BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan perilaku struktural yang ditampilkan oleh suatu bahasa. Maksud kajian tipologi bahasa terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Kalangan tipologi bahasa pada dasarnya mengakui pandangan kalangan tata bahasa universal yang mencoba menemukan ciri-ciri (properties) yang sama pada semua bahasa manusia, di samping mereka juga mengakui adanya perbedaan di antara bahasa Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap aspek struktural bahasa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan adanya ciri yang paling menonjol yang diharapkan dapat membantu peneliti memprediksi ciri yang lainnya. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang masih berhubungan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai. Verhaar (1988) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ergatif secara sintaksis, dan juga menyebutkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang secara sintaksis termasuk bahasa bersistem ergatif- terbelah. Di sisi lain bahasa Indonesia dianggap pula sebagai bahasa akusatif. Sebagaimana halnya bahasa Tagalog, bahasa Indonesia sama-sama bermasalah jika dilihat dari analisis akusatif dan ergatif. Dengan demikian ada ahli yang mengatakan bahwa kedua 12

2 bahasa itu sebagai bahasa yang netral (bukan akusatif, dan bukan pula ergatif). Bahasa Bali pun sesungguhnya layak dimasukkan sebagai bahasa yang netral (lihat Artawa, 1995:45-65; Jufrizal, 2004: 37; 2007). Kajian dan simpulan ini menjadi masukan yang berarti bagi penelusuran BPD dalam mengelompokkannya ke dalan salah satu tipologi tertentu. Artawa (1994 dan 1998), dalam disertasinya, dengan pendekatan dan teori tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional ( dari Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky), membahas empat pokok masalah, yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Dikatakannya bahwa analisis ergatif merupakan cara analisis lain yang cukup beralasan dalam mempelajari morfo-sintaksis bahasa-bahasa Melayu- Polinesia Barat. Sejumlah paparan dan penjelasan tentang relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, analisis tipologis bahasa Bali, serta telaah tata kalimat bahasa ini berdasarkan teori sintaksis formal, telah memperlihatkan deskripsi dan penjelasan aspek sintaksis bahasa Bali. Analisis dan temuan disertasi Artawa ini, khususnya kajian tipologis sintaksis bahasa Bali ini bermanfaat dalam kajian BPD terutama dalam penelusuran relasi dan peran gramatikal BPD, analisis ketransitifan BPD secara tipologis Sedeng (2000), mengemukakan bahwa secara tipologis dan dengan teori sintaksis formal, yaitu Tatabahasa Leksikal Fungsional, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini tergolong bahasa berpola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Bahasa ini tergolong bahasa akusatif. Informasi dan temuan ini cukup 13

3 penting karena memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Simpulan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bandingan karena pembahasan tipologisnya bermanfaat untuk menetapkan tipologi gramatikal BPD. Kosmas (2000) dalam penelitiannya membahas argumen aktor bahasa Manggarai dengan pendekatan tipologis dan teori yang didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai adalah pasif secara sintaksis; tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan lain adalah bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO, dengan variasi SVO dan VOS. Analisis BPD terutama dalam membahas struktur argumen, aspek sintaksis BPD, memanfaatkan simpulan kajian tipologis dari aspek sintaksis bahasa Manggarai ini. Suciati (2000), yang meneliti tipologi bahasa Tetun dialek Fehan membahas masalah relasi gramatikal yang mencakup subjek, argumen dan keintian, ketransitifan, penyandian gramatikal, aliansi gramatikal dan diatesis. Penelitian Suciati ini menyimpulkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolasi, dengan tata urutan dasar SVO, sangat sedikit afiks dan secara gramatikal bahasa ini cenderung bertipe akusatif. Bahasa ini memiliki diatesis agentif dan diatesis objektif.. Temuan Suciati ini menjadi masukan yang berharga karena masih mempunyai relevansi dengan penelitian BPD ini, terutama dalam penelusuran relasi, dan peran gramatikal, serta penganalisisan diatesis BPD. Masalah dan topik diatesis dalam bahasa Dawan dikaji oleh Mekarini (2000). Menurutnya ada tiga jenis diatesis dalam bahasa Dawan, yaitu diatesis 14

4 aktif, diatesis objektif dan diatesis pasif. Temuan tentang diatesis bahasa Dawan ini dapat dimanfaatkan karena menjadi pembanding dan rujuk silang dalam penelaahan diatesis BPD. Partami (2001), yang meneliti bahasa Buna (di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), menyimpulkan bahwa bahasa ini termasuk kelompok bahasa isolatif; sangat jarang ditemukan adanya proses morfologis dalam bahasa ini. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dan memiliki diatesis agentif, serta tata urutan dasar klausa bahasa ini adalah SOV. Walaupun bahasa Buna dan BPD merupakan dua bahasa yang sangat berbeda dari segi struktur morfologisnya, namun penelitian Partami ini dapat dijadikan pembanding dan rujukan silang dalam penelitian BPD.. Jufrizal (2004) yang meneliti bahasa Minangkabau, dengan judul Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau menyimpulkan bahwa tata urutan kata lazim klausa/ kalimat dasar bahasa Minangkabau adalah S-V-O (atau A-V-P ). Di samping sebagai bahasa akusatif (sebagaimana pandangan para ahli sebelumnya), namun berdasarkan penelaahan lanjut tentang perilaku S klausa intrasitif menunjukkan bahwa bahasa Minangkabau termasuk bahasa dengan S- terpilah dan S-alir. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A; 15

5 serta mengenal diatesis aktif (sebagai diatesis dasar) dan diatesis pasif (sebagai diatesis turunan) dan diatesis medial. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menjadi masukan yang penting dalam penelitian BPD ini. Kajian kepustakaan yang menampilkan BPD dalam hubungannya dengan kajian tipologi sampai saat ini belum ada, namun penelitian ini sangat memanfaatkan kajian dan penelitian Basaria (2002) yang membahas morfologi verba bahasa BPD. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ciri-ciri verba BPD dapat diamati melalui (a) perilaku semantis, (b) perilaku sintaksis dan (c) perilaku morfologisnya. Dari perilaku semantisnya, verba adalah yang menggambarkan konsep, proses, perbuatan, keadaan dan peristiwa; Dari perilaku sintaksisnya verba selain bertugas sebagai predikat, juga selalu dapat berkombinasi dengan kata-kata enggo sudah, naeng akan kesah setelah, oda tidak, gati sering. Dari perilaku morfologinya verba BPD dapat diidentifikasi melalui afiks: mer-, me-, pe-, ki-, -i-, -um-, -ken, -i, ke-en, mersi-en, mer-en, yang melekat pada kata dasar untuk membentuk verba. Berdasarkan bentuknya, verba BPD dapat dikelompokkan menjadi verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dan verba turunan yaitu verba yang diturunkan / dibentuk melalui transposisi (pengubahan kata selain verba tanpa perubahan bentuk), afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. (lihat Alwi dkk, 2000: 87-88). Jumlah verba asal BPD tidak banyak, sedangkan verba turunan lebih banyak. Perubahan morfologi verba BPD berdasarkan bentuknya yang terkait erat dengan penelitian ini adalah verba asal dan verba turunan yang dibentuk melalui afiksasi. Penurunan verba BPD melalui transposisi, reduplikasi, atau 16

6 pemajemukan tidak dibahas lebih jauh, kecuali jika dikaitkan dengan afiksasi. Berkaitan dengan ini, verba turunan melalui afiksasi sangat erat kaitannya dengan afiks-afiks verbal. Dalam BPD terdapat afiks tertentu yang dapat berkombinasi dengan kata dasar untuk membentuk verba. Jadi afiks tersebut diidentifikasi sebagai afiks pembentuk verba BPD. Afiks tersebut adalah empat prefiks yaitu : / men-,mer-, i-,/pe/, /ter-/ ; dua sufiks yaitu /-ken, -i /; dan 2 pasang konfiks yaitu /mersi-en/, /mer-en/. (lihat Basaria, 2002 : 21). Berikut ini adalah contoh-contoh verba turunan dengan bentuk dasar verba, nomina, ajektif, dan prakategorial. (1) a) verba turunan dengan /mer-/ + dasar nomina : popung nenek merpopung bernenek daroh darah merdaroh berdarah dukak anak merdukak beranak b) verba turunan dengan /mer-/ + prakategorial : ende nyanyi merende bernyanyi dalan jalan merdalan berjalan langi renang merlangi berenang sodip doa mersodip berdoa c) verba turunan dengan /mer-/ + dasar ajektiva lolo ate gembira merlolo ate bergembira kelsoh susah merkelsoh bersusah hati (2) (a) verba turunan dengan /men-/ + dasar nomina sori sisir menori menyisir pangkur cangkul memangkur mencangkul 17

7 (b) verba turunan dengan /men-/ + dasar verba tulus cari menulus mencari garar bayar menggarar membayar (c) verba turunan dengan /men-/ + dasar ajektiva daoh jauh mendaoh menjauh (3) verba turunan dengan /pe-/ + dasar ajektiva gomok gemuk pegomok gemukkan ketek kecil peketek kecilkan (4) (a) verba turunan dengan /i-/ + dasar nomina labang paku ilabang dipaku pangkur cangkul ipangkur dipaku (b) verba turunan dengan /i-/ + dasar verba enum minum ienum diminum jalang kejar ijalang dikejar (5) (a) verba turunan dengan /ter-/ + dasar nomina labang paku terlabang terpaku pangkur cangkul terpangkur tercangkul (b) verba turunan dengan /ter-/ + dasar verba borih cuci terborih tercuci tutung bakar tertutung terbakar (6) verba turunan dengan /ki-/ + dasar nomina seban kayu kiseban mencari kayu lambuk keladi kilambuk mencari keladi ketang rotan kiketang mencari rotan 18

8 (7) (a) verba turunan dengan /-ken/ + dasar nomina edur ludah edurken ludahkan utah muntah utahken muntahkan (b) verba turunan dengan /-ken/ + dasar verba sipak sepak sipakken sepakkan suan tanam suanken tanamkan (c) verba turunan dengan /-ken/ + dasar ajektiva nggara panas nggaraken panaskan ceda rusak cedaken cedaken (8) (a) verba turunan dengan /-i/ + dasar nomina tambar obat tambari obati napu pupuk napui pupuki (b) verba turunan dengan /-i/ + dasar verba pekpek pukul pekpeki pukuli ndilat jilat ndilati jilati (c) verba turunan dengan /-i/ + dasar ajektiva nggara panas nggarai panasi ntajem tajam ntajami tajami (9) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba lojang lari merlojangen berlarian nangkih naik mernangkihan bernaikan (10) (a)verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar nomina sori sisir mersisorien saling sisir 19

9 (b) verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar verba pekpek pukul mersipekpeken saling pukul jalang salam mersijalangen saling salam (11) (a) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba lojang lari merlojangan berlarian nangkih naik mernangkihan bernaikan (b) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar keadaan macik busuk mermacikan berbusukan penggel patah merpenggelan berpatahan Dari paparan di atas, verba turunan /mer-, mer-en, mersi-en/ berpeluang untuk menjadi predikat klausa aktif intransitif, sehingga menjadi pemarkah morfologis verba intransitif BPD, verba turunan /men-/ berpeluang pembentuk predikat klausa aktif transitif,sehingga menjadi pemarkah morfologis verba transitif, sedangkan verba turunan lainnya menjadi pemarkah morfologis verba klausa pasif. Pemarkah morfologis verba transitif /men-/ secara morfofonemis dapat terwujud dengan bentuk alomorfnya (/me-, mem-, men-, menge-/). Alomorf /men-/ yang memarkahi verba dalam struktur klausa transitif BPD menunjukkan penasalsasian, kecuali apabila /me-/ diikuti bentuk dasar yang dimulai bunyi vokal. Pada bagian ini belum dibahas peran dan fungsi /me-/ secara tipologis Verba-verba tersebut di atas sangat penting dalam kajian relasi dan peran gramatikal BPD terutama pada kajian dan pembahasan tentang sistem predikasi dan struktur argumen, dan mekanisme perubahan valensi verba. Hal tersebut disebabkan karena klausa BPD secara umum dibentuk oleh predikat verbal (dan 20

10 bukan verbal), sehingga kajian morfologi dalam hal ini morfofonemik verba sangat penting artinya bagi kajian klausa dan sintaksis BPD. 2.2 Kerangka Teori Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang berhasil baik maka penelitian ini mengarahkan kerangka kerjanya pada sejumlah pokok-pokok pikiran dari kerangka teori tersebut Tipologi Linguistik Secara etimologis, kata tipologis berarti pengelompokan ranah ( classification of domain). Pengertian tipologi bersinonim dengan istilah taksonomi. Istilah teknis tipologi yang masuk ke dalam linguistik mempunyai pengertian pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas strukturnya. Di antara bentuk kajian tipologi linguistik pada periode awal yang terkenal adalah word order typology atau tipologi tata urut dasar yang dilakukan oleh Greenberg ( dalam Comrie1995:35). Kajian ini berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri-ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik ( linguistic typology ). Hasil kajian seperti itu melahirkan tipologi bahasa; pengelompokan bahasa-bahasa dengan sebutan tertentu. ( Artawa, 1995 ; Jufrizal, 2004 ) Bahasa dapat dikelompokkan dalam batasan-batasan ciri khas strukturalnya, dan menetapkan pengelompokan luas berdasarkan sejumlah fitur 21

11 yang saling berhubungan. Greenberg dalam Mallinson dan Blake (1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (S,O,V). Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar ( Basic Order ) yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Bahasa- bahasa lain ada yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia yaitu SVO, bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO, dan VSO Tipologi urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter lainnya dapat ditafsirkan dari urutan ketiga unsur dasar ini. Meskipun kajian tipologi bahasa pada dasarnya berhubungan dengan pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya, bukan berarti pengelompokan berdasarkan struktur bahasa ini saja yang mungkin dapat dilakukan. Pengelompokan bahasa berdasarkan bunyi (fonetik ), misalnya, juga masih mungkin dapat dilakukan. Sehingga akan menghasilkan kajian tipologi fonologis. Sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga dasar pengelompokan bahasa : yaitu pengelompokan berdasarkan genetis, pengelompokan berdasarkan tipologis, dan pengelompokan berdasarkan areal ( geografis ) Tipologi Bahasa dan Kesemestaan Bahasa Pada tahun 1970-an terlihat adanya keperluan akan kajian yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoritis maupun dalam bidang kajian bahasa secara empiris teori netral (lihat Jufrizal, 2004 : 61 ). Perkembangan teori 22

12 dan pendekatan kajian lintas bahasa ini merupakan reaksi terhadap teori Tatabahasa Transformasi- Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori linguistik ( tatabahasa ) lain yang ada pada tahun 1970-an antara lain adalah Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Fungsional ( Dick,1978) Mallison dan Blake (1981: 4-5) menyebutkan bahwa penelitian generalisasi lintas bahasa atau kesemestaan bahasa ( language universals ) dikenal luas sebagai pokok pikiran utama di belakang penelitian tipologi skala besar. Seperti halnya dengan tipologi bahasa, semestaan bahasa meliputi juga ciri fonologis, morfologis, sintaksis. Ciri-ciri kebahasaan yang tidak meliputi semua atau hampir semua bahasa di dunia tidak akan diperhitungkan sebagai kesemestaan bahasa, tetapi akan berguna bagi tipologi bahasa. Sebab itu antara semestaan bahasa dan tipologi bahasa terdapat hubungan timbal balik, tetapi di pihak lain terdapat juga perbedaan yang jelas. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara silang seluas mungkin. Pada pertengahan abad ke 20, kajian tipologi dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan. Comrie (1989:30-32) juga menyebutkan bahwa terdapat saling keterkaitan antara kesemestaan bahasa dan tipologi karena keduanya berjalan bergandengan. Kajian kesemestaan bahasa berusaha menemukan (1) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua bahasa manusia; (2) mencari/ menemukan kemiripan yang ada dalam lintas bahasa; dan (3) berusaha menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Sedangkan penelitian tipologi berusaha (1) mengelompokkan bahasa-bahasa, yaitu menetapkan bahasa-bahasa ke kelompok/ tipe yang berbeda; 23

13 (2) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (3) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Menetapkan tipologi bahasa diperlukan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Istilah kesemestaan bahasa bukan berarti seluruh bahasa mempunyai fitur atau kasus yang sama, melainkan hanya bersifat hampir keseluruhan ( kecenderungan umum ). Jadi istilah lain dari kesemestaan bahasa dipakai / disebut juga generalisasi lintas bahasa. Song ( 2001 ) dalam ( Jufrizal,2007: 4 ) menambahkan bahwa ada empat jenis tahap analisis tipologis, yaitu (i) penentuan fenomena yang akan dipelajari; (ii) pengelompokan tipologis fenomena yang sedang diteliti; (iii) merumuskan simpulan umum (generalisasi ) atas pengelompokan tersebut; dan (iv) menjelaskan simpulan umum tersebut. Tipologi linguistik bukanlah teori tatabahasa, sebagaimana halnya teori TG atau teori tata bahasa lain yang dirancang untuk memodelkan bagaimana bahasa bekerja. Tipologi linguistik adalah bentuk kajian ketatabahasaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi polapola linguistik secara lintas bahasa dan hubungan antara pola-pola tersebut. Oleh karena itu, teori tipologi linguistik akan bersesuaian saja dengan teori tatabahasa yang ada.walaupun penelitian ini, seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, hanya dititikberatkan pada kajian sintaksisnya ( gramatikalnya ), namun, untuk memperkuat kajian ini maka kajian tipologi morfologis, semantis, dan pragmatis akan disinggung pula. 24

14 2.2.3 Tata bahasa dan Kajian Tipologi Bahasa Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap deskripsi gramatikal dasar yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang secara menyeluruh disebut tatabahasa atau gramatika ( grammar ). Namun dalam perkembangan ilmu bahasa yang sering dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis. Bahkan ada pula sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika untuk merujuk ke sintaksis saja. Walaupun sebagian besar ahli berpendapat bahwa gramatika suatu bahasa meliputi sistem/ tata bunyi, sistem tata kata, sistem tata kalimat, sistem tata makna dan lainnya yang lebih luas lagi. Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa serta hubungan antara unsut-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Lyons (1987: ), menyatakan bahwa di antara tataran kata dan kalimat terdapat dua unit gramatikal lain yaitu frasa dan klausa. Dalam pandangan tradisional, setiap kelompok kata yang secara gramatikal setara dengan kata dan tidak menunjukkan adanya unsur subjek, predikat disebut frasa. Sementara itu, klausa adalah kelompok kata yang mempunyai unsur subjek predikat dan menempel pada kalimat induk. Dalam penelitian ini, klausa diasumsi sebagai kalimat sederhana yaitu kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat ( lihat Lyons, 1988; 25

15 Jufrizal: 2007). Di samping itu, penelitian ini juga akan merujuk pendapat Alwi, dkk. (.2000, ) yang menyimpulkan bahwa klausa dasar adalah konstruksi klausa, yang paling tidak mempunyai ciri-ciri : 1) terdiri atas satu klausa; 2) unsur-unsur intinya lengkap; 3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum; 4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Jadi, klausa dasar/ kalimat dasar adalah kalimat tunggal dekleratif afirmatif yang unsurunsurnya paling lazim Menurut Comrie (1995) tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat perilaku struktural bahasa yang bersangkutan. Ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yakni : (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Dengan upaya seperti itu dikenal adanya istilah bahasa bertipologi akusatif, bahasa ergatif atau bahasa aktif yang merujuk ke sebutan tipologi bahasa-bahasa yang kurang lebih ( secara gramatikal ) mempunyai persamaan. Sebutan tipologis (kelompok) bahasa seperti bahasa akusatif, ergatif, atau bahasa aktif tersebut pada dasarnya dikaitkan dengan tataran morfosintaksis, sebutan untuk jenis relasi gramatikal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa Berdasarkan tipologi morfologis,(comrie,1995:43) menyebutkan bahasabahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) bahasa isolasi yaitu bahasa yang tidak mempunyaai struktur gramatikal ( tidak mempunyai morfem daan afiks), sehingga pada bahasa ini tidak mempunyai proses morfologi; adanya hubungan satu lawan satu antara kata dan morfem. Misalnya bahasa Cina, bahasa Samoa, bahasa Vietnam. Contoh kalimat 26

16 berikut dalam bahasa Vietnam memperlihatkan bahwa tiap kata hanya terdiri dari kata dasar yang monosilabis Khi toi den nha ban toi chung toi When I come house friend I plural I Ketika saya datang rumah teman saya, JAMAK saya Ketika saya tiba di rumah teman saya, kami Bat dau lam bai Begin do pelajaran mulai mengerjakan pelajaran Tiap kata dalam kalimat di atas tidak mengalami perubahan. Bentuk jamak orang I dinyatakan dengan merangkaikan kata toi saya dengan chung jamak sehingga menjadi kami. Tiap kata terdiri dari satu morfem, kecuali kata bat dau mulai. Kata ini secara etimologis sebenarnya terdiri dari dua morfem, yaitu bat menangkap dan dau kepala (2) bahasa aglutinasi: bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu morfem, dan batas antara morfem-morfem (kata) dapat dengan mudah dipisahkan / ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, bahasa Indonesia, bahasa Finno Ugris, bahasa Tush ( suatu bahasa Kaukasus ), bahasa Tibet, dan lain-lain. Pada bahasa Indonesia bentuk aglutinatif ini dapat dilihat dalam kata pe + tani, pe + malas, per + gerak + an, me +letak + an, per + sembah + kan, dan sebagainya (3) Bahasa fusional atau infleksi : bahasa yang morfemnya diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi umumnya tidak mudah dan tidak jelas untuk memisahkan/ menentukan merfem/ afiks yang mewujudkan kata atau morfem 27

17 tersebut. Misalnya bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Sansekerta, dan bahasa Indo-Eropah. Istilah fusional ataupun infleksi diartikan dengan perubahan internal dalam akar kata seperti : sing-sang-sung, dodid-done, write-wrote-written, go-went-gone dan sebagainya. (4) Bahasa polisintetik atau inkorporasi yaitu bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal. Misalnya bahasa Yana ( bahasa Indian Amerika, bahasa Chukchi, bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris dan sebagainya.( Comrie (1989 : ). Contoh dalam bahasa Yana, kalimat bahasa Indonesia saya menginap tiga malam akan diterjemahkan dalam sebuah kata saja : bulsidibalm? Gu? Asinz ( tiga malam- menginap-sedikit-past/present-saya ) Dasar-dasar teori dan kerangka berfikir tipologi yang dirujuk dalam penelitian ini, khususnya dalam menganalisis relasi dan peran gramatikal BBD memanfaatkan teori teori yang disebut di atas. Teori dan rujukan dimaksud akan digunakan secermat mungkin untuk dapat menganalisis fenomena tipologi gramatikal BPD yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini Relasi dan Peran Gramatikal Relasi Gramatikal Pengertian dan konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie ( 1989 : 65 ), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal ( baik menurut pendapat tradisional maupun dalam tulisan mutakhir ) adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat / klausa yang dikategorikan sebagai subjek ( S ), objek langsung ( OL ), dan objek tak langsung ( OTL ). Tiga relasi 28

18 gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis. Di samping relasi gramatikal yang bersifat sintaksis, ada relasi yang bersifat semantik, yaitu : lokatif, benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. (Blake,1991 dalam Artawa, 2000:490) Blake mengemukakan bahwa relasi sintaktik dianggap membentuk hirarki dengan penomoran 1, 2, 3 yang umumnya digunakan untuk menandai relasi yang bersangkutan : S OL OTL OBL ( Blake, 1991 : 3 dalam Artawa 2000: 490 ) Artawa ( 2000: 490 ) menyebutkan bahwa pada strata awal ( initial ), agen diperlakukan sebagai relasi 1 ; pasien sebagai relasi 2; dan resipien sebagai relasi 3. Relasi- relasi gramatikal tersebut menjadi acuan untuk memerikan berbagai aspek srtuktur klausa serta prinsip-prinsip semesta yang menguasai struktur dan organisasi sintaksis bahasa alami. Relasi- relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasabahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa. Untuk maksud tersebut, suatu teori tatabahasa harus mengkaji data umum bahasa, yang berlaku untuk semua bahasa, dan data khusus bahasa yang berlaku hanya untuk bahasa-bahasa tertentu. Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya ( sasaran (1) dan (2), maupun tentang cara memerikan bahasa-bahasa tertentu ( sasaran (3) ( lihat Jufrizal 2004 : 55 ). 29

19 Relasi gramatikal yang bersifat sintaksis ( S, OL, OTL ) dan relasi yang bersifat semantis ( OBL ) akan dianalisis dengan pendekatan teori tipologi linguistik dengan tujuan utama merinci penelaahan tentang struktur dasar BPD. Topik-topik telaahan yang bersangkutpaut dengan relasi gramatikal yang menjadi kajian penelitian ini adalah kesubjekan dan subjek, objek dan relasi oblik. Comrie (1995 : 104 )menyebutkan prototipe ( hakekat asal ) subjek itu adalah memperlihatkan adanya saling terkait antara agen dan topik. Artinya maksud yang paling jelas dari subjek itu, secara lintas bahasa adalah bahwa subjek itu agen dan juga topik. Namun dalam penelitian ini, pengujian sifat perilaku subjek BPD akan didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Pengertian dan penetapan subjek dalam suatu bahasa masih memunculkan fenomena yang hingga kini merupakan masalah yang terus dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda pula. Selain itu, perbedaan filsafat pengkajian dan dasar pijakan teoretis juga menjadi penyebab sulitnya mengidentifikasi subjek bahasa tertentu. Namun penelitian ini mendasarkan teorinya pada pendapat Comrie (1983 : 101) yang menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal ) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Agen sebenarnya istilah yang terkait dengan fungsi semantis, sementara topik berkaitan dengan fungsi-fungsi pragmatis Li (ed.), (1976) dalam Jufrizal (2007 : 33) menyebutkan basic subject (selanjutnya disebut subjek) secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat perilaku khas yang dapat dikelompokkan menjadi empat : a) sifat perilaku otonomi; b) sifat-perilaku kasus; c) peran semantis; d) dominasi langsung ( 30

20 immediate dominance ). Sifat perilaku otonomi subjek meliputi : (a) keberadaannya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran /sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifatperilaku pemarkah kasus meliputi : (1) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi jika setiap frasa nomina (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (2) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (3) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pemengalam, dsb) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan dapat diungkapkan : (1) subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan), jika hanya satu; (2) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) bentuk imperatif; (3) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus, dan persesuaian verba yang sama dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar. Sementara itu, dominasi langsung berarti bahwa subjek itu secara langsung didominasi langsung oleh simpul dasar S (sentence) Sifat perilaku subjek secara lintas bahasa seperti di atas bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja ada sebagian sifat perilaku tersebut yang tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Pengujian sifat perilaku subjek yang didasari oleh sifat perilaku gramatikal telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek dalam suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Berkaitan dengan ini, hakekat kesubjekan dilihat berdasarkan pengertian (1) penaikan (raising), (2) pengambangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation). 31

21 (1) Objek dan Oblik Menurut Culicover (1997 : 16-17; lihat juga Jufrizal 2007:49-63), menyebutkan bahwa secara umum ada dua jenis argumen yaitu : (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian yang paling independen dari suatu verba; (ii) argumen yang dikaitkan dengan verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tatabahasa Relasional (dan juga tatabahasa Tradisional ) disebut objek. Jadi, objek dalam sebuah klausa transitif merupakan argumen inti (di samping subjek). Objek adalah argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar,1999; Alsina,1996; Jufrizal,2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif. Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, beri dalam BI, dan beberapa verba lain yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif. (Jufrizal,2007: 51) Alsina (1996: ) berdasarkan data bahasa Romawi menyatakan sebuah srtuktur argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen internal, sehingga sebuah klausa dapat mempunyai lebih dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba klausa yang bersangkutan. Verba transitif menghendaki dua O yang secara tradisional dikenal dengan OL dan OTL. Dengan bukti data bahasa Romawi, Alsina mengatakan bahwa OTL mirip dengan oblik ( OBL ) yang ditandai adanya preposisi, dan posisi OTL cenderung 32

22 mengikuti OL. Berbeda dengan OL,maka OTL tidak berkorespondensi dengan S. Alsina (1996) menunjukkan delapan bukti bahwa OTL termasuk ke kelompok fungsi-fungsi langsung (seperti S dan OL) yang berbeda secara sistematis dengan OBL yakni: (i) penggandaan pronomina personal bebas dalam morfologi verbal; (ii) ungkapan persona dan perbedaan jumlah dalam pronomina yang tergabung secara morfologis; (iii) kemampuan diikat pada struktur argumen;(iv) kemampuan untuk mengajukan pengambangan penjangka; (v) tidak menggabungkan referensi pronomina; (vi) kemampuan mengikat penjangka; (vii) kemampuan berfungsi sebagai pronomina resumtif (pembuka) dan variabel terikat; (viii) kemampuan menjadi sasaran predikasi kedua (sekunder) Selanjutnya penentuan sifat perilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Cole (ed.) dalam Jufrizal (2007: 51) mengemukakan bahwa O verba dalam bahasa-bahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar: (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN ( sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses pemasifan. BPD tidak mengenal prefiks O (object) prefix) atau prefiks S (subject prefix) pada tataran sintaksis. Sehingga, hanya sifat perilaku (ii) dan (iii) yang ada dalam bahasa-bahasa Bantu dapat dipakai untuk menetapkan O BPD. Penetapan O secara lintas bahasa sejalan dengan pengujian terhadap sifat perilaku O bahasa-bahasa Bantu dikemukakan oleh Butt dkk (1999 : 48-51; lihat juga Jufrizal : 2007 : 51). Mereka menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini biasa disebut O. Berikut ini contoh kalimat transitif bahasa Inggris yang mempunyai S dan O 33

23 (1) They saw the box S PRED O Menurut Butt dkk, (1999) dalam bahasa Inggris misalnya, posisi unsur kalimat merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan karena O mesti mengikuti verba dan mesti lekat dengan lingkungan verba tersebut. Contoh (3a) berikut ini hanya bisa berterima dengan adanya pola intonasi khusus yang memeras O ke luar dari klausa. Sedangkan contoh (3b) tidak berterima karena adanya sisipan adverbia di antara verba dan O-nya (2) The box they saw ART kotak mereka lihat kotak itu mereka lihat (3a) They saw the box yesterday Mereka melihat kitak itu kemarin (3b) *They saw yesterday the box Mereka melihat kemarin kotak itu Akan tetapi posisi bukanlah penentu O yang baik dalam bahasa Jerman karena posisi unsur kalimat dapat saja diacak, seperti pada contoh (4a,b). Sebagai gantinya, pemarkah kasus merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan; FN yang dimarkahi dengan akusatif adalah O. (4a) Der fahrer strartet den traktor ART-NOM supir menghidupkan ART-ACC traktor Supir sedang menghidupkan traktor (Jerman ) (4b) Den traktor strartet der fahrer ART-ACC traktor menghidupkan ART-NOM sopir 34

24 Sopir sedang menghidupkan traktor ( Jerman ) Dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, pemarkah kasus merupakan penguji yang baik hanya untuk menentukan pronomina, apakah sebagai S atau O. Misalnya he (S ) vs him (O) dalam bahasa Inggris dan il (S) vs le (O) bahasa Perancis. Butt dkk. (1999 : 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa Inggris dicontohkan sebagai berikut: (5a) They saw the box.(akt) mereka melihat kotak itu (5b) The box was seen kotak itu dilihat Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu : (S)ubjek, ( O)bjek (L)angsung, dan (O)bjek (T)ak (L)angsung. Bahasa Jerman, misalnya, menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL. Dalam bahasa Inggris, pemasifan dan posisi merupakan cara pengujian/penentuan O. Namun baik OL maupun OTL masing-masingnya dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL mesti berada langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut adalah contoh kalimat bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk. (1999 :49) (6a) She gave him the book. (AKT) 35

25 dia (pr) memberinya(ii) buku itu (6b) He was given the book (PAS) dia (II) diberi buku itu (6c) The book was given him (PAS) buku itu diberikan kepadanya (II) Pengujian secara lintas bahasa juga dapat dilakukan dengan melihat sifat perilaku frasa refleksif (kalimat refleksif) dan pelesapan salah satu FN pada kalimat koordinatif. Objek merupakan FN yang wajib hadir secara sintaksis pada kalimat transitif. Kalimat refleksif mempunyai dua FN yang salah satunya adalah pronomina refleksif. Pronomina refleksif mengacu ke FN lain pada kalimat tersebut. Berikut adalah contoh kalimat refleksif dalam bahasa Inggris. (7a) The girl loves herself gadis itu mencintai dirinya sendiri Pronomina refleksif herself mengacu ke FN the girl. Kalimat di atas berarti the girl loves the girl. Apabila pronomina refleksif herself dijadikan subjek kalimat, kalimat tersebut tidak lagi merupakan kalimat refleksif yang berterima (7b) (7b) *Herself loves the girl dirinya sendiri mencintai gadis itu Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris objek adalah fungsi gramatikal yang diduduki FN yang dapat diganti dengan pronomina refleksif. Dalam kalimat koordinatif, FN yang terdapat pada klausa kedua yang mengacu orang atau benda (FN) klausa pertama, dapat dilesapkan apabila FN tersebut berfungsi sebagai subjek. Tetapi apabila FN pada klausa kedua tersebut 36

26 berfungsi sebagai O, maka FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh klausa kalimat kordinatif bahasa Inggris berikut ini. (8a) The man kissed the girl and he married her lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya (8b) The man kissed the girl and married her. lelaki itu mencium gadis itu dan menikahinya Kalimat (8a) walaupun berterima tetapi kehadiran he yang mengacu ke the man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap mubazir. Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (9b) di bawah ini tidak berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada klausa kedua. (9a) The man kissed the girl and the dog bit her lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (anjing itu) (9b) *The man kissed the grli and the dog bit lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit (Gee,1993 dalam Jufrizal, 2007 : 53-54) Peran Gramatikal Peran gramatikal (Dixon, 1994; Jufrizal, 2007) adalah peran-peran kasus atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas perilaku semantis. Dalam hal ini agen dan pasien adalah peran gramatikal yang utama, di samping peran lainnya yang mengikuti agen dan pasien, yaitu benefisieri, instrumental, dan lokatif. Peran gramatikal agen dan pasien disebut juga peran makro semantis ( semantic macrorole ). Peran itu disebut makro karena masing-masing mengemas jenis-jenis 37

27 argumen khusus. Dalam teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan aktor dan peran pasien disebut undergoer (penderita/ tempat jatuh perbuatan ). Argumen tunggal klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor dan juga undergoer. Sedangkan sistem gramatikal atau aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; dapat berupa S=A, S=P, Sp= P, atau yang lainnya. Sistem gramatikal atau persekutuan gramatikal yang diidentifikasi secara tipologis melahirkan simpulan tentang sistem bahasa secara tipologis,seperti bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya ( lihat Jufrizal, 2007 ). Dalam disertasi ini dipakai istilah sistem gramatikal untuk menyebut aliansi gramatikal tersebut Predikasi dan Struktur Argumen Kajian tentang predikasi dan struktur argumen suatu bahasa berhubungan dengan peran gramatikal bahasa tersebut. Pandangan linguistik tradisional menyebutkan bahwa klausa terdiri atas subjek apa yang dibicarakan dan predikat apa yang terjadi tentang sesuatu. Pandangan linguis mutakhir menyebutkan bahwa kalimat terdiri atas predikator dengan satu argumen atau lebih. Jadi kalimat dapat dirumuskan sebagai argumen predikator argumen. Dalam kajian tipologi, ada dua asumsi dasar tentang kalimat, yaitu : pertama, bahwa konsep struktur predikator dapat diperlakukan pada semua bahasa, dan kedua, bahwa kedua argumen : (i) berbeda dalam hal hubungan semantiknya dengan predikator dan (ii) keduanya berbeda satu sama lain melalui pemarkah gramatikal. Struktur klausa yang mempunyai dua argumen, salah satunya 38

28 diidentifikasi sebagai agen ( pelaku ) dan yang lainnya adalah pasien ( penderita ). Agen dan pasien yang dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa disebut peran gramatikal. Konsep relasi gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya. Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling penting dalam kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang mengikuti agen dan pasien adalah benefisiari, instrumental dan lokatif ( Palmer, 1994 : Comrie, 1989). Dalam dasar-dasar teori ilmu kebahasaan istilah predikasi setara dengan proposisi, dinyatakan bahwa : (a) di antara unsur-unsur yang membangun/ membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat ( predicate ); dan (b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Dalam penelitian ini predikasi dipakai untuk menyebut konstruksi dalam bentuk klausa ( kalimat sederhana ) yang terdiri atas predikat dan argumennya.. ( Lyons, 1987: ); Jufrizal 2007: 76).. Secara lintas bahasa wujud optimal sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements) di satu sisi, serta FN dan frasa adposisional (frasa berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain. Menurut Alsina ( 1996: 4-7 ) sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah klausa. Pelibat (partisipan) itulah yang disebut argumen predikat. Masing-masing predikat (verbal dan bukan verbal) mempunyai korespondensi (hubungan) logis dengan argumen-argumennya. Hubungan fungsifungsi gramatikal (subjek, objek, oblik, dsbnya) dengan argumen predikat bukanlah bersifat acak atau tak terduga. Apakah argumen itu diungkapkan sebagai 39

29 subjek, objek dan lainnya, sebagiannya ditentukan oleh semantis predikat. Setiap verba harus bersesuaian dengan argumennya. Keterikatan dan kaitan informasi yang menjadi argumen predikat dan predikat itu sendiri membentuk struktur, yang disebut struktur argumen. Struktur argumen juga merupakan informasi minimal predikat yang perlu untuk menurunkan kerangka sintaksisnya Menurut Manning (1996:35-36), pengertian struktur argumen yang diberikan Alsina (1996) lebih dilihat sebagai perwujudan semantis daripada sintaksis. Manning sendiri menempatkan persoalan struktur argumen sebagai perwujudan sintaksis. Menurutnya, struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dari gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang berbeda Baik Alsina (1996) dan ahli lain yang melihat struktur argumen sebagai hal-ihwal semantik, maupun Manning (1996) yang melihat struktur argumen sebagai perwujudan tataran sintaksis, sama-sama mempunyai dasar pijakan teoritis yang beralasan. Kedua cara pandang ini sebenarnya mempunyai titik temu, keduanya tidak bisa berjalan sendiri tanpa keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan antara hal-ihwal semantis dengan hal-ihwal sintaksis dalam struktur argumen juga dikemukakan. oleh Van Valin Jr dan La Polla (1999 :28) yang menyebutkan bahwa istilah argumen sebenarnya merujuk ke argumen semantis (argumen yang didasarkan atas sebab dan faktor semantis ), sementara argumen inti (core argument ) merupakan pengertian yang merujuk ke tataran sintaksis. Dalam penelitian ini, struktur argumen diihat secara sintaksis (gramatikal) dengan memperhatikan keterkaitannya sebagai wujud perihal semantis. Sebagai wujud bentuk predikat, secara lintas bahasa,oleh para ahli diperkenalkan istilah predikat sederhana (simple predicate) dan predikat 40

30 kompleks (complex predicate). Predikat kompleks adalah predikat dengan banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun lebih dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata ), yang masing-masingnya menyumbangkan bagian informasi yang biasanya dikaitkan dengan induk (head). Sebaliknya, predikat yang hanya terbentuk dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) yang menjadi induk (head) disebut sebagai predikat sederhana (Ackerman dan Webelhuth (1998) dalam Jufrizal,2007:78) Ciri dan sifat-perilaku predikat sederhana ataupun predikat kompleks pada bahasa-bahasa di dunia sangat ditentukan oleh gramatika dan tipologi bahasa yang bersangkutan. Sebagai gambaran, akan dikemukakan contoh predikat sederhana dan predikat kompleks bahasa Jerman ( Ackerman dan Webelhuth, 1998: ) dalam Jufrizal,2007: 79). Bahasa Jerman mempunyai bentuk predikat seperti an-rufen call up (Inggris); menelepon (Indonesia) dan kussen kiss (Inggris); mencium (Indonesia). Contoh (a) dan (b) berikut memakai dua predikat dalam klausa subordinatif. Karena kedua kalimat dalam kala kini (present tense), kedua predikat diungkapkan dengan kata tunggal secara morfologis. Predikat (b) terbentuk dari partikel an dan kata ruft (a) Weil die Ministerin ihren Mann kusst karena ART menteri POS3TG suami mencium karena menteri itu mencium suaminya (b) Weil die ministerin ihren mann an-ruft karena ART menteri POS3TG suami PAR-panggil karena menteri itu menelepon suaminya 41

31 Dalam bangun klausa induk (utama), kedua klausa di atas dapat diungkapkan menjadi (c) dan (d). (c) Die Ministerin kusst ihren mann ART menteri POS3TG suami mencium menteri itu mencium suaminya (d) Die ministerin ruft ihren mann an ART menteri panggil POS3TG suami PAR Menteri itu menelepon suaminya Dalam bahasa Inggris contoh (e) dan (f) dikatakan mempunyai predikat sederhana, sedangkan (g) dan (h) mempunyai predikat kompleks (lihat Williams dalam Alsina dkk. (ed.),1997: 13-15) (e) We go kami pergi (f) I believe saya percaya (g) I kicked over the vase saya menyepak jambangan (h) John put the planes together John menyusun pesawat-pesawat terbang itu Predikat (e) dan (f) hanya terdiri atas satu unsur gramatikal yang menjadi induk (single headed), yaitu go dan believe. Sementara itu, predikat pada (g) dan (h) terbentuk atas lebih dari satu unsur gramatikal sebagai induk (multi headed), yaitu kick over dan put together. 42

32 Selanjutnya mari perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris berikut (dikutip dari Alsina,1996: 4-5) ini : (i) the director placed the document in the drawer. (j) She defended the proposal. (k) The committee laughed. Pada contoh (i,j,k) berturut-turut predikatnya adalah placed, defended, dan laughed. Argumen verba placed adalah the director, the document dan in the drawer; verba defended mempunyai argumen she dan the proposal; verba laughed mempunyai argumen the committee. Jumlah dan wujud argumen-argumen itu ditentukan oleh semantik verba dan struktur sintaksis secara keseluruhannya. Hipotesis bahwa struktur argumen merupakan pertautan aspek semantis dan sintaksis berterima dalam banyak bahasa. Secara lintas bahasa wujud optimal dari sebuah klausa terdiri atas unsurunsur yang mempredikati ( predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati ( non predicating elements ) di satu sisi serta FN dan frasa adposisional ( frasa berpreposisi dan frasa berposposisi ) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain.bangun klausa optimal tersebut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Bangun optimal klausa (Van ValinJr dan La Polla, 2002 :25 ) Predikat + argumen Bukan argumen 43

33 Unsur yang mempredikati, biasanya verba dan bisa pula bukan verba; misalnya ajektiva, nomina. Pada bahasa Inggris, predikat bukan verbal menghendaki kopula be atau sejenis verba kopular. Dalam bahasa Rusia, kehadiran kopula tidak diperlukan pada klausa berpredikat bukan verbal. Dalam bahasa Indonesia, kopula pada klausa berpredikat bukan verbal bukan suatu keharusan. ( Van Valin Jr dan La Polla, 2002; ; Jufrizal,2007 : 76 ) a) John is a doctor ( bahasa Inggris ) John adalah seorang dokter john dokter b) Ivan vrac ( bahasa Rusia ) Ivan dokter c) Yahya (adalah ) dokter ( bahasa Indonesia ) Predikat membatasi unit sintaksis dalam struktut klausa, yang secara sintaksis merupakan inti (nukleus). Hubungan antara unit-unit semantis dan sintaksis yang disebut oleh Van Valin Jr dan La Polla (2002: 27) sebagai unit semantis yang mendasari unit-unit sintaksis struktur klausa dirangkum dalam tabel di bawah ini 44

34 Tabel 2 : Unsur-Unsur Semantis dan Unit Sintaksis (Van Valin Jr dan LaPolla (2002 : 27 ) Unsur-unsur semantis Predikat argumen dalam wujud semantis predikat Bukan argumen Predikat + argumen unit sintaksis inti (nucleus) argumen inti (core argument) periferi (periphery) inti (core) Predikat + argumen + bukan-argumen klausa (= core + periphery) Argumen inti adalah unsur sintaksis yang kehadirannya dalam suatu klausa diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi/posposisi ataupun konjungsi. Dia membeli baju di toko adalah klausa yang memiliki dua argumen inti. Argumen dia dan baju disebut argumen inti karena kehadirannya sangat diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi, postposisi maupun konjungsi. Namun di toko bukan argumen, karena kehadirannya bersifat mana suka (optional) dan memiliki pemarkah preposisi di Valensi dan Ketransitifan Verba Kajian tentang valensi dan ketransitifan terkait erat dengan pokok bahasan tentang predikasi dan struktur argumen. Yang tentu saja secara langsung bersangkut paut dengan peran dan relasi gramatikal ( yang menjadi judul penelitian ini ). Karena itu, dalam penelitian ini, kajian tentang valensi dan 45

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang / Masalah Penelitian Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD) tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1. Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang

FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1. Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1 Abstrak Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang e-mail: juf_ely@yahoo.com Dikotomi tipologis struktur gramatikal bahasa-bahasa

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sawardi (2004:1) menjelaskan bahwa teori kebahasaan memahami refleksif berdasarkan pola kalimat umumnya (agen melakukan sesuatu terhadap pasien).

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA Oleh F.X. Sawardi sawardi_fransiskus@mailcity.com 1. Pengantar Paper ini mencoba mengungkap celah-celah untuk meneropong masalah ergativitas bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian

Lebih terperinci

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA Suhandano Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana nomina ditata dalam sistem tata bahasa Indonesia. Pembahasan dilakukan

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan bahasa melalui perilaku struktural berdasarkan kekhasan bahasa tersebut. Pada

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa concord adalah aturan gramatikal

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa concord adalah aturan gramatikal BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa concord adalah aturan gramatikal yang wajib diketahui dan dipenuhi yang terdapat pada bahasa Arab dan bahasa Inggris atau bahasa-bahasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat bahasa Sunda. Dalam pandangan penulis, kelas verba merupakan elemen utama pembentuk keterkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 F. X. Sawardi Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret saward2012@gmail.com Abstrak Artikel ini membicarakan perilaku tipe

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA

SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA Anstrak SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA I Made Netra, Petrus Pita, I Wayan Mandra, Paulus Subiyanto Universitas Udayana, Univeritas Flores, IHDN, PNB Artikel ini membahas tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27

BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republica Democratica de Timor Leste yang (selanjutnya disebut RDTL) dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27 yang bernama Timor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Masyarakat awam, dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlalu peduli dengan berbagai fenomena bahasa beserta kerumitan lain yang menyertainya. Kebanyakan

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN}

MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN} MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN} I Nyoman Sedeng nyoman_sedeng@hotmail.com Universitas Udayana 1. PENDAHULUAN Bahasa Indonesia (BI)

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Ada tiga kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Ketiga kajian tersebut adalah makalah berjudul Teori Pengikatan

Lebih terperinci

BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS

BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS Sintaksis adalah bidang tataran linguistic yang secara tradisional disebut tata bahasa atau gramatika. Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Relasi gramatikal BMk kajian tipologi sintaksis dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Analisis data pada penelitian ini meliputi : (i) perilaku argumen pada perubahan struktur klausa bahasa Indonesia, (ii) pelesapan argumen pada penggabungan klausa bahasa Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1. Abstract

STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1. Abstract STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1 Jufrizal FBSS Universitas Negeri Padang Rusdi FBSS Universitas Negeri Padang Lely Refnita (FKIP

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian bidang sintaksis yang pernah dilakukan terhadap BM masih belum dijamah atau diteliti secara lebih luas dan

Lebih terperinci

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI - 13010113140096 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 1. INTISARI Semiotika merupakan teori tentang sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominalisasi sebagai salah satu fenomena kebahasaan, mesti mendapatkan perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai peran yang

Lebih terperinci

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Prof.Madya Dr. Zaitul Azma Binti Zainon Hamzah Jabatan Bahasa Melayu Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia 43400

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian yang berjudul Bentuk Fungsi Makna Afiks men- dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar disusun oleh Rois Sunanto NIM 9811650054 (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang struktur kata dan cara pembentukan kata (Harimurti Kridalaksana, 2007:59). Pembentukan kata

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

Bahasa sebagai Sistem. Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif

Bahasa sebagai Sistem. Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Bahasa sebagai Sistem Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Bahasa sebagai sebuah sistem Bahasa terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM :

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : 1402408239 BAB 6 SINTAKSIS Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan kata tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologi sintaksis berarti

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep

Lebih terperinci

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i F.X. Sawardi FIB Universitas Sebelas Maret sawardi2012@gmail.com Diterima 14 Januari 2018/Disetujui 27 Maret 2018 Abtract This paper is based on the

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS SINTAKSIS Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. A. STRUKTUR SINTAKSIS Untuk memahami struktur sintaksis, terlebih dahulu kita harus Mengetahui fungsi,

Lebih terperinci

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE 4.1 Pengantar Bagian ini akan membicarakan analisis unsur-unsur bahasa Inggris yang masuk ke dalam campur kode dan membahas hasilnya. Analisis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Seperti yang telah diungkapkan dalam latar belakang bahwa penelitian terhadap BSDW khususnya yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu penelitian, maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini dijadikan pijakan dalam

Lebih terperinci

Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba. Asridayani

Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba. Asridayani ISSN: 2580-0728 http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/krinok/index Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba Asridayani Faculty of Language, English Department University

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini diwujudkan dalam tipe-tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti.

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. Pertama, klasifikasi proposisi menurut hal yang menyungguhkan atau mengingkari kemungkinan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan Kajian tentang morfologi bahasa khususnya bahasa Melayu Tamiang masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli bahasa. Penulis menggunakan beberapa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Tesis ini menguraikan analisis ciri semantis, konstruksi gramatikal, makna

BAB VI PENUTUP. Tesis ini menguraikan analisis ciri semantis, konstruksi gramatikal, makna 190 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis ciri semantis, konstruksi gramatikal, makna spasial dan makna perluasan, serta makna prototipe dan jejaring semantis verba LOOK. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lainnya, di samping itu bahasa dapat menjadi identitas bagi penuturnya.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan

BAB V PENUTUP. ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan BAB V PENUTUP Pada bagian ini dipaparkan simpulan dan saran sebagai bagian akhir dalam penelitian ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan analisis data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga perkembangan bahasa Indonesia saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008:143). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta

BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara umum maupun khusus. Penyelidikan dan penyidikan dalam linguistik memiliki tujuan untuk menguak dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: analisis kontrastif, kalimat aktif, kalimat pasif

ABSTRAK. Kata Kunci: analisis kontrastif, kalimat aktif, kalimat pasif ABSTRAK ANALISIS KONTRASTIF POLA KALIMAT AKTIF DAN KALIMAT PASIF BAHASA ARAB DENGAN BAHASA INDONESIA SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBUATAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN BAHASA Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, 654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN

VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN 1412-2596 Berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor: 66b/DIKTI/Kep/2011, tanggal 9 September 2011 tentang Hasil Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah, LITERA dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

5 Universitas Indonesia

5 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu penjelasan tentang teori Lexical Functional Grammar (subbab 2.1) dan penjelasan tentang struktur kalimat dalam bahasa Indonesia (subbab

Lebih terperinci

BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN

BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN Oleh: Jatmika Nurhadi (060801) Dadang Baharudin Yusup (060525) DAFTAR ISI 1. STRUKTUR BATIN DAN STRUKTUR LAHIR 2. PROPOSISI 3. KONSTITUEN SEBAGAI REALITA PSIKOLOGIS 4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara populer orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,

Lebih terperinci

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd KOMPOSISI BERUNSUR ANGGOTA TUBUH DALAM NOVEL-NOVEL KARYA ANDREA HIRATA Sarah Sahidah Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan hubungan maknamakna gramatikal leksem anggota tubuh yang

Lebih terperinci

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis Halaman 90 KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Mulyadi Fakultas Sastra Abstract This article discusses behaviour of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By

Lebih terperinci

TATARAN LINGUISTIK (3):

TATARAN LINGUISTIK (3): TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS 6(0) Sebelumnya kita membahas istilah morfosintaksis. morfosintaksis adalah gabungan kata dari morfologi dan sintaksis. morfologi pengertiannya membicarakan sruktur internal

Lebih terperinci

RELASI DAN PERAN GRAMATIKAL BAHASA PAKPAK DAIRI : KAJIAN TIPOLOGI

RELASI DAN PERAN GRAMATIKAL BAHASA PAKPAK DAIRI : KAJIAN TIPOLOGI RELASI DAN PERAN GRAMATIKAL BAHASA PAKPAK DAIRI : KAJIAN TIPOLOGI IDA BASARIA 078107004 SEKOLAH PASCASARJANA MEDAN 2011 Judul Disertasi : Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi : Kajian Tipologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dalam komunikasi antar manusia, yakni dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS

TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS I MADE BUDIANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi dengan sesamanya memerlukan sarana untuk menyampaikan kehendaknya. Salah satu sarana komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci