BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara umum maupun khusus. Penyelidikan dan penyidikan dalam linguistik memiliki tujuan untuk menguak dan menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta bahasalah yang nantinya akan didapatkan (Kridalaksana, 2002: vii). Selanjutnya, sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa, garapan linguistik dibedakan atas dua pembagian besar yakni mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik merupakan bidang linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa tanpa menghubungkannya dengan aspek-aspek yang terdapat di luar bahasa. Makrolinguistik sendiri mempelajari penerapan kajian bahasa terhadap hal-hal yang ada di luar bahasa. Biasanya, makrolinguistik terkait dengan disiplin ilmu lain yang masih berhubungan dengan bahasa dalam praktiknya. Penelitian ini merupakan penelitian yang bernaung di bawah bidang garapan mikrolinguistik subdisiplin linguistik deskriptif. Linguistik deskriptif terdiri atas beberapa tataran yang menjadi kerangka untuk membedah aspek kebahasaan dengan tujuan mengurai unsur dan struktur internalnya. Tataran tersebut meliputi fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, semantik, morfosintaksis, dan leksikologi (Soeparno, 2013: 26). Penelitian ini akan berfokus pada salah satu tataran yang dimaksud, yakni tataran morfologi. Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang khusus berbicara mengenai pembentukan kata ( word formation). Agar lebih jelas, Chaer (2008: 3) menguraikan secara etimologis bahwa kata morfologi terbentuk dari gabungan kata morf yang berarti bentuk dengan kata logi yang berarti ilmu. Dengan demikian, penggabungan kedua anggitan 1

2 2 tersebut menyuratkan konsep morfologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari bentuk. Dengan merujuk kepada konsep tersebut, morfologi sejatinya benar-benar berfokus pada kajian mengenai seluk-beluk bentuk kata, bagaimana kata itu dibentuk, juga bagaimana mengkaidahkan struktur internal yang ada di dalamnya. Istilah pembentukan kata dalam morfologi tentunya identik dengan proses morfologis -sebagian linguis menyebutnya dengan proses morfemis- yang terbagi menjadi beberapa jenis proses atau alat pembentuk. Proses morfologis merupakan proses kombinasi morfem dengan morfem sehingga menghasilkan bentuk jadian. Proses-proses yang dimaksud berbeda-beda pembagiannya oleh masing-masing ahli linguistik di Indonesia. Sebut saja Kridalaksana (2009: 12) yang membagi proses morfologis menjadi enam macam yakni (1) derivasi zero, (2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan) yang terbagi lagi menjadi pemenggalan, kontraksi, akronimi, dan penyingkatan, (5) komposisi (perpaduan), serta (6) derivasi balik (bandingkan: Samsuri, 1991: 190; Verhaar, 2010: 98; Chaer, 2008: 27; Parera, 2010: 18; Darwis, 2012: 15; dan Subroto, 2012: 21). Namun, yang patut dijadikan sorotan adalah manakah dari kesemua proses yang telah terbagi tersebut yang benar-benar dapat disebut sebagai pembentukan kata. Pertanyaan tersebut muncul disebabkan oleh istilah pembentukan kata hanya berlaku jika proses-proses tersebut menghasilkan kata-kata baru (lebih tepatnya leksem baru) dari sebuah dasar (leksem). Artinya, identitas leksikal leksem yang mengalami proses morfologis itu harus mengalami perubahan sehingga menjadi leksem yang berlainan. Proses inilah yang disebut dengan proses derivasional dalam morfologi. Dengan demikian, pengkategorian suatu proses morfologis dalam suatu bahasa, apakah proses tersebut merupakan pembentukan kata atau bukan menjadi penting dan sudah sepantasnya dilakukan. Sejalan dengan hal tersebut, pembagian morfologi sebenarnya

3 3 dipecah menjadi dua cabang utama yakni morfologi infleksional dan morfologi yang menyuratkan pembentukan kata ( word formation) yang terbagi atas derivasi dan komposisi (periksa Matthews, 1974: 38). Di atas disinggung tentang istilah identitas leksikal. Identitas leksikal yang dimaksud di sini sebagaimana yang disebutkan oleh Verhaar (2010: 118) yaitu identitas berupa kategori kelas kata dan maknanya. Perubahan identitas leksikal yang menyuratkan proses derivasional menyaratkan adanya perubahan kategori kelas kata sekaligus maknanya. Sebagai contoh, bentuk cinta yang digabungkan dengan konfiks {per-/-an} menjadi percintaan. Kata cinta yang sebelumnya berkategori kelas kata adjektiva (selanjutnya disingkat A) berubah menjadi percintaan yang berkelas kata nomina (selanjutnya disingkat N). Selanjutnya, ditilik dari segi makna, kata cinta yang tadinya bermakna suka sekali; sayang benar berubah menjadi percintaan yang bermakna perihal berkasih-kasihan antara laki-laki dan perempuan (KBBI Edisi Ketiga, 2005). Fenomena yang demikian menunjukkan perubahan identitas leksikal yang dapat digolongkan sebagai proses pembentukan kata atau disebut dengan proses derivasional. Proses yang derivasional ada juga yang tidak mensyaratkan perubahan kategori kelas kata. Yang terpenting, fitur-fitur maknanya mengalami perubahan. Misalkan, kata camat yang berkategori N berubah menjadi kecamatan yang sama-sama berkategori N. Bentukan tersebut tetap digolongkan sebagai pembentukan kata (derivas i) dikarenakan adanya perubahan makna jika diuji dengan tes penguraian fitur-fitur semantik oleh Subroto (2012: 11). Kata camat yang bermakna kepala pemerintahan yang mengepalai kecamatan merupakan N yang merujuk kepada orang yang bernyawa ( animate) sedangkan kata kecamatan yang juga berkategori N bermakna daerah bagian yang dikepalai seorang camat merupakan N yang merujuk pada tempat atau wilayah yang tak bernyawa (inanimate).

4 4 Fenomena lain yang tergolong derivasional dalam morfologi adalah fenomena transposisi (konversi). Katamba (1993: 54) menyebut konversi sebagai bagian dari pembentukan kata dengan tanpa adanya perubahan bentuk kata dari sebuah dasar. Artinya, tanpa melalui penambahan apapun terhadap sebuah dasar, kelas katanya menjadi berubah (bandingkan Kridalaksana, 2008: 247). Sebagai contoh peristiwa konversi, misalkan morfem dasar gergaji. Morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata sekaligus yakni N sekaligus V. Gergaji sebagai N dapat dilihat dalam kalimat Bonong membelah potongan kayu itu menggunakan gergaji. Namun, dalam kalimat Gergaji kayu itu Bonong! (imperatif), gergaji merupakan V. Fenomena konversi ini cukup produktif dalam bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI). Anggitan derivasi pada uraian sebelumnya selalu menyinggung tentang leksem. Hal tersebut memang beralasan karena paradigma leksem merupakan kata kunci penentuan apakah sebuah proses morfologis itu merupakan derivasi ataukah infleksi. Jika perubahan tersebut menyangkut berubahnya leksem menjadi leksem yang berlainan, perubahan itu disebut dengan derivasi. Pedoman yang menggunakan paradigma leksem inilah yang akan dianut dalam penelitian ini. Pembahasan morfologi yang menggunakan perspektif derivasi telah banyak dilakukan oleh ahli linguistik (linguis). Utamanya para linguis barat yang menjadikan bahasa -bahasa bertipologi fleksi sebagai objek kajiannya. Subroto (2012: 3) pada bagian pendahuluan bukunya menyebutkan bahwa istilah derivasi memang lebih akrab digunakan oleh para linguis yang menjadikan bahasa Yunani dan Indo-Eropa sebagai bahan kajiannya. Linguis Indonesia yang menjadikan BI sebagai bahan kajian masih relatif jarang menggunakan perspektif derivasi dalam tulisannya.

5 5 Jika dicermati dengan saksama, hanya ada beberapa linguis Indonesia yang telah memerikan kajian morfologi dengan perspektif derivasi dalam pembahasan bukunya. Para ahli yang dimaksud di antaranya Simatupang (1983), Muhadjir (1984), Samsuri (1991), Ba dulu (2005), Chaer (2008), Kridalaksana (2009), Verhaar (2010), Parera (2010), Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Beberapa di antara linguis tersebut, Verhaar dan Subroto merupakan linguis yang relatif komprehensif dalam memerikan derivasi baik secara teoretis maupun praktis dengan contoh-contoh yang memadai. Ahli lainnya hanya menyinggung sekilas dalam bagian bukunya. Penyebutan beberapa linguis tersebut dalam kesempatan ini hanya bermaksud untuk menunjukkan bahwa kajian morfologi berdasarkan perspektif derivasi masih relatif sedikit dan belum menyeluruh terkait dengan BI, terlebih lagi bahasa daerah. Hal ini pulalah yang mendorong penulis untuk menjadikan bahasa daerah sebagai objek kajian dalam hal ini bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar (selanjutnya disingkat BSDSB). BSDSB adalah bahasa yang digunakan di daerah Kabupaten Sumbawa di pulau bagian timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dialek Sumbawa Besar merupakan salah satu dialek yang dianggap sebagai dialek standar dibanding dialek lainnya. Adapun dialek-dialek lain yang dimaksud diantaranya dialek Tongo, Dialek Jereweh, dan dialek Taliwang sehingga secara keseluruhan terdapat empat dialek ( periksa Mahsun, 2007:48). Pemilihan BSDSB sebagai objek penelitian dalam kesempatan ini dikarenakan relatif langkanya pembahasan derivasi dalam dialek tersebut. Penelitian derivasi dalam BSDSB ini sengaja dibatasi hanya dalam lingkup afiksasi ditambah dengan fenomena konversi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa afiksasi merupakan proses yang paling produktif dalam kaitannya dengan pembentukan kata dalam proses morfologis ( lihat Bauer, 1988: 19). Afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks

6 6 pada sebuah morfem dasar ataupun bentuk dasar. Oleh karena itu, pembahasan derivasi dalam penelitian ini selalu berhubungan dengan afiks-afiks BSDSB sebagai bahan dasarnya. Selain hanya menitikberatkan kajian pada lingkup afiksasi, penelitian ini juga bermaksud memfokuskan lingkup kerjanya dengan hanya membahas kelas verba (selanjutnya disingkat V). Pemilihan V sebagai bahan utama dan batasan kajian disebabkan oleh sifat V itu sendiri. Sebagai kelas kata yang terbiasa menduduki fungsi predikat dalam konstruksi sintaksis, V merupakan kategori yang menentukan keberadaan kategori lain yang mendampinginya. Sifat V yang demikian dapat ditelusuri dengan melihat perilaku sintaksis dan semantisnya. Titik inilah yang sedikit membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Selain menguraikan ihwal derivasi, penelitian ini juga sekaligus menghasilkan uraian tentang makna semantis V dalam konstruksi kalimat BSDSB. Proses morfologis dalam BSDSB hanya melibatkan jenis morfem afiks yang berupa prefiks dan infiks sedangkan sufiks tidak ditemukan (kecuali sufiks persona). Sebagai implikasi dari kenyataan tersebut, perpaduan afiks dalam BSDSB hanya memungkinkan terbentuknya gabungan afiks dan konfiks (hanya pada awal morfem dasar). Adapun bentuk afiks-afiks yang dimaksud berupa prefiks seperti {ba-}, {N-}, {kan-}, {san-}, {ran-}, {pa-}, {pan-}, {sa-}, dan {ka-}; berupa infiks yakni {-en-}; serta berupa gabungan afiks seperti {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}. Selain itu, ada juga prefiks yang berupa pronomina persona seperi {ku-}, {tu-}, dan {mu-} dan prefiks yang menyuratkan kala (tenses) seperti {ya-} dan {ka-}. Karena hanya membahas V, afiks-afiks yang menjadi bahan kajian hanya afiks BSDSB yang berfungsi membentuk V. Afiks-afiks BSDSB tersebut seperti {ba-}, {N-}, {san-}, dan {kan-}. Selanjutnya, karena hanya membahas pembentukan kata yang berhubungan dengan V saja, pembentukan kata yang tergolong derivasi dalam penelitian ini

7 7 hanya membahas pembentukan kata menjadi V dari bentuk dasar berkelas kata lainnya. Kelas kata lain yang dimaksud yakni berupa nomina (selanjutnya disingkat N), ad jektiva (selanjutnya disingkat A), V, numeralia (selanjutnya disingkat Num), pronomina (selanjutnya disingkat Pron), dan adverbial (selanjutnya disingkat Adv). Perubahan dari bentuk dasar N, A, Num, Pron, dan Adv menjadi V merupakan perubahan yang mengubah kategori kelas kata. Sementara perubahan dari V menjadi V sendiri merupakan perubahan yang mempertahankan kelas kata. Sebagaimana dalam BI, BSDSB yang juga tergolong aglutinatif hampir menyuratkan fenomena yang sama dalam hal pembentukan kata (derivasi). Beberapa fenomena derivasi yang dapat ditemukan dalam BSDSB sangatlah banyak. Di antaranya, bentuk N yang berubah menjadi V dengan pelekatan prefiks {ba-} dalam {ba-} + tonang (N) kalung batonang (V) berkalung. Ada juga perubahan dengan melibatkan kategori kelas kata yang sama seperti tari (V) tunggu batari (V) melakukan kegiatan menunggu dan masih banyak lagi variasi pembentukan kata yang melibatkan kategori kelas kata dan afiks juga kombinasi afiks lainnya yang tergolong derivatif. Demikian pula jenis derivasi yang bersifat konversi menjadi tambahan pembahasan data yang menarik. Konversi dalam BSDSB juga melibatkan beberapa morfem dasar yang sifatnya sama dengan BI. Artinya, morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata sekaligus dan tergolong cukup produktif. Beberapa data konversi yang dimaksud dapat berkelas kata N sekaligus V seperti morfem dasar tutir cerita, ereng aliran kecil sungai, dan dompas tombak. Kenyataan seperti ini juga dapat ditemukan pada bentuk dasar dengan kelas kata yang lainnya seperti kelas kata A. Seperti disebutkan sebelumnya, selain berfokus pada pembahasan mengenai derivasi dalam BSDSB, tulisan ini juga bermaksud menerangkan berbagai jenis makna yang

8 8 dikandung oleh V dalam BSDSB. Pembahasan mengenai peran dan makna V dalam uraian mengenai derivasi dalam tulisan ini dimaksudkan untuk dua hal. Pertama, penguraian peran dan makna sangat membantu dalam menguraikan perubahan identitas leksikal secara komprehensif. Kedua, pembahasan mengenai makna V tidak pernah dilakukan oleh peneliti BSDSB terdahulu. Dengan maksud tersebut, penelitian ini hadir untuk menambah kekayaan linguistik BSDSB utamanya bidang morfologi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian mengenai derivasi termasuk jenis makna V dalam BSDSB menjadi layak dan harus dilakukan secara komprehensif. Pengkategorian mana yang termasuk pembentukan kata yang sebenarnya belum terlalu jelas dalam BSDSB. Hal inilah yang mendorong tulisan ini hadir ke hadapan sidang pembaca. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini bermaksud untuk mengkategorikan proses morfologis pada level afiksasi. Pengkategorian yang dimaksud yakni manakah dari proses tersebut yang murni sebagai fenomena pembentukan kata. Dengan mencermati uraian pada latar belakang serta maksud penelitian, penelitian ini merumuskan tiga permasalahan besar yang akan diuraikan. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. a. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB? b. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?

9 9 c. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB? d. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenisjenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB? 1.3 Tujuan Penelitian Sebagaimana masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkategorikan proses morfologis dalam BSDSB menggunakan perspektif derivasi. Dengan demikian, tujuan dimaksud adalah sebagai berikut. a. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB. b. Untuk mendeskripsikan proses proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenisjenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB. c. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB. d. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.

10 Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dalam rangka mencari fakta-fakta baru tentang bahasa yang diteliti maupun manfaat secara praktis di luar linguistik yang berhubungan dengan bahasa dalam lingkungan bermasyarakat Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah fakta-fakta baru dalam sistem BSDSB yang sebelumnya memang telah banyak diteliti oleh para ahli. Penelitian ini akan dapat menambah uraian baru mengenai morfologi menggunakan perspektif derivasi yang dihubungkan dengan sintaksis dan semantik dalam BSDSB. Terutama pembahasan dari aspek semantik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tambahan itu dimaksudkan bagi perkembangan linguistik di Indonesia pada umumnya dan secara spesifik memperkaya khazanah linguistik BSDSB pada khususnya. Sebagai harapan tindak lanjut, data dan hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperbarui kamus bahasa Sumbawa yang masih memerlukan masukan yang mendalam dari berbagai sudut pandang linguistik. Di sisi yang lain, penelitian ini juga menyinggung perbandingan afiks bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Perbedaan-perbedaan yang disajikan nantinya dapat membantu para peneliti berikutnya untuk mengungkap fenomena perubahan bahasa-bahasa daerah secara kualitatif. Hal ini mengingat adanya sebuah keteraturan perubahan yang diperlihatkan oleh bahasa-bahasa tersebut berdasarkan letak geografisnya Manfaat Praktis Pada praksisnya, seluruh penelitian diharapkan dapat berguna selain untuk pengembangan teori juga untuk elemen-elemen yang berhubungan dengannya. Elemen-

11 11 elemen tersebut merupakan hal-hal yang berhubungan dengan hasil penelitian seperti masyarakat BSDSB maupun masyarakat lain yang tertarik untuk mempelajari BSDSB. Sejalan dengan itu, penelitian ini semoga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran mengenai struktur BSDSB khususnya pada tataran morfologi. Beberapa hal yang diuraikan dalam penelitian ini akan dapat membantu para pembelajar bahasa untuk lebih memengerti konsep morfologi dalam BSDSB. Di sisi lain, bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa juga dapat dilestarikan melalui perhatian dalam bentuk penelitian. Dengan demikian, penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian fungsi tersebut. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian yang menjadikan bahasa Sumbawa sebagai objek kajiannya telah banyak dilakukan. Hampir semua dialek yang terdapat dalam bahasa ini pernah dijamah oleh para peneliti yang mumpuni di bidangnya. Beberapa penelitian yang penting, utamanya mengenai BSDSB lebih banyak berfokus pada kajian struktur. Struktur yang dimaksud yakni pada tataran morfologi dan sintaksis. Penelitian-penelitian yang disebutkan di sini hanya yang paling relevan dan berhubungan dengan kajian derivasi yang menjadi variabel dalam penelitian ini Penelitian Sumarsono (1986) Berjudul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Sumbawa Pembahasan morfologi yang dilakukan oleh Sumarsono pada kesempatan ini cukup memuaskan. Sumarsono telah mendeskripsikan berbagai jenis proses morfologis yang meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan sedikit mengenai proses kontraksi dalam BSDSB. Pada level afiksasi, Sumarsono telah menyebutkan berbagai jenis afiks. Afiks-afiks yang disebutkan oleh Sumarsono meliputi awalan, imbuhan pemanis, penanda kala, serta

12 12 imbuhan persona. Secara lengkap dan terstruktur, Sumarsono juga telah mendeskripsikan fungsi dan makna afiks secara keseluruhan dalam BSDSB. Sayangnya, penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1986) masih terdapat kekurangan. Belum terdapatnya pemisahan sekaligus pengelompokkan afiks berdasarkan korelasi bentuk dan maknanya menjadi koreksi oleh Mahsun (1990) dalam penelitiannya. Penelitian ini juga tidak menyebutkan beberapa kombinasi afiks yang dimungkinkan terjadi dalam BSDSB seperti konfiks dan gabungan afiks. Proses konversi yang menarik untuk diperbincangkan juga tidak terdapat dalam penelitian ini. Kelemahan lainnya dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono adalah tidak tepatnya penentuan ketransitifan untuk beberapa jenis afiks. Misalkan, prefiks {N-} yang dianggap sebagai pembentuk V transitif ketika bergabung dengan morfem dasar V. Padahal jika dicermati, prefiks tersebut membentuk V intransitif ketika berada dalam konstruksi kalimat. Sebagai contoh ketika {N-} bergabung dengan dasar tanam tanam nanam melakukan kegiatan menanam. Sebenarnya prefiks tersebut merupakan prefiks yang membentuk V intransitif. Hal ini terbukti dengan penutur BSDSB yang biasa mengucapkan kalimat Kami muntu nanam Kami sedang melakukan kegiatan menanam (sesuatu). Di sisi lain, penutur BSDSB tidak menerima kalimat *Kami muntu tanam Kami sedang tanam. Morfem dasar tanam itu sendiri merupakan V yang transitif baik secara formal maupun semantis. Dalam hal ini, tesis ini sepakat dengan pendapat Mahsun (1990) yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk seperti itu secara formal adalah bentuk yang intransitif dan hanya secara semantis berwatak transitif.

13 Penelitian Seken dkk. (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa Sebagaimana judulnya, penelitian yang dilakukan oleh Seken dkk. (1990) ini cukup fokus dalam memerikan seluruh kaidah morfologi dalam BSDSB. Namun, secara sekilas, penjelasan mengenai morfologi hampir sama dengan yang telah dilakukan oleh Sumarsono (1986). Perbedaannya hanya berupa penambahan di sana-sini. Perbedaan tersebut seperti adanya pembahasan peristiwa morfofonemik yang sama sekali luput dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1986). Namun, kekurangan-kekurangan yang terjadi masih sama sebagaimana yang dilakukan oleh Sumarsono. Menariknya, penelitian Seken dkk. ini telah menyinggung derivasi pada salah satu sub-babnya. Namun, fenomena derivasi yang disampaikan belum komprehensif dan jelas. Seken dkk (1990) hanya menyebut peristiwa derivasi sebagai peristiwa alih fungsi atau alih jenis sedangkan infleksi adalah kebalikannya. Penjelasan yang demikian tentu belum dapat memuaskan pembaca dalam memengerti ihwal derivasi. Padahal, peristiwa derivasi tidak dapat diindikasikan hanya dengan melihat perubahan fungsi dan jenis semata. Ada banyak indikator dalam penentuan apakah sebuah proses dikatakan derivasi atau infleksi. Selain itu, fenomena konversi juga tidak disinggung dalam penelitian ini. Kekurangan dalam penelitian ini adalah penjelasan ketransitifan bentuk turunan yang dihasilkan melalui pelekatan prefiks tertentu yang relatif salah. Hal ini sama dengan ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh Soemarsono sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh Seken dkk. yang menguraikan bentuk turunan BSDSB hanya pada lingkup morfologis tanpa menghubungkannya dengan sintaksis. Selain itu, Seken dkk. juga menentukan ketransitifan sebuah prefiks menggunakan padanan makna dalam BI. Hal semacam ini tidak bermanfaat apa-apa dalam menguraikan fakta bahasa yang diteliti.

14 Penelitian Mahsun (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa Dialek Jereweh Penelitian Mahsun (1990) ini menguraikan proses morfologis pada level afiksasi dan reduplikasi sedangkan komposisi tidak dimasukkan dengan alasan pemfokusan kajian. Pada lever afiksasi, Mahsun telah menjawab sekaligus mengoreksi kekurangan penelitian sebelumnya berupa pemisahan dan pengelompokkan beberapa afiks berdasarkan korelasi bentuk dan makna. Hal ini dilakukan Mahsun dengan alasan bahwa bentuk dan makna merupakan dua komponen yang mampu menjelaskan perangai morfem dalam BSDJ. Konsep pengelompokan dan pemisahan itulah yang juga digunakan dalam penelitian ini. Seperti disebutkan di atas, penelitian ini menjadikan dialek Jereweh sebagai objek pembahasannya. Berbeda dengan tesis ini yang menjadikan BSDSB sebagai bahan pembahasannya. Terkait hal tersebut, Mahsun telah memaparkan bahwa perbedaan yang terlihat antara BSDSB dengan BSDJ sebenarnya tidak terlalu jauh. Perbedaannya yang disebut Mahsun hanya pada bidang leksikal (kosakata) dan pada bagian gramatika. Perbedaan yang tersurat seperti pada afiks yang memarkahi makna pasif dan pemarkah posesif pada konstruksi yang genetif. Pemarkah pasif pada BSDJ disebutkan Mahsun berupa prefiks {i-} sedangkan pada BSDSB berupa prefiks {ya-}. Pemarkah posesif dalam BSDJ menggunakan satuan lingual {N-} yang hanya muncul pada konstruksi genetif. Pemarkah posesif yang seperti ini tidak terdapat dalam BSDSB. Meskipun Mahsun (1990) telah menyatakan bahwa perbedaan yang tersurat antara BSDSB dengan BSDJ tidak terlalu jauh, beberapa hal yang juga penting ternyata menjadi luput dalam pembahasannya. Beberapa hal tersebut seperti afiks {ma-}, serta afiks {sa-} yang hanya dimaknakan sebagai afiks imperatif (padahal dalam BSDSB sifat afiks ini bukan hanya imperative dalam BSDSB). Jika memang hal tersebut tidak terdapat dalam BSDJ, harusnya Mahsun telah menyebutkannya. Sementara, Mahsun hanya menyebut dua hal

15 15 sebagaimana disebut di atas. Selain itu, penentuan morfem beserta alomorfnya antara BSDSB dan BSDJ juga menyuratkan perbedaan. Sejalan dengan hal tersebut, tesis ini akan berusaha menguraikan secara lengkap ihwal V yang ada dalam BSDSB dengan perspektif derivasi. Kemudian, terkait dengan pembahasan derivasi, Mahsun secara implisit telah membahas proses pembentukan kata serta melibatkan beberapa kategori kelas kata yang terdapat dalam BSDJ. Namun, pembagian proses pembentukan kata dengan perspektif derivasi tidak disebutkan dalam penelitian ini. Dalam pada itu, peristiwa konversi yang juga menarik juga tidak terdapat secara komprehensif dalam penelitian tersebut. Mahsun hanya mencontohkan peristiwa konversi antara bentuk dasar yang berkelas kata N dan V saja. Sementara bentuk dasar dengan kelas kata yang lain belum dibahas. Dengan demikian, beberapa kekurangan yang terjadi berusaha disempurnakan dalam tesis ini. Termasuk pula penambahan uraian dari sudut pandang sintaksis dan semantis yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya Penelitian Kasman (2002) Berjudul Morfologi dan Morfofonemik Bahasa Sumbawa Dialek Tongo Penelitian ini menjadikan salah dialek Tongo sebagai objek kajiannya. Beberapa sistem afiks dalam dialek ini hampir mirip dengan sistem afiks yang ada pada dialek Jereweh yang diteliti oleh Mahsun. Uraian mengenai derivasi juga telah dibahas dalam penelitian ini. Sayangnya, pembahasan dilakukan dengan data yang sifatnya mewakili dan bertumpu pada contoh proses semata.

16 Penelitian Ermanto (2008) Berjudul Derivasi dan Infleksi Verba Bahasa Indonesia Penelitian ini merupakan sebuah disertasi yang membahas derivasi dan infleksi V dalam BI. Derivasi dan infleksi V yang menjadi variabel penelitian tercakup dalam kajian morfologi pada dua tataran yaitu tataran afiksasi, konversi, dan reduplikasi. Proses derivasi pada kedua tataran tersebut mengambil bentuk dasar yang berkelas kata N, A, dan V. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ermanto ini sangat komprehensif dalam memerikan proses derivasional sekaligus uraian mengenai sifat semantis V dalam BI. Di sisi yang lain, tesis ini hanya berfokus membahas proses derivasi V pada tataran afiksasi dan konversi saja tanpa menguraikan tataran reduplikasi dan masalah infleksi. Jika penelitian Ermanto meneliti derivasi pembentuk V dalam BI dari bentuk dasar berupa N, A, dan V saja, tesis ini mencoba membahas seluruh kemungkinan kelas kata yang membentuk V seperti N, A, V, Num, dan Adv. Kemudian, terkait dengan objek penelitian, penelitian ini menggunakan BSDSB sebagai objeknya. Dengan demikian, perbedaan yang jauh dapat digariskan. Namun, prinsip derivasi yang diuraikan oleh Ermanto dalam disertasinya akan dianut dalam penelitian ini. Dengan memperhatikan seluruh uraian pada tinjauan pustaka, tesis ini sesungguhnya berusaha untuk menjawab beberapa kekurangan yang terdapat dalam penelitian sebelumnya yang relevan. Kekurangan itu utamanya belum dikategorikannya proses morfologis dalam BSDSB menggunakan perspektif derivasi. Walaupun hanya berfokus pada verba, penelitian ini dirasa mampu menjawab berbagai kekurangan tersebut seperti belum adanya pembahasan mengenai fenomena konversi dan belum adanya uraian morfologi BSDSB yang dibumbui dengan perspektif sintaksis dan semantis. Termasuk juga penentuan morfem dan alomorf masing-masing afiks pembentuk V dalam BSDSB yang agak berbeda dengan penelitian

17 17 sebelumnya. Beberapa data yang relatif baru juga disertakan dalam penelitian ini. Data-data baru tersebut ternyata luput dari cakupan penelitian sebelumnya. 1.6 Landasan Teori Sebagai ilmu empiris, linguistik memiliki teori dan metode tersendiri dalam proses penelitiannya agar sesuatu yang dihasilkan dalam rangka mengungkap fakta-fakta kebahasaan dapat dipertanggungjawabkan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini seharusnya relevan dengan beberapa variabel yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam rumusan masalah penelitian. Beberapa hal yang dimaksudkan seperti konsep mengenai morfologi dan pembagiannya, afiksasi, derivasi, kata dan leksem, serta kelas kata dalam BSDSB Morfologi Matthews (1991: 1) menyebutkan bahwa morfologi merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari berbagai bentuk kata. Dengan lebih rinci, Bauer (1988: 4) menjelaskan bahwa morfologi diambil dari istilah dalam ilmu biologi dan merujuk kepada ilmu yang mempelajari tentang bentuk. Namun, istilah morfologi yang digunakan dalam linguistik menjadi studi yang mempelajari tentang bentuk kata. Sejalan dengan itu, Verhaar ( 1986: 52) menguraikan pengertian morfologi sebagai bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Istilah gramatikal digunakan oleh Verhaar untuk menunjukkan bahwa sebuah kata masih dapat dibagi-bagi berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya. Dengan lebih merujuk kepada prosesnya, Parker (1986: 65) menyebutkan bahwa morphology is the study of word formation. Parker menyebut morfologi sebagai sebuah studi yang mempelajari tentang pembentukan kata. Pembentukan kata yang dimaksudkan

18 18 oleh Parker adalah bagaimana proses sebuah kata itu terbentuk dengan berbagai fenomena internal di dalamnya. Sejalan dengan itu pula, Ramlan (1987: 21) menguraikan konsep morfologi sebagai cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan mengkaji masalah perubahan bentuk kata serta pengaruhnya terhadap golongan dan arti kata. Uraian yang diberikan oleh Ramlan ini terlihat lebih rinci. Dengan merujuk pada pendapat para ahli di atas, beberapa hal penting yang fundamental dalam kaitannya dengan morfologi dapat dirumuskan. Morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari tentang bentuk kata. Bentuk dalam hal ini dapat dibagi lagi uraiannya yakni bentuk berupa susunan unsur-unsur pembentuk kata (kegramatikalan), proses yang menghasilkan bentuk kata dengan berbagai fenomena internalnya, dan dampak yang terjadi setelah kata itu terbentuk. Dengan demikian, dapat diambil jalan tengah bahwa morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata, bagaimana kata itu dibentuk dengan berbagai seluk-beluknya, serta dampak yang terjadi dari proses pembentukan kata itu Pembentukan Kata Morfologi sebagai studi yang mempelajari tentang pembentukan kata terbagi menjadi dua cabang besar yakni morfologi yang infleksional dan morfologi leksikal yang biasa disebut juga dengan morfologi derivasional. Pembagian morfologi yang demikian telah banyak disebutkan oleh beberapa ahli morfologi di dunia. Salah satunya adalah Bauer (1983) (dalam Ermanto, 2008: 41) yang merangkum pembagian morfologi dalam bagan sebagai berikut.

19 19 INFLEKSI Pemertahanan Kelas Kata Morfologi DERIVASI WORD FORMATION Pengubahan Kelas Kata P. Nomina PEMAJEMUKAN P. Verba P. Adjektiva Dengan mencermati bagan yang telah diberikan di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Morfologi itu dibagi menjadi dua pembagian besar yakni morfologi yang infleksional dan morfologi yang menyuratkan pembentukan kata (word formation). Morfologi infleksional menghasilkan beberapa variasi bentuk dari leksem yang sama disebabkan oleh tuntutan sintaksis. Berikutnya, morfologi yang menyuratkan pembentukan kata terbagi menjadi dua jenis yakni derivasi dan pemajemukan. Derivasi merupakan pembentukan kata yang menghasilkan leksem-leksem baru dari sebuah leksem (dasar). Misalkan, sufiks bahasa Inggris -er yang bergabung dengan V akan menghasilkan N seperti pada SHOOT tembak (V) SHOOTER penembak (N). Selain memperlihatkan perubahan kategori kelas kata, perubahan makna juga menandai proses ini (Katamba, 1993: 47). Selanjutnya, proses yang derivasional berdasarkan perubahan kelas kata dibedakan menjadi derivasi yang mempertahankan kelas kata seperti pada KING raja (N) yang bergabung dengan sufiks -ship KINGSHIP pangkat raja (N) (periksa McCharty, 2002:49) dan derivasi yang mengubah kelas kata seperti pada contoh SHOOTER di atas. Afiks-afiks yang berhubungan dengan proses tersebut

20 20 disebut dengan afiks derivasional. Jenis lainnya dari pembentukan kata adalah pemajemukan yang terbagi lagi jenisnya berdasarkan kelas kata komponen pembentuknya. Jadi, yang sebenarnya disebut sebagai pembentukan kata dalam proses morfologis adalah proses yang derivasional dan pemajemukan Afiksasi Morfologi identik dengan proses morfologis. Proses morfologis dalam BI berbedabeda pembagiannya oleh para linguis Indonesia. Namun, tidak satupun dari linguis tersebut yang tidak menyertakan afiksasi dalam pembagiannya. Proses morfologis yang berupa afiksasi merupakan yang paling umum digunakan dalam proses pembentukan kata di seluruh dunia (Bauer, 1988: 19). Proses morfologis pada level afiksasi selalu melibatkan dua jenis morfem atau lebih. Morfem yang terlibat yakni morfem afiks dan morfem dasar. Morfem afiks merupakan morfem yang selalu terikat dengan morfem dasar dalam pembentukan kata yang dibedakan atas prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan gabungan afiks. Morfem dasar adalah morfem yang dilekati oleh morfem afiks dalam proses pembentukan kata (Subroto, 2012: 20). Secara umum, afiksasi merupakan proses penambahan atau pengimbuhan afiks pada bentuk dasar. Selanjutnya, afiks sebagai alat pembentuk -istilah Chaer (2008)- dalam proses afiksasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis afiks yang digunakan dalam penelitian ini menyitir pembagian afiks yang disampaikan oleh Kridalaksana. Kridalaksana (2009: 28-30) membagi afiks menjadi tujuh jenis yakni (1) prefiks, (2) infiks, (3) sufiks, (4) simulfiks, (5) konfiks, (6) suprafiks, dan (7) kombinasi afiks. Masingmasing jenis afiks tersebut dijelaskan sebagai berikut. (1) Prefiks adalah afiks yang terletak di muka bentuk dasar seperti {me-}, {ter-}, {ber-}, dan {per-}.

21 21 (2) Infiks adalah afiks yang disisipkan di tengah bentuk dasar seperti {-el-}, {-em-}, {-er-}, dan {-in-}. (3) Sufiks adalah afiks yang terletak di belakang bentuk dasar seperti {-an}, {-i}, dan {-kan}. (4) Simulfiks adalah afiks yang dileburkan secara segmental pada bagian awal bentuk dasar seperti pada bentuk nyoto, nyate, ngopi, dan ngebut. (5) Konfiks adalah afiks yang sekaligus hadir di depan dan di belakang bentuk dasar dengan mengemban satu makna gramatikal. Konfiks biasa disebut dengan morfem terbagi karena harus hadir secara serentak pada bentuk dasar. Contoh konfiks seperti {ke-/-an}, {per-/-an}, dan {ber-/-an}. (6) Suprafiks adalah afiks yang dihubungkan dengan ciri-ciri yang suprasegmrntal seperti nada pada beberapa bahasa misalkan peninggian vokal pada suku akhir adjektiva dalam bahasa Jawa. Suprafiks tidak terdapat dalam BSDSB yang menjadi objek penelitian ini. (7) Kombinasi afiks atau gabungan afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar. Masing-masing afiks tetap membawa makna gramatikal tersendiri. Afiks ini muncul bersama pada dasar dengan urutan pelekatan yang berlainan seperti gabungan afiks {me-} dan {-kan} pada bentuk kompleks menjatuhkan. Jenis afiks di atas semuanya terdapat dalam BSDSB kecuali sufiks, simulfiks, dan suprafiks. Afiks-afiks yang terdapat dalam BSDSB didominasi oleh prefiks. Prefiks-prefiks yang dimaksud yakni {ba-} dan {ra-}, {N-}, {kan-} dan {gan-}, {san-}, {ran-}, {pa-}, {pan-}, {sa-}, {ka-}, dan {ma-}. Ada juga berupa infiks seperti {-en-}. Kemudian, gabungan afiks yang dimungkinkan adalah {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}.

22 22 Gabungan afiks dan konfiks dalam BSDSB hanya dapat terjadi melalui penggabungan prefiks karena tidak adanya sufiks. Jadi, dengan jumlah yang dominan dan seluruh afiks pembentuk V adalah prefiks, jenis afiks tersebutlah yang dilibatkan dalam rangka menguraikan proses morfologis dengan perspektif derivasi dalam BSDSB Derivasi Penelitian ini menganut pembagian morfologi berdasarkan perspektif derivasi. Penelitian ini menganut pengertian derivasi yang menekankan pada indikator perubahan identitas leksikal. Setiap perubahan bentuk yang ikut mengubah identitas leksikal digolongkan ke dalam proses yang derivasional. Selanjutnya, perlu ditekankan pula bahwa penelitian ini mengakui adanya derivasi yang mempertahankan kelas kata dan derivasi yang mengubah kelas kata. Prinsip ini perlu ditekankan agar pemaparan pada bagian pembahasan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian tersebut berikut ini disampaikan berbagai pendapat para ahli baik ahli morfologi barat maupun Indonesia yang juga menggunakan perspektif derivasi dalam kajiannya. Beberapa penyampaian mengenai derivasi di bawah ini dan seterusnya juga menyinggung ihwal infleksi sebagai bahan perbandingan Derivasi Menurut Pandangan Linguis Barat Katamba ( 1993: 47) menyebutkan bahwa morfem-morfem afiks dalam proses morfologis dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi utamanya. Morfem afiks yang dimaksud yakni morfem yang derivasional dan morfem yang infleksional. Selanjutnya, Katamba mengatakan bahwa morfem derivasional dan infleksional membentuk kata dengan jalan yang berbeda.

23 23 Terkait dengan morfem derivasional, Katamba menyatakan bahwa morfem yang derivasional merupakan morfem yang membentuk kata baru. Pembentukan kata yang baru yang dimaksudkan oleh Katamba ini sejalan dengan konsep pembentukan leksem yang baru. Katamba mempertegas uraiannya pada bagian akhir pembahasan bahwa afiks yang derivasional digunakan untuk membentuk leksem yang baru dari leksem yang berlainan sebelumnya. Katamba menyodorkan beberapa indikator afiks digolongkan sebagai afiks yang derivasional yakni dengan terwujudnya salah satu keadaan berikut ini. Pertama, afiks tersebut memodifikasi secara signifikan makna bentuk dasar tempat afiks tersebut dilekatkan tanpa mengubah kategori kelas katanya (kind (A) (A) unkind). Kedua, afiks tersebut mengubah kategori kelas kata sekaligus makna bentuk dasarnya ( hard (A) ( N) hardship). Ketiga, afiks tersebut mengubah subkelas gramatikal tanpa mengubah kategori kelas kata bentuk dasarnya ( friend (N konkret) (N abstrak) friendship). Jika salah satu di antara ketiga indikator tersebut terpenuhi, perubahan dan afiks tersebut tergolong derivasional (1993: 50). Fromkin and Rodman (1993: 48-49) menyebutkan bahwa di dalam bahasa Inggris terdapat morfem-morfem yang dikenal dengan morfem derivasional. Disebut demikian, dikarenakan saat morfem-morfem tersebut bergabung dengan morfem lain seperti morfem dasar, sebuah kata baru terbentuk. Sejalan dengan Katamba (1993), Fromkin and Rodman juga menyebut bahwa morfem yang derivasional menyebabkan perubahan makna sekaligus memungkinkan perubahan kategori kelas kata. Dalam bukunya, Fromkin and Rodman (1993) mencontohkan sebuah V yang diakhiri dengan sufiks -able menghasilkan bentukan yang berkelas kata A seperti morfem dasar ADORE (V) + -able ADORABLE (A). Peristiwa pelekatan sufiks yang derivasional itu terlihat mengubah kategori kelas kata berikut makna dari dasar ke kata jadian yang dihasilkannya. Dalam pada itu, Fromkin and Rodman juga

24 24 menyatakan bahwa tidak semua morfem yang derivasional menyebabkan perubahan kategori kelas kata. Misalkan bentuk-bentuk seperti theism (N) monotheism (N), vicar (N) vicarage (N), dan sebagainya (lihat juga McCharty, (2002: 45-54). Bauer (1988: 12-13) membagi imbuhan atau afiks menjadi dua jenis yakni afiks derivasional dan afiks infleksional. Afiks yang infleksional merupakan afiks yang menghasilkan bentuk-bentuk kata baru dari sebuah leksem. Afiks yang derivasional yakni afiks yang menghasilkan sebuah leksem baru dari sebuah morfem dasar (yang juga leksem). Selanjutnya, Bauer (1988) memaparkan tiga indikator dalam usaha untuk membedakan antara afiks yang derivasional dan afiks yang infleksional. Indikator yang dimaksud yakni sebagai berikut. Pertama, afiks yang mengubah kategori kelas kata sebuah morfem dasar merupakan afiks yang derivasional. Namun, Bauer juga memberikan catatan berupa saran bahwa afiks yang mengubah subkelas gramatikal bentuk dasarnya juga termasuk ke dalam afiks yang derivasional. Kedua, afiks yang derivasional memiliki makna yang tidak beraturan. Ketiga, Sebagai sebuah kaidah umum, jika afiks infleksional ditambahkan ke dalam salah satu anggota dari kelas maka semua anggota kelas tersebut dapat ditambahkan juga olehnya. Sebaliknya, afiks yang derivasional tidak dapat secara sembarangan dilekatkan kepada seluruh anggota kelas. Oleh karena itu, imbuhan infleksional produktif sepenuhnya sedangkan imbuhan derivasional tidak demikian. O Grady and Dobrovolsky ( 1992) juga memerikan perbedaan antara derivasi dan infleksi. Sebagaimana linguis lainnya, O Grady and Dobrovolsky juga memberikan penjelasan mengenai cara membedakan mana yang termasuk peristiwa yang disebut dengan infleksi dan mana yang termasuk derivasi. Kedua linguis tersebut mengawali pemaparannya dengan menyebut bahwa kedua proses (derivasi dan infleksi) adalah proses yang sama-sama terjadi atas penambahan sebuah afiks pada morfem dasarnya. Sampai pada tahap itu,

25 25 perbedaan di antara keduanya menjadi tidak begitu jelas. Ada tiga kriteria yang ditawarkan untuk membedakan kedua istilah tersebut. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, afiks infleksi tidak mengubah kategori gramatikal sekaligus makna dari kata yang mengalami proses morfologis. Sebaliknya, afiks derivasi dapat mengubah kategori dan atau makna bentuk dasarnya dalam proses morfologis dalam rangka membentuk kata yang baru. Contoh penambahan afiks yang berupa derivasi tanpa mengubah kategori kelas kata oleh O Grady and Dobrovolsky seperti pada kasus N N dalam king + -dom kingdom. Perubahan yang terjadi pada subkelas gramatikalnya (fitur semantis) saja yakni dari person orang menjadi place tempat. Kedua, berdasarkan urutannya, afiks derivasional selalu mendahului afiks yang infleksional dalam proses pembentukan kata kompleks. Ketiga, afiksafiks yang infleksional selalu lebih produktif dibandingkan afiks derivasional. Hal ini dikarenakan afiks terebut dapat ditambahkan pada seluruh anggota kelas sedangkan afiks derivasional sifatnya terbatas (1992: ). Aronoff (1981: 2) mengawali pembahasan bukunya dengan menjelaskan perbedaan antara derivasi dan infleksi. Derivasi dan infleksi disebutnya sebagai dua fenomena dalam tataran morfologi. Infleksi menurut Aronoff murni tergolong ke dalam cakupan penandapenanda gramatikal seperti tense (kala), aspect (aspek), person (persona), number (jumlah), gender (jenis kelamin), case (kasus), dan lainnya. Sementara itu, derivasi hanya terbatas pada domain kategori leksikal. Secara implisit, Aronoff menyampaikan bahwa infleksi hanya relevan untuk sintaksis sedangkan derivasi hanya terbatas pada cakupan morfologi leksikal. Dengan demikian, batas-batas di antara keduanya menjadi jelas dan terang-benderang. Dik dan Kooij ( 1994: ) membedakan antara derivasi dan komposisi dengan infleksi. Pembedaan yang dilakukan oleh kedua linguis tersebut sama dengan kategorisasi yang dilakukan oleh ahli seperti Bauer (1988). Dik dan Kooij menyebutkan derivasi dan

26 26 komposisi adalah sarana dalam memperluas persediaan leksem dalam bahasa. Sebaliknya, infleksi merupakan sarana menyiapkan leksem untuk penggunaan secara sintaksis. Perluasan ketersediaan leksem dalam bahasa pada peristiwa derivasi dan komposisi dikarenakan kedua peristiwa tersebut berdampak pada pembentukan leksem-leksem baru dari leksem yang sebelumnya berlainan. Sementara itu, infleksi hanyalah perluasan dalam bentuk-bentuk leksem saat berada di dalam konstruksi sintaksis. Terkait derivasi, Dik dan Kooij sependapat dengan para ahli yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ada derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata. Dalam hal ini, Dik dan Kooij membaginya dengan istilah derivasi pelestari golongan seperti pada oposisi bangsa (N) >< (N) kebangsaan yang keduanya adalah N dan derivasi pengubah golongan seperti pada lelah (A) >< (N) kelelahan. Berdasarkan pendapat para pakar morfologi barat tersebut dapat disarikan beberapa hal mengenai derivasi. Pertama, derivasi selalu mensyaratkan perubahan makna atau fiturfitur makna. Perubahan fitur-fitur makna itu dapat ditandai oleh perubahan kelas kata atau pemertahanan kelas kata. Jadi ada derivasi yang tetap mempertahankan kelas kata seperti pada LURAH (N) KELURAHAN (N) dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata seperti pada MAJU (V) KEMAJUAN (N). Kedua, dengan adanya perubahan pada kategori kelas kata dan atau maknanya, derivasi membentuk leksem yang baru yang berlainan dari sebuah leksem yang menjadi dasarnya. Berdasarkan uraian dari beberapa linguis barat di atas, perbedaan antara derivasi dan infleksi menjadi cukup jelas. Patut dijadikan catatan sampai pada tahap ini adalah pemerian derivasi dan infleksi yang dilakukan oleh linguis di atas dikarenakan bahasa yang menjadi kajiannya adalah bahasa jenis fleksi. Di sisi lain, penelitian ini menjadikan BSDSB yang bertipe aglutinasi sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, diperlukan pemaparan lebih

27 27 lanjut mengenai derivasi dan infleksi dari sudut pandang linguis Indonesia yang menjadikan BI sebagai bahan kajiannya Derivasi Menurut Pandangan Linguis Indonesia Pada bagian ini disampaikan beberapa pandangan para linguis Indonesia mengenai derivasi. Uraian mengenai derivasi pada bagian ini juga disertakan dengan infleksi sebagai perbandingan. Linguis-linguis yang disampaikan disini seperti Samsuri (1991), Chaer (2008), Verhaar (2010), Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Seperti yang disebutkan sebelumnya, linguis-linguis di Indonesia agak berbeda pendapat mengenai perspektif derivasi dan infleksi jika diaplikasikan dalam BI. Samsuri (1991) menjelaskan bahwa derivasi dan infleksi belum dapat secara tegas dapat diterapkan ke dalam BI. Samsuri beralasan bahwa afiks-afiks dalam BI memiliki sistem afiks yang berbeda. Untuk memperkuat alasannya, Samsuri mendefinisikan derivasi sebagai konstruksi yang memiliki distribusi yang berbeda dengan bentuk dasarnya. Di sisi yang lain, infleksi merupakan konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan bentuk dasarnya. Adapun contoh yang diberikan seperti pada bentuk kompleks menggunting, makanan, dan pelari dalam konstruksi kalimat berikut. (1) Anak itu menggunting kertas. (1a) *Anak itu gunting kertas (2) Makanan itu sudah busuk. (2a) *Makan itu sudah busuk. (3) Amat ingin menjadi pelari. (3a) *Amat ingin menjadi lari. Berdasarkan contoh tersebut, Samsuri (1991) bermaksud menguatkan pendapatnya yang mengatakan bahwa derivasi adalah konstruksi yang distribusi kata dasarnya sama

28 28 dengan bentuk kompleksnya. Pada kalimat (1), menggunting tidak menunjukkan distribusi yang sama dengan gunting sehingga kalimat (1a) menjadi tidak berterima. Pada kalimat (2) distribusi makanan jelas berbeda dengan dasar makan sehingga (2a) juga menjadi tidak berterima. Pada kalimat (3) juga demikian adanya, distribusi antara pelari dengan lari terlihat kontras dengan jelas sehingga kalimat (3a) tidak berterima. Jadi, konstruksi yang bertrisbusi berbeda dengan dasarnya itulah yang diakui sebagai derivasi oleh Samsuri. Di sisi yang lain, infleksi menurut Samsuri disebut sebagai konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menjelaskan konsep tersebut dengan memberikan contoh seperti bentuk kompleks membaca dan dasar baca serta mendengar dan bentuk dasar dengar. Agar lebih jelas, distribusi bentuk tersebut diberikan dalam kalimat berikut. (4) Saya membaca buku itu. (4a) Saya baca buku itu. (5) Engkau dengar suara itu. (4a) Engkau dengar suara itu. Kedua kalimat di atas dijadikan bukti oleh Samsuri sebagai dua bentuk yang berdistribusi sama. Hal itu terbukti dengan berterimanya kalimat (4) dan (4 a) sekaligus, begitu pula dengan ( 5) dan ( 5a). Berdasarkan kenyataan tersebut, Samsuri berkesimpulan bahwa afiks-afiks dalam BI belum menunjukkan keteraturan dalam memerikan fenomena derivasi dan infleksi. Bentuk-bentuk seperti menggunting, membaca, dan mendengar seharusnya memiliki distribusi yang sama dalam konstruksi kalimat dengan bentuk dasarnya. Namun, menggunting ternyata derivasi sedangkan membaca dan mendengar merupakan infleksi (bandingkan Subroto, 2012: 74).

29 29 Chaer (2008: 37) menjelaskan perbedaan antara derivasi dan infleksi dengan melihat perubahan indentitas leksikal sekaligus dengan perubahan kategori kelas kata. Chaer juga berpendapat bahwa kasus derivasi dan kasus infleksi terdapat dalam BI. Kasus infleksi dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {me-} membeli (V). Kasus derivasi dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {pe-} pembeli (N). Selanjutnya, masih dalam Chaer (2008: 38), dijelaskan bahwa kasus inflektif dalam BI hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang transitif. Chaer menyebut beberapa contoh prefiks seperti {me-} yang digunakan untuk kebutuhan aktif transitif, {di-} untuk verba transitif pasif tindakan, {ter-} untuk verba pasif keadaan, dan zero untuk verba imperatif. Untuk masing-masing bentuk inflektif tersebut, Chaer memberikan contoh seperti membaca, dibaca, terbaca, dan baca! (imperatif). Selain kasus {me-}, {di-}, dan {ter-} yang diakui inflektif, Chaer (2008) juga mengakui adanya kasus-kasus yang berhubungan dengan afiks tersebut sebagai kasus derivatif. Contohnya, {me-} dengan bentuk dasar lompat melompat, {di-} dengan bentuk dasar maksud dimaksud, dan {ter-} dengan bentuk dasar tidur tertidur. Cara melihat suatu bentukan yang menggunakan paradigma afiks inflektif yang tergolong kasus derivatif adalah dengan mengoposisikan {me-} dengan {di-} dan {ter-}. Jika {me-} dapat dioposisikan dengan {di-} dan {ter-} seperti pada kasus dibaca dan membaca maka afiks tersebut adalah inflektif. Sebaliknya, jika {me-} tidak dapat dioposisikan dengan {di-} dan {ter-} seperti pada *diduduk dan *terduduk maka afiks tersebut tergolong pada kasus derivasi. Sekilas mencermati contoh tersebut, Chaer (2008) secara implisit mengakui adanya derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata.

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang struktur kata dan cara pembentukan kata (Harimurti Kridalaksana, 2007:59). Pembentukan kata

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Pemikiran Keberadaan buku teks di perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu terus dimutakhirkan sehingga tidak dirasakan tertinggal dari perkembangan ilmu dewasa ini.

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI Kita kembali dulu melihat arus ujaran yang diberikan pada bab fonologi yang lalu { kedua orang itu meninggalkan ruang siding meskipun belum selesai}. Secara bertahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2012: ) menjelaskan pengertian identitas leksikal berupa kategori kelas kata

BAB I PENDAHULUAN. (2012: ) menjelaskan pengertian identitas leksikal berupa kategori kelas kata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses morfologis dalam suatu bahasa secara umum dibagi menjadi dua yaitu proses infleksional dan derivasional dimana pembedanya terdapat pada identitas leksikal

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominalisasi sebagai salah satu fenomena kebahasaan, mesti mendapatkan perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai peran yang

Lebih terperinci

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah BAB1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah suatu bahasa. Sesuai dengan sifat bahasa yang dinamis, ketika pengetahuan pengguna bahasa meningkat,

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, beberapa bahasa di dunia, dalam penggunaannya pasti mempunyai kata dasar dan kata yang terbentuk melalui suatu proses. Kata dasar tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa di dunia beserta

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Afiks dan Afiksasi Ramlan (1983 : 48) menyatakan bahwa afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan Kajian tentang morfologi bahasa khususnya bahasa Melayu Tamiang masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli bahasa. Penulis menggunakan beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu penelitian, maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini dijadikan pijakan dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian dalam bidang morfologi memang telah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini membantu penelitian ini sehingga dapat membuka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum i BUKU AJAR Bahasa Indonesia Azwardi, S.Pd., M.Hum i ii Buku Ajar Morfologi Bahasa Indonesia Penulis: Azwardi ISBN: 978-602-72028-0-1 Editor: Azwardi Layouter Rahmad Nuthihar, S.Pd. Desain Sampul: Decky

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Terkait dengan kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam linguistik bahasa Jepang (Nihon go-gaku) dapat dikaji mengenai beberapa hal, seperti kalimat, kosakata, atau bunyi ujaran, bahkan sampai pada bagaimana bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diberikan akal dan pikiran yang sempurna oleh Tuhan. Dalam berbagai hal manusia mampu melahirkan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan akal dan pikiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara populer orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dalam komunikasi antar manusia, yakni dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa konsep seperti pemerolehan bahasa, morfologi, afiksasi dan prefiks, penggunaan konsep ini

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Arkhais, Vol. 07 No. 1 Januari -Juni 2016 PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Wahyu Dwi Putra Krisanjaya Lilianan Muliastuti Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan mediator utama dalam mengekspresikan segala bentuk gagasan, ide, visi, misi, maupun pemikiran seseorang. Bagai sepasang dua mata koin yang selalu beriringan,

Lebih terperinci

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI - 13010113140096 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 1. INTISARI Semiotika merupakan teori tentang sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga perkembangan bahasa Indonesia saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa. Bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk individu sekaligus makhluk sosial. Untuk memenuhi hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa. Bahasa merupakan alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berkomunikasi. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan sistem, yaitu seperangkat

Lebih terperinci

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU Oleh: Ida Satriyani Kasran Ramsi ABSTRAK Masalah pokok dalam penelitian ini adalah apa sajakah afiks infleksi dalam bahasa Kulisusu, dalam hal ini meliputi pembagian afiks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam. Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam. Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Proses Pembentukan Kata dalam Kumpulan Cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki Karya Djenar Maesa Ayu

Proses Pembentukan Kata dalam Kumpulan Cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki Karya Djenar Maesa Ayu Proses Pembentukan Kata dalam Kumpulan Cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki Karya Djenar Maesa Ayu Eighty Risa Octarini 1, I Ketut Darma Laksana 2, Ni Putu N. Widarsini 3 123 Program Studi Sastra Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sudah tidak bisa ditahan lagi. Arus komunikasi kian global seiring berkembangnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. gabungan kata morphe yang berarti bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Chaer

BAB II KAJIAN TEORI. gabungan kata morphe yang berarti bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Chaer BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Morfologi Morfologi merupakan suatu cabang linguistik yang mempelajari tentang susunan kata atau pembentukan kata. Menurut Ralibi (dalam Mulyana, 2007: 5), secara

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA A. Deskripsi Mata Kuliah Dalam perkuliahan dibahas pengertian morfologi dan hubungannya dengan cabang ilmu bahasa lain, istilah-istilah teknis dalam morfologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita (sumber: wikipedia.com). Penulis novel disebut novelis. Kata novel

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian yang berjudul Bentuk Fungsi Makna Afiks men- dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar disusun oleh Rois Sunanto NIM 9811650054 (2001)

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Penggunaan afiks dalam ragam informal, terutama dalam situs Friendster, menarik untuk diteliti karena belum banyak penelitian yang membahas hal tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pengguna bahasa selalu menggunakan bahasa lisan saat

Lebih terperinci

VERBA DENOMINAL BAHASA JAWA PADA MAJALAH DJAKA LODHANG EDISI JULI SAMPAI SEPTEMBER TAHUN 2008

VERBA DENOMINAL BAHASA JAWA PADA MAJALAH DJAKA LODHANG EDISI JULI SAMPAI SEPTEMBER TAHUN 2008 VERBA DENOMINAL BAHASA JAWA PADA MAJALAH DJAKA LODHANG EDISI JULI SAMPAI SEPTEMBER TAHUN 2008 Zuly Qurniawati, Santi Ratna Dewi S. Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Majalah merupakan bagian dari

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Setiap bahasa di dunia memiliki sistem kebahasaan yang berbeda. Perbedaan sistem bahasa itulah yang menyebabkan setiap bahasa memiliki ciri khas dan keunikan, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi antar-masyarakat di sana sampai

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi antar-masyarakat di sana sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Sasak (selanjutnya disingkat BS) merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. BS yang ada di pulau Lombok adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. memberikan rahmat dan juga karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

KATA PENGANTAR. memberikan rahmat dan juga karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan juga karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Proses pembentukan kata

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Jawa di antaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian wilayah Indonesia lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menanggapi sesuatu yang terjadi di sekitarnya juga berkembang. Dalam hal ini,

BAB I PENDAHULUAN. menanggapi sesuatu yang terjadi di sekitarnya juga berkembang. Dalam hal ini, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan perkembangan zaman, cara berpikir manusia serta cara menanggapi sesuatu yang terjadi di sekitarnya juga berkembang. Dalam hal ini, bahasa juga terlibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk mengekspresikan perasaan atau emosi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 2015:9). Metode yang tepat akan mengarahkan penelitian pada tujuan yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

Lebih terperinci

AFIKS PEMBENTUK VERBA BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP Masyita FKIP Universitas Tadulako ABSTRAK Kata kunci: Afiks, Verba, Bahasa

AFIKS PEMBENTUK VERBA BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP Masyita FKIP Universitas Tadulako ABSTRAK Kata kunci: Afiks, Verba, Bahasa AFIKS PEMBENTUK VERBA BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP Masyita FKIP Universitas Tadulako Masyita.laodi@yahoo.co.id ABSTRAK Kata kunci: Afiks, Verba, Bahasa Bugis, Sidrap. Fokus permasalahan penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lainnya, di samping itu bahasa dapat menjadi identitas bagi penuturnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, menulis. Keempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal. Dari

BAB II LANDASAN TEORI. tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal. Dari 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Wacana 1. Pengertian Wacana Wacana adalah paparan ide atau pikiran secara teratur, baik lisan maupun tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa di dunia memiliki keunikan tersendiri antara satu dengan lainnya. Di dalam setiap bahasa selalu terdapat pola pembentukan kata yang secara sistematis

Lebih terperinci

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Kumairoh Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipnegoro Abstrak Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat dalam

Lebih terperinci

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL Rahmi Harahap Program Studi S-1 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Abstract Research on the structural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa merupakan alat komunikasi yang

Lebih terperinci

Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya

Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya Modul 1 Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya B PENDAHULUAN Drs. Joko Santoso, M.Hum. agi Anda, modul ini sangat bermanfaat karena akan memberikan pengetahuan yang memadai mengenai bentuk, pembentukan

Lebih terperinci

HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Ermanto Universitas Negeri Padang

HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Ermanto Universitas Negeri Padang HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Abstrak Ermanto Universitas Negeri Padang Penelitian ini mengkaji hierarki afiksasi pada verba BI dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi sesama manusia. Dengan bahasa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90,

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena dengan bahasa kita bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Keraf (2001:1) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian. Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan sebagai berikut.

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian. Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan sebagai berikut. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian morfosemantik istilah-istilah pertukangan kayu di Desa Lebak Kecamatan Pakis Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI

PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI Disusun Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Disusun Oleh LISDA OKTAVIANTINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada karya sastra berbentuk puisi yang dikenal sebagai těmbang macapat atau disebut juga těmbang

Lebih terperinci

sebagai kecenderungan baru dalam telaah bahasa secara alami. Dikatakan demikian karena analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi

sebagai kecenderungan baru dalam telaah bahasa secara alami. Dikatakan demikian karena analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi EKUIVALENSI LEKSIKAL DALAM WACANA NOVEL PERAHU KERTAS KARYA DEWI DEE LESTARI: SUATU KAJIAN WACANA Ayu Ashari Abstrak. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui kemunculan ekuivalensi leksikal dalam wacana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Sunda (BS)1) memiliki kedudukan dan fungsi tertentu di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1). Di samping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1 ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Diajukan Oleh: AGUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya untuk media cetak, media sosial maupun media yang lainnya. Bahasa kini dirancang semakin

Lebih terperinci

BENTUKAN KATA DALAM KARANGAN BAHASA INDONESIA YANG DITULIS PELAJAR THAILAND PROGRAM DARMASISWA CIS-BIPA UM TAHUN

BENTUKAN KATA DALAM KARANGAN BAHASA INDONESIA YANG DITULIS PELAJAR THAILAND PROGRAM DARMASISWA CIS-BIPA UM TAHUN BENTUKAN KATA DALAM KARANGAN BAHASA INDONESIA YANG DITULIS PELAJAR THAILAND PROGRAM DARMASISWA CIS-BIPA UM TAHUN 2010-2011 Vania Maherani Universitas Negeri Malang E-mail: maldemoi@yahoo.com Pembimbing:

Lebih terperinci

pada Fakultas Sastra Universitas Andalas

pada Fakultas Sastra Universitas Andalas NAMA-NAMA PENGGEMAR GRUP BAND DI INDONESIA TINJAUAN MORFOLOGI SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Andalas Oleh Muhammad Fadlan BP

Lebih terperinci

ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS

ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS Nuraeni, Shinta Yunita Tri. 2017. Abreviasi dalam Menu Makanan dan Minuman di Kota Semarang: Suatu Kajian Morfologis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak. pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak. pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya permasalahan kategori ini sehingga tidak

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS KATA MINTA DAN SINONIMNYA. Siti Azizah*), Ary Setyadi, dan Sri Puji Astuti

PROSES MORFOLOGIS KATA MINTA DAN SINONIMNYA. Siti Azizah*), Ary Setyadi, dan Sri Puji Astuti PROSES MORFOLOGIS KATA MINTA DAN SINONIMNYA Siti Azizah*), Ary Setyadi, dan Sri Puji Astuti Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Jl. Prof Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BERBAHASA TATARAN MORFOLOGI DALAM SKRIPSI MAHASISWA PBSI IKIP PGRI MADIUN TAHUN AKADEMIK 2013/2014.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BERBAHASA TATARAN MORFOLOGI DALAM SKRIPSI MAHASISWA PBSI IKIP PGRI MADIUN TAHUN AKADEMIK 2013/2014. ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BERBAHASA TATARAN MORFOLOGI DALAM SKRIPSI MAHASISWA PBSI IKIP PGRI MADIUN TAHUN AKADEMIK 2013/2014 Nia Binti Qurota A yuni 1), Agus Budi Santoso 2), Dwi Rohman Soleh 3) 1,2,3)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. rubrik cerita Pasir Luhur Cinatur pada majalah PS, maka diperoleh simpulan

BAB V PENUTUP. rubrik cerita Pasir Luhur Cinatur pada majalah PS, maka diperoleh simpulan 191 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap verba berafiks bahasa Jawa dalam rubrik cerita Pasir Luhur Cinatur pada majalah PS, maka diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Proses

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA INTISARI

PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA INTISARI PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA Pangastryan Wisesa Pramudiah *), Drs. Ary Setyadi, M. S., Riris Tiani, S.S., M.Hum. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Lebih terperinci