pendampingan Peternak Sapi

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 JSV 35 (1), Juni 2017 Perlakuan Celup Puting Setelah Pemerahan Terhadap Keberadaan Bakteri Patogen... Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan terhadap Keberadaan Bakteri Patogen, Staphylococcus aureus,

Lebih terperinci

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH (Studies on Subclinical Mastitis Control in the Dairy Cows) SUPAR dan TATI ARIYANTI Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor ABSTRACT Mastitis is a

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda. Usaha

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kriteria aspek higiene dan sanitasi terdiri dari 7 pernyataan. Total nilai aspek ini berjumlah 7. Penilaian mengenai aspek higiene dan sanitasi yaitu: Aspek dinilai buruk jika nilai < 3 Aspek dinilai cukup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: PUJI ANITASARI J

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: PUJI ANITASARI J HUBUNGAN ANTARA KONDISI SANITASI KANDANG TERNAK DENGAN KEJADIAN DIARE PADA PETERNAK SAPI PERAH DI DESA SINGOSARI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2008 Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Kualitas susu sapi wilayah Surabaya dan Malang belum memenuhi Standar Nasional Indonesia No 01-0341-1998, terutama terhadap persyaratan total coliform. Namun demikian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

PEMANFAATAN REBUSAN DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) DALAM MENURUNKAN TINGKAT KEJADIAN MASTITIS BERDASARKANN UJI CMT DAN SCC

PEMANFAATAN REBUSAN DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) DALAM MENURUNKAN TINGKAT KEJADIAN MASTITIS BERDASARKANN UJI CMT DAN SCC JURNAL TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production Vol 18, No. 2 pp. 17-23, Desember 2017 DOI: 10.21776/ub.jtapro.2017.018.02.4 Open Acces Freely available online PEMANFAATAN REBUSAN DAUN SIRIH

Lebih terperinci

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at :

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at : Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU DALAM PEMANFAATAN TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS (Efficacy of Piper betle Linn Toward Subclinical Mastitis) MASNIARI POELOENGAN, SUSAN M.N. dan ANDRIANI Balai Penelitian Veteriner,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan protein yang tinggi masyarakat Indonesia yang tidak disertai oleh kemampuan untuk pemenuhannya menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Harper dkk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat langsung diminum atau dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing

Lebih terperinci

Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Keberdayaan Peternak Ade Triwahyuni

Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Keberdayaan Peternak Ade Triwahyuni HUBUNGAN ANTARA DINAMIKA KELOMPOK DENGAN KEBERDAYAAN PETERNAK KAMBING PERAH PERANAKAN ETTAWA RELATIONSHIP BETWEEN GROUP DYNAMICS WITH EMPOWERMENT DAIRY GOAT FARMERS ( Suatu Kasus pada Kelompok Mandiri

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT PADA PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI Oleh : 060810228 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan dengan kandungan gizi lengkap yaitu terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu bahan pangan yang penting

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.6, No.1 Desember 2017

AGROVETERINER Vol.6, No.1 Desember 2017 51 KUALITAS KIMIA SUSU SAPI PERANAKAN FRISIEN HOLSTEIN SEBELUM DAN SESUDAH PENGOBATAN MASTITIS DI WILAYAH KERJA KOPERASI SAE PUJON Shelly Wulandari 1), Diyantoro 1), Oky Setyo Widodo 2) 1)Departemen Kesehatan,

Lebih terperinci

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase MURNI SARI, IDA BAGUS NGURAH SWACITA, KADEK KARANG AGUSTINA Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi mastitis subklinis dengan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap jumlah koloni Staphylococcus

Lebih terperinci

POTENSI PEMBERIAN FORMULA PAKAN KONSENTRAT KOMERSIALTERHADAP KONSUMSI DAN KADAR BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU

POTENSI PEMBERIAN FORMULA PAKAN KONSENTRAT KOMERSIALTERHADAP KONSUMSI DAN KADAR BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU AGROVETERINER Vol.1,No.1,Desember-2012 POTENSI PEMBERIAN FORMULA PAKAN KONSENTRAT KOMERSIALTERHADAP KONSUMSI DAN KADAR BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU Nisma Adhani D.A.C 1), Tri Nurhajati 2), A.T. Soelih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

IV. ANALISIS DAN SINTESIS IV. ANALISIS DAN SINTESIS 4.1. Analisis Masalah 4.1.1. Industri Pengolahan Susu (IPS) Industri Pengolahan Susu (IPS) merupakan asosiasi produsen susu besar di Indonesia, terdiri atas PT Nestle Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik sekali untuk diminum. Hasil olahan susu bisa juga berbentuk mentega, keju,

BAB I PENDAHULUAN. baik sekali untuk diminum. Hasil olahan susu bisa juga berbentuk mentega, keju, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu adalah suatu sekresi kelenjar susu dari sapi yang sedang laktasi, atau ternak lain yang sedang laktasi, yang diperoleh dari pemerahan secara sempurna (tidak

Lebih terperinci

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000).

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000). 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap antara lain lemak, protein, laktosa, vitamin, mineral,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden

Lebih terperinci

Penampilan Kandungan Protein Dan Kadar Lemak Susu Pada Sapi Perah Mastitis Friesian Holstein

Penampilan Kandungan Protein Dan Kadar Lemak Susu Pada Sapi Perah Mastitis Friesian Holstein 42 Penampilan Kandungan Protein Dan Kadar Lemak Susu Pada Sapi Perah Mastitis Friesian Holstein Puguh Suryowardojo Jurusan Teknologi Hasil Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Abstrak

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA Diusulkan oleh: Lukman Maulana D24110082 2011 Chressya

Lebih terperinci

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN PADA SAPI PERAH LAKTASI PRODUKSI SEDANG MILIK ANGGOTA KOPERASI DI KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (KPBS) PANGALENGAN Refi Rinaldi*, Iman Hernaman**, Budi Ayuningsih** Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional. BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia masih merupakan peternak kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional. Cara beternak

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut : II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah FH Sapi perah Fries Holland (FH) sering dikenal dengan nama Holstein Friesian. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011).

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) Siti Amanah, Hanung Dhidhik Arifin, dan Roisu Eni Mudawaroch Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kambing peranakan etawa (PE) merupakan salah satu ternak di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kambing peranakan etawa (PE) merupakan salah satu ternak di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing peranakan etawa (PE) merupakan salah satu ternak di Indonesia yang baik genetiknya, merupakan persilangan kambing etawa dan kambing lokal (Syukur dan Suharno,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan alami yang mempunyai nilai gizi tinggi dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi manusia. Pada umumnya

Lebih terperinci

The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows

The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows ABSTRACT Benua Antartika 1), Puguh Surjowardojo 2), dan Sarwiyono 2) 1) Student

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan

Lebih terperinci

72 Hubungan bahan dan tingkat kebersihan lantai... Aziz, A.S., dkk

72 Hubungan bahan dan tingkat kebersihan lantai... Aziz, A.S., dkk HUBUNGAN BAHAN DAN TINGKAT KEBERSIHAN LANTAI KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS MELALUI UJI CALIFORNIA MASTITIS TEST (CMT) DI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN Aziz, A. S., P. Surjowardojo dan Sarwiyono

Lebih terperinci

Hubungan Antara Pengetahuan dengan... Amanda Novandila S

Hubungan Antara Pengetahuan dengan... Amanda Novandila S HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN TINDAKAN PETERNAK SAPI PERAH DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT MASTITIS THE CORRELATION OF COGNITIVE AND AFFECTIVE WITH PSYCHOMOTOR OF DAIRY FARMER IN MASTITIS

Lebih terperinci

Profil Darah dan Penambahan Bobot Badan Kambing Peranakan Ettawah Setelah Pemberian Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae

Profil Darah dan Penambahan Bobot Badan Kambing Peranakan Ettawah Setelah Pemberian Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae DOI: http://dx.doi.org/10.14334/pros.semnas.tpv-2017-p.371-376 Profil Darah dan Penambahan Bobot Badan Kambing Peranakan Ettawah Setelah Pemberian Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae (Blood Profile

Lebih terperinci

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at :

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at : Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p 839 844 Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj HUBUNGAN PERILAKU DENGAN MOTIVASI PARA PETERNAK DI PAGUYUBAN KAMBING PERAH PERANAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7 kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel positif mastitis subklinis (Winata 2011).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian 17 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pada bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 bertempat di Kabupaten Sukabumi. Metode Penelitian Populasi studi Populasi studi dalam penelitian ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstien Sapi FH telah banyak tersebar luas di seluruh dunia. Sapi FH sebagian besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman dengan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air adalah materi essensial didalam kehidupan. Tidak satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak memerlukan dan tidak mengandung air. Sel hidup, baik tumbuhan maupun

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016 STATUS MIKROBIOLOGI (TOTAL PLATE COUNT, COLIFORM, DAN Escherichia coli) SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) DI DESA SUNGAI LANGKA KECAMATAN GEDONG TATAAN KABUPATEN PESAWARAN Microbiological Status (Total

Lebih terperinci