DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PADA ERA OTONOMI DISERTASI YURIANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PADA ERA OTONOMI DISERTASI YURIANTO"

Transkripsi

1 DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PADA ERA OTONOMI DISERTASI YURIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PADA ERA OTONOMI Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2012 YURIANTO NRP. H

4

5 ABSTRACT YURIANTO, The Impact of Investment and Government Expenditure on Regional Economic Performance in the Autonomy Era. (BONAR M. SINAGA as Chairman, NOER AZAM ACHSANI and SUGIHARSO SAFUAN as Members of the Advisory Committee). The main goal of regional autonomy and fiscal decentralization policy is the acceleration the people s welfare. To realize it needs sustainable and stable economic growth and inclusively equal economic development. In general this research goals are (1) to analyze the regional economic performance based on spatial which includes investment, government spending, fiscal capacity, the Gross Regional Domestic Product (GRDP), employment creation, Human Development Index (HDI), and the number of poor,(2) to forecast baseline for economic performance which includes investment, government spending, fiscal capacity, the Gross Regional Domestic Product (GRDP), employment creation, Human Development Index (HDI), and the number of poor from 2011 to 2013, and (3) to analyze the impact of various scenarios in terms of increasing investment and government spending on regional economic performance from the year 2011 to the year The model used is the econometric model with a system of simultaneous equations. The data used is data pool (cross section and time series of the province from 2003 to 2008). The model is estimated using 2 SLS method and SYSLIN procedure, simulation and forecasting using the SIMNLIN procedure. The model consists of six blocks, each block consisting of equations that are structural and identities equations. The number of equations are 35 consisting of 22 structural equations and 13 identity equations. The conclusions of this study are (1) the highest performance of government spending and investment is Jawa-Bali region. (2) majority labor is absorbed by the agricultural sector, (3) investment is influenced by GDRP, government tax revenue and interest rate (4) Human Development Index (HDI) is influenced by the consumption per capita and mean years of schooling, and (5) an increase in regional government expenditure (agriculture, construction, industry, education, and healthy sectors) affects the region s economic performances and HDI. This study suggests that in order to improve the performance of the regional economy and to improve the welfare of the community, the regional governments need to develop comprehensive investment policies and to allocate selectively regional government expenditure. Keywords: Fiscal Decentralization, Investment, Government Expenditure, Econometric Model, Economic Performance.

6

7 RINGKASAN YURIANTO. Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah pada Era Otonomi (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, NOER AZAM ACHSANI dan SUGIHARSO SAFUAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal adalah percepatan kesejahteraan rakyat (RPJMN ). Untuk mewujudkan hal ini diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, stabilitas dan pemerataan pembangunan ekonomi yang inklusif. Untuk itulah diperlukan kebijakan investasi dan pengeluaran pemerintah yang komprehensif dan dapat dilaksanakan di lapangan. Tujuan penelitian untuk: (1) menganalisis kinerja perekonomian berbasis spasial yang meliputi investasi, pengeluaran pemerintah, kapasitas fiskal, PDRB, penciptaan lapangan kerja, IPM, dan jumlah penduduk miskin, (2) meramalkan nilai dasar kinerja perekonomian yang meliputi investasi, pengeluaran pemerintah, kapasitas fiskal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja,indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan jumlah penduduk miskin dari tahun 2011 sampai tahun 2013, dan (3) menganalisis dampak peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah dengan berbagai skenario terhadap kinerja perekonomian daerah dari tahun 2011 sampai tahun Model yang digunakan adalah model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data panel (cross section dan time series tingkat provinsi ). Model ini diestimasi dengan menggunakan metode 2 SLS dan prosedur SYSLIN, simulasi dan peramalan dengan prosedur SIMNLIN. Model ini terdiri dari enam blok, setiap blok terdiri dari persamaan, yaitu persamaan struktural dan persamaan identitas. Jumlah persamaan adalah 35 terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa provinsiprovinsi di Indonesia berdasarkan basis spasial dan kinerja perekonomiannya dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah tersebut adalah Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara (KSPN). Sementara jumlah pendapatan asli daerah per tahun per wilayah sangat bervariasi dari milyar rupiah di wilayah KSPN sampai dengan 2.98 triliun rupiah di wilayah Jawa-Bali. Kapasitas fiskal yang merupakan penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dana perimbangan jumlah antar wilayahnya bervariasi. Kapasitas fiskal tertinggi dimiliki oleh provinsi-provinsi yang berada di wilayah Jawa Bali, yaitu sebesar 4.28 triliun per tahun. Sementara yang terendah adalah di wilayah KSPN hanya sebesar 1.5 triliun rupiah. Pengeluaran pemerintah tertinggi adalah untuk belanja urusan kontruksi, yaitu sebesar 1.62 triliun per provinsi di Wilayah Jawa-Bali. Sementara jumlah tenaga kerja terbanyak diserap oleh sektor pertanian. IPM tertinggi adalah yang terjadi di provinsi-provinsi pada wilayah Sumatera dan yang terendah di wilayah KSPN, yaitu sebesar Sedangkan jumlah penduduk miskin

8 terbanyak di provinsi wilayah Jawa-Bali, yaitu sebesar 3.48 juta orang dan yang terendah adalah di provinsi pada wilayah KSPN, yaitu sebesar ribu orang. Investasi dan pengeluaran pemerintah daerah merupakan faktor yang strategis dan dalam mempengaruhi perekonomian daerah pada era otonomi daerah termasuk dalam mempengaruhi indikator kesejahteraan masyarakat. Secara umum, peningkatan investasi sebesar 10 persen memberikan dampak paling besar terhadap kinerja perekonomian daerah dibanding peningkatan belanja sektoral. Indikator kinerja perekonomian daerah dalam hal ini adalah meningkatnya nilai PDRB, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya penerimaan daerah. Berdasarkan peramalan, dampak yang paling besar terhadap perekonomian daerah dan indikator kesejahteraan masyarakat adalah jika jumlah investasi dinaikkan 10 persen di daerah tersebut meningkat dan dibarengi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, indsutri, dan konstruksi yang besarnya diseleksi dengan cermat dan dilakukan secara simultan. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah bahwa untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan antar provinsi di Indonesia pada era otonomi dan desentralisasi fiskal ini diiperlukan kebijakan desentralisasi fiskal yang spesifik dan mendasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah masingmasing. Selanjutnya untuk meningkatkan belanja pemerintah daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakatnya diperlukan peningkatan kapasitas fiskal daerah. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan peningkatan investasi karena peningkatan investasi dibutuhkan untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka Indeks Pembangunan Manusia, peningkatan penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Sejalan dengan hal ini maka pemerintah daerah disarankan untuk menyusun kebijakan investasi yang komprehensif. Investasi memberikan dampak yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian daerah. Belanja sektor pertanian, sektor industri, sektor kontruksi, sektor pendidikan, dan sektor keseharan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Sedangkan struktur penerimaan daerah masih didominasi oleh DAU yang merupakan dana transfer. Selanjutnya, untuk kelanggengan kapasitas fiskal daerah diperlukan peningkatan penerimaan dari PAD. Saran penelitian lanjutan adalah bahwa perlu dibahas secara mendalam tentang faktor lain yang diduga kuat mempengaruhi kinerja pereknomian daerah tetapi belum dimasukkan sebagai variabel penentu dalam penelitian ini, seperti dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif, maka diperlukan pendekatan dengan memasukkan aspek lain seperti politik, sosial-budaya, ketentraman, ketertiban, dan aspek lain yang berkaitan dengan tingkat akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

9 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PADA ERA OTONOMI YURIANTO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr.Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS Staf Pengajar Departemen Agribsinis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr.Ir. Suharno, M.Sc Staf Pengajar Departemen Agribsinis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr.Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Guru Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc. Ph.D Direktur Pengembangan Wilayah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

13 Judul Penelitian : Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah pada Era Otonomi Nama Mahasiswa : Yurianto Nomor Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Anggota Ir. Sugiharso Safuan, ME, Ph.D Anggota Mengetahui: 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr.Sc Tanggal Ujian : 26 Januari 2012 Tanggal Lulus :

14

15 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul disertasi adalah Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah pada Era Otonomi. Kebijakan fiskal dan otonomi daerah merupakan salah satu topik yang sangat menarik karena di samping kebijakan ini di Indonesia masih relative baru, kebijakan ini juga sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan dasar inilah maka penulis memilih topik desentralisasi fiskal dan otonomi daerah dengan segala aspeknya untuk dijadikan topik disertasi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah yang ditandai dengan PDRB, kapasitas fiskal, dan indikator kesejahteraan masyarakat seperti IPM, Angka Melek Huruf, dan jumlah penduduk miskin. Dengan selesainya penyusunan disertasi ini, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah aktif dalam proses pembimbingan penyelesaian disertasi ini terutama dalam mengkontruksi model, logika berfikir ekonomi, dan menganalisis data. Dalam hal ini penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas perhatian, pengertian, kesabaran, dan motivasi yang selalu diberikan kepada

16 penulis sehingga penulis mampu melewati setiap tahapan proses penyelesaian studi ini. 2. Dr. Ir. Sugiharso Safuan M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan motivasi dan selalu menanyakan progress studi. Hal ini memberi motivasi tersendiri sehingga penulis berusaha untuk menyelesaikan studi dengan baik.. 3. Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan kesibukannya masih menyempatkan untuk memberikan bimbingan terutama dalam perbaikan model. Masukan perbaikan dan aspekaspek yang berkaitan dengan statistik dan ekonometrika yang disarankan memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam penyelesaian disertasi ini. 4. Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc Ph.D. dan Prof. Mangara Tambunan, M. Sc, selaku penguji luar komisi yang telah meluangkan waktu dalam kesibukannya untuk menguji penulis pada ujian terbuka. Saran dan masukannya telah memperkaya disertasi ini. 5. Seluruh pengajar mata kuliah pada program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yaitu Prof. Dr. Bunasor Sanim, M.Sc, Prof. Dr. Hermanto Siregar, MEc, Dr.Parulian Hutagaol, Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc, Dr. Ir. Sri Hartoyo MS, Prof.Dr. Ir.Mangara Tambunan, MSc, Dr. Anny Ratnawati, MS, Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc, dan Prof. Dr. Rina Oktaviani, MS yang dengan tulus telah memberikan kuliah dan tugas tugas kuliah yang merupakan materi penting dalam penyusunsn disertasi.

17 6. Kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta Ir. Sarwo Handayani, M.Si dan Wakil Kepala Bappeda Ir.Sri Mahendra, MT yang telah memberkan fasilitasi waktu dan dukungan serta pengertian kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi dan mengikuti ujian. 7. Kepada teman-teman di Bidang Program Pembiayaan Pembangunan, Bappeda DKI Jakarta : Setiaji, ST, MSi, Ekky Dharmawati, MSi, Atika SIP,MSi, H.Santo Budiman SE (almarhum), Gatot serta temen temen bidang Program Pembiayaan Pembangunan : Rama, Rika, Arri, Yudi, Dito, Akbar, Ucok, Ismi dan Yani yang telah dengan legowo memberikan dukungan, izin, pengertian, dan fasilitasi waktu kepada penulis untuk menyelesaikan studi doktor di IPB. 8. Kepada teman-teman di Kantor Perencanaan Pembangunan Kota Jakarta Timur yang telah membantu penulis dalam menyiapkan paper, pengumpulan bahan, dan persiapan ujian kualifikasi I dan II serta kolokium, penulis sampaikan ucapan terima kasih. 9. Kepada teman-teman satu angkatan, yaitu angkatan III EPN Khusus, IPB, atas kebersamaan dalam mengikuti perkuliahan, mengikuti ujian, mengajak diskusi topik disertasi, dan komputasi data penulis sampaikan penghargaan yang mendalam. Pada kesempatan ini penulis sampaikan apresiasi yang mendalam kepada Pak Sugiarto, Pak Wisnu, Pak Kasan, Pak Mulia, Pak Iffan, Pak Made, Pak Margo, Pak Erwinsyah, Pak Fahmi, Pak Warno,Pak Pram, Pak Joni dan Pak Akhmed. Kepada Dr. Adi Lumaksono Kelas Khusus

18 Angkatan II EPN, saya sampaikan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi teman diskusi yang baik. 10. Kepada teman-teman penulis yang telah membantu dalam komputasi data: Akhmad Tantowi, Usman dan Indra saya sampaikan penghargaan. Tidak lupa penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Ir. Dedi Mulyadi, Riki, dan Farid yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. 11. Keluarga Besar Wiryohartono di Sampang, Cilacap yang telah memberikan dorongan, dukungan, dan doanya dengan ikhlas sehingga penulis merasa nyaman dan tetap semangat untuk dapat menyeleisalkan studi nya di IPB. 12. Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih dan apresiasi yang setulustulusnya kepada kedua orang tua penulis :Bapak Wiryohartono dan Ibu Tuminah, istri penulis : Ir. Gandes Retno Palupi, serta anak tersayang : Faiq Wasi Pideksa yang telah mendukung dengan ikhlas dan doa sejak penulis mengikuti perkuliahan sampai dengan selesaianya penulisan disertasi. Segala kekurangan yang terdapat pada disertasi ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Sejalan dengan hal tersebut di atas masukan dari berbagai pihak sudah tentu sangat diharapkan agar disertasi ini semakin mendekati kesempurnaan. Bogor, Februari 2012 Yurianto

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan tanggal 23 Maret 1963, di Cilacap, Jawa Tengah, dari pasangan Wiryohartono dan Tuminah. Penulis anak keempat dari delapan bersaudara. Saat ini penulis sudah berkeluarga dengan istri Ir. Gandes Retno Palupi, dan telah dikaruniai satu orang putra bernama Faiq Wasi Pideksa. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Cilacap, Jawa Tengah. Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP) Banyumas, Jawa Tengah pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan pada jenjang Strata-1 di Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis menyelesaikan program Strata-1 ini pada tahun Setelah menamatkan studi pada jenjang S-1, penulis menjadi pegawai pada Departemen Perdagangan Republik Indonesia ditempatkan di Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 1989, selama dua tahun dalam kerangka kerja sama Sister City antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Tokyo Metropolitan Government, penulis mengikuti pelatihan di Tokyo. Pada tahun 1995 penulis memperoleh kesempatan untuk mengikuti kursus Program Perencanaan Nasional (PPN) yang diselenggarakan oleh LPEM, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pada tahun 2007 penulis mengikuti pelatihan Kepemimpinan Perencanaan di Jakarta dan Paris. Pada tahun 1999 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi untuk program Strata-2 di Departemen Ekonomi, pada Northeastern University,

20 Boston, Massachussets, USA. Studi ini diselesaikan pada tahun 2001.Pada tahun yang sama, dengan beasiswa dari Northeastern University penulis melanjutkan studi lagi pada Program Strata-3 pada Departemen Law Policy dan Society pada universitas yang sama dan Ph.D Cand. diperoleh pada tahun Selanjuntya, pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, program Strata-3, jurusan Ekonomi Pertanian. Sejak tahun 2004, sampai sekarang, penulis bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 1995 penulis bekerja sebagai staf Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Sejak diberlakukan undang undang Otonomi daerah, yaitu tahun 2001 sampai dengan sekarang penulis tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

21 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xxiii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xxvii xxix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Manfaat Penelitian Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Otonomi Daerah Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Peran dan Struktur Pengeluaran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Investasi dalam Pembangunan Daerah Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Wilayah Investasi, Pengeluaran Pemerintah Daerah, dan Kemiskinan Tenaga Kerja dalam Perekonomian Pembangunan Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu Studi yang Berkaitan dengan Peran Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian Daerah xix

22 Studi yang berkaitan dengan peran Investasi dalam Perekonomian Daerah III. KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Perekonomian Daerah Kerangka Kebijakan Fiskal Daerah pada Era Otonomi Kerangka Dasar Penerimaan Daerah Kerangka Dasar Pengeluaran Daerah Peran Investasi dalam Pembangunan Daerah Produk Domestik Regional Bruto Sebagai Indikator Perekonomian Daerah Fungsi Konsumsi Agregate dalam Perekonomian Penyerapan Tenaga Kerja dalam Perekonomian Daerah Pembangunan Daerah dan Kemiskinan Pembangunan Daerah dan Pembangunan Manusia IV. METODE PENELITIAN Periode dan Sumber Data Penelitian Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Perekonomian Daerah Konsep Elastisitas Kerangka Model Identifikasi dan Metode Estimasi Model Validasi Model Simulasi Kebijakan Ringkasan Tahapan Konstruksi Model V. DESKRIPSI KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH PERIODE TAHUN Pelaksanaan Kepemerintahan pada Era Otonomi Daerah Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Konstruksi Penerimaan Daerah Tahun Konstruksi Pengeluaran Daerah Tahun Karakteristik Investasi Daerah Periode Tahun xx

23 5.4. Karakteristik Indikator Prekonomian Daerah Periode Tahun Karakteristik Produk Domestik Regional Bruto Periode Tahun Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Periode Tahun Indikator Kesejahteraan Masyarakat Periode Tahun VI. KERAGAAN MODEL DAN ANALISIS PARSIAL Blok Fiskal Pendapatan Daerah Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Blok Pengeluaran Daerah Blok Tenaga Kerja Jumlah Tenaga Kerja Upah Tenaga Kerja Blok Produk Domestik Regional Bruto Blok Investasi dan Konsumsi Blok Indeks Pembangunan Manusia dan Kemiskinan VII. RAMALAN DAMPAK INVESTASI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN Validasi Model Ramalan Nilai Dasar Variabel Endogen Tahun Wilayah Sumatera Wilayah Jawa- Bali Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Investasi dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Nario Kebijakan Kebijakan Peningkatan Investasi Sebesar 10 Persen terhadap Perekonomian Daerah xxi

24 Kebijakan Peningkatan Belanja Sektor Pertanian Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Kebijakan Peningkatan Belanja Sektor Industri Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Kebijakan Peningkatan Belanja Sektor Kontruksi Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Kebijakan Peningkatan Investasi Sebesar 10 Persen dan Belanja Sektor Pertanian, Industri dan Konstruksi Masing-masing 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Kebijakan Peningkatan Belanja Sektor Pendidikan sebesar 5 Persen dan Sektor Kesehatan Sebesar 10 Persen terhadap Perekonomian Daerah Ringkasan Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxii

25 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Sub Blok Pendapatan Asli Daerah Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Sub Blok Dana Perimbangan Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok Pengeluaran Daerah Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Sub Blok Jumlah Tenaga Kerja Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Sub Blok Upah Tenaga Kerja Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok PDRB Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok Investasi dan Konsumsi Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok IPM dan Kemiskinan Jumlah Kabupaten dan Kota Per Provinsi di Indonesia Tahun Rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Komponen-komponennya Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) Rata-rata Dana Perimbangan Daerah Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Sumbernya Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) Rata-rata Lain-lain Pendapatan dan Kapasitas Fiskal Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) Rata-rata Belanja Pembangunan Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Sektor Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) xxiii

26 15. Rata-rata Investasi Per Provinsi Per Tahun menurut Wilayah Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) Rata-rata UMR, IHK, Inflasi, Jumlah Penduduk, dan Jumlah Kendaraan Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah Tahun Rata-rata PDRB Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Sektor Tahun (Harga Konstan Tahun 2000) Rata-rata Penyerapan Tenaga Kerja Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Sektor Ekonomi Tahun (Ribu orang) Rata-rata Upah Per Bulan Per Provinsi menurut Wilayah dan Sektor Tahun (Ribu Rupiah) Rata-rata Indeks Pembangunan Manusia, Rasio Gini, Angka Harapan Hidup, dan Angka Melek Huruf Per Provinsi Per Tahun Menurut Wilayah Tahun Rata-rata Jumlah Orang Miskin dan Tingkat Kemiskinan Per provinsi Per Tahun Menurut Wilayah dan Daerah Periode Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Pajak Daerah (TAX) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Retribusi Daerah (RET) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Bagi Hasil Pajak (BHP) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Belanja Sektor Pertanian (BLJPERT) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Belanja Sektor Industri (BLJIND) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Belanja Sektor Kontruksi (BLJKON) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (TKPERT) Tahun xxiv

27 30. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri (TKIND) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Tenaga Kerja Sektor Kontruksi (TKKON)Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Upah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (UPHPERT) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Upah Tenaga Kerja Sektor Industri (UPHIND) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Upah Tenaga kerja Sektor Kontruksi (UPHKON) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRBA) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri (PDRBI) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Kontruksi (PDRBK) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Lainnya (PDRBL) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Investasi (INV) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Rumahtangga (CON) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Indek Pembangunan Manusia (IPM)) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Penduduk Miskin (JUMIS) Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Rata-rata Lama Sekolah Tahun Hasil Validasi Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Perekonomian Daerah xxv

28 45. Ramalan Nilai Dasar Variabel Endogen untuk Wilayah Sumatera Tahun Ramalan Nilai Dasar Variabel Endogen untuk Wilayah Jawa-Bali Tahun Ramalan Nilai Dasar Variabel Endogen untuk Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat Tahun Dampak Peningkatan Investasi Sebesar 10 Persen terhadap Perekonomian Daerah Tahun Dampak Peningkatan Belanja Sektor Pertanian Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Tahun Dampak Peningkatan Belanja Sektor Industri Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Tahun Dampak Peningkatan Belanja Sektor Kontruksi Sebesar 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Tahun Dampak Peningkatan Investasi Sebesar 10 Persen Belanja Sektor Pertanian, Industri, dan Kontruksi Masing-masing 25 Persen terhadap Perekonomian Daerah Tahun Dampak Peningkatan Belanja Sektor Pendidikan Sebesar 5 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan sebesar 10 Persen Terhadap Perekonomian Daerah Tahun Ringkasan Dampak Investasi dan Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Daerah Tahun xxvi

29 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Model Sederhana Pasar Tenaga Kerja Hubungan Tingkat Harga, Output, Aggregat Demand dan Aggregat Supply Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah atau Investasi terhadap Output Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pendapatan Nasional dalam Jangka Panjang Perundang-undangan Berkaitan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Model Multiplier, Pendapatan, dan Pengeluaran Keynesian Fungsi Konsumsi untuk Rumahtangga Fungsi Konsumsi Aggregate Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Riil pada Saat Kurva Permintaan Tenaga Kerja Bergeser Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Riil pada Saat Kurva Penawaran Tenaga Kerja Bergeser Diagram Keterkaitan Antar Blok dalam Model Dampak Investasi dan pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Diagram Keterkaitan Antar Variabel Dalam Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Perekonomian Daerah Tahapan Membangun Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah xxvii

30 xxviii

31 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Program Estimasi Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Menggunakan Metode 2 SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi Hasil Estimasi Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Menggunakan Metode 2 SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi Program Validasi Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Menggunakan Metode 2 SLS dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi Hasil Validasi Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi Program Peramalan Nilai Dasar Variabel Endogen Tahun Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 untuk Provinsi Jawa Barat (Contoh) Hasil Peramalan Nilai Dasar Variabel Endogen Tahun dengan Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 untuk Provinsi Jawa Barat (Contoh) Program Simulasi Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Tahun dengan berbagai Skenario menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 untuk Wilayah Jawa-Bali (Contoh) xxix

32 8. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Tahun dengan menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 untuk Wilayah Jawa-Bali (Contoh) Hasil Peramalan Nilai Dasar Kinerja Perekonomian Daerah Tahun untuk Wilayah Sumatera Hasil Peramalan Nilai Dasar Kinerja Perekonomian Daerah Tahun untuk Wilayah Jawa-Bali Hasil Peramalan Nilai Dasar Kinerja Perekonomian Daerah Tahun untuk Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat (KSPN) Hasil Simulasi Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah dengan berbagai Skenario Tahun untuk Wilayah Sumatera Hasil Simulasi Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah dengan berbagai Skenario Tahun untuk Wilayah Jawa-Bali Hasil Simulasi Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah dengan berbagai Skenario Tahun untuk Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat xxx

33 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas ekonomi yang kokoh, dan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ). Jika ketiga syarat utama tersebut dapat terwujud kinerja perekonomian akan berkembang ke arah yang positif. Dengan kinerja perekonomian yang demikian akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Indikator kinerja perekonomian daerah dapat direpresentasikan dengan beberapa indikator, antara lain kinerja fiskal daerah, pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan angka IPM. Indikator kinerja perekonomian tersebut merupakan kelompok indikator utama yang sering digunakan untuk mengukur perkembangan tingkat kesejahteraan rakyat suatu daerah. Dari beberapa ukuran tersebut, indikator pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kunci utama dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat (RPJM Nasional ). Argumennya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan menggambarkan terjadinya peningkatan dan perluasan kegiatan

34 2 ekonomi. Jika hal ini terjadi berarti bisa membuka kesempatan kerja pada masyarakat. Selain itu, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuka peluang bagi daerah untuk melakukan peningkatan penerapan teknologi dan peningkatan akumulasi modal baik fisik maupun sumberdaya manusia. Kondisi seperti ini berdampak pada peningkatan produktivitas daerah. Selain dari hal itu, dengan terbukanya lapangan kerja maka akan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan. Pendapatan masyarakat yang meningkat akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuka peluang kepada masyarakat untuk lebih besar memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Secara ekonomi, dari sisi permintaan pertumbuhan ekonomi dapat didekati dengan empat komponen utama, yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net-ekspor. Dari empat komponen ini, dalam konteks perekonomian daerah ada dua komponen penting yang menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi dan pengeluaran pemerintah. Dua komponen ini bisa menjadi instrumen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah sangat diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, investasi dan pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai instrumen bagi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pada uraian di atas muncul pertanyaan sampai seberapa besar peran investasi dan pengeluaran pemerintah dalam mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Indikator apa saja yang bisa digunakan dalam mengukur

35 3 kinerja perekonomian daerah. Bagaimana arah hubungan antara investasi dan pengeluaran pemerintah dengan kinerja perekonomian daerah yang didalamnya termasuk indikator kesejahteraan rakyat. Secara teori, investasi yang masuk ke suatu daerah berarti menambah kapital dalam kegiatan perekonomian. Penambahan kapital ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika arus investasi ke suatu daerah berlangsung terus menerus dan dalam jangka panjang serta dibarengi dengan ekonomi yang berdaya saing tinggi, maka investasi akan meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang ada. Selanjutnya, peningkatan stok kapital ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output atau melakukan kegiatan produksi yang menambah aktivitas perekonomian daerah tersebut. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa kapital akan meningkatkan produktivitas perekonomian wilayah. Kondisi yang demikian didukung pendapat Todaro dan Smith (2006) bahwa pertumbuhan ekonomi negara atau wilayah sangat tergantung dari tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang dialokasikan dalam perekonomian. Artinya semakin tinggi akumulasi kapital maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi dan semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah investasi di suatu daerah ditentukan oleh situasi dan kondisi ekonomi, iklim usaha, birokrasi perijinan, dan kondisi bisnis. Selain itu investasi juga masih banyak dipengaruhi oleh iklim ketenagakerjaan dan jaminan keamanan. Dengan demikian besarnya nilai investasi didominasi oleh keputusan dunia usaha yang dalam praktiknya mendasarkan pada alasan ekonomi dan mekanisme pasar. Hal ini terjadi karena investasi pada dasarnya merupakan

36 4 barang modal yang masuk ke daerah yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa investasi merupakan fungsi dari faktor-faktor ekonomi. Pada era otonomi daerah, sesuai dengan peraturan perundangan ada dua hal yang diperankan oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan investasi. Pertama, pemerintah daerah dapat menciptakan iklim kondusif yang dapat menarik invetasi dengan pemberian insentif dan disinsentif finansial dalam kaitannya dengan investasi. Kedua adalah pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan prima yang memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah tersebut. Kedua hal ini diharapkan akan memperbaiki jumlah dan struktur investasi di daerah. Jika demikian maka perlu kiranya ditelaah tentang besaran pengaruh investasi terhadap kinerja perekonomian di daerah. Oleh karena itu, dengan dua peran ini sangat memungkinkan bagi daerah untuk berperan dalam peningkatan investasi di daerahnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai daerah otonom. Berbeda dengan investasi di daerah, pengeluaran pemerintah yang direpresentasikan dengan belanja daerah merupakan jumlah uang yang digunakan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, kebijakan ini diperoleh melalui proses pelibatan seluruh pemangku kepentingan pembangunan, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang prosesnya melalaui proses politik, teknokratik, partisipatif, top down dan bottom up (Undang-Undang No. 25 tahun 2004). Hal ini

37 5 didasarkan pada argumen bahwa kebijakan pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan publik yang secara langsung mempengaruhi kepentingan masyarakat. Pengeluaran pemerintah daerah dicatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah. APBD itu sendiri pada dasarnya merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, APBD ini dalam penyusunannya dibahas dan disetujui bersama antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa APBD merupakan kebijakan publik yang harus memenuhi prinsip akuntabilitas, efisien, efektif, profesional, demokratis, dan partisipatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelibatan seluruh pemangku kepentingan publik merupakan suatu keharusan dalam penyusunan dokumen APBD. Besarnya pengeluaran pemerintah daerah tergantung dari penerimaan daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah maka akan semakin tinggi kecenderungan pemerintah daerah dalam alokasi pengeluarannya dan berlaku sebaliknya. Oleh karena itu, daerah yang mempunyai penerimaan yang tinggi cenderung pengeluaran belanjanya juga tinggi. Namun besarnya alokasi belanja per sektor tetap sangat tergantung dari kebijakan pemerintahan daerah yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penerimaan daerah yang merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Sedangkan penerimaan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan

38 6 daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jadi komponen yang signifikan mempengaruhi penerimaan daerah disebut dengan kapasitas fiskal yang pada dasarnya adalah PAD dan dana perimbangan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah akan mempengaruhi besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal investasi, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola perijinan dan mewujudkan iklim kondusif di daerahnya guna menarik investasi ke daerah. Dalam hal pengeluaran pemerintah, pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan untuk mengelola pengeluaran pemerintah daerah melalui APBD. Dengan demikian maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk memberi fasilitas dan mengatur regulasi investasi serta mengelola pengeluaran pemerintah daerah. Berdasarkan pada uraian dan kondisi obyektif di lapangan tentang kinerja investasi dan pengeluaran pemerintah dalam kontek perekonomian daerah serta beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu maka perlu dilakukan studi yang berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Indikator kinerja perekonomian daerah dalam hal ini bisa didekati dengan kondisi kapasitas fiskal daerah, besarnya PDRB, menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, dan meningkatnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Perumusan Masalah Tujuan dari desentralisasi fiskal dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberhasilan dari kebijakan ini adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat

39 7 diperlukan kinerja perekonomian daerah yang kondusif dan berkualitas. Kinerja perekonomian yang demikian ditandai dengan berbagai indicator, yaitu antara lain meningkatnya kinerja fiskal daerah yang menuju ke arah positif, meningkatnya nilai PDRB, meningkatnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunnya jumlah penduduk miskin, dan meningkatnya jumlah orang yang bekerja. Pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kinerja perekonomian daerah. Untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi komponen utama dari sisi permintaan adalah nilai investasi dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu investasi dan pengeluaran pemerintah mempunyai peran yang strategis dalam peningkatan kinerja perekonoian daerah. Investasi dan pengeluaran pemerintah akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan membuka lapangan kerja yang berarti akan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan tingkat pengangguran yang berkurang mengandung arti masyarakat akan mempunyai pendapatan yang cukup karena mereka memperoleh pekerjaan. Dengan kondisi ini berarti jumlah penduduk yang tergolong miskin akan berkurang. Jika indikator ini bergerak ke arah yang membaik maka angka IPM pada daerah tersebut akan meningkat. Dengan kata lain pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah menjadi relevan untuk diteliti dan dikaji guna menjadi salah satu masukan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan daerah yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

40 8 Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul dalam konteks investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Pertanyaan tersebut antara lain : 1. Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah apakah provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Timur dan Barat mempunyai ciri-ciri yang sama dalam hal kinerja perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya sehingga dapat dikelompokkan dengan basis spasial. 2. Seberapa besar kontribusi investasi terhadap kinerja perekonomian daerah yang diwakili oleh indikator kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, angka IPM, menurunnya jumlah penduduk miskin, dan peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada suatu sektor. 3. Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah yang diwakili oleh indikator kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, angka IPM, menurunnya jumlah penduduk miskin, dan penyerapan tenaga kerja. 4. Bagaimana arah hubungan variabel yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah yang antara lain terdiri dari investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, menurunnya jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan IPM. 5. Bagaimana hasil ramalan pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah untuk tahun yang akan datang. Ramalan perekonomian daerah sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan daerah karena sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 25

41 9 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa pemerintah daerah wajib menyusun dokumen perencanaan pembangunan daerah yang periode waktunya dapat dikelompokkan menjadi perencanaan pembangunan daerah tahunan, lima tahunan, dan dua puluh tahunan yang harus memuat ramalan perencanaan kinerja perekonomian daerah termasuk ramalan kinerja fiskal daerah Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Secara khusus tujuan penelitian adalah : 1. Mengkaji perkembangan kinerja perekonomian daerah berbasis spasial yang meliputi investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, dan Indek Pembangunan Manusia (IPM) pada era otonomi daerah. 2. Melakukan peramalan nilai dasar investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja fiskal, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan Indek Pembangunan Manusia (IPM) pada periode Menganalisis ramalan dampak penerapan berbagai skenario dalam kaitannya dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal, kinerja perekonomian, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada periode

42 Ruang Lingkup Penelitian 1. Studi ini memfokuskan pada analisis dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kapasitas fiskal, celah fiskal, nilai PDRB, angka IPM, jumlah penduduk miskin, dan penyerapan tenaga kerja. 2. Data yang digunakan adalah data panel (pooling cross section time series regression) untuk periode tahun dan provinsi yang digunakan sebagai sampel berjumlah 23 dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak digunakan sebagai sampel adalah DKI Jakarta, Bengkulu, Bangka Belitung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan Provinsi yang digabungkan dalam hal ini ada tiga, yaitu Provinsi Kepulauan Riau dengan Riau, Provinsi Papua Barat dengan Papua, dan Provinsi Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan. 3. Penerimaan dan belanja daerah didekati dengan nomenklatur yang diatur dalam peraturan perundangan tentang kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan peraturan perundangan lainnya. 4. Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini didekati dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang direpresentasikan dengan data yang tersedia dan memenuhi prinsip akuntabilitas. Selanjutnya pengeluaran pemerintah didekati dengan jumlah anggaran pemerintah daerah yang direpresentasikan dengan pengeluaran pemerintah untuk industri, pertanian dan kontruksi. 5. Pendapatan daerah didekati dengan nomenlaklatur yang diatur dalam peraturan perundangan tentang kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

43 11 Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan peraturan perundangan yang berlaku yang merupakan turunan dari perundangan tersebut. Data penerimaan daerah diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 6. Belanja daerah didekati dengan nomenklatur belanja per sektor pembangunan. Jadi belanja per urusan pemerintahan sesuai yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 dikonversikan menjadi belanja per sektor Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan kebijakan investasi dan pengeluaran pemerintah dalam pembangunan perekonomian daerah. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan di pemerintahan daerah terutama dalam penetapan alokasi anggaran pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap

44 12 kinerja fiskal, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Keterbatasan Penelitian Kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan pemerintahan pada era otonomi daerah berbeda dengan era sebelumnya. Pada era otonomi daerah penyelenggaran pemerintahan daerah lebih desentralistik-partisipatif dari pada sebelumnya yang lebih cenderung sentralistik-birokratis. Dengan demikian terjadi perubahan pada aspek-aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mengingat luasnya aspek otonomi daerah, dalam penelitian ini aspek penyelenggaran pemerintah daerah dibatasi hanya dalam aspek penerimaan daerah baik yang berupa pendapatan asli daerah maupun penerimaan transfer dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, bagi hasil pajak,dan bukan pajak. Pada disertasi ini, sektor yang menjadi fokus penelitian adalah sektor pertanian, sektor indsutri, sektor kontruksi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan. Sektor-sektor ini merupakan sektor yang strategis dalam pembangunan perekonomian daerah. Namun dengan perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah, struktur keuangan daerah yang sekarang digunakan adalah pendekatan sektor dengan menggunakan basis urusan. Sejalan dengan hal tersebut maka disertasi ini melakukan konversi dari pendekatan urusan menjadi sektor. Hal ini dimaksudkan agar tetap konsisten dalam penggunaan nomenklatur karena pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 nomenklatur pengelompokan yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah kelompok urusan bukan kelompok sektor. Selanjutnya karena tidak lengkapnya

45 13 data investasi yang riil maka data investasi yang digunakan adalah data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB ) yang merupakan investasi dari pemerintah dan swasta. Dengan data dan alat analisis yang digunakan, disertasi ini mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu : (1) data investasi yang digunakan dengan pendekatan PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) sehingga data tersebut masih mencakup investasi pemerintah, (2) data pengeluaran pemerintah direpresentasikan dengan jumlah belanja pemerintah daerah. Dalam kontek ini digunakan jumlah belanja pemerintah daerah dengan pendekatan urusan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan (3) disertasi ini tidak menghitung jumlah dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang sesungguhnya pelaksanaan kegiatannya berada di daerah. Dengan demikian, maka diduga perekonomian daerah yang sesungguhnya tidak tercakup.

46 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia, secara historis kebijakan otonomi daerah telah mengalami banyak perubahan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial ekonomi dan politik beberapa kali. Perubahan otonomi daerah tersebut ditandai dengan perubahan perundangan sejak periode kemerdekaan. Hal ini diwujudkan dengan diundangkannya peraturan perundangan yang pertama kali memuat tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam Undang- Undang ini daerah otonom dibagi menjadi tiga, yaitu daerah karesidenan, kabupaten, dan kota. Pada peraturan perundangan ini daerah otonom hanya mempunyai kewenangan yang sangat terbatas (Yustika, 2007). Setelah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir undang-undang tentang otonomi daerah ini disusun pada tahun 1999, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang ini direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang ini secara prinsip mengubah pola penyelenggaraan pemerintah daerah. Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut menandai dimulainya Era Otonomi Daerah di Indonesia Pada era otonomi daerah terjadi perubahan struktural dari pengelolaan keuangan daerah yang bersifat sentralistik yang terjadi pada era orde baru menjadi

47 16 pengelolaan keuangan daerah yang desentralistik pada era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah tujuan utama dari perubahan adalah untuk membentuk dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik secara lokal yang sedemikian efektif dan efisien dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan untuk mengelola belanja daerah, memungut pajak dan mengelola bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur secara terperinci tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang ini memberi kewenangan yang sangat signifikan terhadap pemerintahan daerah. Kewenangan pemerintah pusat yang tidak dilimpahkan ke pemerintah daerah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama (Pasal 10 ayat 3). Kebijakan otonomi daerah ini dimaksudkan agar dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam hal ini banyak penelitian yang memfokuskan pada otonomi daerah dengan hasil yang sangat bervariasi. Menurut Simanjuntak (2010) kebijakan otonomi daerah mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat tetapi tidak semua daerah memperoleh tingkat perbaikan kesejahteraan. Ini artinya pada daerah tertentu kebijakan fiskal tidak mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan tidak mempunyai pola yang jelas. Aktivitas perekonomian sebelum dan sesudah kebijakan fiskal pada era otonomi daerah tidak bepengaruh terhadap sektor-sektor perekonomian daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal juga tidak mempengaruhi tingkat kemiskinan daerah. Ditambahkan oleh Hidayat (2010)

48 17 bahwa kebijakan otonomi daerah telah mendegradasi hubungan negara dan masyarakatnya atau telah terjadi bias antar elite. Untuk itu diperlukan realisasi hak partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selain itu diperlukan juga pengaturan tegas tentang fungsi DPRD, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di setiap provinsi, dan pelaksanaan audit independen pengelolaan APBD serta penegakan prinsip transparansi, akuntabilitas dan sanksi. Ini menunjukan bahwa kebijakan otonomi daerah masih perlu diperbaiki Desentralisasi Fiskal Desentraliasasi fiskal di Indonesia masih sering diperdebatkan terutama dilihat dari sisi efektivitas dan efisiensinya jika dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kaitan dengan hal tersebut Martinez dan Mcnab (2001) mengemukakan bahwa beberapa alasan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah di negara berkembang untuk memilih desentralisasi fiskalnya adalah: (1) dengan adanya desentralisasi fiskal maka diharapkan pengeluaran pemerintah akan lebih efisien, (2) dengan sentralisasi fiskal diakui telah mengalami kegagalan, dan (3) peran pemerintah daerah akan lebih besar dan tidak didikte oleh pemerintah pusat. Di Indonesia, desentralisasi fiskal didasarkan pada Undang undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mendeskripsikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang kepemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini maka urusan fiskal daerah diserahkan kepada daerah otonom atau pemerintah daerah.

49 18 Desentralisasi fiskal di Indonesia mempunyai tujuan : (1) memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi, (2) membantu daerah dalam mendanai kewenangannya dan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah, (3) melaksanakan fungsi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, dan (4) membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Penjelasan Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Jadi desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar sukses adalah bahwa kebijakan harus diikuti dengan kewenangan yang jelas dan efektif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakannya harus adil dan transparan terutama dalam hal transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Rodriguez-Pose dan Kroijer, 2009). Kebijakan seperti ini belum sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kewenangan pemerintah pusat yang belum diserahkan kepada daerah sehingga menganggu pelaksanaan suatu kebijakan (Rowa, 2003).

50 19 Kebijakan fiskal dapat berhasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya jika pemerintah daerah komitmen yang direpresentasikan dengan kebijakan yang tepat, kualitas birokrat yang memadai, dan kesadaran masyarakat terhadap pemerintahan yang konsisten. Penelitian Tiebout (1956) dalam Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) menemukan bahwa salah satu keuntungan dari desentralisasi fiskal adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah lokal karena pemerintahnya akan lebih mampu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Tetapi beberapa studi tentang desentralisasi fiskal menemukan bahwa kebijakan desentralisasi banyak yang tidak berhasil terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Bardhan, 2002). Untuk itu perlu dicermati faktor apa dalam desentralisasi fiskal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Selanjutnya disebutkan pada pasal 5 Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 bahwa pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya penerimaan daerah ini akan sangat menentukan pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain besarnya penerimaan ini menentukan besarnya belanja per sektor. Zhang dan Zou (1996) mengadakan penelitian di Cina dan menemukan fenomena bahwa pendapatan yang diperoleh dari fiskal dan kemudian digunakan

51 20 untuk keperluan belanja pemerintah daerah ternyata belum berhasil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan tidak dapatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbati tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, mereka menemukan bahwa desentralisasi fiskal dianggap sebagai salah satu ancaman terhadap kondisi stabilitas makroekonomi nasional. Salah satu penyebabnya dari kondisi seperti ini adalah bahwa kebijakan desentralisasi fiskal sering mengedepankan kepentingan proyek-proyek lokal dibanding dengan kepentingan nasional. Untuk itu kebijakan desentralisasi fiskal memerlukan perhatian khusus agar efektivitas dalam pencapaian kesejahteraan dapat optimal. Dalam kaitanya dengan efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah pada desentralisasi fiskal, Bardhan dan Mookherjee (2005) tidak dapat menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal mendorong terjadinya korupsi di pemerintah lokal atau tidak. Tetapi menurut mereka desentralisasi fiskal dapat memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan korupsi seperti terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan regulasi terutama dalam penggunaan dana transfer guna mengurangi korupsi. Namun jika hal ini dilakukan terkesan membatasi tingkat otonomi fiskal itu sendiri. Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat dan bentuk desentralisasi fiskal dan kinerja perekonomian Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan menggunakan model regresi. Hasilnya adalah bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi negatif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah daerah, dan pajak daerah. Besarnya dana transfer berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi

52 21 walaupun tidak signifikan Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil dalam meningkatkan kinerja perekonomian daerah Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain lain pendapatan daerah yang sah. Secara perundangan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapaun tujuan dari adanya PAD itu adalah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD itu sendiri terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain pendapatan asli daerah yang sah. Secara definisi, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Beberapa pajak daerah antara lain adalah pajak restoran, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor. Secara mekanistis, kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau

53 22 setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi memiliki mobilitas relatif tinggi sehingga memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur dan kelompok ini dapat mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996) Retribusi didefinisikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan perundangan yang berlaku (Devas et al, 1989). Selanjutnya, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan hasil keuntungan perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan, yang dimaksud dengan lain lain pendatapan asli daerah yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan antara lain pendapatan dari jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, pendapatan denda pajak, dan pendapatan denda retribusi (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004) Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan komponen dari penerimaan daerah yang cukup besar. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana

54 23 Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Adapun besarnya jumlah dana perimbangan setiap tahun anggaran ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Dana bagi hasil terdiri dari Dana Bagi hasil Pajak, Dana Bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil ini terdiri dari dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Selanjutnya untuk dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengertian sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Besarnya DAU secara keseluruhan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri netto. Selanjutnya pembagian ke daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal (fiskal needs) dikurangi kapasitas fiskal daerah (fiskal capacity). Sedangkan DAU itu sendiri digunakan untuk menutup celah yang terjadi akibat adanya kebutuhan daerah yang melebihi potensi penerimaan daerah bersangkutan. Berdasarkan

55 24 konsep celah fiskal tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya, daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Selanjutnya, alokasi dasar DAU dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). Undang-undang ini menjelaskan bahwa kebutuhan daerah dalam penyelenggaran pemerintahan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan PDRB. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sedangkan yang dimaksud dengan lain-lain Pendapatan yang sah adalah hibah dan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Dana darurat pada intinya adalah dana APBN yang dimaksudkan untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Dari hasil

56 penelitian Rowa (2003) penerimaan daerah pada daerah otonom 70 persen masih didominasi oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Peran dan Struktur Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Pengeluaran pemerintah daerah tidak terlepas dari penerimaan daerah, karena secara teoritis pengeluaran merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah semakin tinggi tingkat pengeluaran daerah. Untuk itu daerah berusaha untuk meningkat penerimaan daerah dengan kewewenangannya daerah berusaha untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Hal inilah yang mendorong pemerintah daerah berusaha meningkatkan potensi pendapatan melalui peningkatan PAD nya agar bisa digunakan untuk belanja daerah dalam kerangka pembangunan daerah. Secara proses pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah untuk membiayai pembangunan daerah termasuk dalam hal ini biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain pengeluaran pemerintah daerah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di berbagai bidang termasuk dalam hal ini adalah bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, budaya, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya yang merupakan tugas pemerintahan secara umum. Dalam pelaksanaanya pengeluaran pemerintah direpresentasikan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap tahun dan berperiode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Tahapan dalam pembangunan daerah sangat berhubungan dengan tahapan pembangunan ekonomi. Setiap tahapan pembangunan ekonomi mempunyai

57 26 fokus pengeluaran pemerintah yang berbeda tetapi tetap harus memperhatikan keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave dalam Mangkusoebroto (1998) bahwa pada tahap awal perkembangan ekonomi pengeluaran pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana trasnportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Dalam hal ini investasi swasta sudah semakin besar dengan demikian peran dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar dibanding dengan fase pertama. Pada tingkatan selanjutnya kegiatan pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program untuk lanjut usia, program untuk layanan kesehatan. Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa pengeluaran pembangunan harus menjadi perhatian terutama oleh pemerintah itu sendiri agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sehingga target yang telah ditetapkan bisa terwujud. Pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Namun berdasarkan hasil penelitian Ramey (2011) ternyata tidak ada pengeluaran pemerintah yang memiliki multiplier efek yang mengikuti efek langsung itu sendiri. Dalam pengelolaan keuangan daerah, tata kelola administrasinya sering mengalami perubahan yang sangat siginifikan setiap periode. Hal ini disesuaikan dengan perubahan lingkungan dan sistem pemerintahan. Pada tahun anggaran 2006 belanja daerah dilaksanakan dengan pedoman pada Peraturan Menteri

58 27 Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 (Permendagri No.13/2006). Dalam peraturan ini, belanja diartikan sebagai belanja yang dipergunakan untuk penyelenggaraan dan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Menurut Permendagri No. 13/2006, klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Belanja urusan wajib antara lain pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sedangkan belanja menurut urusan pilihan antara lain pertanian kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral perindustrian. Sedangkan klasifikasi belanja lain adalah klasifikasi belanja menurut kelompok belanja. Klasifikasi ini terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung menurut jenis belanja yang terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah bantuan sosial, belanja bagi basil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung tediri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Dalam perkembanganya pengelolaan keuangan daerah terjadi banyak perubahan. Sebelum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

59 28 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan belanja daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (PP No.105/2000) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No.29/2002). Pada Kepmendagri No.29/2002 disebutkan bahwa struktur APBD diklasifikasikan berdasarkan bidang pemerintahan daerah. Format susunan bidang pemerintahan dan perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD terdiri dari 21 bidang pemerintahan dan unit organisasi perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD, yaitu antara lain bidang administrasi umum pemerintahan, bidang pertanian, bidang perindustrian, perdagangan, bidang kesehatan, bidang permukiman, dan bidang pekerjaan umum. Selanjutnya disebutkan dalam keputusan ini bahwa belanja daerah terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Selanjutnya masing-masing bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Pada setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Setiap jenis belanja dirinci menurut obyek belanja. Setiap obyek belanja dirinci menurut rincian obyek belanja. Dengan demikian secara akuntansi keuangan daerah tedapat perbedaan yang signifikan tantang pengelolalan keuangan daerah antara periode sebelum tahun 2006 dan setelah tahun tersebut.

60 Investasi dalam Pembangunan Daerah Investasi merupakan istilah yang berkaitan dengan keuangan dan ekonomi. Investasi diartikan sebagai akumulasi bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan manfaat di masa depan. Dengan demikian, maka secara ekonomi investasi berarti pembelian kapital atau modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi untuk keperluan yang akan datang. Investasi dalam perekonomian mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam menggerakan perekonomian. Investasi akan menimbulkan multiplier effect bagi perekonomian. Peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat tetapi juga akan meningkatkan penawaran agregat melalui meningkatnya stok kapital dan kapasitas produksi. Adanya peningkatan dari sisi stok kapital dan kapasitas produksi dapat mendorong kegiatan produksi dan pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja. Menurut Boediono (1992) investasi adalah pengeluaran oleh sektor produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang digunakan atau untuk perluasan pabrik. Sedangkan Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa investasi merupakan bagian dari pendapatan nasional atau pengeluaran nasional yang dimaksudkan untuk produksi atau barang pada periode waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa investasi merupakan faktor yang penting dalam perekonomian suatu daerah. Artinya pemerintah daerah perlu berusaha untuk menarik investasi baik dari luar daerah maupun luar negeri. Namun menurut Hasan dan Purwanto ( 2005) Indonesia termasuk negara di Asia yang iklim investasinya tidak sehat dan tidak kompetitif. Penyebabnya adalah

61 30 kualitas sumberdaya manusianya yang rendah, daya saing perekonomiannya rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi. Secara konsep dampak yang ditimbulkan dalam peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Selain itu, investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya, bahan mentah, barang modal dan tenaga kerja secara lebih murah dan lebih mudah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Bagi tenaga kerja, dorongan investasi dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima, kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan atau berinvestasi. Bagi pemerintah investasi akan meningkatkan aktivitas perdagangan,industri, upah, dan daya beli masyarakat. Upaya peningkatan investasi memerlukan berbagai dukungan berupa pencipataan iklim usaha yang kondusif, kapasitas infrastruktur yang memadai, intemediasi lembaga keuangan, tata pemerintahan yang baik serta keamanan dan ketertiban. Selain itu daya tarik invetasi juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottheil (1996), Sodik dan Nuryadin (2008) mengatakan bahwa investasi swasta sangat dipengaruhai oleh PDRB, kondisi infrastruktur, keterbukaan ekonomi, tingkat perkembangan teknologi, tingkat suku bunga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi di

62 31 masa yang akan datang, dan tingkat kapasitas produksi. Sebagai contoh adalah faktor teknologi. Perkembangan teknologi akan meningkatkan efisiensi produksi. Hal ini akan mempengaruhai investor untuk melakukan usaha di daerah tersebut. Demikian juga pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu daerah akan menarik investor untuk berusaha di daerah tersebut. Tingkat suku bunga dengan investasi berkorelasi negatif artinya semakin tinggi interest rate akan semakin rendah investasi. Sedangkan kapasitas produksi akan menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya jika kapasitas produksi yang ada tidak memenuhi permintaan pasar sementara permintaan cenderung terus meningkat. Pada era otonomi daerah peran peningkatan investasi sebagian besar dimiliki oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun Pada Undang-Undang No. 32 tersebut diamanatkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi juga meliputi pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Pemerintah daerah perlu menindaklanjuti hal ini secara proporsional mengingat fungsi dan peran investasi sangat penting. Fungsi investasi yang lain dalam pembangunan daerah adalah dalam mendanai kebutuhan infrastruktur. Alasannya adalah bahwa pembangunan infrastruktur merupakan syarat pembangunan daerah. Dengan infrastruktur tersebut aktivitas masyarakat dalam perekonomian akan lebih dinamis. Pada giliarannya hal ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan syarat utama untuk menggerakan perekonomian suatu wilayah. Namun untuk

63 32 pembangunan infrastruktur diperlukan investasi yang besar sehingga pemerintah sering terlambat dalam penyediaan infrastruktur. Kondisi seperti ini pernah terjadi juga di Amerika. Untuk mengatasi hal ini Gramblich (1994) menyarankan pemerintah federa menyusun kebijakan yang intinya mengikutsertakan pemerintah negara bagian dan lokal untuk menggunakan sumberdaya dan kewenangannya guna penyediaan infrastruktur yang memadai. Sejalan dengan hal ini, maka alokasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur seharusnya menduduki posisi paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Secara ekonomi makro, ketersediaan pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Pembangunan infrstruktur yang dapat dilakukan di daerah diantaranya adalah infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan (Purwanto, 2009). Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makroekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit dan berpengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Namun hasil penelitian Costa-i-Font dan Rodriguez-Oreggia (2005) di Meksiko menunjukkan bahwa investasi sosial memberikan dampak lebih besar terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan antar kawasan

64 33 daripada investasi infrastruktur. Artinya investasi sosial memberikan dampak yang lebih berkualitas daripada investasi infrastruktur. Dengan argumen bahwa pembangunan infrastruktur di dalam perekonomian sangat penting maka para penyusun kebijakan pembangunan selalu memikirkan efisiensi dan optimalisasi alokasi anggaran untuk mensukseskan pembangunan infrastruktur ini. Akan tetapi permasalahan mendasar dalam pembangunan infrastruktur adalah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan dana pembangunan (Purwanto, 2009). Untuk itulah diperlukan strategi dalam menentukan alokasi belanja yang terbatas dalam pembangunan infrasturktur Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi pada umumnya mempunyai pengertian meningkatnya output barang dan jasa pada wilayah tertentu dan biasanya diukur dengan pertumbuhan nilai Gross Domestic Product (GDP). Dalam hal ini ada tiga faktor atau komponen utama yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Pertama adalah berapa besar tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang dialokasikan dalam perekonomian. Kedua adalah berapa besar laju pertumbuhan penduduk yang akan menambah jumlah angkatan kerja dan yang ketiga adalah tingkat kemajuan teknologi yang akan mempengaruhi secara langsung proses produksi dan akhirnya akan meningkatkan kuantitas produksi. Hampir sama dengan Todaro dan Smith (2006), Romer (2001) mengemukakan bahwa teori pertumbuhan model Solow memfokuskan pada

65 34 empat variabel, yaitu : output (Y), capital (K), labor (L) dan Knowledge atau the effectiveness tenaga kerja (A), formulasi model pertumbuhannya adalah sebagai berikut. Y t = F (K t, A t, L t )...t merupakan waktu. Formula ini menunjukkan bahwa faktor kapital sangat dominan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Di samping faktor tersebut, faktor tenaga kerja dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja tersebut juga menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi, apabila Produk Domestik Bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Berlaku sebaliknya, apabila PDB suatu wilayah turun dari tahun sebelumnya, maka wilayah tersebut dikatakan mengalami penurunan. Dalam perekonomian, pertumbuhan menjadi penting karena dapat memacu pembangunan daerah. Dalam konteks Indonesia pada era otonomi, pertumbuhan ekonomi merupakan cara paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu karena hal ini akan mendorong pembentukan kelompok kelas menengah baru. Kelompok ini merupakan penggerak pembangunan daerah (Boediono, 2009). Dikatakan juga bahwa syarat lain berkaitan dengan hal ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi harus tersebar dan harus tumbuh dari sumber enterpreunerial dalam kompetisi yang sehat. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dalam konteks ini, dari sisi permintaan agregat, peningkatan output domestik dapat diidentifikasi dengan empat komponen perekonomian, yaitu : (1) pengeluaran konsumsi oleh rumahtangga (C), (2) pengeluaran investasi oleh dunia

66 35 bisnis dan rumahtangga (I), (3) belanja pemerintah untuk barang dan jasa (G), dan (4) nett eksport (X-M) (Dornbusch et al, 2004). McCann (2006) memformulasikan komponen perekonomian daerah tersebut yang dikenal dengan permintaan agregat standar dari Keynesian untuk kawasan regional yang dapat dirumuskan sebagai berikut. Yr = Cr + Ir + Gr + Xr Mr Keterangan: Yr Ir Cr Gr Xr Mr = Pendapatan regional = Investasi regional = Konsumsi regional = Pengeluaran pemerintah daerah = Eskpor daerah = Impor daerah. Formula di atas mengandung arti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah sangat tergantung dari empat komponen. Dalam hal ini yang dimaksud dengan konsumsi (C) adalah konsumsi dari barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga. Tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel (Disposible Income) atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. Jika diasumsikan belanja pemerintah tetap, maka semakin tinggi konsumsi menyebabkan menurunnya investasi atau memperbesar defisit perdagangan. Selanjutnya, yang disebut dengan investasi (I) adalah pembelian barang dan jasa oleh dunia usaha. Investasi disebut juga dengan barang modal yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Yang termasuk dalam investasi ini, adalah pembiayaan untuk konstruksi infrastruktur.

67 36 Salah satu sumber investasi adalah dengan privatisasi badan usaha milik pemerintah. Namun menurut Adams (2006) kebijakan privatisasi di Subsaharan Afrika ternyata tidak mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Hal yang penting dari hasil penelitiannya adalah bahwa infrastuktur di Subsaharan Afrika yang dibangun dan disediakan pemerintah sangat membantu dalam pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur menjadi penting dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus selektif dalam menyusun prioritas pembangunan. Dengan kata lain pemerintah harus selektif, komprehensif, dan profesional dalam penyusunan rancangan APBN dan rancangan APBD. Untuk itu, berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, penyusunan APBN dan APBD didasarkan dengan pendekatan pada prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan demikian maka anggaran yang dialokasikan pada kegiatan pada APBN dan APBD dapat menghasilkan kinerja yang dapat di ukur. Dalam hal ini Irawati dan Mansur (2006) berpendapat bahwa elemen penting yang harus diperhatikan dalam penerapan menajemen pengeluaran publik berbasis kinerja adalah: (1) pergeseran pengambil keputusan tentang penentuan kebutuhan publik dari pemerintah, yaitu dari birokrat profesional dan kelompok elite ke masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar anggaran publik dapat menjawab kebutuhan masyarakat, dan (2) manajemen kinerja dengan perencanaan kinerjanya merupakan kesatuan yang utuh dengan anggaranya. Oleh karena itu, alokasi anggaran harus berdasarkan pada kinerjanya. Kondisi seperti ini menuntut akuntabilitas yang tinggi dan transparansi dari semua para pemangku kepentingan.

68 37 Sejalan dengan hal ini, untuk pertimbangan efektivitas dan efisiensi penganggaran publik menjadi hal yang sangat penting. Penetapan indikator kinerja harus jelas dan harus berkaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah disusun berdasarkan kesepakatan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa reformasi manajeman pengeluaran publik bukan lah merupakan agenda reformasi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari paket reformasi manajemen penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dalam penerapan manajemen kinerja diperlukan juga anggaran berbasis kinerja yang salah satu intinya adalah alokasi anggaran publik yang berdasakan kinerja. Untuk mendukung penerapan manajemen pengeluaran publik berbasis kinerja dibutuhkan juga perubahan dalam mekanisme perumusan tujuan dan sasaran dari pengeluaran publik, pembenahan saluran komunikasi untuk menjaring aspirasi masyarakat, serta penentuan indikator yang tepat sebagai kontrak formal antara pemerintah dan masyarakat. Kontrak formal inilah yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Jika hal ini dilakukan maka tidak akan ditemukan salah alokasi anggaran dengan demikian terjadi optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi regional yang dibutuhkan masyarakat dapat terwujud sesuai rencana (Sodik, 2007) Pertumbuhan Wilayah Secara teoritis, wilayah diartikan sebagai subsistem dari sistem yang lebih kompleks dan lebih besar, yaitu lingkup nasional. Oleh karena itu, wilayah mempunyai pusat kegiatan yang fungsinya mendukung kegiatan nasional. Dalam

69 38 konteks ini, maka daerah merupakan subsistem dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah yang memiliki tingkat pembangunan yang relatif tinggi dan tingkat aktivitas yang relatif padat, menunjukkan wilayah tersebut mempunyai heterogenitas sosial yang semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan pada wilayah tersebut muncul berbagai aneka pekerjaan yang dilakukan oleh para penduduknya, yang berlatar belakang berbeda-beda (Adisasmita, 2008). Heterogenitas sosial dalam kota, merupakan prasyarat terjadinya dinamika positif dalam perekonomian. Hal ini seperti dinyatakan oleh Lampard dan Friedmann dalam Adisasmita (2008) bahwa dinamika tersebut merupakan syarat agar terwujud inovasi baru dalam produksi. Jadi intinya, inovasi merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan inovasi merupakan bagian dari perubahan teknologi, maka ada kecenderungan bahwa pembangunan ekonomi lebih mudah terjadi di kota-kota besar atau daerah yang sudah maju dari pada di daerah-daerah pedesaan atau daerah yang kurang maju. Selain itu, inovasi berkecenderungan menimbulkan perubahan dalam struktur ekonomi, struktur sosial dan politik. Oleh karena itu, setiap daerah mempunyai respon yang berbedabeda terhadap perubahan yang datang dari luar termasuk perubahan dalam investasi dan pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan. Dalam hal ini, Perroux (2007) dalam Adisasmita (2008) mengatakan bahwa suatu tempat dikatakan sebagai kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry). Industri kunci ini memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik, karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi. Jika wilayah mempunyai industri kunci

70 39 yang tumbuh dengan baik maka industri tersebut merupakan kutub pertumbuhan. Selanjutnya kutub pertumbuhan tersebut jika berkumpul, maka akan dapat merupakan suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa industri kunci dalam suatu wilayah, juga sangat menentukan aktivitas perekonomian. Dengan demikian, disimpulkan oleh dia bahwa ada tiga ciri penting dalam konsep titik pertumbuhan, yaitu : (1) terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi, (2) terdapat pengaruh multiplier, dan (3) terdapat konsentrasi geografis. Sedangkan dalam Capello (2007) Perroux mengatakan bahwa teori kutub pertumbuhan merupakan teori yang membahas secara detail tentang pertumbuhan suatu wilayah. Basis dari teori ini menyatakan bahwa pembangunan tidak tumbuh di setiap tempat pada waktu yang sama. Pertumbuhan terkonsentrasi pada wilayah tertentu dan tumbuh dengan intensitas yang bervariasi Investasi, Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang sangat beragam, tergantung dari pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang berbeda akan menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Sen (1982) menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan sosial dan ekonomi yang tidak mampu memenuhi yang ada dalam lingkungan sosialnya. Berbeda dengan Sen (1982), Kumorotomo (2001) menguraikan bahwa tidak cukup mendefinisikan kemiskinan hanya melihat dari sisi pendapatan saja, tetapi untuk mendefinisikan kemisikinan harus mengikutsertakan bahasan kesehatan, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya. Ini menunjukkan bahwa, kemiskinan merupakan fenomena multidimensi yang tidak bisa didekati dengan

71 40 satu pendekatan saja. Kategori pendekatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut suatu kondisi dimana seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan minimal akan nutrisi dan barang kebutuhan lainnya (Sen dan Foster 1997). Sementara kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan antara satu segmen dengan segmen lainnya (Hashim, 1998). Jadi kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang selalu eksis sampai kapanpun sementara kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah yang tepat. Melihat kondisi di atas, maka hal yang penting untuk merespon fenomena kemiskinan adalah dengan cara mengenali penyebab dari kemiskinan itu sendiri. Menurut Kelso (1994) kemiskinan disebabkan oleh tidak berimbangnya antara supply dan demand tenaga kerja dalam perekonomian. Supply tenaga kerja disebabkan oleh ketidakcukupan pendidikan yang dimiliki oleh orang miskin sedangkan dari sisi permintaaan akan tenaga kerja disebabkan karena kondisi ekonomi yang tidak berubah. Perekonomian tidak mengalami pertumbuhan yang memadai sehingga lapangan kerja tidak bertambah. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan kemiskinan faktor ekonomi menjadi sangat stategis. Secara ekonomi untuk membuka lapangan kerja diperlukan investasi dan pengelauran pemerintah yang mencukupi. Alasanya adalah bahwa dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran pemerintah akan membuka lapangan kerja. Jika lapangan kerja terbuka maka tahap selanjutnya adalah pengangguran akan berkurang atau dengan kata lain para pekerja yang masih menganggur bisa memperoleh pekerjaan. Dengan para pekerja bekerja berarti mereka memperolah pendapatan. Dengan diperolehnya pendapatan pada akhirnya kelompok miskin

72 41 bisa lepas dari kemiskinan. Jadi investasi dan pengeluaran pemerintah dapat mengurangi kemiskinan yang terdapat pada masyarakat. Namun dalam kaitannya dengan hal ini, ternyata penelitian Sodik (2007) tidak sependapat dengan hasil penelitian di atas karena hasil penelitian ini menyatakan bahwa ternyata investasi swasta tidak bepengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang berarti bahwa investasi tidak dapat menambah penyerapan tenaga kerja. Kriteria kemiskinan secara teoritis sangat beragam. Setiap definisi, mempunyai kriteria dan karakteristik tersendiri. Karakter kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) dapat dilihat dan dikelompokkan menjadi 8 (delapan), yaitu : 1. Luas lantai perkapita, 2. Jenis lantai, 3. Air minum/ketersediaan air bersih, 4. Jenis jamban/wc, 5. Kepemilikan asset, 6. Pendapatan (total pendapatan per bulan), 7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan), dan 8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, dan ayam). Masing-masing indikator tersebut mempunyai ukuran tersendiri. Dengan dasar kriteria ini, rumahtangga dapat dikelompokkan dalam kelompok miskin dan tidak miskin. Jika rumahtangga mempunyai minimal lima ciri miskin maka rumahtangga tersebut dikelompokkan dalam rumahtangga miskin. Data tersebut menginformasikan bahwa kemiskinan merupakan konsep multiaspek, oleh karena itu, konsep pendekatan pengukurannya dilakukan dengan

73 42 berbagai metode. Dengan alat pengukuran yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda juga. Seperti yang dikemukakan oleh Ravallion dan Bidani (1994) bahwa metode pengukuran kemiskinan dengan metode Cost of Basic Need (CBN) dan dengan metode Food- Energy-Intake (FEI) memberikan hasil yang berbeda. Metode CBN menemukan insiden kemiskinan lebih besar, kedalaman lebih dalam dan keparahan lebih tinggi di daerah pedesaan. Tetapi dengan metode FEI memperoleh hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu, dalam pengukuran kemiskinan perlu kecermatan dan ketelitian agar kesimpulan yang diperoleh sesuai dengan kondisi di lapangan. Menurut Salmen (1997) dalam Saputro (2007) mengatakan bahwa penyebab utama kemiskinan yang diutarakan oleh kelompok masyarakat pertanian yang miskin di Sumatera Barat ada empat, yaitu : (1) faktor kepemilikan modal. Modal yang sangat sedikit mempengaruhi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan usaha yang produktif. Padahal usaha akan bisa berkembang dan berkelanjutan apabila mobilisasi kapital dapat dilakukan, terlebih lagi pada sektor pertanian dan perkebunan yang membutuhan modal relative besar, (2) rendahnya kepemilikan lahan. Karena kepemilikan lahan yang sempit sehingga masyarakat pertanian menjadi buruh tani dan buruh kebun. Dengan demikian upah mereka sangat rendah. Pendapatan yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang besar maka jebakan kemiskinan akan terjadi lagi, (3) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat petani. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi produktivitas pertanian, dan (4) kebijakan pemerintah yang tidak pro poor kepada masyarakat petani. Pada umumnya dalam negara berkembang regulasi pemerintah kurang peka terhadap perekonomian masyarakat. Dengan demikian untuk

74 43 mengurangi jumlah penduduk miskin harus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti pemberian modal kerja, peningkatan pendidikan, dan kebijakan pemerintah yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Pendekatan lain dalam menyusun kebijakan ekonomi untuk mengurangai kemiskinan adalah melalui perdaganga. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Dollar dan Kraay (2004) globalisasi ekonomi yang berarti keterbukaan dari sisi ekonomi ternyata juga dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Globalisasi ekonomi berdampak pada penurunan kemiskinan dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Ini mengandung arti bahwa semakin daerah itu terbuka semakin tinggi juga tingkat kesejahteraannya Tenaga Kerja dalam Perekonomian Dalam perekonomian faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang mempunyai peran sangat sentral dan unik karena faktor ini mempunyai dua dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitatif Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh tenaga kaerja terhadap perekonomian ini bisa positif atau negatif. Dampak positif terjadi apabila pertumbuhan penduduk dapat dimanfaatkan oleh kemampuan sistem perekonomian daerah dalam arti perekonomian dapat menyerap dan secara produktif dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja secara optimal. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh

75 44 tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi atau dengan kata lain faktor tenaga kerja kualitatif perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini menurut Mankiw (2003) modal manusia yang penting dalam perekonomian adalah modal pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh oleh para pekerja melalui pendidikan mulai dari program untuk anak-anak sampai dengan pelatihan dalam pekerjaan (on the job training) untuk para pekerja dewasa. Seperti halnya dengan modal fisik, modal manusia meningkatkan kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa. Untuk meningkatkan level modal manusia dibutuhkan investasi dalam bentuk guru, perpustakaan, dan waktu belajar. Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen. Angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja mengandung elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kulaitas dan kuantitas tenaga kerja. Faktor penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja adalah bahwa dampak dari adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tuntutan tingginya tingkat upah. Tingkat upah ini yang diterima oleh pekerja tidak bisa dipisahkan dari situasi di pasar kerja, karena besarnya upah tergantung pada jumlah tenaga kerja dan penduduk usia kerja yang ada di pasar kerja. Sehingga, persebaran tenaga kerja menjadi hal

76 45 yang menarik untuk dibahas, karena berpengaruh pada besarnya upah yang akan diterima pekerja serta kemampuan pasar kerja untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia di daerah yang bersangkutan. Dari sisi struktur ketenagakerjaan, hal yang menjadi permasalahan bagi suatu negara atau daerah adalah jumlah pengangguran. Dari segi definisi, pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas, dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

77 46 Menurut McCann (2006) pasar tenaga kerja secara sederhana dapat didiagramkan seperti pada Gambar 1. Simbol W* adalah suatu titik dimana pada wage tersebut diterima oleh semua pekerja. Simbol L* dalam neoclassical adalah full employment dan pada situasi ini tidak ada yang involuntary unemployment. Gambar 1. Model Sederhana Pasar Tenaga Kerja Struktur pasar tenaga kerja sangat dipengaruhi juga oleh tingkat keterbukaan perekonomian. Hal ini sejalan dengan Julie dan Robin (2004) yang mengemukakan bahwa keterbukaan perekonomian suatu daerah berpengaruh terhadap struktur jenis pekerjaan yang ada di daerah tersebut. Pada perekonomian yang terbuka struktur pekerja lebih dominan pada pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi (white collar workers), pekerjaan jasa, seperti programmer, dan akunting. Dalam konteks desentralisasi fiskal, daerah yang perekonomiannya lebih terbuka akibat kebijakan desentralisasi fiskal menjadikan perekonomiannya lebih dinamis dan struktur pasar tenaga kerjanya akan berbeda

78 dengan daerah yang perekonomiannya relatif tertutup karena sulitnya investasi masuk ke daerahnya Pembangunan Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia Pembangunan daerah secara umum adalah suatu proses guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan partisipasi masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, pembangunan manusia merupakan titik sentral dalam proses pembangunan karena pembangunan manusia yang berhasil akan membentuk manusia yuang berkualitas dan akan menjadi pelaku utama pembangunan di segala aspek. Pembangunan manusia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumberdaya manusia bersifat timbal balik. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi menyediakan sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya perkembangan secara berkelanjutan dalam pembangunan manusia. Sementara dari sisi lain pengembangan secara berkelanjutan dalam kualitas modal manusia merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia berlangsung melalui penciptaan lapangan kerja. Aspek ini sangat penting karena sesungguhnya penciptaan lapangan kerja merupakan media yang mengaitkan antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Sasaran akhir pembangunan daerah adalah pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan manusia dapat berhasil jika kesejahteraan masyarakat telah tercapai dengan segala aspeknya. Hal ini dapat terwujud jika masyarakat secara umum dapat menguasai atas sumberdaya pendapatan untuk mencapai hidup

79 48 layak. Selain itu masyarakat juga dapat meningkatkan derajat kesehatan dengan usia hidup panjang dalam kondisi sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka setiap negara dalam hal ini pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai sumberdaya yang meliputi aspek fisik, aspek intelektualitas, aspek kesejahteraan ekonomi dan aspek moralitas sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan dengan sendirinya meningkat. Menurut UNDP (1995) dalam BPS (2006), paradigma pembangunan manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu : (1) produktifitas, (2) ekuitas (3) kesinambungan, dan (4) pemberdayaan. Produktifitas yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia. Ekuitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan hasil pembangunan. Pembangunan memerlukan infrastruktur yang memadai agar masyarakat bisa memperoleh akses yang mencukupi. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan ini. Kesinambungan, kesinambungan dalam hal ini dimaksudkan bahwa dalam pembangunan harus bersinambung dan tidak putus pada generasi tertentu. Artinya bahwa pembangunan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang.

80 49 Pemberdayaan dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa peran masyarakat sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka saja. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sejumlah premis penting dalam pembangunan manusia diantaranya adalah pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian, pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja. Salah satu ukuran dalam pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bukan hanya berupa angka semata, tetapi IPM suatu indeks yang memiliki makna yang sangat luas dalam kehidupan manusia yang mencerminkan status kemampuan dari manusia itu sendiri. Dalam hal penyusunan IPM, indikator yang digunakan dikelompokkan menjadi empat (Sumodiningrat, 2009). Keempat kelompok indikator tersebut adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli (purchasing power parity). Angka harapan hidup merepresentasikan dimensi umur panjang dan kesehatan. Angka melek huruf merepresentasikan dan rata-rata lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Sedangkan untuk mengukur kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak. Indikator-indikator tersebut dipengaruhi oleh

81 50 beberapa faktor seperti ketersediaan infrastruktur, ketersediaan teknologi yang tepat lingkungan, kemampuan sumberdaya manusia, kuantitas sumberdaya manusia, ketersediaan pasar, dan ketersediaan sumberdaya alam. Hal ini mengandung arti bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator yang tidak berdimensi tunggal dan implikasi logisnya adalah bahwa jika ingin meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) harus juga memperhatikan faktor-faktor lain yang merupakan penyusun IPM itu sendiri Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu Studi yang Berkaitan dengan Peran Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian Daerah Penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal dan aspek fiskal banyak menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Pada tahun Nanga (2006) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kinerja perekonomian terutama terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan Indonesia. Dalam hal ini sampel yang digunakan 25 provinsi di Indonesia dan periode waktunya dari tahun 1999 sampai tahun Penelitian ini menggunakan model ekonometrika yang terdiri dari enam blok yaitu : fiskal daerah, output, tenaga kerja, pengeluaran rumahtangga, distribusi pendapatan, dan blok kemiskinan. Antar blok saling terkait menjadi satu sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Indikator distribusi pendapatan digunakan alat ukur Indeks gini, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemiskinan di pedesaan dan kota menggunakan indek kemiskinan.

82 51 Model ekonometrika dengan persamaan simultan juga digunakan oleh Usman (2006). Model ekonometrika yang digunakan dengan empat blok yaitu: blok penerimaan daerah, blok pengeluaran daerah, blok permintaan agregat, blok distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Keempat blok tersebut membentuk sistem persamaan (simultan) dengan 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Tujuan dari penelitian Usman adalah mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah yang lebih ditekankan pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Sampel yang digunakan 308 Kabupaten dan kota yang di kelompokkan ke dalam 26 provinsi. Data yang diambil mulai dari tahun 1994 sampai tahun 2003 yang terdiri dari data yang digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan pertumbuhan masyarakat ekonomi bawah dan atas, data cross section rumahtangga tahun 1992 dan 2002 untuk mengetahui faktor penentu kemiskinan, dan data panel tahun 1995 sampai tahun 2003 untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Selain itu, peneliti Azwardi (2007) dengan menggunakan Social Accounting Matriks (SAM) menganalisis dampak kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan daerah. Hasil dari penelitiannya, adalah bahwa pengeluaran pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah cenderung memberikan income multiplier terhadap rumahtangga yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin. Ini menunjukkan, peran pemerintah untuk menggerakan perekonomian sangat strategis, terutama untuk pengeluaran

83 52 pembangunan. Atau dengan kata lain, pemerintah seyogyanya mengalokasikan anggaran untuk belanja modal lebih besar daripada belanja non-modal. Menurut Purwanto (2009) besarnya belanja modal berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan riil perkapita. Berkaitan dengan hal ini variabel angka melek huruf yang pada dasarnya mencerminkan tingkat pendidikan ternyata tidak mempengaruhi perubahan pertumbuhan pendapatan riil perkapita. Penelititan ini juga menyimpulkan bahwa belanja modal pemerintah daerah dengan segala komposisi pengalokasiannya merupakan complementary factor untuk potensi perumbuhan ekonomi regional. Hal ini didasarkan karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tidak hanya tergantung dari proporsi belanja saja tetapi tergantung juga dari modal fisik dan modal non fisik yang digunakan untuk investasi dan inovasi guna pertumbuhann ekonomi. Hal ini sependapat dengan Panjaitan (2006) bahwa kinerja perekonomian daerah sangat tergantung dari belanja modal fisik dan non-fisik yang direpresentasikan oleh kondisi infrastruktur, investasi, dan tingkat kepastian berusaha. Riyanto dan Siregar (2005) melakukan penelitian tentang desentralisasi fiskal terhadap keuangan daerah. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Belanja rutin dan belanja pembangunan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. artinya perubahan aliran dana belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. dengan demikian pemerataan pembangunan wilayah belum tercapai.

84 53 Penelitian Astuti (2007) yang bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan desentralsisasi fiskal terhadap kinerja fiskal di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan persamaan simultan menghasilkan beberapa temuan. Temuan tersebut antara lain bahwa peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur berdampak positif terhadap kapasitas fiskal daerah, kesenjangan fiskal semakin membaik. Di samping itu studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, pendapatan perkapita semakian tinggi, penyerapan tenaga kerja juga semakin baik tetapi distribusi pendapatan semakin tidak merata di semua kabupaten. Selain itu, kebijakan peningkatan pajak dan retribusi yang diimbangi dengan pengeluaran pembangunan berdampak paling besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga penerimaan transfer daerah semakin kecil. Sedangkan peningkatan saran infrastruktur akan mendorong investasi di daerah sehingga aktivitas perekonomian daerah (PDRB) meningkat. Temuan lainnya adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian juga berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja desenralisasi fiskal sangat signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah dan akan berdampak terhadap penerimaan daerah. Penerimaan daerah akan mempengaruhi pengeluaran dan pada gilirannya pengeluaran daerah ini akan berdampak positif terhadap perekonomian daerah. Salah satu sumber penerimaan daerah adalah pajak. Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar,

85 54 akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi sehingga memiliki mobilitas relatif tinggi- memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur, mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996). Dengan demikian maka diperlukan kebijakan yang komprehensif dalam menyusun kebijakan pajak karena ternyata dampaknya sangat besar terhadap perekonomian termasuk dalam hal ini adalah penyerapan tenaga kerja dan jumlah investasi swasta Studi yang berkaitan dengan peran Investasi dalam Perekonomian Daerah Menurut Pakasi (2005) meningkatnya investasi baik domestik maupun asing diramalkan akan mengurangi ketergantungan fiskal daerah terhadap Dana Alokasi Umum (DAU). Berkaitan dengan hal ini, Riyanto dan Siregar (2005) dengan menggunakan analisis kondisi riil dan simulasi model ekonometrika menyimpulkan bahwa dana perimbangan belum dapat menciptakan kondisi pemerataan pembangunan wilayah walaupun secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antara pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan bahwa dana perimbangan tersebut belum secara signifikan memperbaiki kesenjangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil simulasi setiap komponen dana perimbangan juga menunjukkan bahwa dana bagi hasil pajak dan bukan pajak membuat ketidakmeraataan semakin besar. Hal ini diduga karena ketidakmerataan potensi sumberdaya alam antar daerah. Namun ketimpangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil pajak dan bukan pajak tersebut

86 55 dapat direduksi dengan adanya DAU. Dengan demikian maka DAU diharapkan dapat berperan lebih besar sebagai instrumen kebijakan dalam mendorong pemerataan pembangunan antar daerah di masa mendatang. Penelitian ini juga menemukan bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah bukan semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya dana perimbangan di suatu daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa peran infrastruktur dalam perekonomian sangat penting dan sentral, karena infrastruktur dipahami sebagai enabler berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya. Artinya, bahwa investasi infrastruktur merupakan titik kunci dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Legowo (2009), menemukan bahwa ternyata terdapat pengaruh nyata atas kebijakan investasi infrastruktur transportasi jaringan jalan raya dan tol dan rel di wilayah Jabodetabek terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya. Artinya bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan rel memang mempunyai dampak nyata dan pengaruhnya positif. Semakin banyak jalan dibangun dan semakin banyak rel kereta ditingkatkan kapasitasnya, maka semakin tinggi pula kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur, Yudhoyono (2004) juga menemukan bahwa pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu hasil studinya juga menyimpulkan bahwa, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur juga dapat mengurangi angka kemiskinan walaupun masih kurang efektif jika

87 56 dibandingkan dengan kemampuannya untuk mengurangi pengangguran. Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ini bisa menyerap tenaga kerja. Dalam hal penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian, lebih besar dibanding penyerapan sektor tenaga kerja di sektor pertanian. Kaitannya dengan investasi swasta, Pardede (2004) melakukan penelitian di Kabupaten Tapanuli Utara tentang dampak investasi swasta terhadap perekonomian. Salah satu kesimpulannya adalah, bahwa investasi swasta memiliki dampak yang lebih besar dalam pembentukan output pendapatan dan lapangan kerja. Hal Ini menunjukkan bahwa investasi swasta mempunyai peran yang cukup penting dalam penggerakan perekonomian daerah di era otonomi daerah. Penelitian Calderon dan Serven (2004) menemukan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selanjutnya, kesimpulannya adalah bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan dan efek dari infrastruktur terhadap pertumbuhan dan ketimpangan, adalah efek kausalitas bukan karena faktor kebetulan. Oleh karena itu, menurut penelitiannya pembangunan infrastruktur dapat menjadi solusi penting dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk itu kebijakan pengeluaran pemerintah untuk sektor konstruksi menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, Vibiz (2008) melakukan penelitian tentang pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia bagian Timur. Dengan menggunakan regresi penelitian ini menemukan bahwa

88 57 pertumbuhan infrastruktur telepon, jalan, irigasi teknis, dan listrik berhubungan positif terhadap pertumbuhan output pertanian dan non pertanian. Selain itu, pertumbuhan infrastruktur juga secara positif meningkatkan pertumbuhan investasi. Dengan kesimpulan ini, pembangunan infrastruktur menjadi strategis bagi daerah. Konsekuensi pemerintah daerah perlu memberikan fasilitas tertentu agar investasi dalam pembangunan infrastruktur dapat kondusif dan tercapai sasarannya.

89 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Perekonomian Daerah Secara makro, aktivitas perekonomian dapat dicermati melalui perilaku para pelaku ekonomi di pasar, yaitu pemerintah, rumahtangga, dan dunia usaha. Ketiga pelaku ini melakukan aktivitas ekonominya dengan tujuan yang spesifik dan berbeda antara pelaku yang satu dengan yang lain. Dengan mencermati aktivitas para pelaku ekonomi di pasar tersebut dapat diperoleh beberapa indikator suatu perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, inflasi, kondisi pasar tenaga kerja dan keseimbangan neraca dalam perekonomian. Dengan demikian kita dapat melihat perkembangan perekonomian wilayah tersebut secara keseluruhan. Berkaitan dengan kebijakan makroekonomi menurut Branson dan Litvack (1981), instrument yang sering digunakan dalam menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi perekonomian secara makro dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penerapan kebijakan fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, penerapan kebijakan fiskal dengan cara memotong pajak, dan dengan melalui kebijakan moneter dengan cara meningkatkan money supply. Perekonomian dapat didekati dengan instrument aggregate supply dan aggregate demand. Kedua instrument ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menjelaskan kondisi perekonomian baik secara teoritis maupun mekanistis terutama dalam menggambarkan fluktuasi output, tingkat harga, tingkat pendapatan, dan inflasi. Gambar berikut mengilustrasikan interaksi antara

90 60 aggregate demand dan aggregate supply dalam pasar (Dornbusch et. al., 2004, dan Case dan Fair,1999). Gambar 2. Hubungan Tingkat Harga, Output, Agregat Demand dan Agregat Supply Keterangan: AS = Penawaran agregat AD =Permintaan agregat Po =Harga keseimbangan Yo = Output keseimbangan Berdasarkan Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa titik Eo merupakan titik keseimbangan antara tingkat output dan tingkat harga. Pergeseran salah satu kurva karena salah satu sebab akan merubah tingkat harga dan tingkat output. Pergeseran kurva permintaan agregate ke kanan dapat disebabkan oleh dua hal,

91 yaitu peningkatan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Selain itu kurva permintaan agregat juga bergeser ke kanan jika jumlah uang beredar meningkat 61 (Case dan Fair, 1999). Kedua penyebab ini menggeser kurva Permintaan aggregate bergeser dari ADo menjadi AD1. Kurva Agregate Supply secara konsep adalah kurva yang menghubungkan antara jumlah barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan pada harga tertentu. Kurva ini slopenya positif karena perusahaan selalu berusaha untuk menawarkan barang yang diproduksi pada harga yang lebih tinggi. Sedangkan kurva aggregate demand slopenya negatif karena harga yang lebih tinggi akan menurunkan nilai money supply yang selanjutnya akan menurunkan juga permintaan akan output. Kurva permintaan agregate adalah kurva yang menguhubungkan kombinasi level harga dan level output pada suatu pasar output dan pasar uang secara simultan dan keadaan pasar tersebut dalam keadaan seimbang (Mankiw, 2003). Perubahan dari salah satu kurva tersebut akan mempengaruhi keseimbangan umum. Dalam perekonomian modern, komponen dari permintaan agregate terdiri dari empat kelompok, yaitu pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor (Krugman dan Obstfeld, 2003). Dengan demikian maka secara fungsi, pemerintah dapat menyusun kebijakan yang bisa mempengaruhi pergeseran kurva permintaan agregat. Dengan mendasarkan pada hal tersebut di atas, komponen dari permintaan agregate perlu dikelola secara optimal agar terjadi keseimbangan pasar yang berkualitas. Dengan demikian dalam analisis ekonomi makro suatu daerah perlu

92 62 memperhatikan komponen tersebut. Agregate demand secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut. D=C (Y T) + I + G + CA (EP*IP, Y-T) (Krugman dan Obstfeld, 2003) Keterangan: C (Y T) = Konsumsi sebagai fungsi dari pendapatan disposibel I + G = Investasi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan variabel eksogen CA (EP*/P,Y-T) = Current account yang merupakan fungsi dari real exchange rate dan pendapatan disposibel Formula tersebut di atas mengandung arti bahwa permintaan agregate akan sangat terpengaruh oleh besarnya konsumsi yang merupakan fungsi dari pendapatan disposibel, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, dan exchange rate. Dalam hal ini investasi dan pengeluaran pemerintah merupakan faktor eksogen yang penting dalam menggerakan perekonomian. Dalam perekonomian, analisis secara komprehensif dapat dilakukan dengan menggabungkan antara analisis kurva IS-LM dan analisis AD-AS. Dalam kontek peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah alat analisis di atas dapat digunakan. Kebijakan peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah dengan yang lain dianggap tetap maka akan mengakibatkan keseimbangan pasar bergeser. Kenaikan investasi mengakibatkan perubahan yang sama dengan perubahan pengeluaran pemerintah jika asumsinya kurva LM tetap, dan tidak ada ekspor dan impor dalam suatu perekonomian. Dengan perekonomian hanya terdiri dari tiga sektor, yaitu pemerintah, perusahaan dan rumah tangga, maka kenaikan pengeluaran pemerintah atau kenaikan investasi akan memberikan perubahan

93 yang sama, yaitu pergerakan IS ke arah kanan, seperti pada Gambar 3. (Branson dan Litvack, 1981). 63 Sumber : Branson dan Litvack (1981) Gambar 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah atau Investasi terhadap Output Keterangan: r y s t i g = Tingkat suku bunga = Output = Tabungan = Pajak = Investasi = Pengeluaran Pemerintah Peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggeser kurva go menjadi g1. Dengan kondisi demikian output pada setiap tingkat bunga menjadi lebih

94 64 tinggi. Pada kurva g1 jika tingkat suku bunga ro, maka output yang dicapai pada kondisi kesimbangan adalah Y1. Jadi meningkatnya pengeluaran pemerintah memberikan dampak pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari ISo menjadi kurva IS1. Hal ini mempunyai arti bahwa output menjadi lebih besar. Tingkat output yang besar akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Selanjutnya kondisi ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut meningkat selanjutnya akan mengurangi pengangguran. Dalam kontek yang sama jika suku bunga lebih rendah dari sebelumnya maka investasi akan meningkat. Dengan mekanisme yang sama seperti diuraikan pada Gambar 3 maka suku bunga yang lebih rendah juga akan meningkatkan output. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang sama terhadap perekonomian, yaitu penambahan output (Sukirno, 2000). Oleh karena itu dalam hal ini investasi dan pengeluaran pemerintah menjadi sangat strategis untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah Kerangka Kebijakan Fiskal Daerah pada Era Otonomi Kebijakan otonomi daerah di Indonesia diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sendiri mempunyai pengertian suatu proses alokasi pengeluaran pemerintah dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang ada di bawahnya. Hal ini dimaksudkan untuk dapat digunakan dalam mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang telah dilimpahkan tersebut berdasarkan undang undang. Dengan demikian maka prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah prinsip money follow

95 65 functions. Prinsip ini merupakan suatu keharusan untuk optimalisasi pencapaian tujuan desentralisasi fiskal. Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa pemerintah pusat selain menyerahkan dan melimpahkan sebagian kewenangannya, pemerintah pusat juga harus menyerahkan sebagian anggarannya untuk pelaksanaan kewenangan tersebut. Menurut Waluyo (2007) dalam pelaksanaannya desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assignment adalah pendekatan sebagai akibat perubahan tanggung jawab. Sebagian tanggungjawab pemerintah pusat dalam hal pelayanan publik telah berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara pembatasan kewenangan dan tanggungjawab yang jelas. Selain itu, perlu juga menyusun standar kinerja. Dengan demikian pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih optimal dan tepat. Berbeda dengan expenditure assignment, pendekatan revenue assignment lebih menekankan pada peningkatan kemampuan keuangan daerah dengan cara pengalihan sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan (Waluyo, 2007). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan tax assigment. Kondisi ini ditandai dengan disusunnya kebijakan pajak dan retribusi daerah yang tepat. Di Indonesia implementasinya adalah dengan mendelgasikan pengelolaan beberapa pajak yang tadinya dikelola pemerintah pusat sebagian telah dialihkan menjadi pajak daerah. Desentralisasi fiskal yang ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan dan perimbangan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

96 66 telah memberikan dampak besar terhadap perekonomian daerah. Semua pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah dikelola melalui APBD. Jadi dalam kontek pemerintah daerah di Indonesia, pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah selama satu tahun dimuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan persetujuan dan kesepakatan antara eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan prosesnya melalui tahapan tertentu yang melibatkan masyarakat. Salah satu efek dari kebijakan pemerintah pusat tentang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah adalah ketimpangan pendapatan antar wilayah. Pendapat Etharina (2005) mengatakan bahwa disparitas regional antar wilayah di Indonesia tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap daerah terutama berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah yang termuat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua pendapatan daerah yang meliputi pendapatan dari hasil kekayaan alam dan tambang telah mengakibatkan daerah yang kaya sumber daya alam tidak menikmati hasil yang dimiliki (Hill, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat terbuksi mengakibatkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah seperti otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diduga akan sangat berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah. Di Indonesia pengelompokan provinsi-provinsi dalam hal kinerja perekonomian sangat beragam. Penelitian ketimpangan pendapatan berbasis spasial yang dilakukan oleh Etharina (2005) selain membagi provinsi-provinsi

97 67 Jawa dan luar Jawa dia juga membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). KBI mencakup provinsi-provinsi di pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Provinsi Bali. Sedangkan yang KTI meliputi provinsi-provinsi yang ada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua Kerangka Dasar Penerimaan Daerah Pada Undang-Undang No 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (Yustika, 2007). Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD yang berisi pendapatan dan belanja daerah untuk periode tahunan. Dokumen APBD ini disusun melaui proses yang panjang dan melibatkan berbagai institusi dan masyarakat. Alasannya adalah bahwa dokumen APBD disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD). Dokumen RKPD ini disusun oleh pemerintah daerah melaluai proses teknokratik, partisipatif, politik, bottom up, dan top down (Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 ). Selanjutnya pada Undang-Undang No. 33 tahun 2004 diuraikan bahwa penerimaan fiskal daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, transfer dari pemerintah pusat, dan penerimaan lain yang sah berdasarkan perundangan.

98 68 Secara konsep Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam PAD adalah pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan dana dari pemerintah berupa dana transfer berupa teridiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan total bagi hasil. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa total penerimaan daerah ini menggambarkan ketersediaan fiskal daerah atau fiscal available, sedangkan kemampuan fiskal atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari PAD dan total bagi hasil baik berupa bagi hasil pajak maupun bagi hasil bukan pajak (UU No33/2004). Secara definisi pajak merupakan pungutan yang yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kewenangan yang diatur undang-undang yang berlaku dan dapat dipaksakan kepada subyek pajak. Pajak ini juga tidak mempunyai balas jasa langsung yang dirasakan oleh penggunanya. Sedangkan Retribusi adalah pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa langsung dari pemerintah. Besaran pajak dan retribusi merupakan fungsi dari suatu perekonomian. Perekonomian yang semakin beragam dan volumenya semakin tinggi pada suatu daerah makin maka akan semkain banyak objek pajak dan retribusi yang bisa dipungut. Hal ini mengandung arti bahwa semakin tinggi nilai suatu objek pajak makin besar jumlah pajak yang dapat dipungut. Jenis pajak daerah misalnya pajak hotel dan restaurant, pajak hiburan, pajak reklame, pajak listrik, dan lain-lain. Sedangkan retribusi misalnya retribusi pelayanan kesehatan, pengurusan akte,

99 retribusi pasar, dan lain-lain. Jadi baik pajak maupun retribusi dan jenis penerimaan daerah lainnya berkaitan dengan tingkat perekonomian suatu daerah. 69 Pemerintah daerah pada era otonomi sering melakukan kebijakan perubahan penarikan pajak daerah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Menurut Devas et al (1989) tujuan pokok pada perubahan sistem pajak adalah untuk menyederhanakan system pajak daerah, meningkatkan penerimaan dari pajak dan mengoptimalkan kewenangan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pajak. Peacock dan Wiseman dalam Mangkusubroto (1998) mengatakan bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintahan sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Namun masyarakat juga mempunyai tingkat toleransi dalam membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak. Selanjutnya dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Dengan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa meningkatnya PDRB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar dan menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

100 Kerangka Dasar Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Semakin besar penerimaan maka semakin besar juga tingkat pengeluaran. Oleh karena itu, semakin besar penerimaan, penyusun kebijakan pengeluaran daerah harus merencanakan pengeluaran secara tepat dan sesuai kebutuhan masyarakat agar manfaat dari anggaran tersebut dapat lebih berdaya guna dan tepat sasaran. Secara konsep pengeluaran daerah adalah jumlah dana yang dikeluarkan dan digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan daerahnya baik kebutuhan yang termasuk dalam belanja langsung maupun yang termasuk dalam belanja tidak langsung. Pengeluaran pemerintah atau government expenditure ini dalam praktiknya adalah semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Variabel pengeluaran pemerintah termasuk dalam kelompok perubah eksogen di mana besaran nilainya tergantung pada strategi yang dianut pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan fiskalnya. Dalam kaitannya dengan keuangan daerah, seluruh potensi dan pendapatan daerah disebut dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). Sedangkan total pengeluaran disebut kebutuhan fiskal ( fiscal needs). Selisih antara kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need) menunjukkan besarnya kesenjangan fiskal daerah (fiscal gap), semakin besar nilai negatif dari kesenjangan fiskal menunjukkan kesenjangan fiskal daerah yang semakin senjang. Pengeluaran pemerintah bisa diklasifikasikan menjadi 4 yaitu : (1) pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan barang dan jasa yang digunakan sekarang atau yang disebut dengan final consumption, (2) pengeluaran pemerintah

101 71 investasi yaitu pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastuktur dan riset, (3) pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk produksi yang menggunakan faktor tenaga kerja yang berasal dari pemerintah itu sendiri dan penggunaan aset tetap dan pembelian barang dan jasa yang sifatnya intermediet, dan (4) pengeluaran pemerintah bisa digunakan untuk keperluan transfer dalam rangka pembiayaan kepentingan dan pengamanan sosial (Mankiw,2003). Empat faktor yang mempengaruhi perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu : (1) perubahan permintaan akan barang publik, (2) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, (3) perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi barang publik, dan (4) Perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga-harga faktor produksi (Mangkusubroto, 1998). Faktor faktor ini menjadi penting bagi penyusun kebijakan agar output yang dihasilkan dapat optimal dalam arti sesuai dengan kemampuan daerah dan kebutuhan daerah. Selanjutnya Mangkoesubroto (1998) menyatakan bahwa teori pengeluaran pemerintah dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok makro dan mikro. Yang termasuk dalam kelompok makro adalah model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, Hukum Wagner, dan Teori Peacock, dan Wiseman. Dalam model pembangunan yang berkaitan dengan perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave (2003). Teori ini mengembangkan teori yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pemerintah harus menyediakan prasarana seperti misalnya

102 72 pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi dan sebagainya (Sirojuzilam, 2009). Pada tahap menengah dan lanjut memerlukan alokasi anggaran yang berbeda. Hukum Wagner adalah hukum yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan perkembangan produk domestik bruto. Ekonom German, Adolph Wagner dalam bukunya Grundlegung der Politischen Ökonomie (1863) memformulasikan hukum pengembangan aktivitas pemerintahan (Peters,2012). Kemudian Atkinson and Stiglitz (1980) dalam Henrekson (1993) mengatakan bahwa Hukum Wagner yang dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure pada prinsipnya mengatakan bahwa dalam jangka panjang terdapat kecenderungan sektor publik akan tumbuh secara relative dengan pendapatan nasional. Dengan kata lain perkembangan pengeluaran pemerintah akan semakin besar dalam persentase terhadap Gross National Product ( GNP). Dalam hal ini Mangkusubroto (1998) mengatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat secara relative maka pengeluaran pemerintah juga akan semakin meningkat. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut. Keterangan: PkPP = Pengeluaran pemerintah per kapita PPK = Pendapatan per kapita 1,2,,n = Jangka waktu (tahun)

103 73 Secara diagramatik Hukum Wagner ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar tersebut menjelaskan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk tidak linier tetapi bentuknya eksponensial. Bentuk eksponensial tersebut ditunjukkan oleh Kurva 1dan bukan Kurva 2. Sumber: Mangkoesoebroto, Gambar 4. Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pendapatan Nasional dalam Jangka Panjang Dengan Gambar di atas terlihat bahwa pertumbuhan perekonomian semakin besar dan komplek. Hubungan antar industri semakin besar, hubungan antara industri dengan masyarakat semakin rumit dan komplek. Dengan demikian peranan pemerintah menjadi semakin besar karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan kebudayaan kesehatan dan sebagainya. Hal ini dapat berlangsung dengan baik jika pemerintah menganggap sebagai individu yang bebas bertindak terlepas dari anggota lainnya. (Mangkusubroto, 1998). Dengan mendasarkan pada Hukum Wagner berarti

104 74 pemerintah cenderung terus meningkatkan pengeluarannya. Artinya setiap sektor mengharapkan untuk bisa terus memperoleh alokasi anggaran yang tinggi agar sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang diminta oleh masyarakat bersangkutan. Selain Hukum Wagner dalam kaitan dengan pengeluaran pemerintah, Peacock dan Wiseman mengemukakan teorinya tentang pengeluaran pemerintah. Teori ini mendasarkan bahwa fluktuasi pengeluaran publik seiring dengan tingkat pendapatan dan berjalannya waktu. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa pengeluaran publik tumbuh karena pertumbuhan pendapatan dari pajak. Jadi pengeluaran pemerintah merupakan fungsi dari besarnya penerimaan negara. Dari beberapa alternatif alokasi pengeluaran pemerintah, Rosen (2002) mengatakan bahwa alokasi anggaran yang strategis dari sisi pembangunan masyarakat adalah alokasi untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Bidang ini merupakan bagian yang terpenting dalam kebijakan anggaran. Kebijakan alokasi ke bidang ini sangat tepat berkaitan dengan peranan pemerintah sebagai penyedia dari barang publik. Dampak eksternalitas dari kebijakan alokasi anggaran untuk kedua bidang tersebut tentunya diharapkan berpengaruh pada peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan bila anggaran yang digunakan sesuai dengan yang diharapkan. Berbeda dengan pendekatan makro, secara mikro pengeluaran pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi permintaan barang publik yang diminta masyarakat. Permintaan barang publik ini sangat tergantung dari beberapa hal, yaitu perubahan preferensi dari masyarakat akan kebutuhan barang publik, perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga

105 75 perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor faktor produksi untuk memproduksi barang publik tersebut. Dengan mendasarkan pada uraian di atas dan perkembangan empiris pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah, maka perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu wilayah. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, pengeluaran pemerintah negara yang besar digunakan untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan kualitas pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, dan untuk jaminan sosial. Pada konteks keuangan daerah, tingkat pengeluaran pemerintah daerah tercermin dari nilai APBD khususnya pada komponen belanja. Anggaran belanja dalam format APBD diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Stiglitz (2000) dalam Riyanto dan Siregar (2005) menyatakan bahwa APBD memegang peranan sentral dalam hal mengatasi kegagalan pasar penyediaan barang dan jasa publik. Dengan demikian maka tingkat pengeluaran pemerintah yang termuat dalam APBD diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan terutama jika alokasi pengeluaran ini lebih besar untuk penyediaan barang dan jasa publik dibandingkan untuk pengeluaran rutin atau operasional pemerintah.

106 76 Selain besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah kinerja perekonomian daerah juga tergantung dari beberapa faktor baik yang sifatnya teknis maupun non teknis. Faktor tersebut antara lain adalah proses perencanaan pembangunan di daerah, pengelolaan keuangan daerah, dan kualitas birokrasi pemerintahan di daerah yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (Riyanto dan Siregar, 2005). Oleh karena itu, jika pengeluaran pemerintah dikelola dengan baik dengan mendasarkan pada pengalaman empirik dan teoritik maka pengeluaran pemerintah dapat mendorong terjadinya perbaikan kinerja perekonomian daerah dan tingkat kesejahteraan yang direpresentasikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi (economic growth), peningkatan jumlah orang yang bekerja, dan penurunan jumlah penduduk miskin. Dalam kaitannya dengan pengeluaran pemerintah, sistem pengelolaan keuangan daerah menjadi penting untuk keperluan administrasi keuangan daerah dan akuntansi pengelolaan keuangan daerah sesuai peran pemerintah sebagai penanggung jawab pengelola keuangan daerah. Sistem akuntansi pengelolaan keuangan daerah pada era otonomi daerah terus mengalami perubahan dan terus disempurnakan. Hal ini menjadikan bahwa sistim akuntansi pengelolaan keuangan daeah mengalami perubahan yang diatur dalam peraturan perundangan. Secara diagramatik perkembangan perubahan tata kelola keuangan daerah dapat dilihat pada Gambar 5. Pendekatan pengeluaran pemerintah, pada periode sebelum tahun 2006 menggunakan belanja sektor. Dalam hal ini dikenal belanja rutin dan belanja pembangunan yang merupakan belanja sektor pembangunan. Sementara mulai tahun 2006, belanja pemerintah daerah dikelompokkan menjadi belanja urusan

107 pemerintahan. Kelompok belanjanya adalah belanja langsung dan belanja tidak langsung. 77 Sumber: Diadaptasikan dari Yuwono et. al.( 2007) Gambar 5. Perundang-undangan berkaitan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan perbedaaan tersebut di atas maka diperlukan penyelarasan dan penyesuaian dalam mengolah data agar antara tahun yang satu dengan tahun yang lain tetap konsisten dan tidak berubah. Hal ini dilakukan terutama untuk konsistensi belanja sebelum dan sesudah implementasi perundangan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004.

108 Peran Investasi dalam Pembangunan Daerah Dalam konsep perekonomian, investasi sangat menentukan dinamika kegiatan ekonomi. Hal ini disebabkan karena investasi dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi. Investasi yang masuk dalam perekonomian mempunyai efek keterkaitan baik ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages). Selain itu investasi juga dapat menyediakan lapangan kerja baru dan membantu mengurangi kemiskinan. Mengingat pentingnya investasi, maka pada era otonomi daerah para pimpinan daerah berusaha mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan cara memacu investasi baru yang sesuai dengan daya dukung dan potensi daerah. Investasi dapat diperoleh dengan cara melakukan proses produksi dan reproduksi kapital yang dapat didorong melaluai reinvestasi profit dan pembiayaan eksternal melalui kredit (Hidayat dan Nugroho, 2010). Investasi adalah pengeluaran untuk pembelian barang untuk keperluan waktu yang akan datang atau pembelian barang barang modal termasuk dalam hal ini adalah pembelian saham dan obligasi. Investasi ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu bussiness fixed investment, residential fixed investment, dan inventory investment (Mankiw, 2003). Bussiness fixed investment adalah investasi pembelian untuk pabrik dan peralatannya. Residential fixed investment adalah pembelian berupa rumah atau tempat tinggal, sedangkan inventory investment adalah investasi untuk pembelian barang tahan lama dan jasa untuk proses produksi. Jadi investasi merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang-barang modal, yaitu mesinmesin, dan produk-produk tahan lama yang diharapkan memberikan keuntungan.

109 79 Peran investasi dalam perekonomian dapat digambarkan dengan model perekonomian salah satunya adalah Model multiplier regional Keynesian. Model ini merupakan model yang diadaptasikan dari model standar Keynesian National Income Multiplier Expenditure. Dengan asumsi bahwa marginal dan biaya input rata-rata konstan serta diasumsikan tidak ada konstrain dalam perekonomian, maka model multiplier income-expenditure national Keynesian standar dapat dilihat pada Gambar 6. Secara umum gambar ini mendeskripsikan bahwa perubahan dalam pendapatan Y sebagai akibat perubahan investasi. Perubahan pendapatan ini akan sangat berkaitan dengan perubahan dalam permintaan agregate AD yang dapat direpresentasikan dengan Y = k ( AD), k itu sendiri merupakan angka multiplier. Besarnya angka multiplier ini merupakan nilai ratio perubahan dari Y1 ke Y2 dibagi pergerakan sumbu vertical AD1 ke AD2. Perubahan bergerak dari a, ke b dan kemudian ke c dan seterusnya (McCann, 2006). Sumber: McCann (2006) Gambar 6. Model Multiplier, Pendapatan, dan Pengeluaran Keynesian

110 80 Pada Gambar 6 tersebut di atas, bisa diartikan bahwa perubahan pada setiap komponen permintaan agregate akan mempengaruhi besarnya komponen permintaan agregate dikalikan dengan mulitplier tersebut. Proses pengalian ini berjalan terus menerus dan dinamis. Dengan demikian jika hal ini berjalan dalam waktu yang cukup lama dan terus menerus maka permintaan agregat akan semakin bertambah besar. Investasi dalam perekonomian juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Jumlah investasi ini merupakan determinan output suatu perekonomian yang penting. Jika investasi bertambah dan digunakan untuk proses produksi maka terjadi penambahan produksi. Perubahan ini bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitannya dengan persediaan kapital dalam perekonomian ada dua hal yang mempengaruhi output, yaitu investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi berkaitan dengan penggunaan modal yang menjadikan persediaan modal berkurang. (Mankiw, 2003). Investasi juga dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Investasi Sumberdaya manusia (human capital) dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih besar terhadap produksi. Sekolah-sekolah formal, sekolah-sekolah kejuruan, programprogram latihan kerja, serta berbagai pendidikan informal lainnya semuanya diciptakan secara lebih efektif untuk memperbesar kemampuan manusia, sumberdaya-sumberdaya lainnya sebagai hasil dari investasi langsung dalam

111 81 pembangunan gedung-gedung, peralatan, dan bahan-bahan belajar mengajar. Latihan-latihan tingkat lanjutan yang relevan bagi tenaga pendidik, demikian pula dengan buku-buku pelajaran ekonomi yang baik, bisa membuat perubahan yang sangat besar dalam mutu, kepemimpinan, dan produktivitas tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, investasi sumberdaya manusia dapat meningkatkan dan memperbaiki produktivitas sumberdaya daya lainnya Produk Domestik Regional Bruto sebagai Indikator Perekonomian Daerah Fungsi pemerintah dalam perekonomian modern dapat dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stablisasi. Sebagai alokator, pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. Dalam menjalankan fungsi distribusi, pemerintah harus bisa mendistribusikan barang dan jasa secara adil sehingga tidak terjadi kerugian di dalam masyarakat. Sebagai stabilisator pemerintah diharapkan bisa menjaga stabilitas perekonomian sehingga terwujud dinamika perekonomian yang stabil dan tidak terjadi guncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi. Dengan demikian maka diharapkan pemerintah dapat menjaga agar pasar tidak terdistorsi. Artinya mekanisme pasar berjalan degan baik dan sistem pasar dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Dengan demikian maka peranan pemerintah sangat penting dalam perekonomian. Dalam perekonomian daerah indikator yang sering digunakan untuk mengukur dinamika perekonomian adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB secara definisi adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh

112 82 seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB dapat dihitung dengan metode langsung dan metode tidak langsung. Dalam hal ini akan dibahas hanya untuk metode langsung. Metode langsung yang digunakan dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran (Tarigan, 2004). Pada pendekatan produksi dilakukan dengan cara penghitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan atau sektor ekonomi dengan cara mengurangkan nilai produksi total dengan biaya total produksi sektor atau subsektor. PDRB diartikan sebagai jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Sedangkan pendekatan pendapatan mempunyai arti bahwa PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Dalam definisi ini PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Pendekatan pengeluaran mempunyai arti bahwa PDRB merupakan semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan akan menghasilkan angka yang sama. Metode pendekatan yang sering digunakan dalam hal perhitungan adalah dengan pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran atau permintaan. Salah satu perhitungan PDRB yang sering digunakan dalam suatu perekonomian adalah dengan pendekatan produksi. Pendekatan ini merupakan

113 penghitungan PDRB secara langsung dan formulasinya dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut : 83 Keterangan : Yi t = Nilai produksi (output) sector-sektor perekonomian mulai dari sector ke-i sampai sector ke-n. = Tahun pengamatan Dengan mendasarkan pada formula tersebut di atas maka PDRB tergantung pada jumlah input yang disebut faktor-faktor produksi, kemampuan dan proses untuk mengubah beberapa input menjadi output. Hubungan ini sering ditunjukkan dalam fungsi produksi. Secara konsep, hubungan teknis antara output, kapital dan tenaga kerja dapat dilihat pada fungsi produksi sebagai berikut : Yi = F(K i, L i ) Keterangan : Y i K i L i = Output/produksi sektor i = Input produksi modal sektor i = Input produksi tenaga kerja sektor i Dengan mendasarkan pada fungsi produksi seperti terlihat pada persamaan di atas maka dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output menjadi jelas. Hubungan input dan output dalam fungsi porduksi juga dapat dibagi menjadi tiga kategori, increasing return to scale, decreasing return to scale, dan constant return to scale. Increasing return to scale mempunyai pengertian bahwa jika seluruh input produksi kita

114 84 tingkatkan sebesar 10 persen maka output akan meningkat dalam prosentase yang lebih besar dari 10 persen. Decreasing return to scale mengandung arti bahwa jika seluruh input produksi kita tingkatkan sebesar 10 persen maka output akan menurun atau lebih kecil dari 10 persen. Sedangkan constant return to scale mempunyai pengertian bahwa jika seluruh input produksi kita tingkatkan sebesar 10 persen maka akan diperoleh output dengan prosentase yang sama, yaitu 10 persen. Secara teknis hubungan input dan output dapat dirumuskan sebagai berikut : zy i = F (zk i, zl i ) Keterangan: Y i K i L i z = Output/produksi sektor i = Input produksi modal sektor i = Input produksi tenaga kerja sektor i = Presentase input dan ouptu dari sector i Dari sisi pengeluaran, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap atau investasi, dan ekspor netto dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Adapun formula PDRB berdasarkan pengeluaran yang dikenal dengan permintaan agregat adalah: Y(t) = C(t) + I(t) + G(t) + X(t) M(t) Secara konsep PDRB sangat penting dalam perekonomian regional karena PDRB merupakan indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama bagi penyusun

115 85 kebijakan pembangunan daerah. Selain itu, PDRB merupakan representasi dari kegiatan perekonomian daerah. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangan PDRB dapat dilihat pertumbuhan perekonomian suatu daerah dan sektor utama dari pertumbuhan ekonomi tersebut Fungsi Konsumsi Agregat dalam Perekonomian Fungsi konsumsi dalam perekonomian merupakan fungsi yang penting karena fungsi ini mengindikasikan hubungan kuantitas dari konsumsi dengan variabel yang mempengaruhinya. Dengan demikian, para penyusun kebijakan pembangunan daerah sangat membutuhkan fungsi konsumsi yang komprehensif dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Dalam ekonomi makro ada dua tipe pengeluaran. Pertama pengeluaran oleh individu yang sering disebut dengan pengeluaran rumahtangga. Kedua adalah pengeluaran oleh perusahaan yang sering disebut dengan investasi. Menurut Case dan Fair (1999) ada empat faktor yang mempengaruhi konsumsi aggregate, yaitu: pendapatan rumahtangga, kesejahteraan rumahtangga, suku bunga, dan harapan rumahtangga akan masa yang akan datang. Semakin tinggi pendapatan akan semakin tinggi pula pengeluaran. Rumahtangga yang tingkat kesejahteraanya tinggi maka semakin tinggi juga tingkat pengeluarannya. Suku bunga yang rendah akan mendorong rumahtangga untuk meningkatkan konsumsi. Jika masa depan diperkirakan cerah maka akan meningkatkan pengeluaran untuk masa sekarang. Selanjutnya mereka juga menyusun diagram hubungan pendapatan dengan konsumsi yang dikenal dengan fungsi konsumsi. Kurva fungsi konsumsi dapat digambarkan sebagai berikut.

116 86 Sumber: Case dan Fair (1999) Gambar 7. Fungsi Konsumsi untuk Rumahtangga Fungsi c (y) mempunyai arti bahwa konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan. Kurva fungsi konsumsi dengan pendapatan slope nya adalah positif. Ini mengandung arti bahwa jika pondapatan meningkat maka konsumsi juga meningkat. Interseksi antara konsumsi dengan pendapatan berada di atas titik origin (0). Hal ini mengandung arti bahwa walaupun tidak ada pendapatan maka konsumsi juga tetap dilakukan oleh rumahtangga. Dengan kata lain walaupun rumahtangga tidak mempunyai pendapatan, rumahtangga tersebut harus tetap berkonsumsi. Menurut Case dan Fair (1999) hubungan ini diformulasikan dengan persamaan sebagai berikut : C= a + by Keterangan: C = Konsumsi Agregat Y = Output Agregat a = Titik perpotongan antara C dan Y pada saat Y sama dengan 0 b = Slope

117 87 Persamaan C= a + by, yang merupakan hubungan antara output dengan pendapatan dapat didiagramkan seperti pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan pendapatan yang terus meningkat dan perubahannya sebesar Y, konsumsi meningkat sebesar b dikalikan dengan Y. Dengan demikian maka C= b X Y atau dengan kata lain b = C/ Y. Persamaan ini sangat penting dalam perekonomian untuk menghitung kecenderungan konsumsi masyarakat. Sumber: Case dan Fair (1999) Gambar 8. Fungsi Konsumsi Agregat Slope dari fungsi konsumsi sering disebut dengan Marginal Propensity to Consume (MPC). Secara definsi MPC merupakan fraksi perubahan dari pendapatan yang dikonsumsi. Di dalam dunia nyata pemerintah memperoleh pendapatan dari rumahtangga dalam bentuk pajak. Oleh karena itu, rumahtangga membelanjakan pendapatannya setelah total pendapatan dikurangi dengan pajak. Hal ini sering disebut dengan pendapatan disposable atau pendapatan

118 88 rumahtangga setelah pajak. Dengan demikian besarnya konsumsi rumahtangga yang difomulasikan sebagai C=a+bY secara kenyataan besarnya Y adalah setelah dikurangi dengan pajak. Kondisi seperti ini dapat difomulasikan dengan Y=a + b (Y-Tax) atau sering diformulasikan dengan Y =a+byd. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa besarnya konsumsi rumahtangga sangat tergantung dari pendapatan disposibel Penyerapan Tenaga Kerja dalam Perekonomian Daerah Penyerapan tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap pengangguran dalam perekonomian daerah. Semakin tinggi tingkat penyerapan tenaga kerja maka akan semakin rendah angka pengangguran di daerah tersebut. Kaitan seperti inilah yang menjadikan bahwa pembahasan penyerapan tenaga kerja yang merupakan faktor penting dalam membahas pengangguran daerah menjadi sangat penting. Dalam perekonomian daerah pengangguran merupakan salah satu aspek yang penting dan menentukan kinerja perekonomian. Hal ini penting karena tingkat pengangguran sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengangguran maka semakin rendah tingkat kesejahteraan di daerah tersebut. Dalam diskusi tentang pengangguran informasi tentang pasar tenaga kerja menjadi sangat penting. Dalam pasar tenaga kerja selalu ada permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja. Integrasi antara permintaaan dan penawaran tenaga kerja ini yang akan membentuk suatu keseimbangan pasar tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja dalam hal ini adalah dilihat dalam jumlah penyerapan atau permintaan tenaga keja. Permintaan tenaga kerja dipengaruhi antara lain oleh upah, produktivitas, inflasi, output (PDRB), net migration (dengan motivasi ekonomi), dan populasi.

119 89 Secara konsep permintaan tenaga kerja pada dasarnya merupakan interaksi antara jumlah tenaga kerja dengan upah. Jika dikaitkan dengan dunia usaha maka dapat dikatakan bahwa perusahaan mempekerjakan seseorang adalah untuk membantu memproduksi barang atau jasa yang akan dijual kepada konsumennya. Dengan dasar ini maka nilai permintaan dunia usaha terhadap tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh besaran permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi oleh dunia usaha. Dengan mendasarkan pada alasan ini maka permintaan terhadap tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari pasar barang dan jasa. Secara konsep penawaran tenaga kerja yang meliputi semua jumlah orang yang mempunyai pekerjaan dalam masyarakat ditambah jumlah orang yang secara aktif mencari pekerjaan dan jumlah mereka yang seharusnya dapat diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi apabila terdapat kesempatan kerja yang memadai. Supply atau penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja Fungsi penawaran tenaga kerja merupakan fungsi dari tingkat upah, harga dan pendapatan. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS, 2006) penawaran tenaga keja lebih dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk dalam angkatan kerja. Perubahan jumlah penduduk dalam angkatan kerja di suatu negara lebih banyak dipengaruhi oleh populasi suatu negara, maka besar kemungkinan penawaran kerja akan semakin tinggi yang disebabkan oleh bertambahnya penduduk dalam angkatan kerja. Total jumlah penawaran tenaga keja secara ekonomi tergantung pada tiga komponen, yaitu : jumlah populasi jumlah penduduk di suatu wilayah, persentase angkatan kerja, dan jam kerja.

120 90 Angkatan kerja akan bertambah jika jumlah penduduk bertambah. Pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya melalui kelahiran dan migrasi penduduk. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya angkatan kerja yang berarti bertambah pula penawaran tenaga keja. Jumlah penduduk yang bertambah yang berarti juga akan menambah angkatan kerja. Jika lapangan pekerjaan terbatas akan mengakibatkan terlihatnya perbedaan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja atau pasar tenaga keja. Jika supply tenaga kerja lebih banyak dari pada permintaan tenaga kerja maka terjadi pengangguran. Supply tenaga kerja juga dipengaruhi oleh tingkat upah riil. Hubungan jumlah tenaga kerja dengan tingkat upah dapat dilihat secara diagramatik dengan gambar sebagai berikut. Sumber: Dornbusch et. al., (2004) Gambar 9. Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Riil pada Saat Kurva Permintaan Tenaga Kerja Bergeser

121 91 Gambar 9. di atas dapat dijelaskan bahwa jika permintaan tenaga kerja meningkat karena perusahaan meningkatkan kapital maka kurva Do bergeser menjadi DI. Akibatnya upah riil meningkat dari Wo ke W1 dan jumlah tenaga kerja yang bekerja meningkat dari Lo ke L1. Dengan melihat Gambar 9 tersebut maka jumlah anggkatan kerja dalam perekonomian menjadi sangat penting dalam penyusunan kebijakan pembangunan daerah. Kaitannya dengan pergeseran kurva penawaran gambar berikut akan menjelaskan kejadian pergeseran kurva penawaran tenaga kerja. Sumber: Dornbusch et. al., (2004) Gambar 10. Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Rill pada Saat Kurva Penawaran Tenaga Kerja Bergeser Gambar 10. menjelaskan tentang kejadian jika penawaran tenaga kerja meningkat karena misalnya karena adanya imigrasi maka kurva So bergeser ke S1. Jika hal ini terjadi maka jumlah tenaga kerja yang siap bekerja bertambah dari Lo ke L1. Hal ini mendorong upah menurun dari Wo ke W1. Jadi pergeseran

122 92 kurva tenaga kerja baik kurva permintaan maupun kurva penawaran akan mempengaruhi tingkat upah. Dalam hal keseimbangan pasar tenaga kerja pada persaingan sempurna maka tingkat penyerapan tenaga kerja (level of employment) dan tingkat upah ditentukan secara bersamaan oleh segenap harga-harga output dan faktor-faktor produksi selain tenaga kerja (Todaro dan Smith, 2006). Secara definisi pengangguran adalah mereka yang mencari perkerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja (Depnakertrans, 2009). Kelompok ini sering disebut penganggur terbuka (Open Unemployment). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ini memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur/pencari kerja terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : TPT = (Pencari Kerja / Angkatan Kerja) x 100 persen Dalam perekonomian daerah salah satu indikator yang penting adalah tingkat pengangguran. Indikator tingkat pengangguran terbuka memberikan acuan kepada penyusun kebijakan dalam pembukaan lapangan kerja baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Yang lebih utama lagi indikator ini sering digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian daerah.

123 Pembangunan Daerah dan Kemiskinan Pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah ternyata telah belum berhasil memberantas kemiskinan. Pembangunan selama ini malah mengakibatkan efek samping berupa ketimpangan antar wilayah yang cukup tajam antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (Hill, 2000). Pada dekade 90-an, wilayah Jawa-Bali mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pertumbuhan ini diikuti dengan indikator sosial yang sangat baik. Hal ini berbeda sekali dengan kondisi di kawasan Timur Indonesia yang masih ditandai dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi. Keberhasilan pembangunan suatu daerah juga harus dilihat dari berapa besar jumlah orang miskin yang dapat dientaskan menjadi orang tidak miskin. Untuk itulah maka penelitian ini memasukkan variabel tingkat kemiskinan sebagai salah satu variabel penting untuk melihat kinerja pembanguan daerah. Apakah belanja daerah yang telah dialokasikan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Selain itu juga penelitian ini mendeteksi peran investasi dalam kaitannya dengan penurunan jumlah penduduk miskin di daerah. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

124 94 Secara konsep kemiskinan merupakan fenomena multidimensional mencakup : (1) gambaran kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, (2) gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi, dan (3) gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Semua variabel ini merupakan representasi dari tingkat kesejahteraan dari masyarakat. Variabel kemiskinan ini juga merupakan variabel penting dalam penentuan tingkat kesejahteraan. Seperti formula kesejahteraan di bawah ini (Todaro dan Smith, 2006). W = f (Y,I,P) Formula tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Tingkat kesejahteraan (W) dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita (Y) dan hubungan korelasinya positif. Selanjutnya dipengaruhi juga oleh ketimpangan pendapatan (I) yang berkorelasi negatif. Selain itu tingkat kesejahteraan juga dipengaruhi oleh kemiskinan absolute (P) yang korelasinya negatif Pembangunan Daerah dan Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran kuantitatif hasil kualitas pembangunan manusia. Oleh karena itu, pada tataran daerah pembangunan juga ditujukan untuk

125 95 meningkatkan pembangunan di segala aspek kehidupan termasuk pembangunan manusianya. Kaitanya dengan hal tersebut maka IPM dijadikan salah satu variabel yang digunakan untuk indikator pembanguna manusia. UNDP dalam BPS (2006) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan. IPM menjadi salah satu indikator yang penting dalam pembangunan manusia karena indikator ini mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan tingkat peluang hidup (longevity), tingkat pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living) (BPS, 2008). Setiap indikator tersebut dapat disusun sebagai berikut. Tingkat peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir. Sedangkan pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas. Selanjutnya hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). BPS (2008) menghitung Angka Harapan Hidup (AHH) dengan menggunakan pendekatan tak langsung (Indirect estimation) untuk ini digunakan

126 96 dua data yaitu : data Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator yaitu rata-rata lama sekolah (mean years schooling) dan angka melek huruf. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Standar layak hidup dihitung dengan menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil. Selanjutnya IPM secara sederhana dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut. IPM = (X1+X2+X3)/3 Keterangan: X1 = Angka harapan hidup X2 = Tingkat pendidikan X3 = Tingkat kehidupan yang layak Konsep IPM ini juga mendapat berbagai kritik. Salah satu kritik dari IPM adalah pada pengukuran lama sekolah. Pada negara tertentu orang yang sudah mendaftar sudah dihitung sebagai murid yang telah belajar pada jenjang tersebut tetapi hal ini tidak berarti karena seorang mereka yang sudah mendaftar tidak menyelesaikan sampai selesai tetapi hanya belajar beberapa tahun mereka tidak melanjutkan atau drop out (Todaro dan Smith, 2006). Keterbatasan IPM yang lain meliputi: (1) indeks tersebut bukan merupakan suatu ukuran yang komprehensif mengenai pembangunan manusia. Artinya masih ada indikator lain yang menunjukkan perkembangan pembangunan manusia, (2) indeks tersebut

127 97 hanya mencakup tiga aspek dari pembangunan manusia, tidak termasuk aspek penghargaan diri, kebebasan politik, dan masalah lingkungan, dan (3) indeks tersebut tidak dapat menilai perkembangan pembangunan manusia dalam jangka pendek, karena dua komponennya, yaitu angka melek huruf dan angka harapan hidup, tidak responsif terhadap perubahan kebijakan dalam jangka pendek. Terlepas dari keterbatasan dari IPM, indikator ini sangat penting untuk megukur hasil pembangunan di suatu wilayah. IPM juga telah banyak menyumbang pengetahuan tentang negara yang telah melakukan pembangunan dengan baik atau tidak melakukan pembangunan sama sekali. Dengan mengetahui indikator ini maka kita dengan mudah membandingkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Melihat komponen IPM ini mencakup komponen ekonomi seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, pendapatan perkapita, dan rata-rata sekolah maka secara teroritis variabel ini sangat dipengaruhi oleh belanja pemerintah di sektor pendidikan dan sektor kesehatan. Besarnya alokasi belanja sektor ini juga tergantung dari proses yang melibatkan berbagai institusi. Selain itu besarnya belanja ini juga sangat tergantung dari tingkat penerimaan daerah. Secara konsep, institusi yang terlibat dalam penyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah lembaga swadaya masyarakat, dewan perwakilan daerah, pemerintah daerah, wirausaha, masyarakat profesi, dan akademisi. Hal ini mengingat bahwa dokumen APBD sangat penting dalam pembangunan daerah dan merupakan dokumen public yang harus dapat di pertanggung jawabkan baik dari aspek teknis, aspek administratif maupun aspek yuridis.

128 99 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Periode dan Sumber data Penelitian Untuk memperoleh hasil penelitian yang komprehensif dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, diperlukan kerangka penelitian yang mencakup tahapan yang perlu dikerjakan. Kerangka penelitian diawali dengan penyusunan latar belakang yang memberikan alasan mengapa penelitian ini dilaksanakan. Dari latar belakang penelitian ini selanjutnya disusun identifikasi masalah dan dilakukan perumusan masalah. Kemudia diformulasikan tujuan penelitian yang akan dicapai serta ruang lingkup dan keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian. Tahap selanjutnya adalah seleksi wilayah penelitian, uraian metode penelitian dan metode analisis. Penelitian ini dilakukan pada 23 dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak digunakan sebagai sampel adalah DKI Jakarta, Bengkulu, Bangka Belitung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan Provinsi yang digabungkan dalam hal ini ada tiga, yaitu Provinsi Kepulauan Riau dengan Riau, Provinsi Papua Barat dengan Papua, dan Provinsi Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan. Provinsi DKI Jakarta tidak dijadikan sampel dalam penelitian ini dikarenakan struktur akuntansi keuangan pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan lainnya. Sedangkan tidak dijadikan Provinsi Bengkulu, Bangka Belitung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara

129 100 dikarenakan ketersediaan, akurasi dan konsistensi datanya tidak memenuhi kriteria dalam penelitian ini. Periode penelitian adalah dari tahun 2003 sampai dengan tahun Periode ini merupakan periode otonomi daerah yang secara legal dimulai dengan diundangkannya perundangan otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi dengan Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Periode penelitian dilakukan dari tahun 2003 sampai 2008 dengan alasan bahwa pada tahun tersebut merupakan periode pelaksanaan otonomi daerah dengan metode sistem pengelolaan keuangan keuangan daerah berbeda. Untuk memperoleh hasil yang dapat dipertanggung jawabkan maka diperlukan data yang akurat dan tepat serta memenuhi kaidah ilmiah. Untuk itulah, maka data penelitan yang digunakan bersumber dari instansi yang kompeten, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Bank Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data panel. Data ini digunakan untuk membangun model persamaan simultan. Selanjutnya model yang telah disusun digunakan untuk estimasi parameter sehingga hubungan kuantitatif antar variabel dapat diketahui dengan baik. Selain itu hubungan antar variabel dapat diketahui arahnya. Berdasarkan hasil estimasi model ekonometrika dilakukan analisis sesuai dengan tujuan penelitian. Secara terperinci sumber data dapat dilihat pada Tabel 1.

130 101 Tabel 1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian No Data Sumber Keterangan 1. PDRB, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Kendaraan Bermotor, Upah Tenaga Kerja, IPM, Mean Years Schooling (MYS), Angka kemiskinan, PMTB. BPS Berbagai tahun 2. PAD, Dana Bagi hasil pajak dan dana bagi hasil bukan pajak, DAU, Belanja Urusan Pertanian, Belanja Urusan Industri, Belanja Urusan Kontruksi. Kementerian Keuangan 3. Suku bunga Bank Indonesia ( Berbagai tahun Berbagai tahun 4. Jumlah kota dan kabupaten Kementerian Dalam Negeri Tahun 2009 Sumber: Data dan informasi diolah, Tahun Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Perekonomian Daerah Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai kondisi obyektif di lapangan. Di samping itu, analisis deskriptif juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan maksud untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Hasil analisis deskriptif mempunyai validitas yang universal. Dalam hal ini analisis deskriptif dilakukan untuk beberapa variabel yang digunakan, yaitu investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kapasitas fiskal, kesenjangan fiskal, nilai PDRB, tingkat pengangguran, jumlah penduduk miskin, dan IPM serta beberapa indikator perekonomian lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Hasil analisis deskriptif diharapkan menggambarkan kondisi

131 102 sebenarnya (representativeness) dan valid, sehingga kesimpulannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini wilayah yang dianalisis dikelompokkan menjadi tiga wilayah yaitu provinsi-provinsi yang berada di wilayah Jawa Bali, Wilayah Sumatera, dan provinsi-provinsi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat (KSPN). Pengelompokkan ini didasarkan pada kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah. Analisis berbasis spasial dan pengelompokkanya relatif sama seperti di atas juga dilakukan oleh Etharina (2005). Selain itu, dalam analisis deskriptif dilakukan juga analisis komparatif antar wilayah. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data antar wilayah yang selanjutnya menjadi bahan kesimpulan. Dengan metode komparasi diperoleh persamaan dan perbedaan antar variabel yang diteliti, sehingga dapat menghasilkan output yang lebih komprehensif yang mendukung pencapaian tujuan penelitian ini Konsep Elastisitas Elastisitas merupakan pengukuran perubahan satu variabel ekonomi terhadap variabel ekonomi lainnya. Konsep elastisitas dalam ekonomi sering digunakan untuk mengukur elastisitas harga dari penawaran, elastisitas pendapatan dari permintaan, dan elastisitas substitusi antara faktor-faktor produksi. Secara umum formula elastisitas menurut Pindyck and Rubinfeld (1998) adalah sebagai berikut : Ej= /

132 103 Keterangan: Ej = Elastisitas Y = Variabel Dependen Xj = Variabel Independen ke j Dengan demikian dapat simpulkan bahwa elastisitas merupakan salah satu konsep yang paling penting dalam teori ekonomi neoklasik. Hal ini didasarkan bahwa elastisitas merupakan alat untuk mengukur perubahan dependen variabel sebagai akibat perubahan variabel independen. Elastisitas Y terhadap X misalnya adalah persentase perubahan Y terhadap persentase perubahan dalam X. Oleh karena itu, konsep elastisitas ini sangat berguna karena angka elastisitas merupakan unit bebas artinya nilai-nilai koefisien elastisitas bersifat independen dari unit-unit variabel yang diukur. Secara operasional, jika Ej = 2.0, dapat diartikan bahwa dengan kenaikan variabel ini sebesar 1 persen Xj maka akan mengakibatkan kenaikan 2 persen pada Y. Dengan cara yang sama jika Ej = -0.5 jika Xj meningkat 1 persen akan menyebabkan penurunan 0,5 persen pada Y. Jika elastisitas besar secara umum menyiratkan bahwa variabel dependen sangat responsif terhadap perubahan dalam variabel independen Kerangka Model Kerangka model dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah menunjukkan keterkaitan antar enam blok yang masing-masing blok terdiri persamaan struktural dan persamaan identitas. Persamaan berjumlah 35 yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Hubungan keenam blok dapat dilihat pada Gambar berikut.

133 104 BLOK PENDAPATAN BLOK PENGELUARAN BLOK TENAGA KERJA BLOK PDRB BLOK IPM DAN KEMISKINAN BLOK INVESTASI DAN KONSUMSI Gambar 11. Diagram Keterkaitan Antar Blok dalam Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Masing-masing blok terdiri dari beberapa persamaan baik persamaan identitas maupun persamaan struktural. Selanjutnya dengan mendasarkan pada Gambar 11. dapat dilihat hubungan antar blok. Setiap blok mempunyai hubungan yang unik, hubungannya berbeda antara satu blok dengan blok lainnya. Blok PDRB dipengaruhi Blok Pengeluaran, Blok Investasi dan Konsumsi, dan Blok Tenaga Kerja. Blok IPM dan kemiskinan dipengaruhi oleh Blok PDRB, Blok Pengeluaran, Blok Investasi, dan Konsumsi. Blok Investasi dan Konsumsi dipengaruhi oleh Blok PDRB dan Blok Pendapatan, Blok Tenaga Kerja dipengaruhi oleh Blok PDRB. Blok Pengeluaran dipengaruhi oleh blok Pendapatan. Blok Pendapatan dipengaruhi oleh Blok PDRB. Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antar variabel dalam satu blok atau keterkaitan antar variabel dalam suatu persamaan yang terdapat pada masing masing blok dapat dilihat pada diagram berikut.

134 105 DR t UPHLAIN it UPHLAIN UPHPERT it UPHIND it UPHKON it TKTOT it TKPER T it BLOK TENAGA KERJA TKIND it TKKO N TKLAIN it PDRBL it PDRBA it PDRBI it PDRBK it BLOK PDRB PDRB i PDRBCAP it POP it BLOK BELAN JA BLJPERT it BLJIND it BLJKON it BLJTSEK i t TOTPENG it PENGBY i DAK it BLOK FISK AL DANPER it DAU it CAPFIS it DBH it PAD i TAX RET i JMKEND it HSLKAY A LPEND it TOTREV i t GAPFI S t LPAD it BLJKES it BLOK IPM & MISKIN IPM it MYS i JUMIS it INF it BLJPEN D BLOK INV & KONS CONCAP it CON i INV it SBI it Variabel endogen Variabel eksogen Gambar 12. Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Perekonomian Daerah

135 106 Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah seperti digambarkan tersbut di atas dapat dirinci sebagai berikut. 1. Blok Fiskal Penerimaan Daerah, terbagi menjadi tiga subblok, yaitu subblok pendapatan asli daerah, subblok dana perimbangan, dan subblok celah fiskal. Subblok PAD terdiri dari dua persamaan struktural, yaitu persamaan pajak (TAX) dan retribusi (RET) dan satu persamaan identitas, yaitu PAD. Subblok dana perimbangan terdiri dari dua persamaan struktural, yaitu persamaan Bagi Hasil Pajak (BHP), dan Dana Alokasi Umum (DAU), dan empat persamaan identitas yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), dana perimbangan (DANPER), kapasitas fiskal (CAPFIS), dan total penerimaan (TOTREV). Sedangkan subblok celah fiskal terdiri dari satu persamaan identitas celah fiskal, yaitu. (GAPFIS). 2. Blok Fiskal Pengeluaran Daerah, terdiri dari tiga persamaan struktural, yaitu belanja sektor pertanian (BLJPERT), belanja sektor industri (BLJIND), belanja sektor konstruksi (BLJKON), dan tiga persamaan identitas yaitu total belanja total sektoral (BLJTSEK), total belanja (TOTBLJ), dan total pengeluaran (TOTPENG). 3. Blok Tenaga Kerja, terdiri dari dua subblok yaitu subblok jumlah tenaga kerja dan subblok upah tenaga kerja. Subblok jumlah tenaga kerja terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan tenaga kerja pertanian (TKPERT), tenaga kerja industria (TKIND), tenaga kerja kontruksi (TKKON) dan satu persamaan identitas jumlah tenaga kerja total (TKTOT). Sementara subblok upah tenaga kerja juga terdiri dari tiga persamaan struktural, yaitu upah

136 107 tenaga kerja sektor pertanian (UPHPERT), upah tenaga kerja sektor industria (UPHIND), dan upah tenaga kerja sektor konstruksi (UPHKON). 4. Blok PDRB terdiri dari empat persamaan struktural, yaitu persamaan PDRB sektor pertanian (PDRBA), PDRB sektor industria (PDRBI), PDRB sektor konstruksi (PDRBK), dan PDRB sektor lain (PDRBL). Selain itu, blok ini juga terdiri dua persamaan identitas yaitu persamaan PDRB total (PDRB) dan PDRB per kapita (PDRBCAP). 5. Blok Investasi dan Konsumsi terdiri dari dua persamaan struktural, yaitu investasi (INV) dan konsumsi rumahtangga (CON). Blok ini juga terdiri dari satu persamaan identitas yaitu persamaan konsumsi per kapita (CONCAP). 6. Blok IPM dan Kemiskinan terdiri dari tiga persamaan struktural, yaitu persamaan Indek Pembangunan Manusia (IPM), jumlah penduduk miskin (JUMIS), dan rata-rata lama sekolah (MYS). Selanjutnya dari kerangka tersebut, dapat dilakukan spesifikasi model. Pada tahap spesifikasi model dilakukan pengkajian mengenai hubungan berbagai variabel dan diekspresikan ke dalam model kuantitatif. Model ini menggambarkan fenomena ekonomi dan teori ekonomi yang selanjutnya diselidiki secara empirik. Selain itu juga dilkuakan identifikasi variabel lain yang rasional yang diinternalisasi ke dalam model. Model dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah didasarkan pada tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang diuraikan pada Bab I, II, dan III. Model yang digunakan dalam hal ini adalah model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan.

137 108 Selanjuntya secara terinci spesifikasi model untuk masing masing blok adalah sebagai berikut : I. Blok Fiskal Penerimaan Daerah A. Pendapatan Asli Daerah 1. TAX it = a 0 + a 1 PDRB it + a 2 JMKEND it + a 3 POP it + a 4 DR t + u 1it 2. RET it = b 0 + b 1 PDRB it + b 2 JMKEND it + b 3 DR t + u 2it 3. PAD it = TAX it +RET it +HSLKAYA it +LPAD it Tabel 2. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Subblok PAD Pers Uraian > 0 < 0 1 Penerimaan pajak daerah a 1, a 2, a 3 2 Penerimaan retribusi daerah b 1, b 2 B. Dana Perimbangan 4. BHP it = c 0 + c 1 PDRB it + c 2 LUASWIL it + c 3 DR t + u 3it 5. DAU it = d 0 + d 1 PDRB it + d 2 CAPFIS it + d 3 POP it + d 4 DR t + u 4it 6. DBH it = BHP it +BHBP it 7. DANPER it = DAU it +DAK it +DBH it 8. CAPFIS it = PAD it +DBH it 9. TOTREV it = PAD it +DBH it +DAU it +DAK it +LPEND it Tabel 3. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Subblok Dana Perimbangan Pers Uraian > 0 < 0 4 Bagi hasil pajak c 1, c 2 5 Dana alokasi umum d 1, d 3 d 2 C. CelahFiskal 10. GAPFIS it = TOTPENG it - CAPFIS it

138 109 II. Blok Fiskal Pengeluaran Daerah 11. BLJPERT it = e 0 + e 1 PDRBA it + e 2 CAPFIS it + e 3 DR t + u 5it 12. BLJIND it = f 0 + f 1 PDRBI it + f 2 CAPFIS it + f 3 DAU t + f 4 DR t + u 6it 13. BLJKON it = g 0 + g 1 PDRBK it + g 2 CAPFIS it + g 3 DAU t + g 4 DR t + u 7it 14. BLJTSEK it = BLJPERT it + BLJIND it + BLJKON it + BLJPEND it + BLJKES it + BLJSL it 15. TOTBLJ it = BLJTSEK it + BLJNSEK it 16. TOTPENG it = TOTBLJ it + PENGBY it Tabel 4. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok Fiskal Pengeluaran Daerah Pers Uraian > 0 < 0 11 Belanja urusan pertanian e 1, e 2 12 Belanja urusan industri f 1, f 2, f 3 13 Belanja urusan konstruksi g 1, g 2, g 3 III. Blok Tenaga Kerja A. Jumlah Tenaga Kerja 17. TKPERT it = h 0 + h 1 UPHPERT it + h 2 PDRBA it + u 8it 18. TKIND it = i 0 + i 1 UPHIND it + i 2 PDRBI it + i 3 DR t + u 9it 19. TKKON it = j 0 + j 1 UPHKON it + j 2 PDRBK it + u 10it 20. TKTOT it = TKPERT it + TKIND it + TKKON it + TKLAIN it Tabel 5. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Sublok Jumlah Tenaga Kerja Pers Uraian > 0 < 0 17 Tenaga kerja sektor pertanian h 2 h 1 18 Tenaga kerja sektor industry i 2 i 1 19 Tenaga kerja sektor konstruksi j 2 j 1

139 110 B. Upah Tenaga Kerja 21. UPHPERT it = k 0 + k 1 (TKPERT it / TKTOT it ) + k 2 UPHLAIN it + u 11it 22. UPHIND it = l 0 + l 1 TKIND it + l 2 UPHPERT it + l 3 DR t + u 12it 23. UPHKON it = m 0 + m 1 TKKON it + m 2 UPHPERT it + u 13it Tabel 6. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Subblok Upah Tenaga Kerja Pers Uraian > 0 < 0 21 Upah tenaga kerja sektor k 1 k 2 pertanian 22 Upah tenaga kerja sektor l 1 l 2 industri 23 Upah tenaga kerja sektor konstruksi m 1 m 2 IV. Blok PDRB 24. PDRBA it = n 0 + n 1 TKPERT it + n 2 BLJPERT it + n 3 INV it + u 14it 25. PDRBI it = o 0 + o 1 TKIND it + o 2 BLJIND it + o 3 INV it + u 15it 26. PDRBK it = p 0 + p 1 TKKON it + p 2 BLJKON it + p 3 INV it + u 16it 27. PDRBL it = q 0 + q 1 TKLAIN it + q 2 TOTPENG it + u 17it 28. PDRB it = PDRBA it +PDRBI it +PDRBK it +PDRBL it 29. PDRBCAP it = PDRB it /POP it * 1000 Tabel 7. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok PDRB Pers Uraian > 0 < 0 24 PDRB sektor pertanian n 1, n 2, n 3 25 PDRB sektor industri o 1, o 2, o 3 26 PDRB sektor konstruksi p 1, p 2, p 3 27 PDRB sektor lain q 1, q 2 V. Blok Investasi dan Konsumsi 30. INV it = r 0 + r 1 PDRB it + r 2 TAX it + r 3 SBI it + u 18it 31. CON it = s 0 + s 1 (PDRB it TAX it ) + s 2 POP it + s 3 SBI it + s 4 DR t + u 19it

140 CONCAP it = CON it /POP it * 1000 Tabel 8. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok Investasi dan Konsumsi Pers Uraian > 0 < 0 30 Investasi r 1, r 2 r 3 31 Konsumsi s 1, s 2 s 3 VI. Blok IPM dan Kemiskinan 33. IPM it = t 0 + t 1 CONCAP it + t 2 MYS it + u 20it 34. JUMIS it = u 0 + u 1 PDRB it + u 2 INF it + u 3 POP it + + u 4 DR it +u 21it 35. MYS it = v 0 + v 1 PDRBCAP it + v 2 (BLJPEND+BLJKES) it + v 3 JUMIS it + u 22it Tabel 9. Tanda dan Besaran yang Diharapkan pada Blok IPM dan Kemiskinan Pers Uraian > 0 < 0 33 Indeks Pembangunan Manusia t 1, t 2 34 Jumlah Penduduk Miskin u 2, u 3 u 1 35 Rata-rata tahun sekolah v 1, v 2 v 3 Keterangan: BHP it : Bagi hasil pajak (Miliar Rp) BHBP it : Bagi hasil bukan pajak (Miliar Rp) BLJPERT it : Belanja sektor pertanian (Miliar Rp) BLJIND it : Belanja sektor industri (Miliar Rp) BLJKON it : Belanja sektor konstruksi (Miliar Rp) BLJSL it : Belanja sektor lainnya (Miliar Rp) BLJNSEK : Belanja non sektoral (Miliar Rp) BLJTSEK it : Total belanja sektoral (Miliar Rp)

141 112 BLJPEND it : Belanja sektor pendidikan (Miliar Rp) BLJKES it : Belanja sektor kesehatan (Miliar Rp) CAPFIS it : Kapasitas fisik (Miliar Rp) CON it : Konsumsi rumahtangga (Miliar Rp) CONCAP it : Konsumsi per kapita (Ribu Rp) DANPER it : Dana perimbangan (Miliar Rp) DAK it : Dana alokasi khusus (Miliar Rp) DAU it : Dana alokasi umum (Miliar Rp) DBH it : Dana bagi hasil (Miliar Rp) HSLKAYA it : Hasil pengelolaan daerah (Miliar Rp) INV it : Investasi (Miliar Rp) INF it : Inflasi (Persen) IPM it : Indek pembangunan manusia JUMIS it : Jumlah penduduk miskin (Ribu orang) JMKEND it : Jumlah Kendaraan (unit) LPAD it : Lain-lain PAD yang sah (Miliar Rp) LPEND it : Lain-lain pendapatan yang sah (Miliar Rp) LUASWIL it : Luas wilayah (km 2 ) MYS it : Rata-rata tahun sekolah (Tahun) PAD it : Pendapatan asli daerah (Miliar Rp) PDRBA it : PDRB sektor pertanian (Miliar Rp) PDRBI it : PDRB sektor industri (Miliar Rp) PDRBK it : PDRB sektor konstruksi (Miliar Rp) PDRBL it : PDRB sektor lainnya (Miliar Rp)

142 113 PDRB it : Produk domestik regional bruto (Miliar Rp) PDRBCAP it : PDRB per kapita (Ribu Rp) POP it : Jumlah penduduk (Ribu orang) PENGBY it : Pengeluaran pembiayaan (Miliar Rp) RET it : Retribusi (Miliar Rp) SBI it : Suku bunga (Persen) TAX it : Pajak Daerah (Miliar Rp) TKPERT it : Tenaga kerja sektor pertanian (Ribu orang) TKIND it : Tenaga kerja sektor industri (Ribu orang) TKKON it : Tenaga kerja sektor konstruksi (Ribu orang) TKLAIN it : Tenaga kerja sektor lainnya (Ribu orang) TKTOT it : Total tenaga kerja (Ribu orang) TOTBLJ it : Total belanja (Miliar Rp) TOTREV it : Total penerimaan (Miliar Rp) TOTPENG it : Total pengeluaran (Miliar Rp) UPHPERT it : Upah sektor pertanian (Ribu Rp) UPHIND it : Upah sektor industri (Ribu Rp) UPHKON it : Upah sektor konstruksi (Ribu Rp) UPHLAIN it : Upah sektor lainnya (Ribu Rp) DR t : Dummy, 1 untuk tahun , 0 untuk lainnya 4.3. Identifikasi dan Metode Estimasi Model Dalam penelitian ini digunakan pendekatan ekonometrik dengan menggunakan data panel dan system yang digunakan adalah system persamaan

143 114 simultan. Pendekatan ekonometrik dengan menggunakan system persamaan simultan mensyaratkan bahwa jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variabel endogen (Koutsoyionis, 1977). Untuk itu diperlukan identifikasi model secara lengkap. Proses identifikasi dilakukan dengan meneliti dan menghitung satu persatu variabel dalam setiap persamaan. Syarat yang harus dipenuhi dalam hal ini adalah order condition of identification yaitu bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut tetapi masuk dalam persamaan lain dalam system persamaan simultan harus sama dengan atau lebih besar dari jumlah variabel endogen di dalam model dikurangi satu (Gujarati, 1995). Deskripsi tersebut dapat diformulasikan sbagai berikut : (K M) (G 1) Keterangan: K = Jumlah variabel dalam model (variabel endogen dan predetermined) M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang teradapat dalam persamaan yang diidentifikasi, dan G = Jumlah persamaan dalam model, yaitu sama dengan jumlah variabel endogen dalam model Berdasarkan order condition tersebut jika (K-M) > (G-M) maka persamaan disebut dikatakan overidentified atau persamaan teridentifikasi secara berlebih. Selanjutnya jika terjadi bahwa (K-M) = (G-M) maka persamaan dikatakan terdientifiaksi secara tepat atau just or exactly identified. Selanjutnya jika (K- M) < (G M) maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi atau unidentified. Hanya persamaan yang exactly dan overidentified saja yang parameternya dapat diestimasi berdasarkan criteria order condition tersebut.jika

144 115 overidentified maka two-ttage least squares (2SLS) merupakan prosedur estimasi yang sangat bermanfaat untuk memperoleh nilai parameter struktural (Pyndyck dan Rubinfeld, 1998). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan metode estimasi parameter 2 SLS (two stage least squares). Penelitian ini menggunakan 35 persamaan yang terdiri dari 22 persamaan structural dan 13 persamaan identitas. Jumlah total variabel yang digunakan adalah 51. Dengan demikian maka berdasarkan ktriteria order condition of identification persamaan yang digunakan termasuk dalam kriteria overdentified. Dengan dasar ini, estimasi model yang digunakan dalam penelitian adalah 2 SLS (two stage least squares). Estimasi model dilakukan dengan program computer software SAS versi 9.1.dengan prosedur SYSLIN (System Linear). Selanjutnya untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen pada masing masing persamaan digunakan uji statistik F. Sedangkan untuk menguji apakah masing masing variabel penjelas secara individual berpengaruh nyata atu tidak terhadap variabel endogen digunakan uji t Validasi Model Setelah dilakukan identifikasi dan estimasi model tahap selanjutnya dilakukan validasi model. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang dikontruksi valid dan dapat digunakan untuk disimulasi baik pada historis maupun peramalan. Dalam hal ini model diuji secara statistika dan model yang memenuhi syarat dapat digunakan sebagai model dasar simulasi. Dalam penelitian ini, validasi model yang digunakan adalah kriteria statistic Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Squares Percentage Error

145 116 (RMSPE), Theil s Inequality Coefficeint (U-Theil). Formula indikator statistik yang digunakan dalam validasi adalah sebagai berikut : Keterangan: T = Jumlah periode (tahun) pengamatan Y t s Y t a = Nilai estimasi pengamatan pada period ke-t = Nilai pengamatan aktual pada periode ke-t Secara konsep, nilai yang diperoleh dari perhitungan RMSE dan RMSPE secara statistik digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar nilai-nilai variabel endogen hasil estimasi menyimpang dari alur nilai aktualnya dalam ukuran persen. Sedangkan nilai U-Theil berguna untuk mengetahui kemampuan model atau daya prediksi model untuk analisis simulasi ramalan yang nilainya antara 0 sampai dengan 1. Semakin kecil nilai RMSPE, RMSE, dan U-Theil, maka model yang digunakan akan semakin baik (Arief, 1993; Koutsoyiannis, 1997). Secara umum nilai indikator statistik dalam model menunjukkan bahwa nilai dugaannya tidak menyimpang dari nilai aktualnya sehingga cukup baik dilakukan simulasi. Selanjutnya dengan formula di atas, dalam penelitian ini

146 117 validadsi model yang digunakan adalah Software SAS versi 9.1. dengan prosedur SIMNLIN (Simulation Non Linear) Simulasi Kebijakan Persamaan simultan yang telah dilakukan validasi dan memenuhi kriteria ekonomi dan statistik digunakan sebagai model dasar untuk analisis simulasi. Simulasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah yang direpresentasikan dengan belanja daerah untuk waktu yang akan datang, yaitu untuk periode tahun 2011, 2012, dan Proses simulasi merupakan proses penentuan prediksi nilai-nilai variabel endogen dengan cara mensubtitusikan hasil estimasi koefisien regresi variabel bebas dan nilai variabel bebas yang aktual (menurut observasi) ke dalam model regresi yang berkaitan dengan variabel endogen ini. Ramalan berdasarkan horison waktu dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: ex post fore casting, ex ante forecasting, dan backcasting (Pyndyck dan Rubinfeld, 1998). Dalam penelitian ini, analisis simulasi yang dilakukan adalah peramalan ex ante, yaitu untuk periode tahun 2011, 2012, dan Sebelum melakukan peramalan pada nilai variabel endogen, dilakukan peramalan untuk nilai variabel penjelas, dengan asumsi dan dianggap relevan serta realistis menggunakan metode peramalan tertentu. Ada dua pendekatan dasar dalam peramalan model ramalan data time series. Pertama, pendekatan kecenderungan waktu yang bertujuan untuk menangkap perilaku jangka panjang dengan menyesuaikan persamaan sebagai fungsi dari waktu atau trend. Fungsi trend yang biasa digunakan adalah polynomial dan exponensial. Yang kedua adalah model pendekatan data time series untuk menangkap perilaku jangka

147 118 pendek dengan menggunakan metode autoregressive model (Sitepu dan Sinaga, 2006). Peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunaka software SAS versi 9.1. dengan tahap sebagai berikut : (1) variabel yang termasuk dalam kategori eksogern diramalkan dengan menggunakan model kecenderungan linier (trend linear model) dengan metode Stepwise Autoregressive dengan prosedur FORECAST dan asumsi rata-rata perubahan nilai variabel penjelasnya, (2) nilai variabel eksogen kemudian dijadikan data baru yang kemudian digunakan untuk meramalkan variabel endogen, (3) variabel endogen yang ada selanjutnya diramalkan dengan menggunakan model dampak investasi dan pengeluaran pemerintah dengan metode Newton dan prosedur SIMNLIN, (4) ramalan yang dihasilkan pada variabel endogen tersebut dijadikan ramalan dasar untuk dibandingkan dengan nilai variabel endogen hasil analisis dengan alternatif kebijakan, dan (5) dampak dari kebijakan investasi dan pengeluaran pemerintah yang dihasilkan dapat dilihat dari perbandingan antara variabel endogen tanpa alternatif kebijakan dengan nilai ramalan variabel endogen dengan alternatif kebijakan, yaitu peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah. Simulasi dalam penelitian ini dilakukan untuk beberapa skenario. Simulasi dilakukan dengan peningkatan besarnya nilai invesatai yang didekati dengan nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada struktur PDRB. Sedangkan, skenario kebijakan pemerintah daerah dilakukan dengan melakukan peningkatan pengeluaran pemerintah daerah, yaitu pengeluaran belanja untuk urusan pertanian, urusan industri, dan urusan kontruksi.

148 119 Pada penelitian ini periode tahun ramalan adalah dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 juga dilakukan. Simulasi yang digunakan adalah 6 (enam) skenario yaitu : (1) peningkatan investasi sebesar 10 persen, (2) peningkatan belanja sektor pertanian sebesar 25 persen, (3) peningkatan belanja sektor industri sebesar 25 persen, (4) peningkatan belanja sektor kontruksi sebesar 25 persen, (5) peningkatan investasi sebesar 10 persen, peningkatan belanja sektor pertanian sebesar 25 persen, peningkatan belanja sektor industri sebesar 25 persen dan peningkatan belanja sektor kontruksi sebesar 25 persen (6) peningkatan belanja sektor pendidikan sebesar 5 persen dan peningkatan sektor kesehatan sebesar 10 persen. Skenario 1: Peningkatan Investasi sebesar 10 Persen Dalam perekonomian investasi sangat berpengaruh terhadap laju perekonomian. Peningkatan investasi akan meningkatkan output. Selanjutnya dengan output yang meningkat akan meningkatkan perekonomian wilayah. Perkembangan perekonomian ini akan meningkatkan kapasitas fiskal dan dengan demikian akan mempengaruhi celah fiskal di wilayah tersebut. Selain itu peningkatan output akan membuka lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Jika demikian dan komponen kinerja perekonomian membaik maka Indek Pembangunan Manusia (IPM) akan meningkat. Skenario peningkatan investasi 10 persen didasarkan pada data empirik yang menunjukkan rata-rata investasi di daerah berkisar antara 7.50 sampai 10 persen per tahun untuk setiap daerah.

149 120 Peningkatan investasi pada ramalan periode tahun sebesar 10 persen dengan pertimbangan bahwa pemerintah daerah menyadari bahwa peran investasi sangat penting dalam perekonomian sehingga pemerintah daerah berusaha agar investasi di daerahnya dapat meningkat. Untuk mewujudkan hal ini pemerintah daerah berusaha melalui perbaikan sistem perijinan, perbaikan infrastruktur jalan, dan pemberian insentif. Skenario 2: Peningkatan Belanja Sektor Pertanian sebesar 25 Persen Peningkatan pengeluaran pemerintah daerah melalui peningkatan belanja pertanian sebesar 25 persen didasarkan bahwa dengan meningkatkan belanja sektor ini maka perekonomian daerah akan membaik mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan di daerah. Selain itu, berdasarkan data empirik memperlihatkan bahwa peningkatan belanja sektor ini pertahun di provinsi sampel berkisar antara 20 sampai 30 persen. Skenario 3 : Peningkatan Belanja Sektor Industri sebesar 25 Persen Sejalan dengan kebijakan peningkatan alokasi belanja pemerintah daerah pada sektor pertanian, maka kebijakan lain yang sering dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan meningkatkan belanja sektor industri sebesar 25 persen. Diharapkan dengan meningkatnya belanja sektor industri akan dapat dilihat konfigurasi perekonomian daerah. Dengan demikian akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan alokasi anggaran. Sama dengan besarnya peningkatan pada belanja sektor pertanian, belanja sektor industri berdasarkan data empirik memperlihatkan bahwa

150 121 peningkatan belanja sektor ini pertahun di provinsi sampel berkisar antara 20 sampai 30 persen. Skenario 4: Peningkatan Belanja Sektor Konstruksi sebesar 25 Persen Selain belanja pertanian dan industri, sektor kontruksi mempunyai peran yang dominan dalam perekonomian daerah. Sektor kontruksi merupakan urusan sektor yang sangat penting dalam pembangunan infrastuktur di daerah. Dengan pembangunan infrastruktur optimal maka dampak ikutan yang ditimbulkan cukup banyak. Dengan membaiknya infrastuktur di daerah akan meningkatkan laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah. Sejalan dengan pemikiran tersebut dilakukan skenario peningkatan belanja sektor kontruksi sebesar 25 persen. Diharapkan dengan meningkatnya belanja sektor kontruksi akan dapat dilihat konfigurasi perekonomian daerah. Dengan demikian akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan alokasi anggaran. Peningkatan sebesar 25 persen ini juga didasarkan pada data empirik memperlihatkan bahwa peningkatan belanja sektor ini pertahun di provinsi sampel berkisar antara 20 sampai 30 persen. Skenario 5: Peningkatan Investasi sebesar 10 persen dan Belanja Sektor Pertanian, Belanja Sektor Industri, Belanja Sektor Kontruksi Masing-masing 25 persen Skenario 5 dilakukan dengan penggabungan peningkatan investasi dan belanja Pertanian, belanja Industri, dan belanja konstruksi. Dalam skenario ini investasi dinaikkan sebesar 10 persen dan belanja belanja pertanian, belanja industri, belanja konstruksi masing-masing 25 persen. Peningkatan ini didasarkan

151 122 pada kondisi yang terjadi selama periode penelitian besarnya peningkatan investasi dan belanja urusan industri seperti telah diuraikan di atas. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah dapat memperoleh gambaran dalam penentuan kebijakan pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Skenario 6: Peningkatan Belanja Sektor Pendidikan sebesar 5 persen dan Belanja Sektor Kesehatan 10 persen Pada skenario 6 dilakukan dengan peningkatan belanja pendidikan sebesar 5 persen dan peningkatan belanja kesehatan sebesar 10 persen. Hal ini didasarkan bahwa belanja pendidikan berdasarkan perundangan harus dialokasikan sebesar 20 persen dari total belanja. Sementara kalau belanja kesehatan pada umumnya meningkat sebesar 10 persen setiap tahun. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah dapat memperoleh gambaran dalam penentuan kebijakan pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyatnya Ringkasan Tahapan Konstruksi Model Tahapan membangun model dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah ini didasarkan pada kerangka teori ekonomi, studi pustaka, dan fakta di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar model dapat menunjukkan keterkaitan antar blok dengan baik. Tujuan spesfifk konstruksi model ini adalah untuk mengakomodasi tujuan penelitian yang telah disebutkan pada Bab I. Model ini diawali dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

152 123 Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Kebijakan ini telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, diundangkannya perundangan ini akan mempengaruhi pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pola pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, dengan adanya kedua undang-undang ini diduga akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah karena undang-undang ini mengatur juga pola hubungan tata pemerintahan dan juga kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan dasar kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut disusun kerangka pikir penelitian dan model. Dalam hal penyusunan model selain menggunakan teori ekonomi juga mempertimbangkan ketersediaan data. Pengguna teori dimaksudkan agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Namun ketersediaan data juga dipertimbangkan dalam menyusun model karena ketersediaan data mempunyai peran sangat penting. Selain itu, dalam menyusun model ini juga mempertimbangkan metode statistik dan ekonometrika yang digunakan dalam estimasi dan validasi model. Secara diagram tahapan penysunan model pada Gambar 13. Pada Gambar 13. terlihat bahwa tahapan penyusunan model didasarkan pada fakta dan studi pustaka. Fakta merupakan data empirik yang menunjukkan kejadian sebenarnya. Sedangkan studi pustaka merupakan sumber dari dasar teori yang mendasari penyusunan model. Dengan mendasarkan pada tahapan yang pada gambar ini maka hasil yang diperoleh dapat sesuai dengan tujuan yang telah disebutkan pada Bab I.

153 124 Gambar 13. Tahapan Membangun Model Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK. Oleh : Arlan Adrianda

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK. Oleh : Arlan Adrianda ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK Oleh : Arlan Adrianda PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN A K H M A D

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN A K H M A D DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN A K H M A D SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya

Lebih terperinci

PERANAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN EKSPOR ADOLF BASTIAN HEATUBUN

PERANAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN EKSPOR ADOLF BASTIAN HEATUBUN PERANAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN EKSPOR ADOLF BASTIAN HEATUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya

Lebih terperinci

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Bacalah, dengan nama Tuhanmu

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Oleh : Venny Syahmer PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999-2006 MUHAMMAD ILHAM RIYADH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA Oleh SUPARNO PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu daerah didasarkan pada bagaimana suatu daerah dapat meningkatkan pengelolaan serta hasil produksi atau output dari sumber dayanya disetiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA MODAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TESIS.

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA MODAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TESIS. PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA MODAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TESIS Oleh NUR AINI DEWI 107003047/PWD S E K O L A H PA S C A S A R JA

Lebih terperinci

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Kasus pada : Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus) Oleh : HERRY SUMARDJITO PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H

ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H14103068 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TRANSFORMASI STRUKTUR TENAGA KERJA DI PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TRANSFORMASI STRUKTUR TENAGA KERJA DI PROVINSI JAWA BARAT Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Transformasi Struktur Tenaga Kerja (M.Arif D., et al.) DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TRANSFORMASI STRUKTUR TENAGA KERJA DI PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI Oleh : Ongki Wiratno PROGRAM STUDI MAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 @ Hak cipta

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 i

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN DISERTASI Oleh : MUANA NANGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK MUANA NANGA. Dampak Transfer

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU HARGA DAN STRUKTUR PASAR DI BURSA BERJANGKA JAKARTA

ANALISIS PERILAKU HARGA DAN STRUKTUR PASAR DI BURSA BERJANGKA JAKARTA ANALISIS PERILAKU HARGA DAN STRUKTUR PASAR DI BURSA BERJANGKA JAKARTA ANDAM DEWI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Manajemen dan Bisnis SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MIGRASI TERHADAP PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DISERTASI SAFRIDA

DAMPAK KEBIJAKAN MIGRASI TERHADAP PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DISERTASI SAFRIDA DAMPAK KEBIJAKAN MIGRASI TERHADAP PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DISERTASI SAFRIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa

Lebih terperinci

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Oleh: Philbertus Porat 2012110009

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK.

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK. ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK Oleh : Bambang Irjanto PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan BAB I 1.1 Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan undang undang membawa konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan di segala bidang,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE 2001-2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA Iwan Hermawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI. Oleh : Hendi Koeshandoko

KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI. Oleh : Hendi Koeshandoko KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI Oleh : Hendi Koeshandoko PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA INDUSTRI KECIL KERUPUK DI KABUPATEN DEMAK: STUDI KASUS DESA NGALURAN DAN DESA KARANGASEM. Oleh: BUDI SULISTYO

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA INDUSTRI KECIL KERUPUK DI KABUPATEN DEMAK: STUDI KASUS DESA NGALURAN DAN DESA KARANGASEM. Oleh: BUDI SULISTYO ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA INDUSTRI KECIL KERUPUK DI KABUPATEN DEMAK: STUDI KASUS DESA NGALURAN DAN DESA KARANGASEM Oleh: BUDI SULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi wilayah atau regional merupakan salah satu bagian penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci