4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Verifikasi Hasil Pemodelan Verifikasi Angin Musim Barat Kecepatan angin masukan model memiliki nilai maksimum pada bulan Februari 2007 sebesar 4.2 meter/detik dengan arah menuju timur laut dan nilai minimum sebesar 0.25 meter/detik dengan arah menuju timur. Rata-rata kecepatan angin masukan model pada bulan tersebut adalah 1.90 meter/detik. Grafik nilai kecepatan serta arah angin masukan model selama bulan Februari 2007 di Cilacap ditunjukkan pada Gambar 16. Kecepatan angin hasil pengukuran lapang di Stasiun Meteorologi Cilacap pada bulan yang sama memiliki nilai maksimum sebesar 6.18 meter/detik dengan arah menuju tenggara dan nilai minimum sebesar nol meter/detik. Nilai rata-rata kecepatan angin hasil pengukuran insitu yaitu sebesar 1.19 meter/detik. Nilai kecepatan serta arah angin insitu selama bulan Februari 2007 di Cilacap ditunjukkan pada Gambar 17. Gambar 16. Arah [ ] dan Kecepatan Angin [m/s] Masukan Model pada Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap 55

2 56 Gambar 17. Arah [ ] dan Kecepatan Angin [m/s] Insitu pada Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap Pada bulan Februari 2007, angin masukan model maupun hasil pengukuran insitu bertiup dengan kecepatan dan arah yang bervariasi (Gambar 18). Angin masukan model yang bertiup ke arah timur memiliki frekuensi tertinggi yaitu lebih besar dari 20%. Frekuensi angin yang mengarah ke tenggara sekitar 20%, sedangkan frekuensi angin yang bertiup ke arah selatan kurang dari 15%. Kecepatan angin tertinggi, yaitu pada kisaran empat hingga lima meter/detik terutama terjadi saat angin sedang bertiup ke arah timur dan timur laut. Angin hasil pengukuran insitu dominan bertiup ke arah selatan dengan frekuensi bertiup lebih dari 50%. Kecepatan angin yang bertiup ke arah tersebut sebagian besar berada pada kisaran nol sampai satu meter/detik. Sementara itu angin yang bertiup ke arah lainnya pada musim yang sama umumnya memiliki intensitas masing-masing sekitar lebih kurang 10%. Kecepatan angin tertinggi yaitu di atas lima meter/detik terjadi pada saat arah angin sedang bertiup ke tenggara.

3 57 INPUT MODEL INSITU Gambar 18. Windrose Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model dan Insitu pada Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa data angin yang menjadi masukan model memiliki pola yang cukup berbeda dengan data angin hasil pengukuran lapang BMKG. Data angin yang digunakan untuk masukan model memiliki nilai rata-rata yang lebih besar dari data angin insitu. Salah satu faktor penyebab perbedaan nilai kedua data tersebut yaitu terdapat perbedaan metode pengukuran arah dan kecepatan angin antara IFERMER dan BMKG. Selain itu, perbedaan interval pengukuran antara IFREMER dan BMKG akan mempengaruhi data angin yang dihasilkan. Interval pengukuran yang lebih rapat akan memperbesar keakuratan data angin yang dihasilkan. Nilai data masukan model yang lebih besar dapat memperbesar data hasil keluaran. Data angin yang digunakan untuk model memiliki frekuensi arah bertiup hampir merata ke segala arah terutama ke arah timur dan tenggara, sedangkan data

4 angin hasil pengukuran lapang memiliki nilai intensitas yang cenderung dominan ke arah selatan Musim Timur Pada musim timur, kecepatan angin maksimum hasil masukan model yaitu sebesar 7.75 meter/detik dengan arah bertiup menuju barat laut. Sedangkan kecepatan angin minimum dari hasil masukan model tersebut adalah 3.35 meter/detik dengan arah bertiup juga menuju barat laut. Rata-rata kecepatan angin hasil masukan model pada musim timur ini yaitu sebesar 5.27 meter/detik. Grafik kecepatan serta arah angin hasil model selama bulan Agustus 2007 di Cilacap disajikan pada Gambar 19. Kecepatan angin hasil pengukuran lapang pada musim timur 2007 memiliki nilai maksimum sebesar meter/detik dan bertiup ke arah barat. Sedangkan nilai minimum kecepatan angin pada musim tersebut yaitu sebesar nol meter/detik. Nilai rata-rata kecepatan angin insitu pada musim timur adalah 2.80 meter/detik. Grafik kecepatan angin insitu selama bulan Agustus 2007 di Cilacap ditampilkan pada Gambar 20. Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model pada Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap

5 59 Gambar 20. Arah dan Kecepatan Angin Insitu pada Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap Gambar 21 menampilkan grafik kecepatan dan pola arah angin masukan model dan insitu pada musim timur 2007 di Cilacap. Angin masukan model pada musim timur dominan bertiup ke arah barat laut dengan frekuensi bertiup sebesar 70%. Sementara itu, hanya 30% dari arah keseluruhan angin yang bertiup mengarah ke barat. Kecepatan angin terbesar yaitu lebih dari tujuh meter/detik terjadi pada saat angin bertiup menuju timur laut. MASUKAN MODEL INSITU Gambar 21. Windrose Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model dan Insitu pada Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap

6 60 Angin insitu pada musim timur dominan bertiup ke arah barat dengan frekuensi mencapai 65% dan berkecepatan lebih dari tujuh meter/detik (Gambar 21). Sebanyak 15% dari total keseluruhan angin yang bertiup pada bulan Agustus 2007 menuju ke arah barat laut dan 15% sisanya bertiup ke selatan, sedangkan kurang dari 5% angin yang bertiup ke arah barat daya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada bulan Agustus 2007 rata-rata kecepatan angin yang digunakan dalam masukan model memiliki nilai yang jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kecepatan angin hasil pengukuran lapang. Perbedaan nilai tersebut dipengaruhi oleh perbedaan metode pengukuran antara IFREMER dengan BMKG. Selain itu, interval pengukuran yang dilakukan BMKG lebih rapat jika dibandingkan dengan IFREMER. Hal tersebut akan mempengaruhi keakuratan data, dimana interval pengukuran yang lebih rapat akan semakin mendekati kondisi angin yang sebenarnya. Besarnya kecepatan angin masukan model akan menyebabkan pengaruh angin pada model sebaran lapisan minyak di permukaan laut Cilacap pada musim timur menjadi lebih besar dari kondisi sebenarnya. Namun masing-masing dari data angin tersebut menunjukkan frekuensi arah bertiup yang cenderung sama yaitu dominan menuju arah barat dan barat laut. Perbandingan sebaran data angin insitu dan data angin yang digunakan untuk pemodelan dalam bentuk vektor U dan vektor V pada bulan Agustus 2007 disajikan dalam Gambar 22. Masing-masing data insitu maupun data angin masukan pemodelan dibuat dengan interval waktu yang sama. Persamaan interval waktu dilakukan untuk memudahkan dalam membandingkan kedua data tersebut. Sebagian besar dari kedua data tersebut, baik yang digunakan untuk pemodelan

7 61 maupun hasil pengukuran lapang memiliki pola sebaran yang hampir serupa. Kedua data tersebut memiliki sebaran yang seragam dan secara dominan berada pada kuadran IV. Vektor angin yang digunakan dalam masukan model memiliki sebaran yang lebih rapat dengan nilai Vektor U berada di bawah -2 radian. Sementara nilai vektor angin yang didapat dari pengukuran lapang memiliki sebaran yang lebih luas dengan nilai Vektor U dimulai dari nol. Gambar 22. Pola Scattering Data Angin Masukan Model dan Insitu di Perairan Cilacap pada Musim Timur Verfikasi Pasang Surut Musim barat Gambar 23 menyajikan perubahan tinggi muka air laut masukan model pada bulan Februari 2007 di Cilacap. Perairan Cilacap memiliki pola pasang surut campuran dominasi ganda. Tinggi muka air laut pada saat pasang tertinggi mencapai 0.86 meter di atas permukaan laut. Sedangkan tinggi muka air laut pada saat surut terendah mencapai 0.75 meter di bawah Mean Sea Level (MSL).

8 62 Gambar 23. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Prediksi Model pada Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap Musim timur Perubahan tinggi muka air laut hasil masukan model pada bulan Agustus 2007 di perairan Cilacap mewakili kondisi pasang surut pada musim timur dan disajikan pada Gambar 24. Kenaikan muka air laut tertinggi yaitu mencapai 0.87 meter di atas permukaan laut, sedangkan muka air laut terendah pada grafik yaitu 0.75 meter di bawah Mean Sea Level (MSL). Hasil pengukuran lapang menunjukkan bahwa nilai muka air laut tertinggi terjadi saat air laut pasang yaitu 1.03 meter di atas permukaan laut (Gambar 25), sedangkan nilai muka air laut terendah saat perairan mengalami surut yaitu 0.95 di bawah Mean Sea Level. Gambar 24. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Prediksi Model pada Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap

9 63 Gambar 25. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Pengukuran Insitu pada Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa data pasang surut hasil masukan model memiliki nilai tinggi muka laut maksimum dan minimum yang lebih rendah dari data pasang surut insitu. Gambar 26 menampilkan perbandingan fluktuasi tinggi muka air laut hasil pemodelan maupun hasil pengukuran lapang di perairan Cilacap dari tanggal 13 Agustus :00 AM hingga 16 Agustus :00 AM. Gambar 26. Perbandingan Fluktuasi Tinggi Muka Air Laut Hasil Pemodelan dan Tinggi Muka Air Laut Hasil Pengukuran Insitu di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007

10 64 Dari gambar tersebut terlihat bahwa tidak terdapat beda fase antara pasang surut hasil masukan model dan pasang surut insitu. Namun terdapat perbedaan nilai amplitudo pada kedua data pasang surut tersebut. Umumnya, tinggi muka laut hasil pengukuran insitu memiliki nilai amplitudo yang lebih besar dari data hasil masukan model. Perbedaan amplitudo pada kedua grafik pasang surut tersebut mencapai 0.15 meter. Perbedaan nilai tersebut cukup kecil dan tidak banyak berpengaruh pada sebaran lapisan minyak di Perairan Cilacap Hasil Pemodelan Hidrodinamika Kondisi hidrodinamika yang diamati setiap musimnya mengacu pada kondisi pasang surut perairan setempat, antara lain: kondisi pasang tertinggi, surut terendah, menjelang pasang dan menjelang surut saat muka laut berada pada posisi Mean Sea Level (MSL). Penentuan kondisi hirodinamika berdasarkan posisi tinggi muka laut ini bertujuan untuk membandingkan pola pergerakan arus di setiap kondisi tersebut yang akan mempengaruhi pola sebaran lapisan minyak di permukaan laut Musim Barat Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) Gambar 27 menampilkan kondisi hidrodinamika perairan Cilacap pada bulan Februari Kondisi hidrodinamika ditinjau saat air laut di titik P dalam kondisi menjelang pasang dimana muka laut berada dalam posisi Mean Sea Level (MSL). Tinggi muka air laut pada saat MSL seluruhnya berada pada kisaran nol hingga 0.07 meter di atas permukaan laut. Dalam kondisi tersebut tidak terjadi perbedaan gradien tinggi muka air laut di seluruh perairan dalam domain model.

11 65 Kondisi angin di titik P (Gambar 27) terlihat mengarah ke tenggara dengan kecepatan angin sebesar 1.3 meter/detik, sedangkan kondisi arus di titik P bergerak menuju timur laut dengan besar kecepatan arus mencapai meter/detik. Arus yang berada pada batas barat domain mengalir di sepanjang kanal utama hingga keluar menuju muara kanal. Di sepanjang Kali Donan terlihat bahwa arus yang mengalir di dalamnya bergerak menuju utara dengan kecepatan yang sangat kecil. Arus di seluruh perairan Teluk Penyu dengan kecepatan rendah bergerak cenderung menuju utara. Sebagian dari arus yang mengalir di perairan Teluk Penyu tersebut mendapat pengaruh dari pembelokan arus yang berasal dari kanal utama. Gambar 27. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Pasang (Muka Laut Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Februari 2007 Arus yang terbentuk di perairan secara dominan masih dipengaruhi oleh kondisi surut pada fase sebelumnya. Hal ini terlihat dari arah arus yang mengarah keluar dari kanal utama menuju Teluk Penyu yang berbatasan dengan Samudera Hindia.

12 Pasang Kondisi hidrodinamika hasil pemodelan di perairan Cilacap saat perairan mengalami pasang pada bulan Februari 2007 tersaji dalam Gambar 28. Tinggi muka laut pada saat pasang di titik P yaitu 0.8 meter di atas permukaan laut, sedangkan kondisi tinggi muka air laut secara keseluruhan di perairan Cilacap berkisar antara meter di atas permukaan laut. Kondisi angin pada titik P memiliki kecepatan sebesar dua meter/detik dengan arah bertiup menuju tenggara, sedangkan kondisi arus pada titik yang sama memiliki kecepatan sebesar meter/detik dengan arah mengalir menuju barat laut. Gambar 28. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Pasang pada Bulan Februari 2007 Arus pada batas timur domain bergerak langsung menuju ke dalam perairan Cilacap dan mengalir menuju utara, sesuai dengan kondisi perairan yang sedang mengalami pasang. Semakin mendekati pantai, kecepatan arus yang dihasilkan semakin berkurang. Kondisi tersebut disebabkan oleh pengaruh gesekan dasar yang semakin besar akibat perubahan kedalaman di wilayah pantai

13 67 yang relatif lebih dangkal. Arus pada batas barat domain justru mengarah ke timur atau keluar dari perairan Cilacap. Hal tersebut disebabkan sebagian perairan Cilacap masih dipengaruhi oleh fase surut yang terjadi sebelumnya (beda fase). Arus tersebut kemudian bergabung dengan arus yang berasal dari kanal utama dan bergerak membelok menuju aliran Kali Donan Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) Gambar 29 menampilkan kondisi hidrodinamika perairan Cilacap pada bulan Februari Kondisi hidrodinamika ditinjau saat air laut di titik P dalam kondisi menjelang surut dimana muka laut berada dalam posisi Mean Sea Level (MSL). Sebagian besar perairan Cilacap memiliki tinggi muka laut antara nol hingga 0.07 meter di atas permukaan laut, sedangkan disekitar batas barat domain, bagian barat kanal utama, dan disekitar muara Kali Donan memiliki tinggi muka laut berkisar antara hingga nol meter di atas permukaan laut. Kondisi angin di titik P memiliki kecepatan sebesar 2.2 meter/detik dengan arah bertiup menuju tenggara. Sedangkan kondisi arus pada titik P memiliki kecepatan sebesar meter/detik serta mengarah ke barat laut. Pola arus pada batas timur domain bergerak masuk menuju Teluk Penyu dengan kecepatan kurang dari 0.25 meter/detik. Arus tersebut bergerak menyusuri pantai Cilacap, kemudian keluar menuju batas timur domain bagian utara. Sebagian arus yang berasal dari batas timur domain berbelok menuju kanal utama kemudian mengalir menuju barat domain dengan kecepatan yang semakin besar. Semakin besarnya kecepatan arus pada daerah kanal tersebut dikarenakan kondisi perairan masih mendapat pengaruh dari fase pasang sebelumnya. Selain

14 itu kondisi geografi perairan yang menyempit dan berbentuk kanal menyebabkan arus bergerak lebih cepat. 68 Gambar 29. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Surut (Muka Laut Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Februari Surut Gambar 30 menampilkan kondisi perairan Cilacap pada saat terjadi surut pada bulan Februari Seluruh perairan Cilacap memiliki tinggi muka laut yang merata yaitu antara meter di bawah permukaan laut. Pada saat surut, angin pada titik P bergerak ke arah tenggara dengan kecepatan bertiup mencapai 2.4 meter/detik, sedangkan arus yang dimodelkan pada titik yang sama bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan mengalir mencapai meter/detik. Arus di seluruh perairan Teluk Penyu Cilacap bergerak masuk dari batas timur domain bagian utara, menyusuri pantai Cilacap kemudian berbelok keluar domain melalui batas timur bagian selatan. Pergerakan arus tersebut sesuai dengan fase pasang (flood tide), yaitu bergerak keluar dari domain perairan.

15 69 Sebagian kecil dari arus tersebut bergerak membelok ke arah kanal utama dengan kecepatan yang semakin kecil. Arus pada kanal utama cenderung mengarah ke barat dan bertemu dengan arus yang berasal dari Kali Donan kemudian keluar dari domain melewati batas barat domain. Dari pola arus yang terbentuk di sepanjang kanal utama, terlihat bahwa sebagian arus bergerak masuk ke alur pelayaran pada saat kondisi laut mengalami surut dikarenakan perairan di kanal utama masih dipengaruhi oleh fase pasang yang terjadi sebelumnya. Arus tersebut kemudian mengalami transisi menuju kondisi surut jika dilihat dari pola arus balik di batas utara domain dan di aliran Kali Donan yang mengarah keluar menuju muara Kali Donan. Gambar 30. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Surut pada Bulan Februari Musim Timur Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) Kondisi hidrodinamika perairan Cilacap menjelang surut dalam posisi muka laut berada pada Mean Sea Level di bulan Agustus 2007 disajikan dalam Gambar 31. Tinggi muka air laut di seluruh perairan Cilacap berkisar antara 0.08

16 70 hingga nol meter di bawah permukaan laut. Arah angin di titik P bertiup menuju barat dengan kecepatan sebesar 5.9 meter/detik, sedangkan kondisi arus pada titik yang sama memiliki kecepatan sebesar meter/detik menuju barat daya. Arus yang masuk dari batas timur domain bagian selatan bergerak menuju utara menyusuri pantai Teluk Penyu dan memutar keluar di batas timur domain bagian utara. Arus yang berasal dari batas timur domain bagian selatan sebagian mengalami pembelokkan menuju kanal utama. Kondisi kanal yang menyempit menyebabkan arus yang mengalir di sepanjang kanal membesar dan bergerak menuju batas barat domain. Sebagian kecil dari arus tersebut membelok ke perairan Kali Donan menuju utara. Arus di sepanjang kali Donan kembali membesar karena aliran sungai yang semakin menyempit di sekitar dermaga tanker. Gambar 31. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Surut (Muka Laut Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Agustus 2007 Keseluruhan pola arus saat menjelang surut terlihat masih mengarah memasuki perairan Cilacap. Kondisi perairan tersebut memiliki arah yang

17 71 berkebalikan dikarenakan masih dipengaruhi oleh fase pasang yang terjadi sebelumnya Surut Gambar 32 menyajikan kondisi hidrodinamika di perairan Cilacap pada bulan Agustus 2007 saat muka laut berada pada kondisi surut. Seluruh perairan Cilacap memiliki tinggi muka air laut antara meter di bawah permukaan laut, terkecuali pada perairan di sekitar mulut kanal hingga batas timur domain bagian selatan yang memiliki tinggi muka laut lebih rendah yaitu antara meter di bawah permukaan laut. Kondisi angin di titik P mengarah ke barat dengan kecepatan bertiup mencapai 5.4 meter/detik, sedangkan kecepatan arus di titik yang sama berkisar antara meter/detik dengan arah mengalir menuju ke barat daya. Gambar 32. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Surut pada Bulan Agustus 2007 Keseluruhan pola arus di perairan Cilacap sesuai dengan fase surut yang sedang terjadi dimana sebagian besar arus mengarah keluar dari perairan Cilacap.

18 72 Arus di sekitar Teluk Penyu bergerak masuk dari batas timur domain bagian utara setelah bergerak menyusuri pantai. Arus tersebut kemudian memutar keluar melewati batas timur domain bagian selatan. Sebagian kecil dari arus tersebut bergerak membelok dan menyusuri kanal utama menuju batas barat domain dengan kecepatan rendah. Kecepatan arus pada aliran Kali Donan juga rendah dan cenderung bergerak ke selatan menuju muara Kali Donan Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) Gambar 33 menampilkan kondisi hidrodinamika perairan Cilacap menjelang pasang pada bulan Agustus 2007 saat muka laut berada dalam posisi MSL. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kondisi perairan seluruhnya memiliki tinggi muka laut yang seragam yaitu berada pada kisaran nol hingga 0.07 meter di atas permukaan laut. Gambar 33. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Pasang (Muka Laut Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Agustus 2007 Kondisi angin di titik P mengarah ke barat dengan kecepatan bertiup mencapai 4.1 meter/detik, sedangkan kondisi arus di titik yang sama mengarah ke barat laut dengan kecepatan mengalir sebesar meter/detik.

19 73 Kondisi arus di perairan Cilacap saat menjelang pasang masih dipengaruhi oleh kondisi arus saat terjadi fase surut sebelumnya. Hal ini terlihat dari pola arus perairan yang masih bergerak keluar dari perairan Cilacap. Di sekitar perairan Teluk Penyu, arus bergerak masuk dari batas timur domain bagian utara kemudian keluar melalui batas timur domain bagian selatan. Sebagian kecil arus di perairan Teluk Penyu bergerak membelok ke dalam kanal utama. Perairan kanal utama juga menerima arus yang berasal dari Kali Donan dan Sungai Serayu. Pertemuan dua arus dengan arah yang berlawanan menyebabkan arah arus pada kanal menjadi tidak beraturan Pasang Kondisi hidrodinamika perairan Cilacap pada bulan Agustus 2007 saat perairan sedang mengalami pasang diperlihatkan pada Gambar 34. Tinggi muka laut saat terjadi pasang di titik P mencapai 0.82 meter di atas permukaan laut, sedangkan tinggi muka laut di seluruh perairan Cilacap berkisar antara meter di atas permukaan laut. Kondisi angin di titik P memiliki arah menuju barat dengan kecepatan bertiup mencapai lima meter/detik. Kecepatan arus di titik P mencapai meter/detik dengan arah mengalir menuju barat laut. Kondisi keseluruhan arus saat terjadi pasang umumnya mengarah ke dalam perairan Cilacap. Hal ini membuktikan bahwa kondisi perairan tidak lagi mendapat pengaruh dari fase surut yang terjadi sebelumnya. Arus di sekitar perairan Teluk Penyu masuk dari batas timur domain bagian selatan kemudian bergerak menyusuri pantai Cilacap. Arus tersebut juga membelok ke kanal utama menuju batas barat domain serta berbelok ke Kali Donan. Arus yang dihasilkan di

20 74 sepanjang kanal utama semakin membesar seiring menyempitnya aliran sungai tersebut. Gambar 34. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Pasang pada Bulan Agustus 2007 Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arus yang mengalir di domain perairan Cilacap sangat dipengaruhi oleh pasang surut perairan setempat. Berdasarkan pengamatan pada Titik P, arus yang dihasilkan oleh model saat menjelang pasang maupun saat menjelang surut pada kedua musim masih mendapat pengaruh dari fase sebelumnya yaitu fase surut maupun fase pasang. Hal tersebut menyebabkan arus yang dihasilkan saat kondisi perairan menjelang pasang ataupun menjelang surut saat muka laut berada pada kondisi MSL memiliki arah mengalir yang berkebalikan (beda fase). Kecepatan arus di Titik P pada saat surut relatif memiliki nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan kecepatan arus pada saat pasang. Hal tersebut disebabkan karena arus yang melewati Titik P berasal dari dalam kanal yang lebih

21 75 sempit. Semakin sempit luas penampang zat cair, maka kecepatan mengalirnya akan semakin besar. Kondisi arus, khususnya arus permukaan di perairan Cilacap juga mendapat pengaruh dari angin yang bertiup di atasnya. Pada saat surut, kecepatan arus pada musim barat relatif lebih besar dibandingkan pada musim timur. Hal tersebut disebabkan pada musim barat, arus saat surut searah dengan arah bertiup angin sehingga resultan keduanya semakin menguatkan. Pada musim timur, arus saat surut dan angin memiliki arah yang berkebalikan sehingga resultan keduanya akan saling melemahkan. Kondisi serupa terjadi pada saat pasang, dimana kecepatan arus pada musim timur relatif lebih besar dibandingkan pada musim barat Hasil Pemodelan Pola Sebaran Total Minyak Jenis minyak yang dimodelkan dalam skenario model tumpahan minyak di Peraran Cilacap, Jawa Tengah antara lain diesel, avtur, minyak mentah, dan aspal. Dalam sub bab Hasil Pemodelan Pola Sebaran Total Minyak ini, hanya akan ditampilkan salah satu hasil pemodelan tumpahan minyak yang berasal dari jenis avtur dimana seluruh sumber tumpahannya berasal dari kapal tanker. Sementara pembahasan hasil pemodelan tumpahan minyak lainnya secara keseluruhan akan dibahas pada sub bab Pembahasan Pola Sebaran Total Minyak. Visual hasil pemodelan tumpahan minyak yang disertakan dalam penulisan ini oleh penulis hanya dapat ditampilkan dalam ukuran minimalis. Untuk melihat hasil pemodelan tumpahan minyak tersebut secara utuh dan jelas, dapat dilihat dalam DVD Hasil Pemodelan Tumpahan Minyak (terlampir).

22 Musim Barat Kondisi Awal Gambar 35 menampilkan kondisi awal terjadinya tumpahan minyak jenis avtur di perairan Cilacap pada bulan Februari Terdapat tiga sumber masukan minyak ke permukaan laut. Sumber tumpahan pertama ditandai dengan lingkaran merah yang diasumsikan masuk ke lingkungan laut disebabkan oleh kecelakaan kapal tanker pengangkut avtur. Jumlah minyak yang diskenariokan tumpah mencapai 1800 m 3 dengan waktu keluaran selama 10 menit. Gambar 35. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Kondisi Awal di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Tumpahan minyak yang diasumsikan terjadi akibat kebocoran pengisian muatan avtur ke dalam kapal tanker ditandai dengan lingkaran berwarnaa kuning. Volume minyak yang diskenariokann tumpah berjumlah berjumlah 300 m 3 juga

23 77 dengan durasi tumpahan 10 menit. Lingkaran berwarna hijau menandakan sumber tumpahan minyak yang terjadi akibat karamnya kapal tanker yang bermuatan avtur. Jumlah total minyak yang diskenariokan tumpah yaitu 1800 m 3 dengan durasi tumpahan 25 menit. Kondisi awal perairan saat tejadi tumpahan avtur yaitu menjelang surut. Pada kondisi tersebut, lapisan minyak belum menyebar jauh dan masih berada di sekitar lokasi titik sumber dengan ketebalan masing-masing melebihi 144 mm Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) Pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap menjelang pasang pada bulan Februari 2007 disajikan dalam Gambar 36. Lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan tanker telah menyebar menjauhi titik sumber hingga melewati Transek E1 - E2. Ketebalan pada bagian tengah lapisan minyak mencapai lebih dari 144 mm dan semakin tipis saat menjauhi pusat lapisan. Arus yang mengalir pada kanal utama memiliki kecepatan cukup besar, sehingga dapat dengan mudah membawa lapisan minyak keluar dari kanal utama. Lapisan minyak kedua yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan tanker menyebar mendekati pantai di arah tenggara dikarenakan terpengaruh oleh angin permukaan dan terbawa oleh arus menyusur pantai. Lapisan minyak tersebut memiliki ketebalan antara mm di bagian pusat lapisan. Lapisan minyak yang berasal dari kapal tanker karam terlihat menyebar ke utara sesuai dengan gerak arus disekitarnya. Ketebalan lapisan minyak tersebut juga mencapai lebih dari 144 mm dibagian tengahnya.

24 78 Gambar 36. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Februari Pasang Padaa Gambar 37 disajikan pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap saat mengalami pasang padaa bulan Februari Lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan kapal tanker telah menyebar ke perairan Teluk Penyu menuju ke arah tenggaraa sesuai dengan arah pergerakan arus. Pada kondisi pasang, arus di mulut kanal mengalami transisi dari kondisi surut yang terjadi sebelumnya. Arus yang berbalik tersebut mengarah ke dalam perairan Cilacap sehingga menyebabkan lapisan minyak tertahan di mulut kanal. Arus yang berasal dari batas timur domain (Transek T1 - T2) bergerak mengarah ke utara dan menyebabkan ujung lapisan minyak tersebut menyebar mengikuti arah arus ke utara sehingga memperluas permukaan minyak. Ketebalan lapisan minyak

25 79 tersebut telah jauh berkurang, yaitu antara mm di bagian tengahnya dikarenakann telah mengalami prosess pelapukan. Gambar 37. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Pasang di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Minyak yang berasal dari kebocoran pengisian muatan tanker telah menyebar menjauhi sumber tumpahan dan mendekati pantai utara Pulauu Nusakambangan. Lapisan minyak yang berasal dari kapal tanker karam menyebar ke arah utaraa kemudian condong ke timur laut mendekati Transek T1 - T2. Penyebaran lapisan minyak ini memiliki lintasann yang paling jauh dikarenakan arus yang masuk disekitar batas timur domain berkecepatan tinggi. Lapisan minyak tersebut juga mengalami perluasan permukaan lapisan dengan ketebalan lebih besar dari 144 mm.

26 Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) Pola sebaran tumpahan minyak jenis avtur pada bulan Februari 2007 saat perairan Cilacap menjelang surut disajikan pada Gambar 38. Minyak yang berasal dari tabrakan kapal tanker menyebar dengan arah berbalik mendekati mulut kanal. Pola sebaran ini sesuai dengan pola sebaran arus di perairan sepanjang kanal yang masih dipengaruhi oleh kondisi pasang sebelumnya. Pusat lapisan minyak masih berketebalan lebih dari 144 mm, namun sebagian besar lapisan memiliki ketebalan di bawah 108 mm. Perubahan ketebalan lapisan tersebut disebabkan oleh adanya proses pelapukan. Lapisan minyak yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan tanker menyebar sesuai dengan arah pergerakan arus yaitu menuju ke barat. Lapisan tersebut tetap berada di sekitar garis pantai utara Pulau Nusakambangan dan tidak meyebar jauh dikarenakan kecepatan arus menyusuri pantai di lokasi tersebut juga tidak terlalu besar. Ketebalan maupun luas permukaan lapisan minyak tersebut telah jauh berkurang disebabkan adanya proses pelapukan minyak. Minyak yang berasal dari kebocoran kapal tanker karam, tidak lagi terdapat dalam domain. Lapisan minyak tersebut sebelumnya telah keluar dari domain melewati Transek T1 - T2.

27 81 Gambar 38. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Februari Surut Gambar 39 menyajikan pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap saat mengalami surut pada bulan Februari Lapisan minyak yang berasal dari tabrakan kapal tanker, menyebar menjauhi mulut kanal dan cenderung bergerak mendekati pantai Pulau Nusakambangan. Lapisan minyak tersebut kemudian terpisah menjadi dua bagian. Lapisan pertama merupakan bagian dari pusat lapisan sebelumnya dan terlihat mengalami penurunann ketebalan lapisan. Lapisan kedua terbentuk dari hasil akumulasi lapisan minyak awal dan memiliki ketebalan yang lebih tinggi pada bagian tengahnya. Lapisan minyak yang berasal dari kebocoran pengisian tanker tetap menyebar di sekitar garis

28 82 pantai Pulauu Nusakambangan. Ketebalan lapisan minyak tersebut umumnya berada di bawah enam milimeter. Gambar 39. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Surut di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Padaa gambar di atas terlihat bahwa lapisan minyak yang menyebar tepat melewati titik monitor hanya terdapat pada Titik Monitor E. Lapisan minyak yang melewati titik monitor tersebutt berasal dari peristiwa tabrakan kapal tanker di dalam kanal utama. Lapisan avtur yang terdapat di dalam domain model umumnya menyebar melewati pinggir transek. Ketebalan minyak yang melintasi masing-masing transek tidak terlihat jelas pada gambar. Hal ini dikarenakan lapisan minyak tersebut melintasi transek memiliki diameter permukaan yang kecil. Namun jika dilihat dalam Video Total Oil Avtur Barat (terlampir), maka dari seluruh transek tersebut hanya Transek T1

29 83 T2 dan Transek E1 E2 yang dilintasi oleh lapisan minyak. Transek T1 T2 terletak pada batas timur domain, sedangkan Transek E1 E2 terletak pada mulut kanal utama. Ketebalan lapisan minyak yang melewati Transek E1 E2 mencapai lebih dari 144 mm dengan diameter mencapai 200 meter, sedangkan ketebalan lapisan minyak yang melewati Transek T1 T2 mencapai lebih dari 144 mm dengan diameter mencapai 400 meter. Pergerakan lapisan minyak yang hanya melewati kedua transek tersebut disebabkan oleh pengaruh kondisi musim barat, dimana angin dominan bertiup dari arah barat Musim Timur Kondisi awal Gambar 40 menyajikan kondisi awal pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap pada bulan Agustus Tumpahan minyak pada musim timur diasumsikan memiliki sumber yang sama dengan musim barat. Kondisi perairan saat awal tumpahan yaitu sedang mengalami pasang. Lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan kapal tanker telah menyebar jauh ke dalam kanal utama hingga berada di tepi utara kanal dengan ketebalan lapisan lebih dari 14 mm pada bagian tengahnya. Sebaran minyak tersebut bergerak ke arah barat laut sesuai dengan vektor arus dan angin. Vektor arus dan angin pada musim timur sangat berpengaruh terhadap sebaran lapisan minyak dikarenakan kecepatan angin yang cukup besar.

30 84 Gambar 40. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Kondisi Awal di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 Lapisan minyak yang berasal dari kebocoran saat pengisian tanker menyebar searah dengann arah angin hingga mencapai mulut kanal. Bagian tengah lapisan avtur memiliki ketebalan hingga mm sementara minyak yang melewati pada Titik Monitor E memiliki ketebalan lebih dari 100 mm. Lapisan minyak yang bersumberr dari tanker karam menyebar menujuu ke arah barat laut perairan Teluk Penyu. Ketebalan lapisan tersebut mencapai 144 m Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) Pola sebaran tumpahan minyak di perairan Cilacap menjelang surut pada bulan Agustus 2007 disajikan pada Gambar 41. Lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan kapal tanker telah menyebar menuju ke arah barat laut mengikuti arah pergerakan arus menyusur pantai di sepanjang kanal. Pergerakan lapisan

31 85 minyak tersebut kemudian terhalang oleh dermaga yang terletak di sebelah barat daratan Cilacap, sehingga minyak terjebak dan terakumulasi. Luas permukaan lapisan minyak tersebut menjadi berkurang namun ketebalannya bertambah di seluruh bagian lapisan hingga mencapai lebih dari 144 mm. Gambar 41. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 Lapisan minyak yang berasal dari kebocoran pengisian muatan tanker menyebar jauh ke dalam kanal sesuai dengan pergerakan arus di sepanjang kanal dan menyebar di bagian selatan daratan Cilacap. Luas permukaan lapisan tersebut semakin membesar, namun ketebalannya semakin berkurang yaitu berada pada kisaran antara mm. Lapisan minyak yang bersumber dari kapal tanker karam telah menyebar ke utara perairan Teluk Penyu. Luas permukaan lapisan

32 86 tersebut semakin membesar dan ketebalan lapisannya mencapai lebih dari 144 mm. Sementara di bagian tepi lapisan, ketebalannya hanya mencapai mm Surut Gambar 42 menyajikan pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap saat mengalami surut pada bulan Agustus Arah arus yang bergerak ke barat laut membuat lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan kapal tanker tetap terperangkap di sekitar dermaga pelabuhan. Keadaan tersebut yang disertai dengan proses pelapukan membuat lapisan minyak mengalami pengurangan luasan permukaan maupun ketebalan lapisan minyak. Lapisan minyak yang berasal dari kebocoran pengisian muatan tanker menyebar mengikuti arah arus menyusuri pantai menuju ke batas barat domain (Transek B1 - B2). Lapisan minyak tersebut mengalami penurunan luas permukaan serta pengurangan ketebalan lapisan hingga mencapai mm. Lapisan minyak yang berasal dari kapal tanker karam menyebar mendekati pantai Cilacap. Pada saat terjadi pasang, lapisan minyak bergerak mendekati pantai menuju utara. Namun saat terjadi surut, arus berbalik kembali ke selatan dan diikuti oleh lapisan minyak. Lapisan minyak tetap berada di sekitar pantai akibat dipengaruhi oleh arus menyusur pantai serta angin yang bertiup. Luas permukaan lapisan minyak semakin membesar dengan ketebalan lapisan tetap lebih besar dari 144 mm pada bagian pusatnya.

33 87 Gambar 42. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Surut di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) Pola sebaran total lapisan avtur pada di perairan Cilacap saat menjelang pasang padaa bulan Agustus 2007 disajikan dalam Gambar 43. Lapisan minyak yang berasal dari tabrakan kapal tanker maupun yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan tanker sudah tidak tampak lagi pada gambar. Lapisan tersebut telah mengalami pelapukan serta terbawa arus keluar dari domain model. Meskipun begitu, masih terdapat minyak yang terakumulasi dan terdampar di sekitar beberapa dermaga dengan ketebalan lebih dari 144 mm. Sementara itu, lapisan minyak yang berasal dari kapal tanker karam menyebar kembali ke pantai Cilacap sesuai dengan pergerakan arus menyusur pantai setelah sebelumnya keluar dari domain model melewati Transek U1 - U2

34 88 dengan diameter mencapai 200 meter. Terdapat lapisan minyak yang mengarah masuk ke dalam mulut dermaga nelayan. Ketebalan lapisan avtur meningkat dimana hampir seluruh permukaannya memilikii ketebalan lebih dari 1444 mm. Gambar 43. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus Pasang Gambar 44 menyajikan pola sebaran tumpahan lapisan avtur di perairan Cilacap saat pasang pada bulan Agustus Lapisan minyak yang masih berada dalam domain model berasal dari kapal karam di perairan Teluk Penyu. Adanya gerak arus yang memasuki perairan Cilacap saat terjadi pasang menyebabkan lapisan minyak tersebut menyebar memasuki dermaga nelayan. Ketebalan lapisan minyak tersebut berkisar antara 24 mm hingga mencapai lebih dari 144 mm.

35 89 Gambar 44. Pola Sebaran Total Lapisan avtur saat Pasang di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 Padaa gambar di atas terlihat bahwa hanya Titik Monitor E yang dilintasi oleh lapisan avtur dengan ketebalan lebih dari 100 mm. Pola sebaran lapisan minyak umumnya melewati bagian pinggir dari masing-masing transek. Lapisan minyak yang berasal dari kebocoran pengisian muatan tanker menyebar melewati Titik Monitor E dan melewati Transek E1 E2 dengan diameter mencapai 100 meter. Lapisan avtur yang dimodelkan tumpah pada musimm timur samaa sekali tidak menyebar melewati Transek T1 T2. Hal tersebut terjadi karena sebaran lapisan minyak di permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi angin pada musim timur yang dominan bergerak dari timur menujuu barat dan barat laut.

36 90 Kecilnya diameter permukaan minyak saat melintasi transek menyebabkan sebaran lapisan avtur tidak tampak jelas. Transek U1 U2 dilintasi lapisan minyak dengan posisi lintasan cenderung berada di sekitar Titik U1 yang berbatasan dengan garis pantai Cilacap. Pola sebaran minyak yang demikian disebabkan oleh adanya gerak arus menyusuri pantai serta pengaruh kondisi angin yang bertiup menuju barat laut dengan kecepatan yang cukup besar. Lapisan minyak yang melewati Transek U1 U2 memiliki ketebalan lebih dari 150 mm dan diameter mencapai 200 meter. Transek W1 W2 dan Transek B1 B2 juga dilintasi oleh lapisan minyak yang berasal dari dalam kanal utama. Lapisan minyak yang melewati kedua transek tersebut memiliki luas permukaan yang kecil namun ketebalan lapisannya cukup besar. Lapisan minyak yang melewati Transek B1 B2 memiliki ketebalan mencapai 120 mm dan diameter mencapai 100 meter, sedangkan lapisan minyak yang melintasi Transek W1 W2 memiliki ketebalan lebih dari 150 mm Pembahasan Pola Sebaran Tumpahan Minyak Seluruh lapisan minyak yang diasumsikan tumpah di perairan Cilacap dalam pemodelan ini, mengalami proses pelapukan seperti evaporasi, disolusi, emulsifikasi dan dispersi vertikal. Total ketebalan minyak dari berbagai proses tersebut selama mengalami pelapukan disebut sebagai total minyak (total oil). Total ketebalan lapisan pada masing-masing jenis minyak memiliki nilai yang bervariasi (Tabel 8).

37 Pasaang ASPAL CRUDE AVTUR DIESEL Tabel 8. Perbandinga P an Pola Sebaaran Total Lapisan L Dieesel, Avtur, Minyak Meentah, dan Aspal A pada Berbagai B K Kondisi Muk ka Laut saat Musim Barrat dan Mussim Timur di Perairan Cilacap Taahun 2007 MUSIIM TIMUR MUS SIM BARA AT R Meenjelang Pa asang Pa asang Meenjelang Su urut Su urut Meenjelang Su urut Surrut Men njelang Pasang na Skala Warn Diesel Avtu ur Crude Aspaal

38 92 Total lapisan minyak yang tumpah pada musim barat dan musim timur memiliki pola sebaran yang berbeda. Perbedaan pola sebaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain perbedaan kondisi awal pemodelan pada masingmasing musim serta perbedaan kondisi angin pada kedua musim. Pada musim barat, pemodelan tumpahan minyak dimulai saat kondisi perairan sedang mengalami pasang sehingga arus di sekitar perairan bergerak ke luar domain. Kondisi angin pada musim barat yang bertiup ke arah barat dan tenggara menyebabkan resultan antara arus dan angin saling menguatkan sehingga lapisan minyak ikut menyebar jauh menuju Teluk Penyu. Daerah perairan yang rawan terkena pencemaran tumpahan minyak pada terutama di sekitar pesisir utara Pulau Nusakambangan dan perairan Teluk Penyu serta tepi timur aliran Kali Donan. Pada musim barat, tingkat kerawanan pencemaran minyak pada perairan Cilacap bersifat sementara serta high recovery dikarenakan sebagian besar lapisan minyak cenderung menyebar meninggalkan domain menuju Samudera Hindia. Pada musim timur, lapisan minyak dimodelkan tumpah saat perairan sedang mengalami kondisi surut sehingga arus laut di sekitarnya mengarah masuk ke dalam perairan Cilacap. Resultan arus tersebut semakin diperkuat oleh kondisi angin pada musim timur yang bertiup kencang menuju timur dan barat laut sehingga menyebabkan lapisan minyak yang tumpah di permukaan laut tersebar cukup jauh ke dalam perairan Cilacap. Daerah perairan Cilacap yang sangat rawan terhadap pencemaran minyak yaitu meliputi aliran kanal utama, tepi barat aliran Kali Donan, dan daerah sekitar pesisir Pantai Cilacap. Lebih dari itu, tumpahan minyak pada musim timur dapat memasuki daratan melalui aliran sungai Kaliyasa yang mengalir membelah daratan Cilacap. Pola sebaran lapisan

39 93 minyak yang bergerak menuju ke dalam perairan Cilacap menyebabkan risiko kerawanan pencemaran minyak terhadap perairan Cilacap pada musim timur lebih tinggi dan lebih persistent dibandingkan pada musim barat. Pada keseluruhan proses pelapukan yang terjadi pada semua jenis minyak, lapisan aspal memiliki total ketebalan lapisan tertinggi yaitu lebih dari 192 mm. Lapisan minyak avtur dan minyak mentah memiliki ketebalan mencapai lebih dari 144 mm, sementara diesel memiliki ketebalan lapisan terkecil yaitu lebih dari mm. Lapisan minyak tersebut memiliki ketebalan yang berbeda-beda dikarenakan mengalami proses pelapukan dengan tingkat berbeda pula Hasil Pemodelan Proses Pelapukan Tumpahan Minyak di Laut Minyak yang masuk ke lingkungan perairan laut akan membentuk lapisan tipis di atas permukaan laut. Lapisan tersebut kemudian akan mengalami proses pelapukan yang disebabkan oleh pengaruh cuaca. Proses pelapukan yang terjadi pada lapisan minyak tergantung dari masing-masing jenis minyak yang tumpah. Salah satu contoh hasil pemodelan yang akan dijelaskan dalam sub bab ini yaitu proses pelapukan minyak dari jenis avtur. Tingkat pelapukan minyak tersebut dibahas per satu jam, 12 jam, 24 jam dan menjelang akhir waktu pemodelan. Pembahasan mengenai proses pelapukan masing-masing jenis minyak lainnya akan dibahas pada sub bab Pembahasan Proses Pelapukan Tumpahan Minyak di Laut Musim Barat Jam ke-1 Minyak jenis avtur yang tumpah di perairan Cilacap diasumsikan tumpah dari tiga titik sumber utama. Lapisan minyak pertama bersumber dari tabrakan

40 94 kapal tanker di sekitar dermaga tanker. Lapisan minyak kedua bersumber dari kebocoran pengisian muatan tanker, sedangkan lapisan ketiga berasal dari kapal tanker karam di alur pelayaran. Ketiga sumber tumpahan avtur dimodelkan mulai tumpah padaa waktu yang bersamaan namun memiliki total waktu tumpah yang berbeda. Gambar 45 merupakan pola sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah satu jam pada bulan Februari Gambar 45. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-1 di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Padaa gambar tersebut terlihat bahwa satu jam setelah terjadinya tumpahan, lapisan minyak tersebut masih menyebar di sekitar titik sumber. Luas permukaan masing-masing tumpahan relatif kecil jika dibandingkan dengan volume avtur yang tumpah ke laut. Kondisi lapisan minyak yang belum menyebar serta kondisi

41 luas permukaan yang sempit membuat penyebaran lapisan minyak tersebut masih mudah untuk ditangani Jam ke-12 Sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-12 pada bulan Februari 2007 dapat dilihat pada Gambar 46. Dari gambar tersebut terlihat bahwa hanya terdapat dua lapisan avtur yang berada dalam domain perairan Cilacap. Lapisan minyak pertama yang bersumber dari tabrakan kapal tanker menyebar di mulut kanal dan memiliki luas permukaan yang cukup besar dengan panjang lapisan mencapai 1.2 km dan lebar lapisan 0.4 km. Lapisan avtur kedua yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan menyebar di dekat pantai utara Pulau Nusakambangan dan membentuk garis dengan panjang lapisan mencapai 0.3 km. Lapisan minyak pertama menyebar keluar dari kanal utama dan telah melakukan perjalanan sepanjang 2.2 km, sedangkan lapisan minyak kedua menyebar menuju pantai Pulau Nusakambangan sejauh 1.2 km dari titik sumbernya. Lapisan avtur ketiga yang bersumber dari kapal tanker karam menyebar dan bergerak menuju utara sejauh 2.8 km dengan lebar lintasan mencapai 0.3 km. Lapisan tersebut kemudian keluar meninggalkan perairan Cilacap melewati batas timur domain pada jam ke-12 setelah terjadinya tumpahan. Proses evaporasi lapisan minyak yang bersumber dari tabrakan kapal tanker memiliki tingkat evaporasi antara nol hingga mm. Sedangkan pada lapisan minyak yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan memiliki tingkat evaporasi antara mm. Proses disolusi lapisan minyak

42 96 yang pertama memiliki tingkat disolusi antara 5 x x 10-7 mm, sedangkan pada lapisan kedua memiliki tingkatt disolusi antara 3.8 x x 10-7 mm. Gambar 46. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-12 di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Tingkat dispersi vertikal pada lapisan minyak yang pertama sebagian besar berada pada kisaran 2.3 x x 10-7 mm, sedangkan pada lapisan minyak kedua memiliki ketebalan di atas 1.6 x 10-6 mm. Ketebalan emulsifikasi pada lapisan avtur pertama yaitu mencapai mm, sedangkann pada lapisan avtur yang kedua memiliki ketebalan antara mm. Exceedance frequency merupakan laju perubahan konsentrasi fraksi tumpahan minyak saat berada di permukaan laut. Lapisan avtur yang pertama, memiliki nilai exceedance frequency tertinggi pada lapisan yang terletak di sekitar sumber tumpahan yaitu antara %. Laju perubahan konsentrasi fraksi

43 97 tumpahan minyak tersebut semakin berkurang saat menjauhi sumber tumpahan. Exceedance frequency pada pusat lapisan minyak memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu di atas 4.5 %, sedangkan pada perairan yang baru saja dilintasi oleh lapisan minyak, laju perubahan konsentrasi fraksi tumpahan minyak tersebut memiliki nilai yang rendah, yaitu antara nol hingga 0.4 % Jam ke-24 Sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-24 pada bulan Februari 2007 disajikan pada Gambar 47. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kedua lapisan minyak yang terdapat di perairan Cilacap telah terakumulasi menjadi satu lapisan. Lapisan minyak pertama yang berasal dari tabrakan kapal tanker bergerak menuju pantai pulau Nusakambangan dan menyatu dengan lapisan minyak kedua. Lapisan minyak kedua yang bersumber dari kebocoran pengisian muatan sebelumnya telah lebih dahulu menyebar hingga ke pantai Pulau Nusakambangan. Panjang pantai Nusakambangan yang telah dilewati oleh lapisan avtur tersebut mencapai dua km. Di daerah pesisir Pulau Nusakambangan yang membentuk cekungan, lapisan minyak terkonsetrasi dan memiliki ketebalan evaporasi antara mm hingga mencapai mm. Sementara itu, proses disolusi pada lapisan minyak tersebut yaitu antara 2 x 10-7 mm hingga lebih dari 4.6 x 10-7 mm. Proses dispersi vertikal pada lapisan minyak di sepanjang pantai Pulau Nusakambangan memiliki ketebalan antara 7.5 x 10-8 mm hingga 3.9 x 10-7 mm. Sementara proses emulsifikasi lapisan minyak tersebut bervariasi antara mm.

44 98 Laju perubahan konsentrasi fraksi minyak cenderung semakin kecil pada seluruh areaa yang telah dilewati oleh lapisan minyak. Laju perubahan konsentrasi fraksi tetap tinggi pada lapisan minyak yang memiliki ketebalan tinggi. Gambar 47. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-24 di Perairan Cilacap pada Bulan Februari Jam ke-96 Sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-96 pada bulan Februari 2007 disajikan dalam Gambar 48. Dalam waktu empat hari sejak terjadinya tumpahan, lapisan minyak tidak lagi menyebar di dalam domain perairan Cilacap melainkan telah hilang akibat proses pelapukan serta terbawaa arus menujuu ke luar domain perairan Cilacap. Lapisan minyak telah menyebar terutama di sekitar mulut kanal hingga mencapai daerah di sekitar batas timur domain. Jarak lintasan minyak yang membujur dari barat ke

45 99 timur telah mencapai empat kilometer, sedangkan jarak dari utara ke selatan juga mencapai empat kilometer. Gambar 48. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-96 di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 Dalam Gambar 48 tersebut tidak lagi terlihat adanyaa lapisan minyak yang mengalami proses evaporasi, disolusi, dipersi vertikal, maupun emulsifikasi. Laju perubahan konsentrasi fraksi lapisan minyak di permukaan laut setelah jam ke-96 besar beradaa pada kisaran nol hingga 0.4%. Masih terdapat nilai laju perubahan konsentrasi fraksi yang agak tinggi di sekitar pantai Pulau Nusakambangan, yaitu antara %. Lapisan minyak tersebut memiliki nilai exceedance frequency lebih tinggi dari sekitarnya dikarenakan masih terdapat akumulasi minyak yang membuat lapisan minyak di area tersebut lebih tebal dari sekitarnya.

46 100 Dari penjelasan diatas, dapat diketahui pola proses pelapukan lapisan minyak dari masing-masing parameter yaitu nilai evaporasi, disolusi, dispersi vertikal dan emulsifikasi. Pada satu jam pertama setelah terjadinya tumpahan, lapisan avtur terlihat belum menyebar luas dari lokasi sumber. Luas permukaan lapisan minyak yang kecil menyebabkan proses pelapukan tidak dapat terlihat jelas. Pada jam ke-12, telah terlihat nilai pelapukan pada masing-masing parameter. Nilai tersebut semakin meningkat pada time step jam ke-24, kecuali pada proses dispersi vertikal. Selain itu, nilai exceedance frequency lapisan minyak pada time step tersebut juga mengalami penurunan. Setelah Jam ke-96, lapisan avtur tersebut tidak lagi mengalami proses pelapukan disebabkan seluruh lapisan minyak telah terbawa arus keluar dari domain model perairan Cilacap. Nilai yang terlihat pada time step tersebut hanya exceedance frequency yang kini memiliki nilai sangat kecil. Semakin mengecilnya laju perubahan konsentrasi fraksi lapisan minyak disebabkan karena komponen kimia yang terkandung di dalam lapisan minyak sebagian besar telah mengalami pelapukan Musim Timur Jam ke-1 Gambar 49 merupakan sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-1 pada bulan Agustus Terdapat tiga sumber tumpahan minyak yang diasumsikan tumpah ke laut dimana jenis minyak, lokasi dan jumlah tumpahannya sama seperti pada musim barat. Lapisan minyak pertama berada di pantai selatan Cilacap dengan panjang lapisan mencapai 600 meter. Lapisan minyak kedua berada di sekitar mulut kanal utama dengan panjang lapisan mencapai 400 meter. Sedangkan lapisan minyak

47 101 ketiga masih berada di tengah-tengah perairan Teluk Penyu dengan panjang lapisan mencapai 400 meter. Proses penguapan yang terjadi pada bagian tengah lapisan avtur yang pertama mencapai mm, sedangkan ketebalan evaporasi pada lapisan kedua berada di bawah mm dan pada lapisan ketiga mencapai mm. Proses evaporasi pada lapisan pertama lebih besar dibandingkan dengan lapisan lainnya. Proses disolusi pada lapisan avtur pertama memiliki ketebalan antara 1.9 x 10-7 mm hingga 2.1 x 10-7 mm. Lapisan avtur kedua dan ketiga masing-masing memiliki ketebalan di bawah 3 x 10-8 mm dan 7 x 10-8 mm dalam proses disolusi. Hal ini berbanding lurus dengan tingkat evaporasi serta proses dispersi vertikal yang terjadi pada masing-masing lapisan minyak. Proses dispersi vertikal pada lapisan minyak yang pertama sebagian besar memiliki ketebalan di atas 6.9 x 10-5 mm. Lapisan minyak kedua mengalami proses dispersi vertikal sebanyak 5.7 x x 10-6 mm, dan lapisan minyak ketiga mencapai lebih dari 6.9 x 10-6 mm pada bagian tengah lapisan. Tingkat emulsifikasi pada bagian tengah lapisan minyak pertama mencapai mm. Sementara itu, lapisan minyak kedua mengalami proses emulsifikasi dengan ketebalan di bawah 25 mm. Lapisan minyak ketiga mengalami proses emulsifikasi dengan ketebalan antara mm. Lapisan minyak pertama mengalami proses emulsifikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan proses emulsifikasi yang terjadi pada lapisan minyak kedua dan ketiga.

48 102 Laju perubahan konsentrasi fraksi lapisan minyak jenis avtur pada satu jam pertamaa menunjukkan tingkat yang tinggi, yaitu lebih besar dari 18% di seluruh lapisan yang tumpah. Hal ini disebabkan pada awal mula tumpahan, lapisan minyak mengalami proses pelapukan sehingga konsentrasi lapisan minyak tersebut terus mengalami perubahan. Gambar 49. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-1 di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus Jam ke-12 Sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-12 pada bulan Agustus 2007 disajikan dalam Gambar 50. Lapisan avtur kedua yang berasal dari kebocoran pengisian muatan tanker telah tergabung dengan lapisan avtur yang pertama. Gabungan dari kedua lapisan tersebut menyebar menuju ke dalam kanal utama. Panjang lintasan gabungan

49 103 lapisan minyak tersebut mencapai empat km dan menyebar di tepi utaraa alian kanal utama. Lapisan minyak ketiga telah mencapai pantai Cilacap dengan menempuh perjalanan sepanjang dua km dari timur ke barat. Proses penguapan terjadi terutama pada lapisan minyak yang berada di pantai timur Cilacap. Lapisan minyak yang memiliki panjang hampir 600 meter tersebut mengalami evaporasi dengan ketebalan antara mm, sedangkan lapisan minyak lainnya mengalami evaporasi di bawah mm. Gambar 50. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-12 di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 Proses disolusi memiliki ketebalan tertinggi terutamaa pada lapisan minyak yang berasal dari kapal tanker karam yaitu di atas 2.3 x 10-7 mm. Pada lapisan avtur lainnyaa hampir tidak terlihat adanya proses disolusi dikarenakan luas

50 104 permukaannya telah mengecil atau memiliki ketebalan disolusi di bawah 5 x 10-8 mm. Lapisan minyak di timur pantai Cilacap masih mengalami dispersi vertikal dengan ketebalan di bawah 1 x 10-6 mm. Proses emulsifikasi tertinggi terjadi pada lapisan minyak di sisi timur pantai Cilacap dengan ketebalan lebih dari 275 mm. Lapisan minyak lainnya mengalami emulsifikasi dengan ketebalan di bawah 50 mm. Laju perubahan konsentrasi fraksi tertinggi terjadi pada lapisan minyak di pantai timur dan selatan Cilacap hingga mencapai 15% Jam ke-24 Sebaran serta proses pelapukan lapisan avtur yang tumpah di perairan Cilacap setelah jam ke-24 pada bulan Agustus 2007 disajikan dalam Gambar 51. Lapisan minyak yang menyebar memasuki Sungai Kaliyasa melalui dermaga nelayan. Proses penguapan pada lapisan minyak tidak lagi terlihat, terkecuali pada lapisan minyak yang berada di dalam aliran Sungai Kaliyasa yang berada pada kisaran mm. Hal yang sama juga tejadi pada proses disolusi dimana ketebalannya mencapai lebih dari 2.3 x 10-7 mm. Proses dispersi vertikal tidak lagi terlihat nilainya, namun proses emulsifikasi masih berlangsung dengan ketebalan antara mm pada lapisan minyak di aliran Sungai Kaliyasa. Diperkirakan proses dispersi vertikal tersebut masih berlangsung namun memiliki ketebalan di bawah nilai kisaran terendah skala. Laju perubahan konsentrasi fraksi lapisan minyak di sekitar aliran kanal berada di bawah 1%, sedangkan lapisan minyak yang berada di Teluk Penyu

51 105 masih mengalami laju perubahan konsentrasi fraksi minyak sebesar 5%. Selanjutnya sebaran lapisan avtur ini tidak mengalami perubahan lagi dikarenakan lapisan avtur tersebut telah hilang dari kolom perairan Cilacap karena mengalami pelapukan. Gambar 51. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-24 di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada musim timur lapisan avtur lebih cepat hilang atau meninggalkan permukaan laut padaa domain model dibandingkan dengan musim barat. Kecepatan anginn yang bertiup lebih besar pada musim timur mempercepat proses pelapukan lapisan minyak. Pada Jam ke-1, lapisan minyak pertama memiliki tingkat pelapukan paling tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pelapukan pada lapisan minyak kedua dan ketiga meskipun jumlah tumpahan lapisan minyak pertama memiliki nilai yang sama

52 106 dengan jumlah tumpahan lapisan ketiga. Tingginya nilai pelapukan pada lapisan minyak pertama dikarenakan lapisan minyak tersebut mendapat pengaruh dari posisinya yang dekat dengan daratan. Perairan yang dekat dengan daratan umumnya lebih dangkal dan lebih cepat menerima bahang. Selain itu perairan yang berada dekat dengan daratan juga lebih banyak mengalami turbulensi akibat gesekan dasar. Turbulensi tersebut dapat meningkatkan luas permukaan lapisan minyak sehingga mempercepat proses pelapukan. Tingginya tingkat pelapukan yang terjadi serta kondisi kecepatan arus pada kanal yang cukup besar menyebabkan volume lapisan minyak tersebut cepat berkurang. Kondisi yang sama juga terjadi pada lapisan minyak kedua dan terlihat pada time step Jam ke-12. Lapisan minyak ketiga pada time step tersebut justru memiliki nilai pelapukan yang paling tinggi. Pada time step tersebut, lapisan minyak ketiga baru saja sampai ke tepi pantai Cilacap. Selanjutnya pada jam ke- 24, hanya lapisan minyak ketiga saja yang masih berada dalam domain model dan mengalami proses pelapukan. Proses pelapukan yang terjadi pada lapisan minyak memiliki nilai yang sama dengan jam ke-12 sebelumnya, kecuali pada nilai exceedance frequency yang semakin menurun. Setelah jam ke-24 tersebut, lapisan avtur tidak lagi terlihat berada di dalam kolom perairan Pembahasan Proses Pelapukan Tumpahan Minyak di Laut Masing-masing jenis minyak yang dimodelkan tumpah di perairan Cilacap memiliki tingkat pelapukan yang bervariasi sesuai dengan karakteristik masingmasing minyak. Pada proses pelapukan kali ini, akan dibahas kondisi ketebalan lapisan masing-masing jenis minyak setelah tumpah di perairan selama 12 jam.

53 107 Perbandingan proses evaporasi dan disolusi masing-masing jenis minyak pada musim barat dan musim timur ditampilkan pada Tabel 9. Proses evaporasi lapisan avtur dan minyak mentah cenderung lebih tinggi pada musim timur. Minyak mentah memiliki ketebalan evaporasi tertinggi yaitu mm pada musim barat dan 3.6 mm musim timur, sementara avtur memiliki ketebalan evaporasi sebesar mm pada musim barat dan mm pada musim timur. Jika dilihat dari pola penyebarannya, kedua lapisan minyak tersebut cenderung menyebar di dekat daratan pada musim timur. Lebih tingginya tingkat turbulensi lapisan minyak pada perairan di sekitar daratan menyebabkan peningkatan luas permukaan lapisan minyak yang akan meningkatkan ketebalan evaporasi pada awal terjadinya tumpahan. Selain itu posisi awal sumber tumpahan kedua jenis minyak yang cenderung berada di perairan terbuka mendapatkan pengaruh angin lebih besar pada musim timur sehingga meningkatkan proses evaporasi. Aspal memiliki ketebalan evaporasi sebesar mm pada musim barat dan 9.2 x 10-4 mm pada musim timur, sementara diesel dengan sumber masukan konstan memiliki ketebalan evaporasi mencapai mm pada musim barat dan pada musim timur. Suhu permukaan laut yang lebih tinggi pada musim barat lebih banyak mempengaruhi proses evaporasi lapisan minyak tipis seperti diesel sehingga cenderung lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Sementara pada musim timur, aspal lebih cepat keluar dari dalam domain sehingga proses evaporasi pada musim tersebut terlihat lebih rendah dibandingkan dengan musim barat.

54 108 Proses disolusi tertinggi terjadi pada lapisan minyak mentah dengan ketebalan lapisan mencapai 3.4 x 10-6 mm pada musim barat dan 4.6 x 10-6 mm pada musim timur. Berat molekul minyak mentah yang lebih besar dibandingkan jenis minyak lainnya memudahkan larutnya partikel minyak mentah ke dalam kolom perairan. Sementara lapisan minyak avtur dan diesel memiliki densitas yang lebih ringan sehingga cenderung menyebar rata di permukaan laut. Kondisi tersebut memungkinkan proses evaporasi berjalan lebih cepat dibandingkan dengan proses disolusi dimana keduanya sama-sama dialami oleh fraksi minyak aromatik. Lapisan avtur memiliki ketebalan disolusi sebesar 4.2 x 10-7 mm pada musim barat dan 2.3 x 10-7 pada musim timur, sementara lapisan aspal memiliki ketebalan disolusi 9.1 x 10-7 pada musim barat dan 2.3 x 10-8 pada musim timur. Lapisan diesel memiliki ketebalan disolusi sebesar 5 x 10-8 pada musim barat dan 1.3 x 10-8 pada musim timur. Seluruh jenis minyak mengalami proses disolusi tertinggi pada musim barat, kecuali pada minyak mentah. Turbulensi yang lebih tinggi pada kolom perairan menyebabkan lapisan minyak mentah mengalami peningkatan luas permukaan lapisan minyak yang dapat meningkatkan ketebalan disolusi pada musim timur. Namun pada lapisan avtur, peningkatan luas permukaan lapisan pada musim timur justru mempercepat terjadinya proses evaporasi dibandingkan dengan disolusi. Lapisan aspal pada musim barat lebih lama berada dalam domain sehingga nilai disolusi terlihat lebih tinggi.

55 Tabel 9. Perbandingan Proses Evaporasi dan Disolusi Seluruh Jenis Minyak yang Dimodelkan Tumpah di Perairan Cilacap pada Jam Ke- 12 pada Musim Barat dan Timur Tahun 2007 Musim Barat Musim Timur Evaporasi Disolusi Evaporasi Disolusi Aspal Crude Avtur Diesel

56 110 Perbandingan proses emulsifikasi dan dispersi vertikal seluruh jenis minyak pada musim barat dan musim timur disajikan dalam Tabel 10. Proses emulsifikasi lapisan avtur dan minyak mentah memiliki nilai yang lebih tinggi pada musim timur. Minyak mentah memiliki ketebalan emulsifikasi tertinggi yaitu 75 mm pada musim barat dan 275 mm musim timur, sementara avtur memiliki ketebalan evaporasi sebesar 62.5 mm pada musim barat dan 275 mm pada musim timur. Kedua lapisan minyak tersebut cenderung menyebar menuju permukaan laut yang berada di dekat daratan pada musim timur. Lebih tingginya tingkat turbulensi lapisan minyak pada perairan di dekat daratan menyebabkan peningkatan intrusi air laut ke dalam lapisan minyak (water-uptake) sehingga meningkatkan proses emulsifikasi dan meningkatkan ketebalan lapisan minyak seluruhnya. Pengaruh angin yang lebih besar pada musim timur terutama pada perairan terbuka juga meningkatkan turbulensi permukaan laut sehingga meningkatkan proses emulsifikasi. Aspal memiliki ketebalan emulsifikasi sebesar 275 mm pada musim barat dan 25 mm pada musim timur, sementara diesel dengan sumber masukan konstan memiliki ketebalan evaporasi mencapai mm baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim timur, aspal lebih cepat keluar dari dalam domain karena terdorong oleh arus dan angin permukaan sehingga proses emulsifikasi pada musim tersebut terlihat lebih rendah dibandingkan dengan musim barat. Proses emulsifikasi pada aspal banyak terjadi pada lapisan yang terdampar di sekitar tepi aliran Kali Donan. Sedangkan proses emulsifikasi pada diesel terjadi pada seluruh lapisan yang mengalami akumulasi. Nilai emulsifikasi yang rendah

57 111 pada lapisan diesel disebabkan karena diesel memiliki jumlah kandungan surfactant (aspal dan wax) dalam jumlah sedikit. Proses dispersi vertikal tertinggi terjadi pada lapisan minyak mentah dengan ketebalan lapisan mencapai 1.8 x 10-6 mm pada musim barat dan 1 x 10-6 mm pada musim timur. Minyak mentah memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan jenis minyak lainnya sehingga memudahkan masuknya partikel minyak mentah ke dalam kolom perairan. Selain itu, densitas partikel minyak mentah yang terdispersi memiliki nilai yang dapat mendekati densitas air laut di sekitarnya sehingga dapat mempertahankan kedudukan partikel untuk tetap berada dalam kolom perairan. Sementara itu, lapisan avtur dan diesel memiliki densitas yang lebih ringan sehingga cenderung kembali lagi ke lapisan minyak yang berada di permukaan laut. Hal yang sama terjadi pada lapisan avtur dimana memiliki ketebalan dispersi vertikal sebesar 1.6 x 10-6 mm pada musim barat dan 1 x 10-6 pada musim timur. Sementara itu, lapisan aspal memiliki ketebalan dispersi vertikal sebesar 9.2 x 10-7 pada musim barat. Pada musim timur, lapisan aspal telah terdispersi pada awal tumpahan sebelum akhirnya terbawa keluar dari domain perairan akibat pengaruh dari pergerakan arus dan angin permukaan. Lapisan diesel memiliki ketebalan dispersi vertikal sebesar 4.6 x 10-9 pada musim barat dan 4.5 x 10-9 pada musim timur. Proses dispersi vertikal pada lapisan diesel memiliki nilai yang sangat kecil dikarenakan masukan minyak tersebut ke dalam permukaan laut juga bernilai sangat kecil. Seluruh jenis minyak mengalami proses dispersi vertikal tertinggi pada musim barat dikarenakan pada musim timur lapisan minyak lebih banyak mengalami emulsifikasi sehingga menyebabkan viskositas lapisan minyak meningkat.

58 Aspal Crude Avtur Diesel Tabel 10. Perrbandingan Prosses Emulsifikasii dan Dispersi V Vertikal Seluruh Jenis Minyak yyang Dimodelkaan Tumpah di Peerairan Cilacap padda Jam Ke-12 paada Musim Barat dan Timur Taahun 2007 Musim Timur Musim Baarat Emulsifikaasi Dispersi Veertikal Emulsiffikasi Dispersi Vertikal

59 113 Laju perubahan konsentrasi fraksi minyak (exceedance frequency) dan time exposure seluruh jenis minyak pada musim barat dan musim timur ditampilkan pada Tabel 11. Baik pada musim barat maupun pada musim timur, lapisan diesel tidak terlihat memiliki nilai exceedance frequency. Hal tersebut dikarenakan laju perubahan fraksi minyak yang tumpah setelah 12 jam tersebut masih sangat kecil. Lapisan diesel diasumsikan memasuki perairan dengan volume yang sangat kecil namun konstan sehingga menyebabkan ketebalan lapisan minyak setelah tumpah selama 12 jam belum terlalu signifikan dibandingkan dengan total diesel yang diskenariokan tumpah di perairan Cilacap. Avtur memiliki nilai exceedance frequency sebesar 4.1% pada musim barat dan 15% pada musim timur, sedangkan minyak mentah memiliki nilai exceedance frequency sebesar 4.5% pada musim barat dan 13% pada musim timur. Nilai exceedance frequency pada musim timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan musim barat dikarenakan minyak yang tumpah pada musim tersebut banyak terakumulasi di dalam domain perairan. Akumulasi minyak tersebut tidak terlalu besar jumlahnya dibandingkan dengan total minyak avtur maupun minyak mentah yang dimodelkan tumpah di perairan Cilacap. Nilai exceedance frequency pada aspal bernilai sebesar 9% pada musim barat dan 2.5-9% pada musim timur. Nilai exceedance frequency pada musim timur lebih besar jika dibandingkan dengan musim barat dikarenakan pada musim timur, sebagian besar lapisan aspal telah terbawa ke luar domain akibat pergerakan arus dan angin yang cukup besar. Konsentrasi fraksi minyak yang tertinggal dalam domain bernilai kecil jika dibandingkan dengan total volume aspal yang diasumsikan tumpah di perairan Cilacap dikarenakan aspal juga terlah mengalami proses pelapukan. Keseluruhan

60 114 nilai exceedance frequency umumnya tinggi di sekitar sumber tumpahan dan di bagian pusat lapisan. Hal tersebut disebabkan karena lapisan minyak memiliki ketebalan yang lebih besar di sekitar sumber tumpahan maupun pada bagian tengah lapisan. Lapisan minyak yang terakumulasi juga memiliki nilai exceedance frequency yang lebih tinggi dari lapisan minyak di sekitarnya. Time exposition merupakan lamanya suatu grid terkena atau terpapar oleh minyak. Setelah 12 jam, tumpahan diesel terlihat telah bergerak ke luar kanal utama pada musim barat, sedangkan pada musim timur lapisan tersebut bergerak pula ke dalam kanal. Pada musim barat, lapisan avtur terlihat bergerak menuju ke timur domain yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, sedangkan pada musim timur lapisan tersebut bergerak ke dalam domain. Hal yang sama terjadi pada tumpahan minyak mentah. Pada musim barat pesisir Pulau Nusakambangan menjadi daerah yang paling rawan terkena risiko pencemaran minyak, sedangkan pada musim timur lapisan minyak menyebar di sekitar pantai timur Cilacap, disepanjang aliran kanal utama dan aliran Kali Donan. Lapisan aspal pada musim barat terlihat menyebar disekitar tepi timur aliran Kali Donan, sedangkan pada musim timur lapisan tersebut menyebar di tepi sungai bagian barat. Keseluruhan nilai time exposition yang dimodelkan pada tumpahan diesel mencapai 240 jam pada musim barat dan musim timur. Lapisan avtur dan minyak mentah memiliki total time exposition hingga 96 jam pada musim barat dan 24 jam pada musim timur, sementara lapisan aspal memiliki nilai time exposition hingga 120 jam pada musim barat dan 48 jam pada musim timur. Nilai time exposition lebih pendek pada musim timur jika dibandingkan dengan musim barat dikarenakan pada musim tersebut lapisan minyak lebih cepat hilang dari domain

61 115 perairan akibat terbawa oleh arus dan terdorong oleh angin permukaan yang cukup besar. Nilai time exposition paling besar terjadi pada lapisan diesel dikarenakan diesel diasumsikan memasuki perairan secara konstan sehingga tetap berada dalam domain. Lapisan avtur, minyak mentah dan aspal sebagian besar akan terbawa keluar dari domain perairan namun tetap menyisakan sejumlah minyak yang terdampar di daratan dalam domain model.

62 Tabel 11. Perbandingan Exceedance Frequency dan Time Exposure Seluruh Jenis Minyak yang Dimodelkan Tumpah di Perairan Cilacap pada Jam Ke-12 pada Musim Barat dan Timur Tahun 2007 Musim Barat Musim Timur Exceedance Frequency Time Exposure Exceedance Frequency Time Exposure Aspal Crude Avtur Diesel

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perbandingan Hasil Pemodelan dengan Data Lapang 4.1.1 Angin Angin pada bulan September 2008 terdiri dari dua jenis data yaitu data angin dari ECMWF sebagai masukan model dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong Pemodelan ini menghasilkan dua model yaitu model uji sensitifitas dan model dua musim. Dalam model uji sensitifitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut Hasil pengukuran arus transek saat kondisi menuju surut dapat dilihat pada Gambar III.13. Terlihat bahwa kecepatan arus berkurang terhadap kedalaman. Arus permukaan dapat mencapai 2m/s. Hal ini kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga dimana kapal dapat bertambat untuk

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) RISK ANALYSIS FLOWCHART Bagan Alir Analisis Resiko

BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) RISK ANALYSIS FLOWCHART Bagan Alir Analisis Resiko BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) 4.1. Metodologi Untuk mendapatkan hasil dari analisis resiko (risk analysis), maka digunakan simulasi model tumpahan minyak. Simulasi diperoleh melalui program

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

Oleh: Rizka Safitrii C KELAUTAN

Oleh: Rizka Safitrii C KELAUTAN MODEL SEBARAN TUMPAHAN MINYAK DI ALUR PELAYARAN PELABUHAN TANJUNG INTAN CILACAP, JAWA TENGAH Oleh: Rizka Safitrii C64104026 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

3 Kondisi Fisik Lokasi Studi

3 Kondisi Fisik Lokasi Studi Bab 3 3 Kondisi Fisik Lokasi Studi Sebelum pemodelan dilakukan, diperlukan data-data rinci mengenai kondisi fisik dari lokasi yang akan dimodelkan. Ketersediaan dan keakuratan data fisik yang digunakan

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN III.1 ALUR PELABUHAN Alur pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke dalam kolam pelabuhan. Alur pelayaran dan kolam pelabuhan harus cukup tenang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H PENGANTAR OCEANOGRAFI Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H21114307 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar 2014 Kondisi Pasang Surut di Makassar Kota

Lebih terperinci

Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap Tahun 2008

Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap Tahun 2008 Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap Tahun 2008 Asep Saepudin 1, Rokhmatuloh 1, Tuty Handayani 1 1 Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6 No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-172 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE

OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE PROSIDING 20 13 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE Jurusan Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM 1. Daerah dan Skenario Model Batimetri perairan Jepara bervariasi antara 1 meter sampai dengan 20 meter ke arah utara (lepas pantai). Secara garis besar,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY Oleh Supiyati 1, Suwarsono 2, dan Mica Asteriqa 3 (1,2,3) Jurusan Fisika,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 33 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga Pebruari 2011 dengan perincian waktu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Matriks waktu penelitian Uraian

Lebih terperinci

Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau

Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau Wenni Rindarsih, S.Si 1) ; Muh. Ishak Jumarang, M.Si 2) ; Muliadi, M.Si 3) 1,2,3) Jurusan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT

VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT 77 VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT Abstrak Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka yang terletak di antara pesisir Kota Dumai dangan Pulau Rupat. Berbagai

Lebih terperinci

HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA

HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA PENGUSUL Dr. Eng. NI NYOMAN PUJIANIKI, ST. MT. MEng Ir. I

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PERILAKU SEDIMENTASI 4.1 UMUM Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan matematika dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SMS versi

Lebih terperinci

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas Bab III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alur Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas Perencanaan Dermaga Data Lingkungan : 1. Data Topografi 2. Data Pasut 3. Data Batimetri 4. Data Kapal

Lebih terperinci

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17 (a) Profil kecepatan arus IM3 (b) Profil arah arus IM3 Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM3 III-17 Gambar III.2 Spektrum daya komponen vektor arus stasiun IM2 Gambar III.21 Spektrum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muara Sungai Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau dibagian mulut sungai (river mouth) dan estuari.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1089, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelayaran. Sungai. Danau. Alur. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB III PEGAMBILA DA PEGOLAHA DATA Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini, meliputi dua aspek, yaitu pengamatan data muka air dan pengolahan data muka air, yang akan dibahas dibawah ini sebagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Sensitifitas Model Uji sensitifitas dilakukan dengan menggunakan 3 parameter masukan, yaitu angin (wind), kekasaran dasar laut (bottom roughness), serta langkah waktu

Lebih terperinci

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi G186 Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi Muhammad Didi Darmawan, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS L A M P I R A N 46 Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS KOLAKA Posisi 4 3'6.65" 121 34'54.5" waktu GMT + 08.00 Gerakan pasut diramalkan terhadap suatu Muka Surutan yang letaknya 9 dm di bawah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Permasalahan

I. PENDAHULUAN Permasalahan I. PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan Sedimentasi di pelabuhan merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut menjadi penting karena pelabuhan adalah unsur terpenting dari jaringan moda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk mempresentasikan data kecepatan angin dalam bentuk mawar angin sebagai

Lebih terperinci

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI Transpor sedimen pada bagian ini dipelajari dengan menggunakan model transpor sedimen tersuspensi dua dimensi horizontal. Dimana sedimen yang dimodelkan pada penelitian

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 641-650 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose SEBARAN TUMPAHAN MINYAK DENGAN PENDEKATAN MODEL HIDRODINAMIKA DAN SPILL ANALYSIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya) Studi Penentuan Draft dan Lebar Ideal Kapal Terhadap Alur Pelayaran STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN Putu Angga Bujana, Yuwono Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN. Muhamad Roem, Ibrahim, Nur Alamsyah

MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN. Muhamad Roem, Ibrahim, Nur Alamsyah Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.1. April. 015 ISSN : 087-11X MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN 1) Muhamad Roem, Ibrahim, Nur

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. di Cilacap untuk mempertahankan pengaruhnya di kota tersebut. Pembangunan

BAB V PENUTUP. di Cilacap untuk mempertahankan pengaruhnya di kota tersebut. Pembangunan BAB V PENUTUP Pemerintah Kolonial Hindia Belanda banyak membangun fasilitas pertahanan di Cilacap untuk mempertahankan pengaruhnya di kota tersebut. Pembangunan fasilitas pertahanan di Cilacap dilakukan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai PASANG SURUT Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 5. PASANG SURUT TUJUAN

Lebih terperinci

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT PROSES DAN TIPE PASANG SURUT MATA KULIAH: PENGELOLAAN LAHAN PASUT DAN LEBAK SUB POKOK BAHASAN: PROSES DAN TIPE PASANG SURUT Oleh: Ir. MUHAMMAD MAHBUB, MP PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang Daerah operasi penangkapan udang terbentang mulai dari bagian utara Delta Mahakam, Tanjung Santan hingga Tanjung Sembilang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP

KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP Mifroul Tina Khotip 1, Aries Dwi Siswanto 2, Insafitri 2 1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS V. INTERPRETASI DAN ANALISIS 5.1.Penentuan Jenis Sesar Dengan Metode Gradien Interpretasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat akan memberikan hasil yang beragam. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

KAJIAN POLA SEBARAN PADATAN TERSUSPENSI DAN UNSUR LOGAM BERAT DI TELUK UJUNG BATU, JEPARA

KAJIAN POLA SEBARAN PADATAN TERSUSPENSI DAN UNSUR LOGAM BERAT DI TELUK UJUNG BATU, JEPARA JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 357-365 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN POLA SEBARAN PADATAN TERSUSPENSI DAN UNSUR LOGAM BERAT DI TELUK UJUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan PLTU Cilacap 2X300 MW ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan listrik juga ditujukan untuk meningkatkan keandalan tegangan di

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi luas perairan 3,1 juta km 2, terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. (Dishidros,1992).

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci